Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Although Pancasila had been taught in Indonesian schools, various types of violations of freedom
of religion and belief, acts of intolerance, blasphemy of religion, rejection of the establishment of
places of worship, prohibition of worship activities, destruction of places of worship and cases of
violence in the name of certain religious teachings still often occur in various regions in Indonesia.
This was the background for conducting study of inclusive education arrangements based on the
North Sumatera Governor Regulation Number 29, 2016 in relation to the potential risk of violating
the Pancasila ideology in the implementation of early childhood education program. This research
was a normative legal research. The data were secondary data consist of primary and secondary
law resources. The data were analyzed using juridical, comparative and qualitative methods.
From the data analyzed it could be concluded that: 1). It was not appropriate if the delegation of
authority given to the city district government to provide inclusive education was stated in the
form of governor’s regulation; 2). Early childhood education was the target of implementing
inclusive education through the North Sumatera Governor Regulation Number 29, 2016 so that
the spirit of providing fair and non-discriminatory treatment in the provision of education had not
been shown by adequate regulation; 3). There was a potential risk of violating the Pancasila
ideology in the implementation of eraly childhood education when it was included in the
implementation of inclusive education, because the Governor Regulation No. 29, 2016 did not
stipulate who and how to recruit special assistant teachers and non government education
providers, thus allowing their commitment to internalize Pancasila values to students did not exist.
Abstrak
Meski Pancasila telah diajarkan di sekolah-sekolah, namun berbagai jenis pelanggaran atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan, tindakan intoleransi, penodaan agama, penolakan
pendirian tempat ibadah, pelarangan aktivitas ibadah, perusakan tempat ibadah, dan kasus
kekerasan yang mengatasnamakan ajaran agama tertentu masih sering terjadi di berbagai daerah.
Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya kajian terhadap pengaturan pendidikan inklusif
berdasar Pergub Sumut No. 29 Tahun 2016 dalam kaitannya dengan potensi risiko pelanggaran
ideologi Pancasila dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada program Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD). Kajian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Data yang digunakan adalah data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Data dianalisis dengan menggunakan metode yuridis, komparatif dan kualitatif.
Berdasarkan analisis data diperoleh temuan sebagai berikut: 1) Tidak tepat jika pendelegasian
wewenang yang diberikan kepada Pemda Kabupaten Kota untuk menyelenggarakan pendidikan
1
Makalah hasil penelitian kerjasama Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) dengan dukungan pendanaan dari BPIP tahun 2021.
92
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
inklusif dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur; 2). PAUD menjadi sasaran pelaksanaan
penyelenggaraan pendidikan inklusif melalui Pergub No 29 tahun 2016, sehingga semangat
memberikan perlakuan yang adil serta non diskriminasi dalam penyelenggaraan Pendidikan belum
ditunjukkan dengan pengaturan yang memadai; 3). Ada risiko ideologi Pancasila yang potensial
dilanggar dalam penyelenggaraan pendidikan PAUD ketika dimasukkan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif karena dalam Pergub tersebut tidak diatur siapa dan bagaimana rekrutmen guru
pendamping khusus serta masyarakat yang dapat turut serta dalam penyelenggaraan pendidikan
khusus, sehingga memungkinan komitmen mereka untuk menginternalisasikan nilai-nilai
Pancasila kepada peserta didik tidak ada.
93
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Dalam Pasal 6 (1) UU Sisdiknas No. emosional, serta seni. Pada ayat (3) disini
20/2003 disebutkan bahwa setiap warga tidak disebutkan secara eksplisit Pancasila
negara yang berusia tujuh sampai dengan sebagai perangkat penting dalam membentuk
lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan karakter insan muda yang Pancasilais.
dasar. Meski demikian dalam UU tersebut Sementara itu ketentuan ayat (4) juga amat
memang tidak diatur secara eksplisit sangat kabur karena dalam ayat tersebut
mengenai pendidikan inklusif ini dalam jalur disebutkan bahwa perkembangan
pendidikan formal. Akan tetapi pada tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
2009 Menteri Pendidikan mengeluarkan merupakan perubahan perilaku yang
Peraturan Pendidikan Nasional Nomor 70 berkesinambungan dan terintegrasi dari
Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan faktor genetik dan lingkungan serta
Pendidikan Inklusif (Permendiknas meningkat secara individual baik kuantitatif
Pendidikan Inklusif No. 70/2009). maupun kualitatif. Agaknya ketentuan ini
Permendiknas tersebut dikeluarkan sebagai menjadi tiket untuk menjadi pembenar
upaya untuk mencapai salah satu target dilaksanakannya pendidikan yang muatannya
tujuan pembangunan milenial yakni tidak berpotensi lahirnya insan-insan yang
boleh ada seorang anakpun yang tertinggal intoleran.
untuk tidak mendapatkan kesempatan Berdasarkan penelitian tentang
mengenyam pendidikan. Selain itu, agar Kerukunan Umat Beragama yang dilakukan
tidak ada diskriminasi dalam oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan
penyelenggaraan pendidikan, maka anak- Keagamaan Litbang dan Diklat Kementerian
anak yang berkebutuhan khusus (ABK) perlu Agama Republik Indonesia pada tahun 2019
mendapat kesempatan sekolah bersama menunjukkan bahwa kerukunan terwujud
dengan anak-anak normal lainnya. Untuk itu melalui tingginya tingkat toleransi,
Pemerintah daerah berkewajiban untuk kesetaraan dan kerjasama. Indeks Kerukunan
menyediakan guru-guru khusus yang akan Umat Beragama (KUB) di Indonesia
mendampingi ABK tersebut. mengalami peningkatan dari tahun 2018
Kebijakan tersebut nampaknya disikapi sebesar 2,93, sebelumnya 70,90 menjadi
secara “khusus” oleh banyak daerah, bahkan 73,83
melihat kebijakan tersebut sebagai peluang (https://simlitbangdiklat.kemenag.go.id).
untuk melebarkan sasaran/jangkauannya Adapun indikator yang digunakan adalah
sehingga pendidikan inklusif tidak hanya toleransi, kesetaraan dan kerjasama.
