You are on page 1of 12

Sejarah Candi Cetho Karanganyar – Asal Mula dan Arsitektur

Candi
Sponsors Links

Sejarah Candi Cetho adalah satu satu candi unik yang harus Anda kunjungi bila berada di Jawa
Tengah. Candi Centho terletak di Desa Gumeng, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini
adalah candi bercorak Hindu yang cukup terkenal di Pulau Jawa. Candi Cetho cukup unik karena
terletak di dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1400 mdpl. Situs sejarha ini juga memiliki sejarah
yang mirip dengan Candi lainnya yang terletak tidak jauh yakni Candi Sukuh. Kedua candi ini terletak
di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Artikel ini akan membahas secara detail tentang sejarah
dari candi cetho termasuk asal usulnya, penemuannya dan keunikan arsitekturnya.

Baca juga:

 Sejarah Kerajaan Majapahit


 Sejarah Candi Mendut
 Sejarah Kerajaan Tarumanegara

Sejarah Candi Cetho

Nama Candi Cetho diambil dari penyebutan


masyarakat sekitar terhadap candi ini dimana nama ini sebenarnya juga merupakan nama dusun
tempat candi ini dibangun yakni Dusun Cetho. Dalam bahasa Jawan, cetho memiliki arti jelas.
Dinamakan cetho karena bila Anda berada di Dusun Cetho, Anda bisa dengan jelas melihat
pemandangan pegunungan di sekitar dusun ini. Pegunungan tersebut antara lain Gunung Merbabu,
Gunung Lawu dan Gunung Merapi ditambah puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain
pemandangan pegunungan, dari dusun ini Anda juga bisa melihat dengan jelas pemandanga kota
Surakarta dan Kota Karanganyar di bawahnya. Menurut ahli sejarah, Candi Cetho telah dibangun di
abad ke 15, sama halnya dengan Candi Sukuh.

Candi ini dibangun di masa Kerajaan Majapahit Hindu. Keunikan dari candi ini adalah Candi Cetho
memiki arsitektur yang berbeda dengan candi candi Hindu lain di Jawa. Candi Cetho memiliki
arsitektur seperti punden berundak, berbeda dengan arsitektur candi pada umumnya. Perbedaan
arsitektur ini lantaran candi ini dibangun di akhir masa kejayaan Kerajaan Majapahit, dimana saat ini
kerajaan ini sudah akan runtuh. Dengan keruntuhuhan Kerajaan Majapahit, maka kebudayaan asli
masyarakat sekitar kembali muncul. Oleh karena itu arsitektur Candi Cetho ini merepresentasikan
kebudayaan asli masyarakat sekitar Dusun Cetho.

Penemuan Kembali Candi Cetho


Menurut sejarah, penemuan kembali Candi Cetho dilakukan pertama kali oleh sejarahwan Belanda
bernama Van de Vlies. Ia menemukan Candi Cetho di tahun 1842. Selain Van de Vlies, terdapat
beberapa sejarahwan dan ahli lainnya yang telah melakukan penelitian terhadap Candi Cetho yakni
A.J. Bennet Kempers, K.C. Crucq, W.F. Sutterheim, N.J. Krom dan Riboet Darmosoetopo yang
berkebangsaan Indonesia.
Setelah penemuan pertama dan penelitian dari para ahli, di tahun 1928 Candi Cetho ini digali
kembali. Dari penggalian ini, diketahui bahwa Candi Cetho ini dibangun di masa akhir Majapahit yakni
di sekitar abad ke 15. Sejak penemuan kembali Candi Cetho ini, banyak wisatawan yang telah
mengunjungi candi ini karena keunikan arsitekturnya bila dibandingkan candi pada umumnya. Selain
itu, karena letaknya yang berada di dataran tinggi membuat Candi Cetho memiliki pemandangan
pegunungan yang mampu menarik hati para wisatawan.

Baca juga:

 Sejarah Patung Buddha Tidur


 Sejarah Kerajaan Demak
 Sejarah Kerajaan Samudera Pasai

Sponsors Link

Arsitektur Candi Cetho

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Candi


Cetho memiliki arsitektur unik berupa punden berundak. Sejarah Candi Cetho dibangun dengan
material batu andesit dengan memakai relief yang sederhana, tidak seperti Candi Hindu lain yang
memiliki relief yang cukup kompleks. Candi Cetho memiliki arsitektur yang mirip dengan candi Suku
Maya di Meksiko dan Suku Inca di Peru. Patung yang terdapat di candi ini pun bila dilihat tidak mirip
dengan orang Jawa melainkan mirip dengan orang Sumeria atau Romawi.

