You are on page 1of 154

1.

Berilah tanggapan atau komentar anda dalam pernyataan berikut ini; pada
sekolah yang secara alami mengembangkan pendidikan inklusif, beberapa
kecenderungan yang terjadi di lapangan, diantaranya:
a. Secara formal belum berpredikat sebagai sekolah inklusif, bahkan sampai
sekarang belum tersentuh proyek sosialisasi dan pelatihan di bidang
pendidikan inklusif
Jawab:
Sekolah-sekolah penyelenggara inklusif yang ada di Indonesia biasanya
diberikan wewenang atau kepercayaan dari Pemerintah di daerah tersebut
untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Pemberian wewenang
terwujud dengan adanya SK Inklusif yang dimiliki sekolah sebagai
penyelenggara resmi pendidikan inklusif. SK tersebut diberikan kepada
sekolah yang diiringi dengan dukungan berupa dana, fasilitas dan
pelatihan atau sosialisasi mengenai inklusif di sekolah dan masyarakat
yang ada di lingkungan sekolah tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya
berdasarkan beberapa kasus yang saya temui di sekolah inklusif
Yogyakarta, masih banyak sekolah sekolah inklusif yang menerima anak-
anak berkebutuhan khusus (ABK) belum memiliki atau diberikan SK
Inklusif oleh Pemerintah. Ketiadaan SK inklusif yang dimiliki sekolah
menyebabkan sekolah harus mengandalkan dana/biaya dari anggaran
sekolah untuk memfasilitasi siswa-siswa berkebutuhan khusus tersebut.
Anggaran yang terbatas secara otomatis menyebabkan penyediaan
layanan atau fasilitas yang kurang maksimal untuk menunjang
pembelajaran, aksesibilitas ataupun keterampilan sosial siswa di sekolah.
Ketiadaan SK Inklusif di sekolah pun menyebabkan sekolah tidak
mendapat fasilitas berupa pelatihan ataupun sosialisasi yang resmi dan
formal dari Pemerintah. Pihak sekolah harus aktif mencari tahu hal-hal
mengenai penyelenggaraan inklusif sesuai dengan standar yang
diharapkan Pemerintah. Hal ini menyebabkan sekolah menjadi kurang
update informasi-informasi mengenai perkembangan pendidikan inklusif.
Wujud dari kekurangtahuan sekolah mengenai penyelenggara inklusif,
salah satunya seperti harus adanya guru pendamping khusus (GPK) yang
berkompeten dari bidang pendidikan luar biasa untuk membantu dan
memantau hal-hal yang berkaitan dengan ABK di sekolah inklusif
tersebut. Tapi pada kenyataannya, masih banyak sekolah yang belum
memiliki GPK dari bidang PLB, salah satunya sekolah yang saya amati
yaitu SD Muhammadiyah Sapen. Ketiadaan GPK disadari atau tidak
berdampak pada pelaksanaan inklusif. Anak-anak berkebutuhan khusus
kurang mendapat perhatian atau perlakuan yang sesuai dan
mengakomodir kondisinya. Hal tersebut dapat diatasi jika pihak sekolah
sadar dan berinisiatif merekrut GPK sebagai salah satu rekan kerja dalam
pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah.

b. Para guru awalnya sempat khawatir akan menurunkan citra sekolah


Jawab:
Sekolah penyelenggara inklusif secara otomatis menerima seluruh jenis
anak berkebutuhan khusus yang ingin dan masih dinilai cukup mampu
bersekolah dan mengikuti pembelajaran di kelas. Anak-anak
berkebutuhan khusus bersama anak normal lainnya mengenyam
pendidikan di satu tempat tanpa dibeda-bedakan. Keberadaan ABK di
sekolah dapat berdampak pada reputasi atau citra sekolah. Hal tersebut
dikarenakan stigma masyarakat sejak dulu mengenai keberadaan ABK
yang dianggap sebagai anak idiot, anak bodoh ataupun anak yang kurang
waras menyebabkan beberapa orang beranggapan negatif terhadap ABK.
Tetapi, seiring perkembangan zaman anggapan masyarakat mengenai
ABK berubah ke arah lebih baik. ABK atau dikenal dengan anak yang
mengalami disabilitas lebih dipandang sesuai dengan keterbatasan atau
kesulitannya, tidak langsung di judge bodoh, idiot, dll. Hanya saja sekolah
kadang tetap mengkhawatirkan bahwa kehadiran ABK di sekolah
menimbulkan citra negatif yang menurunkan pamor atau penilaian
kualitas sekolah di mata masyarakat atau orang tua siswa.
Kekhawatiran mengenai penurunan citra sekolah tersebut dialami oleh
seluruh pihak sekolah termasuk guru-guru yang mengajar. Selain stigma
masyarakat, ABK kategori berintelektual rendah yang bersekolah di
inklusif dianggap dapat menurunkan kualitas sekolah karena
diperhitungkan sebagai peserta didik yang diikutsertakan dalam penilaian
kualitas sekolah. Akan tetapi, hal tersebut sebenarnya dapat diatasi
dengan bantuan pihak sekolah sendiri. Pendidik maupun tenaga
kependidikan di sekolah dapat membantu mempertahankan citra sekolah
dengan terus memberikan layanan pendidikan yang terbaik dan
berkualitas. Selain itu, guru dan staf sekolah dapat mensosialisasikan
mengenai sekolah inklusif berupa dasar-dasar dan pelaksanaannya
sehingga masyarakat tidak berasumsi yang negatif terhadap adanya ABK
yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut. Apabila hal tersebut
dilaksanakan dengan baik, seharusnya pihak sekolah tidak perlu takut
akan penurunan kualitas atau citra sekolah di mata masyarakat dan
Pemerintah.

c. Adanya protes terhadap kenaikan ABK, sementara ada anak normal yang
tidak naik kelas
Jawab:
Sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif memiliki format
penilaian terhadap peserta didiknya sendiri sesuai dengan pemahaman
mereka sendiri. Adanya peraturan-peraturan sistem penilaian hasil belajar
yang dibuat pemerintah yang kontradiksi dengan sistem penilaian hasil
belajar dalam setting pendidikan inklusif, pelaksanaan penilaian hasil
belajar dalam setting pendidikan inklusif di sekolah reguler menjadi
tantangan (permasalahan). Banyak pihak (siswa, orang tua, dan
masyarakat) yang merasa tidak sesuai dan tidak adil bagi anak pada
umumnya dengan penilaian yang dilakukan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus yang bersekolah di sekolah reguler. Contohnya bahwa penilaian
dalam seting pendidikan inklusif belum dipahami oleh para guru seperti
apa wujud yang sebenarnya serta diperoleh informasi pula bahwa sistem
kenaikan kelas anak berkebutuhan khusus naik terus, tetapi untuk anak
pada umumnya ada yang tidak naik kelas. Hal ini menimbulkan
kecemburuan anak pada umumnya, orang tua siswa dan masyarakat.
Akhirnya anak-anak yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata kelas
sebelum adanya kenaikan kelas diberikan peringatan oleh pihak sekolah
akan tetap berlanjut di sekolah dengan tidak naik kelas, atau pindah
sekolah dengan diberikan nilai naik kelas. Masih adanya banyak
permasalahan berkaitan dengan implementasi pendidikan setting inklusif
menunjukkan perlu penataan yang secara komprehensif terutama dalam
sistem penilaian hasil belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif. Praktek-praktek pendidikan yang terlihat dan masih
diterapkan pada sebagian besar sekolah inklusif di Indonesia masih
berpihak pada keseragaman yang bertolak belakang dengan prinsip
pendidikan inklusif yang menghargai keberagaman peserta didik. Contoh
dari praktek tersebut sudah terlihat sejak penerimaan siswa baru dengan
menentukan kriteria-kriteria tertentu, menentukan kenaikan kelas,
kelulusan sekolah dan melakukan beragam tes-tes kelayakan untuk
menjadi siswa pada sekolah tersebut. Penilaian hasil belajar dalam seting
pendidikan inklusif harus fleksibel, dilakukan secara berkelanjutan,
autentik dan komprehensif. Penilaian hasil belajar disesuaikan dengan
kompetensi/kebutuhan khusus setiap individu/anak. Untuk menentukan
ketuntasan belajar (mastery learning) atau standar kompetensi kelulusan
untuk setiap individu/anak maka diperlukan adanya beberapa standar
ketuntasan belajar/kelulusan yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus
setiap individu.
d. Tidak ada guru khusus, tetapi ini justru tantangan untuk menemukan
metode baru (kreatif) melalui kebersamaan, saling diskusi, saling berbagi
Jawab:
Pendidikan inklusi sejalan dengan semangat dan jiwa UUD 1945 Pasal 31
tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal
32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang mengatur mengenai pendidikan khusus dan pendidikan
layanan khusus. Sedang pemerataan kesempatan belajar bagi anak
berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan Salamanca Tahun 1994 yang
merupakan perluasan tujuan Education For All (EFA). Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif perlu didukung oleh tenaga pendidik
keahlian khusus dalam proses pembelajaran dan pembinaan anak-anak
berkebutuhan khusus secara umum. Salah satu tenaga khusus yang
diperlukan adalah Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK sesuai dengan
buku pedoman penyelanggara pendidikan inklusif tahun 2007 adalah guru
yang mempunyai latarbelakang pendidikan khusus/Pendidikan luar biasa
atau yang pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan khusus/luar
biasa, yang ditugaskan di sekolah inklusif. Sebagaimana pengertian GPK
yang tercantum dalam buku pedoman penyelanggara pendidikan inklusif
tahun 2007 adalah guru yang mempunyai latarbelakang pendidikan
khusus/Pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan
tentang pendidikan khusus/luar biasa, yang ditugaskan di sekolah inklusif.
Hal ini menunjukkan sebagian besar Guru Pembimbing Khusus
merupakan Guru PLB/SLB yang diperbantukan/ ditugaskan ke sekolah
inklusi. Pelaksanaan peran dan tugas GPK tidak akan berjalan optimal
ketika ada guru SLB yang diperbantukan ke sekolah inklusi, dan
menganggap bahwa fungsi GPK adalah merupakan tugas tambahan dari
guru-guru sekolah luar biasa. Karena hanya sebagai tugas tambahan dan
tugas ini juga tidak memberikan kontribusi berarti. Sehingga dalam
melaksanakannya juga tidak optimal. Untuk mendapatkan kenaikan
jenjang, guru harus mengumpulkan serangkaian kredit poin yang
diperoleh dari beberapa kegiatan, baik kegiatan pokok maupun kegiatan
tambahan. Tentu saja kredit poin terbesar diperoleh dari pelaksanaan
tugas-tugas pokok. Tugas pokok guru adalah “mengajar di kelas”.
Sementara, tugas GPK lebih banyak bersifat konsultasi dan melakukan
fungsi koordinasi. Jika diperlukan, memang ada tatap muka dengan siswa
berkebutuhan khusus.

e. Perubahan dan proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus menerus


melalui kerjasama, saling memotivasi, saling membantu, saling
mendukung, komunikasi, dan belajar dari pengalaman
Jawab:
Beberapa kecenderungan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif antara lain adanya protes terhadap kenaikan kelas ABK,
sementara ada anak normal yang tidak naik kelas, tidak ada guru khusus,
tetapi ini justru tantangan untuk menemukan metode baru (kreatif)
melalui kebersamaan, saling diskusi, dan saling berbagai. Perubahan dan
proses adaptasi pembelajaran dilakukan terus menerus melalui kerja sama,
saling memotivasi, saling membantu, saling mendukung, komunikasi, dan
belajar dari pengalaman. Sekolah juga harus mengembangkan kerjasama
antar guru dan meningkatkan jalinan komunikasi dengan orang tua,
sekalipun hal tersebut diakui menambah beban tambahan, namun diterima
oleh sekolah sebagai tantangan.
Aspek yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan
adalah tersedianya sumber daya yang memadai. Implementasi kebijakan
sangat membutuhkan dukungan sumber daya manusia maupun sarana dan
prasarana. Sumber daya manusia yang baik dan profesional merupakan
patokan agar implementasi pendidikan inklusif dapat berjalan maksimal
dan sesuai dengan harapan semua kalangan. Sumber daya tersebut
seharusnya lebih diperhatikan oleh sekolah maupun Pemerintah.Aspek
lain yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan
aspek komunikasi, sumber daya, dan disposisi, aspek struktur birokrasi
juga merupakan salah satu elemen penting yang menentukan keberhasilan
implementasi sebuah kebijakan. Implementasi kebijakan
peneyelenggaraan layanan pendidikan inklusif di Surabaya melibatkan
cukup banyak pihak, sehingga kejelasan tugas dan pembagian tanggung
jawab menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan
Guru dikenal karena memiliki kemampuan untuk mengontrol kelas
mereka sendiri. Kehadiran atau keberadaan guru lain di dalam kelas
merupakan masalah baru bagi beberapa guru (Chandler, 2000). Beberapa
guru tidak mau menghabiskan waktu untuk berkolaborasi dalam
mengembangkan program inklusi, ketidak cocokan antara guru kelas dan
huru pendamping berdampak pada pelayanan yang diberikan. Beban
administrasi dan modifikasi kurikulum Seorang guru hendaknya
mengetahui program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus. Pola pembelajarannya harus disesuaikan dengan
anak berkebutuhan khusus, biasa disebut dengan Individualized
Educational Program (IEP) atau Program Pembelajaran Individual (PPI),
perbedaan karateristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat
pendidik harus memiliki kemampuan khusus. Pada kenyataannya hasil
monitoring sekolah inklusi yang dilakukan oleh Direktorat PSLB
menemukan bahwa sebagian besar guru sekolah inklusi mengalami
kesulitan dalam memodifikasi kurikulum dan melakukan asesmen
akademik dan non akademik (Sutji Harijanto, 2011). Hal ini tentunya
akan berpengaruh terhadap pelayanan anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusi. Selain itu, guru juga masih terbebani dengan adanya
tuntutan administrasi dari sekolah. Tuntutan aadministrasi sekolah yang
berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus antara lain, beban
pengumpulan data yang diperlukan untuk prosedur penilaian fungsional,
administrasi untuk pendanaan, laporan untuk guru khusus, dan laporan
pelayanan yang diberikan (Folin, 1997). Beban yang dirasakan itulah
yang menyebabkan ketidaksanggupan guru untuk memasukkan siswa
berkebutuhan khusus di kelas mereka.
Untuk meningkatkan komptensi guru di bidang pendidikan luar biasa,
perlu adanya pengembangan model pendidikan guru. Strawderman &
Lindsey 1995 (dalam Pujaningsih, 2011) menyatakan bahwa perubahan
desain pendidikan guru dapat dilakukan dengan cara menambah
matakuliah baru atau pengalaman lapangan baru. Dampak dari strategi ini
diteliti oleh O‟Shea & Satter 1999 (dalam Pujaningsih, 2011) pada mata
kuliah yang diikuti oleh calon guru (regular dan khusus) melalui berbagai
aktivitas kolaboratif antar mahasiswa, menjadikan mahasiswa lebih siap
untuk membuat perencanaan pembelajaran, menggunakan berbagai
pembelajaran, melakukan modifikasi, dan cara membuat administrasi
kelas. M Gut, et al 2003 (dalam Pujaningsih, 2011) menegaskan bahwa
dalam matakuliah di atas mengarahkan suasana pembelajaran yang
membuka peluang berbagai pendapat untuk menentukan keputusan,
komunikasi terbuka, dan kolaborasi antara guru regular dan guru khusus.
Dengan demikian kompetensi dan pengetahuan guru terhadap anak
berkebutuhan khusus akan meningkat. Guru tidak lagi terbebani dengan
modifikasi kurikulum, administrasi kelas, dan kolaborasi dengan pihak
lain.

f. Mengembangkan kerjasama antar guru dan meningkatkan jalinan


komunikasi dengan orang tua
Jawab:
Pada hakekatnya guru dan orang tua dalam pendidikan yang mempunyai
tujuan yang sama, yakni mengasuh, mendidik, membimbing, membina
serta memimpin anaknya menjadi orang dewasa dan dapat memperoleh
kebahagiaan hidupnya dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sebagai
penunjang pencapaian visi Bangsa Indonesia berdasarkan ketetapan MPR
RI No.IV/2004 tentang GBHN (1996:66). “Terwujudnya masyarakat
Indonesia yang damai, demokrasi, berkeadilan, berdaya saing, maju dan
sejahtera, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia memiliki
etos kerja yang tinggi serta disiplin.” Pendidikan merupakan tanggung
jawab bersama antara sekolah (guru), orangtua murid, masyarakat, dan
pemerintah. Dengan demikian, semua pihak yang terkait harus senantiasa
menjalani hubungan kerja sama dan interaksi dalam rangka menciptakan
kondisi belajar yang sehat bagi para murid. Interaksi semua pihak yang
terkait akan mendorong murid untuk senantiasa melaksanakan tugasnya
sebagai pelajar, yakni belajar dengan tekun dan bersemangat. Selanjutnya,
hubungan timbal balik antara orangtua dan guru yang benilai informasi
tentang situasi dan kondisi setiap murid akan melahirkan suatu bentuk
kerja sama yang dapat meningkatkan aktivitas belajar murid baik di
sekolah maupun di rumah. Hubungan kerja sama antara guru dan
orangtua murid sangatlah penting. Hal ini tidak tercapai akan berimplikasi
pada kemunduran kualitas proses belajar mengajar, dan akan menurunkan
mutu pendidikan. Dengan demikian, maka diperlukan langkah-langkah
yag dapat mendukung terlaksananya peningkatan aktivitas belajar dari
murid yang dilakukan oleh orangtua, guru dan keduanya dalam hubungan
kerja sama saling membantu dalam meningkatkan aktivitas belajar dari
murid tersebut. Walaupun kendala yang dihadapi yang tentunya tidak
sedikit, tetapi dengan tujuan yang jelas sebagai pelaksana dan
penanggung jawab pendidikan oleh orangtua dirumah atau di keluarga,
dan guru dilingkungan sekolah maka hubungan tersebut dapat
diwujudkan.

g. Sekalipun diakui menambah beban tambahan, namun diterima sebagai


tantangan
Jawab:
Ward (1987) berpendapat bahwa penolakan dari guru dan lemahnya
dukungan terhadap anak berkebutuhan khusus disebabkan karena
kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang anak dengan kebutuhan
khusus. Latar belakang pendidikan yang tidak memberikan bekal kepada
guru tentang anak berkebutuhan khusus menjadi penyebab guru di
sekolah regular menolak adanya kebijakan sekolah inklusi. Guru
menganggap diri mereka tidak memiliki keterampilan untuk mengajar
siswa dengan berbagai kebutuhan khusus, namun kebijakan telah
menuntut mereka untuk menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus
di kelas mereka. Hal ini akan berpengaruh terhadap penerimaan guru dan
perlakuan guru (Pavri & Luftig; Cook,2000, dalam Pujaningsih, 2011).
Sikap yang ditunjukkan guru tersebut akan mempengaruhi penerimaan
anak berkebutuhan khusus oleh teman-temannya (Paris, 2000). Dengan
demikian komitmen guru di sekolah inklusi menjadi salah satu faktor
yang paling penting dalam keberhasilan atau kegagalan program inklusif.
h. Pembelajaran ABK dilakukan secara tersendiri, dengan menciptakan
suasana yang memungkinkan semuanya dapat belajar, serta penerapan
pendekatan perjatian dan kasih sayang
Jawab:
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang
sama untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis
jenis kecacatan yang dialaminya. Titik perhatian pengembangan yang
utama pada anak berkebutuhan khusus adalah optimalisasi potensi yang
dimiliki masing masing anak melalui jenjang pendidikan yang
ditempuhnya. Hal hal yangbersifat teknis berkaitan dengan sarana dan
prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggara
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan
mengusahakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan
anak dan variasi kecacatannya.
Sebagai manusia, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang
dan bukan belas kasihan. Kasih sayang yang dimaksudkan merupakan
wujud penghargaan bahwa sebagai manusia mereka memiliki kebutuhan
untuk diterima dalam kelompok dan diakui bahwa mereka adalah sama
seperti anak-anak yang lain. Untuk itu, guru seharusnya mampu
menggantikan kedudukan orang tua untuk memberikan perasaan kasih
sayang kepada anak. Wujud pemberian kasih sayang dapat berupa sapaan,
pemberian tugas sesuai dengan kemampuan anak, menghargai dan
mengakui keberadaan anak.
2. Berilah ulasan atau deskripsi dari 7 (tujuh) pernyataan berikut ini:
a. Awalnya sekolah berjalan alami, kemudian ditunjuk resmi sebagai
sekolah inklusif oleh pemerintah. Awalnya mendapat bantuan 1 orang
guru pendamping atau guru khusus, tapi kemudian keluar. Akhirnya
muncul inisiatif dari orang tua untuk membawa sendiri guru pendamping
untuk anaknya dan fenomena ini terus berkembang sampai sekarang dan
bahkan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi orang tua
Jawab:
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu didukung oleh tenaga
pendidik keahlian khusus dalam proses pembelajaran dan pembinaan
anak-anak berkebutuhan khusus secara umum. Salah satu tenaga khusus
yang diperlukan adalah Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK sesuai
dengan buku pedoman penyelanggara pendidikan inklusif tahun 2007
adalah guru yang mempunyai latarbelakang pendidikan
khusus/Pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan
tentang pendidikan khusus/luar biasa, yang ditugaskan di sekolah inklusif.
Dari program pendidikan inklusi maka muncul salah satu metode untuk
mendukung anak berkebutuhan khusus dalam belajar di sekolah umum,
yaitu shadow teacher. Shadow teacheradalah guru pendamping yang
bekerja secara langsung dengan anak berkebutuhan khusus selama masa
prasekolah dan sekolah dasar. Peran shadow teacher yaitu memahami
berbagai kesulitan belajar serta cara menangani anak berkebutuhan
khusus dengan baik dan memungkinkan anak untuk menerima perhatian
khusus yang anak butuhkan. Shadow teacher dilatih untuk membantu
anak berinteraksi dengan orang lain dan membantu mereka agar dapat
memahami pelajaran.
Komunikasi dan kerjasama antara shadow teacher, guru kelas, dan orang
tua sangat penting agar tercipta hubungan yang bermakna guna memenuhi
kebutuhan anak. Shadow teacherbekerjasama dengan guru wali kelas dan
guru konselor dalam pelayanan siswa serta membantu memberikan para
siswa dengan menanamkan tanggung jawab, mendorong kemandirian dan
mendorong siswa dalam belajar. Di Amerika, para shadow
teacher dipekerjakan oleh orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus untuk dapat bekerja mendampingi anak mereka di dalam kelas
selama pelajaran berlangsung.

b. Pembelajaran ABK di sekolah inklusi yang awalnya diterima sebagai


tantangan oleh guru kelas, kini bergeser kepada ketergantungan pada
guru khusus atau guru pendamping. Kondisi ini menjadikan kreativitas
guru tidak berkembang
Jawab:
Guru merupakan salah satu tokoh terpenting dalam praktek inklusi di
sekolah, karena guru berinteraksi secara langsung dengan para siswa, baik
siswa yang berkebutuhan khusus, maupun siswa non berkebutuhan
khusus. Namun pada kenyataanya adalah pelaksankan pendidikan inklusi
dan sering kali para guru memaksakan kehendaknya tanpa pernah
memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya.
Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah
dan potensi para siswa. Guru seharusnya memperhatikan kebutuhan anak
bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman
dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan
memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan
sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Seorang guru diharapkan dapat memberikan kehidupan kelas agar
menjadi lebih kondusif pada waktu yang bersamaan dapat memberikan
pemahaman kepada siswa yang lain untuk dapat saling berinteraksi.
Praktek inklusi merupakan sikap guru melalui tiga komponen sikap, yaitu
kognisi, afeksi, dan perilaku yang menunjukkan lima bentuk sikap guru
terhadap inklusi yaitu sikap terhadap anak berkebutuhan khusus di dalam
kelas, sikap guru dipengaruhi oleh pengalaman yang dimiliki dalam
mengajar di kelas inklusi, dan guru memperhatikan kebutuhan masing-
masing siswa di dalam kelas.
c. Kebijakan menjadikan sebagai sekolah berpredikat inklusi dan
banyaknya pelatihan yang diterima justru menjadikan semakin tidak
jelas, bahkan bias. Penataran/pelatihan yang diterima belum banyak
berdampak di kelas dan belum memberi solusi terhadap permasalahan
pendidikan yang dihadapi
Jawab:
Penyebab kurangnya pemahaman guru bukan terletak pada kurangnya
pelatihan mengenai pendidikan inklusif, melainkan pada kurangnya
kolaborasi antara guru kelas dan GPK dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusif. Sehingga guru kelas tidak memiliki pengetahuan
mengenai penerapan pendidikan inklusif itu sendiri. Temuan ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunanto dalam Dieni
Laylatul Zakia (2015:112) di antaranya menyatakan bahwa: (1) pada
awalnya pembelajaran diterima oleh guru kelas, kini bergeser pada
ketergantungan pada guru khusus atau guru pendamping. Hal ini
menyebabkan kurangnya peran guru dalam pembelajaran bagi ABK. (2)
motivasi, kerjasama dalam mengatasi masalah tidak tampak dan tidak
dilakukan melalui kolaborasi sebab seluruh aktivitas belajar ABK dari
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada
guru pendamping. Seyogyanya, guru di sekolah inklusif saling
berkolaborasi dalam pelaksanaan program pembelajaran. Sesuai dengan
pendapat Sukinah, (2010:45) bahwa guru bekerja dalam tim, guru dituntut
melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya lain dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Sehingga dengan adanya
kolaborasi antara guru dengan tim interdisipliner, pembelajaran yang
diberikan tidak terkotak-kotak antara anak normal dan anak berkebutuhan
khusus melainkan menerapkan pembelajaran terpadu berdasarkan hasil
kolaborasi tim interdisipliner. (3) guru pendamping yang berkualifikasi
PLB belum memiliki keberanian untuk meluruskan sesuai konsepnya.
d. Motivasi, kerjasama dalam mengatasi masalah tidak tampak, sebab
seluruh aktivitas belajar ABK mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada guru pendamping
Jawab:
Motivasi, kerjasama dalam mengatasi masalah tidak tampak dan tidak
dilakukan melalui kolaborasi sebab seluruh aktivitas belajar ABK dari
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada
guru pendamping. Seyogyanya, guru di sekolah inklusif saling
berkolaborasi dalam pelaksanaan program pembelajaran. Sesuai dengan
pendapat Sukinah, (2010:45) bahwa guru bekerja dalam tim, guru dituntut
melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya lain dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Sehingga dengan adanya
kolaborasi antara guru dengan tim interdisipliner, pembelajaran yang
diberikan tidak terkotak-kotak antara anak normal dan anak berkebutuhan
khusus melainkan menerapkan pembelajaran terpadu berdasarkan hasil
kolaborasi tim interdisipliner.
e. Inklusi dimaknai sekedar memasukkan ABK ke kelas regular, belajar
dengan materi, guru dan cara masing-masing. ABK belum ditempatkan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas dan aktivitas di
dalam kelas. Masih sebagai “tamu”, diterima secara pasif
Jawab:
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini
memang masih mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek
sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap
positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan
interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif,
memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan
perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan
sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka
dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak
terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain
kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan
nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah
segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan
untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan. Manfaat sekolah
inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi
masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi
mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari
sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai ancaman bagi
masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh sekolah,
bukan dibantu.
Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa
layanan pendidikan khusus yang diberikan di kelas segregasi
menunjukkan hasil yang lebih positif, biaya penyelenggaraan sekolah
segregasi relatif lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula, banyak
anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak
tersedia sekolah khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan
inklusi sebagai jawaban kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan
berkebutuhan khusus. Banyak yang belum tahu dan belum mengerti
seperti apakah sekolah inklusi itu. Bahkan istilah ”inklusi” itu sendiri
terdengar begitu asing bagi para masyarakat awam. Atau mungkin hanya
para orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah inklusi yang
mengetahui sistem pendidikan baru ini. Walaupun demikian masyarakat
yang tahu akan hal ini pun belum tentu mengerti dan mengetahui persepsi
awal yang sebenarnya.
Istilah sekolah inklusi kini telah memperolah popularitas, khususnya
dalam literatur Inggris dan Amerika . Perubahan terminologi ini dapat
dipandang sebagai kritik terhadap kecenderungan dalam kebijakan
integrasi pendidikan. Kritik tersebut terfokus pada apa yang dianggap
oleh sebagian orang sebagai setengah hati, ketika sekolah reguler lokal
dibuka hanya untuk sebagian kelompok siswa yang berkebutuhan khusus
saja atau ketika kelas khusus atau “sekolah khusus” dirancang sebagai
unit khusus dalam sekolah reguler. Istilah UNESCO untuk sekolah inklusi
ini yaitu Lingkungan yang Inklusi dan Ramah terhadap Pembelajaran
(LIRP) sedangkan istilah dari UNICEF yaitu Sekolah Ramah Anak
(SRA).

f. Kebijakan sekolah menetapkan bahwa urusan children with disabilities


adalah urusan guru pendamping, sepenuhnya menjadi wewenang guru
pendamping. Pembuatan rencana pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, dan evaluasinya tidak dilakukan melalui kolaborasi dan
kerjasama
Jawab:
Kebijakan sekolah menetapkan bahwa urusanchildren with
disabilities adalah urusan guru pendamping, sepenuhnya menjadi
wewenang guru pendamping. Pembuatan rencana pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasinya tidak dilakukan melalui
kolaborasi dan kerja sama. Selanjutnya, rencana pembelajaran
untuk disabled children dibuat oleh guru khusus erdasar hasil asesmen
dan dituangkan dalam format program pengajaran individual, kemudian
disatukan dengan rencana pembelajaran guru kelas. Guru pendamping
yang notabene memiliki latar belakang pendidikan PLB, ternyata belum
memiliki keberanian untuk meluruskan sesuai konsepnya. Sekalipun
sekolah melayani keberagaman siswa, termasuk anak berkebutuhan
khusus, namun sebenarnya sekolah tersebut telah tumbuh menjadi sekolah
eksklusif, karena memiliki syarat khusus sehingga hakikatnya telah bias
dan tumbuh menjadi sekolah inklusif yang keluar dari prinsip-prinsip
inklusif.
3. Uraikan secara lengkap dan jelas isi dari landasan empiris yang dipakai
dalam pelaksanaan pendidikan inklusi berikut ini:
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights)
Jawab:
Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of
Human Righ dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi
tersebut dilatarbelakangi oleh usainya perang dunia II dan banyaknya
negara-negara di Asia dan Afrika merdeka dan bergabung dalam United
Nation of Organization ( UNO )atau Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ),
yang tujuan awalnya adalah untuk mencegah terjadinya perang dunia
kembali. Deklarasi HAM PBB terdiri dari 30 pasal, antara lain sebagai
berikut:
Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan
yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada
pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan
politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau
daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang
merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau
yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Pasal 3
Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan
sebagai individu
Pasal 4
Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan;
perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti
dilarang.
Pasal 5
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,
diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.
Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai
manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas
perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan
yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.
Pasal 8
Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan
nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar
hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang
dasar atau hukum.
Pasal 9
Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan
sewenang-wenang.
Pasal 10
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan
yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak
memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya
serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.
Pasal 11
1. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan
suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu
pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua
jaminan yang perlukan untuk pembelaannya.
2. Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak
pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak
merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang
nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut
dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman
yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya
dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.
Pasal 12
Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya,
rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan
sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan
pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang
berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau
pelanggaran seperti ini.
Pasal 13
1. Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam
di dalam batas-batas setiap negara.
2. Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk
negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.
Pasal 14
1. Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di
negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran.
2. Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-
benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak
berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 15
1. Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
2. Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut
kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti
kewarganegaraannya.
Pasal 16
1. Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak
dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak
untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di
dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
2. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan
bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
3. Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental
dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari
masyarakat dan Negara.
Pasal 17
1. Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain.
2. Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan
semena-mena.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan
agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau
kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya,
beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan
menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan
dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang
batas-batas.
Pasal 20
1. Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul
dan berserikat tanpa kekerasan.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu
perkumpulan.

