You are on page 1of 66

i

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI HABITAT


ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI BUKIT
LAWANG DAN KECAMATAN BAHOROK

SKRIPSI

Satia Ras
141201070
Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
i

Universitas Sumatera Utara


ii

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI HABITAT


ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI BUKIT LAWANG
DAN KECAMATAN BAHOROK

SKRIPSI

Satia Ras
141201070
Manajemen Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
ii

Universitas Sumatera Utara


iii

07 Agustus 2019

iii

Universitas Sumatera Utara


iv

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Satia Ras


NIM : 141201070
Judul Skripsi : Analisis Kerapatan Vegetasi Habitat Orangutan Sumatera
(Pongo abelii) di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan – pengutipan
yang penulis lakukan pada bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam
penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai
dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Medan, Oktober 2019

Satia Ras
141201070

iv

Universitas Sumatera Utara


i

ABSTRACT

SATIA RAS. Vegetation Density Analysis of Sumatran Orangutan


(Pongo abelii) Habitat in Bukit Lawang and District of Bahorok. Supervised by
ANITA ZAITUNAH and SAMSURI.

Gunung Leuser National Park forest in Bukit Lawang section is the main
habitat of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Sub District of Bahorok. The
condition of wildlife habitat in the region has been fragmented by various human
activities which is the major threat to the wildlife survival including Sumatran
Orangutan (Pongo abelii). This study was conducted by overlayed some spatial
data of the year 2008 and 2018 to obtain data of vegetation density changes and
the range of the Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) in Section of
Bukit Lawang and District of Bahorok. Vegetation analysis was carried out in
forest, rubber plantation and mix plantation in District of Bahorok as supporting
data. The purposes of this study are to Get vegetation density value and analyzing
the changes of vegetation density of Sumatran Orangutan (P. abelii) habitat in
Bukit Lawang and Sub District of Bahorok year of 2018. The research shows that
the largest vegetation density changes was decreased of high dense class which is
47.040,02 hectare or 49,9%. The largest increased was occurred in the highest
dense of 43.304,1 hectare or 46,05%.

Keywords : Sumatran Orangutan (Pongo abelii), Normalized Difference


Vegetation Index, Change of Vegetation Density, Vegetation
Analysis.

Universitas Sumatera Utara


ii

ABSTRAK

SATIA RAS. Analisis Kerapatan Vegetasi Habitat Orangutan Sumatera


(Pongo abelii) di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok. Dibimbing oleh ANITA
ZAITUNAH dan SAMSURI.

Hutan Taman Nasional Gunung Leuser yang berada di resort/seksi Bukit


Lawang adalah habitat utama Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kecamatan
Bahorok. Kondisi habitat satwa liar di kawasan tersebut saat ini telah
terfragmentasi oleh berbagai aktivitas manusia sehingga menjadi ancaman utama
bagi kelangsungan hidup satwa liar termasuk Orangutan Sumatera (Pongo abelii).
Penelitian ini dilakukan dengan menampalkan beberapa data spasial tahun 2008
dan 2018 untuk mendapatkan data perubahan kerapatan vegetasi dan nilai kisaran
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di seksi Bukit Lawang dan
Kecamatan Bahorok. Analisis vegetasi juga dilakukan di hutan, perkebunan karet
dan kebun campuran yang berada dalam Kecamatan Bahorok sebagai data
pendukung. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai kerapatan vegetasi
dan menganalisis perubahan kerapatan vegetasi habitat Orangutan Sumatera (P.
abelii) di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok tahun 2018Hasil penelitian
menunjukan perubahan kerapatan vegetasi terbesar adalah penurunan pada kelas
sangat rapat 47.040,02 Ha atau 49,9%. Peningkatan terbesar terjadi pada kelas
rapat sebesar 43.304,1 Ha atau 46,05%.

Kata Kunci : Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Normalized Difference


Vegetation Index, Perubahan Kerapatan Vegetasi, Analisis
Vegetasi.

ii

Universitas Sumatera Utara


iii

RIWAYAT HIDUP

Satia Ras lahir di Kota Medan, Kecamatan Medan Petisah, Provinsi


Sumatera Utara pada 20 Januari 1996 dari Bapak Muniandi dan Ibu Sanda
Kumari. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SDS Cenderamata Kota Medan.
Penulis kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri 19 Kota Medan dan lulus
pada tahun 2011. Penulis lulus pada tahun 2014 dari SMA Swasta Yayasan
Pendidikan Raksana. Pada tahun 2014, penulis diterima di Universitas Sumatera
Utara (USU) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan,
Universitas Sumatera Utara. Penulis mendapat beasiswa Peduli Orangutan dari
Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL) dan Orangutan Information Center
(OIC), beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) dan dana Bantuan Belajar
Mahasiswa (BBM) .
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga mengikuti Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) RAIN FOREST KEHUTANAN USU sejak tahun 2015 dan
sempat menjadi Badan Pengurus Harian (BPH) yaitu sebagai Ketua Divisi English
Club pada tahun 2017. Penulis juga tergabung dalam paguyuban KSE USU Pada
tahun 2016 – 2018. Penulis aktif dalam mengikuti berbagai program leadership
yang diselenggarakan oleh paguyuban KSE USU, seperti leadership camp, team
building, sharing session, kampoeng belajar, bina desa dan lain-lain. Pada tahun
2016 penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di
Kawasan Hutan Mangrove Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan,
Kabupaten Serdang Bedagai selama 10 hari. Penulis melaksanakan Praktik Kerja
Lapangan (PKL) di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser SPTN V
Bahorok selama 30 hari pada tahun 2018.
Penulis juga berhasil meraih beberapa penghargaan di Universitas
Sumatera Utara seperti: Delegasi Universitas Sumatera Utara dalam Entrepreneur
Academy Give to Asia 2017 di Solo, Juara 3 Mahasiswa Berprestasi Tahun 2016
Fakultas Pertanian, Juara 1 Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kehutanan tahun
2017 dan Piagam Rektor sebagai mahasiswa yang berprestasi di tingkat
internasional pada tahun 2017 – 2019. Berikut adalah prestasi internasional yang
iii

Universitas Sumatera Utara


iv

berhasil diraih oleh penulis sejak 2017 sampai saat ini: The Best Mix Group in The
19th Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT) Varsity Carnival
Chapter Indonesia, Delegasi Indonesia dalam Young South East Asia Leaders
Initiative (YSEALI) Academic Fellowship 2017 in the United States of America
(USA), Impact XL program 2019 in Myanmar. Selain itu penulis adalah founder
Mangrove Lab yang merupakan Inovation Lab yang baru dibentuk pada Maret
2019. Penulis juga turut aktif dalam berbagai kegiatan konservasi, volunteering,
event organizer dan seminar.

iv

Universitas Sumatera Utara


v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas segala berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Kerapatan Vegetasi Habitat Orangutan Sumatera
(Pongo abelii) di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
Dr. Anita Zaitunah, S.Hut., M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan
Dr. Samsuri, S.Hut., M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Saya juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di Departemen Manajemen
Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
bantuannya atas penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyadari masih banyak
terdapat kekurangan di dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis terbuka
terhadap berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
penyempurnaan skripsi ini.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tentunya tidak
terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibunda (Sanda Kumari) yang telah medidik, membesarkan dan
memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan
program sarjana ini. Serta paman dan keluarga angkat tercinta
(Murti, Rigen, Welima, Selwi) yang selalu memberikan semangat dalam
menyelesaikan skripsi.
2. Dr. Anita Zaitunah S.Hut, M.Sc dan Dr. Samsuri S.Hut, M.Si selaku ketua
dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan
berbagai masukan dalam proses penyususan skripsi.
3. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL)-Orangutan Information
Center (OIC) yang telah memberikan beasiswa dan bantuan dana
penelitian. Tidak lupa saya ucapakan terima kasih kepada Yayasan Karya
Salemba Empat yang telah memberikan beasiswa serta membangun
leadership skill saya.
v

Universitas Sumatera Utara


vi

4. Staff Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Besar Taman


Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), dan seluruh staff pengajar dan
pegawai di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
5. Rekan mahasiswa Universitas Sumatera Utara: Corry Anggreyny
Br.Ginting, Dinda Nazlia Nasution, Erwin, Eunike, Shidiq serta semua
pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan
sumbangsihnya yang tidak ternilai.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.

Medan, Oktober 2019

Satia Ras

vi

Universitas Sumatera Utara


vii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT .................................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
Manfaat Penelitian .................................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Lokasi Penelitian ........................................................... 3
Taman Nasional Gunung Leuser ............................................................ 3
Vegetasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ......................... 3
Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) ...................................... 4
Kerapatan Vegetasi ................................................................................. 5
Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis ..................... 6

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 8
Alat dan Bahan Penelitian ...................................................................... 8
Metode Pengumpulan Data .................................................................... 9
Metode Analisis Data ............................................................................. 11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Nilai NDVI di Bukit Lawang Pada Tahun 2008
dan 2018 ................................................................................................. 15
Sebaran Nilai NDVI di Kecamatan Bahorok Pada Tahun 2008
dan 2018 ................................................................................................. 19
Analisis Perubahan Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang
Tahun 2008 dan 2018 ............................................................................. 22
Analisis Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok
Tahun 2008 dan Tahun 2018 .................................................................. 25
Analisis Vegetasi di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi
Bukit Lawang ......................................................................................... 29
Analisis Vegetasi di Kebun Campuran di Perbatasan Bukit
Lawang dan Kecamatan Bahorok ........................................................... 35
Analisis Vegetasi Perkebunan Karet di Kecamatan
Bahorok .................................................................................................. 37
vii

Universitas Sumatera Utara


viii

Kerapatan Vegetasi dan Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii)


di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok ............................................. 38

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan .............................................................................................. 40
Saran......................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

viii

Universitas Sumatera Utara


ix

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jenis Data Primer dan Sekunder yang diperlukan dalam


Penelitian ...................................................................................................... 9
2. Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Bukit
Lawang Tahun 2008 dan Tahun 2018 .......................................................... 15
3. Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Kecamatan
Bahorok Tahun 2008 dan Tahun 2018 ......................................................... 19
4. Perubahan Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang Tahun 2008 dan
tahun 2018 ................................................................................................... 22
5. Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun 2008
tahun 2018 .................................................................................................... 25
6. Sepuluh jenis pohon utama berdasarkan INP di lokasi penelitian ............... 29
7. Sepuluh jenis tiang utama berdasarkan INP di lokasi penelitian ................. 31
8. Sepuluh jenis pancang utama berdasarkan INP di lokasi penelitian ............ 32
9. Sepuluh jenis semai utama berdasarkan INP di lokasi penelitian ................ 34
10. Enam jenis pohon di lokasi penelitian kebun campuran di perbatasan
Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok .................................................... 36
11. Anallisis vegetasi perkebunan karet di Kecamatan Bahorok ..................... 38

ix

Universitas Sumatera Utara


x

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian .................................................................................. 8


2. Desain Petak Contoh vegetasi di Lapangan ................................................. 10
3. Alur Tahapan Analisis Kerapatan Vegetasi ................................................. 14
4. Diagram Luas Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang Tahun 2008
dan 2018 ....................................................................................................... 16
5. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di
Bukit Lawang Tahun 2008 ........................................................................... 17
6. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di
Bukit Lawang Tahun 2018 ........................................................................... 18
7. Diagram Luas Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun 2008
dan 2018 ....................................................................................................... 19
8. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di
Kecamatan Bahorok Tahun 2008 ................................................................. 20
9. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di
Kecamatan Bahorok Tahun 2018 ................................................................. 21
10. Diagram Perubahan Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang
Tahun 2008dan 2018 .................................................................................. 23
11.Perubahan Kerapatan Vegetasi Seksi Bukit Lawang Tahun 2018 ............. 24
12. Diagram Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok
Tahun 2008dan 2018 .................................................................................. 26
13. Peta Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun
2018 ......................................................................................................... 27
14. Diagaram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase pohon ................... 30
15. Diagram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase tiang....................... 32
16. Diagram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase pancang ................. 33
17. Diagram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase semai ..................... 35
18. Diagram kerapatan spesies di perkebunan campuran ................................ 37

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Analisis Vegetasi Pada Fase Pohon di Hutan Taman Nasional Gunung


Leuser Seksi Bukit Lawang ......................................................................... 43
2. Titik Ground Check di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok .................. 48
3. Tipe Tutupan Lahan di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok .................. 52

