You are on page 1of 20

Laporan Praktikum

Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan

PENGUKURAN ANALISIS DAYA CERNA PATI DAN SERAT PADA


TEPUNG TAPIOKA, TEPUNG BERAS, DAN NOVELOSE

Dosen: Dr. Endang Prangdimurti


Asisten: Annisa Nazifa Salman, Valerina AT Silangit
Muhammad Agung Razak (F24160013), Meghan Oceanny Amenika
(F24160077), Nadhilah Al Farisah (F24160079), Felicia (F24160083), Jessica
Eka Putri (F24160087)
Golongan/Kelompok : P4/3
3-10 September 2019

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan


Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT

Food plays an important role as an energy source for the body. One of the
main sources of energy is carbohydrate as it is widely consumed. Tapioca flour,
rice flour, and novelose are foods that are considered rich in its carbohydrate
content. Carbohydrates in food consist of starch and dietary fiber. Determination
of starch digestibility can be done with in vitro method. This method is conducted
by hydrolyzing starch into glucose and maltose and reacted it them with DNS. The
absorbance of the solution is then measured with a spectrophotometer. Tapioca
flour has the highest starch digestibility followed by rice flour and lastly novelose.
Novelose is a modified starch, hydrolyzed by acid therefore the digestibility is
lower. As for fiber digestibility, it is determined by enzimatic-gravimtetric
method.The method is carried out by hydrolyzing fiber with enzymes such as
termamyl, amyloglucosidase and protease. Novelose has the highest fiber
digestibility followed by brown rice flour and lastly white rice flour. Fiber content
influences starch digestibility. The higher the fiber content, the lower the starch
digestibility and maltose concentration. Therefore, novelose who has the highest
fiber content has the lowest maltose concentration and starch digestibility, while
tapioca flour who has the lowest fiber has the highest maltose concentration and
highest starch digestibility.
Keywords: fiber digestibility, novelose, rice flour, starch digestibility, tapioca
flour
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan memiliki peran penting dalam sumber energi pada tubuh.


Kemajuan zaman diikuti dengan kesibukan manusia yang semakin meningkat.
Tingkat kebutuhan gizi dan energi diperlukan lebih banyak. Sumber energi utama
dapat diperoleh dengan konsumsi lemak dan karbohidrat yang optimal. Menurut
Hutagalung (2004), lemak menghasilkan energi lebih besar, namun karbohidrat
lebih banyak di konsumsi sehari-hari sebagai bahan makanan pokok, terutama
pada negara sedang berkembang. Konsumsi karbohidrat pada negara sedang
berkembang sekitar 70-80% dari total kalori, bahkan pada daerah-daerah miskin
bisa mencapai 90%. Konsumsi karbohidrat di negara maju hanya sekitar 40-60%.
Hal ini disebabkan sumber bahan makanan yang mengandung karbohidrat lebih
murah harganya dibandingkan sumber bahan makanan kaya lemak maupun
protein.
Karbohidrat yang terdapat pada pangan dapat berupa karbohidrat
sederhana dan karbohidrat kompleks. Jenis karbohidrat kompleks yaitu pati dan
serat pangan. Pati merupakan karbohidrat yang tersusun dari polimer glukosa, dan
terdiri atas amilosa dan amilopektin. Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-
umbian, sayuran, maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain adalah
jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, beras, sagu, amaranth, ubi
kayu, ganyong, dan sorgum (Herawati 2011). Menurut Santoso (2011), serat
pangan atau dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat
dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resistan terhadap
proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami
fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar.
Konsumsi pangan berkarbohidrat akan di cerna oleh tubuh karena tidak
seluruhnya di metabolisme menjadi energi oleh tubuh. Kecepatan karbohidrat di
cerna tubuh tergantung pada jenis karbohidrat yang di konsumsi. Karbohidrat
akan dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana. Menurut Hansdriyansyah
(2017), daya cerna pati adalah kemampuan pati untuk dapat diubah oleh enzim
menjadi komponen yang lebih kecil seperti maltosa dan glukosa. Kandungan serat
pangan dapat menghambat proses daya cerna pati karena serat dapat
meningkatkan viskositas atau kerapatan campuran pangan di dalam usus, sehingga
menghambat interaksi enzim dengan pati (Almatsier 2009). Sehingga dilakukan
pengujian mengenai analisis serat pangan dan daya cerna pati secara in vitro pada
beberapa jenis sampel yang mengandung pati dan berserat. Pengujian bertujuan
untuk mengeahui kandungan serat pangan dan analisis daya cerna pati sampel
terhadap pati murni.
Tujuan Praktikum