Pasal 21
1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan
negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang
dipilih dengan bebas
2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk
diangkat dalam jabatan pemerintahan negaranya.
3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan
pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam
pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan
murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat,
dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan
prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan
suara.
Pasal 22
Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan
sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan
bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun
kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta
sumber daya setiap negara.
Pasal 23
1. Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas
memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan
yang adil dan menguntungkan serta berhak atas
perlindungan dari pengangguran.
2. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan
yang sama untuk pekerjaan yang sama.
3. Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang
adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan
kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri
maupun
4. Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-
serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk
pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan
berkala, dengan tetap menerima upah.
Pasal 25
1. Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai
untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan
sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat
menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda,
mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang
mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di
luar kekuasaannya.
2. Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan
bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan
di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat
perlindungan sosial yang sama.
Pasal 26
1. Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan
harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk
tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar.
Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik
dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua
orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan
cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan
kepantasan.
2. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi
yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan
terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
dasar. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian,
toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa,
kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan
kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara
perdamaian.
3. Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis
pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak
mereka.
Pasal 27
1. Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan
kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati
kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan
manfaat ilmu pengetahuan.
2. Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas
keuntungan-keuntungan moril maupun material yang
diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau
kesenian yang diciptakannya.
Pasal 28
Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di
mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam
Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Pasal 29
1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat
tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan
kepribadiannya dengan bebas dan penuh.
2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-
kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-
undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-
hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan,
ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis.
3. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan
bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan
bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 30
Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan
memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak
untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan
perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-
kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.
b. Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)
Jawab:
Konvensi tentang Hak-hak Anak
Pasal 1
Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap
manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut
undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih
awal.
Pasal 2
1. Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak
yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada
di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun,
tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau
asalusul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang
lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk
diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat
yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum
anak atau anggota keluarga anak.
Pasal 3
1. Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta,
pengadilan hukum , penguasa administratif atau badan legislatif,
kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan
pertimbangan utama.
2. Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan
perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk
kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain
yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil
semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.
3. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga,
pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan
dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan
standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa yang
berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam
jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang
berwenang.
Pasal 4
Negara-negara Pihak akan melakukan semua tindakan legislatif,
administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-
hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan
tindakan-tindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum
mungkin dari sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila
dibutuhkan dalam kerangka kerjasama internasional.
Pasal 5
Negara-negara Pihak harus menghormati tanggung jawab, hak-hak
dan kewajibankewajiban orang tua, atau apabila dapat
diberlakukan, para anggota keluarga yang diperluas atau
masyarakat seperti yang diurus oleh kebiasaan lokal, wali hukum,
atau orang-orang lain yang secara sah bertanggung jawab atas anak
itu, untuk memberikan dalam suatu cara yang sesuai dengan
kemampuan anak yang berkembang, pengarahan dan bimbingan
yang tepat dalam pelaksanaan oleh anak mengenai hak-hak yang
diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 6
1. Negara-negara Pihak mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai
hak yang melekat atas kehidupan.
2. Negara-negara Pihak harus menjamin sampai pada jangkauan
semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak.
Pasal 7
1. Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus
mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh
kewarganegaraan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan
dirawat oleh orang tuanya.
2. Negara-negara Pihak harus menjamin pelaksanaan hak-hak ini
sesuai dengan hukum nasional mereka dan kewajiban mereka
menurut instrumen-instrumen internasional yang relevan dalam
bidang ini, terutama apabila anak sebaliknya akan tidak
berkewarganegaraan.
Pasal 8
1. Negara-negara Pihak harus berusaha menghormati hak anak untuk
mempertahankan identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama
dan hubungan keluarga seperti yang diakui oleh hukum tanpa
campur tangan yang tidak sah.
2. Apabila seorang anak secara tidak sah dicabut beberapa atau semua
unsur identitasnya, maka Negara-negara Pihak harus memberikan
bantuan dan perlindungan yang tepat dengan tujuan secara cepat
membentuk kembali identitasnya.
Pasal 9
1. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa seorang anak tidak
dapat dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan dengan
kemauan mereka, kecuali ketika penguasa yang berwenang dengan
tunduk pada yudicial review menetapkan sesuai dengan prosedur
dan hukum yang berlaku bahwa pemisahan tersebut diperlukan
demi kepentingan-kepentingan terbaik anak. Penetapan tersebut
mungkin diperlukan dalam suatu kasus khusus, seperti kasus yang
melibatkan penyalahgunaan atau penelantaran anak oleh orang tua,
atau kasus apabila orang tua sedang bertempat tinggal secara
terpisah dan suatu keputusan harus dibuat mengenai tempat
kediaman anak.
2. Dalam persidangan-persidangan apapun sesuai dengan ketentuan
ayat 1 pasal ini, maka semua pihak yang berkepentingan harus
diberi kesempatan untuk ikut serta dalam persidangan-persidangan
dan membuat pendapat merreka diketahui.
3. Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak yang dipisahkan
dari salah satu atau kedua orang tuanya untuk tetap mengadakan
hubungan pribadi dan hubungan langsung dengan orang tua atas
dasar yang tetap, kecuali bertentangan dengan kepentingan terbaik
anak.
4. Apabila pemisahan tersebut diakibatkan tindakan apapun yang
diprakarsai suatu Negara Pihak seperti penahanan, pemenjaraan,
pengasingan, deportasi atau kematian (termasuk kematian akibat
sebab apapun selama orang itu ada dalam tahanan negara) salah
satu atau kedua orang tua si anak, maka Negara Pihak yang
bersangkutan atas permintaan harus memberikan kepada orang
anak atau kalau cocok anggota keluarga yang lain dengan informasi
pokok mengenai tempat berada anggota atau paran anggota
keluarga yang tidak ada kecuali pemberian informasi itu akan
merusak kesejahteraan anak itu. Negara-negara Pihak harus lebih
jauh menjamin bahwa penyampaian permintaan tersebut dengan
sendirinya harus tidak membawa konsekuensi yang merugikan bagi
orang (atau orang-orang) yang bersangkutan.
Pasal 10
1. Sesuai dengan kewajiban Negara-negara Pihak menurut pasal 9
ayat 1, pengajuan permohonan oleh seorang anak atau orang
tuanya, untuk memasuki atau meninggalkan suatu Negara Pihak
untuk tujuan penyatuan kembali keluarga akan ditangani oleh
Negara-negara Pihak dalam suatu cara yang positif, manusiawi dan
lancar. Negara-negara Pihak harus lebih jauh menjamin bahwa
penyampaian permintaan tersebut harus tidak membawa
konsekuensi yang merugikan para pengaju permohonan dan
anggota keluarga mereka.
2. Seorang anak dimana orang tuanya berdiam di Negara lain berhak
mengadakan, atas dasar yang tetap kecuali dalam keadaan-keadaan
yang luar biasa, hubungan pribadi dan hubungan langsung dengan
kedua orang tuanya. Ke arah tujuan tersebut dan sesuai dengan
kewajiban Negara-negara Pihak menurut ketentuan pasal 9 ayat 2
maka Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak dan orang
tuanya untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negara
mereka sendiri, dan untuk memasuki negara mereka sendiri. Hak
untuk meninggalkan negara manapun harus tunduk hanya pada
pembatasan-pembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-
undang dan yang perlu untuk melindungi keamanan nasional,
ketertiban umum, kesehatan, atau kesusilaan umum atau hak-hak
dan kebebasan-kebebasan orang lain dan sesuai dengan hak-hak
lainnya yang diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 11
1. Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan untuk
memerangi perdagangan gelap anak-anak dan tidak
dipulangkannya kembali anak-anak yang ada di luar negeri.
2. Untuk tujuan ini, maka Negara-negara Pihak, harus meningkatkan
pembuatan persetujuan-persetujuan bilateral atau multilateral atau
aksesi pada persetujuanpersetujuan yang ada.
Pasal 12
1. Negara-negara Pihak harus menjamin bagi anak yang mampu
membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan
pendapat-pendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah
yang mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi
bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si
anak.
2. Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan
untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan
pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik
secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang
tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan
prosedur hukum nasional.
Pasal 13
1. Anak harus memilikihak atas kebebasan mengeluarkan pendapat,
hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan
informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan
perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak,
dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak.
2. Pelaksanaan hak ini dapat tunduk pada pembatasan-pembatasan
tertentu, tetapi hanya akan seperti yang ditentukan oleh undang-
undang dan diperlukan:
(a) Untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang-orang lain;
atau
(b) Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum,
atau kesehatan, atau kesusilaan umum.
Pasal 14
1. Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan
berpikir, hati nurani dan beragama.
2. Negara-negara Pihak harus menghormati hak-hak dan kewajiban-
kewajiban orang tua, dan apabila berlaku, wali hukum, untuk
memberikan pengarahan pada anak dalam melaksanakan haknya
dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak yang sedang
berkembang.
3. Kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan
seseorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan
seperti yang ditentukan oleh undangundang dan yang diperlukan
untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum,
kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan-kebebasan
dasar orang lain.
Pasal 15
1. Negara-negara Pihak mengakui hak-hak anak atas kebebasan
berhimpun dan kebebasan berkumpul dengan damai.
2. Tidak satu pun pembatasan dapat ditempatkan pada pelaksanaan
hak-hak ini, selain yang dibebankan sesuai dengan undang-
undang, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi,
demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum,
ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau kesusilaan umum
atau perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Pasal 16
1. Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran dari campur
tangan yang sewenangwenang atau tidak sah terhadap
kerahasiaan pribadinya, keluarganya, rumahnya, atau hubungan
surat-menyuratnya, ataupun dari serangan yang tidak sah terhadap
kehormatan dan nama baiknya.
2. Anak berhak atas perlindungan undang-undang terhadap campur
tangan dan serangan tersebut.
Pasal 17
Negara-negara Pihak mengakui fungsi penting yang dilakukan
media massa dan harus menjamin bahwa anak mempunyai akses
ke informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber
nasional dan internasional; terutama yang ditujukan pada
peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya dan
kesehatan fisik dan mentalnya. Untuk tujuan ini, maka Negara-
negara Pihak harus :
a) Mendorong media massa untuk menyebarluaskan informasi
dan bahan yang mempunyai manfaat sosial dan budaya
pada anak dan sesuai dengan makna pasal 29;
b) Mendorong kerjasama internasional dalam produksi,
pertukaran dan penyebarluasan informasi dan bahan
tersebut dari suatu diversitas budaya, sumber-sumber
nasional dan internasional;
c) Mendorong produksi dan penyebarluasan buku anak-anak;
d) Mendorong media massa agar mempunyai perhatian khusus
pada kebutuhankebutuhan linguistik anak, yang menjadi
anggota kelompok minoritas dan merupakan penduduk asli;
e) Mendorong perkembangan pedoman-pedoman yang tepat
untuk perlindungan anak dari informasi dan bahan yang
merusak kesejahteraannya dengan mengingat ketentuan-
ketentuan pasal 13 dan pasal 18.
Pasal 18
1. Negara-negara Pihak harus menggunakan usaha-usaha
terbaiknya untuk menjamin pengakuan prinsip bahwa
kedua orang tua mempunyai tanggung jawwab bersama
untuk mendewasakan dan perkembangan anak. Orang tua
atau, bagaimanapun nanti, wali hukum, mempunyai
tanggung jawab utama untuk pendewasaan dan
perkembangan anak. Kepentingan-kepentingan terbaik si
anak akan menjadi perhatian dasar mereka.
2. Untuk tujuan menjamin dan meningkatkan hak-hak yang
dinyatakan dalam Konvensi ini, maka Negara-negara
Pihak harus memberikan bantuan yang tepat kepada orang
tua dan wali hukum, dalam melaksanakan tanggung jawab
membesarkan anak mereka, dan harus menjamin
perkembangan berbagai lembaga, fasilitas dan pelayanan
bagi pengasuhan anak-anak.
3. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah
yang tepat untuk menjamin bahwa anak-anak dari orang
tua yang bekerja berhak atas keuntungan dari
pelayananpelayanan dan fasilitas-fasilitas pengasuhan
anak, yang untuknya mereka memenuhi syarat.
Pasal 19
1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan
legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat
untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik
atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran
atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi,
termasuk penyalahgunaan seks selam dalam pengasuhan
(para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang
memiliki tanggung jawab mengasuh anak.
2. Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai
layaknya, seharusnya mencakup prosedur-prosedur yang
efektif untuk penyusunan program-program sosial untuk
memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang
mempunyai tanggung jawab perawatan anak, dan juga
untuk bentuk-bentuk pencegahan lain, dan untuk
identifikasi, melaporkan, penyerahan, pemeriksaan,
perlakuan dan tindak lanjut kejadian-kejadian perlakuan
buruk terhadap anak yagn digambarkan sebelum ini, dan,
sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan pengadilan.
Pasal 20
1. Seorang anak yang secara sementara atau tetap dicabut dari
lingkungan keluarganya, atau yang demi kepentingannya
sendiri yang terbaik tidak diperkenankan tetap berada dalam
lingkungan tersebut, berhak atas perlindungan khusus dan
bantuan yang disediakan oleh Negara.
2. Negara-negara Pihak sesuai dengan undang-undang
nasional mereka harus menjamin pengasuhan alternatif bagi
seorang anak semacam itu.
3. Perawatan tersebut dapat mencakup, antara lain,
penempatan orang tua anak, kafalah dalam hukum Islam,
adopsi, atau kalau perlu penempatan dalam lembaga yang
tepat untuk pengasuhan anak. Ketika mempertimbangkan
penyelesaianpenyelesaiannya, maka harus diberikan
perhatian yang semestinya pada keinginan yang
berkesinambungan dalam pendidikan seorang anak dan para
etnis, agama, latar belakang budaya dan linguistik anak.
Pasal 21
Negara-negara Pihak yang mengakui dan/atau
memperkenankan sistem adopsi harus menjamin bahwa
kepentingan-kepentingan terbaik si anak akan merrupakan
pertimbangan terpenting dan mereka harus :
a) Menjamin bahwa adopsi seorang anak disahkan
hanya oleh para penguasa berwenang yang
menetapkan, sesuai dengan undang-undang dan
prosedur-prosedur yang berlaku dan berdasarkan
semua informasi yang berhubungan dan dapat
dipercaya, bahwa adopsi diiperrkenankan menurut
status anak mengenai orang tua, saudarasaudara dan
wali hukum dan bahwa kalau dipersyaratkan, orang-
orang yang bersangkutan telah memberikan
persetujuan adopsi berdasarkan konseling
sebagaimana yang mungkin diperlukan ;
b) Mengakui bahwa adopsi antar negara dapat
dianggap sebagai cara alternatif pengasuhan anak,
kalau anak tidak dapat ditempatkan dalam asuhan
orang tua angkat atau keluarga adoptif atau dalam
setiap cara yang cocok tidak dapat diasuh di Negara
asal si anak ;
c) Menjamin bahwa anak yang bersangkutan dengan
adopsi antar-negara memperoleh perlindungan dan
standar yang sepadan dengan dengan perlindungan
dan standar yang ada dalam kasus adopsi nasional ;
d) Mengambil semua langkah yang tepat untuk
menjamin bahwa, dalam adopsi antarnegara,
penempatannya tidak berakibat dalam penghasilan
keuangan yang tidak cocok bagi yang terlibat di
dalamnya ;
e) Meningkatkan, apabila tepat, tujuan-tujuan pasal ini
dengan membuat pengaturanpengaturan atau
persetujuan-persetujuan bilateral atau multilateral
dan berusaha, di dalam kerangka kerrja ini,
menjamin bahwa penempatan si anak di negara
lainnya dilaksanakan oleh parra penguasa atau
organ-organ yang berwenang.
Pasal 22
1. Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk menjamin bahwa seorang
anak yang sedang mencari status pengungsi atau yang
dianggap sebagai pengungsi, sesuai dengan hukum dan
prosedur internasional atau domestik yang berlaku,
apakah tidak diikuti atau diikuti oleh orang tuanya atau
oleh orang lain mana pun, harus menerima
perrlindungan yang tepat dan bantuan kemanusiaan
dalam perolehan hak-hak yang berlaku yang dinyatakan
dalam Konvensi ini dan dalam instrumen-instrumen
hak-hak asasi manusia atau kemanusiaan internasional
yang lain, di mana Negara-negara tersebut merupakan
pesertanya.
2. Untuk tujuan ini, maka Negara-negara Pihak harus
menyediakan, seperti yang mereka anggap tepat, kerja
sama dalam usaha apa pun oleh Perserikatan Bangsa
Bangsa dan organisasi-organisasi antar pemerintah lain
yang berwenang, atau organisasi-organisasi non-
pemerintah, yang bekerja sama dengan Perserikatan
BangsaBangsa untuk melindungi dan membantu
seorang anak semacam itu dan melacak setiap orang tua
atau anggota-anggota keluarga yang lain dari pengungsi
anak, agar dapat memperoleh informasi yang
diperlukan untuk melaksanakan repatriasi dengan
keluarganya. Dalam kasus apabila orang tua atau para
anggota keluarga lainnya sama sekali tidak dapat
ditemukan, maka anak itu harus diberi perlindungan
yang sama seperti anak yang lainnya, yang secara tetap
atau sementara dicabut dari lingkungan keluarganya,
karena alasan apa pun, seperti yang dinyatakan dalam
Konvensi ini.
Pasal 23
1. Negara-negara Pihak mengakui bahwa seorang anak yang
cacat mental atau cacat fisik harus menikmati kehidupan
yang utuh dan layak, dalam keadaan-keadaan yang
menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan
memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak dalam
masyarakat.
2. Negara-negara Pihak mengakui hak anak cacat atas
perawatan khusus dan harus mendorong dan menjamin,
dengan tunduk pada sumber-sumber yang tersedia,
pemberian kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka
yang bertanggung jawab atas perawatannya, bantuan yang
untuknya permintaan diajukan dan yang sesuai dengan
keadaan si anak dan keadaan-keadaan orang tua atau orang-
orang lain yang merawat anak itu.
3. Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus seorang
anak cacat, maka bantuan yang diberikan, sesuai dengan
ketentuan ayat 2 pasal yang sekarang ini, harus diadakan
dengan cuma-cuma, setiap waktu mungkin, dengan
memperhatikan sumbersumber keuangan orang tua atau
orang lain yang merawat si anak, dan harus dirancang untuk
menjamin bahwa anak cacat tersebut mempunyai akses
yang efektif ke dan menerima pendidikan, pelatihan,
pelayanan perawatan kesehatan, pelayanan rehabilitasi,
persiapan bekerja dan kesempatan rekreasi dalam suatu
cara yang menghasilkan pencapaian integrasi sosial yang
paling sepenuh mungkin, dan pengembangan perseorangan
si anak termasuk pengembangan budaya dan jiwanya.
4. Negara-negara Pihak harus meningkatkan, dalam semangat
kerja sama internasional, pertukaran informasi yang tepat,
di bidang perawatan kesehatan yang preventif dan
perlakuan medis, psikologis dan fungsional dari anak cacat,
termasuk penyebarluasan dan akses ke informasi mengenai
metode-metode rehabilitasi, pendidikan dan pelayanan
kejuruan, dengan tujuan memungkinkan Negara Pihak
untuk memperbaiki kemampuan dan keahlian mereka dan
untuk memperluas pengalaman mereka di bidang-bidang
ini. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan
mengenai kebutuhankebutuhan negara-negara sedang
berkembang.
Pasal 24
1. Negara-negara Pihak mengakui hak anak atas penikmatan
standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh dan
atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan
rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Pihak harus berusaha
menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas
haknya atas aksers ke pelayanan perawatan kesehatan
tersebut.
2. Negara-negara Pihak harus mengejar pelaksanaan hak ini
sepenuhnya dan terutama, harus mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk:
a) Mengurangi kematian bayi dan anak;
b) Menjamin penyediaan bantuan kesehatan yang
diperlukan dan perawatan kesehatan untuk semua
anak dengan penekanan pada perawatan kesehatan
primer;
c) Memerangi penyakit dan kekurangan gizi yang
termasuk dalam kerangka kerja perawatan
kesehatan primer melalui, antara lain, penerapan
teknologi yang dengan mudah tersedia dan melalui
penyediaan pangan bergizi yang memadai dan air
minum bersih, dengan mempertimbangkan bahaya-
bahaya dan resiko-resiko pencemaran lingkungan;
d) Menjamin perawatan kesehatan sebelum dan
sesudah kelahiran yang tepat untuk para ibu;
e) Menjamin bahwa semua bagian masyarakat,
terutama orang tua dan anak, diinformasikan,
mempunyai akses ke pendidikan dan ditunjang
dalam penggunaan pengetahuan dasar mengenai
kesehatan dan gizi anak, manfaat-manfaat ASI,
kesehatan dan sanitasi lingkungan dan pencegahan
kecelakaan;
f) Mengembangkan perawatan kesehatan yang
preventif, bimbingan bagi orang tua dan
pendidikan dan pelayanan keluarga berencana.
3. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang
efektif dan tepat dengan tujuan menghilangkan praktek-
praktek tradisional yang merusak kesehatan anak.
4. Negara-negara Pihak berusaha meningkatkan dan
mendorong kerja sama internasional dengan tujuan
mencapai realisasi hak yang diakui dalam pasal ini
sepenuhnya dan secara progresif. Dalam hal ini, maka harus
diberikan perhatian khusus pada kebutuhan-kebutuhan
negara-negara sedang berkembang.
Pasal 25
Negara-negara Pihak mengakui hak seorang anak yang
telah ditempatkan oleh para penguasa yang berwenang
untuk tujuan perawatan, perlindungan atau pengobatan
kesehatan fisiknya atau kesehatan mentalnya atau
peninjauan kembali secara berkala terhadap perawatan yang
diberikan kepada anak itu dan semua keadaan lain yang
relevan untuk penempatannya.
Pasal 26
1. Negara-negara Pihak harus mengakui untuk setiap anak hak
atas kemanfaatan dari jaminan sosial termasuk asuransi
sosial dan harus mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai realisasi hak ini sepenuhnya
sesuai dengan hukum nasional mereka.
2. Kemanfaatan-kemanfaatan, apabila tepat, akan diberikan,
dengan memperhatikan sumber-sumber dan keadaan-
keadaan anak itu dan orang-orang yang bertanggung jawab
memelihara dan mengasuh anak tersebut, dan juga setiap
pertimbangan lain yang relevan untuk mengajukan
permohonan berbagai kemanfaatan-kemanfaatan yang
dibuat oleh anak itu atau atas nama anak itu.
Pasal 27
1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak atas suatu
standar kehidupan yang memadai bagi perkembanga fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial anak.
2. Orang tua atau orang-orang lain yang bertanggung jawab
atas anak itu mempunyai tanggung jawab primer untuk
menjamin di dalam kesanggupan dan kemampuan keuangan
mereka, penghidupan yang diperlukan bagi perkembangan
si anak.
3. Negara-negara Pihak, sesuai dengan keadaan-keadaan
nasional dan di dalam sarana-sarana mereka, harus
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu
orang tua dan orang-orang lain yang bertanggung jawab
atas anak itu untuk melaksanakan hak ini, dan akan
memberikan bantuan material dan mendukung program-
program, terutama mengenai gizi, pakaian dan perumahan.
4. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang
tepat untuk menjamin penggantian pengasuhan anak itu,
dari orang tua atau orang-orang lain yang mempunyai
tanggung jawab keuangan atas anak itu, bukan saja di dalam
Negara Pihak tetapi juga di luar negeri. Terutama, apabila
orang yang mempunyai tanggung jawab keuangan atas anak
itu tinggal di suatu Negara yang berbeda dengan Negara si
anak, maka Negara-negara Pihak harus meningkatkan
aksesi ke persetujuan-persetujuan internasional atau
konklusi persetujuan-persetujuan semacam itu, dan juga
pembuatan pengaturan-pengaturan lain yang tepat.
Pasal 28
1. Negara-negara Pihak mengakui hak anak atas pendidikan,
dan dengan tujuan mencapai hak ini secara progresif dan
berdasarkan kesempatan yang sama, mereka harus,
terutama:
a) Membuat pendidikan dasar diwajibkan dan terbbuka
bagi semua anak;
b) Mendorong perkembangan bentuk-bentuk
pendidikan menengah yang berbeda-beda, termasuk
pendidikan umum dan pendidikan kejuruan,
membuat pendidikan-pendidikan tersebut tersedia
dan dapat dimasuki oleh setiap anak, dan mengambil
langkah-langkah yang tepat seperti memperkenalkan
pendidikan Cuma-Cuma dan menawarkan bantuan
keuangan jika dibutuhkan;
c) Membuat pendidikan yang lebih tinggi dapat
dimasuki oleh semua anak berdasarkan kemampuan
dengan setiap sarana yang tepat;
d) Membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan
bimbingan tersedia dan dapat dimasuki oleh semua
anak;
e) Mengambil langkah untuk mendorong kehadiran
yang tetap di sekolah dan penurunan angka putus
sekolah.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang
tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan
dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak
dan sesuai dengan Konvensi ini.
3. Negara-negara Pihak harus meningkatkan dan mendorong
kerja sama internasional dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan pendidikan, terutama dengan
tujuanmengarah pada penghapusan kebodohan dan buta
aksara di seluruh penjuru dunia dan memberikan fasilitas
akses ke ilmu pengetahuan dan pengetahuan teknik dan
metode-metode mengajar modern. Dalam hal ini, perhatian
khusus harus diberikan pada kebutuhan-kebutuhan negara-
negara sedang berkembang.
Pasal 29
1. Negara-negara Pihak bersepakat bahwa pendidikan
anak harus diarahkan ke:
a) Pengembangan kepribadian anak, bakat-bakat
dan kemampuan mental dan fisik pada potensi
terpenuh mereka;
b) Pengembangan penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia dan kebebasankebebasan dasar
dan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
c) Pengembangan penghormatan terhadap orang
tua anak, jati diri budayanya sendiri, bahasa dan
nilai-nilainya sendiri terhadap nilai-nilai
nasional dari Negara di mana anak itu sedang
bertempat tinggal, negara anak itu mungkin
berasal dan terhadap peradabanperadaban yang
berbeda dengan miliknya sendiri;
d) Persiapan anak untuk kehidupan yang
bertanggung jawab dalam suatu masyarakat
yang bebas, dalam semangat saling pengertian,
perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis
kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa,
etnis, warga negara dan kelompok agama, dan
orang-orang asal pribumi;
e) Pengembangan untuk menghargai lingkungan
alam.
2. Tidak satu pun bagian dari pasal ini atau pasal 28 dapat
ditafsirkan sehingga mengganggu kebebasan orang-
orang dan badan-badan untuk membuat dan
mengarahkan lembaga-lembaga pendidikan, dengan
selalu tunduk pada pentaatan prinsip-prinsip yang
dinyatakan dalam ayat 1 pasal ini dan pada
persyaratanpersyaratan bahwa pendidikan yang
diberikan dalam lembaga-lembaga tersebut harus
memenuhi standar minimum seperti yang mungkin
ditentukan oleh Negara yang bersangkutan.
Pasal 30
Pada Negara-negara tersebut di mana terdapat
minoritas etnis, agama, atau linguistik atau orang-
orang asal pribumi, seorang anak yang termasuk
dalam minoritas tersebut atau orang-orang pribumi
tidak dapat diingkari haknya, dalam masyarakat
dengan anggota-anggota lain dari kelompoknya,
untuk menikmati kebudayaannya sendiri, untuk
menyatakan dan mengamalkan agamanya sendiri,
atau pun untuk menggunakan bahasanya sendiri.
Pasal 31
1. Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk
beristirahat dan bersenang-senang, untuk terlibat
dalam bermain, dan aktivitas-aktivitas rekreasi
sesuai dengan umur anak itu dan berpartisipasi
dengan bebas dalam kehidupan budaya dan seni.
2. Negara-negara Pihak harus menghormati dan
meningkatkan hak anak untuk berpartisipasi dengan
sepenuhnya dalam kehidupan budaya dan seni dan
harus mendorong pemberian kesempatan-
kesempatan yang tepat dan sama untuk aktivitas
budaya, seni, rekreasi dan bersenang-senang.
Pasal 32
1. Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk
dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan
setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau
mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan
kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental,
spiritual, moral dan sosialnya.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-
langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan
untuk menjamin pelaksanaan pasal ini. Untuk tujuan
ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
yang relevan dari instrumen-instrumen internasional
yang lain, maka Negara-negara Pihak harus terutama:
a) Menentukan umur minimum atau umur-umur
minimum untuk izin bekerja;
b) Menetapkan peraturan yang tepat mengenai jam-
jam kerja dan syarat-syarat perburuhan;
c) Menentukan hukuman-hukuman atau sanksi-
sanksi lain yang tepat untuk menjamin
pelaksanaan pasal ini yang efektif.
Pasal 33
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang
tepat, termasuk tindakan legislatif, administratif, sosial dan
pendidikan untuk melindungi anak-anak dari penggunaan
gelap obat-obatan narkotika dan bahan-bahan psikotropik
seperti yang didefinisikan dalam perjanjian-perjanjian
internasional yang relevan, dan untuk mencegah
penggunaan anak-anak dalam produksi dan perdagangan
gelap bahan- bahan tersebut.
Pasal 34
Negara-negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua
bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.
Untuk tujuan-tujuan ini, maka Negara-negara Pihak harus
terutama mengambil semua langkah nasional, bilateral dan
multilateral yang tepat, untuk mencegah:
a) Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang anak
untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual yang
melanggar hukum.
b) Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam
pelacuran, atau praktek-praktek seksual lainnya yang
melanggar hukum.
c) Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam
pertunjukan dan bahan-bahan pornografis.
Pasal 35
Paar Negara Pihak harus mengambil semua langkah
nasional, bilateral dan multilateral yang tepat, untuk
mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak-
anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun.
Pasal 36
Negara-negara Pihak harus melindungi anak dari semua
bentuk eksploitasi lainnya yang berbahaya untuk setiap
segi-segi kesejahteraan si anak.
Pasal 37
Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa:
a) Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran
penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak
manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik
hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa
kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan
untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
orang-orang di bawah umur delapan belas tahun;
b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya
secara melanggar hukum atau dengan sewenang-
wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan undang-undang,
dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain
terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat;
c) Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus
diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat
manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan
mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada
umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas
kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa
kecuali penempatannya itu dianggap demi
kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk
mempertahankan kontak dengan keluarga melalui
surat-menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam
keadaan-keadaan luar biasa.
d) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas
akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang
tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan
perampasan kebebasannya, di hadapan suatu
pengadilan atau penguasa lain yang berwenang,
mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai
tindakan apa pun semacam itu.
Pasal 38
1. Negara-negara Pihak berusaha menghormati dan
menjamin penghormatan terhadap peraturan-peraturan
hukum humaniter internasional yang dapat berlaku bagi
mereka dalam konflik bersenjata yang relevan bagi anak
itu.
2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah
yang tepat untuk menjamin bahwa orang-orang yang
belum mencapai umur lima belas tahun tidak mengambil
suatu bagian langsung dalam permusuhan.
3. Negara-negara Pihak harus mengekang diri agar tidak
menerima siapa pun yang belum mencapai umur lima
belas tahun ke dalam angkatan bersenjata mereka. Dalam
menerima di antara orang-orang tersebut, yang telah
mencapai umur lima belas tahun tetapi belum mencapai
umur delapan belas tahun maka Negara-negara Pihak
harus berusaha memberikan prioritas kepada mereka
yang tertua.
4. Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut
hukum humaniter internasional untuk melindungi
penduduk sipil dalam konflik bersenjata, maka Negara-
negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk menjamin perlindungan dan pengasuhan anak-
anak yang dipengaruhi oleh suatu konflik bersenjata.
Pasal 39
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang
tepat untuk meningkatkan penyembuahan fisik dan
psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang
menjadi korban bentuk penelantarana apa pun, eksploitasi
atau penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk perlakuan
kejam yang lain apa pun, tidak manusiawi atau hukuman
yang menghinakan, atau konflik bersenjata. Penyembuhan
dan integrasi kembali tersebut harus berlangsung dalam
suatu lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri
dan martabat si anak.
Pasal 40
1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang
dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah
melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam
suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa
penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat
kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang
lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan
untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan
pengambilan anak pada peran konstruktif dalam
masyarakat.
2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan dalam instrumeninstrumen internasional yang
relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus
menjamin bahwa:
a) Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh,
atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena
alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang
oleh hukum nasional atau internasional pada waktu
perbuatan-perbuatan itu dilakukan;
b) Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh
telah melanggar hukum pidana, paling sedikit
memiliki jaminan-jaminan berikut:
i. Dianggap tidak bersalah sampai terbukti
bersalah menurut hukum;
ii. Diberi informasi denga segera dan langsung
mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan,
kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali
hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum
atau bantuan lain yang tepat dalam
mempersiapkan dan menyampaikan
pembelaannya;
iii. Masalah itu diputuskan tanpa penundaan,
oleh suatu penguasa yang berwenang,
mandiri dan adil, atau badan pengadilan
dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut
hukum, dalam kehadiran bantuan hukum
atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali
dipertimbangkan tidak dalam kepentingan
terbaik si anak, terutama, dengan
memperhatikan umurnya atau situasinya,
orang tuanya atau wali hukumnya;
iv. Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian
atau mengaku salah; untuk memeriksa para
saksi yang berlawanan, dan untuk
memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan
para saksi atas namanya menurut syarat-
syarat keadilan;
v. Kalau dianggap telah melanggar hukum
pidana, maka putusan ini dan setiap upaya
yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau
kembali oleh penguasa lebih tinggi yang
berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan
pengadilan menurut hukum;
vi. Mendapat bantuan seorang penerjemah
dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak
dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa
yang digunakan;
vii. Kerahasiaannya dihormati dengan
sepenuhnya pada semua tingkat persidangan.
3. Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan
pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para
penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara
khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai,
dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama:
a) Pembentukan umur minimum; di mana di bawah
umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai
kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
b) Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-
langkah untuk menangani anakanak semacam itu
tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan
pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi
manusia dan perlindungan hukum dihormati
sepenuhnya;
4. Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan
pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan,
pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-
program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain
untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk
menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara
yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan
dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran
itu.
Pasal 41
Tidak satu pun ketentuan dalam Konvensi ini akan
mempengaruhi setiap ketentuan yang lebih menghasilkan
pada realisasi hak-hak anak dan yang mungkin dimuat
dalam:
a) Undang-undang suatu Negara Pihak; atau
b) Hukum internasional yang berlaku untuk Negara yang
bersangkutan.
Pasal 42
Negara-negara Pihak berusaha membuat prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi diketahui secara
meluas dengan cara yang tepat dan aktif, baik oleh remaja
maupun anak-anak.
Pasal 43
1. Untuk tujuan memeriksa kemajuan yang dibuat oleh
Negara-negara Pihak dalam mencapai realisasi kewajiban-
kewajiban yang dijalankan dalam Konvensi ini, maka
dibentuk Komite tentang hak-hak anak, yang akan
melaksanakan fungsi-fungsi yang ditentukan selanjutnya.
2. Komite akan terdiri dari sepuluh orang ahli, yang
bereputasi moral baik dan diakui cakap di bidang yang
dicakup oleh Konvensi ini. Para Anggota Komite akan
dipilih oleh Negara-negara Pihak, dari di antara warga
negara mereka, dan mengabdi dalam kecakapan pribadi
mereka, pertimbangan diberikan pada pembagian geografis
yang adil, dan juga pada sistem-sistem hukum pokok
3. Para anggota Komite akan dipilih dengan suara rahasia dari
daftar nama orang-orang yang dicalonkan oleh Negara-
negara Pihak. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu
orang dari di antara warga negaranya sendiri.
4. Pemilihan pertama Komite akan dilangsungkan tidak lebih
dari enam bulan sesudah tanggal mulai berlakunya
Konvensi ini dan selanjutnya setiap tahun kedua. Paling
sedikit empat bulan sebelum tanggal masing-masing
pemilihan, Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa
akan mengirimkan suatu surat kepada Negara-negara Pihak,
yang meminta mereka untuk menyampaikan calon-calon
mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jendral
kemudian mempersiapkan daftar nama dalam urutan
alfabetis dari semua orang yang jadi dicalonkan, dengan
menunjukkan Negara-negara Pihak yang telah
mencalonkan mereka, dan akan menyampaikannya kepada
Negara-negara Pihak Konvensi ini.
5. Pemilihan akan dilangsungkan pada pertemuan Negara-
negara Pihak, yang dipanggil untuk bersidang oleh
Sekretaris Jendral di Markas Besar Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Pada pertemuan-pertemuan tersebut, di mana dua
pertiga Negara Pihak merupakan suatu kuorum, orang-
orang yang dipilih untuk Komite adalah mereka yang
memperoleh untuk Komite adalah mereka yang
memperoleh jumlah suara terbanyak dan suara mayoritas
absolut dari para wakil Negara Pihak yang hadir.
6. Para Anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan
empat tahun. Mereka harus memenuhi syarat untuk dapat
dipilih kembali. Masa jabatan lima orang anggota yang
dipilih pada pemilihan pertama akan berakhir pada akhir
masa dua tahun, segera sesudah pemilihan pertama, nama
kelima orang anggota ini dapat dipilih dengan undian oleh
Ketua Sidang.
7. kalau seorang anggota Komite meninggal dunia atau
mengundurkan diri atau menyatakan bahwa karena alasan
lain apa pun dia tidak dapat lagi melaksanakan kewajiban-
kewajiban Komite, maka Negara Pihak yang mencalonkan
anggota itu harus menunjuk ahli yang lain dari di antara
warga negaranya untuk mengabdi selama masa jabatan
yang masih tersisa dengan tunduk pada persetujuan Komite.
8. Komite harus membuat peraturan-peraturan prosedurnya
sendiri
9. Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua
tahun.
10. Pertemuan-pertemuan Komite biasanya akan dilangsungkan
di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau di
tempat lain mana pun sesuai dengan yang ditetapkan oleh
Komite. Komite biasanya bersidang sekali setiap tahun.
Lamanya pertemuan-pertemuan Komite ditetapkan dan
ditinjau kembali, kalau perlu, oleh suatu pertemuan Negara-
negara Pihak pada Konvensi ini, dengan tunduk pada
persetujuan Majelis Umum.
11. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa harus
menyediakan staf dan berbagai fasilitas yang diperlukan
untuk pelaksanaan fungsi-fungsi Komite yang efektif
menurut Konvensi ini.
12. Dengan persetujuan Majelis Umum, maka para Anggota
Komite, yang ditetapkan menurut Konvensi ini akan
menerima honorarium dari sumber-sumber Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada jangka waktu dan persyaratan seperti
yang Majelis boleh memutuskan.
Pasal 44
1. Negara-negara Pihak berusaha menyampaikan kepada
Komite melalui Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-
Bangsa, laporan mengenai langkah-langkah yang telah
mereka ambil yang memberlakukan hak-hak yang diakui di
dalamnya dan mengenai kemajuan yang dibuat mengenai
perolehan hak-hak tersebut: (a) Dalam dua tahun mulai
berlakunya Konvensi bagi Negara Pihak yang
bersangkutan; (b) Selanjutnya setiap lima tahun.
2. Laporan-laporan yang dibuat menurut ketentuan pasal ini
harus menunjukkan faktorfaktor dan kesulitan-kesulitan,
kalau pun ada, yang mempengaruhi tingkat pemenuhan
kewajiban-kewajiban menurut Konvensi ini. Laporan-
laporan ini harus juga memuat informasi yang cukup untuk
memberikan kepada Komite suatu pengertian yang
komprehensif mengenai pelaksanaan Konvensi di Negara
yang bersangkutan.
3. Suatu Negara Pihak yang telah menyampaikan laporan
pertama yang komprehensif kepada Komite, dalam
laporannya yang berikutnya yang disampaikan sesuai
dengan ketentuan ayat 1(b) pasal ini, tidak perlu
mengulangi informasi dasar yang diberikan sebelumnya.
4. Komite dapat meminta dari Negara-negara Pihak, informasi
lebih lanjut yang relevan dengan pelaksanaan Konvensi
5. Komite harus menyampaikan kepada Majelis Umum,
melalui Dewan Ekonomi dan sosial setiap dua tahun,
laporan mengenai aktivitas-aktivitasnya.
6. Negara-negara Pihak harus membuat laporan secara meluas
tersedia untuk umum di Negara-negara mereka sendiri.
Pasal 45 Agar dapat memajukan pelaksanaan Konvensi
yang efektif dan mendorong kerja sama internasional di
bidang yang dicakup oleh Konvensi:
a) badan-badan khusus, Dana Anaka-anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Organorgan Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang lain, harus berhak diwakili pada waktu
mempertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan
dalam Konvensi ini, seperti yang berada di dalam
cakupan mandat mereka. Komite dapat meminta
badan-badan khusus, Dana Anak-anak Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan badan-badan berwenang yang
lain, seperti yang mungkin dianggap tepat, untuk
memberikan nasehat ahli mengenai pelaksanaan
Konvensi di bidang-bidang yang ada dalam cakupan
mandat mereka masing-masing. Komite dapat
meminta badan-badan khusus, Dana Anak-anak
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organ-organ
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lain, untuk
menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan
Konvensi di bidang-bidang yang ada dalam cakupan
aktivitas-aktivitas mereka;
b) komite akan menyampaikan, seperti yang mungkin
dianggap tepat, kepada badanbadan khusus, Dana
anak-anak Perserikatan bangsa-Bangsa, dan badan-
badan berwenang yang lain, setiap laporan dari
Negara-negara Pihak yang memuat permintaan atau
yang menunjukkan kebutuhan untuk nasehat teknik
atau bantuan, bersama-sama dengan berbagai
pengamatan dan saran Komite, kalau pun ada,
mengenai permintaan-permintaan dan penunjukan-
penunjukan ini;
c) Komite dapat merekomendasikan pada Majelis
Umum untuk meminta Sekretaris Jendral melakukan
atas namanya studi-studi mengenai pokok masalah
khusus mengenai hak-hak anak;
d) Komite dapat membuat saran-saran dan rekomendasi-
rekomendasi umum berdasarkan informasi yang
diterima sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 44
dan pasal 45 Konvensi ini. Saran-saran dan
rekomendasi-rekomendasi umum tersebut akan
disampaikan kepada Negara-negara Pihak mana pun
yang bersangkutan, dan dilaporkan kepada Majelis
Umum, berasma-sama dengan berbagai tanggapan,
kalau pun ada, dari Negara-negara Pihak.
c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World
Conference on Education for All)
Jawab:
DEKLARASI DUNIA TENTANG PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
PENDIDIKAN UNTUK SEMUA:
TUJUAN

