Professional Documents
Culture Documents
1
DESA INKLUSI SEBAGAI PERWUJUDAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS
Ratih Probosiwi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS)
Kementerian Sosial RI. Jl. Kesejahteraan Sosial No. 1 Sonosewu, Yogyakarta, Indonesia
Email: ratihprobo@yahoo.com
Naskah diterima 21 September 2017, direvisi 18 Oktober 2017, disetujui 12 November 2017
Abstract
This paper is aimed to provide an overview of the changing paradigm of sustainable development and village
opportunities in social inclusion. This paper is also expected to develop discourse on inclusive village, village-level
friendly services at the theoretical level. The paper is compiled through the literatures study related to social concepts
and inclusion at the village level and analyzed based on the interests of people with disabilities. The study found that
initiatives to build inclusive villages have emerged in some areas that driven by awareness to improve the fulfillment
of the rights of people with disabilities. Inclusive village is not a special village facility for people with disabilities but it
provides hospitable services for persons with disabilities. In addition, inclusive villages are also interpreted as villages
that accept the differences positively and encourage their communities to participate in village development. Village
information systems are important in building inclusive villages as the basis for development planning. Commitment
and change of way people’s perspective on people with disabilities? should also be maintained.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran perubahan paradigma pembangunan berkelanjutan dan
peluang serta kewajiban desa dalam inklusi sosial. Tulisan ini juga diharapkan mampu mengembangkan diskursus
tentang desa inklusi, layanan ramah penyandang disabilitas di tingkat desa pada tataran teoritis. Tulisan disusun
melalui kajian beberapa literatur terkait konsep dan pentingnya inklusi sosial di tingkat desa dan dianalisis sesuai
kepentingan penyandang disabilitas. Hasil kajian menunjukkan bahwa inisiatif untuk membentuk desa inklusi telah
muncul di beberapa wilayah yang didorong dari kesadaran untuk meningkatkan pemenuhan hak penyandang
disabilitas terutama pelibatan penyandang disabilitas dalam proses pembangunan. Desa inklusi yang dimaksud
bukanlah berarti desa yang khusus bagi penyandang disabilitas, melainkan desa yang memberikan layanan ramah
bagi penyandang disabilitas. Selain itu, desa inklusi juga dimaknai sebagai desa yang menerima perbedaan secara
positif dan mendorong masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa. Sistem informasi desa menjadi
hal penting dalam membangun desa inklusi karena menjadi dasar perencanaan pembangunan. Komitmen dan
perubahan cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas juga harus terus ditingkatkan untuk menjamin
terciptanya desa inklusi.
215
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 3, Desember 2017, 217-228
216
Desa Inklusi sebagai Perwujudan Pembangunan Berkelanjutan Bagi Penyandang Disabilitas (Ratih Probosiwi)
pembangunan, misal UU Nomor 24 tahun 2007 bagi penyandang disabilitas dalam memperoleh
tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor pelayanan dan kebersamaan dalam lingkup yang
25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. sama masih terlihat jelas (Zulfikar, 2017). Semangat
Melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang untuk membangun gerakan desa mandiri dengan
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas pelayanan prima melahirkan pemikiran tentang
yang meratifikasi Konferensi PBB tentang hak desa inklusi, yaitu desa yang terbuka, dialogis,
penyandang disabilitas menjadi momentum merangkul, dan toleran. Untuk membangun
baru pelibatan penyandang disabilitas dalam desa inklusi diperlukan sistem dan jaringan
pembangunan berbasis hak asasi manusia. yang mendukung pemenuhan hak penyandang
Penetapan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang disabilitas. Sistem layanan ramah penyandang
Penyandang Disabilitas juga menegaskan bahwa disabilitas saat ini sebatas aksesibilitas bangunan
penyandang disabilitas berhak untuk bebas stigma fisik, namun penerimaan petugas dan prosedur
dan berhak penuh atas hak mereka (Rappler.com, layanan masih sangat terbatas.
