You are on page 1of 11

Al Ulum Sains dan Teknologi Vol. 7 No.

1 November 2021 27

ANALISIS KINERJA APOTEKER DALAM PELAYANAN FARMASI KLINIK DI


PUSKESMAS KOTA BANJARMASIN

Karina Erlianti1), Hasniah1), Lia Mardiana1)


1
Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin
Email: karina.erlianti@gmail.com

ABSTRACT
The performance of a pharmacist needs to be evaluated to improve the quality of pharmaceutical
services, both in clinical pharmacy services and drug management. This study aims to provide an overview
the performance of pharmacists at Public Health Center (PHC) of Banjarmasin in providing clinical
pharmacy services. This study is descriptive study. Data were retrospectively retieved by document
exploration and equipped with qualitative data through observation sheet and in-depth interview with key
personel. Pharmacist performance and the influence of demographic characteristics to performance was
analyzed descriptively. The number of respondents in this study were 5 pharmacists who practiced in five
PHC of Banjarmasin that represented every sub-district in Banjarmasin City. The results of this study show
us the performance of pharmacists in clinical pharmacy services at PHC in the era of the National Health
Insurance was in a very high category in the aspect of using generic drugs, the average drug item in
prescriptions and injection use in myalgia with 100% performance achievement. The high performance
category is shown in the aspect of prescription assessment (performance achievement 86.62%), delivery and
provision of drug information (82.70% achievement) and the use of antibiotics in non-specific diarrhea
(performance achievement 75.44%). The category of moderate performance is shown through aspects of
patient counseling (performance achievement 70%) and the use of antibiotics in non-pneumonia acute
respiratory infection (performance achievement 67.61%).

Keywords: Pharmacists, Performance, Clinical Pharmacy, Primary Healthcare Center

PENDAHULUAN dan Standar Pelayanan Kefarmasian (Coombes et al.,


Pelayanan kefarmasian di puskesmas dilakukan 2010). Kinerja seorang apoteker dalam melakukan
secara terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, pelayanan kefarmasian di Puskesmas perlu dianalisis
mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian
masalah yang berhubungan dengan kesehatan. baik dalam pelayanan farmasi klinik maupun
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas dilakukan dengan pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis
menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian di pakai (Kemenkes RI, 2016). Penelitian sebelumnya
Puskesmas, yang merupakan tolak ukur dn pedoman yang dilakukan oleh Satibi et al menyatakan bahwa
penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di Puskesmas kinerja Apoteker dalam melakukan pelayanan
oleh tenaga kefarmasian (Kemenkes RI, 2016). kefarmasian di Puskesmas sudah baik atau berada
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran pada kategori tinggi (Satibi et al., 2018). Kinerja
kinerja apoteker di Puskesmas Kota Banjarmasin merupakan faktor multidisiplin yang dipengaruhi
dalam melakukan pelayanan farmasi klinik. berbagai hal baik dari faktor individu maupun tempat
Apoteker merupakan salah satu tenaga kerja. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan
kesehatan yang berperan dalam penggunaan sediaan analsis faktor-faktor yang mungkin dapat berpengaruh
farmasi dan bahan medis habis pakai yang berkualitas terhadap kinerja apoteker yaitu usia, jenis kelamin,
di Puskesmas serta memberikan pelayanan kefarmasian tingkat pendidikan, gaji dan lama berpraktek.
serta mencegah, mengidentifikasi dan mengurangi Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan
masalah-masalah terkait obat dan peresepan. Apoteker kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab
harus dapat menampilkan profesionalismenya seperti kepada pasien berkaitan dengan obat dan Bahan
yang ditetapkan pada Standar Komptensi Apoteker Medis Habis Pakai (BMHP) yang bertujuan untuk
28

meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan 5 (lima) Puskesmas yang mewakili setiap kecamatan
kefarmasian di Puskesmas, memastikan pasien men- yang ada di Kota Banjarmasin dan didasarkan atas jumlah
dapatkan pengobatan yang efektif, aman dan efisien, kunjungan perhari yaitu tertinggi, sedang dan terendah.
meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan
serta melaksanakan kebijakan obat di Puskesmas dalam Sumber Data dan Instrumen Penelitian
rangka meningkatkan penggunaan Obat secara rasional. Sumber data yang digunakan dalam penelitian
Kota Banjarmasin memiliki dua puluh enam ini adalah sumber data primer yaitu hasil observasi
puskesmas yang tersebar di lima kecamatan. di kota dengan daftar tilik dan wawancara mendalam mengenai
Banjarmasin, Puskesmas merupakan pilihan utama bagi pelayanan farmasi klinik. Serta menggunakan sumber
masyarakat untuk berobat jalan dibandingkan dengan data sekunder yaitu Laporan Penggunaan Obat
fasilitas kesehatan lainnya (Pemkot Banjarmasin, 2005). Rasional dan Laporan Penggunaan Obat Generik.
Dengan semakin meningkatnya kunjungan masyarakat Instrumen penelitian yang digunakan yaitu
ke Puskesmas maka Pelayanan Kesehatan di Puskesmas daftar tilik yang disusun oleh Direktur Jenderal Bina
harus terus ditingkatkan termasuk Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan tentang Pelayanan
Kefarmasian yang di lakukan oleh Apoteker. Salah Farmasi Klinis dan pedoman wawancara mendalam.
satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pelayanan kefarmasian oleh apoteker di Puskesmas Analisis dan Pengolahan Data
adalah dengan mengetahui kinerja apoteker di Puskesmas Penilaian kinerja apoteker di analisis berdasarkan
dalam melakukan Pelayanan Farmasi Klinis. indikator pada setiap Puskesmas berdasarkan observasi
dengan daftar tilik. Setiap indikator pada aspek
METODE PENELITIAN pelayanan farmasi klinik tersebut kemudian dihitung
Penetapan Populasi dan didapatkan nilai realisasi. Nilai realisasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah kemudian diubah menjadi persentase capaian kinerja
Apoteker yang melakukan pelayanan farmasi klinik apoteker. Persentase capaian dari masing-masing
di Puskesmas Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan. indikator kemudian dikategorikan menjadi kategori
Apoteker yang menjadi responden dalam penelitian capaian kinerja seperti yang tertera pada Tabel 1.
kemudian ditentukan berdasarkan Puskesmas tempat
berpraktek yang mewakili setiap kecamatan yang ada Tabel 1. Kategori Pencapaian Sasaran
di Kota Banjarmasin yaitu Puskesmas Banjarmasin Urutan %Capaian Kategori
Indah pada Kecamatan Banjarmasin Barat, Puskesmas I >90% Sangat Berhasil
Alalak Tengah pada Kecamatan Banjarmasin Utara, II 75%-90% Berhasil
Puskesmas Cempaka Putih pada Kecamatan III 65%-75% Cukup Berhasil
Banjarmasin Timur, Puskesmas Teluk Dalam pada IV 50%-65% Kurang Berhasil
Kecamatan Banjarmasin Tengah dan Puskesmas V <50% Tidak Berhasil
Pekauman pada Kecamatan Banjarmasin Selatan.
Analisis faktor yang mempengaruhi kinerja
Kriteria Inklusi dan Eksklusi apoteker di Puskesmas Kota Banjarmasin dianalisis
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah secara deskriptif berdasarkan data yang diperoleh
Apoteker yang melakukan pelayanan farmasi klinik dari hasil analisis kinerja apoteker berdasarkan
di Puskesmas Kota Banjarmasin. Kriteria eksklusi indikator pelayanan farmasi klinik serta hasil
dalam penelitian ini adalah apoteker dengan data wawancara mendalam. Hasil analisis disajikan
pekerjaan kefarmasian pada pelayanan farmasi dalam bentuk narasi disertai penjelasan mengenai
klinik yang tidak dapat diakses. faktor yang mempengaruhi kinerja Apoteker di
Puskesmas kota Banjarmasin.
Pengumpulan dan Seleksi Data
Penentuan sampel pada penelitian ini dilakukan HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan purposive sampling, yang merupakan teknik Penelitian ini melibatkan responden sebanyak
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. 5 (lima) responden yaitu Penelitian ini melibatkan
Puskesmas yang digunakan pada penelitian ini adalah responden sebanyak 5 (lima) responden yaitu Apoteker

