You are on page 1of 9

Sabda, Volume 11, Tahun 2016

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH

Edi Setiyono
Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai
Uiversitas Diponegoro Semarang
edi.setiyonol989@gmail.com

Abstract
Community Based Management (CBM) makes people as the one who has a main role in
the natural resource management. This management involves local people in planning,
executing and also enjoying the result of that natural resource management. The basic
principle of SBM is the government empowers the potency of local wisdom available in an
area and make it as the principle of the coastal resource management. CBM can be seen in
Awig-Awig Tradition in East Lombok and Sasi Tradition in Middle Maluku. Awig-Awig is
a convention of East Lombok people. This convention becomes a written traditional law
legalized by Village Regulation containing rules to regulate coastal resource management
along with the sanction if it is broken. Awig-Awig is highly obeyed by East Lombok people
that makes it suitable for empowering local people to manage their natural resources.
Meanwhile, Sasi tradition on in Middle Maluku can be simply described as prohibition and
license of catching fish in a certain period. As Awig-Awig in East Lombok, Sasi is also
legalized by the traditional law and has sanction for those who break the law. These two
traditions, Awig-Awig Tradition in East Lombok and Sasi Tradition di Middle Maluku, are
both aimed at preserving the natural resources so that it can be the basic principle in
Coastal Resources Community Based Management.

Keywords: Community Based Management, Awig-awig, Sasi

I. Pendahuluan eksploitasi yang memperhatikan aspek


Indonesia sebagai salah satu keberlanjutan yaitu dengan membentuk
negara dengan keanekaragaman hayati sebuah kawasan konservasi dan
laut tertinggi di dunia menghadapi perlindungan lingkungan. Di dalam
tantangan yang breat dalam hal kawasan ini diatur peraturanperaturan
eksploitasi yang berlebihan terhadap untuk melindungi ekosistem di dalamnya
sumber daya laut dan pesisir yang sehingga tetap lestari. Kusumastanto
cenderung tidak memperhatikan aspek (1999) menyatakan bahwa konservasi dan
berkelanjutan. Ekspolitasi dengan cara lingkungan wilayah pesisir dan pulau-
yang tidak ramah lingkungan pulau kecil telah ditetepkan paling tidak
menyebabkan penurunan produksi hasil dalam 2 Undang-Undang sebagai berikut
laut. :
Hal ini sangat merugikan karena 1. UU no 32 tahun 2004
ke depannya generasi penerus kita bisa- 2. UU no 27 tahun 2007
bisa hanya dapat mendengar cerita Inti dari isi kedua undang-undang
kekayaan laut ini tanpa dapat tersebut adalah pengelolaan wilyah
menikmatinya karena telah punah akibat pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis
eksploitasi yang berlebihan. Oleh karena masyarakat atau dikenal dengan PBM
itu perlu adanya sebuah revolusi cara (Pengelolaan Berbasis Masyarakat).

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 46
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

