You are on page 1of 105

FAKTOR RISIKO STATUS GIZI KURANG

PADA WANITA USIA SUBUR DI BOGOR

ZULAIKHAH

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Faktor Risiko Status
Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di Bogor” adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal dan atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Zulaikhah
NRP I151080081
ABSTRACT

ZULAIKHAH. The Risk Factors for Under Nutritional Status in


Childbearing Age of Woman in Bogor. Under supervision of SITI
MADANIJAH, DODIK BRIAWAN and NURI ANDARWULAN.

The aim of this study was to analyze the risk factors for under nutritional status of
childbearing age. The design was cross-sectional study, and samples were 200
childbearing age of women in Bogor. Of these childbearing ages, a sub sample of
45 women was collected for blood analysis i.e. Haemoglobin, ferritin, serum folic
acid, serum vitamin A. Data were collected on socio-economic status and other
demographic parameters. Dietary intake of macro and micronutrients was
collected with 2-day 24-hour dietary recall method. The Chi-square (X2) and
logistic regression analysis were applied for the hypotheses testing. The
results show that the highest percentage of childbearing age of woman had deficit
of energy (71.5%), protein (56.5%), iron (70.0%), vitamin A (62.5%) and vitamin
C (88.0%). As amount 14.0% of women were founded to be underweight and also
12.5% of women had low of mid upper arm circumference (MUAC). Chi-square
test showed that education level of respondents was significant related with BMI
(p=0,017), in the other hands, %RDA of energy was significant related with
MUAC (p=0,009). The risk factor of underweight was education level
(OR=2.569; 95% CI: 1.045-6.315) (p=0.04); and risk factor of chronic energy
deficient (MUAC <23.0) was %RDA of energy (<80%) (OR=0.263; 95% CI:
0.075-0.916) (p=0.03). About 11.1%; 13.3%; 4.0% and 64.4% childbearing age
women were anemia, iron depletion, iron deficient anemia and vitamin A
deficient, respectively, but no women were deficient of folic acid. Chi-square test
showed that there were no variables significantly related with anemia and iron
deficient (p>0.05), %RDA of vitamin A was significant related with vitamin A
status (p=0.005). The risk factor of vitamin A status was %RDA of vitamin A
(<77%) (OR=0.136; 95% CI: 0.029-0.635) (p=0.01).

Keywords: childbearing age of women, micronutrient deficiency, underweight,


anemia, vitamin A
RINGKASAN

ZULAIKHAH. Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di
Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH, DODIK BRIAWAN dan NURI
ANDARWULAN.

Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia.


Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu sejak di dalam kandungan,
bayi, anak-anak, masa remaja, dewasa dan masa usia lanjut. Masalah gizi dapat
terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok
umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan
berikutnya. Kualitas hidup seseorang pada masa dewasa merupakan hasil dari
investasi sejak masa dini kehidupannya. Pentingnya memantau status gizi perlu
dilakukan ibu/calon ibu sejak awal kehamilan. Kondisi status gizi yang tidak
normal tanpa penanggulangan akan memberikan konsekuensi yang besar saat
kehamilan dan melahirkan, bukan hanya kesakitan ibu dan anak, tetapi kematian
ibu dan anak.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis keragaan
status gizi berdasarkan pengukuran antrophometri (IMT, LILA) dan biokimia
(status Hb, ferritin, asam folat, dan status vitamin A); (2) Menganalisis faktor-
faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan pengukuran
antrophometri (IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, ferritin, asam folat, dan
status vitamin A); (3) Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi status gizi
berdasarkan pengukuran antrophometri (IMT, LILA); dan (5) Menganalisis
faktor-faktor risiko status gizi berdasarkan biokimia (status Hb, ferritin, asam
folat, dan status vitamin A)
Disain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengambilan data
hanya dilakukan pada satu kali waktu saja. Penelitian dilaksanakan di wilayah
Kota Bogor yang meliputi 6 kecamatan. Data diambil dari bulan Nopember 2010
– Februari 2011. Sebanyak 200 orang WUS (wanita usia subur) yang ikut
berpartisipasi dalam kegiatan ini yang dipilih berdsarkan kriteria inklusi yang
telah ditetapkan yaitu, adalah kelompok wanita usia subur yang sudah menikah
dan sedang mempersiapkan kehamilan, berusia antara 20-40 tahun, berbadan
sehat dan/atau tidak mempunyai komplikasi penyakit lainnya, dan bersedia
mengikuti kegiatan. Selain itu, juga dilakukan sub-sampel sebanyak 45 untuk
melakukan pemeriksaan kadar hemoglobin darah (Hb), ferritin, serum asam folat,
dan serum retinol dengan menggunakan jasa Laboratorium PRODIA – Bogor.
Data dianalisis secara dskriptif, melakukan uji chi square, dan regresi logistik.
Secara ringkas karakteristik responden digambarkan bahwa sebagian besar
responden berada pada kisaran 20-29 tahun (52,5%), 80,5% merupakan ibu rumah
tangga (IRT), responden merupakan lulusan SMA/Sederajat yaitu 36,5%, dan
sebagian besar pendapatan responden (93,0%) yang diperoleh setiap bulannya
masih di bawah UMR. Sedangkan karakteristik suami responden sebagian besar
berusia antara 30-40 tahun (74,5%), sebanyak 26,5% suami responden bekerja
sebagai karyawan swasta, merupakan lulusan SMA/Sederajat (48,5%), dan
sebagian besar (72,0%) pendapatan suami responden berada diatas UMR Kota
Bogor. Selain itu, sebagian besar (77,0%) keluarga responden mempunyai jumlah
anggota ≤ 4 orang dan hampir seluruh keluarga (94,0%) responden mempunyai
pendapatan perkapita perbulannya di bawah dari UMR Kota Bogor (< Rp
971.200,-) dengan kata lain termasuk kategori kurang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi aktual rata-rata responden
WUS masih dibawah angka yang seharusnya. Rata-rata konsumsi energi sebesar
1.435 kkal/kap/hr (77,4% AKE); protein 47 gram (93,3% AKP); zat besi 25 mg
(95,0% AKFe); Vitamin A 445 RE (89,0% AKVitA) dan rata-rata konsumsi
vitamin C sebesar 28 mg (37,0% AKVitC). Secara keseluruhan menunjukkan
bahwa sebagian besar responden mengalami defisit energi (71,5%) dan protein
(56,5%), sebanyak 70,0% responden termasuk ke dalam defisit zat besi, 62,5%
defisit vitamin A, dan 88,0% defisit vitamin C.
Pada penelitian ini, diketahui bahwa dari 4,4% responden yang merokok,
satu diantaranya merokok dengan frekuensi 4 kali/hari dan lainnya merokok
dengan frekuensi 1 kali/hari. Ada sebanyak 77,5% responden satu bulan sebelum
diambil data menderita penyakit penyakit infeksi.
Kondisi status gizi berdasarkan atropometri menunjukkan bahwa ada
sebanyak 14,0% responden yang mengalami gizi kurang dengan IMT < 18,5 dan
ada sekitar 12,5% responden yang mempunyai ukuran LILA kurang dari 23,5 cm.
Hal ini berarti ada sebanyak 12,5% responden WUS yang mempunyai risiko
KEK. Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
responden berhubungan dengan dengan IMT (p=0,017), dan tingkat konsumsi
energi diketahui berhubungan signifikan dengan LILA (p=0,009).
Kondisi status gizi berdasarkan pengukuran secara biokimia menunjukkan
bahwa ada sebanyak 11,1% responden WUS mengalami anemia, sebanyak 13,3%
mengalami defisien besi, 64,4% defisien vitamin A dan semua responden WUS
mempunyai status folat dengan kategori normal. Hasil uji Chi-Square (X²)
menunjukkan bahwa tidak ada satu variabel yang berhubungan dengan status Hb
dan status feritin (p>0,05), namun tingkat konsumsi vitamin A diketahui
berhubungan signifikan dengan status vitamin A (p=0,005). Pada penelitian ini
asam folat tidak dapat diuji karena data tidak beragam, yakni seluruh responden
(100,0%) tidak mengalami defisiensi asam folat.
Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung
(tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein, infeksi) dan variabel tidak
langsung (merokok, karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik
responden) terhadap status gizi makro (IMT dan LILA) menunjukkan bahwa
bahwa tingkat pendidikan responden secara tidak langsung berpengaruh terhadap
IMT (OR=2,569; 95% CI: 1,045-6,315) (p=0,04); dan pengaruh yang signifikan
antara tingkat konsumsi energi (TKE<80%) dengan LILA (OR=0,263; 95% CI:
0,075-0,916) (p=0,03). Selain itu, tingkat konsumsi protein (TKP <70%) juga
menjadi faktor risiko terhadap status LILA yaitu dengan OR=0,295; 95% CI:
0,088-0,983 (p=0,05).
Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung
(status gizi, tingkat konsumsi gizi, dan infeksi) dan variabel tidak langsung
(merokok, karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik
responden) terhadap status gizi mikro (Hb, feritin, dan vitamin A) menunjukkan
bahwa tidak ada variabel yang berpengaruh terhadap status Hb dan feritin (p >
0,05). Meskipun demikian, menggunakan uji yang sama diketahui bahwa terdapat
variabel yang berpengaruh signifikan terhadap status vitamin A yaitu tingkat
konsumsi vitamin A (OR=0,136; 95% CI: 0,029-0,635) (p=0,011). Hal tersebut
berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi vitamin A rendah
berisiko menderita defisiensi vitamin A 0,136 kali lebih tinggi dibandingkan
responden yang mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang cukup. uji statistik
dengan menggunakan kategori defisit tingkat berat (TKE dan TKP < 70% dan
TKFe, TKVitA, TKVitC <50%) terdapat pengaruh antara densitas vitamin C
dengan status Hb yaitu dengan OR=0,049; 95% CI: 0,003-0,765 dengan p=0,03.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan


atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan untuk kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izi IPB
FAKTOR RISIKO STATUS GIZI KURANG
PADA WANITA USIA SUBUR DI BOGOR

ZULAIKHAH

Tesis
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Tesis : Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di
Bogor

Nama : Zulaikhah

NIM : I151080081

Program Studi : Gizi Masyarakat

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS


Ketua

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi GMK Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

drh. M. Rizal M Damanik, MRepSc, PhD DR. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 30 Juli 2012 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Sujud syukur sepantasnya penulis haturkan pada Allah SWT atas ridho-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Setelah melalui proses
yang cukup panjang, Alhamdulillah, Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan
judul: “Analisis Faktor Risiko Status Gizi Kurang pada Wanita Usia Subur di
Bogor”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kerjasama antara
SEAFAST Center IPB dan PT Sari Husada dengan judul “Konsumsi Pangan dan
Status Gizi pada Wanita Usia Subur, Ibu Hamil dan Ibu Menyusui di Wilayah
Bogor”
Tesis ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karenanya, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir. Siti Madanijah MS,
Dr.Ir. Dodik Briawan, MCN, dan Dr.Ir. Nuri Andarwulan, MSi selaku
pembimbing yang dengan semangat dan penuh kesabaran dalam membimbing,
memotivasi, menegur yang memang sangat penulis butuhkan semenjak penulisan
proposal hingga selesainya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan ke
Dr.Ir. Budi Setiawan, MS sebagai penguji serta banyak memberi masukan dan
kritik atas kurang cermatnya penulis.
Ungkapan terima kasih disampaikan pula pada pemerintah Kota Bogor,
seluruh staf Kecamatan di Kota Bogor, para Lurah dan kader Posyandu atas izin
dan bantuan selama berlangsungnya kegiatan pengambilan data di lapang. Selain
itu, kepada rekan-rekan enumerator dan asisten peneliti lainnya Sanaiskara dan
Mawi. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada SEAFAST Center
yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis mempunyai kesempatan dapat
melanjutkan sekolah di Pascasarjana IPB.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada keluarga besar
yaitu mamak, bapak, ibu mertua (Alm), bapak mertua, kakak, adik, ponakan yang
selalu memberi semangat, dan do’a yang tiada hentinya supaya tesis ini dapat
terselesaikan. Ucapan yang sama penulis haturkan kepada suami tercinta yang
sangat sabar membimbing, memotivasi, mendo’akan dan bahkan kadang
memarahi penulis supaya tesis ini dapat selesai; kebahagiaan dan semangat lain
hadir dengan adanya ananda “Jalaluddin Muhammad Zaenuri” dengan wajah dan
celoteh lucunya.
Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat atas semua kebaikan
dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa
tesis ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, namun demikian
penulis berharap semoga tesis dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Agustus 2012


Zulaikhah
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 29 April 1983 sebagai anak ke-lima
dari lima bersaudara dari pasangan Bpk. Kasmu’in dan Ibu Siti Alwi. Penulis
menikah dengan Anas Zaenuri dan telah dikarunia putera pertama yaitu Jalaluddin
Muhammad Zaenuri. Penulis menamatkan pendidikan dasar di Pati, Jawa Tengah
yaitu SDN 1 Kayen lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Bhakti Wasita Rimbo Bujang, Jambi lulus tahun 1998.
Jenjang pendidikan menengah atas dilanjutkan di SMAN 1 Rimbo Bujang, Jambi
dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan
sarjana melalui jalur USMI di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga, Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia pada Program Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai staf
peneliti di SEAFAST Center – LPPM IPB sejak tahun 2006.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................ x


DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xii
PENDAHULUAN........................................................................................ 1
Latar Belakang..................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5
Wanita Usia Subur ............................................................................... 5
Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi .............................................. 6
Status Gizi dan Masalah Gizi ............................................................... 11
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi ........................... 16
Faktor Risiko Status Gizi .................................................................... 21
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ........................................... 23
METODE PENELITIAN ............................................................................. 25
Disain, Tempat dan Waktu................................................................... 25
Cara Pengambilan Contoh.................................................................... 25
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................... 27
Pengolahan dan Analisis Data.............................................................. 28
Definisi Operasional ............................................................................ 33
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 35
Gambaran Lokasi Penelitian ............................................................... 35
Karakteristik Responden ..................................................................... 36
Karakteristik Rumahtangga ................................................................. 39
Kebiasaan Merokok ............................................................................ 44
Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi .............................................. 46
Penyakit Infeksi .................................................................................. 51
Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Atropometri ....................... 52
Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Biokimia ............................ 54
Hubungan Antar Variabel ................................................................... 58
Faktor Risiko Status Gizi Pada Wanita Usia Subur (WUS) .................. 74
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 83
Kesimpulan ......................................................................................... 83
Saran .................................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 85

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Angka Kecukupan Gizi pada wanita ........................................................ 10


2 Jenis data dan cara pengumpulan ............................................................. 27
3 Klasifikasi variabel penelitian .................................................................. 30
4 Distribusi responden berdasarkan usia ..................................................... 36
5 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan .................................... 37
6 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan ............................... 38
7 Distribusi responden berdasarkan usia suami ........................................... 39
8 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan suami .......................... 40
9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan suami ..................... 41
10 Distribusi responden berdasarkan besar anggota rumahtangga ............... 42
11 Distribusi responden berdasarkan pendapatan rumahtangga .................... 43
12 Jenis dan jumlah konsumsi pangan responden ........................................ 46
13 Distribusi responden berdasarkan densitas protein ................................. 47
14 Distribusi responden berdasarkan densitas zat gizi .................................. 48
15 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi ................................................... 49
16 Distribusi responden berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein .. 49
17 Tingkat konsumsi zat besi, vitamin A, dan vitamin C ............................. 50
18 Distribusi responden berdasarkan penyakit infeksi ................................. 51
19 Distribusi responden berdasarkan jenis penyakit/infeksi ......................... 52
20 Distribusi responden berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) ............... 53
21 Distribusi responden berdasarkan Lingkar Lengan Atas (LILA) ............. 54
22 Distribusi responden berdasarkan status besi ........................................... 55
23 Distribusi responden berdasarkan status Vitamin A ................................. 57
24 Distribusi responden berdasarkan defisien multi gizi mikro ..................... 58
25 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung
dengan IMT ............................................................................................. 60
26 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung
dengan LILA ........................................................................................... 62
27 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung
dengan anemia ........................................................................................ 64

x
28 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung
dengan defisiensi besi ............................................................................. 66
29 Hubungan antara anemia dengan defisiensi besi ...................................... 68
30 Hubungan status asam folat dengan anemia ............................................ 69
31 Hubungan status asam folat dengan defisiensi besi .................................. 69
32 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung
dengan vitamin A .................................................................................... 71
33 Hubungan antara status vitamin A dengan anemia .................................. 73
34 Hubungan antara status vitamin A dengan defisiensi besi ........................ 74
35 Faktor-faktor yang mempengaruhi IMT .................................................. 77
36 Faktor-faktor yang mempengaruhi LILA ................................................ 78
37 Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia ............................................... 77
38 Faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin A ................................ 82

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur perjalanan status gizi WUS ............................................................. 12

2 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi WUS .. 24

3 Cara pemilihan responden ........................................................................ 26

xii
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia.


Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu sejak di dalam kandungan,
bayi, anak-anak, masa remaja, dewasa dan masa usia lanjut. Masalah gizi dapat
terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok
umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada periode siklus kehidupan
berikutnya. Saat ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yaitu masalah gizi
kurang dan masalah gizi lebih. Kondisi status gizi dihasilkan dari konsumsi
pangan seseorang dalam jumlah yang cukup, kurang atau berlebih.
Kualitas hidup seseorang pada masa dewasa merupakan hasil dari investasi
sejak masa dini kehidupannya. Artinya status gizi seorang dewasa biasanya
merupakan hasil akhir dari pertumbuhannya selama masih di dalam kandungan,
masa bayi dan kanak-kanak, kemudian masa puber/remaja. Efek sisa yang
akumulatif dari setiap pertumbuhan dan perkembangan pada setiap tahapan
tumbuh kembang akan menghasilkan seorang remaja atau dewasa yang pendek
(Achadi 2007).
Pentingnya memantau status gizi perlu dilakukan ibu/calon ibu sejak awal
kehamilan. Ibu/calon ibu yang memasuki awal kehamilan dengan status gizi
rendah (Indeks Massa Tubuh (IMT< 18,5 kg/m²) berisiko melahirkan bayi dengan
ukuran kecil. Apabila status gizi rendah ini terus berlangsung hingga melahirkan
(yang ditandai dengan pertambahan berat badan < 9 kg) maka ibu berisiko
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Di sisi lain, ibu dengan IMT ≥
25 kg/m² berisiko melahirkan bayi dengan NTD (Neural Tube Defects), selain itu
ibu yang obesitas berisiko mengalami Diabetes Mellitus, hipertensi, preeklamsia,
dan juga risiko melahirkan bayi caesar.
Sekitar 12-22% wanita Indonesia usia 15-49 tahun yang mengalami KEK.
Prevalensi KEK lebih tinggi pada wanita yang lebih muda dibandingkan pada
wanita lebih tua (Atmarita 2005). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun
2007, mengungkapkan bahwa prevalensi KEK secara nasional pada wanita usia
2

19-45 tahun adalah 13,6%, dimana prevalensi di wilayah pedesaan lebih tinggi
(14,1%) dibanding perkotaan (13,0%) (Departemen Kesehatan 2008).
Kondisi status gizi yang tidak normal tanpa penanggulangan akan
memberikan konsekuensi yang besar saat kehamilan dan melahirkan, bukan hanya
kesakitan ibu dan anak, tetapi kematian ibu dan anak. Berdasarkan Laporan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium di Indonesia Tahun 2010,
persentase perempuan usia subur yang mengalami kurang energi kronis masih
cukup tinggi yaitu mencapai 13,6% dan 15-20% ibu hamil berisiko mengalami
komplikasi selama kehamilan, dengan angka kematian ibu (AKI) yakni 228 per
100.000 kelahiran hidup. Hal tersebut masih jauh dibandingkan target AKI pada
tahun 2015 yakni 102 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu, angka kematian
bayi (AKB) yang telah dicapai yakni 44 per 1000 kelahiran hidup, angka tersebut
ternyata masih jauh dari target AKB tahun 2015 yakni 32 per 1000 kelahiran
hidup (BAPPENAS 2010).
Selain masalah kurang gizi makro, masalah kurang gizi mikro juga banyak
dialami oleh kelompok wanita usia subur. Masalah gizi mikro yang banyak dan
umum terjadi adalah anemia gizi besi. Menurut Isniati (2007), berdasarkan data
SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2004 menyatakan bahwa
prevalensi anemia gizi di Indonesia pada kelompok usia 19-45 tahun sebanyak
39,5%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi anemia wanita
dewasa (>15 tahun) sebesar 19,7% (Departemen Kesehatan RI 2008).
Penyebab utama terjadi anemia terutama di negara-negara yang sedang
berkembang adalah penyerapan zat besi dan cadangan besi dalam tubuh (feritin).
Berdasarkan studi Ani et al. (2010), menunjukkan bahwa ada sebanyak 47,1%
wanita pasangan pengantin baru di wilayah Bali mengalami defisiensi besi
(feritin< 20 µg/dL).
Penyerapan zat besi dalam tubuh juga tergantung pada asupan zat gizi
mikro lain yang membantu penyerapannya seperti asam folat dan vitamin A.
Selain membantu penyerapn zat besi, asam folat dan vitamin A mempunyai
peranan penting pada kelompok WUS. Kaitan kekurangan vitamin A pada
kelompok wanita berhubungan dengan morbiditas. Namun demikian, studi
mengenai status asam folat dan status vitamin A masih terbatas dilakukan
3

khususnya pada kelompok WUS. Studi yang dilakukan Khan et al. (2010) pada
ibu hamil menunjukkan ada sebanyak 20% yang mengalami defisiensi asam folat.
Beragam konsekuensi yang ditimbulkan akibat kekurangan gizi
ditunjukkan bahwa ibu hamil yang mengalami KEK dan anemia mempunyai
risiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 5 kali lebih
besar dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK. Sedangkan konsekuensi lain
akibat kekurangan folat adalah menimbulkan kecacatan pada tabung syaraf
(Neural Tube Defects) NTDs pada bayi, yaitu spina bifida (kelainan pada tulang
belakang) dan anencephaly (kelainan dimana otak tidak terbentuk).
Menurut studi yang dilakukan Rice, West dan Black (1998), estimasi
risiko relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada anak-
anak adalah 1,86 (95% CI: 1,32–2,59) meninggal karena campak, 2,15 (95% CI:
1,83–2,58) meninggal karena diare, 1,78 (95% CI: 1,43–2,19) meninggal karena
malaria, 1,13 (95% CI: 1,01–1,32) meninggal karena penyakit infeksi. Sedangkan
RR pada ibu hamil adalah 4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua penyebab
menimbulkan kematian pada ibu hamil.
Apabila kondisi di atas dibiarkan maka wanita usia subur akan hamil
dengan status gizi yang kurang dan akan mengalami konsekuensi yang besar saat
hamil dan melahirkan nanti. Oleh karena itu, mengingat besarnya konsekuensi
akibat KEK dan kekurangan gizi mikro pada wanita usia subur tersebut dan
banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung
serta masih terbatasnya informasi mengenai status gizi mikro pada WUS, maka
peneliti ingin mengetahui gambaran lebih lanjut dan menganalisis faktor-faktor
risiko status gizi kurang pada wanita usia subur yang sedang mempersiapkan
kehamilan di Kota Bogor.
4

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor risiko status
gizi kurang pada wanita usia subur (WUS) di wilayah Kota Bogor

Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis keragaan status gizi berdasarkan pengukuran antropometri
(IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, feritin, asam folat, dan status vitamin
A)
2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan
pengukuran antropometri (IMT, LILA) dan biokimia (status Hb, feritin, asam
folat, dan status vitamin A)
3. Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi status gizi berdasarkan
pengukuran antropometri (IMT, LILA)
4. Menganalisis faktor-faktor risiko status gizi berdasarkan biokimia (status Hb,
feritin, asam folat, dan status vitamin A)

Manfaat Penelitian

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai


masalah gizi dan faktor risiko status gizi pada wanita usia subur (WUS). Informasi
ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah, dinas kesehatan dan stakeholder
yang terkait sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam merancang,
melaksanakan atau mendukung program peningkatan gizi pada WUS. Program-
program tersebut untuk mempersiapkan kondisi WUS agar siap menjadi ibu yang
sehat, sehingga pada waktu hamil tidak menderita masalah kurang gizi makro dan
mikro serta bayi yang dilahirkan juga sehat.
TINJAUAN PUSTAKA

Wanita Usia Subur


Wanita usia subur usia 20-40 tahun tergolong wanita dewasa awal (young
adulthood. Seorang wanita dewasa awal selain mengalami perubahan fisik dan
fisiologis juga mengalami perubahan psikologis yang cukup besar. Seorang
wanita dewasa awal termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically
trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran
sosial (social role trantition).
Usia dewasa merupakan masa/periode terpanjang dalam siklus kehidupan
yang ditandai dengan masa pencapaian keberhasilan kerja, kemapanan dalam gaya
hidup, sikap dan nilai kehidupan yang akan diwariskan kepada anak-anak, dan
tugas sosial dalam aktualisasi diri (Pritasari 2006). Usia dewasa juga merupakan
usia yang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup,
dengan kata lain orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang dipilihnya dan
berusah untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya. Orang dewasa sudah
memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.
Kemantapan jiwa orang dewasa memberikan gambaran tentang bagaimana
sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab
terhadap sistem nilai yang sudah dipilihnya, baik sistem nilai yang berasumber
dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam
kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan
pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini maka sikap keberagaman seorang
diusia dewasa sulit untuk diubah, jikapun terjadi perubahan mungkin proses itu
terjadi setelah didasarkan pada pola pemikiran dan pertimbangan yang matang.
Secara fisik, seorang wanita dewasa awal (young adulthood) menampilkan
profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-
aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak. Aspek-aspek fisiologis yang
dimaksud antara lain pertumbuhan yang cepat, perkembangan seksual, perubahan
bentuk badan, dan perubahan hormonal. Mereka memiliki daya tahan dan taraf
6

kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak


inisiatif, kreatif, energik, cepat, dan proaktif.
Namun kenyataannya tidak sedikit masalah gizi dan kesehatan yang terjadi
pada kelompok ini. Kekurangan dan kelebihan gizi menjadi masalah ganda yang
terjadi saat ini. Tingkat kesehatan dan status gizi yang baik pada wanita yang
sedang mempersiapkan kehamilan akan menjadi penentu kualitas kesehatan bagi
anak-anaknya. Kurang gizi akan mengakibatkan kegagalan pertumbuhan fisik,
perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas, meningkatkan
kesakitan dan kematian (Azwar 2004). Status gizi masyarakat dipengaruhi oleh
banyak faktor yang saling mempengaruhi secara kompleks. Di tingkat rumah
tangga, status gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga menyediakan
pangan yang cukup baik kuantitas maupun kualitasnya, asuhan gizi ibu dan anak
dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan perilaku serta keadaan kesehatan anggota
rumah tangga.
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) mempengaruhi
peningkatan dari status gizi masyarakatnya. Status gizi merupakan salah satu
faktor penyebab dari kualitas hidup manusia. Perbaikan gizi merupakan syarat
utama dalam perbaikan kesehatan ibu hamil, menurunkan angka kematian bayi
dan balita. Oleh karenanya, wanita usia subur mempunyai peluang dalam rangka
memutus rantai masalah gizi.

Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi


Konsumsi pangan adalah banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal
maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan
fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk
memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk
memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah
untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi
pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya
bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme,
memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan.
7

Banyak metode yang digunakan untuk mengukur konsumsi pangan,


diantaranya adalah dengan menggunakan food recalls 2x24 jam, yang dilakukan
dengan mencatat jenis dan jumlah makanan serta minuman yang telah dikonsumsi
selama 2x24 jam yang lalu (Achadi 2007). Kelebihan food recall adalah mudah
dan pencatatan cepat, murah, mendapatkan informasi secara detail tentang jenis
bahkan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, beban responden rendah,
recall secara beberapa kali dapat digunakan untuk memperkirakan asupan zat gizi
tingkat individu dan biasanya bias dilakukan 2 atau 3 kali, lebih objektif, tidak
mengubah kebiasaan diet. Keterbatasan food recall adalah bergantung pada
ingatan, kadang mengabaikan saus atau minuman ringan yang menyebabkan
rendahnya asupan energi, kadang terjadi under/over reporting, recall 1x24 jam
tidak dapat mencerminkan secara representative kebiasaan asupan individu.
Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi
pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat
konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang
dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh
tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan
mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai
keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.
Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada
tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat
badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja.
Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi
buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi,
pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya
dapat menyebabkan kematian (Achadi 2007).
Agar hidup dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang memerlukan 5
kelompok zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) dalam
jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan. Di samping itu,
manusia memerlukan air dan serat untuk memperlancar berbagai proses faali
dalam tubuh. Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beranekaragam,
8

maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi
yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi
makanan sehari-hari yang beranekaragam, kekurangan zat gizi pada jenis
makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis
makanan lain sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang (Azwar 2002).
Wanita usia subur dengan usia 20-40 tahun merupakan dewasa awal.
Umumnya setelah mencapai usia dewasa awal, pada wanita telah terbentuk eating
habits dan body weight yang ideal. Namun banyak yang menjadi sulit mengontrol
berat badan ideal dan kebiasaan makan yang baik, hal ini disebabkan karena
perilaku hidup yang tidak sehat dan kebiasaan makan yang tidak sesuai dengan
standar kebutuhan gizi yang dianjurkan. Kondisi seperti ini yang menimbulkan
masalah di kalangan wanita dewasa awal, terutama dengan berat badan. Dimana
untuk menjaga berat badan dan penampilan, mereka membatasi diet mereka
sehingga banyak yang mengalami masalah kekurangan zat gizi tertentu.
Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur >
10 tahun adalah 93,6%. Secara nasional, prevalensi makanan berisiko yang paling
banyak dikonsumsi oleh penduduk umur > 10 tahun adalah penyedap (77,8%),
manis (68,1%), dan kafein (36,5%) (Depkes 2008).

Konsumsi Pangan Sumber Energi


Pangan sumber energi yang paling murah adalah karbohidrat dibandingkan
lemak dan protein. Kebutuhan karbohidrat menurut anjuran WHO (1995) adalah
55-75% dari total konsumsi energi. Pangan sumber karbohidrat utama berasal dari
kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Sedangkan pangan sumber energi
lainnya seperti lemak hanya dibutuhkan sekitar 15-30% dari total kebutuhan
energi. Pangan sumber lemak adalah minyak nabati seperti minyak kelapa sawit,
kacang-kacangan, margarin, susu, keju dan lainnya.
Selain karbohidrat dan lemak, protein juga mempunyai peran
menghasilkan energi. Sumber protein dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber
protein hewani dan sumber protein nabati. Sumber protein hewani diperoleh
melalui daging, telur, dan semua yang berasal dari hewan. Sedangkan nabati
berasal dari produk sayur sayuran seperti kacang kacangan, susu kedelai.
9

Konsumsi Vitamin dan Mineral


Vitamin merupakan zat organik yang umumnya tidak dapat dibentuk
dalam tubuh. Vitamin berperan sebagai katalisator organik, mengatur proses
metabolisme dan fungsi normal tubuh. Di dalam tubuh, vitamin mempunyai peran
utama sebagai zat pengatur dan pembangun bersama zat gizi lain melalui
pembentukan enzim, antibodi dan hormon. Masing-masing vitamin mempunyai
peranan khusus yang tidak bisa digantikan oleh vitamin atau zat gizi lainnya.
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak dan tahan terhadap panas
cahaya tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Vitamin A berfungsi
sebagai penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan, diferensiasi sel, reproduksi
dan kekebalan tubuh. Pangan sumber vitamin A dapat berasal dari bahan pangan
nabati seperti hati, kuning telur, susu, dan dari pangan nabati seperti sayuran daun
berwarna hijau, dan kuning. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan
pada mata, perubahan pada kulit, infeksi, dan gangguan pertumbuhan.
Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang diperlukan oleh tubuh dan
berfungsi untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh. Vitamin ini mudah larut
dalam air sehingga bila vitamin yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan, maka
akan dibuang melalui urine. Dosis rata-rata dibutuhkan bagi orang dewasa adalah
60-90 mg/hari dan batas maksimum yang diizinkan untuk mengkonsumsi vitamin
C adalah 1000 mg/hari. Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan gusi
berdarah, sariawan, nyeri otot atau gangguan syaraf. Makanan yang mengandung
vitamin C umumnya adalah buah-buahan dan sayuran.
Salah satu unsur penting dalam proses pembentukan sel darah merah
adalah zat besi. Secara alamiah zat besi diperoleh dari makanan. Kekurangan zat
besi dalam menu makanan sehari-hari dapat menimbulkan penyakit anemia gizi.
Fungsi zat besi antara lain adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan dan mengangkut elektron di dalam proses pembentukan energi yang
terjadi di dalam sel. Zat besi juga sangat penting dalam proses pembentukan
hemoglobin serta membantu sistem kekebalan tubuh dalam menangkal berbagai
serangan virus dan bakteri.
10

Berbagai macam jenis vitamin dan mineral seperti vitamin A, vitamin C,


asam folat dan zinc, serta berbagai macam jenis protein hewani mampu membantu
proses penyerapan zat besi dalam tubuh. Beberapa jenis makanan sumber zat besi
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu berasal dari hewan (hewani) dan berasal dari
sayur dan buah-buahan (nabati). Untuk produk hewani, sumber zat besi yang baik
yaitu daging merah, daging unggas, hati (ayam/sapi), telur, ikan tuna, sarden serta
jenis kerang-kerangan. Sedangkan untuk sumber zat besi yang berasal dari
sayuran dan buah-buahan antara lain bayam, brokoli, tahu, dan kedelai.
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recomended Dietary
Allowaness (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus
dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah
defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat
badan, tinggi badan, genetika, dan keadaan fisiologis, seperti hamil atau
menyusui. Berikut ini adalah AKG untuk kelompok umur wanita dewasa awal
(20-40 tahun) menurut Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004.
Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada wanita
Wanita
Zat gizi
19-29 tahun 30-49 tahun
Energi (Kkal) 1900 1800
Protein (g) 50 50
Vit A (RE) 500 500
Vit D (µg) 5 5
Vit E (mg) 15 15
AsamFolat (µg) 400 400
Besi (mg) 26 26
Seng (mg) 9,3 9,8
Selenium(µg) 30 30
Sumber : WKNPG (2004)
11

Status Gizi dan Masalah Gizi


Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan
penggunaan (utilization) zat gizi. Kekurangan gizi biasanya terjadi secara
tersembunyi dan sering luput dari pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk
mengetahui seorang ibu hamil yang menderita kekurangan zat gizi besi (anemia),
atau seorang bayi yang terganggu pertumbuhannya atau seorang anak sekolah
yang lemah tidak mampu mengikuti proses belajar karena kekurangan zat gizi
tertentu seperti iodium atau zat besi.
Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah
gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada
periode siklus kehidupan berikutnya. Masa kehamilan merupakan periode yang
sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak
sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi
perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga
jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah.
Kekurangan gizi biasanya terjadi secara tersembunyi dan sering luput dari
pengamatan biasa. Tidaklah mudah untuk mengetahui seorang ibu hamil yang
menderita kekurangan zat gizi besi (anemia), atau seorang bayi yang terganggu
pertumbuhannya atau seorang anak sekolah yang lemah tidak mampu mengikuti
proses belajar karena kekurangan zat gizi tertentu seperti iodium atau zat besi.
Berbagai penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa separuh
dari penyebab terjadinya BBLR adalah status gizi ibu pada saat hamil. Efek sisa
pada masa janin yang mengalami hambatan pertumbuhan akan mempunyai tinggi
badan yang tidak optimal pada usia dewasa. Remaja yang pendek berisiko
mempunyai kapasitas lebih rendah daripada rekannya yang tidak pendek. Remaja
tersebut tumbuh menjadi wanita dewasa yang merupakan calon ibu dan apabila
wanita tersebut hamil maka membutuhkan penambahan berat badan lebih besar
selama kehamilan. Jika penambahan berat badan tidak dapat terpenuhi maka akan
mempunyai risiko BBLR. Berikut dapat digambarkan alur perjalanan status gizi
wanita usia subur sebagai calon ibu:
12

-- Infeksi
Infeksi berulang
berulang - Infeksi: malaria, - Intik kurang
-- Intik kecacingan
Intik kurang
kurang - Jarak kehamilan pendek
- Intik kurang
- Anak terlalu banyak
- Hamil usia dini

Janin tumbuh BBLR, balita Puber, remaja Dewasa


terhambat kurang gizi kurang gizi kurang gizi

Efek sisa =ES ES ES

Ibu hamil

Gambar 1 Alur perjalanan status gizi wanita usia subur sebagai calon ibu (Achadi
2007 diadapsi dari ACC/SCN 2002)

Masalah Gizi Makro


Kurang Energi Kronis. Di Indonesia, ada sekitar 12-22% wanita usia 15-
49 tahun yang mengalami KEK. Prevalensi KEK lebih tinggi pada wanita yang
lebih muda dibandingkan pada wanita lebih tua (Atmarita 2005). Berdasarkan
hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, mengungkapkan bahwa prevalensi KEK
scara nasional pada wanita usia 19-45 tahun adalah 13,6%, dimana prevalensi di
wilayah pedesaan lebih tinggi (14,1%) dibanding perkotaan (13,0%) (Departemen
Kesehatan 2008).
Menurut Azwar (2004), di Indonesia ada sekitar sepertiga remaja dan
WUS menderita anemia gizi besi dan berlanjut pada masa kehamilan. Kekurangan
Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan
proporsi LILA < 23,5 cm, sebesar 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi
16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup
tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua,
kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung
melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada anak
usia balita. Menurut Achadi (2007), secara spesifik KEK disebabkan akibat dari
ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran
energi. Beberapa hal yang terkait dengan status gizi ibu adalah distribusi pangan
yang tidak merata dalam rumahtangga.
13

Di Uganda pada tahun 2006 ada sebanyak 12% wanita usia subur (usia 15-
49 tahun) mengalami KEK. Prevalensi KEK di wilayah ini mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, paling tinggi KEK terjadi pada wanita usia 35
tahun dan lebih. Selain masalah KEK, kejadian obesitas juga banyak terjadi pada
wanita usia subur. Pada tahun 2006, prevalensi obesitas adalah 17% lebih tinggi
dibandingkan prevalensi KEK pada wanita usia subur (Food and Nutrition
Technical Assistance II Project (Fanta-II) 2010).
Kegemukan/Obesitas. Selain masalah KEK, kegemukan juga banyak
terjadi pada kelompok usia WUS. Kegemukan dan obesitas merupakan salah satu
faktor risiko timbulnya penyakit degeneratif sebagai akibat dari perubahan gaya
hidup, perubahan pola makan ke arah tinggi karbohidrat, lemak dan garam serta
rendah serat serta rendahnya aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari.
Kejadian overweight dan obesitas tidak hanya terjadi pada kelompok
wanita dewasa, namun sudah banyak menimpa kelompok anak usia sekolah.
Survey dilakukan di 36 negara di Eropa, dimana prevalensi overweight dan
obesitas antara 5-30% pada anak usia 11 tahun. Dari hasil survey ini menunjukkan
bahwa laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi (15%) dibanding perempuan
(10%) yang hampir disemua negara pada semua umur. Kecuali pada usia 11
tahun di Denmark, Perancis, Netherland dan Inggris dan usia 13 tahun di Irlandia
menunjukkan bahwa perempuan mempunyai prevalensi overweight dan obesitas
lebih tinggi dibanding pada laki-laki (WHO 2009).
Prevalensi overweight dan obesitas pada anak Portugis usia 7-9 tahun
sebanyak 31,5%. Angka prevalensi overweight/obesitas pada perempuan lebih
tinggi dibanding laki-laki pada usia 7,5 tahun dan 9 tahun. Angka prevalensi ini
lebih rendah dibandingkan dengan Italia yang mencapai 36,0% anak yang
overweight/obesitas. Negara lain yang mempunyai prevalensi overweight/obesitas
tinggi adalah Yunani (31%) dan Spanyol (30%) (Padez et al 2004). Beberapa
faktor utama penyebab kegemukan dan obesitas adalah faktor genetik, fisiologis,
pola makan yang salah di masa lalu, dan perilaku atau gaya hidup.
14

Masalah Gizi Mikro


Anemia Gizi Besi. Zat besi adalah salah satu unsur penting dalam proses
pembentukan sel darah merah. Zat besi secara alamiah diperoleh dari makanan.
Kekurangan zat besi dalam makanan sehari-hari secara berkelanjutan dapat
menimbulkan penyakit anemia gizi. Tanda-tanda anemia gizi besi (AGB) antara
lain: pucat, lemah lesu, pusing dan penglihatan sering berkunang-kunang.
Besi dalam darah berada dalam bentuk hemoglobin yang terdapat di dalam
butir-butir darah merah (erythrocyte), dalam bentuk transferrin di dalam plasma
darah dan dalam serum feritin. Meskipun tidak cukup banyak, feritin juga didapati
di dalam butir-butir darah merah dan putih (leucocyte). Fungsi hemoglobin adalah
pembawa oksigen untuk keperluan pembakaran di dalam sel tubuh. Kadar
hemoglobin di dalam darah bergantung kepada umur, seks, nutrisi, kehamilan,
laktasi, altitude dan kesehatan individu (Piliang dan Al Haj 2006).
Menurut Isniati (2007), berdasarkan data SKRT (Survei Kesehatan Rumah
Tangga) tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi di Indonesia pada
kelompok usia 19-45 tahun sebanyak 39,5%. Laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19,7%
(Departemen Kesehatan RI 2008).
Di wilayah Uganda ada sebanyak 49% wanita usia subur mengalami
anemia (Hb<12,0g/dL) (Fanta-II 2010). Di wilayah Mexico, menunjukkan angka
rata-rata kadar Hb pada wanita tidak hamil (WUS) adalah 13,1 mg/dL dengan
prevalensi anemia sebesar 20,8% dan rata-rata 11,9 mg/dL pada wanita hamil
dengan prevalensi anemia 27,8%. Prevalensi anemia pada wanita tidak hamil
menunjukkan angka yang lebih tinggi di wilayah perdesaan dibandingkan
perkotaan (22,6% vs 20,0%) (Levy 2003).
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh National Food & Nutrition Centre
(NFNC) tahun 2007 yang dilakukan pada 749 wanita. Dari hasil survei tersebut
diperoleh bahwa 40% wanita yang di survei mengalami anemia. Prevalensi
anemia lebih banyak pada wanita India (51%) dibandingkan pada wanita Fijian
(33%).
Penyebab utama terjadi anemia terutama di negara-negara yang sedang
berkembang adalah penyerapan zat besi. Sumber terbaik dari besi adalah makanan
15

yang berasal dari daging, ikan dan telur, namun konsumsi jenis pangan ini rendah
pada masyarakat yang berpenghasilan rendah. Menurut Rolfes, Pinna, dan
Whitney (2008) menyatakan bahwa jumlah zat besi yang diserap dari makanan
hewani adalah sekitar 25%, sedangkan jumlah besi yang diserap dari biji-bijian
dan kacang-kacangan hanya 17%.
Penyebab anemia tidak hanya karena defisiensi zat besi, tetapi juga terkait
dengan rendahnya zat gizi mikro lainnya. Asam folat, vitamin A, vitamin C, dan
vitamin B12 berperan di dalam metabolisme besi, eritropoiesis dan regulasi
deposit zat besi. Untuk itu suplementasi zat besi saja akan lebih efektif jika
ditambahkan zat gizi lainnya. Studi menunjukkan penambahan vitamin tersebut
dapat memperbaiki status gizi secara keseluruhan (Ahmad et al. 2005; Dillon
2005).
Feritin. Cadangan zat besi yang tersimpan dalam tubuh tersedia dalam
bentuk ikatan feritin dan hemosiderin. Kedua macam zat ini terkumpul dan
tersebat di dalam jaringan tubuh tetapi sebagian besar disimpan di dalam hati,
limpa dan sumsum tulang. Kedua macam zat ini termasuk dalam golongan “non
heme iron”. Bila tubuh mengalami defisiensi zat besi dan memerlukan zat besi
untuk keperluan pembentukan hemoglobin dan keperluan lainnya di dalam tubuh,
maka feritin dan hemosidiren akan selalu melepaskan besi cadangannya (Piliang
dan Al Haj 2006).
Menurut Piliang dan Al Haj (2006), feritin yang terdapat di dalam darah
berbeda kadarnya antara wanita dan pria. Kadar rata-rata feritin di dalam serum
pria adalah 2-3 kali lebih banyak dibandingkan pada wanita. Pada orang yang
telah dewasa kadar feritin mencapai nilai rata-rata 39 ng/ml untuk wanita dan 140
ng/ml untuk pria.
Studi yang dilakukan Ani et al. (2010), menunjukkan bahwa ada sebanyak
47,1% wanita pasangan pengantin baru di wilayah Bali mengalami defisiensi besi
(feritin< 20 µg/dL). Ada sebanyak 51,9% wanita pasangan pengantin baru
memiliki kadar feritin serum antara 20-99 µg/dL.
Asam Folat. Asupan asam folat yang cukup sebelum dan selama
kehamilan akan mencegah timbulnya kecacatan tabung saraf (Neural Tube
Defects) NTDs pada bayi, yaitu spina bifida (kelainan pada tulang belakang) dan
16

anencephaly (kelainan dimana otak tidak terbentuk). Dengan asupan asam folat
yang cukup pada masa sebelum dan selama kehamilan yaitu sekitar 0,4 – 0,8 mg
per hari. Data mengenai angka prevalensi defisiensi asam folat di Indonesia belum
ada. Studi yang dilakukan Khan (2010) pada ibu hamil menunjukkan ada
sebanyak 20% yang mengalami defisiensi asam folat.
Vitamin A. Vitamin A merupakan zat gizi penting yang diperlukan untuk
menjaga sistem imun tubuh, kesehatan mata, pertumbuhan dan kelangsungan
hidup manusia. Kelompok anak-anak banyak menderita kekurangan vitamin A. Di
Indonesia, sejak tahun 1970-1990 telah ada program pemberian kapsul vitamin A
dengan dosis tinggi dua kali per tahun. Selama dua dekade, program tersebut
sukses dan mampu menurunkan prevalensi kekurangan vitamin A (xeroptalmia).
Namun demikian masih banyak anak usia <5tahun yang memiliki serum retinol
≤20µg/dl (Atmarita 2005).
Selain kelompok anak-anak, wanita usia subur juga masih rentan terhadap
masalah kekurangan vitamin A. Komposisi intik makanan yang kurang beragam
menjadi salah satu penyebab kekurangan zat gizi mikro. Kaitan kekurangan
vitamin A pada kelompok wanita berhubungan dengan morbiditas dan
produktivitas kerja.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi

Tingkat Pendapatan
Menurut Berg (1986) bahwa keluarga miskin akan menggunakan 70%-
80% pendapatannya untuk makanan dan apabila mereka memperolah tambahan
pendapatan maka bagian terbesar dari pendapatan tersebut akan digunakan untuk
membeli makanan. Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan
gizi dan kebiasaan makan setempat. Semakin tinggi pendapatan, maka semakin
bertambah peningkatan pengeluaran untuk pangan termasuk buah-buahan,
sayuran dan jenis makanan lainnya. Penduduk miskin biasanya akan
membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan dan penduduk
kaya lebih sedikit.
Penelitian yang dilakukan Megawangi (1991) di tiga propinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa pendapatan tidak berpengaruh positif terhadap status gizi
17

anak balita. Bagaimana hubungan antara pendapatan dan status gizi tidak secara
langsung, tetapi melalui variabel antara misalnya distribusi makanan dalam
keluarga, kesehatan dan keadaan sanitasi, pengetahuan dan keterampilan orang
tua, dan banyak faktor lainnya.
Girma dan Genebo (2002), mengungkapkan bahwa status ekonomi
merupakan salah satu faktor deteminan status gizi pada wanita di Ethiopia. Dalam
studinya menunjukkan bahwa wanita yang berada pada tingkat status ekonomi
sangat miskin/miskin mempunyai risiko mengalami gizi kurang dibandingkan
wanita yang berada pada tingkat status ekonomi sedang/tinggi.

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan
bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih
makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang
berpendidikan lebih rendah. Namun, apabila tingkat pendidikan umum yang lebih
tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi terutama ibu, ternyata
tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga.
Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ethiopia
(Yimer et al. 2000; Genebo et al. 1999) menunjukkan bahwa terjadi penurunan
insiden masalah gizi pada anak-anak dengan ibu yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi.
Penelitian Rahman dan Nasri (2009), menunjukkan bahwa ada hubungan
antara tingkat pendidikan dengan status gizi wanita. Hal ini dikarenakan wanita
dengan pendidikan yang tinggi mampu mengambil keputusan dan memilih jenis
pangan yang baik untuk dikonsumsi.