Universitas Sumatera Utara


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia,


sementara tiga kerabatnya, yaitu; gorila, simpanse, dan bonobo
hidup di Afrika. Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat
(2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500
individu). Status konservasi Orangutan Sumatera terkini menurut International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) adalah
kritis (critically endangered). Hutan Taman Nasional Gunung Leuser
yang berada di resort/seksi Bukit Lawang adalah habitat utama
Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kecamatan Bahorok. Orangutan Sumatera
dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus sampai
ke hutan pegunungan. Pembukaan kawasan hutan merupakan salah satu ancaman
terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem
yang mendukung kehidupan di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990,
hutan Indonesia telah berkurang akibat konversi menjadi lahan
pertanian, perkebunan, dan permukiman, kebakaran hutan, serta dengan adanya
praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan
(Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).
Sebaran orangutan di masa yang lalu diperkirakan hingga ke Sumatera
Barat, tetapi saat ini sebaran orangutan di habitat aslinya hanya terdapat di Aceh
dan Sumatera Utara serta areal reintroduksi orangutan di perbatasan Jambi dan
Riau. Meskipun telah dilindungi oleh hukum di Indonesia sejak 1931,
perdagangan liar orangutan untuk dijadikan hewan peliharaan merupakan salah
satu ancaman terbesar bagi satwa langka ini. Saat ini di beberapa lokasi di
Sumatera Utara dilaporkan telah terjadi konflik antara orangutan dan manusia
akibat adanya pembukaan hutan alam untuk pengembangan perkebunan kelapa
sawit di habitat atau wilayah jelajah orangutan (Morrison, 2002).
Kerusakan hutan yang mencapai 56,6 juta ha dengan laju 1,8-2,8 juta
hektar per tahun, baik yang diakibatkan oleh faktor manusia maupun alam
mengakibatkan habitat beragam jenis satwa liar berkurang dan terfragmentasi,
1

Universitas Sumatera Utara


seperti habitat Orangutan Sumatera. Habitat orangutan di Sumatera menghilang
dengan sangat cepat. Kondisi habitat satwa liar di kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser saat ini telah terfragmentasi oleh berbagai aktivitas manusia
sehingga menjadi ancaman utama bagi kelangsungan hidup satwa liar. Menurut
Kementerian Kehutanan (2009), sebagian kawasan Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) telah terfragmentasi oleh perkebunan sawit.
Bukit Lawang merupakan salah satu habitat orangutan dan juga
merupakan daerah ekowisata yang merupakan bekas stasiun
rehabilitasi orangutan yang secara resmi ditutup pada tahun 1997
(SK Menteri Kehutanan No. 280/kpts II/1995). Kawasan tersebut terletak di seksi
Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara
dan berada dalam kawasan Taman Nasional Gungung Leuser. Di Sumatera Utara,
diperkirakan tutupan hutan telah berkurang dari sekitar 3,1 juta hektar di tahun
1985 menjadi 1,6 juta hektar pada 2007. Hal ini membuktikan telah terjadi
perubahan luas kerapatan vegetasi hutan yang besar di indonesia, sehingga
penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan kerapatan vegetasi
habitat Orangutan Sumatera di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu:


1. Mendapatkan nilai kerapatan vegetasi habitat Orangutan Sumatera
(P. abelii) di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok tahun 2018.
2. Menganalisis perubahan kerapatan vegetasi habitat Orangutan Sumatera
(P. abelii) di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok tahun 2018.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para


stakeholder pengelola TNGL, Non Governmental Organization (NGO) seperti
Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL-OIC) maupun bagi kalangan
akademisi dan dunia ilmu pengetahuan yaitu dengan diperolehnya data-data
ilmiah berbasis spasial tentang analisis kerapatan vegetasi pada habitat Orangutan
Sumatera di Kecamatan Bahorok.\

Universitas Sumatera Utara


TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Sebagai salah satu wilayah yang merupakan kawasan minapolitan,


Kecamatan Bahorok berada pada 105 m di atas permukaan laut serta
terletak pada 03°20’30” – 03°36’51” (LU) dan 98°36’15” – 98°59’06” (BT).
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang Serangan, sebelah selatan
dengan Kabupaten Karo, sebelah timur dengan Kecamatan Serapit,
Kecamatan Salapian, Kecamatan Kutambaru, dan sebelah barat
berbatasan dengan Provinsi Aceh. Kecamatan Bahorok memiliki luas 1.101,83
Km2 (BPS Kabupaten Langkat, 2017).

Taman Nasional Gunung Leuser

Secara administrasi TNGL terletak di 2 (dua) Provinsi, yaitu Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara, serta berbatasan
dengan 9 kabupaten (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Gayo Lues,
Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi dan Karo). Taman Nasional
Gunung Leuser merupakan satu kesatuan kawasan pelesatrian alam, seluas
1.094.692 Ha yang terletak di dua provinsi, yaitu Provinsi Naggroe Aceh
Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Kawasan TNGL berada pada koordinat
99o 35”-98o 30” BT dan 2o 50” – 4o 10” LU. Zona inti Taman Nasional Gunung
Leuser seluas 851.772, 91 ha (77,81% dari luas total kawsan). Penutupan vegetasi
di zona inti rapat sampai sangat rapat.Dari bentang ekologi tidak terdapat
gangguan maupun kerusakan serta spesies yang dilindungi, endemik dan migrant
tersebar melimpah atau menjadi habitat penting bagi spesies tersebut
(Kementerian Kehutanan, 2010).

Vegetasi di Seksi Bukit Lawang-Taman Nasional Gunung Leuser

Vegetasi di kawasan TNGL termasuk flora Sumatera dan erat hubungannya


dengan flora di Semenanjung Malaysia, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan
bahkan Philipina. Formasi vegetasi alami di TNGL ditetapkan berdasarkan 5
kriteria, yaitu bioklimat (zona klimatik ketinggian dengan berbagai formasi
3

Universitas Sumatera Utara


floristiknya). Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi floristik
dengan biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Van Steenis yang
melakukan penelitian pada tahun 1937 (de Wilde W.J.J.O dan B.E.E. Duyfjes,
1996), membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL dalam beberapa zona, yaitu:
1. Zona Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1.000 mdpl). Zona
Tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis tegakan
kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter.Pohon
atau tegakan kayu tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai
tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya.
2. Zona peralihan dari Zona Tropica ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane
ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan
berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat
maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin
banyak dijumpai jenis rotan berduri.
3. Zona Montane (termasuk zona sub montane,terletak 1.000 – 1.500 mdpl).
Zona montane merupakan hutan montane.Tegakan kayu tidak lagi terlalu
tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter.Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan
liana.Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon.Kelembaban udara
sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.
4. Zona Sub Alphine (2.900 – 4.200 mdpl), merupakan zona hutan Ercacoid dan
tak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-
pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung
(familia Ericacae) yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra,
anggrek dan lumut (Kementerian Kehutanan, 2010).

Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Populasi orangutan saat ini terpusat di TNGL dan terpecah menjadi empat sub
populasi utama, yaitu: (1) sub populasi di dekat Aceh, di sebelah barat Sungai
Alas dan Sungai Wampu; (2) sub populasi di hutan lindung Dolok Sembelin dan
Batu Ardan di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan yang bersambungan di sebelah
timur Sungai Alas, membentang di sepanjang kaki-kaki bukit pesisir barat dan
menurun sampai ke pantai Sibolga; (3) sub populasi Tapanuli bagian tenggara di

Universitas Sumatera Utara


antara Sungai Asahan dan Sungai Baruman; dan (4) sub populasi di Anggolia,
Angkola, dan Pasaman, semuanya di sepanjang bagian barat kaki Bukit Barisan,
dari hilir Sungai Batang Toru membentang ke arah selatan di antara Padang
Sidempuan dan daerah sekitar Pariaman di Provinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km
di sebelah utara Padang (Meijard et al., 2001). Populasi Orangutan Sumatera
(P. abelii) di alam menghadapi ancaman kepunahan, hingga menyebabkan spesies
ini dimasukkan ke dalam status sebagai Critically Endangered oleh International
Union for Conservation of the Nature (Singleton et al.., 2008).

Kerapatan Vegetasi

Vegetasi merupakan sumberdaya alam utama dalam kehidupan makhluk


hidup, yaitu sebagai penyedia makanan dan tempat bernaung bagi hewan dan
manusia. Dalam suatu ekosistem hanya vegetasi yang mampu menyediakan energi
bagi makhluk hidup melalui proses fotosintesa dengan bantuan sinar matahari,
dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh hewan maupun manusia berupa:
daun, buah, biji, maupun ubi. Gangguan/kerusakan yang terjadi pada sekelompok
vegetasi akan menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem tempat vegetasi
itu berada (Arnanto, 2013). Indeks vegetasi adalah besaran nilai kehijauan
vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal dijital data nilai kecerahan
(brightness) beberapa kanal data sensor satelit. Untuk pemantauan vegetasi,
dilakukan proses pembandingan antara tingkat kecerahan kanal cahaya merah
(red) dan kanal cahaya inframerah dekat (near infrared).
Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan cahaya
inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan membuat
nilai kecerahan yang diterima sensor satelit pada kanal-kanal tersebut akan jauh
berbeda. Pada daratan non-vegetasi, termasuk diantaranya wilayah perairan,
pemukiman penduduk, tanah kosong terbuka, dan wilayah dengan kondisi
vegetasi yang rusak, tidak akan menunjukkan nilai rasio yang tinggi (minimum).
Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangat rapat, dengan kondisi sehat,
perbandingan kedua kanal tersebut akan sangat tinggi (maksimum). Nilai
perbandingan kecerahan kanal cahaya merah dengan cahaya inframerah dekat atau
NIR/RED, adalah nilai suatu indeks vegetasi yang sering disebut ”simple ratio”

Universitas Sumatera Utara


yang sudah tidak dipakai lagi. Hal ini disebabkan karena nilai dari rasio NIR/RED
akan memberikan nilai yang sangat besar untuk tumbuhan yang sehat. Oleh
karena itu, dikembangkanlah suatu algoritma indeks vegetasi yang baru dengan
normalisasi, yaitu NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
(Sudiana dan Diasmara, 2008).
Nilai indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil dari
pengolahan citra menggunakan transformasi Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI). Nilai indeks vegetasi ini dihitung sebagai rasio antara pantulan
yang terukur dari band merah (R) dan band infra-merah (didekati oleh band NIR).
Penggunaan kedua band ini banyak dipilih sebagai parameter indeks vegetasi
karena hasil ukuran dari band ini dipengaruhi oleh penyerapan klorofil, peka
terhadap biomassa vegetasi, serta memudahkan dalam pembedaan antara lahan
bervegetasi, lahan terbuka, dan air. Hasil penisbahan antara band merah dan infa-
merah menghasilkan perbedaan yang maksimum antara vegetasi dan tanah. Nilai-
nilai asli yang dihasilkan NDVI selalu berkisar antara -1 hingga +1
(Danoedoro, 2012). Rentang nilai antara -1 hingga +1 hasil dari transformasi
NDVI ini mempunyai presentasi yang berbeda pada penggunaan lahannya.
Semakin besar nilai NDVI maka kerapatannya semakin tinggi, dan sebaliknya
semakin rendah nilainya maka diasumsikan bahwa areal tersebut
merupakan tubuh air. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
merupakan kombinasi antara tehnik penisbahan dengan tehnik pengurangan citra.
Transformasi NDVI ini merupakan salah satu produk standar NOAA
(National Oceanic and Atmospheric Administration), satelit cuaca yang
berorbit polar namun memberi perhatian khusus pada fenomena global
vegetasi (Arnanto, 2013).

Penginderaan Jarak jauh dan Sistem Informasi Geografis

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi (acquisition) tentang obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data
yang diperoleh dengan tanpa adanya kontak langsung dengan obyek, daerah atau
fenomena yang dikaji Lillesand dan Kiefer (1990) dalam Saefurahman (2008).
Penginderaan jarak jauh dari angkasa telah berkembang selama beberapa dekade

Universitas Sumatera Utara


terakhir dari sebuah aplikasi coba–coba menjadi suatu teknologi yang banyak
mempengaruhi berbagai aspek penelitian tentang bumi dan planet. Pengembangan
satelit meteorologikal awal 1960-an mengantar penelitian mengenai citra
atmosferik. Sistem penginderaan dengan satelit menyediakan data-data kritis
seperti perkiraan cuaca, agrikultur, eksplorasi sumber daya alam, dan monitoring
lingkungan. Menurut Butler et al. (1988), terdapat empat komponen fisik yang
terlibat dalam sistem penginderaan jauh. Keempat komponen fisik tersebut, yaitu :
a. Matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik.
b. Atmosfer sebagai media perantara dari energi elektromagnetik.
c. Objek yang akan diteliti.
d. Sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu objek dan
merubahnya menjadi bentuk signal yang selanjutnya dapat diproses dan
direkam.
Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit menjadi sangat
populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya untuk
mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini
disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang
relatif murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga
dapat digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu
menjangkau daerah yang terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat
digunakan untuk berbagai keperluan dan ditampilkan sesuai keinginan
(Suwargana, 2008).
Sistem informasi geografis merupakan suatu himpunan alat (tool) yang
digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengaktifkan, pentransformasian,
serta penyajian data spasial dari suatu fenomena nyata di permukaan bumi untuk
maksud-maksud tertentu. Saat ini penggunaan dataset citra penginderaan jauh
seperti Landsat dan sistim informasi geografis (SIG) berperan sangat penting
sebagai sebuah metode yang murah dan mudah dalam penyediaan data liputan
kawasan pesisir dan dinamika didalamnya. Pada data citra penginderaan jauh
seperti Landsat TM dan ETM, karakteristik air, vegetasi dan tanah dapat dengan
mudah diinterprestasi menggunakan jenis band sinar tampak (visible) dan
inframerah (infrared) (Kasim, 2012).