Hasani (2014) menyatakan bahwa memanfaatkan tradisi dan kearifan lokal


kawasan konservasi berbasis masyarakat kedua daerah tersebut.
pada dasarnya merupakan bagian dari
pengelolaan sumberdaya berbasis 2. Pengertian
masyarakat atau Community-Based 2.1. Pengertian Pengelolaan Berbasis
Management (CBM) didefinisikan Masyarakat (PBM)
sebagai suatu strategi untuk mencapai Menurut Wahyudin (2004),
pembangunan yang berpusat pada berbasis masyarakat pada dasarnya
manusia, di mana pusat pengambilan merupakan bagian dari pengelolaan
keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya berbasis masyarakat atau
sumberdaya secara berkelanjutan di suatu Community-Based Management (CBM)
daerah berada di tangan organisasi- didefinisikan sebagai suatu strategi untuk
organisasi yang ada dalam masyarakat di mencapai pembangunan yang berpusat
daerah tersebut. Pada sistem pengelolaan pada manusia, di mana pusat
ini, masyarakat diberikan kesempatan dan pengambilan keputusan mengenai
tanggung jawab dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya secara
pengelolaan terhadap sumberdaya yang berkelanjutan di suatu daerah
dimilikinya, di mana masyarakat sendiri terletak/berada di tangan organisasi -
yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan organisasi yang ada dalam masyarakat di
dan aspirasinya serta masyarakat itu pula daerah tersebut. Pada sistem pengelolaan
yang membuat keputusan demi ini, masyarakat diberikan kesempatan dan
kesejahteraannya. tanggung jawab dalam melakukan
Selain itu menurut Wahyudin pengelolaan terhadap sumberdaya yang
(2004), PBM menjadikan masyarakat dimilikinya, di mana masyarakat sendiri
sebagai ujung tombak dalam pengelolaan yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan
sumber daya. Masyarakat dinilai lebih dan aspirasinya serta masyarakat itu pula
mengetahui karakteristik dan sumber yang membuat keputusan demi
daya alam, keunikan ekosistem pesisir di kesejahteraannya. PBM merupakan
wilayah mereka serta memiliki jiwa pengelolaan yang menjadikan masyarakat
memiliki terhadap sumberdaya alam yang sebagai ujung tombak dalam pengelolaan
ada di sekitar mereka. Hal ini membuat sumber daya. Masyarakat dinilai lebih
mereka memiliki jiwa memiliki terhadap mengetahui karakteristik dan sumber
sumberdaya alam sehingga mereka daya alam, keunikan ekosistem pesisir
memiliki rasa sayang untuk wilayah mereka dan memiliki jiwa
memanfaatkan sekaligus melestarikannya memiliki terhadap sumberdaya alam yang
untuk anak cucu mereka. Akan tetapi ada di sekitar mereka. Hal ini membuat
PBM perlu memiliki lembaga yang mereka memiliki jiwa memiliki terhadap
berbadan hukum dan lembaga ini sumberdaya alam sehingga diharapkan
disegani dan diakui oleh masyarakat mereka memiliki rasa sayang untuk
sehingga masyarakat akan patuh pada memanfaatkan sekaligus melestarikannya
peraturan-peraturan lembaga tersebut. untuk anak cucu mereka. Akan tetapi
Salah satu pengelolaan berbasis PBM perlu memiliki lembaga yang
masyarakat (PBM) di Indonesia adalah berbadan hukum serta lembaga ini
pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis disegani dan diakui oleh masyarakat
masyarakat (PBM) melalui tradisi Awig- sehingga masyarakat akan patuh pada
Awig di Lombok Timur dan tradisi sasi peraturan-peraturan lembaga tersebut.
di Maluku Tengah. Tulisan ini membahas Menurut Hasani (2014), PBM
mengenai bagaimana jalannya PBM pada didefinisikan sebagai strategi guna
kedua daerah tersebut dengan mencapai pembangunan yang bertumpu

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 47
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

