You are on page 1of 32

Analisis Fleksibilitas Pengelolaan Keuangan Pada

Puskesmas Badan Layanan Umum Daerah


(Kasus Dua Puskesmas di Kabupaten Banjar)1
Oleh Yulianti Suwarsi2

Abstract

The problems that occurred in the management of Martapura &


Gambut community health center which defined as the Public Service
Board / Local with full status is Financial Management (PPK) Public
Service Agency (BLUD) can not be implemented in accordance with
applicable regulations. This study is to describe and evaluate the
flexibility impact of the financial management of the community health
center in Banjar regency government which established community health
center as BLUD with full status; in order to identify any obstacles that
occur after becoming BLUD with full status; comparing the rules,
theories in the implementation of full BLUD at Martapura and
Gambut community health centers. From the results of research on
quantitative data, the result that the performance of Martapura
community health center decreased on average by 10% and decreased
performance of Gambut community health center by an average of 1%.
While research on qualitative data obtained that Martapura and
Gambut community healt center can not be flexible in financial
management. Based on the evaluation and analysis of research on all
the two community health center describe that full BLUDs status at
Martapura and Gambut community health center can not yet be
flexible in the use of sources of income and can not increase the
performance of services.


1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Analisis Fleksibilitas Pengelolaan Keuangan

Pada Puskesmas Badan Layanan Umum Daerah (Kasus Puskesmas Martapura


dan Puskesmas Gambut di Kabupaten Banjar)”, yang dibuat oleh Yulianti
Suwarsi dibawah bimbingan Dr Hary Supriadi MA dan Dr Mukhtar Sarman
MSi.
2 Yulianti Suwarsi adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi

Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) angkatan


tahun 2014, dan status pekerjaannya saat itu adalah auditor BPKP Provinsi
Kalimantan Selatan di Banjarbaru.
164

A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang.
Komitmen Pemerintah untuk membangun kepemerintahan yang
baik dibidang kesehatan adalah memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat termasuk pelayanan kesehatan masyarakat, maka
dibentuklah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dimana dijelaskan bahwa
“BLUD adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas”.
Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis daerah mempunyai
wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat
dalam wilayah kerjanya. Dengan Otonomi, setiap daerah tingkat II
mempunyai kesempatan mengembangkan Puskesmas sesuai Rencana
Strategis (Renstra) Kesehatan Daerah dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Bidang Kesehatan situasi dan
kondisi daerah Tingkat II. Oleh karena itu Puskesmas sebagai garda
terdepan layanan kesehatan tingkat dasar, maka sistem pelayanan
kesehatan dasar puskesmas menjadi keharusan untuk ditingkatkan, salah
satunya melalui program menjadikan Puskemas sebagai BLUD.
Menurut Nizar (2015), Puskemas sebagai BLUD berpeluang
untuk dapat meningkatkan pelayanannya ke masyarakat. Puskesmas
akan mengelola sendiri keuangannya, tanpa memiliki ketergantungan
operasional kepada Pemerintah Daerah. Melalui konsep pola
pengelolaan keuangan BLUD ini, Puskesmas diharapkan dapat
meningkatkan profesionalisme, mendorong entherpreunership,
transparansi, dan akuntabilitas dalam rangka pelayanan publik, sesuai
dengan tiga pilar yang diharapkan dari pelaksanaan Pola Pengelolaan
Keuangan (PPK) BLUD ini, yaitu mempromosikan peningkatan kinerja
pelayanan publik, fleksibilitas pengelolaan keuangan dan tata kelola yang
baik.
Puskesmas dengan status BLU/D seperti yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 Tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD, diberikan
keleluasaan dalam konteks mengelola baik dari sisi sumber daya manusia
(SDM) hingga penganggaran. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) merupakan langkah awal untuk melaksanakan janji dalam
memperbaiki kualitas dan kinerja pelayanan publik yang diamanatkan
oleh PPK-BLUD. Setelah SPM tersusun, maka seluruh unit kerja yang
bertanggung jawab untuk menyediakan jenis pelayanan yang telah


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

165

dituangkan dalam SPM wajib mengupayakan agar SPM tersebut dapat


dicapai dengan menyusun standar-standar teknis yang merupakan
panduan untuk mencapai standar yang telah ditetapkan, dan
mengembangkan kegiatan-kegiatan perbaikan mengikuti siklus Plan-Do-
Check-Action (Nancy, 2004).
Pelaksanaan BLUD puskesmas di Kabupaten Banjar merupakan
salah satu wujud nyata perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang
perlu diterapkan dengan baik oleh Puskesmas. Tentu saja untuk
menetapkan BLUD tidak hanya didukung oleh pemerintah tetapi juga
perlu dukungan oleh pihak internal puskesmas dan peran serta
masyarakat. Tahun 2014 di Kabupaten Banjar terdapat 23 (dua puluh
tiga) Puskesmas yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Banjar.
Untuk mewujudkan program kepemerintahan yang baik melalui
pelayanan prima, maka berdasarkan Telaahan Staf (tanpa nomor surat),
tanggal 5 Januari 2014 Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar
mengusulkan 5 (lima) Puskesmas untuk mengikuti Program Badan
Layanan Umum Daerah, yaitu: Puskesmas Martapura, Puskesmas
Gambut, Puskesmas Sungkai, Puskesmas Kertak Hanyar dan Puskesmas
Pengaron. Atas usulan tersebut, Bupati Kabupaten Banjar selanjutnya
menetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Banjar Nomor. 873
tanggal 23 Desember 2014, tentang “Penetapan 5 (lima) Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Puskesmas tersebut sebagai Badan Layanan Umum
Daerah di Kabupaten Banjar dengan status penuh”.
Penetapan SK Bupati tersebut didasarkan atas rekomendasi dari
hasil penilaian Tim Penilai PPK-BLUD Nomor: 04/TPP/PKM-
BLUD/BJR/2014 tanggal 22 Desember 2014. Dalam Berita Acara Hasil
Penilaian tersebut diperolehan nilai masing-masing puskesmas sebagai
berikut:
1. Puskemas Martapura, dengan perolehan hasil penilaian 89,9
2. Puskesmas Gambut, dengan perolehan hasil penilaian 88,3
3. Puskesmas Sungkai, dengan perolehan hasil penilaian 88,1
4. Puskesmas Kertak Hanyar, dengan perolehan hasil penilaian 88,1
5. Puskesmas Pengaron, dengan perolehan hasil penilaian 85,7.
Penilaian tersebut didasarkan pada pemenuhan persyaratan
sebagaimana diatur menurut Pasal 4, PP No. 23 Tahun 2005, oleh
puskesmas yang akan menjadi BLU/D. yaitu harus memenuhi
persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif
yang akan di bahas lebih lanjut dalam tinjauan pustaka di Bab II.
Penelitian ini hanya dilakukan Sampling pada kasus puskesmas
Martapura dan Puskemas Gambut, hal ini karena, dalam hasil penilaian
kelayakan BLUD Puskesmas Martapura yang beralamat di Jalan
Puskesmas Nomor: 22, Kelurahan Tanjung Rema Darat, memiliki


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

166

wilayah cakupan terbesar serta yang mendapatkan penilaian yang


tertinggi dalam yaitu 89,9 oleh tim penilai BLUD. Sedangkan untuk
puskesmas Gambut memperoleh nilai 88,3 tertinggi ke dua, tetapi tata
letaknya jauh dari pusat pemerintahan kab. Banjar dan salah satu
puskesmas yang memiliki pelayanan IGD 24 jam, hal itu juga yang
menjadi salah satu alasan bagi pemerintah kabupaten banjar untuk
mengusulkan untuk menjadi BLUD penuh. Pemilihan Puskesmas
Martapura dan Puskesmas Gambut diharapkan dapat mewakili dari
kelima Puskesmas yang mendapatkan status BLUD di Kab. Banjar
tahun 2015.

A.2. Pokok Permasalahan.


Berdasarkan uraian latar belakang, dapat diidentifikasi bahwa
seharusnya sesuai dengan konsep BLUD, setiap institusi yang diberikan
status tersebut mestinya dapat menerapkan pola keuangan yang lebih
fleksibel, namun dari hasil audit BPK RI, Puskesmas Martapura dan
Puskesmas Gambut belum mampu meningkatkan fleksibilitas keuangan
sesuai dengan konsep BLUD.

A.3. Perumusan Masalah.


Berdasarkan pokok permasalahan maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Sejauh mana perubahan status BLUD Penuh pada Puskesmas
Martapuran dan Puskesmas Gambut berdampak pada fleksibilitas
pengelolaan keuangan Puskesmas?
2. Apakah dengan penerapan pola BLUD dapat meningkatkan kinerja
Puskesmas Martapuran dan Puskesmas Gambut?

A.4. Tujuan Penelitian.


Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
fleksibilitas pengelolaan keuangan Puskesmas pada Pemda Kabupaten
Banjar yang telah menetapkan Puskesmas sebagai BLUD Penuh dengan
sampling pada kasus Puskesmas Martapura dan Puskesmas Gambut
guna mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi setelah menjadi
BLUD dengan status penuh.

