You are on page 1of 34

CHAPTER I

BAB I

INTRODUCTION

PENDAHULUAN

I. BACKGROUND

LATAR BELAKANG

The phenomenon of deviation of students reigiousity like students brawl

events in Indonesia are at alarming stage and has cost the lives of the students

who are supposed to be nation’s assets next. Fenomena penyimpangan

beragama pada siswa seperti perkelahian siswa di Indonesia berada pada tahap

yang mengkhawatirkan dan telah mengorbankan nyawa siswa yang seharusnya

menjadi aset bangsa selanjutnya. Among the case like persecution, killing

character of their oppoents without feelings of guilt and sin. Di antaranya seperti

kasus penganiayaan, pembunuhan karakter dari oposisi mereka tanpa perasaan

bersalah dan dosa. While the incidence of sex outside of marriage also has been

a trend among students driven by the increasingly widespread dissemination of

smartphone, porn site and the use of drugs and alcohol. Sementara kejadian seks

di luar nikah juga telah menjadi tren di kalangan siswa yang didorong oleh

penyebaran yang semakin luas dari smartphone, situs porno dan penggunaan

obat-obatan terlarang dan alkohol. These cases are allegedly a failure indicator

of education, especially religious education. Kasus-kasus ini diduga merupakan

indikator kegagalan pendidikan, khususnya pendidikan agama. Hal ini

diutarakan oleh Sa’id Agil Husain Al Munawar (2003: 41-42), because religious

education is at the castle of the forefront in preparing qualifies human resources.

1
karena pendidikan agama berada pada benteng terdepan dalam mempersiapkan

sumber daya manusia yang berkualitas. It is not only the intellectual intelligence

but also moral intelligece and religious education should make significant

contribution in creating an increasingly cultured society. Tidak hanya

kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan moral dan pendidikan agama

harus memberikan kontribusi signifikan dalam menciptakan masyarakat yang

semakin berbudaya.

II. PROBLEM IDENTIFICATION

IDENTIFIKASI MASALAH

The emergence of the weakness is due to the contradiction between the facts

and the expectations or the gap between the reality and ideal ones, the gap between

theory and empirical ones. Muhaimin (2006: 17) maps out the weaknesses of

religious education in the four main issues, namely: (1) the problems of religious

education foundation (foundational problems), (2) the structural problems of

religious education (structural problems), (3) operational problem issues of religious

education (operational problems), (4) historical issues of religious education

(historical problems). Munculnya kelemahan ini disebabkan oleh kontradiksi

antara fakta dan harapan atau kesenjangan antara kenyataan dan yang

ideal, kesenjangan antara teori dan yang empiris. Muhaimin (2006: 17)

memetakan kelemahan pendidikan agama dalam empat isu utama, yaitu:

(1) masalah yayasan pendidikan agama (masalah mendasar), (2) masalah

struktural pendidikan agama (masalah struktural), (3) masalah masalah

operasional pendidikan agama (masalah operasional), (4) masalah historis


pendidikan agama (masalah historis). Operational areas problems create

fundamental problems which cause the issues of religion embraced by the people of

Indonesia and the narrow time allocation problems. Masalah operasional

menciptakan masalah mendasar yang menyebabkan masalah agama yang dianut

oleh masyarakat Indonesia dan masalah alokasi waktu yang sempit (Nasution, 1995:

1). Selections of the problems are based on the assumption that the issue actually is

classic, but until now has not been resolved properly, which in turn would be a matter

of continuity up from one period to the next. Pilihan masalah didasarkan pada asumsi

bahwa masalah tersebut sebenarnya klasik, tetapi sampai sekarang belum

terselesaikan dengan baik, yang pada gilirannya akan menjadi masalah

kesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya. (Muhaimin, 2006: 124).

Development of culture School-Based Religious Education In Schools is an

alternative solution. This becomes a challenge for the schools to implement it.

Pengembangan budaya Pendidikan Berbasis Agama Di Sekolah merupakan solusi

alternatif. Ini menjadi tantangan bagi sekolah untuk mengimplementasikannya.

3
CHAPTER II

BAB II

DISCUSSION

DISKUSI

I. Religious Education

Pendidikan Agama

Law of the Republic of Indonesia number 20 of 2003 on National Education

System (Education Law) formulate the functions and objectives of national

education which should be used in developing educational efforts in Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UU Pendidikan) merumuskan fungsi dan tujuan

pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya

pendidikan di Indonesia. Article 3 of the Education Law states that "national

Education serves to develop and form the character and civilization of the

nation's dignity in the context of the intellectual life of the nation, which is

aimed at developing students' potentials in order to become men of faith and

who have fear of God Almighty, to become noble, healthy, knowledgeable,

capable, creative, independent, and to become of democratic and responsible

citizens". Pasal 3 UU Pendidikan menyatakan “Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab. National education goals are the formulations of

Indonesian human beings that should be developed by each unit. Therefore, the

formulation of national education goals form the basis for the development of

the quality of religious education. Tujuan pendidikan nasional adalah formulasi

manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap unit. Karena itu,

rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar bagi pengembangan kualitas

pendidikan agama.

There are at least six components of the function and purpose of education

which are inferred by Sardiyo, first, the formation of character and civilization of

the nation's dignity, secondly, the intellectual life of the nation, the third, men of

faith who are obedient to God Almighty, fourth, become noble, healthy bookish,

capable, reactive, independent people, fifth, become democratic citizens, and the

sixth, become responsible citizens Setidaknya ada enam komponen fungsi dan

tujuan pendidikan yang disimpulkan oleh Sardiyo, pertama, pembentukan karakter

dan peradaban martabat bangsa, kedua, kehidupan intelektual bangsa, ketiga, orang

beriman yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, keempat, menjadi bangsawan,

kutu buku yang sehat, mampu, reaktif, mandiri, kelima, menjadi warga negara yang

demokratis, dan keenam, menjadi warga negara yang bertanggung jawab. (Sardio,

2009: 210-211).

Furthermore, schools as educational institutions and media as well as human

resource development are considered as the most strategic parties to conduct

trainingcoaching, both internally, or externally, which led to the independence and

5
progress (Rahim, 2001: 11). Selanjutnya, sekolah sebagai institusi pendidikan dan

media serta pengembangan sumber daya manusia dianggap sebagai pihak yang

paling strategis untuk melakukan pelatihan pelatihan, baik secara internal, maupun

eksternal, yang mengarah pada kemandirian dan kemajuan (Rahim, 2001: 11).

In general, religion and religious education serve to form the Indonesians’

human faith and obedience to God Almighty, to have noble character, and to be

capable of maintaining the harmony of inter-religious relations. In addition to

cultivate the ability of students to understand, appreciate and practice the values of

religion that are offset mastery in science, technology and art Fauzan, 2007: 559).