Praktikum bertujuan untuk menjelaskan prinsip dan mempraktekkan


analisis daya cerna pati secara in vitro, dan nilainya dibandingkan (relatif)
terhadap pati murni.

METODE

Daya cerna pati

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam percobaan yaitu penangas air (waterbath),


sentrifus, dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan dalam percobaan yaitu
tepung tapioka, tepung beras dan tepung novelose. Pereaksi yang digunakan
dalam percobaan yaitu larutan bufer fosfat 0.1 M pH 7.0, larutan enzim alfa
amilase: 1 mg/ml dalam dalam bufer fosfat, pereaksi DNS: 1 g 3,5-asam
dinitrosalisilat + 30 g Na-K tartarat + 1.6 g NaOH dalam 100 ml akuades, larutan
stok maltosa standar: 5 mg maltosa/10 ml akuades
Pembuatan larutan sampel

Sampel yang digunakan pada analisis daya cerna pati antara lain tepung
tapioka, beras, dan nevelose. Untuk membuat larutan sampel dibutuhkan masing-
masing 0.25 g sampel tepung. Selanjutnya, ditambahkan 25 ml air destilata dan
dipanaskan pada suhu 90°C untuk proses gelatinisasi. Lalu dipipet sebanyak 2 ml
ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml bufer fosfat
pH 7. Sampel dibuat duplo.

Analisis Daya Cerna Pati

Sampel tepung ditimbang sesuai takaran (0.10 g untuk sampel tapioka,


0.13 g untuk sampel tepung beras dan novelous). Akuades sebanyak 10 mL
ditambahkan ke dalam tabung reaksi bertutup yang telah berisi sampel. Campuran
ini kemudian divorteks dan dimasukkan ke dalam penangas air mendidih hingga
tergeltinisasi (untuk sampel tapioka selama 10 menit, untuk tepung beras dan
novelous selama 30 menit). Selama proses gelatinisasi, campuran divorteks setiap
5 menit sekali. Campuran lalu didinginkan di bawah ait mengalir dan dipindahkan
ke dua tabung reaksi dengan volume masing-masing 2 mL. Campuran
dipindahkan menggunakan pipet mohr pecah agar tidak tersumbat di dalam pipet.
Dua tabung berisi sampel ini disebut tabung A dan tabung B. Tabung A
merupakan tabung yang akan diberi perlakuan enzim, sedangkan tabung B
dijadikan sebagai blanko sampel.

Tabung A ditambahkan 8 mL larutan buffer fosfat 0.1 M pH 7.0 dan 5 mL


larutan enzim α-amilase. Campuran ini kemudian divorteks selama 5 detik dan
diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Tabung B ditambahkan 13 mL
laurtan buffer fosfat 0.1 M pH 7.0, divorteks 5 detik, dan diinkubasi juga selama
30 menit pada suhu 37°C. Campuran dalam tabung A dan tabung B masing-
masing dipindahkan sebanyak sebanyak 0.3 mL duplo ke tabung reaksi berisi 2
mL DNS (total menjadi 4 tabung: 2 tabung A dan 2 tabung B). Keempat tabung
ini dimasukkan ke dalam penangas air mendidih selama 10 menit. Akuades
ditambahkan ke dalam masing-masing tabung sebanyak 10 mL, lalu divorteks.
Terakhir ukur absorbansi keempat larutan tersebut pada panjang gelombang 520
nm dan data yang diperoleh diplot ke dalam kurva standar maltosa yang
sebelumnya telah dibuat.

