You are on page 1of 14

Jurnal SMaRT Studi Masyarakat,

Keselarasan KearifanReligi
Lokaldan Tradisi
Dengan Volume
Nilai 06 No.pada
Keislaman 01 Juni 2020
Tradisi Labuhan Gunung Kombang di Kabupaten Malang
Website Journal: http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/smart
Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, Dan Kundharu Saddhono, halaman 113-125
DOI: https://doi.org/10.18784/smart.v6i1.805

Keselarasan Kearifan Lokal Dengan Nilai Keislaman


pada Tradisi Labuhan Gunung Kombang
di Kabupaten Malang
Harmony of Local Wisdom and Islamic Values
in Labuhan Gunung Kombang Tradition in Malang

Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, & Kundharu Saddhono


Pendidikan Bahasa dan Sastra Abstract
Daerah, Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami No. 36A Local wisdom has values that​​ often become the source of norms formation for
Surakarta people’s life. Among them is the tradition of Labuhan Gunung Kombang in Malang.
E-mail: shalzarahmaniar1994@ This study intended to reveal the Labuhan Gunung Kombang’s local wisdom that
gmail.com, yitsuyitno52@gmail. grows and develops in harmony with Islamic values ​​ in Kedungsalam Village,
com, supanakaprodi@yahoo.co.id,
Donomulyo, Malang. This is a descriptive qualitative research by employing
kundharu.uns@gmail.com
ethnographic methods. Data were collected through observations, interviews and
Artikel disubmit : 09 April 2019 documentations to produce detailed and comprehensive accounts of different cultural
Artikel direvisi : 11 April 2020 and social phenomena. The result of study showed that local wisdom of Labuhan
Artikel disetujui : 28 Juni 2020 Gunung Kombang tradition has values of religion, togetherness, deliberation and
mutual cooperation that are in line with Islamic teachings. Islam as a religion with
a set of values and norms ​​has influenced the patterns of culture and traditions for
Kedungsalam people. However, the encounter of Islamic values and local wisdom in
Labuhan Gunung Kombang ceremony is usually perceived as the process of cultural
acculturation. It makes socio-cultural aspects of the local people not necessarily
eroded by Islam.
Keywords: local wisdom, Labuhan tradition, values, religious, acculturation

Abstrak:
Kearifan lokal sering kali memiliki nilai-nilai yang menjadi sumber acuan norma
bagi kehidupan masyarakat. Di antara tradisi dalam masyarakat yang menyimpan
nilai-nilai kearifan lokal adalah tradisi Labuhan Gunung Kombang di Desa
Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Penelitian ini bermaksud
mengungkapkan nilai-nilai kearifan lokal Labuhan Gunung Kombang yang terdapat
di Desa Kedungsalam tersebut, serta nilai-nilai Islam yang berkembang dan tumbuh
berdampingan dengan nilai kearifan lokal di dalam masyarakat. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode etnografi. Data
dikumpulkan melalui observasi, interview dan dokumentasi untuk menghasilkan
catatan-catatan detil dan komprehensif tentang fenomena sosial dan budaya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam tradisi Labuhan Gunung Kombang di desa
Kedungsalam terdapat nilai kearifan lokal berupa nilai religius, nilai kebersamaan,
nilai musyawarah dan nilai gotong royong yang berdampingan dengan nilai-nilai
Islam. Islam sebagai agama dengan seperangkat nilainya telah mempengaruhi
pola budaya dan tradisi masyarakat Desa Kedungsalam. Bertemunya nilai-nilai
Islam dengan nilai-nilai kearifan lokal pada tradisi Labuhan Gunung Kombang
merupakan sebuah proses akulturasi budaya. Hal ini menjadikan aspek sosial
budaya dari masyarakat setempat tidak serta-merta terkikis oleh ajaran Islam.
Kata Kunci: Kearifan Lokal; Tradisi Labuhan; Nilai; Religius; Akulturasi.

113
Jurnal SMaRT Volume 06 Nomor 01 Juni 2020

Pendahuluan bertemu dengan gagasan individu lainnya,


seterusnya berupa gagasan kolektif.
Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan
yang dipegang dan dipelihara oleh anggotanya. Berbicara tentang keberadaan kearifan lokal
Kebudayaan melingkupi sistem tindakan, sistem merupakan proses yang sangat lama, kemudian
nilai atau ide, dan material. Sistem tindakan menjadi sebuah acuan filosofis dan sebagai
dapat dilihat dalam perilaku dan tindakan pegangan hidup masyarakat. Namun bukan
masyarakat, seperti tradisi mata pencaharian, berarti itu adalah sebuah dogma yang tidak bisa
tradisi kesenian, tradisi upacara atau ritual, diubah, karena tidak ada yang kekal di dunia
praktik-praktik sosial keseharian terkait dengan ini kecuali perubahan itu sendiri. Kearifan lokal
hubungan antara manusia atau lingkungan, perlu dilihat sebagai nilai luhur (lofty value),
dan sebagainya. Adapun sistem ide atau nilai tidak hanya memandang sebagai masalah benar
ditunjukkan dengan etika/moral, norma, hukum, atau salah, namun jauh lebih penting adalah
aturan, tabu, dan tata tertib. Semua itu menjadi melihat kebaikan. Kearifan lokal merupakan
pedoman atau petunjuk mana yang boleh nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, Nilai-nilai tersebut diyakini kebenarannya dan
mana yang harus dilaksanakan dan mana yang menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-
boleh ditinggalkan, serta sanksi apa yang akan hari masyarakat setempat. Nilai-nilai kearifan
didapat apabila melanggarnya. Sistem nilai lokal ini dipandang sebagai entitas yang sangat
ini juga menunjukan pengetahuan dan logika menentukan harkat dan martabat manusia
masyarakat yang mendasari perilaku individu dalam komunitasnya karena di dalamnya berisi
maupun kelompok. Pada tiap-tiap masyarakat unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan
memiliki logika atau rasionalisasi yang bersifat lokal dari para elit (tokoh) dan masyarakatnya
lokalitas yang dipandang sebagai kebenaran oleh (A. Riyadi, 2017: 140). Menurut Sahlan kearifan
masyarakat tersebut. Oleh karena itu dalam suatu lokal merupakan suatu pengetahuan lokal yang
kebudayaan pasti menganut sistem pengetahuan digunakan oleh suatu komunitas masyarakat
yang khas sesuai dengan tantangan lokalitasnya. lokal sehingga mereka dapat bertahan hidup
Hal inilah yang disebut kearifan lokal (Ridwan, dalam suatu lingkungan kolektif. Pada konteks
2007: 27-38). ini, kearifan lokal dapat menyatu dengan sistem,
kepercayaan, pandangan hidup, norma, nilai
Kearifan lokal (local wisdom) telah
sosial (etika), pengetahuan, dan budaya yang
membentuk nilai-nilai sosial yang menjadi
diekspresikan dalam penerapan tradisi yang
bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat
dianut oleh masyarakat secara turun-temurun
Indonesia. Misalnya, gotong royong,
(Sahlan, 2013: 315).
kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan
tepo seliro (toleransi). Hadirnya kearifan lokal Kearifan lokal yang sampai saat ini
ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Desa
dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai Kedungsalam salah satunya yaitu tradisi larung
kearifan lokal ini makin melekat pada diri mereka. sesaji atau biasa disebut dengan “Labuhan
Tidak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal Gunung Kombang” yang berada di Pantai Ngliyep
ini dijalankan tak semata-mata untuk menjaga Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo,
keharmonisan hubungan antar manusia, tetapi Kabupaten Malang. Labuhan dilakukan setiap
juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada tahun sekali dengan perhitungan kalender Jawa
Sang Pencipta. Kearifan dapat juga dikatakan yang jatuh pada setiap tangal 13 malam 14 bulan
sebagai kebijaksanaan yang didambakan umat Maulud. Hasil wawancara dengan Bapak Gatot
manusia di dunia ini. Kearifan dimulai dari selaku pemangku adat Desa Kedungsalam,
gagasan-gagasan suatu individu yang kemudian Labuhan telah dilakukan warga sejak tahun 1913
hingga saat ini, upacara Labuhan tersebut masih