dilaksanakan di jalur pendidikan dasar yakni Sedangkan berdasarkan laporan untuk United
SD dan SLTP serta SLTA namun justru Nations Universal Periodic Review UPR
dimulai sejak Pendidikan Aanak Usia Dini yang diajukan oleh The Lutheran World
(PAUD) yang sejatinya menurut UU Federation (LWF), The Institute for
Sisdiknas No 20/2003, PAUD masuk dalam Interfaith Dialogue in Indonesia (Institut
kategori sebagai pendidikan non formal. DIAN / Interfidei) Yogyakarta, Aliansi
Mengenai PAUD ini telah diatur BhinekaTunggal Ika (ANBTI) Yogyakarta,
standar pendidikan anak usia dini Sinode AM Gereja-Gereja di Sulawesi Utara-
sebagaimana dituangkan dalam Tengah-Gorontalo (SULUTTENGGO)
Permendikbud No 137 Tahun 2014. Dalam Manado, Sinode Gereja Masehi Injili di
Permendikbud tersebut tidak disinggung Timor (GMIT) Kupang, Indonesia Interfaith
sedikitpun tentang pendidikan karakter guna Network (JAII) Jakarta, Komite Nasional
membentuk insan Pancasilais. Pasal 7 ayat LWF Medan, IMPARSIAL Jakarta, Mitra
(3) intinya menyebutkan bahwa POKJA Mission 21, Jawab Barat, Bandung,
perkembangan anak merupakan integrasi dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP),
perkembangan aspek nilai agama dan moral, PAPUA, Human Rights Working Group
fisik-motorik, kognitif, bahasa, dan sosial- (HRWG) Jakarta, Indonesia Interfaith
94
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Network (JAII) Aceh, United North Sumatra peraturan kebijakan Propinsi Sumatera Utara
Alliance (ASB) Medan, Eastern Indonesia melalui Peraturan Gubernur No 29 tahun
Women's Network (JPIT) Kupang, NTT, 2016 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
mencatat bahwa dalam sembilan tahun Inklusif (Pergub Sumut No. 29 Tahun 2016).
terakhir, 346 tempat ibadah diserang (Lihat Secara teoretis dapat dipertanyakan mengapa
Republic of Indonesia Joint Submission to Permendikbud tersebut disikapi dengan
the UN Universal Periodic Review 27th Pergub, bukan dengan Peraturan Daerah
Session of the UPR Working Group, Institute (Perda). Hal ini menjadi problematika
for Interfaith Dialogue in Indonesia and The tersendiri yang menarik untuk dikaji.
Lutheran World Federation). Serangan Mengingat setelah diundangkan
tersebut berkisar dari pembakaran dan Permendiknas No 70 tahun 2009 tersebut,
vandalisme hingga pembatalan izin Indonesia telah meratifikasi Konvensi
bangunan dan lain-lain. Dari 346 tempat tentang Penyandang Hak-Hak Kaum
tersebut, 22 tempat kelompok kepercayaan Disabilitas (UNCRPD) pada Tahun 2016
agama tradisional, 180 gereja, tiga pagoda, dengan mengundangkan UU No 8 Tahun
121 masjid dari denominasi ) agama 2016 tentang Penyandang Disabilitas
minoritas, satu sinagoga, lima kuil Hindu dan dijumpai adanya ketidaksesuaian terminologi
14 kuil Budha. Sejak tahun 2012, ibadah di antara Permendiknas dan UU tersebut
19 gereja di Aceh Singkil telah dilarang oleh sehingga hal ini tentu akan menimbulkan
Kabupaten Singkil dengan alasan tidak persoalan terhadap ketepatan materi muatan
memiliki izin mendirikan bangunan serta produk hukum yang seyogyanya dipilih
(dilaporkan oleh Komnas HAM tahun 2015). oleh daerah dalam mensukseskan program
Menurut Setara Institute, jenis pendidikan inklusif. Untuk mensikapi hal
pelanggaran atas kebebasan beragama dan tersebut, maka dalam makalah ini dikaji
berkeyakinan yang paling banyak terjadi permasalahan: 1). Apakah tepat jika
pada tahun 2020 yakni tindakan intoleransi. pendelegasian wewenang yang diberikan
Setara mencatat 32 kasus terkait pelaporan kepada Pemda Kabupaten Kota untuk
penodaan agama, 17 kasus penolakan menyelenggarakan pendidikan inklusif
pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus dituangkan dalam bentuk Peraturan
pelarangan aktivitas ibadah, 6 kasus Gubernur ? 2). Mengapa PAUD menjadi
perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan sasaran pelaksanaan penyelenggaraan
kegiatan dan 5 kasus kekerasan pendidikan inklusif melalui Pergub Sumut
(https://nasional.kompas.com/read/2021/04/ No. 29 Tahun 2016 sedangkan Permendiknas
06). Fakta yang diungkap oleh Setara No 70 Tahun 2009 mengamanatkan
Institute tersebut menyisakan sebuah penyelenggaraan pendidikan inklusi di
pertanyaan reflektif, mengapa dari waktu ke sekolah ? 3). Adakah risiko ideologis (nilai-
waktu tindakan intoleransi terkait kebebasan nilai) Pancasila yang potensial dilanggar
beragama dan berkeyakinan tidak semakin dalam penyelenggaraan pendidikan PAUD
berkurang namun justru sebaliknya. Adakah yang dimaksukkan dalam penyelenggaraan
ini merupakan benih yang ditanam secara pendidikan inklusif ?
sistematis melalui lembaga pendidikan dan
seolah seiring sejalan dengan kebijakan B. Metode Penelitian
pemerintah di bidang Pendidikan. Oleh
Kajian dilakukan dengan
karena itu menjadi beralasan jika setiap
menggunakan metode penelitian yuridis
daerah kemudian menyikapi Permendiknas
normatif. Data yang digunakan adalah data
Pendidikan Inklusif No 70/2009 secara
sekunder berupa bahan hukum primer dan
beragam. Sebagai contoh, Pemerintah daerah
bahan hukum sekunder. Adapun bahan
Sumatera Utara kemudian mengambil
hukum primer yang dikaji meliputi:
kesempatan ini untuk mengeluarkan suatu
Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia
95
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
96
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
memberikan jalan keluar selain bagi sistematika dan pilihan kata atau
masalah-masalah umum juga masalah- terminologi, serta bahasa hukumnya jelas
masalah khusus. dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam
Asas pembentukan Peraturan interpretasi dalam pelaksanaannya;
Perundang-undangan yang baik dirumuskan g. Keterbukaan, bahwa dalam proses
juga dalam Undang-Undang Nomor 12 pembentukan peraturan perundang-
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan undangan mulai dari pencanaan,
Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan persiapan, penyusunan, dan pembahasan
Pasal 6. Pasal 5 menjelaskan dalam bersifat transparan dan terbuka. Dengan
membentuk Peraturan Perundang-undangan demikian, seluruh lapisan masyarakat
harus berdasarkan pada asas pembentukan mempunyai kesempatan yang seluas-
Peraturan Perundang-undangan yang baik luasnya untuk memberikan masukan
yang meliputi: dalam proses pembuatan peraturan
a. Kejelasan tujuan, bahwa setiap perundang-undangan.