Universitas Sumatera Utara


METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2018 sampai dengan


Desember 2018. Lokasi penelitian adalah di Bukit Lawang dan Kecamatan
Bahorok Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1). Pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Program Studi Kehutanan, Fakultas
Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Data Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat pengambilan data
dan alat analisis data. Alat pengambilan data lapangan antara lain GPS
(Global Position system), kompas, pita ukur, haga hypsometer, kamera foto, alat
tulis dan lain-lain. Alat analisis data yang akan digunakan adalah Komputer,
Excel, ArcGis, ERDAS Imagine. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer dan sekunder tertera pada tabel 1.
8

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Jenis Data Primer dan Sekunder yang diperlukan dalam Penelitian
No Nama Data Jenis Data Sumber Tahun
1 Data Lapangan (Ground check) Primer Data Lapangan 2018
berupa analisis vegetasi
2 Citra landsat 5 path/row 129/58 Sekunder www.glovis.usgs.gov 2008
4 Citra Landsat 8 OLI path/row Sekunder www.earthexplorer. 2018
129/58 usgs.gov
5 Peta Administrasi Taman Sekunder Balai Besar Taman 2018
Nasional Gunung Leuser Nasional Gunung
Leuser

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan


mengunduh citra Landsat 5 path/row 129/58 tahun 2008 dan citra Landsat 8 OLI
path/row 129/58 tahun 2018 dari situs www.glovis.usgs.gov dan
www.eartexplorer.usgs.gov yang di perlukan sesuai dengan tujuan analisis. Data
primer merupakan data yang diperoleh dengan pengamatan langsung ke lokasi
penelitian (ground checking) dengan melakukan rekam koordinat titik
pengamatan lapangan dari GPS serta kondisi sekitar titik lapangan yang
dilengkapi gambar dan analisis vegetasi.
Analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak dengan lebar 25
meter dan panjang 250 meter (luas 6.250 m2). Tiap-tiap jalur dibuat sub petak
ukur dengan ukuran 6 m x 6 m untuk tingkat semai, untuk tingkat tiang 25 m x 25
m, 12,5 m x 12,5 m untuk tingkat pancang, dan 50 m x 50 m untuk tingkat pohon.
Jumlah plot pada penelitian ini adalah 45 plot yang tersebar di 3 lokasi yang
berbeda dengan ukuran plot yang dibuat lebih besar dari ukuran biasanya. Seperti
yang dinyatakan Kusmana, 1997 bahwa tiap-tiap jalur dibuat sub petak ukur
dengan ukuran 2 m x 2 m untuk tingkat semai, tingkat tiang 10 m x 10 m, 5 m x 5
m untuk tingkat pancang, dan 20 m x 20 m untuk tingkat pohon. Ukuran plot
sengaja dibuat 50 m x 50 m dengan tujuan untuk melebihi ukuran pixel citra
Landsat yaitu 30 m x 30 m, sehingga data yang diperoleh akan lebih mewakili
atau akurat jika dibandingkan ukuran plot yang lebih kecil dari ukuran pixel citra
Landsat itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara


a
b c b c Arah jalur

d b c d
a
Gambar 2. Desain unit contoh vegetasi

Keterangan :
a. Petak contoh semai (6 m x 6 m )
b. Petak contoh pancang ( 12,5 m x 12,5 m )
c. Petak contoh tiang ( 25 m x 25 m )
d. Petak contoh pohon ( 50 m x 50 m )
Tingkat pertumbuhan yang diukur dalam kegiatan analisis vegetasi hutan
alam, adalah sebagai berikut :
a. Semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai setinggi < 1,5 meter
b. Pancang adalah anakan pohon yang tingginya > 1,5 cm dan diameter < 7 cm
c. Tiang adalah pohon muda yang diameternya mulai 7 cm sampai diameter < 20
cm
d. Pohon adalah pohon dewasa berdiameter > 20 cm
Dari hasil ground check lapangan di kawasan Bukit Lawang dan
Kecamatan Bahorok diambil beberapa sampel analisis vegetasi dan diperoleh data
dengan tingkat kerapatan sangat rapat, rapat, agak rapat dan jarang.
Perhitungan analisis vegetasi tingkat pohon, pancang dan semai dilakukan
dengan rumus (Soerianegara dan Indrawan, 2002) :
Σindividu suatu jenis
Kerapatan (K) = ................................ (1)
Luas plot contoh
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan relatif (KR) = x 100% ...... (2)
Total Kerapatan semua jenis

Σpetak ditemukan suatu jenis


Frekuensi (F) = ................... (3)
Σseluruh petak contoh
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi relatif (FR) = x 100% ................ (4)
Σfrekuensi semua jenis

10

Universitas Sumatera Utara


Total basal area suatu jenis
Dominansi (D) = ...................... (5)
Luas plot contoh

Dominansi suatu jenis


Dominansi relatif (DR) = x 100% ..... (6)
Total Dominansi seluruh jenis
INP = KR + FR + DR (pohon dan tiang) ............ (7)
INP = KR + FR (pancang dan semai) ................. (8)

Metode Analisis Data

1. Analisis Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

a. Penggabungan Band Citra

Citra landsat yang diunduh dari situs earthexplorer.usgs.gov mempunyai


beberapa band dan terpisah setiap bandnya. Oleh karena itu, harus dilakukan
penggabungan band citra terlebih dahulu agar dapat melakukan koreksi
radiometrik. Penggabungan band citra tersebut dilakukan dengan menggunakan
ERDAS Imagine 9.2.

b. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik dilakukan guna untuk menghilangkan gangguan pada


citra akibat pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik dilakukan dengan cara
memberikan penajaman pada kontras. Proses penajaman tersebut menggunakan
model linier yang terdapat pada ERDAS Imagine 9.2.

c. Pemotongan Citra (Cropping Citra)

Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan gambar pada lokasi


penelitian yang akan dilakukan secara lebih spesifik. Pemotongan citra dilakukan
dengan menggunakan software ArcGis 10.1 menggunakan peta administrasi Bukit
Lawang dan Kecamatan Bahorok dari TNGL dan Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH).

d. Transformasi NDVI

Transformasi NDVI dilakukan dengan menggunakan software ArcGis 10.1


terhadap band merah dan inframerah dekat adalah band 3 (Red/Merah) dan 4
11

Universitas Sumatera Utara


(Near Infrared/Inframerah Dekat) untuk landsat 5 dan band 4 (Red/Merah) dan 5
(Near Infrared/Inframerah Dekat) untuk landsat 8.
Prinsip kerja NDVI yaitu dengan mengukur tingkat kehijauan. Intensitas
kehijauan pada citra landsat berkorelasi dengan tingkat kerapatan tajuk vegetasi
dan mendeteksi tingkat kehijauan dengan kandungan klorofil daun. Rentang nilai
antara -1 hingga +1 hasil dari transformasi NDVI ini mempunyai presentasi yang
berbeda pada penggunaan lahannya. Semakin besar nilai NDVI maka
kerapatannya semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah nilainya maka
diasumsikan bahwa areal tersebut merupakan tubuh air. Rumus yang digunakan
yaitu :
NDVI = IR – R .................................................................. (9)
IR + R
Keterangan: IR = nilai reflektansi band infra merah (band 4,5)
R = nilai reflektansi band merah (3,4)
Dalam pengklasifikasian nilai NDVI dicari nilai terbesar dan terkecilnya
serta dibuat 4 kelas untuk menentukan klasifikasi kerapatan vegetasi hutan di
Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok. Kemudian data NDVI dan
Pengklasifikasian kelas diperhalus tampilannya dengan menggunakan clumpclass
agar setelah kita convert ke data shapefile tampilannya bagus. Tampilkan nilai
klasifikasi dalam bentuk layout peta menggunakan software ArcGis 10.1.
Dari nilai digital number dapat dilakukan untuk dasar pengklasifikasian
kerapatan hutan mangrove dan hutan pantai dengan digital number yang kita
dapat dari hasil pengolahan statistika. Rumus dalam pengklasifikasian setelah
diketahui digital number, yaitu
Data Maksimal – Data Minimal
Klasifikasi = ....................... (10)
Jumlah kelas
Pembagian klasifikasi ini agar kita mengetahui luas area hutan Bukit
Lawang dan Kecamatan Bahorok. Pembagian Pengklasifikasian ini dibagi
menjadi 4 kelas yaitu: jarang, agak rapat, rapat, dan sangat rapat.

12

Universitas Sumatera Utara


2. Analisis Perubahan Kerapatan Vegetasi

a. Koreksi Citra

Citra landsat yang diperlukan diperoleh dari situs resmi landsat melalui
earthexplorer.usgs.gov. Sebelum diolah lebih lanjut citra landsat yang diperoleh
pada tahun 2008 dan 2018 terlebih dahulu diperbaiki. Perbaikan citra dilakukan
dengan software Erdas Imagine 9.2.

b. Komposit Citra

Untuk keperluan analisis dipilih 3 buah band/kanal dikombinasikan sesuai


dengan karakteristik spectral masing-masing kanal/band dan disesuaikan dengan
tujuan penelitian. Dipilih band/kanal 5, 4, 3 pada landsat 5 dan band 6, 5, 4 pada
landsat 8. Hal ini disebabkan karena band/ kanal tersebut peka dan mempunyai
nilai refleksi yang tinggi terhadap vegetasi, tanah terbuka, dan unsur air.

c. Overlay/Penampalan

Proses ini digunakan untuk mengetahui hasil digitasi perubahan Bukit Lawang
dan Kecamatan Bahorok. Dengan proses tumpang susun antara tahun 2008 dan
2018.

13

Universitas Sumatera Utara


Citra Landsat Citra Landsat
Tahun 2008 Tahun 2018

Analisis NDVI Analisis NDVI

Peta NDVI Peta NDVI

Klasifikasi Klasifikasi
Kerapatan Vegetasi Kerapatan Vegetasi

Peta Kerapatan Peta Kerapatan


Vegetasi 2008 Vegetasi 2018

Overlay

Peta Perubahan
Kerapatan Vegetasi

Gambar 3. Alur Tahapan Analisis Kerapatan Vegetasi

14

Universitas Sumatera Utara


HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Nilai NDVI di Bukit Lawang Pada Tahun 2008 dan 2018

Citra Landsat yang perekamannya tidak tertutup awan untuk seluruh


kawasan TNGL dan Kecamatan Bahorok sangat sulit diperoleh mengingat
sepanjang tahun kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan kawasan
sekitarnya tertutup awan walaupun tidak seluruh kawasan dalam satu waktu.
Kecamatan Bahorok dan Seksi Bukit Lawang yang termasuk bagian Kabupaten
Langkat memiliki Iklim Tropis Basah, dimana sepajang tahun merupakan bulan
basah (curah hujan diatas 100 mm³/bulan) tanpa ada bulan kering, sehingga
bisa disebut hujan hampir merata sepanjang tahun.
Yazela, et al. (2018) menyatakan apabila cloud cover lebih dari 15%
kemungkinan ada awan yang menghalangi gelombang elektromagnetik yang
memancarkan ke obyek di permukaan bumi sehingga bisa dipantulkan kembali
ataupun diserap oleh awan tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka akan
mempengaruhi data yang dihasilkan. Citra Landsat yang digunakan adalah yang
tutupan awannya < 15%, karena merupakan citra paling minim awan yang tersedia
dan tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan citra dengan tutupan awan di
atas 15%. Hasil pengolahan citra pada tahun 2008 dan 2018 dengan menggunakan
index kerapatan vegetasi, didapat nilai NDVI pada vegetasi Seksi Bukit Lawang
sebagaimana tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Bukit Lawang
Tahun 2008 dan Tahun 2018
Kelas Kerapatan Luas (Ha)
No NDVI
Vegetasi 2008 2018
1 Jarang 0 – 0,15 112,96 126,8
2 Agak Rapat 0,15 – 0,30 88,47 369,48
3 Rapat 0,30 – 0,45 3.962,18 25.407,46
4 Sangat Rapat > 0,45 31.385,7 9.645,59
Total 35.549,31 35.558,33

Berdasarkan nilai NDVI yang diperoleh dari pengolahan citra maka, kelas
kerapatan dibagi menjadi empat kelas yaitu kelas jarang, agak rapat, rapat dan
sangat rapat. Semakin besar nilai NDVI maka kerapatannya semakin tinggi, dan
sebaliknya semakin rendah nilainya, hal ini berkaitan dengan keberadaan vegetasi

15

Universitas Sumatera Utara


di suatu lahan. Yin et al. (2012) menyatakan bahwa NDVI dikorelasikan dengan
beberapa komponen biofisik tanaman seperti kanopi vegetasi, tutupan vegetasi
dan peningkatan NDVI dipengaruhi oleh besarnya LAI (Leaf Area Indeks) yaitu
besarnya kanopi atau tajuk suatu vegetasi. Proses perhitungan (NDVI) di Seksi
Bukit Lawang pada tahun 2008 dan 2018 didapatkan hasil nilai rentang mulai
lebih besar dari 0 sampai lebih besar dari 0,6. Nilai rentang dari perhitungan
NDVI digunakan dalam menentukan kelas kerapatan vegetasi. Hal ini
sesuai pernyataan Safitri (2016) bahwa dalam mengklasifikasikan kelas
kerapatan vegetasi dilakukan berdasarkan tingkatan digital number
(DN) yang terdapat di dalam area kajian dengan menggunakan software ArcGIS.
Berdasarkan data pada tabel 2 dan gambar 4, pada tahun 2008 luas kelas
kerapatan vegetasi dengan nilai NDVI yang paling besar adalah kelas
kerapatan vegetasi sangat rapat, dengan kisaran NDVI yaitu > 0,45
dengan luas sebesar 31.385,7 ha atau 88,29% dari seluruh luas kawasan Seksi
Bukit Lawang. Sedangkan pada tahun 2018 berdasarkan data tabel 3 dan
gambar 4, kelas kerapatan vegetasi rapat memiliki nilai yang besar
berada pada kisaran nilai NDVI 0,30 – 0,45 memiliki luas 25.407,46 Ha atau
71,45%. Gambar 4 berikut adalah luas kerapatan vegetasi di Bukit Lawang tahun
2008 dan 2018.