PASAL I - MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR DASAR


1. Setiap orang-anak, pemuda, dan orang dewasa-akan dapat menikmati
kesempatan pendidikan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan
belajar dasar mereka. Kebutuhan ini meliputi, baik alat belajar yang
hakiki (seperti keaksaraan, ungkapan lisan, angka dan pemecahan
masalah) maupun isi atau bahan belajar dasar (seperti pengetahuan,
keterampilan, nilai-nilai, dan sikap mental) yang diperlukan oleh
manusia untuk mampu hidup, mengembangkan penuh
kesanggupannya, hidup dan bekerja yang baik, berperanserta
sepenuhnya dalam pembangunan, memperbaiki kualitas hidupnya,
mengambil keputusan yang tepat, dan terus-menerus belajar. Lingkup
kebutuhan belajar dasar dan cara memenuhinya memang berbeda
antara satu Negara dengan kebudayaan tertentu dengan negara yang
lain, dan kebutuhan belajar dasar ini pun, mau tidak mau, berubah
bersama waktu.
2. Dengan memenuhi kebutuhan ini berarti memperkuat individu atau
perorangan di tiap masyarakat dan meletakkan di atas pundaknya rasa
tanggungjawab untuk memperhatikan dan mendasarkan pada warisan
kolektif budaya, bahasa dan kerohanian untuk mengembangkan
pendidikan orang lain, untuk melaksanakan keadilan sosial,
melindungi dan melestarikan alam dan lingkungan hidup,
menghormati sistem sosial, politik dan religius yang berbeda daripada
yang dimilikinya, menjamin bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan hak-
hak asasi manusia yang diterima umum dipertahankan, dan bekerja
untuk perdamaian dan solidaritas antar bangsa di dalam dunia yang
saling membutuhkan (interdependensi).
3. Satu lagi tujuan fundamental dari pembangunan pendidikan yang
tidak kurang pentingnya, ialah penyampaian dan pengayaan nilai-nilai
budaya dan moral yang dimiliki bersama. Didalam nilai-nilai inilah
perorangan dan masyarakat menemukan identitas dan martabatnya.
4. Pendidikan dasar lebih daripada tujuan saja. Pendidikan dasar adalah
asas atau fundasi bagi belajar seumur hidup dan pembangunan
manusia di atas mana negara-negara dapat secara sistematik
membangun jenjang dan jenis pendidikan lanjutan.

PENDIDIKAN UNTUK SEMUA: VISI YANG DIPERLUAS DAN


TEKAD YANG DIPERBAHARUI
PASAL 2* PEMBENTUKAN VISI
1. Untuk melayani kebutuhan belajar dasar bagi semua menuntut lebih
daripada sekedar mengulangi tekad yang sudah ada mengenai
pendidikan dasar seperti yang sekarang ini. Yang diperlukan adalah
suatu “visi yang diperluas” yang melampaui tingkat sumberdaya yang
sekarang, struktur kelembagaan, kurikulum, dan sistem penyajian
konvensional yang membangun di atas praktik-praktik terbaik dewasa
ini. Kemungkinan-kemungkinan baru yang ada sekarang terjadi
sebagai akibat konvergensi antara bertambahnya informasi dan
kemampuan yang sangat meningkat di bidang komunikasi. Kita harus
berusaha menguasainya dengan kreativitas dan dengan suatu tekad
untuk meningkatkan efektivitas (kemangkusan).
2. Sebagaimana diuraikan pada Pasal 3-7, visi yang diperluas itu
meliputi:
 Kesempatan belajar semesta (universal) dan pengembangan
kesamaan (pemerataan dan persamaan);
 Pemusatan (fokus) pada pembelajaran;
 Perluasan alat dan lingkup pendidikan dasar;
 Pengembangan lingkungan untuk belajar;
 Penguatan kemitraan.
3. Perwujudan potensi yang begitu besar untuk kemajuan kemanusiaan
dan penguatannya tergantung pada dapat-tidaknya penduduk
dibelajarkan dan mulai memanfaatkan pengetahuan yang relevan yang
makin menumpuk dengan tatacara baru untuk membagi-bagi
pengetahuan itu.

PASAL 3* KESEMPATAN BELAJAR SEMESTA DAN PROMOSI


KEADILAN
1. Pendidikan dasar hendaklah disediakan bagi semua anak, pemuda
dan orang dewasa. Untuk tujuan ini, pelayanan pendidikan dasar
yang bermutu harus diperluas, dan diusahakan terus menerus untuk
mengurangi kesenjangan (disparitas).
2. Agar pendidikan dasar itu dinikmati semua orang, maka semua anak,
pemuda dan orang dewasa hendaklah diberi kesempatan untuk
mencapai dan mempertahankan suatu taraf tertentu.
3. Prioritas utama yang amat penting ialah terjaminnya kesempatan dan
diperbaikinya kualitas perididikan bagi kaum wanita (anak, pemudi
dan orang dewasa) dan terhindarnya setiap penghalang terhadap
peran serta aktif mereka. Semua stereotip pendidikan yang
didasarkan atas perbedaan kelamin haruslah dihindarkan
4. Suatu tekad aktif harus diadakan untuk menjauhkan kesenjangan
pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani - mereka
yang miskin; anak-anak jalanan dan bekerja; penduduk di daerah
pedesaan dan terpencil; pekerja yang berpindah-pindah dan migrasi;
suku-suku terasing (penduduk asli); minoritas suku, ras dan bahasa;
para pengungsi; penduduk yang kucar-kacir akibat perang; dan
penduduk di daerah yang dikuasai musuh - hendaklah tidak
mengalami diskriminasi mengenai kesempatan untuk belajar.
5. Kebutuhan belajar penduduk yang cacat memerlukan perhatian
khusus. Langkah-langkah perlu diambil untuk menyediakan
kesempatan pendidikan yang sama bagi mereka, termasuk setiap
kategori kecacatan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan.

PASAL 4* PEMUSATAN PADA PEMBELAJARAN


Apakah kesempatan pendidikan yang diperluas berkembang menjadi
pembangunan yang berarti - baik bagi perorangan maupun bagi
masyarakat - pada akhirnya tergantung pada belajar-tidaknya penduduk
sebagai akibat tersedianya kesempatan itu, yakni apakah mereka
menguasai pengetahuan yang berguna, kemampuan penalaran,
keterampilan dan nilai-nilai.Oleh karena itu, fokus pendidikan dasar
hendaklah pada terjadinya proses pembelajaran dan hasil proses itu, dan
bukan semata-mata hanya pada terdaftarnya seseorang sebagai peserta
didik, rajinnya seseorang mengikuti program yang terorganisasi dan
selesainya ia belajar dengan surat tanda-serta-belajar atau surat tanda
tamat-belajar. Pendekatan aktif dan parsipatori amat berharga dalam
menjamin penguasaan bahan belajar yang memungkinkan peserta didik
mengembangkan potensinya secara penuh. Oleh karena itulah perlu
dirumuskan atau dibataskan taraf hasil belajar untuk program pendidikan
tertentu dan diperbaiki serta dilaksanakan sistem penilaian hasil belajar.

PASAL 5* PERLUASAN ALAT DAN LINGKUP PENDIDIKAN


DASAR
Berhubung dengan keragaman, kerumitan dan sifat berubahnya kebutuhan
belajar dasar anak, pemuda dan orang dewasa, maka diperlukan perluasan
dan pembatasan kembali lingkup pendidikan dasar yang meliputi bagian-
bagian berikut:
 Belajar mulai lahir. lni berarti perlunya perawatan dini bagi anak-
anak dan pendidikan permulaan. lni dapat dilaksanakan melalui
pengaturan meliputi program-program keluarga, masyarakat, dan
lembaga yang sesuai dan tepat.
 Sistem pelayanan untuk pendidikan dasar bagi anak-anak di luar
keluarga adalah sekolah dasar. Sekolah dasar hendaklah bersifat
semesta, menjamin bahwa kebutuhan belajar dasar semua anak
dipenuhi, dan memperhatikan kebudayaan, kebutuhan dan
kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Program lain sebagai
tambahan dapat membantu memenuhi kebutuhan belajar anakanak
yang terbatas atau sama sekali tidak berkesempatan bersekolah,
dengan syarat bahwa program itu mempunyai mutu dan standard
yang sama dengan sekolah, dan memperoleh dukungan yang
memadai.
 Kebutuhan belajar pemuda dan orang dewasa adalah beragam dan
harus dipenuhi melalui berbagai sistem pelayanan. Program
keaksaraan mutlak diperlukan, karena keaksaraan adalah
keterampilan yang pada dirinya diperlukan dan sebagai dasar bagi
keterampilan-keterampilan hidup yang lain. Keaksaraan dalam
bahasa ibu memperkuat identitas dan warisan budaya. Kebutuhan-
kebutuhan lain dapat dilayani melalui: latihan keterampilan, magang,
dan berbagai program pendidikan sekolah dan luar sekolah di bidang
kesehatan, gizi penduduk, teknik pertanian, lingkungan hidup, sains,
teknologi, kehidupan keluarga termasuk pengertian kesuburan dan
masalah-masalah masyarakat yang lain.
 Semua alat dan jalur yang ada untuk informasi, komunikasi, dan
tindakan sosial hendaklah digunakan untuk meneruskan pengetahuan
dan untuk menerangkan kepada dan mendidik rakyat mengenai
masalah-masalah sosial. Di samping alat-alat tradisional, maka
perpustakaan, televisi, radio dan media lain dapat dikerahkan untuk
mewujudkan potensinya memenuhi kebutuhan belajar semua orang.
Komponen-komponen di atas hendaklah merupakan satu sistem yang
terpadu-saling mengisi, saling memperkuat, dan dengan standard
yang dapat diterima dan semuanya membantu terciptanya dan
berkembangnya berbagai kemungkinan untuk belajar seumur hidup.

PASAL 6* PENGEMBANGAN LINGKUNGAN UNTUK BELAJAR


Proses belajar tidak terjadi secara terpisah (isolasi). Oleh karena itu,
masyarakat hendaklah menjamin agar semua peserta didik memperoleh
gizi, perawatan kesehatan, dan dukungan umum fisik dan emosional yang
diperlukannya untuk berperanserta aktif dan memperoleh keuntungan dari
program pendidikan yang diikutinya. Pengetahuan dan keterampilan yang
dapat mongembangkan lingkungan belajar anak-anak hendaklah
dipadukan ke dalam program-program belajar masyarakat bagi orang
dewasa. Pendidikan anak-anak dan orangtua mereka atau walinya adalah
saling mendukung dan interaksi ini hendaklah digunakan untuk
menciptakan, bagi semua, lingkungan belajar yang menggugah dan
hangat.

PASAL 7* PENGUATAN KEMITRAAN


Pejabat-pejabat pendidikan nasional, daerah den setempat (lokal)
mempunyai suatu kewajiban yang unik untuk menyediakan pendidikan
dasar bagi semua. Namun tidak mungkin diharapkan agar mereka
memasok semua keperluan untuk pelaksanaan tugas ini: tenaga kerja,
keuangan, dan organisasi. Kemitraan baru dan energik pada semua
tingkatan memang diperlukan: kemitraan diantara
semua subsektor dan bentuk pendidikan, mengakui peranan khusus para
guru dan administrator serta tenaga kependidikan lain: kemitraan antara
pendidikan dan departemen pemerintahan lain, termasuk perencanaan,
keuangan, tenaga kerja, perhubungan, telekomunikasi, dan sektor-sektor
sosial lain; kemitraan antara organisasi-organisasi pemerintah dan non
pemerintah, sektor swasta, masyarakat setempat, kelompok-kelompok
religius, dan keluarga-keluarga. Pengakuan atas peranan penting yang
dapat dimainkan oleh keluarga dan guru amat perlu. Dalam hubungan ini,
maka persyaratan dan kondisi pelayanan guru dan kedudukan mereka
yang merupakan faktor yang menentukan pelaksanaan pendidikan untuk
semua, hendaklah segera diperbaiki di semua negara sesuai dengan
Rekomendasi bersama ILO/UNESCO Tentang Kedudukan Guru (1966).
Kemitraan yang sungguh-sungguh akan sangat membantu perencanaan,
pelaksanaan, pengelolaan dan penilaian program-program pendidikan
dasar. Jika kita berbicara tentang “suatu visi yang diperluas dan suatu
tekad yang diperbaharui”, maka kemitraan adalah intinya.

PENDIDIKAN BAGI SEMUA: SYARAT-SYARATNYA


PASAL 8* PENGEMBANGAN DASAR BAGI KEBIJAKAN YANG
MENDUKUNG
1. Kebijakan-kebijakan yang mendukung dalam sektor-sektor sosial, budaya
dan ekonomi diperlukan untuk mewujudkan penyediaan dan pemanfaatan
sepenuhnya dari pendidikan dasar bagi perbaikan individu dan
masyarakat. Penyediaan pendidikan dasar bagi semua tergantung pada
tekad politik dan kemauan politik didukung oleh penyediaan anggaran
yang memadai dan diperkuat oleh pembaharuan kebijakan pendidikan dan
penguatan lembaga. Kebijakan-kebijakan yang sesuai di bidang ekonomi,
perdagangan, ketenagakerjaan, kesempatan dan lapangan kerja serta
kesehatan akan mengembangkan rangsangan dan iuran peserta didik
terhadap pembangunan masyarakat.
2. Masyarakat juga haruslah menjamin adanya suatu lingkungan intelektual
dan ilmiah yang kuat bagi pendidikan dasar. Ini berarti perlunya diperbaiki
pendidikan tinggi dan dikembangkan penelitian llmiah. Hubungan yang
erat dengan pengetahuan teknologi dan ilmiah mutakhir hendaklah
dimungkinkan bagi setiap jenjang pendidikan.

PASAL 9* PENGERAHAN SUMBERDAYA


1. Jika kebutuhan belajar dasar bagi sernua hendak dipenuhi melalui suatu
lingkup tindakan yang lebih luas daripada di masa lalu, maka perlu kiranya
dikerahkan sumberdaya yang ada dan yang baru, baik keuangan maupun
manusia, baik pemerintah, swasta maupun sukarela. Semua unsure di
dalam masyarakat perlu memberikan iurannya, mengingat bahwa waktu,
energi dan uang yang disumbangkan bagi pendidikan dasar barangkali
adalah investasi yang paling berharga yang dapat diadakan, baik untuk
manusia maupun untuk masa depan suatu negara.
2. Dukungan yang lebih besar dan sektor umum berarti memanfaatkan
sumberdaya dari semua lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas
pembangunan manusia; melalui alokasi absolute dan proporsional yang
semakin besar bagi pelayanan pendidikan dasar dengan tetap mengakui
permintaan yang bertubi-tubi akan sumberdaya nasional di mana
pendidikan penting namun bukan satu-satunya. Perhatian yang sungguh-
sungguh untuk memperbaiki efisiensi sumberdaya dan program
pendidikan yang ada bukan hanya akan menghasilkan lebih banyak,
namun hal itu diharapkan dapat menarik sumberdaya baru. Tugas penting
untuk memenuhi kebutuhan belajar dasar mungkin akan menuntut suatu
realokasi antar sektor, umpamanya sebagai contoh pengalihan dari
pengeluaran militer ke pendidikan. Terlebih di negara-negara yang sedang
mengalami penyesuaian struktural dan menghadapi beban hutang luar
negeri yang berat, diperlukan suatu proteksi khusus bagi pendidikan dasar.
Dewasa ini, lebih daripada sebelumnya pendidikan hendaklah dilihat
sebagai suatu dimensi fundamental dan desain atau rancangan sosial,
budaya, dan ekonomi.