Sampel tepung + akuades 10 mL

Vorteks

Gelatinisasi
(penangas air mendidih)

Pendinginan

2 mL 2 mL

Tabung A Tabung B

Vorteks
13 mL buffer
8 mL buffer fosfat
fosfat pH 7.0
pH 7.0
5 ml
α-amilase
Inkubasi
37C 30 min

Masing-masing 0.3 mL (duplo)

2 mL DNS
(4 tabung)
Inkubasi
Air mendidih 10 min

10 mL akuades setiap tabung

Vorteks

Pengukuran absorbansi
(λ= 520 nm)

Gambar 1 Analisis daya cerna pati


Daya cerna serat

Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam percobaan yaitu penangas air bergoyang


(shaker waterbath), sentrifus, penyaring vakum, oven, dan tanur. Bahan yang
digunakan dalam percobaan yaitu tepung beras coklat, tepung beras putih, dan
tepung novelose. Sedangkan pereaksi yang digunakan dalam percobaan yaitu
buffer fosfat 0.08 M pH 6.0, thermamyl (liquid), NaOH 0.275 N, protease: 50 mg
protease/ ml buffer fosfat, HCl 0.325 N, Amiloglukosidase (AMG), Etanol 78%
dan 95%, dan aseton.

Analisis Serat Pangan


Sebelum dianalisis serat pada tiga jenis tepung, diperlukan beberapa data
penunjang berupa kadar air dan kadar abu dari kertas saring Whatman yang
digunakan. Kertas saring ditimbang dan dicatat bobot awalnya. Pengukuran kadar
air dilakukan dengan memasukkan kertas saring ke dalam tanur selama 24 jam.
abu yang didapat lalu ditimbang dan diperoleh data kadar abu.
Analisis serat pangan yang digunakan mengikuti prosedur AOAC dengan
takaran setengah resep. Sebanyak 0.25 g sampel tepung ditimbang dalam reaksi
bertutup. Larutan buffer fosfat 0.08 M pH 6.0 ditambahkan ke dalam tabung
reaksi sebanyak 12.5 mL. Campuran kemudian divorteks, lalu ditambahkan 25 µL
larutan enzim thermamyl. Campuran kemudian diinkubasi dalam air mendidih
selama 30 menit dan divorteks setiap 5 menit sekali. Campuran kemudian
didinginkan debawah air mengalir. Setelah itu larutan NaOH 0.275 N
ditambahkan sebanyak 2.5 mL, dan larutan enzim protease juga ditambahkan
sebanyak 25 µL. Campuran lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60°C.
Sebanyak 2.5 mL larutan HCl 0.325 N ditambahkan ke dalam campuran untuk
menyesuaikan pH menjadi 4.5. Setelah pH sesuai, larutan enzim AMG
ditambahkan sebanyak 75 µL, dan campuran diinkubasuk pada suhu 60°C selama
30 menit. Tahap ini merupakan tahap akhir dari hidrolisis sampel secara
enzimatis.
Selanjutnya campuran ditambahkan etanol 96% sebanyak 70 mL dan
didiamkan selama 1 jam untuk mengendapkan serat terlarut (SDF). Campuran
kemudian disaring mennggunakan kertas saring Whatman dengan bantuan
buchner (penyaring vakum). Endapan disisakan dalam gelas beker dan dicuci
secara bertahap menggunakan etanol 78% (3×10 mL), etanol 96% (2×5 mL), dan
aseton (2×5 mL). Kertas saring berisi residu sampel kemudian dioven pada suhu
105C selama 24 jam. Berat kertas saring dan residu yang telah kering kemudian
ditimbang untuk menentukan bobot residu sampel (dengan koreksi kadar air
kertas saring). Kertas saring beserta residu ini kemudian dimasukkan ke dalam
tanur selama 24 jam, dan kemudian ditimbang, maka diperolehlah data bobot abu
dari residu sampel (dengan koreksi kadar abu kertas saring)

Kertas saring Kertas saring


penimbangan pengovenan
Whatman Whatman kering

Penimbangan

Gambar 2 Pengukuran kadar air kertas saring Whatman


Kertas saring Penimbangan Pengabuan Abu
Whatman dalam tanur

Penimbangan

Gambar 3 Pengukuran kadar abu kertas saring Whatman

Larutan buffer fosfat Larutan enzim


Sampel tepung
0.08 M pH 6.0 (12.5 thermamyl (25 µL)
(0.25 g)
mL)

