You are on page 1of 12

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Vol 2, No 2 (2018), 137-148

ISSN 2503-3166 (print); ISSN 2503-3182 (online)


DOI: 10.21580/jsw.2018.2.2.2865

Kompromi Islam dan Adat pada Praktik Keagamaan


Muslim Bugis di Sulawesi Selatan

Hasse Jubba,1 Ahmad Sultra Rustan,2 Juhansar3


1Program Doktor Politik Islam – Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2Institut Agama Islam Negeri Parepare, 3Universitas Teknologi Yogyakarta

(e-mail: 1hasse@umy.ac.id; 2ahmadsultrarustan@stainparepare.ac.id;


3juhansarandilatief@gmail.com)

Abstract

This article explores the form of compromise between Islam and local tradition (adat) in the religious
practices of Muslims in Bugis community in South Sulawesi. Islam is an integral part of Bugis lives and is
positioned as the main reference so that it encourages Bugis community members to become more
fanatic than others. However, in some cases, it is not uncommon for religious practices that have
traditional nuances. In fact, the local tradition is in a position that exceeds the role of religion as reflected
in the celebration of Islamic holidays. This condition allows the attraction between religion and local
tradition to occur in the practice of everyday life of the Bugis community. The question is at what level do
conflicts and compromises occur between local tradition and religion among the Bugis community? To
answer this question, an investigation was carried out using qualitative methods that put forward and
applying the techniques of participant observation and literature study. The results show that points of
compromise were discovered where religion and local tradition complemented each other. The tendency
to compromise Islam and local tradition is motivated by not only the low understanding of religion itself
but also the desire to maintain the ancestral local traditions that have been practiced for a long time in
their community. The compromise of Islam and local tradition in religious practices have resulted in the
escape of their respective positions, and it makes the role of religion tends to weaken.

Artikel ini mengeksplorasi bentuk kompromi antara Islam dan adat dalam praktik beragama Muslim
Bugis di Sulawesi Selatan. Islam merupakan bagian integral dari kehidupan mereka dan diposisikan
sebagai referensi utama sehingga praktik beragamanya sangat fanatik. Namun demikian, pada
beberapa hal tidak jarang terdapat praktik beragama yang bernuansa adat. Bahkan, adat berada pada
posisi melebihi peran agama seperti yang tercermin pada perayaan hari-hari besar Islam. Kondisi ini
memungkinkan terjadi tarik menarik antara agama dan adat dalam praktik kehidupan masyarakat
Muslim Bugis sehari-hari. Pertanyaan, pada level apa konflik dan kompromi terjadi antara adat dan
agama di kalangan orang Bugis? Untuk menjawab pertanyaan ini, dilakukan sebuah penyelidikan
dengan menggunakan metode kualitatif yang mengedepankan teknik observasi partisipan dan studi
kepustakaan. Hasilnya menunjukkan bahwa ditemukan titik-titik kompromi dimana antara agama
dan adat saling melengkapi. Kecenderungan mengkompromikan Islam dan adat dilatarbelakangi
oleh bukan hanya pemahaman agama yang masih rendah, tetapi juga keinginan untuk tetap
mempertahankan adat warisan leluhur yang telah dipraktikkan sejak lama. Kompromi Islam dan
adat dalam praktik beragama berdampak pada kaburnya posisi masing-masing, bahkan peran
agama cenderung melemah.

Keywords: compromise; Islam; local tradition; fanatism; Buginese Muslim

Copyright © 2018 JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo │ 137


Hasse Jubba, Ahmad Sultra Rustan, Juhansar

Pendahuluan kan karena merupakan pedoman untuk men-


Upaya mengkompromikan Islam dan adat dapatkan kebahagiaan dunia (Abdullah 1999).
dalam praktik beragama sangat lazim ditemu- Demikian pula agama, ia dianggap sebagai
kan di kalangan Muslim Indonesia. Kondisi ini sebuah media untuk memenuhi kebutuhan
memberikan penjelasan atas belum tuntasnya batin dan pegangan yang memiliki nilai agung
persoalan pemahaman dan pengamalan ajar- yang dapat menuntun penganutnya ke arah
an Islam di kalangan umat. Pemahanan ter- yang benar (Durkheim 1995; Geertz 1973).
hadap Islam memang selalu memiliki sisi yang Praktik Islam di kalangan Muslim Bugis se-
cenderung melemah, seiring dengan me-
cara perlahan membentuk sebuah sikap fana-
lemahnya pranata keislaman akibat gempuran
tik dalam beragama. Fanatisme ini pun dapat
kekuatan besar dari luar yang secara langsung
disamakan dengan fanatisme orang Aceh,
berdampak pada keinginan untuk belajar lebih
dalam mengenai ajaran Islam. Tingkat pe- Banjar, Betawi, dan Banten dalam mengamal-
mahaman yang rendah atas ajaran Islam dapat kan Islam dalam kehidupannya. Ketaatan
dilihat pengaruhnya pada praktik beragama mereka dapat dilihat melalui praktik-praktik
yang selama ini berlangsung di kalangan yang dilakukan seperti pelaksanaan ibadah
Muslim. Pada kalangan Muslim Bugis missal- dan perayaan-perayaan hari besar Islam yang
nya, pada berbagai perisitiwa kondisi ini dapat disambut dengan antusias yang tinggi. Ibadah
dilihat dengan jelas. Bahkan, sulit lagi mengata- puasa dan haji misalnya, orang Bugis me-
kan bahwa apakah praktik tersebut merupa- laksanakannya dengan penuh kemeriahan.
kan praktik agama (Islam) atau justru me- Bahkan, ibadah haji yang semestinya ber-
rupakan bagian dari adat atau tradisi di luar nuansa ibadah, di kalangan Muslim Bugis di-
Islam. tampilkan dalam nuansa adat yang lebih
Islam dan adat telah menjadi bagian kental karena diselingi dengan praktik yang
integral dari kehidupan orang Bugis (Hasse jauh di luar tuntunan agama. Misalnya, bagi
2018; Pelras 2006). Di tengah sikap fanatik yang telah menunaikan ibadah haji dalam ke-
orang Bugis dalam menjalankan Islam, ke- hidupan sosial memiliki ‘tempat’ (baca: status)
teguhan mereka mempertahankan adat isti- yang berada di atas kalangan umum lainnya.
adat juga dapat ditemukan. Ada dua kutub Bahkan, kedatangan orang yang telah me-
yang sering bertentangan. Sebab, mereka se- nunaikan ibadah haji tidak ubahnya ke-
lain dikenal sebagai penganut Islam fanatik, datangan tamu agung dan harus dipestakan.
juga dikenal sangat loyal terhadap adat. Pada Hal ini dapat dilihat pada dua sisi yang saling
praktik kehidupan, antara adat dan Islam tidak bertolak belakang sekaligus saling men-
hanya diperlawankan, tetapi juga dikompro- dukung. Sebab, perilaku tersebut diwujudkan
mikan. Memang, adat merupakan warisan dalam rangka menghargai tamu Allah yang
nenek moyang yang diakui masih memiliki baru saja menunaikan ibadah di satu pihak.
fungsi yang luhur sehingga masih dipertahan- Sementara itu, kecenderungan tersebut justru

