You are on page 1of 11

OPTIMALISASI PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK YANG BERORIENTASI PADA RESTORATIVE JUSTICE


DI KOTA DENPASAR

Diah Ratna Sari Hariyanto & Gde Made Swardhana


Fakultas Hukum Universitas Udayana
Email: diahratna88@gmail.com
Naskah diterima: 18/1/2021, direvisi: 5/8/2021, disetujui: 30/8/2021

Abstract

Diversion has become the starting point that legitimizes the settlement of criminal cases outside the judiciary
in Indonesia. There are many benefits of diversion but it is very risky because it is not implemented optimally;
therefore, the implementation and the constraints in the diversion application in Denpasar need to be
studied and solutions to optimize the application to be sought. This research is empirical legal research.
The results of the study show that the implementation of diversion in Denpasar City has been carried out
with restrictions or filtering by Article 7 Section (2) of the SPPA Law, it shall only be implemented in respect
of criminal acts of children who are punishable by imprisonment of under 7 years and not a recidivist.
Obstacles encountered are the regulations regarding the ages of children based on the Law of SPPA, lack
of coordination and supervision, law enforcers who have an inadequate understanding of the meaning and
spirit of diversion, as well as lack of public awareness and understanding of the urgency of diversion.
Optimization taken is the reformulation of regulations, increased coordination, training, and socialization to law
enforcers. Providing socialization and approaches to the community to increase understanding and awareness.

Keywords: diversion, restorative justice, optimization

Abstrak

Diversi telah menjadi awal yang meletigitimasi penyelesaian kasus pidana di luar peradilan di Indonesia.
Banyak manfaat yang diberikan melalui diversi namun sangat riskan tidak dilaksanakan secara optimal,
sehingga perlu dikaji terkait pelaksanaan dan kendala penerapan diversi di Denpasar serta solusi untuk
mengoptimalkan penerapan diversi. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Hasil studi menunjukkan
bahwa pelaksanaan diversi di Kota Denpasar telah dilakukan dengan pembatasan atau filterisasi sesuai
dengan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yakni hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana anak yang diancam
dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan residivis. Kendala yang dialami adalah pengaturan
umur anak berdasarkan UU SPPA (substansi hukum), kurangnya koordinasi dan pengawasan (struktur
hukum), dan masih bisa ditemukan penegak hukum yang tidak memahami makna dan spirit diversi, serta
kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat akan urgensi diversi (budaya hukum). Optimalisasi yang
dapat dilakukan adalah dengan reformulasi aturan, meningkatkan koordinasi, pelatihan, serta sosialisasi ke
penegak hukum. Mengadakan sosialisasi dan pendekatan ke masyarakat untuk meningkatan pemahaman
dan kesadaran penyelesaikan kasus melalui diversi.

Kata Kunci: diversi, keadilan restoratif, optimalisasi

394
Optimalisasi Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan... (Diah Ratna Sari Hariyanto & Gde Made Swardhana)