pembentukan peraturan perundang- Harmonisasi suatu sistem hukum
undangan harus mempunyai tujuan yang dalam pengaturan hukumnya di dalam suatu
jelas yang hendak dicapai; negara dapat diketahui dengan melihat
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang efektivitas peraturan perundang-undangan.
tepat, adalah bahwa setiap jenis peraturan Berkaitan dengan hal tersebut, prinsip
perundang-undangan harus dibuat oleh legalitas harus dipenuhi oleh peraturan
lembaga/ pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan. Prinsip legalitas
perundang-undangan yang berwenang. tersebut meliputi: a). bahwa suatu sistem
Peraturan Perundang-undangan tersebut hukum harus mengandung peraturan-
dapat dibatalkan atau batal demi hukum, peraturan; b). bahwa peraturan-peraturan
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang yang telah dibuat itu harus diumumkan; c).
tidak berwenang; Bahwa peraturan yang dibuat tidak berlaku
c. Kesesuaian antara jenis dan materi surut; d). bahwa peraturan-peraturan harus
muatan, bahwa dalam pembentukan disusun dalam rumusan yang jelas dan dapat
peraturan perundang-undangan harus dimengerti; e). bahwa sistem peraturan
benar-benar memperhatikan materi perundang-undangan tidak boleh
muatan yang tepat dengan jenis peraturan mengandung peraturan yang saling
perundang-undangannya; bertentangan; f). semua peraturan yang
d. Dapat dilaksanakan, bahwa setiap dibentuk tidak boleh mengandung tuntutan
pembentukan peraturan perundang- yang melebihi apa yang dapat dilakukan; g).
undangan harus memperhitungkan bahwa peraturan tidak sering berubah-ubah
efektivitas peraturan perundang-undangan dan g). peraturan harus dilaksanakan dalam
tersebut di dalam masyarakat, baik secara kehidupan sehari-hari. Syarat-syarat
filosofis, yuridis maupun sosiologis; peraturan perundang-undangan tersebut
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa memberikan pengkualifikasian terhadap
setiap peraturan perundang-undangan sistem hukum yang mengandung suatu
dibuat karena memang benar-benar moralitas tertentu.
dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, 2. Pancasila sebagai Dasar
berbangsa, dan bernegara; Ketatanegaraan (Kajian Ideologis
f. Kejelasan rumusan, bahwa setiap dan Yuridis)
peraturan perundang-undangan harus
Dari aspek kajian yuridis, Pancasila
memenuhi persyaratan teknis penyusunan
sebagai ideologi bangsa Indonesia menjadi
peraturan perundang-undangan,
dasar negara, pandangan hidup atau falsafah
97
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
98
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Walikota) yang akan diberlakukan di seluruh adalah sumber dari segala sumber hukum
wilayah negara Indonesia. negara, dimana dalam Pasal 2 yang
Dari aspek kajian yuridis menyatakan bahwa Pancasila merupakan
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang sumber segala sumber hukum negara.
merupakan dasar bagi pembentukan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang ini
konstitusi atau Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa penempatan Pancasila
(staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi sebagai sumber dari segala sumber hukum
hukum dari suatu staatsfundamentalnorm negara adalah sesuai dengan Pembukaan
(norma dasar) adalah sebagai syarat bagi UUD NRI 1945 alinea keempat yaitu
berlakunya suatu konstitusi. Norma dasar ada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan
terlebih dahulu dari konstitusi suatu Negara. yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Jika norma hukum tertinggi (UUD) dalam Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
suatu negara dapat berubah misalnya dengan kebijaksanaan dalam
perubahan dasar-dasar ketatanegaraan, pada Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan
dasarnya, karena sifatnya staats- sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini
fundamentalnorm tidak berubah-ubah. menempatkan Pancasila sebagai dasar dan
Menurut Hans Kelsen, sifat dari grundnorm ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
(atau staatsfundamentalnorm) pada negara sehingga setiap materi muatan
umumnya adalah meta-juridisch. Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
Groundnorm tersebut bukan tidak dibuat bertentangan dengan nilai-nilai yang
oleh lembaga pembuat undang-undang dan terkandung dalam Pancasila.
bukan bagian dari peraturan perundang- Selanjutnya UUD NRI 1945,
undangan, namun merupakan sumber dari sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat
semua sumber dari peraturan hukum di (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011,
bawahnya. Norma dasar yang merupakan diposisikan sebagai hukum dasar dalam
norma tertinggi dalam sistem norma tersebut peraturan perundang-undangan, atau Kelsen
tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang menyebut sebagai staatsgrundgesetz.
lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu Adapun fungsi dari ‘hukum dasar’
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 3 Ayat (1)
sebagai norma dasar yang merupakan ini sebagai norma dasar bagi pembentukan
gantungan bagi norma-norma yang berada peraturan perundang-undangan yang
dibawahnya sehingga suatu norma dasar itu merupakan sumber hukum bagi
dikatakan pre-supposed (Maria Farida pembentukan peraturan perundang-undangan
Indrati, 2010). di bawah UUD NRI 1945. Adapun hierarkii
Adapun Staatsfundamentalnorm di tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang
Indonesia adalah Pancasila, yang tercantum menyataan bahwa jenis dan hierarki
dalam Pembukaan UUDasar NRI 1945. Hal peraturan perundang-undangan terdiri atas:
ini secara tegas juga telah diatur dalam Pasal a. UUD NRI 1945;
2 UU No. 10 Tahun 2004 tentang b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Pembentukan Peraturan Perundang- Rakyat;
Undangan yang kemudian dicabut dan c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
diperbarui dengan UU No. 12 Tahun 2011 Pengganti Undang-Undang;
tentang Pembentukan Peraturan Perundang- d. Peraturan Pemerintah;
Undangan jo. UU No. 15 tahun 2019 tentang e. Peraturan Presiden;
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Perundang-Undangan. Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 juga meletakkan landasan Dalam Pasal 7 ayat (2) dinyatakan
yang tegas serta kepastian bahwa Pancasila bahwa kekuatan hukum peraturan
99
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
perundang-undangan sesuai dengan hierarki empat Pembukaan UUD NRI 1945 adalah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di mencerdaskan kehidupan bangsa.
