Professional Documents
Culture Documents
ZULAIKHAH
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Faktor Risiko Status
Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di Bogor” adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal dan atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Zulaikhah
NRP I151080081
ABSTRACT
The aim of this study was to analyze the risk factors for under nutritional status of
childbearing age. The design was cross-sectional study, and samples were 200
childbearing age of women in Bogor. Of these childbearing ages, a sub sample of
45 women was collected for blood analysis i.e. Haemoglobin, ferritin, serum folic
acid, serum vitamin A. Data were collected on socio-economic status and other
demographic parameters. Dietary intake of macro and micronutrients was
collected with 2-day 24-hour dietary recall method. The Chi-square (X2) and
logistic regression analysis were applied for the hypotheses testing. The
results show that the highest percentage of childbearing age of woman had deficit
of energy (71.5%), protein (56.5%), iron (70.0%), vitamin A (62.5%) and vitamin
C (88.0%). As amount 14.0% of women were founded to be underweight and also
12.5% of women had low of mid upper arm circumference (MUAC). Chi-square
test showed that education level of respondents was significant related with BMI
(p=0,017), in the other hands, %RDA of energy was significant related with
MUAC (p=0,009). The risk factor of underweight was education level
(OR=2.569; 95% CI: 1.045-6.315) (p=0.04); and risk factor of chronic energy
deficient (MUAC <23.0) was %RDA of energy (<80%) (OR=0.263; 95% CI:
0.075-0.916) (p=0.03). About 11.1%; 13.3%; 4.0% and 64.4% childbearing age
women were anemia, iron depletion, iron deficient anemia and vitamin A
deficient, respectively, but no women were deficient of folic acid. Chi-square test
showed that there were no variables significantly related with anemia and iron
deficient (p>0.05), %RDA of vitamin A was significant related with vitamin A
status (p=0.005). The risk factor of vitamin A status was %RDA of vitamin A
(<77%) (OR=0.136; 95% CI: 0.029-0.635) (p=0.01).
ZULAIKHAH. Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di
Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH, DODIK BRIAWAN dan NURI
ANDARWULAN.
ZULAIKHAH
Tesis
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Tesis : Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di
Bogor
Nama : Zulaikhah
NIM : I151080081
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi
Anggota Anggota
Mengetahui
drh. M. Rizal M Damanik, MRepSc, PhD DR. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Sujud syukur sepantasnya penulis haturkan pada Allah SWT atas ridho-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Setelah melalui proses
yang cukup panjang, Alhamdulillah, Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan
judul: “Analisis Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di
Bogor”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kerjasama antara
SEAFAST Center IPB dan PT Sari Husada dengan judul “Konsumsi Pangan dan
Status Gizi pada Wanita Usia Subur, Ibu Hamil dan Ibu Menyusui di Wilayah
Bogor”
Tesis ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karenanya, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir. Siti Madanijah MS,
Dr.Ir. Dodik Briawan, MCN, dan Dr.Ir. Nuri Andarwulan, MSi selaku
pembimbing yang dengan semangat dan penuh kesabaran dalam membimbing,
memotivasi, menegur yang memang sangat penulis butuhkan semenjak penulisan
proposal hingga selesainya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan ke
Dr.Ir. Budi Setiawan, MS sebagai penguji serta banyak memberi masukan dan
kritik atas kurang cermatnya penulis.
Ungkapan terima kasih disampaikan pula pada pemerintah Kota Bogor,
seluruh staf Kecamatan di Kota Bogor, para Lurah dan kader Posyandu atas izin
dan bantuan selama berlangsungnya kegiatan pengambilan data di lapang. Selain
itu, kepada rekan-rekan enumerator dan asisten peneliti lainnya Sanaiskara dan
Mawi. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada SEAFAST Center
yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis mempunyai kesempatan dapat
melanjutkan sekolah di Pascasarjana IPB.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada keluarga besar
yaitu mamak, bapak, ibu mertua (Alm), bapak mertua, kakak, adik, ponakan yang
selalu memberi semangat, dan do’a yang tiada hentinya supaya tesis ini dapat
terselesaikan. Ucapan yang sama penulis haturkan kepada suami tercinta yang
sangat sabar membimbing, memotivasi, mendo’akan dan bahkan kadang
memarahi penulis supaya tesis ini dapat selesai; kebahagiaan dan semangat lain
hadir dengan adanya ananda “Jalaluddin Muhammad Zaenuri” dengan wajah dan
celoteh lucunya.
Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat atas semua kebaikan
dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa
tesis ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, namun demikian
penulis berharap semoga tesis dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 29 April 1983 sebagai anak ke-lima
dari lima bersaudara dari pasangan Bpk. Kasmu’in dan Ibu Siti Alwi. Penulis
menikah dengan Anas Zaenuri dan telah dikarunia putera pertama yaitu Jalaluddin
Muhammad Zaenuri. Penulis menamatkan pendidikan dasar di Pati, Jawa Tengah
yaitu SDN 1 Kayen lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Bhakti Wasita Rimbo Bujang, Jambi lulus tahun 1998.
Jenjang pendidikan menengah atas dilanjutkan di SMAN 1 Rimbo Bujang, Jambi
dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan
sarjana melalui jalur USMI di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia pada Program Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai staf
peneliti di SEAFAST Center – LPPM IPB sejak tahun 2006.
DAFTAR ISI
Halaman
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
x
28 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung
dengan defisiensi besi ............................................................................. 66
29 Hubungan antara anemia dengan defisiensi besi ...................................... 68
30 Hubungan status asam folat dengan anemia ............................................ 69
31 Hubungan status asam folat dengan defisiensi besi .................................. 69
32 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung
dengan vitamin A .................................................................................... 71
33 Hubungan antara status vitamin A dengan anemia .................................. 73
34 Hubungan antara status vitamin A dengan defisiensi besi ........................ 74
35 Faktor-faktor yang mempengaruhi IMT .................................................. 77
36 Faktor-faktor yang mempengaruhi LILA ................................................ 78
37 Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia ............................................... 77
38 Faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin A ................................ 82
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
19-45 tahun adalah 13,6%, dimana prevalensi di wilayah pedesaan lebih tinggi
(14,1%) dibanding perkotaan (13,0%) (Departemen Kesehatan 2008).
Kondisi status gizi yang tidak normal tanpa penanggulangan akan
memberikan konsekuensi yang besar saat kehamilan dan melahirkan, bukan hanya
kesakitan ibu dan anak, tetapi kematian ibu dan anak. Berdasarkan Laporan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di Indonesia Tahun 2010,
persentase perempuan usia subur yang mengalami kurang energi kronis masih
cukup tinggi yaitu mencapai 13,6% dan 15-20% ibu hamil berisiko mengalami
komplikasi selama kehamilan, dengan angka kematian ibu (AKI) yakni 228 per
100.000 kelahiran hidup. Hal tersebut masih jauh dibandingkan target AKI pada
tahun 2015 yakni 102 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu, angka kematian
bayi (AKB) yang telah dicapai yakni 44 per 1000 kelahiran hidup, angka tersebut
ternyata masih jauh dari target AKB tahun 2015 yakni 32 per 1000 kelahiran
hidup (BAPPENAS 2010).
Selain masalah kurang gizi makro, masalah kurang gizi mikro juga banyak
dialami oleh kelompok wanita usia subur. Masalah gizi mikro yang banyak dan
umum terjadi adalah anemia gizi besi. Menurut Isniati (2007), berdasarkan data
SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2004 menyatakan bahwa
prevalensi anemia gizi di Indonesia pada kelompok usia 19-45 tahun sebanyak
39,5%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi anemia wanita
dewasa (>15 tahun) sebesar 19,7% (Departemen Kesehatan RI 2008).
Penyebab utama terjadi anemia terutama di negara-negara yang sedang
berkembang adalah penyerapan zat besi dan cadangan besi dalam tubuh (feritin).
Berdasarkan studi Ani et al. (2010), menunjukkan bahwa ada sebanyak 47,1%
wanita pasangan pengantin baru di wilayah Bali mengalami defisiensi besi
(feritin< 20 µg/dL).
Penyerapan zat besi dalam tubuh juga tergantung pada asupan zat gizi
mikro lain yang membantu penyerapannya seperti asam folat dan vitamin A.
Selain membantu penyerapn zat besi, asam folat dan vitamin A mempunyai
peranan penting pada kelompok WUS. Kaitan kekurangan vitamin A pada
kelompok wanita berhubungan dengan morbiditas. Namun demikian, studi
mengenai status asam folat dan status vitamin A masih terbatas dilakukan
3
khususnya pada kelompok WUS. Studi yang dilakukan Khan et al. (2010) pada
ibu hamil menunjukkan ada sebanyak 20% yang mengalami defisiensi asam folat.
Beragam konsekuensi yang ditimbulkan akibat kekurangan gizi
ditunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami KEK dan anemia mempunyai
risiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 5 kali lebih
besar dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK. Sedangkan konsekuensi lain
akibat kekurangan folat adalah menimbulkan kecacatan pada tabung syaraf
(Neural Tube Defects) NTDs pada bayi, yaitu spina bifida (kelainan pada tulang
belakang) dan anencephaly (kelainan dimana otak tidak terbentuk).