A. Pendahuluan Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini juga sejalan


dengan prinsip ultimum remidium yang menjauhkan
Anak secara filosofis memiliki kedudukan
pemidanaan bagi anak. Diversi menjadi awal yang
yang penting dalam suatu bangsa, sehingga perlu
meletigitimasi penyelesaian kasus pidana di luar
mendapatkan perlindungan dan perlakuan khusus,
pengadilan sehingga menarik untuk diteliti. Banyak
termasuk ketika anak melakukan pelanggaran
manfaat yang diberikan melalui diversi namun sangat
hukum pidana (tindak pidana anak). M. Nasir
riskan tidak dilaksanakan secara optimal.
Djamil menyatakan bahwa anak tidak layak untuk
Fenomena menunjukkan bahwa hasil diversi
dihukum apalagi dimasukkan ke dalam penjara.
yang disepakati kerap dianggap lemah karena berbeda
Dampak anak yang melalui proses hukum sampai
dengan sanksi pidana yang sifatnya memaksa. Secara
ke pengadilan akan mengalami tekanan mental dan
historis, sebagai tonggak yang selalu dijungjung tinggi
psikologis sehingga mengganggu tumbuh kembang
dalam hukum pidana adalah asas legalitas sehingga
anak. Patut disadari bahwa anak yang berkonflik
penegakan hukum pidana umumnya diselesaikan
dengan hukum apalagi yang dijatuhi pidana akan
melalui peradilan (asasnya hukum pidana tidak
mendapat stigmatisasi yang akan dirasa sepanjang
mengenal perdamaian). Hal ini membawa dampak
hidupnya. Hal inilah yang paling berbahaya karena
krusial bagi penegak hukum terkait kesadaran
sangat riskan merusak masa depan anak.1
untuk menempuh jalur diskresi yang masih kurang
Dampak pemidanaan bagi anak sangat
mengingat kebiasaan penegak hukum yang secara
memprihatinkan. Apalagi kondisi pemasyarakatan di
represif menyelesaikan kasus melalui peradilan.
Indonesia saat ini, yang dalam prakteknya masih dapat
Fahmi Noor Adly juga menyebutkan bahwa
ditemukan anak-anak yang ditahan dan dipenjara
fenomena penerapan diversi menunjukkan lemahnya
bersama dengan orang dewasa, sehingga anak
perlindungan bagi anak sehingga memerlukan
rawan menjadi korban kekerasan. Hal ini menuntut
penguatan dan peningkatan diberbagai sektor.4
kesadaran akan pentingnya pemantauan dan perhatian
Diskresi sebagai pengalihan perkara pidana menjadi
untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum.2
peluang akan keberhasilan perlindungan anak dalam
Sangat diperlukan kajian terhadap pelaksanaan
sistem peradilan pidana sehingga harus dilaksanakan
sistem peradilan pidana anak dengan mengutamakan
dengan optimal dan sesuai dengan cita-cita dari
kepentingan anak.
keadilan restoratif yang menjadi roh atau jiwa dari
Sistem peradilan pidana anak yang sifatnya
diversi. Diversi menjadi langkah awal penerapan
represif telah mulai ditinggalkan oleh berbagai
sistem peradilan pidana yang sejalan dengan teori
negara karena dianggap tidak efektif, sehingga perlu
progresif dari Satjipto Rahardjo dan teori responsive
dialternatifkan.3 Saat ini terdapat terobosan hukum
yang digagas oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick,
pidana kearah keadilan restoratif (restorative justice)
sehingga perlu diteliti pelaksanaannya untuk dapat
yang mengutamakan pemulihan. Demi kepentingan
memperbaiki pelaksanaan diversi kedepannya.
terbaik untuk anak maka berdasarkan Undang-
Diversi menjadi salah satu solusi dari
Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
permasalahan Sistem Peradilan Pidana, mulai dari
Peradilan Pidana Anak (yang selanjutnya disebut
penumpukan perkara (beban peradilan) dan over
UU SPPA) dimungkinkan penyelesaian perkara
kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan, menjadi
pidana melalui “diversi”, yang menjadi salah satu
sarana untuk memberikan perlindungan optimal bagi
bentuk pengaplikasian keadilan restoratif dalam
anak untuk menghindarkannya dari sanksi pidana

1. M. Nasir. 2013. Anak Bukan untuk dihukum. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 1-3.
2. Hendricus Andrianto, Pujiyono, dan Nur Rochaeti. 2016. Implementasi Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan
Dengan Hukum di Polres Pati. Diponegoro Law Journal Volume 5, Nomor 3: 1-10. hlm. 3.
3. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur. 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak
Indonesia. Depo: Indie Publishing. hlm. 89.
4. Fahmi Noor Adly. 2020. Diversi sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana anak di tingkat penyidikan dalam
kasus kejahatan kesusilaan di wilayah hukum Polda Jatim. Jurnal Sosiologi Dialektika Volume 15 Nomor 1: 26-32. hlm.
27.

