You are on page 1of 13

PENGARUH PEMIKIRAN POSTMODERN DALAM PELAYANAN PUBLIK

Oleh :
Arman Razak, S.AP
(Widyaiswara Pertama Balai Diklat Keagamaan Manado)

Abstrac :

Postmodernism was originally born as a critical and reflective reaction against modernism
paradigm that is deemed failed to complete the Enlightenment project and led to the emergence of
various pathologies of modernity. Pauline M. Rosenau, in her study of postmodernism and social
sciences, noted at least five important reasons postmodernism lawsuit against modernism. Modernism
began to lose grounding praxis to fulfill the emancipatory promises aloud unvoicing ago. Modernism
once hailed as the liberator of man from the bondage of myths and idols oppressive medieval culture,
is now shown to actually handcuff man with the myths and new idols are even more oppressive and
enslaving.
Post Modern Public Administration Public service understood as a new flow of discourse (policy)
postmodern. The essence of the policy lies in the spirit of postmodern philosophy major in public
administration, that is most important in any political process (policy) is how the policy is effective and
participatory
Postmodern view of public administration, the idea of discourse points to the importance of the fight
constellation of social discourse as a critical attitude toward the complex dynamics of the public to
wisely addressed by policy makers. That discourse looked at each other administrators and citizens
engage with each other, not only in the rational self-interest relationship, the more they are involved as
participants build relationships like among humans.

Key Word : Postmodernism, Public AdministrationandPublic Service

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modern sangat berhubungan dengan segala hal yang berbau massal. Melalui
proses mekanisasi, modern akan menghasilkan berbagai produk yang akan
diproduksi secara massal. Dengan adanya penemuan mesin cetak, maka buku –
buku dan kitab suci dicetak secara massal dan didistribusikan secara
cepat.Dalam era modern, media juga sangat sangat berkembang pesat akibat
dari penemuan mesin cetak. Penyampaian informasi juga lebih cepat dan
informatif karena memiliki output yaitu hasil cetakan.
Modern sangat erat kaitannya dengan revolusi industri.Pada masa itu muncul
penemuan – penemuan baru seperti mesin cetak dan sebagainya.Hal ini
mendorong orang untuk membuka pabrik dan menciptakan industrialisasi.
Sehingga akan muncul golongan – golongan di masyarakat seperti golongan
pekerja, golongan pemilik pabrik dan sebagainya. Impilikasi lainnya adalah
akantimbul golongan kaya dan miskin. Hal ini kemudian berdampak pada produk
yang dipakai masyarakat.Contohnya, perbedaan antara piring bangsawan / orang
kaya dengan piring rakyat bisasa / golongan pekerja. Pring orang – rang kaya
didesain sedemikian rupa dengan tambahan bordir atau ukiran di pinggirnya. Dan
ini sangat jauh berbeda dengan apa yang digunakan oleh para pekerja. Ini
menimbulkan stereotype bahwa seni hanya milik orang – orang berkelas.Hal ini
memunculkan suatu statement bahwa modernism menampilkan suatu desain
sebagai suatu industri.Desain merupakan suatu kreasi dari sebuah benda
fungsional yang diproduksi secara massal.
Modern juga melahirkan budaya dan seni pop.Pop merupakan kependekan
dari populer yang artinya semua orang tahu dan menggemarinya. Menurut
sejarah, seni pop dunia berakar dari gerakan dadaisme di Eropa pada tahun
1916. Gerakan ini merupakan gerakan anti seni yang melakukan pemberontakan
terhadap kaidah – kaidah seni yang telah mapan dengan jalan menciptakan
lecehan dan gebrakan baru yang tidak terikat lagi oleh unsur formal yang
dragmatis.
Postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif
terhadap paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek
Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas. Pauline
M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial,
mencatat setidaknya lima alasan penting gugatan postmodernisme terhadap
modernisme.
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke
arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para
pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri
dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi
kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan
fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan
bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang
dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya
berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan
dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut
fisik individu.
Dengan latar belakang demikian, modernisme mulai kehilangan landasan
praksisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris yang dahulu lantang
disuarakannya. Modernisme yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas
manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad pertengahan yang
menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan mitos-mitos dan
berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan memperbudak.
B. Identifikasi Masalah
Pelayanan public masih menjadi persoalan di Indonesia, ada berbagai macam
pendekatan yang ditempuh untuk memperbaiki kualitas Pelayanan di Indonesia
salah satunya adalah Post Modern yang lahir sebagai pemikiran alternative untuk
meningkatkan mutu layanan.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah yang dirumuskan
adalahSejauhmana pengaruh pemikiran postmodern dalam meningkatkan kualitas
Pelayanan public.