Menurut studi yang dilakukan Rice, West dan Black (1998), estimasi
risiko relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada anak-
anak adalah 1,86 (95% CI: 1,32–2,59) meninggal karena campak, 2,15 (95% CI:
1,83–2,58) meninggal karena diare, 1,78 (95% CI: 1,43–2,19) meninggal karena
malaria, 1,13 (95% CI: 1,01–1,32) meninggal karena penyakit infeksi. Sedangkan
RR pada ibu hamil adalah 4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua penyebab
menimbulkan kematian pada ibu hamil.
Apabila kondisi di atas dibiarkan maka wanita usia subur akan hamil
dengan status gizi yang kurang dan akan mengalami konsekuensi yang besar saat
hamil dan melahirkan nanti. Oleh karena itu, mengingat besarnya konsekuensi
akibat KEK dan kekurangan gizi mikro pada wanita usia subur tersebut dan
banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung
serta masih terbatasnya informasi mengenai status gizi mikro pada WUS, maka
peneliti ingin mengetahui gambaran lebih lanjut dan menganalisis faktor-faktor
risiko status gizi kurang pada wanita usia subur yang sedang mempersiapkan
kehamilan di Kota Bogor.
4
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor risiko status
gizi kurang pada wanita usia subur (WUS) di wilayah Kota Bogor
Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis keragaan status gizi berdasarkan pengukuran antropometri
(IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, feritin, asam folat, dan status vitamin
A)
2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan
pengukuran antropometri (IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, feritin, asam
folat, dan status vitamin A)
3. Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi status gizi berdasarkan
pengukuran antropometri (IMT, LILA)
4. Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi berdasarkan biokimia (status Hb,
feritin, asam folat, dan status vitamin A)
Manfaat Penelitian
maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi
yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi
makanan sehari-hari yang beranekaragam, kekurangan zat gizi pada jenis
makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis
makanan lain sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang (Azwar 2002).
Wanita usia subur dengan usia 20-40 tahun merupakan dewasa awal.
Umumnya setelah mencapai usia dewasa awal, pada wanita telah terbentuk eating
habits dan body weight yang ideal. Namun banyak yang menjadi sulit mengontrol
berat badan ideal dan kebiasaan makan yang baik, hal ini disebabkan karena
perilaku hidup yang tidak sehat dan kebiasaan makan yang tidak sesuai dengan
standar kebutuhan gizi yang dianjurkan. Kondisi seperti ini yang menimbulkan
masalah di kalangan wanita dewasa awal, terutama dengan berat badan. Dimana
untuk menjaga berat badan dan penampilan, mereka membatasi diet mereka
sehingga banyak yang mengalami masalah kekurangan zat gizi tertentu.
Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur >
10 tahun adalah 93,6%. Secara nasional, prevalensi makanan berisiko yang paling
banyak dikonsumsi oleh penduduk umur > 10 tahun adalah penyedap (77,8%),
manis (68,1%), dan kafein (36,5%) (Depkes 2008).
-- Infeksi
Infeksi berulang
berulang - Infeksi: malaria, - Intik kurang
-- Intik kecacingan
Intik kurang
kurang - Jarak kehamilan pendek
- Intik kurang
- Anak terlalu banyak
- Hamil usia dini
Ibu hamil
Gambar 1 Alur perjalanan status gizi wanita usia subur sebagai calon ibu (Achadi
2007 diadapsi dari ACC/SCN 2002)
Di Uganda pada tahun 2006 ada sebanyak 12% wanita usia subur (usia 15-
49 tahun) mengalami KEK. Prevalensi KEK di wilayah ini mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, paling tinggi KEK terjadi pada wanita usia 35
tahun dan lebih. Selain masalah KEK, kejadian obesitas juga banyak terjadi pada
wanita usia subur. Pada tahun 2006, prevalensi obesitas adalah 17% lebih tinggi
dibandingkan prevalensi KEK pada wanita usia subur (Food and Nutrition
Technical Assistance II Project (Fanta-II) 2010).
Kegemukan/Obesitas. Selain masalah KEK, kegemukan juga banyak
terjadi pada kelompok usia WUS. Kegemukan dan obesitas merupakan salah satu
faktor risiko timbulnya penyakit degeneratif sebagai akibat dari perubahan gaya
hidup, perubahan pola makan ke arah tinggi karbohidrat, lemak dan garam serta
rendah serat serta rendahnya aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari.
Kejadian overweight dan obesitas tidak hanya terjadi pada kelompok
wanita dewasa, namun sudah banyak menimpa kelompok anak usia sekolah.
Survey dilakukan di 36 negara di Eropa, dimana prevalensi overweight dan
obesitas antara 5-30% pada anak usia 11 tahun. Dari hasil survey ini menunjukkan
bahwa laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi (15%) dibanding perempuan
(10%) yang hampir disemua negara pada semua umur. Kecuali pada usia 11
tahun di Denmark, Perancis, Netherland dan Inggris dan usia 13 tahun di Irlandia
menunjukkan bahwa perempuan mempunyai prevalensi overweight dan obesitas
lebih tinggi dibanding pada laki-laki (WHO 2009).
Prevalensi overweight dan obesitas pada anak Portugis usia 7-9 tahun
sebanyak 31,5%. Angka prevalensi overweight/obesitas pada perempuan lebih
tinggi dibanding laki-laki pada usia 7,5 tahun dan 9 tahun. Angka prevalensi ini
lebih rendah dibandingkan dengan Italia yang mencapai 36,0% anak yang
overweight/obesitas. Negara lain yang mempunyai prevalensi overweight/obesitas
tinggi adalah Yunani (31%) dan Spanyol (30%) (Padez et al 2004). Beberapa
faktor utama penyebab kegemukan dan obesitas adalah faktor genetik, fisiologis,
pola makan yang salah di masa lalu, dan perilaku atau gaya hidup.
14
yang berasal dari daging, ikan dan telur, namun konsumsi jenis pangan ini rendah
pada masyarakat yang berpenghasilan rendah. Menurut Rolfes, Pinna, dan
Whitney (2008) menyatakan bahwa jumlah zat besi yang diserap dari makanan
hewani adalah sekitar 25%, sedangkan jumlah besi yang diserap dari biji-bijian
dan kacang-kacangan hanya 17%.
Penyebab anemia tidak hanya karena defisiensi zat besi, tetapi juga terkait
dengan rendahnya zat gizi mikro lainnya. Asam folat, vitamin A, vitamin C, dan
vitamin B12 berperan di dalam metabolisme besi, eritropoiesis dan regulasi
deposit zat besi. Untuk itu suplementasi zat besi saja akan lebih efektif jika
ditambahkan zat gizi lainnya. Studi menunjukkan penambahan vitamin tersebut
dapat memperbaiki status gizi secara keseluruhan (Ahmad et al. 2005; Dillon
2005).
Feritin. Cadangan zat besi yang tersimpan dalam tubuh tersedia dalam
bentuk ikatan feritin dan hemosiderin. Kedua macam zat ini terkumpul dan
tersebat di dalam jaringan tubuh tetapi sebagian besar disimpan di dalam hati,
limpa dan sumsum tulang. Kedua macam zat ini termasuk dalam golongan “non
heme iron”. Bila tubuh mengalami defisiensi zat besi dan memerlukan zat besi
untuk keperluan pembentukan hemoglobin dan keperluan lainnya di dalam tubuh,
maka feritin dan hemosidiren akan selalu melepaskan besi cadangannya (Piliang
dan Al Haj 2006).
Menurut Piliang dan Al Haj (2006), feritin yang terdapat di dalam darah
berbeda kadarnya antara wanita dan pria. Kadar rata-rata feritin di dalam serum
pria adalah 2-3 kali lebih banyak dibandingkan pada wanita. Pada orang yang
telah dewasa kadar feritin mencapai nilai rata-rata 39 ng/ml untuk wanita dan 140
ng/ml untuk pria.
Studi yang dilakukan Ani et al. (2010), menunjukkan bahwa ada sebanyak
47,1% wanita pasangan pengantin baru di wilayah Bali mengalami defisiensi besi
(feritin< 20 µg/dL). Ada sebanyak 51,9% wanita pasangan pengantin baru
memiliki kadar feritin serum antara 20-99 µg/dL.
Asam Folat. Asupan asam folat yang cukup sebelum dan selama
kehamilan akan mencegah timbulnya kecacatan tabung saraf (Neural Tube
Defects) NTDs pada bayi, yaitu spina bifida (kelainan pada tulang belakang) dan
16
anencephaly (kelainan dimana otak tidak terbentuk). Dengan asupan asam folat
yang cukup pada masa sebelum dan selama kehamilan yaitu sekitar 0,4 – 0,8 mg
per hari. Data mengenai angka prevalensi defisiensi asam folat di Indonesia belum
ada. Studi yang dilakukan Khan (2010) pada ibu hamil menunjukkan ada
sebanyak 20% yang mengalami defisiensi asam folat.
Vitamin A. Vitamin A merupakan zat gizi penting yang diperlukan untuk
menjaga sistem imun tubuh, kesehatan mata, pertumbuhan dan kelangsungan
hidup manusia. Kelompok anak-anak banyak menderita kekurangan vitamin A. Di
Indonesia, sejak tahun 1970-1990 telah ada program pemberian kapsul vitamin A
dengan dosis tinggi dua kali per tahun. Selama dua dekade, program tersebut
sukses dan mampu menurunkan prevalensi kekurangan vitamin A (xeroptalmia).
Namun demikian masih banyak anak usia <5tahun yang memiliki serum retinol
≤20µg/dl (Atmarita 2005).