395
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 3 - September 2021: 394-404

yang merugikan, bermanfaat bagi masyarakat karena celah yang seluas-luasnya untuk menerapkan diversi.
diversi akan mengutamakan pemenuhan keadilan Hal ini patut diapresiasi karena secara totalitas
bagi semua pihak. berupaya menerapkan diversi, namun nampaknya
Bertitik tolak dari fenomena yang telah diuraikan berseberangan jika dikaji dalam aturan Pasal 7 ayat
maka urgen dan menarik untuk menulis jurnal dengan (2) UU SPPA yang memberi pembatasan penerapan
judul, “Optimalisasi Pelaksanaan Diversi Dalam diversi.
Sistem Peradilan Pidana Anak yang Berorientasi Pasal 7 ayat (2) UU SPPA membatasi penggunaan
Pada Restorative Justice di Kota Denpasar”, dengan diversi dengan mengatur bahwa diversi hanya dapat
mengkaji pelaksanaan serta kendala pelaksanaan dilakukan dalam tindak pidana anak yang diancam
diversi di Kota Denpasar dan menemukan solusi dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun
optimalisasi penerapan diversi dalam kerangka dan bukan recidive (pengulangan tindak pidana).
keadilan restoratif dari segi substansi, stuktur, dan Konsekuensi dari pembatasan ini menjadikan
budaya hukum di Kota Denpasar. Tujuan utama dari adanya penyaringan kasus (“filterisasi”) yang bisa
tulisan ini adalah untuk mengoptimalkan penerapan diselesaikan melalui jalur diskresi. Pertama, secara
diversi sehingga diversi dapat efektif memberikan absolut melihat bahwa diversi hanya bisa dilakukan
manfaat bagi semua pihak. terhadap tindak pidana yang tidak berat yakni tindak
Jurnal ini menggunakan jenis penelitian hukum pidana anak yang diancam dengan pidana penjara
empiris dengan mengkaji penerapan diversi dalam di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
praktek penegakan hukum dalam sistem peradilan pengulangan tindak pidana (recidive) dalam artian
pidana anak. Penelitian ini bersifat deskriptif. Data ini bahwa tindak pidana anak dilakukan oleh anak
primer dalam penelitian ini diperoleh di POLRESTA yang bukan residivis (sejenis/tidak sejenis dan tindak
Denpasar, Kejaksaan Negeri Denpasar, dan Pengadilan pidana yang telah diselesaikan melalui diversi). Hal
Negeri Denpasar, sedangkan data sekunder berasal ini menegaskan bahwa diversi tidak bisa dilakukan
dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. terhadap anak yang pernah melakukan kejahatan
Data yang ada akan dikumpulkan dengan teknik sekalipun kejahatan ini diselesaikan melalu jalur
Studi Dokumen dan Wawancara. Penelitian ini diversi.
menggunakan Teknik non-Probabilitas/Non-Random Angger Sigit Pramukti menyatakan bahwa
Sampling dengan bentuk purposive sampling dalam diversi adalah kewenangan penegak hukum
penentuan sampelnya. Data yang ada diolah dan dalam melakukan tindakan kebijaksanaan dalam
dianalisis dengan menggunakan analisis data menyelesaikan perkara pidana anak dengan tidak
kualitatif yang selanjutnya disajikan secara deskriptif melalui jalan formal untuk menghentikan atau tidak
kualitatif dan sistematis. meneruskan ke proses peradilan.5 Penegak hukum
memiliki peran yang sangat besar dalam hal ini.
B. Pembahasan
Adi Purwatibahwa menyatakan bahwa dalam
B.1. Pelaksanaan dan Kendala yang Dihadapi Dalam pelaksanaannya UU SPPA memerlukan dukungan
Penerapan Diversi di Kota Denpasar keterlibatan dari berbagai instansi yakni dari
Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung,
B.1.1. Pelaksanaan Diversi Berdasarkan UU SPPA
Komisi Perlindungan Anak, Kementerian Hukum
Secara yuridis telah diatur bahwa diversi dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kesehatan,
wajib dilakukan disemua tingkat pemeriksaan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam
(penyidikan, penuntutan, dan persidangan). pembentukan kebijakan pencegahan, penyelesaian
Pengaturan secara imperative dalam Pasal 5 perkara, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.6 Hal ini
dan 7 UU SPPA yang mewajibkan pengupayaan sangat diperlukan agar amanat dari dibentuknya UU
penggunaan diversi menunjukkan bahwa dibuka SPPA dapat tercapai.

