Professional Documents
Culture Documents
BAB I
INTRODUCTION
PENDAHULUAN
I. BACKGROUND
LATAR BELAKANG
events in Indonesia are at alarming stage and has cost the lives of the students
beragama pada siswa seperti perkelahian siswa di Indonesia berada pada tahap
menjadi aset bangsa selanjutnya. Among the case like persecution, killing
character of their oppoents without feelings of guilt and sin. Di antaranya seperti
bersalah dan dosa. While the incidence of sex outside of marriage also has been
smartphone, porn site and the use of drugs and alcohol. Sementara kejadian seks
di luar nikah juga telah menjadi tren di kalangan siswa yang didorong oleh
penyebaran yang semakin luas dari smartphone, situs porno dan penggunaan
obat-obatan terlarang dan alkohol. These cases are allegedly a failure indicator
diutarakan oleh Sa’id Agil Husain Al Munawar (2003: 41-42), because religious
1
karena pendidikan agama berada pada benteng terdepan dalam mempersiapkan
sumber daya manusia yang berkualitas. It is not only the intellectual intelligence
but also moral intelligece and religious education should make significant
semakin berbudaya.
IDENTIFIKASI MASALAH
The emergence of the weakness is due to the contradiction between the facts
and the expectations or the gap between the reality and ideal ones, the gap between
theory and empirical ones. Muhaimin (2006: 17) maps out the weaknesses of
religious education in the four main issues, namely: (1) the problems of religious
antara fakta dan harapan atau kesenjangan antara kenyataan dan yang
ideal, kesenjangan antara teori dan yang empiris. Muhaimin (2006: 17)
fundamental problems which cause the issues of religion embraced by the people of
oleh masyarakat Indonesia dan masalah alokasi waktu yang sempit (Nasution, 1995:
1). Selections of the problems are based on the assumption that the issue actually is
classic, but until now has not been resolved properly, which in turn would be a matter
of continuity up from one period to the next. Pilihan masalah didasarkan pada asumsi
alternative solution. This becomes a challenge for the schools to implement it.
3
CHAPTER II
BAB II
DISCUSSION
DISKUSI
I. Religious Education
Pendidikan Agama
Education serves to develop and form the character and civilization of the
nation's dignity in the context of the intellectual life of the nation, which is
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
Indonesian human beings that should be developed by each unit. Therefore, the
formulation of national education goals form the basis for the development of
manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap unit. Karena itu,
pendidikan agama.
There are at least six components of the function and purpose of education
which are inferred by Sardiyo, first, the formation of character and civilization of
the nation's dignity, secondly, the intellectual life of the nation, the third, men of
faith who are obedient to God Almighty, fourth, become noble, healthy bookish,
capable, reactive, independent people, fifth, become democratic citizens, and the
sixth, become responsible citizens Setidaknya ada enam komponen fungsi dan
dan peradaban martabat bangsa, kedua, kehidupan intelektual bangsa, ketiga, orang
beriman yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, keempat, menjadi bangsawan,
kutu buku yang sehat, mampu, reaktif, mandiri, kelima, menjadi warga negara yang
demokratis, dan keenam, menjadi warga negara yang bertanggung jawab. (Sardio,
2009: 210-211).
5
progress (Rahim, 2001: 11). Selanjutnya, sekolah sebagai institusi pendidikan dan
media serta pengembangan sumber daya manusia dianggap sebagai pihak yang
paling strategis untuk melakukan pelatihan pelatihan, baik secara internal, maupun
eksternal, yang mengarah pada kemandirian dan kemajuan (Rahim, 2001: 11).
human faith and obedience to God Almighty, to have noble character, and to be
cultivate the ability of students to understand, appreciate and practice the values of
religion that are offset mastery in science, technology and art Fauzan, 2007: 559).
Secara umum, agama dan pendidikan agama berfungsi untuk membentuk iman manusia Indonesia
dan ketaatan kepada Allah SWT, memiliki karakter yang mulia, dan mampu menjaga harmoni
dan mempraktikkan nilai-nilai agama yang diimbangi penguasaan dalam sains, teknologi dan seni.