Besar Anggota Rumahtangga


Jumlah anggota rumahtangga merupakan salah satu faktor yang secara
tidak langsung mempengaruhi status gizi. Besar kecilnya keluarga akan
meningkatkan pengeluaran untuk pangan dan mempengaruhi distribusi pangan
pada anggota keluarga, sehingga secara langsung dapat menpengaruhi ketahanan
18

pangan tingkat rumahtangga. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga maka


akan berpengaruh pada kemampuan penyediaan pangan dan meningkatkan daya
saing ketika pangan terbatas.
Suhardjo (1989) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara
besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota
keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan
akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.
Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian
tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
Menurut penelitian Rajhans dan Sharma (2011) di India Tengah pada
kelompok populasi dewasa tua, berdasarkan hasil uji Chi-square (X2)
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dan
asupan energi pada kelompok wanita tua. Namun koefisien korelasi menunjukkan
negatif (r = -0,04; p>0,05) yang artinya terjadi penurunan asupan energi diikuti
dengan bertambahnya anggota keluarga.

Jenis Pekerjaan
Menurut Kartasapoetra dan Masetyo (2003), jenis pekerjaan merupakan
salah satu indikator besarnya pendapatan individu/keluarga. Diharapkan semakin
besar pendapatan seseorang atau sebuah keluarga, maka konsumsi pangan akan
menjadi lebih baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Girma dan Genebo (2002), dalam studinya menunjukkan bahwa wanita
yang tidak mempunyai pekerjaan mempunyai risiko KEK dibandingkan wanita
yang mempunyai pekerjaan. Hal ini karena, wanita yang mempunyai pekerjaan
akan memiliki tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
akses pangan dalam rumahtangga.
Berdasarkan hasil penelitian Rahman dan Nasri (2009), bahwa pekerjaan
merupakan faktor penting yang berhubungan sangat signifikan dengan status gizi
kurang pada istri. Hasil analisinya menunjukkan bahwa suami yang mempunyai
pekerjaan secara professional akan menurunkan proporsi defisiensi dibanding
pada suami yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau tidak bekerja. Dimana,
19

suami yang mempunyai pekerjaan professional mampu meningkatkan rata-rata


konsumsi energi sebesar 300 kkal.

Kebiasaan Merokok
Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi yaitu kelima di dunia
dengan jumlah rokok yang dikonsumsi (dibakar) pada tahun 2002 sebanyak 182
milyar batang rokok setiap tahunnya setelah Republik Rakyat China (1.697.291
milyar), Amerika Serikat (463.504 milyar), Rusia (375.000 milyar) dan Jepang
(299.085 milyar). Laporan Susenas menunjukkan prevalensi perokok pasif di
Indonesia sebesar 49%, yaitu 32% pada laki-laki dan 66% pada wanita. Pada
kelompok umur 15 tahun ke atas prevalensi perokok pasif pada wanita sebesar 69-
56%, sedangkan pada pria sebesar 51% pada umur 15-19 tahun dan terus menurun
hingga 5% pada umur di atas 50 tahun. Pada wanita berstatus menikah prevalensi
perokok pasif sebesar 70%, yang belum menikah sebesar 67%, dan yang cerai
sebesar 41%.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, menunjukkan bahwa
persentase nasional merokok setiap hari pada penduduk umur > 10 tahun adalah
23,7%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi merokok setiap hari pada
penduduk umur > 10 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu salah satunya adalah
Jawa Barat. Sedangkan perilaku minum alkohol menunjukkan adanya prevalensi
selama 12 bulan terakhir adalah 4,6% (Depkes 2008).
Perokok pasif mempunyai risiko lebih besar untuk menderita kanker paru-
paru dan penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir
rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asthma
dibandingkan perokok aktif. Karena itu meskipun tidak aktif merokok, wanita
dewasa sebagai perokok pasif membutuhkan suplementasi vitamin C atau
antioksidan lain dalam menghindari risiko kanker dan penyakit jantung akibat
asap rokok.
Sebuah studi di Kanada yang melihat pengaruh merokok terhadap fungsi
ovarium dan hasil kehamilan melaporkan bahwa dari 447 pasangan yang
mengikuti kegiatan, 124 wanita diantaranya merokok, serta 69 wanita berada
20

dalam masa kehamilan. Hasil studi tersebut adalah tidak terdapat pengaruh
signifikan antara merokok dengan gangguan fungsi ovarium, tetapi keguguran
lebih tinggi terjadi pada kelompok wanita hamil yang merokok (42,1%)
dibandingkan wanita hamil yang tidak merokok (18,9%) (Pattinson, Taylor, dan
Pattinson 1991).

Penyakit Infeksi
Infeksi merupakan kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agent
penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidak sama dengan
penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan. Ada hubungan antara
infeksi dengan kondisi status gizi (malnutrisi). Berdasarkan kerangka konsep
UNICEF mengungkapkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab
langsung terjadinya masalah gizi.
Menurut Supriasa et al. (2001), mengungkapkan bahwa umumnya infeksi
lokal mendapat respon metabolik bagi penderita yang disertai dengan kekurangan
gizi. Penyakit infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh
sehingga dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat
menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga dapat mempermudah
terkena infeksi.
Menurut Depkes (2008), menyatakan bahwa anak yang menderita gizi
kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan tubuh, sehingga
mudah untuk terserang penyakit infeksi. Disisi lain, anak yang terkena infeksi
cenderung mengalami gizi buruk.
Beberapa jenis penyakit infeksi yang mungkin banyak terjadi pada anak-
anak maupun pada kelompok usia lainnya seperti kelompok wanita usia subur
adalah diare, ISPA, maupun Tuberkolosis paru (paru TB). Diare umumnya
disebabkan oleh infeksi virus, parasit atau racun dari bakteri. Diare dapat juga
merupakan gejala dari penyakit seperti disentri, kolera atau botulisme.
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut. Istilah
ISPA meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. ISPA menjadi
salah satu penyebab terjadinya kematian bayi dan balita. Tanda-tanda dari kondisi
21

ini adalah batuk, pilek, nafas cepat dan atau kesulitan bernafas (Dina dan Maria
2003).

Faktor Risiko Status Gizi

Faktor risiko adalah karakteristik, tanda dan gejala pada individu yang
secara statistik berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit. Berdasarkan
penelitian Pryer, Rogers, Rahman (2003), menyatakan bahwa wanita yang bekerja
15-23 hari per bulan adalah 2,3 kali mempunyai BMI tinggi (OR= 2,33; 95%
CI:0,11-4,56). Studi lainnya menganalisis pengaruh merokok dan konsumsi kopi
terhadap konsepsi melaporkan bahwa dari 1341 primigravida yang mengikuti
kegiatan, wanita yang merokok memiliki kesuburan yang lebih rendah
dibandingkan wanita yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kopi (OR =
0,5-0,6) (Alderet, Eskenazi, dan Sholtz 1995).
Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi
wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi pengaruh penyakit infeksi
dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah satunya hasil penelitian
yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap malaria
dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR=3,50; 95% CI: 4,57-40,0
(Shulman et al. 2002). Selain itu, studi lainnya mengenai gambaran penyebab
kematian maternal di lima Rumah Sakit di Indonesia melaporkan bahwa
perdarahan, preeklamsia, dan infeksi merupakan penyebab kematian yang paling
banyak (Wiludjeng 2005).
Berdasarkan penelitian Assefa, Berhane, Worku (2012) menyatakan
bahwa kejadian BBLR di Ethiopia mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kesejahteraan keluarga (pendapatan) (OR=2,1;95% CI:1,42-3,05), LILA rendah
(OR=1,6; 95% CI:1,119-2,19), pemeliharaan selama kehamilan (OR=1,6; 95%
CI: 1,12-2,28), dan pengalaman ibu terhadap kekerasan selama kehamilan
(OR=1,7; 95% CI: 1,12-2,48).
Menurut Al Khatib et al. (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan
bahwa berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan bahwa feritin, plasma folat
dan sejarah kejadian anemia dalam keluarga merupakan penyebab anemia pada
wanita usia subur di Lebanon. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk melihat
22

pengaruh suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) pada WUS melaporkan


bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi anemia yaitu usia, jumlah kelahiran,
pendidikan, pola haid, status perkawinan, pengetahuan gizi, status gizi, dan pola
makan. Asupan asam folat dan vitamin C dilaporkan merupakan zat gizi dapat
mempengaruhi Hb. Hal yang menarik pada penelitian ini adalah bahwa risiko
anemia pada responden yang telah menikah 3,32 kali lebih tinggi dibandingkan
wanita yang belum menikah. Responden yang berpendidikan rendah memiliki
risiko anemia 2,05 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan
menengah dan tinggi. Hasil lainnya yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah
suplementasi TTD dapat meningkatkan kadar Hb, feritin, berat badan, dan IMT
(Mulyawati 2003).
Menurut Rice, West dan Black (1998) mengungkapkan bahwa ada
sebanyak 21,1% usia anak pra sekolah dan 5,6% ibu hamil mengalami kekurangan
vitamin A. Estimasi risiko relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan
vitamin A pada anak-anak adalah 1,86 (95% CI: 1,32–2,59) meninggal karena
campak, 2,15 (95% CI: 1,83–2,58) meninggal karena diare, 1,78 (95% CI: 1,43–
2,19) meninggal karena malaria, 1,13 (95% CI: 1,01–1,32) meninggal karena
penyakit infeksi. Sedangkan RR pada ibu adalah 4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua
penyebab menimbulkan kematian pada ibu.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Berdasarkan


kerangka konseptual status gizi yang telah disusun oleh UNICEF tahun 1997
menggambarkan bahwa faktor asupan gizi, pola asuh dan status kesehatan adalah
merupakan faktor yang secara langsung berperan terhadap status gizi seseorang.
Namun pada dasarnya lebih detail lagi masih banyak faktor tidak langsung yang
sangat dominan berpengaruh, seperti ketersediaan pangan, karakteristik individu,
ketersediaan sarana kesehatan, partisipasi masyarakat, lingkungan tempat tinggal dan
faktor lainnya. Kerangka tersebut telah banyak dipergunakan sebagai dasar
pemikiran di berbagai penelitian terkait masalah status gizi baik kurang gizi makro
dan mikro.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah gizi pada wanita usia
subur (WUS). Faktor karakteristik individu (usia, tingkat pendidikan, dan jenis
pekerjaan), faktor lingkungan seperti karakteristik suami (jenis pekerjaan, tingkat
dan tingkat pendidikan) dan karakteristik rumahtangga (besar rumahtangga, dan
pendapatan rumahtangga) serta kebiasaan merokok merupakan faktor tidak langsung
yang dapat mempengaruhi status gizi pada WUS.
Faktor-faktor yang langsung mempengaruhi status gizi pada WUS adalah
konsumsi pangan dan intik zat gizi, dan penyakit infeksi. Kerangka pikir secara
operasional dapat dilihat pada Gambar 2, yang menggambarkan alur pikir hubungan
antara variabel baik langsung dan tidak langsung.
24

Penyebab Tidak Penyebab Langsung : Output :


Langsung :

Konsumsi Pangan dan


Intik Zat Gizi:
- Jenis dan Jumlah
Karakteristik Contoh:
- Tingkat Kecukupan Zat
- Usia
Gizi
- Jenis Pekerjaan
- Densitas Zat Gizi
- Tingkat Pendidikan

Karakteristik suami:
- Usia
- Jenis Pekerjaan Status Gizi secara
- Tingkat Pendidikan antrophometri:
- IMT
- LILA
Karakteristik Status Gizi secara biokimia:
Rumahtangga : - Status Besi
- Besar Anggota - Status Asam Folat
Rumahtangga - Status Vitamin A
- Pendapatan
Rumahtangga

Kebiasaan Merokok:
- Jenis
- Frekuensi
Penyakit Infeksi

Gambar 2 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko status gizi pada WUS

Hipotesis

Hipotesis faktor-faktor risiko status gizi pada wanita usia subur di Bogor:
H0 : Usia contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan
suami, jenis pekerjaan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan
rumahtangga, penyakit infeksi, tingkat kecukupan gizi contoh secara individu atau
bersama-sama tidak berpengaruh terhadap status gizi.
H1 : Usia contoh, tingkat pendidikan contoh, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan
suami, jenis pekerjaan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan
rumahtangga, penyakit infeksi, tingkat kecukupan gizi contoh secara individu atau
bersama-sama berpengaruh terhadap status gizi.
METODE PENELITIAN

Disain, Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Disain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengambilan data
hanya dilakukan pada satu kali waktu saja. Penelitian dilaksanakan di wilayah
Kota Bogor yang meliputi 6 kecamatan. Data diambil dari bulan Nopember 2010
– Februari 2011. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian SEAFAST
Center – LPPM IPB kerjasama dengan PT Sari Husada yang berjudul “Konsumsi
Pangan dan Status Gizi pada Wanita Usia Subur, Ibu Hamil dan Ibu Menyusui di
Wilayah Bogor”

Cara Pengambilan Contoh

Populasi adalah wanita usia subur yang tinggal di wilayah Kota Bogor.
Jumlah contoh ditetapkan berdasarkan angka prevalensi kekurangan zat gizi mikro
atau menderita anemia pada kelompok wanita usia subur yaitu ada sekitar 20%
(Departemen Kesehatan 2008), dengan α=5% dan d=5,8%. Rumus yang
digunakan untuk menentukan jumlah sampel (Madiyono et al. 2008) :
Zα2PQ
n=
d2
keterangan: n = Jumlah sampel yang dibutuhkan
P = Perkiraan prevalensi masalah gizi
α = Tingkat kepercayaan 95%
d = Akurasi

Dengan menggunakan perhitungan rumus di atas, maka minimal jumlah


subyek yang dapat mewakili populasi WUS sebanyak 183 orang, dan untuk
mengantisipasi kemungkinan subyek drop out maka diambil sebanyak 200 orang.
Sampel dipilih berdasarkan pada persyaratan inklusi yaitu adalah kelompok
wanita usia subur yang sudah menikah dan sedang mempersiapkan kehamilan,
berusia antara 20-40 tahun, berbadan sehat dan/atau tidak mempunyai komplikasi
penyakit lainnya, berada pada kuintil 2, 3 dan 4 serta bersedia mengikuti kegiatan.
Total populasi ini akan digunakan analisis faktor risiko status gizi yang diukur
26

secara antrophometri (IMT dan LILA). Berikut adalah bagan pengambilan sampel
pada populasi WUS di Bogor.

Populasi WUS
Seleksi dengan kriteria inklusi:
- Sehat
- Telah menikah (usia: 20-40 tahun)
- Mempersiapkan kehamilan/tidak
sedang menggunakan alat KB

Calon Tidak
Stop
responden

Ya

Wawancara
dengan Kuesioner

Gambar 3 Cara pemilihan responden

Sub-sampel sebanyak 45 orang diambil untuk melakukan pemeriksaan


kadar hemoglobin darah (Hb), feritin, serum asam folat, dan serum retinol dengan
menggunakan jasa Laboratorium PRODIA - Bogor. Sub-sampel dihitung dengan
menggunakan rumus yang sama dengan pengambilan sampel di atas, namun
pertimbangan yang digunakan adalah dengan mengacu pada besarnya prevalensi
BBLR sebagai outcome akibat kekurangan gizi makro dan mikro pada WUS,
yaitu sebesar 11,1% (Depkes 2008), dengan α=5% dan d=10%. Dari perhitungan
ini diperoleh minimal sampel adalah 38 orang, untuk menghindari terjadinya drop
out maka diambil sebanyak 45 orang. Sub-sampel akan digunakan untuk analisis
faktor risiko status gizi yang diukur secara biokimia (Hb, feritin, asam folat dan
vitamin A).
27

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer meliputi


karakteristik contoh, karakteristik suami contoh, karakteristik keluarga, konsumsi
pangan contoh, kebiasaan merokok, status kesehatan dan status gizi contoh. Data
dikumpulkan melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner yang
terstruktur, pengukuran langsung dan analisis laboratorium.
Data konsumsi pangan harian diperoleh dengan metode food recalls 2x24
jam yang dikumpulkan menggunakan kuesioner food recalls 2x24 jam. Metode
food recalls 2x24 jam merupakan salah satu cara untuk mengukur konsumsi
pangan harian seseorang. Metode ini dipilih karena dianggap mudah, dan murah
namun mengandalkan ingatan yang baik pada responden. Menurut Gibson (2005),
food recalls 2x24 jam dianggap lebih mampu menggambarkan konsumsi pangan
dan zat gizi harian pada seseorang. Di Amerika Serikat, metode Recalls 2x24 jam
juga direkomendasikan untuk mengukur pola konsumsi pangan.
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data
No Jenis Data Cara Pengumpulan
1 Karakteristik contoh dan sumai (usia, Wawancara langsung dengan menggunakan
tingkat pendidikan, jenis pekerjaan) kuesioner
2 Karakteristik rumahtangga contoh Wawancara langsung dengan menggunakan
(jumlah anggota rumahtangga, kuesioner
pendapatan rumahtangga)
3 Penyakit Infeksi dan kebiasaan Wawancara langsung dengan menggunakan
merokok kuesioner
4 Konsumsi pangan harian Wawancara dengan menggunakan kuesioner Food
Recalls 2x 24 jam
5 Status gizi berdasarkan pengukuran
antrophometri : IMT :
- IMT - Microtoise (TB)
- Timbangan BB
- LILA Pita/meteran LILA
7 Status gizi berdsaarkan pengukuran Analisis laboratorium Prodia:
biokimia :
- Kadar Hb Peroxidation/Colorimetry
- Feritin Chemiluminescent Immunoassay (CMIA)
- Asam folat Chemiluminescent Immunoassay (CMIA)
- Vitamin A High Performance Liquid Chromatography - UV
28

Data anthropometri dikumpulkan meliputi berat dan tinggi badan. Untuk


pengukuran berat dan tinggi badan menggunakan alat timbang (SECA ketelitian
0,1 kg) dan statur meter (ketelitian 0,1 cm). Sampel darah diambil sebanyak 15 cc
dari pembuluh vena oleh tenaga kesehatan yang terlatih dari PRODIA. Analisa
kadar haemoglobin (Hb) menggunakan metode Peroxidation/Colorimetry, feritin
dan asam folat menggunakan metode Chemiluminescent Immunoassay (CMIA),
dan vitamin A dianalisis dengan metode High Performance Liquid
Chromatography - UV. Secara ringkas, jenis dan cara pengumpulan data dapat
dilihat pada Tabel 2.

Pengolahan dan Analisis Data

Sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data, terlebih dahulu


dilakukan pengecekan kelengkapan data di setiap kuesioner, entri data, verifikasi
data dan cleaning data. Data yang telah dikumpulkan diberi kode sesuai dengan
kode dalam code book. Seluruh data yang telah dikumpulkan dientri dengan
menggunakan software microsoft excel for windows. Cleaning data dilakukan
untuk melihat konsistensi data yang telah dientri.
Data karakteristik seperti tingkat pendidikan dilihat dari kelulusan
pendidikan formal contoh dan suami, yaitu SD, SLTP, SLTA dan PT. Data
pendapatan rumahtangga merupakan penjumlahan dari pendapatan seluruh
anggota keluarga baik dari hasil pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan
atau sumber lainnya selama satu bulan. Besar anggota rumahtangga dikategorikan
menjadi 3 yaitu rumahtangga kecil (≤ 4 orang); sedang (5-6) dan rumahtangga
besar (≥ 7 orang).
Konsumsi pangan yang diperoleh dengan food recalls 2x24 jam dikonversi
beratnya dalam gram, kemudian dihitung kandungan zat gizi yaitu energi (kkal),
protein (gr), vitamin A (RE), vitamin C (mg), dan zat besi (mg) dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Pangan tahun 2004, 2008, dan program
nutri survey tahun 2007. Konversi dihitung dengan rumus sebagai berikut :
29

Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100)

dimana;
Kgij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-j
Bj = Berat makanan-j yang dikonsumsi (gr)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan-j
BDDj = bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi kelompok WUS dihitung dengan
menggunakan Angka Kecukupan Gizi (WNPG 2004). Kategori tingkat konsumsi
energi dan protein yaitu <70% defisit berat, 70-80% defisit sedang, 80-90% defisit
ringan, dan >90% AKG kategori cukup. Tingkat konsumsi zat besi (Fe), vitamin
A, dan vitamin C dikategorikan berdasarkan kategori tingkat konsumsi vitamin
dan mineral seperti yang disebutkan dalam Gibson (2005). Tingkat konsumsi
digolongkan menjadi defisit jika kurang dari 77% (TK < 77%) dan normal jika
lebih dari sama dengan 77% (TK ≥ 77%).
Dari data food recalls juga akan dihitung densitas pangan yang bertujuan
untuk mengetahui komposisi konsumsi pangan individu tertentu apakah kaya gizi
tertentu atau tidak. Densitas pangan dihitung dengan membandingkan rasio
standar kalori FAO yaitu 1000 kkal dengan asupan kalori aktual per individu
dikalikan dengan konsumsi zat gizi tertentu. Rumus densitas pangan sebagai
berikut :
Densitas zat gizi “a” = 1000 kkal Energi X Konsumsi zat gizi “a”
Konsumsi kkal aktual

Keterangan : a = protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin C

Semakin tinggi nilai densitas zat gizi tertentu maka menunjukkan bahwa
individu tersebut mengkonsumsi pangan yang kaya akan zat gizi tertentu. Densitas
pangan diukur untuk setiap individu. Kategori densitas masing-masing zat gizi
dihitung berdasarkan rumus :
Kategori densitas zat gizi “a” = 1000 kkal Energi X Angka Kecukupan zat gizi “a”
Angka Kecukupan Energi
30

Status anemia diukur berdasarkan kadar Hb hasil analisis darah, dengan


kategori anemia jika konsentrasi Hb <12 g/dL (INACG/WHO/UNICEF dalam
Gibson (2005), cadangan besi dalam tubuh diukur dengan serum feritin dengan
batasan < 12µg/L. Status asam folat dikatakan defisiensi jika serum folat < 3
ng/mL dan status vitamin A dikatakan defisiensi jika serum retinol <50 µg/dL.
Data antropometri yang menggambarkan keadaan status gizi contoh diolah
menggunakan indeks massa tubuh (IMT), dengan rumus:
Berat Badan (Kg)
IMT=
Tinggi Badan (m2)
Berdasarkan nilai IMT tersebut, maka status gizi diklasifikasikan dengan
menggunakan kriteria Departemen Kesehatan RI tahun 1994 (Azwar 2002).
Secara ringkas pengkategorian variabel ditampilkan pada Tabel 3 di bawah ini :

Tabel 3 Klasifikasi variabel penelitian


Variabel Kategori n
1. Karakteristik Contoh : 200 dan 45
 20-29 tahun
a. Usia
 30-40 tahun
 Tidak sekolah
 SD/sederajat
 SMP/sederajat
b. Pendidikan
 SMA/sederajat
 Diploma
 Sarjana
 Ibu rumah tangga (IRT)
 Wiraswasta
 Pembantu rumah tangga (PRT)
c. Pekerjaan  Pedagang
 Guru
 Buruh pabrik
 Karyawan swasta
2. Karakteristik Suami : 200 dan 45
 20-29 tahun
a. Usia
 30-40 tahun
 Tidak sekolah
 SD/sederajat
b. Pendidikan  SMP/sederajat
 SMA/sederajat
 Diploma
31

Variabel Kategori n
 Sarjana
 Karyawan swasta
 Buruh pabrik
 Penyedia jasa
 Wiraswasta
c. Pekerjaan
 Pedagang/petani
 Polisi/satpam
 PNS/guru
 Tidak bekerja
3. Karakteristik Rumahtangga 200 dan 45
 Kecil (≤ 4 orang)
a. Besar Rumahtangga  Sedang (5-7 orang)
 Besar (≥ 8 orang)
b. Pendapatan  Kurang (< Rp 971.200/kap/bulan)
Rumahtangga  Cukup (≥ Rp 971.200/kap/bulan)
 Ya 200 dan 45
4. Kebiasaan Merokok
 Tidak
 Menderita 200 dan 45
5. Penyakit Infeksi
 Tidak Menderita
6. Konsumsi Zat Gizi 200 dan 45
 Defisit tingkat berat (<70% AKG)
a. Tingkat Konsumsi  Defisit tingkat sedang (70-80% AKG)
Energi dan Protein  Defisit tingkat ringan (80-90% AKG)
 Normal (>90% AKG)
b. Tingkat Konsumsi  Defisit (< 77% AKG)
Vitamin A, C dan Fe  Normal (≥77% AKG)
7. Densitas Zat Gizi 
 Kurang (<27 g) 200
a. Densitas Protein
 Cukup (≥27 g)
 Kurang (<14 mg)
b. Densitas Zat Besi
 Cukup (≥14 mg)
 Kurang (<270 RE)
c. Densitas Vitamin A 45
 Cukup (≥270 RE)
 Kurang (<41 mg)
d. Densitas Vitamin C
 Cukup (≥41 mg)
8. Status Gizi yang Diukur Secara Antrophometri 200
 Gizi lebih (IMT≥25,0)
a. Gizi Makro (IMT)  Gizi normal (18,5<IMT<25,0)
 Gizi kurang (IMT < 18,5)
b. Gizi Makro (LILA)  Normal (LILA≥ 23,5 cm)
 Kurang (LILA<23,5 cm)
32

Variabel Kategori n
9. Status Gizi Mikro yang Diukur Secara Biokimia 45
a. Hb  Normal (≥ 12 g/dL)
 Anemia (< 12 g/dL)
b. Feritin  Normal (≥ 12 µg/L)
 Defisien Besi (< 12 µg/L)
c. Asam Folat  Normal (≥ 3 ng/mL)
 Defisien Folat (< 3 ng/mL)
d. Vitamin A  Normal (> 50 µg/dL)
 Defisien Vitamin A (≤ 50 µg/dL)

Pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan software SPSS


VS 17 untuk menentukan faktor risiko status gizi kurang pada wanita usia subur.
Data yang telah dientri dan dinyatakan clean dilakukan analisis secara statistik.
Analisis data meliputi:
Analisis Univariat
Analisis univariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi
frekuensi dan proporsi dari semua variabel yang diteliti, meliputi variabel
dependen (status gizi), dan variabel independen (konsumsi pangan, kebiasaan
merokok, penyakit infeksi, karakteristik contoh, karakteristik suami dan
karakteristik keluarga). Nilai sebaran ditunjukkan dengan nilai rata-rata dalam
populasi (mean), standar deviasi (standar deviation), nilai minimum dan nilai
maksimum.

Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
antara variabel independen dengan status gizi WUS. Analisis dilakukan dengan
menggunakan uji chi square. Dalam menentukan variabel yang dapat masuk ke
dalam analisis logistik, maka kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan
adalah p<0,05.

Analisis Multivariat

Analisis multivariat yang digunakan untuk dapat menarik kesimpulan akhir


dari penelitian ini digunakan analisis logistic regression (regresi logistik) karena
keluaran variabel data bersifat dikotomi. Melalui analisis ini dapat dihitung nilai
33

odds ratio (OR). Adapun model regresi logistik untuk analisis faktor tidak
langsung dan langsung :
Faktor tidak langsung:

Y = Log F =
1-F
β0+βFU+βFTP+βFJK+βFTPS+βFJKS+βFPRT+βPRT+βBRT+βFMR
βAG+βPI+βDG+ε
Keterangan faktor tidak langsung:
F = Fungsi kumulatif
β0 = Konstanta
βFU = Faktor usia responden
βFTP = Faktor tingkat pendidikan responden
βFJK = Faktor jenis pekerjaan responden
βFTPS = Faktor tingkat pendidikan suami
βFJKS = Faktor jenis pekerjaan suami
βFPRT = Faktor pendapatan rumahtangga
βFBRT= Faktor besar rumahtangga
βFMR = Faktor kebiasaan merokok
βAG = Faktor asupan gizi
βDG = Faktor densitas zat gizi
βPI = Faktor penyakit infeksi
ε = Galat
Y = LILA, IMT, Anemia, Defisien Besi, Status Vitamin A

Definisi Operasional

Contoh adalah wanita usia subur (usia 20-40 tahun) yang telah menikah dan
sedang merencanakan kehamilan.

Umur adalah lama hidup contoh (tahun) yang dihitung sejak contoh dilahirkan
sampai ulang tahun terakhir.

Pendidikan contoh/suami adalah tingkat pendidikan formal yang berhasil


ditamatkan oleh contoh dan suami, yang diukur berdasarkan lamanya
pendidikan (tahun).

Pendapatan per kapita per bulan adalah keseluruhan hasil dari melakukan
pekerjaan selama satu bulan yang dilakukan oleh para anggota rumahtangga
dibagi jumlah anggota dalam satu rumahtangga.

Pekerjaan adalah jenis aktivitas kerja yang dilakukan contoh dan suami yang
berhubungan dengan penghasilan dan masih dilaksanakan saat ini.

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu
rumah dengan contoh baik kelompok anak, remaja dan dewasa yang menjadi
tanggungan hidup dalam keluarga.
34

Kebiasaan merokok adalah perilaku contoh dalam memilih dan mengkonsumsi


rokok dalam sehari.

Penyakit infeksi adalah kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agen


penyakit menular ke dalam tubuh manusia yang, bentuk penyakit infeksi ini
berupa TB paru, ISPA, diare, dll yang diderita contoh satu bulan yang lalu

Konsumsi pangan adalah menggambarkan konsumsi pangan harian contoh baik


konsumsi pangan tungggal maupun beragam untuk memperoleh sejumlah
zat gizi sumber energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat gizi besi dan gizi
lainnya yang diperlukan oleh tubuh.

Status gizi adalah gambaran kondisi seseorang dari hasil keseimbangan antara
asupan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh, dinilai dari pengukuran
antropometri dan biokimia.

Status gizi kurang adalah kondisi seseorang dari hasil keseimbangan antara
asupan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh yang ditunjukkan dengan
IMT <18,5 cm dan LILA <23,5 cm yang menunjukkan adanya risiko kurang
energi kronik (KEK).

Status anemia adalah kondisi contoh yang mengalami kekurangan zat besi yang
ditunjukkan dengan kadar Hb, dikatakan anemia jika kadar Hb <12 g/dL.

Status feritin adalah kondisi cadangan besi dalam tubuh yang diukur dalam
serum darah, dengan batasan apabila defisiensi besi jika serum feritin < 12
µg/L

Status anemia gizi besi adalah kondisi contoh yang mengalami kekurangan Hb
<12 g/dL dan serum feritin < 12 µg/L

Status Vitamin A adalah kondisi vitamin A dalam tubuh yang diukur dalam
serum darah dengan batasan apabila defisiensi vitamin A maka serum
retinol ≤ 50 µmol/dL.

Status asam folat adalah kondisi asam folat dalam tubuh yang diukur dalam
serum darah, dengan batasan apabila defisiensi asam folat maka serum folat
<3 ng/mL.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Lokasi Penelitian

Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor. Wilayah Bogor merupakan potensi yang
strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan
nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata.
Kondisi iklim di Kota Bogor memiliki suhu rata-rata tiap bulan 26 oC
dengan kisaran antara 21,8oC - 30,4oC. Kelembaban udara 70%, dengan curah
hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500 – 4.000 mm yang merupakan curah
hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari.
Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 hektar terdiri dari enam
kecamatan dan 68 kelurahan. Kemudian secara administratif kota Bogor terdiri
dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk
desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi
dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah
Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut:
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec.
Sukaraja Kabupaten Bogor.
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten
Bogor.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten
Bogor.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin,
Kabupaten Bogor.
Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2009 yakni sebanyak 1.061.440 jiwa
yang terdiri dari laki-laki 543.570 jiwa dan perempuan 517.870 jiwa, dengan
kepadatan penduduk 9.077 jiwa per hektar. Laju pertumbuhan penduduk (LPP)
Kota Bogor tahun 2008 adalah 2,9%, dimana LPP Kota Bogor tersebut lebih
tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2005
dan 2020-2025 menurut BPS (2011) yakni 0,9%.
36

Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang diteliti dalam penelitian ini meliputi usia


responden, jenis pekerjaan responden, dan tingkat pendidikan responden.

Usia Responden

Usia menjadi salah satu kriteria inklusi dalam memilih responden.


Responden yang dipilih berkisar antara usia 20-40 tahun. Kelompok usia tersebut
merupakan usia produktif. Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata usia
responden adalah 29,4 tahun. Berdasarkan pengkategorian usia menurut WNPG
tahun 2004, diketahui bahwa sebagian besar responden berada pada kisaran 20-29
tahun (52,5%) yang berarti termasuk ke dalam usia aman untuk hamil dan
sebanyak 47,5% berada pada kisaran usia 30-40 tahun. Sebanyak 22,2%
responden dalam penelitian ini berusia > 35 tahun yang termasuk ke dalam usia
yang berisiko untuk hamil. Sebaran usia pada responden dapat dilihat pada Tabel
4.

Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan usia


Total populasi Sub-sampel
Usia Responden
n % n %
a. 20-29 tahun 105 52,5 24 53,3
b. 30-40 tahun 95 47,5 21 46,7
Total 200 100,0 45 100,0

Data sub sampel menggambarkan bahwa lebih dari separuh responden


53,3% berusia 20-29 tahun dan sebanyak 46,7% berusia 30-40 tahun. Dari 45
orang responden yang diuji darah, 24,4% berusia ≥ 35 tahun yaitu merupakan usia
berisiko terhadap kehamilan. Menurut Depkes (2001), usia > 35 tahun
meningkatkan risiko pada kehamilan seperti pendarahan, hipertensi, obesitas,
diabetes, myoma uteri, persalinan yang lama, serta penyakit-penyakit lainnya. Hal
tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sistiarani (2008),
dimana dalam penelitian yang melibatkan 23 kasus kehamilan dengan usia < 20
tahun dan > 35 tahun, serta 46 kontrol diperoleh bahwa usia < 20 tahun dan > 35
tahun dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah (OR = 4,28; 95% CI: 1,48-
12,40). Disamping itu, temuan dalam studi lainnya menyebutkan bahwa umur ibu
37

merupakan faktor risiko penyulit persalinan yang memerlukan tindakan, dimana


usia ibu saat hamil yang berusia < 20 tahun atau ≥ 35 tahun memiliki risiko 4 kali
lebih tinggi mengalami persalinan yang sulit dibandingkan ibu yang berusia 20-35
tahun (Supriyati, Doeljachman, dan Susilowati 2000). Penelitian lain
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara usia dengan status gizi
pada wanita di Ethiopia, dimana prevalensi gizi kurang banyak terjadi pada usia
muda dibanding usia tua (Girma dan Genebo 2002).

Jenis Pekerjaan Responden

Jenis pekerjaan seseorang akan berpengaruh pada jumlah pendapatan yang


diperoleh seseorang. Menurut Suhardjo (1989), jenis pekerjaan yang berhubungan
dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan
kuantitas makanan. Pada Tabel 5 menggambarkan sebaran responden berdasarkan
jenis pekerjaannya, dimana diketahui bahwa sebagian besar responden (80,5%)
merupakan ibu rumah tangga (IRT). Namun demikian, ada sekitar 19,5%
responden memiliki jenis pekerjaan yang selain IRT. Jenis pekerjaan tersebut
adalah sebagai wiraswasta, pedagang, pembantu rumah tangga, guru, bahkan
sebagai buruh pabrik.
Data sub-sampel menunjukkan ada sebanyak 82,2% responden merupakan
ibu rumah tangga (IRT). Namun demikian ada sekitar 17,8% responden memiliki
jenis pekerjaan yang selain IRT. Jenis pekerjaan tersebut adalah sebagai
wiraswasta, pedagang, guru, dan pembantu rumah tangga.
Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan
Total populasi Sub - sampel
Jenis Pekerjaan
n % n %
a. Ibu rumah tangga (IRT) 161 80,5 37 82,2
b. Wiraswasta 10 5,0 3 6,7
c. Pembantu rumah tangga (PRT) 9 4,5 1 4,4
d. Pedagang 7 3,5 2 4,4
e. Guru 6 3,0 2 2,2
f. Buruh pabrik 3 1,5 0 0,0
g. Karyawan swasta 4 2,0 0 0,0
Total 200 100,0 45 100,0
38

Girma dan Genebo (2002), menyatakan bahwa wanita yang bekerja


mempunyai peluang 1,2 kali lebih rendah berisiko gizi kurang dibandingkan pada
wanita yang tidak bekerja yaitu 1,5 kali. Pryer, Rogers, Rahman (2003),
menyatakan bahwa wanita yang bekerja 15-23 hari per bulan adalah 2,3 kali
mempunyai BMI tinggi (OR=2,33; 95% CI:0,11-4,56).

Tingkat Pendidikan Responden


Dalam sebuah keluarga, biasanya ibu atau isteri adalah penentu
pengambilan keputusan dalam memilih bahan pangan. Data pada Tabel 6
menunjukkan bahwa persentase paling besar responden merupakan lulusan
SMA/Sederajat yaitu 36,5%, namun demikian, adapula yang merupakan lulusan
dari universitas yaitu lulusan diploma sebanyak 1,5% dan lulusan Sarjana
sebanyak 5,5%. Dari Tabel 6 juga menunjukkan bahwa terdapat sebagian kecil
(0,5%) responden yang ternyata tidak sekolah (tidak lulus SD/sederajat). Rata-rata
lama pendidikan yang ditempuh oleh responden adalah 9,5 tahun. Tingkat
pendidikan yang umumnya berkaitan dengan pengetahuan gizi tentang informasi
gizi dan kesehatan yang akhirnya akan mendorong perilaku makan yang baik.
Sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan responden sub-sampel, Tabel 6
juga menggambarkan bahwa persentase paling besar responden merupakan
lulusan SD/Sederajat yaitu 37,8%. Sebanyak 33,3% responden berpendidikan
SMA/sederajat, sedangkan sisanya tersebar dalam tingkat pendidikan
SMP/sedarajat (24,4%) dan sarjana (4,4%).

Tabel 6 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan


Tingkat Pendidikan Total populasi Sub-sampel
n % n %
a. Tidak sekolah 1 0,5 0 0,0
b. SD/sederajat 64 32,0 17 37,8
c. SMP/sederajat 48 24,0 11 24,4
d. SMA/sederajat 73 36,5 15 33,3
e. Diploma 3 1,5 0 0,0
f. Sarjana 11 5,5 2 4,4
Total 200 100,0 45 100,0
39

Karakteristik Rumahtangga

Peran serta keluarga sebagai salah satu dukungan yang paling dominan
untuk mempersiapkan kehamilan, terutama dalam hal ini adalah peran suami
dalam memelihara status gizi istrinya sejak persiapan kehamilan hingga masa
kehamilan. Ekowati, Kamaluddin, dan Febriani (2007), mengemukakan hasil
penelitiannya mengenai peran suami dalam pemeliharaan status gizi ibu hamil
yakni bahwa peran suami belum optimal dalam memahami peran dan hubungan
yang sinergi antara suami dan istri dalam pembagian peran secara adil sehingga
tercipta lingkungan yang harmonis bagi perkembangan janin secara fisik maupun
psikologisnya. Beberapa faktor yang diungkapkan menjadi faktor penyebab
kurang optimalnya peran suami tersebut adalah pengetahuan yang rendah
mengenai kehamilan dan kebutuhan gizi ideal, faktor ekonomi keluarga, serta
faktor pemahaman terhadap kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan
tanggung jawab keluarga. Pada penelitian ini, karakteristik rumahtangga yang
diteliti meliputi usia suami, jenis pekerjaan suami, tingkat pendidikan suami, besar
anggota rumahtangga dan pendapatan rumahtangga.

Usia Suami

Data pada Tabel 7 menunjukkan sebaran usia suami responden yang juga
berkisar antara 20-40 tahun. Usia suami tidak menjadi kriteria pemilihan
responden. Rata-rata usia suami responden adalah 33,9 tahun lebih tua
dibandingkan usia istri. Sebagian besar suami berusia antara 30-40 tahun (74,5%),
dan sisanya berada pada kisaran usia 20-29 tahun (25,6%). Hasil penelitian
menunjukkan sebaran usia suami pada sub-sampel responden berkisar antara 20-
40 tahun yakni sebesar 24,4% dan ≥ 30 tahun sebesar 75,6%.

Tabel 7 Distribusi responden berdasarkan usia suami


Usia Suami Total populasi Sub-sampel
n % n %
a. 20-29 tahun 149 74,5 11 24,4
b. 30-40 tahun 51 25,5 34 75,6
Total 200 100,0 45 100,0
40

Jenis Pekerjaan Suami

Data pada Tabel 8 menggambarkan keberagaman jenis pekerjaan suami


responden. Sebanyak 26,5% suami responden bekerja sebagai karyawan swasta,
24,0% sebagai buruh pabrik, 18,0% sebagai penyedia jasa dan 14,5% sebagai
wiraswasta. Hanya sebagian kecil suami responden sebagai petani, PNS/Guru
maupun Polisi/Satpam. Namun demikian, sebesar 1,0% suami responden tidak
bekerja. Berdasarkan keberagaman jenis pekerjaan tersebut, tentu keluarga yang
suaminya tidak memiliki pekerjaan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Data sub-sampel menunjukkan hampir seluruh suami adalah bekerja
(97,8%), hanya sebesar 2,2% suami responden yang tidak bekerja. Jenis pekerjaan
suami responden terbanyak yaitu karyawan swasta (24,4%) dan buruh pabrik
(24,4%), sisanya tersebar ke dalam jenis pekerjaan sebagai penyedia jasa,
wiraswasta, PNS/guru, dan polisi/satpam. Jenis pekerjaan suami umumnya akan
berpengaruh pada besar kecilnya pendapatan yang diperoleh. Suami sebagai
kepala rumah tangga biasanya memberikan kontribusi terbesar dalam hal
perolehan pendapatan keluarga bahkan sebagian keluarga menjadi pendapatan
utama.

Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan suami


Jenis Pekerjaan Total populasi Sub-sampel
n % n %
a. Karyawan swasta 53 26,5 11 24,4
b. Buruh pabrik 48 24,0 11 24,4
c. Penyedia jasa 36 18,0 9 20,0
d. Wiraswasta 29 14,5 9 20,0
e. Pedagang/petani 13 6,5 1 2,2
f. Polisi/satpam 11 5,5 1 2,2
g. PNS/guru 8 4,0 2 4,4
h. Tidak bekerja 2 1,0 0 0,0
Total 200 100,0 45 100,0

Berdasarkan hasil penelitian Rahman dan Nasri (2009), bahwa pekerjaan


merupakan faktor penting yang berhubungan sangat signifikan dengan status gizi
41

kurang pada istri. Hasil analisinya menunjukkan bahwa suami yang mempunyai
pekerjaan secara profesional akan menurunkan proporsi defisiensi gizi dibanding
pada suami yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau tidak bekerja. Dimana,
suami yang mempunyai pekerjaan profesional mampu meningkatkan rata-rata
konsumsi energi sebesar 300 kkal.

Tingkat Pendidikan Suami

Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan


dan keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat
tergantung pada kualitas pendidikan. Secara umum tingkat pendidikan suami
responden (Tabel 9) yaitu lulusan SMA/sederajat (48,5%), sebanyak 24,0% lulus
SMP/sederajat, dan 22,5% suami responden merupakan lulusan SD/sederajat.
Sekitar 5,0% suami responden merupakan lulusan universitas baik jenjang
diploma (1,0%), dan 4,0% lulusan sarjana. Rata-rata lama sekolah yang ditempuh
oleh suami lebih tinggi dibandingkan lama sekolah isteri yaitu 10,1 tahun.
Tabel 9 juga menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat pendidikan, suami
responden sub-sampel merupakan lulusan SMA/Sederajat (48,9%). Sebanyak
26,7% lulus SMP/Sederajat, 22,2% suami responden merupakan lulusan
SD/Sederajat, dan sekitar 2,2% suami responden merupakan lulusan universitas
yaitu jenjang sarjana .

Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan suami


Tingkat Pendidikan Total populasi Sub-sampel
n % n %
a. Tidak sekolah 0 0,0 0 0,0
b. SD/sederajat 45 22,5 10 22,2
c. SMP/sederajat 48 24,0 12 26,7
d. SMA/sederajat 97 48,5 22 48,9
e. Diploma 2 1,0 0 0,0
f. Sarjana 8 4,0 1 2,2
Total 200 100,0 45 100,0

Menurut Rahman dan Nasri (2009) menyatakan bahwa tingkat pendidikan


suami merupakan faktor penting yang berhubungan signifikan dengan status gizi
kurang pada istri. Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai suami
42

dengan tingkat pendidikan tinggi memberikan proporsi lebih rendah untuk


terjadinya defisiensi.

Besar Anggota Rumahtangga

Besar anggota rumahtangga akan mempengaruhi pendapatan perkapita dan


pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak
kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Pangan yang tersedia untuk satu rumahtangga, mungkin tidak akan cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tetapi hanya mencukupi
sebagian dari anggota rumahtangga itu.
Data pada Tabel 10 menggambarkan bahwa sebagian besar (77,0%)
keluarga mempunyai jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang (rumahtangga kecil).
Sebaliknya hanya sebagian kecil (0,5%) saja keluarga responden merupakan
rumah tangga dengan kategori besar (anggota ≥ 8 orang). Rata-rata jumlah
anggota rumahtangga responden adalah sebanyak 4 orang. Data pada Tabel 10
juga menggambarkan bahwa sebagian besar (73,3%) keluarga sub-sampel
mempunyai jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang yang disebut keluarga kecil.
Sebaliknya hanya sebagian kecil (27,6%) keluarga responden sub-sampel
merupakan rumahtangga dengan kategori sedang (anggota 5-7 orang). Rata-rata
responden sub-sampel memiliki anggota rumahtangga sebanyak 4 orang.

Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan besar anggota rumahtangga


Besar Anggota Total populasi Sub-sampel
Rumahtangga n % n %
a. Kecil (≤ 4 orang) 154 77,0 33 73,3
b. Sedang (5-7 orang) 45 22,5 12 27,6
c. Besar (≥ 8 orang) 1 0,5 0 0,0
Total 200 100,0 45 100,0

Menurut penelitian Rajhans dan Sharma (2011) di India Tengah pada


kelompok populasi dewasa tua, berdasarkan hasil uji Chi-square (X2)
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dan
asupan energi pada kelompok wanita tua. Namun koefisien korelasi menunjukkan
43

negatif (r = -0,04; p>0,05) yang artinya terjadi penurunan asupan energi diikuti
dengan bertambahnya anggota keluarga.

Pendapatan rumahtangga

Pendapatan merupakan sumberdaya material bagi seseorang/keluarga yang


dapat digunakan untuk membiayai semua kebutuhan baik pangan maupun non
pangan. Jumlah pendapatan yang diperoleh akan menggambarkan besarnya daya
beli. Meningkatnya pendapatan perorangan juga dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Namun demikian, pengeluaran
uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya
konsumsi pangan. Hal ini karena kadang perubahan utama yang terjadi dalam
kebiasaan makan adalah pangan yang dikonsumsi lebih mahal. Pendapatan
keluarga merupakan gabungan dari pendapatan seluruh anggota keluarga yang
bekerja. Pendapatan perkapita merupakan hasil bagi dari pendapatan total dengan
jumlah anggota keluarga.
Pada Tabel 11, diketahui bahwa hampir seluruh keluarga (94,0%)
responden mempunyai pendapatan perkapita perbulannya di bawah dari UMR
Kota Bogor (< Rp 971.200,-) dengan kata lain termasuk kategori kurang.
Sedangkan hanya sekitar 6,0% yang mempunyai pendapatan perkapita di atas
UMR Kota Bogor (≥ Rp 971.200,-). Selain itu, hampir seluruh keluarga (95,6%)
responden sub-sampel mempunyai pendapatan perkapita perbulannya di bawah
dari UMR Kota Bogor (< Rp 971.200,-) dengan kata lain termasuk kategori
kurang. Sedangkan hanya sekitar 4,4% responden yang mempunyai pendapatan
perkapita di atas UMR Kota Bogor (≥ Rp 971.200,-).

Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan pendapatan rumahtangga


Pendapatan Rumahtangga Total populasi Sub-sampel
n % n %
a. Kurang (< Rp 971.200) 188 94,0 43 95,6
b. Cukup (≥ Rp 971.200) 12 6,0 2 4,4
Total 200 100,0 45 100,0

Rata-rata pendapatan/kap/bulan responden yaitu Rp 435.526. Besar atau


kecilnya pendapatan perkapita sebuah rumahtangga tergantung pada besarnya
44

jumlah pendapatan yang diperoleh anggota keluarga yang bekerja dan jumlah
anggota keluarga. Berdasarkan penelitian Rahman dan Nasri (2009),
mengungkapkan bahwa status sosial ekonomi keluarga adalah salah satu pengaruh
paling penting terhadap status gizi pada wanita Ethiopia. Studi ini
membandingkan antara wanita dengan status ekonomi yang sedang/tinggi dengan
wanita dengan status ekonomi sangat miskin/miskin, dimana status gizi kurang
banyak terjadi pada keluarga sangat miskin/miskin. Hal ini mengindikasikan
bahwa ada kaitan positif antara status ekonomi keluarga dengan ketahanan pangan
keluarga.
Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong
oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi
perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan
gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada
umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989). Pendapatan juga
menunjukkan hubungan yang yang positif dengan semua variabel asupan gizi
kecuali asupan vitamin C (Obong, Enugu dan Uwaegbute 2001)
Di negara industri, kejadian anemia pada wanita terjadi pada status sosio
ekonomi yang rendah. Defisiensi besi penyebab utama terjadinya anemia pada
kelompok dengan pendapatan rendah. Anemia akut yang terjadi pada wanita
hamil berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian ibu dan bayi dan
meningkatkan angka kesakitan (WHO, 2000; WHO/CDC, 2008). Menurut
Amsalu dan Tigabu (2008), mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa besar
anggota keluarga (>3 orang) dan tingkat pendapatan rumahtangga yang rendah
merupakan faktor risiko terjadinya gizi kurang dengan OR=1,96; 95% CI: 1,04-
3,73 dan OR=3,44; 95% CI: 1,66-7,20.