114
Keselarasan Kearifan Lokal Dengan Nilai Keislaman pada Tradisi Labuhan Gunung Kombang di Kabupaten Malang
Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, Dan Kundharu Saddhono, halaman 113-125

dilaksanakan karena masyarakat merasa adanya ekonomi (Suryanti, 2017: 1-8). Pada penelitian
makna dan nilai-nilai luhur di dalamnya. Menurut tersebut dilakukan Suryanti tidak dijelaskan
Wahyudi, salah satu upaya untuk bersyukur secara mendalam nilai religius apa yang ada
atas hasil Bumi yang diperoleh oleh masyarakat dalam upacara adat, hanya dijelaskan tentang
pesisir adalah dengan memegang tradisi sedekah makna-makna simbolis yang terdapat dalam
laut (Wahyudi, 2011: 262-270). sesaji yang ada dalam upacara adat sedekah
Relasi antara sakralisasi, mistisisme laut. Penelitian tentang kearifan lokal berikutnya
dan kearifan lokal tampak berjalan secara yang dilakukan oleh Hadiningrum (2018) yang
harmonis dalam masyarakat Jawa, sebagaimana berjudul Reaktualisasi Pendidikan Nilai Berbasis
ditunjukkan dalam keselarasan hidup masyarakat Kearifan Lokal (Studi Budaya Langgam Syahadat
Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kures pada Tradisi Sekaten di Surakarta). Hasil
Kabupaten Malang. Terdapat pandangan negatif penelitian ini menunjukkan bahwa nilai religi
bahwa istilah kearifan lokal merupakan istilah Syahadat Kures pada tradisi Sekaten mengajak
mistisisme yang terselubung, karena amat dekat masyarakat ber-syahadatain, mengenal Allah dan
dengan mistisisme kuno seperti kejawen, ajaran Nabi Muhammad Saw. dan mengajak bersolawat.
nenek moyang dan sesembahan leluhur. Gagasan Selain nilai religi, dalam tradisi Sekaten terdapat
kearifan lokal adalah sisipan dari Mason Melayu pendidikan nilai sosial yang berupa gotong
yang mengacu pada kebijaksanaan peninggalan royong dan kerukunan serta nilai psikologis yakni
kuno (ancient wisdom). Islam dapat diterima mengenal fitrah dan kodrat sebagai manusia.
dengan baik dalam masyarakat Jawa memang Implementasi pendidikan nilai berbasis budaya
melalui proses akulturasi budaya yang telah dan kearifan lokal dalam Langgam Syahadat
berevolusi selama ratusan tahun. Relasi budaya Kures pada ritual Sekaten menghendaki manusia
telah membangun harmonisasi di antara yang beriman dan bertaqwa, memiliki budi
kepercayaan-kepercayaan yang ada, baik atas pekerti luhur, semangat bekerja, kebersamaan,
dasar agama maupun kepercayaan terhadap beramal sholeh serta mampu menempatkan
mistis dan roh leluhur. Islam hadir tidak dengan kodratnya sebagai manusia yang seimbang
mencederai budaya lokal manapun, tetapi antara kehidupan di dunia dan akhirat sesuai
berasimilasi di tengah budaya yang beragam dengan ajaran Islam. Pendidikan nilai berbasis
dengan penuh dinamika melalui local wisdom budaya dan kearifan lokal menjadi penguatan
(Artawijaya, 2010: 36) agar manusia menjadi generasi pembelajar yang
kaffah (insan kamil) secara hakiki melalui sinergi
Penelitian tentang kearifan lokal larung sesaji
semua elemen (masyarakat, pendidik dan orang
pernah diteliti oleh Suryanti 2017 yang berjudul
tua) (Hadiningrum, 2018). Berbeda dengan itu,
“Upacara Adat Sedekah Laut Di Pantai Cilacap”,
kajian ini membahas tentang nilai kearifan lokal
dalam artikelnya Suryanti mengungkapkan
Labuhan Gunung Kombang yang dapat tumbuh
bahwa upacara adat sedekah laut di pantai Selatan
bersama-sama dengan nilai-nilai yang diajarkan
Kabupaten Cilacap merupakan tradisi atau
dalam agama Islam pada masyarakat Desa
adat yang diselenggarakan masyarakat nelayan
Kedungsalam.
Cilacap satu kali dalam setahun, yaitu setiap
bulan Suro (kalender Jawa) yang bertepatan Berdasarkan pertimbangan di atas maka
dengan hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. dalam penelitian ini akan dibahas tentang
Upacara adat ini mengandung makna religius nilai-nilai kearifan lokal pada tradisi Labuhan
yaitu sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil Gunung Kombang yang dapat tumbuh beriringan
tangkapan ikan nelayan dan permohonan doa dengan nilai-nilai Islam yang ada di masyarakat
keselamatan dan kelimpahan hasil tangkapan Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulya,
ikan pada tahun berikutnya. Upacara adat ini Kabupaten Malang.
juga mengandung makna budaya, sosial dan