D. Tujuan Penulisan
Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan artikel ini
adalah untuk mengetahui Pengaruh Pemikiran Post Modern dalam Pelayanan
Publik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PANDANGAN POSTMODERN DALAM ADMINISTRASI PUBLIK


Untuk memahami dan mengerti postmodern administrasi public, dapat kita mulai
dengan mengenal karakterisitk dari postmodern itu sendiri, apakah modern atau high –
modern.Modernity adalah sebuah penolakan yang merupakan pencerahan dari
premodern yaitu mitos, misteri, dan kekuatan tradisional yang berdasar atas pentahbisan
secara turun temurun.Perubahan jaman menjadi alasan yang natural untuk menaklukan
pesan yang biasa kita sebut dengan honorarium atau ketuhanan dan digantikan dengan
sisten hak untuk menentukan nasib sendiri yaitu demokratis, kapitalisme, sosialisme, dan
marxisme.
Suatu hal yang sama pentingnya, jaman dijadikan alasan untuk menolak
pangetahuan berdasarkan tahayul atau ramalan dan menggantinya dengan pengetahuan
berdasarkan ilmu pengetahuan. Semua berasal dari gemblengan pelajar modern dan
ladang ilmu pengetahuan yang memberikan kontribusi dalam pencerahan dan filsafat
mengenai hal asal berdasarkan atas pengamatan yang obyektif terhadap sebuah
fenomena dan penjabaran, baik secara kuantitas maupun kualitas, sebuah fenomena.
Filsafat modern mengasumsikan akan sebuah pola pesanan yang discernable dalam fisik
dan dunia social, dan dalam dunia social, hal tersebut mengasumsikan sebuah positivis
dan kumpulan rasional antara arti dan akhir. Pandangan modern adalah pengejaran
terhadap pengetahuan melalui alasan dan pengetahuan yang disampaikan secara
sederhana dan diasumsikan menjadi sebuah kebenaran yang memang benar.
Untuk postmodern, berdasarkan pada logika pencerahan administrasi pemerintahan
modern secara sederhana tersesat. Pada kenyataannya, fakta berbicara baik secara
tertulis ataupun tidak, walaupuan mereka berbicara untuk diri mereka sendiri (farmer,
1995,18).
Kenyataan mempresentasikan proposisi dan hipotesis yang disampaikan
berdasarkan observasi.Fakta menjelaskan, pengamat tidak hanya secara aktif dalam
pembentukan pengiriman sebuah pesan tapi juga aktif dalam pembentukan image
penerima pesan.Di tempat kedua” melihat bahwa ilmu social adalah sesuatu
pertambahan kumulatif dari pengetahuan berdasar pada kinerja dari subjek manusia
manusia secara netral melalui pengamatan aksi dan interaksi terhadap obyek
membiarkan fakta berbicara untuk diri mereka sendiri tak dapat ditahan. Hal ini agak sulit
untuk ditautkan melihat bahwa pikiran terdiri dari berbagai sel yang peka terhadap
rangsangan berkenaan dengan akitifitas luar seperti kesan atau ide(farmer, 1995,1).
Dikarenakan pengamat dari fakta adalah pecerita dari fakta itu sendiri, untuk postmodern,
bahasa menjadi factor yang sangat penting.Sebuah kenyataan dari konstruksi social
dibangun berdasarkan bahasa dan bahasa selalu setia dalam setiap argument
postmodern.Oleh karena itu, postmodern public administrasi berkaitan erat dengan
semantic dan postmodern meletakkan itu.”hermeneutic (studi mengenai hubungan antara
alasan, bahasa, dan pengetahuan), terutama memiliki perhatian terhadap text.
Text, dalam kasus ini, dapat berbentuk tulisan ataupun tulisan dalam bentuk
praktek social, instistusi, atau aturan lain atau aktivitas (farmer, 1995, 21).Sebagai sebuah
pembelajaran atau text sebagai subyek kami, kami terlibat dalam pola interpretasi
refleksif, sebuah process penjabaran, baik secara kuantitatif ataupun kualitatif, yang