Selain kelompok anak-anak, wanita usia subur juga masih rentan terhadap
masalah kekurangan vitamin A. Komposisi intik makanan yang kurang beragam
menjadi salah satu penyebab kekurangan zat gizi mikro. Kaitan kekurangan
vitamin A pada kelompok wanita berhubungan dengan morbiditas dan
produktivitas kerja.
Tingkat Pendapatan
Menurut Berg (1986) bahwa keluarga miskin akan menggunakan 70%-
80% pendapatannya untuk makanan dan apabila mereka memperolah tambahan
pendapatan maka bagian terbesar dari pendapatan tersebut akan digunakan untuk
membeli makanan. Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan
gizi dan kebiasaan makan setempat. Semakin tinggi pendapatan, maka semakin
bertambah peningkatan pengeluaran untuk pangan termasuk buah-buahan,
sayuran dan jenis makanan lainnya. Penduduk miskin biasanya akan
membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan dan penduduk
kaya lebih sedikit.
Penelitian yang dilakukan Megawangi (1991) di tiga propinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa pendapatan tidak berpengaruh positif terhadap status gizi
17
anak balita. Bagaimana hubungan antara pendapatan dan status gizi tidak secara
langsung, tetapi melalui variabel antara misalnya distribusi makanan dalam
keluarga, kesehatan dan keadaan sanitasi, pengetahuan dan keterampilan orang
tua, dan banyak faktor lainnya.
Girma dan Genebo (2002), mengungkapkan bahwa status ekonomi
merupakan salah satu faktor deteminan status gizi pada wanita di Ethiopia. Dalam
studinya menunjukkan bahwa wanita yang berada pada tingkat status ekonomi
sangat miskin/miskin mempunyai risiko mengalami gizi kurang dibandingkan
wanita yang berada pada tingkat status ekonomi sedang/tinggi.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan
bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih
makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang
berpendidikan lebih rendah. Namun, apabila tingkat pendidikan umum yang lebih
tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi terutama ibu, ternyata
tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga.
Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ethiopia
(Yimer et al. 2000; Genebo et al. 1999) menunjukkan bahwa terjadi penurunan
insiden masalah gizi pada anak-anak dengan ibu yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi.
Penelitian Rahman dan Nasri (2009), menunjukkan bahwa ada hubungan
antara tingkat pendidikan dengan status gizi wanita. Hal ini dikarenakan wanita
dengan pendidikan yang tinggi mampu mengambil keputusan dan memilih jenis
pangan yang baik untuk dikonsumsi.
Jenis Pekerjaan
Menurut Kartasapoetra dan Masetyo (2003), jenis pekerjaan merupakan
salah satu indikator besarnya pendapatan individu/keluarga. Diharapkan semakin
besar pendapatan seseorang atau sebuah keluarga, maka konsumsi pangan akan
menjadi lebih baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Girma dan Genebo (2002), dalam studinya menunjukkan bahwa wanita
yang tidak mempunyai pekerjaan mempunyai risiko KEK dibandingkan wanita
yang mempunyai pekerjaan. Hal ini karena, wanita yang mempunyai pekerjaan
akan memiliki tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
akses pangan dalam rumahtangga.
Berdasarkan hasil penelitian Rahman dan Nasri (2009), bahwa pekerjaan
merupakan faktor penting yang berhubungan sangat signifikan dengan status gizi
kurang pada istri. Hasil analisinya menunjukkan bahwa suami yang mempunyai
pekerjaan secara professional akan menurunkan proporsi defisiensi dibanding
pada suami yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau tidak bekerja. Dimana,
19
Kebiasaan Merokok
Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi yaitu kelima di dunia
dengan jumlah rokok yang dikonsumsi (dibakar) pada tahun 2002 sebanyak 182
milyar batang rokok setiap tahunnya setelah Republik Rakyat China (1.697.291
milyar), Amerika Serikat (463.504 milyar), Rusia (375.000 milyar) dan Jepang
(299.085 milyar). Laporan Susenas menunjukkan prevalensi perokok pasif di
Indonesia sebesar 49%, yaitu 32% pada laki-laki dan 66% pada wanita. Pada
kelompok umur 15 tahun ke atas prevalensi perokok pasif pada wanita sebesar 69-
56%, sedangkan pada pria sebesar 51% pada umur 15-19 tahun dan terus menurun
hingga 5% pada umur di atas 50 tahun. Pada wanita berstatus menikah prevalensi
perokok pasif sebesar 70%, yang belum menikah sebesar 67%, dan yang cerai
sebesar 41%.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, menunjukkan bahwa
persentase nasional merokok setiap hari pada penduduk umur > 10 tahun adalah
23,7%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi merokok setiap hari pada
penduduk umur > 10 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu salah satunya adalah
Jawa Barat. Sedangkan perilaku minum alkohol menunjukkan adanya prevalensi
selama 12 bulan terakhir adalah 4,6% (Depkes 2008).
Perokok pasif mempunyai risiko lebih besar untuk menderita kanker paru-
paru dan penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir
rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asthma
dibandingkan perokok aktif. Karena itu meskipun tidak aktif merokok, wanita
dewasa sebagai perokok pasif membutuhkan suplementasi vitamin C atau
antioksidan lain dalam menghindari risiko kanker dan penyakit jantung akibat
asap rokok.
Sebuah studi di Kanada yang melihat pengaruh merokok terhadap fungsi
ovarium dan hasil kehamilan melaporkan bahwa dari 447 pasangan yang
mengikuti kegiatan, 124 wanita diantaranya merokok, serta 69 wanita berada
20
dalam masa kehamilan. Hasil studi tersebut adalah tidak terdapat pengaruh
signifikan antara merokok dengan gangguan fungsi ovarium, tetapi keguguran
lebih tinggi terjadi pada kelompok wanita hamil yang merokok (42,1%)
dibandingkan wanita hamil yang tidak merokok (18,9%) (Pattinson, Taylor, dan
Pattinson 1991).
Penyakit Infeksi
Infeksi merupakan kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agent
penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidak sama dengan
penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan. Ada hubungan antara
infeksi dengan kondisi status gizi (malnutrisi). Berdasarkan kerangka konsep
UNICEF mengungkapkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab
langsung terjadinya masalah gizi.
Menurut Supriasa et al. (2001), mengungkapkan bahwa umumnya infeksi
lokal mendapat respon metabolik bagi penderita yang disertai dengan kekurangan
gizi. Penyakit infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh
sehingga dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat
menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga dapat mempermudah
terkena infeksi.
Menurut Depkes (2008), menyatakan bahwa anak yang menderita gizi
kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan tubuh, sehingga
mudah untuk terserang penyakit infeksi. Disisi lain, anak yang terkena infeksi
cenderung mengalami gizi buruk.
Beberapa jenis penyakit infeksi yang mungkin banyak terjadi pada anak-
anak maupun pada kelompok usia lainnya seperti kelompok wanita usia subur
adalah diare, ISPA, maupun Tuberkolosis paru (paru TB). Diare umumnya
disebabkan oleh infeksi virus, parasit atau racun dari bakteri. Diare dapat juga
merupakan gejala dari penyakit seperti disentri, kolera atau botulisme.
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut. Istilah
ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. ISPA menjadi
salah satu penyebab terjadinya kematian bayi dan balita. Tanda-tanda dari kondisi
21
ini adalah batuk, pilek, nafas cepat dan atau kesulitan bernafas (Dina dan Maria
2003).
Faktor risiko adalah karakteristik, tanda dan gejala pada individu yang
secara statistik berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit. Berdasarkan
penelitian Pryer, Rogers, Rahman (2003), menyatakan bahwa wanita yang bekerja
15-23 hari per bulan adalah 2,3 kali mempunyai BMI tinggi (OR= 2,33; 95%
CI:0,11-4,56). Studi lainnya menganalisis pengaruh merokok dan konsumsi kopi
terhadap konsepsi melaporkan bahwa dari 1341 primigravida yang mengikuti
kegiatan, wanita yang merokok memiliki kesuburan yang lebih rendah
dibandingkan wanita yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kopi (OR =
0,5-0,6) (Alderet, Eskenazi, dan Sholtz 1995).
Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi
wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi pengaruh penyakit infeksi
dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah satunya hasil penelitian
yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap malaria
dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR=3,50; 95% CI: 4,57-40,0
(Shulman et al. 2002). Selain itu, studi lainnya mengenai gambaran penyebab
kematian maternal di lima Rumah Sakit di Indonesia melaporkan bahwa
perdarahan, preeklamsia, dan infeksi merupakan penyebab kematian yang paling
banyak (Wiludjeng 2005).
Berdasarkan penelitian Assefa, Berhane, Worku (2012) menyatakan
bahwa kejadian BBLR di Ethiopia mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kesejahteraan keluarga (pendapatan) (OR=2,1;95% CI:1,42-3,05), LILA rendah
(OR=1,6; 95% CI:1,119-2,19), pemeliharaan selama kehamilan (OR=1,6; 95%
CI: 1,12-2,28), dan pengalaman ibu terhadap kekerasan selama kehamilan
(OR=1,7; 95% CI: 1,12-2,48).