138 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018


Kompromi Islam dan Adat pada Praktik Keagamaan Muslim Bugis ....

keluar dari substansi ibadah yang salah satu- Identitas Orang Bugis
nya menjadikan seseorang lebih rendah hati, Bugis adalah salah satu suku bangsa yang
tidak boros, dan sebagainya. Pada praktik ini mendiami wilayah bagian Selatan Pulau
dapat dilihat bahwa adat diperlakukan seperti Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi
halnya agama yang melebur dalam satu Selatan. Orang Bugis merupakan etnis terbesar
peristiwa. dengan persentase 41.90% dari jumlah pen-
Tulisan ini mengeksplorasi lebih dalam duduk Sulawesi Selatan (Suryadinata, dkk.
mengenai bentuk kompromi yang terjadi 2003: 65). Di Sulawesi Selatan sendiri, selain
antara adat dan agama pada praktik beragama orang Bugis juga terdapat orang Makassar,
Muslim Bugis. Pada level apa konflik dan kom- Toraja, dan Mandar. Mandar saat ini berada di
promi terjadi antara adat dan agama di Sulawesi Barat setelah pemekaran wilayah.
kalangan orang Bugis? Untuk menjawab per- Wilayah yang didiami oleh orang Bugis meliputi
tanyaan ini, kajian dalam artikel ini didasarkan Kabupaten/Kota Bone, Soppeng, Wajo, Siden-
pada hasil penelitian yang dilakukan denangan reng Rappang, Pinrang, Luwu, Parepare, Barru,
metode kualitatif yang proses penggalian data- dan Sinjai. Sementara kabupaten seperti Maros,
nya mengedepankan cara-cara observasi lang- Pangkajene Kepulauan, Bantaeng, dan Bulu-
sung penulis atas kehidupan masyarakat kumba didiami oleh orang Bugis dan sebagian
Muslim Bugis di Sulawesi Selatan dan kajian Makassar. Adapun daerah seperti Tana Toraja,
kepustakaan. Namun, perlu disampaikan di orang Bugis merupakan etnis minoritas.
sini bahwa sebagian dari isi artikel ini pernah Terdapat dua pendapat utama mengenai
diterbitkan dalam bentuk buku (kumpulan asal-usul orang Bugis (To Ugi). Pertama, orang
tulisan), tetapi terbitan ini telah dilakukan be- Bugis berasal dari India Belakang seperti
berapa revisi dan penambahan baik dari aspek halnya suku bangsa lain di Nusantara. Menurut
substansi maupun teknis, temasuk pembaruan pendukung pendapat, orang India Belakang
literatur. datang secara bergelombang ke Nusantara
pada ribuan tahun lalu. Orang Bugis, menurut
Untuk membantu pemahaman pembaca,
pendapat ini, digolongkan dalam rumpun atau
dalam artikel ini sebelum memeberikan narasi
turunan Melayu Muda (Deutero Melayu) yang
yang menjawab pertanyaan di atas artikel ini
datang ke wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum
diawali dengan memberikan gambaran umum
mereka datang, Melayu Tua (Proto Melayu)
tentang identitas orang Bugis dan proses
terlebih dahulu memasuki wilayah ini (Ham-
pengenalan Islam serta dinamika keberislam-
zah 1984: 34-35). Pendapat ini juga didukung
an di antara mereka. Selanjutnya, artikel ini
oleh fakta bahwa saat ini orang Bugis banyak
juga akan mengupas isu islamisasi pada awal
yang telah beranak-pinak di beberapa daerah
masuknya Islam di tanah Bugis yang me-
Melayu seperti Sumatera dan Kalimantan,
nunjukkan adanya pro dan kontra di kalangan
bahkan di Malaysia. Pendapat pertama ini juga
orang Bugis.