PASAL 10* MEMPERKUAT SOLIDARITAS ANTAR-BANGSA


1. Pemenuhan kebutuhan belajar dasar merupakan suatu tanggungjawab
bersama dan semesta dari umat manusia. Hal itu menuntut solidaritas
antar bangsa dan hubungan ekonomi yang seimbang untuk
mengurangi kesenjangan ekonomi yang ada. Semua bangsa
mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang berharga yang dapat
dimanfaatkan bersama untuk perancangan kebijakan dan program
pendidikan yang efektif.
2. Akan diperlukan penambahan sumberdaya yang berarti dan jangka
panjang bagi pendidikan dasar. Masyarakat dunia, termasuk lembaga-
lembaga antar pemerintah mempunyai suatu tanggungjawab penting
untuk menghilangkan kendala-kendala yang menghalangi negara-
negara tertentu untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua. Ini
berarti diambilnya tindakan untuk memperbesar anggaran belanja
nasional dari negara-negara miskin atau tindakan yang
membebaskannya dari beban hutang yang berat. Para peminjam
maupun yang meminjamkan perlu mencari suatu rumusan inovatif
yang dapat memecahkan masalah hutang ini, karena kemampuan
banyak negara yang sedang berkembang untuk memperhatikan
pendidikan dan kebutuhan dasar lain akan dapat ditingkatkan jika
masalah hutang ini dapat dipecahkan.
3. Kebutuhan belajar dasar orang dewasa dan anak-anak hendaklah
dipenuhi di mana pun. Negaranegara yang kurang berkembang dan
yang berpendapatan rendah mempunyai kebutuhan khusus yang
memerlukan prioritas bantuan antar bangsa untuk pendidikan dasar di
tahun 90-an.
4. Semua bangsa hendaklah juga bekerjasama untuk menghindarkan
pertentangan dan perkelahian, mengakhiri pendudukan militer dan
menempatkan penduduk yang kucar-kacir, atau mengembalikan
mereka ke negara asal masing-masing, dan menjamin bahwa
kebutuhan belajar dasar mereka dipenuhi. Hanya suatu lingkungan
yang stabil dan damai yang dapat menciptakan keadaan di mana setiap
orang, anak maupun orang dewasa, memperoleh keuntungan dari
tujuan-tujuan Deklarasi ini.
d. Resolusi PBB Nomor 48/96 Tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan
bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on the Equlization of
Opportunities for Person with Disabilities)
Jawab:
PERATURAN STANDAR TENTANG PERSAMAAN
KESEMPATAN BAGI PARA PENYANDANG DISABILITAS
Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993
I. PRASYARAT BAGI PERSAMAAN PARTISIPASI
Peraturan 1: Peningkatan Kesadaran
Negara-negara seyogyanya melakukan suatu aksi untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang para penyandang disabilitas, hak-haknya,
kebutuhan-kebutuhannya, potensinya serta kontribusinya.
 Negara-negara seyogyanya mendorong para pejabat yang
berwenang untuk menyebarluaskan informasi yang mutakhir
tentang program maupun pelayanan yang tersedia kepada para
penyandang disabilitas, keluarganya, para profesional dalam bidang
ini serta masyarakat umum. Informasi kepada para penyandang
disabilitas seyogyanya disampaikan dalam bentuk yang dapat mereka
akses.
 Negara-negara seyogyanya mengambil prakarsa dan mendukung
penyelenggaraan kampanye informasi mengenai para penyandang
disabilitas serta kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam bidang
disabilitas, menyampaikan pesan bahwa para penyandang disabilitas
adalah warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang
sama seperti warga Negara lainnya, sehingga upaya-upaya perlu
dilakukan untuk menghilangkan semua hambatan bagi
terlaksananya partisipasi penuh.
 Negara-negara seyogyanya mendorong terciptanya gambaran
yang positif tentang para penyandang disabilitas dalam media massa,
organisasi-organisasi para penyandang disabilitas seyogyanya
dikonsultasi mengenai hal ini.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar program pendidikan
masyarakat dalam segala aspeknya mencerminkan prinsip
partisipasi penuh dan persamaan.
 Negara-negara seyogyanya mengajak para penyandang disabilitas
beserta keluarga dan organisasinya untuk berpartisipasi dalam
program pendidikan masyarakat mengenai masalah-masalah
disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya mendorong perusahaan-perusahaan di
sektor swasta untuk memasukkan masalah-masalah disabilitas ke
dalam segala aspek kegiatannya.
 Negara-negara seyogyanya memulai dan mempromosikan
program-program yang ditujukan untuk mempertinggi tingkat
kesadaran para penyandang disabilitas akan hak-hak dan potensinya.
Meningkatnya rasa percaya diri dan kemampuan pribadi akan
membantu para penyandang disabilitas memperoleh manfaat dari
kesempatan yang tersedia bagi mereka.
 Peningkatan kesadaran seyogyanya menjadi bagian yang penting
dari pendidikan anak-anak penyandang disabilitas dan program
rehabilitasi. Para penyandang disabilitas dapat juga saling membantu
dalam peningkatan kesadaran ini melalui kegiatan-kegiatan
Organisasinya sendiri.
 Peningkatan kesadaran seyogyanya menjadi bagian dari
pendidikan bagi semua anak dan seyogyanya menjadi komponen
dari program pendidikan guru dan pelatihan semua profesional.
Peraturan 2: Perawatan Medis
Negara-negara seyogyanya menjamin penyediaan perawatan medis yang
efektif bagi para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya berusaha kearah tersedianya
programprogram yang dilaksanakan oleh tim profesional
multidisipliner untuk melakukan deteksi dini, asesmen dan
penanggulangan disabilitas (impairment). Hal tersebut dapat
mencegah, mengurangi atau menghilangkan penyebab disabilitas lebih
lanjut. Program semacam ini seyogyanya mengikutsertakan
secara penuh para penyandang disabilitas beserta keluarganya pada
tingkat perorangan, dan organisasi -organisasi para penyandang
disabilitas pada tingkat perencanaan dan evaluasinya.
 Para pekerja sosial masyarakat setempat seyogyanya diberi
pelatihan untuk berpartisipasi dalam bidang-bidang seperti
deteksi dini mengenai disabilitas, pemberian pertolongan
pertama dan perujukan ke dinas-dinas pelayananyang tepat.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar para penyandang
disabilitas, terutama bayi dan anak-anak, memperoleh tingkat
perawatan medis yang sama di dalam sistem yang sama seperti
anggota masyarakat lainnya.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar semua personel medis
dan para medis memperoleh pelatihan dan perlengkapan yang
memadai untuk memberikan perawatan medis kepada para
penyandang disabilitas agar mereka memiliki akses terhadap metode
dan teknologi perawatan yang relevan.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar personel medis,
paramedis dan pihak-pihak lain yang terkait mendapat pelatihan
yang memadai sehingga mereka tidak akan memberi advis yang
tidak tepat kepada orang tua, yang dapat mengakibatkan
menyempitnya pilihan mereka terhadap cara-cara penanganan
anaknya. Pelatihan tersebut seyogyanya merupakan proses yang
berkesinambungan dan seyogyanya didasarkan atas informasi
mutakhir. Negara-negara seyogyanya menjamin agar para
penyandang disabilitas mendapat perawatan dan obat-obatan secara
teratur yang mungkin mereka perlukan untuk memelihara atau
meningkatkan taraf kemampuannya.
Peraturan 3: Rehabilitasi
Negara-negara seyogyanya menjamin tersedianya pelayanan
rehabilitasi bagi para penyandang disabilitas agar mereka dapat
mencapai dan mempertahankan tingkat kemandirian dan
kemampuannya secara optimal.
 Negara-negara seyogyanya mengembangkan program rehabilitasi
nasional bagi semua kelompok penyandang disabilitas. Program
tersebut seyogyanya didasarkan atas kebutuhan individu yang
sebenarnya dari para penyandang disabilitas dan atas prinsip-prinsip
partisipasi penuh dan persamaan
 Program tersebut seyogyanya mencakup rentangan kegiatan yang
luas, seperti latihan ketrampilan dasar untuk meningkatkan atau
menggantikan kemampuan yang terganggu, penyuluhan kepada
para penyandang disabilitas beserta keluarganya, pengembangan
kemandirian, serta pelayanan insidental seperti asesmen dan
bimbingan
 Semua penyandang disabilitas, termasuk mereka yang menyandang
disabilitas berat dan/atau disabilitas ganda, yang membutuhkan
rehabilitasi, seyogyanya dapat memperolehnya.
 Para penyandang disabilitas beserta keluarganya seyogyanya dapat
berpartisipasi dalam merancang dan mengatur pelayanan
rehabilitasi mengenai diri mereka.
 Semua pelayanan rehabilitasi seyogyanya tersedia dalam
lingkungan tempat tinggal para penyandang disabilitas itu. Namun
demikian, dalam hal-hal tertentu, agar dapat mencapai tujuan
pelatihan tertentu, program rehabilitasi khusus, untuk jangka
waktu terbatas, dapat diselenggarakan dalam bentuk perpantian,
jika hal itu dipandang tepat.
 Para penyandang disabilitas beserta keluarganya seyogyanya didorong
untuk terlibat dalam program rehabilitasi, misalnya sebagai guru,
instruktur atau penyuluh, yang terlatih.
 Negara-negara seyogyanya memanfaatkan keahlian yang terdapat
di dalam organisasi-organisasi para penyandang disabilitas bila
merumuskan atau mengevaluasi program rehabilitasi.
Peraturan 4: Pelayanan Penunjang
Negara-negara seyogyanya menjamin pengembangan dan
penyediaan pelayanan-pelayanan penunjang, termasuk alat-alat
bantu khusus bagi penyandang disabilitas, untuk membantu mereka
meningkatkan taraf kemandirian dalam kehidupannya sehari-hari
dan untuk melaksanakan hak-haknya.
 Negara-negara seyogyanya menjamin penyediaan alat-alat bantu
khusus, bantuan pribadi dan pelayanan interpreter, menurut
kebutuhan penyandang disabilitas yang bersangkutan, sebagai
langkah
yang penting untuk mencapai kesamaan kesempatan.
 Negara-negara seyogyanya mendukung pengembangan, produksi,
distribusi dan servis alat-alat bantu khusus serta penyebarluasan
pengetahuan mengenai peralatan tersebut.
 Untuk mencapai hal tersebut, seyogyanya dimanfaatkan teknologi
yang sudah tersedia secara umum. Di negara-negara yang
memiliki industri teknologi tinggi, hal ini seyogyanya
dimanfaatkan sepenuhnya untuk meningkatkan standar dan
efektivitas alat-alat bantu khusus tersebut. Stimulasi penting
diberikan untuk mendorong pengembangan dan produksi alat-alat
yang sederhana dan tidak mahal, jika memungkinkan
menggunakan bahan lokal dan fasilitas produksi setempat. Para
penyandang disabilitas sendiri dapat dilibatkan dalam produksi
alat-alat tersebut.
 Negara-negara seyogyanya mengakui bahwa semua penyandang
disabilitas yang membutuhkan alat-alat bantu khusus seyogyanya
dapat memperolehnyasesuai dengan kebutuhannya. Ini dapat
diartikan bahwa alat-alat bantu khusus seyogyanya disediakan
tanpa pungutan biaya atau dengan harga yang serendah mungkin
sehingga para penyandang disabilitas atau keluarganya mampu
membelinya.
 Di dalam program rehabilitasi, untuk pengadaan alat bantu
khusus, negara-negara seyogyanya mempertimbangkan tuntutan
khusus para remaja penyandang disabilitas mengenai desain, daya
tahan dan kecocokannya berdasarkan usia pemakai alat bantu
khusus tersebut.
 Negara-negara seyogyanya mendukung pengembangan dan
pengadaan program bantuan pribadi dan pelayanan interpreter,
terutama bagi para penyandang disabilitas berat dan/atau
disabilitas ganda. Program semacam ini akan mempertinggi
tingkat partisipasi para penyandang disabilitas dalam kehidupan
sehari-hari, di rumah, di tempat kerja, di sekolah dan dalam
kegiatan-kegiatan waktu senggang. Program bantuan pribadi
seyogyanya dirancang sedemikian rupa sehingga para penyandang
disabilitas yang memanfaatkan program ini dapat turut mengambil
keputusan mengenai cara program tersebut dijalankan.

II. BIDANG-BIDANG SASARAN BAGI PERSAMAAN PARTISIPASI


Peraturan 5: Aksesibilitas
Negara-negara seyogyanya mengakui pentingnya aksesibilitas dalam
proses terciptanya kesamaan kesempatan dalam semua kegiatan
masyarakat. Bagi para penyandang disabilitas dari semua jenis
disabilitas, negara-negara seyogyanya (a) Memperkenalkan program
aksi untuk menciptakan lingkungan fisikyang terakses; dan (b)
Mengambil langkah-langkah untuk menyediakan akses terhadap
informasi dan komunikasi.
Akses Terhadap Lingkungan Fisik
 Negara-negara seyogyanya mengambil langkah-langkah untuk
menghilangkan rintangan-rintangan bagi partisipasi di dalam
lingkungan fisik. Langkah-langkah dimaksud seyogyanya
berupa pengembangan standar dan pedoman serta
pertimbangan untuk memberlakukan undang-undang demi
menjamin aksesibilitas terhadap berbagai bidang kehidupan
di masyarakat, misalnya sehubungan dengan perumahan,
bangunan, pelayanan transportasi umum dan alat
transportasi lainnya, jalan raya dan lingkungan luar ruangan
lainnya.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar arsitek, insinyur
bangunan dan pihak-pihak lainnya yang secara profesional
terkait dalam perancangan dan pembangunan lingkungan
fisik, mendapatkan akses terhadap informasi yang memadai
tentang kebijaksanaan mengenai disabilitas serta langkahlangkah
untuk menciptakan aksesibilitas.
 Persyaratan aksesibilitas seyogyanya termuat di dalam
desain dan konstruksi lingkungan fisik dari awal hingga
proses perancangannya.
 Organisasi-organisasi para penyandang disabilitas seyogyanya
dikonsultasi jika akan mengembangkan standar dan normanorma
bagi aksesibilitas. Organisasi-organisasi ini juga
seyogyanya dilibatkan secara langsung sejak tahap
perencanaan awal, jika proyek-proyek pembangunan sarana
umum dirancang, sehingga aksesibilitas yang maksimum
dapat terjamin adanya.

Akses terhadap Informasi dan Komunikasi


 Para penyandang disabilitas dan, bilamana perlu, keluarganya
serta para pembelanya seyogyanya memiliki akses terhadap
informasi lengkap tentang diagnosis, hak-hak dan pelayanan
serta program yang tersedia, pada semua tahap. Informasi
semacam ini seyogyanya disajikan dalam bentuk yang dapat
diakses oleh para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya mengembangkan strategi-strategi
agar pelayanan informasi dan dokumentasi dapat diakses
oleh semua kelompok penyandang disabilitas. Braille, rekaman
dalam kaset, tulisan besar (large print) dan teknologi lainnya
yang sesuai, seyogyanya dipergunakan untuk memberi akses
terhadap informasi dan dokumentasi tertulis bagi para tunanetra.
Demikian pula teknologi yang sesuai seyogyanya
dipergunakan untuk memberi akses terhadap informasi lisan
bagi para tunarungu atau mereka yang mengalami kesulitan
dalam pemahaman.
 Seyogyanya dipertimbangkan penggunaan bahasa isyarat
dalam pendidikan anak-anak tunarungu, dalam keluarga dan
masyarakatnya.
 Pelayanan penerjemahan bahasa isyarat seyogyanya juga
disediakan untuk memudahkan komunikasi antara para
tunarungu dengan anggota masyarakat lainnya. Seyogyanya
dipertimbangkan pula kebutuhan-kebutuhan orang yang
mengalami hambatan komunikasi lainnya.
 Negara-negara seyogyanya mendorong media massa,
terutama televisi, radio dan surat kabar, agar pelayanannya
dapat diakses.
 Negara-negara seyogyanya menjamin komputerisasi
informasi dan sistem pelayanan yang diperuntukkan bagi
umum dapat diakses atau diadaptasikan sehingga dapat
diakses oleh para penyandang disabilitas.
 Organisasi-organisasi para penyandang disabilitas seyogyanya
dikonsultasi jika akan mengembangkan langkah-langkah
untuk membuat pelayanan informasi dapat di akses.
Peraturan 6: Pendidikan
 Negara-negara seyogyanya mengakui prinsip persamaan
kesempatan pendidikan bagi anak-anak, remaja dan dewasa
penyandang disabilitas pada tingkat pendidikan dasar, menengah
maupun pendidikan tinggi secara integrasi/terpadu. Negara-negara
seyogyanya menjamin bahwa pendidikan bagi para penyandang
disabilitas merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan
secara keseluruhan. Para pejabat pendidikan umum
bertanggungjawab atas pendidikan bagi para penyandang
disabilitas dilaksanakan dengan sistem integrasi. Pendidikan bagi
para penyandang disabilitas seyogyanya merupakan bagian yang
integral dari perencanaan pendidikan nasional, pengembangan
kurikulum dan organisasi sekolah.
 Pendidikan di sekolah umum berarti harus tersedianya
interpreter serta bentuk-bentuk pelayanan penunjang lainnya
sesuai dengan kebutuhan, aksesibilitas dan bentuk-bentuk
pelayanan penunjang yang memadai, yang dirancang untuk
memenuhi kebutuhan para penyandang disabilitas dari berbagai
jenis disabilitas, seyogyanya tersedia.
 Kelompok-kelompok orang tua siswa dan organisasi-organisasi
penyandang disabilitas seyogyanya dilibatkan dalam proses
pendidikan pada semua jenjang.
 Di negara-negara yang telah menerapkan kebijaksanaan wajib
belajar, wajib belajar tersebut seyogyanya mencakup semua
anak dari semua jenis dansemua tingkat disabilitas, termasuk
yang paling berat.
Perhatian khusus seyogyanya diberikan pada lingkup-lingkup
berikut:
 Anak-anak penyandang disabilitas yang masih sangat kecil;
 Anak-anak penyandang disabilitas pra-sekolah;
 Orang dewasa penyandang disabilitas, terutama wanita.
Untuk memperlancar proses pendidikan bagi para penyandang
disabilitas di sekolah-sekolah umum, negara-negara seyogyanya:
 Mengeluarkan kebijaksanaan yang dinyatakan secara jelas,
dapat dimengerti dan diterima ditingkat sekolah dan oleh
masyarakat luas;
 Mengizinkan adanya fleksibilitas, penambahan dan
penyesuaian kurikulum;
 Menyediakan bahan-bahan berkualitas, menyelenggarakan
pelatihan guru yang berkelanjutan serta menyediakan guru
pembimbing khusus.
Pendidikan terpadu dan program bersumber daya masyarakat
seyogyanya dipandang sebagai pendekatan pelengkap dalam
memberikan pendidikan dan pelatihan yang hemat dana bagi
para penyandang disabilitas. Program bersumber daya masyarakat
tingkat nasional seyogyanya mendorong masyarakat untuk
memanfaatkan dan mengembangkan sumber-sumber yang
tersedia untuk memberikan pendidikan lokal kepada para
penyandang disabilitas.
Di dalam situasi dimana sistem persekolahan umum belum dapat
memenuhi kebutuhan semua penyandang disabilitas secara memadai,
penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa (SLB) dapat
dipertimbangkan. Hal ini seyogyanya ditujukan untuk
mempersiapkan para siswa bagi pendidikan dalam sistem
persekolahan umum. Kualitas pendidikan tersebut seyogyanya
mencerminkan standar dan tujuan yang sama dengan pendidikan
umum dan seyogyanya terkait erat dengannya. Sekurangkurangnya,
para siswa penyandang disabilitas itu seyogyanya diberi
porsi sumber kependidikan yang sama dengan yang diperoleh
siswa-siswa yang tidak menyandang disabilitas. Negara-negara
seyogyanya berangsur-angsur mengintegrasikan pelayanan Pendidikan
Luar Biasa (PLB) itu dengan pendidikan umum. Diakui bahwa dalam
kasus tertentu untuk saat ini SLB dapat dipandang sebagai bentuk
pendidikan yang paling tepat untuk siswa-siswa penyandang
disabilitas tertentu.
Mengingat kebutuhan komunikasi khusus bagi para tunarungu
dan tunarungu/netra, pendidikan mereka mungkin lebih cocok
diselenggarakan di sekolah-sekolah yang khusus bagi mereka atau
kelas dan unit khusus di sekolah umum. Terutama pada tahap
awal, perhatian khusus perlu difokuskan pada pengajaran yang
peka budaya yang akan menghasilkan keterampilan komunikasi
efektif dan kemandirian yang maksimal bagi para tunarungu atau
tunarungu/netra.

Peraturan 7: Penempatan Kerja


Negara-negara seyogyanya mengakui prinsip bahwa para
penyandang disabilitas harus diberi kesempatan untuk menggunakan hak
asasinya, terutama dalam bidang penempatan kerja. Baik di daerah
pedesaan maupun daerah perkotaan, mereka harus memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan yang tersedia
di pasar kerja, yang produktif dan memberi penghasilan.
Undang-undang dan peraturan dalam bidang penempatan kerja
tidak boleh mendiskriminasikan para penyandang disabilitas dan tidak
boleh menimbulkan hambatan-hambatan bagi mereka untuk
memperoleh pekerjaan.
 Negara-negara seyogyanya secara aktif mendukung integrasi para
penyandang disabilitas ke dalam penempatan kerja umum.
Dukungan
aktif tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai macam
langkah, seperti penyelenggaraan latihan kerja, pemberlakuan
rancangan quota yang berorientasi pada insentif, penciptaan
lapangan kerja khusus atau penyisihan bidang pekerjaan
tertentu, pemberian pinjaman atau hibah untuk modal usaha
kecil, pemberian kontrak-kontrak khusus atau hak produksi
berdasarkan prioritas, pemberian kontrak atau bantuan teknik
atau keuangan lainnya kepada perusahaan-perusahaan yang
mempekerjakan penyandang disabilitas. Negara-negara
seyogyanya juga mendorong para majikan untuk membuat
penyesuaian seperlunya demi kemudahan para penyandang
disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya menyusun program aksi yang
mencakup hal-hal sebagai berikut:
o Langkah-langkah untuk merancang dan menyesuaikan tempat
kerja dan sarana kerja sedemikian rupa sehingga dapat
diakses oleh para penyandang disabilitas dari berbagai jenis
disabilitas;
o Dukungan terhadap penggunaan teknologi baru dan
pengembangan serta produksi alat-alat bantu khusus dan
langkah-langkah untuk mempermudah mendapatkan alat-alat
tersebut oleh para penyandang disabilitas, sehingga memungkinkan
mereka memperoleh dan mempertahankan pekerjaan;
o Pemberian pelatihan dan penempatan kerja yang tepat serta
dukungan yang berkelanjutan seperti pemberian bantuan
pribadi dan pelayanan interpreter.
 Negara-negara seyogyanya memprakarsai dan mendukung
kampanye peningkatan kesadaran masyarakatyang dirancang
untuk mengatasi sikap-sikap dan praduga negatif terhadap para
pekerja penyandang disabilitas.
 Dalam kapasitasnya sebagai majikan, negara-negara seyogyanya
menciptakan kondisi yang mendukung bagi penempatan kerja
para penyandang disabilitas disektor pemerintah.
 Negara-negara, organisasi-organisasi pekerja dan para majikan
seyogyanya bekerja sama untuk menjamin adanya perlakuan yang
adil dalam penerimaan pegawai baru dan kebijaksanaan promosi,
menciptakan kondisi kerja, menentukan tingkat upah, mengambil
langkah-langkah untuk meningkatkan lingkungan kerja demi
mencegah terjadinya kecelakaan dan disabilitas serta
langkahlangkah untuk merehabilitasi para pegawai yang
mengalami kecelakaan dalam kerja.
 Seyogyanya selalu menjadi tujuan bahwa para penyandang
disabilitas
memperoleh pekerjaan dipasar tenaga kerja umum. Bagi para
penyandang disabilitas yang kebutuhannya tidak dapat dipenuhi
dalam penempatan tenaga kerja umum, unit-unit kecil
penempatan kerja terlindung atau bersubsidi dapat merupakan
suatu alternatif. Kualitas program semacam ini harus diukur dari
sudut pandang apakah program tersebut relevan dan memadai
guna memberikan kesempatan bagi para penyandang disabilitas
untuk memperoleh pekerjaan di pasar tenaga kerja.
 Seyogyanya diambil langkah-langkah untuk mengikut sertakan
para penyandang disabilitas dalam program-program pelatihan dan
penempatan kerja di sektor swasta dan sektor informal.
 Negara-negara, organisasi-organisasi pekerja dan para majikan
seyogyanya bekerja sama dengan organisasi-organisasi para
penyandang disabilitas mengenai semua langkah untuk
menciptakan kesempatan pelatihan dan penempatan kerja, yang
mencakup pengaturan jam kerja yang fleksibel, kerja sebagian
waktu(part time), pembagian kerja, kewirasuastaan, dan pelayanan
khusus bagi para penyandang disabilitas.

Peraturan 8: Tunjangan Penghasilan dan Jaminan Sosial


Negara-negara bertanggungjawab untuk menyediakan jaminan sosial
dan tunjangan penghasilan bagi para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya menjamin tersedianya tunjangan
penghasilan yang memadai bagi para penyandang disabilitas,
yang karena disabilitasnya atau faktor-faktor yang berkaitan
dengan disabilitasnya, untuk sementara waktu kehilangan atau
mendapat pengurangan penghasilan atau tidak diberi
kesempatan untuk bekerja. Negara-negara seyogyanya
menjamin agar penyediaan tunjangan tersebut
mempertimbangkan biaya-biaya yang sering harus ditanggung
oleh para penyandang disabilitas dan keluarganya
sebagai akibat dari disabilitas itu.
 Di negara-negara dimana jaminan sosial, asuransi sosial atau
sistem kesejahteraan sosial lainnya terdapat atau sedang
dikembangkan untuk warga negara pada umumnya,
negaranegara seyogyanya menjamin agar sistem-sistem
tersebut tidak mengesampingkan atau mendiskriminasikan para
penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya juga menjamin tersedianya
tunjangan penghasilan dan perlindungan jaminan sosial bagi
orang-orang yang bekerja sebagai perawat penyandang
disabilitas.
 Sistem jaminan sosial seyogyanya mencakup insentif untuk
memulihkan kapasitas perolehan penghasilan para penyandang
disabilitas. Sistem tersebut seyogyanya menyediakan atau turut
andil dalam penyelenggaraan, pengembangan dan pendanaan
latihan kerja. Sistem tersebut seyogyanya juga membantu
dalam pelayanan penempatan kerja.
 Program jaminan sosial seyogyanya juga menyediakan insentif
bagi para penyandang disabilitas untuk mencari pekerjaan demi
membina atau membina kembali kapasitas perolehan
penghasilannya.
 Tunjangan penghasilan seyogyanya terus diberikan selama
kondisi-kondisi penghambat masih belum teratasi namun harus
dengan cara yang tidak akan menurunkan semangat para
penyandang disabilitas untuk mencari pekerjaan. Tunjangan
tersebut seyogyanya dikurangi atau dihentikan hanya bila para
penyandang disabilitas itu sudah dapat memperoleh
penghasilan yang memadai dan tetap.
 Negara-negara, dimana jaminan sosialnya sebagian besar
disediakan oleh sektor swasta, seyogyanya mendorong
masyarakat setempat, organisasi-organisasi kesejahteraan sosial
dan keluarga keluarga untuk mengembangkan upaya-upaya
swadaya dan insentif untuk kegiatan penempatan kerja atau
kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan penempatan kerja
bagi para penyandang disabilitas.

Peraturan 9: Kehidupan Keluarga dan Integritas Pribadi


Negara-negara seyogyanya mendorong partisipasi penuh para
penyandang disabilitas dalam kehidupan keluarga. Negara-negara
seyogyanya mempromosikan hak mereka untuk memperoleh
integritas pribadinya, dan menjamin agar perundang-undangan
tidak mendiskriminasikan para penyandang disabilitas dalam hal
hubungan sexual, perkawinan dan hak untuk menjadi orang tua.
 Para penyandang disabilitas seyogyanya dimungkinkan untuk
hidup bersama keluarganya. Negara-negara seyogyanya
mendorong pencantuman modul yang tepat dalam paket
penyuluhan keluarga mengenal disabilitas dan dampaknya
terhadap kehidupan keluarga. Perhatian khusus seyogyanya
diberikan kepada keluarga-keluarga yang didalamnya terdapat
anggota keluarga penyandang disabilitas. Negara-negara
seyogyanya menghilangkan segala hambatan bagi mereka yang
berkeinginan mengasuh atau mengangkat anak penyandang
disabilitas.
 Para penyandang disabilitas tidak boleh dihalangi
kesempatannya
untuk memperoleh pengalaman sexualitas, menjalin hubungan
sexual, dan menjadi orang tua. Menimbang bahwa para
penyandang disabilitas mungkin mengalami kesulitan untuk
menikah dan berkeluarga, negara-negara seyogyanya
mendorong terselenggaranya upaya penyuluhan yang tepat.
Para penyandang disabilitas harus memperoleh akses yang
sama seperti warga negara lainnya terhadap metode-metode
keluarga berencana, maupun terhadap informasi mengenai
fungsi sexual tubuh mereka.
 Negara-negara seyogyanya meningkatkan usaha untuk
mengubah sikap negatif terhadap perkawinan, sexualitas dan
peran penyandang disabilitas sebagai orangtua, terutama
terhadap wanita penyandang disabilitas, yang masih ada di
dalam masyarakat. Media massa seyogyanya didorong untuk
memainkan peran yang penting dalam menghilangkan sikap
negatif tersebut.
 Para penyandang disabilitas beserta keluarganya perlu diberi
informasi yang lengkap agar mereka waspada terhadap
kemungkinan pelecehan sexual atau bentuk-bentuk pelecehan
lainnya. Para penyandang disabilitas mudah menjadi sasaran
pelecehan dalam keluarga, masyarakat ataupun institusi, dan
oleh karenanya perlu mendapat pendidikan tentang cara-cara
menghindari terjadinya pelecehan, mengetahui bila pelecehan
telah terjadi dan melaporkan tindakan tersebut.