Analisis Kinerja Apoteker dalam Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas Kota Banjarmasin (Karina Erlianti, Hasniah, dan Lia Mardiana)
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol. 7 No. 1 November 2021 29

yang melakukan pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kinerja Apoteker Dalam Pelayanan Farmasi Klinis
Kota Banjarmasin. Penelitian ini dilakukan pada 5 Pelayanan farmasi klinik adalah bagian dari
(lima) puskesmas di Kota Banjarmasin. Puskesmas pelayanan kefarmasian yang langsung dan
yang dipilih sebagai lokasi penelitian mewakili setiap bertanggung jawab kepada pasien. Pelayanan
kecamatan di Kota Banjarmasin dan didasarkan pada farmasi klinik bertujuan untuk meningkatkan mutu
kunjungan pasien perhari ke puskesmas. Puskesmas dan memperluas cakupan pelayanan kefarmasian di
yang dipilih secara purposive sampling sebagai lokasi Puskesmas, memberikan pelayanan kefarmasian
pada penelitian ini yaitu puskesmas yang tertera yang dapat menjamin efektivitas, keamanan dan
pada Tabel 2. efisiensi obat, meningkatkan kerjasama dengan
profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien yang
Tabel 2. Puskesmas Lokasi Penelitian terkait dalam pelayanan kefarmasian serta,
Rata-rata
melaksanakan kebijakan obat di Puskesmas dalam
Nama Puskesmas Kecamatan Kunjungan
Pasien/Hari rangka meningkatkan penggunaan Obat secara
Banjarmasin Banjarmasin Barat 52 rasional. Capaian kinerja apoteker dalam melakukan
Indah pelayanan farmasi klinik pada penelitian ini di
Alalak Tengah Banjarmasin Utara 54
analisis melalui aspek pengkajian dan pelayanan
Teluk Dalam Banjarmasin Tengah 71
Cempaka Putih Banjarmasin Timur 79 resep, konseling serta evaluasi penggunaan obat.
Pekauman Banjarmasin Selatan 180
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Karakteristik Responden Pengkajian resep merupakan kegiatan yang
Responden yang mengikuti penelitian ini dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
merupakan apoteker yang bekerja di lima (5) puskesmas farmasetik dan klinis sedangkan pelayanan resep
kota Banjarmasin yang mewakili setiap kecamatan yang merupakan kegiatan yang terdiri dari penyerahan
terdapat di Kota Banjarmasin dan bersedia mengikuti (dispensing) dan Pemberian Informasi Obat yang
penelitian ini. Bersedianya responden dalam mengikuti bertujuan agar pasien memperoleh Obat sesuai
penelitian ini ditandai dengan kesediaannya untuk dengan kebutuhan pengobatan dan memahami tujuan
menandatangani informed consent setelah menerima pengobatan serta mematuhi instruksi pengobatan
penjelasan dari peneliti secara lengkap terkait dengan yang telah ditentukan (Kemenkes RI, 2016). Kinerja
penelitian yang dilakukan. Karakteristik yang di- apoteker dalam melakukan pengkajian dan
identifikasi dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, pelayanan resep dalam penelitian ini dilakukan
usia, pendidikan, lama bekerja, status kepegawaian dan dengan obeservasi langsung di lapangan dengan
Penghasilan. Variabel usia dibagi menjadi <35 tahun dan menggunakan daftar tilik. Observasi terhadap
≥ 35, serta variabel lama masa kerja dibagi menjadi pengkajian resep yang dilakukan oleh apoteker
<8 tahun dan ≥8 tahun yang didasarkan atas rata-rata diamati dengan daftar tilik pengkajian resep dengan
dari keseluruhan usia dan masa kerja sebagai cut of hasil seperti yang tercantum pada tabel 4.
point. Sebaran karakteristik responden secara rinci
Tabel 4. Hasil Observasi Pengkajian Resep
dapat dilihat pada tabel 3.
Target Puskesmas Skor Capaian Kategori
Skor (%) Capaian
Tabel 3. Karakteristik Responden
10 Alalak Tengah 7,50 75,00 Sedang
Apoteker Banjarmasin 8,33 83,30 Tinggi
Variabel Kategori (N=5) Indah
N % Cempaka Putih 9,16 91,60 Sangat Tinggi
Jenis Perempuan 2 40 Pekauman 9,16 91,60 Sangat Tinggi
Kelamin Laki-laki 3 60 Teluk Dalam 9,16 91,60 Sangat Tinggi
Usia <35 Tahun 2 40 Rata-rata±SD 8,66 86,62 Tinggi
≥35 Tahun 3 60
Pendidikan Apoteker 5 100
Proses ini merupakan tahapan yang penting
Lama <8 Tahun 3 60
Bekerja ≥8 Tahun 2 40 untuk memastikan kebenaran resep yang akan dilayani
Penghasilan <Rp3.600.000,00 1 20 karena dapat mencegah terjadinya kesalahan obat
≥Rp3.600.000,00 4 80 (Hartanto, 2017). Penelitian ini menunjukkan bahwa
30