B. METODOLOGI
B.1. Tinjauan Pustaka
B.1.1. Teori Agency
Badan Layanan Umum dibentuk sebagai pengejawantahan teori
agensifikasi. Secara umum, teori agensifikasi adalah adanya pemisahan
antara fungsi kebijakan (regulator) dengan fungsi pelayanan publik


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

167

dalam struktur organisasi pemerintah. Fungsi pertama dilakukan oleh


kantor pusat kebijakan sedangkan yang kedua adalah kantor-kantor yang
melaksanakan tugas pelayanan. Menurut teori dimaksud, idealnya
Menteri/Pimpinan Lembaga memberi mandat dalam sebuah bentuk
kontrak kinerja kepada kepala eksekutif badan pelayanan umum dalam
melaksanakan satu program atau beberapa program sejenis yang akan
dikelola secara profesional.
Menurut studi yang dilakukan oleh Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) yang tertuang dalam laporan
Distributed Public Governance: Agencies, Authorities, and Other Government
Bodies (2002), Agency adalah jasa pelayanan dalam suatu kementrian
(ministry) yang dibedakan secara administratif dan manajemen
keuangannya, sedangkan pertanggungjawaban ke kementrian induk
tetap berlaku. Agency berorientasi pada hasil dan kombinasi antara
pendapatan dengan biaya, dimonitor berdasarkan indikator kinerja yang
telah ditetapkan dan anggaran ditetapkan berdasarkan kinerja juga
biayanya.
Pengagenan itu sendiri sebenarnya melibatkan transfer aktivitas
yang dilakukan oleh pemerintahan kepada agen dan bisa dirujuk sebagai
defolusi structural internal (Christensen & Laegreid, 2004). Literatur
kontemporer banyak sekali yang menggambarkan pengagenan ini. Shick
(2002) menyebut pengagenan dalam wilayah administrasi publik
merupakan “butik”-nya pemerintahan, sementara Pollit el al. (2001)
menyebut “aksesoris fashion administrative”. Talbot el al. (2000) membagi
pengagenan dari tiga sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang
politik, pengegenan merupakan suatu metode untuk merevitalisasi
legitimasi institusi publik khususnya dalam hal pelayanan publik.
Layanan publik yang lebih fleksibel, responsive dan costumer-friendly
adalah mantra ampuh untuk mempertahankan dukungan yang popular
untuk pelayanan yang didanai dari Negara, pengagenan juga dilihat
sebagai pengurangan pengaruh kontrol politik atas semua aktivitas
publik. Termasuk ke dalamnya bentuk pengangkatan pejabat pada agen-
agen yang melakukan pelayanan publik.
Kedua, dari sisi kebijakan, pengagenan dipandang sebagai suatu
cara merasionalisasikan secara jelas tujuan yang handak dicapai dan
penyampaian kebijakan dengan menggunakan instrumen yang lebih
strategis dalam pembuatan kebijakan. Dengan menciptakan secara
gamblang agensi-agensi yang ditugaskan dalam masing-masing area
kebijakan/penyediaan layanan, sistem efisiensi alokasi bisa meningkat.
Dan yang terakhir (ketiga) dari sisi administrasi atau manajerial.
Agensifikasi dilihat sebagai cara yang penting dalam hal perbaikan
efisiensi teknis internal. Ketidakdisiplinan dan kerumitan birokrasi bisa


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

168

direvitalisasi dan didayagunakan dengan unit-unit yang diatur dengan


mudah, fokus, dan berorientasi kinerja. Manajer bebas melakukan
pengaturan organisasi, karyawan bisa diberdayakan dengan kultur yang
berorientasi pelanggan (customer-oriented culture) yang dibentuk dalam unit
organisasi yang otonom dengan area pekerjaan dan kebebasan yang
jelas. Manajemen unit organisasi dengan pengagenan harus transparan
dan bertanggung jawab atas segala aktivitas dan mampu mengatasi
bauran tanggung jawab dan akuntabilitas yang tak dapat dihindarkan
dalam sistem birokrasi yang kompleks.
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang
akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak
dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan.
Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai
mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun
risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan
menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu
menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis
memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan
pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke
agen. Inti dari Agency Theori atau teori keagenan adalah perumusan
kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen
dalam hal terjadinya konflik kepentingan (Sabeni, 2005)
Menurut Eisenhard dalam Sabeni (2005), teori keagenan
dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu: (a) asumsi tentang sifat manusia, (b)
asumsi tentang keorganisasin, dan (c) asumsi tentang informasi. Asumsi
tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi
keorgaisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI)
antara prinsipal dan agen.
Teori Agensi menurut pemahaman peneliti wajib diketahui
untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, karen teori
agensifikasi adalah adanya pemisahan antara fungsi kebijakan (regulator)
dengan fungsi pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah.

B.1.2. Teori Akuntabilitas


Menurut jenisnya, akuntabilitas dapat dibedakan antara
akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal seorang menjalankan
tugas dan fungsinya dalam organisasi pemerintahan.
Pertanggungjawaban seseorang kepada Tuhan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya mengenai sesuatu yang dilaksanakannya dipahami


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

169

sebagai akuntabilitas internal atau akuntabilitas spiritual seseorang.


Sedangkan pertanggungjawaban seseorang kepada lingkungannya baik
pada lingkungan formal organisasi (atasan-bawahan) maupun
lingkungan masyarakat adalah akuntabilitas eksternal (LAN- RI:2000).
Menurut Samuel Paun dalam Supriatna, (2001:102) akuntabilitas
dapat dibedakan atas: democratic accountability, professional accountability, and
legal accountability: dengan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Democratic Accountability.
Akuntabilitas demokratis merupakan gabungan antara administrative
dan politic accountabiilty. Menggambarkan pemerintah yang
akuntabel atas kinerja dan semua kegiatannya kepada pemimpin
politik. Pada negara-negara demokratis, menteri pada parlemen.
Penyelenggaraan pelayanan publik akuntabel kepada
menteri/pimpinan instansi masing-masing. Dalam kontek ini
pelaksanaan akuntabel dilakukan secara berjenjang dari pimpinan
bawah ke pimpinan tingkat tinggi secara hierarki yaitu Presiden pada
MPR
b. Professional Accountability
Dalam akuntabilitas profesional, pada umumnya para pakar,
profesional dan teknokrat melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan
norma-norma dan standar profesinya untuk menentukan public
interest atau kepentingan masyarakat.
c. Legal Accountability
Berdasarkan kategori akuntabilitas legal (hukum), pelaksana
ketentuan hukum disesuaikan dengan kepentingan public goods dan
public service yang merupakan tuntutan (demand) masyarakat
(costumer). Dengan akuntabilitas hukum, setiap petugas pelayanan
publik dapat diajukan ke pengadilan apabila mereka gagal dan
bersalah dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diharapkan
masyarakat. Kesalahan dan kegagalan dalam pemberian pelayanan
kepada masyarakat akan terlihat pada laporan akuntabilitas legal.
Penganggaran publik mencerminkan semua nilai-nilai yang
terlibat dalam menyusun alokasi, fokus pada proses pengambilan
keputusan anggaran dan hasilnya untuk menjaga akuntabilitas
pemerintah dalam pelayanan publik dan pencapaian tujuan organisasi.
(W. Bartley Hildreth in Watson and Hasset, 2003: 91)
Masalah untuk memastikan kegunaan relatif pengeluaran publik
secara teoritis menyatakan: dalam mengembangkan kriteria untuk
memilih objek dari pembelanjaan publik. Mengembangkan metode
dimana pejabat publik dapat memilih objek pengeluaran yang akan
membawa kegunaan atau hasil terbesar dan paling akurat dalam
mewujudkan aspirasi sosial merupakan hal yang lebih mendesak (V.O.


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

170

Key, Jr. in Shafritz et al., 2004: 120).


Menurut pendapat peneliti, teori akuntabilitas sangat penting
untuk dipelajari dan dimengerti bahwa sebagai aparatur pemerintah
mempunyai kewajiban untuk bertindak selaku penanggung jawab dan
penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang
ditetapkannya karena unsur ini merupakan inti dari kepemerintahan
yang baik.disamping untuk sebagai pertanggungjawaban moral kepada
TuhanNya.

B.1.3. Teori Kemandirian Keuangan


Salah satu agenda reformasi keuanganan negara adalah adanya
pergeseran sistem penganggaran dari penganggaran tradisional menjadi
penganggaran basis kinerja. Dengan basis kinerja ini, arah penggunaan
dana pemerintah menjadi lebih jelas dari sekedar membiayai input dan
proses menjadi berorientasi pada output. Perubahan ini penting
mengingat kebutuhan dana yang makin tinggi tetapi sumber daya
pemerintah terbatas.
Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam
mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.
Keadaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang
akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Keuangan daerah dapat
diartikan sebagai “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang, juga segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat
dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh
negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai
ketentuan atau peraturan perundangan yang berlaku” (Mamesah,1995).
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang
dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut (Pusdiklat Pengawasan BPKP, 2011).
Pengelolaan kas oleh pengelola keuangan pemerintah negara
bagian atau lokal memiliki dua tujuan mendasar, yang bertujuan untuk
meminimalkan biaya. Tujuan pertama adalah untuk meminimalkan biaya
transaksi netto. Biaya-biaya ini terdiri dari uang benar-benar dibayarkan
dikurangi penghasilan selama periode anggaran setelah transaksi selesai.
Tujuan kedua meminimalkan biaya adalah subjektif dan tidak aktual.
Yaitu biaya kesempatan (opportunity cost) dari pendapatan bunga yang
hilang untuk menikmati kenyamanan atau kepuasan dari tingkat
likuiditas yang dimiliki (Lindholm & Wigjowijoto, 1986: 91).
Manajemen kas yang efisien dapat menambah pendapatan dan
mengurangi pengeluaran. Lembaga penyimpanan selalu menunjukkan
kenyamanan jika memiliki saldo kas yang cukup besar untuk memenuhi