115
Jurnal SMaRT Volume 06 Nomor 01 Juni 2020

Kerangka Teori atau local wisdom. Budaya kearifan lokal meskipun


berlaku sebelum hadirnya agama di masyarakat
Nilai-nilai luhur berada di kalangan
lokal setempat, akan tetapi kearifan lokal sarat
masyarakat untuk kurun waktu yang panjang dan
dengan nilai-nilai agama, karena beberapa
dalam keadaan masyarakat yang berbeda. Nilai-
faktor. Adapun faktor pertama yaitu dari segi
nilai luhur mengandung nilai positif yang perlu
asal-usulnya, budaya kearifan lokal merupakan
disampaikan kepada generasi muda sebagai
proses cipta rasa manusia yang berpusat dari
penerus bangsa karena sangat bermanfaat bagi
hati nurani yang jujur, ikhlas, amanah dan cerdas
pembangunan mental dan spiritual Bangsa
yang memancar di akal pikiran manusia, dan
Indonesia. Nilai-nilai luhur terdiri dari nilai
dilaksanakan dengan tindakan dan perbuatan.
religius atau spiritual dan nilai moral.
Kedua, segi kehadirannya, budaya dan kearifan
Pelaksanaan upacara tradisional
lokal menjadi budaya kearifan lokal karena telah
mengandung seperangkat lambang dan simbol
teruji dan melalui proses seleksi dari penilaian
yang merupakan pengetahuan tentang norma-
anggota-anggota masyarakat yang mendambakan
norma, makna, dan nilai-nilai (Sunjata, 2012:
hal yang sama. Ketiga, dari segi kegunaannya,
785). Oleh sebab itu, upacara tradisional masih
kearifan lokal terbukti menjadi barometer
dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya
dari tindakan dan perbuatan masyarakat lokal
sebagai alat untuk mencapai keselamatan di
bersangkutan. Tindakan yang bernilai budi
dalam kehidupan.
luhur dan yang diakui secara bersama. Dari
Berdasarkan uraian di atas, dapat penjelasan tersebut dapatlah diketahui titik temu
disimpulkan bahwa nilai kearifan lokal adalah antara nilai agama dengan budaya dan kearifan
segala sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, lokal. Menurut pandangan Ali Syahbana bahwa
dan paling benar dari tradisi yang dimiliki oleh sebenarnya budaya hanya satu yaitu kebudayaan
sekelompok orang sebagai pedoman tingkah laku manusia. Tidak ada budaya Timur atau budaya
dalam kehidupan sehari-hari. Barat. Budaya dan kearifan Barat juga budaya dan
Unsur yang membentuk budaya dan kearifan kearifan kita semua. Budaya Islam adalah budaya
lokal terdiri dari: manusia, gagasan yang bernilai umat manusia (Kori Lilie Muslim, 2017: 50). Ada
baik, kebenaran yang telah mentradisi dan diakui tidaknya nilai Islam dalam sebuah budaya dan
oleh masyarakat. Dengan menggunakan empat peradaban dapat diukur dari sisi kearifan lokal
unsur tersebut dalam memahaminya, dapat masyarakat setempat, termasuk budaya dan
dipahami bahwa dalam budaya dan kearifan kearifan lokal masyarakat Desa Kedungsalam,
lokal nilai agama tidak terpisahkan. Gagasan Kabupaten Malang.
yang bernilai baik kemudian menjadi kebenaran Mulder, dalam tulisannya yang berjudul
yang mentradisi dan diakui oleh masyarakat “Agama, Hidup Sehari-Hari dan Perubahan
merupakan prinsip dasar dari semua agama, Budaya” di dalam kajian yang menggunakan
khususnya Islam. Manusia adalah pelaku dan cara pandang lokalisasi untuk menolak konsep
pencipta budaya dan kearifan karena hakikat dari sinkretisasi, ia mengemukakan bahwa agama
manusia itu sendiri dalam pandangan al-Qur`an di Asia Tenggara adalah agama yang telah
atau al-Kitab terbangun dari jasad dan ruh. mengalami proses lokalisasi. Hal ini merupakan
Manusia tanpa ruh hanyalah jasmaniah yang pengaruh kekuatan budaya lokal terhadap
tak bernyawa. Manusia akal budinya disinari oleh agama-agama yang datang padanya. Agama
sinar ruh melahirkan budaya dan kearifan luhur asinglah yang kemudian menyerap tradisi atau
dan menjadi penuntun masyarakatnya. Budaya budaya lokal yang menyerap agama asing.
dan kearifan yang dilahirkan dalam masyarakat Dalam contoh agama Islam di Indonesia, dia
lokal tertentu menjadi warisan secara turun melihat bahwa Islam yang kemudian menyerap
temurun dan menjadi budaya dan kearifan lokal keyakinan atau kepercayaan lokal, sehingga

116
Keselarasan Kearifan Lokal Dengan Nilai Keislaman pada Tradisi Labuhan Gunung Kombang di Kabupaten Malang
Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, Dan Kundharu Saddhono, halaman 113-125

yang terjadi ialah proses menarik ajaran lokal empiris adanya nilai-nilai kearifan lokal antara
ke dalam agama-agama besar lainnya. Di dalam tradisi Labuhan dengan nilai-nilai Islam pada
proses lokalisasi, unsur keyakinan asing harus masyarakat Desa Kedungsalam. Pengumpulan
menemukan lahannya di dalam budaya lokal dan data dilakukan antara bulan Oktober-Nopember
unsur asing tersebut dapat dicangkokkan. Tanpa 2018. Teknik pengumpulan data dilakukan secara
adanya unsur lama yang serasi dengan keyakinan etnografis, sumber primer dilakukan dengan
asing tersebut, maka keyakinan lama tidak observasi langsung yakni wawancara terhadap
akan dapat meresap sedemikian jauh di dalam informan kunci yang memahami tradisi Labuhan
tradisi keagamaan tersebut. Inilah sebabnya, yaitu pemangku adat Labuhan, panitia Labuhan,
Islam di Jawa hakikatnya adalah Islam yang dan kerabat labuh. Data sekunder diperoleh
telah menyerap tradisi lokal, sehingga meskipun melalui eksplorasi jurnal, laporan penelitian
kulitnya Islam ternyata di dalamnya ialah serta sumber-sumber pustaka yang relevan. Hasil
keyakinan lokal (Mulder, 1999: 3-18). pengumpulan data selanjutnya dianalisis dengan
Berdasarkan uraian di atas maka mengunakan metode analisis deskriptif.
terbentuklah akulturasi antara agama Islam
dengan kearifan lokal. Konsep akulturasi menurut
Hasil Dan Pembahasan
Koentjaraningrat adalah suatu bentuk proses Sejarah dan Pelaksanaan Tradisi
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia Labuhan Gunung Kombang Pantai
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan Ngliyep
dengan unsur-unsur kebudayaan asing (terjadi Sejarah terbentuknya Desa Kedungsalam
kontak budaya), yang mana unsur-unsur budaya diceritakan sekitar tahun 1990-an, disekitar
asing lambat laun diterima dan diolah ke dalam hutan belantara ini kedatangan seorang linuwih
kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan unsur- dari Mataram, Jawa Tengah, yang bernama
unsur kepribadian kebudayaan sendiri. Proses Eyang Kyai Thalib. Bersama dengan segenap
akulturasi ini sangat penting khususnya di daerah pengikutnya, beliau membabat hutang gung
yang penduduknya plural (terdiri dari beragam liwang-liwung ini menjadi sebuah pemukiman.
suku, ras, agama, dan lain-lainnya) agar tercipta Semakin hari pendatang dari Mataram meningkat,
kehidupan yang harmonis (Koentjaraningrat, dan pemukiman warga menjadi sebuah desa
1993: 248). Di Indonesia pada umumnya yang diberi nama Desa Kedungsalam, di wilayah
lebih khusus pada Jawa proses akulturasi ini Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang.
berlangsung cukup baik, misalnya akulturasi
Tradisi larung sesaji atau labuhan merupakan
budaya Islam dengan budaya lokal, budaya pra
bentuk ritual yang dijalankan masyarakat
Islam dengan budaya Islam, budaya modern
untuk menghormati sesuatu yang dianggap
dengan budaya tradisional, masing-masing
suci. Di dalam satu ritual terdapat seseorang
diterima dan mengalami akulturasi satu sama
yang dipercaya untuk memimpin upacara adat.
lain tanpa harus kehilangan identitasnya sendiri
Terdapat pula syarat yang harus ada di dalam
(Widiana, 2017: 295).
prosesi ritual, diantaranya dengan membawa
Metode Penelitian sesaji dan hasil bumi sebagai wujud rasa terima
kasih terhadap Tuhan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
yang ditujukan untuk mengungkap nilai-nilai Awal tahun 1913 mulai dilakukannya tradisi
kearifan lokal dalam tradisi Labuhan Gunung labuhan, Eyang Kyai Thalib yang waktu itu
Kombang yang dimiliki oleh masyarakat Desa sebagai kepala desa pertama dibuat bingung
Kedungsalam, Kabupaten Malang. Kajian ini dengan datangnya sebuah malapetaka, yaitu
menggunakan pendekatan etnografis. Pendekatan bahaya kelaparan, paceklik, penyakit aneh, dan
etnografis digunakan untuk mengungkap realitas pagebluk. Dikatakan pagebluk karena warga