skor yang didapatkan apoteker dalam melakukan obat saat penyerahan memperoleh skor sebesar 8,28
pengkajian resep adalah sebesar 8,66 dan apabila atau sebesar 82,70% (kategori tinggi) setelah diubah
diubah kedalam persentase capaian maka capaian kedalam persentase capaian. Penelitian ini
kinerja apoteker pada indikator ini adalah sebesar menunjukkan terdapat beberapa kegiatan atau
86,62% atau termasuk dalam kategori tinggi. standar yang belum dipenuhi apoteker dalam aspek
Penelitian ini menunjukkan capaian kinerja ini. Beberapa kegiatan yang belum dilakukan
apoteker pada indikator ini telah termasuk kedalam apoteker diantaranya adalah memberikan informasi
kategori tinggi, namun masih terdapat beberapa efek samping obat kepada pasien, memberikan
kegiatan yang belum dilakukan oleh Apoteker di informasi cara penyimpanan obat sesuai aturan serta
Puskesmas Kota Banjarmasin dalam pengkajian memastikan bahwa pasien telah mengerti cara
resep seperti memberikan nomor urut pada resep, pemakaian obat. Tidak semua apoteker di
pemeriksaan alergi, interaksi dan efek samping obat Puskesmas Kota Banjarmasin memberikan informasi
serta, pemeriksaan kontra indikasi. Di Puskesmas mengenai efek samping obat, kebanyakan apoteker
Kota Banjarmasin, meskipun resep tidak diberikan hanya menyampaikan efek samping obat yang
nomor urut pengerjaan dan pelayanan resep tetap sering terjadi misalnya obat yang memiliki efek
dilakukan sesuai dengan urutan masuknya. samping mengiritasi lambung. Informasi mengenai
Apoteker di Puskesmas Kota Banjarmasin penyimpanan hampir semua apoteker di puskesmas
menyatakan bahwa pemberian nomor urut pernah tidak menyampaikan nya kepada pasien, informasi
dilakukan namun dirasa tidak efektif sehingga nomor penyimpanan hanya dilakukan pada obat-obat
urut tidak digunakan lagi namun apoteker tetap men- tertentu yang harus disimpan pada kondisi khusus
jamin bahwa resep tetap dilayani sesuai dengan urutanya. misalnya suppositoria serta tidak semua apoteker
Pemeriksaan alergi, interaksi, efek samping dan kontra memastikan kembali bahwa pasien telah mengerti
indikasi jarang dilakukan. Pemeriksaan alergi hanya cara pakai obat yang telah disampaikan. Pemberian
dilakukan pada pasien yang pertama kali berobat di informasi yang benar, objektif dan lengkap akan
Puskesmas terkait, sedangkan efek samping hanya di mendukung pemberian pelayanan kesehatan yang
amati pada obat-obat tertentu yang sering menimbulkan terbaik kepada masyarakat sehingga kemanfaatan
reaksi efek samping pada kebanyakan pasien misalnya dan keamanan penggunaan obat dapat meningkat
captopril yang dapat menyebabkan batuk kering. (Wibowo et al., 2016). Pernyataan tersebut juga
Interaksi obat hanya dilihat sekilas atau tidak terlalu didukung oleh penelitian sebelumnya yang
diperhatikan karena apoteker di Puskesmas Kota menyatakan bahwa informasi yang lengkap dan jelas
Banjarmasin menganggap bahwa obat yang diresepkan sangat diperlukan untuk disampaikan kepada pasien,
dokter di Puskesmas tersebut merupakan obat yang karena pemberian informasi yang jelas dan lengkap
hampir sama setiap harinya. Penelitian sebelumnya dapat meminimalisasi terjadinya medication error
menyatakan bahwa Pemeriksaan alergi, interaksi, efek dan meningkatkan efikasi obat yang digunakan oleh
samping dan kontra indikasi jarang dilakukan pasien (Latifah, Pribadi and Yuliastuti, 2016).
dikarenakan adanya keterbatasan sumber daya
manusia dan waktu yang lebih banyak, meskipun Tabel 5. Hasil Observasi Penyerahan dan Pemberian
sebenarnya pertimbangan-pertimbangan tersebut Informasi Obat
Target Puskesmas Skor Capaian Kategori
merupakan hal yang penting dilakukan untuk
Skor (%) Capaian
mencegah terjadinya medication error (Latifah, 10 Alalak 7,15 71,50 Sedang
Pribadi and Yuliastuti, 2016). Tengah
Kinerja Apoteker dalam melakukan pelayanan Banjarmasi 8,50 85,00 Tinggi
n Indah
resep diobservasi langsung dengan menggunakan daftar
Cempaka 9,28 92,80 Sangat Tinggi
tilik penyerahan dan pemberian informasi obat kepada Putih
pasien saat melakukan penyerahan obat. Hasil observasi Pekauman 9,28 92,80 Sangat Tinggi
terhadap kinerja apoteker dalam penyerahan dan Teluk 7,14 71,40 Sedang
pemberian informasi obat dapat dilihat pada tabel 5. Dalam
Rata- 8,28 82,70 Tinggi
Hasil dari penelitian ini menunjukkan kinerja rata±SD
apoteker dalam penyerahan dan pemberian informasi
Analisis Kinerja Apoteker dalam Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas Kota Banjarmasin (Karina Erlianti, Hasniah, dan Lia Mardiana)
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol. 7 No. 1 November 2021 31