Kebiasaan Merokok

Perilaku merokok dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan.


Seseorang yang sudah terlanjur kecanduan rokok sangat sulit untuk berhenti,
padahal kebiasaan tersebut tidak memberikan manfaat yang positif bagi
kesehatan. Merokok telah banyak menimbulkan berbagai penyakit, diantaranya
kanker paru, penyakit jantung, stroke, penyakit kardiovaskuler. Bagi wanita yang
45

hamil dan perokok dapat menimbulkan gangguan kehamilan seperti terjadi


kelahiran dengan berat bayi lahir rendah, ataupun keguguran.
Terdapat dua jenis rokok yang umum beredar di masyarakat yaitu rokok
filter dan rokok kretek (non filter). Rokok kretek tidak dilengkapi dengan filter
yang berfungsi untuk mengurangi asap rokok, sehingga kandungan nikotinnya
lebih besar dibandingkan rokok filter (Susanna, Hartono, dan Fauzan 2003). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa 2,2% responden merokok dengan jenis rokok
filter dan 2,2% responden merokok dengan jenis rokok non filter.
Kebiasaan merokok berpengaruh pada kondisi kesehatan, terlebih jika
sedang mempersiapkan kehamilan. Oleh sebab itu, kebiasaan tersebut harus
dihentikan karena terdapat zat-zat berbahaya yang dapat mempengaruhi
kehamilan seperti karbon monoksida, sianida, dan nikotin. Pada penelitian ini,
diketahui bahwa dari 4,4% responden yang merokok, satu diantaranya merokok
dengan frekuensi 4 kali/hari dan lainnya merokok dengan frekuensi 1 kali/hari.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hampir seluruh responden
(95,6%) responden sub-sampel tidak merokok, sedangkan terdapat 4,4%
responden yang merokok dengan frekuensi 4 kali/hari dan 1 kali/hari. Menurut
hasil penelitian Dallongenville, Mare’caux, Fruchart dan Amouyel (1998)
menunjukkan bahwa orang yang perokok cenderung mempunyai perilaku
konsumsi pangan yang tinggi mengandung energi, lemak, lemak jenuh, kolesterol
dan alkohol serta rendah konsumsi pangan sumber antioksidan dan serat
dibandingkan pada orang yang tidak merokok.
Sebuah studi di Kanada yang melihat pengaruh merokok terhadap fungsi
ovarium dan hasil kehamilan melaporkan bahwa dari 447 pasangan yang
mengikuti kegiatan, 124 wanita diantaranya merokok, serta 69 wanita berada
dalam masa kehamilan. Hasil studi tersebut adalah tidak terdapat pengaruh
signifikan antara merokok dengan gangguan fungsi ovarium, tetapi keguguran
lebih tinggi terjadi pada kelompok wanita hamil yang merokok (42,1%)
dibandingkan wanita hamil yang tidak merokok (18,9%) (Pattinson, Taylor, dan
Pattinson 1991). Studi lainnya menganalisis pengaruh merokok dan konsumsi
kopi terhadap konsepsi melaporkan bahwa dari 1341 primigravida yang mengikuti
kegiatan, wanita yang merokok memiliki kesuburan yang lebih rendah
46

dibandingkan wanita yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kopi (OR =
0,5-0,6) (Alderet, Eskenazi, dan Sholtz 1995).

Konsumsi Pangan dan Asupan Zat Gizi

Jenis dan Jumlah Konsumsi Pangan

Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor.


Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi
pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Jenis pangan yang
dikonsumsi oleh responden sangat beragam. Data pada Tabel 12 menunjukkan
keragaman konsumsi pangan baik makanan dan minuman yang dikelompokkan
menjadi 10 kelompok pangan dari hasil data recall pangan 2 x 24 jam. Dari 10
kelompok pangan, konsumsi minuman memberikan kontribusi terbesar yaitu
53,8% (1133,7 g/kap/hari) dari konsumsi total. Jenis minuman yang paling banyak
dikonsumsi adalah air putih, teh, kopi, sirup, dan jus buah. Selanjutnya konsumsi
sereal dan olahannya sebesar 24,2% (511,1 g/kap/hari). Jenis makanan yang
banyak dikonsumsi oleh responden pada kelompok serealia adalah nasi, mie, dan
pangan yang diolah dari tepung terigu.

Tabel 12 Jenis dan jumlah konsumsi pangan responden


Berat Kontribusi
Kelompok Pangan
(g/kap/hr) (%)
1. Sereal dan hasil olahannya 511,1 24,2
2. Daging dan hasil olahannya 45,1 2,2
3. Ikan dan hasil olahannya 23,0 1,1
4. Telur dan hasil olahannya 20,1 1,0
5. Susu dan hasil olahannya 64,6 3,1
6. Kacang-kacangan dan hasil olahannya 67,7 3,2
7. Sayur dan hasil olahannya 138,8 6,6
8. Buah dan hasil olahannya 29,1 1,4
9. Minuman 1133,7 53,8
10. Makanan jajanan 75,6 3,6
Total 2108,7 100,0

Konsumsi kelompok sayur dan hasil olahannya seperti sayur sup, bayam,
sawi, wortel, dan toge tumis memberikan kontribusi 6,6% (138,8 g/kap/hari); dan
47

konsumsi susu, kacang-kacangan dan makanan jajanan memberikan kontribusi


sekitar 3% (64-75 g/kap/hari). Sedangkan untuk konsumsi susu, ikan, daging dan
buah hanya memberikan kontribusi paling sedikit yaitu sekitar 1-2% (20-45
g/kap/hari) dari konsumsi total. Keragaman jenis konsumsi pangan tersebut
menunjukkan kualitas jenis konsumsi pangan yang baik.

Densitas Zat Gizi

Konsumsi pangan-pun sebaiknya mempertimbangkan densitas zat gizi.


Densitas zat gizi merupakan rasio kandungan zat gizi terhadap kandungan energi
total bahan makanan tersebut (per 1000 kkal). Jika suatu bahan makanan memiliki
kandungan beberapa zat gizi yang tinggi densitas gizi dan cukup rendah
kandungan energinya maka bahan makanan tersebut disebut padat gizi
(Drenowski 2005). Rata-rata densitas zat gizi yang diperoleh dari rata-rata
pengeluaran pangan responden yakni Rp 8.986 kap/hari adalah protein
(32,7±6,7 g), zat besi (17,9±32,7 mg), vitamin A (306,5±574,7 RE), dan
vitamin C (19,9±31,8 mg). Hal tersebut berarti bahwa untuk mendapatkan
densitas zat gizi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan dari konsumsi pangan
responden, misalnya untuk zat besi yaitu 26 mg maka pengeluaran WUS yang
diperlukan adalah dua kali lipat yaitu Rp 19.972 kap/hari.

Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan densitas protein


Densitas Protein Total populasi Sub-sampel
n % n %
a. Kurang (< 27 mg) 45 22,5 10 22,2
b. Cukup (≥ 27 mg) 155 77,5 35 77,8
Total 200 100,0 45 100,0
Pada Tabel 13 menggambarkan bahwa ada sebanyak sekitar 22%
responden secara total dan sub-sampel mempunyai densitas protein dengan
kategori kurang. Hal ini menunjukkan bahwa menu makan yang dikonsumsi oleh
responden miskin akan zat gizi yang mengandung protein.
Pada Tabel 14 menggambarkan densitas besi, vitamin A dan vitamin C
pada responden sub-sampel. Lebih dari 50% rseponden sub-sampel
mengkonsumsi pangan yang rendah zat besi, vitamin A dan vitamin C.
48

Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan densitas zat gizi


Densitas Zat Gizi Sub-sampel
n %
Zat Besi
a. Kurang (<14 mg) 27 60,0
b. Cukup (≥14 mg) 18 40,0
Total 45 100,0
Vitamin A
a. Kurang (<270 RE) 25 55,6
b. Cukup (≥270 RE) 20 44,4
Total 45 100,0
Vitamin C
a. Kurang (<41 mg) 37 82,2
b. Cukup (≥41 mg) 8 17,8
Total 45 100,0

Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Tingkat konsumsi pangan lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan


kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat
gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan
kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan,
sehingga untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan
kuantitas harus dapat terpenuhi.
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan
energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam
bentuk lemak sebagai cadangan energi jangka panjang (WNPG 2004).
Rata-rata konsumsi energi responden adalah 1.435 kkal/kap/hari.
Kelompok pangan yang memberikan kontribusi terbesar adalah sereal dan hasil
olahannya yaitu 742 kkal/kap/hari (51,7%) dari total konsumsi. Selanjutnya
makanan ringan memberikan kontribusi 204 kkal/kap/hari (14,2%); kacang-
kacangan 166 kkal/kap/hari (11,6%) lebih besar dibandingkan konsumsi
kelompok pangan lainnya seperti ikan, daging, telur, susu, sayur dan buah yang
49

hanya memberikan kontribusi berkisar antara 3-4% (40-60 kkal/kap/hari) dari


total konsumsi total responden.
Tabel 15 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi
Rata-rata
Konsumsi (kap/hari) AKG % AKG Kekurangan
Konsumsi
Energi (kkal) 1.435 1.853 77,4 -418
Protein (g) 47 50 93,3 -3
Zat besi (mg) 25 26 95,0 -1
Vitamin A (RE) 445 500 89,0 -5
Vitamin C (mg) 28 75 37,0 -47

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi aktual rata-rata


responden masih dibawah angka yang seharusnya. Tabel 15 menunjukkan
gap/selisih antara konsumsi aktual dengan yang dianjurkan berdasarkan angka
kecukupan gizi pada wanita usia subur. Pada tabel tersebut menujukkan bahwa
konsumsi gizi makro (energi dan protein) dan gizi mikro (zat besi, vitamin A dan
Vitamin C) masih rendah dibawah angka yang dianjurkan. Konsumsi yang rendah
pada WUS yang sedang mempersiapkan kehamilan dapat menimbulkan masalah
gizi makro dan mikro pada saat kehamilan nanti.

Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein


Energi (%) Protein (%)
Tingkat Konsumsi Total Sub- Total Sub-
Populasi sampel Populasi sampel
Defisit tingkat berat (<70% AKG) 45,0 48,9 27,0 22,2
Defisit tingkat sedang (70-80% AKG) 15,0 8,9 14,0 17,8
Defisit tingkat ringan (80-90% AKG) 11,5 15,6 15,5 22,2
Normal (>90% AKG) 28,5 26,7 43,5 37,8

Tingkat konsumsi energi dan protein merupakan hasil dari semua


konsumsi pangan dan merupakan indikasi dari perilaku pemilihan pangan yang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil penelitian (Tabel 16) menunjukkan bahwa
sebagian besar responden mengalami defisit energi (71,0%) dan protein (56,0%).
Terdapat sebanyak 45,0% responden yang mengalami defisit energi dan 27,0%
kurang protein dalam kategori tingkat berat. Sedangkan data sub-sampel
menunjukkan bahwa lebih dari separuh sub-sampel responden mengalami defisit
50

energi (73,4%) dan protein (62,2%). Sebanyak 48,9% responden yang mengalami
defisit energi dan 22,2% defisit protein dalam kategori tingkat berat.
Konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dapat mempengaruhi status
gizi, dimana hal tersebut telah banyak dibuktikan, seperti penelitian Priswanti
(2005), dimana dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi
energi dengan LILA. Studi lain yang dilakukan oleh Simarmata (2004) juga
melaporkan hal serupa bahwa tingkat konsumsi energi (OR=2,23) dan protein
(OR=4,57) mempengaruhi LILA.
Zat gizi yang harus diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan WUS tidak
hanya terbatas pada energi dan protein saja, tetapi juga zat gizi lainnya seperti
vitamin dan mineral. Terkait dengan defisiensi gizi besi yang sering terjadi pada
WUS maka konsumsi zat gizi yang perlu diperhatikan adalah zat besi, vitamin A
(pembentukkan sel darah), dan vitamin C (mempengaruhi penyerapan zat besi).
Berdasarkan tingkat konsumsinya maka diketahui bahwa sebanyak 70,0%
responden termasuk dalam kelompok yang defisit konsumsi zat besi, 62,5%
kurang vitamin A, dan 88,0% defisit konsumsi vitamin C (Tabel 17). Sedangkan
sub-sampel menunjukkan bahwa sebanyak 71,1% responden termasuk defisit zat
besi, 53,3% defisit vitamin A, dan 86,7% defisit vitamin C.

Tabel 17 Tingkat konsumsi zat besi, vitamin A, dan vitamin C


Besi (%) Vit. A (%) Vit. C (%)
Tingkat
Total Sub- Total Sub- Total Sub-
Konsumsi
Populasi sampel Populasi sampel Populasi sampel
Defisit
70,0 71,1 62,5 53,3 88,0 86,7
(< 77% AKG)
Normal
30,0 28,9 37,5 46,7 12,0 13,3
(≥77% AKG)

Pervaiz, Gillani, Alia dan Qayyum (2000) yang melakukan penelitian pada
kelompok wanita usia subur yang dipilih dari wanita yang menyusui dengan
membagi tiga kelompok sosial ekonomi yaitu rendah, sedang dan tinggi. Hasil
penelitiannya menunjukkan secara keseluruhan konsumsi energi, protein dan
vitamin A 2.275±40,50 kkal, 65±14,35 g dan 442±182,0 µg/kap/hari, dimana
tingkat konsumsi gizi masih dibawah angka yang dianjurkan. Berdasarkan hasil
51

uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan konsumsi zat gizi yang signifikan
pada ketiga kelompok tersebut.

Penyakit Infeksi

Infeksi merupakan kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agent


penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidak sama dengan
penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan. Ada hubungan antara
infeksi dengan kondisi status gizi (malnutrisi). Berdasarkan kerangka konsep
UNICEF mengungkapkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab
langsung terjadinya masalah gizi.
Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan penyakit infeksi
Penyakit Infeksi Total populasi Sub-sampel
n % n %
a. Menderita 155 77,5 31 68,9
b. Tidak menderita 45 22,5 14 31,1
Total 200 100,0 45 100,0

Pada Tabel 18 menunjukkan bahwa sebanyak 77,5% responden satu bulan


sebelum diambil data menderita penyakit penyakit infeksi, sedangkan yang tidak
menderita penyakit infeksi sebesar 22,5%. Pada Tabel 18 juga menunjukkan
bahwa sebanyak 68,9% responden sub-sampel satu bulan sebelum diambil data
menderita penyakit penyakit infeksi, sedangkan yang tidak menderita penyakit
infeksi sebesar 31,1. Penyakit infeksi disebabkan oleh sebuah agen biologi
(seperti virus, bakteri atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka
bakar) atau kimia (seperti keracunan).
Jenis penyakit infeksi yang diderita oleh responden satu bulan yang lalu
adalah flu, diare, thipus, dan radang. Data pada Tabel 19 menggambarkan bahwa
sebanyak 49,0% responden menderita penyakit flu, 21,0% mengalami radang,
sebanyak 6,5% mengalami diare dan hanya 1,0% yang sakit thipus. Sedangkan
tidak ada satupun responden yang mengalami TBC, demam berdarah, dan malaria
sebulan yang lalu. Beberapa jenis penyakit infeksi yang banyak terjadi pada usia
dewasa antara lain influenza, diare, ISPA, maupun TBC. Hal tersebut disebabkan
52

gaya hidup pasif dan pola makanan yang tidak sehat sehingga terjadi gangguan
sistem kekebalan tubuh (Purwaningsih 2007).
Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi
wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi pengaruh penyakit infeksi
dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah satunya hasil penelitian
yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap malaria
dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR = 3,50; 95% CI: 4,57-40,0
(Shulman et al. 2002).

Tabel 19 Distribusi responden berdasarkan jenis penyakit/infeksi


Jenis Penyakit Infeksi n %
a. Flu 98 49,0
b. Radang 42 21,0
c. Diare 13 6,5
d. Tipus 2 1,0
e. TBC 0 0,0
f. Demam berdarah 0 0,0
g. Malaria 0 0,0

Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang banyak terjadi di Nepal.
Ada sebanyak 78% (anak usia sekolah), 68% (wanita) dan 75% wanita hamil
menderita anemia. Anemia akut ditemukan sebanyak 2,2% pada wanita dan 3,1%
pada anak usia 6-23 bulan. Rendahnya status vitamin A, kadar Hb pada wanita di
Nepal erat kaitannya dengan adanya infeksi. Selain itu, ada hubungan yang kuat
antara rendahnya konsumsi energi dan protein dengan asupan protein (Rai, Hirai,
Abe, dan Ohno 2002).

Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Antropometri

Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai
akibat dari konsumsi penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan dalam
jangka waktu yang lama. Mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup dan
beragam dapat membawa ke arah status gizi yang baik. Status gizi yang diukur
secara anthropometri digambarkan oleh IMT (indeks massa tubuh) dan LILA
(lingkar lengan atas).
53

Status Gizi Berdasarkan IMT

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau


status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan.Berat badan normal merupakan idaman bagi setiap orang
untuk menacapai tingkat kesehatan yang optimal. Keuntungan apabila berat badan
normal adalah penampilan baik, lincah dan risiko sakit rendah. Berat badan yang
kurang dan berlebihan akan menimbulkan risiko terhadap berbagai macam
penyakit. Pengukuran status gizi menggunakan indeks IMT hanya berlaku untuk
orang dewasa di atas 18 tahun. Namun tidak tepat jika digunakan pada balita,
anak-anak, remaja, ibu hamil, dan para olahragawan. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan responden adalah 153 ± 5,3 Cm dan
rata-rata berat badan 54±11 Kg.
Tinggi badan yang rendah pada remaja atau dewasa wanita berhubungan
dengan kekurangan gizi selama masa kanak-kanak yang akhirnya akan
memberikan dampak pada ukuran IMT. Menurut WHO (1995) tinggi badan yang
kurang (TB < 145 cm) meningkatkan risiko kelahiran melalui sesar. Dengan
kategori ini, maka ada sebanyak 3,0% responden dalam penelitian ini yang
mempunyai risiko untuk melahirkan secara sesar. Rata-rata nila IMT responden
pada penelitian ini adalah 23,1±4,1.
Tabel 20 Distribusi responden berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Status Gizi n %
a. Gizi lebih (IMT≥25,0) 62 31,0
b. Gizi normal (18,5<IMT<25,0) 110 55,0
c. Gizi kurang (IMT < 18,5) 28 14,0
Total 200 100,0
Pada Tabel 20, menggambarkan bahwa lebih dari separuh (55,0%)
responden mempunyai status gizi normal (18,5<IMT<25,0), dan sebanyak 31,0%
responden yang memiliki status gizi lebih (IMT≥25,0). Namun demikian, adapula
responden yang mengalami gizi kurang dengan IMT < 18,5 (14,0%). Apabila
ditinjau secara nasional menurut data Survei Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010,
diketahui bahwa sebaran penduduk dewasa diatas 18 tahun yang memiliki IMT <
18,5 yaitu 12,6 % dan yang memiliki IMT ≥ 25 yaitu 21,7%. Hal tersebut berarti
54

menunjukkan bahwa sebaran responden berdasarkan penelitian dan angka sebaran


nasional tidak jauh berbeda.
Status gizi pada orang dewasa juga dapat diukur dengan menggunakan
indikator lingkar lengan atas. Salah satu ukuran untuk mengetahui risiko KEK
(kurang energi kronis) pada WUS adalah ukuran lingkar lengan atas (LILA)
< 23,5 Cm. Hasil penelitian (Tabel 21) menunjukkan bahwa rata-rata LILA WUS
pada penelitian ini adalah 27,4±3,8 Cm. Data menunjukkan bahwa sebagian besar
(87,5%) responden mempunyai LILA dengan kategori normal (LILA≥ 23,5 cm).
Namun, ada sekitar 12,5% responden yang mempunyai ukuran LILA kurang dari
23,5 cm. Hal ini berarti ada sebanyak 12,5% responden WUS yang mempunyai
risiko KEK. Angka tersebut ternyata tidak berbeda jauh dengan angka KEK
nasional yaitu 13,6% (Depkes 2010).

Tabel 21 Distribusi responden berdasarkan Lingkar Lengan Atas (LILA)


Status Gizi n %
a. Gizi Kurang (<23,5 cm) 25 12,5
b. Gizi Normal (≥ 23,5 cm) 175 87,5
Total 200 100,0

Keragaan Status Gizi yang Diukur Secara Biokimia

Status gizi yang diukur secara biokimia yaitu dengan mengukur kadar Hb,
feritin, asam folat dan vitamin A hanya digambarkan oleh sub-sampel dari
responden WUS yaitu sebanyak 45 orang. Berikut adalah gambaran kondisi
responden terhadap status Hb, feritin, asam folat dan vitamin A.

Status Besi
Status besi responden digambarkan dengan kadar Hb dan kadar fertin.
Status Hb pada WUS diukur dengan mennggunakan menggunakan metode
Peroxidation/Colorimetry, yang diperlukan untuk mengetahui apakah seorang
WUS menderita anemia (Hb < 12 g/dl) atau tidak menderita anemia (Hb ≥ 12
g/dl). Anemia pada WUS dapat meningkatkan risiko anemia pada kehamilan
karena rendahnya cadangan besi dalam tubuh. Sedangkan selama kehamilan,
55

anemia dapat menjadi faktor penyebab prematur, berat bayi lahir rendah, serta
kematian ibu dan anak.
Menurut Banda (2004) ada hubungan yang kuat antara status gizi ibu dan
anak. Anak-anak dengan status anemia ternyata 82% ibunya adalah anemia.
Tingakt keparahan anemia ibu konsisten dengan status anaknya, dimana anak
yang mempunyai status anemia parah berasal dari ibu dengan anemia parah dan
anak dengan anemia sedang cenderung berasal dari ibu dengan anemia dengan
kategori sedang pula.

Tabel 22 Distribusi responden berdasarkan status besi


Status Besi n %
Hemoglobin (Hb)
a. Anemia (< 12 g/dL) 5 11,1
b. Normal (≥ 12 g/dL) 40 88,9
Total 45 100.0
Feritin
a. Defisien besi (< 12 µg/L) 6 13,3
b. Normal (≥ 12 µg/L) 39 86,7
Total 45 100,0
Status Besi
a. Anemia gizi besi 2 4,4
b. Normal 43 95,6
Total 45 100,0

Pada Tabel 22, dapat dilihat bahwa sebanyak 88,9% responden tidak
mengalami anemia (normal), hanya 11,1 % responden yang menderia anemia.
Apabila ditinjau dari data SKRT (Survei Riset Kesehatan Rumah Tangga) tahun
2004, persentase anemia yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah
dibandingkan prevalensi nasional yakni 39,5%. Namun, apabila ditinjau dari
laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) maka persentase anemia yang
diperoleh dalam penelitian tidak jauh berbeda dengan prevalensi anemia wanita
dewasa (>15 tahun) yakni sebesar 19,7%. Rata-rata kadar Hb yang diperoleh
dalam penelitian yaitu 13,2 ± 1,2 g/dL, berkisar antara 9,2 – 15,3 g/dL.
Meskipun penentuan status besi seringkali menggunakan pengukuran Hb,
namun kesalahan klasifikasi sering terjadi karena overlap antara rentang nilai Hb
pada orang normal dan defisiensi besi sehingga perlu digunakan pengukuran lain
56

seperti status feritin. Status feritin diukur dengan menggunakan metode


Chemiluminescent Immunoassay (CMIA), yang berfungsi untuk mendukung
penentuan status besi karena konsentrasi serum feritin paralel dengan
penyimpanan zat besi (1 µg/L sama dengan 10 mg cadangan besi), sehingga
benar-benar dapat menggambarkan kekurangan zat besi, kelebihan zat besi, dan
normal.
Berdasarkan Tabel 22, diketahui bahwa sebanyak 86,7% responden
memiliki status feritin normal (feritin ≥ 12µg/L), hanya 13,3 % responden yang
menderita defisien besi (< 12 µg/L). Persentase tersebut ternyata jauh lebih rendah
dibandingkan dengan hasil studi yang dilakukan Ani et al. (2010), dimana
prevalensi pasangan pengantin baru di wilayah Bali yang mengalami defisien besi
yakni 47,1%. Rata-rata kadar serum feritin yang diperoleh dalam penelitian adalah
70,0 ± 50,5µg/L, berkisar 2,7 – 184,0µg/L. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa ada sebanyak 4,4% responden WUS yang mengalami anemia yang
disebabkan karena kekurangan besi.