5. Angger Sigit Pramukti. 2014. Sistem Peradilan Pidana Anak. Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Medpress.
hlm. 69.
6. Ani Purwati. 2020. Keadilan Restoratif dan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak, Surabaya: CV. Jakad
Media Publishing. hlm. 81.

396
Optimalisasi Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan... (Diah Ratna Sari Hariyanto & Gde Made Swardhana)

Esensi dari diversi dengan pendekatan restorative Bagan 1 menunjukkan mekanisme diversi yang
justice adalah “pengalihan” proses penyelesaian dapat dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan
tindak pidana dari dalam ke luar pengadilan melalui oleh anak merupakan tindak pidana yang diancam
metode musyawarah mufakat dengan mengutamakan dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan
“pemulihan”, “perbaikan” kekeadaan semula recidive (pengulangan kejahatan). Ketika memenuhi
sebelum kejahatan terjadi dan dengan pemenuhan kedua syarat tersebut diversi wajib diupayakan
kebutuhan korban, pelaku, dan masyarakat. Hal disetiap tahap pemeriksaan yakni di tingkat
ini telah tertuang dalam Pasal 8 UU SPPA bahwa penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan)
diversi dilakukan dengan cara musyawarah dengan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (pengadilan).
melibatkan banyak pihak. Apabila di tingkat penyidikan (kepolisian) diversi
Hasil diversi dituangkan dalam bentuk tidak berhasil maka diupayakan lagi ditingkat
“kesepakatan diversi” yang umumnya berupa penuntutan (Kejaksaan) dan apabila ditingkat
perdamaian (dengan atau tanpa ganti kerugian), penuntutan (Kejaksaan) diversi gagal maka akan
penyerahan ke orang tua/wali, Pendidikan/pelatihan diupayakan lagi di pengadilan. Ketika diversi berhasil,
di lembaga pendidikan atau LPKS; atau pelayanan kesepakatan diversi akan didaftarkan ke pengadilan
masyarakat. Apabila tindak pidana yang dilakukan untuk mendapatkan penetapan. Apabila diversi gagal
termasuk ke dalam pelanggaran, tindak pidana ringan, dilakukan dan apabila hasil kesepakatan diversi yang
tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian telah dituangkan dalam penetapan tidak dijalankan
korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi atau tidak dilaksanakan maka proses akan kembali
setempat maka Penyidik dapat melakukan diversi dilanjutkan ke dalam sistem peradilan pidana anak.
atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan Apabila dikaji, mekanisme ini menjadi cerminan
dan bentuk hasil diversi dapat berupa: ganti rugi, bahwa UU SPPA memberikan ruang yang besar untuk
rehabilitasi medis dan psikososial, dikembalikan melaksanakan diversi di semua tingkat pemeriksaan,
ke orang tua/Wali, pendidikan atau pelatihan di meskipun terdapat pembatasan atau syarat untuk
Lembaga pendidikan atau LPKS atau pelayanan diversi.
masyarakat. Kesepakatan diversi selanjutnya
B.1.1.2 Pelaksanaan dan Kendala yang Dihadapi
didaftarkan kepengadilan untuk dijadikan sebuah
Dalam Penerapan Diversi di Polresta Denpasar
penetapan.
Berdasarkan UU SPPA dapat digambarkan Diversi di Polresta Denpasar dilaksanakan oleh
proses diversi sebagaimana dalam Bagan 1. unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Selanjutnya
disebut PPA) sebagai unit 6. Berdasarkan hasil
Bagan 1.
Proses Diversi di Setiap Tahap Pemeriksaan wawancara dengan Ibu Willa Jully Nendissa (Kanit
Berdasarkan UU SPPA
PPA Unit 6 Polresta Denpasar) pada tanggal 29
September 2020 terkait pelaksanaan dan mekanisme
diversi di Polresta Denpasar beliau menyatakan
bahwa, “Apabila terjadi kasus yang pelakunya adalah
anak, Unit PPA selanjutnya menerima pelimpahan
di LP dari unit 1 dan dilimpahkan ke unit 6 yang
khusus menangani perempuan dan anak. Pelaku
tidak ditahan, dan diberlakukan wajib lapor. Bapas
membuat penelitian kemudian laporan hasil penelitian
akan menjadi salah satu dasar rekomendasi untuk
melakukan upaya diversi. Dalam upaya diversi
Unit 6 selanjutnya memanggil pelapor, orang tua si
pelaku (mendampingi dalam proses pemeriksaan),
Dinas Sosial untuk mendampingi, Bapas, P2TP2A,
dan Kepala Lingkungan (dari pihak korban dan