Maimun et al (2003: 3-4), is, first, to instill the values in order to counter the
Fourth, to instill a strong work ethic as a steppingstone to the world of work and
social reality. Tujuan pendidikan agama secara lebih rinci, menurut Agus Maimun
(2003: 3-4), adalah, pertama, menanamkan nilai-nilai untuk melawan pengaruh negatif
atau cenderung menjadi nilai-nilai negatif sebagai akibat dari globalisasi. Kedua, untuk
menanamkan etos kerja yang kuat sebagai batu loncatan ke dunia kerja dan realitas sosial.
these goals Sa'id Agil Husin Al Munawar offers ways to overcome educational
school and the community, to integrate between education and teaching. Moral
use all opportunities and a variety of means including modern technology (Al-
Munawar, 2003: 41-42). Selanjutnya, Tafsir (2005) dalam Muhaimin (2006: 123)
sehingga tidak hanya mengetahui atau melakukan (praktik) tetapi lebih disukai menjadi
oleh kelompok kerja sama dan orang tua, sekolah dan masyarakat. Sekolah harus
peluang dan berbagai cara termasuk teknologi modern (Al-Munawar, 2003: 41-42).
country with religious famous people, and the people are very strong in
7
Kami menyadari bahwa Indonesia bukan negara berbasis agama, tetapi
pendidikan agama dan sekuler, baik di bawah tanggung jawab pemerintah dan
sektor swasta.
nation's morals and ethics. Ini berbeda dengan pendidikan agama di sekolah
keragaman perilaku peserta didik dan dalam membangun moral dan etika
cognitive meaning and values into affective ones that can be internalized
by learners, whereas the core of education is on this aspect, (1) Pendidikan
dan nilai-nilai menjadi yang afektif yang dapat diinternalisasi oleh peserta
didik, sedangkan inti dari pendidikan adalah pada aspek ini, (2) Religious
pasal 29 ayat (1) dan (2), dan Pancasila sebagai filosofi dasar Republik
dasar pendidikan. Norma pendidikan yang santun atau pendidikan sosial dan
Urgency of religious education for every citizen of Indonesia on the grounds that
the process of integration of education formal religion in the national education system
in the history of the development of the legal basis (Daulay, 2007: 101-114) has been
9
started since the promulgation of Basic Law of Education No. 4 of 1950 and Education
Act No. 12 1954 Chapter XII Article 20 concerning the teaching of religion in public
schools, which reads: Urgensi pendidikan agama untuk setiap warga negara Indonesia dengan
alasan bahwa proses integrasi pendidikan formal agama dalam sistem pendidikan nasional dalam
sejarah perkembangan landasan hukum (Daulay, 2007: 101-114) telah dimulai sejak
Pendidikan No. 12 1954 Bab XII Pasal 20 tentang pengajaran agama di sekolah umum, yang
berbunyi:
children would follow the lesson. Di sekolah umum, kelas katekismus; orang
Menteri Agama.
when the issuance of the Joint Decree (SKB) of three Ministers in 1975, Chapter I
institution makes Islamic religious subjects as the basis at least 30%, in addition to
following the adoption of national education goals in Law No. 2 1989 in Chapter
making life of the nation smart and developing a complete Indonesian man, the
man of faith and devoted to God Almighty and has noble character, knowledge and
skills, physical and spiritual health, steady and personality, and social and national
Bersama (SKB) tiga Menteri pada tahun 1975, Bab I Pasal I, yang menyatakan bahwa:
"Definisi madrasah adalah sebuah institusi pendidikan menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai dasar setidaknya 30%, di samping mata pelajaran umum. "Pendidikan
agama semakin mendapatkan posisi yang kuat setelah adopsi tujuan pendidikan nasional
dalam UU No. 2 1989 dalam Bab II, Bagian 4 dari Sistem Pendidikan Nasional,"
manusia Indonesia yang lengkap, manusia yang beriman dan mengabdi kepada Allah SWT
dan memiliki karakter mulia, pengetahuan dan keterampilan, kesehatan fisik dan spiritual,
mantap dan berkepribadian, serta tanggung jawab sosial dan nasional (Bab II , Pasal 4
UUSPN). "
hukum pendidikan agama menjadi salah satu pelajaran di sekolah umum dan agama di
for Indonesian Independence), Sukarno, who later became the President said
11
2. Therefore, on August 18, 1945, Believing in One God was set as the first principle
of Pancasila. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945, Percaya kepada Satu
3. Also in the 1945 Constitution, article 29, paragraph 1 and 2.Termaktub juga
4. The attitude of the Dutch East Indies faced religious education in public schools
instruction should only be applied outside of school hours. Sikap Hindia Belanda
menghadapi pendidikan agama di sekolah umum dalam Pasal 179 (2) I.S. (Indische
Staatsregeling) yang berisi bahwa pengajaran agama hanya boleh diterapkan di luar jam
sekolah.