pada manusia, di mana masyarakat dibuat oleh masyarakat untuk kehidupan


merupakan pusat dalam mengambil dalam komunitas tertentu (kampung atau
keputusan untuk medayagunakan gubug), yang dituangkan dalam piagam-
sumberdaya yang ada di daerah mereka. piagam, atau ditulis dalam lontar dan
Dalam hal ini masarakat terwakili dalam diwujudkan dalam tanda-tanda berupa
organsasi masyarakat yang disegani dan tancapan kayu yang diberi ikatan dari
punya pengaruh kuat. Nantinya melalui pelepah/daun tertentu yang ditempatkan
organisasi tersebut, masyarakat di tengah sawah atau ladang sebagai
menyalurkan aspirasi, kebutuhan dan simbol larangan pengembangan atau
tujuan pemanfaatan sumberdaya alam memasuki daerah yang bersangkutan.
mereka. Mereka bertanggung jawab Perkembangan selanjutnya dibuat secara
terhadap pengelolaan tersebut. Hasilnya tertulis dengan mendapat legalitas dari
dapat langsung dirasakan oleh tokoh-tokoh adat/desa. Kemudian
masyarakat. menurut Sari (2004), di Lombok Timur
Sedangkan Pomeroy (1995) lembaga pemangku awig-awig bernama
mengartikan PBM sebagai suatu proses Komite Pengelola Perikanan Laut
pemberian wewenang, tanggungjawab, (KPPL). Keanggotaan KPPL di Lombok
dan kesempatan kepada masyarakat untuk Timur merepresentasikan
mengelola sumberdayanya sendiri yang keanekaragaman pemangku kepentingan
didahului dengan penentuan kebutuhan yang mewakili masing-masing kelompok
dan tujuan serta aspirasi. Masyarakat kepentingan dalam sektor perikanan
bertanggungjawab terhadap keputusan seperti nelayan, pedagang ikan, kelompok
yang mereka ambil. Keputusan ini akan ibu-ibu pengolah ikan, serta tokoh agama,
berpengaruh terhadap kesejahteraan dan tokoh masyarakat lainnya. Perairan di
hidup mereka. Lombok Timur dibagi ke beberapa
Jadi dapat disimpulkan bahwa kawasan yakni Kawasan Sambelia,
PBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat) Kawasan Pringgabaya, Kawasan Labuhan
adalah suatu pengelolaan di mana Haji, Kawasan Sakra Timur, Kawasan
masyarakat lokal berperan aktif dalam Teluk Jukung, Kawasan Serewe dan
perencanaan, pelaksanaan, dan hasil dari Kawasan Teluk Ekas. Masing-masing
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan ini memiliki awig-awig yang
lingkungan mereka tinggal. Hasil berbeda dan dikelola oleh KPPL sendiri.
pengelolaan ini nanti akan memberi Tahir (2006), menyatakan bahwa
dampak langsung terhadap kesejahteraan awig-awig pada dasarnya sudah ada sejak
kehidupan masyarakat di daerah tersebut. lama dan merupakan peninggalan nenek
moyang masyarakat Lombok Timur,
2.2. Penerapan PBM namun proses revitalisasi hak tradisional
2.2.1. Awig-Awig di Lombok Timur dalam pengelolaan sumberdaya kelautan
Menurut Tantra (1999), istilah dan perikanan di kabupaten Lombok
awig-awig berasal dari Bali yang diduga Timur mulai dilakukan pada tahun 1994,
diadopsi orang Lombok setelah Raja dipicu oleh terjadinya konflik anatara
Karang Asem di Bali menguasai wilayah nelayan tradisional dengan nelayan
ini pada abad ke 8. Secara harfiah, modern yang menggunakan alat tangkap
konsep awig-awig mengacu pada minipurse seine. Konflik tersebut
perangkat aturan yang disepakati suatu memuncak pada bulan Maret 1993 karena
satuan komunitas untuk mengatur kapal purse seine baru yang lebih besar
perilaku sosial mereka. Hasani (2014), ukurannya memasuki daerah
menyebutkan bahwa awig-awig pada penangkapan nelayan tradisional,
mulanya berbentuk kesepakatan yang sehingga nelayan tradisional menggelar

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 48
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