Gambar 4. Diagram Luas Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang Tahun 2008 dan 2018
16

Universitas Sumatera Utara


17

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Bukit Lawang Tahun 2008
18
Gambar 6. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Bukit Lawang Tahun 2018

Universitas Sumatera Utara


Sebaran Nilai NDVI di Kecamatan Bahorok Pada Tahun 2008 dan 2018

Hasil pengolahan citra tahun 2008 dan 2018 dengan menggunakan indeks
kerapatan vegetasi, didapat nilai NDVI pada vegetasi di Kecamatan Bahorok
sebagaimana tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Kecamatan
Bahorok Tahun 2008 dan Tahun 2018
Kelas Kerapatan Luas (Ha)
No NDVI
Vegetasi 2008 2018
1 Awan 0 – 0,15 1.359,88 856,51
2 Agak Rapat 0,15 – 0,30 1.897,13 6.015,59
3 Rapat 0,30 – 0,45 13.033,16 56.337,24
4 Sangat Rapat > 0,45 77.905,86 30.865,84
Total 94.196,03 94.075,18

Berdasarkan data pada tabel 3 dan gambar 7, pada tahun 2008 luas kelas
kerapatan vegetasi dengan nilai NDVI yang paling besar adalah kelas kerapatan
vegetasi sangat rapat, dengan kisaran NDVI yaitu > 0,45 dengan luas sebesar
77.905,86 ha atau 82,71% dari seluruh luas Kecamatan Bahorok. Sedangkan pada
tahun 2018 berdasarkan data tabel 3 dan diagram 5, kelas kerapatan vegetasi rapat
memiliki nilai yang terbesar berada pada kisaran nilai NDVI 0,30 – 0,45 memiliki
luas 56.337,24 Ha atau 59,89%. Gambar 7 berikut adalah luas kerapatan vegetasi
di kecamatan Bahorok tahun 2008 dan 2018.

Gambar 7. Diagram Luas Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun 2008


dan 2018

19

Universitas Sumatera Utara


20

Universitas Sumatera Utara


Gambar 8. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Kecamatan Bahorok Tahun 2008
21
Gambar 9. Peta Sebaran Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) di Kecamatan Bahorok Tahun 2018

Universitas Sumatera Utara


Analisis Perubahan Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang Tahun 2008 dan
2018

Perubahan kerapatan vegetasi Seksi Bukit Lawang dan Kecamatan


Bahorok diperoleh dengan cara penampalan peta NDVI tahun 2008 dan peta
NDVI tahun 2018. Tingkat kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI dapat
dijadikan sebagai dasar pengkelasan sesuai dengan dominasi tumbuhan yang ada
di lapangan. Menurut Jaya (2014) dalam Lufilah et al (2017), permukaan vegetasi
yang memiliki rentang nilai NDVI 0,1 menunjukkan padang rumput dan semak
belukar, nilai lebih dari 0,1 hingga 0,8 menunjukkan hutan tropis, dan nilai NDVI
mendekati +1 menunjukkan tutupan vegetasi. Pada penelitian ini, pengkelasan
vegetasi dibagi atas vegetasi jarang (dominasi rumput), vegetasi sedang
(dominasi semak/perdu), vegetasi rapat dan sangat rapat (dominasi tegakan
pohon).Perubahan kelas kerapatan vegetasi Seksi Bukit Lawang pada tahun 2008
dan tahun 2018 sebagaimana tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang Tahun 2008 dan tahun
2018
Perubahan
No Kelas Kerapatan Vegetasi
NDVI Luas (Ha)
1 Jarang 0 – 0,15 13,84
2 Agak Rapat 0,15 – 0,3 281,01
3 Rapat 0,3 – 0,45 21.445,28
4 Sangat Rapat >0,45 21.740,11*
Keterangan (*) : Mengalami Penurunan

Berdasarkan data pada Tabel 4, diketahui adanya perubahan luas kelas


kerapatan vegetasi pada setiap kisaran nilai NDVI tahun 2008 dan tahun 2018.
Perubahan luas kelas kerapatan vegetasi pada setiap kisaran nilai NDVI yaitu
berupa penambahan luas dan pengurangan luas kerapatan sesuai dengan kelas
kerapatan vegetasinya. Pada tahun 2018 luas kerapatan vegetasi sangat rapat
mengalami pengurangan seluas 21.740,11 Ha atau sekitar 50%. Sedangkan pada
kelas kerapatan vegetasi rapat mengalami kenaikan di tahun 2018 seluas
21.445,28 Ha atau sekitar 49,32%. Perubahan yang terjadi pada kelas kerapatan
sangat rapat pada tahun 2018 sangat besar. Hal ini dikarenakan aktivitas manusia
seperti pembukaan lahan untuk pembuatan jalan, pemukiman, dan perkebunan.
Konversi hutan dipicu karena aktivitas manusia, pertambahan penduduk serta

22

Universitas Sumatera Utara


wisatawan lokal dan asing yang sangat besar di kawasan tersebut yang kemudian
mendorong manusia mengkonversi hutan untuk keperluan keberlangsungan hidup.
Saat ini banyak penginapan mewah yang terdapat di kawasan wisata alam
Bukit Lawang, pemukiman penduduk yang ramai dan terdapat perkebunan karet
serta kebun campuran yang lokasinya berbatasan sangat dekat dengan kawasan
hutan Taman Nasional Gunung Leuser di Seksi Bukit Lawang. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Zaitunah et al. (2018) yang menyatakan daerah dengan
populasi padat dan banyaknya kegiatan manusia serta aksesibilitas tinggi dapat
memicu dan mendorong manusia untuk mengubah penggunaan lahan. Perubahan
kerapatan vegetasi pada area tersebut terjadi karena perubahan penggunaan lahan
terkait peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan perubahan pemanfaatan
lahan menjadi areal pemukiman di area tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan
Sumaatmadja (1988) bahwa pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor
utama dalam perkembangan pemukiman. Seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk selalu diikuti dengan peningkatan pemanfaatan lahan untuk
pemukiman. Peningkatan jumlah penduduk selalu meningkat setiap tahunnya
sejalan dengan pertambahan perubahan penggunaan lahan. Gambar 10 berikut
adalah diagram perubahan luas kelas kerapatan vegetasi Seksi Bukit Lawang
tahun 2008 dan 2018.

Gambar 10. Diagram Perubahan Kerapatan Vegetasi di Bukit Lawang


Tahun 2008 dan 2018

23

Universitas Sumatera Utara


24
Gambar 11. Peta Perubahan Kerapatan Vegetasi Seksi Bukit Lawang Tahun 2018

Universitas Sumatera Utara


Analisis Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun 2008
dan Tahun 2018
Dalam menganalisis kerapatan vegetasi Kecamatan Bahorok
menggunakan citra Landsat tahun 2008 dan 2018. Pada citra dengan masing-
masing tahun terdapat awan yang menutupi lahan di bawahnya sehingga sulit
untuk melakukan identifikasi dengan baik. Oleh karena itu nilai NDVI yang
dihasilkan ikut terpengaruh oleh faktor tersebut. Widiyati et al. (2005)
menyatakan bahwa faktor lain yang menyebabkan penyimpangan nilai NDVI
adalah kabut yang mengakibatkan nilai NDVI lebih rendah dari keadaan yang
sebenarnya. Salah satu kelemahan citra satelit Landsat terletak pada sensornya
yang bersifat pasif, yang membuat kualitas data yang dihasilkan tergantung pada
kondisi atmosfer pada saat perekaman. Meskipun demikian, sesuai dengan
pernyataan Yazela et al. (2018) yang menyatakan jika citra landsat yang
digunakan adalah yang tutupan awannya <15% maka hasil analisis data yang
diperoeh dari citra tersebut masih tergolong akurat. Hal ini yang mendasari proses
penghilangan awan atau lebih sering disebut dengan Cloud Masking tidak
dilakukan, karena citra yang digunakan memiiki tutupan awan <15%. Perubahan
kelas kerapatan vegetasi di Kecamatan Bahorok pada tahun 2008 dan tahun 2018
sebagaimana tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun 2008 dan
tahun 2018
Perubahan
No Kelas Kerapatan Vegetasi
NDVI Luas (Ha)
1 Jarang 0 – 0,15 503,37*
2 Agak Rapat 0,15 – 0,3 4.118,46
3 Rapat 0,3 – 0,45 43.304,1
4 Sangat Rapat >0,45 47.040,02*
Keterangan (*) : Mengalami Penurunan

Berdasarkan data pada Tabel 5, diketahui adanya perubahan luas kelas


kerapatan vegetasi pada setiap kisaran nilai NDVI di Kecamatan Bahorok tahun
2008 dan tahun 2018. Pada tahun 2018 luas kerapatan vegetasi sangat rapat
mengalami pengurangan seluas 47.040,02 Ha atau sekitar 49,9 %. Sedangkan
pada kelas kerapatan vegetasi rapat mengalami kenaikan luas di tahun 2018 seluas
43.304,1 Ha atau sekitar 46,05%. Dapat dilihat terjadinya konsistensi pada
penurunan yang terjadi pada kelas kerapatan jarang dan sangat rapat antara hasil
25

Universitas Sumatera Utara


overlay peta Seksi Bukit Lawang dan Kecamatan Bahrok. Penurunan terjadi pada
kelas kerapatan yang sama pada ke dua peta administrasi tersebut. Perubahan
yang terjadi pada kelas kerapatan sangat rapat pada tahun 2018 sangat besar. Hal
ini dikarenakan adanya aktivitas hutan produksi terbatas, sehingga terdapat
beberapa perkebunan sawit dan karet di Kecamatan Bahorok . Sesuai dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Langkat No.9 Tahun 2013 yang menyatakan
Kawasan hutan produksi terbatas dengan luas sekitar 56.141 Ha yang terletak di
Kecamatan Bahorok, Salapian, Kutambaru, Sei Bengai, Kuala, Batang Srangan,
Sawit Seberang, Sei Lepan, Berandan Barat, Besitang, Pangkalan Susu, dan
Pematang Jaya.
Berdasarkan angka tersebut dapat disimpulkan bahwa luas hutan produksi
terbatas di Kecamatan Bahorok adalah sekitar 59,6% dari total luas wilayah.
Selain itu terdapat juga pemanfaatan lahan untuk budidaya tanaman lahan basah
dan tanaman lahan kering. Pengembangan kawasan budidaya baik dalam
pengelolaan hutan maupun hasil-produksi bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Badan Pusat Statistik, Kabupaten Langkat (2008)
menyatakan persentase keluarga pra sejahtera adalah 25% dari jumlah penduduk,
sedangkan Badan Pusat Statistik, Kabupaten Langkat (2017) menyatakan bahwa
persentase keluarga pra sejahtera hanya 11%. Gambar 12 berikut adalah hasil
perubahan kerapatan vegetasi di kecamatan Bahorok tahun 2008 dan 2018.