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018 │ 139


Hasse Jubba, Ahmad Sultra Rustan, Juhansar

mendukung asumsi bahwa Islam masuk ke Jawa, apakah mereka tinggal di Jawa atau pun
Indonesia berasal dari India. di luar Jawa. Mengacu pada pendapat ini, dapat
Kedua, orang Bugis merupakan salah satu dikatakan bahwa orang Bugis adalah orang
rumpun dari orang Austronesia yang tersebar yang memiliki ikatan dengan kebudayaan
di beberapa tempat di Asia Tenggara (Pelras Bugis, baik yang tinggal di Sulawesi Selatan
2006). Penyebaran rumpun ini dalam per- maupun yang tinggal di luar daerah tersebut.
kembangannya melahirkan suku bangsa se- Definisi ini mencakup bahasa dan geneologi
atau silsilah keluarga orang Bugis.
perti Melayu, Bali, dan Jawa. Namun, mereka
lebih terkenal dibandingkan Bugis. Pada abad Penyebaran orang Bugis yang mampu
ke-19, penyebaran orang Bugis telah me- menjangkau ke berbagai wilayah di luar
rambah Singapura hingga Papua, dari bagian Sulawesi Selatan, menjadikan mereka sering
Selatan Filipina hingga ke pantai Barat diidentikkan dengan pelaut ulung. Informasi
Australia. Adapula yang mengatakan bahwa seperti ini merupakan informasi yang keliru.
Alasan ini didasarkan pada fakta bahwa aktivi-
orang Bugis pernah menyeberangi samudera
tas maritim orang Bugis baru benar-benar
Hindia sampai ke Madagaskar sehingga ke-
berkembang pada abad ke-18. Adapun perahu
turunannya masih dapat dilacak di daerah-
pinisi, yang sering dilekatkan dengan kepelaut-
daerah tersebut. Dari keterangan ini, orang
an orang Bugis, baru ditemukan antara peng-
pun mengatakan bahwa orang Bugis merupa-
hujung abad ke-19 hingga dekade 1930-an
kan pelaut ulung di masanya karena ke- (Pelras 2006: 4). Demikian pula, predikat bajak
mampuan mengarungi lautan dengan keter- laut yang diberikan kepada orang Bugis me-
batasan alat pelayaran yang dimiliki. Pendapat rupakan sesuatu yang keliru. Justru, orang
ini merupakan pendapat yang banyak dijadi- Bugis merupakan petani yang ulet. Aktivitas
kan rujukan mengenai asal-usul orang Bugis. maritim hanya digandrungi oleh mereka yang
Kedua pendapat di atas setidaknya mem- tinggal di sekitar pantai yang jumlahnya lebih
berikan gambaran mengenai asal-usul orang sedikit jika dibandingkan dengan orang Bugis
Bugis meskipun terdapat perbedaan persepsi. yang berdomisili di sekitar daerah daratan/
Tidak hanya pada persoalan asal-usul, batasan pegunungan. Mayoritas orang Bugis justru
mengenai siapakah yang termasuk orang berada jauh dari laut yang mayoritas ber-
Bugis pun sulit ditetapkan. Untuk memberikan profesi sebagai petani sawah. Kebiasaan orang
batasan terhadap orang Bugis, penulis me- Bugis merantau dan menetap di negeri lain
minjam kerangka yang digunakan oleh kemungkinan menjadi pemicu utama persepsi
Muhammad Damami (2002) untuk memberi- sebagai pelaut terhadap mereka.
kan gambaran mengenai definisi masyarakat Bagi suku-suku bangsa yang tinggal di se-
Jawa. Menurutnya, masyarakat Jawa adalah kitar komunitas orang Bugis, mengenal mereka
masyarakat yang beretnis Jawa yang masih sebagai orang yang berkarakter keras dan
memiliki komitmen terhadap kebudayaan menjunjung tinggi kehormatan. Bahkan demi

140 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018


Kompromi Islam dan Adat pada Praktik Keagamaan Muslim Bugis ....

kehormatan (siri’), orang Bugis rela melakukan ditunjukkan oleh pengikut Tarekat Khalwatiah
tindak kekerasan. Sebab, siri’ merupakan harga di Sulawesi Selatan. Setiap tahun, mereka me-
diri yang mesti dipertahankan. Karakter keras rayakan Maulid Nabi di Maros, Sulawesi
menjadi label orang Bugis karena keteguhan Selatan. Menurut mereka, maulid (tidak
mempertahankan sesuatu dan keberanian afdhal/sah) jika hanya dirayakan di kampung-
menghadapi tantangan (Rustan 2018). Ter- kampung sendiri, tanpa melaksanakan di
lepas dari stigma karakter keras, mereka juga tempat ini (data: observasi pribadi penulis).
dikenal dengan penghargaan yang tinggi ter- Terminologi Islam dapat dipahami setidak-
hadap orang lain dan memiliki kesetiakawanan nya terkait dengan dua hal pokok, sebagai
yang kuat. Di berbagai wilayah di Nusantara, identitas dan sebagai ajaran. Sebagai identitas,
orang Bugis dapat ditemukan dengan berbagai Islam merupakan nama sebuah agama yang
bentuk aktivitas. Mereka sibuk dengan aktivitas diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
pelayaran, perdagangan, pertanian, dan ber- perantara malaikat Allah. Islam sebagai ajaran
bagai pekerjaan yang lain. atau agama diturunkan berfungsi sebagai pe-
doman agar manusia dapat menentukan mana
Adat dan Islam: Suatu Konseptual yang baik dan mana yang buruk serta yang hak
Singkat dan yang batil (Karim 2007: 27). Ajaran-ajaran
Adat merupakan sesuatu yang dilakukan Islam termaktub secara jelas dan tegas dalam
secara berulang dan cenderung dipertahankan sebuah kitab, yaitu al-Qur’an. Dalam kitab
dalam sebuah kelompok/komunitas. Adat inilah seluruh ajaran Islam dapat ditemukan.
pada komunitas tertentu memiliki posisi pen- Secara kebahasaan, istilah Islam berasal dari
ting, bahkan mengalahkan posisi agama pada kata aslama, yuslimu, islaam. Kata ini memiliki
persoalan-persoalan yang bersifat ritual. Adat banyak makna, salah satunya ketundukan
adalah aturan-aturan tentang kehidupan (baik lahir maupun batin). Artinya, Islam me-
manusia yang disepakati penduduk dalam ngandung makna sikap yang berhubungan
suatu daerah tertentu untuk mengatur tingkah dengan ketundukan, kepatuhan, dan pe-
laku anggotanya sebagai kelompok social (Said nyerahan diri sepenuhnya kepada hukum
2004: 25). Dalam Islam, istilah adat sering Allah (Kambie 2003: 70).
diparalelkan dengan ‘urf yang juga berarti adat Dalam kehidupan masyarakat Bugis di
atau kebiasaan. Kebiasaan artinya sesuatu yang Sulawesi Selatan, baik Islam maupun adat
dilakukan secara berulang dan biasanya me- seringkali hadir dalam satu aktivitas secara
miliki pola tertentu tergantung kesepakatan bersamaan. Perayaan hari-hari besar Islam
dalam sebuah komunitas/kelompok. Adat misalnya, kedua entitas ini sering hadir ber-
suatu daerah dengan daerah lain ada yang samaan dan sulit lagi dipisahkan. Kebiasaan
sama dan ada pula yang berbeda. Perayaan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat
Maulid Nabi misalnya, pada komunitas tertentu Bugis, tetapi juga pada masyarakat Muslim di
dilakukan secara besar-besaran seperti yang berbagai tempat pemandangan serupa dapat