Menurut Al Khatib et al. (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan
bahwa berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa feritin, plasma folat
dan sejarah kejadian anemia dalam keluarga merupakan penyebab anemia pada
wanita usia subur di Lebanon. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk melihat
22
Karakteristik suami:
- Usia
- Jenis Pekerjaan Status Gizi secara
- Tingkat Pendidikan antrophometri:
- IMT
- LILA
Karakteristik Status Gizi secara biokimia:
Rumahtangga : - Status Besi
- Besar Anggota - Status Asam Folat
Rumahtangga - Status Vitamin A
- Pendapatan
Rumahtangga
Kebiasaan Merokok:
- Jenis
- Frekuensi
Penyakit Infeksi
Hipotesis
Hipotesis faktor-faktor risiko status gizi pada wanita usia subur di Bogor:
H0 : Usia contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan
suami, jenis pekerjaan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan
rumahtangga, penyakit infeksi, tingkat kecukupan gizi contoh secara individu atau
bersama-sama tidak berpengaruh terhadap status gizi.
H1 : Usia contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan
suami, jenis pekerjaan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan
rumahtangga, penyakit infeksi, tingkat kecukupan gizi contoh secara individu atau
bersama-sama berpengaruh terhadap status gizi.
METODE PENELITIAN
Populasi adalah wanita usia subur yang tinggal di wilayah Kota Bogor.
Jumlah contoh ditetapkan berdasarkan angka prevalensi kekurangan zat gizi mikro
atau menderita anemia pada kelompok wanita usia subur yaitu ada sekitar 20%
(Departemen Kesehatan 2008), dengan α=5% dan d=5,8%. Rumus yang
digunakan untuk menentukan jumlah sampel (Madiyono et al. 2008) :
Zα2PQ
n=
d2
keterangan: n = Jumlah sampel yang dibutuhkan
P = Perkiraan prevalensi masalah gizi
α = Tingkat kepercayaan 95%
d = Akurasi
secara antrophometri (IMT dan LILA). Berikut adalah bagan pengambilan sampel
pada populasi WUS di Bogor.
Populasi WUS
Seleksi dengan kriteria inklusi:
- Sehat
- Telah menikah (usia: 20-40 tahun)
- Mempersiapkan kehamilan/tidak
sedang menggunakan alat KB
Calon Tidak
Stop
responden
Ya
Wawancara
dengan Kuesioner
dimana;
Kgij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-j
Bj = Berat makanan-j yang dikonsumsi (gr)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan-j
BDDj = bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi kelompok WUS dihitung dengan
menggunakan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004). Kategori tingkat konsumsi
energi dan protein yaitu <70% defisit berat, 70-80% defisit sedang, 80-90% defisit
ringan, dan >90% AKG kategori cukup. Tingkat konsumsi zat besi (Fe), vitamin
A, dan vitamin C dikategorikan berdasarkan kategori tingkat konsumsi vitamin
dan mineral seperti yang disebutkan dalam Gibson (2005). Tingkat konsumsi
digolongkan menjadi defisit jika kurang dari 77% (TK < 77%) dan normal jika
lebih dari sama dengan 77% (TK ≥ 77%).
Dari data food recalls juga akan dihitung densitas pangan yang bertujuan
untuk mengetahui komposisi konsumsi pangan individu tertentu apakah kaya gizi
tertentu atau tidak. Densitas pangan dihitung dengan membandingkan rasio
standar kalori FAO yaitu 1000 kkal dengan asupan kalori aktual per individu
dikalikan dengan konsumsi zat gizi tertentu. Rumus densitas pangan sebagai
berikut :
Densitas zat gizi “a” = 1000 kkal Energi X Konsumsi zat gizi “a”
Konsumsi kkal aktual
Semakin tinggi nilai densitas zat gizi tertentu maka menunjukkan bahwa
individu tersebut mengkonsumsi pangan yang kaya akan zat gizi tertentu. Densitas
pangan diukur untuk setiap individu. Kategori densitas masing-masing zat gizi
dihitung berdasarkan rumus :
Kategori densitas zat gizi “a” = 1000 kkal Energi X Angka Kecukupan zat gizi “a”
Angka Kecukupan Energi
30
Variabel Kategori n
Sarjana
Karyawan swasta
Buruh pabrik
Penyedia jasa
Wiraswasta
c. Pekerjaan
Pedagang/petani
Polisi/satpam
PNS/guru
Tidak bekerja
3. Karakteristik Rumahtangga 200 dan 45
Kecil (≤ 4 orang)
a. Besar Rumahtangga Sedang (5-7 orang)
Besar (≥ 8 orang)
b. Pendapatan Kurang (< Rp 971.200/kap/bulan)
Rumahtangga Cukup (≥ Rp 971.200/kap/bulan)
Ya 200 dan 45
4. Kebiasaan Merokok
Tidak
Menderita 200 dan 45
5. Penyakit Infeksi
Tidak Menderita
6. Konsumsi Zat Gizi 200 dan 45
Defisit tingkat berat (<70% AKG)
a. Tingkat Konsumsi Defisit tingkat sedang (70-80% AKG)
Energi dan Protein Defisit tingkat ringan (80-90% AKG)
Normal (>90% AKG)
b. Tingkat Konsumsi Defisit (< 77% AKG)
Vitamin A, C dan Fe Normal (≥77% AKG)
7. Densitas Zat Gizi
Kurang (<27 g) 200
a. Densitas Protein
Cukup (≥27 g)
Kurang (<14 mg)
b. Densitas Zat Besi
Cukup (≥14 mg)
Kurang (<270 RE)
c. Densitas Vitamin A 45
Cukup (≥270 RE)
Kurang (<41 mg)
d. Densitas Vitamin C
Cukup (≥41 mg)
8. Status Gizi yang Diukur Secara Antrophometri 200
Gizi lebih (IMT≥25,0)
a. Gizi Makro (IMT) Gizi normal (18,5<IMT<25,0)
Gizi kurang (IMT < 18,5)
b. Gizi Makro (LILA) Normal (LILA≥ 23,5 cm)
Kurang (LILA<23,5 cm)
32
Variabel Kategori n
9. Status Gizi Mikro yang Diukur Secara Biokimia 45
a. Hb Normal (≥ 12 g/dL)
Anemia (< 12 g/dL)
b. Feritin Normal (≥ 12 µg/L)
Defisien Besi (< 12 µg/L)
c. Asam Folat Normal (≥ 3 ng/mL)
Defisien Folat (< 3 ng/mL)
d. Vitamin A Normal (> 50 µg/dL)
Defisien Vitamin A (≤ 50 µg/dL)
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antara variabel independen dengan status gizi WUS. Analisis dilakukan dengan
menggunakan uji chi square. Dalam menentukan variabel yang dapat masuk ke
dalam analisis logistik, maka kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan
adalah p<0,05.
Analisis Multivariat
odds ratio (OR). Adapun model regresi logistik untuk analisis faktor tidak
langsung dan langsung :
Faktor tidak langsung:
Y = Log F =
1-F
β0+βFU+βFTP+βFJK+βFTPS+βFJKS+βFPRT+βPRT+βBRT+βFMR
βAG+βPI+βDG+ε
Keterangan faktor tidak langsung:
F = Fungsi kumulatif
β0 = Konstanta
βFU = Faktor usia responden
βFTP = Faktor tingkat pendidikan responden
βFJK = Faktor jenis pekerjaan responden
βFTPS = Faktor tingkat pendidikan suami
βFJKS = Faktor jenis pekerjaan suami
βFPRT = Faktor pendapatan rumahtangga
βFBRT= Faktor besar rumahtangga
βFMR = Faktor kebiasaan merokok
βAG = Faktor asupan gizi
βDG = Faktor densitas zat gizi
βPI = Faktor penyakit infeksi
ε = Galat
Y = LILA, IMT, Anemia, Defisien Besi, Status Vitamin A
Definisi Operasional
Contoh adalah wanita usia subur (usia 20-40 tahun) yang telah menikah dan
sedang merencanakan kehamilan.
Umur adalah lama hidup contoh (tahun) yang dihitung sejak contoh dilahirkan
sampai ulang tahun terakhir.
Pendapatan per kapita per bulan adalah keseluruhan hasil dari melakukan
pekerjaan selama satu bulan yang dilakukan oleh para anggota rumahtangga
dibagi jumlah anggota dalam satu rumahtangga.
Pekerjaan adalah jenis aktivitas kerja yang dilakukan contoh dan suami yang
berhubungan dengan penghasilan dan masih dilaksanakan saat ini.
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu
rumah dengan contoh baik kelompok anak, remaja dan dewasa yang menjadi
tanggungan hidup dalam keluarga.
34
Status gizi adalah gambaran kondisi seseorang dari hasil keseimbangan antara
asupan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh, dinilai dari pengukuran
antropometri dan biokimia.
Status gizi kurang adalah kondisi seseorang dari hasil keseimbangan antara
asupan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh yang ditunjukkan dengan
IMT <18,5 cm dan LILA <23,5 cm yang menunjukkan adanya risiko kurang
energi kronik (KEK).
Status anemia adalah kondisi contoh yang mengalami kekurangan zat besi yang
ditunjukkan dengan kadar Hb, dikatakan anemia jika kadar Hb <12 g/dL.
Status feritin adalah kondisi cadangan besi dalam tubuh yang diukur dalam
serum darah, dengan batasan apabila defisiensi besi jika serum feritin < 12
µg/L
Status anemia gizi besi adalah kondisi contoh yang mengalami kekurangan Hb
<12 g/dL dan serum feritin < 12 µg/L
Status Vitamin A adalah kondisi vitamin A dalam tubuh yang diukur dalam
serum darah dengan batasan apabila defisiensi vitamin A maka serum
retinol ≤ 50 µmol/dL.