Gambar 12. Diagram Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun


2008 dan 2018

26

Universitas Sumatera Utara


27

Universitas Sumatera Utara


Gambar 13. Peta Perubahan Kerapatan Vegetasi di Kecamatan Bahorok Tahun 2018
28

Universitas Sumatera Utara


Analisis Vegetasi di Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Bukit
Lawang

Analisis vegetasi dilakukan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
Meskipun Orangutan kebanyakan melakukan aktivitasnya di pohon yang berada
dekat dengan pohon pakan, pengambilan data tidak hanya dilakukan pada tingkat
pohon saja. Hal ini bertujuan untuk mengetahui potensi vegetasi di hutan Taman
Nasional Gunung Leuser Seksi Bukit Lawang, guna menyajikan data yang
bermanfaat untuk pengelolaan kawasan hutan yang berada dalam wilayah kelola
TNGL tersebut. Pada pengambilan sampel dengan metode jalur berpetak
menggunakan intensitas sampling 6% dengan luas total 11,75 Ha, terdapat 181
spesies yang berhasil diidentifikasi. Pada fase semai di petak ukur 6x6 m terdapat
5.389 individu, di fase pancang pada petak ukur 12x12 m berjumlah 6.652
individu, di fase tiang pada petak ukur 25 x 25 m sejumlah 2.116 individu dan di
fase pohon dewasa dalam petak ukur 50 x 50 m sejumlah 2.230 individu. Tabel 6
berikut adalah hasil analisis vegetasi pada fase pohon di hutan TNGL tepatnya
Seksi Bukit Lawang.
Tabel 6. Sepuluh jenis pohon utama berdasarkan INP di lokasi penelitian
No Jenis Individu KR (%) FR (%) DR (%) INP
1 Shorea parvifolia 123 5,53 1,04 0,75 7,31
2 Cactanopsis tungurut 30 4,92 1,08 0,70 6,71
3 Shorea leprosula 72 3,23 1,04 0,79 5,06
4 Litsea firma 53 2,38 1,04 1,05 4,46
5 Aglaia sp 1 49 2,22 1,04 0,90 4,14
6 Hopea odorata 49 2,20 1,04 0,76 4,00
7 Shorea ovalis 44 1,97 1,04 0,85 3,86
8 Actinodaphne angustifolia 38 1,96 1,05 0,59 3,59
9 Polyalthia lateriflora 21 1,74 1,03 0,81 3,59
10 Endospermum diadenum 26 1,74 1,04 0,58 3,36

Berdasarkan tabel di atas, jenis pohon yang paling mendominasi adalah


dari famili Dipterocarpaceae yaitu Shorea parvifolia dengan Kerapatan
Relatif (KR) 5,53%, Frekuensi Relatif (FR) 1,04%, Dominansi Relatif (DR)
0,75% dan Indeks Nilai Penting (INP) 7,31. Hal ini sesuai dengan Aulia (2018)
yang menyatakan bahwa vegetasi yang paling dominan di TNGL tepatnya
Seksi Bukit Lawang berasal dari famili Dipterocarpaceae yaitu S. parvifolia.
Jenis yang mendominansi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain;
faktor genetik dan lingkungan, persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal
29

Universitas Sumatera Utara


ini berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Iklim dan mineral yang
dibutuhkan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu spesies,
sehingga spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan di dalam
suatu kawasan (Robert dan Lean, 2007). Spesies dengan INP terendah adalah
Endospermum diadenum dengan Kerapatan Relatif (KR) 1,74%, Frekuensi Relatif
(FR) 1,04%, Dominansi Relatif (DR) 0,58% dan Indeks Nilai Penting (INP) 3,36.
Gambar 14 berikut adalah diagram sebaran famili pada fase pohon.

Gambar 14. Diagaram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase pohon

Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui famili yang paling


mendominasi pada fase pohon adalah Dipterocarpaceae dan Euphorbiaceae
dengan masing-masing persentase 26% dan 19%. Famili-famili yang ditemukan
paling dominan pada fase pohon belum tentu ditemukan dengan sama persis pada
fase tiang. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa perbedaan spesies dan famili
penyusun vegetasi pada masing-masing fase. Jenis-jenis pohon pada fase tiang
menunjukkan kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi dengan lingkungannya,
dan masih mengalami masa pertumbuhan menjadi pohon dewasa, sehingga lebih
besar bersaing dalam mengambil nutrisi. Nilai keberagaman pada
fase pohon dewasa lebih rendah daripada fase tiang mempengaruhi
jumlah individu dan populasi pada fase tiang, sehingga jenis-jenis

30

Universitas Sumatera Utara


pohon pada fase tiang mengambil lebih banyak nutrisi serta unsur hara
yang ada. Tabel 7 berikut adalah hasil analisis vegetasi pada fase tiang di hutan
TNGL Seksi Bukit Lawang.
Tabel 7. Sepuluh jenis tiang utama berdasarkan INP di lokasi penelitian
No Jenis Individu KR (%) FR (%) DR (%) INP
1 Shorea parvifolia 112 5,34 1,09 1,42 7,84
2 Shorea leprosula 62 2,98 1,08 0,85 4,91
3 Litsea firma 48 2,40 1,06 1,38 4,84
4 Aglaia sp 1 43 2,18 1,08 1,39 4,65
5 Hopea odorata 43 2,42 1,08 0,98 4,48
6 Polyalthia sumatrana 23 2,07 1,09 1,26 4,42
7 Actinodaphne angustifolia 34 2,18 1,07 1,10 4,35
8 Shorea ovalis 38 2,08 1,10 1,15 4,33
9 Polyalthia lateriflora 20 2,00 1,07 1,09 4,16
10 Shorea sp 16 1,81 1,04 0,72 3,58

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui spesies yang paling mendominasi


adalah S. parvifolia dengan Kerapatan Relatif (KR) 5,34%, Frekuensi Relatif (FR)
1,09%, Dominasi Relatif (DR) 1,42% dan Indeks Nilai Penting (INP) 7,84.
Dalam hal ini S. parvifolia masih berada di urutan pertama sebagai spesies
yang berada di puncak Indeks Nilai Penting (INP). Terdapat empat spesies dari
genus Shorea atau setara dengan 40% yang masuk dalam kategori sepuluh spesies
utama pada fase tiang. Sementara spesies yang memiliki Indeks Nilai Penting
(INP) terendah 3,58 adalah Shorea sp yang juga masih dari genus Shorea dan
Polyalthia lateriflora dengan INP 4,16. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi
antar spesies pada fase tiang diungguli oleh genus Shorea. Menurut Syafei (1990),
suatu dominansi jenis tumbuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada,
faktor lingkungan dipengaruhi oleh suatu kondisi minimum, maksimum dan
optimum. Jika faktor lingkungan tidak mendukung, maka akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan suatu jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan yang
mendominansi berarti memiliki kisaran lingkungan yang lebih luas dibandingkan
dengan jenis yang lainnya, sehingga dengan kisaran toleransi yang luas terhadap
faktor lingkungan menyebabkan suatu jenis tumbuhan akan memiliki sebaran
yang luas. Gambar 15 berikut adalah diagram sebaran famili tiang dengan
kerapatan tertinggi.

31

Universitas Sumatera Utara


Gambar 15. Diagram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase tiang

Berikut adalah hasil analisis vegetasi pada fase pancang seperti yang tertera pada
tabel 8.
Tabel 8. Sepuluh jenis pancang utama berdasarkan INP di lokasi penelitian
No Jenis Individu KR (%) FR (%) INP
1 Shorea parvifolia 267 4,01 0,62 4,63
2 Aglaia sp 1 219 3,28 0,62 3,90
3 Litsea firma 200 3,00 0,62 3,62
4 Shorea ovalis 170 2,55 0,62 3,17
5 Shorea leprosula 167 2,51 0,62 3,13
6 Podocarpus imbricatus 153 2,29 0,62 2,91
7 Aglaia argentea 128 2,06 0,62 2,67
8 Archidendron ellipticum 120 1,92 0,62 2,54
9 Actinodaphne angustifolia 107 1,85 0,62 2,47
10 Hopea odorata 77 1,72 0,62 2,34

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui spesies yang paling mendominasi


adalah S. parvifolia dengan nilai Kerapatan Relatif (KR) 4,01%, Frekuensi Reatif
(FR) 0,62% dan Indeks Niai Penting (INP) 4,63. S. parvifolia dalam
hal ini mendominasi tidak hanya pada fase pohon dan tiang, tapi
juga mendominasi pada fase pancang dengan Indeks Nilai Penting (INP) pada
masing-masing fase adalah yang tertinggi. Meskipun demikian, terdapat beberapa
32

Universitas Sumatera Utara


spesies yang mengalami perubahan yang signifikan pada fase pancang seperti
spesies Hopea odorata yang berada pada urutan ke 10 dengan Indeks Nilai
Penting (INP) 2,34. Selain itu spesies Polyalthia lateriflora yang termasuk dalam
10 spesies yang mendominasi pada fase pohon dan tiang tidak termasuk dalam 10
spesies yang mendominasi pada fase pancang. Menurut Montagnini dan Jordan
(2005), jenis yang dominan dalam suatu fase pertumbuhan pohon, tetapi tidak
mendominansi di fase lain disebabkan oleh adanya persaingan antara tumbuhan
lainnya menyebabkan jenis dominan atau tumbuhan lainnya kurang mampu untuk
bersaing, sehingga jenis tersebut kurang mampu untuk mendominasi ke fase
pertumbuhan lainnya. Selain itu jenis tersebut kurang mampu untuk
mempertahankan diri dan adaptasi pada kondisi alam, dengan demikian dapat di
pastikan jenis tersebut tidak mengalami perkembangan. Disamping itu pula
ketiadaan jenis pada fase lain disebabkan adanya faktor alam seperti bencana
alam, erosi, banjir atau kegiatan manusia seperti perambahan di kawasan hutan
tersebut. Terdapat satu spesies baru yang masuk dalam 10 spesies paling dominan
yaitu Podocarpus imbricatus dengan nilai Kerapatan Relatif (KR) 2,29%,
Frekuensi Reatif (FR) 0,62% dan INP 2,91. Pada fase pohon dan tiang
Podocarpus imbricatus tidak masuk dalam pemeringkatan 10 spesies paling
dominan. Gambar 16 berikut adalah diagram sebaran famili fase pancang.

Gambar 16. Diagram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase pancang
33

Universitas Sumatera Utara


Berikut adalah hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada fase semai seperti yang
tertera pada tabel 9.
Tabel 9. Sepuluh jenis semai utama berdasarkan INP di lokasi penelitian
No Jenis Individu KR (%) FR (%) INP
1 Shorea ovalis 188 5,10 0,96 6,06
2 Actinodaphne angustifolia 188 1,00 4,57 5,57
3 Aglaia argentea 150 4,03 0,96 4,99
4 Shorea leprosula 112 3,36 0,97 4,33
5 Hopea odorata 117 3,17 0,96 4,14
6 Podocarpus imbricatus 153 2,84 0,95 3,78
7 Aglaia sp 1 37 2,91 0,84 3,74
8 Archidendron ellipticum 72 2,37 0,96 3,33
9 Lithocarpus gracilis 73 2,29 0,97 3,26
10 Shorea parvifolia 50 1,92 0,97 2,88

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui spesies yang paling dominan


adalah Shorea ovalis dengan nilai Kerapatan Relatif (KR) 5,10%, Frekuensi
Reatif (FR) 0,96% dan Indeks Niai Penting (INP) 6,06. S. parvifolia yang pada
fase pohon, tiang dan semai berada pada puncak 10 spesies paing dominan,
berada di urutan ke 10 dengan Indeks Niai Penting paling rendah pada fase semai.
S. parvifolia memiliki nilai Kerapatan Relatif (KR) 1,92%, Frekuensi Reatif (FR)
0,97% dan INP 2,88. Podocarpus imbricatus masih menunjukkan konsistensinya
dengan masih masuk dalam 10 spesies paling dominan pada fase semai, setelah
sebelumnya merupakan spesies baru yang masuk 10 spesies dominan pada fase
pancang. Terdapat perbedaan yang signifikan antara spesies yang mendominasi di
fase pohon, tiang dan pancang dengan fase semai. Hal ini diduga terjadi karena
terjadinya persaingan antar spesies. Menurut Odum (1998), persaingan akan
meningkatkan daya saing untuk mempertahankan hidup, jenis yang kuat akan
menang dan menekan yang lain sehingga jenis yang kalah mempunyai tingkat
pertumbuhan yang rendah dan menyebabkan jenis tersebut kurang berkembang
sehingga kepadatannya juga akan sedikit. Setiap jenis tumbuhan mempunyai
kondisi minimum, maksimum dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada.
Pada kondisi minimum akan menunjukkan suatu jenis untuk mampu tumbuh
tetapi tidak mampu berkembang sama seperti kondisi maksimum mereka hanya
akan mampu tumbuh berbeda. Gambar 17 berikut adalah diagram sebaran famili
pada fase semai.
34

Universitas Sumatera Utara


Gambar 17. Diagram famili dengan kerapatan tertinggi pada fase semai

Analisis Vegetasi di Kebun Campuran di Perbatasan Bukit Lawang dan


Kecamatan Bahorok

Orangutan Sumatera (P. abelii) adalah hewan yang terus bergerak berpindah
atau lebih sering disebut arboreal. Orangutan hidup secara nomadis yaitu
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain untuk mencari sumber makanan
dan membangun pohon sarang. Meskipun begitu, orangutan akan tetap tinggal di
suatu daerah selama ketersediaan makanan cukup melimpah. Analisis
Vegetasi selain dilakukan di hutan TNGL tepatnya di Seksi Bukit Lawang, juga
dillakukan di kebun campuran yang terletak di daerah sekitar perbatasan seksi
Bukit Lawang yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bahorok. Hal
ini dilakukan karena daya jelajah harian Orangutan Sumatera yang tujuan
utamanya adalah untuk makan dan istirahat. Pudyatmoko dan Ali (2013)
menyatakan daya jelajah harian Orangutan Sumatera dengan tujuan paling
dominan adalah untuk istirahat 47,32%, makan 37%, bergerak 14,75%, sosial
0,52% dan bersarang 0,41%.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada pemilik kebun campuran di
lokasi penelitian, ada beberapa Orangutan Sumatera yang pernah masuk ke kebun