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018 │ 141


Hasse Jubba, Ahmad Sultra Rustan, Juhansar

di temukan. Di Gorontalo misalnya, masya- tahun 1607, Wajo pada tahun 1609, dan Bone
rakat Muslim dalam merayakan Isra’ mi’raj, pada tahun 1611 (Arsyad 2000). Penerimaan
memadukan Islam dan adat pada kegiatan Islam pada beberapa kerajaan terakhir ber-
tersebut. Ini ditunjukkan sangat kuat pada pe- langsung setelah jalan perang dilancarkan oleh
rayaan Isra’ Mi’raj yang dilakukan oleh masya- Kerajaan Gowa-Tallo.
rakat Muslim dengan diselingi membaca
Kedatangan ketiga datuk di Makassar me-
naskah-naskah klasik local (Tohopi 2012).
rupakan upaya yang dilakukan oleh pedagang
Bagi penulis, ini merupakan bagian dari dina-
Melayu (Muslim) yang tidak senang melihat
mika keberislaman masyarakat Muslim khu-
susnya di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan orang Bugis-Makassar terpengaruh oleh ajaran
begitu saja dari konteks tradisi sebelum Islam. Kristen (Katolik). Persaingan untuk men-
Meskipun Islam telah menjadi agama resmi dapatkan simpati dari orang Bugis-Makassar
dan menjadi rujukan utama masyarakat antara misionaris Katolik dan pedagang
Muslim, namun tetap saja terdapat ruang prak- Melayu telah lama berlangsung. Hal ini dike-
tik yang mengakomodasi dan mengkom- mukakan oleh seorang misionaris, Antonio de
promikan Islam dengan adat. Payva, yang berkunjung ke Makassar pada
tahun 1542. Kedatangan ketiga datuk ke
Proses Pengenalan Islam Makassar ketika itu merupakan utusan dari
Sejak abad ke-17, orang Bugis telah me- Kerajaan Aceh (Sewang 2005: 90). Mereka
ngenal Islam. Namun, secara formal, Islam di diutus atas permintaan Karaeng Matoaya, Raja
Sulawesi Selatan diperkenalkan oleh tiga datuk Tallo. Ketiga datuk inilah yang menyebarkan
dari Koto Tangah, Minangkabau pada per- Islam di tanah Bugis-Makassar. Ajaran Islam
mulaan abad ke-17 (Sewang 2005: 89). Ketiga yang dibawa merupakan ajaran seperti yang
datuk tersebut yang dikenal dengan datuk dianut oleh masyarakat di daratan Sumatera
tellue (Bugis) atau datuk tallua (Makassar) yang sangat fanatik yang kalah itu berada di
adalah Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang bawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
dikenal dengan Datuk ri Bandang memiliki Secara umum, ada dua cara penyebaran
keahlian pada bidang fikih; Sulaiman, Khatib Islam di Sulawesi Selatan khususnya di tanah
Sulung, dikenal dengan Datuk Patimang, Bugis. Pertama, Islam disebarkan melalui cara
seorang ahli tauhid; dan Abdul Jawad, Khatib damai. Cara ini dilakukan dengan sistem top-
Bungsu, dikenal dengan Datuk ri Tiro, seorang down, melalui media penguasa seperti yang
ahli tasawuf. Menurut sejarah, Islam pertama telah disinggung di atas. Penerimaan Islam
kali dikenal di Kerajaan Luwu sekitar tahun oleh penguasa (raja) akan dengan mudah di-
1589 kemudian Gowa-Tallo pada tahun 1603. ikuti oleh rakyatnya. Cara ini merupakan cara
Penerimaan Islam di kerajaan tersebut diikuti yang dilakukan oleh ketiga datuk dalam me-
oleh beberapa kerajaan lain seperti Kerajaan nyebarkan Islam (Sewang 2005). Hal ini di-
Sidenreng pada tahun 1605, Soppeng pada lakukan karena mereka melihat kuatnya pa-