Status asam folat adalah kondisi asam folat dalam tubuh yang diukur dalam
serum darah, dengan batasan apabila defisiensi asam folat maka serum folat
<3 ng/mL.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor. Wilayah Bogor merupakan potensi yang
strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan
nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata.
Kondisi iklim di Kota Bogor memiliki suhu rata-rata tiap bulan 26 oC
dengan kisaran antara 21,8oC - 30,4oC. Kelembaban udara 70%, dengan curah
hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500 – 4.000 mm yang merupakan curah
hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari.
Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 hektar terdiri dari enam
kecamatan dan 68 kelurahan. Kemudian secara administratif kota Bogor terdiri
dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk
desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi
dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah
Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec.
Sukaraja Kabupaten Bogor.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten
Bogor.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten
Bogor.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin,
Kabupaten Bogor.
Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2009 yakni sebanyak 1.061.440 jiwa
yang terdiri dari laki-laki 543.570 jiwa dan perempuan 517.870 jiwa, dengan
kepadatan penduduk 9.077 jiwa per hektar. Laju pertumbuhan penduduk (LPP)
Kota Bogor tahun 2008 adalah 2,9%, dimana LPP Kota Bogor tersebut lebih
tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2005
dan 2020-2025 menurut BPS (2011) yakni 0,9%.
36
Karakteristik Responden
Usia Responden
Karakteristik Rumahtangga
Peran serta keluarga sebagai salah satu dukungan yang paling dominan
untuk mempersiapkan kehamilan, terutama dalam hal ini adalah peran suami
dalam memelihara status gizi istrinya sejak persiapan kehamilan hingga masa
kehamilan. Ekowati, Kamaluddin, dan Febriani (2007), mengemukakan hasil
penelitiannya mengenai peran suami dalam pemeliharaan status gizi ibu hamil
yakni bahwa peran suami belum optimal dalam memahami peran dan hubungan
yang sinergi antara suami dan istri dalam pembagian peran secara adil sehingga
tercipta lingkungan yang harmonis bagi perkembangan janin secara fisik maupun
psikologisnya. Beberapa faktor yang diungkapkan menjadi faktor penyebab
kurang optimalnya peran suami tersebut adalah pengetahuan yang rendah
mengenai kehamilan dan kebutuhan gizi ideal, faktor ekonomi keluarga, serta
faktor pemahaman terhadap kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan
tanggung jawab keluarga. Pada penelitian ini, karakteristik rumahtangga yang
diteliti meliputi usia suami, jenis pekerjaan suami, tingkat pendidikan suami, besar
anggota rumahtangga dan pendapatan rumahtangga.
Usia Suami
Data pada Tabel 7 menunjukkan sebaran usia suami responden yang juga
berkisar antara 20-40 tahun. Usia suami tidak menjadi kriteria pemilihan
responden. Rata-rata usia suami responden adalah 33,9 tahun lebih tua
dibandingkan usia istri. Sebagian besar suami berusia antara 30-40 tahun (74,5%),
dan sisanya berada pada kisaran usia 20-29 tahun (25,6%). Hasil penelitian
menunjukkan sebaran usia suami pada sub-sampel responden berkisar antara 20-
40 tahun yakni sebesar 24,4% dan ≥ 30 tahun sebesar 75,6%.
kurang pada istri. Hasil analisinya menunjukkan bahwa suami yang mempunyai
pekerjaan secara profesional akan menurunkan proporsi defisiensi gizi dibanding
pada suami yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau tidak bekerja. Dimana,
suami yang mempunyai pekerjaan profesional mampu meningkatkan rata-rata
konsumsi energi sebesar 300 kkal.
negatif (r = -0,04; p>0,05) yang artinya terjadi penurunan asupan energi diikuti
dengan bertambahnya anggota keluarga.
Pendapatan rumahtangga
jumlah pendapatan yang diperoleh anggota keluarga yang bekerja dan jumlah
anggota keluarga. Berdasarkan penelitian Rahman dan Nasri (2009),
mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi keluarga adalah salah satu pengaruh
paling penting terhadap status gizi pada wanita Ethiopia. Studi ini
membandingkan antara wanita dengan status ekonomi yang sedang/tinggi dengan
wanita dengan status ekonomi sangat miskin/miskin, dimana status gizi kurang
banyak terjadi pada keluarga sangat miskin/miskin. Hal ini mengindikasikan
bahwa ada kaitan positif antara status ekonomi keluarga dengan ketahanan pangan
keluarga.
Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong
oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi
perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan
gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada
umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989). Pendapatan juga
menunjukkan hubungan yang yang positif dengan semua variabel asupan gizi
kecuali asupan vitamin C (Obong, Enugu dan Uwaegbute 2001)
Di negara industri, kejadian anemia pada wanita terjadi pada status sosio
ekonomi yang rendah. Defisiensi besi penyebab utama terjadinya anemia pada
kelompok dengan pendapatan rendah. Anemia akut yang terjadi pada wanita
hamil berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian ibu dan bayi dan
meningkatkan angka kesakitan (WHO, 2000; WHO/CDC, 2008). Menurut
Amsalu dan Tigabu (2008), mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa besar
anggota keluarga (>3 orang) dan tingkat pendapatan rumahtangga yang rendah
merupakan faktor risiko terjadinya gizi kurang dengan OR=1,96; 95% CI: 1,04-
3,73 dan OR=3,44; 95% CI: 1,66-7,20.
Kebiasaan Merokok
dibandingkan wanita yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kopi (OR =
0,5-0,6) (Alderet, Eskenazi, dan Sholtz 1995).
Konsumsi kelompok sayur dan hasil olahannya seperti sayur sup, bayam,
sawi, wortel, dan toge tumis memberikan kontribusi 6,6% (138,8 g/kap/hari); dan
47
energi (73,4%) dan protein (62,2%). Sebanyak 48,9% responden yang mengalami
defisit energi dan 22,2% defisit protein dalam kategori tingkat berat.
Konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dapat mempengaruhi status
gizi, dimana hal tersebut telah banyak dibuktikan, seperti penelitian Priswanti
(2005), dimana dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi
energi dengan LILA. Studi lain yang dilakukan oleh Simarmata (2004) juga
melaporkan hal serupa bahwa tingkat konsumsi energi (OR=2,23) dan protein
(OR=4,57) mempengaruhi LILA.
Zat gizi yang harus diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan WUS tidak
hanya terbatas pada energi dan protein saja, tetapi juga zat gizi lainnya seperti
vitamin dan mineral. Terkait dengan defisiensi gizi besi yang sering terjadi pada
WUS maka konsumsi zat gizi yang perlu diperhatikan adalah zat besi, vitamin A
(pembentukkan sel darah), dan vitamin C (mempengaruhi penyerapan zat besi).
Berdasarkan tingkat konsumsinya maka diketahui bahwa sebanyak 70,0%
responden termasuk dalam kelompok yang defisit konsumsi zat besi, 62,5%
kurang vitamin A, dan 88,0% defisit konsumsi vitamin C (Tabel 17). Sedangkan
sub-sampel menunjukkan bahwa sebanyak 71,1% responden termasuk defisit zat
besi, 53,3% defisit vitamin A, dan 86,7% defisit vitamin C.
Pervaiz, Gillani, Alia dan Qayyum (2000) yang melakukan penelitian pada
kelompok wanita usia subur yang dipilih dari wanita yang menyusui dengan
membagi tiga kelompok sosial ekonomi yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil
penelitiannya menunjukkan secara keseluruhan konsumsi energi, protein dan
vitamin A 2.275±40,50 kkal, 65±14,35 g dan 442±182,0 µg/kap/hari, dimana
tingkat konsumsi gizi masih dibawah angka yang dianjurkan. Berdasarkan hasil
51
uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan konsumsi zat gizi yang signifikan
pada ketiga kelompok tersebut.
Penyakit Infeksi
gaya hidup pasif dan pola makanan yang tidak sehat sehingga terjadi gangguan
sistem kekebalan tubuh (Purwaningsih 2007).
Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi
wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi pengaruh penyakit infeksi
dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah satunya hasil penelitian
yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap malaria
dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR = 3,50; 95% CI: 4,57-40,0
(Shulman et al. 2002).
Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang banyak terjadi di Nepal.
Ada sebanyak 78% (anak usia sekolah), 68% (wanita) dan 75% wanita hamil
menderita anemia. Anemia akut ditemukan sebanyak 2,2% pada wanita dan 3,1%
pada anak usia 6-23 bulan. Rendahnya status vitamin A, kadar Hb pada wanita di
Nepal erat kaitannya dengan adanya infeksi. Selain itu, ada hubungan yang kuat
antara rendahnya konsumsi energi dan protein dengan asupan protein (Rai, Hirai,
Abe, dan Ohno 2002).
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai
akibat dari konsumsi penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan dalam
jangka waktu yang lama. Mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup dan
beragam dapat membawa ke arah status gizi yang baik. Status gizi yang diukur
secara anthropometri digambarkan oleh IMT (indeks massa tubuh) dan LILA
(lingkar lengan atas).
53
Status gizi yang diukur secara biokimia yaitu dengan mengukur kadar Hb,
feritin, asam folat dan vitamin A hanya digambarkan oleh sub-sampel dari
responden WUS yaitu sebanyak 45 orang. Berikut adalah gambaran kondisi
responden terhadap status Hb, feritin, asam folat dan vitamin A.