117
Jurnal SMaRT Volume 06 Nomor 01 Juni 2020

yang sorenya terserang penyakit, esok paginya pertunjukan dan lain sebagainya.
sudah meninggal dan bila pagi hari sakit maka 2. Kegiatan yang dilakukan oleh ahli waris
sore harinya meninggal. Malapetaka oleh Eyang atau keluarga keturunan Mbah Atun beserta
Kyai Tholib diberi tetenger sebagai pagebluk warga masyarakat
saparan, karena terjadi pada Bulan Sapar. Dalam
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh ahli
kegalauannya, beliau teringat akan keponakannya
waris/keluarga keturunan Mbah Atun beserta
yang waktu itu berada di Dukuh Wot Galih, Desa
warga masyarakat. Kegiatan awal yang mereka
Wonokerto, Kecamatan Bantur, yang bernama
lakukan, saling mengingatkan bahwa kegiatan
Eyang Atun.
upacara tradisional labuhan sudah semakin
Bersama-sama dengan Eyang Atun, Eyang dekat, mencatat yang akan berkorban dan jenis
Kyai Thalib bersemadi ditepian pantai Ngliyep binatang. Kegiatan ini mereka lakukan awal
untuk memohon petunjuk Tuhan Yang Maha bulan Maulud atau 2 (dua) minggu sebelum
Kuasa. Alhasil, dari wisik/wangsit yang pelaksanaan upacara, dan berlangsung sampai
diterimanya, beliau harus mengadakan labuh dengan malam tirakatan. Sedangkan yang
sesaji atau selamatan di Gunung Kombang digunakan untuk sesaji atau kurban ini hanyalah
dengan mengharap ridho kepada Tuhan Yang bagian kepala, kulit, dan darahnya saja, kenapa
Maha Kuasa. Sehingga pada tanggal 20 Pebruari demikian, karena daging dari kambing tersebut
1913 atau 13 Mulud 1331 H kira – kira jam 16.00 (4 nantinya akan digunakan uantuk makan besar
Sore) Eyang Kyai Tlolib dan Eyang Atun beserta masyarakat desa Kedungsalam yang baru saja
warganya melakukan labuh Sesaji di Gunung melakukan tradisi labuhan ini. Selain kambing
Kombang untuk yang pertama kali. ada juga yang mengguankan tujuh macam buah
Setelah Eyang Atun surut kekasidan jati ( dan tujuh macam bunga untuk dilabuhkan sebagai
Meninggal ), ritual labuh sesaji diteruskan oleh sesembahan kepada Nyai Ratu Mas, dalam
cucu beliau, yakni Eyang Supiyadi yang kemudian kaitannya dengan hal ini ada jenis jenis buah dan
menjadi kepala desa Kedungsalam kelima. Mbah bunga yang digunakan untuk di labuhkan.
Supiyadi pulang ke rahmatullah pada tahun 3. Rangkaian prosesi kegiatan tradisi Labuhan
1979, Selanjutnya labuhan diteruskan oleh Mbah Gunung Kombang Pantai Ngliyep.
Supangat, adik Mbah Supiyadi. Mbah Supangat
Rangkaian kegiatan Labuhan Gunung
meninggal pada tahun 2010 sehingga sejak saat
Kombang, pada dua minggu sebelum acara
itu kegiatan labuh sesaji saat ini diteruskan oleh
dilaksanakan warga melakukan kerja bakti di
anak dari Mbah Supangat yaitu Bapak Gatot.
rumah lumbung yaitu rumah tempat segala
Pelaksanaan Tradisi Labuhan Gunung kegiatan dilakukan unuk mempersiapakan
Kombang Pantai Ngliyep dibagi menjadi 2 (dua) keperluan labuh, warga membersihkan rumah
tahap kegiatan, yaitu persiapan dan kegiatan lumbung, membersihkan perkakas dapur yang
pelaksanaan. Persiapan yang dimaksud adalah akan digunakan untuk memasak, membuat
kegiatan-kegiatan sebelum upacara dimulai. tempat untuk memasak.
Dalam hal ini ada dua macam yaitu:
Satu hari sebelum acara labuh warga sekitar
1. Kegiatan yang dilakukan oleh pamong desa mempersiapakan dan penerimaan ubo rampe
atau pejabat setempat dari kerabat labuh yang akan digunakan pada
Kegiatan yang dilakukan oleh pamong acara labuhan. Kegiatan dilakukan di rumah
desa/pejabat setempat, terlepas dari kegiatan lumbung peninggalan Mbah Atun. Persiapan
dilakukan mulai dari pukul 07.00 WIB hingga
upacara labuhan dan umumnya terkait dengan
24.00 WIB. Ubo rampe yang diterima adalah
pengembangan wisata, menyiapkan penampungan segala sesuatu yang dibawa oleh kerabat labuh,
pengunjung/penonton upacara, menyiapkan dapat beras, sayur matur, bumbu dapur, hingga