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

171

semua permintaan yang diperkirakan. Hal ini seringkali sulit untuk


ditentang, karena meringankan kekhawatiran tentang beberapa
perubahan yang tak terduga dalam kondisi yang dapat menyebabkan
darurat likuiditas (Lindholm & Wigjowijoto, 1986: 91).
"Penganggaran berhubungan dengan proses membuat ketentuan
keuangan untuk kegiatan di masa depan. Hal itu tergantung pada
prediksi yang akurat dari jumlah pendapatan yang mungkin diperoleh
dan jumlah pengeluaran. Dalam bentuk yang lebih canggih, menuntut
pengetahuan dalam hal output atau pencapaian pada masa depan yang
berhubungan dengan sumber daya yang dikeluarkan, sebaiknya selama
periode waktu yang panjang. Penganggaran terbaik ketika penyesuaian
dari tahun ke tahun adalah marginal "(Naomi Caiden dalam Shafritz et al
2004:423)
Pembiayaan pembangunan adalah kegiatan yang diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan dasar mayarakat, menggerakan ekonomi
masyarakat sektor rill dan pembangunan infrastruktur yang secara
langsung dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
belanja untuk kegiatan yang bersifat sosialisasi, seremonial, dan
bimbingan-bimbingan teknis diminimalisasikan dan disesuaikan dengan
kebutuhan. Untuk mencapai kinerja terbaik dari fungsi publik secara
individu, tingkat stabilitas yang tinggi dalam hal kecukupan dana tersedia
dari tahun ke tahun. Bahkan jika ada penyesuaian kecil, baik perubahan
margin yang kecil atas atau bawah mungkin dapat dipertimbangkan
secara signifikan. Aspek yang paling signifikan dari anggaran publik
adalah alokasi belanja di antara berbagai tujuan yang berbeda untuk
mendapatkan hasil yang paling bermanfaat (V.O. Key, Jr. dalam Shafritz
et al., 2004: 120).
Menurut pendapat peneliti, teori kemandirian keuangan tersebut
sangat relefan untuk puskesmas yang berstatus BLUD karena faktor
keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Disamping itu
penting untuk dipahami bahwa salah satu agenda reformasi keuanganan
negara adalah adanya pergeseran system penganggaran dari
penganggaran tradisional menjadi penganggaran basis kinerja. Dengan
basis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah menjadi lebih jelas.

B.1.4 Konsep Badan Layanan Umum.


Menurut Mediya (2013), terminologi BLUD mulai masuk ke
ranah publik sejak kelahiran Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, terutama pada Bab XII pasal 68-69 tentang
Pengelolaan Keuangan BLUD. Sebagai tindak lanjut dalam penerapan
pengelolaan BLUD bagi satuan kerja/kantor pemerintah pusat dan


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

172

daerah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun


2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam
peraturan pemerintah tersebut dijabarkanlah dengan lebih jelas mulai
dari konsep, persyaratan, penetapan, dan pencabutan BLUD hingga
pengelolaan keuangan BLUD.
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU)
merupakan tuntutan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara dimana terjadi pergeseran dari sistem
penganggaran tradisional ke sistem penganggaran berbasis kinerja, dan
pembiayaan tidak hanya membiayai masukan (inputs) atau proses tetapi
sudah diarahkan pada pembiayaan yang membiayai hasil (outputs).
Konsep BLUD menurut PP No. 23 Tahun 2005 dan Peraturan-
peraturan turunannya serta perbedaannya dengan Satuan Kerja lainnya
(Satker biasa/SKPD) adalah menyangkut materi-materi: (a) wewenang
pengelolaan keuangan, (b) fleksibilitas, (c) anggaran, (d) belanja, dan (e)
pendapatan. Selain lima konsep/materi tersebut, terdapat 6 konsep lagi
yang membedakan antara BLUD dan Satker biasa, yaitu dari segi :

• Investasi Jk. Pendek/ Jk. Panjang, BLUD Dapat melakukan investasi


jangka pendek maupun jangka panjang. Khusus investasi jangka
panjang harus mendapatkan persetujuan Menteri
Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota. (pasal 19 PP 23/2005);
(Permendagri 61/2007 pasal 91-95), sedangkan Satker biasa tidak
dapat mengelola investasi jangka pendek/panjang
• Laporan Keuangan, BLUD harus menyusun laporan keuangan versi
SAP dan SAK sedangkan satker biasa hanya menyusun laporan
keuangan versi SAP saja.
• Pengadaan Barang/Jasa, BLUD boleh dilakukan sebagian atau
seluruhnya tidak mengikuti Perpres pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Jika ada hal yang tidak mengikuti Perpres PBJ maka pimpinan satker
BLU harus membuat peraturan tentang PBJ, sedangkan satker biasa
harus menggunakan Perpres tentang PBJ secara keseluruhan.
• Dalam hal Audit, dilakukan oleh satuan pemeriksaan intern BLU dan
itjen. Untuk satker biasa dilakukan oleh SPI dan Itjen.
• Kepegawaian BLUD Selain PNS dan tenaga kontrak, BLU dapat
memperkerjakan tenaga profesional non PNS (pasal 33 PP 23/2005)
(PP 74/2012 psl 33), berbeda dengan satker biasa yang hanya terdiri
dari PNS dan tenaga kontrak.
• Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat
diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan
tuntutan profesionalisme yang diperlukan. (Pasal 36 PP 23/2005),
sedangkan Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU

FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

173

dapat diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan


tuntutan profesionalisme yang diperlukan (Pasal 36 PP 23/2005).
Menurut peneliti, Konsep Badan Layanan Umum tersebut perlu
dipahamai oleh para steakholder dalam Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum karena didalamnya dijabarkan dengan lebih jelas mulai
dari konsep, persyaratan, penetapan, dan pencabutan BLUD hingga
pengelolaan keuangan BLUD, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.

B.1.5. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).


Menurut Mediya (2013), BLUD adalah instansi pemerintah yang
memberikan layanan penyediaan barang dan jasa. Ini adalah karakter
utama dari BLUD. Instansi pemerintah bisa saja bukan penyedia barang
dan jasa secara langsung kepada masyarakat, badan-badan usaha,
ataupun organisasi- organisasi lainnya, namun instansi tersebut lebih
diarahkan sebagai sebagai unit regulator atau pembuat kebijakan agar
berjalannya aktivitas bisnis dan sosial masyarkat dengan lebih baik.
Instansi pemerintah ini tidak akan pernah atau sangat jarang sekali
berhubungan secara langsung dengan masyarakat sebagai pengguna.
Dengan demikian instansi pemerintah yang tidak menyediakan
barang dan jasa kepada masyarakat, badan usaha, pemerintah daerah,
dan organisasi lainnya tidak dapat dikelola dalam mekanisme BLUD
sebagai berikut:
a. BLUD harus menjalankan praktek bisnis yang sehat tanpa
menerapkan pencarian keuntungan. Karakteristik kedua ini cukup
unik, yakni di satu sisi BLUD dituntut menerapkan praktik bisnis
yang sehat, namun di sisi lain tidak diperkenankan mencari
keuntungan. Bagi sebagian kita konsep tersebut mungkin agak
membingungkan bahwa ada instansi pemerintah yang diperkenankan
melakukan praktik bisnis ala korporasi/perusahaan (bussiner-like
manner), di luar pengarusutamaan (mainstream) sebagai mata rantai
birokrasi. Reformasi keuangan telah melahirkan sebuah paradigma
baru yang diharapkan bisa mempercepat kemajuan kesejahteraan
umum dengan pengurangan/pemisahan (disaggregatian) kewenangan
unit pemerintahan yang membuat kebijakan dengan unit yang
menjalankan kebijakan layanan publik. Akan tetapi, perlu dicatat juga
bahwa walaupun BLUD menerapkan praktik bisnis ala korporasi,
BLUD tidak diperkenankan mencari keuntungan semata karena misi
yang dicapai bukanlah berorientasi kepada perusahaan saja, tetapi
orientasinya lebih luas untuk memajukan kesejahteraan dan
kepentingan umum. Oleh karena itu, biaya yang di bebankan kepada
masyarakat dikontrol oleh pemerintah, sedangkan di pihak lain
pemerintah juga harus menyediakan anggaran untuk kelangsungan


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

174

usaha BLUD.
b. BLUD dijalankan dengan prinsip efisiean dan produktifitas. Prinsip
efisien dan produktifitas ini merupakan prinsip yang sangat penting
dalam menjalankan operasional bisnis BLUD. Aktivitas layanan
BLUD diselenggarakan menyerupai entitas bisnis yang tidak akan
terlepas dalam pencapaian produktivitas yang tinggi dan efisien.
Produktivitas bisa diartikan secara sederhana dengan bagaimana
menggunakan input-input (resource) yang minimal untuk
mendapatkan output/outcomedengan optimal tanpa mengabaikan
asas efisiensi. Boleh jadi suatu organisasi mencapai produktivitas
yang tinggi, tapi menggunakan input yang berlebihan sehingga timbul
inefisiensi. Berbeda dengan instansi pemerintah yang menjalankan
aktivitas pemerintahan ala birokrasi murni, BLUD dituntut untuk
menggunakan pendapatannya secara lebih efisien tanpa mengurangi
kualitas layanan yang diberikan. Prinsip ini merupakan terbaru dan
terpenting yang dilakukan dalam ranah manajemen publik dewasa ini
dimana administrasi pemerintah biasa/tradisional lazimnya
dikonotasikan sebagai unit/instansi yang boros, tambun, lamban
dengan produktivitas yang sangat rendah. Dengan
bertransformasinya bentuk instansi pemerintah ke dalam bentuk
BLUD yang dijalankan seperti entitas bisnis (bussines-like) yang
menganut manajemen dan praktik bisnis ala korporat, stigma negatif
instansi tersebut diharapkan akan dapat di hilangkan.
c. Adannya fleksibilitas dan otonom dalam menjalankan operasional
BLUD. Perubahan pola atau manajemen pada BLUD yang semula
dijalankan mengikuti praktik birokrasi kepada praktik bisnis
menghendaki adanya aspek fleksibilitas dan otonom dalam
pengelolaan BLUD untuk menjamin kotinuitas dan pengembangan
layanan terhadap masyarakat.