that religious instruction takes the place regularly organized by the ministry
of the KDP. Pesantren and Madrasah essence is one of the tools and
PPK. Esensi Pesantren dan Madrasah adalah salah satu alat dan sumber daya
dukungan pemerintah.
1946 - 27 Juni 1947, PPK, menteri Bpk. Kelvin membentuk Komite untuk
a. Religious instruction given to all schools within school hours and in the SR started
from the Fourth class. Instruksi keagamaan diberikan kepada semua sekolah dalam jam
sekolah dan SR dimulai pada kelas Keempat.
b. Religious teachers were provided by the Ministry of Religion and paid by the
government. Guru agama disediakan da dibayar oleh Departemen Agama.
school since fourth grade and was valid from January 1, 1947. Peraturan
9. This was followed by the release of the Basic Education Act No.
13
tahun 1950 dan Undang-Undang Pendidikan No. 12 tahun 1954
10. The completion of the Joint Regulation of the Minister of the KDP
11. The next step was perfecting TAP MPRS No. II of 1960
negeri.
12. TAP MPR No. IV of 1973, namely on the field of religion and
kurikulum sekolah.
the enactment of national education goals in Law No. 2 1989 in Chapter II, Section
(Article 4). And in Article 39 paragraph, (2) it is stated that the content of the
diberlakukannya tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 2 1989 dalam Bab II,
berbakti kepada Tuhan YME dan …. (Pasal 4) dan pada pasal 39 paragraf (2)
dinyatakan bahwa isi kurikulum dari setiap jenis, garis dan tingkat pendidikan
harus termasuk;
can be fitered by our defense as a human who has religion. Saat ini, efek global tidak dapat ditolak
seperti yang kita kenal sebagai globalisasi modern. Tapi, itu bisa dipadukan dengan pembelaan kita
Kebudayaan Sekolah
Kent. D. Peterson, terrece. E. Deal (1999), describes that the school culture
is a set of values that underlie behavior, traditions, everyday habits, and symbols
15
community around the school. School culture is a whole psychological
experience of the learners whether they are social, emotional, and intellectual
apakah mereka sosial, emosional, dan intelektual yang diserap oleh mereka saat
di sekolah.
School Culture has very broad scope. It generally includes rituals, hope,
decision-making, policy and social interaction among components in the school. School
culture is the atmosphere of the school where students interact with peers, teachers with
teachers, counselors with one another, administration officials with one another, and among
members of the school community groups. Internal group and intergroup interactions are
bound by various rules, norms, morals and ethics joint force in a school. Leadership,
awareness, sense of nationality, and responsibility are values that are developed in the
school culture (Ramly, 2010: 19-20). Budaya sekolah memiliki ruang lingkup yang sangat
luas. Secara umum termasuk ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler,
kegiatan ekstra kurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan dan interaksi sosial
antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana sekolah tempat siswa
berinteraksi dengan teman sebaya, guru dengan guru, penasihat satu sama lain, pejabat
administrasi satu sama lain, dan di antara anggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi
internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral, dan etika
bersama di sekolah. Kepemimpinan, teladan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin,
kesadaran sosial, kesadaran lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab adalah nilai-
All of them formed a school culture that will permeate the psychological
appreciation of the school community including students who would eventually form the
pattern of values, attitudes, habits and behaviors. Muhaimin (2006: 136) classifies the value
of the 6 points of view, namely: corner mental abilities and mental development, in terms
of cultural process, based on sources. from the standpoint of its scope, substantial angle, and
the views of the nature of value . Hal-hal tersebut dapat membentuk budaya sekolah yang
akan menembus apresiasi psikologis masyarakat sekolah termasuk siswa yang pada
akhirnya akan membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan dan perilaku. Muhaimin (2006: 136)
perkembangan mental, dalam hal proses budaya, berdasarkan sumber. dari sudut pandang
ruang lingkupnya, sudut substansial, dan pandangan tentang sifat suatu nilai.