Secara umum, agama dan pendidikan agama berfungsi untuk membentuk iman manusia Indonesia

dan ketaatan kepada Allah SWT, memiliki karakter yang mulia, dan mampu menjaga harmoni

hubungan antar-agama. Selain menumbuhkan kemampuan siswa untuk memahami, menghargai

dan mempraktikkan nilai-nilai agama yang diimbangi penguasaan dalam sains, teknologi dan seni.

The purpose of religious education in more detail, according to Agus

Maimun et al (2003: 3-4), is, first, to instill the values in order to counter the

influence of negative or tend to be negative values as a result of globalization.

Second, to fight against the tendency of materialism, consumerism and hedonism.

Third, to cultivate an understanding and appreciation of the value of justice.

Fourth, to instill a strong work ethic as a steppingstone to the world of work and

social reality. Tujuan pendidikan agama secara lebih rinci, menurut Agus Maimun

(2003: 3-4), adalah, pertama, menanamkan nilai-nilai untuk melawan pengaruh negatif

atau cenderung menjadi nilai-nilai negatif sebagai akibat dari globalisasi. Kedua, untuk

melawan kecenderungan materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Ketiga,


menumbuhkan pemahaman dan apresiasi terhadap nilai keadilan. Keempat,

menanamkan etos kerja yang kuat sebagai batu loncatan ke dunia kerja dan realitas sosial.

Furthermore, Tafsir (2005) in Muhaimin (2006: 123) reinforces the

educational purposes of religion (Islam), namely diversity of learners so that not

only knowing or doing (practice) but preferably being (religion). To realize

these goals Sa'id Agil Husin Al Munawar offers ways to overcome educational

purposes including the establishment of implementing moral education at home,

school and the community, to integrate between education and teaching. Moral

education must be supported by cooperation groups and parents, schools and

communities. Schools should seek to create a religious environment and must

use all opportunities and a variety of means including modern technology (Al-

Munawar, 2003: 41-42). Selanjutnya, Tafsir (2005) dalam Muhaimin (2006: 123)

memperkuat tujuan pendidikan agama (Islam), yaitu keberagaman peserta didik

sehingga tidak hanya mengetahui atau melakukan (praktik) tetapi lebih disukai menjadi

(agama). Untuk merealisasikan tujuan-tujuan ini Sa'id Agil Husin Al Munawar

menawarkan cara untuk mengatasi tujuan pendidikan termasuk pembentukan

penerapan pendidikan moral di rumah, sekolah dan masyarakat, untuk

mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Pendidikan moral harus didukung

oleh kelompok kerja sama dan orang tua, sekolah dan masyarakat. Sekolah harus

berupaya menciptakan lingkungan yang religius dan harus menggunakan semua

peluang dan berbagai cara termasuk teknologi modern (Al-Munawar, 2003: 41-42).

We realize that Indonesia is not a religion based country, but a

country with religious famous people, and the people are very strong in

animating citizenship life in the country.

7
Kami menyadari bahwa Indonesia bukan negara berbasis agama, tetapi

negara dengan orang-orang terkenal yang religius, dan orang-orangnya

sangat kuat dalam menjiwai kehidupan kewarganegaraan di negara ini.

One aspect of this country's attention is the problem of religious education

both in religious and secular educational institutions, both under the

responsibility of the government and private sectors. Salah satu aspek

perhatian negara ini adalah masalah pendidikan agama baik di lembaga

pendidikan agama dan sekuler, baik di bawah tanggung jawab pemerintah dan

sektor swasta.

Religious education in religious schools (madrassas) does not face

many problems because the time portion is large enough. Pendidikan

agama di sekolah-sekolah agama (madrasah) tidak menghadapi banyak

masalah karena porsinya cukup besar. This is in contrast to the religious

education in the public schools. Religious education, both at primary,

secondary and especially in college is considered less successful in

forminf attitudes and behavioral diversity of learners and in building the

nation's morals and ethics. Ini berbeda dengan pendidikan agama di sekolah

umum. Pendidikan agama, baik di sekolah dasar, menengah dan terutama di

perguruan tinggi dianggap kurang berhasil dalam membentuk sikap dan

keragaman perilaku peserta didik dan dalam membangun moral dan etika

bangsa. This is because the indicators of the inherent weaknesses in the

implementation of religious education in schools which can be identified

include: Ini karena indikator kelemahan yang melekat dalam pelaksanaan

pendidikan agama di sekolah-sekolah yang dapat diidentifikasi meliputi: (1)

Religious Education does not maximally change religious knowledge,

cognitive meaning and values into affective ones that can be internalized
by learners, whereas the core of education is on this aspect, (1) Pendidikan

Agama tidak secara maksimal mengubah pengetahuan agama, makna kognitif

dan nilai-nilai menjadi yang afektif yang dapat diinternalisasi oleh peserta

didik, sedangkan inti dari pendidikan adalah pada aspek ini, (2) Religious

Education is less sensitive to social change, so that learners under-

appreciate the religious values as the daily values occurred in the

community in the socio-cultural context. (2) Pendidikan Agama kurang

sensitif terhadap perubahan sosial, sehingga peserta didik kurang menghargai

nilai-nilai agama sebagai nilai-nilai sehari-hari yang terjadi di masyarakat

dalam konteks sosial-budaya.

In accordance with the Act of 1945 section 29 subsection (1) and

(2), and Pancasila as the basic philosophy of the Republic of Indonesia,

the religious education is a major public educationand as the

foundation of education. Norms of decency education or social and

civic education, mostly, if one cannot say everything, is sourced from

religion (Purwanto, 1998: 157). Sesuai dengan Undang-Undang 1945

pasal 29 ayat (1) dan (2), dan Pancasila sebagai filosofi dasar Republik

Indonesia, pendidikan agama adalah pendidikan publik utama dan sebagai

dasar pendidikan. Norma pendidikan yang santun atau pendidikan sosial dan

kewarganegaraan, sebagian besar, jika seseorang tidak dapat mengatakan

segalanya, bersumber dari agama (Purwanto, 1998: 157).

