Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Ismarini Hutabarat1) Lia Khalisa2)
Universitas Darma Agung, Medan
Email:
ismarini.hutabarat23@gmail.com
khalisalia79@gmail.com
ABSTRACT
Researches on cultural tradition showed that cultural tradition contained various cultural
values and norms as the heritage of the forefathers which were based on the functions in
organizing the social life of the society could be classified as local wisdom. This research did
not analyze the data based on sample or population. It was done this way because the object
studied were the elements of kinds of local wisdom found in the umpasa of Toba Batak which
were conveyed in marriage ceremony in Toba Batak culture. Therefore, this research was
known as case study because the object of the study was only based on certain phenomena. In
analyzing the data, the researcher applied descriptive method. This method not only focused
on collecting and arranging the data but also the analysis and interpretation of the data
analyzed. The result of the study showed that the local wisdoms that could be used to
increase the people’s prosperity in the umpasa conveyed in marriage ceremony in Toba
Batak culture were the values of hard working, discipline, education, health, mutual
cooperation, gender management and the preservation and creativity of culture. It was
expected that Toba Batak society, especially Toba Batak youths, keep preserving umpasa of
Toba Batak so that they could apply the local wisdoms contained in the umpasa in their daily
life.
Jurnal Littera: Fakultas Sastra Darma Agung Volume I, Nomor 2, Oktober 2019: 229–237 229
yang diungkapkan pada acara adat digunakan sebagai dasar dalam
pernikahan Batak Toba. Berdasarkan hal pembangunan masyarakat.
ini, maka masalah yang diteliti dalam Local genius, indigenious knowledge
penelitian ini adalah kearifan lokal yang atau local wisdom dapat digali secara ilmiah
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dari produk cultural dengan interpretasi
kesejahteraan apakah yang terkandung yang mendalam. Sebagai produk cultural,
dalam umpasa Batak Toba yang diucapkan tradisi budaya mengandung berbagai hal
dalam upacara adat pernikahan Batak yang menyangkut hidup dan kehidupan
Toba? komunitas pemiliknya, misalnya sistem
nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-
2. Tinjauan Pustaka kaidah social, etos kerja, bahkan cara
a. Kearifan Lokal bagaimana dinamika sosial itu berlangsung
Kearifan lokal dalam bahasa asing (Pudentia, 2003:1). Dengan kata lain, tradisi
sering dikonsepsikan sebagai kebijakan budaya sebagai warisan leluhur
setempat (local wisdom), pengetahuan mengandung kearifan lokal (local wisdom)
setempat (local knowledge) atau kecerdasan yang dapat dimanfaatkan dalam
setempat (local genious). Kearifan lokal juga pemberdayaan masyarakat untuk
dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang membentuk kedamaian dan meningkatkan
hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar kesejahteraan.
jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal Dalam penelitian terhadap tradisi
positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan budaya terdapat berbagai nilai dan norma
sebagai karya akal budi, perasaan budaya sebagai warisan leluhur yang
mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan menurut fungsinya dalam menata
anjuran untuk kemuliaan manusia. kehidupan sosial masyarakatnya dapat
Penguasaan atas kearifan lokal akan diklasifikasikan sebagai kearifan lokal.
mengusung jiwa mereka semakin berbudi Jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain: (1)
luhur. kesejahteraan; (2) kerja keras; (3) disiplin;
Menurut Rahyono (2009:7) kearifan (4) pendidikan; (5) kesehatan; (6) gotong
lokal merupakan kecerdasan manusia yang royong; (7) pengelolaan gender; (8)
dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang pelestarian dan kreativitas budaya; (9)
diperoleh melalui pengalaman masyarakat. peduli lingkungan; (10) kedamaian; (11)
Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari kesopansantunan; (12) kejujuran; (13)
masyarakat tertentu melalui pengalaman kesetiakawanan sosial; (14) kerukunan dan
mereka dan belum tentu dialami oleh penyelesaian konflik; (15) komitmen; (16)
masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut pikiran positif; dan (17) rasa syukur.