Keunikan arsitektur ini membuat perdebatan diantara para ahli sejarah tentang tahun dibuatnya candi
ini. Melihat arsitekturnya, bisa jadi Candi Cetho telah dibuat jauh sebelum masa Kerajaan Majapahit.
Bahan Andesit yang digunakan di candi Cetho ini berbeda dengan candi Hindu di masa kerajaan
Majapahit yang pada saat itu dibangun menggunakan bata merah. Sementara itu, relief yang ada di
candi di zaman Kerajaan Majapahit juga lebih kompleks dan detail, berbeda dengan relief yang
ditemukan di candi ini yang cenderung lebih sederhana dan sangat mudah dikenali.

Pada awalnya, Candi Cetho memiliki 14 buah teras yang berundak yang berada di sepanjang barat
ke timur candi. Namun, hanya tersisa 13 teras setelah penemuan kembalinya. Dan sayangnya lagi,
setelah pemugaran, hanya tersisa 9 teras yang kini dapat dilihat oleh para pengunjung Candi. Berikut
adalah deskripsi arsitektur teras di Candi Cetho.

 Teras 1 Candi Cetho


Teras 1 di Candi Cetho ini sebenarnya hanyalah
sebuah halaman. Saat Anda berjalan ke arah teras satu ini, Anda akan melihat 12 arca batu yang
disebut Nyai Gemang Arun. Di dalam teras ini Anda akan menemui gapura yang cukup besar dengan
bentuk seperti candi bentar. Bentuknya seperti pura yang mungkin Anda temui di Pulau Bali.

Di dalam teras 1 ini, Anda juga akan melihat bangunan seperti pendopo tanpa dinding di bagian
selatan teras 1. Bangunan ini memiliki pondasi dengan tinggi 2 meter. Di bagian atas pendopo in
terdapat alas batu yang sering digunakan untuk meletakkan sesaji oleh masyarakat yang datang
pada saat itu.

Baca juga:

 Sejarah 12 Kerajaan Islam Di Indonesia


 Sejarah Minangkabau
 Sejarah Islam di Indonesia
 Sejarah Danau Toba
 Sejarah Runtuhnya Bani Ummayah
 Teras 2 Candi Cetho

Sebelum mencapai teras 2, Anda akan melihat


gapura dan tangga yang terbuat dari batu. Tepat disamping tangga ini, terdapat dua arca yang
disebut dengan Nyai Agni. Sayangnya, salah satu arca Nyai Agni ini telah rusak. Layaknya teras 1,
teras 2 ini juga memiliki bentuk seperti halaman. Bedanya, di bagian belakang teras 2 Anda bisa
melihat hamparan batuan yang disusun untuk membentuk gambar burung garuda. Susunan batu ini
membentuk gambar burung garuda yang sedang membetangkan sayapnya.

Dalam agama Hindu, burung garuda merupakan kendaraan Dewa Wisnu yang juga melambangkan
dunia atas. Di ujung kedua sayap garuda terbentuk sinar matahari. Sinar ini juga akan Anda temukan
di bagian kepada Garuda. Di bagian punggungnya, Anda bisa melihat batu yang disusun dengan
bentuk kura kura. Kura kura ini melambangkan titisan Dewa Wisnu yang merepresentasikan dunia
bawah. Selain itu, ada pula gambar segitiga dan Kalacakra atau alat kelamin laki laki. Karena gambar
ini pula, Candi Cetho juga sering disebut dengan Candi Lanang atau Candi Laki Laki. Di dalam
gambar gambar ini juga dapat dilihat bentuk hewan lainnya seperti ketam, mimi dan katak. Lambang
lambang ini kemungkinan merupakan sengkala angka di tahun Saka 1373 atau tahun 1451 Masehi.
ads
 Teras 3 Candi Cetho

Teras ketiga ini juga berbentuk seperti halaman. Di


bagian teras 3 Candi Cetho Karanganyar ini Anda bisa melihat 2 bangunan yang terbangun tanpa
dinding. Di bangunan sejenis pendopo ini Anda bisa melihat meja batu yang kemungkinan digunakan
sebagai sesaji.