142 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018


Kompromi Islam dan Adat pada Praktik Keagamaan Muslim Bugis ....

tron antara masyarakat dan pemimpinnya. Islam sebagai agama resmi kerajaan, namun
Cara ini ternyata berhasil dilakukan dan pe- tidak serta-merta diterima oleh seluruh ma-
nyebaran Islam berlangsung dengan cepat. syarakat. Keputusan politik penguasa Wajo
Penerimaan penguasa terhadap Islam di- yang ditolak oleh sebagian masyarakatnya de-
respons oleh masyarakat. Di beberapa keraja- ngan bermigrasi (Kesuma 2004). Migrasi
an, Islam diterima dengan baik, namun di be- orang Towani dari Wajo ke Sidenreng pada
berapa kerajaan lain terjadi penolakan. Pe- abad ke-17 merupakan bentuk penolakan
nolakan kerajaan terhadap Islam direspons mereka terhadap Islam. Migrasi ini men-
oleh kerajaan kembar, Gowa-Tallo, dengan cerminkan kuatnya keyakinan terhadap ajaran
perang sebagai wujud komitmennya terhadap yang dianut. Ajaran warisan leluhur sangat
penyebaran Islam.
dipegang teguh dan dipraktikkan. Towani
Kedua, Islam disebarkan melalui ‘perang’. masih mempertahankan keyakinan tersebut
Cara ini dikenal dengan sistem bottom-up. hingga saat ini di Sidenreng Rappang (Hasse
Beberapa kerajaan menerima Islam setelah 2018).
mendapat tekanan dari Kerajaan Gowa-Tallo.
Islam disampaikan tidak secara prontal
Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo merupakan
yang mengubah kebiasaan orang Bugis secara
kerajaan yang menerima Islam sebagai agama
bertahap. Salah satu kesulitan yang dihadapi
kerajaan setelah ditaklukkan (Sewang 2005:
oleh datuk adalah mengubah kebiasaan dan
117). Penaklukan ketiga kerajaan tersebut
kegemaran orang Bugis seperti bermain judi,
berdampak pada kelancaran penyebaran
mabuk-mabukan, dan memakan babi. Sebab,
Islam di tanah Bugis. Ketiga kerajaan ini
kebiasaan bermain judi tidak hanya dilakukan
menjadi barometer kerajaan- kerajaan kecil
oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh pe-
yang lain untuk menerima Islam karena ke-
nguasa. Obsevasi pribadi penulis menemukan
tiganya masing-masing membawahi kerajaan-
bahwa bermain judi seperti sabung ayam
kerajaan kecil di sekitarnya. Penekanan
sangat diminati sebagian masyarakat karena di
muballigh di daerah ini adalah pengikisan
dalamnya juga terdapat unsur hiburan. Ke-
paham-paham lama yang bercorak animisme
biasaan seperti ini juga dipraktikkan oleh
dan dinamisme seperti halnya yang masih masyarakat Bali (Geertz 1973). Sabung ayam
terjadi pada komunitas Muslim di berbagai terlepas dari unsur permainan judi, juga di-
tempat di Indonesia. pahami sebagai sarana hiburan. Kebiasaan
sabung ayam bukan hanya dianggap permain-
Islamisasi: Upaya Mereduksi Adat
an judi karena di dalamnya terjadi peredaran
Penolakan sebagian masyarakat seperti uang yang cukup signifikan, tetapi juga diang-
masyarakat Wajo terhadap Islam memper- gap sebagai sarana pemersatu dan penyampai
lihatkan bahwa Islam disampaikan tidak ber- informasi. Pandangan ini didasarkan pada
jalan lancar. Meskipun penguasa menjadikan kondisi dimana dalam praktik sambung ayam