2016). Pemenuhan hak penyandang disabilitas Pemberdayaan desa dalam membangun
akan pembangunan haruslah dimulai dari unit desa inklusi harus dimulai dari penguatan
pemerintahan terkecil yaitu pada tingkat desa. organisasi desa itu sendiri. Desa haruslah
Beruntung Indonesia telah memiliki UU Desa dipandang sebagai subjek berdaulat dalam batas
yaitu UU Nomor 6 tahun 2014. Secara implisit, wilayahnya yang memiliki wewenang mengatur
UU Desa mendorong tumbuhnya desa inklusi, urusan pemerintahan dan masyarakatnya
yaitu yang secara harafiah dirumuskan sebagai berdasarkan prakarsa masyarakat dan
“desa untuk semua” atau “desa dihidupi oleh kewenangan lokal. Pemenuhan dan perlindungan
semua dan menghidupi semua”. Dalam UU hak penyandang disabilitas harus dimaksukkan
Desa bab I pasal 3 dijelaskan bahwa pengaturan dalam daftar kewenangan lokal berskala desa
desa harus berasaskan: a) rekognisi; b) dan kewenangan desa berdasarkan hak asal usul.
subsidiaritas; c) keberagaman; d) kebersamaan; Inilah yang kemudian mendasari desa inklusi yang
e) kegotongroyongan; f) kekeluargaan; g) tetap menghormati hak tradisional desa dan hak
musyawarah; h) demokrasi; i) kemandirian; j) penyandang disabilitas.
partisipasi; k) kesetaraan; l) pemberdayaan; dan Berdasarkan hal tersebut, penting
m) keberlanjutan. Asas desa tersebut sangat untuk mengkaji pentingnya desa inklusi dalam
berhubungan dan bermanfaat dalam penumbuhan pembangunan berkelanjutan yang tujuan akhirnya
desa inklusi. adalah menjamin kesejahteraan bagi seluruh
Selama tiga tahun pelaksanaan UU warganya termasuk penyandang disabilitas.
Desa, desa belum sepenuhnya mampu Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran
mengaktualisasikan norma UU Desa sebagaimana perubahan paradigma dalam pembangunan
mestinya. Pemenuhan hak penyandang disabilitas berkelanjutan dan peluang serta kewajiban desa
di desa masih mensyaratkan perjuangan para pihak dalam inklusi sosial. Tulisan ini diharapkan mampu
yang berkepentingan terhadap pemenuhan hak mengembangkan diskursus tentang desa inklusi,
penyandang disabilitas untuk terlibat aktif dalam layanan ramah penyandang disabilitas di tingkat
memfasilitasi desa dalam mengaktualisasikan desa pada tataran teoritis.
norma hukum UU Desa (Direktorat Pemberdayaan
Masyarakat Desa, 2016). Aktualisasi kebijakan B. METODE PENELITIAN
publik di tingkat desa yang membuka ruang bagi Tulisan ini merupakan kajian literatur yang
pemenuhan hak penyandang disabilitas diperlukan mengkaji konsep dan pentingnya inklusi sosial
untuk menopang pelaksanan UU Penyandang dalam ranah pemerintahan terkecil yaitu desa.