Di meja batu ini terdapat relief orang dan binatang yang cukup sederhana. Sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya, relief di Candi Cetho ini lebih simpel dibandingkan relief di Candi Hindu lain
yang cenderung lebih detail.

Baca juga:

 Sejarah Kerajaan Sriwijaya


 Sejarah Kerajaan Singasari
 Sejarah Brunei Darussalam
 Sejarah Lagu Indonesia Raya
 Sejarah Bank Indonesia
 Teras 4 Candi Cetho

Saat Anda menuju teras 4 Candi Cetho, Anda akan melihat susunan tangga yang terlihat sangat
rapih. Dapat terlihat bahwa pembuatan tangga ini sangat rapih. Kemungkinan besar tangga yang
ditemukan di teras 4 merupakan hasil pemugaran candi sehingga bentuknya sangat rapih
dibandingkan dengan bangunan lain di Candi Cetho Karanganyar ini. Selain tangga, teras 4 ini
memilki penampakan yang serupa dengan bagian teras lainnya di candi ini.

 Teras 5 & Teras 6 Candi Cetho

Di teras 5 Candi Cetho, Anda akan menemui dua buah arca yang berfungsi sebagai penjaga pintu
masuk ke teras 5. Kedua arca di teras 5 ini sebut dengan arca Bima. Sama seperti teras lainnya,
teras 5 ini merupakan halaman yang memilki dua buah bangunan serupa pendopo yang dibangun
tanpa dinding. Sementara di teras 6, Anda juga akan menemui banguna berupa halaman kecil. Teras
6 ini sama halnya dengan teras lainnya di lingkungan Candi Cetho.

Baca juga:

 Sejarah Patung Pancoran


 Candi Peninggalan Agama Hindu
 Peristiwa Rengasdengklok
 Teras 7 Candi Cetho

Di depan teras nomer 7 di Candi Cetho, Anda akan disambut oleh sebuah gapura dengan tangga
berbatu yang sangat rapih. Tangga yang disusun sangat rapih ini diapit oleh dua buah patung
Ganesha dan satu buah patung Kalacakra. Di teras 7 Candi Cetho ini juga terdapat 2 buah bangunan
serupa pendopo dengan tanpa dinding
 Teras 8 Candi Cetho

Di teras 8 Candi ini, Anda juga akan melihat tangga yang terbuat dari batu. Tangga ini diapit pula oleh
dua buah arca dengan relief. Relief yang tertulis dalam arca ini adalah tulisan jawa berupa angka
tahun pembangunan candi. Dari sinilah diketahui umur dari Candi Cetho ini

Baca juga:

 Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia


 Pertempuran Medan Area
 Sejarah Candi Gedong Songo
 Teras 9 Candi Cetho

Di teras 9 Candi Cetho, Anda akan menemui dua buah bangunan yang menghadap ke arah timur.
Kedua bangunan ini dipakai sebagai sarana penyimpanan benda benda kuno. Di depan kedua
bangunan ini, Anda bisa melihat dua buah bangunan. Di bangunan sebelah kiri, terdapat satu patung
Sabdapalon. Sementara di sisi kanan bangunan ini terdapat patung Nayagenggong. Kedua patung
dalam bangunan ini merupakan tokoh Punakawan yang ada di cerita pewayangan.

 Teras 10 Candi Cetho

Di teras 10 candi ini, Anda akan melihat 6 bangunan dengan sususan tiga bangunan di kanan dan
tiga bangunan di kiri yang berhadapan satu sama lain. Di bangunan sebelah kiri terdapat arca Prabu
Brawijaya. Sementara di bagian bangunan kanan, Anda bisa melihat arca Kalacakra. Bangunan sisis
kanan yang paling ujung digunakan sebagai sarana penyimpanan pusaka Empu Supa. Empu Supa
adalah seorang pembuat pusaka yang cukup terkenal pada masa itu.