demonstrasi dan merusak Balai Desa Sandak di Teluk Jukung. Kawasan suaka
Tanjung Luar. Karena masalah ini belum Perikanan Sapak Kokok dan Gusoh
diselesaikan dengan tuntas, maka pada Sundak meliputi ekosistem mangrove dan
tahun 1994 nelayan tradisional dari desa padang lamun. Setiap kawasan suaka
Tanjung Luar melakukan demonstrasi ke perikanan dibagi menjadi zona inti dan
DPRD Kabupaten Lombok Timur. Dalam zona penyangga. Baik di dalam zona inti
masalah ini Dinas Perikanan Kabupaten maupun zona penyangga, semua kegiatan
Lombok Timur ditugaskan unt dapat eksploitas dilarang. Di zona inti juga
menyelesaikan masalah tersebut. Melalui dilarang kegiatan noneksploitatif seperti
proses dialog antara nelayan tradisional bersampan dan budidaya. Kegiatan
dan nelayan mini purse-seine yang tersebut diperbolehkan hanya di zona
difasilitasi Dinas Perikanan Kabupaten penyangga. Penetapan ketiga lokasi
Lombok Timur, akhirnya diperoleh tersebut sebagai kawasan suaka perikanan
kesepakatan bahwa petikaian ini agar dan penetapan aturanaturan
diselesaikan melalui pembuatan awig- pengelolaannya dibuat dalam bentuk
awig dalam bentuk adat yang memuat kesepakatan masyarakat awig-awig di
larangan-larangan bagi nelayan mini semua kawasan. Karena itu, dokumen
purse seine untuk beroperasi pada jalur I rencana pengelolaan kawasan suaka
beserta sanksi-sanksinya, selanjutnya perikanan disahkan secara tertulis yang
ketentuan tersebut dituangkan dalam ditandatangani oleh Badan Perwakilan
bentuk tertulis dan merupakan Peraturan Desa (BPD) dari semua desa yang
Desa (Perdes) yang ditetapkan pada terlibat. Sementara itu, KPPL
tanggal 14 Nopember 1994. Penerapan bertanggung jawab atas pelaksanaan
tradisi awig-awig masih berjalan dengan kegiatan pengelolaannya. Implementasi
baik sampai saat ini, bahkan tradisi ini tradisi awig-awig dalam pengelolaan
dimanfaatkan oleh pemerintah Kabupaten suaka perikanan di Kabupaten Lombok
Lombok Timur untuk membentuk suaka Timur dinilai merupakan salah satu yang
perikanan dengan pola partisipasi berhasil di Indonesia, berdasarkan hasil
masyarakat. Dinas Kelautan dan evaluasi, melalui data-seri yang berurutan
Perikanan sebagai pemegang mandat antara tahun 1998-2002 dengan adanya
pengelolaan wilayah laut hingga 4 mil kesepakatan tersebut frekuensi
laut, mendelegasikan sebagian pengeboman ikan di sekitar kawasan
kewenangannya dalam pembentukan suaka perikanan menurun sangat
kawasan suaka perikanan kepada signifikan, seperti ditampilkan dalam
kelompok masyarakat melalui Komite
Pengelola Perikanan Laut (KPPL) pada Tabel 1.
kawasan tertentu. Dengan pendelegasian Tabel 1. Penurunan frekuensi
kewenangan ini, KPPL dan masyarakat pengeboman ikan di sekitar tiga kawasan
menentukan sendiri lokasi yang akan suaka perikanan hasil kesepakatan awig-
dijadikan kawasan suaka perikanan dan awig di Lombok Timur
menjalin kerjasama dalam perencanaan
dan pengelolaan kawasan suaka Frekuensi Pengeboman
perikanan. Melalui partisipasi masyarakat
tersebut di atas, pada tahun 2001 di Tahun Teluk Teluk Teluk
Kabupaten Lombok Timur terbentuk tiga Ekas Sawere Jukung
kawasan suaka perikanan, yaitu (1) Suaka
Perikanan Sapak Kokok di Teluk Ekas; 1998 30-40 30-40 30-40
(2) Suaka Perikanan Gili Rango di Teluk
1999 20-25 20-30 30-40
Serewe; dan (3) Suaka Perikanan Gusoh

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 49
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