Disabilitas. Secara umum, pendekatan yang Beberapa kajian mengenai penerapan rintisan
menjangkau masyarakat secara utuh terutama di desa inklusi yang telah ada disajikan dan dianalisis
desa masih sulit dirasakan. Diskriminasi, termasuk sesuai kepentingan pemenuhan hak penyandang
217
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 3, Desember 2017, 217-228
disabilitas yang kemudian dikaitkan dengan tujuan terpenuhi atau tidak dapat diakses oleh individu
pembangunan berkelanjutan (SDG’s). Tulisan ini atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu
memberikan pemantapan dan penegasan tentang diungkapkan bahwa eksklusi sosial terjadi dalam
pentingnya inklusi sosial dalam ranah desa. proses pertukaran sosial. Menurut Blau, setiap
Melalui literatur dan penelitian yang ada, tulisan asosiasi sosial yang terjadi merupakan proses
ini mencoba untuk menganalisis penyandang pertukaran sosial. Proses itu dimotivasi keinginan
disabilitas tidak hanya sebagai objek namun juga untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan
subjek pembangunan yang memiliki hak dilibatkan dibawa oleh orang lain untuk selanjutnya
dalam proses pembangunan sama seperti dipertukarkan dalam interaksi sosial (Blau,
masyarakat pada umumnya. Data dan informasi 1964). Yang kemudian menjadi permasalahan
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, tidak adalah kenyataan bahwa tidak semua melakukan
hanya menggambarkan namun juga menguraikan pertukaran sosial karena tidak memiliki
serta memberikan penjelasan untuk menguatkan sumberdaya dengan nilai yang sama, inilah yang
diskursus mengenai desa inklusi. melahirkan eksklusi sosial.
Secara terstruktur, Saunders (2007),
C. HASIL DAN PEMBAHASAN mengemukakan bentuk eksklusi sosial yaitu
adanya keterlepasan-kurangnya partisipasi
Pembangunan Inklusi bagi Penyandang
Disabilitas dalam kehiduapan sosial dan aktivitas komunitas;
kurangnya akses pada pelayanan utama yang
Pembangunan inklusi hadir sebagai dibutuhkan; dan keterbatasan akses sumberdaya
jawaban atas kegelisahan dampak pembangunan ekonomi serta kapasitas ekonomi yang rendah.
yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan yang Steinert (2007), menjelaskan level partisipasi jenis
pada akhirnya menimbulkan eksklusi sosial. eksklusi sosial yaitu kelangsungan hidup-akses
Walker dan Walker menyatakan bahwa eksklusi pada makanan, tempat tinggal, dan pakaian;
sosial merujuk pada proses dinamis tertutupnya hubungan sosial, reproduksi personal dan keluarga;
pintu bagi individu baik secara keseluruhan atau jaminan sarana untuk kelangsungan hidup dan
sebagian dari sistem sosial, ekonomi, politik, dan reproduksi; produksi baik itu lokal, nasional
budaya yang menentukan terintegrasinya individu ataupun yang lebih luas; politik; dan perkembangan
dalam masyarakat. Atau dengan kalimat lain, pengambil bagian dalam pembangunan. Hubungan
bahwa eksklusi sosial menunjukkan tidak diakuinya eksklusionari yang ditimbulkan dapat berupa
hak sipil, politik, dan sosial warga masyarakatnya hubungan horisontal-vertikal yang mengeluarkan
(Walker & Walker, 1997). Komisi Eropa memahami seseorang dari keanggotaan suatu kelompok
eksklusi sosial sebagai sesuatu yang bersifat atau mencegah individu untuk naik pada level
multiple dan faktor perubahan yang berdampak tertentu; disengaja-tidak sengaja yang dikaitkan
pada dieksklusikannya orang dari pertukaran dengan upaya diskriminasi; formal-informal ketika
yang normal, praktik dan hak masyarakat modern eksklusi berakar pada institusi dan legislasi,
(Ruman, 2014). Eksklusi sosial mengacu pada perilaku tradisional dan pola dalam masyarakat
hak atas perumahan, pendidikan, kesehatan, dan yang sulit dideteksi; faktor multiple eksklusi sosial;
akses pada layanan yang memadai. Eksklusi sosial dan penguatan eksklusi sosial ketika kelompok
memperngaruhi individu atau kelompok, misalnya dikeluarkan dari masyarakat maka ada efek
penyandang disabilitas, yang pada saat yang domino yang dipastikan terjadi (Taket, 2009).
sama menjadi terdiskriminasi atau tersegregasi.