2. Konseling oleh dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan


Konseling adalah proses yang dilakukan untuk terbuka, melakukan konseling pada ruangan khusus
mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien konseling dan konseling yang dilakukan terdokumentasi
yang berkaitan dengan penggunaan obat. Konseling dengan baik. Di Puskesmas Kota Banjarmasin apoteker
bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar tidak melakukan konseling di ruangan khusus karena
mengenai obat kepada pasien maupun keluarga pasien semua Puskesmas di Kota Banjarmasin belum memiliki
terkait dengan tujuan dan jadwal pengobatan, cara fasilitas ruang konseling. Penelitian yang dilakukan
dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda Ejeta menunjukkan bahwa tidak tersedianya ruangan
toksisitas serta cara penyimpanan dan penggunaan konseling pada fasilitas kefarmasian merupakan
obat (Kemenkes RI, 2016). salah satu penyebab tidak optimal nya pelaksanaan
Capaian kinerja apoteker dalam melakukan konseling oleh Apoteker kepada pasien (Ejeta et al.,
konseling di Puskesmas Kota Banjarmasin pada 2021). Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin tidak
penelitian ini diobservasi langsung dengan mengharuskan apoteker untuk mendokumentasikan
menggunakan daftar tilik konseling. Hasil observasi konseling yang dilakukan dan apoteker di Puskesmas
menunjukkan kinerja apoteker dalam melakukan Kota Banjarmasin mengaku belum tahu bagaimana
konseling ditunjukan pada tabel 6. konseling harus didokumentasikan, misalnya terkait
dengan format atau bentuk lembar dokumentasinya.
Tabel 6. Hasil Observasi Konseling
Apoteker di Puskesmas Kota Banjarmasin menyatakan
Target Capaian Kategori
Puskesmas Skor bahwa meskipun konseling telah dilakukan kepada
Skor (%) Capaian
beberapa pasien sebenarnya terdapat beberapa kendala
10 Alalak Tengah 7,50 75 Sedang
Banjarmasin 7,50 75 Sedang
dalam melakukan konseling seperti keterbatasan
Indah yang telah disebutkan sebelumnya yaitu keterbatasan
Cempaka 6,25 62,5 Rendah fasilitas (ruangan konseling) serta keterbatasan
Putih tenaga, dimana setiap Puskesmas di Kota Banjarmasin
Pekauman 7,50 75 Sedang hanya memiliki satu apoteker yang juga melakukan
Teluk Dalam 6,25 62,5 Rendah pelayanan resep dan tanggung jawab administratif
Rata-rata±SD 7,00 70,00 Sedang lainnya. Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara
yang dilakukan bahwa apoteker di Puskesmas lebih
Hasil observasi pada penelitian ini menunjukkan
disibukan dengan tanggung jawab administratif dan
konseling yang dilakukan oleh apoteker di Puskesmas
tugas pelayanan kefarmasian lainnya (Narasi 1).
Kota Banjarmasin memiliki skor sebesar 7,00 dengan
“Konseling memang jarang dilakukan, dikarenakan
persentase capaian kinerja sebesar 70,00% atau
keterbatasan waktu dan tenaga yang ada di
termasuk dalam kategori tinggi. Hasil penelitian ini
puskesmas. Beban kerja Apoteker di Puskesmas
menunjukkan masih terdapat kegiatan yang belum
sudah sangat berat pada adminstrasi, pengelolaan
dilakukan apoteker pada indikator konseling ini.
obat dan pelayanan resep”
Idealnya konseling harus dilakukan dengan baik dan
Penelitian yang dilakukan oleh Rajiah dkk.
benar, karena konseling memiliki peran yang sangat
(2016) juga menyatakan hal yang serupa, yaitu
penting tidak hanya dapat meningkatkan kepatuhan
apoteker berpersepsi positif dalam melakukan
pasien tetapi juga dapat mengurangi komplikasi
konseling kepada pasien namun dalam melakukan
penyakit yang dapat terjadi sebagai akibat dari
konseling tersebut apoteker merasa masih memiliki
ketidaktaatan terhadap pengobatan (Palaian, Prabhu
beberapa kendala seperti waktu yang tidak
and Shankar, 2006). Konseling yang diberikan
mencukupi untuk melakukan konseling diantara
kepada pasien dapat meningkatkan kepatuhan
tanggung jawab lainnya, jumlah apoteker yang tidak
pengobatan pasien dan kepuasan terhadap kepuasan
mencukupi di fasilitas kesehatan, kurang nya rasa
pengobatan sehingga secara meningkatkan outcome
percaya diri apoteker untuk melakukan konseling
klnis pada pengobatan pasien (Sanii et al., 2016).
serta adanya penolakan dari pasien ketika
Kegiatan atau standar yang masih belum
ditawarkan untuk diberikan konseling (Rajiah et al.,
dilakukan pada aspek konseling diantaranya adalah
2016).
menanyakan hal-hal mengenai obat yang dikatakan
32