Urgency of religious education for every citizen of Indonesia on the grounds that

the process of integration of education formal religion in the national education system

in the history of the development of the legal basis (Daulay, 2007: 101-114) has been

9
started since the promulgation of Basic Law of Education No. 4 of 1950 and Education

Act No. 12 1954 Chapter XII Article 20 concerning the teaching of religion in public

schools, which reads: Urgensi pendidikan agama untuk setiap warga negara Indonesia dengan

alasan bahwa proses integrasi pendidikan formal agama dalam sistem pendidikan nasional dalam

sejarah perkembangan landasan hukum (Daulay, 2007: 101-114) telah dimulai sejak

diundangkannya Undang-Undang Dasar Pendidikan No. 4 tahun 1950 dan Undang-Undang

Pendidikan No. 12 1954 Bab XII Pasal 20 tentang pengajaran agama di sekolah umum, yang

berbunyi:

1. In public schools catechism classes; parents establish whether their

children would follow the lesson. Di sekolah umum, kelas katekismus; orang

tua menentukan apakah anak-anak mereka akan mengikuti pelajaran. 2. How to

organize the teaching of religion in public schools is set in the regulations

of the Ministry of Education and Culture and the Minister of Religious

Affairs (Daulay, 2007: 85-90). Cara mengatur pengajaran agama di sekolah

umum diatur dalam peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan

Menteri Agama.

The intimacy of religious education in the national education system increases

when the issuance of the Joint Decree (SKB) of three Ministers in 1975, Chapter I

Article I, which states that: "The definition of madrasah is an educational

institution makes Islamic religious subjects as the basis at least 30%, in addition to

general subjects. "Religious education is increasingly gaining a strong position

following the adoption of national education goals in Law No. 2 1989 in Chapter

II, Section 4 of the National Education System, "National Education aims at

making life of the nation smart and developing a complete Indonesian man, the

man of faith and devoted to God Almighty and has noble character, knowledge and
skills, physical and spiritual health, steady and personality, and social and national

responsibility (Chapter II, Article 4 UUSPN)." Kekompakkan pendidikan agama

dalam sistem pendidikan nasional meningkat ketika dikeluarkannya Surat Keputusan

Bersama (SKB) tiga Menteri pada tahun 1975, Bab I Pasal I, yang menyatakan bahwa:

"Definisi madrasah adalah sebuah institusi pendidikan menjadikan mata pelajaran agama

Islam sebagai dasar setidaknya 30%, di samping mata pelajaran umum. "Pendidikan

agama semakin mendapatkan posisi yang kuat setelah adopsi tujuan pendidikan nasional

dalam UU No. 2 1989 dalam Bab II, Bagian 4 dari Sistem Pendidikan Nasional,"

Pendidikan Nasional bertujuan menjadikan kehidupan bangsa cerdas dan mengembangkan

manusia Indonesia yang lengkap, manusia yang beriman dan mengabdi kepada Allah SWT

dan memiliki karakter mulia, pengetahuan dan keterampilan, kesehatan fisik dan spiritual,

mantap dan berkepribadian, serta tanggung jawab sosial dan nasional (Bab II , Pasal 4

UUSPN). "

The cronological historical development of the legal basis for religious

education to be one of the lessons in public schools and religion in Indonesia

(Tafsir, 2007: 85-90) as follows; Perkembangan sejarah kronologis dari dasar

hukum pendidikan agama menjadi salah satu pelajaran di sekolah umum dan agama di

Indonesia (Tafsir, 2007: 85-90) sebagai berikut;

1. June 1, 1945, in the presence of BPUPKI (Committee for Preparatory Work

for Indonesian Independence), Sukarno, who later became the President said

that how important to be obedient to God for Indonesians.

1 Juni 1945, di hadapan BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia), Sukarno, yang kemudian menjadi Presiden mengatakan bahwa

betapa pentingnya untuk taat kepada Tuhan bagi orang Indonesia.

11
2. Therefore, on August 18, 1945, Believing in One God was set as the first principle

of Pancasila. Oleh karena itu, pada tanggal 18 Agustus 1945, Percaya kepada Satu

Tuhan ditetapkan sebagai prinsip pertama Pancasila

3. Also in the 1945 Constitution, article 29, paragraph 1 and 2.Termaktub juga

dalam Konstitusi 1945, Pasal 29, paragraph 1 dan 2.

4. The attitude of the Dutch East Indies faced religious education in public schools

in Article 179 (2) I.S. (Indische Staatsregeling) containing that religious

instruction should only be applied outside of school hours. Sikap Hindia Belanda

menghadapi pendidikan agama di sekolah umum dalam Pasal 179 (2) I.S. (Indische

Staatsregeling) yang berisi bahwa pengajaran agama hanya boleh diterapkan di luar jam

sekolah.

5. On December 27, 1945, BP-KNIP (Working Body of Central Indonesian

National Committee) recommended the Ministry of Education, Teaching and

Culture (PPK) seek renewal of education and teaching in Indonesia, namely

that religious instruction takes the place regularly organized by the ministry

of the KDP. Pesantren and Madrasah essence is one of the tools and

educational resources that is rooted in the community that should receive

attention and government support. Pada tanggal 27 Desember 1945, BP-KNIP

merekomendasikan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK)

untuk mencari pembaruan pendidikan dan pengajaran di Indonesia, yaitu bahwa

pengajaran agama berlangsung secara teratur yang diselenggarakan oleh pelayanan

PPK. Esensi Pesantren dan Madrasah adalah salah satu alat dan sumber daya

pendidikan yang mengakar di masyarakat yang harus mendapat perhatian dan

dukungan pemerintah.

6. The implementation suggestions of BP-KNIP (only implemented on 2

October 1946-June 27, 1947, KDP, minister Mr. Kelvin formed a


Committee for Teaching Investigators led by K.H. Dewantara who set

religious education teaching materials. The work of the committee

included: Saran implementasi BP-KNIP (hanya dilaksanakan pada 2 Oktober

1946 - 27 Juni 1947, PPK, menteri Bpk. Kelvin membentuk Komite untuk

Penyelidik Pengajaran yang dipimpin oleh K.H. Dewantara yang mengatur

materi pengajaran pendidikan agama. Pekerjaan komite meliputi:

a. Religious instruction given to all schools within school hours and in the SR started
from the Fourth class. Instruksi keagamaan diberikan kepada semua sekolah dalam jam
sekolah dan SR dimulai pada kelas Keempat.
b. Religious teachers were provided by the Ministry of Religion and paid by the
government. Guru agama disediakan da dibayar oleh Departemen Agama.

c. Quality Pesantren and madrasah were repaired. Kualitas

pesantren dan madrasah pun telah diperbaiki.

7. Determination of the Government no 1, dated January 3, 1946, established

the Ministry of Religion. Ketentuan pemerintah no 1, tertanggal 3 januari,

1946, dalam mendirikan kementerian Agama.

8. Regulation of the Joint Ministerial KDP and the Minister of Religious

Affairs in 1947 on the establishment of religious instruction in primary

school since fourth grade and was valid from January 1, 1947. Peraturan

KDP Tingkat Menteri bersama Menteri Agama tahun 1947 tentang

pembentukan pengajaran agama di sekolah dasar sejak kelas empat dan

berlaku mulai 1 Januari 1947.