Dalam perkembangannya, timbul
Percy-Smith menyatakan bahwa eksklusi sosial
kesadaran untuk lebih mempertimbangkan
menekan kelemahan dalam infrastruktur sosial
keterlibatan individu atau kelompok masyarakat
dan risiko yang dialami masyarakat secara luas
dalam tata pemerintahan dan pembangunan.
(Percy-Smith, 2000).
Yaitu pembangunan yang tidak semata
Percy-Smith mengemukakan bahwa memperhitungkan pertumbuhan ekonomi,
eksklusi sosial berkaitan dengan hak yang tidak
218
Desa Inklusi sebagai Perwujudan Pembangunan Berkelanjutan Bagi Penyandang Disabilitas (Ratih Probosiwi)
namun juga ketelibatan dan keberfungsian sosial karena adanya hambatan lingkungan yaitu jalan
masyarakat secara menyeluruh. Inilah yang disebut atau sistem transportasi yang tidak dapat diakses
dengan pembangunan inklusi. Pembangunan menggunakan kursi roda.
inklusi adalah suatu bentuk pembangunan yang Penyandang disabilitas memiliki
melibatkan multi-stakeholder, dimana masyarakat kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama
sipil, pemerintah, dan sektor publik bekerja sama dengan masyarakat pada umumnya. Sebagai
untuk mengatasi isu pembangunan, yang secara bagian dari negara Indonesia, mereka berhak
khusus melibatkan kelompok masyarakat marginal, memperoleh perlakuan khusus sebagai bentuk
termasuk kelompok penyandang disabilitas untuk perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai
turut serta bekerja. Pembangunan dapat menjadi tindakan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi
inklusi hanya jika semua stakeholder secara manusia. Sebagai bentuk komitmen lebih lanjut
bersama menciptakan kesetaraan kesempatan dan terhadap usaha mendorong terwujudnya hak bagi
keuntungan bersama, serta berpartisipasi dalam penyandang disabilitas. Pemerintah Indonesia
proses pengambilan keputusan melalui prinsip meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak Para
hak asasi seperti partisipasi, non-diskriminasi dan Penyandang Disabilitas pada Oktober 2011.
akuntabilitas (UNDP, 2017). Inisiatif pembangunan Ratifikasi ini merupakan tindakan yang menggeser
akan lebih efektif mengurangi masalah kemiskinan paradigma pendekatan bagi penyandang
ketika semua stakeholder dilibatkan dalam proses disabilitas dari pendekatan kesejahteraan sosial
perencanaan, eksekusi dan monitoring program, menjadi pendekatan hak asasi manusia. Termasuk
khususnya masyarakat dan komunitas marginal di dalamnya adalah untuk memfokuskan pada
(Oxfam Internasional, 2017). penghalang yang menghambat di lingkungan
Diskriminasi dan under-estimated adalah fisik, sosial, budaya dan ekonomi sehingga para
titik tolak eksklusi sosial terhadap penyandang penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dan
disabilitas. Penyandang disabilitas dianggap memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan
sebagai individu atau kelompok yang tidak yang mereka miliki. Pendekatan ini juga menerima
memiliki kemampuan melakukan sesuatu pemikiran untuk mengadopsi perundang-
karena keterbatasan mereka. Eksklusi sosial undangan dan kebijakan non diskriminatif, yang
mengakibatkan minimnya pelibatan penyandang menekankan pada pentingnya perlakuan dan
disabilitas dalam proses pembangunan bahkan kesempatan yang setara. Pergeseran paradigma
di level masyarakat terkecil misal RT, RW ini sejalan dengan konsep pembangunan inklusi
atau lingkungan masyarakat yang berpotensi yang menginginkan kemandirian dan partisipasi
mengurangi kualitas hidup dan takterpenuhinya dari seluruh masyarakat.