3. Evaluasi Penggunaan Obat


Evaluasi penggunaan obat adalah kegiatan Tabel 7. Persentase Penggunaan Obat Generik
yang dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan Target Puskesmas Realisasi Capaian Kategori
obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk Skor (10%) (%) Capaian
90% Alalak 84 93,33 Sangat Tinggi
menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi, Tengah
efektif, aman dan terjangkau (Kemenkes RI, 2016). Banjarmasin 98 100 Sangat Tinggi
Kinerja apoteker pada evaluasi penggunaan obat Indah
dalam penelitian ini dilihat dari indikator peresepan Cempaka 99 100 Sangat Tinggi
Putih
yang terdiri dari persentase penggunaan obat
Pekauman 97 100 Sangat Tinggi
generik, persentase penggunaan antibiotik diare non Teluk 92 100 Sangat Tinggi
spesifik dan ISPA non pneumonia serta persentase Dalam
penggunaan injeksi untuk myalgia dan rata- rata Rata-rata 94 100 Sangat Tinggi
item obat dalam resep. Indikator peresepan
merupakan indikator yang digunakan untuk Penggunaan obat generik di Puskesmas Kota
mengukur capaian keberhasilan penggunaan obat Banjarmasin telah sesuai dengan standar dengan
yang rasional dalam pelayanan kesehatan persentase realisasi adalah sebesar 94%, dengan
(Kemenkes RI, 2011). Pengobatan yang tidak capaian kinerja termasuk dalam kategori sangat
rasional dapat berupa peresepan obat tanpa indikasi tinggi (100%). Realisasi penggunaan obat generik di
yang jelas, penentuan dosis, cara, dan lama Puskesmas Kota Banjarmasin adalah sebesar 94%.
pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang Penelitian lain nya yang dilakukan oleh Handayani
mahal merupakan. Penggunaan suatu obat dikatakan dkk. (2009) juga menunjukkan bahwa penggunaan
tidak rasional jika kemungkinan dampak negatif obat generik di puskesmas sudah baik dengan rata-
yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding rata sebesar 98,82% (Handayani, R et al., 2009).
manfaatnya. Dampak negatif tersebut dapat berupa Penelitian lainnya menunjukkan penggunaan obat
dampak klinik misalnya terjadinya efek samping dan generik di Puskesmas Kota Pariaman adalah sebesar
resistensi kuman dan dampak ekonomi atau biaya 97,27% atau dapat dikatakan juga telah memenuhi
tidak terjangkau yang disebabkan ketidak rasionalan standar yang ditetapkan (Chaira, Zaini and Augia,
penggunaan obat. Data-data indikator peresepan 2016). Tercapainya standar ini didukung dengan
dalam penelitian ini didapatkan melalui penelusuran pengadaan obat di Puskesmas yang harus dilakukan
dokumen di Puskesmas, yaitu meliputi: sesuai dengan Formularium Nasional yang berisi
daftar obat dengan nama generik atau senyawa
a) Persentase Penggunaan Obat Generik
kimianya yang menjadi acuan dalam pemberian
Obat generik merupakan obat dengan nama
terapi kepada pasien (Tanner, Ranti and Lolo, 2015).
resmi International Non Propietary Names (INN) yang
Obat-obat non generik yang diresepkan di Puskesmas
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku
Kota Banjarmasin merupakan obat-obat kombinasi
standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya
yang tidak ada sediaan generiknya serta obat-obat
(Kemenkes RI, 2010). Dalam Peraturan Menteri
yang sediaan generiknya tidak tersedia atau kosong
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang
didistributor. Terkadang untuk menghindari
Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas
kekosongan, apoteker mengganti obat generik yang
Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dinyatakan
kosong didistributor dengan obat branded yang
bahawa Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota
memiliki khasiat sama. Penelitian lain yang
wajib membuat perencanaan, pengadaan,
dilakukan Tanner dkk. (2015) menerangkan bahwa
penyimpanan, penyediaan, pengelolaan dan
alasan peresepan obat non generik oleh dokter
pendistribusian obat kepada puskesmas dan
difasilitas kesehatan adalah beberapa obat kombinasi
pelayanan kesehatan lainnya (Kemenkes RI, 2010).
akan menjadi tidak praktis dan menyulitkan pasien
Target standar persentase penggunaan obat generik
apabila dituliskan dengan nama generik, misalnya
di Puskesmas pada tahun 2016 adalah sebesar 90%
obat kombinasi dengan merk dagang Neurodex®
(Kemenkes RI, 2015). Hasil dari penelitian ini
tablet akan lebih praktis dan memudahkan pasien
ditunjukan pada Tabel 7.
apabila diresepkan dan diberikan dengan merk

Analisis Kinerja Apoteker dalam Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas Kota Banjarmasin (Karina Erlianti, Hasniah, dan Lia Mardiana)
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol. 7 No. 1 November 2021 33

dagang tersebut dibandingkan harus memberikan Penelitian lainnya yang dilakukan pada tahun 2007
satu persatu kandungan zat aktif dari obat tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jumlah item obat dalam
yaitu Vitamin B1, B6 dan B12, selain itu alasan resep di fasilitas kesehatan di Kota Bandung, Surabaya
lainnya adalah faktor pasien yang meminta untuk dan Makassar adalah sebesar 2,66 (Yuniar and
tidak diresepkan obat generik karena pengetahuan Handayani, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh WHO
pasien yang masih kurang akan obat generic pada tahun 1990-1993 dalam Quick (2012), meng-
(Tanner, Ranti and Lolo, 2015). Oleh karena itu gambarkan bahwa rata-rata item obat yang diresepkan
untuk meningkatkan persentase penggunaan obat di Indonesia berjumlah lebih dari 3 obat perlembar
generik di puskesmas diperlukan peran apoteker resep. Dari tiga penelitian tersebut dapat dilihat bahwa
untuk melakukan pengadaan obat-obat yang sesuai pada indikator ini fasilitas kesehatan di Indonesia
dengan Fornas, melakukan komunikasi kepada penulis terus mengalami perbaikan (Quick et al., 2012).
resep untuk senantiasa meresepkan obat generik Menurut Yuniar dkk. (2007), tingginya rata-rata
serta memberikan pengetahuan dan pemahaman jumlah obat dalam resep dapat disebabkan oleh
kepada masyarakat mengenai obat generik. beberapa hal yaitu terjadi kekurangan obat-obat yang
b) Rata-rata Item Obat Dalam Resep tepat secara terapetik, penulis resep kurang mendapat
Rata-rata jumlah item obat dalam resep adalah training terapetik atau peralatan diagnostik yang layak,
indikator yang digunakan untuk mengukur derajat penulis resep berfokus untuk menghilangkan gejala
polifarmasi. Polifarmasi merupakan penggunaan banyak bukan pada diagnosis, pengobatan yang diberikan tanpa
obat secara bersamaan yang melebihi kebutuhan adanya pengujian klinis terhadap kondisi pasien, adanya
pengobatan pasien secara klinis (Holmes, 2012). permintaan pasien untuk diberikan obat-obat tambahan
Polifarmasi farmasi dapat menyebabkan efek negatif tertentu serta adanya insentif finansial yang mendukung
dari penggunaan suatu obat seperti reaksi efek terjadinya polifarmasi (Yuniar and Handayani, 2007).
samping dan interaksi obat (Kim et al., 2014). Rata- Polifarmasi dapat mengindikasikan bahwa obat-obat
rata jumlah item obat dalam resep di Puskesmas yang diterima oleh pasien merupakan obat yang tidak
Kota Banjarmasin yaitu seperti yang tercantum pada tepat, manfaatnya belum terbukti secara klinis,
Tabel 8. memiliki kemungkinan terjadinya interaksi obat dan
akan mengakibatkan menurunnya kepatuhan pasien
Tabel 8. Rata-rata Item Obat Dalam Resep dalam konsumsi obat karena jumlah obat yang
Target Realisasi Capaian Kategori terlalu banyak (Duerden and Rupert, 2014)
Puskesmas
Skor (100%) (%) Capaian
≤3 Alalak 3 100 Sangat Tinggi
c. Persentase Penggunaan Antibiotiok Pada Diare
Tengah Non Spesifik dan ISPA Non Pneumonia
Banjarmasin 3 100 Sangat Tinggi Antibiotik adalah senyawa yang berfungsi
Indah untuk membunuh atau menekan pertumbuhan bakteri.
Cempaka 2,58 100 Sangat Tinggi
Putih
Antibiotik harus digunakan secara tepat dan rasional
Pekauman 3 100 Sangat Tinggi karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
Teluk Dalam 3 100 Sangat Tinggi menimbulkan kerugian baik secara klinis maupun
Rata-rata 2,92 100 Sangat Tinggi finansial. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat
dapat menyebabkan terjadinya reaksi efeksamping,
Hasil penelitian ini menunjukkan kinerja mengganggu sistem imunitas dan menyebabkan
apoteker di Puskesmas Kota Banjarmasin pada bakteri-bakteri menjadi resistensi terhadap antibiotik
indikator ini adalah sangat tinggi dengan capaian (Rifa’i, Sudarso and Anjar, 2011). Resistensi
sebesar 100%. Rata-rata jumlah item obat dalam antibiotik merupakan keadaan dimana pertumbuhan
resep di Puskesmas Kota Banjarmasin telah memenuhi bakteri tidak lagi dapat terhambat dengan pemberian
standar yang ditetapkan yaitu sebesar 2,92 item obat antibiotika pada dosis normal atau kadar hambat
perlembar resep. Rata-rata jumlah item obat dalam resep minimalnya (Tripathi, 2003). Bakteri yang resistensi
pada masing-masing Puskesmas Kota Banjarmasin terhadap antibiotik akan mampu bertahan hidup dan
telah memenuhi standar yang ditetapkan atau tidak berkembang biak yang kemudian akan menimbulkan
ada puskesmas Kota Banjarmasin yang memiliki lebih banyak bahaya bagi tubuh (Nugroho, 2011).
rata-rata jumlah obat dalam resep lebih dari 3 (tiga).
34