118
Keselarasan Kearifan Lokal Dengan Nilai Keislaman pada Tradisi Labuhan Gunung Kombang di Kabupaten Malang
Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, Dan Kundharu Saddhono, halaman 113-125

hewan yang akan dikurbankan yaitu berupa untuk memasak sesaji. Sedangkan sesaji yang
kambing dan ayam. akan digunakan untuk selamatan setelah upacara
Kegiatan selanjutnya yaitu malam tirakatan, labuhan adalah nasi beserta lauk-pauknya,
malam hari sebelum diselenggarakan upacara termasuk daging korban, baik  yang dimasak sate
tradisional labuhan, dimulai pada pukul maupun yang dimasak gulai.
00:01 tanggal 13 malam tanggal 14 Maulud Setelah persiapan untuk upacara selesai
dan berlangsung hingga fajar menyingsing, sekitar pukul 12:00 WIB, kegiatan selanjutnya
kurang lebih pukul 04:30 pagi. Diikuti hampir adalah kegiatan melabuh sesaji. Sesaji
seluruh peserta upacara. Berkumpul di rumah dipersiapkan dimasukkan ke dalam jodang
peninggalan Mbah Atun, dipimpin oleh pemangku dan dibawa menggunakan truk menuju
adat yaitu Bapak Gatot, semalam suntuk tidak pantai Ngliyep, hal ini dikarenakan jarak dari
tidur “melekan” disertai memanjatkan do’a, rumah lumbung menuju pantai sekitar 10 km.
memohon kepada yang Maha Kuasa agar upacara Kegiatan labuhan di pantai Ngliyep awalnya
labuhan yang akan dilaksanakan esok sore sederhana. Namun sejak tahun 1979, sejak
berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten
suatu apa. Sebagian diantara warga masyarakat Malang memanfaatkan untuk pengembangan
mulai bekerja, khusunya memilah-milah bumbu wisata, maka kegiatan melabuh sesaji di Pantai
dan mempersiapkan untuk keperluan memasak Ngliyep mengalami perkembangan, namun
esok harinya. tidak me­ ngurangi sifat sakralnya. Pelaksanaan
Kegiatan berikutnya yaitu memasak dan upacara labuhan yang dilakukan di Pantai
mempersiapkan sesaji, warga masyarakat Ngliyep dilakukan melalui kegiatan persiapan
mulai mempersiakan bumbu-bumbu dapur dan prosesi pelaksanaan tradisi upacara labuhan.
untuk memasak sesaji yang akan digunakan Kegiatan di pantai Ngliyep dibuka dengan sajian
untuk upacara labuhan. Menyusul kegiatan festifal kotekan lesung yang dilakukan oleh ibu-
menyembelih hewan kurban berupa kambing ibu sembari menunggu kedatangan kerabat
dan ayam, dan memasak. Kegitan ini unik dan labuh untuk melakukan ritual Labuhan Gunung
menarik, karena semua kegiatan ditangani oleh Kombang. Acara dilakukan untuk menunggu
kaum laki-laki. Menurut kepercayaan masyarakat tamu-tamu undangan seperti bupati, camat,
setempat dan telah menjadi tradisi dahulu kala muspida, muspika, dan lain-lain serta menunggu
jika yang memasak adalah perempuan maka pemangku adat dan rombongan kerabat labuh
masakan yang digunakan untuk labuhan itu tidak sampai di pantai ngliyep.
akan matang. Oleh karena itu hingga sekarang Kerabat labuh mempersiapkan diri dari
yang mempersiapkan segala masakan untuk rumah lumbung menuju pantai Ngliyep sekitar
sesaji adalah laki-laki. Mereka cukup terampil, pukul 12:00-13:30 WIB. Setelah persiapan
sehingga semua kegiatan selesai sesuai dengan selesai rombongan kerat labuh berangkat
waktu yang telah ditentukan. menuju pantai Ngliyep. Sekitar pukul 14:30 WIB
Sesaji yang dipersiapkan untuk upacara semua rombongan pemangku adat dan kerabat
Labuhan Gunung Kombang ada 2 (dua) macam, labuh tiba di pantai. Kegiatan Labuhan Gunung
yaitu sesaji yang akan dilabuh dan sesaji untuk Kombang dimulai. Acara seremonial dilakukan
selamatan warga setelah upacara labuhan. Sesaji dengan membaca doa bersama, kegiatan kotekan
yang dilabuh terdiri atas: kepala, kulit, kaki, lesung, pembacaan sejarah labuhan, serta
dan sedikit darah hewan yang dijadikan korban sambutan-sambutan dari Bupati. Pukul 16:00
(terutama hewan yang berkaki empat, nasi acara lauhan dimulai, sesaji diarak menuju
tumpeng beserta kelengkapannya, kingangan Gunung Kombang. Iring-iringan dimulai dengan
lengkap, bumbu masak lengkap yang digunakan cucuk lampah kemudian diikuti oleh pemangku
adat, serta sesaji-sesaji yang ada di dalam jodang

119
Jurnal SMaRT Volume 06 Nomor 01 Juni 2020

yang dilakukan oleh kerabat labuh, diikuti oleh menangani penyelenggaraan upacara tradisional
rombongan bupati, kepala desa dan jajarannya Labuhan Gunung Kombang. 
dan yang terakhir warga masyarakat. Pada awal dilakukannya tradisi labuhan
Sesaji dibawa ke Gunung Kombang Pantai memiliki tujuan untuk menghilangkan
Ngliyep dilarung kedalam laut. Pemangku penyakit pagebluk yang menimpa warga Desa
adat berdoa mengheningkan cipta dengan satu Kedungsalam. Seiring berjalannya waktu,
tarikan nafas kepada Allah Swt untuk meminta tradisi labuhan memiliki makna untuk mencari
keselamatan dan keberkahan. Warga masyarakat keselamatan bagi masyarakat desa dan sebagai
yang telah yang mengikuti upacara juga berdoa ungkapan rasa syukur atas diberikannya
menurut keyakinan masing-masing di dalam hati keselamatan, rejeki, pekerjaan oleh Allah Swt.
terutama warga yang melakukan korban. Sesaji Kegiatan upacara religi masyarakat Jawa
kemudian di labuh ke laut dan acara labuh di laut berkaitan dengan tingkat religius dan emosi
selesai. keagamaan yang dianut oleh masyarakat
Setelah acara melabuh sesaji di laut, kerabat pendukungnya. Sistem religi tersebut pengadaan
labuh dan peserta labuhan kembali ke rumah upacara tradisi yang sederhana, formal, tidak
lumbung untuk melakukan selamatan kenduri. dramatis, dan masih mengandung rahasia
Kegiatan kenduri dibuka oleh pemangku adat simbolis. Kepercayaan yang sudah menjadi
dengan memberikan terimaka kasih kepada bagian dari dalam diri masyarakat Jawa didasari
kerabat labuh yang telah datang dan melakukan oleh adanya perasaan cemas dan takut, serta
korban. Kemudian diisi dengan pembacaan doa kurang tentram dalam menjalani kehidupan jika
kenduri oleh mudin desa Kedungsalam. masyarakat tidak mengadakan upacara tradisi.
Doa-doa yang dipanjatkan adalah memuji Masyarakat Desa Kedungsalam mempercayai
Allah Swt, memuji Nabi Muhammad saw, doa bahwasanya dalam menjalani kehidupan sehari-
meminta keselatan agama, memohon kesehatan, hari tidak lepas dengan pertolongan dari Tuhan
ilmu dan riz ki yang barokah, mendapat rahmat Yang Maha Kuasa, semua yang ada di dunia ada
dan ampunan dari Allah Swt pada saat hidup di karena kekuasaan Sang Pencipta, untuk menjaga
dunia dan di akhirat nantinya. ketentraman tersebut masyarakat mengadakan
upacara tradisi labuhan, sebagai kewajiban
Selamatan penutup menandakan bahwa
berbakti kepada Tuhan.
rangkaian uapacara tradisi Labuhan Gunung
Kombang telah selesai. Dari waktu kewaktu upacara Nilai Islam yang Terdapat dalam Kearifan
tradisional labuhan mengalami perubahan, Lokal Labuhan Gunung Kombang
namun perubahan itu hanya menyangkut dalam
segi teknik pelaksanaannya saja, sedangkan Nilai merupakan suatu konsepsi abstrak
makna dan tujuannya tetap sama, yaitu sebagai yang tidak dapat dilihat apalagi disentuh.
ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Konsepesi abstrak dari nilai, melembaga dalam
Maha Kuasa atas segala rahmat yang telah di pikiran manusia baik secara individu maupun
limpahkan-Nya, di samping merupakan bentuk secara sosial dalam masyarakat, melembaganya
pelestarian tradisi persembahan kepada Nyai sebuah nilai maka dapat dikatakan sebagai
Roro Kidul, penguasa Laut Selatan yang sangat sistem nilai. Tanpa sebuah nilai, hal apapun itu
dimitoskan oleh masyarakat pendukungnya. tidak akan berarti apa-apa bagi manusia karena
Dalam perkembangannya tradisi labuhan ini perwujudan sebuah nilai memang wajib adanya,
pemerintah kota dan daerah Malang ikut serta demi elsistensi dari sebuah hal.
dalam penanganan dan pengembangan tradisi Oleh karena itu, dalam mewujudkan
labuhan tersebut. Sejak tahun 1979 pemerintah eksistensi dari tradisi Labuhan Gunung
Kabupaten Malang ikut berpartisipasi dalam Kombang, maka diperlukan nilai-nilai yang tetap