mengggambarkan kenyataan sebuah bentuk reflek atau respon antara subyek dan yang
menggambarkan subyek. Dan hal ini didebat oleh theory administrasi public, yang
faktanya, adalah bahasa administrasi public.(farmer). Sebuah refleksi paradigma bahasa
adalah, menurut Farmer:” adalah sebuah proses yang menyenangkan dan
menyesuaikan antara dialog dengan penggarisbawahan isi dari bahasa public
birokrasi….dan merupakan seni yang mencari dan menarik keluar dan digunakan
sebagai konsekuensi dari hemeneutik, reflektif, dan karakter linguistic sebagai
jalan yang kita sudah seharusnya pahami dan membentuk fenomena administrasi
public
Postmodern menggambarkan hidup modern yang hiperrealiti, mengaburkan
kenyataan dan khayal.Postmodern seperti yang baudrillard klaim merupakan sebuah
pemutusan yang fundamental dengan dunia modern baru-baru ini. Media massa, system
informasi, dan teknologi adalah bentuk control baru yang mengubah politik dan
kehidupan. Garis batas antara informasi dan hiburan sudah tidak terlihat, sama seperti
garis batas antara citra dan politik. Tentu saja, masyarakat itu sendiri juga.
Postmodern adalah proses menghancurkan makna. Cita-cita kebenaran,
rasionalitas, kepastian, dan koherensi adalah lebih karena bagi Baudrillard, sejarah telah
berakhir. Postmodernitas adalah berkarakter “ dari sebuah alam semesta di mana tidak
ada lagi definisi yang mungkin … itu semua sudah dilakukan. Batas yang ekstrem ini
kemungkinannya tercapai …. Yang tersisa adalah bermain dengan potongan-potongan.
Bermain dengan potongan itu postmodernism(Baudrillard, dikutip dalam Farmer, 1995, 6).
Key mata pelajaran dalam postmodern leksikon adalah kolonialisme, termasuk
kolonialisme korporasi, ketidakadilan sosial, ketidaksetaraan gender, dan distribusi
kekayaan antara negara maju dan apa yang disebut dunia ketiga. Ironisnya, tentu saja,
pencerahan membawa apa yang sekarang digambarkan sebagai-pemerintah dan
demokratis, di negara-negara yang praktik itu, apa yang sekarang umumnya dianggap
sebagai tingkat tertinggi kebebasan manusia (diri), pemerintah, dan baik – sedang dalam
sejarah.
Namun demikian, postmodernis tidak salah mengenai kemiskinan, ketidakadilan,
dan ketidaksetaraan.Akhirnya, modernitas, dalam perspektif postmodern, terutama
berkaitan dengan pengetahuan objektif dan perkembangannya.Postmodernitas lebih
peduli dengan nilai-nilai dan pencarian kebenaran daripada dalam penokohan
pengetahuan.“Partikularisme nasional administrasi publik Amerika memang memiliki
kelemahan yang mendalam dalam hal pertentangan dan blind spot.Sebuah perlawanan
telah dicatat sebelumnya antara partikularisme dan universalisme.
Dorongan untuk tidak terikat atau lebih focus pada batasan-batasan juga
pertentangan. Sejauh yang sudah diintrepretasikan, administrasi public memiliki
ketrtarikan untuk mengintrepetasikan dengan sesedikit mungkin batasan budaya
didalamnya.Ketertarikan ini ikut mempengaruhi didalam. Tanpa adanya ketertarikan
budaya, sebagai contoh, pertanyaan tentang insightful dapat dilupakan.(Farmer 1995.55-
56). Tidak diragukan administrasi publik modern sebagian besar merupakan abad kedua
puluh produk Amerika, lengkap dengan banyak petugas yang tidak terikat budaya.
Post Modern Public Administration Pelayanan publik baru dipahami sebagai alur
dari wacana (kebijakan) postmodern. Inti dari kebijakan postmodern terletak pada spirit
utama dalam filsafat administrasi publik, bahwa yang paling penting dalam setiap proses
politik (kebijakan) adalah bagaimana kebijakan tersebut efektif dan partisipatif. Dalam
melihat kehidupan sosial, kebijakan postmodern memandang, baik fakta ataupun nilai