As confirmation, Rusman (2009: 20) states that the success of a curriculum will be
menyatakan bahwa keberhasilan suatu kurikulum akan optimal jika didukung oleh kegiatan
ekstrakurikuler yang dikelola dalam kegiatan intra kurikuler yang komprehensif dan
terintegrasi.
Husni Rahim at.al. (2001: 45) confirms that the position of the religious
extracurricular activitiesare undertaken to cover, and provide other nuances in the process
mastering practical and religious skills, students are accustomed to, and create a conducive
17
climate to implement its variety in school environment. Skills in extracurricular religious
of dead bodies, Hajj and Umrah, Islamic marriage, leading prayers, praying, the Friday
preacher, ratiban, maulidan, azan and iqamah, reading narrator, and prayers of the Prophet,
and the prayer after praying. Husni Rahim (2001: 45) menegaskan bahwa posisi kegiatan
ekstrakurikuler keagamaan dilakukan untuk mencakup dan memberikan nuansa lain dalam
menguasai keterampilan praktis dan keagamaan, siswa terbiasa dan menciptakan iklim yang
praktik keagamaan ekstrakurikuler harus diabadikan dalam kurikulum atau silabus termasuk
prosesi memandikan mayat, Haji dan Umrah, perkawinan Islam, sholat terkemuka, sholat,
dakwah Jumat, ratiban, maulidan, azan dan iqamah, membaca narator, dan sholat Nabi, dan
School culture is integrated into the academic activities and student activities
through intra-curricular and extracurricular activities. The activities are not only focused on
intracurricular, but also extracurricular activities which can develop creativity, talents and
spiritual, arts, sports, and community. Budaya sekolah diintegrasikan ke dalam kegiatan
Kegiatannya tidak hanya fokus pada intrakulikuler, tetapi juga kegiatan ekstrakurikuler
yang dapat mengembangkan kreativitas, bakat dan minat siswa. Budaya sekolah harus dapat
According Syahidin (2001: 12), the development of religious education is one of the
efforts in creating an environment that is better than the previous one. The development of
religious education is an effort to optimize functions and roles of all the potentials in the
order to achieve a better state than the previous situation. Menurut Syahidin (2001: 12),
lingkungan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Pengembangan pendidikan agama
merupakan upaya untuk mengoptimalkan fungsi dan peran semua potensi dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama, dalam rangka
religious education in Indonesia has been presented by experts and observers of religious
educators which idealistically, romantically, and even less realistically so that stakeholders
experience obstacles and difficulties in realizing it. Diakui oleh Muhaimin (2009: 15-17)
oleh para ahli dan pengamat pendidik agama yang idealis dan bahkan kurang realistis
religious education that takes place in schools during this time. Among the weaknesses
of religious education is that it just pays attention to cognitive aspects alone, and ignores
the affective and psychomotoric development (Buchori, 1995) not integrate and
19
synchronize with non-religious subjects (Soejatmoko, 1976).
(Soejatmoko, 1976).
Evaluation of the cognitive learning is more dominant than the evaluation of effective
and psychomotor learning outcomes (Sudijono, 2000: 198) Memahami materi yang
bersifat teologi mengarah pada ideologi fatalistik, perilaku yang berorientasi karakter
daripada sebagai pribadi manusia yang religius. Ibadah adalah sebagai agama, bukan
kognitif lebih dominan daripada evaluasi hasil belajar efektif dan psikomotorik
konstruktivis.