9. This was followed by the release of the Basic Education Act No.

4 of 1950 and Education Act No. 12 of 1954 Section XII of Article

20 concerning the teaching of religion in public schools. Diikuti

dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pendidikan Dasar No. 4

13
tahun 1950 dan Undang-Undang Pendidikan No. 12 tahun 1954

Bagian XII Pasal 20 tentang pengajaran agama di sekolah umum.

10. The completion of the Joint Regulation of the Minister of the KDP

and the Minister of Religious Affairs in 1951, was the

establishment of religious instruction from the first grade.

Penyelesaian Peraturan Bersama Menteri KDP dan Menteri

Agama pada tahun 1951, adalah pembentukan pengajaran agama

dari kelas satu.

11. The next step was perfecting TAP MPRS No. II of 1960

Chapter II Article 2 paragraph (3) which states that religious

subjects in schools applies ranging from elementary school to

the state university. Langkah selanjutnya adalah

menyempurnakan TAP MPRS No. II tahun 1960 Bab II Pasal

2 ayat (3) yang menyatakan bahwa mata pelajaran agama di

sekolah berlaku mulai dari sekolah dasar hingga universitas

negeri.

12. TAP MPR No. IV of 1973, namely on the field of religion and

belief guidelines that incorporate religious instruction in the

school curriculum. yaitu di bidang agama dan pedoman

kepercayaan yang memasukkan pengajaran agama dalam

kurikulum sekolah.

The development of increasingly powerful religious education notched after

the enactment of national education goals in Law No. 2 1989 in Chapter II, Section

4 of the National Education System is creating intellectual Indonesians and


develop the whole man, the man of faith and devoted to God Almighty and ..........

(Article 4). And in Article 39 paragraph, (2) it is stated that the content of the

curriculum of every kind, lines and levels of education must include:

Perkembangan pendidikan agama yang semakin kuat berlekuk setelah

diberlakukannya tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 2 1989 dalam Bab II,

Bagian 4 dari Sistem Pendidikan Nasional adalah menciptakan orang Indonesia

yang cerdas dan mengembangkan manusia seutuhnya, manusia beriman dan

berbakti kepada Tuhan YME dan …. (Pasal 4) dan pada pasal 39 paragraf (2)

dinyatakan bahwa isi kurikulum dari setiap jenis, garis dan tingkat pendidikan

harus termasuk;

a. Pancasila Education Pendidikan Pancasila

b. Religious Education, and Pendidikan Agama dan

c. Civic education. Pendidikan Kewarganegaraan.

Nowadays, global effect cannot be rejected as we know as a globalisation modern. But, it

can be fitered by our defense as a human who has religion. Saat ini, efek global tidak dapat ditolak

seperti yang kita kenal sebagai globalisasi modern. Tapi, itu bisa dipadukan dengan pembelaan kita

sebagai manusia yang beragama.

II. School Culture

Kebudayaan Sekolah

Kent. D. Peterson, terrece. E. Deal (1999), describes that the school culture

is a set of values that underlie behavior, traditions, everyday habits, and symbols

that practiced by the principal, teachers, administrators, students, and the

15
community around the school. School culture is a whole psychological

experience of the learners whether they are social, emotional, and intellectual

absorbed by them while in school. Kent. D. Peterson, Terrece. E. Deal (1999),

menggambarkan bahwa budaya sekolah adalah seperangkat nilai yang

mendasari perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, dan simbol yang dipraktikkan

oleh kepala sekolah, guru, administrator, siswa, dan masyarakat di sekitar

sekolah. Budaya sekolah adalah pengalaman psikologis seluruh peserta didik

apakah mereka sosial, emosional, dan intelektual yang diserap oleh mereka saat

di sekolah.

School Culture has very broad scope. It generally includes rituals, hope,

relationships, demographics, curricular activities, extra-curricular activities, the process of

decision-making, policy and social interaction among components in the school. School

culture is the atmosphere of the school where students interact with peers, teachers with

teachers, counselors with one another, administration officials with one another, and among

members of the school community groups. Internal group and intergroup interactions are

bound by various rules, norms, morals and ethics joint force in a school. Leadership,

exemplary, friendliness, tolerance, hard work, discipline, social awareness, environmental

awareness, sense of nationality, and responsibility are values that are developed in the

school culture (Ramly, 2010: 19-20). Budaya sekolah memiliki ruang lingkup yang sangat

luas. Secara umum termasuk ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler,

kegiatan ekstra kurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan dan interaksi sosial

antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana sekolah tempat siswa

berinteraksi dengan teman sebaya, guru dengan guru, penasihat satu sama lain, pejabat

administrasi satu sama lain, dan di antara anggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi

internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral, dan etika
bersama di sekolah. Kepemimpinan, teladan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin,

kesadaran sosial, kesadaran lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab adalah nilai-

nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah (Ramly, 2010: 19-20).

All of them formed a school culture that will permeate the psychological

appreciation of the school community including students who would eventually form the

pattern of values, attitudes, habits and behaviors. Muhaimin (2006: 136) classifies the value

of the 6 points of view, namely: corner mental abilities and mental development, in terms

of cultural process, based on sources. from the standpoint of its scope, substantial angle, and

the views of the nature of value . Hal-hal tersebut dapat membentuk budaya sekolah yang

akan menembus apresiasi psikologis masyarakat sekolah termasuk siswa yang pada

akhirnya akan membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan dan perilaku. Muhaimin (2006: 136)

mengklasifikasikan nilai 6 sudut pandang, yaitu: sudut kemampuan mental dan

perkembangan mental, dalam hal proses budaya, berdasarkan sumber. dari sudut pandang

ruang lingkupnya, sudut substansial, dan pandangan tentang sifat suatu nilai.

As confirmation, Rusman (2009: 20) states that the success of a curriculum will be

optimal if supported by extracurricular activities which are managed in a comprehensive

and integrated intra-curricular activities. Sebagai konfirmasi, Rusman (2009: 20)

menyatakan bahwa keberhasilan suatu kurikulum akan optimal jika didukung oleh kegiatan

ekstrakurikuler yang dikelola dalam kegiatan intra kurikuler yang komprehensif dan

terintegrasi.