Namun, sebagaian besar penulis resep masih cenderung antibiotik pada diare non spesifik adalah sebesar
meresepkan antibiotik untuk diagnosis-diagnosis yang 29% dan persentase penggunaan antibiotik pada
sebetulnya tidak diperlukan antibiotik dalam terapinya ISPA non pneumonia sebesar 38%. Penggunaan
seperti diare non spesifik dan ISPA non Pneumonia. antibiotik yang berlebihan di puskesmas dapat
Peran apoteker dalam hal ini yaitu mengkomunikasikan diatasi dengan pembuatan panduan terapi yang
kepada dokter mengenai peresepan antibiotik dan merupakan salah satu perangkat untuk tercapainya
melakukan konfirmasi kepada dokter apabila penggunaan obat rasional. Penelitian yang dilakukan
ditemukan resep berisi antibiotik terutama untuk oleh Kardela dkk. (2014) menunjukkan penggunaan
pasien diare non spesifik dan ISPA non Pneumonia. persentase antibiotik di Puskesmas Jakarta Selatan
Realisasi dan capaian kinerja apoteker di yang menunjukkan hasil yang hampir sama dengan
Puskesmas Kota Banjarmasin pada indikator persentase penggunaan antibiotik di Puskesmas Kota
persentase penggunaan antibiotik pada diare non Banjarmasin yaitu mencapai 56% pada puskesmas
spesifik adalah seperti yang tercantum pada tabel 9. perawatan dan 32,67% pada puskesmas non
Tabel 9. Persentase Penggunaan Antibiotik Pada perawatan (Kardela, Andrajati and Supardi, 2014).
Diare Non Spesifik Pelaporan Dinas Kesehatan Provinsi terkait data
Target
Puskesmas
Realisasi Capaian Kategori peresepan nasional pada tahun 2011 sampai 2015
Skor (100%) (%) Capaian
≤8% Alalak 27 79,35 Sangat Tinggi
menunjukkan bahwa persentase penggunaan
Tengah antibiotik pada diare nonspesifik mencapai >40%
Banjarmasin 83 18,48 Sangat Tinggi dan pada ISPA non spesifik mencapai >35%
Indah
Cempaka 0 100 Sangat Tinggi (Infarkes, 2016). Hasil penelitian ini menunjukkan
Putih terdapat peningkatan capaian terhadap penggunaan
Pekauman 12 95,65 Sangat Tinggi antibiotik baik pada diare non spesifik maupun ISPA
Teluk Dalam 23 83,70 Sangat Tinggi
Rata-rata±SD 29 75,43 Sangat Tinggi non pneumonia dibandingkan dengan capaian
nasional pada tahun 2011- 2015. Penulis resep
Realisasi dan capaian kinerja apoteker di sebaiknya lebih berfokus dalam pemberian oralit
Puskesmas Kota Banjarmasin pada indikator persentase yang lebih dianjurkan pada pasien dengan diare non
penggunaan antibiotik pada ISPA non Pneumonia spesifik untuk mencegah terjadinya dehidrasi
adalah seperti yang tercantum pada tabel 10. dibandingkan dengan pemberian antibiotika karena
Tabel 10. Persentase Penggunaan Antibiotik Pada terjadinya dehidrasi dapat membahayakan jiwa
ISPA non Pneumonia terutama pada anak yang mengalami diare
Target Puskesmas Realisasi Capaian Kategori (Kemenkes RI, 2011). Pada kasus ISPA, sebagian
Skor (100%) (%) Capaian
besar kasus ISPA bukan disebabkan oleh bakteri
≤20% Alalak 48 65 Rendah
Tengah tetapi disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan
Banjarmasin 91 1,80 Sangat Rendah antibiotika dalam terapinya. Pemberian antibiotik
Indah pada ISPA non pneumonia termasuk kedalam
Cempaka 0 100 Sangat Tinggi
Putih
peresepan yang berlebihan yaitu pemberian obat
Pekauman 8 100 Sangat Tinggi yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit
Teluk Dalam 43 71,25 Sedang yang bersangkutan (Kemenkes RI, 2011). Peresepan
Rata-rata±SD 38 67,61 Sedang antibiotik yang tidak perlu dan berlebihan dapat
disebabkan karena adanya persepsi pasien bahwa
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja pengobatan dengan menggunakan antibiotik akan
apoteker dalam indikator persentase penggunaan lebih efektif dibandingkan pengobatan tanpa
antibiotik pada diare non spesifik termasuk dalam antibiotik sehingga pasien yang percaya dengan
kategori tinggi dengan capaian kinerja 75,44% dan efektifitas antibiotik akan diresepkan antibiotik lebih
persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non sering oleh dokter, oleh karena itu pasien perlu
Pneumonia termasuk dalam kategori sedang dengan diberikan informasi dan pemahaman lebih lanjut
capaian sebesar 67,61%, meskipun pada realisasinya mengenai antibiotik (Chang et al., 2019). Peresepan
kedua indikator tersebut belum memenuhi target antibiotik yang berlebihan dan tidak rasional dapat
yang telah ditetapkan dimana persentase penggunaan menjadi ancaman yang serius karena dapat
Analisis Kinerja Apoteker dalam Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas Kota Banjarmasin (Karina Erlianti, Hasniah, dan Lia Mardiana)
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol. 7 No. 1 November 2021 35