Vorteks

Inkubasi

Pendinginan
Larutan NaOH 0.275 N
(2.5mL)
Larutan enzim protease
(25µL) Inkubasi

Larutan HCl 0.325


Pengaturan pH N (2.5mL)

Larutan enzim AMG


(75µL)
Inkubasi
Etanol 96%(70mL)

Pengendapan SDF

Pencucian (etanol Pencucian (etanol Pencucian (aseton


78% 3×10mL) 98% 2×5mL) 2×5mL)

Pengabuan Penimbangan Pengovenan Penimbangan

Penimbangan

Gambar 4 Analisis serat pangan


HASIL

Tabel 1 Standar maltosa


Konsentrasi (mg/ 10 mL) Absorbansi
0 0
1 0.153
2 0.406
3 0.655
4 0.705
5 0.735

Kurva Standar Maltosa


0.9
0.8 0.705 0.735
0.655
0.7
0.6
Absorbansi

0.5 0.406
0.4 y= 0.0438 + 0.1594x
0.3 R²= 0.9256
0.153 y= Absorbansi
0.2
x= konsentrasi (mg/10 ml)
0.1 0
0
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi standar maltosa (mg/10 ml)

Gambar 5 Kurva standar maltosa


Tabel 2 Data perhitungan kadar maltosa pada pati
Rata-rata
Kadar
Absorban Δ kadar
Kelom Absorban maltose
Sampel si Absorban maltose
pok si blanko (mg/10
sampel si (mg/10
mL)
mL)
Tapioka 1 0.459 0.231 0.228 1.1556
1.1618
0.460 0.230 0.230 1.1681
2 0.394 0.192 0.202 0.9925
1.0772
0.410 0.181 0.229 1.1618
Tepung 3 0.390 0.210 0.180 0.8545
0.8419
beras 0.386 0.210 0.176 0.8294
4 0.544 0.321 0.223 1.1242
1.1431
0.551 0.322 0.229 1.1619
Novelose 5

6 0.181 0.152 0.029 -0.0928


-0.1606
0.173 0.140 0.033 -0.0678

Contoh perhitungan: Sampel tapioka ulangan 1


Δ Absorbansi = Absorbansi sampel – absorbansi blanko
= 0.459 – 0.231
= 0.228
Kadar maltosa: y= 0.0438 + 0.1594x
0.228 = 0.1594x + 0.0438
x = 1.156 mg/10 mL
Rata-rata =

= 1.1618 mg/10 mL

Tabel 3 Data perhitungan daya cerna pati


Sampel Ulangan Rata-rata Rata-rata Daya cerna
kadar maltosa (mg/10 mL) pati (%)
(mg/10 mL)
Tapioka 1 1.1618 1.1195 100.00
2 1.0772
Tepung beras 1 0.8419 0.9925 88.66
2 1.1431
Novelose 1 -0.1606 -0.1606 - 14.34
2 -0.1606

Contoh perhitungan: Kadar Tepung beras


Rata-rata =

= 0.9925 mg/10 mL
Daya cerna pati tapioka = 100.00 % (pati)

Daya cerna pati (tepung beras) = x 100%

= x 100%

= 88.66 %

Daya Cerna Pati


120
100
100 88.66
80
Persentase (%)