hak penyandang disabilitas. Lemahnya
Peran dan Kewenangan Desa
pengakuan terhadap kemampuan penyandang
disabilitas mengakibatkan eksklusi sosial yang Disebutkan bahwa desa merupakan institusi
secara domino melemahkan mereka dari segi sosial sekaligus institusi negara, yang karena
kepemilikan sumberdaya baik itu ekonomi, karakteristiknya, paling dekat dengan masyarakat
sosial, politik dan hukum. Padahal, dengan adat. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
keterbatasan yang dimilikinya, penyandang (selanjutnya disebut UU Desa) melegitimasi
disabilitas ingin menjadi bagian dari masyarakat bahwa desa merupakan hibridasi institusi sosial
yang produktif. Keterbatasan kesempatan kerja dan negara yang bersifat otonom (Firmansyah,
bagi penyandang disabilitas disebabkan masih 2014). UU Desa menempatkan rekognisi
terbatasnya jenis pekerjaan yang dapat diberikan dan subsidiaritas sebagai asas pengaturan
dan juga karena belum cukupnya infrastruktur desa dan memposisikan desa sebagai entitas
bagi penyandang disabilitas. Misalnya, seseorang yang unik dan berbeda. Terbitnya UU Desa
yang menggunakan kursi roda mengalami didasari oleh kebutuhan untuk melindungi dan
kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, bukan memberdayakan hak asal usul dan hak tradisional
karena ia menggunakan kursi roda melainkan desa untuk megurus kepentingan masyarakat
219
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 3, Desember 2017, 217-228
desa(Kusmawan dkk, 2016). Masing-masing desa Berdasarkan PP Nomor 60 tahun 2014 pasal
memiliki tata kelola sendiri sesuai nilai historis 19(2) dana desa diprioritaskan untuk membiayai
desa yang menjadikannya sebagai self governing pembangunan dan pemberdayaan masyarakat;
community atau komunitas yang mengelola diperkuat melalui Permendesa PDTT Nomor
urusannya secara mandiri. UU Desa mengatur 5 Tahun 2015 pasal 2 bahwa dana desa yang
pemerintahan yang efektif dan demokratis; bersumber dari APBN digunakan untuk mendanai
pembangunan desa untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal
hidup manusia, penanggulangan kemiskinan dan usul dan kewenangan lokal skala desa yang
kesejahteraan; pemberdayaan mencakup aspek diatur dan diurus oleh desa; dan pasal 3 yang
kesadaran, kapasitas, dan prakarsa lokal; dan memprioritaskan belanja pembangunan dan
pembangunan kemasyarakatan yang bertenaga pemberdayaan masyarakat desa.
secara sosial, mengandalkan modal sosial dan Kegiatan prioritas bidang pembangunan
membangun warga desa serta desa bermartabat. desa untuk pemenuhan pelayanan dasar
Sebagai kesatuan masyarakat hukum, kegiatan-kegiatan pembangunan desa yang dapat
desa dikuatkan melalui demokrasi perwakilan dibiayai dana desa bagi peningkatan kualitas dan
dan demokrasi permusyawarahan. Kesepakatan akses terhadap pelayanan sosial dasar adalah
dalam musyawarah desa dituangkan dalam 1) pengadaan, pembangunan, pengembangan
peraturan desa yang dibatasi oleh hak asal-usul dan pemeliharaan sarana prasarana kesehatan,
desa dan kewenangan dalam skala lokal semisal antara lain: a) air bersih berskala desa; b) sanitasi
pembangunan jalan desa, irigasi, pengelolaan lingkungan; c) jambanisasi; d) mandi, cuci, kakus
BUM-Desa. Desa berhak mengeluarkan kebijakan (MCK); e) mobil/ kapal motor untuk ambulans
publik yang bersifat strategis yang didukung oleh desa; f) alat bantu penyandang disabilitas; g)
dana desa, alokasi dana desa, bagi hasil pajak panti rehabilitasi penyandang disabilitas; h) balai
daerah, bantuan keuangan, aset mandiri desa, pengobatan; i) posyandu; dan j) sarana prasarana
swadaya masyarakat, dan sumberdaya lain kesehatan lainnya sesuai dengan analisis