 Teras 11 Candi Cetho

Di teras 11 Candi Cetho ini, terdapat dinding batu setinggi 1.6 meter yang menyekat teras ini. Di teras
11 ini ada satu bangunan utama berupa ruangan tanpa atap yang dibangun dengan dinding batu.
Bangunan ini memiliki tinggi sekitar 2 meter. Bangunan ini memiliki luas kurang lebih 5 meter persegi.
Bangunan ini merupakan bangunan yang relatif lebih tinggi dari bangunan lain di Candi Cetho
Karanganyar. Bila Anda ada di area teras 11 ini, Anda akan bisa melihat bangunan bangunan lain di
Candi Cetho yang letaknya lebih rendah dari bangunan di teras 11 ini.

http://sejarahlengkap.com/bangunan/sejarah-candi-cetho
andi Sukuh
Deskripsi | Foto | Video

Candi Sukuh terletak di lereng barat G. Lawu, tepatnya di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi Candi Sukuh berada pada
ketinggian + 910 merer di atas permukaan laut. Candi Sukuh ditemukan kembali dalam keadaan
runtuh pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta pada masa pemerintahan Raffles.
Selanjutnya Candi Sukuh diteliti oleh Van der Vlis pada tahun 1842. Hasil penelitian tersebut
dilaporkan dalam buku Van der Vlis yang berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto.
Penelitian terhadap candi tersebut kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans pada tahun 1864-1867
dan dilaporkan dalam bukunya yang berjudul Hindoe Oudheiden van Java. Pada tahun 1889,
Verbeek mengadakan inventarisasi terhadap candi Sukuh, yang dilanjutkan dengan penelitian oleh
Knebel dan WF. Stutterheim pada tahun 1910.

Candi Sukuh berlatar belakang agama Hindu dan diperkirakan dibangun didirikan pada akhir
abad ke-15 M. Berbeda dengan umumnya candi Hindu di Jawa Tengah, arsitektur Candi
Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan dalam kitab pedoman pembuatan bangunan suci
Hindu, Wastu Widya. Menurut ketentuan, sebuah candi harus berdenah dasar bujur sangkar
dengan tempat yang paling suci terletak di tengah. Adanya penyimpangan tersebut diduga
karena Candi Sukuh dibangun pada masa memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa.
Memudarnya pengaruh Hinduisme di Jawa rupanya menghidupkan kembali unsur-unsur
budaya setempat dari zaman Megalitikum. Pengaruh zaman prasejarah terlihat dari bentuk
bangunan Candi Sukuh yang merupakan teras berundak. Bentuk semacam itu mirip dengan
bangunan punden berundak yang merupakan ciri khas bangunan suci pada masa pra-Hindu.
Ciri khas lain bangunan suci dari masa pra-Hindu adalah tempat yang paling suci terletak di
bagian paling tinggi dan paling belakang.

Menurut dugaan para ahli, Candi Sukuh dibangun untuk tujuan pengruwatan, yaitu
menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang mempengaruhi kehidupan seseorang akibat
ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan tersebut didasarkan pada relief-relief yang memuat
cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala dan Garudheya, dan pada arca kura-kura dan
garuda yang terdapat di Candi Sukuh.
Kompleks Candi Sukuh menempati areal seluas + 5.500 m2, terdiri dari terdiri atas tiga teras
bersusun. Sepintas lalu candi ini terlihat seperti bangunan pemujaan Suku Maya di Mexico. Gerbang
utama, gerbang lain menuju ke setiap teras dan bangunan utama menghadap ke arah barat, berbeda
dengan candi-candi di Jawa tengah yang umumnya menghadap ke timur. Ketiga teras tersebut
terbelah dua tepat di tengahnya oleh batu yang ditata membentuk jalan menuju ke gerbang teras
berikutnya.

Gapura menuju teras pertama merupakan gapura paduraksa, yaitu gapura yang dilengkapi
dengan atap. Ambang pintu gapura dihiasi pahatan kala berjanggut panjang. Pada dinding
sayap utara gapura terdapat relief yang menggambarkan seorang yang sedang berlari sambil
menggigit ekor ular yang sedang melingkar. Menurut K.C. Cruq, pahatan tersebut merupakan
sebuah sengkalan (sandi angka tahun) yang dibaca gapura buta anahut buntut (gapura raksasa
menggigit ekor ular). Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai tahun 1359 Saka atau tahun
1437 M, yang diyakini sebagai tahun selesainya pembangunan candi ini. Di atas sosok
tersebut terdapat pahatan yang menggambarkan makhluk mirip manusia yang sedang
melayang serta seekor binatang melata.