35

Universitas Sumatera Utara


campuran mereka selama kurun waktu tertentu. Masyarakat sekitar juga
mengatakan hal serupa dan berpendapat bahwa Orangutan Sumatera tersebut
masuk ke kebun campuran mereka untuk makan dan istirahat. Sumber makanan di
kebun campuran cukup melimpah sehingga menarik perhatian orangutan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Morrison (2002) bahwa habitat dapat
menghubungkan kehadiran spesies, populasi, atau individu (satwa atau tumbuhan)
dengan sebuah kawasan fisik dan karakteristik biologi. Perkebunan dan kebun
campuran memang bukan habitat alami Orangutan Sumatera, tapi kondisi
geografis serta lokasi yang masih termasuk dalam home range nya sangat
memungkinkan terjadinya pergerakan orangutan dari dalam hutan ke lokasi yang
bukan hutan. Dalam hal ini orangutan pernah beberapa kali masuk ke kebun
campuran warga yang berada di sekitar habitat alaminya. Tabel 10 berikut adalah
enam jenis pohon yang terdapat di kebun campuran milik masyarakat setempat
yang sering dimasuki oleh orangutan.
Tabel 10. Enam jenis komoditi di lokasi penelitian kebun campuran di perbatasan
Seksi Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok.
No Jenis Individu KR (%) FR (%) DR (%) INP
1 Hevea brasiliensis 1229 75,27 35 29,72 140
2 Theobroma cacao .L 221 12,73 35 38,65 86,38
3 Musa paradisiaca 182 15,05 30 32,11 51,45
4 Gnetum gnemon .L 12 9,83 25 23,61 3,89
5 Mangifera Indica .L 6 4,72 25 25,91 3,70
6 Cocos nucifera .L 18 3,68 25 25,88 14,55
∑=1.668 ῆ =20,21 29,16 29,31 300

Tabel di atas menujukkan Hevea brasiliensis memiliki INP tertinggi yaitu


140 dan Theobroma cacao .L di urutan ke dua dengan INP 86,38 serta
Mangifera Indica .L dengan INP terendah yaitu 3,70. H. brasiliensis mendominasi
kebun campuran karena lokasinya dengan kebun karet yang berada pada satu areal
yang sama. Selain itu, yang menjadi komoditi utama pada kebun campuran
tersebut adalah H.brasiliensis dan T. cacao .L. Awalnya kebun campuran
tersebut adalah kebun karet, tapi warga berinisiatif menanam jenis pohon lainnya
yang juga menguntungkan secara ekonomi. Pohon yang sering dijumpai selain
H. brasiliensis adalah T. cacao .L yang merupakan salah satu primadona
masyarakat setempat. Gambar 18 berikut adalah diagram kerapatan spesies di
perkebunan campuran.
36

Universitas Sumatera Utara


Gambar 18. Diagram kerapatan spesies di perkebunan campuran

Lokasi kebun campuran berbatasan dengan perkebunan karet yang


wilayahnya masih berada di sekitar Seksi Bukit Lawang. Kebun karet tersebut
merupakan tempat yang potensial untuk dimasuki Orangutan Sumatera
(P. abelii) karena lokasi yang dekat dengan habitat aslinya. Selain itu masyarakat
setempat sering melihat orangutan di dalam perkebunan karet. Meskipun tidak
banyak orangutan yang masuk di perkebunan karet, tapi hampir sepanjang tahun
masyarakat setempat melihat ada beberapa orangutan yang masuk ke dalam
kawasan perkebunan karet. Melihat potensi perkebunan karet menjadi salah satu
tempat jelajah orangutan, maka anaisis vegetasi juga diakukan. Analisis vegetasi
di perkebunan karet ini juga ditujukan untuk membuktikan nilai indeks kerapatan
vegetasi di Kecamatan Bahorok. Dalam analisis NDVI vegetasi berupa hutan,
perkebunan, perkebunan campuran sangat mempengaruhi data.

Analisis Vegetasi di Perkebunan Karet di Kecamatan Bahorok

Meluasnya perkebunan sawit dan karet di Kabupaten Langkat telah


memicu beberapa kasus perambahan yang terjadi di kawasan TTNGL.
Kasus jual beli lahan dalam kawasan di SPTN Wilayah VI Besitang yang
terjadi sejak 1978 dan ekskalasinya meningkat pada tahun 1999
adalah contoh nyata dari kasus perambahan kawasan TNGL. Sementara
37

Universitas Sumatera Utara


SPTN Wilayah V Bahorok telah mengalami kerusakan hutan dengan luas
4.429,68 Ha pada tahun 2009 dengan laju deforestasi 5% atau 625 Ha/Tahun
(Kementerian Kehutanan, 2010). Bukit Lawang sebagai salah satu seksi di SPTN
Wilayah V Bahorok memiliki beberapa perkebunan sawit dan karet di
kawasan sekitarnya. Berdasarkan potensi pergerakan Orangutan Sumatera
(P. abelii) yang memungkinkan untuk masuk ke dalam kawasan perkebunan sawit
atau karet, maka analisis vegetasi perlu dilakukan pada salah satu perkebunan
homogen tersebut, dalam hal ini adalah perkebunan karet. Tabel 11 berikut adalah
hasil analisis vegetasi di perkebunan karet.
Tabel 11. Analisis vegetasi perkebunan karet di Kecamatan Bahorok
Plot Jenis Individu KR FR DR INP
(%) (%) (%)
1 Hevea brasiliensis 99 6,71 6,67 6,65 20,02
2 Hevea brasiliensis 98 6,64 6,67 8,32 21,62
3 Hevea brasiliensis 100 6,78 6,67 7,91 21,36
4 Hevea brasiliensis 92 6,23 6,67 6,83 19,73
5 Hevea brasiliensis 99 6,71 6,67 8,11 21,49
6 Hevea brasiliensis 95 6,44 6,67 6,96 20,06
7 Hevea brasiliensis 98 6,64 6,67 6,18 19,48
8 Hevea brasiliensis 100 6,78 6,67 5,77 19,22
9 Hevea brasiliensis 100 6,78 6,67 6,06 19,50
10 Hevea brasiliensis 100 6,78 6,67 6,23 19,68
11 Hevea brasiliensis 96 6,50 6,67 6,35 19,52
12 Hevea brasiliensis 99 6,71 6,67 5,66 19,04
13 Hevea brasiliensis 100 6,78 6,67 5,77 19,22
14 Hevea brasiliensis 100 6,78 6,67 6,83 20,27
15 Hevea brasiliensis 100 6,78 6,67 6,35 19,79
∑= 1.476 ῆ= 6,67 6,67 6,67 300

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumah H. brasiliensis berkisar


antara 92-100 pada setiap plot. Indeks Nilai Penting (INP) berkisar antara 19-22
dengan INP tertinggi terdapat pada plot 2 yaitu 21,62. Menimbang analisis
vegetasi ini dilakukan pada perkebunan karet homogen, maka tidak ditemukan
spesies lain seperti di kebun campuran.

Kerapatan Vegetasi dan Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di


Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap Orangutan di hutan


Taman Nasional Gunung Leuser seksi Bukit Lawang, terdapat beberapa individu
Orangutan yang bergerak bebas di hutan tersebut. Selain sumber pakan Orangutan
38

Universitas Sumatera Utara


tersedia di hutan tersebut, ditemukan juga beberapa bekas sarang Orangutan. Hal
ini menunjukkan Orangutan menyukai hutan yang didominasi oleh kelas rapat dan
sangat rapat tersebut. Nilai kerapatan vegetasi menunjukkan bahwa hutan Taman
Nasional Gunung Leuser di seksi Bukit Lawang didominasi oleh kelas rapat
71,45% dan kelas sangat rapat 27,13%. Semakin rapat tutupan vegetasi di hutan
tersebut akan lebih baik bagi keberlangsungan hidup Orangutan Sumatera
(P. abelii). Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah pohon sarang
dan beberapa individu Orangutan liar di lokasi tersebut. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hadi et al. (2013) menunjukkan Orangutan Sumatera (P. abelii)
menghabiskan 47,32% waktunya untuk istirahat, 37% untuk makan dan 14,75%
untuk bergerak. Hal ini membuktikan bahwa hampir seluruh aktivitas Orangutan
tersebut bergantung pada pohon di habitatnya. Orangutan bergerak dengan
berayun dari cabang atau dahan pohon satu ke pohon lainnya. Orangutan makan
dari buah, umbut, bunga, kulit kayu, daun, cabang muda yang terdapat pada pohon
di habitatnya. Faesal (2015) menyatakan bahwa proporsi jenis pakan Orangutan
Sumatera (P. abelii) tertinggi adalah buah sebanyak 71,06%, umbut 11,72%,
bunga 7,85%, daun 2,82%. Berdasarkan data tersebut dan perilaku harian
Orangutan, dapat disimpulkan bahwa Orangutan sangat bergantung pada pohon
untuk bertahan hidup.
Sejak dikaji dalam Population and Habitat Viability Assesment (2016)
kajian populasi dan distribusi orangutan sumatera (P. abelii) semakin berkembang
dan dilakukan lebih rinci, dari yang semula diprediksi terdapat 6.667 individu dan
tersebar di habitat seluas 703.100 hektar dengan batasan ketinggian di bawah 800
m dpl, saat ini populasinya diperkirakan terdapat 14.470 individu di habitat seluas
2.155.692. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui meskipun terjadi penurunan
luas 21.740,11 Ha pada kelas sangat rapat di seksi Bukit Lawang tahun 2018,
populasi Orangutan Sumatera (P. abelii) diperkirakan mengalami perkembangan
yang baik. Ada beberapa hal yang menjadi alasan utamanya, salah satunya adalah
peningkatan kelas kerapatan vegetasi rapat sebesar 21.445,28 Ha atau 49,32%,
meningkatnya jumlah program atau aksi konservasi Orangutan Sumatera
(P. abelii) di Sumatera Utara, salah satunya adalah program konservasi oleh
Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (YOSL).

39

Universitas Sumatera Utara


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kelas kerapatan vegetasi habitat Orangutan Sumatera (P. abelii) terbesar


di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok pada tahun 2018 adalah kelas
rapat dengan luas masing-masing 25.407,46 Ha atau 71,45% Ha dan
56.337,24 atau 59,89%.
2. Perubahan kelas kerapatan vegetasi habitat Orangutan Sumatera
(P. abelii) terbesar di Bukit Lawang dan Kecamatan Bahorok adalah pada
kelas sangat rapat dengan penurunan luas 21.740,11 Ha atau 50% dan
47.040,02 Ha atau 49,9%. Sedangkan Perubahan kelas kerapatan vegetasi
habitat Orangutan Sumatera (P. abelii) terkecil di Bukit Lawang dan
Kecamatan Bahorok adalah pada kelas jarang dengan penurunan luas
13,84 Ha atau 0,03% dan 503,37 Ha atau 0,53%.

Saran

Diperlukan analisis citra dengan resolusi yang lebih tinggi dibandingkan


citra Landsat yang dapat menembus bayangan awan sehingga hasil analisis yang
diperoleh lebih akurat. Selain itu juga diperlukan model pendugaan populasi
Orangutan Sumatera (P. abelii) di hutan Taman Nasional Gunung Leuser,
khususnya di SPTN V Bahorok, seksi Bukit Lawang, sehingga dapat dibuat
hubungan antara kerapatan vegetasi dengan populasi Orangutan Sumatera
(P. abelii).

40

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Arnanto, Ardi. 2013. Pemanfaatan Transformasi Normalized Difference


Vegetation Index (Ndvi) Citra Landsat Tm Untuk Zonasi Vegetasi Di
Lereng Merapi Bagian Selatan. Jurnal Geomedia Vol. 11. No. 2.
Aulia, Nur Latifah. 2018. Analisis Jenis Pohon Pakan dan Kandungan Nutrisi
Buah Sumber Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di
Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Medan. Universitas Sumatera
Utara.
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Langkat. 2008. Kecamatan Bahorok Dalam
Angka 2017. BPS Kabupaten Langkat. Langkat.

Badan Pusat Statistik, Kabupaten Langkat. 2017. Kecamatan Bahorok Dalam


Angka 2017. BPS Kabupaten Langkat. Langkat.

Butler, M.J.A., Mouchet, M.C., Barale, V., Leblanc, C. 1988. The Aplication of
Remote Sensing Technologyto Marine Fisheries : An Introduction
Manual.FAO Fisheries Technical Paper. Maritime Resources
Management Service. Amherst, Nova Scotia.

Danoedoro, Projo. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi


Offset.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007. Strategi dan
Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Jakarta:
Departemen Kehutanan.