yang dimiliki desa. Dalam penyusunan peraturan kebutuhan dan kondisi Desa yang diputuskan
desa, menurut PP Nomor 47 Tahun 2014, dalam musyawarah Desa; 2) pengadaan,
musyawarah desa melibatkan unsur masyarakat pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
misalnyaperempuan, pemerhati anak, masyarakat sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan
miskin, dan unsur lain sesuai kondisi sosial budaya antara lain: a) taman bacaan masyarakat; b)
desa yang di dalamnya adalah penyandang bangunan PAUD; c) buku dan peralatan belajar
disabilitas. PAUD lainnya; d) wahana permainan anak di
Pembangunan desa, berdasarkan PAUD; e) taman belajar keagamaan; f) bangunan
Permendesa Nomor 5 Tahun 2015 tentang perpustakaan Desa; g) buku/bahan bacaan; h)
Prioritas Penggunaan Dana Desa, dilakukan balai pelatihan/kegiatan belajar masyarakat; i)
melalui pemenuhan kebutuhan dasar, sanggar seni; j) film dokumenter; k) peralatan
pembangunan sarana desa, pembangunan kesenian; dan l) sarana prasarana pendidikan
prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi dan kebudayaan lainnya sesuai dengan analisis
lokal, dan pemanfaatan sumberdaya alam dan kebutuhan dan kondisi Desa yang diputuskan
lingkungan hidup berkelanjutan. Pembangunan dalam musyawarah Desa (Satria, 2017).
desa diharapkan mengedepankan kebersamaan, Sedangkan, kegiatan prioritas bidang
kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna pemberdayaan masyarakat untuk pemenuhan
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian pelayanan dasar kegiatan pemberdayaan
dan keadilan sosial. Untuk meningkatkan masyarakat yang dapat dibiayai dana desa
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan bagi peningkatan kualitas dan akses terhadap
desa salah satunya adalah melalui penguatan pelayanan sosial dasar adalah 1) pengelolaan
masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat,
220
Desa Inklusi sebagai Perwujudan Pembangunan Berkelanjutan Bagi Penyandang Disabilitas (Ratih Probosiwi)
antara lain: a) pelayanan penyediaan air bersih; b) desa dengan memperhatikan hak asal-usulnya.
pelayanan kesehatan lingkungan; c) penyediaan Partisipasi aktif warga desa, termasuk penyandang
makanan sehat untuk peningkatan gizi bagi disabilitas, membentuk tata kelola desa yang
balita dan anak sekolah; d) pengelolaan balai demokratis berdasarkan musyawarah mufakat.
pengobatan Desa; e) perawatan kesehatan Desa sebagai wadah kolektif bernegara dan
untuk ibu hamil dan menyusui; f) pengobatan bermasyarakat, menjadi basis sosial memupuk
untuk lansia; g) fasilitasi keluarga berencana; h) modal sosial yaitu solidaritas, kerjasama,
pengelolaan kegiatan rehabilitasi bagi penyandang swadaya, gotong royong secara inklusif yang
disabilitas; dan i) kegiatan pengelolaan pelayanan melampaui batas eksklusif seperti kekerabatan,
kesehatan masyarakat Desa lainnya sesuai suku, agama,dan aliran. Desa juga memiliki
dengan analisis kebutuhan dan kondisi Desa otoritas dan akuntabilitas untuk mengatur dan
yang diputuskan dalam musyawarah Desa; dan mengurus kepentingan setempat sesuai mandat
2) Pengelolaan kegiatan pelayanan pendidikan dari masyarakat desa. Dalam penyelenggaraan
dan kebudayaan antara lain: a) bantuan insentif pemerintahan, desa menjalankan fungsi proteksi
guru PAUD; b) bantuan insentif guru taman dan distribusi pelayanan dasar bagi warga
belajar keagamaan; c) penyelenggaraan pelatihan masyarakat (Eko, 2014). Kewenangan lokal
kerja; d) penyelengaraan kursus seni budaya; berskala desa mencakup penyelenggaraan
e) bantuan pemberdayaan bidang olahraga; f) pemerintahan desa, pembangunan desa,