Husni Rahim at.al. (2001: 45) confirms that the position of the religious

extracurricular activitiesare undertaken to cover, and provide other nuances in the process

of Islamic religious education in the level of intracurricular. Rather than directed to

mastering practical and religious skills, students are accustomed to, and create a conducive

17
climate to implement its variety in school environment. Skills in extracurricular religious

practice should be enshrined in a curriculum or syllabus including the following procession

of dead bodies, Hajj and Umrah, Islamic marriage, leading prayers, praying, the Friday

preacher, ratiban, maulidan, azan and iqamah, reading narrator, and prayers of the Prophet,

and the prayer after praying. Husni Rahim (2001: 45) menegaskan bahwa posisi kegiatan

ekstrakurikuler keagamaan dilakukan untuk mencakup dan memberikan nuansa lain dalam

proses pendidikan agama Islam di tingkat intrakurikuler. Alih-alih diarahkan untuk

menguasai keterampilan praktis dan keagamaan, siswa terbiasa dan menciptakan iklim yang

kondusif untuk menerapkan keragamannya di lingkungan sekolah. Keterampilan dalam

praktik keagamaan ekstrakurikuler harus diabadikan dalam kurikulum atau silabus termasuk

prosesi memandikan mayat, Haji dan Umrah, perkawinan Islam, sholat terkemuka, sholat,

dakwah Jumat, ratiban, maulidan, azan dan iqamah, membaca narator, dan sholat Nabi, dan

shalat setelah shalat.

School culture is integrated into the academic activities and student activities

through intra-curricular and extracurricular activities. The activities are not only focused on

intracurricular, but also extracurricular activities which can develop creativity, talents and

interests of students. School culture must be able to include academic, non-academic,

spiritual, arts, sports, and community. Budaya sekolah diintegrasikan ke dalam kegiatan

akademik dan kegiatan siswa melalui kegiatan intra-kurikuler dan ekstrakurikuler.

Kegiatannya tidak hanya fokus pada intrakulikuler, tetapi juga kegiatan ekstrakurikuler

yang dapat mengembangkan kreativitas, bakat dan minat siswa. Budaya sekolah harus dapat

mencakup akademik, non-akademik, spiritual, seni, olahraga, dan komunitas

III. Development of Religious Education


Pengembangan Pendidikan Agama

According Syahidin (2001: 12), the development of religious education is one of the

efforts in creating an environment that is better than the previous one. The development of

religious education is an effort to optimize functions and roles of all the potentials in the

implementation of the teaching and learning process of Religious Education subjects, in

order to achieve a better state than the previous situation. Menurut Syahidin (2001: 12),

pengembangan pendidikan agama merupakan salah satu upaya dalam menciptakan

lingkungan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Pengembangan pendidikan agama

merupakan upaya untuk mengoptimalkan fungsi dan peran semua potensi dalam

pelaksanaan proses belajar mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama, dalam rangka

mencapai keadaan yang lebih baik daripada situasi sebelumnya.

Recognized by Muhaimin (2009: 15-17) that the discourse on the development of

religious education in Indonesia has been presented by experts and observers of religious

educators which idealistically, romantically, and even less realistically so that stakeholders

experience obstacles and difficulties in realizing it. Diakui oleh Muhaimin (2009: 15-17)

bahwa wacana tentang pengembangan pendidikan agama di Indonesia telah dipresentasikan

oleh para ahli dan pengamat pendidik agama yang idealis dan bahkan kurang realistis

sehingga pemangku kepentingan mengalami kendala dan kesulitan dalam mewujudkannya.

The development of religious education is the answer to the shortcomings of

religious education that takes place in schools during this time. Among the weaknesses

of religious education is that it just pays attention to cognitive aspects alone, and ignores

the affective and psychomotoric development (Buchori, 1995) not integrate and

19
synchronize with non-religious subjects (Soejatmoko, 1976).

Perkembangan pendidikan agama adalah jawaban atas kekurangan

pendidikan agama yang terjadi di sekolah selama ini. Di antara kelemahan

pendidikan agama adalah bahwa ia hanya memperhatikan aspek kognitif saja,

dan mengabaikan perkembangan afektif dan psikomotorik (Buchori, 1995)

tidak berintegrasi dan menyinkronkan dengan mata pelajaran non-agama

(Soejatmoko, 1976).

Understanding of the material that is theology leads to a fatalistic ideology,

character-oriented manners rather than as a whole religious human person. Worship

is as a religion, not a routine activity of personality formation (Rasdianah, 1995).

Evaluation of the cognitive learning is more dominant than the evaluation of effective

and psychomotor learning outcomes (Sudijono, 2000: 198) Memahami materi yang

bersifat teologi mengarah pada ideologi fatalistik, perilaku yang berorientasi karakter

daripada sebagai pribadi manusia yang religius. Ibadah adalah sebagai agama, bukan

kegiatan rutin pembentukan kepribadian (Rasdianah, 1995). Evaluasi pembelajaran

kognitif lebih dominan daripada evaluasi hasil belajar efektif dan psikomotorik

(Sudijono, 2000: 198)

Approaches to religious education are still normative. Offering minimum

standards of competence, lacking of exploring various efforts such as ensuring the

methodology to avoid monotony, limitation of infrastructure (Thowaf, 1996), using

behavioristic approach, and not using the constructivist approach. Pendekatan

terhadap pendidikan agama masih bersifat normatif. Menawarkan standar

kompetensi minimum, kurang mengeksplorasi berbagai upaya seperti memastikan

metodologi untuk menghindari monoton, keterbatasan infrastruktur (Thowaf, 1996),


menggunakan pendekatan behavioris, dan tidak menggunakan pendekatan

konstruktivis.

Religious curriculum is too dense material, and the material is more advanced aspects

of thought rather than religious consciousness intact (Mudzhar, 2004). Kurikulum agama

adalah materi yang terlalu padat dan materi adalah aspek pemikiran yang lebih maju

daripada kesadaran agama yang utuh (Mudzhar, 2004).

Not to selectively existing paradigm of religious education that is; still leads to

dycotomic paradigm, Paradigm has not yet led to the Mechanism, and not to organism or

systemic paradigms. Bukan dengan paradigma pendidikan agama yang ada secara selektif

yaitu; masih mengarah pada paradigma dikotomi, Paradigm belum mengarah ke

Mekanisme, dan belum ke organisme atau paradigma sistemik.

IV. Schools

Sekolah

Hadari Nawawi (2005: 25-28) noted the organizational structure of school education

paths based on the provisions of Law No. 2 of 1989 on National Education System

through the establishment of Government Regulation (PP) as follows:

Hadari Nawawi (2005: 25-28) mencatat struktur organisasi jalur pendidikan sekolah

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional melalui pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai berikut:

21
1. No. 27 of 1990 on preschool education Forms of education and training unit are as

follows: Kindergarten is for children aged 4-6 years, Play Group and Child Care

are for children aged at least 3 years, and other similar forms take 1 to 2 years.

No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan prasekolah. Bentuk unit pendidikan dan

pelatihan adalah sebagai berikut: Taman kanak-kanak adalah untuk anak-anak

berusia 4-6 tahun, Kelompok Bermain dan Perawatan Anak adalah untuk anak-

anak berusia minimal 3 tahun, dan bentuk serupa lainnya diambi 1 hingga 2 tahun.