akan melekat sangat kuat pada masyarakat Semua kearifan lokal tersebut dapat
tertentu dan nilai itu sudah melalui diklasifikasikan pada 2 (dua) jenis kearifan
perjalanan waktu yang panjang, sepanjang lokal sebagai warisan leluhur yang menurut
keberadaan masyarakat tersebut. fungsinya dapat menata kehidupan sosial
Secara substantial, kearifan lokal itu masyarakatnya. Kearifan lokal yang
adalah nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi budaya dapat
berlaku dalam menata kehidupan diklasifikasikan pada 2 (dua) jenis kearifan
masyarakat. Nilai dan norma yang diyakini lokal inti (core local wisdom), yaitu kearifan
kebenarannya menjadi acuan dalam lokal untuk (1) kemakmuran atau
bertingkah laku sehari-hari masyarakat kesejahteraan dan (2) kedamaian atau
setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan kebaikan. Jenis-jenis kearifan lokal yang
bahwa Geertz (1983) menyatakan bahwa dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kearifan lokal merupakan entitas yang kesejahteraan adalah: (1) kerja keras; (2)
sangat menentukan harkat dan martabat disiplin; (3) pendidikan; (4) kesehatan; (5)
manusia dalam komunitasnya. Hal itu gotong royong; (6) pengelolaan gender; (7)
berarti kearifan lokal yang di dalamnya pelestarian dan kreativitas budaya; (8)
berisi nilai dan norma budaya untuk peduli lingkungan; sedangkan kearifan lokal
kedamaian dan kesejehateraan dapat yang dapat dimanfaatkan untuk
menciptakan kedamaian adalah (1)
Jurnal Littera: Fakultas Sastra Darma Agung Volume I, Nomor 2, Oktober 2019: 229–237 231
c. Suku Batak Toba dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini
Suku bangsa Batak mempunyai enam menempati posisi paling rendah sebagai
rumpun yaitu: Batak Toba, berdiam di parhobas atau pelayan baik dalam
sekitar danau Toba; Batak Mandailing, pergaulan sehari-hari maupun (terutama)
berdiam di sekitar Tapanuli Selatan; dalam setiap upacara adat. Walaupun,
Angkola, mendiami Angkola dan Sipirok; berfungsi sebagai pelayan bukan berarti
Batak Karo, berdiam di Tanah Karo; Batak bisa diperlakukan dengan semena-mena.
Simalungun, berdiam di Simalungun; dan Pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk,
Pakpak, berdiam di Dairi/Pakpak, Sumut yang diistilahkan elek marboru. Di
(Bangun, 1982: 94-95). Pada umumnya manapun dua orang Batak bertemu di
masyarakat Batak Toba tinggal di Provinsi daerah perantauan. Orang Batak bila
Sumatera Utara, khususnya di daerah Toba bertemu di daerah perantauan, mereka
dibagi menjadi empat kabupaten yaitu: merasa seolah-olah berkerabat meskipun
Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba belum berkenalan sebelumnya. Dalam
Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan perkenalan itu apabila keduanya
dan Kabupaten Samosir. Suku bangsa Batak mempunyai marga yang sama maka
Toba adalah salah satu dari banyak suku di hubungan itu bertumbuh dekat bagi
Indonesia. masyarakat Batak Toba. Marga adalah
Bentuk kekerabatan dalam suku simbol atau identitas masyarakat Batak
bangsa Batak Toba ada dua, yakni Toba.
berdasarkan garis keturunan dan sosiologis.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis 3. Metode Pelaksanaan
keturunan dapat dilihat dari marga yang Penelitian ini tidak menganalisis data
dimulai oleh si Raja Batak, semua orang melalui sampel ataupun populasi. Hal ini
Batak Toba pasti memiliki marga, dimungkinkan karena objek yang diteliti
sedangkan kekerabatan berdasarkan adalah kearifan lokal yang berupa nilai dan
sosiologis ialah terjadi karena perjanjian norma yang ada dalam umpasa Batak Toba
(padan antara marga tertentu) atau yang diucapkan dalam upacara adat
pernikahan. Masyarakat Batak Toba pernikahan Batak Toba. Dengan demikian,
memiliki filosofi yang menjadi pemersatu penelitian ini dikenal dengan sebutan
dan saling menghormati yaitu Dalihan Na penelitian kasus karena objek dari
Tolu yang terdiri dari: hula-hula, dongan penelitian yang dilakukan hanya terinci
tubu, dan boru. dalam satu gejala tertentu saja (Arikunto,
Hula-hula adalah pihak keluarga 1991:115).