397
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 3 - September 2021: 394-404

pelapor). Diversi pada intinya mencari kesepakatan memaksimalkan upaya diversi. Kendala dari segi
antara pelapor dan pelaku untuk menyelesaikan budaya hukum dapat ditemukan bahwa dari segi
kasus. Kepolisian tetap mengupayakan diversi penegak hukum, masih bisa ditemukan penegak
namun dilihat lagi ketentuan perundang-undangan, hukum yang tidak memahami spirit dan makna
dilihat lagi syarat-syarat diversi sebagaimana diatur diversi sehingga mengurangi pelaksanaannya untuk
dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA. Peran PPA adalah mengupayakan penyelesaian kasus melalui diversi.
sebagai fasilitator agar diversi berhasil. Dalam Dalam pelaksanaannya, masih dapat ditemukan
pelaksanaannya, Bapas dan Dinas sosial sangat kegagalan diversi karena pihak korban tidak mau
berperan dalam memberikan rekomendasi diversi melakukan diversi hal ini menunjukkan bahwa
dan memberikan pendampingan. Hasil diversi juga tingkat kesadaran masyarakat akan urgen dan
tetap diawasi Bapas dan Dinsos”. Bapas adalah salah manfaat diversi belum dirasakan masyarakat.
satu Lembaga yang sangat berperan besar, tidak Menurut penulis esensi dari diversi tidak
hanya diawal bahkan pasca diversi telah berhasil serta merta melupakan penanggulangan kejahatan
dilakukan (pasca kesepakatan diversi). Bapas juga mengingat kualitas dan kuantitas kejahatan anak
mencerminkan keterlibatan pemerintah secara yang kian meningkat dan luar biasa jika dibandingkan
langsung dalam proses diversi yang mendampingi tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan
anak dalam proses diversi bahkan dari awal sampai oleh Azwad Rachmat Hambali bahwa diversi dilakukan
akhir proses diversi. 7
tanpa mengabaikan pertanggungjawaban pidana,
Berdasarkan hasil riset di Polresta Denpasar dengan demikian perdamaian patut dilakukan dengan
dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaannya, pemenuhan kewajiban anak yang berkonflik dengan
Polresta Denpasar sangat mengupayakan proses hukum untuk melakukan restorasi mengembalikan
diversi, namun tetap pada koridor hukum yakni hanya seperti keadan semula.8 Hal ini menunjukkan bahwa
dapat dilakukan dalam kasus anak yang melakukan restorasi atau pemulihan dalam bentuk permintaan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maaf, pemenuhan kebutuhan korban, ganti rugi, dan
di bawah 7 tahun dan bukan recidive (pengulangan bentuk lainnya sebagai bentuk pertanngungjawaban
kejahatan). PPA sebagai fasilitator selalu mendorong, penting dilakukan untuk mengoptimalkan diversi
mengupayakan, dan berusaha agar diversi berhasil dalam tindak pidana anak. Hal ini juga menjadi
dilakukan. Tidak hanya ditingkat kepolisian, jika pelajaran bagi anak sebagai efek jera, meskipun
diversi tidak berhasil di Kepolisian, PPA akan anak tidak dipidana namun proses diversi bisa
mengawal kasus dengan melakukan koordinasi menyadarkannya untuk tidak lagi melakukan
dengan jaksa agar bisa diselesaikan secara diversi tindak pidana. Hal ini juga dapat menumbuhkan
di tingkat Kejaksaan. kepercayaan masyarakat terkait keberadaan diversi.
Terkait dengan kendala dalam pelaksanaan
B.1.1.3. Pelaksanaan dan Kendala yang Dihadapi
diversi berdasarkan riset dapat diketahui bahwa dari
Dalam Penerapan Diversi di Kejaksaan Negeri
segi substansi hukum batasan umur anak dalam
Denpasar
SPPA membawa kekhawatiran tersendiri karena
saat ini tindak pidana anak banyak sekali terjadi Terkait dengan pelaksanaan diversi dalam
dan kualitas kejahatan anak saat ini luar biasa. praktek di Kejaksaan, berdasarkan hasil wawancara
Berbeda dengan anak pada masa dulu, saat ini anak yang dilakukan pada tanggal 5 September 2020
dapat melakukan kejahatan seperti orang dewasa. di Kejaksaan Negeri Denpasar, Ibu Jaksa Ni Putu
Kendala dari segi struktur dapat ditemukan bahwa Widyaningsih (Jaksa di Kejaksaan Negeri Denpasar)
masih dapat ditemukan penegak hukum yang tidak menyatakan bahwa, “Pelaksaanaan diversi dimulai