mempercepat terjadinya resitensi antibiotik dan intervensi meskipun hasil tersebut belum sesuai dengan
memperlambat penemuan dan pengembagan agen standar yang telah ditetapkan (Dwiprahasto, 2006).
antibakteri yang baru (Mamo and Alemu, 2020). Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk dapat menyebabkan kerugian baik dari segi klinis
mengatasi dan mengubah kebiasaan terkait dengan maupun finansial. Kerugian klinis yang mungkin
penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan akan terjadi adalah meningkatnya resiko terjadinya
berlebihan ini adalah dengan adanya komunikasi syok anafilaksis pada pasien dan secara finansial akan
yang efektif antara apoteker dan dokter serta tenaga merugikan pasien maupun puskesmas karena harga
kesehatan lainya terkait dengan persepan antibiotik sediaan injeksi yang cenderung lebih mahal dibanding-
yang berlebihan. kan dengan sediaan oral (Kemenkes RI, 2011).
d. Persentase Penggunaan Injeksi Pada Myalgia Penjelasan diatas menggambarkan bahwa
Myalgia merupakan nyeri otot yang yang kinerja apoteker dalam melakukan pelayanan farmasi
disebabkan kerja, beban dan penguluran otot yang klinis sudah baik, tidak ada indikator yang berada pada
berlebihan serta cedera otot yang disebabkan aktivitas kategori rendah dan sangat rendah. Namun terdapat
sehari-hari. Tatalaksana terapi mylagia pada fasilitas indikator dengan kategori capaian kinerja sedang yang
kesehatan primer adalah dengan menggunakan obat perlu ditingkatkan kembali capaiannya. Indikator yang
antiinflamasi steroid atau obat antiinflamasi nonsteroid berada pada ketegori sedang tersebut adalah persentase
oral, sehingga penggunaan injeksi bukan merupakan penggunaan antibiotik pada ISPA non penumonia dan
hal yang tepat untuk diberikan pada pasien myalgia konseling. Konseling harus tetap dilakukan dengan
(Kemenkes RI, 2014). Selain itu penggunaa injeksi persetujuan pasien meskipun di Puskesmas Kota
lebih ditujukan untuk pelayanan kesehatan rawat Banjarmasin tidak terdapat ruang konseling apoteker
inap di rumah sakit atau tempat praktik dokter yang dan juga perlu dilakukannya dokumentasi konseling.
dilakukan oleh dokter atau perawat yang kompeten. Kegiatan dokumentasi perlu dilakukan untuk evaluasi
Puskesmas di Kota Banjarmasin merupakan puskesmas kegiatan dalan upaya peningkatan mutu pelayanan.
rawat jalan sehingga seharusnya tidak ada sediaan Dokumentasi kegiatan konseling sendiri perlu dilakukan
injeksi yang digunakan selain di ruang poligigi. untuk mendapatkan profil pasien, mengetahui riwayat
Kinerja apoteker dalam indikator persentase penyakit pasien, memantau kepatuhan pasien dalam
penggunaan injeksi pada myalgia di Puskesmas Kota berobat, mengevaluasi pemahaman pasien tentang
Banjarmasin ditunjukan pada tabel 11. pengobatan, menyediakan data apabila terjadi tuntutan
Tabel 11. Persentase Penggunaan Injeksi Pada pada kesalahan penggunaan obat, menyediakan data
Myalgia untuk evaluasi kegiatan kefarmasian serta menyediakan
Target Puskesmas Realisasi Capaian Kategori data untuk evaluasi terapi (Depkes RI, 2006).
Skor (100%) (%) Capaian
≤1% Alalak Tengah 0 100 Sangat Tinggi Batasan Penelitian
Banjarmasin 0 100 Sangat Tinggi Penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk
Indah
mengetahui pencapaian apoteker terhadap tugas dan
Cempaka Putih 0 100 Sangat Tinggi
Pekauman 0 100 Sangat Tinggi kewajibannya dalam melaksanakan pelayanan farmasi
Teluk Dalam 0 100 Sangat Tinggi klinik di Puskesmas sesuai dengan target dan standar
Rata-rata±SD 0 100 Sangat Tinggi yang telah ditetapkan sehingga dapat digunakan sebagai
masukan untuk terus meningkatkan kinerja apoteker
Penelitian ini menunjukkan kinerja apoteker pada di Puskesmas agar dapat memberikan pelayanan
indikator ini termasuk dalam kategori sangat tinggi kefarmasian yang sesuai dengan standar, selain itu
dengan capaian 100%. Penelitian ini menunjukkan hasil dari analisis kinerja apoteker juga dapat digunakan
bahwa injeksi pada myalgia sudah tidak pernah lagi sebagai dasar dalam pemberian insentif berbasis
digunakan di Puskesmas Kota Banjarmasin. Penelitian kinerja bagi apoteker di Puskesmas. Penelitian ini
yang dilakukan oleh Dwiprahasto (2006) menunjukkan juga memiliki beberapa keterbatasan yaitu belum
persentase pemberian injeksi pada kasus myalgia semua aspek farmasi klinik yang terdapat pada PMK
sebelum intervensi diberikan adalah sebesar 69,11% 74 tahun 2016 dianalisis; pengisian daftar tilik masih
dan menurun menjadi 31,89% setelah dilakukan dilakukan atas prespektif peneliti dan hanya dilakukan
36