Faesal. 2015. Ekologi Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Hutan


Batang Toru Blok Barat Sumatera Utara. Bogor. Institut Pertanian
Bogor.
Hadi, S., Satyawan, P., Muhammad, A.I. 2013. Perilaku dan Jelajah Harian
Orangutan Sumatera (Pongo abeli) di Kawasan Cagar Alam Hutan Pinus
Jantho, Aceh Besar. Yogyakarta. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah
Mada.
Jaya, INS. 2015. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh Untuk
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Kasim, Faizal. 2012. Pendekatan Beberapa Metode Dalam Monitoring Perubahan
Garis Pantai Menggunakan Dataset Penginderaan Jauh Landsat dan SIG.
Jurnal Ilmiah Agropolitan 9 (1) : 620-635.

Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman


Nasional Gunung Leuser (RPJP TNGL) Periode 2010-2019. Medan: Balai
Besar Taman Nasional Gunung Leuser.
41

Universitas Sumatera Utara


Latifah, Siti. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. http://www.geocities.com/
Ejurnal/.pdf. [19 Maret 2019].
Lufilah, N. S, Makalew. A,D dan Sulistyantara, B. 2017. Pemanfaatan Landsat 8
Untuk Analisis Indeks Vegetasi Di DKI Jakarta. Fakultas Pertanian IPB.
Bogor
May, Robert M dan Angela MC Lean. 2007. Theoritical Ecology Principles
Application. New York. Oxfords University Press.
Meijard, Erick. 2001. Diambang Kepunahan! Kondisi Orangutan Liar di Awal
Abad ke 21. Cetakan Pertama. Jakarta. The Gibbon Foundation Indonesia.
Motagninni, Florencia dan Carl F Jordan. 2005. Tropical Forest Ecology The
Basis for Conservation and Management. Amsterdam. Neterland Springer
Press.
Morrison, M.L. 2002. Wildlife Restoration: technique for habitat analysis and
animal monitoring. Island Press. Washington.
Odum, Eugene P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi.Yogyakarta. Gajah Mada
University Press.
Peraturan Daerah Kabupaten Langkat No.9 Tahun 2013. Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Langkat Tahun 2013-2033.
Population and Habitat Viability Assesment 2004. Orangutan. Laporan Akhir
Workshop tanggal 15-18 Januari 2004. Jakarta.
Population and Habitat Viability Assesment 2016. Orangutan. Laporan Akhir
Workshop tanggal 22 Agustus 2017. Jakarta.
Pudyatmoko dan Ali. 2013. Perilaku dan Jelajah Harian Orangutan Sumatera
(Pongo abelii Lesson 1827) Rehabilitasi di Kawasan Cagar Alam Hutan
Pinus Santho, Aceh Besar. Yogyakarta. Fakultas Kehutanan Universitas
Gajah Mada. Vol VI No.1
Safitri, Rizky Ayu. 2016. Analisis Perubahan Kerapatan Vegetasi Berdasarkan
Kelas Tuupan Lahan Das Besitang Kabupaten Langkat. Fakultas
Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Saefurahman, Ganjar. 2008. Distribusi, Kerapatan Dan Perubahan Luas Vegetasi
Mangrove Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu Menggunakan Citra
Formosat 2 Dan Landsat 7/ETM+. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Segan, D. B., Murray, K. A., & Watson, J. E. (2016). A Global Assessment Of


Current and Future Biodiversity Vulnerability To Habitat Loss– Climate
Change Interactions. Global Ecology and Conservation, 5, 12-21.

Singleton I, Wich SA & Griffiths M. 2008. Pongo abelii. The IUCN Red List of
Threatened Species. Version 2014.1. <www.iucnredlist.org>. Didownload
12 Agustus 2019.
42

Universitas Sumatera Utara


Soerianegara dan Indrawan. 2002. Ekosistem Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudiana, Dodi dan Diasmara, elfa. 2008. Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan
Data Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS. Seminar on
Intelligent Technology and Its Applications 2008.
Sumaatmadja, N. 1988 Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan.
Alumni. Bogor.

Suwargana, Nana. 2008. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Data


Penginderaan Jauh Di Pantai Bahagia, Muara Gembong, Bekasi. Jurnal
Penginderaan Jauh (5): 64-74.

Syafei, E S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung. Institut Teknologi


Bandung.
Verhulst, N., dan Govaerts, B. 2010. The Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI) GreenSeeker Handheld Sensor: Toward the Integrated
Evaluation of Crop Management. Part A: Concepts and Case Studies.
D.F; CIMMYT. Mexico.
Widiyati. A, Ekadinata A., dan R. Syam. 2005. Alih Guna Lahan di
Kabupaten Nunukan: Pendugaan Cadangan Karbon Berdasarkan Tipe
Tutupan Lahan dan Kerapatan Vegetasi Pada Skala Landskap.
http://www.worldagroforestry.org/seaPublicationsfiles/book/BK008905/B
K0089-05-2.pdf. [17 Maret 2019].
Yazela, Bowo. E.C, Agung. T.N. 2018. Analisis Tingkat Kehijauan Hutan Daerah
Pertambangan Sawahlunto Dengan Metode NDVI Berdasarkan Citra
Landsat Tahun 2006-2016. ISSN. Vol III No.1

Yin, H. Dirk, P. Patrick, H. Thomas, U. 2012. How Normalized Diffrence


Vegetation Indeks (NDVI) from Advanced very High Resolution
Radiometer (AVHRR) adn System Probatoire d’Observation de la Terre
Vegetation ( SPOT VGT) Time Series Differ in Agricultural Areas: An
Inner Mongolian Case study. Geografy Departemen. Universitas Zu
Berlin. Berlin.
Zaitunah. A., Samsuri., Ahmad. A.G., Safitri. R.A. 2018. Normalized difference
vegetation index (NDVI) Analysis for Land Cover Types Using Landsat 8
Oli in Besitang Watershed, Indonesia. Friendly City 4’From Research To
Implementation For Better Sustainability. IOP Publishing. 126 : 1-10.

43

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN

Lampiran1. Analisis Vegetasi Pada Fase Pohon di Hutan Taman Nasional Gunung
Leuser Seksi Bukit Lawang
No. Spesies Individu %KR %FR %DR INP
1 Actinidia sp 4 0,18 0,29 0,26 0,73
2 Saurauia sp 6 0,27 0,41 0,65 1,34
3 Alangium javanicum 11 0,49 0,76 0,76 2,00
4 Buchanania arborescens 25 1,11 0,90 0,81 2,83
5 Dracontomelon dao 9 0,41 0,62 0,71 1,73
6 Mangifera foetida 4 0,18 0,28 0,30 0,77
7 Mangifera quodrifida 8 0,36 0,56 0,50 1,42
8 Cyathocalyx sumatrana 25 1,11 0,83 0,81 2,75
9 Polyalthia lateriflora 29 1,29 0,90 0,69 2,88
10 Polyalthia sumatrana 32 1,44 1,04 0,85 3,33
11 Alstonia scholaris 6 0,27 0,41 0,54 1,22
12 Agathis dammara 6 0,26 0,41 0,57 1,24
13 Durio zibethinus 15 0,67 1,04 0,94 2,65
14 Canarium denticulatum 21 0,93 0,76 0,71 2,40
15 Canarium indicum 18 0,81 0,97 0,75 2,53
16 Canarium sp 4 0,19 0,28 0,31 0,78
17 Protium javanicum 15 0,67 0,89 0,76 2,32
18 Calophyllum inophyllum 18 0,81 0,97 0,75 2,54
19 Calophyllum sp 7 0,32 0,48 0,44 1,24
20 Calophyllum sp 1 6 0,27 0,41 0,43 1,11
21 Calophyllum sp 2 5 0,23 0,36 0,33 0,92
22 Calophyllum rigidum 5 0,23 0,34 0,35 0,91
23 Garcinia celebica 24 1,08 0,90 0,69 2,66
24 Garcinia dioica 18 0,81 0,98 0,62 2,41
25 Garcinia microcarpa 14 0,63 0,97 0,71 2,30
26 Dillenia sp 6 0,26 0,40 0,34 1,00
27 Dillenia indica 7 0,31 0,46 0,42 1,19
28 Dillenia reticulate 11 0,50 0,77 0,63 1,90
29 Dipterocarpus caudatus 4 0,18 0,28 0,33 0,80
30 Dipterocarpus cornutus 12 0,54 0,82 0,78 2,15
31 Dipterocarpus elongatus 5 0,22 0,35 0,41 0,98
32 Dipterocarpus lamellatus 25 1,13 0,90 0,68 2,71
33 Dipterocarpus sp 6 0,26 0,42 0,46 1,14
34 Dipterocarpus sp 1 5 0,23 0,34 0,34 0,91
35 Dipterocarpus sp 2 5 0,23 0,34 0,35 0,91
36 Dipterocarpus sp 3 6 0,27 0,41 0,44 1,12
37 Dipterocarpus sp 4 5 0,22 0,36 0,41 0,99
38 Dipterocarpus tempehes 5 0,23 0,33 0,30 0,87
39 Dipterocarpus grandiflorus 5 0,22 0,35 0,34 0,91
40 Hopea odorata 49 2,20 1,04 0,76 4,00
41 Hopea sp 6 0,27 0,42 0,37 1,06
42 Hopea mengarawan 13 0,58 0,89 0,79 2,27
43 Parashorea sp 4 0,18 0,27 0,32 0,77
44 Shorea acuminate 4 0,18 0,28 0,24 0,70
45 Shorea elliptica 5 0,22 0,34 0,25 0,81
46 Shorea gibbosa 11 0,50 0,77 0,62 1,89
47 Shorea leprosula 72 3,23 1,04 0,79 5,06
48 Shorea ovalis 44 1,97 1,04 0,85 3,86
49 Shorea parvifolia 123 5,53 1,04 0,75 7,31
50 Shorea sp 27 1,21 1,76 0,80 3,76

44

Universitas Sumatera Utara


No. Spesies Individu %KR %FR %DR INP
51. Diospyros celebica 6 0,27 0,43 0,28 0,97
52. Diospyros sp 2 0,09 0,13 0,11 0,33
53. Diospyros truncate 7 0,31 0,48 0,36 1,15
54. Antidesma bunius 7 0,32 0,49 0,36 1,16
55. Antidesma gahaesembilla 5 0,23 0,34 0,24 0,81
56. Antidesma sp 6 0,27 0,41 0,34 1,02
57. Aporosa elliptifolia 7 0,32 0,49 0,37 1,18
58. Aporosa frutescens 4 0,18 0,28 0,21 0,67
59. Aporosa sp 6 0,27 0,42 0,38 1,06
60. Baccaurea macrocarpa 8 0,36 0,55 0,52 1,42
61. Baccaurea sp 3 0,13 0,20 0,18 0,50
62. Baccaurea stipulata 5 0,23 0,34 0,27 0,84
63. Baccaurea sumatrana 35 1,58 1,04 0,76 3,37
64. Cleistanthus sp 23 1,02 0,91 0,59 2,52
65. Cleistanthus sp 1 8 0,36 0,55 0,52 1,43
66. Cleistanthus sp 2 2 0,09 0,13 0,12 0,33
67. Cleistanthus sp 3 4 0,17 0,26 0,29 0,72
68. Cleistanthus sp 4 7 0,32 0,48 0,62 1,42
69. Cleistanthus sp 5 7 0,31 0,47 0,67 1,46
70. Cleistanthus sp 6 5 0,22 0,34 0,36 0,92
71. Croton argyratus 6 0,27 0,43 0,48 1,17
72. Endospermum diadenum 34 1,52 0,97 0,54 3,03
73. Glochidion littorale 34 1,52 0,97 0,66 3,15
74. Macaranga bancana 5 0,22 0,33 0,27 0,82
75. Macaranga indica 2 0,09 0,14 0,12 0,35
76. Macaranga puncticulata 7 0,31 0,48 0,46 1,25
77. Macaranga gigantea 9 0,41 0,62 0,50 1,52
78. Mallotus peltatus 6 0,27 0,41 0,42 1,10
79. Ptychopyxis arborea 6 0,27 0,43 0,30 0,99
80. Sapium baccatum 29 1,30 1,04 1,00 3,34
81. Sesbania grandiflora 20 0,89 0,84 0,76 2,50
82. Cactanopsis tungurut 45 1,99 0,90 0,58 3,47
83. Castanopsis inermis 28 1,26 0,96 0,49 2,71
84. Castanopsis sp 4 0,18 0,29 0,49 0,96
85. Castanopsis sp 1 5 0,22 0,35 0,51 1,07
86. Castanopsis sp 2 6 0,27 0,41 0,63 1,32
87. Castanopsis sp 3 8 0,35 0,55 0,67 1,58
88. Castanopsis sp 4 9 0,41 0,62 0,84 1,87
89. Lithocarpus elegans 26 1,16 0,90 0,68 2,75
90. Lithocarpus glochidium 9 0,40 0,61 0,66 1,67
91. Lithocarpus gracilis 32 1,44 1,04 0,94 3,42
92. Quercus spicata 20 0,90 0,84 0,84 2,59
93. Quercus sumatrana 5 0,22 0,34 0,44 1,00
94. Quercus turbinate 6 0,27 0,42 0,30 0,98
95. Callicarpa tomentosa 9 0,41 0,64 0,78 1,82
96. Actinodaphne angustifolia 42 1,88 1,04 0,58 3,50
97. Actinodaphne glabra 7 0,31 0,48 0,33 1,12
98. Actinodaphne glomerata 3 0,13 0,20 0,20 0,53
99. Actinodaphne sp 8 0,36 0,56 0,79 1,71
100. Alseodaphne bancana 22 0,97 0,83 0,49 2,29
101. Alseodaphne glabra 7 0,32 0,49 0,67 1,47
102. Cinnamomun javanicum 8 0,36 0,56 0,59 1,51
103. Cryptocarya elliptifolia 5 0,22 0,35 0,28 0,86
104. Litsea angulat 28 1,25 0,97 0,62 2,84
105. Litsea castanea 7 0,31 0,49 0,44 1,24
106. Litsea firma 53 2,38 1,04 1,05 4,46
107. Litsea lanceolata 5 0,22 0,36 0,44 1,02
45