sangat sulit untuk dipisahkan, alih-alih, dalam banyak kasus, persoalan nilai ternyata lebih
berharga ketimbang fakta-fakta dalam memahami tindakan manusia “….potmodern public
administration theorist have a central commitment to the idea of “discourse”, the notion
that public problems are more likely resolved through discourse than through “objective”
measurenment or rational analysis” (Mc Swite, 1997 : 377) Administrasi publik
postmodern memandang, ide tentang diskursus menunjuk pada pentingnya konstelasi
pertarungan wacana sosial sebagai sikap kritis terhadap dinamika publik yang kompleks
untuk disikapi secara arif oleh para penentu kebijakan. Bahwa diskursus memandang
administrator dan warga Negara saling terlibat satu sama lain, tidak hanya sebatas pada
hubungan kepentingan pribadi yang rasional, lebih-lebih mereka terlibat sebagai
partisipan yang membangun relasi layaknya antar sesama manusia.
Ada beberapa krusial point yang membedakan antara kebijakan postmodern dari
kebijakan modern, yaitu :
1. Serve citizens, not customer : kepentingan publik merupakan hasil dialog bersama
tentang nilai-nilai kebersamaan ketimbang agregasi kepentingan pribadi setiap
individu. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya respon terhadap permintaan
“pelanggan” akan tetapi lebih fokus pada hubungan-hubungan saling percaya dan
kolaborasi aktif dengan dan antara warga Negara.
2. Seek the public interest : administrator publik harus berkontribusi untuk membangun
kolektivitas terhadap kepentingan publik. Tujuannya tidak ditujukan untuk
memperoleh solusi yang cepat yang (hanya) dimotori pilihan pribadi. Lebih dari itu,
adanya kreasi kepentingan dan pertanggung jawaban yang lahir atas dasar nilai-nilai
saling berbagi.
3. Value citizenship over entrepreneurship :kepentingan publik lebih baik jika dijalankan
dengan komitmen pelayanan publik dan warga Negara dalam menciptakan kontribusi
yang bermakna terhadap masyarakat daripada dikemudikan oleh manager wirausaha
yang lebih banyak bertindak sebagai “uang” publik yang sifatnya kembali pada
kepantingan pribadi manager tersebut.
4. Think strategically act democraticly : kebijakan dan program yang mempertemukan
kebutuhan-kebutuhan publik akan sangat efektif dan responsible jika dicapai melalui
upaya kolektif dan proses kolaboratif.
5. Recognize that accountability is not simple:pelayan publik seharusnya memiliki atensi
yang lebih besar dari pasar; mereka juga bergerak berdasarkan hukum dan undang-
undang, nilai komunitas, norma politik, standart professional dan pada kepentingan
warga Negara.
6. Serve rather than steer : sangat penting bagi pelayan publik untuk bekerja
berdasarkan jiwa kepemimpinan dan berbasis nilai untuk membantu warga Negara
dalam mengartikulasikan dan memperoleh kepentingan mereka ketimbang upaya
untuk mengontrol dan menyetir masyarakat dalam tujuan-tujuan baru.
7. Value people, not just productivity : organisasi publik dan jaringan dimana mereka
berpartisipasi akan memberi hasil jangka panjang yang baik jika saja mereka bekerja
melalui proses-proses kolaboratif dan memimpin berdasarkan rasa hormat terhadap
seluruh masyarakat. Bila kebijakan postmodern ini dikaitkan dengan padangan
Hawlett soal implementasi kebijakan, maka dapat dipahami bahwa teori generasi
kedua beranjak pada wilayah yang tidak lagi melihat pada batas-batas “baik” dan
“buruk” suatu kebijakan sosial.
Artinya, menurut Hawlett, generasi kedua mencanangkan model implementasi
kebijakan yang mendekontruksi dikotomi tersebut pada suatu pemahaman yang tidak