60

40

20

0
Tapioka Tepung beras Novelose
-20
-18.34
-40
Jenis Tepung

Gambar 6 Persentase daya cerna pati pada jenis tepung tapioka, tepung beras, dan
novelose
Tabel 4 Hasil perhitungan serat kasar sampel
Kadar Kadar
Rata-
W air abu
% rata %
Sampel sampel kertas kertas B0 (g) B1 (g) C1 (g) B2 (g) B3 (g) C2 (g) C3 (g)
TDF TDF ±
(g) saring saring
SD
(%) (%)
Tepung
- -
beras 0.2505 0.6102 0.6060 0.0026 0.5609 0.0122 0.0096
0.0451 21.84 -0.01
coklat 1
0.69 0.43 ±
Tepung
30.87
beras 0.2507 0.5525 0.5487 0.0024 0.6115 0.0628 0.0105 0.0081 21.82
coklat 2
Tepung
-
beras 0.2501 0.5421 0.5384 0.0023 0.5306 0.0040 0.0017 -3.8
0.0078 -18.16
putih 1
0.69 0.43 ±
Tepung
- - 20.30
beras 0.2501 0.7550 0.7498 0.0032 0.6704 0.0051 0.0019
0.0794 32.51
putih 2
Novelose
0.2513 0.6559 0.6514 0.0028 0.7361 0.0847 0.0130 0.0102 29.64
1 31.30
0.69 0.43
Novelose ± 2.35
0.2500 0.6893 0.6845 0.0030 0.7823 0.0978 0.0184 0.0154 32.96
2
Keterangan:
B0 : W kertas saring
B1 : W kertas saring (bk), B1 = B0 – (kadar air x B0)
B2 : W kertas saring + residu kering (setelah dioven)
B3 : W residu kering, B3 = B2 - B1
C1 : W abu kertas saring, C1 = (kadar abu x B0)
C2 : W abu total (setelah ditanur)
C3 : W abu residu, C3 = C2 – C1
( -
% TDF = 00
sampel
SD : standar deviasi % TDF

Contoh perhitungan (tepung beras coklat; ulangan 1):


B1 = B0 – (kadar air x B0)
= 0.6102 g – (0.69 % x 0.6102 g)
= 0.6060 g
B3 = B2 - B1
= (0.5609 – 0.6060) g
= -0.0451 g
C1 = kadar abu x B0
= 0.43 % x 0.6102 g
= 0.0026 g
C3 = C2 – C1
= (0.0122 – 0.0026) g
= 0.0096 g
( -
% TDF 00
sampel

(-0 0 5 - 0 00
00
0 2505

= -21.83 %
2
Rata-rata % TDF 2
(-2 2 2
2

= -0.01 %

SD % TDF

2 2
(-2 -0 005 (2 -0 005
=± %
2-

= ± 30.86 %

Total Serat Kasar


40
30.34
30

20
Persentase (%)

10
0.005
0
Tepung beras coklat Tepung beras putih Novelose
-10

-20
-18.14
-30
Jenis Tepung

Gambar 7 Persentase daya cerna serat pada jenis tepung tapioka, tepung beras,
dan novelose
PEMBAHASAN