Universitas Sumatera Utara


No. Spesies Individu %KR %FR %DR INP
108. Litsea sp 4 0,18 0,27 0,46 0,91
109. Litsea tomentosa 3 0,14 0,21 0,42 0,76
110. Phoebe grandis 5 0,23 0,34 0,35 0,92
111. Phoebe lanceolata 6 0,26 0,41 0,46 1,14
112. Planchonia sp 5 0,22 0,35 0,82 1,39
113. Leea indica 5 0,23 0,34 0,52 1,09
114. Archidendron ellipticum 31 1,39 0,97 0,70 3,06
115. Archidendron pauciflorum 7 0,31 0,48 0,59 1,38
116. Parkia javanica 21 0,94 0,82 0,67 2,43
117. Magnolia lasia 23 1,03 0,90 0,65 2,58
118. Pternanda dumosa 6 0,27 0,42 0,37 1,05
119. Pternanda rostrata 6 0,27 0,40 0,49 1,17
120. Pternandra coerulescens 25 1,11 0,89 0,62 2,63
121. Aglaia argentea 33 1,49 1,04 0,50 3,03
122. Aglaia elliptica 7 0,32 0,48 0,89 1,69
123. Aglaia sp 7 0,31 0,49 1,02 1,82
124. Aglaia sp 1 49 2,20 1,04 0,90 4,14
125. Aglaia tomentosa 6 0,27 0,41 0,57 1,25
126. Aglaia edulis 4 0,18 0,27 0,33 0,78
127. Chisocheton patens 5 0,22 0,34 0,34 0,91
128. Dysoxylum cauliflorum 5 0,22 0,35 0,24 0,81
129. Dysoxylum sp 26 1,17 0,90 0,68 2,75
130. Artocarpus dadah 6 0,27 0,42 0,33 1,02
131. Artocarpus elasticus 6 0,26 0,41 0,57 1,24
132. Artocarpus lanceifolia 7 0,32 0,49 0,73 1,53
133. Artocarpus nitidus 3 0,14 0,21 0,16 0,51
134. Ficus glomerata 6 0,27 0,41 0,23 0,91
135. Ficus religiosa 7 0,32 0,48 0,44 1,24
136. Ficus stupenda 6 0,27 0,41 0,40 1,08
137. Ficus sumatrana 6 0,27 0,41 0,49 1,18
138. Ficus fistulosa 6 0,27 0,41 0,57 1,25
139. Horsfieldia irya 9 0,40 0,62 0,64 1,67
140. Horsfieldia wallichii 7 0,31 0,47 0,37 1,15
141. Knema galeata 26 1,17 0,97 0,97 3,11
142. Knema latericia 8 0,36 0,56 0,39 1,31
143. Myristica iners 4 0,18 0,27 0,32 0,77
144. Ardisia tomentosa 6 0,26 0,41 0,94 1,61
145. Eugenia sp 4 0,18 0,27 0,74 1,20
146. Eugenia sp 1 8 0,36 0,55 0,70 1,61
147. Eugenia tetraptera 4 0,17 0,27 0,28 0,73
148. Rhodamnia cinerea 7 0,32 0,48 0,65 1,46
149. Syzygium claviflora 25 1,12 1,04 0,94 3,10
150. Syzygium cumini 6 0,27 0,42 0,49 1,18
151. Syzygium rostratum 7 0,32 0,48 0,98 1,77
152. Syzygium sp 6 0,27 0,40 0,35 1,02
153. Syzygium triata 5 0,23 0,36 0,38 0,97
154. Podocarpus imbricatus 35 1,56 1,04 0,75 3,35
155. Gardenia tubifera 5 0,22 0,34 0,38 0,94
156. Nauclea orientalis 6 0,27 0,40 0,69 1,36
157. Nauclea sp 9 0,41 0,62 0,89 1,92
158. Nauclea subdita 5 0,22 0,35 0,55 1,12
159. Melicope glabra 23 1,04 0,82 0,82 2,68
160. Melicope lunu-ankenda 7 0,32 0,48 0,57 1,37
161. Nephelium cuspidatum 5 0,22 0,34 0,60 1,16
162. Nephelium maingayi 8 0,36 0,54 0,71 1,61
163. Nephelium mutabile 8 0,36 0,55 0,58 1,48
164. Pometia pinnata 5 0,22 0,36 0,29 0,87
46

Universitas Sumatera Utara


No. Spesies Individu %KR %FR %DR INP
165. Palaquium gutta 6 0,27 0,42 1,04 1,73
166. Palaquium sp 6 0,28 0,41 0,58 1,27
167. Palaquium sumatranum 6 0,27 0,42 0,76 1,45
168. Planchonella firma 3 0,14 0,21 0,28 0,63
169. Planchonella obovata 4 0,18 0,29 0,32 0,79
170. Smilax sp 6 0,28 0,42 1,14 1,83
171. Smilax sp 1 7 0,31 0,48 0,96 1,75
172. Pterocymbium tinctorium 5 0,23 0,34 0,59 1,15
173. Scaphium macropodum 4 0,17 0,28 0,60 1,05
174. Sterculia coccinea 6 0,27 0,42 0,60 1,28
175. Sterculia foetida 30 1,35 1,04 1,05 3,43
176. Sterculia rubiginosa 7 0,31 0,47 1,08 1,86
177. Sterculia sp 5 0,22 0,34 0,22 0,78
178. Styrax benzoin 9 0,41 0,61 0,74 1,76
179. Symplocos sp 4 0,18 0,27 0,30 0,75
180. Microcos crassifolia 5 0,22 0,34 0,34 0,89
181. Rinorea macrocarpa 5 0,23 0,35 0,58 1,16
Jumlah 2.230 100 100 100 300

47

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2. Titik Ground Check di Bukit Lawang, dan Kecamatan Bahorok
No. Latitude (-) Longitude (+) Keterangan
1 3.551.028 98.123.000 pemukiman
2 3.551.035 98.123.326 pemukiman
3 3.550.998 98.123.755 pemukiman
4 3.550.878 98.123.956 pemukiman
5 3.551.202 98.124.256 pemukiman
6 3.550.980 98.124.621 pemukiman
7 3.550.538 98.124.465 pemukiman
8 3.550.482 98.124.098 pemukiman
9 3.551.879 98.125.037 pemukiman
10 3.552.342 98.125.050 pemukiman
11 3.551.938 98.123.258 pemukiman
12 3.552.164 98.123.718 pemukiman
13 3.551.677 98.123.136 pemukiman
14 3.551.417 98.122.980 pemukiman
15 3.552.440 98.124.214 pemukiman
16 3.553.532 98.124.174 pemukiman
17 3.553.721 98.124.080 pemukiman
18 3.553.876 98.123.871 pemukiman
19 3.553.889 98.123.678 pemukiman
20 3.554.074 98.123.375 pemukiman
21 3.550.116 98.124.296 Badan air
22 3.550.127 98.124.570 Badan air
23 3.549.945 98.124.889 Badan air
24 3.549.543 98.125.079 Badan air
25 3.549.176 98.125.111 Badan air
26 3.549.867 98.124.379 Badan air
27 3.549.910 98.122.869 Badan air
28 3.549.921 98.122.314 Badan air
29 3.549.602 98.121.743 Badan air
30 3.549.270 98.121.158 Badan air
31 3.549.131 98.120.922 Badan air
32 3.548.676 98.120.707 Badan air
33 3.549.699 98.116.421 Badan air
34 3.549.860 98.116.228 Badan air
35 3.550.221 98.116.123 Badan air
36 3.550.499 98.116.179 Badan air
37 3.546.202 98.125.387 Badan air
38 3.545.086 98.126.227 Badan air
39 3.544.575 98.126.517 Badan air
40 3.544.107 98.126.640 Badan air
41 3.543.210 98.126.517 Badan air
42 3.541.673 98.127.027 Badan air
43 3.530.196 98.131.721 Badan air
44 3.530.758 98.131.295 Badan air
45 3.530.547 98.131.185 Badan air
46 3.531.484 98.130.992 Badan air
47 3.532.236 98.130.525 Badan air
48 3.532.675 98.130.530 Badan air
49 3.531.056 98.111.658 Hutan
50 3.530.820 98.111.561 Hutan
51 3.530.681 98.111.690 Hutan
52 3.530.627 98.111.711 Hutan
53 3.530.573 98.111.743 Hutan
54 3.530.519 98.111.882 Hutan

48

Universitas Sumatera Utara


No. Latitude (-) Longitude (+) Keterangan
55 3.530.436 98.111.995 Hutan
56 3.530.390 98.111.839 Hutan
57 3.530.280 98.111.820 Hutan
58 3.502.277 98.140.520 perkebunan
59 3.502.272 98.140.638 perkebunan
60 3.502.272 98.140.777 perkebunan
61 3.502.176 98.140.895 perkebunan
62 3.502.064 98.141.190 perkebunan
63 3.502.069 98.141.367 perkebunan
64 3.502.476 98.141.405 perkebunan
65 3.502.706 98.141.024 perkebunan
66 3.502.631 98.140.783 perkebunan
67 3.502.588 98.140.590 perkebunan
68 3.501.164 98.139.850 perkebunan
69 3.501.442 98.140.113 perkebunan
70 3.501.833 98.139.721 perkebunan
71 3.502.117 98.139.415 perkebunan
72 3.502.144 98.139.098 perkebunan
73 3.504.355 98.142.397 perkebunan
74 3.504.130 98.142.665 perkebunan
75 3.503.862 98.142.638 perkebunan
76 3.503.728 98.143.346 perkebunan
77 3.503.541 98.143.303 perkebunan
78 3.503.252 98.143.249 perkebunan
79 3.503.016 98.143.147 perkebunan
80 3.506.743 98.139.494 perkebunan
81 3.550.900 98.122.649 Semak
82 3.550.996 98.122.694 Semak
83 3.551.082 98.122.665 Semak
84 3.551.138 98.122.689 Semak
85 3.551.435 98.122.659 Semak
86 3.551.885 98.123.005 Semak
87 3.521.722 98.142.849 Lahan terbuka
88 3.521.660 98.142.809 Lahan terbuka
89 3.521.465 98.142.841 Lahan terbuka
90 3.521.527 98.143.300 Lahan terbuka
91 3.521.728 98.143.287 Lahan terbuka
92 3.521.458 98.143.153 Lahan terbuka
93 3.520.955 98.143.035 Lahan terbuka
94 3.521.193 98.142.287 Lahan terbuka
95 3.520.971 98.142.185 Lahan terbuka
96 3.520.572 98.142.228 Lahan terbuka
97 3.521.140 98.141.544 Lahan terbuka
98 3.521.260 98.141.337 Lahan terbuka
99 3.521.095 98.140.732 Lahan terbuka
100 3.520.953 98.140.751 Lahan terbuka
101 3.520.238 98.140.137 Lahan terbuka
102 3.520.029 98.140.118 Lahan terbuka
103 3.517.577 98.140.733 Lahan terbuka
104 3.517.435 98.140.730 Lahan terbuka
105 3.536.603 98.141.859 Sawah
106 3.536.544 98.142.001 Sawah
107 3.536.555 98.142.063 Sawah
108 3.536.536 98.141.940 Sawah
109 3.536.541 98.141.586 Sawah
110 3.537.181 98.141.213 Sawah
111 3.537.189 98.141.261 Sawah
49

Universitas Sumatera Utara


No. Latitude (-) Longitude (+) Keterangan
112 3.537.157 98.141.264 Sawah
113 3.537.133 98.141.256 Sawah
114 3.537.409 98.139.805 Sawah
115 3.537.339 98.139.802 Sawah
116 3.540.294 98.137.436 Sawah
117 3.540.484 98.137.270 Sawah
118 3.549.091 98.123.376 Kebun campuran
119 3.549.016 98.123.607 Kebun campuran
120 3.548.968 98.123.698 Kebun campuran
121 3.548.968 98.123.585 Kebun campuran
122 3.548.936 98.123.537 Kebun campuran

50

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3. Tipe Tutupan Lahan di Bukit Lawang, dan Kecamatan Bahorok

Badan Air Pemukiman

Sawah Semak

Lahan Terbuka Kebun Campuran

Perkebunan Hutan

51

Universitas Sumatera Utara

You might also like