Religious curriculum is too dense material, and the material is more advanced aspects
of thought rather than religious consciousness intact (Mudzhar, 2004). Kurikulum agama
adalah materi yang terlalu padat dan materi adalah aspek pemikiran yang lebih maju
Not to selectively existing paradigm of religious education that is; still leads to
dycotomic paradigm, Paradigm has not yet led to the Mechanism, and not to organism or
systemic paradigms. Bukan dengan paradigma pendidikan agama yang ada secara selektif
IV. Schools
Sekolah
Hadari Nawawi (2005: 25-28) noted the organizational structure of school education
paths based on the provisions of Law No. 2 of 1989 on National Education System
Hadari Nawawi (2005: 25-28) mencatat struktur organisasi jalur pendidikan sekolah
21
1. No. 27 of 1990 on preschool education Forms of education and training unit are as
follows: Kindergarten is for children aged 4-6 years, Play Group and Child Care
are for children aged at least 3 years, and other similar forms take 1 to 2 years.
No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan prasekolah. Bentuk unit pendidikan dan
berusia 4-6 tahun, Kelompok Bermain dan Perawatan Anak adalah untuk anak-
anak berusia minimal 3 tahun, dan bentuk serupa lainnya diambi 1 hingga 2 tahun.
2. No. 28 of 1990 on Basic Education Unit forms of basic education is the six-
year primary program, SDLB, and MI. Basic education unit forms which hold
the three-year education program are SMPLB, and MTs. Nomor 28 tahun 1990
dasar enam tahun, SDLB, dan MI. Bentuk unit pendidikan dasar yang
are grouped into two major groups, namely: General Secondary Education
in the form of SMU, MA, and education in the form of vocational school
namely SMK (both SMEA, STM, SMKK, STMA, SAA, SMF, SPG, and PGA).
Menengah Umum dalam bentuk SMU, MA, dan pendidikan dalam bentuk
sekolah kejuruan yaitu SMK (baik SMEA, STM, SMKK, STMA , SAA,
According to Ivan Illich (1982: 42), the school is a process related to the age
limit (age-specific) as well as teachers who are demanding full attendance following the
compulsory curriculum. Educational institutions have always regarded as one of the
places from which to religious education beside the family (Maimun, 2003: 2). Menurut
Ivan Illich (1982: 42), sekolah adalah proses yang berkaitan dengan batas usia (usia-
spesifik) serta guru yang menuntut kehadiran penuh mengikuti kurikulum wajib.
Institusi pendidikan selalu dianggap sebagai salah satu tempat untuk pendidikan agama
More specifically Fuad Hasan (2004: 52-66) explained that schooling is a form of
efforts. Education is not just a transfer of knowledge or skills but also includes the transfer
of cultural values and social or transmission of culture and social values norms. To more
closely see, the school function towards eaching values whether planned or not,
activities in schools, either through learning in the classroom or outside the classroom,
are never value free. Lebih khusus lagi Fuad Hasan (2004: 52-66) menjelaskan bahwa
sekolah adalah bentuk upaya pendidikan. Ini adalah pembiasaan dan peniruan pengaruh
yang sangat besar dalam upaya pendidikan. Pendidikan tidak hanya transfer pengetahuan
atau keterampilan tetapi juga mencakup transfer nilai-nilai budaya dan sosial atau
transmisi budaya dan norma-norma nilai sosial. Untuk lebih dekat melihat, fungsi sekolah
terhadap nilai masing-masing baik yang direncanakan atau tidak, penjelasan menarik oleh
Thomas (1997) dalam Muhaimin (2006): bahwa kegiatan pendidikan di sekolah, baik
melalui pembelajaran di kelas atau di luar kelas, tidak pernah bebas nilai.