bersifat teknis semata dan tentunya, harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial,
ekonomi dan politik sebagai pilihan instrumennya.
Dua hal yang penulis akan coba rangkai dan paparkan. Pertama soal relasi
kekuasaan, dan kedua tentang anti-humanisme.Soal relasi kuasa, secara teori Foucault
ingin membongkar teori organisasi yang mapan, karena baginya teori organisasi yang kini
banyak dipelajari banyak diadopsi dari dominasi teori-teori organisasi privat.Baginya
pengetahuan tidak bersifat netral karena selalu ada sisi buruknya bernama kuasa.Bahkan
ilmu pengetahuan bernama manajemen yang saat ini banyak diaplikasikan itu menjadi
instumen akserelasi kapitalisme bekerja. Namun tidak sedikit massa yang menyadari hal
ini, karena sudah dianggap suatu hal yang lumrah, dan memang seperti itulah adanya.
Dalam bahasa lain totalitas/absolute.
Kemudian, karena sudah berlandas pada „pengetahuan-pengetahuan yang telah
baku‟ apa yang dikerjakan oleh para pekerja diterima begitu saja tanpa tindak refleksi.
Untuk mengenal permasalahan ini kita bisa kembali pada jaman Orde Baru.Rezim ini
berhasil mendisiplinkan para aparatur negara dengan diskursus pengetahuan yang
diciptakan melalui literasi-literasi positifis yang disodorkan Amerika.Di sinilah poin anti-
humansime Foucault berbicara.Aparatur negara sebagai subjek dinilai dalam kaca mata
Foucault sudah mati, selubung struktur sudah menyelimuti kesadaran bahkan fisik dari
para civil servant sehingga apa-apa yang dilakukan pegawai untuk organisasi bukan
karena kesadaran.Ada semacam kontruksi yang menyetir kerja.
Karena kekuasaan bekerja dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan
ilmu dan pendirian-pendirian lembaga, ia pun menyebar dan bekerja mengendalikan
banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi
produktif dan reproduktif dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan
masyarakat. Melalui geneologi pengetahuan Foucault membedah bagaimana
pengetahuan terbentuk dan bekerja.
Terkait hal ini, Mark (2008) menjelaskan, “genealogies typically explore the
conditions of possibility of contemporary beliefs and practices, since they uncover the
historical contingencies that made it possible for people today to think and act as they
do”.Iniliah yang dibaca Foucault, yang kemudian penulis lihat juga terjadi dalam praktik
administrasi di organisasi publik, misal pada selubung profesionalisme. Profesionalisme di
organisasi publik menjadi pengetahuan yang wajib dituruti, pekerja dalam hal ini dikontrol
dan diawasi oleh profesionalisme, dengan kata lain profesionalisme di sini menjadi
biopower, misal pelayanan publik, tugas dari administrator negara hanya menjadi
masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis dan ideologis, sehingga dianggap lebih
bebas nilai. Sedangkan proposal Foucault adalah berkonsentrasi pada bagaimana para
pekerja bisa mengontrol diri tanpa adanya paksaan, baik yang ekplisit maupun implisit,
bahkan sampai pada “self-improvement”, “service excellence” dan “working hard” atas
dasar diri sendiri. Ihwal lain yang menarik dari analisis Foucault adalah tentang gender,
gender hasil dari dekonstruksi teori-teori besar tentang organisasi yang sama sekali tidak
pernah menampilkan isu ini kepada sidang akaedemisi. Hal ini pun menemui pangkal pro-
kontranya, karena selain banyak yang menjadi pendukung Foucault namun tidak sedikit
pula yang menanyakan kembali relevansi gender dengan tujuan yang diharapkannya:
kesetaraan.
Terminologi penting yang dikedepankan postmodern, begitu juga dalam hal ini