B.1.6. Fleksibilitas BLUD


Anggaran belanja BLU merupakan anggaran fleksibel
berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan
jumlah pengeluaran, atau dengan kata lain, belanja dapat bertambah atau
berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait
bertambah atau berkurang proposional (pasal 15 PP 23/2005) (PMK
92/2011 pasal 1:8). Fleksibilitas pada BLUD dengan status penuh dapat
dijabarkan ke dalam beberapa aspek, menurut Mediya (2013), yaitu:

1) Fleksibilitas dalam hal pengelolaan keuangan.


Sebagai instansi pemerintah, BLUD tidak terlepas dari prinsip-
prinsip dan aturan-aturan pemerintah dalam hal pengelolaan keuangan


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

175

negara (prinsip universalitas dalam pengelolaan APBN/APBD),


terutama dalam hal pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara.
Berbeda dengan instansi pemerintah pusat yang mengelola pendapatan
negar yang berasal dari Pendapatan Negara BukanPajak (PNBP) dan
instansi pemda yang mengelola lain-lain PAD yang sah, BLUD tidak
diharuskan mengembalikannya ke kas negara (daerah) terlebih dahulu
sebelum menggunakannnya untuk kegiatan operasional dan bisnis
BLUD.
Pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan ini
diharapkan BLUD bisa cepat menyesuaikan kebutuhan pengeluaran
sebagai akibat tuntutan layanan dari masyarakat (quick to respons).
BLUD diberikan kewenangan untuk menggunakan penghematan atau
sisa anggaran tahun lalu untuk digunakan atau dibelanjakan pada tahun
berikutnya.
Mekanisme pencairan dana, termasuk laporan keuangan atas
penggunaan sisa dana tersebut diperlakukan berbeda dengn isntansi
pemerintah lainnya. Yang tak kalah menariknya dlam aspek fleksibilitas
pengelolaan keuangan ini adalah BLUD diperkenankan juga
memberikan remunerasi bagi pegawainya sepanjang pendapatan BLUD
memungkinkan. Namun pemberian remunerasi berbeda dengan praktik
emunerasi bagi instansi pemerintah lainnya yang harus terlebih dahulu
ditetapkan dan disetujui oleh Presiden.

2) Fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya.


Untuk membantu kelancaran dan kontinuitas bisnis usaha
BLUD, BLUD dapat merekrut tenaga profesional dan tenaga
lepas/bukan PNS yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Oleh
karena itu, manajemen BLUD harus menyusun dan menbuat
mekanisme dan tata cara pengadaan, pengangkatan, pengembangan, dan
pemberhentian bagi pegawai bukan PNS secara tersendiri. Kombinasi
antara pegawai PNS dan profesional pada BLUD diharapkan akan
membawa dampak pada kenaikan kinerja, kualitas layanan dan
pendapatan BLUD yang dijalankan secara korporasi/badan usaha
tersebut. fleksibilitas seperti ini tidak bisa dijalankan oleh instansi
pemerintah yang bukan BLUD karena harus mengikuti peraturan-
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan kepegawaian.

3) Fleksibilitas dalam pengelolaan dan pengadaan aset/barang.


Sebagai instansi pemerintah yang mengelola secara mandiri
pendapatannya, BLUD diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan dan
pengadaan aset. Tujuan diberikan fleksibilitas ini adalah untuk
mengoptimalkan kinerja aset yang dimiliki dan memberikan insentif


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

176

untuk mengelola aset dengan lebih baik dan akuntabel. Dengan alasan
efektifitas ataupun efisiensi, pendekatan khusus juga diberikan kepada
BLUD dalam hal pengadan barang atau aset, terutama pengadaan
barang ataupun jasa yang bersumber langsung dari hasil layanan yang
diberikan kepada masyarakat, hibah, dan hasil kerja sama BLUD dengan
pihak lain.
BLUD dikecualikan dari ketentuan pengelolaan keuangan negara
pada umumnya. Ini merupakan prinsip atau karakteristik yang luar biasa
khusus pada BLUD. UU No.1 Tahun 20014 tentang Perbendaharaan
negara dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum meberikan ruang bagu
insansi yang menerapkan pola keuangan BLU untuk sedikit
“melenceng” dari prinsip-prinsip pengelolaan keuangan pada umumnya.
Sebagai contoh, menurut aturan, bagi instansi pemerintah yang
menerima dan mengelola PNBP wajib menyetorkannya terlebih dahulu
ke kas negara sebelum menggunakannya sebagaimana dalam UU No.20
Tahun 1997 tentang PNBP. Namun demikian BLU mempunyai hak
pengecualian dalam mengelola dan menggunakan PNBP yakni dapat
digunakan secara langsung untuk kepentingan operasional dan bisnis
BLU termasuk ketentuan dalam pengelolaan keuangan daerah yang lain,
seperti ketentuan dalam pinjaman, piutang, pengadaan barang dan jasa
untuk instansi pemerintah, dan lainnya.

B.2. Metode Penelitian


B.2.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kombinasi.
Menurut Sugiyono (2015), metode penelitian kombinasi adalah metode
penelitian yang menggabungkan antara metode kuantitatif dan metode
kualitatif. Terdapat beberapa alasan mengapa peneliti menggunakan
metode kombinasi ini. Alasan tersebut antara lain adalah sesuai dengan
3 jenis karakteristik dari metode penelitian ini yaitu:
1. Dari segi lingkup penelitian, penelitian tindakan dapat dilakukan pada
unit kerja yang kecil (satu kelas, satu sekolah) dan dilakukan oleh
pelaku kerja itu sendiri untuk memperbaiki pekerjaannya, atau orang
lain yang bekerjasama untuk menemukan tindakan yang efektif.
Penelitian yang dilakukan secara kolaborasi hasilnya akan lebih baik.
Dalam penelitian ini diterapkan pada ruang lingkup penelitian di unit
kerja yang kecil yaitu puskesmas.
2. Metode penelitian tindakan dapat menggunakan metode kualitatif,
kuantitatif dan kombinasi.
3. Rumusan masalah penelitian, menanyakan kondisi sebelum ada
tindakan, selama ada tindakan dan pengaruh tindakan. Penelitian ini


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

177

mempelajari bagaimana proses kinerja Puskesmas sebelum


ditetapkan sebagai BLUD penuh, lalu bagaimanakah penerapan
fleksibilitas pengelolaan keuangan pada puskesmas dengan status
BLUD penuh dan adakah pengaruh terhadap peningkatan kinerja
setelah ditetapkan sebagai BLUD penuh.

Rumusan masalah penelitian dapat berangkat dari rumusan


masalah kualitatif atau rumusan masalah kuantitatif. Dalam penelitian
ini, rumusan masalah berangkat dari rumusan masalah kualitatif. Dalam
melakukan pengumpulan data, kedua metode dilaksanakan dalam waktu
yang sama dimana masing-masing bersifat independent. Kedua hasil
temuan baik data kualitatif maupun data kuantitatif dianalisis dengan
menggunakan masing-masing metode. Selanjutnya dilakukan analisis
untuk kedua kalinya dengan meta analisis untuk dapat dikelompokkan,
dibedakan, dan dicari hubungan satu data dengan data yang lain,
sehingga dapat diketahui kedua data tersebut saling memperkuat,
memperlemah atau bertentangan.

B.2.2 Teknik Analisis Data.


Secara konseptual analisis data merupakan proses sistematis
pencarian dan pengaturan transkrip wawancara, catatan lapangan dan
materi-materi lain yang telah dikumpulkan untuk pemahaman mengenai
materi tersebut dan untuk memungkinkan menyajikan apa yang sudah
ditemukan kepada orang lain. Model analisis data dalam metode
kombinasi mengikuti desain yang telah dipilih oleh peneliti. Intinya, data
kualitatif tetap dianalisis secara kualitatif dan data kuantitatif dianalisis
secara kuantitatif. Sekalipun demikian peneliti tetap melakukan meta
analisis terhadap kedua data tersebut.
Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduksi data, display data, dan
kesimpulan/verifikasi. Adapun langkah-langkah analisis tersebut sebagai
berikut:

Gambar 1. Komponen dalam analisis data (interactive model)


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

178

1. Reduksi Data: Data yang direduksi memberi gambaran yang lebih


tajam, hasil pengamatan juga mempermudah peneliti mencari
kembali data yang diperoleh bila diperlukan. Reduksi data dapat pula
membantu dalam memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.
Reduksi data dapat pula diartikan sebagai proses pemilihan,
penyederhanaan dan transformasi data kasar yang diperoleh dari
catatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus
selama proses penelitian berlangsung. Peneliti melaksanakan
pemilihan data yang diperoleh dari wawancara, pengamatan dan
pengumpulan dokumen-dokumen relevan
2. Penyajian Data: Setelah data direduksi maka langkah selanjutnya
adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian
data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, flochart dan sejenisnya. Dalam hal ini peneliti menggunakan
cara yang paling sering digunakan untuk menyajikan dalam penelitian
kualitatif adalah teks yang bersifat naratif. Penyajian data merupakan
penyusunan sekumpulan informasi dari reduksi data yang kemudian
disajikan dalam laporan sistematis dan mudah dipahami.
c. Pengambilan Kesimpulan: Pada tahap ini peneliti mengambil
kesimpulan terhadap data yang telah direduksi ke dalam laporan
secara sistematis dengan membandingkan, menghubungkan, dan
memilih data yang mengarah pada pemecahan masalah serta mampu
menjawab permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai.
Penelitian tindakan akan lebih akurat dan lengkap kalau
menggunakan metode kombinasi, sehingga analisis datanya
menggunakan analisis data kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Metode
kombinasi yang cocok untuk penelitian tindakan adalah tipe Convergent
Parallel Mixed Methods menurut Cresswell (2014), yang dapat
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Convergent Parallel Mixed Method

Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa, kedua metode penelitian


baik kualitatif maupun kuantitatif digunakan secara bersama-sama dalam

FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

179

waktu yang sama. Penelitian mengumpulkan data kuantitatif dan


kualitatif, dan menganalisisnya. Hasil analisis kuantitatif dan kualitatif
selanjutnya dibandingkan dan diberi interptestasi.