mana hierarki” ini merupakan penjenjangan Untuk Indonesia sekarang ini,
setiap jenis peraturan perundang-undangan pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan
yang didasarkan pada asas bahwa peraturan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
perundang-undangan yang lebih rendah tidak dan proses pembelajaran agar peserta didik
boleh bertentangan dengan peraturan secara aktif mengembangkan potensi dirinya
perundang-undangan yang lebih tinggi. untuk memiliki kekuatan spiritual
Dengan pernyataan tersebut sebenarnya keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
sudah sangat jelas bahwa penempatan kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
serta sekaligus dasar filosofis negara dan negara (Pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas
memiliki makna imperatif bahwa setiap No. 20/2003). N. Driyarkara berpendapat,
muatan peraturan perundang-undangan tidak pendidikan (mendidik dan dididik)
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang merupakan perbuatan yang kompleks dari
terkandung dalam Pancasila (Penjelasan banyak perbuatan yang semuanya diarahkan
Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 untuk memanusiakan manusia (Lihat Triyana
jo. Undang-Undang No. 15 tahun 2019). Yohanes dalam Tim Penulis FH UAJY,
Dengan demikian pula, dalam desain suatu 2020). Dengan demikian melalui pendidikan
regulasi, sejatinya sudah sangat jelas bahwa anak didik akan dituntun ke arah menjadi
Pancasila dan seluruh nilai yang terkandung manusia yang dewasa, berkualitas,
di dalamnya harus menjadi ius constutiendum bertanggung jawab dan bermartabat sesuai
yang menjiwai semua produk hukum dengan kondratnya sebagai ciptaan Tuhan
Indonesia (Dian Agung Wicaksono, dalam yang paling mulia. Melalui pendidikan nilai-
Sudjito 2012). nilai kemanusiaan diupayakan untuk
diwariskan dan diinternalisasikan pada
3. Sistem Pendidikan Indonesia yang peserta didik. Upaya pendidikan melalui
ber-Pancasila internalisasi nilai-nilai kemanusiaan
menuntun untuk memanusiakan manusia
Dapat dikatakan bahwa pendidikan
(Teguh Triwiyanto, 2014).
merupakan proses untuk mengembangkan
Sistem pendidikan Indonesia
kecerdasan manusia baik secara lahiriah
hendaknya ditujukan untuk membangun
(nalar) maupun secara batiniah (emosional)
bangsa Indonesia menjadi manusia Indonesia
yang pelaksanaannya dilakukan baik secara
yang sejati. Melalui pendidikan, maka bangsa
individual maupun secara kolektif.
Indonesia dibentuk menjadi manusia
Pelaksanaan pendidikan secara kolektif
Indonesia yang dewasa, berkualitas dan
dilakukan dalam lingkungan keluarga,
matang secara lahiriah (intelektual) dan
kelompok masyarakat maupun negara sesuai
batiniah (rohaniah). Manusia Indonesia yang
dengan konsep dan karakteristik dari
dimaksud di sini adalah manusia bangsa
kelompok masyarakat tersebut. Dalam
Indonesia yang berkepribadian Indonesia,
lingkup nasional, setiap negara sekarang ini
memahami, menghayati dan mengamalkan
mengembangkan sistem pendidikan mereka
nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup
masing-masing sesuai dengan tujuan
bangsa Indonesia, yakni nilai-nilai yang
nasionalnya. Demikian juga dengan Negara
terkandung dalam kelima Pancasila.
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
Dikatakan bahwa Pancasila merupakan
dibentuk melalui Proklamasi Kemerdekaan
kewibawaan moral kolektif dan kekuatan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
kultural karena secara otentik merupakan
Salah satu tujuan pembentukan NKRI
Indonesia yang sesungguhnya (BPIP, 2019).
sebagaimana ditetapkan dalam alinea ke-
Oleh karena itu sistem pendidikan Indonesia
100
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
101
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
setiap orang berhak atas perlindungan bagi Masyarakat juga dapat berperan serta sebagai
pengembangan pribadinya, untuk sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
memperoleh pendidikan, mencerdaskan pendidikan (Pasal 54)
dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya Dalam hal pemenuhan hak atas
agar menjadi manusia beriman, bertakwa, pendidikan, sangatlah penting untuk
bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia memperhatikan pada sasaran anak-anak,
dan sejahtera sesuai dengan HAM. Pasal 5 karena anak adalah generasi masa depan dan
UU Sisdiknas No. 20/2003 mengatur hak atas merupakan aset penting bangsa dalam
pendidikan sebagai berikut: (1). Setiap warga membangun negara dan bangsa. Berdasar
Negara mempunyai hak yang sama untuk Pasal 28 ayat (1) Konvensi Hak Anak tahun
memperoleh pendidikan yang bermutu; (2). 1989 ditentukan bahwa negara-negara
Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, peserta mengakui hak anak atas pendidikan.
emosional, mental, intelektual, dan/atau Dalam hal pemenuhan hak anak atas
social berhak memperoleh pendidikan pendidikan, maka kepentingan anak untuk
khusus ; (3). Warga Negara di daerah tumbuh dan berkembang harus diperhatikan.
terpencil dan terbelakang serta masyarakat Kepentingan di sini meliputi pula bagi
adat yang terpencil berhak memperoleh mereka yang berkebutuhan khusus. Anak
pendidikan layanan khusus; (4). Warga (peserta didik) yang berkebutuhan khusus di
Negara yang memiliki potensi kecerdasan sini diartikan sebagai peserta didik yang
dan bakat istimewa berhak memperoleh memiliki kelainan dan yang memiliki potensi
pendidikan khusus; (5). Setiap warga Negara kecerdasan atau bakat istimewa, sehingga
berhak mendapat kesempatan meningkatkan memerlukan model pembelajaran yang
pendidikan sepanjang hayat. dirancang secara khusus (Maman Ahdiyat,
Pemenuhan hak atas pendidikan di dkk, 2017). Berdasarkan difinisi dan turunan
Indonesia dilakukan melalui berbagai macam dari UU tentang pendidikan Inklusif anak
bentuk dan jenjang pendidikan. Berdasar yang tergolong Anak Berkebutuhan Khusus
Pasal 15 UU Sisdiknas No. 20/2003 (ABK) adalah mereka dengan kesulitan
ditentukan bahwa jenis pendidikan belajar, anak lambat belajar, anak dengan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, ganguan autis, anak dengan gangguan
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan intelektual, anak dengan gangguan fisik dan
khusus. Berbagai macam jenis pendidikan motorik, anak dengan gangguan emosi dan
dapat ditempuh melalui jalur pendidikan perilaku, anak berkelainan majemuk dan
terdiri dari pendidikan formal, nonformal dan anak berbakat. Dengan demikian anak ABK
informal yang dapat saling melengkapi dan di sini diartikan anak (peserta didik) yang
memperkaya. Jenjang pendidikan formal memiliki kelainan dan yang memiliki potensi
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan kecerdasan atau bakat istimewa. ABK,
menengah dan pendidikan tinggi. seperti mereka yang memiliki kekurangan
Berkaitan dengan peran masyarakat secara fisik dan mental, perlu mendapat
dalam penyelenggaraan pendidikan Pasal 8 perlindungan khusus mengingat mereka
UU Sisdiknas No. 20/2003 menentukan rentan untuk mendapatkan “bullying” dari
bahwa masyarakat berhak berperan serta teman-teman sebayanya, sedangkan anak-
dalam perencanaan, pelaksanaan, anak yang memiliki kecerdasan istimewa
pengawasan, dan evaluasi program perlu mendapatkan perlakukan khusus untuk
pendidikan. Peran serta masyarakat dalam memfasilitasi perkembangan anak tersebut
pendidikan meliputi peran serta sesuai dengan bakat atau kemampuan
perseorangan, kelompok, keluarga, istimewanya.
organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi Terhadap ABK perlu adanya
kemasyarakatan dalam penyelenggaan dan pendidikan khusus atau yang kemudian
pengendalian mutu pelayanan pendidikan. dikenal dengan istilah pendidikan inklusif, di
102
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
mana guru-guru, fasilitas, metode pendidikan potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
khusus harus diterapkan. Pendidikan inklusif Dikatakan oleh Apdita Suci Nurani, dkk,
adalah sistem penyelenggaraan pendidikan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam
yang memberikan kesempatan kepada semua penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah
peserta didik yang memiliki kelainan dan pemerataan pendidikan bagi anak normal
memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat maupun anak berkebutuhan khusus. Akan
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau tetapi penyelenggaraan pendidikan inklusif
pembelajaran dalam satu lingkungan tidak hanya memasukan siswa yang memiliki
pendidikan secara bersama-sama dengan kebutuhan khusus ke dalam kelas reguler
peserta didik pada umumnya (Olifia Rombot, untuk belajar bersama-sama dengan siswa
2017). UNICEF memberi definisi sekolah normal lainya (Apdita Suci Nurani, Soesilo
inklusif sebagai sebuah ideology yang Zauhar, Prof,Dr, MS, Choirul Saleh, Dr,
mengijinkan peserta didik dari segala latar M.Si, 2015).
belakang kesempatan, akses, dukungan dan Pendidikan inklusif adalah hak asasi,
hak yang sama atas hak pembelajaran yang dan ini merupakan pendidikan yang baik
berkualitas (lihat Joanna Mah Tjun Lyn, dkk., untuk meningkatkan toleransi sosial. Secara
2020). Sedangkan oleh Alimin Z. Dan sederhana ada beberapa hal yang bisa kita
Permanarian sekolah inklusif diartikan pertimbangkan, antara lain: (a) Semua anak
sebagai sekolah biasa/reguler yang memiliki hak untuk belajar secara bersama-
menyelengarakan pendidikan inklusif dengan sama, (b) Keberadaan anak-anak jangan
mengakomodasi semua peserta didik baik didiskriminasikan, dipisahkan, dikucilkan
anak normal maupun anak berkebutuhan karena kekurangmampuan atau mengalami
khusus yaitu anak yang menyandang kesulitan dalam pembelajaran, (c) Tidak ada
kelainan fisik, intelektual, sosial, emosi, satupun ketentuan untuk mengucilkan anak
mental, cerdas, berbakat istimewa, suku dalam pendidikan. Secara teoritis pendidikan
terasing, korban bencana alam, bencana inklusif adalah proses pendidikan yang
sosial/miskin, mempunyai perbedaan warna memungkinkan semua anak berkesempatan
kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, untuk berpartisipasi secara penuh dalam
budaya, agama, tempat tinggal, kelompok kegiatan kelas reguler, tanpa memandang
politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, kelainan, ras, atau karakteristik lainnya
anak terlantar, anak tuna wisma, anak (Apdita Suci Nurani, Soesilo Zauhar,
terbuang, anak yang terlibat sistem Prof,Dr, MS, Choirul Saleh, Dr, M.Si, 2015).
pengadilan remaja, anak terkena daerah Bagi ABK serta peserta didik yang
konflik senjata, anak pengemis, anak terkena tidak memiliki kebutuhan khusus, pendidikan
dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak inklusi terus menerus dikembangkan karena
nomaden dan lain-lain sesuai dengan memiliki kelebihan dan manfaat. Berbagai
kemampuan dan kebutuhannya (Alimin, Z. manfaat atau kelebihan program inklusi
dan Permanarian dalam Abdul Rahim, misalnya munculnya keberanian bagi anak-
2016). anak lain untuk berinteraksi dengan anak
UU Sisdiknas No. 20/2003 mengatur berkebutuhan khusus, peningkatan toleransi
tentang pendidikan khusus yang antara lain dan pemahaman pada anak berkebutuhan
ditujukan bagi anak yang memiliki khusus, peningkatan penerimaan terhadap
kebutuhan khusus. Pasal 32 ayat (1) UU anak berkebutuhan kehusus dalam pergaulan
Sisdiknas No. 20/2003 menentukan dengan anak-anak lainnya. (Lihat pula Olifia
pendidikan khusus merupakan pendidikan Rombot, S.Sos., M.Pd, 2017).
bagi peserta didik yang memiliki tingkat Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
kesulitan dalam mengikuti proses bisa memberikan manfaat dan dampak positif
pembelajaran karena kelainan fisik, terhadap anak berkebutuhan khusus. Manfaat
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki yang diterima yaitu ketika anak berkebutuhan
103
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
104
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
inklusif dan oleh sebab itulah dalam prinsip untuk Penyandang Disabilitas meliputi: a).
penyelenggaraan pemerintahan daerah Mendapatkan pendidikan yang bermutu pada
sejatinya pemerintah provinsi melaksanakan satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan
tugas pembantuan atau sering disebut dengan jenjang pendidikan secara inklusif dan
medebewind. khusus; b). Mempunyai kesamaan
Menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 23 kesempatan untuk menjadi pendidik atau
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
dinyatakan bahwa tugas pembantuan adalah di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan;
penugasan dari Pemerintah Pusat kepada c). Mempunyai kesamaan kesempatan
daerah otonom untuk melaksanakan sebagian sebagai penyelenggaran pendidikan yang
Urusan Pemerintahan yang menjadi bermutu pada satuan pendidikan di semua
kewenangan Pemerintah Pusat atau dari jenis jalur, dan jenjang pendidikan; dan
Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah mendapat akomodasi yang layak sebagai
kabupaten/kota untuk melaksanakan peserta didik. Jika konsisten berpegang pada
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi butir 4 Sila II Pancasila, muatan materi lebih
kewenangan Daerah provinsi. Berdasarkan tepat jika dituangkan dalam Peraturan
pengertian ini, maka dalam prinsip Daerah. Dalam hal ini tim penulis memberi
medebewind atau tugas pembantuan, rekomendasi seharusnya hak pendidikan bagi
pemerintah pusat atau pemerintah provinsi penyandang disabilitas menjadi materi
tetap merumuskan asas dan prinsip-prinsip muatan Peraturan Daerah ke depannya, saat
yang harus dilakukan serta menyediakan ini dalam Pergub Sumut No. 29 Tahun 2016
sumber daya anggaran yang diatur dalam belum menjadi materi muatan dalam Pergub
Peraturan Perundang-undangan tingkat Pusat tersebut.