Peraturan 10: Kebudayaan


Negara-negara akan menjamin bahwa para penyandang disabilitas
terintegrasi dan dapat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
budaya atas dasar kesamaan.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar para penyandang
disabilitas memperoleh kesempatan untuk menyalurkan
kreativitas serta potensi seni dan intelektualnya, tidak hanya
bagi keuntungan mereka sendiri, tetapi juga untuk
memperkaya hasanah budaya masyarakatnya, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Contoh kegiatan semacam ini
adalah tari, musik, sastra, teater, seni plastik, seni lukis dan
seni pahat. Terutama di negara-negara berkembang, kegiatan
tersebut seyogyanya ditekankan pada bentuk-bentuk seni
tradisional dan kontemporer, seperti pewayangan, deklamasi
dan penuturan cerita.
 Negara-negara seyogyanya meningkatkan aksesibilitas dan
penyediaan tempat-tempat untuk pertunjukan dan pelayanan
kebudayaan, seperti teater, museum, bioskop dan
perpustakaan,bagi para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya mengambil prakarsa untuk
mengembangkan dan memanfaatkan pengaturan teknik khusus
agar sastra, film dan teater dapat diakses oleh para penyandang
disabilitas.
Peraturan 11: Rekreasi dan Olah Raga
Negara-negara seyogyanya mengambil langkah-langkah untuk
menjamin agar para penyandang disabilitas memperoleh
kesempatan yang sama untuk berekreasi dan berolah raga.
 Negara-negara seyogyanya mengambil prakarsa untuk
berupaya agar tempat-tempat rekreasi dan olah raga, hotel,
pantai, arena olah raga, pusat kebugaran jasmani dan
sebagainya dapat diakses oleh para penyandang disabilitas.
Upaya-upaya tersebut seyogyanya mencakup dukungan bagi
para petugas dalam bidang rekreasi dan
olah raga dalam bentuk penyelenggaraan proyek-proyekuntuk
mengembangkan metode-metode aksesibilitas, partisipasi,
informasi dan program-program latihan.
 Para pejabat pariwisata, biro perjalanan, hotel, organisasi sosial
dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan rekreasi atau perjalanan seyogyanya
menawarkan pelayanannya kepada semua orang, dengan
mempertimbangkan kebutuhan khusus para penyandang
disabilitas.
Pola latihan yang sesuai seyogyanya diberikan untuk
membantu proses tersebut.
 Organisasi-organisasi olah raga seyogyanya didorong untuk
memberi kesempatan kepada para penyandang disabilitas
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan olah raga. Dalam
hal-hal tertentu, upaya aksesilibitas cukup hanya dengan
membuka
kesempatan untuk berpartisipasi. Dalam hal-hal lain,
diperlukan adanya pengaturan khusus atau penyelenggaraan
permainanpermainan khusus.
 Negara-negara seyogyanya mendukung partisipasi para
penyandang disabilitas dalam peristiwa olahraga nasional dan
internasional.
 Para penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam
kegiatankegiatan
olah raga seyogyanya memiliki akses terhadap pelatihan
dan pengajaran dengan kualitas yang sama seperti yang
diberikan kepada para peserta lain.
 Para penyelenggara olah raga dan rekreasi seyogyanya
berkonsultasi dengan organisasi-organisasi para penyandang
disabilitas jika hendak mengembangkan pelayanannya bagi
para penyandang disabilitas.
Peraturan 12: Agama
Negara-negara seyogyanya mendorong upaya-upaya untuk
partisipasi yang sama oleh para penyandang disabilitas dalam
kehidupan beragama di dalam masyarakatnya.
 Dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan para pemuka
agama, negara-negara seyogyanya mendorong upaya-upaya
untuk menghapuskan diskriminasi dan membuat kegiatan-
kegiatan keagamaan dapat diakses oleh para penyandang
disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya mendorong distribusi informasi
tentang masalah-masalah disabilitas kepada lembaga-lembaga
dan organisasi-organisasi keagamaan. Negara-negara
seyogyanya juga mendorong para pejabat keagamaan untuk
memasukkan informasi tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan
dalam bidang disabilitas dalam program pelatihan bagi profesi-
profesi keagamaan, juga dalam program pendidikan agama.
 Negara-negara seyogyanya juga mendorong aksesibilitas
terhadap literatur keagamaan oleh orang-orang yang
menyandang disabilitas alat-alat penginderaan.
 Negara-negara dan/atau organisasi-organisasi keagamaan
seyogyanya berkonsultasi dengan organisasi penyandang
disabilitas jika mengembangkan upaya-upaya untuk persamaan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
III. UPAYA-UPAYA IMPLEMENTASI
Peraturan 13: Informasi dan Riset
Negara-negara merupakan penanggung jawab utama dalam hal
pengumpulan dan penyebarluasan informasi tentang kondisi
kehidupan para penyandang disabilitas dan meningkatkan upaya
riset yang komprehensif tentang semua aspek disabilitas, termasuk
hambatan-hambatan yang mempengaruhi kehidupan para
penyandang disabilitas.
 Secara berkala, negara-negara seyogyanya mengumpulkan data
statistik berdasarkan jenis kelamin dan informasi lain
mengenai kondisi kehidupan para penyandang disabilitas.
Pengumpulan data semacam ini dapat dilakukan berkaitan
dengan sensus nasional dan survey rumah tangga, dan dapat
dilaksanakan dengan kerja sama, antara lain dengan
universitas-universitas, lembagalembaga riset dan organisasi-
organisasi para penyandang disabilitas. Pengumpulan data
tersebut seyogyanya mencakup jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tentang program dan pelayanan serta
pemanfaatannya.
 Negara-negara seyogyanya mempertimbangkan pendirian bank
data tentang masalah-masalah disabilitas, yang akan mencakup
statistik tentang pelayanan dan program yang ada maupun
tentang berbagai kelompok penyandang disabilitas.
Seyogyanya diingat bahwa negara Negara perlu melindungi
kerahasiaan perorangan dan integritas pribadi.
 Negara-negara seyogyanya memprakarsai dan mendukung
program program riset mengenai masalah-masalah sosial,
ekonomi dan partisipasi yang mempengaruhi kehidupan para
penyandang disabilitas dan keluarganya. Riset semacam ini
seyogyanya mencakup studi tentang sebab-sebab, jenis-jenis
dan frekuensi disabilitas, ketersediaan dan keberhasilan
program serta kebutuhan akan pengembangan dan evaluasi
terhadap pelayanan yang ada dan faktor-faktor pendukungnya.
 Negara-negara seyogyanya mengembangkan dan membakukan
peristilahan dan kriteria untuk kebutuhan survey nasional, atas
kerja sama dengan organisasi-organisasi para penyandang
disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya memungkinkan partisipasi para
penyandang disabilitas dalam kegiatan pengumpulan data dan
riset. Untuk melaksanakan riset tersebut, negara-negara
seyogyanya mendorong penggunaan tenaga penyandang
disabilitas yang memenuhi syarat.
 Negara-negara seyogyanya mendukung pertukaran hasil riset
dan pengalaman.
 Negara-negara seyogyanya mengambil langkah-langkah untuk
menyebarluaskan informasi dan pengetahuan mengenai
masalahmasalah disabilitas kepada semua jajaran politik dan
administrasi di tingkat nasional, regional maupun lokal.

Peraturan 14: Pembuatan Kebijaksanaan dan Perencanaan


Negara-negara akan menjamin bahwa aspek-aspek disabilitas
tercakup di dalam semua pembuatan kebijaksanaan dan
perencanaan nasional yang relevan.
 Negara-negara seyogyanya memprakarsai dan merencanakan
pembuatan kebijaksanaan yang memadai bagi para
penyandang disabilitas di tingkat nasional, dan merangsang
serta mendukung pelaksanaannya di tingkat regional dan lokal.
 Negara-negara seyogyanya melibatkan organisasi-organisasi
para penyandang disabilitas dalam semua pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan perencanaan dan program
yang menyangkut para penyandang disabilitas atau
berpengaruh terhadap status ekonomi dan sosialnya.
 Kebutuhan dan keprihatinan para penyandang disabilitas
seyogyanya diperhatikan dalam perencanaan pembangunan
umum dan tidak diperlakukan secara terpisah.
 Tanggung jawab utama yang dibebankan kepada negara-
negara menyangkut keadaan para penyandang disabilitas
tersebut tidak berarti membebaskan pihak-pihak lain dari
tanggung jawab mereka. Setiap orang yang mengurusi
pelayanan, kegiatan atau pemberian informasi di dalam
masyarakat seyogyanya didorong untuk menerima tanggung
jawab agar program-program tersebut juga tersedia bagi para
penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya memberi kemudahan kepada
masyarakat setempat untuk mengembangkan program-program
dan mengambil langkah-langkah bagi kepentingan para
penyandang disabilitas. Salah satu cara untuk melakukan hal
tersebut adalah dengan menyediakan petunjuk pelaksanaan
atau daflar isian serta menyelenggarakan program-program
pelatihan bagi para petugas lokal.
Peraturan 15: Perundang-undangan
Negara-negara bertanggungjawab untuk menciptakan dasar hukum
bagi upaya-upaya untuk mencapai tujuan partisipasi penuh dan
kesamaan kesempatan bagi para penyandang disabilitas.
 Perundang-undangan nasional, yang memuat hak-hak dan
kewajiban-kewajiban warga negara, seyogyanya mencakup
hak dan kewajiban para penyandang disabilitas. Negara-negara
berkewajiban untuk memungkinkan para penyandang
disabilitas menggunakan hak-haknya, termasuk hak asasi
manusia, hak sipil dan hak politik, atas dasar kesamaan dengan
warga negara lainnya. Negara-negara harus menjamin agar
organisasi-organisasi para penyandang disabilitas dilibatkan di
dalam pengembangan perundang-undangan nasional yang
menyangkut hak-hak para penyandang disabilitas, maupun
dalam kegiatan evaluasi terhadap pemberlakuan perundang-
undangan tersebut.
 Tindakan legislatif mungkin diperlukan untuk menghilangkan
kondisi-kondisi yang dapat merugikan kehidupan para
penyandang disabilitas, yang mencakup pelecehan dan
penganiayaan. Semua peraturan yang mendiskriminasikan para
penyandang Disabilitas harus dihapuskan. Perundang-
undangan nasional seyogyanya memuat ketentuan-ketentuan
tentang sanksi yang tepat atas kasus-kasus pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip non diskriminasi.
 Perundangan-undangan nasional mengenai penyandang
disabilitas dapat diwujudkan dalam dua bentuk. Hak dan
kewajiban mereka dapat dimuat di dalam perundang-undangan
yang berlaku umum atau dapat pula dalam perundang-
undangan khusus. Perundangundangan yang khusus bagi para
penyandang disabilitas dapat diundangkan dalam beberapa
cara:
 Dengan memberlakukan undang-undang yang terpisah, yang
secara khusus mengatur tentang masalah-masalah
disabilitas;
 Dengan mencantumkan masalah-masalah disabilitas di dalam
perundang-undangan umum pada bagian tertentu;
 Dengan menyebutkan penyandang disabilitas secara khusus di
dalam naskah penjelasan tentang perundang-undangan yang
ada. Gabungan dari pendekatan-pendekatan diatas mungkin
lebih baik adanya. Dapat pula dipertimbangkan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang mendukung.
 Negara-negara dapat mempertimbangkan dibentuknya
mekanisme pengaduan formal mengenai masalah-masalah
hukum demi melindungi kepentingan-kepentingan para
penyandang
disabilitas.

Peraturan 16: Kebijaksanaan Ekonomi


Negara-negara memiliki tanggungjawab keuangan untuk
membiayai program-program dan upaya-upaya untuk menciptakan
kesempatan yang sama bagi para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya memasukkan masalah-masalah
disabilitas dalam anggaran belanja tingkat nasional, daerah
tingkat I maupun daerah tingkat II.
 Negara-negara, organisasi-organisasi non pemerintah serta
badan-badan lain yang terkait seyogyanya berinteraksi untuk
menentukan cara-cara yang paling efektif dalam mendukung
proyek-proyek dan upaya-upaya yang berkaitan dengan para
penyandang disabilitas
 Negara-negara seyogyanya mempertimbangkan penggunaan
langkah-langkah ekonomi (seperti pemberian pinjaman,
pengecualian pajak, hibah terarah, dana khusus, dsb. ) untuk
merangsang dan menunjang persamaan partisipasi para
penyandang disabilitas di dalam masyarakat.
 Di banyak negara dapat dianjurkan pembentukan dana
pembangunan bidang disabilitas, yang dapat menunjang
berbagai proyek perintis dan program-program swadaya di
tingkat paling bawah.

Peraturan 17: Koordinasi Kegiatan


Negara-negara bertanggungjawab untuk membentuk dan
memberdayakan komite koordinasi nasional, atau badan serupa,
yang berfungsi sebagai titik fokus nasional untuk masalah-masalah
disabilitas.
 Komite koordinasi nasional atau badan serupa seyogyanya
bersifat permanen dan dibentuk atas dasar undang-undang
maupun peraturan pemerintah yang tepat.
 Komite koordinasi nasional tersebut sebaiknya beranggotakan
wakil-wakil dari organisasi-organisasi swasta maupun publik
sehingga komposisinya dapat lintas sektoral dan multi
disipliner. Perwakilan tersebut dapat berasal dari departemen-
departemen terkait, organisasi-organisasi para penyandang
disabilitas dan organisasi-organisasi non pemerintah lainnya.
 Organisasi-organisasi para penyandang disabilitas seyogyanya
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam komite koordinasi
nasional tersebut untuk menjamin agar aspirasi mereka
tersalurkan secara tepat.
 Komite koordinasi nasional tersebut seyogyanya diberi
otonomi dan sumber-sumber yang cukup sehingga dapat
melaksanakan tanggung jawabnya sehubungan dengan
kapasitasnya untuk membuat keputusan-keputusan. Komite
tersebut seyogyanya melapor kepada tingkat pemerintahan
tertinggi.

Peraturan 18: Organisasi-organisasi Para Penyandang disabilitas


Negara-negara seyogyanya mengakui hak organisasi-organisasi
para penyandang disabilitas untuk mewakili para penyandang
disabilitas di tingkat nasional, regional maupun lokal. Negara-
negara seyogyanya juga mengakui peran organisasi-organisasi para
penyandang disabilitas sebagai pemberi advis dalam pembuatan
keputusan mengenai masalah-masalah disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya mendorong dan memberi dukungan
ekonomi serta bentuk-bentuk dukungan lainnya terhadap
pembentukan dan pemberdayaan organisasi-organisasi para
penyandang disabilitas, anggota-anggota keluarganya dan/atau
para pembelanya. Negara-negara seyogyanya mengakui bahwa
organisasi-organisasi tersebut dapat memainkan peran dalam
pengembangan kebijaksanaan dalam masalah-masalah
disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya senantiasa berkomunikasi dengan
organisasi-organisasi para penyandang disabilitas dan
menjamin partisipasi mereka dalam pengembangan
kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah.
 Peran organisasi-organisasi penyandang disabilitas dapat
berupa mengindentifikasi kebutuhan-kebutuhan dan prioritas-
prioritas, berpartisipasi dalam perencanaan, implementasi dan
evaluasi pelayanan dan upaya-upaya yang menyangkut
kehidupan para penyandang disabilitas, dan turut andil dalam
upaya peningkatan kesadaran masyarakat serta mengupayakan
adanya perubahan.
 Sebagai alat swadaya, organisasi-organisasi para penyandang
Disabilitas menyediakan dan meningkatkan kesempatan untuk
mengembangkan ketrampilan dalamberbagai bidang, saling
membantu di antara sesama anggota, dan berbagi informasi.
 Organisasi-organisasi para penyandang disabilitas dapat
memainkan perannya sebagai pemberi advis dalam berbagai
cara seperti mempunyai wakil tetap dalamdewan pembina
lembaga-lembaga yang didanai pemerintah, duduk dalam
komisi-komisi publik dan menyumbangkan pengetahuan
keahlian untuk berbagai proyek.
 Peran organisasi-organisasi para penyandang disabilitas
sebagai pemberi advis seyogyanya berkelanjutan demi
mengembangkan dan memperdalam pertukaran pandangan dan
informasi antara negara dan organisasi-organisasi tersebut.
 Organisasi-organisasi tersebut seyogyanya mempunyai wakil
tetap dalam komite koordinasi nasional atau badan serupa.
 Peran organisasi-organisasi para penyandang disabilitas tingkat
lokal seyogyanya dikembangkan dan diberdayakan untuk
menjamin agar mereka memiliki pengaruh terhadap masalah-
masalah di tingkat masyarakat setempat.
Peraturan 19: Pelatihan Personel
Negara-negara bertanggungjawab untuk menjamin adanya
pelatihan yang memadai bagi para personel, pada semua tingkat,
yang terlibat perencanaan dan pelaksanaan program serta
pelayanan yang menyangkut para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar semua pejabat
penyedia pelayanan dalam bidang disabilitas memberikan
pelatihan yang memadai kepada para personelnya.
 Dalam pelatihan bagi para professional dalam bidang
disabilitas, maupun dalam pemberian informasi mengenai
masalah-masalah disabilitas dalam program-program pelatihan
umum, seyogyanya tercermin prinsip partisipasi penuh dan
persamaan kesempatan para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya mengembangkan program-program
pelatihan atas konsultasi dengan organisasi-organisasi para
penyandang disabilitas, dan para penyandang disabilitas
seyogyanya dilibatkan sebagai guru, instruktur atau penasihat
dalam program-program pelatihan bagi para petugas dalam
bidang disabilitas.
 Pelatihan bagi para petugas sosial masyarakat merupakan suatu
upaya yang sangat penting dan strategis, terutama di
negaranegara berkembang. Pelatihan tersebut seyogyanya
melibatkan para penyandang disabilitas, dan materi pelatihan
seyogyanya mencakup pengembangan nilai-nilai, kemampuan
dan teknologi yang tepat di samping keterampilan-
keterampilan yang dapat dipraktekkan oleh para penyandang
disabilitas, orang tuanya, keluarganya serta anggota-anggota
masyarakatnya.
Peraturan 20: Pemantauan dan Evaluasi Nasional Terhadap
Program-program dalam Bidang Disabilitas untuk
Mengimplementasikan Peraturan Standar
Negara-negara bertanggungjawab untuk menyelenggarakan
pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan terhadap
pelaksanaan program-program nasional dan pelayanan-pelayanan
yang menyangkut persamaan kesempatan bagi para
penyandangdisabilitas.
 Secara berkala dan sistematis, negara-negara seyogyanya
mengevaluasi program-program nasional dalam bidang
disabilitas dan menyebarluaskan informasi mengenai dasar-
dasar penilaian maupun hasil-hasilnya.
 Negara-negara seyogyanya mengembangkan dan membakukan
peristilahan dan kriteria evaluasi terhadap program dan
pelayanan yang berkaitan dengan disabilitas.
 Kriteria dan peristilahan tersebut seyogyanya dikembangkan
atas kerjasama yang erat dengan organisasi-organisasi para
penyandang disabilitas sejak tahap pengkonsepan dan
perencanaan awal.
 Negara-negara seyogyanya berpartisipasi dalam kerjasama
internasional demi mengembangkan standar yang sama bagi
evaluasi nasional dalam bidang disabilitas. Negara-negara
seyogyanya mendorong komite koordinasi nasional untuk
berpartisipasi pula.
 Evaluasi terhadap berbagai program dalam bidang disabilitas
seyogyanya dirumuskan sejak tahap perencanaannya, sehingga
dampak yang dikehendaki setelah tujuan kebijaksanaan dalam
bidang ini tercapai, dapat dievaluasi.
Peraturan 21: Kerja Sama Teknik dan Ekonomi
Negara-negara, baik negara-negara industri maupun berkembang,
memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama dan berupaya dalam
meningkatkan kondisi kehidupan para penyandang disabilitas di
negaranegara berkembang.
 Upaya-upaya untuk mencapai kesamaan kesempatan bagi para
penyandang disabilitas, termasuk para pengungsi yang
menyandang disabilitas, seyogyanya diintegrasikan ke dalam
program pembangunan umum.
 Upaya-upaya tersebut harus diintegrasikan ke dalam semua
bentuk kerja sama teknik dan ekonomi, baik bilateral maupun
multilateral, antar pemerintah maupun non pemerintah.
Negaranegara seyogyanya memunculkan masalah-masalah
disabilitas dalam diskusi-diskusi tentang kerja sama tersebut
dengan mitra kerjasamanya.
 Dalam merencanakan dan meninjau ulang program-program kerja
sama teknik dan ekonomi, keadaan para penyandang disabilitas
seyogyanya mendapatkan perhatian khusus. Sangatlah penting
bahwa para penyandang disabilitas dan organisasi-organisasinya
dikonsultasi jika hendak merencanakan proyek-proyek
pembangunan yang dirancang bagi para penyandang disabilitas.
Mereka seyogyanya dilibatkan secara langsung dalam
pengembangan, implementasi dan evaluasi proyek-proyek
tersebut.
 Bidang-bidang prioritas bagi kerjasama teknik dan ekonomi
seyogyanya mencakup:
o Pembangunan sumber daya manusia melalui pengembangan
keterampilan, kemampuan dan potensi para penyandang disabilitas
serta memprakarsai kegiatan-kegiatan bagi dan dari para
penyandang disabilitas yang menciptakan lapangan kerja;
o Pengembangan dan penyebarluasan teknologi dan
pengetahuan praktis yang ada kaitannya dengan disabilitas.
 Negara-negara juga didorong untuk mendukung pembentukan dan
pemberdayaan organisasi-organisasi para penyandang disabilitas.
 Negara-negara seyogyanya berupaya meningkatkan pengetahuan
mengenai masalah-masalah disabilitas di kalangan para petugas
yang terlibat dalam pengadministrasian program kerja sama
teknik dan ekonomi.
Peraturan 22: Kerja Sama Internasional
Negara-negara seyogyanya berpartisipasi secara aktif dalam kerja
sama internasional mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk
persamaan kesempatan bagi para penyandang disabilitas.
 Di dalam kerangka PBB, lembaga-lembaga spesialisasinya dan
organisasi-organisasiantar pemerintah lainnya yang terkait,
negara-negara seyogyanya berpartisipasi dalam pengembangan
kebijaksanaan mengenai masalah-masalah disabilitas.
 Bilamana dipandang tepat, negara-negara seyogyanya
mengemukakan aspek-aspek disabilitas dalam negoisasi-negoisasi
umum mengenal berbagai standar, pertukaran informasi,
program-programpem bangunan dan lain-lain.
 Negara-negara seyogyanya mendorong dan mendukung
pertukaran pengetahuan dan pengalaman diantara:
o Organisasi-organisasi non pemerintahyang menangani
masalah-masalah disabilitas;
o Lembaga-lembaga penelitian dan para peneliti
perorangan yang terlibat dalam masalah-masalah
disabilitas;
o Badan-badan perwakilan para petugas lapangan dan
kelompok-kelompok profesional dalam bidang
disabilitas;
o Organisasi-organisasi para penyandang disabilitas;
o Komite koordinasinasional.
 Negara-negara seyogyanya menjamin agar PBB beserta
lembagalembaga spesialisasinya maupun semua badan pemerintah
dan badan antar parlemen, pada tingkat global maupun regional,
mengikutsertakan organisasi-organisasi para penyandang disabilitas
tingkat regional maupun global dalam kegiatan- kegiatannya.
IV. MEKANISME PEMANTAUAN
Tujuan mekanisme pemantauan adalah meningkatkan efektifitas
implementasi Peraturan Standar. Badan ini akan membantu setiap
negara dalam menilai tingkat implementasi Peraturan Standar
tersebut dan mengukur kemajuannya. Mekanisme pemantauan
tersebut seyogyanya dapat mengungkapkan rintangan-rintangan
yang dihadapi dan dapat memberikan saran-saran mengenai
langkah-langkah yang tepat demi keberhasilan implementasi
Peraturan Standar tersebut. Mekanisme pemantauan ini akan
menghargai aspek-aspek ekonomi, sosial dan budaya yang ada di
masing-masing negara. Unsur penting lainnya dari badan iniialah
bahwa ia berfungsi sebagai badan penasihat danmedia pertukaran
pengalaman dan informasi di antara negara-negara.
Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para
Penyandang disabilitas akan dipantau dalam rangka sidang-sidang
Komisi Pembangunan Sosial (Commision for Social
Development). Akan ditunjuk seorang Pelapor Khusus yang
memiliki pengalaman luas yang relevan dalam masalah-masalah
disabilitas dan keorganisasian internasional, yang bila dipandang
perlu akan didanai dari sumbersumber anggaran tambahan, untuk
masa jabatan tiga tahun guna memantau implementasi Peraturan
Standar. Organisasi-organisasi para penyandang disabilitas
internasional yang memiliki status konsultatif di Dewan Ekonomi
dan Sosial (Economicmand Social Council) serta organisasi-
organisasi yang mewakili para penyandang disabilitas yang belum
membentuk organisasi tingkat internasional seyogyanya diundang
untuk membentuk sebuah panel para pakar, yang mayoritas
keanggotaannya akan terdiri dariorganisasi-organisasi para
penyandang disabilitas, dengan mempertimbangkan berbagai jenis
disabilitas dan distribusi geografis yang adil, yang akan
dikonsultasi oleh Pelapor Khusus dan, jika dipandang perlu, oleh
Sekretariat. Panel para pakar tersebut akan didorong oleh Pelapor
Khusus untuk meninjau ulang, memberi advis dan umpan balik
serta saran-saran mengenai peningkatan, implementasi dan
pemantauan Peraturan Standar.
Pelapor Khusus akan mengirim seperangkat pertanyaan kepada
negara-negara, badan-badan PBB, dan organisasi-organisasi antar
pemerintah dan non pemerintah, termasuk organisasi-organisasi
para penyandang disabilitas. Perangkat pertanyaan tersebut akan
berfokus pada hal perencanaan implementasi Peraturan Standar.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan bersifat selektif dan meliputi
sejumlah peraturan tertentu untuk evaluasi yang seksama. Dalam
mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Pelapor Khusus
akan berkonsultasi dengan panel para pakar dan Sekretariat.
Pelapor Khusus dapat melakukan dialog langsung tidak hanya
dengan negara-negara tetapi juga dengan organisasi- organisasi non
pemerintah setempat, untuk memperoleh pandangan dan komentar
mereka mengenai informasi yang akan dimasukkan ke dalam
laporan. Pelapor Khusus akan memberi advis mengenai
implementasi dan pemantauan Peraturan Standar dan memberi
bantuan dalam mempersiapkan jawaban terhadap perangkat
pertanyaan tersebut. Pusat Pembangunan Sosial dan Masalah-
masalah Kemanusiaan (Centre for Social Development and
Humanitarian Affairs) dari kantor PBB di Wina, sebagai titik focus
PBB untuk masalah-masalah disabilitas, Program Pembangunan
PBB (UNDP) dan badan-badan PBB lainnya serta mekanisme-
mekanisme lain di dalam system PBB, seperti komisi-komisi
regional dan badan-badan khusus serta pertemuan-pertemuan antar
lembaga, akan bekerja sama dengan Pelapor Khusus dalam
implementasi dan pemantauan Peraturan Standar pada tingkat
nasional. Pelapor Khusus, dibantu oleh Sekretariat, akan
menyiapkan laporanlaporan untuk diserahkan kepada Komisi
Pembangunan Sosial, pada sidangnya yang ke-34 dan ke-35. Dalam
menyiapkan laporan-laporan tersebut, Pelapor seyogyanya
berkonsultasi dengan panel para pakar. Negara-negara seyogyanya
mendorong komite koodinasi nasional atau badan serupa untuk
perpartisipasi dalam implementasi dan pemantauan. Sebagai titik
fokus untuk masalah-masalah disabilitas di tingkat nasional, badan
ini seyogyanya didorong untuk menetapkan prosedur bagi
pengkoordinasian pemantauan Peraturan Standar. Organisasl-
organisasi para penyandang disabilitas seyogyanya didorong untuk
terlibat secara aktif dalam pemantauan terhadap
proses ini pada semua tingkatan. Jika sumber-sumber anggaran
tambahan dapat diperoleh, satu jabatan interregional atau lebih
dalam urusan Peraturan Standar seyogyanya diciptakan demi
memberi pelayanan langsung kepada negara-negara, yang
mencakup:
 Penyelenggaraan seminar-seminar pelatihan tingkat nasional
dan regional mengenai isi Peraturan Standar
 Penyusunan pedoman untuk membantu menetapkan strategi
implementasi Peraturan Standar;
 Penyebarluasan informasi mengenai praktek-praktek terbaik
dalam hal implementasi Peraturan Standar.
Pada sidangnya yang ke-35, Komisi Pembangunan Sosial akan
menetapkan sebuah kelompok kerja untuk memeriksa laporan
Pelapor Khusus dan membuat rekomendasi-rekomendasi tentang
cara-cara meningkatan penerapan Peraturan Standar. Dalam
memeriksa laporan Pelapor Khusus tersebut, Komisi, melalui
kelompok kerja tersebut, akan berkonsultasi dengan organisasi
organisasi internasional para penyandang disabilitas dan
lembagalembaga spesialisasi PBB sesuai dengan peraturan 71 dan
76 dari peraturan tentang prosedur komisi-komisi fungsional
Dewan Ekonomi dan Sosial. Pada sidangnya menyusul
berakhirnya mandat Pelapor Khusus, Komisi seyogyanya
menelaah kemungkinan perpanjangan mandat tersebut,
mengangkat Pelapor Khusus baru atau mempertimbangkan
pembentukan mekanisme pemantauan lain, dan seyogyanya
membuat rekomendasi-rekomendasi yang tepat kepada Dewan
Ekonomi dan Sosial. Negara-negara seyogyanya didorong untuk
menyumbang kepada Dana Suka Rela PBB untuk disabilitas
(Voluntary Fund on Disability) demi perluasan implementasi
Peraturan Standar.
e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca
Statement on Inclusive Education)
Jawab:
Pernyataan Salamanca
TENTANG PRINSIP, KEBIJAKAN DAN PRAKTEK
DALAM PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS
Dengan menegaskan kembali hak pendidikan bagi setiap individu,
sebagaimana diabadikan di dalam Deklarasi Universal 1948 tentang Hak
Azazi Manusia, dan dengan memperbaharui ikrar yang diucapkan oleh
masyarakat dunia dalam Konferensi Dunia 1990 tentang Pendidikan bagi
Semua untuk menjamin hak semua orang tanpa memandang perbedaan-
perbedaan individual yang ada,
Mengingat berbagai deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang
berpuncak pada Peraturan Standar Perserikatan Bangsa-bangsa 1993
tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, yang
mendesak Negara-negara untuk menjamin agar pendidikan bagi para
penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan
umum,
Menyatakan rasa puas atas meningkatnya keterlibatan pemerintah-
pemerintah, kelompok-kelompok advokasi, kelompok-kelompok
masyarakat dan orang tua, dan terutama organisasi-organisasi para
penyandang cacat, dalam berupaya meningkatkan akses terhadap
pendidikan yang masih belum tercapaibagi sebagian besar orang yang
menyandang kebutuhan khusus; dan dengan mengakui sebagai bukti
keterlibatan tersebut adalah adanya partisipasi aktif dari perwakilan
tingkat tinggi dari sejumlah besar pemerintah, lembaga-lembaga
spesialisasi dan organisasi-organisasi antarpemerintah dalam Konferensi
Dunia ini,
1. Kami, para delegasi Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan
Khusus yang mewakili sembilan puluh dua pemerintah dan dua puluh
lima organisasi internasional, yang berkumpul di sini di Salamanca,
Spanyol, dari tanggal 7 10 Juni 1994, dengan ini menegaskan kembali
komitmen kami terhadap Pendidikan bagi Semua, mengakui perlunya
dan mendesaknya memberikan pendidikan bagi anak, remaja dan
orang dewasa penyandang kebutuhan pendidikan khusus di dalam
sistem pendidikan reguler, dan selanjutnya dengan ini menyetujui
Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus, yang
semangat ketetapan-ketetapan serta rekomendasi-rekomendasinya
diharapkan akan dijadikan pedoman oleh pemerintah-pemerintah serta
organisasi-organisasi.
2. Kami meyakini dan menyatakan bahwa: Setiap anak mempunyai hak
mendasar untuk memperoleh pendidikan, dan harus diberi kesempatan
untuk mencapai serta mempertahankan tingkat pengetahuan yang
wajar, Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan
kebutuhan belajar yang berbeda-beda, Sistem pendidikan seyogyanya
dirancang dan program pendidikan dilaksanakan dengan
memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan
tersebut, Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus
harus memperoleh akses ke sekolah reguler yang harus
mengakomodasi mereka dalam rangka pedagogi yang berpusat pada
diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
Sekolah reguler dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang
paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan
mencapai Pendidikan bagi Semua; lebih jauh, sekolah semacam ini
akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan
meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos
bagi seluruh sistem pendidikan.
3. Kami meminta perhatian semua pemerintah dan mendesak mereka
untuk: Memberi prioritas tertinggi pada pengambilan kebijakan dan
penetapan anggaran untuk meningkatkan sistem pendidikannya agar
dapat menginklusikan semua anak tanpa memandang perbedaan-
perbedaan ataupun kesulitan-kesulitan individual mereka,
Menetapkan prinsip pendidikan inklusif sebagai undang-undang atau
kebijakan, sehingga semua anak ditempatkan di sekolah reguler
kecuali bila terdapat alasan yang sangat kuat untuk melakukan lain,
Mengembangkan proyek percontohan dan mendorong pertukaran
pengalaman dengan negara-negara yang telah berpengalaman dalam
menyelenggarakan sekolah inklusif, Menetapkan mekanisme
partisipasi yang terdesentralisasi untuk membuat perencanaan,
memantau dan mengevaluasi kondisi pendidikan bagi anak serta orang
dewasa penyandang kebutuhan pendidikan khusus, Mendorong dan
memfasilitasi partisipasi orang tua, masyarakat dan organisasi para
penyandang cacat dalam perencanaan dan proses pembuatan
keputusan yang menyangkut masalah pendidikan kebutuhan khusus,
Melakukan upaya yang lebih besar dalam merumuskan dan
melaksanakan strategi identifikasi dan penanggulangan dini, maupun
dalam aspek-aspek vokasional dari pendidikan inklusif,
Demi berlangsungnya perubahan sistemik, menjamin agar program
pendidikan guru, baik pendidikan pradinas maupun dalam dinas,
membahas masalah pendidikan kebutuhan khusus di sekolah inklusif.
4. Kami juga meminta perhatian masyarakat internasional; secara khusus
kami meminta perhatian: Pemerintah-pemerintah yang mempunyai
program kerjasama internasional dan lembaga-lembaga pendanaan
internasional, terutama para sponsor Konferensi Dunia tentang
Pendidikan bagi Semua, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO), Dana
Anak-anak Perserikatan Bangsa-bangsa (UNICEF), Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP), dan Bank
Dunia: Agar mendukung pendekatan pendidikan inklusif serta
mendukung pengembangan pendidikan kebutuhan khusus sebagai
bagian yang integral dari semua program pendidikan; Perserikatan
Bangsa-bangsa beserta lembaga-lembaga spesialisasinya, terutama
Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), UNESCO dan UNICEF: Agar memperkuat masukan-
masukannya bagi terjalinnya kerjasama teknis, serta memperkuat
kerjasama dan jaringan kerjanya agar tercipta dukungan yang lebih
efisien terhadap penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus yang
lebih luas dan lebih terintegrasi; Organisasi-organisasi non-
pemerintah yang terlibat dalam perencanaan nasional dan penyaluran
pelayanan: Agar memperkuat kerjasamanya dengan badan-badan
nasional pemerintah dan agar mengintensifkan keterlibatannya dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
pendidikan kekbutuhan khusus secara inklusif;
UNESCO, sebagai lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa yang
menangani pendidikan: Agar menjamin bahwa pendidikan kebutuhan
khusus selalu merupakan bagian dari setiap diskusi mengenai
Pendidikan bagi Semua dalam berbagai forum, Agar memobilisasi
dukungan dari organisasi-organisasi profesi keguruan dalam hal-hal
yang berkaitan dengan peningkatan pendidikan guru mengenai
penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus, Agar menstimulasi
masyarakat akademik untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan
jaringan kerja serta membentuk pusat-pusat informasi dan
dokumentasi regional; juga agar berfungsi sebagai pusat penerangan
bagi kegiatan-kegiatan tersebut dan agar menyebarluaskan hasil-hasil
serta kemajuan yang telah dicapai pada tingkat negara dalam upaya
meingimplementasikan deklarasi ini, Agar memobilisasi dana melalui
perluasan program penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusif dan
program dukungan masyarakat dalam rencana jangka menengah (1996
2002), yang akan memungkinkan diluncurkannya proyek perintis
guna mempertunjukkan pendekatan-pendekatan baru dalam upaya
penyebarluasan informasi, serta untuk mengembangkan indikator-
indikator mengenai perlunya pendidikan kebutuhan khusus dan
penyelenggaraannya.
5. Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Pemerintah Spanyol dan kepada UNESCO atas
terselenggaranya Konferensi ini, dan kami mendesak mereka untuk
melakukan segala upaya agar Deklarasi ini beserta Kerangka Aksinya
memperoleh perhatian masyarakat dunia, terutama dalam forum-
forum penting seperti KTT Dunia tentang Pembangunan Sosial
(Copenhagen, 1995) dan Konferensi Dunia tentang Wanita (Beijing,
1995).
1. Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus ini
ditetapkan oleh Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan
Khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah Spanyol
bekerjasama dengan UNESCO dan diadakan Salamanca dari
tanggal 7 hingga 10 Juni 1994. Tujuannya adalah untuk
menginformasikan kebijakan dan memberi pedoman aksi kepada
pemerintah-pemerintah, organisasi-organisasi internasional,
lembaga-lembaga bantuan tingkat nasional, organisasi-organisasi
non-pemerintah serta badan-badan lain dalam
mengimplementasikan Pernyataan Salamanca mengenai Prinsip,
Kebijakan dan Praktek dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus.
Kerangka Aksi ini disusun berdasarkan pengalaman nasional dari
negara-negara peserta maupun berbagai resolusi, rekomendasi dan
publikasi badan-badan PBB serta organisasi-organisasi
antarpemerintah lainnya, terutama Peraturan Standar tentang
Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat. Kerangka
Aksi ini juga mempertimbangkan berbagai usulan, pedoman dan
rekomendasi yang dicetuskan dalam lima seminar regional yang
telah diselenggarakan untuk mempersiapkan Konferensi Dunia
ini.
2. Hak setiap anak atas pendidikan dinyatakan dalam Deklarasi
Universal tentang Hak Azazi Manusia dan secara kuat dipertegas
oleh Deklarasi Dunia tentang Pendidikan bagi Semua. Setiap
penyandang cacat berhak menyatakan keinginannya sehubungan
dengan pendidikannya, sejauh hal tersebut dapat difahami. Orang
tua berhak untuk dikonsultasi mengenai bentuk pendidikan yang
paling sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan aspirasi anaknya.
3. Prinsip yang dijadikan pedoman dalam Kerangka Aksi ini adalah
bahwa sekolah seyogyanya mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik
ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak
cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari
penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok
linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari
daerah atau kelompok lain yang tak beruntung. Kondisi-kondisi
tersebut menciptakan berbagai macam tantangan bagi sistem
persekolahan.
Dalam konteks Kerangka Aksi ini, istilah "kebutuhan pendidikan
khusus" mengacu pada semua anak dan remaja yang
kebutuhannya timbul akibat kecacatan atau kesulitan belajarnya.
Banyak anak mengalami kesulitan belajar dan oleh karenanya
memiliki kebutuhan pendidikan khusus pada saat mereka sedang
menempuh pendidikannya. Sekolah harus mencari cara agar
berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki
kekurangan dan kecacatan yang parah. Terdapat satu konsensus
bahwa anak dan remaja yang memiliki kebutuhan pendidikan
khusus seyogyanya tercakup dalam perencanaan pendidikan yang
dibuat untuk anak pada umumnya. Hal tersebut telah membawa
kita pada konsep sekolah inklusif. Tantangan yang dihadapkan
pada sekolah inklusif adalah bahwa sekolah harus
mengembangkan satu pedagogi yang berpusat pada diri anak,
yang mampu berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka
yang memiliki kekurangan dan kecacatan yang parah. Keuntungan
dari sekolah semacam ini bukan hanya mampu memberikan
pendidikan yang berkualitas kepada semua anak; penyelenggaraan
sekolah tersebut juga akan merupakan langkah yang sangat
penting dalam membantu mengubah sikap diskriminasi,
menciptakan masyarakat yang ramah dan menciptakan masyarakat
inklusif. Perubahan dalam pandangan sosial merupakan satu
keharusan. Sudah terlalu lama permasalahan yang dihadapi para
penyandang cacat diperparah oleh sikap negatif masyarakat yang
perhatiannya lebih difokuskan pada kecacatannya, bukan pada
potensinya.
4. Pendidikan kebutuhan khusus menganut prinsip-prinsip pedagogi
yang sehat yang dapat menguntungkan semua anak. Pendidikan
kebutuhan khusus berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan manusia
itu normal adanya dan bahwa oleh karenanya pembelajaran itu
harus disesuaikan dengan kebutuhan anak bukannya anak yang
disesuaikan dengan kecepatan dan hakikat proses belajar.
Pedagogi yang berpusat pada diri anak itu menguntungkan bagi
semua siswa dan pada gilirannya menguntungkan bagi masyarakat
secara keseluruhan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa hal
tersebut dapat sangat mengurangi angka drop out dan tinggal kelas
yang sering merupakan bagian dari banyak sistem pendidikan, dan
sekaligus juga menjamin tercapainya tingkat prestasi rata-rata
yang lebih tinggi. Suatu pedagogi yang berpusat pada diri anak
dapat membantu menghindarkan penghamburan sumber-sumber
dan mencegah pudarnya harapan-harapan yang sangat sering
merupakan konsekuensi dari kualitas pengajaran yang buruk dan
mentalitas pendidikan "satu ukuran pas untuk semua".
Lebih jauh, sekolah yang berpusat pada diri anak merupakan
tempat berlatih yang baik bagi masyarakat yang berorientasi pada
orang, yang menghargai adanya perbedaan-perbedaan serta
menjunjung harga diri semua umat manusia.