Status Asam Folat


Asam folat merupakan zat gizi yang sangat berperan alam sintesis DNA
dan kekurangan folat selama kehamilan akan berpengaruh pada risiko neural tube
defects (Gibson 2005). Oleh karena itu, konsumsi asam folat pada WUS harus
diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan, sehingga risiko yang mungkin akan
terjadi selama kehamilan terkait dengan rendahnya cadangan gizi dalam tubuh ibu
dapat diminimalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden
(100,0%) tidak menderita defisiensi asam folat (3-17 ng/mL), dengan rata-rata
17,6 ± 5,2 ng/mL, berkisar 9,3 – 35,8 ng/mL. Penelitian lain (Zhu et al. 2010)
yang dilakukan di Cina bagian Utara yang merupakan daerah dengan insiden NTD
tinggi mengungkapkan ada sebanyak 24% wanita dari populasi 1.671 wanita usia
subur yang tidak hamil yang mengalami defisien asam folat (<6,8 nmol/L).
Terkait dengan anemia atau kondisi dimana tubuh tidak memiliki sel darah
merah yang cukup, kurangnya asupan asam folat dapat menyebabkan
berkurangnya sel darah merah (eritrosit), sehingga disebut anemia defisiensi asam
folat. Menurut Antony (2008), asam folat dibutuhkan untuk pembentukkan dan
57

perkembangan eritrosit. Pada anemia akibat defisiensi asam folat ukuran sel darah
merah besar secara abnormal. Sel darah merah yang besar tersebut disebut
megalosit atau megaloblas dalam sumsum tulang, sehingga dinamakan
megaloblastic anemia. Faktor risiko megaloblastic anemia yaitu alkoholisme,
makan sayuran terlalu masak, gizi buruk (kurang makan sayuran), dan kehamilan.

Status Vitamin A

Vitamin A berperan penting mempertahankan fungsi imunitas dalam


tubuh, serta terkait dengan anemia maka vitamin A berperan dalam penyerapan
zat besi. Menurut Gibson (2005), defisiensi yang parah dari beberapa zat gizi pun
dapat menstimulasi defisiensi vitamin A, seperti energi dan protein. Pada
penelitian ini, vitamin A dianalisis dengan metode High Performance Liquid
Chromatography – UV. Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih dari separuh
responden (64,4%) menderita kurang vitamin A (≤ 50 µg/L), sedangkan sisanya
memiliki status vitamin A normal (> 50 µg/L) (Tabel 23). Rata-rata kadar vitamin
A yakni 49,8 ± 21,8 µg/dL, berkisar 13,4 – 109,5µg/dL.

Tabel 23 Distribusi responden berdasarkan status Vitamin A


Status Gizi n %
a. Defisien Vitamin A (≤ 50 µg/dL) 29 64,4
b. Normal (> 50 µg/dL) 16 35,6
Total 45 100,0

Status Defisiensi Multi Gizi Mikro


Kondisi status gizi mikro responden menunjukkan adanya defisiensi multi
gizi mikro. Sebagian besar responden mempunyai status vitamin A rendah
(64,4%), dan 13,3% mengalami defisiensi besi. Ada sebanyak 4,4% responden
yang menderita anemia gizi besi dan mengalami anemia gizi besi & vitamin A.
Tabel 22 juga menggambarkan ada sebanyak 11,1% responden mengalami anemia
saja; anemia & defisien besi; dan defisiensi besi & vitamin A (Tabel 24).
Kajian mengenai defisien multi gizi mikro pada wanita usia subur belum
banyak ditemukan, penelitian yang dilakukan Zhu et al. (2010) pada wanita usia
subur di Lebanon mengungkapkan ada sebanyak 16,0% dan 27,2% WUS yang
58

menderita anemia dan defisien besi, serta dari total responden (407 WUS usia 15-
49 tahun) ada sebanyak 7,7% menderita anemia gizi besi. Defisiensi folat dan
Vitamin B12 masing-masing sebanyak 25,1% dan 39,4%, dan ada sebanyak
12,6% menderita defisiensi folat dan vitamin B12.

Tabel 24 Distribusi responden berdasarkan defisien multi gizi mikro

Defisiensi Gizi Mikro n %


Anemia 5 11,1
Defisiensi besi 6 13,3
Defisiensi vitamin A 29 64,4
Anemia gizi besi 2 4,4
Anemia dan defisiensi vitamin A 5 11,1
Defisien besi dan vitamin A 5 11,1
Anemia gizi besi dan vitamin A 2 4,4

Kajian lain yang dilakukan Pathak (2004) pada wanita hamil menghasilkan
ada sebanyak 54,9% wanita hamil mengalami defisien Zc dan Fe; 25,6% defisien
Mg dan Fe; 9,3% defisien Zc, Mg, Fe, asam folat dan sebesar 0,8% mengalami
defisien Zc, Mg, Fe, asam folat, dan iodin. Berdasarkan analisis regresi
menunjukkan bahwa penyebab terjadinya masalah defisien multi gizi mikro
adalah rendahnya konsumsi zat gizi, rendahnya frekuensi konsumsi kelompok
pangan yang kaya dengan zat gizi mikro tertentu dan jarak kelahiran yang pendek.

Hubungan Antar Variabel

Uji hubungan dilakukan dengan menggunakan metode Chi Square (X2)


dengan tabel 2x2. Uji hubungan antar variabel-variabel baik tidak langsung dan
langsung terhadap status gizi pada WUS digambarkan pada Tabel 25-34.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan IMT


Hasil uji hubungan antar variabel dengan IMT pada responden
menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat pendidikan responden yang
berhubungan sangat signifikan dengan IMT (P=0,017). Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Rahman dan Nasri (2009), menunjukkan bahwa ada
hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi wanita. Hal ini dikarenakan
59

wanita dengan pendidikan yang tinggi mampu mengambil keputusan dan memilih
jenis pangan yang baik untuk dikonsumsi. Menurut penelitian Obong, Enugu dan
Uwaegbute (2001) pada wanita desa di Nigeria menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan semua asupan gizi, yaitu
energi (r=0,334), niacin (r=0,330) dan vitamin C (r=0,348).
Variabel-variabel lain seperti usia responden, jenis pekerjaan responden
dan suami, tingkat pendidikan suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan
rumahtangga, kebiasaan merokok, penyakit infeksi, tingkat konsumsi energi dan
protein tidak berhubungan dengan IMT. Namun demikian pada Tabel 25 dapat
menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang
mengalami efek (IMT Kurang) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko
yang mengalami efek.
Responden yang mempunyai IMT dengan kategori kurang
menggambarkan bahwa sebanyak 11,5% berada pada kelompok usia yang
berisiko untuk hamil; 20,8% tidak bekerja; dan 13,0% mempunyai tingkat
pendidikan rendah (<9 tahun). Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami
menunjukkan bahwa responden yang mempunyai IMT kurang ternyata sebesar
15,3% tingkat pendidikan suami rendah.
Karakteristik rumahtangga yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami efek (IMT kurang) yaitu 20,6% pada
rumahtangga dengan anggota besar; dan 19,0% pendapatan rumahtangga rendah.
Tidak ada responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 20,5%
responden yang menderita penyakit infeksi mempunyai IMT kurang.
Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan
protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko
ternyata 15,6% dan 18,3% dan mengkonsumsi pangan yang rendah protein
sebanyak 18,8% yang mengalami efek yaitu mempunyai IMT kurang. Sedangkan
ada sebanyak 84,4% dan 81,7% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami
efek (IMT normal). Hanya 18,8% responden yang mengalami efek mengkonsumsi
makanan dengan rendah kandungan protein.
60

Tabel 25 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan


IMT (N=138)

Kurang Normal Chi-


Karakteristik (IMT<18,5) (18,5<IMT>25,0) square
n % n % (X2)
Usia Responden :
a. Berisiko (≥ 35 tahun) 3 11,5 23 88,5 0,218
b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) 25 22,3 87 77,7
Pekerjaan Responden :
a. Tidak Bekerja 22 20,8 84 79,2 0,805
b. Bekerja 6 18,8 26 81,3
Tingkat Pendidikan Responden :
a. Rendah (< 9 tahun) 10 13,0 67 87,0 0,017*
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 18 29,5 43 70,5
Pekerjaan Suami :
a. Tidak Bekerja 0 0,0 0 0,0 -
b. Bekerja 28 20,3 110 79,7
Tingkat Pendidikan Suami:
a. Rendah (< 9 tahun) 9 15,3 50 84,7 0,204
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 19 24,1 60 75,9
Besar Anggota Rumahtangga :
a. Kecil (< 4 orang) 7 19,4 29 80,6 0,883
b. Besar (≥ 4 orang) 21 20,6 81 79,4
Pendapatan Rumahtangga :
a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) 24 19,0 102 81,0 0,240
b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) 4 33,3 8 66,7
Merokok :
a. Ya 0 0,0 5 100,0 0,250
b. Tidak 28 21,1 105 78,9
Infeksi :
a. Menderita 23 20,5 89 79,5 0,882
b. Tidak Menderita 5 19,2 21 80,8
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) :
a. Defisit (TKE < 80%) 12 15,6 65 84,4 0,123
b. Normal (TKE ≥ 80%) 16 26,2 45 73,8
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) :
a. Defisit (TKP < 80%) 23 18,3 103 81,7 0,218
b. Normal (TKP ≥ 80%) 5 41,7 7 58,3
Densitas Protein :
a. Kurang (<27 g) 6 18,8 26 81,3 0,805
b. Cukup (≥27 g) 22 20,8 84 79,2
61

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan LILA


Hasil uji hubungan antar variabel dengan LILA pada responden
menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat konsumsi energi dan protein
mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan LILA (P=0,009 dan
P=0,024). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Priswanti (2005), dimana
dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan
LILA. Studi lain yang dilakukan oleh Simarmata (2004) juga melaporkan hal
serupa bahwa tingkat konsumsi energi (OR=2,23) dan protein (OR=4,57)
mempengaruhi LILA. Variabel-variabel lain seperti usia responden, tingkat
pendidikan responden, jenis pekerjaan responden dan suami, tingkat pendidikan
suami, besar anggota rumahtangga, pendapatan rumahtangga, kebiasaan merokok,
penyakit infeksi, tingkat konsumsi protein dan dan densitas protein tidak
berhubungan dengan LILA. Namun demikian pada Tabel 26 menggambarkan
proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek
(LILA kurang) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko yang mengalami
efek.
Pada Tabel 26 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai LILA
kurang menggambarkan bahwa sebanyak 4,9% berada pada kelompok usia yang
berisiko untuk hamil; 11,8% tidak bekerja; dan 11,3% mempunyai tingkat
pendidikan rendah (<9 tahun). Sedangkan jika dilihat dari karakteristik suami
menunjukkan bahwa responden yang mempunyai LILA kurang ternyata sebesar
10,8% tingkat pendidikan suami rendah.
Karakteristik rumahtangga yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami efek (LILA kurang) yaitu 11,0% pada
rumahtangga dengan anggota besar; dan 11,7% pendapatan rumahtangga rendah.
Tidak ada responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 14,8%
responden yang menderita penyakit infeksi mempunyai efek (LILA kurang).
62

Tabel 26 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan


LILA (N=200)

Kurang Normal Chi-


Karakteristik (LILA<23,5) (LILA≥23,5) square
n % n % (X2)
Usia Responden :
a. Berisiko (≥ 35 tahun) 2 4,9 39 95,1 0,098
b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) 23 14,5 139 85,5
Pekerjaan Responden :
a. Tidak Bekerja 19 11,8 142 88,2 0,544
b. Bekerja 6 15,4 33 84,6
Tingkat Pendidikan Responden :
a. Rendah (< 9 tahun) 13 11,3 102 88,7 0,552
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 12 14,1 73 85,9
Pekerjaan Suami :
a. Tidak Bekerja 0 0,0 2 100,0 0,591
b. Bekerja 25 12,6 173 87,4
Tingkat Pendidikan Suami:
a. Rendah (< 9 tahun) 10 10,8 83 89,2 0,486
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 15 14,0 92 86,0
Besar Anggota Rumahtangga :
a. Kecil (< 4 orang) 8 17,4 38 82,6 0,253
b. Besar (≥ 4 orang) 17 11,0 137 89,0
Pendapatan Rumahtangga :
a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) 22 11,7 166 88,3 0,177
b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) 3 25,0 9 75,0
Merokok :
a. Ya 0 0,0 9 100,0 0,246
b. Tidak 25 13,1 166 86,9
Infeksi :
a. Menderita 23 14,8 132 85,2 0,063
b. Tidak Menderita 2 4,4 43 95,6
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) :
a. Defisit (TKE < 80%) 9 7,5 111 92,5 0,009*
b. Normal (TKE ≥ 80%) 16 20,0 64 80,0
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) :
a. Defisit (TKP < 80%) 8 9,8 74 90,2 0,328
b. Normal (TKP ≥ 80%) 17 14,4 101 85,6
Densitas Protein (d) :
a. Kurang (d<27 g) 5 11,1 40 88,9 0,749
b. Cukup (d≥27 g) 20 12,9 135 87,1
63

Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan


protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko
ternyata ada 7,5% dan 11,2% serta ada 11,1% responden mengkonsumsi dengan
menu yang rendah protein mengalami efek yaitu LILA kurang. Sedangkan ada
sebanyak 92,5% dan 88,8% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami
efek (LILA normal). Tabel 26 diketahui pula bahwa persentase terbesar responden
(> 80,0%) yang mengkonsumsi energi (defisit dan normal) memiliki LILA normal
(≥23,5 cm). Serupa halnya dengan energi, persentase terbesar responden (>
60,0%) yang mengkonsumsi protein (defisit dan normal) memiliki LILA normal.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia


Berdasarkan hasil uji hubungan dengan Chi Square (X2) menunjukkan
tidak ada variabel baik variabel tidak langsung maupun langsung yang
berhubungan dengan kadar hemoglobin responden (p>0,05). Namun demikian
pada Tabel 27 dapat menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai
faktor risiko yang mengalami efek (anemia) dan proporsi prevalen subyek tanpa
faktor risiko yang mengalami efek.
Tabel 27 menggambarkan bahwa responden yang berisiko dan mengalami
anemia mempunyai karakteristik bahwa sebanyak 9,1% berada pada kelompok
usia yang berisiko untuk hamil; dan 10,8% tidak bekerja. Sedangkan jika dilihat
dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang berisiko dan
mengalami efek (anemia) ternyata 0,0% yang mempunyai tingkat pendidikan
suami rendah dan suami tidak bekerja.
Karakteristik rumahtangga yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami efek (anemia) yaitu 15,2% pada rumahtangga
dengan anggota besar; dan 11,6% pendapatan rumahtangga rendah. Tidak ada
responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 9,7% responden yang
menderita penyakit infeksi mengalami anemia.
Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan
protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko
ternyata ada 15,4% dan 15,2% yang mengalami anemia. Sedangkan ada sebanyak
84,6% dan 84,8% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami anemia.
64

Tabel 27 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan


anemia (N=45)

Anemia Normal Chi-


Karakteristik (Hb<12g/dL) (Hb≥12 g/dL) square
n % n % (X2)
Usia Responden :
a. Berisiko (≥ 35 tahun) 1 9,1 10 90,9 0,806
b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) 4 11,8 30 88,2
Pekerjaan Responden :
a. Tidak Bekerja 4 10,8 33 89,2 0,890
b. Bekerja 1 12,5 7 87,5
Tingkat Pendidikan Responden :
a. Rendah (< 9 tahun) 0 0,0 0 0,0 -
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 5 11,1 40 88,9
Pekerjaan Suami :
a. Tidak Bekerja 0 0,0 1 100,0 0,721
b. Bekerja 5 11,4 39 88,6
Tingkat Pendidikan Suami:
a. Rendah (< 9 tahun) 0 0,0 0 0,0 -
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 5 11,1 40 88,9
Besar Anggota Rumahtangga :
a. Kecil (< 4 orang) 0 0,0 12 100,0 0,153
b. Besar (≥ 4 orang) 5 15,2 28 84,8
Pendapatan Rumahtangga :
a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) 5 11,6 38 88,4 0,609
b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) 0 0,0 2 100,0
Merokok :
a. Ya 0 0,0 2 100,0 0,609
b. Tidak 5 11,6 38 88,4
Infeksi :
a. Menderita 3 9,7 28 90,3 0,649
b. Tidak Menderita 2 14,3 12 85,7
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) :
a. Defisit (TKE < 80%) 4 15,4 22 84,6 0,286
b. Normal (TKE ≥ 80%) 1 5,3 18 94,7
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) :
a. Defisit (TKP < 80%) 5 15,2 28 84,8 0,153
b. Normal (TKP ≥ 80%) 0 0,0 12 100,0
Tingkat Konsumsi Zat Besi (TKFe) :
a. Defisit (TKFe < 77%) 3 9,4 29 90,6 0,561
b. Normal (TKE ≥ 77%) 2 15,4 11 84,6
Tingkat Konsumsi Vitamin A (TKVA) :
a. Defisit (TKVA < 77%) 2 8,3 22 91,7 0,526
b. Normal (TKVA ≥ 77%) 3 14,3 18 85,7
Tingkat Konsumsi Vitamin C (TKVC) :
a. Defisit (TKVC < 77%) 3 7,7 36 92,3 0,063
b. Normal (TKVC ≥ 77%) 2 33,3 4 66,7
65

Anemia Normal Chi-


Karakteristik (Hb<12g/dL) (Hb≥12 g/dL) square
n % n % (X2)
Densitas Protein :
a. Kurang (<27 g) 1 10,0 9 90,0 0,899
b. Cukup (≥27 g) 4 11,4 31 88,6
Densitas Zat Besi :
a. Kurang (<14 mg) 1 3,7 26 96,3 0,053*
b. Cukup (≥14 mg) 4 22,2 14 77,8
Densita Vitamin A :
a. Kurang (<270 RE) 2 8,0 23 92,0 0,458
b. Cukup (≥270 RE) 3 15,0 17 85,0
Densitas Vitamin C :
a. Kurang (<41 mg) 2 5,4 35 96,4 0,009*
b. Cukup (≥41 mg) 3 37,5 5 62,5

Pada Tabel 27 tersebut juga diketahui bahwa persentase terbesar


responden (>80%) yang mengkonsumsi zat besi (kurang dan cukup) memiliki
status Hb normal. Demikian halnya dengan vitamin A dan vitamin C, yakni
responden terbesar (60,0-92,3%) yang mengkonsumsi dalam keadaan kurang dan
cukup memiliki status Hb yang normal. Meskipun demikian, masih terdapat
33,3% responden yang mengkonsumsi vitamin C cukup, justru menderita anemia
(Hb < 12 g/dL). Hal tersebut terjadi karena konsumsi vitamin C responden tidak
diimbangi dengan konsumsi zat besi, padahal konsumsi vitamin C berfungsi untuk
membantu penyerapan zat besi.
Jika dilihat dari komposisi menu yang dikonsumsi oleh responden sub-
sampel menunjukkan bahwa responden yang menderita anemia memang ada yang
mengkonsumsi pangan rendah protein (10,0), zat besi (3,7%), vitamin A (8,0%)
dan rendah vitamin C (5,4%). Namun demikian, ada sekitar 11-37% responden
yang anemia mengkonsumsi makanan dengan menu yang cukup akan protein, zat
besi, vitamin A dan vitamin C.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Defisiensi Besi


Berdasarkan hasil uji hubungan dengan Chi Square (X2) menunjukkan
tidak ada variabel baik variabel tidak langsung maupun langsung yang
berhubungan dengan kadar feritin responden (p>0,05). Namun demikian pada
Tabel 28 dapat menggambarkan proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor
risiko yang mengalami efek (defisien besi) dan proporsi prevalen subyek tanpa
66

faktor risiko yang mengalami efek. Responden yang berisiko dan mengalami
defisien besi mempunyai karakteristik bahwa sebanyak 9,1% berada pada
kelompok usia yang berisiko untuk hamil; dan 13,5% tidak bekerja. Sedangkan
jika dilihat dari karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang berisiko
dan mengalami defisien besi ternyata 0,0% yang mempunyai tingkat pendidikan
suami rendah dan suami tidak bekerja.

Tabel 28 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan


defisiensi besi (N=45)

Defisien Besi Normal Chi-


Karakteristik (<12µg/L) (≥12 µg/L) square
n % n % (X2)
Usia Responden :
a. Berisiko (≥ 35 tahun) 1 9,1 10 90,9 0,634
b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) 5 14,7 29 85,3
Pekerjaan Responden :
a. Tidak Bekerja 5 13,5 32 86,5 0,939
b. Bekerja 1 12,5 7 87,5
Tingkat Pendidikan Responden :
a. Rendah (< 9 tahun) 0 0,0 0 0,0 -
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 6 13,3 39 86,7
Pekerjaan Suami :
a. Tidak Bekerja 0 0,0 1 100,0 0,692
b. Bekerja 6 13,6 38 86,4
Tingkat Pendidikan Suami:
a. Rendah (< 9 tahun) 0 0,0 0 0,0 -
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 6 13,3 39 86,7
Besar Anggota Rumahtangga :
a. Kecil (< 4 orang) 2 16,7 10 83,3 0,692
b. Besar (≥ 4 orang) 4 12,1 29 87,9
Pendapatan Rumahtangga :
a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) 6 14,0 37 86,0 0,570
b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) 0 0,0 2 100,0
Merokok :
a. Ya 0 0,0 2 100,0 0,570
b. Tidak 6 14,0 37 86,0
Infeksi :
a. Menderita 3 9,7 28 90,3 0,283
b. Tidak Menderita 3 21,4 11 78,6
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) :
a. Defisit (TKE < 80%) 4 12,1 22 84,6 0,692
b. Normal (TKE ≥ 80%) 2 16,7 17 89,5
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) :
a. Defisit (TKP < 80%) 4 12,1 29 87,9 0,252
b. Normal (TKP ≥ 80%) 2 16,7 10 83,3
67

Defisien Besi Normal Chi-


Karakteristik (<12µg/L) (≥12 µg/L) square
n % n % (X2)
Tingkat Konsumsi Zat Besi (TKFe) :
a. Defisit (TKFe < 77%) 4 12,5 28 87,5 0,796
b. Normal (TKE ≥ 77%) 2 15,4 11 84,6
Tingkat Konsumsi Vitamin A (TKVA) :
a. Defisit (TKVA < 77%) 3 12,5 21 87,5 0,860
b. Normal (TKVA ≥ 77%) 3 14,3 18 85,7
Tingkat Konsumsi Vitamin C (TKVC) :
a. Defisit (TKVC < 77%) 5 12,8 34 87,2 0,796
b. Normal (TKVC ≥ 77%) 1 16,7 5 83,3
Densitas Protein :
a. Kurang (<27 g) 3 30,0 7 70,0 0,079
b. Cukup (≥27 g) 3 8,6 32 91,4
Densitas Zat Besi :
a. Kurang (<14 mg) 4 14,8 23 85,2 0,720
b. Cukup (≥14 mg) 2 11,1 16 89,9
Densita Vitamin A :
a. Kurang (<270 RE) 3 12,0 22 88,0 0,769
b. Cukup (≥270 RE) 3 15,0 17 85,0
Densitas Vitamin C :
a. Kurang (<41 mg) 5 13,5 32 86,5 0,839
b. Cukup (≥41 mg) 1 12,5 7 87,5

Karakteristik rumahtangga yang menggambarkan responden yang


mempunyai risiko dan mengalami defisien besi yaitu 16,7% pada rumahtangga
dengan anggota besar; dan 14,0% pendapatan rumahtangga rendah. Tidak ada
responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar 9,7% responden yang
menderita penyakit infeksi mengalami anemia.
Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan
protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko
masing-masing 12,1% yang mengalami defisien besi. Sedangkan ada sebanyak
84,6% dan 87,9% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami defisien besi.
Tabel 28 juga menggambarkan bahwa persentase terbesar responden
(>80,0%) yang mengkonsumsi zat besi kurang dan cukup memiliki status feritin
normal (≥12µg/L). Demikian halnya dengan responden yang mengkonsumsi
vitamin A dan vitamin C dalam ketagori kurang dan cukup, yakni persentase
terbesar (80,0%) memiliki status feritin normal. Jika dilihat dari komposisi menu
yang dikonsumsi oleh responden sub-sampel menunjukkan bahwa responden yang
68

menderita defisiensi besi memang ada yang mengkonsumsi pangan rendah protein
(30,0), zat besi (14,8%), vitamin A (12,0%) dan rendah vitamin C (13,5%).
Namun demikian, ada sekitar 8-15% responden yang defisiensi besi
mengkonsumsi makanan dengan menu yang cukup akan protein, zat besi, vitamin
A dan vitamin C.
Pada penelitian ini juga diteliti hubungan antara status Hb dengan status
feritin. Pada Tabel 29, diketahui bahwa sebanyak 33,3% responden yang defisien
besi menderita anemia dan 7,7% responden yang memiliki status feritin normal
menderita anemia. Namun demikian, persentase tertinggi (92,3%) responden
memiliki status feritin normal dan tidak menderita anemia. Hasil uji Chi-Square
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status Hb
dengan status feritin (p=0,063).