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018 │ 143


Hasse Jubba, Ahmad Sultra Rustan, Juhansar

juga memungkin seseorang untuk mendapat- dan persoalan lapangan yang dihadapi. Islam
kan berbagai informasi yang tersebar di dalam yang diperkenalkan pada masing-masing
proses itu. Bahkan, tidak jarang pertemuan daerah berbeda dengan daerah lain dari segi
antara orang per orang dan kelompok justru metode. Di wilayah yang masyarakatnya
terjadi di tempat ini. Berbagai diskusi pun termasuk penganut ajaran leluhur yang kuat
berlangsung di tengah perhelatan sabung menjadi bagian datuk yang ahli dalam tauhid,
ayam tersebut. demikian seterusnya. Dengan demikian, me-
Selain itu, penerimaan masyarakat dan lihat penyebaran Islam di tanah Bugis khusus-
penguasa Bugis terhadap Islam tidak lepas dari nya, dan di Sulawesi Selatan umumnya, yang
kepiawaian para datuk menyampaikan dak- dilakukan oleh ketiga datuk terdiri atas tiga
wahnya. Keahlian mereka mampu mem- pola, yaitu pola syariat, tauhid, dan tasawuf.
bantah dan mengubah keyakinan mayoritas Satu hal yang tidak dapat diabaikan mengenai
orang Bugis yang kuat menganut animisme penyebaran Islam di tanah Bugis adalah ke-
dan dinamisme (Nasruddin 2017). Animisme terlibatan pedagang Melayu, yang telah lama
dan dinamisme merupakan ajaran dominan melakukan aktivitas perdagangan dan kontak
yang dianut oleh orang Bugis pra-Islam. Kedua sosial dengan orang Bugis, dalam hal pem-
paham tersebut hadir dan menjadi bagian berian informasi kepada datuk.
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Keberhasilan penyebaran Islam di Bugis
orang Bugis. Namun, keahlian para datuk merupakan keberhasilan dakwah yang luar
mampu mengubah keyakinan tersebut. Keahli- biasa. Islam telah menjadi agama dianut secara
an dalam bidang fikih (hukum Islam), tauhid baik/taat oleh masyarakat Bugis di sebagian
(teologi), dan tasawuf (tarekat) oleh ketiga besar wilayah Sulawesi Selatan. Bentuk ke-
datuk memudahkan pemetaan wilayah pe- taatan mereka ditunjukkan dengan antusias-
nyebaran Islam. Di sini tampak bahwa penye- me membangun sarana ibadah. Di berbagai
baran Islam didasarkan pada perhitungan penjuru seperti di setiap kabupaten/kota
yang cermat oleh pada datuk. Penyebaran berdiri bangunan masjid yang megah. Ketaat-
Islam di Sulawesi Selatan memiliki pola yang an mereka terhadap Islam juga dapat dilihat
hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh dari ibadah dan perayaan yang dilakukan.
para wali di Jawa. Hanya saja, sasaran penye- Setiap waktu shalat terdengar suara adzan di
baran Islam di daerah Sulawesi Selatan ber- masjid-masjid. Pada bulan Ramadhan, masjid-
sifat top-down, dari penguasa kemudian ke masjid dipenuhi oleh umat Islam untuk me-
rakyatnya. lakukan ibadah tahunan ini. Setiap perayaan
Seperti yang telah dikemukakan se- hari besar Islam juga demikian. Mereka me-
belumnya, ketiga datuk yang datang mem- menuhi masjid dan mengikuti ceramah agama
perkenalkan Islam di tanah Bugis dan sekitar- dengan hikmat, perayaannya pun dilakukan
nya memiliki keahlian yang berbeda. Penya- dengan meriah. Dari segi kuantitas penganut,
mpaian Islam pun didasarkan pada keahlian mayoritas orang Bugis adalah penganut Islam.

144 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018


Kompromi Islam dan Adat pada Praktik Keagamaan Muslim Bugis ....

Ambivalensi Prilaku dalam Beragama proses penerimaan yang sempurna. Kiranya


tidak heran jika di kalangan masyarakat masih
Islam dan adat tidak bisa dipisahkan dari
terdapat bentuk-bentuk praktik Islam yang
kehidupan orang Bugis (Pelras, 2006:216).
tidak dilakukan secara komprehensif atau
Keduanya telah terintegrasi dalam setiap peri-
kaffah. Dengan demikian, Islam hanya di-
laku sosial maupun keagamaan. Dalam upa-
pahami dan dilaksanakan berdasarkan apa
cara kematian misalnya, unsur adat dan Islam
yang telah dilakukan oleh lingkungan keluarga
sulit dipisahkan. Seorang (Islam) yang me-
yang telah lebih jauh memeluk Islam.
ninggal, melalui prosesi kematian secara islami
(dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan di- Sikap mengkompromikan adat dan Islam
makamkan). Namun, ketika jenazah hendak dalam kehidupan keberagamaan orang Bugis
dimakamkan, ia dikeluarkan tidak melalui sesungguhnya bukanlah hal baru. Sebab, sikap
pintu. Menurut anggapan sebagian orang tersebut telah tercermin dalam konsep pan-
Bugis, pintu merupakan jalan bagi orang yang ngdereng (adat) dalam masyarakat Bugis.
hidup, orang yang telah meninggal memiliki Panngadereng berarti sesuatu yang menjadi
jalan sendiri. Jika pintu digunakan untuk jalan tempat berpijak perilaku dan kehidupan ma-
bagi si mati, maka ia akan terus memanggil syarakat Bugis dan Makassar. Dalam konsep
penghuni rumah untuk mengikutinya. Demi- panngadereng sendiri, terdapat lima nilai
kian salah satu keyakinan yang terus dikon- pokok yang menjadi nilai utama orang Bugis
dalam menata kehidupan. Salah satu nilai se-
struksi dan diwariskan ke generasi mereka.
lain adat adalah syara’ atau agama yang me-
Praktik seperti ini biasanya dilakukan oleh
rupakan bagian dari unsur panngadereng
Towani Tolotang dalam prosesi kematian
(Rustan 2018: 54). Kesulitan memisahkan
warganya. Hal ini memperlihatkan kuatnya
Islam dari adat dapat dikatakan tersirat dalam
pengaruh tradisi pra-Islam di kalangan orang
konsep ini. Terdapat kecenderungan peng-
Bugis. Praktik beragama yang masih ber-
integrasian adat ke dalam agama, dan sebalik-
campur-aduk dengan adat dalam terma
nya. Proses atau adatisasi agama dan agamisasi
Clifford Geertz (1983) disebutnya sebagai
adat terus berlangsung dengan format yang
Islam abangan (Hasse 2008).
sering pula berulang. Dalam perayaan Islam
Pemahaman terhadap ajaran Islam yang seperti maulid, unsur adat pun dilibatkan. Di
masih kurang menimbulkan berbagai bentuk masjid atau di tempat lain dapat disaksikan
praktik yang menyimpang. Kasus di atas se- sederetan batang pisang yang dihiasi telur.
tidaknya menegaskan asumsi ini. Islam di- Telur disimbolkan dengan kebulatan tekad
pahami hanya pada tataran pelaksanaan saja beragama. Telur juga disimbolkan sebagai se-
seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya tanpa suatu yang bernilai penyatuan. Demikian pula
mendalami lebih jauh. Hal ini terjadi disebab- pada acara keislaman seperti akikah, pernikah-
kan oleh pewarisan Islam yang dilakukan an, dan syukuran. Hiasan telur seperti pada
melalui keturunan. Di sini, Islam dianut hanya perayaan maulid juga dapat ditemukan. Upa-
karena faktor kebetulan, bukan karena melalui cara ini dalam istilah orang Bugis disebut