Status Besi
Status besi responden digambarkan dengan kadar Hb dan kadar fertin.
Status Hb pada WUS diukur dengan mennggunakan menggunakan metode
Peroxidation/Colorimetry, yang diperlukan untuk mengetahui apakah seorang
WUS menderita anemia (Hb < 12 g/dl) atau tidak menderita anemia (Hb ≥ 12
g/dl). Anemia pada WUS dapat meningkatkan risiko anemia pada kehamilan
karena rendahnya cadangan besi dalam tubuh. Sedangkan selama kehamilan,
55
anemia dapat menjadi faktor penyebab prematur, berat bayi lahir rendah, serta
kematian ibu dan anak.
Menurut Banda (2004) ada hubungan yang kuat antara status gizi ibu dan
anak. Anak-anak dengan status anemia ternyata 82% ibunya adalah anemia.
Tingakt keparahan anemia ibu konsisten dengan status anaknya, dimana anak
yang mempunyai status anemia parah berasal dari ibu dengan anemia parah dan
anak dengan anemia sedang cenderung berasal dari ibu dengan anemia dengan
kategori sedang pula.
Pada Tabel 22, dapat dilihat bahwa sebanyak 88,9% responden tidak
mengalami anemia (normal), hanya 11,1 % responden yang menderia anemia.
Apabila ditinjau dari data SKRT (Survei Riset Kesehatan Rumah Tangga) tahun
2004, persentase anemia yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah
dibandingkan prevalensi nasional yakni 39,5%. Namun, apabila ditinjau dari
laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) maka persentase anemia yang
diperoleh dalam penelitian tidak jauh berbeda dengan prevalensi anemia wanita
dewasa (>15 tahun) yakni sebesar 19,7%. Rata-rata kadar Hb yang diperoleh
dalam penelitian yaitu 13,2 ± 1,2 g/dL, berkisar antara 9,2 – 15,3 g/dL.
Meskipun penentuan status besi seringkali menggunakan pengukuran Hb,
namun kesalahan klasifikasi sering terjadi karena overlap antara rentang nilai Hb
pada orang normal dan defisiensi besi sehingga perlu digunakan pengukuran lain
56
perkembangan eritrosit. Pada anemia akibat defisiensi asam folat ukuran sel darah
merah besar secara abnormal. Sel darah merah yang besar tersebut disebut
megalosit atau megaloblas dalam sumsum tulang, sehingga dinamakan
megaloblastic anemia. Faktor risiko megaloblastic anemia yaitu alkoholisme,
makan sayuran terlalu masak, gizi buruk (kurang makan sayuran), dan kehamilan.
Status Vitamin A
menderita anemia dan defisien besi, serta dari total responden (407 WUS usia 15-
49 tahun) ada sebanyak 7,7% menderita anemia gizi besi. Defisiensi folat dan
Vitamin B12 masing-masing sebanyak 25,1% dan 39,4%, dan ada sebanyak
12,6% menderita defisiensi folat dan vitamin B12.
Kajian lain yang dilakukan Pathak (2004) pada wanita hamil menghasilkan
ada sebanyak 54,9% wanita hamil mengalami defisien Zc dan Fe; 25,6% defisien
Mg dan Fe; 9,3% defisien Zc, Mg, Fe, asam folat dan sebesar 0,8% mengalami
defisien Zc, Mg, Fe, asam folat, dan iodin. Berdasarkan analisis regresi
menunjukkan bahwa penyebab terjadinya masalah defisien multi gizi mikro
adalah rendahnya konsumsi zat gizi, rendahnya frekuensi konsumsi kelompok
pangan yang kaya dengan zat gizi mikro tertentu dan jarak kelahiran yang pendek.
wanita dengan pendidikan yang tinggi mampu mengambil keputusan dan memilih
jenis pangan yang baik untuk dikonsumsi. Menurut penelitian Obong, Enugu dan
Uwaegbute (2001) pada wanita desa di Nigeria menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan semua asupan gizi, yaitu
energi (r=0,334), niacin (r=0,330) dan vitamin C (r=0,348).
Variabel-variabel lain seperti usia responden, jenis pekerjaan responden
dan suami, tingkat pendidikan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan
rumahtangga, kebiasaan merokok, penyakit infeksi, tingkat konsumsi energi dan
protein tidak berhubungan dengan IMT. Namun demikian pada Tabel 25 dapat
menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang
mengalami efek (IMT Kurang) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko
yang mengalami efek.
Responden yang mempunyai IMT dengan kategori kurang
menggambarkan bahwa sebanyak 11,5% berada pada kelompok usia yang
berisiko untuk hamil; 20,8% tidak bekerja; dan 13,0% mempunyai tingkat
pendidikan rendah (<9 tahun). Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami
menunjukkan bahwa responden yang mempunyai IMT kurang ternyata sebesar
15,3% tingkat pendidikan suami rendah.
Karakteristik rumahtangga yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami efek (IMT kurang) yaitu 20,6% pada
rumahtangga dengan anggota besar; dan 19,0% pendapatan rumahtangga rendah.
Tidak ada responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 20,5%
responden yang menderita penyakit infeksi mempunyai IMT kurang.
Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan
protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko
ternyata 15,6% dan 18,3% dan mengkonsumsi pangan yang rendah protein
sebanyak 18,8% yang mengalami efek yaitu mempunyai IMT kurang. Sedangkan
ada sebanyak 84,4% dan 81,7% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami
efek (IMT normal). Hanya 18,8% responden yang mengalami efek mengkonsumsi
makanan dengan rendah kandungan protein.
60
faktor risiko yang mengalami efek. Responden yang berisiko dan mengalami
defisien besi mempunyai karakteristik bahwa sebanyak 9,1% berada pada
kelompok usia yang berisiko untuk hamil; dan 13,5% tidak bekerja. Sedangkan
jika dilihat dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang berisiko
dan mengalami defisien besi ternyata 0,0% yang mempunyai tingkat pendidikan
suami rendah dan suami tidak bekerja.
menderita defisiensi besi memang ada yang mengkonsumsi pangan rendah protein
(30,0), zat besi (14,8%), vitamin A (12,0%) dan rendah vitamin C (13,5%).
Namun demikian, ada sekitar 8-15% responden yang defisiensi besi
mengkonsumsi makanan dengan menu yang cukup akan protein, zat besi, vitamin
A dan vitamin C.
Pada penelitian ini juga diteliti hubungan antara status Hb dengan status
feritin. Pada Tabel 29, diketahui bahwa sebanyak 33,3% responden yang defisien
besi menderita anemia dan 7,7% responden yang memiliki status feritin normal
menderita anemia. Namun demikian, persentase tertinggi (92,3%) responden
memiliki status feritin normal dan tidak menderita anemia. Hasil uji Chi-Square
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status Hb
dengan status feritin (p=0,063).
hubungan status vitamin B-12 dan serum folat dengan anemia, dimana hasil studi
tersebut adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara status vitamin B-12 dan
serum folat yang rendah dengan kejadian anemia (OR = 3,1 95% CI: 1,50-6,60)
(Morris et al. 2007).
dapat dilakukan uji Chi-Square (X²) karena data tidak menyebar normal (seluruh
responden tidak menderita defisien asam folat).
Hasil tersebut ternyata berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh
Diana (2003), dimana pada studinya yang dilakukan terhadap 60 ibu hamil di
Semarang menunjukkan bahwa status vitamin A mempengaruhi kadar
hemoglobin (OR=16,71; 95% CI: 1,84-151,34). Brabin dan Brabin (1992),
menyatakan bahwa zat besi dan vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Selama remaja, zat besi mengalami peningkatan kebutuhan
yang maksimal dan setelah menarche maka kehilangan zat besi harus digantikan.
Peningkatan konsumsi vitamin A pada periode ini dapat mempengaruhi
74
Faktor Risiko Status Gizi yang Diukur Secara Antropometri pada Wanita
Usia Subur (WUS)
Tahapan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui faktor risiko status
gizi makro pada WUS yang harus diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan,
75
yakni uji bivariat (Chi-Square/X²) dan uji multivariat (regresi logistik). Hasil uji
Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa hanya ada satu variabel yang berhubungan
dengan IMT yaitu tingkat pendidikan responden (p=0,017), dan tingkat konsumsi
energi diketahui berhubungan signifikan dengan LILA (p=0,009).
Terkait hubungannya dengan pemenuhan gizi, hasil pada penelitian ini
yang mengungkapkan tidak adanya hubungan sosial ekonomi (pekerjaan,
pendidikan, dan pendapatan) dan besar keluarga ternyata tidak sejalan dengan
pernyataan bahwa status sosial ekonomi seperti pendapatan merupakan faktor
yang paling menentukan kuantitas dan kulitas makanan yang dikonsumsi sehingga
terdapat hubungan antara pendapatan dan status gizi (Riyadi et al. 1990). Miller
dan Rodgers (2009) menyatakan bahwa tingkat pendapatan berhubungan dengan
daya beli dan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi pendapatan maka semakin
tinggi pula aksesnya terhadap makanan bergizi, air bersih, higienitas, dan
pelayanan kesehatan.
Selain pendapatan, faktor sosial ekonomi yang penting adalah pendidikan
dan pekerjaan, karena pendidikan dan pekerjaan akan menentukan pendapatan
yang diperoleh. Ambarwati, Sulchan, dan Wardani (2005) melaporkan hasil
studinya bahwa status pekerjaan akan memberikan pengaruh terhadap status gizi
(p=0,016) karena pekerjaan yang baik akan mempengaruhi pendapatan sehingga
berpengaruh pula terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi.