120
Keselarasan Kearifan Lokal Dengan Nilai Keislaman pada Tradisi Labuhan Gunung Kombang di Kabupaten Malang
Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, Dan Kundharu Saddhono, halaman 113-125

menjaga keberadaan tradisi tersebut. Dalam lokal dalam Labuhan menjadi nilai penting bagi
tradisi Labuhan Gunung Kombang terdapat kerukunan warga Desa Kedungsalam.
banyak kearifan lokal yang perlu dilestraikan. Nilai religi dalam tradisi labuhan Gunung
Seiring masuknya agama Islam, maka nilai- Kombang tercermin dalam acara selamatan yang
nilai Islam ikut andil dan berbaur dalam nilai- menggunakan doa-doa Islam. Doa-doa yang
nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat dipanjatkan adalah memuji Allah Swt, memuji
Desa Kedungsalam dalam tradisi labuhan. Nabi Muhammad saw, doa meminta keselamatan
Seperti di riwayatkan, Nabi Muhammad saw, agama, memohon kesehatan, ilmu dan rizki
dalam sejarah pengembangan nilai-nilai Islam yang barokah, mendapat rahmat dan ampunan
dalam dakwahnya, baik di Makkah maupun di dari Allah Swt pada saat hidup di dunia dan di
Madinah tidak langsung meningalkan seluruh akhirat nantinya. Labuhan Gunung Kombang
apalagi menghancurkan budaya kearifan lokal dapat dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan
yang ada dan berlaku dalam masyarakat sebelum yang berunsur religi karena sebagai simbol
kehadirannya. keyakinan dan konsep masyarakat tentang
Sikap tersebut didasarkan pada Alquran Tuhan yang diadakan setiap tahun. Di mana
juga menyiratkan hal itu sebagaimana dalam merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat
QS. Ibrahim (14):4, yang artinya: “Kami tidak Desa Kedungsalam kepada Allah SWT atas
mengutus seorang Rasul-pun, melainkan dengan rezeki yang telah diterimanya. Walaupun Agama
bahasa (budaya kearifan lokal) kaumnya, supaya Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Desa
ia dapat memberi penjelasan dengan terang Kedungsalam, tetapi masyarakat masih ada yang
kepeda mereka. Maka Allah menyesatkan siapa percaya dengan adanya roh-roh nenek moyang
yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk dan pepunden yang bersemayam.
kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia-lah Pelaksanaan labuhan juga terdapat pemisah
Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” antara harapan yang ditujukan untuk Tuhan dan
Nabi Muhammad saw, hadir secara bijak penguasa laut selatan. Hal tersebut menunjukkan
dalam menyikapi budaya dan kearifan lokal, adanya pengaruh agama Islam terhadap tradisi
karena masyarakat memiliki berbagai budaya lokal masyarakat Desa Kedungsalam. Oleh
kearifan lokalnya masing-masing. Budaya yang karena itu, dapat diketahui bahwa Labuhan
tidak sesuai dengan kondisi zaman disesuaikan Gunung Kombang Pantai Ngliyep mengandung
dengan pemuatan nilai-nilai iman, Islam yang nilai religi. Hal itu sejalan dengan pendapat Nuha
melahirkan perilaku akhlak mulia. (2016) Islam dan budaya adalah dua entitas
Nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi yang berbeda. Namun keduanya dapat saling
Labuhan Gunung Kombang sudah tercermin mempengaruhi. Islam sebagai agama dengan
dalam tahapan persiapan dan pelaksanaan seperangkat nilainya telah mempengaruhi pola
acara. Nilai kearifan lokal yang ada dalam tradisi budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya.
Labuhan Gunung Kombang diantaranya adalah Akan tetapi aspek sosial budaya dari masyarakat
nilai religi, kebersamaan, nilai musyawarah, dan setempat tidak sertamerta terkikis (Nuha, 2016:
gotong royong. Bermacam-macam kearifan lokal 56).
tersebut mampu mempersatukan warga Desa Nilai kebersamaan dalam tradisi Labuhan
Kedungsalam yang terdiri dari berbagai macam Gunung Kombang terlihat dalam semua warga
agama. Pada saat pelaksanaan tradisi Labuhan, dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik
semua warga Desa Kedungsalam lebur bersama- perbedaan agama, latar belakang pendidikan,
sama mensukseskan acara. Maka tradisi Labuhan status ekonomi, maupun status sosial bersama-
Gunung Kombang mampu menjadi pemersatu sama terlibat mensukseskan acara labuhan.
antar warga yang plural. Nilai-nilai kearifan Kebersamaan ini masih terjaga dengan baik sampai