pelatihan pembuatan film dokumenter; dan g) pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan
kegiatan pengelolaan pendidikan dan kebudayaan masyarakat berdasarkan prakarsa, hak asal
lainnya sesuai dengan analisis kebutuhan dan usul dan adat istiadat desa. Pengelolaan
kondisi Desa yang diputuskan dalam musyawarah pemerintahan secara mandiri mensyaratkan
Desa (Satria, 2017). Dari jabaran tersebut, jelas kompetensi dan keberdayaan desa. Secara
bahwa pemenuhan kebutuhan penyandang umum, kemampuan desa di Indonesia sangatlah
disabilitas merupakan kegiatan prioritas desa baik beragam, namun dalam beberapa kasus,
bidang pembangunan maupun pemberdayaan ketidakberdayaan beberapa desa diabaikan dan
masyarakat. digeneralisir sehingga mendapat perlakuan sama
Tiga indikator efektivitas penggunaan (Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa,
dana desa yaitu meningkatkan ekonomi desa, 2016).Pemberdayaan desa melalui pelibatan
meningkatkan partisipasi masyarakat desa, dan masyarakat secara aktif menjamin keberlanjutan
meningkatkan kapasitas serta kapabilitas warga pembangunan, tidak hanya terlibat secara
desa. Partisipasi masyarakat desa diwujudkan pemikiran namun juga diwujudkan dalam program
melalui meningkatkan keterlibatan masyarakat pembangunan bagi seluruh masyarakat.
miskin, perempuan, dan penyandang disabilitas
Desa Inklusi: Sebuah Diskursus
dalam penyusunan RPJM Desa, RKP Desa
dan APB Desa; dan semakin terbuka ruang Sebagai institusi formal terdepan, desa
masyarakat miskin, perempuan, serta penyandang mempunyai peran strategis dalam pelaksanaan
disabilitas dalam mengawasi pembangunan desa. pembangunan, layanan dasar, sekaligus
Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dilakukan menciptakan kondisi demokrasi lokal, partisipasi
melalui meningkatkan jumlah tenaga terampil kelompok-kelompok sosial dan inklusi sosial,
pengelola kegiatan pembangunan di desa; terutama dalam hal penerimaan sosial dan
meningkatkan akses dan kualitas layanan dasar pengakuan identitas adat di tingkat tapak
(pendidikan dan kesehatan); serta meningkatkan (Firmansyah, 2014). Desa juga merupakan bagian
indeks pembangunan manusia di desa (Suhartono, penting bagi terwujudnya pembangunan inklusif,
2016). Ketiga indikator tersebut menunjukkan namun di sisi lain, desa juga menjadi wilayah yang
bahwa perlindungan dan pemenuhan hak paling dekat dengan peminggiran penyandang
penyandang disabilitas merupakan salah satu disabilitas (Solider, 2015). Penyandang disabilitas
program penting yang masuk dalam kewenangan seringkali tidak diikutsertakan dalam proses
221
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 3, Desember 2017, 217-228
222
Desa Inklusi sebagai Perwujudan Pembangunan Berkelanjutan Bagi Penyandang Disabilitas (Ratih Probosiwi)
desa adalah keterbatasan kemampuan atau kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai
keterampilan desa dalam penguatan teknologi semua tempat atau bangunan yang bersifat umum
informasi. Kendati setiap desa kini telah memiliki dalam suatu lingkungan; kegunaan, yaitu setiap
laman website sendiri, nyatanya belum diisi orang harus dapat mempergunakan semua tempat
dengan informasi yang memadai tentang desa atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu
dengan seluruh potensinya. lingkungan; keselamatan, yaitu setiap bangunan
UU Desa memberikan keleluasaan bagi desa yang bersifat umum dalam suatu lingkungan
untuk mengelola dana desa masing-masing. Hal terbangun, harus memperhatikan keselamatan
ini dapat dimanfaatkan desa untuk meningkatkan bagi semua orang; dan kemandirian, yaitu