Foucault adalah emansipasi.Emansipasi di sini dimanifestasikan dalam bentuk
pembebasan radikal bagi kaum-kaum minoritas dan marjinal yang suaranya tidak pernah
didengar.Dalam ranah teori organisasi pun demikian, seringkali ajaran-ajaran atau diktum
teori organisasi menjelaskan ragam hal yang sifatnya normatif, namun justru dalam
aplikasinya selalu berbenturan dengan realitas.Misal pengambilan kebijakan organisasi
idealnya dibahas secara demokratis, namun ternyata bila ditelusuri ditemukan dominasi
maskulinitas.Atau ditarik lebih luas, ternyata mayoritas yang menduduki jabatan dalam
organisasi publik ternyata kaum lelaki.Hal-hal seperti inilah yang dicoba diproblematisir
oleh Foucault dan pengikutnya.
Membicarakan gender kaitannya dengan administrasi publik dapat dilacak dari
Maria Mies (dalam Nugroho: 2008) tentang housewifization, yaitu: Proses di mana wanita
diberi definisi sosial sebagai ibu rumah tangga, yang tergantung kepada suami untuk
penghidupan mereka, terlepas apakah mereka secara defacto ibu rumah tangga atau
bukan. Definisi sosial wanita sebagai ibu rumah tangga adalah pasangan definisi sosial
pria sebagai pencari nafkah, terlepas dari kontribusi nyata yang mereka berikan kepada
rumah tangga dan keluarga.
Konstruksi tersebut, jelas Nugroho (2008), dibentuk melalui kebijakan-kebijakan
publik dan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Hal ini tampaknya diinspirasi oleh
pemikiran Foucault dalam History of Sexuality (1980) yang mengatakan bahwa seks tidak
hanya dilihat sebagai sekedar sarana reproduksi atau sebagai sumber kesenangan, tapi
juga telah menjadi pusat keberadaan manusia atau tempat istimewa di mana kebenaran
diri kita berada (Suryakusumah: 1991). Artinya makna akan kebenaran diletakan di atas
basis perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di sini wacana gender bertemu dengan
kebijakan publik, atau dalam konteks yang lebih luas wacana gender bertemu dengan
administrasi publik sebagai lembaga pembuat dan pelaksana kebijakan publik
Bisa dikatakan isu gender di dalam administrasi publik, khususnya yang berimbas
pula dalam kajian organisasi publik masihlah sangat minim. Sehingga pada kasus
minimnya partisipasi perempuan dalam organisasi publik dianggap sebagai sesuatu yang
wajar, baik dilihat dari sudut pandang laki-laki bahkan ironisnya juga sudut pandang
perempuan.Ada pelekangan dari kaum perempuannya sendiri.Padahal wacana ini
sejatinya sudah cukup lama dianggap penting.Sejak tahun 1992, Hawkesworth dan
Kogan (1992) mengemukakan isu ini sudah dimasukan dalam ensiklopedi pemerintah
dan politik yang diterbitkan Eropa. Dalam konteks kontemporer pun isu gender masuk
dalam kajian global governance (O‟Brien:2000). Akan tetapi memang isu ini belum
dikategorisasikan sebagai sesuatu hal yang pokok, karena biasanya unsur-unsur yang
dikaji dalam teori organisasi lebih mengutamakan pada pembahasan efektifitas, efisiensi,
akuntabilitas, profesionalisme dsb.
Secara teorits, ada hal lain yang perlu dikaji selain isu-isu utama selain efektifitas
dan efisiensi organisasi, secara relasi kuasa selalu ada selubung dominasi kekuatan yang
tidak terlihat yang mempengaruhi pengetahuan-pengetahuan dan manusia, sehingga
manusia pun tidak lagi tepat disebut sebagai subjek, yang dalam hal ini berarti para
pekerja di organisasi publik bisa terseret pada de-subjektivikasi. Kemudian pembahasan
tentang gender dan sexualitas. Habermas menunjukkan bahwa pangkal segala
kebingungan dan krisisdalam modernitas adalah kesalahpahaman mengenai rasionalitas