2. No. 28 of 1990 on Basic Education Unit forms of basic education is the six-

year primary program, SDLB, and MI. Basic education unit forms which hold

the three-year education program are SMPLB, and MTs. Nomor 28 tahun 1990

tentang Satuan Pendidikan Dasar. Bentuk pendidikan dasar adalah program

dasar enam tahun, SDLB, dan MI. Bentuk unit pendidikan dasar yang

memegang program pendidikan tiga tahun adalah SMPLB, dan MTs.

3. Number 29 of 1990 on Secondary Education Types of secondary education

are grouped into two major groups, namely: General Secondary Education

in the form of SMU, MA, and education in the form of vocational school

namely SMK (both SMEA, STM, SMKK, STMA, SAA, SMF, SPG, and PGA).

Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Jenis pendidikan

menengah dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: Pendidikan

Menengah Umum dalam bentuk SMU, MA, dan pendidikan dalam bentuk

sekolah kejuruan yaitu SMK (baik SMEA, STM, SMKK, STMA , SAA,

SMF, SPG, dan PGA).

According to Ivan Illich (1982: 42), the school is a process related to the age

limit (age-specific) as well as teachers who are demanding full attendance following the
compulsory curriculum. Educational institutions have always regarded as one of the

places from which to religious education beside the family (Maimun, 2003: 2). Menurut

Ivan Illich (1982: 42), sekolah adalah proses yang berkaitan dengan batas usia (usia-

spesifik) serta guru yang menuntut kehadiran penuh mengikuti kurikulum wajib.

Institusi pendidikan selalu dianggap sebagai salah satu tempat untuk pendidikan agama

di samping keluarga (Maimun, 2003: 2).

More specifically Fuad Hasan (2004: 52-66) explained that schooling is a form of

education efforts. It is habituation and imitation of a very big influence in education

efforts. Education is not just a transfer of knowledge or skills but also includes the transfer

of cultural values and social or transmission of culture and social values norms. To more

closely see, the school function towards eaching values whether planned or not,

interesting explanations by Thomas ( 1997) in Muhaimin (2006: that the education

activities in schools, either through learning in the classroom or outside the classroom,

are never value free. Lebih khusus lagi Fuad Hasan (2004: 52-66) menjelaskan bahwa

sekolah adalah bentuk upaya pendidikan. Ini adalah pembiasaan dan peniruan pengaruh

yang sangat besar dalam upaya pendidikan. Pendidikan tidak hanya transfer pengetahuan

atau keterampilan tetapi juga mencakup transfer nilai-nilai budaya dan sosial atau

transmisi budaya dan norma-norma nilai sosial. Untuk lebih dekat melihat, fungsi sekolah

terhadap nilai masing-masing baik yang direncanakan atau tidak, penjelasan menarik oleh

Thomas (1997) dalam Muhaimin (2006): bahwa kegiatan pendidikan di sekolah, baik

melalui pembelajaran di kelas atau di luar kelas, tidak pernah bebas nilai.

In general, religion and religious education serve to create the Indonesian human

faith and the obedience to God Almighty, also to create noble, and capable people in

maintaining the harmony of inter-religious relations. In addition it serves to cultivate the

23
participants' ability to understand, appreciate and practice the values of religion are offset

mastery in science, technology and art (Fauzan, 2007: 559). Secara umum, agama dan

pendidikan agama berfungsi untuk menciptakan iman manusia Indonesia dan ketaatan

kepada Allah SWT, juga untuk menciptakan orang-orang yang mulia, dan mampu dalam

menjaga harmoni hubungan antar-agama. Selain itu berfungsi menumbuhkan kemampuan

peserta untuk memahami, menghargai, dan mempraktikkan nilai-nilai agama yang

diimbangi penguasaan dalam sains, teknologi dan seni (Fauzan, 2007: 559).

According Ngalim Purwanto (1998: 127), the school environment is classified into

second environment, after the first is family environment and the third is the community.

The obligation of the school, beside teaches (in the sense of simply filling the brains of

children with a variety of knowledge), also tries to establish children's good personal human

being character. It is useless if the children are very clever and able to pass all of them, but

the behavior or character or personality is not good. Menurut Ngalim Purwanto (1998: 127),

lingkungan sekolah digolongkan ke dalam lingkungan kedua, setelah yang pertama adalah

lingkungan keluarga dan yang ketiga adalah masyarakat. Kewajiban sekolah, di samping

mengajarkan (dalam arti hanya mengisi otak anak-anak dengan berbagai pengetahuan), juga

berusaha untuk membangun karakter pribadi manusia yang baik untuk anak-anak. Tidak ada

gunanya jika anak-anak sangat pintar dan mampu melewati mereka semua, tetapi perilaku

atau karakter atau kepribadiannya tidak baik.

School institutions are always seen as one of the places from which to explore

religion beside the family. Religious education should be taught in schools, among others

are put forward by Al-Mawdudi taken from the teachings of Islam as follows: the

appreciation of the meaning of faith and piety, the attitude of helping each other in doing

good deeds, have good attitude, respect themselves and others, be responsible for their own
actions, have positive attitude to teachers and friends, keep their own belongings and others’,

time discipline in doing the task, be honest, fair, and wise to themselves and others (Al-

Maududi, 1983). Institusi sekolah selalu dipandang sebagai salah satu tempat untuk

mengeksplorasi agama di samping keluarga. Pendidikan agama yang harus diajarkan di

sekolah antara lain dikedepankan oleh Al-Mawdudi yang diambil dari ajaran Islam sebagai

berikut: penghargaan terhadap makna keimanan dan kesalehan, sikap saling membantu

dalam melakukan perbuatan baik, memiliki sikap yang baik , menghargai diri sendiri dan

orang lain, bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, memiliki sikap positif terhadap

guru dan teman, menjaga barang-barang mereka sendiri dan orang lain, disiplin waktu dalam

melakukan tugas, jujur, adil, dan bijaksana untuk diri mereka sendiri dan orang lain (Al-

Maududi, 1983).

V. Implementation of School-Based Religious Education Development

Culture in Schools

Implementasi Budaya dalam Pengembangan Pendidikan Berbasis Agama di Sekolah

Mukti Ali said that the activities of religious education and learning, not just

to transfer knowledge, but also to perform transactional and transinternalisation.

The result is that students are good in cognitive achievement but their commitment

of universal value is relatively low. That is why, It is necessary for the

development of religious education to the creation of students’ noble character

(Maimun, 2003: 31). Mukti Ali mengatakan bahwa kegiatan pendidikan dan

pembelajaran agama, tidak hanya untuk mentransfer ilmu, tetapi juga

untuk melakukan transaksional dan transinternalisasi. Hasilnya adalah

25
bahwa siswa baik dalam pencapaian kognitif tetapi komitmen mereka

terhadap nilai universal relatif rendah. Karena itu, perlu pengembangan

pendidikan agama untuk penciptaan karakter luhur siswa (Maimun, 2003:

31).