In general, religion and religious education serve to create the Indonesian human
faith and the obedience to God Almighty, also to create noble, and capable people in
23
participants' ability to understand, appreciate and practice the values of religion are offset
mastery in science, technology and art (Fauzan, 2007: 559). Secara umum, agama dan
pendidikan agama berfungsi untuk menciptakan iman manusia Indonesia dan ketaatan
kepada Allah SWT, juga untuk menciptakan orang-orang yang mulia, dan mampu dalam
diimbangi penguasaan dalam sains, teknologi dan seni (Fauzan, 2007: 559).
According Ngalim Purwanto (1998: 127), the school environment is classified into
second environment, after the first is family environment and the third is the community.
The obligation of the school, beside teaches (in the sense of simply filling the brains of
children with a variety of knowledge), also tries to establish children's good personal human
being character. It is useless if the children are very clever and able to pass all of them, but
the behavior or character or personality is not good. Menurut Ngalim Purwanto (1998: 127),
lingkungan sekolah digolongkan ke dalam lingkungan kedua, setelah yang pertama adalah
lingkungan keluarga dan yang ketiga adalah masyarakat. Kewajiban sekolah, di samping
mengajarkan (dalam arti hanya mengisi otak anak-anak dengan berbagai pengetahuan), juga
berusaha untuk membangun karakter pribadi manusia yang baik untuk anak-anak. Tidak ada
gunanya jika anak-anak sangat pintar dan mampu melewati mereka semua, tetapi perilaku
School institutions are always seen as one of the places from which to explore
religion beside the family. Religious education should be taught in schools, among others
are put forward by Al-Mawdudi taken from the teachings of Islam as follows: the
appreciation of the meaning of faith and piety, the attitude of helping each other in doing
good deeds, have good attitude, respect themselves and others, be responsible for their own
actions, have positive attitude to teachers and friends, keep their own belongings and others’,
time discipline in doing the task, be honest, fair, and wise to themselves and others (Al-
Maududi, 1983). Institusi sekolah selalu dipandang sebagai salah satu tempat untuk
sekolah antara lain dikedepankan oleh Al-Mawdudi yang diambil dari ajaran Islam sebagai
berikut: penghargaan terhadap makna keimanan dan kesalehan, sikap saling membantu
dalam melakukan perbuatan baik, memiliki sikap yang baik , menghargai diri sendiri dan
orang lain, bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, memiliki sikap positif terhadap
guru dan teman, menjaga barang-barang mereka sendiri dan orang lain, disiplin waktu dalam
melakukan tugas, jujur, adil, dan bijaksana untuk diri mereka sendiri dan orang lain (Al-
Maududi, 1983).
Culture in Schools
Mukti Ali said that the activities of religious education and learning, not just
The result is that students are good in cognitive achievement but their commitment
(Maimun, 2003: 31). Mukti Ali mengatakan bahwa kegiatan pendidikan dan
25
bahwa siswa baik dalam pencapaian kognitif tetapi komitmen mereka
31).
Affective learning strategies are different from cognitive learning strategies and
skills. Because affective associated with the value is difficult to measure. Because
of growing concerns one's consciousness within certain limits, the affection may
arise in the event of behavior, but his assessment to the conclusion accounted
requires precision and observations continuously, and it is not easy to do, let alone
assess changes in attitudes as a result of the learning process done by the teachers
pembentukan sikap. Menurut Vienna Sanjaya (2007: 271-272), sikap tidak harus
diajarkan seperti halnya matematika, fisika, ilmu sosial dan ilmu-ilmu lain, tetapi
untuk dibentuk. Strategi belajar afektif berbeda dari strategi dan keterampilan
belajar kognitif. Karena afektif yang terkait dengan nilai sulit diukur. Karena
sayang dapat timbul jika terjadi perilaku, tetapi penilaiannya terhadap kesimpulan
dan itu tidak mudah dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibatnya
subject because religious education does not merely provide knowledge about the religion,
but precisely it is more important in that it gets children to be obedient and submissive
worshiper and doer. It also gets students to behave in life according to the norms set out in
their respective religions (Purwanto, 1998: 158) with the following principles: Pada
subjek karena pendidikan agama tidak hanya memberikan pengetahuan tentang agama,
tetapi justru lebih penting dalam hal itu membuat anak menjadi taat dan tunduk pada
penyembah dan pelaku. Ini juga membuat siswa berperilaku dalam kehidupan sesuai
dengan norma-norma yang ditetapkan dalam agama masing-masing (Purwanto, 1998: 158)
27
Therefore, teachers and schools need to integrate the values developed in religious
education into the Education Unit Level Curriculum (SBC), Syllabus and Learning Program
Plan (RPP) that already exist. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-
nilai yang dikembangkan dalam pendidikan agama ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (SBC), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.