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BARU DALAM PENDIDIKAN


KEBUTUHAN KHUSUS
5. Kecenderungan dalam kebijakan sosial selama dua dasa warsa
terakhir ini adalah meningkatkan integrasi dan partisipasi serta
memerangi eksklusi (keterpisahan). Inklusi (ketercakupan) dan
partisipasi merupakan hal yang sangat penting bagi harga diri
manusia serta memungkinkan orang menikmati dan
mempraktekkan hak-hak azazinya sebagai manusia. Di dalam
bidang pendidikan, hal tersebut tercermin dalam pengembangan
strategi-strategi yang berusaha memberikan kesamaan kesempatan
yang sesungguhnya. Pengalaman di banyak negara menunjukkan
bahwa integrasi anak dan remaja penyandang kebutuhan
pendidikan khusus tercapai dengan sebaik-baiknya apabila mereka
ditempatkan di sekolah inklusif yang melayani semua anak di
masyarakatnya.
6. Dalam konteks inilah mereka yang menyandang kebutuhan
pendidikan khusus dapat sepenuhnya mencapai kemajuan
pendidikan dan integrasi sosial. Sementara sekolah inklusif
memberikan lingkungan yang tepat guna mencapai kesamaan
kesempatan dan partisipasi penuh, keberhasilannya menuntut
usaha bersama, bukan hanya oleh guru-guru dan staf sekolah,
tetapi juga oleh teman sebayanya, orang tua, keluarga dan
relawan. Reformasi institusi sosial bukan merupakan tugas teknis
semata; melainkan, di atas segalanya, tergantung pada keyakinan,
komitmen dan niat baik dari para individu anggota masyarakat
yang bersangkutan.
7. Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama,
tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada
pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon
terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya,
mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya,
dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada
semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat,
pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang
tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan
penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya.
Seyogyanya terdapat dukungan dan pelayanan yang
berkesinambungan sesuai dengan sinambungnya kebutuhan
khusus yang dijumpai di tiap sekolah.
8. Di dalam sekolah inklusif, anak yang menyandang kebutuhan
pendidikan khusus seyogyanya menerima segala dukungan
tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektifnya
pendidikan mereka. Pendidikan inklusif merupakan alat yang
paling efektif untuk membangun solidaritas antara anak
penyandang kebutuhan khusus dengan teman-teman sebayanya.
Pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa atau kelas
khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah reguler seyogyanya
merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada
kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa
pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan
pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi
kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-
anak lain di sekolah itu.
9. Situasi pendidikan kebutuhan khusus sangat bervariasi antara satu
negara dengan negara lainnya. Misalnya, terdapat sejumlah negara
yang mempunyai sistem sekolah luar biasa yang tertata dengan
baik bagi penyandang kecacatan tertentu. SLB semacam ini dapat
dijadikan sumber yang sangat baik bagi pengembangan sekolah
inklusif. Staf di institusi-institusi khusus seperti ini memiliki
keahlian yang dibutuhkan untuk penyaringan dan identifikasi dini
anak-anak penyandang cacat.
SLB juga dapat berfungsi sebagai pusat pelatihan dan pusat
sumber bagi staf di sekolah reguler. Akhirnya, SLB - atau unit-
unit tertentu di sekolah inklusif dapat terus memberikan
pendidikan yang paling cocok bagi sejumlah kecil anak
penyandang cacat yang tidak dapat dilayani secara memadai di
kelas atau sekolah reguler. Investasi di SLB-SLB yang ada
seyogyanya diarahkan ke perannya yang baru dan lebih besar
sebagai penyedia dukungan profesional bagi sekolah-sekolah
reguler dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus. Satu
kontribusi yang penting kepada sekolah-sekolah reguler, yang
dapat diberikan oleh staf SLB, adalah mencocokkan isi kurikulum
dan metode pengajaran dengan kebutuhan individual murid.
10. Negara-negara yang hanya mempunyai sedikit atau tidak
mempunyai SLB disarankan agar memusatkan upayanya dalam
pengembangan sekolah-sekolah inklusif dan pusat-pusat
pelayanan khusus yang dibutuhkan untuk memungkinkan mereka
melayani sebagian terbesar anak dan remaja terutama penyediaan
pendidikan guru untuk pendidikan kebutuhan khusus dan
pendirian pusat-pusat sumber yang diperlengkapi dengan tenaga
dan peralatan yang tepat untuk mendukung sekolah-sekolah
inklusif.
Terutama di negara-negara berkembang, pengalaman
menunjukkan bahwa karena tingginya biaya penyelenggaraan
SLB, hanya sejumlah kecil siswa saja yang mendapatkan
manfaatnya, biasanya hanya mereka yang berada di perkotaan.
Akibatnya, sebagian besar siswa penyandang kebutuhan khusus,
terutama di daerah pedesaan, tidak mendapat pelayanan sama
sekali. Memang, di banyak negara berkembang diperkirakan
bahwa kurang dari satu persen anak penyandang kebutuhan
pendidikan khusus tertampung di lembaga-lembaga yang ada. Di
pihak lain, pengalaman menunjukkan bahwa sekolah inklusif yang
melayani semua anak di lingkungan masyarakatnya, sangat
berhasil dalam menggalang dukungan dari masyarakat dan dalam
menemukan cara-cara yang imaginatif dan inovatif untuk
memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas yang tersedia.
11. Perencanaan pendidikan oleh pemerintah seyogyanya
berkonsentrasi pada pendidikan bagi semua orang, di semua
wilayah negara dan dalam semua kondisi ekonomi, melalui
sekolah negeri maupun suasta.
12. Karena di masa lalu relatif sedikit anak penyandang cacat yang
mempunyai akses ke pendidikan, terutama di wilayah dunia
berkembang, maka kini terdapat jutaan orang dewasa penyandang
cacat yang pendidikan dasar pun belum pernah mereka peroleh.
Oleh karenanya upaya bersama perlu dilakukan untuk
mengajarkan baca/tulis/hitung dan keterampilan-keterampilan
dasar kepada para penyandang cacat melalui program pendidikan
dewasa.
13. Sangatlah penting diakui bahwa perempuan sering menghadapi
permasalahan ganda, yakni bahwa purbasangka yang didasarkan
atas gender memperberat kesulitan yang diakibatkan oleh
kecacatannya. Perempuan dan laki-laki seyogyanya memiliki
pengaruh yang sama terhadap perancangan program pendidikan
dan memperoleh kesempatan yang sama pula dalam mendapatkan
keuntungan dari program tersebut. Upaya-upaya khusus perlu
dilakukan untuk mendorong perempuan penyandang cacat agar
berpartisipasi dalam program-program pendidikan.
14. Kerangka Aksi ini dimaksudkan sebagai pedoman umum bagi
perencanaan aksi dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus.
Tentu saja Kerangka Aksi ini tidak dapat memperhitungkan segala
situasi yang sangat beragam di berbagai wilayah dan negara di
seluruh dunia, maka dari itu harus diadaptasikan agar sesuai
dengan kebutuhan dan keadaan setempat. Agar efektif, Kerangka
Aksi ini harus dilengkapi dengan rencana aksi tingkat regional,
nasional dan daerah yang dijiwai keinginan politik dan kemauan
masyarakat untuk mencapai Pendidikan bagi Semua.

II.PEDOMAN AKSI DI TINGKAT NASIONAL


A. KEBIJAKAN DAN PENGORGANISASIAN
15. Pendidikan terpadu (integrated education) dan rehabilitasi berbasis
masyarakat (community-base rehabilitation) merupakan
pendekatan-pendekatan pelengkap dan pendukung bagi pelayanan
terhadap penyandang kebutuhan khusus. Keduanya didasarkan
atas prinsip-prinsip inklusi, integrasi dan partisipasi, dan
merupakan pendekatan-pendekatan yang sudah teruji kebaikannya
serta efektif dalam pembiayaannya untuk meningkatkan kesamaan
akses bagi mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan
khusus, sebagai bagian dari satu strategi nasional yang ditujukan
untuk mewujudkan Pendidikan bagi Semua. Negara-negara
disarankan untuk mempertimbangkan aksi-aksi berikut ini
sekaitan dengan kebijakan dan pengorganisasian sistem
pendidikannya.
16. Peraturan perundang-undangan seyogyanya mengakui prinsip
kesamaan kesempatan bagi anak, remaja maupun dewasa
penyandang cacat dalam pendidikan dasar, menengah maupun
pendidikan tinggi, yang dilaksanakan secara terintegrasi, selama
hal itu memungkinkan.
17. Langkah-langkah legislatif yang paralel dan bersifat melengkapi
seyogyanya diambil dalam bidang kesehatan, kesejahteraan sosial,
latihan kerja serta penempatan kerja untuk mendukung peraturan
perundang-undangan dalam bidang pendidikan.
18. Kebijakan pendidikan pada semua tingkatan, dari tingkat nasional
hingga tingkat daerah, seyogyanya menetapkan bahwa seorang
anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungannya,
di sekolah yang akan dimasukinya seandainya dia tidak cacat.
Kekecualian pada peraturan ini seyogyanya dipertimbangkan atas
dasar kasus perkasus, apabila hanya pendidikan pada SLB atau
perpantian yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan individual
anak tersebut.
19. Praktek pengintegrasian anak penyandang cacat di sekolah reguler
seyogyanya merupakan bagian yang integral dari perencanaan
nasional untuk mewujudkan Pendidikan bagi Semua. Bahkan
dalam kasus-kasus kekecualian di mana anak ditempatkan di SLB,
pendidikan mereka tidak harus seluruhnya terpisah dari
pendidikan reguler. Kehadiran mereka secara paruh waktu di
sekolah reguler seyogyanya dianjurkan. Perlu juga ditetapkan
peraturan untuk menjamin agar inklusi remaja dan dewasa
penyandang kebutuhan khusus dilaksanakan juga di sekolah
menengah dan perguruan tinggi maupun dalam program-program
pelatihan. Perhatian khusus seyogyanya diberikan untuk menjamin
adanya kesamaan akses dan kesempatan bagi perempuan
penyandang cacat.
20. Perhatian khusus seyogyanya diberikan terhadap kebutuhan anak
dan remaja yang menyandang kecacatan berat atau kecacatan
ganda. Mereka memiliki hak yang sama dengan orang lain di
masyarakat untuk mencapai kemandirian yang maksimal sebagai
orang dewasa dan seyogyanya diberi pendidikan hingga ke batas
kapasitas potensi mereka ke arah tersebut.
21. Kebijakan-kebijakan pendidikan seyogyanya sepenuhnya
mempertimbangkan perbedaan-perbedaan dan berbagai macam
situasi individual. Pentingnya bahasa isyarat sebagai media
komunikasi di kalangan penyandang tunarungu, misalnya,
seyogyanya diakui, dan seyogyanya ditetapkan peraturan yang
menjamin bahwa semua penyandang tunarungu memiliki akses ke
pendidikan yang dilaksanakan dalam bahasa isyarat nasional
mereka. Mengingat kebutuhan khusus penyandang tunarungu dan
tunanetra-rungu dalam bidang komunikasi, pendidikan bagi
mereka mungkin akan lebih tepat dilaksanakan di SLB atau di
kelas khusus atau unit khusus di sekolah reguler.
22. Rehabilitasi berbasis masyarakat seyogyanya dikembangkan
sebagai bagian dari satu strategi global untuk mendukung
pendidikan dan pelatihan yang efektif biaya bagi penyandang
kebutuhan pendidikan khusus. Rehabilitasi berbasis masyarakat
seyogyanya dipandang sebagai satu pendekatan yang spesifik
dalam pengembangan masyarakat yang ditujukan untuk
rehabilitasi, kesamaan kesempatan dan integrasi sosial semua
penyandang cacat; pendekatan ini seyogyanya diimplementasikan
melalui upaya bersama para penyandang cacat itu sendiri,
keluarganya dan masyarakat lingkungannya, serta dinas-dinas
terkait dalam bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan
kesejahteraan.
23. Penetapan kebijakan maupun anggaran keuangan seyogyanya
mendorong dan memfasilitasi pengembangan sekolah-sekolah
inklusif. Hambatan-hambatan yang menghalangi pergerakan dari
sekolah khusus (SLB) ke sekolah reguler seyogyanya ditiadakan,
dan struktur administrasi yang mencakup keduanya hendaknya
diwujudkan. Kemajuan ke arah inklusi seyogyanya dipantau
secara cermat melalui pengumpulan data statistik yang mampu
mengungkapkan jumlah siswa penyandang cacat yang
memperoleh keuntungan dari sumber-sumber, keahlian dan
peralatan yang dimaksudkan untuk pendidikan kebutuhan khusus,
maupun jumlah siswa penyandang kebutuhan pendidikan khusus
yang bersekolah di sekolah reguler.
24. Koordinasi antara para pejabat pendidikan dan mereka yang
bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, penempatan kerja dan
pelayanan sosial seyogyanya diperkuat pada semua tingkatan agar
terfokus pada sasaran yang sama dan saling melengkapi.
Perencanaan dan koordinasi juga seyogyanya mempertimbangkan
potensi dan peran nyata yang dapat dimainkan oleh lembaga-
lembaga semi-publik dan organisasi-organisasi non-pemerintah.
Satu upaya khusus perlu dilakukan untuk mendapatkan dukungan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus.
25. Para pejabat tingkat nasional bertanggung jawab memantau
pendanaan pendidikan kebutuhan khusus yang berasal dari luar
negeri dan, bekerjasama dengan mitra kerja internasionalnya,
menjamin bahwa pendanaan tersebut sesuai dengan prioritas dan
kebijakan nasional yang ditujukan untuk mewujudkan Pendidikan
bagi Semua. Lembaga-lembaga bantuan bilateral dan multilateral
seyogyanya mempertimbangkan secara cermat kebijakan-
kebijakan nasional dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus
bila merencanakan dan mengimplementasikan program-program
dalam bidang pendidikan dan bidang-bidang terkait.
B. FAKTOR-FAKTOR SEKOLAH
26. Mengembangkan sekolah inklusif yang dapat melayani sejumlah
besar siswa di daerah perkotaan maupun pedesaan menuntut
adanya: - penetapan kebijakan yang jelas dan tegas mengenai
inklusi disertai penyediaan dana yang memadai
upaya penerangan masyarakat yang efektif untuk memerangi
purbasangka dan menciptakan pemahaman serta sikap positif
program orientasi dan pelatihan staf yang ekstensif dan
penyediaan berbagai layanan pendukung yang diperlukan.
Perubahan dalam semua aspek persekolahan berikut ini, maupun
dalam banyak aspek lainnya, diperlukan untuk mewujudkan
keberhasilan sekolah inklusif: kurikulum, bangunan, organisasi
sekolah, pedagogi, asesmen, personalia, etos sekolah dan kegiatan
ekstrakurikuler.
27. Sebagian besar dari tuntutan perubahan tersebut tidak secara
khusus berhubungan dengan inklusi anak-anak penyandang
kebutuhan pendidikan khusus. Perubahan-perubahan tersebut
merupakan bagian dari reformasi pendidikan yang lebih luas yang
diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan relevansinya serta
untuk mempertinggi tingkat prestasi belajar semua siswa.
Deklarasi Dunia tentang Pendidikan bagi Semua menegaskan
perlunya pendekatan yang berpusat pada diri anak yang ditujukan
untuk menjamin keberhasilan pendidikan bagi semua anak.
Penetapan sistem yang lebih fleksibel dan lebih adaptif yang
mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan anak secara lebih
penuh akan merupakan kontribusi terhadap keberhasilan
pendidikan maupun inklusi. Pedoman berikut ini berfokus pada
hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam mengintegrasikan
anak-anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus ke dalam
sekolah inklusif.

Fleksibilitas Kurikulum
28. Kurikulum seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan anak,
bukan sebaliknya. Oleh karena itu sekolah seyogyanya
memberikan kesempatan kurikuler yang disesuaikan dengan anak
yang memiliki bermacam-macam kemampuan dan minat.
29. Anak penyandang kebutuhan khusus seyogyanya memperoleh
dukungan pembelajaran tambahan dalam konteks kurikulum
reguler, bukan kurikulum yang berbeda. Prinsip yang dijadikan
pedoman seyogyanya adalah memberi pendidikan yang sama
kepada semua anak, dengan memberikan bantuan dan dukungan
tambahan bagi anak yang memerlukannya.
30. Perolehan pengetahuan bukan sekedar masalah pembelajaran
formal dan teoritis. Pendidikan seyogyanya berisi hal-hal yang
menimbulkan kesanggupan untuk mencapai standar yang lebih
tinggi dan memenuhi kebutuhan individu demi memungkinkannya
berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan. Pengajaran
seyogyanya dihubungkan dengan pengalaman siswa sendiri dan
dikaitkan dengan hal-hal yang praktis agar mereka lebih
termotivasi.
31. Untuk mengikuti kemajuan masing-masing anak, prosedur
asesmen harus ditinjau. Evaluasi formatif seyogyanya dimasukkan
ke dalam proses pendidikan reguler agar siswa dan guru
senantiasa terinformasi tentang penguasaan pelajaran yang sudah
dicapai maupun untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapi dan membantu siswa mengatasinya.
32. Bagi anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus, seyogyanya
disediakan dukungan yang berkesinambungan, yang berkisar dari
bantuan minimal di kelas reguler hingga program pelajaran
tambahan di sekolah itu dan, bila perlu, diperluas dengan
penyediaan bantuan dari guru spesialis dan staf pendukung
eksternal.
33. Teknologi yang tepat dengan biaya terjangkau seyogyanya
dipergunakan bila diperlukan untuk mempertinggi keberhasilan
dalam kurikulum sekolah dan untuk membantu komunikasi,
mobilitas dan belajar. Bantuan teknis dapat diberikan secara lebih
ekonomis dan efektif jika disediakan dari sebuah pusat sumber
yang didirikan di setiap wilayah, di mana terdapat tenaga ahli
yang dapat mencocokkan jenis alat bantu dengan kebutuhan
individu dan menjamin pemeliharaannya.
34. Kapabilitas seyogyanya dibangun dan penelitian dilakukan pada
tingkat nasional dan regional untuk mengembangkan sistem
teknologi pendukung yang tepat untuk pendidikan kebutuhan
khusus. Negara-negara yang telah meratifikasi Persetujuan
Florence (the Florence Agreement) seyogyanya didorong untuk
menggunakan instrumen tersebut untuk membebaskan sirkulasi
bahan-bahan dan peralatan yang berkaitan dengan kebutuhan para
penyandang cacat. Di samping itu, Negara-negara yang belum
meratifikasi persetujuan tersebut disarankan agar melakukannya
agar dapat membebaskan sirkulasi jasa dan barang kependidikan
dan kebudayaan.

Manajemen Sekolah
35. Administrator daerah dan para kepala sekolah dapat memainkan
peran utama dalam menjadikan sekolah-sekolah agar lebih
responsif terhadap anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus
jika mereka diberi wewenang yang diperlukan dan pelatihan yang
memadai untuk berbuat demikian. Mereka seyogyanya diminta
untuk mengembangkan prosedur manajemen yang lebih fleksibel,
mengatur kembali penyaluran sumber-sumber pembelajaran,
memperbanyak pilihan pelajaran, menggalakkan bantuan dari anak
ke anak, menawarkan bantuan kepada siswa yang mengalami
kesulitan dan mengembangkan hubungan yang erat dengan orang
tua dan masyarakat. Keberhasilan manajemen sekolah tergantung
pada keterlibatan yang aktif dan kreatif dari para guru serta staf
sekolah, dan pengembangan kerjasama dan kerja tim yang efektif
untuk memenuhi kebutuhan para siswa.
36. Kepala sekolah mempunyai satu tanggung jawab khusus dalam
meningkatkan sikap yang positif di seluruh masyarakat
sekolahnya dan dalam mengatur kerjasama yang efektif antara
guru kelas dan staf pendukung. Pengaturan yang tepat atas faktor-
faktor pendukung dan peran pasti yang harus dimainkan oleh
berbagai mitra kerja dalam proses pendidikan seyogyanya
ditetapkan melalui konsultasi dan negosiasi.
37. Setiap sekolah seyogyanya merupakan sebuah masyarakat yang
secara kolektif bertanggung jawab atas keberhasilan ataupun
kegagalan setiap siswanya. Tim pendidikan, bukannya guru-guru
secara individu, seyogyanya berbagi tanggung jawab atas
pendidikan anak-anak penyandang kebutuhan khusus. Orang tua
dan relawan seyogyanya diundang untuk mengambil peran aktif
dalam pekerjaan sekolah. Namun demikian, guru memegang peran
kunci sebagai manajer proses pendidikan, membantu anak melalui
pemanfaatan sumber-sumber yang tersedia baik di dalam maupun
di luar kelas.