Disamping itu, Suhardjo (1989) juga mengungkapkan bahwa banyaknya
anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam keluarga. Jumlah
anggota keluarga yang besar dan tidak diimbangi dengan pendistribusian
konsumsi pangan akan menyebabkan timbulnya gangguan gizi. Selain itu, hasil
penelitian mengenai kaitan antara status sosial ekonomi dengan status gizi ibu
hamil dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yongki et al. (2009),
penelitian terhadap 638 ibu hamil yang memeriksakan kesehatan di wilayah
Jakarta Timur dan Bekasi melaporkan bahwa rata-rata berat badan ibu dengan
status sosial ekonomi rendah lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang berstatus
sosial ekonomi tinggi, baik pada ibu kurus, normal, dan overweight di awal
kehamilan.
76
IMT responden (n=138; p=0,04) (OR=2,569; 95% CI: 1,045-6,315) (Tabel 35).
Hal ini menggambarkan bahwa responden yang mempunyai tingkat pendidikan
rendah cenderung mempunyai IMT 2,569 kali lebih rendah dibandingkan dengan
responden yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi. Namun variabel
tingkat pendidikan responden ini bukan sebagai faktor risiko terjadinya status gizi
kurang karena didalam populasi yang diwakili oleh sampel (n=138), 95% CI:
1,045-6,315 menunjukkan bahwa nila interval kepercayaannya mencakup angka
satu.
dan nilai 95% CI: 0,075-0,916 menunjukkan bahwa nila interval kepercayaannya
tidak mencakup angka satu.
Uji regresi logistik juga dilakukan pada tingkat konsumsi energi dan
protein dengan kategori (TKE dan TKP <70% defisit tingkat berat), menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap IMT
(n=138;p=0,01) (OR=0,369; 95% CI: 0,153-0,889). Sedangkan faktor yang
berpengaruh pada LILA adalah tingkat konsumsi protein (TKP<70%) dengan
OR=0,295; 95% CI: 0,088-0,983 (p=0,05).
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan
energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam
bentuk lemak sebagai cadangan energi jangka panjang (WNPG 2004).
79
Faktor Risiko Status Gizi yang Diukur Secara Biokimia pada Wanita Usia
Subur (WUS)
Analisis faktor risiko status gizi mikro hanya dilakukan pada sub-sampel
yaitu sebanyak 45 orang. Tahapan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui
faktor risiko status gizi mikro pada WUS yang harus diperhatikan guna
mempersiapkan kehamilan tidak berbeda dengan faktor risiko status gizi makro,
yakni uji bivariat (Chi-Square/X²) dan uji multivariat (regresi logistik).
Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa tidak ada satu variabel-pun
yang berhubungan dengan status Hb dan status feritin (p>0,05), namun tingkat
konsumsi vitamin A diketahui berhubungan signifikan dengan status vitamin A
(p=0,005). Pada penelitian ini asam folat tidak dapat diuji karena data tidak
beragam, yakni seluruh responden (100,0%) tidak mengalami defisiensi asam
folat. Pada uji statistik dengan menggunakan kategori tingkat konsumsi gizi
makro dengan kategori defisit tingkat berat (<70%) dan tingkat konsumsi gizi
mikro (<50%), menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi
protein, densitas besi dan densitas vitamin C. Meskipun uji statistik tidak banyak
membuktikan hubungan antara faktor-faktor yang diteliti dengan status gizi mikro
tetapi secara teori dan beberapa penelitian dapat menjelaskan hubungan tersebut.
Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung
(tingkat konsumsi gizi, dan infeksi) dan variabel tidak langsung (merokok,
karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik responden) terhadap
status gizi mikro (Hb, feritin, dan vitamin A) menunjukkan bahwa tidak ada satu-
pun variabel yang berpengaruh terhadap status Hb dan feritin (p > 0,05).
Berdasarkan nilai Nagelkerke R-Square yang diperoleh dapat diketahui bahwa
seluruh faktor yang diteliti baik langsung dan tidak langsung mempengaruhi status
Hb sebesar 32-80%, sedangkan untuk status feritin diperoleh hasil bahwa sebesar
25-70% dari seluruh faktor yang diteliti mempengaruhi status feritin.
Namun, uji statistik dengan menggunakan kategori defisit tingkat berat
(TKE dan TKP < 70% dan TKFe, TKVitA, TKVitC <50%) terdapat pengaruh
antara densitas vitamin C dengan status Hb yaitu dengan OR=0,049; 95% CI:
0,003-0,765 dan p=0,03 (Tabel 37). Artinya responden WUS yang menderita
80
anemia cenderung mengkonsumsi menu yang kaya dengan vitamin C lebih rendah
0,049 kali dibanding dengan responden yang tidak anemia.
Zat gizi mikro yang sangat berperan dalam proses kehamilan adalah zat
besi (Fe). Defisiensi Fe yang terjadi karena rendahnya asupan, penurunan
bioavailabilitas tubuh, peningkatan kebutuhan, dan proses pertumbuhan dapat
menyebabkan anemia. Wahyuni (2006) menyatakan bahwa salah satu penyebab
tingginya prevalensi anemia adalah faktor sosial-ekonomi yang membatasi
kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan seperti daging, ikan, dan ayam
sehingga absorpsi zat besi dapat ditingkatkan.
Penelitian mengenai anemia masih terbatas pada wanita usia subur, namun
Depkes (2008) menyebutkan bahwa persentase anemia pada wanita hamil dari
keluarga miskin terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan
(8% anemia di trimester 1, 12% anemia di trimester II, dan 29% anemia di
trimester III). Anemia pada wanita pasca persalinan juga masih banyak terjadi
yang 10-22% diantaranya diderita oleh wanita yang memiliki ekonomi rendah
(Fatma 2008). Kondisi ekonomi yang rendah diperparah dengan jumlah anggota
keluarga yang besar, dimana keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak
akan lebih sulit memenuhi kebutuhan pangannya dibandingkan dengan keluarga
miskin dengan jumlah anak yang lebih sedikit (Sanjur 1982).
Lebih lanjut dapat diuraikan bahwa penyebab anemia gizi adalah konsumsi
zat besi yang kurang memadai dan absorpsi yang rendah, serta pola makan yang
81
sebagian besar hanya terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam.
Disampng itu, investasi cacing tambang dapat memperberat keadaan anemia yang
diderita pada daerah-daerah tertentu terutama daerah pedesaan. Faktor-faktor lain
yang dapat menyebabkan anemia gizi adalah sosial-ekonomi, pendidikan, status
gizi, pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan infeksi
(Wahyuni 2006). Selain itu, kebiasaan merokok juga dapat mengakibatkan anemia
akibat sianida yang terkandung di dalamnya karena tubuh memerlukan banyak
vitamin B12 untuk dapat melepaskan sianida (Rose-Neil 2007).
Salah satu penelitian yang dilakukan untuk melihat pengaruh suplementasi
Tablet Tambah Darah (TTD) pada WUS melaporkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi anemia yaitu usia, jumlah kelahiran, pendidikan, pola haid, status
perkawinan, pengetahuan gizi, status gizi, dan pola makan. Asupan asam folat dan
vitamin C dilaporkan merupakan zat gizi dapat mempengaruhi Hb. Hal yang
menarik pada penelitian ini adalah bahwa risiko anemia pada responden yang
telah menikah 3,32 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang belum menikah.
Responden yang berpendidikan rendah memiliki risiko anemia 2,05 kali lebih
tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan menengah dan tinggi. Hasil
lainnya yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah suplementasi TTD dapat
meningkatkan kadar Hb, feritin, berat badan, dan IMT (Mulyawati 2003).
Menggunakan uji yang sama diketahui bahwa terdapat variabel yang
berpengaruh signifikan terhadap status vitamin A yaitu tingkat konsumsi vitamin
A (n=45;p=0,011) (OR=0,136; 95% CI: 0,029-0,635) (Tabel 38). Hal tersebut
berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi vitamin A (TKVit A <
77%) rendah cenderung menderita defisien vitamin A 0,136 kali lebih tinggi
dibandingkan responden yang mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang
cukup. Hasil analisis ini juga bisa dikatakan bahwa tingkat konsumsi vitamin A
merupakan faktor protektif untuk terjadinya status defisien vitamin A pada
populasi ini yang diwakili oleh sampel (n=45) karena mempunyai OR < 1 dan
nilai 95% CI: 0,02-0,64 yang tidak mencakup angka satu.
Menurut Rice, West dan Black (1998) mengungkapkan bahwa ada
sebanyak 5,6% ibu hamil mengalami kekurangan vitamin A. Estimasi risiko
82
relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada ibu adalah
4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua penyebab menimbulkan kematian pada ibu.
Studi mengenai status vitamin A belum banyak dilakukan pada usia subur.
Keberadaan zat besi dan vitamin A dalam pertumbuhan dan perkembangan anak
sudah banyak dilakukan. Vitamin A sendiri sangat berperan dalam sintesis
hemoglobin (Hb), terutama untuk memobilisasi zat besi dan menstimulasi
produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Salah satu studi mengenai efek fortifikasi
vitamin A dalam pengaruhnya terhadap status vitamin A dilakukan di Kota Bogor,
Jawa Barat. Dalam studi, sebanyak 70 anak balita dikelompokkan menjadi 2, yaitu
35 anak balita diberi biskuit fortifikasi vitamin A dan 35 anak balita diberi biskuit
plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 4 bulan status vitamin A
yang diukur menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi pada kelompok
fortifikasi vitamin A dibandingkan dengan plasebo (p<0,05) (Widayani 2007).