2000 15-20 20-30 30-40 umum dikenai aturan Sasi adalah Trochus
Niloticus atau tripang. Pada saat tutup
2001 0-0,8 0 0-6 Sasi yang biasanya berlangsung selama
2002 0 0 0-6 satu sampai tiga tahun, tidak boleh
seorang pun mengambil sumberdaya di
wilayah petuanan yang dikenai aturan itu.
Selain tampak dari penurunan
Pada saat yang telah ditentukan Sasi akan
frekwensi pengeboman ikan seperti
dibuka. Pada saat itu panen sumberdaya
ditampilkan pada tabel 1, dapat dikatakan
akan dilakukan. Ada tempat-tempat yang
bahwa keberhasilan program tersebut
membolehkan setiap wakil dari rumah
dapat dilihat dari beberapa indikator lain,
tangga, janda atau rumah tangga renta
seperti tidak adanya laporan pelanggaran
atau orang-orang yang ditunjuk oleh
kesepakat awig-awig kawasan suaka
pemangku adat Sasi untuk mengambil
perikanan, semakin meningkatnya jumlah
sumberdaya tersebut dengan ketentuan
dan ukuran hasil tangkapan seperti
tertentu. Ketentuan tersebut, misalnya,
kepiting bakau di sekitar kawasan suaka
pada saat mengambil hasil, mereka hanya
Gili Rango, dan meningkatnya produksi
diperbolehkan menyelam tanpa alat
kerja serta pendapatan masyarakat,
kecuali kacamata menyelam (tradisional),
walaupun pemerintah juga menyadari
ukuran yang boleh diambil juga dibatasi,
bahwa peningkatan ini belum tentu
biasanya minimal ukuran diameter
merupakan dampak langsung dari
cangkang kerangnya tiga jari (kurang
pembentukan suaka perikanan tersebut.
lebih 6 cm). Pada daerah lain, di Maluku,
Secara singkat awig-awig
hanya orang-orang tertentu yang boleh
menurut Hasani (2014) merupakan
turut memanen komoditi yang disasi
kombinasi antara konsepsi 'teritorialiti'
tetapi hasilnya akan dikelola desa/negeri
pendefinisian wilayah kelola, dan
untuk kepentingan bersama. Buka Sasi
pengaturan pengelolaan yang
biasanya berjalan beberapa hari atau
diberlakukan di dalamnya. Dia bertujuan
minggu. Setelah selesai, pemimpin adat
untuk mengatur eksploitasi, mencegah
Sasi akan menutup kembali dan
dan mengatasi kegiatan destruktif dan
mengimplementasikan larangan kegiatan
konflik di antara pengguna taut dan yang
pengambilan sumberdaya tersebut.
tidak kalah pentingnya adalah konservasi
Sasi dilakukan oleh sebagian
dan fokus terhadap keberlangsungan
masyarakat pesisir di Propinsi Maluku.
sumberdaya laut.
Di pedesaan Pulau Saparua, Maluku
Tengah, pemanfaatan sumberdaya laut
2.2.2. Sasi di Maluku Tengah
pesisir dan hutan umumnya dikelola
Salah satu contoh pengelolaan
dengan sistem yang disebut Sasi, yang
sumberdaya laut dengan mengedepankan
merupakan suatu sistem atau
kaidah konservasi berbasis masyarakat
kelembagaan yang mengatur masyarakat
adalah tradisi alam laut yang sepenuhnya
desa untuk tidak menangkap ikan di
diatur melalui peraturan.
daerah tertentu dan waktu tertentu.
Menurut Nendissa (2010), istilah
Tujuan adanya larangan ini supaya ikan
Sasi mengacu pada suatu sistem yang
dapat berkembang biak, tumbuh
berkenaan dengan pengaturan kegiatan
mencapai ukuran tertentu, tetap tersedia
eksploitasi terhadap wilayah petuanan
hingga dapat ditangkap dan dikonsumsi
atau sumberdaya tertentu di petuanan itu.
pada waktu yang lama dan agar
Sasi laut biasanya ditujukan pada seluruh
sumberdaya ikan tetap lestari dan tetap
atau sebagian petuanan laut dan
dapat dimanfaatkan di kemudian hari
dikenakan pada sumberdaya tertentu yang
oleh generasi yang akan datang.
ada di dalamnya. Sumberdaya yang

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 50
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