according to what will be evaluated. All three models of evaluation are: (1) Group
judged not just rote short letters, memorizing pillars of prayer and so on, but whether
or not students pray regularly. No wonder the need to understand the reference of
ethics model arises. This is because something that will be evaluated is the personality.
Reference of ethics model is based on the assumption that: the origin of human nature
is good, education seeks to develop fitrah (actualization), and the unity of the faith,
against learning objectives are: to make men "better", in moral, be faithful, and
devoted to God. The implications of assessment benchmark of the model towards the
learning process is a system to teach value-based instruction, and also the criteria of
evaluasi pendidikan agama menjadi tiga model sesuai dengan apa yang akan
dievaluasi. Ketiga model evaluasi tersebut adalah: (1) Model Evaluasi yang
direferensikan kelompok (norma referensi evaluasi), (2) Model Evaluasi yang
direferensikan Criterian (referensi tolok ukur evaluasi), dan (3) Referensi Model
sebagainya, tetapi apakah siswa berdoa secara teratur atau tidak. Tidak heran
kebutuhan untuk memahami referensi model etika muncul. Ini karena sesuatu yang
akan dievaluasi adalah kepribadian. Referensi model etika didasarkan pada asumsi
bahwa: asal usul sifat manusia itu baik, pendidikan berupaya mengembangkan fitrah
(aktualisasi), dan kesatuan iman, sains, dan amal. Implikasi dari penilaian model
referensi etis terhadap tujuan pembelajaran adalah: untuk membuat manusia "lebih
baik", secara moral, setia, dan berbakti kepada Tuhan. Implikasi dari tolok ukur
pengajaran berbasis nilai, dan juga kriteria benar / baik adalah mutlak (Muhaimin,
2010: 21-22).
is the assessment of learners’ affective domain and not their knowledge. Therefore
Anas Sudijono (2000: 210-215) emphasized his judgment not on the demands of
right and wrong answers, but the specific answers of students, which are about the
learning outcomes assessment are often conducted in schools, among others use the
some indicators. For example, an indicator for the value of honesty is formulated as
"saying with his real real feelings on what is seen, observed, studied, or perceived",
the teacher observes (through various means) whether a learner is honest. Maybe the
29
student expresses his feelings verbally but he can do it in written or even in body
language. Feelings that otherwise might have gradation of feeling unlike the general
his classmates’ feelings, even on the contrary to his classmates’ common feeling.
penilaian domain afektif peserta didik dan bukan pengetahuan mereka. Karena itu
jawaban benar dan salah, tetapi jawaban khusus siswa, yaitu tentang minat, sikap,
dan internalisasi. Pengukuran dalam rangka penilaian hasil belajar afektif sering
dilakukan di sekolah, antara lain menggunakan tes sikap, observasi, wawancara, dan
tentang apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan", guru mengamati
(melalui berbagai cara) apakah pelajar itu jujur. Mungkin siswa mengungkapkan
perasaannya secara verbal tetapi dia dapat melakukannya secara tertulis atau bahkan
dalam bahasa tubuh. Perasaan yang sebaliknya mungkin memiliki gradasi perasaan
teman sekelasnya.