B.2.3 Asumsi Teoritis


Menurut Talbot el all. (2000) yang membagi pengagenan dari
tiga sudut pandang, yaitu dari sudut pandang politik, dari sisi kebijakan
dan yang terakhir dari sisi administrasi atau manajerial. Pengegenan
merupakan suatu metode untuk merevitalisasi legitimasi institusi publik
khususnya dalam hal pelayanan publik. Layanan publik yang lebih
fleksibel, responsive dan costumer-friendly adalah mantra ampuh untuk
mempertahankan dukungan yang popular untuk pelayanan yang didanai
dari Negara, pengagenan juga dilihat sebagai pengurangan pengaruh
kontrol politik atas semua aktivitas publik. Termasuk ke dalamnya
bentuk pengangkatan pejabat pada agen-agen yang melakukan
pelayanan publik. Ketidakdisiplinan dan kerumitan birokrasi juga bisa
direvitalisasi dan didayagunakan dengan unit-unit yang diatur dengan
mudah, fokus, dan berorientasi kinerja.
Asumsi penelitian ini adalah pemberian status BLUD Penuh
pada Puskesmas Martapura dan Puskesmas Gambut dapat
meningkatkan kinerja pelayanan dengan fleksibilitas pengelolaan
keuangan yang berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dan
penerapan praktek bisnis yang sehat. Sesuai konsep BLUD, Puskesmas
yang telah mendapatkan status BLUD penuh bisa dengan cepat
menggunakan sumber pendapatannya dengan menyesuaikan kebutuhan
pengeluaran sebagai akibat tuntutan layanan dari masyarakat (quick to
respons).

B.2.4 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling
utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standart data yang
ditetapkan. Dalam penelitian kombinasi (mixed methods), kombinasi
kualitatif dan kuantitatif difokuskan pada teknik pengumpulan data.
Oleh karena itu, dalam menjawab rumusan masalah dilakukan dengan
data kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah klasifikasi teknik
pengumpulan data (kualitatif dan kuantitatif) yang digunakan peneliti
untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan:
1. Untuk menjawab rumusan masalah 1, yaitu “Sejauh mana perubahan
status BLUD Penuh pada Puskesmas berdampak pada fleksibilitas
pengelolaan keuangan Puskesmas?”, lebih ditekankan dalam


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

180

penggunaan teknik pengumpulan data dengan melakukan wawancara


dengan kepala puskesmas, Kasubag TU, Subag Perencanaan dan
Monitoring, Bendahara Penerimaan dan pengeluaran, dan staf
pelaksana pelayanan kesehatan wajib. Data yang dihasilkan berupa
data kualitatif.
2. Untuk menjawab rumusan masalah 2, yaitu “Apakah dengan
fleksibilitas yang diberikan dapat meningkatkan kinerja puskesmas?”,
lebih ditekankan dalam penggunaan teknik pengumpulan data
sekunder yang diperoleh dari berbagai dokumen puskesmas yang
digunakan untuk melengkapi data penelitian, berupa kelengkapan
data administrasi dalam proses pengajuan status BLUD seperti data
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Tahun 2014 dan Tahun 2015,
Rencana Bisnis Anggaran (RBA) dan dokumen tata kelola
puskesmas. Data yang dihasilkan berupa data kuantitatif.

B.2.5. Unit Analisis


Unit analisis dalam penelitian ini stakeholder yang terlibat dalam
entitas Puskesmas. Diasumsikan sebaga para puhak yang kompeten
dalam urusan pengelolaan Puskesmas, antara lain adalah:
1. Kepala Puskesmas,
2. Kasubag TU,
3. Subag Perencanaan dan Monitoring,
4. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran, dan
5. Pelaksana pelayanan kesehatan.

B.2.6 Instrumen dan Informan Penelitian.


Instrumen dalam penelitian adalah pedoman wawancara, yang
digunakan sebagai guiden untuk bertanya kepada sejumlah narasumber.
Selain itu peneliti juga menggunakan dokumen puskesmas untuk
melengkapi data penelitian, berupa kelengkapan data administrasi dalam
proses pengajuan status BLUD seperti data Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Tahun 2014 dan Tahun 2015, Rencana Bisnis Anggaran (RBA),
dan dokumen tata kelola puskesmas.

B.2.7. Lokasi Penelitian


Penelitian ini difokuskan pada kasus Puskesmas di Kecamatan
Martapura dan Puskesman di Kecamatan Gambut. Kedua buah
puskesman ini merupakan dua di antara puskemas yang telah mendapat
predikat BLUD di Kabupaten Banjar.

C. HASIL PENELITIAN
C.1. Kondisi Keuangan Puskesmas Martapura


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

181

Pendapatan Puskesmas Martapura menerima dan mengelola


pendapatan dan Target penerimaan untuk tahun 2015 yang berasal dari
APBD Tahun 2015. Pendapatan Murni puskesmas tahun 2015 sebesar
Rp 176.866.922. Pendapatan dari Jamkesosda sebesar Rp 73.777.947
selain itu juga mendapatkan pendapatan dari APBN berupa dana BOK
sebesar Rp 342.090.000 dan dana kapitasi JKN Sebesar Rp
1.258.260.511.
Belanja Belanja Tahun Anggaran 2015 ditetapkan sebesar Rp
3.691.076.014 realisasi sampai dengan 31 Desember 2015 adalah Rp
3.691.076.014 atau mencapai 100%. Sumber dana untuk anggaran
belanja Puskesmas Martapura berasal dari APBD Pemerintah
Kabupaten Banjar yang dituangkan di dalam DPA Dinas Kesehatan
Kabupaten Banjar. Untuk belanja tahun 2015 tidak menggunakan dari
sumber pendapatan langsungnya, karena puskesmas belum memiliki
RBA 2015 yang menjadi dasar penggunaan anggaran belanja.
Pelaporan: 1) Kepala Puskesmas wajib memberikan laporan
pelaksanaan tugasnya secara berkala kepada Kepala Dinas. 2) Setiap
Pimpinan Satuan Organisasi di lingkungan Puskesmas wajib mengikuti
dan mematuhi petunjuk dan bertanggungjawab kepada atasannya
masing-masing serta menyampaikan laporan tepat pada waktunya.
3) Pengaturan mengenai jenis laporan dan cara penyampaiannya
ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

C.2. Kondisi Keuangan Puskesmas Gambut


Pendapatan Puskesmas Gambut berasal dari Pendapatan
fungsional, dan subsidi dari Pemerintah Daerah serta dari Pemerintah
Pusat. Total pendapatan fungsional dikelola langsung oleh Puskesmas
tanpa harus setor ke kas Pemerintah Daerah, dan hanya dalam bentuk
laporan keuangan saja. Pendapatan dari Pemerintah Daerah adalah
berupa subsidi operasional, belanja tidak langsung (gaji PNS) dan
investasi, sedangkan pendapatan dari Pemerintah Pusat sebagai
pendapatan untuk operasional dan Investasi.
Puskesmas Gambut menerima dan mengelola pendapatan dan
Target penerimaan untuk tahun 2015 yang berasal dari APBD Tahun
2015 sebesar Rp 358.079.000 dan Pendapatan Murni puskesmas tahun
2015 sebesar Rp 36.523.263. Pendapatan dari Jamkesosda sebesar Rp
17.089.912 selain itu juga mendapatkan pendapatan dari APBN berupa
dana BOK sebesar Rp199.288.000,-, dana kapitasi JKN Sebesar Rp
589.607.689.
Total biaya berupa biaya operasional, dan biaya investasi. Biaya
operasional berupa biaya pegawai, dan biaya belanja barang dan jasa.
Biaya investasi adalah biaya untuk pembelian sarana prasarana, serta


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

182

pengembangan. Total pendapatan fungsional Puskesmas Gambut


dipakai untuk biaya pegawai dan biaya belanja barang dan jasa.
Sedangkan sisa lebih anggaran dipakai untuk biaya operasional
Puskesmas tahun selanjutnya.
Laporan Laporan keuangan daerah (termasuk laporan keuangan
SKPD) merupakan laporan pertanggungjawaban bupati (kepala SKPD)
atas kegiatan keuangan dan sumberdaya ekonomis yang dipercayaka
serta menunjukkan posisi keuangan yang sesuai dengan kebijakan
akuntansi keuangan daerah Dalam peraturan pengelolaan keuangan dan
sistem akuntansi yang diterapkan. Sistim pencatatan keuangan
berdasarkan akrual (acrual base) yaitu asumsi akuntansi yang mengakui
pengaruh transaksi dan peristiwa lain pada saat kejadian, bukan pada
saat kas atau setara kas diterima atau dibayar dan dicatat dalam catatan
akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang
bersangkutan. Sedangkan entitas pelaporan adalah Pemerintah Daerah
Banjar dan seluruh SKPD yang menurut peraturan perundang-
undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa
laporan keuangan termasuk Puskesmas Gambut.