B. PENGARUH POSTMODERN TERHADAP PELAYANAN PUBLIK


Postmodern, menurut Armada Riyanto, 2009, dewasa ini menjadi sangat
dominan, menggurita pada sektor-sektor politik, pemerintahan, seni, sastra, ekonomi
bahkan religiusitas.Bahkan sudah dianggap seperti hantu karena unsur ketidakpastian
pada postmodern itu sendiri.Postmodern juga mengakibatkan hubungan antar manusia
menjadi bergeser, sehingga faktor otoritas individu dengan individu lainnya sangat
berperan atas bagaimana hubungan antar manusia itu sendiri.
Teknologi adalah sebuah produk dari konstruksi rasional, yang berawal dari
kesadaran rasional manusia terhadap sesama, lingkungan dan
Tuhannya.Berkembangnya teknologi, khususnya teknologi informasi menjadikan batasan
antara wilayah dan manusia menjadi semakin lebih sempit.Otoritas antar individu dan
wilayahpun menjadi semakin pendek, yang pada akhirnya muncul istilah
globalisasi.Globalisasi dan revolusi teknologi informasi telah merubah wajah
pemerintahan, yang sebelumnya memiliki otoritas penuh terhadap rakyatnya, sehingga
tapal batas wilayah antar daerah menjadi semakin kabur. Kebijakan yang diambil oleh
suatu daerah akan segera mempengaruhi daerah lain sehingga seringkali suatu kebijakan
tidak bisa lepas dari intervensi dari masyarakat.
Perubahan arah politik yang lebih menekankan pada kekuasaan tertinggi ada
pada rakyat menyebabkan tekanan yang besar sehingga perlu adanya tata kelola
pemerintahan yang lebih baik, transparan dan akuntabel atau yang kemudian dikenal
dengan Good Governance. Governance dan Good Governance banyak didefinisikan
berbeda menurut para ahli, namun dari perbedaan definisi dan pengertian tersebut dapat
dirumuskannya sebagai cara mengelola urusan-urusan publik (Mardiasmo, 2004:17).
Good dalam good Governance mengandung dua pengertian sebagai berikut. Pertama,
nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.Kedua, aspek fungsional dari
pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai
tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini, Good Governance berorientasi pada :
1. Orientasi ideal, Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Orientasi
ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen
konstituennya seperti : legitimacy (apakah pemerintah) dipilih dan mendapat
kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of human rights
autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control.
2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam
melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada
sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta
mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien,
(Sedarmayanti,2004:6)
Disinilah terlihat bahwa publik atau rakyat memiliki peran penting terhadap
negara.Baik atau tidak baik sebuah negara dalam menjalankan peran kenegaraan,
pendapat dari masyarakat atau rakyat sangat menentukan.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan good governance
adalah pelayanan publik yang pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat
luas.Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai
pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan
reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-
an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas
pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama
dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang
Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini
dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong
komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah
diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu
Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah
diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Dalam konsep pelayanan, terdapat dua pelaku pelayanan yaitu penyedia
pelayanan dan penerima pelayanan.Penyedia pelayanan atau service provider (Barata
2003:11) adalah pihak yang memberikan pelayanan tertentu kepada konsumen, baik
berupa pelayanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-
jasa (services).Sedangkan penerima pelayanan (service receiver) adalah pelanggan
(customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan para penyedia
pelayanan.
Pelayanan publik adalah representasi dan eksistensi dari birokrasi pemerintah
yang memangku fungsi sebagai pemberi layanan terhadap masyarakat.Oleh karena itu,
kualitas layanan yang diberikan merupakan cerminan dari kualitas birokrasi
pemerintah.Paradigma pelayanan publik pada masa lalu, memberikan peran yang lebih
terhadap pemerintah sebagai sole provider.Masyarakat atau penerima layanan sebagai
pihak luar tidak memiliki tempat atau termarjinalkan. Masyarakat hanya memiliki sedikit
sekali dalam memberikan warna dalam proses pelayanan publik.
Reformasi pelayanan publik pada tahun 1990 terjadi karena kesalahan dalam
memahami paradigma atau mitos upaya memperbaiki kinerja pemerintah. Menurut
Osborn & Plastrick (1996 : 13) terdapat lima mitos dalam konsep pelayanan public yaitu
mitos liberal (spending more and doing more), konservatif (spending less and doing less),
bisnis, pekerja dan rakyat. Hughes (1994) mengatakan bahwa ”government organization
are created by the public, for the public, and need to be accountable to it.”Organisasi
publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada
publik.Bertumpu pada pendapat ini, pemimpin organisasi publik diwajibkan
berakuntabilitas atas kinerja yang dicapai organisasinya.Tujuan utama organisasi publik
adalah memberikan pelayanan dan mencapai tingkat kepuasan masyarakat seoptimal
mungkin.
Karakteristik manajemen pelayanan pada sektor publik sebagai suatu
keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah, memiliki
dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, memiliki kelompok kepentingan
yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders), memiliki
tujuan sosial serta akuntabel pada publik.
Sejalan dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan negara, dan dalam
upaya mewujudkan pelayanan prima, paradigma pelayanan publik berkembang dengan
fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer-driven
government) yang dicirikan dengan lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan,
pemberdayaan masyarakat, serta menerapkan sistem kompetisi dan pencapaian target
yang didasarkan pada visi, misi, tujuan dan sasaran.
Tetapi dalam melihat potret organisasi publik di Indonesia terlihat masih jauh dari
aspek-aspek good governance.Terlihat dari masih tingginya angka korupsi di organisasi-
organisasi publik. Terlihat dari indeks yang dikeluarkan oleh indeks persepsi korupsi
Indonesia, Indonesia menempati urutan ke 122 dari 133 negara pada tahun 1998-2003.
Perubahan atmosfer kepemerintahan yang menyikapi akan perilaku korupsi
semakin menunjukkan kekuatan rakyat sebagai penguasa tertinggi pada sebuah Negara.
Tersusunnya Perundang-undangan tentang korupsi, pengadilan korupsi sampai sebuah
lembaga khusus yang mengemban tugas untuk memberantas korupsi. Pejabat pelaku
korupsi akan menerima sebuah stempel baru dari masyarakat yang menjadi sebuah
hukuman yang bukan pada tataran yuridiksi tetapi pada tataran kultural. Korupsi adalah
melanggar budaya, budaya jujur, budaya hemat, budaya peduli pada wong cilik. Bahkan
pada beberapa tempat, para demonstran menyerukan bahwa dosa dari korupsi sama
dengan dosa teroris.
Korupsi pada pelayanan terhadap publik, bukan hanya pada besarnya biaya
adminsitrasi yang tidak sesuai dengan tuntunanya, tetapi juga waktu, sikap, kualitas
pengetahuan akan pelayanan, akurasi pelayanan dan kepastian akan pelayanan
terhadap masyarakat. Kondisi ini karena mental yang belum sepenuhnya mengerti akan
jiwa melayani.