selama satu minggu pada setiap puskesmas. Selain itu Handayani, R, S. et al. (2009). Ketersediaan dan
wawancara hanya dilakukan kepada satu informan Peresepan Obat Generik dan Obat Esensial di
yaitu Apoteker Kepala Bidang Pelayanan dan Sumber Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di 10
Kabupaten/Kota di Indonesia, Buletin
Daya Kesehatan yang membawahi seksi Kefarmasian
Penelitian Sistem Kesehatan, 13, pp. 54–60.
Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin.
Hartanto, F.. (2017). Analisis Ketaatan Pelaksanaan
KESIMPULAN standar prosedur operasional pelayanan
Kinerja apoteker dalam pelayanan farmasi klinik kefarmasian : studi pada puskesmas
di Puskesmas pada era Jaminan Kesehatan Nasional terakreditasi di kabupaten sleman. Universitas
berada pada kategori sangat tinggi pada aspek peng- Gadjah Mada Yogyakarta.
gunaan obat generik, rata-rata item obat dalam resep
Holmes, H. (2012). Olypharmacy, An Issue Of Clinics
dan penggunaan injeksi pada myalgia. Kategori kinerja In Geriatric Medicine. Elsivier Health Sciences,
yang tinggi ditunjukkan pada aspek pengkajian resep, Elsivier Health Sciences, pp. 440–445.
rata-rata item obat dalam resep dan penggunaan
antibiotik pada diare non spesifik. Kategori kinerja Infarkes, (2016). Tantangan Dalam Pelayanan
sedang ditunjukkan melalui aspek konseling pasien Kefarmasian Antibiotik Bijak Demi Masa
dan penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia. Depan. Jakarta: Informasi Kesehatan dan Alat
Kesehatan Dikrektorat Jendral Kefarmasian
Dan Alat Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaira, S., Zaini, E. and Augia, T. (2016). Evaluasi Kardela, W., Andrajati, R. and Supardi, S. (2014).
Pengelolaan Obat pada Puskesmas di Kota Perbandingan Penggunaan Obat Rasional
Pariaman, Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3, Berdasarkan Indikator WHO di Puskesmas
pp. 35–41. Kecamatan antara Kota Depok dan Jakarta
Selatan, Jurnal Kefarmasian Indonesia, 4, pp.
Chang, Y. et al. (2019). Clinical pattern of antibiotic 91–102.
overuse and misuse in primary healthcare
hospitals in the southwest of China, Plos ONE. Kemenkes RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, Nomor HK.02.02/
Coombes, I. et al. (2010). Improvement in MENKES/068/I/2010, tentang Kewajiban
Pharmacist’s Performance Facilitated by an Menggunakan Obat Generik di Fasilitas
Adapted Competency-Based General Level Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta:
Framework, Journal Of Pharmacy Practice Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
and Research, 40(2), pp. 111–118.
Kemenkes RI. (2011). Modul Penggunaan Obat
Depkes RI (2006). Pedoman Supervisi dan Evaluasi Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Jakarta: Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan
Duerden, M. and Rupert, P. (2014). Polypharmacy – Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
what is it and how common is it? Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Polypharmacy. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dwiprahasto, I. (2006). Peningkatan Mutu Penggunaan
Obat Di Puskesmas Melalui Pelatihan Kemenkes RI. (2015). Rencana Aksi Kegiatan Tahun
Berjenjang Pada Dokter Dan Perawat, Jurnal 2015-2019: Direktorat Bina Pelayanan
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 9. Kefarmasian. Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Kefarmasian.
Ejeta, F. et al. (2021). Medication Counseling
Practices in Medicine Retail Outlets Found in Kemenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan
Bench Sheko Zone, Southern Nations, Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016
Nationalities, and Peoples’ Region, South Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
West Ethiopia, Pragmatic and Observational Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Research, 12, pp. 105–117. Republik Indonesia.

Analisis Kinerja Apoteker dalam Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas Kota Banjarmasin (Karina Erlianti, Hasniah, dan Lia Mardiana)
Al Ulum Sains dan Teknologi Vol. 7 No. 1 November 2021 37

Kim, H. . et al. (2014). Prevalence and Predictors Of Tanner, A., Ranti, L. and Lolo, W. (2015). Evaluasi
Polypharmacy among Korean Elderly, Plos Pelaksanaan Pelayanan Resep Obat Generik
ONE, 9, pp. 1–7. Pada Pasien BPJS Rawat Jalan Di RSUP.
Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Periode
Latifah, E., Pribadi, P. and Yuliastuti, F. (2016). Januari-Juni 2014, Jurnal Ilmiah Farmasi, 4,
Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di pp. 58–64.
Apotek Kota Magelang, Jurnal Farmasi Sains
dan Praktis, 2, pp. 11–17. Tripathi, K. (2003). Essential of Medical
Pharmacology’, Jaypee Brothers Medical
Mamo, D. B. and Alemu, B. K. (2020). World, Publishers, 5, pp. 552–589.
Rational Drug-Use Evaluation Based on In,
Health Organization Core Drug-Use Indicators a Wibowo, M. I. N. . et al. (2016). Tingkat Kepuasan
Tertiary Referral Hospital, Northeast Ethiopia: Pasien Terhadap Kinerja Apoteker Puskesmas
A Study, Cross-Sectional, Drug, Healthcare Di Tiga Kabupaten: Purbalingga,
and Patient Safety, 12, pp. 15–21. Banjarnegara, Cilacap Tahun 2015, Journal
Pharmacy, 14, pp. 46–70.
Nugroho, A. (2011). Farmakologi : Obat-obat Penting
Dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Yuniar, Y. and Handayani, R. (2007). Indikator
Kesehatan. Jakarta: Pustaka Belajar. Peresepan Obat Pada Enam Apotek Dl Kota
Bandung, Surabaya Dan Makassar’, Buletin
Palaian, S., Prabhu, M. and Shankar, P. (2006). Penelitian Sistem Kesehatan, 10, pp. 25–30.
Patient Counseling By Pharmacist -A Focus
On Chronic Illness, Pakistan Journal of
Pharmaceutical Sciences, 19, pp. 65–72.

Pemkot Banjarmasin. (2005). Rencana Pembangunan


Jangka Panjang (RPJP) KOTA Banjarmasin
Tahun 2006 – 2025. Banjarmasin: Pemerintah
Kota Banjarmasin.

Quick, J. et al. (2012). Managing Drug Supply, The


Selection, Procurement, Distribution and Use
of Pharmaceutical. 3rd edn. USA: Kumarin
Press.

Rajiah, K. et al. (2016). Community Pharmacists’


Perception on Patient Counseling and
Continuing Pharmacy Education Program in
East Malaysia, Malaysian Journal of Public
Health Medicine, 16, pp. 15–22.

Rifa’i, M., Sudarso and Anjar, M. (2011). Evaluasi


Penggunaan Antibiotik Terhadap Pasien Anak
Penderita Demam Tifoid Di Rumah Sakit
Wijayakusuma Purwokerto Tahun 2009,
Pharmacy, 08, pp. 13–24.

Sanii, Y. et al. (2016). Role of pharmacist counseling


in pharmacotherapy quality improvement,
Journal Of Research in Pharmacy Practice, 5,
pp. 132–137.

Satibi et al. (2018). Analisis Kinerja Apoteker dan


Faktor yang Mempengaruhi Pada Era Jaminan
Kesehatan Nasional di Puskesmas, Jurnal
Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 8 (1).

You might also like