atau tingkat provinsi, sedangkan daerah Ketentuan Pasal 1 Pergub Sumut No.
dalam hal ini kabupaten/kota melaksanakan 29 Tahun 2016 berdasar analisis tim penulis
sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang bahwa didasarkan pada Lampiran II Undang-
dimiliki. Oleh karena itu tim penulis Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
merekomendasi seharusnya produk hukum Pembentukan Peraturan Perundang-
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif undangan sebagaimana telah diubah dengan
Provinsi Sumatera Utara bukan berupa Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang
Peraturan Gubernur, melainkan Peraturan Perubahan Atas Undang-Undang No. 12
Daerah Provinsi. Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Bagian konsideran mengingat Perundang-Undangan dinyatakan bahwa kata
menyebutkan antara lain Undang-Undang atau istilah yang dimuat dalam ketentuan
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang umum hanyalah kata atau istilah yang
Disabilitas. Berdasar analisis tim penulis digunakan berulang-ulang di dalam pasal
pengaturan mengenai penyelenggaraan atau beberapa pasal selanjutnya. Sehubungan
Pendidikan inklusif sebagaimana dituangkan dengan hal ini dalam Pergub Sumut No. 29
dalam Pergub No 29 Tahun 2016 Tahun 2016 terdapat kata, istilah atau
diundangkan sebelum diundangkannya UU singkatan yang tidak memenuhi syarat untuk
No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang dicantumkan dalam Ketentuan Umum. Kata,
Disabilitas, sehingga materi muatan dalam istilah atau singkatan yang dimaksud adalah
Pergub tersebut belum selaras dengan UU nomenklatur Sekolah Luar Biasa yang
No. 8 Tahun 2016. Seharusnya pengaturan selanjutnya disingkat SLB hanya
mengenai penyelenggaraan Pendidikan dicantumkan dalam Ketentuan Umum angka
inklusif bertitik tolak pada Undang-Undang 17. Sedangkan di pasal-pasal justru kembali
No. No. 8 Tahun 2016. Menurut Pasal 10 mempergunakan nomenklatur Sekolah Luar
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Biasa (tidak disingkat) dan hanya tercantum
Penyandang Disabilitas hak pendidikan dalam Pasal 15. Ketidak cermatan ini tidak
105
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
substansiil, namun jika ditinjau dari aspek dengan konsekuensi pemerintah provinsi
legal drafting seharusnya tidak dilakukan menyediakan guru yang nantinya akan
oleh perancang. Oleh karena itu tim penulis ditempatkan di sekolah-sekolah yang
merekomendasikan perlu dilakukan menyeenggarakan Pendidikan Inklusif di
penyesuaian agar memenuhi persyaratan tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana
ditinjau dari aspek legal drafting. diamanatkan oleh Permendiknas.
Ketentuan pasal 2 Pergub Sumut No. Ketentuan Pasal 3 Pergub Sumut No.
29 Tahun 2016 menentukan bahwa tujuan 29 Tahun 2016 menentukan bahwa
Pendidikan Inklusif adalah: a). memberikan Pendidikan inklusif diselenggarakan pada
kesempatan yang seluas-luasnya kepada PAUD dan Sekolah/Madrasah. Kemudian
semua peserta didik yang memiliki kelainan Pasal 4 menentukan bahwa: (1). Setiap
fisik, emosional, mental, dan sosial atau Kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 1
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat (satu) PAUD, 1 (satu) SD/MI dan SMP/MTs;
istimewa untuk memperoleh pendidikan dan (2). Setiap Kabupaten/Kota memitiki
yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan sekurang-kurangnya 1 (satu)
kemampuannya; b). Mewujudkan SMA/SMK/MA/MAK. Berdasar analisis
penyelenggaraan pendidikan yang dari tim penulis ketentuan yang tertuang
menghargai keanekaragaman, dan tidak dalam Pasal 3 dan Pasal 4 sudah sesuai
diskriminatif bagi semua peserta didik dengan Pasal 12 huruf a dan Lampiran UU
berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
pada huruf a). Berdasar analisis tim penulis Daerah berkaitan dengan pembagian urusan
ketentuan seperti ini tidak diklastering dalam pemerintahan di bidang Pendidikan,
norma lebih lanjut terkait dengan ragam berkaitan dengan urusan Manajemen
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, Pendidikan, kurikulum, pendidik dan tenaga
emosional, mental, dan sosial atau memiliki kependidikan, perizinan Pendidikan, Bahasa
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dan sastra serta telah sesuai dengan sila ke-4
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu Pancasila yang dalam hal ini menjamin
sesuai dengan kebutuhan dan demokrasi Indonesia berdasarkan
kemampuannya. Padahal jika dibandingkan permusyawaratan yang mampu mewujudkan
dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 8 kesejahteraan sosial dengan memberikan
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas kewenangan desentralisasi kepada
peserta didik sebagaimana tertuang dalam Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan
tujuan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif urusan pemerintahan di bidang Pendidikan
menyangkut Ragam Penyandang Disabilitas guna pemerataan pendidikan dalam rangka
yang meliputi : a). Penyandang Disabilitas mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun
fisik; b). Penyandang Disabilitas intelektual; ketentuan dalam pasal-pasal tersebut hanya
c). Penyandang Disabilitas mental; dan/atau menitikberatkan pada pendidikan inklusif,
d). Penyandang Disabilitas sensorik. Oleh padahal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
karena itu tim penulis merekomendasi kan 2016 Tentang Penyandang Disabilitas juga
agar pada Pasal 2 ditambahkan norma dengan mewajibkan pemerintah daerah
melakukan unlop dari Pasal 4 ayat (1) UU menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi
No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang pendidikan khusus sebagaimana tertuang
Disabilitas, sehingga ketentuan Pasal 2 ayat dalam Pasal 40 ayat (2) UU No. 8 Tahun
(2) berbunyi: Peserta didik sebagaimana 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Lain
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: (Cq daripada itu, dalam Bab ini juga tidak
ragam Penyandang Disabilitas). Penambahan merumuskan beberapa ketentuan penting UU