Pelaksanaan Sasi dilakukan dengan cara keunikan ikan lompa itu sendiri yang
menutup musim dan daerah penangkapan dapat hidup baik di air laut maupun di air
ikan. Untuk itu, masyarakat desa tidak kali. Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari
diizinkan menangkap ikan selama periode sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap
waktu tertentu di kawasan perairan tinggat di dalam kali Learisa Kayeli
tertentu. Periode penutupan penangkapan sejauh kurang lebih 1500 meter dari
ikan ini dikenal dengan nama tutup Sasi muara. Pada malam hari barulah ikan-
Sementara itu, periode musim ikan ini ke luar ke laut lepas untuk
penangkapan ikan ini dikenal dengan mencari makan dan kembali lagi ke
nama buka Sasi. Pelaksanaan juga dalam kali pada subuh hari. Pada saat
mengatur tentang pelarangan penggunaan mulai memberlakukan masa Sasi (tutup
alat tangkap yang merusak lingkungan. Sasi, dilaksanakan upacara yang disebut
Pemimpin dan masyarakat desa bersama- panas Upacara ini dilakukan tiga kali
sama menentukan jenis alat tangkap ikan dalam setahun, dimulai sejak benih ikan
yang boleh digunakan. Penggunaan lompa sudah mulai terlihat.
dinamit, bom, dan racun untuk Sasi dalam penyelengaraannya
menangkap ikan dilarang. Hal ini diawasi oleh suatu lembaga adat yang
disebabkan masyarakat desa benar-benar disebut kewang (semacam polisi adat di
telah memahami bahwa penangkapan Maluku Tengah), sebagai lembaga adat
ikan dengan cara ini dapat merusak yang berakses secara langsung dengan
lingkungan dan membunuh semua jenis wilayah adat (wilayah ulayat/petuanan)
dan ukuran ikan. Selain itu, penggunaan suatu masyarakat adat baik di darat
bom dan dinamit juga sangat berbahaya maupun di laut. Pengawasan dan
bagi keselamatan jiwa nelayan. Sistem pengamanan lembaga kewang menjamin
Sasi di Kabupaten Maluku Tengah ini terjaganya keseimbangan hubungan
pada dasarnya dibentuk berdasarkan antara manusia dan lingkungan hidupnya
kesepakatan adat dan disampaikan secara dengan pemanfaatan sumber daya alam
alarniah dari generasi ke generasi secara terkendali dan bijaksana (Kusnadi,
(Adhuri, 2014). 2010).
Menurut Tuhulele (2013), Sasi Isi ketentuan peratura Sasi yang
yang dikenal masyarakat di pesisir salah masih berlaku sampai sekarang di
satunya adalah Sasi ikan lompa di Pulau Maluku Tengah menurut Wahyudi
Haruku bupaten Maluku Tengah, terkenal (2003), antara lain sebagai berikut :
sebagai satu acara tahunan yang unik bagi 1 Larangan menangkap dan atau
masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon mengambil jenis ikan tertentu,
yang menunjukkan salah satu bentuk teripang, Lola dan hasil laut
kearifan lokal dalam menjaga dikenal lainnya menggunakan alat
dengan nama buka yang disebut, yang tangkap seperti pancing, kalawai
merupakan kelestarian lingkungan. (sejenis panah), tombak dan alat-
Dengan ditetapkannya Sasi atas spesies alat tertentu lainnya pada saat
dan di wilayah tertentu oleh Kewang dilakukan Sasi laut maupun pada
maka siapapun tidak berhak untuk lokasi-lokasi konservasi.
mengambil spesies tersebut. Ketentuan 2 Larangan menangkap ikan dengan
ini memungkinkan adanya pengembang- menggunakan racun, atau akar
biakan dan membesarnya si ikan lompa, bore (sejenis tanaman mematikan
untuk kemudian di panen ketika Sasi bagi biota laut) dan bahan kimia
dibuka lagi. Keunikan di pulau Haruku lain.
ini karena Sasi ini merupakan kali 3 Larangan merusak terumbu
(sungai). Hal ini disebabkan karena karang, biota laut termasuk

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 51
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