Pati merupakan polisakarida yang tersusun atas monomer-monomer gula


yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Pati memiliki ciri berupa bubuk
putih, hambar, dan tidak berbau. Proses pencernaan pati adalah dengan hidrolisis.
Hidrolisis akan menyebabkan pati yang merupakan polisakarida akan terurai
menjadi komponen gula yang lebih sederhana. Proses pengubahan polisakarida
menjadi komponen gula yang lebih sederhana disebut juga sakarifikasi. Proses ini
melibatkan enzim amilolitik. Pengukuran daya cerna pati secara in vitro dilakukan
berdasarkan tingkat kemudahan hidrolisis pati oleh enzim menjadi unit-unit yang
lebih sederhana dan dihitung sebagai presentase relatif terhadap pati murni yang
diasumsikan dapat dicerna secara sempurna dalam saluran pencernaan (Guraya et
al. 2001). Sebelum dihidrolisis, pati digelatinisasi terlebih dahulu. Hasil hidrolisis
pati berupa glukosa dan maltosa yang dihasilkan direaksikan dengan pereaksi
DNS yang akan menghasilkan senyawa asam 3-amino-5-nitosalisilat yang
berwarna yang akan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotomere.
Larutan maltosa standar digunakan untuk mengetahui kadar maltosa sampel.
Maltosa merupakan hasil hidrolisis pati oleh enzim alfa amilase dimana tahapan
hidrolisis pati dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama yaitu degradasi amilosa
menjadi maltosa dan maltotriosa, selanjutnya pembentukan glukosa dan maltosa
sebagai produk akhir (Bender dan Mayes 2013).
Serat pangan atau dietary fiber merupakan bagian dari tumbuhan yang
dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resistan
terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta
mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar (Santoso 2011).
Berdasarkan fungsinya di tanaman, serat dibagi menjadi tiga fraksi yaitu
polisakarida struktural yang terdapat pada dinding sel (selulosa, hemiselulosa, dan
substansi pektat), non-polisakarida struktural yang sebagian besar terdiri dari
lignin, serta polisakarida non-struktural (gum dan agar-agar). Serat dapat dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan kelarutannya, yakni serat pangan larut atau
SDF- Soluble Dietary Fiber (pektin dan gum) yang banyak terdapat pada buah
dan sayur serta serat pangan tidak larut atau IDF-Insoluble Dietary Fiber
(selulosa, hemiselulosa, dan lignin) yang banyak ditemukan pada serealia, kacang-
kacangan, dan sayuran (Herminingsih 2010).
Prinsip analisis serat pangan yang dilakukan dalam praktikum
menggunakan metode enzimatik-gravimetri (AOAC 985.29). Prinsip pengukuran
serat pangan metode ini adalah hidrolisis karbohidrat yang dapat dicerna, lemak,
dan protein menggunakan enzim. Enzim yang digunakan untuk menghidrolisis
pati adalah termamyl, amiloglukosidase serta protease. Molekul yang tidak larut
maupun yang tidak terhidrolisis dipisahkan melalui penyaringan sebagai residu.
Residu tersebut kemudian akan dikeringkan dan ditimbang. Selanjutnya residu
tersebut akan dianalisis kadar protein dan abunya. Kadar serat pangan diperoleh
setelah residu dikurangi kadar protein dan kadar abu. Namun metode ini
merupakan prosedur yang sangat panjang dan tidak praktis dari segi waktu
(Ceirwyn 1999). Untuk mendapatkan komponen SDF, perlu dilakukan presipitasi
SDF dengan menambahkan etanol 95% ke dalam larutan analisis yang terdiri atas
IDF, SDF terlarut, hasil hidrolisis enzim, mineral, serta komponen kontaminan
lainnya. Tingkat kelarutan polisakarida, dalam hal ini SDF, di dalam larutan akan
menurun akibat penambahan larutan tertentu seperti alkohol, iodin, tembaga, dan
garam amonium kuartener. Penurunan tingkat kelarutan polisakarida di dalam air
menyebabkan polisakarida mengalami presipitasi atau pengendapan. Perbedaan
antara analisis TDF dan IDF terletak pada proses presipitasi. Komponen IDF
terlebih dahulu dipisahkan dari larutan analisis melalui penyaringan, sehingga
filtrat yang diperoleh hanya terdiri atas komponen SDF terlarut yang selanjutnya
dipresipitasi (Aman dan Westerlund 2006). Metode lain yang dapat digunakan
untuk mengukur serat pangan adalah dengan metode yang menggunakan deterjen
(Acid Deterjen Fiber atau Neutral Deterjen Fiber) yang merupakan metode
gravimetrik namun hanya mengukur serat tidak larut karena penggunaan asam
sulfat pekat yang menyebabkan komponen serat larut mengalami kehilangan
(James dan Theander 1981).
Daya cerna pati dapat dipengaruhi oleh banyaknya serat yang terkandung,