norma tersebut akan memperjelas komitmen No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Pemerintah Daerah dalam memenuhi hak Disabilitas terkait Pendidikan Inklusif dan
penyandang disabilitas tanpa diskriminasi Pendidikan Khusus, sebagaimana tertuang
106
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
dalam Pasal 40 ayat (5), Pasal 40 ayat (6), dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014
Pasal 40 ayat (7), Pasal 41 ayat (1) dan ayat tentang Standar Nasional Pendidikan Anak
(2), serta Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Usia Dini tersebut, penyelenggaraan PAUD
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang harus memperhatikan Standar Tingkat
Penyandang Disabilitas. Pencapaian Perkembangan Anak Usia Dini
Pasal 5 Setiap PAUD dan (STPPA) yakni kemampuan yang dicapai
Sekolah/Madrasah sebagaimana dimaksud anak pada seluruh aspek perkembangan dan
dalam Pasal 3 Pergub Sumut No. 29 Tahun pertumbuhan, mencakup aspek nilai agama
2016 memprioritaskan untuk menerima dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa,
peserta didik yang berkebutuhan khusus yang sosial-emosional, serta seni. Sehubungan
bertempat tinggal berdekatan dengan dengan hal ini, Pergub Sumut No. 29/2016
sekolah/madrasah dan dikehendaki oleh sama sekali tidak memberikan arahan yang
orang tua anak yang bersangkutan. Pasal 6 lebih operasional seperti halnya produk
Setiap PAUD dan Sekolah/Madrasah hukum daerah yang berbentuk Peraturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling Gubernur pada umumya. Dengan tidak
sedikit mengalokasikan 1 (satu) peserta didik adanya arahan yang lebih operasional
dalam 1 (satu) rombongan belajar. Pasal 7 sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan
Pemerintah Daerah bertanggungjawab sesuai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
kewenangannya dalam menyediakan: 1) 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional
Guru Pembimbing Khusus yar:g dapat Pendidikan Anak Usia Dini, maka jelaslah
memberikan program pembelajaran bagi bahwa Pergub Sumut No. 29 Tahun 2016
peserta didik berkebutuhan khusus. (2) akan sulit dilaksanakan bahkan tidak
Sarana dan prasarana bagi peserta didik menutup kemungkinan justru akan
berkebutuhan khusus serta memperhatikan menyimpang dari prinsip pendidikan inklusif
aksesibilitas dan/atau alat sesuai kebutuhan bagi penyandang disabilitas. Ketentuan
peserta didik sesuai. (3) Pengembangan tersebut tidak dijabarkan secara lebih
kapasitas guru dan tenaga kependidikan di operasional di dalam Pergub Sumut No. 29
satuan pendidikan inklusif dan khusus. Pasal Tahun 2016, sehingga bagi pihak
8 Setiap PAUD dan sekolah/madrasah yang penyelenggara Pendidikan Inklusif akan
menyelenggarakan pendidikan inklusif pada menimbulkan kendala, karena harus
jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud mengkolaborasikan antara pendidikan PAUD
dalam Pasal 3 harus memberitahukan Kepala bagi anak-anak yang tidak menyandang
Dinas Pendidikan atau Kantor Kementerian disabilitas dengan anak-anak penyandang
Agama sesuai kewenangannya. Setiap PAUD disabilitas dalam satu ruang pendidikan yang
dan sekolah/madrasah yang sama. Apalagi di dalam Peraturan Menteri
menyelenggarakan pendidikan inklusif Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137
pembinaannya oleh Kepala Dinas Pendidikan Tahun 2014 tentang Standar Nasional
dan/atau Kantor Kementerian Agama sesuai Pendidikan Anak Usia Dini, persoalan
kewenangannya. pendidikan inklusif di PAUD sama sekali
Berdasar analisis tim penulis khusus tidak diatur sehingga dengan demikian tidak
pendidikan inklusif yang diselenggarakan sejalan dengan Indikator Nilai Pancasila Sila
pada PAUD, Peraturan Gubernur ini sangat 4. Berdasar hal tersebut, tim penulis
tidak kompehensif dalam hal pengaturannya. merekomendasikan perlu adanya
Hal ini mengingat Pergub Sumut No. 29 penyesuaian dengan UU No. 8 Tahun 2016
Tahun 2016 tidak mempergunakan dasar dan Peraturan Menteri Pendidikan dan
hukum Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 137 Tahun 2014 tentang
Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia
Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini.
Dini. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan
107
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Pasal 9 ayat (4) Pergub Sumut No. 29 Tahun bersama dengan guru pembimbing khusus
2016 menentukan bahwa proses dalam pembuatan perancangan hingga
pembelajaran perserta didik di satuan evaluasi program pembelajaran. Hal ini
pendidikan penyelenggara pendidikan kurang memberi peran kepada Guru Kelas,
inklusif merupakan tugas dan tanggung sehingga agak kurang sejalan dengan sila
jawab guru kelas dan guru mata pelajaran. kelima Pancasila butir ke 2 yang menyatakan
Berdasarkan analisis tim penulis dalam bahwa Peraturan Perundang-undangan
penyelenggaraan pendidikan inklusif menjamin perlindungan kepada setiap orang
diperlukan keterlibatan Guru Pembimbing untuk menghargai proses cipta, karya, dan
Khusus disamping guru kelas dan guru mata karsa secara bertanggung jawab demi
pelajaran. Oleh karena itu, disamping guru terwujudnya kesejahteraan rakyat. Berdasar
kelas dan guru mata pelajaran, Guru hal tersebut tim penulis merekomendasikan
Pembimbing Khusus juga turut bertanggung agar ketentuan Pasal 10 ayat 1 diubah
jawab dalam proses pembelajaran pendidikan menjadi: Guru Pembimbing Khusus bersama
inklusif. Ketentuan tersebut kurang memberi dengan guru kelas mempunyai tugas dan
penghargaan kepada peran Guru tanggung jawab: a. merancang dan
Pembimbing Khusus, sehingga kurang melaksanakan program kekhususan; b.
sejalan dengan sila kelima Pancasila butir ke melakukan proses identifikasi, asesmen dan
2 yang menyatakan bahwa Peraturan menyusun Program Pembelajaran Individual;
Perundang-undangan menjamin c. memodifikasi bahan ajar; d. melakukan
perlindungan kepada setiap orang untuk evaluasi program pembelajaran bersama guru
menghargai proses cipta, karya, dan karsa kelas. e. membuat laporan program dan
secara bertanggung jawab demi terwujudnya perkembangan anak berkebutuhan khusus.