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018 │ 145


Hasse Jubba, Ahmad Sultra Rustan, Juhansar

mammauluk atau maulid. Aktivitas maulid tengah masyarakat Muslim Bugis hingga saat
bukan hanya dimaknai sebagai perayaan atas ini. Keteguhan orang Bugis mempertahankan
kelahiran Nabi, tetapi juga diperuntukkan se- kebiasaan melakukan ritual keagamaan yang
bagai rasa penghormatan atas Nabi dan di- dipadukan dengan adat memperlihatkan ada-
lakukan pada berbagai siklus kehidupan orang nya posisi kuat adat dan Islam dalam praktik
Bugis seperti akikah dan sebagainya. Praktik keagamaannya. Adat dan Islam masing-masing
berislam seperti ini, mungkin, seperti dalam
memiliki arena tersendiri dalam dinamika
diskusi Al Makin (2016) yang menyatakan
kehidupan orang Bugis sehingga antara ke-
bahwa Islam itu memang tidak tunggal (satu)
duanya tidak lagi memiliki batasan yang jelas
dalam aktualisasinya.
(Abdullah 1999). Di sini terlihat telah terjadi
Bentuk kompromi antara dua entitas yang pengaburan definisi yang sistematis antara
berbeda seperti yang diuraikan di atas masih adat dan Islam yang berdampak pada perilaku
berlangsung hingga saat ini. Perayaan maulid orang Bugis yang sarat dengan sinkretisme.
diiringi dengan tidakan-tindakan adat merupa- Sebab, Islam datang atau masuk ke Indonesia
kan bentuk nyata kompromi tersebut. Saat ini, bukan semata membangun peradaban, tetapi
perayaan maulid baik di masjid-masjid mau- merebut peradaban (Geertz dalam Sumbulah
pun di tempat lain masih menghadirkan aneka 2012: 53) artinya terjadi perebutan ruang
macam hiasan telur yang ditancapkan di bahkan kuasa antara Islam dan tradisi lokal
batang pisang. Mammauluk dalam pemaham- dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
an orang Bugis tidak jauh berbeda dengan pe-
mahaman orang Islam secara umum. Namun, Kesimpulan
mammauluk sering dikacaukan oleh pelak- Dari pemaparan panjang di atas, secara
sanaan yang justru bukan pada bulan maulid. umum dapat ditarik kesimpulan umum dalam
Pemahaman sebagian orang Bugis, mammau- narasi berikut. Dimana pertarungan adat dan
luk harus dilakukan ketika mendapat sesuatu Islam di kalangan orang Bugis memberikan
yang lebih seperti halnya hendak menunaikan corak dalam mengamalkan Islam. Meskipun
ibadah haji dan lain-lain. Dalam setiap perayaan Islam diyakini sebagai agama yang berisi
maulid, pembacaan Barzanji tidak pernah tentang ajaran-ajaran agung, namun tidak
absen. Pembacaan Barzanji inilah yang juga menjamin perilaku mereka terlepas dari adat.
sering dilakukan pada setiap perayaan syukur- Posisi kuat adat yang telah mengakar dalam
an (tasyakuran) di kalangan orang Bugis se- kehidupan orang Bugis menjadikannya sulit
hingga perayaan tersebut sering dikatakan diabaikan. Di samping adat telah mengakar,
sebagai peristiwa mammauluk. pengabaiannya pun mendapatkan sanksi be-
Uraian di atas menegaskan bahwa kaingin- rupa sanksi sosial. Islam yang hingga saat ini
an beragama yang kuat dan keteguhan mem- terus didakwahkan belum mampu mengikis
pertahankan adat masih berlangsung di habis perilaku lama orang Bugis yang sangat

146 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018


Kompromi Islam dan Adat pada Praktik Keagamaan Muslim Bugis ....