Tabel 29 Hubungan antara anemia dengan defisiensi besi


Status Hb
Anemia Normal Total
Status Feritin
(< 12 g/dL) (≥ 12 g/dL)
n % n % n %
Defisien besi (< 12 µg/dL) 2 33,3 4 66,7 6 100,0
Normal (≥ 12 µg/dL) 3 7,7 36 92,3 39 100,0
Total 25 11,1 175 88,9 45 100,0

Hubungan Antara Status Besi dengan Status Asam Folat


Pada Tabel 30 menunjukkan kecenderungan hubungan antara status asam
folat dan status Hb, dimana diketahui bahwa dari seluruh responden yang
memiliki status asam folat normal, hanya 11,1% yang menderita anemia. Uji Chi-
Square (X²) tidak dapat dilakukan karena data tidak menyebar normal (seluruh
responden tidak menderita defisien asam folat). Penelitian oleh Zhu et al. (2010)
menyatakan bahwa uji regresi menyatakan bahwa defisien asam folat tidak
mempunyai hubungan dengan kejadian anemia pada wanita usia subur di Cina
Utara. Sebuah studi yang dilakukan 39 orang ibu hamil di Semarang melaporkan
bahwa tingkat konsumsi asam folat tidak berhubungan signifikan dengan kejadian
anemia (p>0,05) (Priswanti 2005). Hasil studi tersebut ternyata tidak sejalan
dengan studi yang dilakukan terhadap 1459 responden di Amerika untuk melihat
69

hubungan status vitamin B-12 dan serum folat dengan anemia, dimana hasil studi
tersebut adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara status vitamin B-12 dan
serum folat yang rendah dengan kejadian anemia (OR = 3,1 95% CI: 1,50-6,60)
(Morris et al. 2007).

Tabel 30 Hubungan status asam folat dengan anemia


Status Hb
Anemia Normal Total
Status Asam Folat
(< 12 g/dL) (≥ 12 g/dL)
n % n % n %
a. Defisien (< 3 ng/mL) 0 0,0 0 0,0 0 0,0
b. Normal (≥ 3 ng/mL) 5 11,1 40 88,9 45 100,0
Total 5 11,1 40 88,9 45 100,0
Tangkilisan dan Rumbajan (2002), menyatakan bahwa asam folat
merupakan kelompok vitamin B yang termasuk unsur penting dalam sintesis
DNA. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan megaloblastik anemia, yang
dilaporkan terjadi pada 3-75% wanita yang kurang asupan asam folat. Anemia
megaloblastik yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan Nueral Tube
Defect (NTD) atau kelainan kongenital akibat kegagalan penutupan lempeng saraf
yang terjadi pada mingu ke-3 dan ke-4 masa gestasi dan Hiperhomosisteinemia
atau peningkatan kadar homosistein dalam darah. Wanita yang pernah mengalami
NTD biasanya menderita hiperhomosisteinemia.

Tabel 31 Hubungan status asam folat dengan defisiensi besi


Status Feritin
Defisien Besi Normal Total
Status Asam Folat
(< 12 µg/L) (≥ 12 µg/L)
n % n % n %
a. Defisien (< 3 ng/mL) 0 0,0 0 0,0 0 0,0
b. Normal (≥ 3 ng/mL) 6 13,3 39 86,7 45 100,0
Total 6 13,3 39 86,7 45 100,0
Hubungan antara status asam folat dan status feritin ditunjukkan pada
Tabel 31, dimana diketahui bahwa dari seluruh responden yang memiliki status
asam folat normal, hanya 13,3% diantaranya yang menderita anemia. Serupa
dengan status Hb, pada hubungan status asam folat dengan status feritin tidak
70

dapat dilakukan uji Chi-Square (X²) karena data tidak menyebar normal (seluruh
responden tidak menderita defisien asam folat).

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Vitamin A


Hasil uji hubungan antar variabel dengan status vitamin A pada responden
menunjukkan bahwa hanya variabel tingkat konsumsi vitamin A responden yang
berhubungan sangat signifikan dengan status vitamin A (p=0,005). Variabel-
variabel lain seperti usia responden, tingkat pendidikan responden, jenis pekerjaan
responden dan suami, tingkat pendidikan suami, besar anggota rumahtangga,
pendapatan rumahtangga, kebiasaan merokok, penyakit infeksi, tingkat konsumsi
energi, protein, besi, dan tingkat konsumsi vitamin C tidak berhubungan dengan
status vitamin A (p>0,05). Namun demikian pada Tabel 32 dapat menggambarkan
proporsi prevalen subyek yang mempunyai faktor risiko yang mengalami efek
(defisien serum vitamin A) dan proporsi prevalen subyek tanpa faktor risiko yang
mengalami efek.
Responden yang berisiko dan mengalami defisien serum vitamin A
mempunyai karakteristik bahwa sebanyak 72,7% berada pada kelompok usia yang
berisiko untuk hamil; dan 64,9% tidak bekerja. Sedangkan jika dilihat dari
karakteristik suami menunjukkan bahwa responden yang berisiko dan mengalami
defisien serum vitamin A ternyata 0,0% yang mempunyai tingkat pendidikan
suami rendah dan 100,0% suami tidak bekerja.
Karakteristik rumahtangga yang menggambarkan responden yang
mempunyai risiko dan mengalami defisien vitamin A yaitu 72,7% pada
rumahtangga dengan anggota besar; dan 62,8% pendapatan rumahtangga rendah.
Sebanyak 50,0% responden yang merokok yang mempunyai efek dan sebesar
58,1% responden yang menderita penyakit infeksi mengalami efek.
Konsumsi pangan pada responden dengan tingkat konsumsi energi dan
protein defisit (TKE dan TKP: < 80%) yang merupakan kelompok berisiko
masing-masing 65,4% dan 66,7% yang mengalami defisien vitamin A. Sedangkan
ada sebanyak 34,6% dan 33,3% kelompok yang berisiko ternyata tidak mengalami
efek.
71

Tabel 32 Hubungan antara variabel-variabel tidak langsung dan langsung dengan


status vitamin A (N=45)

Defisien Vit A Normal Chi-


Karakteristik (≤50µg/dL) (>50 µg/dL) square
n % n % (X2)
Usia Responden :
a. Berisiko (≥ 35 tahun) 8 72,7 3 27,3 0,509
b. Tidak Berisiko (< 35 tahun) 3 61,8 13 38,2
Pekerjaan Responden :
a. Tidak Bekerja 24 64,9 13 35,1 0,899
b. Bekerja 5 62,5 3 37,5
Tingkat Pendidikan Responden :
a. Rendah (< 9 tahun) 0 0,0 0 0,0 -
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 29 64,4 16 35,6
Pekerjaan Suami :
a. Tidak Bekerja 1 100,0 0 0,0 0,453
b. Bekerja 28 63,6 16 36,4
Tingkat Pendidikan Suami:
a. Rendah (< 9 tahun) 0 0,0 0 0,0 -
b. Tinggi (≥ 9 tahun) 29 64,4 16 35,6
Besar Anggota Rumahtangga :
a. Kecil (< 4 orang) 5 41,7 7 58,3 0,054
b. Besar (≥ 4 orang) 7 72,7 9 27,3
Pendapatan Rumahtangga :
a. Rendah (< Rp 971.200/kap/bln) 27 62,8 16 37,2 0,283
b. Tinggi (≥ Rp 971.200/kap/bln) 2 100,0 0 0,0
Merokok :
a. Ya 1 50,0 1 50,0 0,662
b. Tidak 28 65,1 15 34,9
Infeksi :
a. Menderita 18 58,1 13 41,9 0,183
b. Tidak Menderita 11 78,6 3 21,4
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) :
a. Defisit (TKE < 80%) 17 65,4 9 34,6 0,878
b. Normal (TKE ≥ 80%) 12 63,2 7 36,8
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) :
a. Defisit (TKP < 80%) 22 66,7 11 33,3 0,606
b. Normal (TKP ≥ 80%) 7 58,3 5 41,7
Tingkat Konsumsi Zat Besi (TKFe) :
a. Defisit (TKFe < 77%) 21 65,6 11 34,4 0,795
b. Normal (TKE ≥ 77%) 8 61,5 5 38,5
Tingkat Konsumsi Vitamin A (TKVA) :
a. Defisit (TKVA < 77%) 11 45,8 13 54,2 0,005*
b. Normal (TKVA ≥ 77%) 18 85,7 3 14,3
Tingkat Konsumsi Vitamin C (TKVC) :
a. Defisit (TKVC < 77%) 24 61,5 15 38,5 0,299
b. Normal (TKVC ≥ 77%) 5 83,3 1 16,7
72

Defisien Vit A Normal Chi-


Karakteristik (≤50µg/dL) (>50 µg/dL) square
n % n % (X2)
Densitas Protein :
a. Kurang (<27 g) 4 40,0 6 60,0 0,067
b. Cukup (≥27 g) 25 71,4 10 28,6
Densitas Zat Besi :
a. Kurang (<14 mg) 21 77,8 6 22,2 0,022
b. Cukup (≥14 mg) 8 44,4 10 55,6
Densita Vitamin A :
a. Kurang (<270 RE) 12 48,0 13 52,0 0,10
b. Cukup (≥270 RE) 17 85,0 3 15,0
Densitas Vitamin C :
a. Kurang (<41 mg) 22 59,5 15 40,5 0,133
b. Cukup (≥41 mg) 7 87,5 1 12,5

Pada Tabel 32 tersebut juga diketahui bahwa persentase terbesar


responden (>60%) yang mengkonsumsi zat besi (defisit dan normal) memiliki
status defisien vitamin A. Demikian halnya dengan tingkat konsumsi vitamin C,
yakni responden terbesar (61,5-83,3%) yang mengkonsumsi dalam keadaan defisit
dan normal memiliki status defisien vitamin A. Meskipun demikian, masih
terdapat 83,3% responden yang mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah normal,
justru menderita defisien vitamin A. Hal tersebut terjadi karena konsumsi vitamin
C responden tidak diimbangi dengan konsumsi zat besi, padahal konsumsi vitamin
C berfungsi untuk membantu penyerapan zat besi.
Pada Tabel 32 juga menggambarkan bahwa persentase terbesar responden
(54,2%) yang mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah kurang memiliki status
vitamin A normal, tetapi persentase terbesar responden (85,7%) yang
mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah cukup justru menderita defisien status
vitamin A. Jika dilihat dari komposisi menu yang dikonsumsi oleh responden sub-
sampel menunjukkan bahwa banyak responden yang memiliki status vitamin A
rendah memang mengkonsumsi pangan rendah protein (40,0%), zat besi (77,8%),
vitamin A (48,0%) dan rendah vitamin C (59,5%). Namun demikian, ada sekitar
44-87% responden yang defisien status vitamin A mengkonsumsi makanan
dengan menu yang cukup akan protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C.
Meskipun persentase antara responden yang mengkonsumsi vitamin A
dengan jumlah kurang dan cukup tidak terlalu jauh berbeda, tetapi penyebab lebih
73

tingginya persentase responden yang menderia defisien status vitamin A dengan


konsumsi vitamin A yang cukup diduga karena rendahnya konsumsi ikan, daging,
telur, dan susu yang hanya memberikan kontribusi sekitar 3-4% (40-60
kkal/kap/hari) dari total konsumsi total responden. Seperti diketahui bahwa
konsumsi vitamin A yang tinggi tidak cukup memenuhi kebutuhan gizi apabila
jumlah yang diserap oleh tubuh tidak sesuai dengan kebutuhan.
Penyerapan vitamin A dapat dibantu oleh konsumsi lemak yang terdapat
pada pangan hewani seperti daging, ikan, telur, dan susu. Vitamin A dapat
berperan dalam penyerapan zat besi di dalam tubuh, sehingga status vitamin A
dapat berperan dalam menentukan status Hb dan feritin. Hubungan antara status
vitamin A dengan status Hb ditunjukkan pada Tabel 33, dimana diketahui bahwa
persentase terbesar responden (> 80,0%) yang memiliki defisien status vitamin A
dan normal tidak menderita anemia, hanya 17,2% responden yang menderita
defisien vitamin A dan menderita anemia. Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan
tidak ada hubungan yang signifikan antara status vitamin A dengan status Hb
(p=0,078).

Tabel 33 Hubungan antara status vitamin A dengan anemia


Status Hb
Anemia Normal Total
Status Vitamin A
(< 12 g/dL) (≥ 12 g/dL)
n % n % n %
a. Defisien (≤ 50 µg/dL) 5 17,2 24 82,8 29 100,0
b. Normal (> 50 µg/dL) 0 0,0 16 100,0 16 100,0
Total 5 11,1 40 88,9 45 100,0

Hasil tersebut ternyata berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh
Diana (2003), dimana pada studinya yang dilakukan terhadap 60 ibu hamil di
Semarang menunjukkan bahwa status vitamin A mempengaruhi kadar
hemoglobin (OR=16,71; 95% CI: 1,84-151,34). Brabin dan Brabin (1992),
menyatakan bahwa zat besi dan vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Selama remaja, zat besi mengalami peningkatan kebutuhan
yang maksimal dan setelah menarche maka kehilangan zat besi harus digantikan.
Peningkatan konsumsi vitamin A pada periode ini dapat mempengaruhi
74

kematangan seksual, bahkan kombinasi zat besi dan vitamin A dapat


mempengaruhi ritme pertumbuhan.

Tabel 34 Hubungan antara status vitamin A dengan defisiensi besi


Status Feritin
Defisien Normal Total
Status Vitamin A
(< 12 µg/L) (≥ 12 µg/L)
n % n % n %
a. Defisien (≤ 50 µg/dL) 5 17,2 24 82,2 29 100,0
b. Normal (> 50 µg/dL) 1 6,2 15 93,8 16 100,0
Total 6 13,3 39 86,7 45 100,0

Pada Tabel 34 menunjukkan hubungan antara status vitamin A dengan


status feritin. Serupa halnya dengan status Hb, persentase terbesar responden (>
80,0%) yang memiliki defisien status vitamin A dan normal tidak menderita
defisien feritin. Hasil uji Chi-Square (X²) terhadap status vitamin A dengan status
feritin menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan (p=0,299).

Faktor Risiko Status Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS)

Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur sehingga


mempengaruhi status gizi pada periode kehidupan selanjutnya. Masa kehamilan
sangat menentukan kualitas SDM karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan
oleh kondisi saat janin masih berada di dalam kandungan, namun demikian perlu
diingat bahwa kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan pula oleh kesehatan
dan status gizi sebelum kehamilan. Berbagai macam faktor yang dapat
mempengaruhi status gizi wanita usia subur yang diteliti yaitu karakteristik
responden (usia, pekerjaan, dan pendidikan), karakteristik suami (pekerjaan dan
pendidikan), serta karakteristik keluarga (besar anggota rumahtangga dan
pendapatan rumahtangga), konsumsi pangan, infeksi, dan kebiasaan merokok.

Faktor Risiko Status Gizi yang Diukur Secara Antropometri pada Wanita
Usia Subur (WUS)

Tahapan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui faktor risiko status
gizi makro pada WUS yang harus diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan,
75

yakni uji bivariat (Chi-Square/X²) dan uji multivariat (regresi logistik). Hasil uji
Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa hanya ada satu variabel yang berhubungan
dengan IMT yaitu tingkat pendidikan responden (p=0,017), dan tingkat konsumsi
energi diketahui berhubungan signifikan dengan LILA (p=0,009).
Terkait hubungannya dengan pemenuhan gizi, hasil pada penelitian ini
yang mengungkapkan tidak adanya hubungan sosial ekonomi (pekerjaan,
pendidikan, dan pendapatan) dan besar keluarga ternyata tidak sejalan dengan
pernyataan bahwa status sosial ekonomi seperti pendapatan merupakan faktor
yang paling menentukan kuantitas dan kulitas makanan yang dikonsumsi sehingga
terdapat hubungan antara pendapatan dan status gizi (Riyadi et al. 1990). Miller
dan Rodgers (2009) menyatakan bahwa tingkat pendapatan berhubungan dengan
daya beli dan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi pendapatan maka semakin
tinggi pula aksesnya terhadap makanan bergizi, air bersih, higienitas, dan
pelayanan kesehatan.
Selain pendapatan, faktor sosial ekonomi yang penting adalah pendidikan
dan pekerjaan, karena pendidikan dan pekerjaan akan menentukan pendapatan
yang diperoleh. Ambarwati, Sulchan, dan Wardani (2005) melaporkan hasil
studinya bahwa status pekerjaan akan memberikan pengaruh terhadap status gizi
(p=0,016) karena pekerjaan yang baik akan mempengaruhi pendapatan sehingga
berpengaruh pula terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi.
Disamping itu, Suhardjo (1989) juga mengungkapkan bahwa banyaknya
anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam keluarga. Jumlah
anggota keluarga yang besar dan tidak diimbangi dengan pendistribusian
konsumsi pangan akan menyebabkan timbulnya gangguan gizi. Selain itu, hasil
penelitian mengenai kaitan antara status sosial ekonomi dengan status gizi ibu
hamil dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yongki et al. (2009),
penelitian terhadap 638 ibu hamil yang memeriksakan kesehatan di wilayah
Jakarta Timur dan Bekasi melaporkan bahwa rata-rata berat badan ibu dengan
status sosial ekonomi rendah lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang berstatus
sosial ekonomi tinggi, baik pada ibu kurus, normal, dan overweight di awal
kehamilan.
76

Merokok merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi


karena tiga zat yang dikandungnya yakni karbon monoksida, sianida, dan nikotin.
Dampak merokok terhadap status gizi WUS memang belum dilaporkan, namun
dampak merokok terhadap hasil kehamilan telah banyak dilaporkan, salah satunya
adalah studi terhadap 6248 kelahiran di Switzerland yang melaporkan bahwa
merokok dapat meningkatkan risiko berat bayi lahir rendah OR = 2,70; 95% CI:
2,10-3,50 (Chiolero, Bovet, dan Paccaud 2005).
Infeksi merupakan kondisi masuk, tumbuh dan berkembangnya agen
penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidak sama dengan
penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan. Ada hubungan antara
infeksi dengan kondisi status gizi (malnutrisi). Berdasarkan kerangka konsep
UNICEF mengungkapkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab
langsung terjadinya masalah gizi. Penelitian yang mengkaji pengaruh penyakit
infeksi terhadap status gizi wanita usia subur memang belum ditemukan, tetapi
pengaruh penyakit infeksi dengan hasil kelahiran sudah banyak dilaporkan, salah
satunya hasil penelitian yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan terhadap malaria dengan berat bayi lahir rendah (p < 0,001), OR = 3,50;
95% CI: 4,57-40,0 (Shulman et al. 2002). Selain itu, studi lainnya mengenai
gambaran penyebab kematian maternal di lima Rumah Sakit di Indonesia
melaporkan bahwa perdarahan, preeklamsia, dan infeksi merupakan penyebab
kematian yang yang paling banyak (Wiludjeng 2005).
Konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dapat mempengaruhi status
gizi, dimana hal tersebut telah banyak dibuktikan, seperti penelitian Priswanti
(2005), dimana dilaporkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi
energi dengan LILA. Studi lain yang dilakukan oleh Simarmata (2004) juga
melaporkan hal serupa bahwa tingkat konsumsi energi (OR=2,23) dan protein
(OR=4,57) mempengaruhi LILA.
Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung
(tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi protein, densitas protein dan infeksi)
dan variabel tidak langsung (merokok, karakteristik keluarga, karakteristik suami,
dan karakteristik responden) terhadap status gizi berdasarkan IMT menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan responden secara tidak langsung berpengaruh terhadap
77

IMT responden (n=138; p=0,04) (OR=2,569; 95% CI: 1,045-6,315) (Tabel 35).
Hal ini menggambarkan bahwa responden yang mempunyai tingkat pendidikan
rendah cenderung mempunyai IMT 2,569 kali lebih rendah dibandingkan dengan
responden yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi. Namun variabel
tingkat pendidikan responden ini bukan sebagai faktor risiko terjadinya status gizi
kurang karena didalam populasi yang diwakili oleh sampel (n=138), 95% CI:
1,045-6,315 menunjukkan bahwa nila interval kepercayaannya mencakup angka
satu.

Tabel 35 Faktor-faktor yang mempengaruhi IMT


95% C.I.
Variabel Exp (β) = OR Sig.
Lower Upper
Pendidikan Responden 2,569 1,045 6,315 0,04*
1=Tinggi (≥ 9 tahun)
0=Rendah (<9 tahun)
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 1,437 0,571 3,615 0,44
1=Normal (TKE≥80%)
0=Defisit (TKE<80%)
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 2,237 0,576 8,685 0,25
1=Normal (TKP≥80%)
0=Defisit (TKP<80%)
Densitas Protein (d) 0,951 0,332 2,727 0,93
1=Cukup (d≥27)
0=Kurang (d<27)
Infeksi 0,870 0,274 2,764 0,81
1=Tidak Menderita
0=Menderita
Konstanta 0,128 0,00
Uji yang sama menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara tingkat konsumsi energi dengan LILA (n=200; p=0,03) (OR=0,263; 95%
CI: 0,075-0,916) (Tabel 36). Hal tersebut dapat diartikan bahwa responden yang
mengalami defisit konsumsi energi (TKE<80%) berkecenderungan untuk
memiliki LILA lebih rendah 0,263 kali dibandingkan responden yang
mengkonsumsi energi dalam jumlah cukup. Hasil analisis ini juga bisa dikatakan
bahwa tingkat konsumsi energi merupakan faktor protektif untuk terjadinya KEK
pada populasi ini yang diwakili oleh sampel (n=200) karena mempunyai OR < 1
78

dan nilai 95% CI: 0,075-0,916 menunjukkan bahwa nila interval kepercayaannya
tidak mencakup angka satu.

Tabel 36 Faktor-faktor yang mempengaruhi LILA


95% C.I.
Variabel Exp (β) = OR Sig.
Lower Upper
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 0,263 0,075 0,916 0,03*
1=Normal (TKE≥80%)
0=Defisit (TKE<80%)
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 1,680 0,443 6,375 0,45
1=Normal (TKP≥80%)
0=Defisit (TKP<80%)
Densitas Protein (d) 0,633 0,195 2,053 0,45
1=Cukup (d≥27)
0=Kurang (d<27)
Infeksi 2,871 0,632 13,041 0,17
1=Tidak Menderita
0=Menderita
Konstanta 12,151 0,00

Uji regresi logistik juga dilakukan pada tingkat konsumsi energi dan
protein dengan kategori (TKE dan TKP <70% defisit tingkat berat), menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap IMT
(n=138;p=0,01) (OR=0,369; 95% CI: 0,153-0,889). Sedangkan faktor yang
berpengaruh pada LILA adalah tingkat konsumsi protein (TKP<70%) dengan
OR=0,295; 95% CI: 0,088-0,983 (p=0,05).
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan
energi, dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam
bentuk lemak sebagai cadangan energi jangka panjang (WNPG 2004).
79

Faktor Risiko Status Gizi yang Diukur Secara Biokimia pada Wanita Usia
Subur (WUS)

Analisis faktor risiko status gizi mikro hanya dilakukan pada sub-sampel
yaitu sebanyak 45 orang. Tahapan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui
faktor risiko status gizi mikro pada WUS yang harus diperhatikan guna
mempersiapkan kehamilan tidak berbeda dengan faktor risiko status gizi makro,
yakni uji bivariat (Chi-Square/X²) dan uji multivariat (regresi logistik).
Hasil uji Chi-Square (X²) menunjukkan bahwa tidak ada satu variabel-pun
yang berhubungan dengan status Hb dan status feritin (p>0,05), namun tingkat
konsumsi vitamin A diketahui berhubungan signifikan dengan status vitamin A
(p=0,005). Pada penelitian ini asam folat tidak dapat diuji karena data tidak
beragam, yakni seluruh responden (100,0%) tidak mengalami defisiensi asam
folat. Pada uji statistik dengan menggunakan kategori tingkat konsumsi gizi
makro dengan kategori defisit tingkat berat (<70%) dan tingkat konsumsi gizi
mikro (<50%), menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi
protein, densitas besi dan densitas vitamin C. Meskipun uji statistik tidak banyak
membuktikan hubungan antara faktor-faktor yang diteliti dengan status gizi mikro
tetapi secara teori dan beberapa penelitian dapat menjelaskan hubungan tersebut.
Hasil uji regresi logistik yang menganalisis pengaruh variabel langsung
(tingkat konsumsi gizi, dan infeksi) dan variabel tidak langsung (merokok,
karakteristik keluarga, karakteristik suami, dan karakteristik responden) terhadap
status gizi mikro (Hb, feritin, dan vitamin A) menunjukkan bahwa tidak ada satu-
pun variabel yang berpengaruh terhadap status Hb dan feritin (p > 0,05).
Berdasarkan nilai Nagelkerke R-Square yang diperoleh dapat diketahui bahwa
seluruh faktor yang diteliti baik langsung dan tidak langsung mempengaruhi status
Hb sebesar 32-80%, sedangkan untuk status feritin diperoleh hasil bahwa sebesar
25-70% dari seluruh faktor yang diteliti mempengaruhi status feritin.
Namun, uji statistik dengan menggunakan kategori defisit tingkat berat
(TKE dan TKP < 70% dan TKFe, TKVitA, TKVitC <50%) terdapat pengaruh
antara densitas vitamin C dengan status Hb yaitu dengan OR=0,049; 95% CI:
0,003-0,765 dan p=0,03 (Tabel 37). Artinya responden WUS yang menderita
80

anemia cenderung mengkonsumsi menu yang kaya dengan vitamin C lebih rendah
0,049 kali dibanding dengan responden yang tidak anemia.