Pada sayap selatan gapura terdapat relief seorang tokoh yang ditelan raksasa. Pahatan tersebut juga
merupakan sengkalan yang dibaca gapura buta mangan wong, yang artinya gapura raksasa
memakan manusia. Sengkalan tersebut ditafsirkan sebagai angka tahun 1359 Saka atau 1437 M,
sama dengan sengkalan pada dinding sayap utara gapura. Pada dinding luar gapura juga terdapat
pahatan yang menggambarkan sepasang burung yang sedang hinggap di atas pohon, sementara di
bawahnya terdapat seekor anjing, dan garuda dengan sayap terbentang sedang mencengkeram
seekor ular. Di halaman depan, di luar gapura, terdapat sekumpulan batu dalam aneka bentuk. Di
antaranya ada yang berlubang di atasnya, mirip sebuah lingga, dan ada yang menyerupai tempayan.
Di ruang dalam gapura, terhampar di lantai, terdapat pahatan yang menggambarkan phallus dan
vagina dalam bentuk yang nyata yang hampir bersentuhan satu sama lain. Pahatan tersebut
merupakan penggambaran bersatunya lingga (kelamin perempuan) dan yoni (kelamin laki-laki) yang
merupakan lambang kesuburan. Saat ini sekeliling pahatan tersebut diberi pagar, sehingga gapura
tersebut sulit untuk dilalui. Untuk naik ke teras pertama, umumnya pengunjung meggunakan tangga
di sisi gapura. Ada keyakinan bahwa pahatan tersebut berfungsi sebagai 'suwuk' (mantra atau obat)
untuk 'ngruwat' (menyembuhkan atau menghilangkan) segala kotoran yang melekat di hati. Itulah
sebabnya relief tersebut dipahatkan di lantai pintu masuk, sehingga orang yang masuk ketempat suci
ini akan melangkahinya. Dengan demikian segala kekotoran yang melekat di tubuhnya akan sirna.
Di atas ambang pintu gapura, menghadap ke pelataran teras pertama, terdapat hiasan Kalamakara
yang saat ini telah rusak berat. Pada dinding sayap utara dan selatan terdapat pahatan lelaki dalam
posisi berjongkok sambil memegang senjata.

Pelataran teras pertama yang tidak terlalu luas terbelah batu-batu yang disusun membentuk
jalan menuju gapura menuju teras kedua. Di sisi utara pelataran teras pertama ini terdapat 3
panel batu yang diletakkan berjajar. Panel pertama memuat gambar seorang lelaki sedang
berkuda diiringi oleh pasukan bersenjata tombak. Di samping kuda seorang lelaki berjalan
sambil memayunginya. Panel kedua memuatan gambar sepasang lembu dan panel ketiga
memuat gambar seorang lelaki menunggang gajah. Di sisi selatan terdapat kumpulan batu
berbagai bentuk dan beberapa buah lingga.

Di sisi timurlaut atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa gapura
bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras kedua. Tidak terdapat pahatan atau
hiasan pada dinding gapura ini. Di pelataran teras kedua yang tidak terlalu luas juga tidak
terdapat arca ataupun relief.

Di sisi utara timur atau bagian belakang pelataran teras kedua terdapat gerbang berupa gapura
bentar yang mengapit tangga menuju ke pelataran teras ketiga. Gapura ini dalam keadaan rusak
berat. Di depan gapura terdapat sepasang Arca Dwarapala yang saat ini dalam keadaan telah aus.
Pahatan kedua arca penjaga pintu ini kasar dan kaku dan wajahnya sama sekali tidak menyeramkan,
bahkan terkesan lucu.
Teras ketiga yang letaknya paling tinggi merupakan tempat yang paling suci. Pelataran teras ketiga
terbagi dua sisi, utara dan selatan, oleh jalan batu menuju ke bangunan suci di bagian belakang. Di
pelataran halaman ketiga ini terdapat banyak sekali arca dan panel batu bergambar. Di bagian depan
pelataran sisi utara terdapat 3 arca manusia bersayap dan berkepala garuda dalam posisi berdiri
dengan sayap membentang. Hanya satu dari ketiga arca ini yang masih utuh. Dua arca lainnya sudah
tidak berkepala lagi. Pada salah satu arca garuda terdapat prasasti berangka tahun 1363 Saka atau
1441 M dan 1364 Saka atau 1442 M. Di sisi utara terdapat panel-panel batu yang diletakkan berjajar,
masing-masing dihiasi pahatan gambar gajah dan sapi.