C.2.3. Operasional Pengelolaan Keuangan Puskesmas


Operasional pengelolaan puskesmas merupakan data kualitatif
dalam penelitian ini. Peneliti menggunakan cara yang paling sering
digunakan untuk menyajikannya yaitu dalam bentuk teks yang bersifat
naratif. Penyajian data merupakan penyusunan sekumpulan informasi
dari reduksi data yang kemudian disajikan dalam laporan sistematis dan
mudah dipahami.
Puskesmas Martapura dan Puskes Gambut di usulkan menjadi
BLUD berdasarkan surat telaah staf dari Kepala Bidang Pelayanan
Kesehatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banjar ke Kepala
Dinas Kesehatan tanggal 5 Januari 2015 perihal proposal penerapan
Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkup Dinas Kesehatan Kabupatan
Banjar menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berdasarkan
Permendagri No. 61 tahun 2007 yang memungkinkan UPT Puskesmas
dapat diterapkan sebagai PPK BLUD, dengan menggunakan nilai dari
beberapa variabel yang meliputi jumlah penduduk, jumlah kunjungan
rawat jalan, jumlah puskesmas pembantu, jumlah tenaga strategis
(dokter, dokter gigi, bidan, perawat) serta pencapaian kinerja SPM di
tambah dengan kasus-kasus yang dilayani di fasilitas UGD (untuk
puskesmas UGD) dan nilai BOR (untuk puskesmas rawat inap).
Dengan memperhatikan nilai variabel tersebut maka untuk tahap
pertama yang dikembangkan penerapan BLUD sebanyak 5 puskesmas,
diantaranya puskes Martapura dan puskes Gambut dengan

FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

183

pertimbangan sebagai berikut:


• Puskesmas Martapura:
- Jumlah Penduduk di Puskesmas Martapura paling banyak di
antara Puskesmas yang lain di wilayah Kabupaten Banjar
- Cakupan kunjungan pasien di Puskesmas cukup tinggi
- Anggota kepesertaan BPJS di wilayah Puskesmas martapura
sudah banyak
- Lokasi berada di tengah perkotaan
- SDM yang ada sudah memadai/memenuhi
• Puskesmas Gambut
- Puskesmas Gambut merupakan puskesmas dengan UGD 24
Jam
- Cakupan kunjungan pasien cukut tinggi
- Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten lain.
Berdasarkan hasil telaah tersebut Pemda Kabupatan Banjar
membentuk Tim Penilai untuk melakukan penilaian pembentukan
puskesmas BLUD 5 Puskesmas di wilayah Kabupaten Banjar tanggal 9
November 2014. Hasil penilaian tim tersebut dituangkan dalam berita
acara hasil penilaian usulan penerapan pola pengelolaan keuangan badan
layanan umum daerah No. 03/TPP/PKM-BLUD/BJR/2014 tanggal 22
desember 2014 Puskesmas Martapura mendapatkan nilai 89,9 dan
Puskesmas Gambut mendapatkan nilai 88,3. Atas dasar hasil tim penilai
maka Bupati Banjar menetapkan Berdasarkan Surat Keputusan (SK)
Bupati Banjar Nomor. 873 tanggal 23 Desember 2014, tentang
Penetapan 5 (lima) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas sebagai
Badan Layanan Umum Daerah di Kabupaten Banjar dengan status
penuh.
Untuk mendukung berjalannya puskesmas dengan status BLUD
penuh tersebut, bersamaan dengan itu juga Pemerintah Kabupaten
Banjar telah menetapkan juga Peraturan Bupati Banjar No.67 Tahun
2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah
pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar,
tanggal 22 Desember 2014. Hasil analisis fleksibilitas pengelolaan
keuangan pada puskesmas Martapura dan puskesmas Gambut selama
tahun 2015`setelah ditetapkan menjadi BLUD adalah belum dapat
menjalankan fleksibilitas karena adanya permasalahan/kendala baik
teknis maupun non teknis yaitu:
• Permasalahan Teknis
1. Hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas, diperoleh informasi
bahwa Puskemas Martapura dan Puskesmas Gambut belum
memiliki Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) tahun 2015 yang
merupakan dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran

FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

184

tahunan yang berisi program, kegiatan, target kinerja dan


anggaran BLUD sehingga mengakibatkan seluruh pendapatan
selama tahun 2015 tidak dapat di gunakan langsung oleh
Puskesmas Martapura dan Puskesmas Gambut. Dalam hal ini
puskesmas tidak dapat menggunakan hak fleksibilitas keuangan
dalam pengelolaan pendapatan dan belanjanya. Menurut
bendahara penerimaan dan pengeluaran puskesmas bahwa, RBA
baru di buat tahun 2016 sehingga pendapatan 2015 yang masih
tersimpan dalam rekening bendahara penerimaan BLUD baru
bisa digunakan dalam pemenuhan kebutuhan/belanja di tahun
2016.
2. Hasil wawancara dengan Subag Perencanaan dan Monitoring
puskesmas diperoleh informasi bahwa, Peraturan Bupati tentang
Jenjang Nilai Pengadaan Barang dan/Jasa pada BLUD UPT
Puskesmas baru di tetapkan pada tanggal 27 Juli 2015, sehingga
puskesmas tidak dapat menggunakan hak fleksibilitasnya dalam
belanja pengadaan barang/jasa di tahun 2015.
3. Peraturan Bupati yang mengatur tentang Tarif Pelayanan
Kesehatan pada Puskesmas yang berstatus BLUD baru di
tetapkan tanggal 25 November 2015, sehingga menurut
Kasubag TU dalam pengenaan tarif layanan dan jasa tindakan
masih mengacu pada perda No.6 tahun 2011 tentang retribusi.
Hal tersebut menyebabkan hilangnya potensi pendapatan lebih
bagi puskesmas Martapura dan puskesmas Gambut.
4. Hasil Wawancara dengan Kepala Puskesmas juga diperoleh
informasi bahwa, Puskesmas Martapura dan Gambut masih
berbentuk UPT dari Dinas Kesehatan sehingga dalam
penyusunan Laporan Keuangan (LK) Tahun Anggaran (TA)
2015 belum dapat di pisahkan dari LK Dinas Kesehatan, hal ini
bertentangan dengan kewajiban yang di tetapkan untuk PPK
BLUD yaitu harus menyusun laporan keuangan versi Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP) dan Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) sehingga dapat di audit oleh pemeriksaan ekstern BLU
sesuai peraturan perundangan yaitu BPK atau KAP yang telah
memperoleh sertifikat dari BPK.
• Permasalahan Non Teknis
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Banjar diperoleh informasi, yaitu:
1. Puskesmas Martapura dan puskesmas Gambut belum memiliki
Pejabat Pengelola BLUD yang terdiri dari Pimpinan, Pejabat
Keuangan dan Pejabat Teknis dan befungsi sebagaimana yang
telah di tetapkan dalam Peraturan Bupati Banjar No.67 Tahun

FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

185

2014 Tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum


Daerah pada Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten Banjar, tanggal 22 Desember 2014.
2. Puskesmas juga belum dapat memenuhi kekurangan SDM di
bidang Administrasi dan Manajemen sehingga menyebabkan
rangkap jabatan antara tenaga fungsional yang memberikan
pelayanan kesehatan dan harus juga menjadi tenaga administrasi.
Puskesmas belum dapat menggunakan hak fleksibilitas dalam
pemenuhan kekurangan tenaga SDM.

C.2.4. Kinerja Puskesmas berdasarkan Capaian SPM


Pengumpulan data bersifat kuantitatif dilakukan untuk
mengetahui capaian kinerja kondisi awal sebelum Puskesmas Martapura
dan Puskesmas Gambut menerapkan BLU/D dan setelah menerapkan
BLU/D apakah mengalami peningkatan atau penurunan kinerja.
Data yang diperoleh dianggap valid karena merupakan dokumen
laporan resmi puskesmas yang ditandatangani oleh penanggung jawab
puskesmas. Data tersebut merupakan capaian kinerja dan target
puskesmas tahun 2014 sebelum menerapkan BLU/D serta capaian
kinerja dan target puskesmas tahun 2015 setelah menerapkan BLU/D.

D. PEMBAHASAN
D.1. Capaian Kinerja Puskesmas
D.1.1. Puskesmas Martapura
Berdasarkan penelitian atas dokumen Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Puskesmas, kinerja pada Puskesmas Martapura sebelum
penerapan BLU/D tahun 2014 dan setelah penerapan BLU/D tahun
2015 diperoleh hasil capaian indikator wajib dan indikator tambahan
sebagaimana dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Kinerja Puskesmas Martapura Tahun 2014 dan 2015


No Capaian Kinerja Kinerja 2014 Kinerja 2015 Peningkatan
1 Indikator wajib 65% 40% -25%
2 Indikator 67% 72% 5%
tambahan
3 Rata-rata 132/2=66% 122/2=56% -20/2=-10%
Catatan: - (minus): penurunan kinerja

Hasil capaian indikator wajib dan indikator tambahan


Puskesmas Martapura dapat dijelaskan sebagai berikut:


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

186

1. Capaian Indikator Kinerja Wajib.


Berdasarkan Tabel 1, diperoleh gambaran bahwa capaian kinerja
indikator wajib Puskesmas Martapura tahun 2014 sebelum
menerapkan BLUD sebesar 65%, sedangkan capaian kinerja
indikator wajib Puskesmas Martapura tahun 2015 setelah
menerapkan BLUD sebesar 40%. Berarti terdapat penurunan capaian
kinerja indikator wajib Puskesmas Martapura sebesar 25 %.
Penurunan kinerja terjadi pada indikator kegiatan pelayanan
kesehatan dasar sebanyak 10 kegiatan.
Penurunan kinerja yang paling signifikan terjadi pada persentase
cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat serta cakupan
penemuan dan penanganan penderita penyakit AFP rate per 100.000
penduduk < 15 tahun (Kabupaten), turun dari 100 % pada tahun
2014 menjadi 0% pada tahun 2015. Walau terjadi penurunan kinerja,
terdapat pula peningkatan kinerja yang paling signifikan terjadi pada
cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan naik dari 100% pada
tahun 2014 menjadi 733%.