7. I. Kasuma, I. A, Hermawan, & M. Setyawati. 2020. Problematika Pelaksanaan Diversi Bagi Anak Berhadapan
Dengan Hukum di Kota Layak Anak (Studi Pada Aparat Hukum, Pemerintah Kota dan Masyarakat di Depok Dan
Surakarta). Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Volume 8 Nomor 2: 350 – 371. hlm.364.
8. A. R Hambali. 2019. Penerapan Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Volume 13 Nomor 1: 16-29. hlm. 26.

398
Optimalisasi Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan... (Diah Ratna Sari Hariyanto & Gde Made Swardhana)

saat pelimpahan tersangka dan barang bukti dari batas waktu yang sangat singkat dalam pelaksanaan
penyidik kepada Penuntut Umum. Musyawarah diversi, selain itu dirasa terdapat kekosongan hukum
di Kejaksaan Negeri Denpasar dilakukan dengan terkait petunjuk teknis dan tata cara pelaksanaan
melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban diversi. Hal ini dirasa membingungkan jaksa ketika
dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing pelaksanaan diversi.
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional.
B.1.1.4. Pelaksanaan dan Kendala yang Dihadapi
Penuntut Umum selaku fasilitator menjembatani
Dalam Penerapan Diversi di Pengadilan
agar terjadi kesepakatan yang dituangkan dalam
Negeri Denpasar
kesepakatan Diversi dengan mempertimbangkan :
kategori tindak pidana, umur Anak, hasil penelitian Secara teknis pelaksanaan diversi di Pengadilan
kemasyarakatan dari Bapas, dukungan lingkungan Negeri Denpasar, Bapak I Dewa Budi Watsara, SH
keluarga dan masyarakat. Hasil dari diversi yang (Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar) menguraikan
berupa Kesepakatan diversi tersebut dilaporkan bahwa, “Ketika kasus telah dilimpahkan oleh jaksa
kepada pimpinan secara berjenjang untuk kemudian kemudian diseleksi oleh Ketua Pengadilan dan
dimohonkan penetapan kepada Ketua PN Denpasar”. ditunjuk hakim anak yang telah bersertifikasi
Dalam pelaksanaannya, jaksa juga menemui untuk menangani perkara anak. Hakim inilah yang
hambatan atau kendala. Berdasarkan hasil menyeleksi apakah kasus tersebut bisa dilakukan
wawancara, Ibu Jaksa Ni Putu Widyaningsih (Jaksa diversi. Hakim akan mengutamakan perkara yang
di Kejaksaan Negeri Denpasar) menyebutkan bahwa, akan diselesaikan lewat diversi, karena dalam perkara
“Kami selaku jaksa sangat terkendala dengan uraian anak penahanannya sangat singkat, berbeda dengan
Pasal 42 UU SPPA yang pada intinya mengatur bahwa perkara orang dewasa, jadi perkara yang ditempuh
diversi di kejaksaan diupayakan paling lama 7 hari lewat diversi pada prinsipnya cepat, tertutup untuk
setelah penuntut umum menerima berkas perkara umum, harus ada unsur-unsur seperti pemerhati
dari penyidik dan diversi paling lama dilaksanakan anak. Anak harus didampingi oleh orang tua. Hakim
selama 30 hari. Hasil diversi juga akan diajukan ke akan menggunakan pakaian sipil, ruang diversi,