Religious education is education which is full of attitude formation. According

to the Vienna Sanjaya (2007: 271-272), attitude is not to be taught as well as

mathematics, physics, social sciences and other sciences, but to be formed.

Affective learning strategies are different from cognitive learning strategies and

skills. Because affective associated with the value is difficult to measure. Because

of growing concerns one's consciousness within certain limits, the affection may

arise in the event of behavior, but his assessment to the conclusion accounted

requires precision and observations continuously, and it is not easy to do, let alone

assess changes in attitudes as a result of the learning process done by the teachers

in schools. Pendidikan agama adalah pendidikan yang penuh dengan

pembentukan sikap. Menurut Vienna Sanjaya (2007: 271-272), sikap tidak harus

diajarkan seperti halnya matematika, fisika, ilmu sosial dan ilmu-ilmu lain, tetapi

untuk dibentuk. Strategi belajar afektif berbeda dari strategi dan keterampilan

belajar kognitif. Karena afektif yang terkait dengan nilai sulit diukur. Karena

kekhawatiran tumbuh kesadaran seseorang dalam batas-batas tertentu, kasih

sayang dapat timbul jika terjadi perilaku, tetapi penilaiannya terhadap kesimpulan

dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan pengamatan terus-menerus,

dan itu tidak mudah dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibatnya

dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh para guru di sekolah.


The implementation of the development of culture school-based religious

education covers the principles of development, through a learning process,

learning outcomes assessment, and indicators of school and classroom

assessment. Implementasi pengembangan pendidikan agama berbasis

sekolah budaya mencakup prinsip-prinsip pembangunan, melalui proses

pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan indikator penilaian

sekolah dan kelas.

1. Principles of Culture School-Based Religious Education Development

Prinsip Pengembangan Budaya Pendidikan Agama Berbasis Sekolah


In principle, School-Based Religious Education Development is not included as a

subject because religious education does not merely provide knowledge about the religion,

but precisely it is more important in that it gets children to be obedient and submissive

worshiper and doer. It also gets students to behave in life according to the norms set out in

their respective religions (Purwanto, 1998: 158) with the following principles: Pada

prinsipnya, Pengembangan Pendidikan Agama Berbasis Sekolah tidak dimasukkan sebagai

subjek karena pendidikan agama tidak hanya memberikan pengetahuan tentang agama,

tetapi justru lebih penting dalam hal itu membuat anak menjadi taat dan tunduk pada

penyembah dan pelaku. Ini juga membuat siswa berperilaku dalam kehidupan sesuai

dengan norma-norma yang ditetapkan dalam agama masing-masing (Purwanto, 1998: 158)

dengan prinsip-prinsip berikut:

a. Continuously (Ramly, 2010: 19-20) Berlanjut

b. Integrated into subjects (Purwanto, 1998: 158), self-development


(Rusman, 2009: 20), the school culture (Ramly, 2010: 19-20). Diintegrasikan ke
dalam mata pelajaran (Purwanto, 1998: 158), pengembangan diri (Rusman, 2009: 20)
c. Fun (Maimun, 2003: 31) Menyenangkan

27
Therefore, teachers and schools need to integrate the values developed in religious

education into the Education Unit Level Curriculum (SBC), Syllabus and Learning Program

Plan (RPP) that already exist. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-

nilai yang dikembangkan dalam pendidikan agama ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (SBC), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.

2. Assessment of Learning Outcomes

Penilaian Hasil Belajar

Muhaimin distinguishes religious education evaluation model into three models

according to what will be evaluated. All three models of evaluation are: (1) Group

referenced Evaluation Model (evaluation reference norm), (2) Criterian referenced

Evaluation Model (evaluation benchmark reference), and (3) Reference of Ethics

Model. The development of school culture-based religious education turned out to be

judged not just rote short letters, memorizing pillars of prayer and so on, but whether

or not students pray regularly. No wonder the need to understand the reference of

ethics model arises. This is because something that will be evaluated is the personality.

Reference of ethics model is based on the assumption that: the origin of human nature

is good, education seeks to develop fitrah (actualization), and the unity of the faith,

science, and charity. The implications of assessment of ethical reference model

against learning objectives are: to make men "better", in moral, be faithful, and

devoted to God. The implications of assessment benchmark of the model towards the

learning process is a system to teach value-based instruction, and also the criteria of

true/good is absolute (Muhaimin, 2010: 21- 22). Muhaimin membedakan model

evaluasi pendidikan agama menjadi tiga model sesuai dengan apa yang akan

dievaluasi. Ketiga model evaluasi tersebut adalah: (1) Model Evaluasi yang
direferensikan kelompok (norma referensi evaluasi), (2) Model Evaluasi yang

direferensikan Criterian (referensi tolok ukur evaluasi), dan (3) Referensi Model

Etika. Perkembangan pendidikan agama berbasis budaya sekolah ternyata dinilai

tidak hanya menghafalkan surat-surat pendek, menghafal pilar-pilar doa dan

sebagainya, tetapi apakah siswa berdoa secara teratur atau tidak. Tidak heran

kebutuhan untuk memahami referensi model etika muncul. Ini karena sesuatu yang

akan dievaluasi adalah kepribadian. Referensi model etika didasarkan pada asumsi

bahwa: asal usul sifat manusia itu baik, pendidikan berupaya mengembangkan fitrah

(aktualisasi), dan kesatuan iman, sains, dan amal. Implikasi dari penilaian model

referensi etis terhadap tujuan pembelajaran adalah: untuk membuat manusia "lebih

baik", secara moral, setia, dan berbakti kepada Tuhan. Implikasi dari tolok ukur

penilaian model terhadap proses pembelajaran adalah sistem untuk mengajarkan

pengajaran berbasis nilai, dan juga kriteria benar / baik adalah mutlak (Muhaimin,

2010: 21-22).

The assessment of the development of school culture-based religious education

is the assessment of learners’ affective domain and not their knowledge. Therefore

Anas Sudijono (2000: 210-215) emphasized his judgment not on the demands of

right and wrong answers, but the specific answers of students, which are about the

interests, attitudes, and internalization. Measurements in the framework of affective

learning outcomes assessment are often conducted in schools, among others use the

test attitude, observation, interviews, and questionnaires. The evaluation of

attainment of development of school culture-based religious education is based on

some indicators. For example, an indicator for the value of honesty is formulated as

"saying with his real real feelings on what is seen, observed, studied, or perceived",

the teacher observes (through various means) whether a learner is honest. Maybe the

29
student expresses his feelings verbally but he can do it in written or even in body

language. Feelings that otherwise might have gradation of feeling unlike the general

his classmates’ feelings, even on the contrary to his classmates’ common feeling.