dari istri. Hula-hula ini menempati posisi Dalam menganalisis data penulis
yang paling dihormati dalam pergaulan dan menggunakan metode deskriptif. Adapun
adat-istiadat Batak (semua sub suku batak). yang dimaksud dengan metode ini adalah
Oleh sebab itu, semua orang Batak penyelidikan yang tidak hanya dipusatkan
dipesankan harus hormat kepada Hulahula pada pengumpulan dan penyusunan data,
(somba marhula-hula). Dongan tubu disebut tapi meliputi analisis dan interpretasi
juga dengan yang artinya saudara laki-laki tentang data tersebut.
satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut Karena terbatasnya waktu yang
yang sama. Mereka ini seperti batang pohon dimiliki penulis untuk menyelesaikan
yang berdekatan, saling menopang, penelitian ini penulis mengumpulkan data
walaupun karena dekatnya terkadang saling dengan melihat rekaman acara pernikahan
gesek. Namun, pertikaian tidak membuat adat Batak Toba dari koleksi keluarga
hubungan satu marga bisa terpisah. walaupun penulis sendiri sudah pernah ikut
Diumpamakan seperti air yang dibelah serta dalam acara pernikahan adat Batak
dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap Toba. Selain itu, penulis juga melakukan
bersatu. Namun, demikian kepada semua wawancara dengan orang-orang biasa
orang batak (berbudaya Batak) dipesankan terlibat dalam acara ini dan mencari bahan
harus bijaksana kepada saudara semarga bacaan atau kepustakaan yang
disebut manat mardongan tubu. Boru berhubungan dengan acara pernikahan adat
adalah pihak keluarga yang mengambil istri Batak Toba.
Jurnal Littera: Fakultas Sastra Darma Agung Volume I, Nomor 2, Oktober 2019: 229–237 233
nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, bodoh pastilah tidak akan dianggap oleh
keteraturan dan ketertiban. Nilai disiplin orang lain.
yang terdapat dalam umpasa adat 2. Pidong harijo, pidong harangan
pernikahan Batak Toba adalah sebagai (Burung harijo, burung harangan)
berikut: Sitapi-tapi pidong Toba (Sitapi-tapi
1. Tinaba hau toras (Ditebang kayu tua) burung Toba)
Mambaen sopo di balian (Membuat Nagogo mangula do butong mangan
gubuk di ladang) (Yang kuat bekerja yang akan
Burju ma hamu na matoras (Berbuat kenyang makan)
baiklah kepada orang tua) Najugul marguru do dapotan poda
Asa dapotan parsaulian (Agar kalian (Yang gigih belajar yang akan
mendapat berkat) mendapatkan ilmu)
Jurnal Littera: Fakultas Sastra Darma Agung Volume I, Nomor 2, Oktober 2019: 229–237 235
Sai mamora ma hita luhut (Semoga melestarikan nilai-nilai budaya pada masa
kayalah kita) yang telah lewat namun memiliki arti
Sai torop ma dohot anak (Dan penting bagi generasi selanjutnya.
memiliki banyak keturunan) Sedangkan nilai kreativitas budaya
merupakan daya cipta mewujudkan suatu
Umpasa tersebut mengandung nilai budaya yang belum pernah ada atau budaya
pengelolaan gender. Nilai pengelolaan yang sudah ada dengan kreasi baru yang
gender dalam umpasa tersebut tentunya dianggap menarik perhatian
diungkapkan dalam sai torop ma dohot anak karena berbeda dengan budaya lain.