Informasi dan Penelitian


38. Penyebarluasan contoh praktek yang baik dapat membantu
meningkatkan kualitas kegiatan belajar/mengajar. Informasi
mengenai temuan-temuan penelitian juga akan berharga.
Pengumpulan pengalaman dan pengembangan pusat dokumentasi
seyogyanya didukung pada tingkat nasional, dan akses ke sumber-
sumber informasi tersebut seyogyanya diperluas.
39. Pendidikan kebutuhan khusus seyogyanya diintegrasikan ke dalam
program penelitian dan pengembangan dari institusi-institusi riset
dan pusat pengembangan kurikulum. Perhatian khusus
seyogyanya diberikan dalam bidang ini pada kaji tindak (action-
research) yang berfokus pada strategi belajar-mengajar yang
inovatif. Guru-guru kelas seyogyanya berpartisipasi aktif dalam
pelaksanaan maupun analisis hasil penelitian tersebut. Eksperimen
perintis dan studi yang mendalam juga seyogyanya diluncurkan
untuk membantu dalam pembuatan keputusan dan dalam
menetapkan pedoman bagi aksi pada masa mendatang.
Eksperimen dan studi tersebut dapat dilaksanakan dalam bentuk
kerjasama oleh beberapa negara.
C. PENERIMAAN DAN PELATIHAN PERSONALIA KEPENDIDIKAN
40. Penyiapan semua personalia kependidikan secara tepat merupakan
faktor kunci dalam mempercepat kemajuan ke arah
terselenggaranya sekolah-sekolah inklusif.
Lebih jauh, penerimaan guru-guru yang menyandang kecacatan
yang dapat berfungsi sebagai model peran (role models) bagi
anak-anak penyandang cacat semakin diakui pentingnya.
Sejumlah aksi berikut ini dapat dilakukan.
41. Program pelatihan pra-dinas bagi semua mahasiswa keguruan,
baik calon guru sekolah dasar maupun sekolah menengah,
seyogyanya memberikan orientasi yang positif terhadap kecacatan,
dan dengan demikian akan mengembangkan pemahaman tentang
apa yang dapat mereka capai di sekolah dengan memanfaatkan
layanan pendukung yang tersedia di daerah masing-masing.
Pengetahuan dan keterampilan yang dituntut terutama adalah yang
berkaitan dengan cara mengajar yang baik termasuk cara
melakukan asesmen kebutuhan khusus, mengadaptasikan isi
kurikulum, memanfaatkan teknologi asistif,
mengindividualisasikan prosedur pengajaran yang disesuaikan
dengan kemampuan-kemampuan yang terdapat pada diri anak,
dsb. Di lembaga pendidikan guru, perhatian khusus seyogyanya
difokuskan pada penyiapan semua guru untuk mempraktekkan
otonominya dan menerapkan keterampilannya dalam
mengadaptasikan kurikulum dan pengajaran untuk memenuhi
kebutuhan siswa serta melakukan kerjasama dengan para spesialis
dan bekerjasama dengan para orang tua.
42. Keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk merespon
kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya menjadi bahan
pertimbangan pada saat melakukan asesmen mata-mata kuliah dan
pemberian akta keguruan.
43. Berdasarkan prioritas, bahan-bahan tertulis seyogyanya
dipersiapkan dan seminar-seminar diselenggarakan bagi para
administrator daerah, pengawas, kepala sekolah dan guru senior
untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai pimpinan dalam
bidang ini dan untuk mendukung dan memberi pelatihan kepada
staf pengajar yang belum begitu berpengalaman.
44. Tantangan utama dalam memberikan pelatihan dalam dinas bagi
semua guru adalah mempertimbangkan semua kondisi yang
bervariasi, yang sering kali sulit, tempat mereka berdinas.
Pelatihan dalam dinas, bila memungkinkan, seyogyanya
dikembangkan di tingkat sekolah dengan cara berinteraksi dengan
para pelatih dan didukung oleh pendidikan jarak jauh serta teknik-
teknik pembelajaran mandiri lainnya.
45. Pendidikan spesialisasi dalam bidang pendidikan kebutuhan
khusus yang mengarah pada dimilikinya kualifikasi tambahan
seyogyanya diintegrasikan atau didahului dengan pendidikan dan
pengalaman sebagai guru reguler demi menjamin dikuasainya
berbagai pengetahuan yang saling melengkapi dan mempertinggi
mobilitas.
46. Pendidikan guru-guru khusus perlu ditinjau ulang dengan tujuan
agar mereka mampu bekerja dalam berbagai bentuk
penyelenggaraan pendidikan dan agar dapat memainkan peran
kunci dalam program-program pendidikan kebutuhan khusus.
Suatu pendekatan non-kategorikal yang mencakup semua jenis
kecacatan seyogyanya dikembangkan sebagai inti umum program,
sebelum mahasiswa mengambil spesialisasi dalam satu atau lebih
jenis kecacatan tertentu.
47. Universitas mempunyai peran advisoris utama dalam proses
pengembangan pendidikan kebutuhan khusus, terutama dalam
bidang penelitian, evaluasi, penyiapan guru pelatih, serta
merancang program dan bahan pelatihan. Jaringan kerja antara
universitas dan lembaga pendidikan tinggi di negara-negara maju
dan negara-negara berkembang seyogyanya ditingkatkan.
Menjalin jaringan penelitian dan pelatihan seperti ini sangat besar
artinya. Juga penting memberi peran kepada penyandang cacat
agar terlibat aktif dalam penelitian dan pelatihan tersebut untuk
menjamin agar pandangan-pandangannya dapat menjadi bahan
pertimbangan.
48. Satu masalah yang sering terjadi pada sistem pendidikan,
termasuk sistem yang memberikan pelayanan pendidikan yang
sangat baik kepada siswa-siswa penyandang cacat, adalah tidak
adanya model peran bagi para siswa tersebut. Siswa penyandang
kebutuhan khusus membutuhkan kesempatan untuk berinteraksi
dengan orang dewasa penyandang cacat yang telah mencapai
keberhasilan agar mereka dapat memolakan gaya hidup dan
aspirasinya pada harapan-harapan yang realistis. Di samping itu,
siswa penyandang cacat seyogyanya diberi pelatihan dan contoh
tentang pemberdayaan penyandang cacat dan kepemimpinan agar
mereka dapat membantu dalam perumusan kebijakan yang akan
mempengaruhi kehidupannya kelak. Oleh karena itu sistem
pendidikan seyogyanya juga menerima guru dan tenaga
kependidikan lainnya dari kalangan penyandang cacat yang
berkualifikasi, dan seyogyanya juga melibatkan individu
penyandang cacat yang berhasil dari daerah setempat dalam
pendidikan anak-anak penyandang kebutuhan khusus.
D. LAYANAN PENDUKUNG EKSTERNAL
49. Tersedianya layanan pendukung merupakan faktor yang sangat
penting bagi keberhasilan kebijakan pendidikan inklusif. Untuk
menjamin agar layanan pendukung eksternal tersedia bagi anak
penyandang kebutuhan khusus pada semua tingkatan, para pejabat
di bidang pendidikan seyogyanya mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut.
50. Layanan pendukung bagi sekolah biasa dapat disediakan oleh
lembaga pendidikan guru dan oleh staf SLB yang sudah
ditingkatkan wewenangnya. SLB seyogyanya semakin banyak
dipergunakan sebagai pusat sumber bagi sekolah biasa yang
memberikan pelayanan langsung kepada anak-anak penyandang
kebutuhan pendidikan khusus. Baik lembaga pendidikan guru
maupun SLB dapat memberikan akses ke peralatan atau materi
khusus serta pelatihan dalam strategi-strategi pembelajaran yang
tidak tersedia di kelas reguler.
51. Layanan pendukung oleh narasumber dari berbagai lembaga,
departemen dan institusi, seperti guru BP, psikolog pendidikan,
ahli terapi bicara dan ahli terapi okupasional, dll., seyogyanya
dikoordinasikan di tingkat daerah. Pengelompokan sekolah telah
terbukti merupakan strategi yang bermanfaat dalam memobilisasi
sumber-sumber kependidikan maupun keterlibatan masyarakat.
Kelompok-kelompok sekolah tersebut dapat diserahi tanggung
jawab kolektif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan khusus
siswa-siswa di daerahnya dan diberi keleluasaan untuk
mengalokasikan sumber-sumber yang diperlukan. Pengaturan
semacam ini seyogyanya melibatkan pelayanan non-kependidikan
juga. Memang, pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan
pendidikan akan sangat meningkat hasilnya apabila upaya yang
lebih besar dilakukan untuk menjamin penggunaan semua
keahlian dan sumber-sumber yang tersedia secara optimal.

E. BIDANG-BIDANG PRIORITAS
52. Integrasi anak dan remaja penyandang kebutuhan pendidikan
khusus akan lebih efektif dan berhasil jika, dalam rencana
pengembangan pendidikan, pertimbangan khusus diberikan pada
bidang-bidang target berikut: pendidikan kanak-kanak usia dini
untuk mempertinggi tingkat edukabilitas semua anak, pendidikan
anak perempuan, dan transisi dari dunia pendidikan ke kehidupan
kerja orang dewasa.

Pendidikan Kanak-kanak Usia Dini


53. Keberhasilan sekolah inklusif sangat tergantung pada identifikasi
dini, asesmen dan stimulasi anak penyandang kebutuhan khusus
pada usia sangat muda. Program pengasuhan dan pendidikan
kanak-kanak usia dini bagi anak-anak hingga usia enam tahun
harus dikembangkan dan/atau direorientasi untuk mempercepat
perkembangan fisik, intelektual dan sosial dan kesiapan
bersekolah. Program-program tersebut memiliki nilai ekonomi
tinggi bagi individu yang bersangkutan, keluarganya serta
masyarakatnya karena akan mencegah semakin parahnya kondisi
kecacatannya itu. Program-program pada tingkatan ini
seyogyanya mengakui prinsip inklusi dan dikembangkan secara
komprehensif dengan mengkombinasikan kegiatan-kegiatan
prasekolah dan perawatan kesehatan kanak-kanak usia dini.

54. Banyak negara telah mengambil kebijakan-kebijakan yang


menggalakkan pendidikan kanak-kanak usia dini, baik dengan
mendukung pengembangan taman kanak-kanak atau taman asuh
(tempat penitipan anak) atau dengan menyelenggarakan kegiatan
penerangan dan kesadaran keluarga yang dikaitkan dengan
pelayanan masyarakat (kesehatan, perawatan ibu dan bayi),
sekolah, dan paguyuban keluarga atau organisasi perempuan
setempat.

Pendidikan Anak Perempuan


55. Anak perempuan penyandang cacat menghadapi kesulitan ganda.
Suatu upaya khusus diperlukan untuk memberikan pelatihan dan
pendidikan bagi anak perempuan penyandang kebutuhan
pendidikan khusus. Di samping harus memperoleh akses ke
sekolah, anak perempuan penyandang cacat seyogyanya juga
memperoleh akses ke informasi dan bimbingan serta mempunyai
model yang dapat membantu mereka menentukan pilihan-pilihan
yang realistis dan persiapan untuk peran masa depannya sebagai
wanita dewasa.

Persiapan untuk Kehidupan Dewasa


56. Remaja penyandang kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya
dibantu untuk melewati masa transisi secara efektif dari dunia
sekolah ke kehidupan kerja orang dewasa.
Sekolah seyogyanya membantu mereka untuk menjadi pelaku
ekonomi yang aktif dan memberinya keterampilan-keterampilan
yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, menawarkan
latihan keterampilan yang dapat merespon berbagai tuntutan sosial
dan komunikasi serta harapan-harapan kehidupan orang dewasa.
Untuk hal tersebut diperlukan teknologi pelatihan yang tepat,
termasuk pengalaman langsung dalam situasi kehidupan nyata di
luar sekolah. Kurikulum bagi siswa penyandang kebutuhan
pendidikan khusus di kelas-kelas tinggi seyogyanya mencakup
program-program transisional tertentu, yang mendukung
masuknya mereka ke perguruan tinggi jika memungkinkan, dan
latihan kerja yang mempersiapkan mereka untuk berfungsi sebagai
anggota masyarakat yang mandiri dan kontributif setelah mereka
tamat sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut seyogyanya
dilaksanakan dengan keterlibatan aktif konselor bimbingan
vokasional, instansi penyaluran tenaga kerja, organisasi pekerja,
pejabat pemerintah setempat, dan berbagai dinas pelayanan serta
lembaga-lembaga terkait.

Pendidikan Dewasa dan Pendidikan Luar Sekolah


57. Para penyandang cacat seyogyanya mendapat perhatian khusus
dalam perancangan dan implementasi program-program
pendidikan dewasa dan pendidikan luar sekolah. Para penyandang
cacat seyogyanya diberi prioritas untuk memperoleh akses ke
program-program tersebut. Kursus-kursus khusus seyogyanya juga
dirancang agar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi bermacam-
macam kelompok orang dewasa penyandang cacat.

F. PERSPEKTIF MASYARAKAT
58. Menyadari bahwa keberhasilan pendidikan anak penyandang
kebutuhan pendidikan khusus bukan tugas Kementerian
Pendidikan dan sekolah semata. Hal tersebut menuntut kerjasama
dari keluarga, dan mobilisasi organisasi-organisasi masyarakat dan
relawan serta dukungan masyarakat pada umumnya.
Pengalaman dari negara-negara atau daerah-daerah yang telah
menyaksikan kemajuan dalam menyamakan kesempatan
pendidikan bagi anak dan remaja penyandang kebutuhan
pendidikan khusus memberi beberapa pelajaran yang berharga.

Kemitraan Orang Tua


59. Mendidik anak penyandang kebutuhan pendidikan khusus
merupakan tugas bersama dari orang tua dan para profesional.
Sikap positif dari pihak orang tua sangat kontributif terhadap
keberhasilan integrasi pendidikan dan sosial. Para orang tua
membutuhkan dukungan untuk dapat menjalankan perannya
sebagai orang tua dari anak penyandang kebutuhan khusus. Peran
keluarga dan orang tua dapat diperbesar dengan pemberian
informasi yang diperlukan dalam bahasa yang sederhana dan
jelas.
Memberikan informasi dan pelatihan dalam keterampilan
mengasuh anak merupakan tugas yang sangat penting dalam
lingkungan budaya di mana terdapat sedikit sekali tradisi
menykolahkan anak. Baik orang tua maupun guru mungkin
membutuhkan dukungan dan dorongan untuk belajar bekerjasama
sebagai mitra yang sejajar.
60. Orang tua merupakan mitra istimewa sehubungan dengan
kebutuhan pendidikan khusus bagi anaknya, dan sejauh
memungkinkan seyogyanya memperoleh persetujuan tentang
pilihan mengenai jenis penyelenggaraan pendidikan yang
diinginkannya bagi anaknya.
61. Kemitraan yang kooperatif dan suportif antara administrator
sekolah, guru dan orang tua seyogyanya dikembangkan, dan orang
tua seyogyanya dipandang sebagai mitra aktif dalam pembuatan
keputusan. Orang tua seyogyanya didorong untuk berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di rumah maupun di sekolah
(di mana mereka dapat mengamati teknik-teknik yang efektif dan
belajar cara mengorganisasikan kegiatan ekstrakurikuler), serta
dalam mengawasi dan membantu kegiatan belajar anaknya.
62. Pemerintah seyogyanya berada di depan dalam upaya
meningkatkan kemitraan orang tua, baik melalui penetapan
kebijakan maupun peraturan perundang-undangan mengenai hak-
hak orang tua. Pengembangan persatuan orang tua seyogyanya
ditingkatkan dan perwakilannya dilibatkan dalam perancangan dan
implementasi program-program yang dimaksudkan untuk
meningkatkan pendidikan bagi anaknya.
Organisasi-organisasi para penyandang cacat pun seyogyanya
dikonsultasi mengenai perancangan dan implementasi program-
program tersebut.

Keterlibatan Masyarakat
63. Desentralisasi dan perencanaan yang berbasis daerah setempat
akan lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam
pendidikan dan pelatihan para penyandang kebutuhan pendidikan
khusus. Para pejabat setempat seyogyanya mendorong partisipasi
masyarakat dengan memberi dukungan kepada perwakilan dari
organisasi-organisasi masyarakat setempat dan mengundang
mereka untuk ambil bagian dalam pembuatan keputusan. Untuk
maksud tersebut, seyogyanya ditetapkan mekanisme mobilisasi
dan pemantauan yang terdiri dari pemerintah daerah setempat,
otoritas pendidikan, kesehatan dan pembangunan, pemuka
masyarakat dan organisasi sosial, di wilayah geografis yang tidak
terlalu besar untuk menjamin adanya partisipasi masyarakat yang
berarti.
64. Keterlibatan masyarakat seyogyanya diaktifkan untuk melengkapi
kegiatan-kegiatan intra-sekolah, memberikan bantuan dalam
mengerjakan pekerjaan rumah dan untuk mengatasi kurangnya
dukungan dari keluarga. Dalam hubungan ini perlu juga
disebutkan peran kerukunan masyarakat sekitar untuk
menyediakan tempat, peran paguyuban keluarga, klub dan gerakan
pemuda, serta potensi peran orang-orang usia lanjut dan relawan
lainnya, termasuk para penyandang cacat, baik dalam program-
program intra-sekolah maupun luar sekolah.
65. Bilamana aksi untuk rehabilitasi berbasis masyarakat dimulai dari
pihak luar, masyarakat sendirilah yang harus memutuskan apakah
program tersebut akan menjadi bagian dari kegiatan pembangunan
masyarakat yang sedang berlangsung. Berbagai mitra dalam
masyarakat, termasuk organisasi penyandang cacat dan organisasi-
organisasi non-pemerintah lainnya, seyogyanya diberdayakan
untuk turut memikul tanggung jawab atas program tersebut.
Bilamana dipandang tepat, instansi pemerintah di tingkat nasional
maupun daerah seyogyanya juga memberi dukungan finansial dan
bentukj-bentuk dukungan lainnya.

Peran Organisasi Sosial


66. Karena kelompok-kelompok relawan dan organisasi-organisasi
non-pemerintah tingkat nasional memiliki lebih banyak
keleluasaan untuk bertindak dan dapat memberikan respon secara
lebih cepat terhadap berbagai kebutuhan yang muncul, mereka
seyogyanya didukung dalam mengembangkan gagasan-gagasan
baru dan memelopori metode-metode pemberian layanan yang
inovatif. Mereka dapat memainkan peran sebagai inovator dan
katalisator serta penyampai program-program yang tersedia
kepada masyarakat.
67. Organisasi-organisasi para penyandang cacat - yaitu organisasi di
mana para penyandang cacat itu sendiri mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan seyogyanya diajak untuk mengambil
peran aktif dalam mengidentifikasi kebutuhan, mengungkapkan
pandangan mengenai skala prioritas, menyampaikan pelayanan,
mengevaluasi pelaksanaan serta mengadvokasi perubahan.

Kesadaran Masyarakat
68. Para pembuat kebijakan di semua tingkatan, termasuk tingkat
sekolah, seyogyanya secara berkala menegaskan kembali
komitmennya terhadap inklusi dan meningkatkan sikap positif di
kalangan anak-anak, di kalangan para guru dan di kalangan
masyarakat secara luas terhadap mereka yang menyandang
kebutuhan pendidikan khusus.
69. Media massa dapat memainkan peran yang sangat kuat dalam
meningkatkan sikap positif terhadap integrasi para penyandang
cacat di dalam masyarakat, mengatasi purbasangka dan
misinformasi, serta menanamkan optimisme yang lebih besar dan
imaginasi mengenai kemampuan para penyandang cacat. Media
juga dapat meningkatkan sikap positif dari para penyedia kerja
untuk mempekerjakan para penyandang cacat. Media seyogyanya
dimanfaatkan untuk memberi penerangan kepada masyarakat
tentang pendekatan-pendekatan baru dalam pendidikan, khususnya
mengenai penyelenggaraan pendidikan kebutuhan khusus di
sekolah reguler, dengan mempopulerkan contoh-contoh praktek
yang baik dan pengalaman-pengalaman yang berhasil.

G. SUMBER-SUMBER YANG DIBUTUHKAN


70. Pengembangan sekolah inklusif sebagai cara yang paling efektif
untuk mencapai Pendidikan bagi Semua harus diakui sebagai
sebuah kebijakan kunci pemerintah dan diberi tempat istimewa
dalam agenda pembangunan nasional. Hanya dengan cara inilah
sumber-sumber yang memadai dapat diperoleh. Perubahan dalam
kebijakan dan skala prioritas tidak dapat efektif jika tidak
dibarengi dengan penyediaan sumber-sumber yang dibutuhkan
secara memadai. Komitmen politik, pada tingkat pemerintah
maupun masyarakat, diperlukan, baik untuk mendapatkan sumber-
sumber tambahan maupun untuk merealokasi sumber-sumber
yang ada. Sementara masyarakat harus memainkan peran kunci
dalam mengembangkan sekolah inklusif, dorongan dan dukungan
pemerintah juga sangat penting dalam menciptakan cara
pemecahan yang efektif dan terjangkau.
71. Pendistribusian sumber-sumber ke sekolah-sekolah seyogyanya
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang realistis
mengenai perbedaan-perbedaan dalam pengeluaran yang
dibutuhkan untuk memberikan pendidikan yang tepat bagi semua
anak, dengan mengingat kebutuhan dan keadaan mereka. Mungkin
realistis bila dimulai dengan mendukung sekolah-sekolah tertentu
yang berkeinginan meningkatkan pendidikan inklusif dan
meluncurkan proyek perintis di beberapa daerah untuk
mendapatkan keahlian yang diperlukan untuk perluasan dan
penerapan kebijakan secara umum. Dalam penerapan pendidikan
inklusif secara umum, tingkat dukungan dan keahlian untuk
masing-masing sekolah harus disesuaikan dengan kebutuhannya.
72. Sumber-sumber juga harus dialokasikan untuk mendukung
layanan pelatihan bagi guru-guru reguler, untuk pendirian pusat-
pusat sumber dan untuk guru pendidikan khusus atau guru sumber.
Bantuan teknis yang tepat juga harus diberikan untuk menjamin
keberhasilan operasianal sistem pendidikan terpadu. Oleh karena
itu, pendekatan terpadu seyogyanya dikaitkan dengan
pengembangan berbagai pelayanan pendukung pada tingkat pusat
dan menengah.
73. Memadukan sumber-sumber daya manusia, kelembagaan, logistik,
materi dan keuangan dari berbagai departemen kementerian
(Pendidikan, Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja,
Kepemudaan, dll.), para pejabat teritorial dan daerah, serta
lembaga-lembaga lainnya merupakan cara yang efektif untuk
memaksimalkan dampaknya. Menggabungkan pendekatan
pendidikan dan sosial terhadap pendidikan kebutuhan khusus
menuntut adanya struktur manajemen yang efektif agar berbagai
pelayanan dapat bekerjasama pada tingkat nasional maupun
daerah, dan memungkinkan para tokoh masyarakat dan badan-
badan keorganisasian memadukan kekuatan.
III. PEDOMAN AKSI DI TINGKAT REGIONAL DAN INTERNASIONAL
74. Kerjasama internasional antara berbagai organisasi pemerintah
dan non-pemerintah, regional dan interregional, dapat memainkan
suatu peran yang sangat penting dalam mendukung gerakan
menuju pendidikan inklusif. Berdasarkan pengalaman di masa
lampau dalam bidang ini, organisasi-organisasi internasional,
lembaga donor antarpemerintah dan non-pemerintah serta
bilateral, dapat mempertimbangkan untuk memadukan kekuatan
dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan strategis
berikut ini.
75. Bantuan teknis seyogyanya diarahkan ke bidang-bidang intervensi
strategis yang berdampak majemuk, terutama di negara-negara
berkembang. Satu tugas bagi kerjasama internasional adalah
mendukung peluncuran proyek perintis yang dimaksudkan untuk
mengujicobakan pendekatan-pendekatan baru dan meningkatkan
kapasitas.
76. Penyelenggaraan kemitraan regional atau kemitraan di kalangan
negara-negara yang menganut pendekatan yang serupa dalam
pendidikan kebutuhan khusus dapat menghasilkan perencanaan
untuk melakukan kegiatan bersama di bawah naungan mekanisme
regional yang sudah ada atau mekanisme kerjasama lainnya.
Kegiatan semacam ini seyogyanya dirancang sedemikian rupa
sehingga dapat memanfaatkan kemajuan ekonomi dan pengalaman
negara-negara peserta, dan dapat mempercepat perkembangan
kapabilitas nasional.
77. Satu misi prioritas yang wajib diemban oleh organisasi-organisasi
internasional adalah mempermudah pertukaran data, informasi dan
hasil program-program perintis dalam bidang pendidikan
kebutuhan khusus antara negara-negara dan wilayah-wilayah.
Koleksi yang berisikan indikator-indikator mengenai kemajuan
dalam pelaksanaan inklusi dalam pendidikan dan penempatan
tenaga kerja dari berbagai negara seyogyanya menjadi bagian dari
database dunia mengenai pendidikan. Sejumlah titik fokus dapat
didirikan di pusat-pusat subregional untuk mempermudah
pertukaran informasi tersebut. Struktur-struktur yang sudah ada di
tingkat regional dan internasional seyogyanya diperkuat dan
kegiatannya diperluas ke bidang-bidang lain seperti pembuatan
kebijakan, perumusan program, pelatihan personalia, dan
evaluasi.
78. Tingginya persentase kecacatan merupakan akibat langsung dari
kurangnya informasi, kemiskinan dan rendahnya standar
kesehatan. Karena prevalensi kecacatan di seluruh dunia
meningkat terus, terutama di negara-negara berkembang, maka
seyogyanya dilakukan aksi internasional bersama yang dikaitkan
secara erat dengan upaya-upaya nasional untuk mencegah faktor-
faktor penyebab kecacatan melalui pendidikan, yang pada
gilirannya akan mengurangi insiden dan prevalensi kecacatan, dan
dengan demikian semakin mengurangi tuntutan kebutuhan
sumber-sumber keuangan dan daya manusia yang terbatas dari
sebuah negara.
79. Bantuan teknis dan bantuan internasional untuk pendidikan
kebutuhan khusus berasal dari berbagai sumber. Oleh karena itu,
penting menjamin adanya pertalian dan saling melengkapi di
kalangan badan-badan PBB serta badan-badan internasional
lainnya yang memberikan bantuan dalam bidang ini.
80. Badan-badan kerjasama internasional seyogyanya mendukung
diselenggarakannya seminar-seminar pelatihan bagi para
pengelola dan ahli pendidikan di tingkat regional, dan menjalin
kerjasama antara universitas dan institusi pendidikan di berbagai
negara untuk menyelenggarakan studi banding serta untuk
mempublikasikan dokumen-dokumen referensi dan bahan-bahan
pengajaran.
81. Badan-badan kerjasama internasional seyogyanya membantu
dalam pengembangan asosiasi-asosiasi profesi tingkat regional
dan internasional yang memberi perhatian khusus pada
peningkatan pendidikan kebutuhan khusus, dan seyogyanya
mendukung penerbitan dan pengedaran majalah atau jurnal serta
penyelenggaraan pertemuan-pertemuan dan konferensi tingkat
regional.
82. Pertemuan-pertemuan tingkat regional dan internasional yang
membahas masalah-masalah yang terkait dengan pendidikan
seyogyanya juga membahas kebutuhan pendidikan khusus sebagai
bagian integral dari perdebatannya, bukan sebagai masalah
terpisah. Sebagai contoh konkret, masalah pendidikan kebutuhan
khusus seyogyanya dimasukkan ke dalam agenda konferensi
menteri-menteri tingkat regional yang diselenggarakan oleh
UNESCO dan badan-badan antarpemerintah lainnya.
83. Lembaga-lembaga pendanaan dan kerjasama teknis internasional
yang terlibat dalam prakarsa pemberian dukungan dan
pengembangan Pendidikan bagi Semua seyogyanya menjamin
bahwa pendidikan kebutuhan khusus merupakan bagian integral
dari semua proyek pembangunannya.
84. Seyogyanya terdapat koordinasi internasional untuk mendukung
terpenuhinya spesifikasi aksesibilitas yang universal dalam
teknologi komunikasi sebagai fondasi bagi infrastruktur
informasi.
85. Kerangka Aksi ini ditetapkan secara aklamasi setelah melalui
diskusi dan amandemen pada sesi penutupan Konferensi pada
tanggal 10 Juni 1994. Kerangka Aksi ini dimaksudkan untuk
memberi pedoman kepada Negara-negara anggota serta
organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dalam
mengimplementasikan Pernyataan Salamanca tentang Prinsip,
Kebijakan dan Praktek dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus.

f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua 2000 (The Dakar


Commitment on Education for All)
Jawab:
Forum Pendidikan Dunia tahun 2001 di Dakar Senegal menghasilkan 6
komitmen sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua (The Dakar
Framework for Action) yang disahkan dan diterima oleh pendidikan dunia
(The World Education Forum). Enam Komitmen Kerangka Aksi
Pendidikan Untuk Semua adalah sebagai berikut:
1. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan
anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang
beruntung
2. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak khususnya anak
perempuan, anak-anak dalam keadaan yang sulit dan mereka yang
termasuk minoritas etnik, mempunyai akses pada dan menyelesaiakan
pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik
3. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang
dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program
belajar dan keterampilan hidup yang sesuai
4. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniakasaraan orang dewasa
menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses
yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang
dewasa
5. Menghapus disparitas gender di pendidikan dasar dan menengah
tahun 2005, dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan
menjelang tahun 2015 dengan suatu focus jaminan bagi perempuan
atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar
dengan kualitas yang baik
6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan den menjamin
keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur
dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka
keterampilan hidup yang penting
Secara sektoral 6 (enam) target diterjemahkan dalam 6 komponen
program kegiatan yaitu:
(1) Pendidikan Anak Usia Dini
(2) Pendidikan dasar (SD/SMP)
(3) Pendidikan Keaksaraan
(4) Pendidikan Kecakapan Hidup (life skill)
(5) Pengarusutamaan gender, dan
(6) Mutu pendidikan
Dua belas strategi untuk mewujudkan keenam komitmen sebagai
tujuan yang harus dicapai, maka disepakati 12 strategi yang perlu
ditunjuk, yaitu:
1. Mengerahkan komitmen politik nasional dan internasional yang kuat
bagi pendidikan untuk semua (PUS), membangun suatu aksi nasional
dan meningkatkan investasi yang besar didalam pendidikan dasar
2. Mempromosikan kebijakan PUS dalam kerangka sektor yang berlanjut
dan terpadu baik, yang jelas terkait dengan penghapusan kemiskinan
dan strategi-strategi pembangunan
3. Menjamin keikutsertaan dan peran serta masyarakat madani dalam
perumusan, pelaksanaan dan pemantauan strategi-strategi untuk
pembangunan pendidikan
4. Mengembangkan sistem pengaturan dan manajemen pendidikan yang
tanggap, partisipatori dan akuntabel
5. Memenuhi kebutuhan sistem pendidikan yang dilanda oleh pertikaian,
bencana alam dan ketidakstabilan serta melaksanakan program-
program pendidikan dengan cara-cara yang mempromosikan saling
pengertian perdamaian, toleransi, dan yang membantu mencegah
kekerasan dan pertikaian
6. Melaksanakan strategi-strategi terpadu untuk persamaan gender dalam
pendidikan yang mengakui perlunya perubahan-perubahan dalam
sikap, nilai, dan praktik
7. Melaksanakan sebagi sesuatu yang mendesak program-program dan
tindakan pendidikan untuk menangani epidemic HIV/AIDS
8. Menciptakan lingkungan sumberdaya pendidikan yang aman, sehat,
inklusif dan andil yang kondusif bagi keunggulan dalam pembelajaran
dengan tingkat-tingkat prestasi yang sudah jelas dibataskan untuk
semua
9. Meningkatkan status, moral, dan profesionalisme guru
10. Memanfaatkan teknologi-teknologi informasi dan komunikasi baru
untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan PUS
11. Secara sistematis memantau kemajuan kearah tujuan-tujuan dan
strategi-strategi PUS pada tingkat-taingkat nasional, regional dan
internasional
12. Membangun di atas mekanisme yang sudah ada guna mempercepat
kemajuan ke arah pendidikan untuk semua

g. Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju


Pendidikan Inklusif”
Jawab:
Paradigma pendidikan di Indonesia menuju pendidikan inklusif
(pendidikan untuk semua) yang telah dideklarasikan di Bandung dalam
Lokakarya Nasional Pendidikan Inklusif tanggal 8 – 14 Agustus 2004.
Dalam deklarasi tersebut tertuang tujuh mandat yang menjadi komitmen
bagi semua pihak agar peduli terhadap anak-anak yang mengalami
kebutuhan khusus : 1) menjamin setiap anak berkelainan mendapat
kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, 2) menjamin semua anak
untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu
tanpa perlakuan yang diskriminatif, 3) menyelenggarakan pendidikan
untuk semua (inklusi) yang ditunjang kerjasama yang sinergi, 4)
menciptakan lingkungan yang mendukung, 5) menjamin kebebasan bagi
anak berkebutuhan pendidikan khusus, berinteraksi dengan siapapun,
kapanpun dan dilingkungan manapun dengan meminimalkan hambatan,
6) mensosialisasikan pendidikan untuk semua, 7) menyusun rencana aksi
dan pembiayaan untuk pemenuhan aksesibilitas.
Pendidikan inklusi dibagi menjadi 3 yaitu:
(1) Inklusi tuna netra
Inklusi tunanetra adalah pendidikan inklusi bagi anak yang mengalami
gangguan penglihatan atau rusak penglihatannya ( buta total ) .
pendidikan inklusi tunanetra ini peserta didik diberi alat bantu software
JOS yang di install pada PC atau laptop, sehingga semua tulisan dapat
diubah menjadi bunyi oleh software tersebut
(2) Inklusi tuna rungu
Inklusi tunarungu adalah pendidikan inklusi untuk anak yang
kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga
mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal. Untuk alat bantu
yang digunakan adalah menggunakan bahasa mimik atau bahasa
isyarat
(3) Inklusi tuna daksa
Inklusi tunadaksa adalah pendidikan inklusi untuk anak yang
mengalami cacat fisik berupa tidak memiliki anggota tubuh ( tangan
dan kaki ) ataupun jika punya kaki maupun tangannya tidak dapat
berfungsi secara baik
Manfaat Pendidikan Inklusi
Pelaksanaan pendidikan inklusi akan mampu mendorong terjadinya
perubahan sikap lebih positif dari peserta didik terhadap adanya perbedaan
melalui pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dan pada
akhirnya akan mampu membentuk sebuah kelompok masyarakat yang
tidak diskriminatif dan bahkan menjadi akomodatif terhadap semua orang.
(1) Bagi siswa
(a) Sejak dini siswa memiliki pemahamanyang baik terhadap
perbedaan dan keberagaman
(b) Munculnya sikap empati pada siswa secara alamiah
(c) Munculnya budaya saling menghargai dan menghormati antar
siswa
(d) Menurunkan terjadinya stigma dan labeling kepada semua anak,
khusunya pada anak berkebutuhan khusus dan penyandang cacat
(e) Timbulnya budaya kooperatif dan kolaboratif pada siswa sehingga
memungkinkan adanya saling bantu antar satu dengan yang lainnya
(2) Bagi Guru
(a) Lebih tertantang untuk mengembangkan berbagai metode
pembelajaran
(b) Bertambahnya kemampuan dan pengetahuan guru tentang
keberagaman siswa termasuk keunikan, karakteristik, dan sekaligus
kebutuhannya
(c) Terjalinnya komunikasi dan kerja sama dalam kemitraan antar
guru dan guru ahli bidang lain
(d) Menumbuhkembangkan sikap empati guru terhadao siswa
termasuk siswa penyandang cacat / siswa berkebutuhan khusus
(3) Bagi Sekolah
(a) Memberikan kontribusi yang sangat besar bagi program wajib
belajar
(b) Memberikan peluang terjadinya pemerataan pendidikan bagi
semua kelompok masyarakat
(c) Menggunakan biaya yang relatif lebih efisien
(d) Mengakomodasi kebutuhan masyarakat
(e) Meningkatkan kualitas layanan pendidikan

h. Rekomendasi Bukit tinggi 2005 mengenai pendidikan inklusif dan ramah


Jawab:
Rekomendasi Bukit tinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan
ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
(1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara
menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk
“pendidikan untuk semua” adalah benar-benar untuk semua
(2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh
pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas
tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk
perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan
menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau
masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
(3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang
menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga
negara.
Di samping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk
lebih meningkatkan kuailtas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua
lainnya:
(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental
yang mendasari semua kebijakan nasional
(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional,
emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan
prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas
sebagaimana telah disebutkan di atas
(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak,
tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu,
serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka
(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan
strategi bersama menuju inklusi
(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah
yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan
inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama
yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-
pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua,
anak maupun sektor swasta
(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-
pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap
upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat
inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua
anak
(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun
ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam
Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak
usia sekolah
(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan
guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek
inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya
dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang
perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya
membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk
orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif
dan inklusif
4. Dalam pelaksanaan sekolah inklusif, pengelolaannya dilandasi oleh pola
manajemen mutu total, jelaskan 4 (empat) prinsip-prinsip tersebut. Agar
semua komponen sekolah dapat dilaksanakan sebaik mungkin, struktur
organisasi sekolah inklusi perlu dipersiapkan. Susunlah model alternatif 2;
terutama untuk sekolah cukup besar yang memiliki lebih dari 6 (enam)
rombongan belajar
Jawab:
Manajemen mutu terpadu merupakan mekanisme formal dan
dilembagakan yang bertujuan untuk mencari pemecahan persoalan
dengan memberikan tekanan pada partisipasi dan kreatifitas di antara
karyawan. Setiap gugus juga bertindak sebagai mekanisme pemantau
yang membantu organisasi dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan dalam memantau kesempatan, bersifat proaktif,
tidak menunggu bergerak kalau persoalan timbul dan tidak
menghentikan kegiatannya kalau suatu persoalan telah ditemukan dan
dipecahkan.
Manajemen mutu terpadu diartikan sebagai perpaduan semua
fungsi dari suatu perusahaan ke dalam falsafat holistik yang dibangun
berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktifitas, dan pengertian,
serta kepuasan pelanggan. Manajemen mutu terpadu merupakan sistem
manajemen yang mengangkat kualitas sebagai setrategi usaha dan
berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh
anggota organisasi.
Konsep TQM ini memerlukan komitmen semua anggota
organisasi terhadap perbaikan seluruh aspek manajemen organisasi.
Pada dasarnya, konsep Total Quality Management mengandung tiga
unsur yaitu :
1) Strategi nilai pelanggan
Nilai pelanggan adalah manfaat yang dapat diperoleh
pelanggan atas penggunaan barang atau jasa yang dihasilkan
perusahaan dan pengorbanan pelanggan untuk memperolehnya.
Strategi ini merupakan perencanaan bisnis untuk memberikan nilai
bagi pelanggan termasuk karakteristik produk, cara penyampaian,
pelayanan, dan sebagainya.
2) Sistem organisasional
Sistem organisasional berfokus pada penyediaan nilai bagi
pelanggan. Sistem ini mencakup tenaga kerja, material,
mesin/teknologi proses, metode operasi dan pelaksanaan kerja,
aliran proses kerja, arus informasi, dan pembuatan keputusan.
3) Perbaikan kualitas berkelanjutan
Perbaikan kualitas diperlukan untuk menghadapi lingkungan
eksternal yang selalu berubah, terutama perubahan selera
pelanggan. Konsep ini menuntut adanya komitmen untuk
melakukan pengujian kualitas produk secara kontinu. Dengan
perbaikan kualitas produk secara kontinu, akan dapat memuaskan
pelanggan.
Menurut Hensler dan Brunell (1993) dalam Edward sallis,[7] ada
empat prinsip utama dalam TQM yakni:
a) Kepuasan pelanggan, konsep mengenai kualitas dan
pelanggan diperluas. Kualitas tidak lagi hanya bermakna
kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi tertentu, tetapi
kualitas tersebut ditentukan oleh pelanggan. Kebutuhan
pelanggan diusahakan untuk dipuaskan dalam segala aspek,
termasuk didalamnya harga, keamanan dan ketepatan waktu.
Kualitas yang dihasilkan suatu perusahaan sama dengan nilai
(value) yang diberikan dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup para pelanggan.
b) Respek terhadap setiap orang, setiap karyawan dipandang
sebgai individu yang memiliki talenta dan kereativitas
tersendiri danunik. Dengan demikian karyawan merupakan
sumber dayaorganisasi yang paling bernilai. Sehingga setiap
orang dalamorganisasi diperlakukan dengan baik dan diberi
kesempatan untukterlibat dan berpartisipasi dalam tim
pengambil keputusan.
c. Manajemen berdasarkan fakta, setiap keputusan
harusberdasarkan data, bukan sekedar pada perasaan (feeling).
Konsep pokoknya adalah 1). Prioritisasi (prioritization) yakni
suatu konsepbahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada
semua aspek padasaat yang bersamaan, mengingat keterbatasan
sumber daya yangada.oleh karena itu dengan menggunakan
data maka manajemendan tim dalam organisasi dapat
memfokuskan usahanya padasituasi tertentu yang vital. 2).
Variasi (variation) variabilitas kinerjamanusia. Data statistik
dapat memberikan gambaran mengenaivariabilitas yang
merupakan bagian yang wajar dari setiap sistemorganisasi.
Dengan demikian manajemen dapat memprediksi hasildari
setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan.
d. Perbaikan berkesinambungan, setiap perusahaan perlu
melakukan proses secara sistematis dalam melaksanakan
perbaikan berkesinambungan. Konsep yang berlaku disini
adalah siklus PDCA(plan-do-chek-act) yang terdiri dari
langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan rencana,
pemeriksaan hasilpelaksanaan rencana, dan tindakan korektif
terhadap hasil yang diperoleh.
MEWUJUDKAN SEKOLAH INKLUSI MERUJUK PADA
PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

Pendidikan yang berkualitas pada dasarnya adalah milik semua orang, tanpa
melihat kaya atau miskin, tua atau muda, bahkan orang yang normal dengan
orang berkebutuhan khusus. Sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh semua
orang tanpa terkecuali. Selama beberapa tahun kita telah mengamati bahwa
anak-anak dan
remaja berhenti sekolah pada jumlah yang sangat memprihatinkan.
Kemiskinan merupakan sebuah alasan untuk fenomena ini. Berhenti
sekolah bukan hanya berhenti, tetapi mereka juga
diberhentikan karena mereka tidak berpenampilan sesuai dengan yang
kita inginkan, mereka tidak seharum yang kita inginkan, mereka tidak
berpakaian seperti yang kita inginkan, mereka tidak mempunyai latar
belakang sosial dan budaya yang baik, atau mereka tidak melihat, atau
mereka tidak mendengar, atau mereka tidak berpikir dengan baik.
Dengan atmosfir pendidikan yang tidak kondusif inilah maka perlu ada suatu
alternatif pendidikan yang dapat mengakomodir setiap kebutuhan anak
termasuk anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Selama ini, anak -- anak yang berkebutuhan khusus sering cenderung
terisolasi dari teman -- teman sebayanya, mereka dipandang tidak seharusnya
disetarakan dengan anak -- anak normal pada umumnya. Yang terjadi saat ini,
anak -- anak berkebutuhan khusus harus belajar pada sekolah khusus dan
tidak semestinya bersekolah pada sekolah umum. Kondisi seperti ini
memunculkan suatu gagasan untuk menghapus adanya diskriminasi pada
anak -- anak berkebutuhan khusus. Education For All (EFA) merupakan salah
satu strategi dalam mewujudkan pendidikan untuk semua, tanpa ada
diskriminasi. Pendidikan untuk semua (Education For All) didasarkan atas
deklarasi universal, tentang Konvensi Hak Asasi Manusia tahun 1948.
Konvensi tersebut menyatakan bahwa pendidikan dasar wajib setiap anak.
Dalam hal ini negara harus menyediakan layanan cukup bagi anak. Ketika
orang tua atau orang lain yang diberi tanggung jawab namun tidak dapat
melaksanakannya. Misalnya anak yang berada di daerah konflik,bencana
alam, anak jalanan, anak cacat, dan anak -- anak korban narkoba.
Salah satu perwujudan dari pendidikan untuk semua (Education For
All) diantaranya penyelenggaraaan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif
tidak hanya berarti pengintegrasian anak dan remaja yang menyandang
kecacatan fisik,sensori atau intelektual ke dalam sekolah reguler, atau hanya
akses pendidikan bagi anak yang terkucilkan. Inklusi merupakan sebuah
proses dua arah untuk meningkatkan partisipasi dalam belajar dan
mengidentifikasi serta mengurangi atau menghilangkan hambatan untuk
belajar dan berpartisipasi. Strategi inklusi harus berfokus pada interaksi
antara anak dan lingkungannya. Pada prinsipnya dalam inklusi, setiap orang
berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan
bermain bersama. Setiap orang harus yakin, bahwa pendidikan hendaknya
inklusif, adil dan tidak diskriminatif.
Pendidikan inklusi berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual. Sosial-emosional, linguistik atau
kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak -- anak penyandang cacat dan
berbakat. Anak -- anak jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi
terpencil atau yang berpindah -- pindah. Anak dari kelompok etnis minoritas,
linguistik atau budaya dan anak -- anak dari area atau kelompok yang kurang
beruntung atau termarjinalisasi. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan
dididik bersama-sama anak -- anak lainnya yang normal, untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi
oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat anak -- anak normal dan
anak -- anak berkelainan, termasuk anak cacat yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan sebagai suatu komunitas manusia dan sebagai makhluk sosial.
Pengertian inklusif dan Ramah Terhadap pembelajaran menurut adaptasi
LIRP versi Indonesia (UNESCO:2004), inklusif : Selama ini istilah inklusif
diartikan dengan mengikutsertakan anak berkelainan di kelas reguler,
bersama dengan anak -- anak lainnya, itu dalam arti sempit. Memang inklusif
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus. Seperti anak dengan gangguan
penglihatan, atau pendengaran, yang mengalami gangguan motorik, atau
lambat belajar. Pengertian secara luar inklusif berarti melibatkan seluruh anak
tanpa kecuali seperti : Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan
bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas, Anak yang beresiko putus
sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestai dengan baik, Anak yang
berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda, Anak yang sedang
hamil, Anak yang terinfeksi HIV/ AIDS, dan Anak yang berusia sekolah
tetapi tidak sekolah.
Landasan Pendidikan Inklusi : Landasan Religius, Pendidikan inklusif telah
diakui dan diterima kalamgan agama Islam. Dalam konsepsi Islam,
sebenarnya telah diamanatkan bahwa kita tidak boleh membeda-bedakan
perlakuan terhadap mereka yang cacat, hal ini dapat kita simak dalam Al
Quran, Surat An Nur (Cahaya) : ayat 61 : "Tidak ada halangan bagi orang
buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit dan tidak
(pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama -- sama mereka) di rumah ibu --
ibumu, di rumah saudara- saudaramu ...".
Landasan Filosofis, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan
lambang negara Burung Garuda yang berarti "Bhineka Tunggal Ika".
Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan
berbudaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi
persatuan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pandangan universal Hal Azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak
pekerjaan. Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat
terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan
inklusi merupakan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural
yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai
orang lain yang berbeda suku, budaya nilai, kepribadian, dan keberfungsian
fisik maupun psikologis.
Landasan Yuridis : UUD 1945 (amandemen) pasal 31, UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat
istimewa, Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003
20 Januari 2003:"Setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan
mengembangkan pendidikan inklusif di sekurang -- kurangnya 4 (empat)
sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK, Deklarasi Bandung :
Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif" tanggal 8 -- 14 Agustus 2014,
Salamanca Statement and Framework for Action on Special Need Education
(1994).
Landasan Pedagogis, Pada pasal 3 Undang -- Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional, disebutkan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang
demokratis dan bertanggungjawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik
berlainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan
bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal
mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah -- sekolah khusus.
Betapapun kecilnya mereka harus diberi kesempatan bersama teman
sebayanya.
Landasan Empiris, Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di
negara -- negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian yang berskala
besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat).
Hasilnya menunjukkan bahwa klarifikasi dan penempatan anak berkelainan di
sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.
Ruang lingkup dalam implementasi inklusi melibatkan berbagai komponen
yang satu sama lain saling mempengaruhi, ada enam aspek yang mendukung
implementasi inklusi : Befring, Edward (2001 : 215). Landasan hukum dan
kebijakan, Ideologi suatu negara direfleksikan melalui kebijakan, oleh karena
itu satu payung hukum untuk semua adalah dasar pelaksanaan inklusi.
Pembentukan sikap. Sikap, pengalaman, pengetahuan merupakan suatu
konsep yang saling mempengaruhi dan mendukung. Sikap berkembang
dipengaruhi oleh pengalaman, pengalaman itu sendiri akan mempengaruhi
pengetahuan yang selanjutnya akan membentuk sikap. Kurikulum, Sekolah
menyelenggarakan pendidikan inklusi menggunakan kurikulum yang berbasis
pada pengembangan potensi peserta didik, yaitu Kurikulum Tingkap Satuan
Pendidikan (KTSP) yang disesuaikan dengan kondisi, potensi dan kebutuhan
khusus peserta didik, agar potensi semua peserta didik dapat berkembang
secara optimal. Perubahan dalam pendidikan, Re-orientasi di lapangan
mendukung pelaksanaan pendidikan inklusi. Dalam hal ini perubahan harus
diperkenalkan dalam bidang pendidikan guru, dan dalam penelitian.
Kerjasama lintas sektoral. Didasarkan atas kepentingan pendidikan inklusif.
Maka kerjasama lintas sektoral pada berbagai level mempunyai peranan
penting dan strategis. Saat ini penyelenggaraan pendidikan inklusif berada
dibawah naungan departemen/ dinas pendidikan. Kerjasama lintas sektoral ini
dasarnya tidak menghambat adanya bantuan atau dukungan dari departemen
lain. Adaptasi lingkungan, Dalam menciptakan lingkungan inklusif, ramah
terhadap pembelajaran perlu penyesuaian atau adaptasi lingkungan, hal ini
akan meningkatkan dorongan belajar. Disamping itu bidang pendidikan
khusus mempunyai bidang -- bidang orientasi mobilitas, keselamatan, dan
kemandirian yang tergantung pada lingkungan yang disesuaikan tetapi
fungsional.
Pendidikan Untuk Semua atau Education For All ( EFA ) Menurut Renstra
Depdiknas (2010-2014) mengungkapkan bahwa Paradigma Education For
All (Pendidikan Untuk Semua) merupakan upaya pemenuhan akan kebutuhan
pendidikan sebagai hak asasi manusia minimal pada tingkat pendidikan dasar.
Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang bermutu
merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan
sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia yang diperlukan untuk
mendukung pembangunan bangsa. Gagasan EFA muncul pada tahun 1990
pada Konfrensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua.
EFA (Education For All) bertujuan untuk memenuhi hak pendidikan dasar
setiap anak, remaja maupun dewasa. Dalam Penyelenggaraan Education For
All, hendaknya pendidikan yang diberikan harus fleksibel dan disesuaikan
dengan kebutuhan orang yang mempelajarinya. Tujuan Pendidikan Untuk
Semua adalah agar anak-anak, remaja, dan dewasa harus mendapatkan
kesempatan pendidikan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan
dasar pendidikan mereka. Deklarasi Dunia Pendidikan Untuk Semua
kemudian menentukan sebuah petunjuk baru dalam pendidikan. Salah satu
bunyi deklarasi Pendidikan Untuk Semua adalah menghilangkan kekakuan,
memberikan pedoman tentang sistem pendidikan dan memberikan pendidikan
secara fleksibel.
Sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai
keragaman potensi peserta didik memerlukan layanan pendidikan yang
beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka
sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk
mengupayakan peningkatan kualitas/ mutu pendidikan. Artinya sekolah
reguler harus melakukan penyesuaian.
Ketidaksiapan sekolah melakukan penyesuaian pada dasarnya menyangkut
pada ketersediaan sumber daya manusia yang belum memadai. Disamping
pemberdayaan guru umum, juga keterbatasan guru pembimbing khusus
(GPK) yang memberikan program pendampingan pembelajaran bagi peserta
didik berkebutuhan khusus, serta keterbatasan aksesibilitas bagi anak
berkebutuhan khusus dan rendahnya dukungan warga sekolah dan masyarakat
terhadap pendidikan mereka.
Pendidikan inklusif tidaklah sekedar menempatkan peserta didik berkelainan
secara fisik dalam kelas/ sekolah reguler dan bukan pula sekedar
mamasukkan anak berkebutuhan khusus sebanyak ,ungkin dalam lingkungan
belajar peserta didik normal. Lebih dari itu, pendidikan inklusif juga
berkaitan dengan cara guru dan teman kelas yang normal menyambut semua
peserta didik dalam kelas dan secara langsung mengenali nilai -- nilai
keanekaragaman peserta didik.
Berbagai tantangan saat ini masih kita hadapi dalam implementasi dan
pengembangan pendidikan inklusif. Adapun faktor kendala yang perlu
mendapat perhatian dalam pelaksanaan pendidikan inklusi seperti
dikemukakan Skjorten ( 2003:58). Adalah sebagai berikut : Provokasi dan
sosialisasi, Struktur organisasi meliputi fungsi dan peran pelaksana, Tenaga
kependidikan yang profesional, Pedoman guru dalam mengelola kelasnya,
Peningkatan mutu pendidikan, Sarana dan prasarana, Kegiatan Belajar
Mengajar yang efektif dan efisien, Fleksibilitas Kurikulum, Identifikasi dan
asesmen, Kerjasama kemitraan.
Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusif, guru di sekolah reguler
perlu dibekali berbagai pengetahuan tentang anak berkebutuhan
khusus. Diantaranya mengetahui siapa dan bagaimana anak berkebutuhan
khusus serta karakteristiknya. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan guru
mampu melakukan indentifikasi, peserta didik di sekolah, maupun di
masyarakat sekitar sekolah.
Sebagai bagian dari steakholder pendidikan, peran yang dapat dilakukan oleh
seorang guru dalam mewujudkan sekolah inklusi, terutama pada penanganan
anak berkebutuhan khusus antara lain : Layanan prevensi, Layanan prevensi
adalah layanan yang dilakukan untuk mencegah agar hambatan belajar dan
hamnbatan perkembangan yang dialami seorang anak tidak berdampak lebih
jauh kepada aspek -- aspek perkembangan lainnya. Layanan prevensi ini
sedapat mungkin untuk mengurangi hambatan belajar dan hambatan
perkembangan, bahkan jika memungkinkan dilakukan untuk menghilangkan
hambatan belajar dan hambatan perkembangan pada seorang anak secara dini.
Layanan intervensi, Layanan interverensi dimaksudkan untuk menangani
hambatan belajar dan hambatan perkembangan, agar mereka dapat
berkembang secara optimal. Oleh karena itu target layanan intervensi adalah
perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami
hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai akibat ketunaan.
Layanan Kompensatoris, Layanan kompensatoris dimaksudkan untuk
menfasilitasi anak yang mengalami hambatan pada aspek tertentu (kehilanga
fungsi penglihatan, pendengaran, hambatan perkembangan kognitif, motorik,
serta emosi dan tingkah laku), dialihkan pada fungsi lain yang
memungkinkan dapat menggantikan fungsi yang hilang. Misalnya kehilangan
fungsi penglihatan, dikompensasikan ke fungsi perabaan (menulis dengan
huruf braile), kehilangan fungsi pendengaran dikompensasikan ke fungsi
penglihatan (berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat). Layanan
Pengembangan Potensi, Layanan pengembangan potensi dimaksudkan untuk
membantu peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan potensi dan
kelebihan -- kelebihan yang dimiliki anak, baik kognitif, afektif,
psikomotorik, bakat dan kreativitas, ketrampilan maupun kecakapan khusus
lain, sehingga dapat menunjang kehidupannya dimasyarakat. Misalnya anak
berbakat disediakan program percepatan belajar, anak tuna netra dengan
potensi bakat seni difasilitasi dengan program pengembangan seni.
Beberapa upaya dalam memberdayakan masyarakat, agar mereka terlibat
dalam upaya penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusi antara
lain seperti yang diuraikan oleh Direktorat PLB (2004) : Melakukan
sosialisasi tentang konsep penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan
inklusif. Kepada para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan, agar
mereka memiliki pemahaman visi, misi dan tujuan pendidikan inklusif,
Memfasilitasi berbagai kegiatan satuan pendidikan inklusif. Dalam hal ini
masyarakat diberi kesempatan untuk membantu dalam berbagai kegiatan
layanan pendidikan. Masyarakat juga diberi tanggungjawab sekaligus
mengetahui pentingnya pendidikan inklusif untuk anak, orang tua dan
masyarakat. Selain itu masyarakat dilibatkan dalam pengembangan
kurikulum dan bahan ajar untuk kepentingan pendidikan inklusif. Pemerintah
bersama penyelenggaraan pendidikan inklusif melakukan sosialisasi kepada
masyarakat luas. Perseorangan, organisasi, yayasan, dunia usaha, dan dunia
industri.
Pendidikan inklusif merupakan upaya untuk menjangkau layanan pendidikan
pada generasi sekarang dan yang akan datang, mereka yang memiliki kondisi
fisik berkebutuhan khusus, secara gografis, sosial, ekonomi, dan budaya
terperangkap dan sulit mendapatkan akses memperoleh pendidikan. Dalam
prakteknya pendidikan inklusif menuntut terpenuhinya berbagai persyaratan.
Persyaratan tersebut antara lain, sarana, tenaga kependidikan , kurikulum,
manajemen, waktu belajar, model evaluasi, aksesbilitas, dan lain -- lain.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut, membutuhkan cukup waktu, biaya,
dan tenaga profesional untuk mempersiapkannya.
Pendididikan untuk semua menuju inklusi merupakan konsekuensi dari
diterbitkannya Konvensi Hak Asasi Anak. Memberikan hak yang sama
kepada semua anak untuk memperoleh pelayanan dan perlakuan. Tanpa
memandang perbedaan, agama, ras, etnis, budaya, warna kulit, status
ekonomi, keadaan fisik, sosio-psikologis, dan faktor -- faktor lain. Sebagai
seorang guru harus membekali diri dengan pengetahuan dan peka terhadap
perkembangan dunia pendidikan guna mewujudkan sekolah inklusif, sekolah
ramah anak, sekolah yang merujuk pada pendidikan untuk semua, tanpa
membeda -- bedakan latar belakang peserta didik. Sebagai seorang guru harus
berperan aktif dan mefasilitasi setiap peserta didik berkebutuhan khusus,
memberdayakan sarana dan prasarana yang ada dalam mengoptimalkan
perwujudan sekolah inklusif.
5. Manajemen kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan khusus anak, data
tentang kebutuhan khusus anak dapat diperoleh dari profile tiap peserta didik
yang membutuhkan pendidikan khusus. Susunlah dan gambarkan secara
diagramatis manajemen kurikulum pada sekolah inklusif yang pernah
saudara kunjungi atau amati
Jawab:
Manajemen Kurikulum terkait dengan Pengembangan kurikulum inklusi
menggunakan kurikulum 2013 yang dimodifikasi. Perangkat-perangkat
kurikulum seperti silabus dan RPP dimodifikasi oleh tim pendidikan inklusif
dan guru mata pelajaran sebagaimana diungkapkan oleh Sagala (2009:95- 96)
bahwa, pengembangan kurikulum dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki
wawasan terkait dengan kurikulum sehingga pembelajaran berlangsung
menyenangkan dan menarik bagi peserta didik. Modifikasi tersebut
disesuaikan dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh masing-
masing peserta didik (Mudjito, dkk, 2012:225).. Adapun komponen
kurikulum yang dimodifikasi meliputi, aspek tujuan, materi, proses, dan
evaluasi (penilaian) Adanya modifikasi kurikulum untuk peserta didik
berkebutuhan khusus telah sesuai dengan pedoman pelaksanaan kurikulum
khusus di sekolah reguler oleh kementrian dan kebudayaan RI (2014) dan
Hermanto (2010). Terdapat perangkat pembelajaran khusus bagi peserta didik
berkebutuhan khusus yang disebut dengan istilah program pembelajaran
individual atau PPI. Dalam penyusunan dan pelaksanaan PPI pihak sekolah
tidak melibatkan orang tua, psikolog maupun terapis. sebagaimana dijelaskan
oleh Glazzard, et al (2016:25) dan Shepherd dalam Mahabatti (2011) bahwa
sekolah harus melibatkan pihak terkait lainnya dan memberikan informasi
yang jelas kepada orang tua mengenai programprogram yang diberikan
disekolah.
Manajemen proses pembelajaran dikelas inklusi diawali dengan adanya
perencanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik
dan mengacu pada kurikulum yang berlaku yaitu kurikulum modifikasi.
Proses perencanaan perencanaan pembelajaran meliputi kegiatan
menganalisis standar kompetensi lulus dan kompetensi dasar, kemudian guru
mata pelajaran menyusun dan membuat RPP dengan menetapkan sasaran,
tujuan, materi, media dan alat evaluasi pembelajaran. Dalam pembuatan RPP
modifikasi mempertimbangkan hasil asesmen serta melibatkan guru
pembimbing khusus. Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi dilaksanakan
sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) modifikasi yang
dibuat. Proses pembelajaran memiliki langkah-langkah pendahuluan, inti dan
penutup. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru mengimplementasi metode,
media, bahan latihan dan langkah-langkah pembelajaran secara sistematis
sesuai dengan RPP yang digunakan. Adanya interaksi antara guru dengan
peserta didik melalui diskusi kelompok dan pemberian tugas sehingga peserta
didik berkebutuhan khusus terlibat dalam kegiatan pembelajaran dikelas.
Selama kegiatan berlangsung guru melakukan penilaian secara tertulis
maupun melalui pengamatan. Evaluasi (penilaian) bagi peserta didik
berkebutuhan khusus mencangkup 3 aspek penilaian yaitu aspek afektif,
aspek pengetahuan dan aspek keterampilan yang disesuaikan dengan
kemampuan dan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan
khusus dengan menerapakan standar nilai yang dimodifikasi.

Komponen-komponen tersebut merupakan subsistem dalam sistem pendidikan


(sistem pembelajaran). Bila ada perubahan pada salah satu subsistem (komponen)
maka menuntut perubahan/penyesuaian komponen lainnya. Dalam hal ini, bila
dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input siswa, yakni tidak hanya
menampung anak normal tetapi juga ABK maka menuntut penyesuaian
(modifikasi) kurikulum (bahan ajar), peran serta guru, sarana-prasarana, dana,
manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan, dan kegiatan belajar-mengajar.
Implikasinya, bahwa pendidikan inklusif akan sangat sulit diimplementasikan
manakala komponen-komponen tersebut di atas tidak dilakukan modifikasi.
Komponen pendidikan yang paling berat merasakan adalah komponen tenaga
pendidik atau guru. Guru akan sangat sulit melaksanakan pembelajaran yang
bermutu apabila kurikulum tidak dilakukan modifikasi, demikian juga komponen
yang lain perlu diadakan penyesuaian. Mengapa guru yang paling terbebani?. Hal
ini karena guru di sekolah umum tidak dididik dan dipersiapkan untuk
melaksanakan pendidikan bagi anak normal. Sementara itu, di sekolah inklusif
dengan kehadiran ABK maka guru akan mengalami kesulitan. Kesulitan itu akan
dapat dieliminasi manakala guru dibantu dengan dipersiapkan kurikulum khusus
bagi ABK, baik ABK tingkat ringan ataupun ABK tingkat sedang.
Gambar 2 menunjukkan bahwa di sekolah inklusif terdapat: 1) kurikulum reguler
atau KTSP yang dikembangkan berpedoman pada SK dan KD yang
dikembangkan BSNP, dan 2) IEP atau PPI yang dikembangkan berdasarkan
“Kurikulum Khusus” atau “Kurikulum Modifikasi”. Mengingat kurikulum khusus
atau untuk sekolah inklusif belum ada maka kurikulum modifikasi tersebut
mendesak dikembangkan. SK dan KD yang ada dalam kurikulum modifikasi akan
menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, dengan
mempertimbangkan kemampuan individual peserta didik. Hasilnya dituangkan
dalam IEP atau PPI yang dikembangkan oleh Guru Pendidikan Khusus (GPK).

You might also like