BAB III
KESIMPULAN
1. Postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap
paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan
menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas
2. Inti dari kebijakan postmodern terletak pada spirit utama dalam filsafat administrasi
publik, bahwa yang paling penting dalam setiap proses politik (kebijakan) adalah
bagaimana kebijakan tersebut efektif dan partisipatif
3. Administrasi publik postmodern memandang, ide tentang diskursus menunjuk pada
pentingnya konstelasi pertarungan wacana sosial sebagai sikap kritis terhadap
dinamika publik yang kompleks untuk disikapi secara arif oleh para penentu
kebijakan. Bahwa diskursus memandang administrator dan warga Negara saling
terlibat satu sama lain, tidak hanya sebatas pada hubungan kepentingan pribadi yang
rasional
4. pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan
oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun
pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Badu Ahmad “ Kondisi Birokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pelayanan
Publik” Jurnal Administrasi Publik, Volume IV No. 1 PKP2A II LAN
Makassar, 2008

David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government (Mewirausahakan


Birokrasi): Sepuluh Prinsip untuk Mewujudkan Pemerintahan
Wirausaha , PPM, Jakarta, 2003,
Emma Rudy, Galih Muharam Hidayat, mengenali kemungkinan penerapan post
modern perspectivevpada administrasi publik. STIA LAN, Jakarta
H. Obsatar Sinaga, “ Makalah Kebijakan Dan Agenda Reformasi Administrasi” Fisip
Universitas Padjajaran

Koesnadi Hardjasoemantri “ Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional “


Ke VIII di Bali, tanggal 15 juli 2003

Mardiasmo, Prof. Dr. MBA., Akt. “ Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas


Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik : Suatu Sarana good governance
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Madadiucapkan di depan rapat terbuka Majelis Guru
Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 29 september 2003 di
Yogyakarta

Owen E. Hughes, Public Management and Administration: An Introduction (Second Edition)


St. MartinPress, New York, 1998,

Richard Appignanesi, C. G. (1997). Mengenal Posmodernisme For Beginners. Bandung:


Mizan.

Yeremias T. Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan
Isu (Edisi Pertama) Gava Media, Yogyakarta, 2004

http://www.artikelilmiah.tk/2013/06/rangkuman-dan-komentar-terhadap.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik
http://www.google.co.id/

You might also like