menebang atau memotong, seluruh aerah yang dikenakan


mangambil, merusak hutan bakau larangan tersebut, di laut
serta tanaman sekitar pesisir maupun daratan. Tanda-tanda
pantai, dan lain-lain. itu terbuat dari potongan-
Sanksi yang diterima bagi yang potongan kayu bakau (untuk
melanggar antara lain sebagai berikut: Laut) atau bamboo (untuk
1 Sanksi pidana seperti dalam daratan) dibungkus daun-
sistem hukum pidana KUHP yaitu daunan seperti daun kelapa
Sanksi denda, pembayaran ganti atau tanda lain yang
rugi, dipukul dengan rotan, merupakan lambing dari hal-
perampasan barang, atau disuruh hal yang ditentukan oleh
kerja bakti berupa pembersihan larangan itu. Tak seorangpun
kantor desa, gereja/mesjid dan diperbolehkan melanggar
sarana umum lainnya. suatu daerah yang dipagari
2 Sanksi bersifat Moral, seperti atau diberi tanda. Pada malam
tindakan yang membuat pelaku hari biasanya para kewang
malu denagn cara di arak keliling bersama Marinyo mengitari
negeri (desa) sambil berteriak negeri (desa) sambil
“Jang Pancuri Sama Beta” meneriakan dan
(Jangan mencuri seperti saya). memberitahukan bahwa
3 Sanksi yang bersifat magis musim buah sudah ditutup
religius (semacam upacara adat). disasi = tutup Sasi. Upacara
a. Adapun pelaksanaan Sasi yang sama dilakukan pula
tersebut dapat diuraikan bawa apabila Sasi dibuka (buka
Lembaga Adat Negeri (desa) Sasi)
mengadakan pertemuan di
Baeleo (rumah adat) pada Jika dikaji dari isi peraturan dan
malam hari untuk struktur pemerintahan maka dalam
membicarakan secara pelaksanaan hukum Sasi laut maupun
terperinci larangan yang oleh darat maka dalam pelaksanaan di
Kewang diputuskan perlu lapangan lebih banyak berada pada peran
dikenakan. Setelah selesai, dan fungsi Kewang sebagai salah satu
Tuan tanah atau Tuan Adat lembaga adat yang tugasnya menjaga dan
memberikan kepada pimpinan memelihara perbatasan negeri, hutan dan
Kewang (Latu Kewang) air kebun supaya dirawat dan ditanami
yang diambil dari mata air secara teratur serta panennya dilakukan
khusus yang d ianggap suci sampai pada waktu atau musim yang
oleh mereka, sambil paling menguntungkan dan kalau perlu
menyanyikan doa mensasinya sesuai dengan waktu yang
permohonan agar para ditentukan. Marinyo membantu
Dewata yang menguasai memberitahukan kepada rakyat
lautan dan daratan pelaksanaa Sasi dan menjadi seluruh
memberikan kelimpahan. tanggung jawab lembaga adat dalam
Kemudian Kepala Kewang pelaksanaan hukum Sasi Tuan Adat akan
atau Latu Kewang dan melakukan upacara adat, dan daerah yang
pembantu-pembantunya menjadi palaksanaan Sasi akan diberi
keluar untuk menanam atau tanda. Sistem Sasi kemudian dilegitimasi
menancapkan tanda-tanda oleh institusi formal, dalam hal ini
sasi keliling perbatasan pemerintah melalui institusi desa yang

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 52
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

membawahi praktek-praktek Sasi Daftar Pustaka


tersebut. Adhuri, D.S. 2014. “Relasi Saling
Praktek jika kita lihat dari Ketergantungan Mutualisma
perspektf pengelolaan perikanan `modern' Manusia dan Alam Maritim:
merupakan kombinasi antara beberapa Praktek Pengelolaan Sumderdaya
instrumen pengelolaan. Instrumen Laut Tradisional di Indonesia."
tersebut adalah closing-opening season, Diskusi Panel Serial:
situ pengaturan buka-tutup eksplotasi, Mengungkap Budaya Luhur
pengaturan alat eksploitasi dan pihak Nusantara Menuju Peradaban
yang boleh melakukan eksploitasi (input Maritim Indonesia
kontrol) dan kuota yakni pengaturan Diselenggarakan oleh Yayasan
berapa banyak baik dari segi ukuran Suluh Nusantara Bakti Sultan
individu maupun total eksploitasi. Hotel, Jakarta, 11 Januari 2014,
Aturan-aturan modern ini seringkali gagal 17 hlm.
diimplementasikan karena resistensi Hasani, Q. 2014. "Konservasi
nelayan, sementara di Maluku, orang Sumberdaya Perikanan Berbasis
secara suka rela melakukannya. Artinya, Masyarakat, Implementasi Nilai
tradisi ini memang mengandung hal-hal Luhur Budaya Indonesia Dalam
yang positif, dan mampu mengatasi Pengelolaan Sumberdaya Alam”.
persoalan yang muncul pada praktek Jurnal Ilmu Perikanan dan
pengelolaan sumberdaya laut modern. Sumberdaya Perairan.
Universitas Lampung, Bandar
3. Simpulan Lampung, 10 hlm.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat Kusnadi. 2010. “Kebudayaan Masyarakat
(PBM) sudah semestinya menjadi Nelayan.” Makalah ini
prioritas dalam mengelola sumberdaya disampaikan dalam kegiatan
pesisir di Indonesia. Tradisi awig-awig di Jelajah Budaya Tahun 2010,
Lombok Timur dan di Maluku Tengah dengan tema Ekspresi Budaya
merupakan contoh nyata bahwa Masyarakat Nelayan di Pantai
sebenarnya jauh pada jaman dahulu Utara Jawa, yang
sebelum era modern ini masyarakat lokal diselenggarakan oleh Balai
telah memikirkan bagaimana menjaga Pelestarian Sejarah dan Nilai
alam mereka tetap lestari. Tradisi inilah Tradisional, Kementerian
yang dijadikan dasar bagi pemerintah Kebudayaan dan Pariwisata, di
untuk memberdayakan masyarakat guna Yogyakarta, tanggal 12-15 Juli
mengelola sumberdaya yang mereka 2010, 9 hlm.
miliki supaya tetap lestari dan tetap dapat Kusumastanto, T., Haridijatno, dan
dinikmati oleh masyarakat itu sendiri. Wahyudin, Y. 1999. “Penyusunan
Awig-awig dan Sasi merupakan tradisi Konsep Pengelolaan Sumberdaya
turun temurun yang memuat peraturan- Pesisir yang Berbasis Masyarakat
peraturan tentang tata cara memanfaatkan (PBM) di Propinsi Lampung".
sumberdaya alam supaya tetep lestari. Laporan Akhir, Kerjasama
Tradisi ini memiliki aturan, hukum adat, Direktorat Jenderal Pembangunan
sanksi, disahkan oleh pemerintah lewat Daerah Departemen Dalam
organisasi yang sah secara hukum dan Negeri dan Pusat Kajian
tentunya tradisi ini sangat disegani oleh Sumberdaya Pesisir dan Lautan
masyarakat sehingga masyarakat akan Institut Pertanian Bogor. 79 hlm.
patuh dan tunduk terhadap aturan Nendissa, R.H. 2010. "Eksistensi
tersebut. Lembaga Adat dalam Pelaksanaan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 53
Sabda, Volume 11, Tahun 2016