at school. Model ofanecdotal record (the record of the teacher when views their
behavior with respect to the developed value) can always be used by teachers. In
addition, teachers can also give a task that contains an issue or event that provides
an opportunity for learners to demonstrate its value. For example, the learner is
requested to express his attitude towards the efforts to help idlers, to provide
assistance to the miser, or other things that are not controversial to the things that
can invite conflict in himself. Penilaian dilakukan terus menerus, setiap kali guru
ada di kelas atau di sekolah. Model catatan anekdot (catatan guru ketika melihat
digunakan oleh guru. Selain itu, guru juga dapat memberikan tugas yang berisi
masalah atau peristiwa yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk
terhadap upaya membantu para pemalas, untuk memberikan bantuan kepada orang
kikir, atau hal-hal lain yang tidak kontroversial dengan hal-hal yang dapat
31
CHAPTER III
FINAL
PENUTUP
I. Conclusion
Kesimpulan
School culture is the atmosphere of the school where students interact with peers,
teachers with teachers, counselors one another, with other administration officials, and
among members of the school community groups. Internal group and intergroup interactions
are bound by various rules, norms, morals and ethics in schools. Leadership, exemplary,
sense of nationality, and responsibility are values that are developed in the culture of the
school. Budaya sekolah adalah suasana sekolah tempat siswa berinteraksi dengan teman
sebaya, guru dengan guru, penasihat satu sama lain, dengan pejabat administrasi lainnya,
dan di antara anggota kelompok komunitas sekolah. Interaksi internal kelompok dan
antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral, dan etika di sekolah.
kesadaran lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab adalah nilai-nilai yang
alternative solution on the problems which are actually classic, but until now they have not
been resolved properly, which in turn would be a matter of continuity up from one period
to the next, namely the problem of narrow time allocation, three hours for elementary, 2
hours face to face for SMP and SMA / SMK (per-hour 40 minutes instead of 60 minutes)
and the problems therein multicultural religious plurality. Perkembangan pendidikan agama
berbasis budaya sekolah di sekolah umum merupakan solusi alternatif atas masalah-masalah
yang sebenarnya klasik, tetapi sampai sekarang belum terselesaikan dengan baik, yang pada
gilirannya akan menjadi masalah kesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya,
yaitu masalah alokasi waktu yang sempit, tiga jam untuk SD, 2 jam tatap muka untuk SMP
dan SMA / SMK (per jam 40 menit, bukan 60 menit) dan masalah di dalamnya pluralitas
agama multikultural.
public schools covers the principles of development, through a learning process, learning
33
REFERENCES
Al-Munawar, Sa’id Agil Husein. (2003). Aktualisasi Nilai-nilai Qur’an Dalam Sistem
Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Press.)
Buchori, Mochtar. (1992). “Posisi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Kurikulum
Perguruan Tinggi Umum.” Makalah, pada Seminar Nasional di IKIP Malang, 24
Februari.
Daulay, Haidar Putra. (2007). Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Fauzan. (2007). “Dilema Baru Pendidikan Islam Pasca Otonomi Daerah”, dalam
Komaruddin Hidayat,at.al., Mimbar Jurnal Agama dan Budaya Volume 24,No.4, (
Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah,.
Nasution, Harun. (1995). Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Maimun, Agus, Abdul Mukti Basri, dan Hasanudin. (2003). Profil Pendidikan
Agama Islam (PAI) Sekolah Umum Tingkat Dasar. (Jakarta: Departemen Agama
RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Direktorat Madrasah Dan
Pendidikan Umum Proyek Pemberdayaan Kelembagaan Dan Ketatalaksanaan
Pada Madrasah Dan PAI Pada Sekolah Umum Tingkat Dasar.
Muhaimin. (2009). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Muhaimin. (2006). Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Peterson. Kent. D., Terrece. E. Deal,. (2009). Shaping School Culture,Pitfalls,Paradoxs &
Promises. Sun Fransisco,USA: Jossey Bass A. Willay Imprint.www.josseybass.
Purwanto, Ngalim. (1998). Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. Rahim, Husni et.al., (2001). Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam.
(Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam.)
Ramly, Mansyur. (2010). Pengembangan Pendidikan Buadaya Dan Karakter Bangsa
Pedoman Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Edit. M. Amin Abdullah, dkk. Yogyakarta:
DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga.
Rasdianah. (1995). Butir-butir Pengarahan Dirjen Binbaga Islam pada Pelatihan
Peningkatan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Kependidikan Bagi Dosen PAI di
Perguruan Tinggi Umum. Bandung, 11 Desember.