Kesimpulan
Saran
Masalah kurang zat gizi makro dan mikro yang masih banyak terjadi pada
kelompok WUS sehingga diperlukan beberapa masukan baik untuk pemerintah
maupun untuk kajian penelitian yang lebih lanjut. Berikut beberapa saran yang
perlu diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan:
1. Pemerintah :
a. Selama ini program perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah masih
terfokus pada kelompok Balita, dan Ibu Hamil, maka dengan adanya kajian
ini menjadi alternatif langkah lebih awal untuk memberikan intervensi/
perbaikan gizi pada kelompok WUS.
b. Masih rendahnya kualitas konsumsi pangan, baik dilihat dari jumlah
maupun keragamannya, diharapkan menjadi upaya-upaya pemerintah
daerah melalui dinas kesehatan dan stakeholder terkait untuk melakukan
sosialisasi/penyuluhan dan pendidikan gizi bagi WUS mengenai konsumsi
pangan yang baik dan beraneka ragam, serta dan menerapkan kebiasaan
hidup sehat guna mempersiapkan kehamilan yang baik karena status gizi
pada saat kehamilan sangat ditentukan oleh status gizi sebelum kehamilan.
c. Dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik, pemerintah
dapat memberikan pelatihan-pelatihan seperti kursus menjahit, merajut, dll
supaya dapat membantu pendapatan keluarga karena sebagian responden
merupakan ibu rumahtangga.
2. Untuk penelitian lebih lanjut :
a. Karena masih terbatasnya informasi mengenai masalah gizi pada kelompok
WUS, maka dapat dilakukan kajian yang lebih dalam lagi dengan
menambah variabel-variabel lain yang sekiranya diduga mempengaruhi
status gizi seperti pengetahuan gizi, persepsi gizi, sikap dan praktek gizi.
b. Dapat dilakukan penelitian dengan memberikan intervensi perbaikan gizi
pada kelompok WUS berupa suplementasi dan makanan tambahan bagi
mereka yang sedang mempersiapkan kehamilan dan memiliki status gizi
kurang.
DAFTAR PUSTAKA
Achadi EL. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Ahmed F, et al. 2005. Efficacy of twice weekly multiple micronutrient
supplementation for improving the hemoglobin and micronutrient status of
anemia adolescent schoolgirls in Bangladesh. Am J Clin Nutr 82:829-835.
Alderet E, Ezkenazi B dan Sholtz R. 1995. Effect of cigarette smoking and coffee
drinking on time to conception. Epidol 6(4): 403-408
Al Khatib et al. (2006). Folate deficiency is associated with nutritional anaemia
in Lebanese women of childbearing age. Public Health Nutr. 2006
Oct;9(7):921-7.
Ani LS et al. 2010. Kadar ferritin serum dan hemoglobin pada wanita pasangan
pengantin baru di Bali. Jurnal Gizi Pangan, 5(1):26-30.
Assefa N, Berhane Y dan Worku A. 2012. Wealth Status, Mid Upper Arm
Circumference (MUAC) and Antenatal Care (ANC) Are Determinants for
Low Birth Weight in Kersa, Ethiopia. PLoS ONE 7(6): e39957.
doi:10.1371/journal.pone.0039957.
Ambarwati, Sulchan dan Wardani RS. 2005. Hubungan antara status pekerjaan
ibu, frekuensi makan, dan tingkat konsumsi energi-protein anak dengan
status gizi anak TK (4-6 tahun) di TK Dharma Wanita Campurejo,
Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal tahun 2005. J Univ Muhammadiyah,
Semarang.
Amsalu S & Tigabu Z. Risk factor for severe acute malnutrition in children under
the age of five: A case-control study. Ethiop J Health Dev. 2008;22(1):21-
25.
Antony AC. 2008. Megoblastic Anemias. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et
al., eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia,
Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:39.
Atmarita. 2005. Nutrition problem in Indonesia. An Integrated International
Seminar and Workshop Lifestyle – Related Diseases, Gajah Mada
University: 19-20 March, 2005. Directorat of Community Nutrition,
Ministry of Health.
Azwar A. 2002. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Bina Kesehatan Masyarakat,
Depatemen Kesehatan, Jakarta.
. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang.
Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju
Keluarga Sadar Gizi, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 27 September 2004.
Banda T. 2004. Infant feeding and children’s and women’s nutritional status.
Malawi Chapt 10.
86
Pervaiz S, Gillani AH, Alliya dan Qayyum M. 2000. Effect of nutrient intake on
haematology in child bearing women of different age and socio–economic
groups. International Journal of Agriculture & Biology 1560-
8530/2000/02-4-282–285.
Piliang WG & Al Haj S. 2006. Fisiologi Nutrisi Vol 1. IPB Press.
Priswanti P. 2005. Hubungan ketersediaan pangan keluarga dan tingkat konsumsi
energi protein, Fe, asam folat, vitamin B12 dengan kejadian kurang energi
kronis (KEK) dan anemia pada ibu hamil.[Tesis]. Semarang: Program
Studi Ilmu Gizi Universitas Diponegoro.
Pritasari. 2006. Hidup sehat: Gizi seimbang dalam siklus kehidupan manusia.
Jakarta: Gramedia.
Pryer JA, Rogers S dan Rahman A. 2003. Factors affecting nutritional status in
female adults in Dhaka slums, Bangladesh. Soc Biol. Autumn-Winter;50(3-
4):259-69.
Purwaningsih E. 2007. Dampak Gangguan Gizi Sejak Awal Kehamilan Dalam
Terjadinya Penyakit Di Usia Dewasa (Suatu Kajian Ilmu Gizi Dan
Epidemiologi.[Tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Universitas
Diponegoro.
Rahman MM & Nasrin SO. 2009. Mothers nutritional status in an impoverished
nation: Evidence from rural Bangladesh. The Internet Journal of Nutrition
and Wellness. Volume 7 Number 1. DOI: 10.5580/135f
Rajhans K & Sharma R. 2011. Relationship between socio-economic status and
energy intake of elderly from Central India. Journal of The Indian
Academy of Geriatrics, Vol. 7, No. 4, December.
Rai K, Hirai K, Abe A dan Ohno Y. 2002. Infectious diseases and malnutrition
status in Nepal: an overview. Mal J Nutr 8(2): 191-200.
Rice AL, West KP dan Black RE. 1998. Comparative Quantification of Health
Risks: Vitamin A Deficiency. Chapter 4. WHO.
Riyadi, H et al. 1995. Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia
Penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan kecamatan Ciomas. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rolfes SR, Pinna K dan Whitney E. 2008. Understanding Normal and Clinical
Nutrition. New York: Cengage Learning.
Rose-Neil. 2007. Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Dian Rakyat: Jakarta.
Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspektifes in Nutrition. Washington DC:
Prentice Hall, Inc. Newyork, USA.
Shulman et al. 2002. Malaria in Pregnancy: adverse effects on haemoglobin levels
and birthweight in primigravidae and multigravidae. Trop Med Int Health
2002. 6(10): 770-778.
89
Tangkilisan HA & Rumbajan R. 2002. Defisiensi asam folat. Sari Pediatri 2002
4(1): 21 – 25.
Umk/UMR Jawa Barat tahun 2010. 2011. SK Gubernur No. 561/Kep.1665-
Bangsos/2009 Tanggal SK : 20 November 2009/hrcentro.com/umr. 14 Juli
2011.
[WHO] World Health Organization. 1995. Maternal anthropometry and
pregnancy outcomes: A WHO Collaborative Study, World Health
Organization Supplement 1995: 73:32-37
[WHO] World Health Organization. 2000. The management of nutrition in
major emergencies, Geneva: WHO.
[WHO] World Health Organization. 2005. Child Growth Standards Length/Hight-
for-Age, Weight-for-Age, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-
Age Methods and Development. Genewa.
WHO/CDC. 2008. Worldwide prevalence of anaemia 1993–2005 : WHO global
database on anaemia. De Benoist B, McLean E, Egli I, Cogswell M eds.
World Health Organization, Geneva. Available at
http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596657_eng.pdf
[WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan
dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta.
Wahyuni AS. 2006. Anemia Defisensi Besi pada Balita. Karya Tulis Ilmiah Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas sumatera Utara.
90
Widayani S. 2007. Ffikasi dan preferensi biskuit yang difortifikasi vitamin a dan
zat besi (fe) dan kaitannya dengan konsumsi, status gizi, dan respons imun
anak balita. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Wiludjeng RLK. 2005. Gambaran Penyebab Kematian Maternal di Rumah Sakit.
Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan
Kesehatan Departemen Kesehatan.
Yongki et al. 2009. Status gizi awal kehamilan dan pertambahan berat badan ibu
hamil kaitannya dengan BBLR. J Pangan dan Gizi 2009. 4(1): 8-12.
Yimer G. 2000. Malnutrition among children in Southern Ethiopia: Levels and
risk factors. Ethiopian Journal of Health Development 14(3):283-292.
Zhu et al. 2010. Iron, folate, and B(12) deficiencies and their associations with
anemia among women of childbearing age in a rural area in Northern
China. Int J Vitamin Nutr Res. Apr;80(2):144-54.