fanatik terhadap adat. Pertemuan kedua ele- dengan praktik adat. Antara adat dan Islam
men tersebut melahirkan fanatisme yang ber- sangat sulit dipisahkan dalam praktik keber-
lebihan sehingga tidak hanya menimbulkan agamaan yang dilakukan. Hal ini menunjukkan
konflik tetapi berbagai kompromi yang ter- dualisme keyakinan yang sangat kental di
cermin dalam praktik beragama dalam ke- kalangan orang Bugis masih terus terjadi
hidupan. Pertemuan adat dan agama men- hingga saat ini. Hal ini dikuatkan oleh masih
ciptakan ruang beragama baru bagi orang adanya beberapa komunitas penganut ajaran
Bugis. Di satu sisi meraka mendapat kesempat- (keyakinan) tertentu yang berbasis ajaran
an menunjukkan keteguhan mempertahakan warisan leluhur yang merupakan orang Bugis.
kebiasaan lama, di sisi lain mereka dituntut Ketiga, kebiasaan-kebiasaan orang Bugis
untuk merespons Islam yang datang belakang- yang dilakukan masa pra-Islam masih mem-
an yang disertai ajaran dan tradisi yang serba bekas hingga saat ini. Dakwah Islam yang telah
baru. berlangsung lama hanya menyentuh sisi ter-
Tulisan ini menegaskan beberapa kecen- tentu dan belum tuntas. Ceramah dan pengaji-
derungan. Pertama, orang Bugis sangat fanatik an agama dilakukan oleh tokoh Islam tidak
terhadap Islam. Tidak jarang ditemukan di menjadi jaminan terhadap bersihnya perilaku
kalangan masyarakat keengganan seseorang mereka dari perbuatan yang menyimpang.
disebut non-Islam (non-Muslim) meskipun Keteguhan mempertahankan adat, keenggan-
tidak melakukan kewajiban sebagai penganut an meninggalkan kebiasaan buruk, dan peri-
Islam yang kaffah. Praktik keagamaan pun laku malas-malasan merupakan perilaku yang
lebih banyak bersifat seremonial dan cende- sangat kontras dengan ajaran Islam. Islam
rung meninggalkan esensi ibadah pokok itu sangat menganjurkan kerja keras dan ber-
sendiri. Pada perayaan-perayaan hari-hari agama secara kaffah. Terlihat adanya kesulitan
besar Islam tertentu, justru pelaksanaan atau bagi orang Bugis berpaling dari kebiasaan
proses pelaksanaan menjadi titik tekan, semen- lama meskipun ajaran baru (Islam) yang lebih
tara makna perayaan justru kabur. Nuansa progresif hadir di tengah mereka. Keteguhan
seremonial yang kental dan pengaruh adat mempertahankan adat tidak hanya didasarkan
sangat kuat sehingga cenderung menghilang- pada keyakinan terhadap adat tersebut, tetapi
kan substansi Islam. Ketersediaan instrumen juga didasarkan pada jaminan kohesi sosial
atau perlengkapan acara lebih dikedepankan, dalam komunitas.[]
sementara aspek ajaran ditinggalkan.
Kedua, kecenderungan teguh memper- Daftar Pustaka
tahankan adat. Orang Bugis sangat loyal ter-
Abdullah, Irwan. 1999. “Dari Bounded System
hadap adat yang diwarisi dari para leluhur. ke Borderless Society: Krisis Metode
Penghargaan terhadap adat dapat dilihat pada Antropologi dalam Memahami Masya-
praktik Islam yang sering dicampuradukkan rakat.” Jurnal Antropologi Indonesia 23.

JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018 │ 147


Hasse Jubba, Ahmad Sultra Rustan, Juhansar

Arsyad, Azhar. 2000. Ke-DDI-an: Sejarah dan Makin, Al. 2016. Keberagaman dan Perbedaan:
Pandangan Atas Isu-isu Kontemporer. Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah
Makassar: LKPMB PB DDI. Manusia. Yogyakarta: SUKA Press.
Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama Nasruddin, Nasruddin. 2017. “Tradisi Mappa-
dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: mula (Panen Pertama) pada Masyarakat
LESFI. Bugis Tolotang di Sidenreng Rappang
(Kajian Antropologi Budaya).” Rihlah
Durkheim, Emile. 1995. The Elementary Forms
Jurnal Sejarah dan Kebudayaan 5(1):1–
of Religious Life. New York: The Free
15. Retrieved (http://journal.uin-
Press.
alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi view/3179).
dalam Masyarakat Jawa. terj. A. Mahasin,
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta:
B. Rasuanto, P. Suparlan, dan H. W.
Nalar-Forum Jakarta-Paris.
Bachtiar. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rustan, Ahmad Sultra. 2018. Pola Komunikasi
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of
Orang Bugis: Kompromi Antara Islam
Cultures. New York: Basic.
dan Adat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-
Hamzah, P., ed. 1984. Monografi Kebudayaan IAIN Parepare.
Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung
Said, Abdul Aziz. 2004. Toraja: Simbolisme
Pandang: Pemda Tk. I Sulawesi Selatan.
Unsur Visual Rumah Tradisional. Yogya-
Hasse, J. 2008. “Agama Tolotang di Tengah karta: Ombak.
Dinamika Sosio-Politik Indonesia: Kon-
Sewang, Ahmad. 2005. Islamisasi Kerajaan
struksi Negara Atas Komunitas Tolotang
Gowa Abad XVI Sampai Abad XVII.
di Sulawesi Selatan.” dalam Agama dan
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kearifan Lokal dalam Tantangan Global,
ed. I. Abdullah. Yogyakarta: Sekolah Sumbulah, Ummi. 2012. “Islam Jawa dan
Pascasarjana UGM - Pustaka Pelajar. Akulturasi Budaya: Karakteristik, Variasi
dan Ketaatan Ekspresif.” El-Harakah
Hasse, J. 2018. Kontestasi Identitas Agama:
14(1):51–68. Retrieved (http://ejournal.
Lokalitas Spiritual di Indonesia. Yogya-
uin-malang.ac.id/index.php/infopub/
karta: The Phinisi Press - Program Studi
article/view/2191).
Politik Islam UMY.
Suryadinata, L. 2003. Indonesia’s Population:
Kambie, A. S. 2003. Akar Kenabian Saweri-
Ethnicity and Religion in a Changing Po-
gading: Tapak Tilas Jejak Ketuhanan
litical Landscape. Singapore: ISEAS
Yang Maha Esa dalam Kitab I Lagaligo
Publishing.
(Sebuah Kajian Hermeneutik). Makassar:
Parasufia. Tohopi, Ridwan. 2012. “Tradisi Peraraan Isra’
Mi’raj dalam Budaya Islam Lokal Masya-
Karim, M. Abdul. 2007. Islam Nusantara.
rakat Gorontalo.” El-Harakah 14(1):
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
135–55. Retrieved (http://ejournal.uin-
Kesuma, Andi Ima. 2004. Migrasi dan Orang malang.ac.id/index.php/infopub/
Bugis. Yogyakarta: Ombak. article/view/2192).

148 │ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 2, Nomor 2, 2018

You might also like