kapasitas desa baik dari segi pembangunan setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan
infrastruktur maupun pembangunan manusianya. mempergunakan semua tempat atau bangunan
Sesuai Peraturan Menteri Desa Nomor 21 Tahun yang bersifat umum dalam suatu lingkungan
2015, prioritas pertama penggunaan dana desa dengan tanpa membutuhkan bantuan orang
yaitu untuk pembangunan infrastruktur, namun lain (Handoko, n.d.). Misal dalam pembangunan
bidang kesehatan dan pendidikan juga perlu sarana MCK umum diperlukan tambahan bilik
tetap diperhatikan misalnya posyandu dan paud. khusus atau toilet bagi penyandang disabilitas
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/ atau toilet biasa yang disesuaikan untuk kursi
PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas roda, adanya guidingblock, simbol braile, ramp,
dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan atau running text. Aksesibilitas tidak hanya
Lingkungan mengatur penyediaan fasilitas dan berwujud fisik, namun juga non fisik. Aksesibilitas
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lansia. non fisik yaitu berupa kemampuan masyarakat
Saat infrastruktur telah baik, maka pemberdayaa pada umumnya untuk mengerti dan memahami
masyarakat dapat dilakukan misalnya melalui penyandang disabilitas misalnya kemampuan
pendidikan peningkatan keterampilan teknologi memahami bahasa isyarat atau huruf braile.
informasi masyarakat atau melalui pengembangan Selain itu juga moral seluruh masyarakat untuk
usaha masyarakat. Sistem infrastruktur yang baik tidak merendahkan penyandang disabilitas.
tidak hanya diwujudkan dalam bentuk bangunan Pemenuhan aksesibilitas dalam
fisik yang bagus, tetapi juga ketersediaan sarana pembangunan fisik desa juga menunjukkan
tambahan untuk memudahkan aksesibilitas bahwa desa telah siap menuju inklusivitas dan
penyandang disabilitas dalam memanfaatkannya. berbaur secara total dan berkelanjutan dengan
Pasal 9 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas penyandang disabilitas. Penyediaan aksesibilitas
menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan hal bukan berarti pengistimewaan, melainkan
penting dalam memberikan kesempatan bagi meminimalisir keterbatasan penyandang
penyandang disabilitas untuk dapat hidup mandiri disabilitas. Pengembangan desa inklusi perlu
dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan, meliputi didukung seluruh masyarakat, khususnya
aksesibilitas fisik dan non-fisik. Aksesibilitas masyarakat pada umumnya untuk menerima
fisik merujuk pada akses ke sarana pendidikan, keberadaan penyandang disabilitas. Penciptaan
pengadilan, rumah sakit, atau tempat kerja. lingkungan tanpa adanya diskriminasi, pandangan
Sedangkan aksesibilitas informasi dan komunikasi meremehkan atau bahkan merendahkan pada
merujuk pada dunia maya dengan melihat begitu kemampuan penyandang disabilitas akan
pentingnya internet dalam mengakses informasi, menciptakan kondisi yang nyaman bagi mereka
serta aksesibilitas terhadap dokumentasi (braille) untuk menjalankan fungsi sosialnya. Pembauran
dan informasi aural (bahasa isyarat). dalam setiap aspek bermasyarakat (pemerintahan
Berdasarkan perundang-undangan atau sosial) merupakan kunci konsep inklusivitas
penyandang cacat nasional dan internasional, yang dituju.
setiap aksesibilitas yang tersedia harus dapat
memenuhi asas aksesibilitasyang meliputi
223
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 3, Desember 2017, 217-228
224
Desa Inklusi sebagai Perwujudan Pembangunan Berkelanjutan Bagi Penyandang Disabilitas (Ratih Probosiwi)
225
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 3, Desember 2017, 217-228
226