termodifikasi atau tidaknya pati, dan nisbah amilosa dan amilopektin pada pati.
Semakin tinggi kandungan serat pati menyebabkan pati sulit dihidrolisis oleh
enzim sehingga daya cernanya semakin rendah. Pati termodifikasi asam memiliki
daya cerna yang rendah dikarenakan proses hidrolisis asam dapat meningkatkan
jumlah rantai polimer yang berbobot molekul rendah dan molekul amilosa rantai
pendek sehingga mudah mengalami retrogradasi. Retrogradasi menyebabkan
molekul pati kembali membentuk struktur yang kompak yang distabilkan dengan
adanya ikatan hidrogen sehingga lebih sulit untuk dipecah oleh enzim (Faridah et
al. 2013).
Percobaan daya cerna pati secara in vitro dilakukan pada sampel tepung
tapioka, tepung beras dan novelose. Berdasarkan hasil absorbansi yang diperoleh
dan dihitung perubahan konsentrasinya sebelum dan sesudah diberi enzim
menggunakan persamaan standar maltosa, diperoleh perubahan konsentrasi
maltosa pada tepung tapioka adalah 1.1618 mg/10mL dan 1.0772 mg/10mL,
untuk tepung beras yaitu 0.8419 mg/10mL dan 1.1431 mg/10mL, sedangkan
untuk novelose yaitu -0.1606 mg/10mL. Semakin tinggi perubahan konsentrasi
maltosa, menunjukan semakin banyaknya pati yang terhidrolisis oleh enzim
sehingga daya cerna pati lebih tinggi. Berdasarkan data tersebut, maka daya cerna
pati pada tapioka, tepung beras, dan novelose berturut-turut adalah 100.00%,
88.66%, dan -14.34%. Menurut Syamsir et al. (2011), daya cerna pati tapioka
berkisar antara 81,99% sampai 92,32%. Daya cerna pati beras berkisar 51.34 –
57.25 % (Herawati dan Widowati 2009). Sedangkan, daya cerna pati novelose
adalah berkisar 46.7 – 47.3 % (Shin et al. 2007). Berdasarkan literatur, daya cerna
pati tertinggi dimiliki oleh pati tapioka, lalu pati beras dan yang paling rendah
adalah pati novelose. Pati novelose merupakan pati termodifikasi sehingga daya
cernanya menjadi lebih rendah. Pati termodifikasi memiliki daya cerna pati yang
rendah dikarenakan proses hidrolisis asam dapat meningkatkan jumlah rantai
polimer yang berbobot molekul rendah dan molekul amilosa rantai pendek
sehingga mudah mengalami retrogradasi. Retrogradasi menyebabkan molekul pati
kembali membentuk struktur yang kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan
hidrogen sehingga lebih sulit untuk dipecah oleh enzim.
Pada percobaan analisis serat pangan, digunakan tiga sampel yakni tepung
beras cokelat, tepung beras putih serta novelose dan dilakukan ulangan sampel
sebanyak 2 ulangan pada tiap sampel. Hasil menunjukkan kadar serat total pada
tepung beras coklat pada ulangan 1 bernilai minus yaitu -21.84%, sedangkan
ulangan 2 sebesar 21.82%. Untuk sampel tepung beras putih pada kedua ulangan
menunjukkan kadar serat pangan yang bernilai minus, yaitu -3.80% dan -32.51%.
Sedangkan pada sampel novelose, rata-rata kadar serat pangan kedua ulangan
sebesar 31.30%. Hasil kadar serat pangan yang bernilai minus dapat diakibatkan
oleh kesalahan selama proses analisis, seperti residu yang terbuang saat proses
filtrasi, maupun kesalahan kadar air koreksi kertas saring. Menurut literatur kadar
serat tepung beras putih sebesar 3.601% sedangkan beras coklat sebesar 7.63%
(Asad 2015). Hal ini didukung oleh pernyataan Wu et al. tahun 2017, kandungan
serat total pada sampel tepung beras coklat lebih besar dari tepung beras putih.
Hal ini disebabkan oleh proses pengolahan beras coklat yang tidak mengalami
proses penyosohan sehingga masih mengandung bagian bran yang merupakan
bagian yang mengandung serat cukup tinggi. Sedangkan menurut Faridah et al.
(2013), kadar serat pangan Novelose mencapai 41.16%. Pati resisten terukur
sebagai serat tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti serat larut.
Menurut Fernando (2013), komponen serat larut pada beras meliputi
arabinoxylan, β-d-glucans sedangkan serat tidak larut meliputi selulosa,
hemiselulosa dan β-d-glucans yang tidak larut.
Kandungan serat pada tapioka yaitu 0.9 % (Rakhmawati et al. 2014).
Kandungan serat pangan larut pada tepung beras yaitu 4.79% dan serat tak larut
7.14% (Herawati dan Widowati 2009). Berdasarkan kandungan seratnya, semakin
tinggi kandungan serat, maka daya cerna pati semakin rendah, sehingga
konsentrasi maltosa hasil hidrolisis semakin sedikit. Hal tersebut sesuai dengan
hasil percobaan dimana novelose memiliki konsentrasi maltosa hasil hidrolisis
paling rendah dan tapioka memiliki konsentrasi maltosa paling tinggi, sehingga
daya cerna pati berhubungan dengan kandungan serat pangan pada sampel.