2. Capaian Indikator Kinerja Tambahan


Berdasarkan Tabel 1, capaian kinerja indikator tambahan
Puskesmas Martapura tahun 2014 sebelum menerapkan BLUD
sebesar 67%, dan capaian kinerja indikator tambahan Puskesmas
Martapura tahun 2015 setelah menerapkan BLUD sebesar 72%.
Sehingga terdapat peningkatan capaian kinerja indikator tambahan
Puskesmas Martapura sebesar 5%. Peningkatan kinerja yang
signifikan terjadi pada kegiatan upaya kesehatan sekolah, SD/MI
yang memiliki dokter kecil naik dari 100% pada tahun 2014 menjadi
450% pada tahun 2015.

3. Capaian Kinerja Indikator Rata-rata


Secara keseluruhan rata-rata capaian kinerja Puskesmas
Martapura tahun 2014 sebelum menerapkan BLUD sebesar 66%,
dan capaian kinerja tahun 2015 setelah menerapkan BLUD sebesar
56%, sehingga mengalami penurunan kinerja rata-rata sebesar 10 %.

D.1.2. Puskesmas Gambut


Berdasarkan penelitian kinerja pada Puskesmas Gambut
sebelum penerapan BLU/D tahun 2014 dan setelah penerapan BLUD
tahun 2015 diperoleh hasil capaian indikator wajib dan indikator
tambahan sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

187

Tabel 5.2. Perbandingan Kinerja Puskesmas Gambut Sebelum


Penerapan BLUD Tahun 2014 dan Setelah Penerapan BLUD
Tahun 2015
No Capaian Kinerja Kinerja 2014 Kinerja 2015 Peningkatan
1 Indikator wajib 36% 34% -2%
2 Indikator 57% 57% 0%
tambahan
3 Rata-rata 93/2=46% 91/2=45% -1%
Catatan: - (minus) = penurunan kinerja.

Hasil capaian indikator wajib dan indikator tambahan dapat dijelaskan


sebagai berikut:
1. Capaian Indikator Kinerja Wajib Puskesmas Gambut.
Berdasarkan indikator Wajib pada Tabel 2, diperoleh gambaran
bahwa capaian kinerja indikator wajib Puskesmas Gambut tahun
2014 sebelum menerapkan BLU/D sebesar 36%, sedangkan capaian
kinerja indikator wajib Puskesmas Gambut tahun 2015 setelah
menerapkan BLU/D sebesar 34%. Berarti terdapat penurunan
capaian kinerja indikator wajib Puskesmas Gambut sebesar 2 %.
Penurunan terjadi pada indikator kegiatan pelayanan kesehatan dasar
sebanyak 5 indikator kegiatan yang dapat dilihat pada lampiran 3.
Penurunan kinerja yang paling signifikan terjadi pada indikator
cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani turun dari 100
% pada tahun 2014 menjadi 0 % pada tahun 2015.

2. Capaian Indikator Kinerja Tambahan Puskesmas Gambut.


Capaian kinerja indikator tambahan Puskesmas Gambut tahun
2014 sebelum menerapkan BLU/D sebesar 57%, dan capaian kinerja
indikator tambahan Puskesmas Gambut tahun 2015 setelah
menerapkan BLU/D sebesar 57%. Berarti tidak terdapat penurunan
atau peningkatan capaian kinerja indikator tambahan Puskesmas
Gambut adalah tetap. Walau terjadi penurunan kinerja pada kegiatan
pencegahan dan pemberantasan penyakit serta peningkatan kinerja
pada pelayanan kesehatan usia lanjut tetapi tidak mempengaruhi
kinerja Puskesmas.

3. Capaian Kinerja Rata-rata Puskesmas Gambut


Secara keseluruhan rata-rata capaian kinerja Puskesmas Gambut
tahun 2014 sebelum menerapkan BLU/D sebesar 46%, dan capaian
kinerja rata-rata sebesar tahun 2015 setelah menerapkan BLU/D
45%. Berarti secara rata-rata terjadi penurunan kinerja sebesar 1 %.


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

188

D.1.3.Perbandingan Kinerja Puskesmas Martapura dan


Puskesmas Gambut

Tabel 3. Hasil Peningkatan/Penurunan Kinerja Puskesmas Martapura


dan Gambut Tahun 2014-2015
Peningkatan Kinerja
No Indikator Puskesmas Puskesmas
Gambut Matapura
1 Indikator wajib -2% -25%
2 Indikator tambahan 0% 0%
3 Rata-rata -1% -10%

Jika dilihat pada Tabel 3, hasil akhir dari perhitungan capaian


kinerja puskesmas Martapura dan Gambut Kabupaten Banjar sebelum
penerapan BLUD tahun 2014 dan setelah penerapan BLUD tahun 2015
adalah:
• Puskesmas Martapura. Indikator kinerja wajib Puskesmas
Martapura mengalami penurunan sebesar 25%, tetapi indikator
kinerja tambahan mengalami peningkatan sebesar 5%,
sedangkan rata-rata indikator kinerja mengalami penurunan
kinerja sebesar 10% yang seharusnya kinerjanya mengalami
peningkatan.
• Puskesmas Gambut: Indikator kinerja wajib Puskesmas Gambut
mengalami penurunan sebesar 2%, Indikator kinerja tambahan
tidak ada peningkatan maupun penurunan (tetap), sedangkan
rata-rata indikator kinerja mengalami penurunan kinerja sebesar
1% yang seharusnya kinerjanya mengalami peningkatan.

D.2 Fleksibilitas Pengelolaan Keuangan Puskesmas


Analisis temuan dikaitkan dengan justifikasi teoritik dilakukan
dengan menganalisis Kinerja Puskesmas Martapura dan Gambut
sebelum menerapkan BLUD tahun 2014 dan setelah menerapkan
BLUD tahun 2015. Menurut Winarno (2004) , analisis adalah
penguraian dari suatu sistem informasi yang utuh ke dalam bagian-
bagian komponen-komponennya dengan maksud untuk
mengidentifikasikan dan mengevaluasi permasalahan-permasalahan,
kesempatan-kesempatan, hambatan- hambatan yang terjadi dan
kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan sehingga dapat diusulkan
perbaikan-perbaikan secara berkesinambungan.
Hasil penelitian berdasarkan metode data kombinasi Model
Convergent Parallel Mixed Method dapat dijelaskan dalam Gambar 3.


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

189

Gambar 3. Analisis Data Kombinasi Model Convergent Parallel Mixed


Method

Menurut studi yang diselenggarakan oleh Organisation for


Economic Cooperation and Development (selanjutnya disebut OECD)
yang tertuang dalam laporan Distributed Public Governance: Agencies,
Authorities, and Other Government Bodies (2002), Agency adalah jasa
pelayanan dalam suatu Kementerian yang dibedakan secara administratif
dan manajemen keuangannya, sedangkan pertanggungjawaban ke
kementrian induk tetap berlaku. Agency berorientasi pada hasil dan
kombinasi antara pendapatan dengan biaya, dimonitor berdasarkan
indikator kinerja yang telah ditetapkan dan anggaran ditetapkan
berdasarkan kinerja juga biayanya.
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian tindakan karena
peneliti ingin mengetahui seberapa besar tindakan baru (penerapan
BLU/D) yang dicobakan tersebut dapat meningkatkan kinerja
Puskesmas Martapura dan Gambut yang berkembang menjadi ilmu

FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

190

tindakan. Menurut Sugiyono (2015), penelitian tindakan akan lebih


akurat dan lengkap, kalau menggunakan analisis data kombinasi
kuantitatif dan kualitatif.
Talbot el al. (2000) membagi pengagenan dari tiga sudut
pandang. Pertama, dari sudut pandang politik, pengegenan merupakan
suatu metode untuk merevitalisasi legitimasi institusi publik khususnya
dalam hal pelayanan publik. Kedua, dari sisi kebijakan, pengagenan
dipandang sebagai suatu cara merasionalisasikan secara jelas tujuan yang
handak dicapai dan penyampaian kebijakan dengan menggunakan
instrumen yang lebih strategis dalam pembuatan kebijakan. Dan ketiga,
dari sisi administrasi atau manajerial. Agensifikasi dilihat sebagai cara
yang penting dalam hal perbaikan efisiensi teknis internal.
Ketidakdisiplinan dan kerumitan birokrasi bisa direvitalisasi dan
didayagunakan dengan unit-unit yang diatur dengan mudah, fokus, dan
berorientasi kinerja. Manajer bebas melakukan pengaturan organisasi,
karyawan bisa diberdayakan dengan kultur yang berorientasi pelanggan
(customer-oriented culture) yang dibentuk dalam unit organisasi yang
otonom dengan area pekerjaan dan kebebasan yang jelas. Dari segi teori
agency, hasil penelitian pada puskesmas Martapura dan Gambut belum
mencerminkan apa yang seharusnya. Pemerintah Kab. Banjar belum
sepenuhnya mendukung menggunakan instrumen yang lebih strategis
dalam pembuatan kebijakan, sehingga di tahun 2015 setelah adanya
penetapan status BLUD belum langsung dapat berjalan sesuai dengan
ketentuan dan konsep BLUD itu sendiri.
Puskemas sebagai BLUD berpeluang untuk dapat meningkatkan
pelayanannya ke masyarakat. Puskesmas akan mengelola sendiri
keuangannya, tanpa memiliki ketergantungan operasional kepada
Pemerintah Daerah. Melalui konsep pola pengelolaan keuangan BLUD
ini, Puskesmas diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme,
mendorong entherpreunership, transparansi, dan akuntabilitas dalam
rangka pelayanan publik, sesuai dengan tiga pilar yang diharapkan dari
pelaksanaan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) BLUD ini, yaitu
mempromosikan peningkatan kinerja pelayanan publik, fleksibilitas
pengelolaan keuangan dan tata kelola yang baik.
Dari hasil analisis diperoleh gambaran bahwa: Pertama, Pola
Pengelolaan Keuangan, belum mencerminkan fleksibilitas pengelolaan
keuangan sesuai konsep BLUD, yaitu: (1) Belum sepenuhnya diberikan
kewenangan otonomi dalam pengelolaan pendapatannya. (2) Belum
fleksibel dalam penggunaan pendapatan operasionalnya, belum memiliki
Anggaran Belanja yang fleksibel berdasarkan volume kegiatan
pelayanan dengan jumlah pengeluarannya dan belum membuat RBA
yang mengakibatkan Puskesmas belum bisa menggunakan seluruh


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

191

pendapatan di tahun 2015 secara langsung dan fleksibilitas sesuai


dengan konsep BLUD status penuh belum dapat dijalankan. (3) Belum
Bisa cepat menyesuaikan kebutuhan pengeluaran/belanja sebagai akibat
tuntutan layanan dari masyarakat termasuk pengadaan barang/jasa serta
belum menjalankan mekanisme pengesahan yang sesuai ketentuan. (4)
Belum dapat menyajikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yaitu versi Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan versi
Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Kedua, Puskesmas belum mampu mengatasi kendala utama
yang terkait pada kesiapan BLUD yaitu masalah sumber daya manusia
dan sistem akuntansi keuangan, seharusnya bisa: (1) Merekrut tenaga
profesional dan tenaga lepas/bukan PNS yang ahli dalam bidangnya
masing-masing. (2) Kombinasi antara pegawai PNS dan profesional
pada BLUD diharapkan akan membawa dampak pada kenaikan kinerja,
kualitas layanan dan pendapatan BLUD yang dijalankan secara
korporasi/badan usaha tersebut.
Ketiga, Puskesmas belum dapat meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas puskesmas. Menurut Bhatta (1996), dalam
kepemerintahan yang baik ditandai dengan 3 (tiga) elemen, yaitu:
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sehingga informasi harus
dapat dipertanggung jawabkan. Kondisi tersebut mengakibatkan pola
pengelolaan keuangan pada Puskesmas di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Banjar pada tahun 2015 masih dilaksanakan sebagaimana
UPTD berdasarkan Permendagri 13 Tahun 2006 dan perubahannya
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan bukan yang sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2005 Pengelolaan Badan
Layanan Umum dan Permendagri 61 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa
penerapan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) dengan status BLUD
Penuh pada Puskesmas di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten
Banjar belum dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

E. KESIMPULAN
Hasil penelitian pada puskesmas Martapura dan Gambut belum
mencerminkan apa yang seharusnya. Pemerintah Kab. Banjar belum
sepenuhnya mendukung menggunakan instrumen yang lebih strategis
dalam pembuatan kebijakan, sehingga di tahun 2015 setelah adanya
penetapan status BLUD belum langsung dapat berjalan sesuai dengan
ketentuan dan konsep BLUD itu sendiri.
Dari hasil penelitian terhadap analisis fleksibilitas pengelolaan
keuangan Puskesmas pada Pemerintah Kabupaten Banjar yang telah


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

192

menetapkan Puskesmas Martapura dan Puskesmas Gambut dengan


status BLUD penuh diperoleh gambaran bahwa:
Pertama, Pola Pengelolaan Keuangan (PPK-BLUD), belum
mencerminkan fleksibilitas pengelolaan keuangan sesuai konsep BLUD.
Kedua, Puskesmas belum mampu mengatasi kendala utama
yang terkait pada kesiapan BLUD yaitu masalah sumber daya manusia
dan sistem akuntansi keuangan.
Ketiga, Puskesmas belum dapat juga meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas puskesmas.
Kondisi tersebut mengakibatkan pola pengelolaan keuangan
pada Puskesmas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjar pada
tahun 2015 masih dilaksanakan sebagaimana UPTD berdasarkan
Permendagri 13 Tahun 2006 dan perubahannya tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah dan bukan yang sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No.23 Tahun 2005 Pengelolaan Badan Layanan Umum dan
Permendagri 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Berdasarkan hasil analisis
tersebut menunjukkan bahwa penerapan Pola Pengelolaan Keuangan
(PPK) dengan status BLUD Penuh pada Puskesmas di lingkungan
Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar belum dapat dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA
Ashari, E.T dan Desi Fernanda, 2001. Membangun Kepemerintahan yang
Baik. Lembaga Administrasi Negara Republik .
Christensen, T. & Laegreid, P. (2004). Regulatory agencies: The challenges of
balancing agency autonomy and political control. Artikel yang
dipersembahkan pada SOG Conference. Vancouver.
Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approach. Sage Publications Inc. London
Dhatri, Muryani, 2017. Analisis Pelaksanaan Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) di RSUD dr. Achmad Darwis Kabupaten Lima Puluh Kota.
Tesis Master pada ProgramPascasarjana Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padanag.
Gambir, Bhatta, 1996. Good Governance. Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia (LAN-RI).
Hessel, Nogi, 2003. Kebijakan Publik. Lapera. Yogyakarta.
Hosio, 2007. Kebijakan Publik dan Desentralisasi. Laksbang.
Jakarta Irfan, Muhammad Islami, 1991. Prinsip – Prinsip Perumusan
Kebijakan. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Mamesah, D, J, 1995. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Pustaka


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

193

Utama. Jakarta.
LAN & BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Lembaga
Administrasi Negara , Jakarta.
Lindholm, Richard W. And Wignjowijoto, Hartojo, 1986. Financing and
Managing State and Local Governenmet. UI-Press. Jakarta.
Lukman, Mediya 2013. Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju
Korporasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Nancy R., 2004. Tague's The Quality Toolbox. Second Edition. ASQ
Quality Press.
Nizar, Dicky, 2015. Implementasi PPK BLUD Puskesmas DiKabupaten
Cianjur. http://dicky- nizar.blogspot.com/ 2015/ 02/ blud-
puskesmas – di - kabupaten-cianjur.html.
Nugroho, Riant, 2003. Reiventing Pembangunan. Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Pollitt C., Talbot C., Caulfield J. & Smullen A. 2004. Agencies: how
government do things through semi-autonomous organization. Palgrave
Mcmillan, New York.
Restianto, Yanuar. E dan Icuk Rangga Bawono, 2015. Pengelolaan
Keuangan BLU/BLUD. UPP STIM YKPN
Sabeni, Arifin, 2005. Peran Akuntan dalam Menegakkan Prinsip Corporate
Governance pada Perusahaan di Indonesia (Tinjauan Perspektif
Keagenan). Sidang Senat Guru Besar Universitas Diponegoro
Dalam Rangka Pengusulan Jabatan Guru Besar.
Scott, Willian R. 2009. Financial Accounting Theory. Toronto. Prentice
Hall. Fifth Edition. Canada.
Shafritz, Jay M. et al. 2004. Clasic of Public Administration. Fith Edition.
Thomson Wadsword.
Shick, A. 2002. Agencies in search of principles. Dalam OECD,
Distributed public governance: agencies, autorities and other
goverment bodies (pp.33-52). Paris: OECD.
Sudiyono, 1992. Model Penelitian Evaluasi (Evaluasi Dampak Program).
Jurusan Ilmu Administrasi Negara. Fisipol UGM, Yogyakarta.
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian dan Bisnis. Afabeta, Bandung.
Suprapti, Endang, 2010. Sistem Informasi Manajemen Pengelolaan Aset
Barang Milik Negara. Universitas Pamulang, Tangerang.
Syaukani, H.R., 2004. Konsep Dan Implementasi Ekonomi Kerakyatan Era
Otonomi Daerah. Nuansa Madani. Jakarta.
Supriatna, Tjahya, 2001. Manajemen Pemerintahan Daerah. Institut
Pemerintahan Dalam Negeri. Bandung.
Susan Stainback, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta,
Bandung.


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

194

Talbot C., et.al., 2000. The idea of agency. Kertas kerja untuk Koferensi the
American Political Studies Association. Washington DC.
Waluyo, 2007. Manajemen publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasi Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah). Mandar Maju. Bandung.
Watson, Douglas J. and Hassett, Wendy L. (Eds.), 2003. Local
Government Management: Current Issues and Best Practices. An ASPA
Classic Volume. M.E. Sharpe.
Wibawa, Samudra, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Widaningtyas, Endah 2016. Analisis Kesiapan Puskesmas Menuju Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD) di Kabupaten Semarang. Masters
thesis, Universitas Diponegoro.


FOCUS Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2018

You might also like