Di depan bangunan utama agak ke selatan, terdapat tiang batu yang berisi pahatan cuplikan kisah
Garudheya. Pada sudut kiri atas terdapat parsasti dalam huruf dan bahasa Kawi berbunyi “Padamel
rikang buku tirta sunya” atau sama dengan 1361 Saka. Garudheya adalah nama seekor Garuda, putra
angkat Dewi Winata. Sang dewi mempunyai saudara yang juga menjadi madunya, yang bernama
Dewi Kadru. Dewi Kadru mempunyai beberapa anak angkat yang berwujud ular. Dalam sebuah
pertaruhan Dewi Winata dikalahkan oleh Dewi Kadru, sehingga ia harus menjalani kehidupan
sebagai budak Dewi Kadru dan anak-anaknya. Garudheya mendapatkan Tirta Amerta yang menjadi
syarat peruwatan atau pembebasan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru dan anak-anaknya. Relief
kisah Garudheya ini juga terdapat di Candi Kidal di Jawa Timur yang dibangun atas perintah
Anusapati untuk meruwat ibunya, Ken Dedes.

Di bagian selatan pelataran teras ketiga ini terdapat panel-panel batu yang ditata berjajar. Panel-
panel batu ini memuat relief dengan tema cerita yang diambil dari Kidung Sudamala.
Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria kembar di antara
kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi
Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma dikutuk oleh suaminya karena tidak dapat menahan
kemarahannya terhadap suaminya yang minta untuk dilayani pada saat yang menurutnya
kurang layak. Karena menunjukkan kemarahan yang meluap-luap, Sang Dewi dikutuk dan
berubah wujud menjadi seorang raksasa bernama Bathari Durga. Bathari Durga yang
menyamar sebagai Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, mendatangi Sadewa dan meminta satria
itu untuk meruwat dirinya. Kisah tersebut dituangkan dalam lima panel relief.

Relief pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan penyamaran Bathari
Durga yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu 'meruwat' (menghilangkan kutukan)
dirinya. Relief kedua menggambarkan ketika Bima, kakak Sadewa, berperang dengan
seorang raksasa. Tangan kiri Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan tangan kanannya
menancapkan kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut lawannya.

Relief ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk 'meruwat' Bathari Durga, diikatkan ke
sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga yang mengancamnya dengan menggunakan
sebilah pedang. Relief keempat menggambarkan pernikahan Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang
dianugerahkan kepadanya karena berhasil 'meruwat' Bathari Durga. Relief kelima menggambarkan
Sadewa beserta pengiringnya menghadap Dewi Uma yang telah berhasil diruwat.

Di pelataran sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, dan di dalamnya terdapat arca
dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan
kediaman Kyai Sukuh sang penguasa kompleks Candi Sukuh.

Di depan bangunan utama terdapat tiga arca bulus kura-kura berukuran besar. Kura-kura yang
melambangkan dunia bawah, yakni dasar gunung Mahameru, juga terdapat di Candi Cetha.

Bangunan utama berbentuk trapesium berdenah dasar 15 m2 dan tinggi mencapai 6 m. Di


pertengahan sisi barat bangunan terdapat tangga yang sempit dan curam menuju ke atas atap.
Diduga bangunan yang ada saat ini adalah batur atau kaki candi, sedangkan bangunan candinya
sendiri kemungkinan terbuat dari kayu. Dugaan tersebut didasarkan pada adanya beberapa umpak
(kaki tiang bangunan) batu di pelataran atap. Di tengah pelataran atap terdapat sebuah lingga.
Konon yoni yang merupakan pasangan lingga tersebut saat ini disimpan di Museum Nasional di
Jakarta.

Upaya pelestarian Candi Sukuh telah dilakukan sejak jaman Belanda. Pemugaran pertama
dilakukan oleh Dinas Purbakala pada tahun 1917. Pada akhir tahun 1970-an Candi Sukuh
mengalami pemugaran kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

You might also like