121
Jurnal SMaRT Volume 06 Nomor 01 Juni 2020

sekarang. Dalam Islam diajarkan untuk saling acara dan tempat persiapan, mempersiapkan
bersolidaritas, yang diperluas menjadi solidaritas segala macam keperluan untuk ritual labuh,
keumatan dan kemanusiaan sebagaimana memasak keperluan sesaji yang akan dilarung,
ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat (49):13, yang hingga membawa sesaji yang akan dilarung.
artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami Biaya yang diperlukan untuk kegiatan Labuhan
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan Gunung Kombang juga dari swadaya masyarakat.
seorang perempuan dan menjadikan kamu Tidak ada paksaan dalam menyumbang, warga
berbagsa-bangsa dan bersuku-suku supaya bisa memberi apa saja yang mampu dan dimiliki,
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya seperti sayur mayur, beras, hingga hewan korban
orang yang paling mulia diantara kamu disisi seperti kambing dan ayam. Keberhasilan tradisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara Labuhan Gunung Kombang ini dapat terwujud
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui karena masyarakat Desa Kedungsalam masih
lagi Maha Mengenal.” Berdasarkan pembahasan menjunjung tinggi dan memelihara keraifan lokal
di atas, manusia diajarkan untuk saling yaitu semangat gotong royong.
menghargai sesama manusia yang terdiri dari Dalam ajaran Islam juga diajarkan untuk
berbagai macam latar belakang. saling bergotong royong antar sesama manusia.
Nilai kearifan berikutnya adalah nilai Ada tiga peristiwa bersejarah dalam peradaban
musyawarah. Kegiatan awal labuhan adalah bangsa Arab yang terkait budaya gotong
tahap persiapan yang dilakukan oleh baik itu oleh royong, baik sebelum Islam datang (sebelum
perangkat desa dan juga keturunan pemangku Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul)
adat. Semua kegiatan diwali dengan musyawarah maupun setelah kedatangan risalah Islam.
pembentukan panitia labuh dengan warga Peristiwa tersebut adalah, yang pertama saat
masyarakat agar terjadi kegiatan yang diinginkan terjadi pebaikan Ka’bah, yang kedua adalah
dan sesuai dengan aturan dan tata cara labuhan. pembangunan Masjid Nabawi saat pertama kali
Dalam agama Islam jika ingin mengambil sebuah tiba di Madinah dalam perjalanan hijrah, dan
keputusan, maka harus melakukan musyawarah. yang ketiga adalah gotong royong Nabi dan para
Sebagaimana dalam QS. Ali Imran (3):159, yang sahabat saat mebangun Parit sebagai benteng
artinya “Maka disebabkan rahmat dari Allah- pertahanan (Mahmudi, 2017: 452-453).
lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap Egalitarian Islam sangat nampak dengan
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi membaurnya Nabi Muhammad selaku pemimpin
berhati kasar, tentunya mereka menjauh diri yang memiliki multi kapabilitas dengan para
dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah sahabatnya saat bergotong royong dalam
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan peristiwa memugar ka’bah, membangun masjid
bermusyawarhlah dengan mereka dalam utusan dan menggali parit. Ketiga peristiwa di atas
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan menjadi fakta fikih shiroh akan diakuinya dan
tekad, maka bertawakal kepada-Nya.” Dalam dianjurkannya budaya gotong royong. Bahkan
ayat ini mengajarkan kepada setiap pemimpin Allah lewat QS. Al-Maidah (5): 2 memerintahkan
untuk bermusyawarah dengan anggotanya. saling tolong-menolong (gotong royong): “Dan
Nilai berikutnya adalah nilai gotong royong. tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
Kegiatan labuhan tergolong sebagai acara besar kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong
yang melibatkan banyak orang dan membutuhkan dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
biaya yang besar juga. Pelaksanaan membutuhkan Quraish Shihab menjelaskan, dan tolong-
persiapan dan waktu yang cukup lama. Namun menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
warga Desa Kedungsalam dengan bergotong kebajikan yakni segala bentuk dan macam hal
royong turut membatu untuk mensukseskan yang membawa kepada kemaslahatan duniawi
acara. Mulai kerja bakti membersihkan tempat

122
Keselarasan Kearifan Lokal Dengan Nilai Keislaman pada Tradisi Labuhan Gunung Kombang di Kabupaten Malang
Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, Dan Kundharu Saddhono, halaman 113-125

dan atau ukhrowi. Tolong-menolonglah kamu resistensi tradisi dan budaya lokal, sehingga
dalam ketaqwaan, yakni segala upaya yang ketegangan dan konflik Islam versus Kejawen
dapat menghindarkan bencana duniawi dan atau menjadi ciri utama perkembangan Islam di
ukhrowi, walaupun dengan orang-orang yang Jawa, terutama pada abad ke-19 atau masa
tidak seiman dengan kamu. Ayat ini merupakan kolonial. Akulturasi budaya Jawa dan Islam
prinsip dasar dalam menjalin kerja sama dengan pola dialogis, dipahami bahwa Islam
dengan siapapun (meskipun berbeda keyakinan dan budaya Jawa berkomunikasi dalam
agama) selama tujuannya adalah kebajikan dan bentuk struktur sosial-agama (Sumbulah,
ketaqwaan (Shihab, 2011). 2012: 57).
Akulturasi Islam dalam Kearifan Lokal Berdasarkan hasil penelitian yang
Labuhan Gunung Kombang telah dipaparkan di atas jelas terlihat bahwa
nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kearifan lokal
Akulturasi kebudayaan dapat terjadi seperti religius, kebersamaan, musyawarah
apabila dua kebudayaan masyarakat yang dan juga gotong royong mampu hidup serta
keduanya memiliki kebudayaan tertentu, tumbuh secara bersamaan. Dalam ilmu
lalu saling berhubungan. Perhubungan itulah ushul fikih, budaya lokal dalam bentuk adat
yang menyebabkan terjadinya sebaran atau kebiasaan itu juga disebut urf ‫ )فرع‬akar
difusi kebudayaan. Di dalam proses sebaran kata yang sama dengan al-ma’ruf, ‫فورعملا‬
kebudayaan selalu dapat diperhatikan dua ( Artinya, semua budaya dan kearifan
proses kemungkinan, yaitu menerima atau lokal yang berkembang di masyarakat bisa
menolak masuknya anasir kebudayaan asing dijadikan dasar dalam hukum manakala
yang mendatanginya (Misbakhudin, 2016: bermuatan kema’rufan, bernilai baik atau
55). Pada pandangan kali ini yaitu masuknya positif (Majid, 2008). Islam tidak anti
agama Islam yang mempengaruhi kearifan budaya, tetapi meluruskan dan mengarahkan
lokal yang terdapat di dalam masyarakat Jawa budaya ke jalan yang benar menurut ukuran
khususnya masyarakat Desa Kedungsalam kemanusiaan dan ketauhidan. Tradisi sebagai
Kabupaten Malang dalam tradisi Labuhan salah satu produk budaya yang dirasakan
Gunung Kombang. manfaatnya bagi kehidupan manusia,
Pandangan hidup orang Jawa memang Islam mendorong agar budaya dan tradisi
berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa tersebut terus eksis secara dinamis. Bahkan
sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya para ahli hukum Islam mengajukan kaidah
agama-agama yang berkembang sekarang ini. “tradisi itu bisa menjadi salah satu sumber
Semua agama dan kepercayaan yang datang hukum” dalam proses pengambilan hukum
diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa, (Mahmudi, 2017: 454-455).
mereka tidak terbiasa mempertentangkan Terlihat jelas adanya akulturasi Islam
agama dan keyakinan. Mereka menggap dengan kearaifan lokal yang terdapat pada
bahwa semua agama itu baik dengan tradisi Labuhan Gunung Kombang yang
ungkapan mereka “sedaya agami niku sae” ada di Kabupaten Malang. Akulturasi Islam
(semua agama itu baik). Ungkapan inilah dengan budaya lokal merupakan bentuk
yang kemudian membawa konsekwensi dari pelestarian budaya lokal. Hal tersebut
timbulnya sinkretisme di kalangan dibenarkan asal tidak bertentangan dengan
masyarakat Jawa (Marzuki, 2006: 5). Hal ini syariat Islam. Dengan demikian, jelaslah
juga sesuai dengan pendapat Taufik Abdullah perjalanan sejarah rekonsiliasi antara
bahwa akulturasi budaya Jawa dan Islam di Islam sebagai agama dan budaya lokal
Jawa mengambil bentuk dialogis (Abdullah, yang melingkupinya serta adanya landasan
1989: 58-99). Islam dihadapkan pada hukum legitimatif dari syara’ berupa ‘urf