SIMPULAN

Daya cerna pati pada produk pangan tepung tapioka, tepung beras, dan
novelose diukur secara in vitro. Sampel yang memiliki daya cerna pati tertinggi
adalah tepung tapioka yang diikuti oleh tepung beras dan terakhir novelose. Hal
ini disebabkan tapioka memiliki kandungan serat yang rendah sehingga daya
cerna patinya tinggi dan sebaliknya pada novelose. Daya cerna serat dilakukan
dengan metode enzimatik-gravimetri. Sampel yang memiliki daya cerna serat
tertinggi adalah novelose, diikuti oleh tepung beras coklat dan tepung beras putih.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka.


Aman P, Westerlund. 2006. Cell Wall Polysaccharide : Structural, Chemical, and
Analytical Aspect. Sweden (SE) : Marcel Dekker, Inc.
Asad M. 2015. Evaluasi nilai biologis beras (Oryza sativa L.) coklat Ciherang dan
Cianjur [skripsi]. Bogor (ID) : IPB.
Bender DA, Mayes PA. 2013. Nutrition, Digestion, and Absorption. Dalam
Haper’s
Ceirwyn J. 1999. Analytical Chemistry of Foods. New York (US) : Aspen
Publishers.
Faridah DN, Rahayu WP, Apriyadi MS. 2013. Modifikasi pati garut (Marantha
arundinacea) dengan perlakuan hidrolisis asam dan siklus pemanasan
pendinginan untuk menghasilkan pati resisten tipe 3. Jurnal Teknologi
Industri Pertanian. 23(1): 61-69.
Fernando B. 2013. Rice as a source of fiber. Journal of Rice Res. 1(2): 1-4.
Guraya HS, James C, Champagne ET. 2001. Effect of enzyme concentration and
storage temperature on the formation of slowly digestible starch from
cooked debranched rice starch. Starch. 53: 131-139.
Hansdriyansyah R. 2017. Evaluasi daya cerna pati pada susu sereal dengan
penambahan ekstrak cair daun jambu mete (Annacardium ocidentale l)
untuk penderita obesitas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Herawati H, Widowati S. 2009. Karakteristik beras mutiara dari ubi jalar (Ipomea
batatas). Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. 5:37-44.
Herawati H. 2011. Potensi pengembangan produk pati tahan cerna sebagai pangan
fungsional. Jurnal Litbang Pertanian. 30(1): 31-39.
Herminingsih A. 2010. Manfaat Serat dalam Menu Makanan. Jakarta (ID) :
Universitas Mercu Buana.
Hutagalung H. 2004. Karbohidrat. Jurnal Ilmu Gizi USU. 1(1): 1-13.
James W, Theander O. 1981. The Analysis of Dietary Fiber in Food. New York
(US) : Marcel Dekker, Inc.
Rakhmawati N, Amanto BS, Praseptiangga D. 2014. Formulasi dan evaluasi sifat
sensoris dan fisikokimia produk flakes komposit berbahan dasar tepung
tapioka, tepung kacang merah (Phaseolus vulgaris L.), dan tepung konjac
(Amorphophallus ancophillus). Jurnal Teknosains Pangan. 3(1): 63-73.
Santoso A. 2011. Serat pangan (dietary fiber) dan manfaatnya bagi kesehatan.
Jurnal Magistra. 75(23): 35-40.
Shin SI, Lee CJ, Kim DI, Lee HA, Cheong JJ, Chung KM, Baik MY, Park SC,
Kim CH, Moon TW. 2007. Formation, characterization, and glucose
response in mice to rice starch with low digestibility produced by citric
acid treatment. Journal of Cereal Science. 45: 24-33.
Syamsir E, Hariyadi P, Fardiaz D, Andarwulan N, Kusnandar F. 2011.
Karakteristik tapioka dari lima varietas ubikayu (Manihot utilisima
Crantz) asal lampung. Jurnal Agrotek. 5(1): 93-105.
Wu P, Deng R, Wu X, Dhital S, Chen X. 2017. In-vitro gastric digestion of
cooked white and brown rice using a dynamic rat stomach mode. Food
Chemistry. 17 : 308-315.

You might also like