Tabel 37 Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia


Exp (β) 95% C.I.
Variabel Sig.
= OR Lower Upper
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 5,997 0,426 84,416 0,18
1=Tidak Defisit (TKP≥70%)
0=Defisit tingkat berat (TKP<70%)
Densitas Besi : 0,128 0,008 2,161 0,15
1=Cukup (≥14 mg)
0=Kurang (<14 mg)
Densitas Vitamin C : 0,049 0,003 0,765 0,03*
1=Cukup (≥41 mg)
0=Kurang (d<41 mg)
Konstanta 21,585 0,05

Zat gizi mikro yang sangat berperan dalam proses kehamilan adalah zat
besi (Fe). Defisiensi Fe yang terjadi karena rendahnya asupan, penurunan
bioavailabilitas tubuh, peningkatan kebutuhan, dan proses pertumbuhan dapat
menyebabkan anemia. Wahyuni (2006) menyatakan bahwa salah satu penyebab
tingginya prevalensi anemia adalah faktor sosial-ekonomi yang membatasi
kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan seperti daging, ikan, dan ayam
sehingga absorpsi zat besi dapat ditingkatkan.
Penelitian mengenai anemia masih terbatas pada wanita usia subur, namun
Depkes (2008) menyebutkan bahwa persentase anemia pada wanita hamil dari
keluarga miskin terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan
(8% anemia di trimester 1, 12% anemia di trimester II, dan 29% anemia di
trimester III). Anemia pada wanita pasca persalinan juga masih banyak terjadi
yang 10-22% diantaranya diderita oleh wanita yang memiliki ekonomi rendah
(Fatma 2008). Kondisi ekonomi yang rendah diperparah dengan jumlah anggota
keluarga yang besar, dimana keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak
akan lebih sulit memenuhi kebutuhan pangannya dibandingkan dengan keluarga
miskin dengan jumlah anak yang lebih sedikit (Sanjur 1982).
Lebih lanjut dapat diuraikan bahwa penyebab anemia gizi adalah konsumsi
zat besi yang kurang memadai dan absorpsi yang rendah, serta pola makan yang
81

sebagian besar hanya terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam.
Disampng itu, investasi cacing tambang dapat memperberat keadaan anemia yang
diderita pada daerah-daerah tertentu terutama daerah pedesaan. Faktor-faktor lain
yang dapat menyebabkan anemia gizi adalah sosial-ekonomi, pendidikan, status
gizi, pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh, dan infeksi
(Wahyuni 2006). Selain itu, kebiasaan merokok juga dapat mengakibatkan anemia
akibat sianida yang terkandung di dalamnya karena tubuh memerlukan banyak
vitamin B12 untuk dapat melepaskan sianida (Rose-Neil 2007).
Salah satu penelitian yang dilakukan untuk melihat pengaruh suplementasi
Tablet Tambah Darah (TTD) pada WUS melaporkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi anemia yaitu usia, jumlah kelahiran, pendidikan, pola haid, status
perkawinan, pengetahuan gizi, status gizi, dan pola makan. Asupan asam folat dan
vitamin C dilaporkan merupakan zat gizi dapat mempengaruhi Hb. Hal yang
menarik pada penelitian ini adalah bahwa risiko anemia pada responden yang
telah menikah 3,32 kali lebih tinggi dibandingkan wanita yang belum menikah.
Responden yang berpendidikan rendah memiliki risiko anemia 2,05 kali lebih
tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan menengah dan tinggi. Hasil
lainnya yang diperoleh pada penelitian tersebut adalah suplementasi TTD dapat
meningkatkan kadar Hb, feritin, berat badan, dan IMT (Mulyawati 2003).
Menggunakan uji yang sama diketahui bahwa terdapat variabel yang
berpengaruh signifikan terhadap status vitamin A yaitu tingkat konsumsi vitamin
A (n=45;p=0,011) (OR=0,136; 95% CI: 0,029-0,635) (Tabel 38). Hal tersebut
berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi vitamin A (TKVit A <
77%) rendah cenderung menderita defisien vitamin A 0,136 kali lebih tinggi
dibandingkan responden yang mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang
cukup. Hasil analisis ini juga bisa dikatakan bahwa tingkat konsumsi vitamin A
merupakan faktor protektif untuk terjadinya status defisien vitamin A pada
populasi ini yang diwakili oleh sampel (n=45) karena mempunyai OR < 1 dan
nilai 95% CI: 0,02-0,64 yang tidak mencakup angka satu.
Menurut Rice, West dan Black (1998) mengungkapkan bahwa ada
sebanyak 5,6% ibu hamil mengalami kekurangan vitamin A. Estimasi risiko
82

relatif (RR) yang berhubungan dengan kekurangan vitamin A pada ibu adalah
4,51 (95% CI: 2,91–6,94) semua penyebab menimbulkan kematian pada ibu.
Studi mengenai status vitamin A belum banyak dilakukan pada usia subur.
Keberadaan zat besi dan vitamin A dalam pertumbuhan dan perkembangan anak
sudah banyak dilakukan. Vitamin A sendiri sangat berperan dalam sintesis
hemoglobin (Hb), terutama untuk memobilisasi zat besi dan menstimulasi
produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Salah satu studi mengenai efek fortifikasi
vitamin A dalam pengaruhnya terhadap status vitamin A dilakukan di Kota Bogor,
Jawa Barat. Dalam studi, sebanyak 70 anak balita dikelompokkan menjadi 2, yaitu
35 anak balita diberi biskuit fortifikasi vitamin A dan 35 anak balita diberi biskuit
plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 4 bulan status vitamin A
yang diukur menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi pada kelompok
fortifikasi vitamin A dibandingkan dengan plasebo (p<0,05) (Widayani 2007).

Tabel 38 Faktor-faktor yang mempengaruhi status vitamin A


95.0% C.I.
Variabel Exp (β) = OR Sig.
Lower Upper
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) 0,896 0,100 8,024 0,92
1=Normal (TKE≥80%)
0=Defisit (TKE<80%)
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) 1,107 0,110 11,145 0,93
1=Normal (TKP≥80%)
0=Defisit (TKP<80%)
Tingkat konsumsi besi (TKFe): 0,875 0,174 4,400 0,87
1=Normal (TKFe≥77%)
0=Defisit (TKFe<77%)
Tingkat konsumsi vitamin A: 0,136 0,029 0,635 0,01*
1=Normal (TKVitA≥77%)
0=Defisit (TKVitA<77%)
Tingkat konsumsi vitamin C: 0,380 0,029 4,913 0,46
1=Normal (TKVitC≥77%)
0=Defisit (TKVitC<77%)
Infeksi: 0,397 0,073 2,166 0,29
1=Tidak Menderita
0=Menderita
Konstanta 1,827 . . 0,36
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa sebagian besar responden


mengalami defisit energi (71,5%) dan protein (56,5%), sebanyak 70,0%
responden termasuk ke dalam defisit zat besi, 62,5% defisit vitamin A, dan
88,0% defisit vitamin C. Kondisi status gizi menunjukkan bahwa ada
sebanyak 14,0% responden yang mengalami gizi kurang dengan IMT < 18,5
dan ada sekitar 12,5% responden yang mempunyai ukuran LILA < 23,5 cm.
Selain itu, ada sebanyak 11,1% responden WUS mengalami anemia,
sebanyak 13,3% mengalami defisien besi, 4,4% anemia gizi besi, 64,4%
defisien vitamin A dan semua responden WUS mempunyai status folat
dengan kategori normal.
2. Hasil uji Chi-square (X2) menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan
antara tingkat pendidikan responden dengan IMT (p=0,017); antara tingkat
konsumsi energi dengan LILA (p=0,009); dan antara tingkat konsumsi
vitamin A dengan status vitamin A (p=0,005).
3. Hasil uji regresi logistik terhadap status gizi berdasarkan IMT dan LILA
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden secara tidak langsung
berpengaruh terhadap IMT responden (n=138; p=0,04) (OR=2,569; 95% CI:
1,045-6,315); dan pengaruh yang signifikan antara tingkat konsumsi energi
(TKE<80%) dengan LILA (n=200; p=0,03) (OR=0,263; 95% CI: 0,075-
0,916). Selain itu, tingkat konsumsi protein (TKP <70%) juga menjadi faktor
risiko terhadap status LILA yaitu dengan OR=0,295; 95% CI: 0,088-0,983
(p=0,05).
4. Hasil analisis terhadap status gizi yang diukur secara biokimia menunjukkan
tingkat konsumsi vitamin A (TKVitA <77%) yang berpengaruh secara
signifikan terhadap status vitamin A (n=45;p=0,011) (OR=0,136; 95% CI:
0,029-0,635). Namun, uji statistik dengan menggunakan kategori defisit
tingkat berat (TKE dan TKP: < 70% dan TKFe, TKVitA, TKVitC: <50%)
84

terdapat pengaruh antara densitas vitamin C dengan status Hb yaitu dengan


OR=0,049; 95% CI: 0,003-0,765 dengan p=0,03.

Saran

Masalah kurang zat gizi makro dan mikro yang masih banyak terjadi pada
kelompok WUS sehingga diperlukan beberapa masukan baik untuk pemerintah
maupun untuk kajian penelitian yang lebih lanjut. Berikut beberapa saran yang
perlu diperhatikan guna mempersiapkan kehamilan:
1. Pemerintah :
a. Selama ini program perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah masih
terfokus pada kelompok Balita, dan Ibu Hamil, maka dengan adanya kajian
ini menjadi alternatif langkah lebih awal untuk memberikan intervensi/
perbaikan gizi pada kelompok WUS.
b. Masih rendahnya kualitas konsumsi pangan, baik dilihat dari jumlah
maupun keragamannya, diharapkan menjadi upaya-upaya pemerintah
daerah melalui dinas kesehatan dan stakeholder terkait untuk melakukan
sosialisasi/penyuluhan dan pendidikan gizi bagi WUS mengenai konsumsi
pangan yang baik dan beraneka ragam, serta dan menerapkan kebiasaan
hidup sehat guna mempersiapkan kehamilan yang baik karena status gizi
pada saat kehamilan sangat ditentukan oleh status gizi sebelum kehamilan.
c. Dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik, pemerintah
dapat memberikan pelatihan-pelatihan seperti kursus menjahit, merajut, dll
supaya dapat membantu pendapatan keluarga karena sebagian responden
merupakan ibu rumahtangga.
2. Untuk penelitian lebih lanjut :
a. Karena masih terbatasnya informasi mengenai masalah gizi pada kelompok
WUS, maka dapat dilakukan kajian yang lebih dalam lagi dengan
menambah variabel-variabel lain yang sekiranya diduga mempengaruhi
status gizi seperti pengetahuan gizi, persepsi gizi, sikap dan praktek gizi.
b. Dapat dilakukan penelitian dengan memberikan intervensi perbaikan gizi
pada kelompok WUS berupa suplementasi dan makanan tambahan bagi
mereka yang sedang mempersiapkan kehamilan dan memiliki status gizi
kurang.
DAFTAR PUSTAKA

Achadi EL. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Ahmed F, et al. 2005. Efficacy of twice weekly multiple micronutrient
supplementation for improving the hemoglobin and micronutrient status of
anemia adolescent schoolgirls in Bangladesh. Am J Clin Nutr 82:829-835.
Alderet E, Ezkenazi B dan Sholtz R. 1995. Effect of cigarette smoking and coffee
drinking on time to conception. Epidol 6(4): 403-408
Al Khatib et al. (2006). Folate deficiency is associated with nutritional anaemia
in Lebanese women of childbearing age. Public Health Nutr. 2006
Oct;9(7):921-7.
Ani LS et al. 2010. Kadar ferritin serum dan hemoglobin pada wanita pasangan
pengantin baru di Bali. Jurnal Gizi Pangan, 5(1):26-30.
Assefa N, Berhane Y dan Worku A. 2012. Wealth Status, Mid Upper Arm
Circumference (MUAC) and Antenatal Care (ANC) Are Determinants for
Low Birth Weight in Kersa, Ethiopia. PLoS ONE 7(6): e39957.
doi:10.1371/journal.pone.0039957.
Ambarwati, Sulchan dan Wardani RS. 2005. Hubungan antara status pekerjaan
ibu, frekuensi makan, dan tingkat konsumsi energi-protein anak dengan
status gizi anak TK (4-6 tahun) di TK Dharma Wanita Campurejo,
Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal tahun 2005. J Univ Muhammadiyah,
Semarang.
Amsalu S & Tigabu Z. Risk factor for severe acute malnutrition in children under
the age of five: A case-control study. Ethiop J Health Dev. 2008;22(1):21-
25.
Antony AC. 2008. Megoblastic Anemias. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et
al., eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia,
Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:39.
Atmarita. 2005. Nutrition problem in Indonesia. An Integrated International
Seminar and Workshop Lifestyle – Related Diseases, Gajah Mada
University: 19-20 March, 2005. Directorat of Community Nutrition,
Ministry of Health.
Azwar A. 2002. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Bina Kesehatan Masyarakat,
Depatemen Kesehatan, Jakarta.
. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Datang.
Disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju
Keluarga Sadar Gizi, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 27 September 2004.
Banda T. 2004. Infant feeding and children’s and women’s nutritional status.
Malawi Chapt 10.
86

Bappenas 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia


2010. Jakarta : Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional
Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Penerbit Rajawali. Jakarta.
BPS. 2011. http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_
tabel/task,/Itemid,171/. 5 September 2011.
Brabin & Brabin BJ. 2002. The cost of successful adolescent growth and
development. Am J Clin Nutr l992:55:955-8
Chilero A, Bovet P dan Paccaud F. 2005. Association between maternal smoking
and low birth weight in Switzerland: The EDEN Study. Swiss Med Wkly
2004. 135: 525-530.
Dallongeville J, Mare’caux N, Fruchart JC dan Amoyel P. 1998. Cigarette
smoking is associated with unhealthy patterns of nutrient intake: a Meta-
analysis. American Society for Nutritional Sciences.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
________. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
________. 2001. Buku Pedoman Tanda-Tanda Bahaya Pada Kehamilan,
Persalinan, dan Nifas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Diana TR. 2003. Hubungan status gizi mikro asam folat, vitamin B12, seng, dan
vitamin A pra suplementasi dengan pencapaian kadar hemoglobin harapan
ibu hamil [Tesis]. Semarang: Sekolah Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
Dillon DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of
riboflavin and vitamin A on iron status [Disertasi]. Netherlands:
Wageningen University.
Dina AS & Maria PH. 2003. Menjaga Kesehatan Bayi dan Balita. Jakarta. Puspa
Swara.
Drewnowski A. 2005. Concept of a nutritious food: toward a nutrient density
score. Am J Clin Nutr; 82(4): 721-732.
Ekowati, Kamaluddin R dan Febriani S.2007. Peran suami dalam pemeliharaan
status gizi ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Baturaden Banyumas.
jurnalonline.unsoed.ac.id. 5 Mei 2012.
FANTA-2. 2010. The Analysis of the Nutrition Situation in Uganda. Food and
Nutrition Technical Assistance II Project (FANTA-2), Washington, DC:
AED.
Genebo et al. 1999. The association of children’s nutritional status to maternal
education in Ziggbaboto, Guragie Zone South Ethiopia. Ethiopian Journal
of Health Develompment 13(1):55-61.
87

Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Assesment. Okali Ford Universty


Press.
Girma W & Genebo T. 2002. Determinants of nutritional status of women and
children in Ethiopia. Calverton, Maryland, USA: ORC Macro.
Isniati. 2007. Efek suplementasi tablet Fe+ obat cacing terhadap kadar
hemoglobin remaja yang anemia di Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah
Pasir Kec. IV Candung tahun 2008. J. Sains Tek. Far., 12(2): 100-104.
Kartasapoetradan MH. 2003. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan
Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineksa Cipta.
Khan DA et al. 2010. Iron, folate and cobalamin deficiency in anemic pregnant
females in tertiary care centre at Rawalpindi. J Ayub Med Coll Abbottabad
2010;22(1)
Levy TS et al. 2003. Anemia in Mexican women: A public health problem.
Salud Publica Mex 2003;45 suppl 4:S499-S507.
Madiyono et al. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis: Perkiraan
Besar Sampel. Jakarta: Sagung Seto.
Megawangi R.1991. Pre-school aged nutritional status parameters for indonesia,
and their application to nutrition-related policies. A thesis Presented to
the Faculty of the School of Nutrition. Tufts University.
Miller JE & Rodgers YV. 2009. Mother’s education and children’s nutritional
status: New evidence from Cambodia. Asian Development Review 26 (1);
131-165.
Morris MS et al. 2007. Folate and vitamin B-12 status in relation to anemia,
macrocytosis, and cognitive impairment in older Americans in the age of
folic acid fortification. Am J Clin Nutr 2007:85:193–200.

Mulyawati Y. 2003. Perbandingan efek suplementasi tambah darah dengan dan


tanpa vitamin C terhadap kadar hemoglobin pada pekerja wanita di
perusahaan plywood, Jakarta 2003.[Tesis] Jakarta: Program Pascasarjana
Uniersitas Indonesia.
[NFNC] National Food & Nutrition Centre. 2007. Micronutrient status of women
in Fiji. Ministry of Health, Sufa, Fiji.
Obong HNE, Enugu GI, dan Uwaegbute AC. 2001. Determinants of Health and
Nutritional Status of Rural Nigerian Women. J Health Popul Nutr 2001
Dec;19(4):320-330.
Padez et al. 2004. Prevalence of overweight and obesity in 7–9 year old
Portuguese children: trends in body mass index from 1970–2002. Am. J.
Hum. Biol. 2004:16:670–678.
Pattinson HA, Taylor PJ dan Pattinson MH. 1991. The effect of cigarette smoking
on ovarian function and early pregnancy outcome of in vitro fertilization
treatment. Fertil steril 1991: 55(4):780-783.
88

Pervaiz S, Gillani AH, Alliya dan Qayyum M. 2000. Effect of nutrient intake on
haematology in child bearing women of different age and socio–economic
groups. International Journal of Agriculture & Biology 1560-
8530/2000/02-4-282–285.
Piliang WG & Al Haj S. 2006. Fisiologi Nutrisi Vol 1. IPB Press.
Priswanti P. 2005. Hubungan ketersediaan pangan keluarga dan tingkat konsumsi
energi protein, Fe, asam folat, vitamin B12 dengan kejadian kurang energi
kronis (KEK) dan anemia pada ibu hamil.[Tesis]. Semarang: Program
Studi Ilmu Gizi Universitas Diponegoro.
Pritasari. 2006. Hidup sehat: Gizi seimbang dalam siklus kehidupan manusia.
Jakarta: Gramedia.
Pryer JA, Rogers S dan Rahman A. 2003. Factors affecting nutritional status in
female adults in Dhaka slums, Bangladesh. Soc Biol. Autumn-Winter;50(3-
4):259-69.
Purwaningsih E. 2007. Dampak Gangguan Gizi Sejak Awal Kehamilan Dalam
Terjadinya Penyakit Di Usia Dewasa (Suatu Kajian Ilmu Gizi Dan
Epidemiologi.[Tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Universitas
Diponegoro.
Rahman MM & Nasrin SO. 2009. Mothers nutritional status in an impoverished
nation: Evidence from rural Bangladesh. The Internet Journal of Nutrition
and Wellness. Volume 7 Number 1. DOI: 10.5580/135f
Rajhans K & Sharma R. 2011. Relationship between socio-economic status and
energy intake of elderly from Central India. Journal of The Indian
Academy of Geriatrics, Vol. 7, No. 4, December.
Rai K, Hirai K, Abe A dan Ohno Y. 2002. Infectious diseases and malnutrition
status in Nepal: an overview. Mal J Nutr 8(2): 191-200.
Rice AL, West KP dan Black RE. 1998. Comparative Quantification of Health
Risks: Vitamin A Deficiency. Chapter 4. WHO.
Riyadi, H et al. 1995. Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Usia
Penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan kecamatan Ciomas. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rolfes SR, Pinna K dan Whitney E. 2008. Understanding Normal and Clinical
Nutrition. New York: Cengage Learning.
Rose-Neil. 2007. Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Dian Rakyat: Jakarta.
Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspektifes in Nutrition. Washington DC:
Prentice Hall, Inc. Newyork, USA.
Shulman et al. 2002. Malaria in Pregnancy: adverse effects on haemoglobin levels
and birthweight in primigravidae and multigravidae. Trop Med Int Health
2002. 6(10): 770-778.
89

Simarmata M. 2004. Hubungan pola konsumsi, ketersediaan pangan, pengetahuan


gizi, dan status kesehatan dengan kejadian KEK pada ibu hamil di
Kabupaten Simalungun 2008. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sistiarani C. 2008. Faktor maternal dan kualitas pelayanan antenatal yang berisiko
terhadap kejadian berat badan lahir rendah (BBLR). [Tesis]. Semarang:
Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro.
Suhardjo. 1989. Sosio-Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Pangan dan Gizi. IPB.
Bogor.
Suhardjo & Riyadi H. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi Bogor.
Supariasa et al. 2001. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC, Jakarta.
Supriyati, Doeljachman dan Susilowati. 2000. Faktor sosio demografi dan
perilaku ibu hamil dalam perawatan antenatal sebagai risiko kejadian
distokia di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Berita Kesehatan Masyarakat;
XVIII; 2:65-70.
Susanna D, Hartono B dan Fauzan H. 2003. Penentuan kadar nikotin dalam asap
rokok. Makara Kesehatan 2003; 7:2

Tangkilisan HA & Rumbajan R. 2002. Defisiensi asam folat. Sari Pediatri 2002
4(1): 21 – 25.
Umk/UMR Jawa Barat tahun 2010. 2011. SK Gubernur No. 561/Kep.1665-
Bangsos/2009 Tanggal SK : 20 November 2009/hrcentro.com/umr. 14 Juli
2011.
[WHO] World Health Organization. 1995. Maternal anthropometry and
pregnancy outcomes: A WHO Collaborative Study, World Health
Organization Supplement 1995: 73:32-37
[WHO] World Health Organization. 2000. The management of nutrition in
major emergencies, Geneva: WHO.
[WHO] World Health Organization. 2005. Child Growth Standards Length/Hight-
for-Age, Weight-for-Age, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-
Age Methods and Development. Genewa.
WHO/CDC. 2008. Worldwide prevalence of anaemia 1993–2005 : WHO global
database on anaemia. De Benoist B, McLean E, Egli I, Cogswell M eds.
World Health Organization, Geneva. Available at
http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596657_eng.pdf
[WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan
dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta.
Wahyuni AS. 2006. Anemia Defisensi Besi pada Balita. Karya Tulis Ilmiah Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas sumatera Utara.
90

Widayani S. 2007. Ffikasi dan preferensi biskuit yang difortifikasi vitamin a dan
zat besi (fe) dan kaitannya dengan konsumsi, status gizi, dan respons imun
anak balita. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Wiludjeng RLK. 2005. Gambaran Penyebab Kematian Maternal di Rumah Sakit.
Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan
Kesehatan Departemen Kesehatan.
Yongki et al. 2009. Status gizi awal kehamilan dan pertambahan berat badan ibu
hamil kaitannya dengan BBLR. J Pangan dan Gizi 2009. 4(1): 8-12.
Yimer G. 2000. Malnutrition among children in Southern Ethiopia: Levels and
risk factors. Ethiopian Journal of Health Development 14(3):283-292.
Zhu et al. 2010. Iron, folate, and B(12) deficiencies and their associations with
anemia among women of childbearing age in a rural area in Northern
China. Int J Vitamin Nutr Res. Apr;80(2):144-54.

You might also like