Penilaian pengembangan pendidikan agama berbasis budaya sekolah adalah

penilaian domain afektif peserta didik dan bukan pengetahuan mereka. Karena itu

Anas Sudijono (2000: 210-215) menekankan penilaiannya bukan pada tuntutan

jawaban benar dan salah, tetapi jawaban khusus siswa, yaitu tentang minat, sikap,

dan internalisasi. Pengukuran dalam rangka penilaian hasil belajar afektif sering

dilakukan di sekolah, antara lain menggunakan tes sikap, observasi, wawancara, dan

kuesioner. Evaluasi pencapaian pengembangan pendidikan agama berbasis budaya

sekolah didasarkan pada beberapa indikator. Misalnya, indikator untuk nilai

kejujuran dirumuskan sebagai "mengatakan dengan perasaan nyata yang sebenarnya

tentang apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan", guru mengamati

(melalui berbagai cara) apakah pelajar itu jujur. Mungkin siswa mengungkapkan

perasaannya secara verbal tetapi dia dapat melakukannya secara tertulis atau bahkan

dalam bahasa tubuh. Perasaan yang sebaliknya mungkin memiliki gradasi perasaan

tidak seperti perasaan teman-teman sekelasnya, bahkan sebaliknya dengan perasaan

teman sekelasnya.

Assessment is done continuously, every time the teacher is in the classroom or

at school. Model ofanecdotal record (the record of the teacher when views their

behavior with respect to the developed value) can always be used by teachers. In

addition, teachers can also give a task that contains an issue or event that provides

an opportunity for learners to demonstrate its value. For example, the learner is

requested to express his attitude towards the efforts to help idlers, to provide

assistance to the miser, or other things that are not controversial to the things that
can invite conflict in himself. Penilaian dilakukan terus menerus, setiap kali guru

ada di kelas atau di sekolah. Model catatan anekdot (catatan guru ketika melihat

perilaku mereka sehubungan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat

digunakan oleh guru. Selain itu, guru juga dapat memberikan tugas yang berisi

masalah atau peristiwa yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk

menunjukkan nilainya. Misalnya, pelajar diminta untuk mengekspresikan sikapnya

terhadap upaya membantu para pemalas, untuk memberikan bantuan kepada orang

kikir, atau hal-hal lain yang tidak kontroversial dengan hal-hal yang dapat

mengundang konflik dalam dirinya sendiri.

31
CHAPTER III

FINAL

PENUTUP

I. Conclusion

Kesimpulan

School culture is the atmosphere of the school where students interact with peers,

teachers with teachers, counselors one another, with other administration officials, and

among members of the school community groups. Internal group and intergroup interactions

are bound by various rules, norms, morals and ethics in schools. Leadership, exemplary,

friendliness, tolerance, hard work, discipline, social awareness, environmental awareness,

sense of nationality, and responsibility are values that are developed in the culture of the

school. Budaya sekolah adalah suasana sekolah tempat siswa berinteraksi dengan teman

sebaya, guru dengan guru, penasihat satu sama lain, dengan pejabat administrasi lainnya,

dan di antara anggota kelompok komunitas sekolah. Interaksi internal kelompok dan

antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral, dan etika di sekolah.

Kepemimpinan, teladan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kesadaran sosial,

kesadaran lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab adalah nilai-nilai yang

dikembangkan dalam budaya sekolah

The development of school culture based religious education in public schools is an

alternative solution on the problems which are actually classic, but until now they have not

been resolved properly, which in turn would be a matter of continuity up from one period

to the next, namely the problem of narrow time allocation, three hours for elementary, 2

hours face to face for SMP and SMA / SMK (per-hour 40 minutes instead of 60 minutes)
and the problems therein multicultural religious plurality. Perkembangan pendidikan agama

berbasis budaya sekolah di sekolah umum merupakan solusi alternatif atas masalah-masalah

yang sebenarnya klasik, tetapi sampai sekarang belum terselesaikan dengan baik, yang pada

gilirannya akan menjadi masalah kesinambungan dari satu periode ke periode berikutnya,

yaitu masalah alokasi waktu yang sempit, tiga jam untuk SD, 2 jam tatap muka untuk SMP

dan SMA / SMK (per jam 40 menit, bukan 60 menit) dan masalah di dalamnya pluralitas

agama multikultural.

Implementation of the development of school-culture based religious education in

public schools covers the principles of development, through a learning process, learning

outcomes assessment, and indicators of school and classroom assessment. Implementasi

pengembangan pendidikan agama berbasis budaya sekolah di sekolah umum mencakup

prinsip-prinsip pembangunan, melalui proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,

dan indikator penilaian sekolah dan kelas.

33
REFERENCES
Al-Munawar, Sa’id Agil Husein. (2003). Aktualisasi Nilai-nilai Qur’an Dalam Sistem
Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Press.)
Buchori, Mochtar. (1992). “Posisi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Kurikulum
Perguruan Tinggi Umum.” Makalah, pada Seminar Nasional di IKIP Malang, 24
Februari.
Daulay, Haidar Putra. (2007). Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Fauzan. (2007). “Dilema Baru Pendidikan Islam Pasca Otonomi Daerah”, dalam
Komaruddin Hidayat,at.al., Mimbar Jurnal Agama dan Budaya Volume 24,No.4, (
Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah,.
Nasution, Harun. (1995). Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Maimun, Agus, Abdul Mukti Basri, dan Hasanudin. (2003). Profil Pendidikan
Agama Islam (PAI) Sekolah Umum Tingkat Dasar. (Jakarta: Departemen Agama
RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Direktorat Madrasah Dan
Pendidikan Umum Proyek Pemberdayaan Kelembagaan Dan Ketatalaksanaan
Pada Madrasah Dan PAI Pada Sekolah Umum Tingkat Dasar.
Muhaimin. (2009). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Muhaimin. (2006). Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Peterson. Kent. D., Terrece. E. Deal,. (2009). Shaping School Culture,Pitfalls,Paradoxs &
Promises. Sun Fransisco,USA: Jossey Bass A. Willay Imprint.www.josseybass.
Purwanto, Ngalim. (1998). Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. Rahim, Husni et.al., (2001). Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam.
(Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam.)
Ramly, Mansyur. (2010). Pengembangan Pendidikan Buadaya Dan Karakter Bangsa
Pedoman Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Edit. M. Amin Abdullah, dkk. Yogyakarta:
DIP PTA IAIN Sunan Kalijaga.
Rasdianah. (1995). Butir-butir Pengarahan Dirjen Binbaga Islam pada Pelatihan
Peningkatan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Kependidikan Bagi Dosen PAI di
Perguruan Tinggi Umum. Bandung, 11 Desember.

You might also like