Hukum Sasi Laut di Maluku Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor


Tengah. Jurnal Sasi Vol. 16 (4) 15 September 2004.
Bulan Oktober - Desember 2010, Wahyudin, Y. 2003. “Sistem Sosial
6 hlm. Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Pomeroy, R.S. 1995. “Ccommunity Pesisir.” Makalah Disampaikan
Based and Co-Management pada Pelatihan Pengelolaan
Institution for Sustainable Coastal Kawasan Konservasi Perairan 3
Fisheries in Southeast Asia”. Desember 2003 di Kampus Pusat
Journal of Ocean and Coastal Diklat Kehutanan, Bogor, 25 hlm.
Management. XXVII (3) : 143-
162.
Sari, N. F. 2004. “Efektivitas Penerapan
Awig-awig Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Tangkap
di Kawasan Teluk Jukung,
Kecamatan Keruak dan Jerowaru,
Kabupaten Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat.” Karya llmiah
Praktek Akhir. Program Studi
Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan, Sekolah
Tinggi Perikanan, Jakarta.
Tahir, B.A. 2006. “Sistem Sosial Budaya
Masyarakat Pesisir” Journal
Fakultas Ushuludin dan Dakwah
IAIN Ambon, 9 hlm.
(Makalah). Disampaikan pada Pelatihan,
Perencanaan, dan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor
15 September 2004.
Tantra, I. 1999. “Bentuk Pengelolaan
Sumberdaya Ikan Berbasis
Masyarakat di Propinsi Nusa
Tenggara Barat (Paper Awig-
awig)”. Bahan Laporan ke
Direktorat Jendral Sumberdaya
Hayati.
Tuhulele, P. 2013. "Kearifan Lokal
Masyarakat Adat Maluku dalam
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup."
http://thukum
unpatti.ac.id/artikel/lingkungan-
hidup-pengelolaan-sda.
Wahyudin, Y. 2004. "Pengelolaan
BerbasisMasyarakat.” (Makalah).
Disampaikan pada Pelatihan,
Perencanaan, dan Pengelolaan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR BERBASIS MASYARAKAT (PBM)


MELALUI AWIG-AWIG DI LOMBOK TIMUR DAN SASI DI MALUKU TENGAH 54

You might also like