kesejahteraan rakyat. Berdasarkan hal Pasal 12 Pergub Sumut No. 29 Tahun
tersebut tim penulis memberi rekomendasi 2016 menentukan: “Sarana dan prasarana
agar ayat (4) dirubah menjadi “proses yang terdapat pada satuan pendidikan
pembelajaran perserta didik di satuan penyelenggara pendidikan inklusif
pendidikan penyelenggara pendidikan merupakan sarana dan prasarana yang
inklusif merupakan tugas dan tanggung terdapat pada PAUD dan sekolah madrasah
jawab guru kelas, guru mata pelajaran dan yang bersangkutan dan jika diperlukan
Guru Pembimbing Khusus. Hal ini juga ditambah dengan aksesibilitas serta media
untuk mensikronkan dengan ketentuan Pasal pembelajaran yang diperlukan bagi peserta
10 yang mengatur tentang peran Guru didik berkebutuhan khusus.” Berdasarkan
Pembimbing Khusus. analisis tim penulis bahwa anak kalimat:
Pasal 10 ayat (1) Pergub Sumut No. 29 “….dan jika diperlukan ditambah dengan
Tahun 2016 menentukan : “Guru aksebilitas serta media pembelajaran yang
Pembimbing Khusus mempunyai tugas dan diperlukan bagi peserta didik berkebutuhan
tanggung jawab, meliputi: a. merancang dan khusus, menimbulkan kesan bahwa
melaksanakan program kekhususan; b. penyediaan sarana dan prasarana yang
melakukan proses identifikasi, asesmen dan tersebut tidak wajib, meskipun diperlukan.
menyusun Program Pembelajaran Individual; Dengan demikian jika tidak ada jaminan
c. memodifikasi bahan ajar; d. melakukan tersedianya aksebilitas dan media
evaluasi program pembelajaran bersama guru pembelajaran yang diperlukan bagi anak
kelas; e. membuat laporan program dan didik berkebutuhan khusus, maka hal ini bisa
perkembangan anak berkebutuhan khusus.” kurang menjamin terpenuhinya hak mereka
Berdasarkan analisis tim penulis bahwa yang berkebutuhan khusus untuk
proses pembelajaran inklusif melibatkan memperoleh pendidikan, sehingga kurang
guru kelas dan guru pembimbing khusus. sejalan dengan sila kelima Pancasila butir ke
Oleh karena itu guru kelas seharusnya terlibat 3 yang menyatakan : “Peraturan Perundang-
108
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
undangan menjamin hak setiap warga negara bekerjasama seharusnya diganti dengan
untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, “wajib” bekerjasama. Dengan demikian
pekerjaan dan kesempatan berusaha serta ketentuan Pasal 14 menjadi: “Dalam rangka
penghidupan yang layak”. Berdasarkan hal terselenggaranya pendidikan inklusif, Kepala
tersebut tim penulis memberi rekomendasi PAUD dan sekolah/madrasah wajib bekerja
bahwa redaksi anak kalimat “…jika sama dengan komite sekolah, yayasan,
diperlukan ditambah dengan aksesibilitas dewan pendidikan, pusat sumber, perguruan
serta media pembelajaran yang diperlukan.” tinggi dan lembaga pendidikan, serta
diganti dengan kata “ … ditambah dengan lembaga terkait lainnya baik pemerintah
aksesibilitas serta media pembelajaran yang maupun swasta serta forum pemerhati
diperlukan”, sehingga ketentuannya menjadi pendidikan inklusif.”
: “Sarana dan prasarana yang terdapat pada Pasal 15 Pergub Sumut No. 29 Tahun
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan 2016 menentukan: (1) Sekolah Luar Biasa
inklusif merupakan sarana dan prasarana yang ada di kabupaten kota menjadi pusat
yang terdapat pada PAUD dan sekolah sumber penyelenggara pendidikan inklusif.
madrasah yang bersangkutan dan ditambah (2) Selain Sekolah Luar Biasa sebagai pusat
dengan aksesibilitas serta media sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembelajaran yang diperlukan bagi peserta dapat juga berasal dari unsur Perguruan
didik berkebutuhan khusus.” Tinggi, Klinik Terapi dan lembaga lain yang
Pasal 14 Pergub Sumut No. 29 Tahun terkait. Berdasarkan analisis dari tim penulis
2016 menentukan bahwa dalam rangka ketentuan dalam bab ini hanya terdiri dari
terselenggaranya pendidikan inklusif, Kepala satu pasal dan dua ayat, yakni Pasal 15 ayat
PAUD dan sekolah/madrasah dapat bekerja (1) dan ayat (2), sehingga tidak memberikan
sama dengan komite sekolah, yayasan, rumusan yang lebih teknis komprehensif
dewan pendidikan, pusat sumber, perguruan mengenai mekanisme pemanfaatan Pusat
tinggi dan lembaga pendidikan, serta Sumber sebagai lembaga yang
lembaga terkait lainnya baik pemerintah menyelenggarakan layanan pendukung
maupun swasta serta forum pemerhati pendidikan inklusif yang berasal dari SLB
pendidikan inklusif. Berdasarkan analisis tim atau lembaga lainnya yang relevan terhadap
penulis dengan menggunakan terminologi pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.
“dapat” dalam ketentuan tersebut Padahal di dalam UU No. 8 Tahun 2016
mengandung pengertian bahwa Kepala Paud tentang Penyandang Disabilitas khusus yang
dan sekolah/madrasah tidak wajib untuk mengatur mengenai Pendidikan Inklusif dan
bekerjasama dengan stake holder lainnya Pendidikan Khusus lebih lengkap. Oleh
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. sebab itu secara empirik keberadaan Pergub
Seharusnya kepala Paud dan sekolah Sumut No. 29 Tahun 2016 sesungguhnya
madrasah wajib bekerja sama dengan “mubazir” atau tidak efektif dalam
yayasan, dewan pendidikan, pusat sumber pelaksanaannya, sehingga bisa kurang
dan pemangku kepentingan lainnya, karena menjamin terselenggaranya pendidikan
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan inkulisif di Provinsi Sumatera Utara. Oleh
inklusif melibatkan semua pemangku karena itu ketentuan tersebut agak kurang
kepentingan (stakeholders). Dengan sejalan dengan sila kelima Pancasila butir ke-
demikian hal ini kurang sejalan dengan Sila 3 yang menyatakan: “Peraturan Perundang-
ketiga Pancasila butir ke-5 yang menyatakan: undangan menjamin hak setiap warga negara
“Peraturan Perundang-undangan mampu untuk memperoleh pendidikan, kesehatan,
menumbuhkan semangat gotong royong, rasa pekerjaan dan kesempatan berusaha serta
kebanggaan berbangsa, dan bertanah air penghidupan yang layak”. Berdasarkan
Indonesia”. Oleh karena itu tim penulis analisis tersebut tim penulis
merekomendasikan bahwa kata “dapat” merekomendasikan bahwa pengaturan Pasal
109
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
110
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
111
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
112
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113
Kajian Ideologis Pancasila Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
113
Pancasila : Jurnal Keindonesiaan, Vol. 02, No. 01, April 2022, halaman 92-113