yang memiliki makna semoga mereka Umpasa yang mengandung nilai
memiliki banyak anak. Anak yang dimaksud pelestarian dan nilai kreativitas budaya
dalam umpasa ini adalah anak yang berjenis yang terdapat dalam umpasa adat
kelamin laki-laki, karena anak laki-laki pernikahan Batak Toba adalah sebagai
adalah anak yang sangat berharga, ahli berikut:
waris, memelihara dan melaksanakan 1. Didurung ma dengke (Ditangguk
hukum adat serta penyambung silsilah ikan)
dalam budaya Batak Toba. Dapot ma dengke pora-pora
4. Tubuma hariara (Tumbuhlah pohon) (Dapatlah ikan pora-pora)
Di partukkoan ni huta (Di tengah- Tamba ni na gabe (Tambahnya
tengah desa) memiliki keturunan)
Tubuma anak na marsangap Sai tibuma hamu mamora (Semoga
(Tumbuhlah anak laki-laki yang cepatlah kalian menjadi kaya)
terhormat)
Dohot boru na martua (Dengan anak Umpasa tersebut mengandung nilai
perempuan yang bahagia) pelestarian dan kreativitas budaya. Nilai
pelestarian dan kreativitas budaya
Umpasa tersebut mengandung nilai tercermin dalam ungkapan didurung ma
pengelolaan gender. Nilai pengelolaan dengke, dapot ma dengke pora-pora. Hal
gender pada umpasa tersebut tercermin yang ingin dilestarikan dalam umpasa
dalam ungkapan tubuma anak na tersebut adalah jenis ikan yang terkenal
marsangap, dohot boru na martua yang dari masyarakat Batak Toba. Ikan pora-pora
memiliki arti lahirlah anak laki-laki yang merupakan ikan kecil yang rasanya nikmat
terhormat dan anak perempuan yang dan banyak dijumpai di air tawar atau
bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa anak danau. Ikan pora-pora yang dimaksud
laki-laki maupun anak perempuan sama dalam umpasa saat penyampaiannya
pentingnya dalam adat Batak Toba. Anak terhadap kedua mempelai bertujuan
laki-laki adalah anak yang sangat berharga, sebagai salah satu pelestarian budaya agar
ahli waris, memelihara dan melaksanakan hal yang dimaksud tetap hidup dan
hukum adat serta penyambung silsilah bertahan dalam ingatan si penyampai dan
dalam budaya Batak Toba. Sedangkan anak pendengar umpasa.
perempuan merupakan pembawa damai 2. Ruma ijuk (Rumah adat beratap ijuk)
dan kebahagiaan yang dapat dijadikan Tu ruma gorga (Menjadi rumah adat
tempat berbagi dan bertukar pikiran orang yang penuh ukiran)
tua. Sai tubuma anak na bisuk (Semoga
lahirlah putra kalian yang pintar)
Dohot boru na lambok marroha (Dan
g. Nilai Pelestarian dan Kreativitas perempuan yang lembut hatinya)
Budaya
Pelestarian merupakan suatu usaha Umpasa tersebut mengandung nilai
atau kegiatan untuk merawat, melindungi pelestarian dan kreativitas budaya. Nilai
dan mengembangkan objek pelestarian pelestarian dan kreativitas budaya
yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan. tercermin dalam ungkapan ruma ijuk, tu
Nilai-nilai pelestarian didasarkan pada ruma gorga yang merupakan hasil ciptaan
kecenderungan manusia untuk masyarakat Batak Toba sebagai warisan
5. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data, dapat
disimpulkan bahwa
Kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesejahteraan yang
terdapat dalam umpasa yang diucapkan
dalam pernikahan adat Batak Toba adalah
nilai kerja keras, nilai disiplin, nilai
pendidikan, nilai kesehatan, nilai gotong
royong, nilai pengelolaan gender dan nilai
pelestarian dan kreativitas budaya.
Jurnal Littera: Fakultas Sastra Darma Agung Volume I, Nomor 2, Oktober 2019: 229–237 237