123
Jurnal SMaRT Volume 06 Nomor 01 Juni 2020

dan maslahah. Oleh karena itu, strategi “Reaktualisasi Pendidikan Nilai Berbasis
pengembangan budaya Islami di Indonesia Kearifan Lokal.” Jurnal SMART (Studi
yang multi etnis dan budaya, pendekatan Masyarakat, Religi, Dan Tradisi) 04
(02): 149–60.
budaya tanpa meninggalkan nilai-nilai
spirit Alquran adalah cara yang paling Koentjaraningrat. (1993). Masalah Kebudayaan
baik. Islamisasi bukanlah harus Arabisasi, Dan Integrasi Nasional. Jakarta: UI
Press.
karena Islam adalah agama yang menyeluruh
dalam budaya, sikap, dan mentalitas Kori Lilie Muslim, M.Hum. (2017). “Isi Jurnal
(Purwaningrum and Ismail, 2019: 32). Kori Lilie Muslim - NILAI-NILAI ISLAM
DALAM BUDAYA DAN KEARIFAN
Simpulan LOKAL -.” Fuaduna.
Masyarakat Desa Kedungsalam, Mahmudi, Idris. (2017). “Islam, Budaya Gotong
Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang, Royong Dan Kearifan Lokal.” Jurnal
masih dipegang teguh tradisi Labuhan Gunung Penelitian IPTEKS.
Kombang. Dalam tradisi Labuhan Gunung Majid, Abdul. (2008). Perencanaan
Kombang terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang Pembelajaran Mengembangkan Standar
berdampingan dengan nilai-nilai Islam. Kearifan Kompetensi Guru. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya.
lokal yang ada di dalam tradisi Labuhan Gunung
Kombang diantaranya adalah nilai religius, nilai Marzuki. (2006). “Tradisi Dan Budaya Masyarakat
kebersamaan, musyawarah dan gotong royong. Jawa Dalam Perspektif Islam.” Jurusan
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
Bertemunya nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai
Universitas Negeri Yogyakarta: 1–13.
kearifan lokal pada tradisi Labuhan Gunung https://scholar.google.co.id/scholar?oi=
Kombang merupakan sebuah proses akulturasi bibs&cluster=9013396128585023864&bt
budaya. nI=1&hl=id.
Nilai-nilai Islam dapat bertemu dan Misbakhudin. (2016). “TRADISI SLUP-SLUPAN
tumbuh bersama dengan nilai-nilai kearifan Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa Di
lokal. Islam sebagai agama dengan seperangkat Rembang Jawa Tengah.” Sabda : Jurnal
nilainya telah mempengaruhi pola budaya dan Kajian Kebudayaan 11: 53–68. https://
tradisi masyarakat Desa Kedungsalam. Akan ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/
article/view/16046/11891.
tetapi aspek sosial budaya dari masyarakat
setempat tidak terkikis. Mulder, Niels. (1999). Agama, Hidup Sehari-
Hari Dan Perubahan Budaya. Jakarta:
Daftar Pustaka Gramedia Pustaka Utama.
A. Riyadi. (2017). “Kearifan Lokal Tradisi Nuha, Ulin. (2016). “TRADISI RITUAL BUKA
Nyadran Lintas Agama Di Desa Kayen- LUWUR: Sebuah Media Nilai-Nilai
Juwangi Kabupaten Boyolali.” Smart 03: Islam Dan Sosial Masyarakat Kudus.”
139–54. SMART. https://doi.org/10.18784/smart.
v2i01.298.
Abdullah, Taufik.( 1989). “ Islam Dan
Pembentukan Tradsisi Di Asia Tenggara” Purwaningrum, Septiana, and Habib Ismail.
Dalam Taufik Abdullah Dan Sharon (2019). “Akulturasi Islam Dengan Budaya
Siddique. Tradisi Dan Kebangkitan Jawa: Studi Folkloris Tradisi Telonan
Islam Di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Dan Tingkeban Di Kediri Jawa Timur.”
Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial
Artawijaya. (2010). Jaringan Yahudi
Dan Budaya.https://doi.org/10.25217/
Internasional Di Nusantara. Jakarta:
jf.v4i1.476.
Pustaka Al-Kautsar.
Ridwan, Nurma Ali. (2007). “Landasan Keilmuan
Hadiningrum, Lila Pangestu. (2018).
Kearifan Lokal.” Ibda` | Vol. 5 | No. 1 |

124
Keselarasan Kearifan Lokal Dengan Nilai Keislaman pada Tradisi Labuhan Gunung Kombang di Kabupaten Malang
Fitria Shalza Rahmaniar, Suyitno, Supana, Dan Kundharu Saddhono, halaman 113-125

Jan-Jun 2007 |27-38. Suryanti, Ani. (2017). “Upacara Adat Sedekah


Laut Di Pantai Cilacap.” Sabda : Jurnal
Sahlan, Sahlan. (2013). “Kearifan Lokal
Kajian Kebudayaan. https://doi.
Pada Kabanti Masyarakat Buton Dan
org/10.14710/sabda.v3i2.13268.
Relevansinya Dengan Pendidikan
Karakter.” El-Harakah (Terakreditasi). Wahyudi, Sarjana Sigit. (2011). “‘Sedekah
https://doi.org/10.18860/el.v14i2.2311. Laut’ Tradition for in The Fhisherman
Community in Pekalongan, Central Java.”
Shihab, Quraish. (2011). Al-Misbah Jilid 2.
Journal of Coastal Development 14 (3):
Ciputat: Lentera Hati.
269.
Sumbulah, Ummi. (2012). “Islam Jawa Dan
Widiana, Nurhuda. (2017). “Budaya Lokal
Akulturasi Budaya: Karakteristik, Variasi
Dalam Tradisi ‘Nyumpet’ Di Desa Sekuro
Dan Ketaatan Ekspresif.” El-Harakah
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara.”
(Terakreditasi) 14 (1): 51–68. https://doi.
Jurnal Ilmu Dakwah. https://doi.
org/10.18860/el.v0i0.2191.
org/10.21580/jid.v35.2.1611.
Sunjata, Pantja, Wahyudi. (2012). Upacara
Tradisional Jawa. Yogyakarta: Andi
Offset.

125
126

You might also like