pengadilan negeri untuk memperoleh penetapan. Hal pengadilan juga menyediakan ruang tunggu khusus
tersebut menjadi kendala karena hingga kini petunjuk untuk anak, tidak boleh mengekspos identitas
teknis dan tata cara pelaksanaan mengenai aturan anak. Ketika perkara memenuhi syarat diversi akan
tersebut belum ditetapkan. Disamping itu, muncul dilakukan musyawarah. Bentuk kesepakatan diversi
permasalahan bagaimana penuntut umum dapat dalam prakteknya adalah menghentikan proses,
memohonkan penetapan diversi kepada pengadilan saling memafkan, ganti rugi, pelaku berjanji tidak
sedangkan tahapan perkara masih tahap penyidikan mengulangi lagi”.
(kewenangan penyidik). Tidak ada pengawasan di Mengenai kendala dalam proses pelaksanaan
Kejari Denpasar, karena pengawasan ada di PK diversi di Pengadilan Negeri Denpasar, Bapak I
Bapas.”. Dewa Budi Watsara, SH (Hakim di Pengadilan
Berdasarkan hasil riset penulis di Kejaksanaan Negeri Denpasar) menyatakan bahwa perlu dicermati
Negeri Denpasar dapat ditemukan bahwa dalam ketentuan terkait batasan umur anak yang diatur
pelaksanaannya diversi diupayakan dengan melihat oleh UU SPPA. Terkait batasan umur anak, apakah
tindak pidana yang wajib diselesaikan secara diversi. sudah benar? Apakah sudah wajar? karena anak-
Dalam hal ini Penuntut Umum selaku fasilitator anak melakukan kejahatan sekarang luar biasa
menjembatani agar terjadi kesepakatan yang melebihi orang dewasa”.
dituangkan dalam kesepakatan Diversi yang kemudian Berdasarkan hasil riset penulis di Pengadilan
didaftarkan ke Pengadilan untuk mendapatkan Negeri Denpasar dapat ditemukan bahwa hakim akan
penetapan. Kendala yang dialami dalam pelaksanaan mengupayakan diversi jika memenuhi persyaratan
diversi di Kejaksaan adalah dari segi substansi diversi sebagaimana diatur dalam UU SPPA dan hakim
hukum terdapat pasal yang dirasa memberatkan akan mengutamakan perkara yang akan diselesaikan
jaksa yakni Pasal 42 UU SPPA yang memberikan lewat diversi. Bagi seorang hakim, bisa mendamaikan

399
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 3 - September 2021: 394-404

perkara adalah sebuah prestasi mengingat beban B.2.1. Substansi Hukum


pekerjaan hakim sangat besar (penumpukan perkara).
B.2.1.1 Pengaturan Pembatasan Umur Anak
Kendala di bidang substansi hukum adalah batasan
umur anak yang diatur oleh UU SPPA mengingat Berdasarkan riset dapat diketahui bahwa kendala
anak-anak melakukan kejahatan sekarang luar biasa pelaksanaan diversi dari segi substansi hukum adalah
melebihi orang dewasa. Terkait Struktur Hukum, terkait dengan batasan umur anak yang menimbulkan
pengawasan menjadi hal yang penting, namun dilema dalam penerapan diversi. Hal ini patut dikritisi
pengawasan di Pengadilan Negeri Denpasar tidak secara mendalam karena perkembangan usia dan
ada. Selanjutnya, pada konteks budaya hukum saat kematangan atau kedewasaan anak sangat berbeda
ini tidak menemui kendala, karena pada dasarnya pada masa dulu dengan masa sekarang. Hal ini
penegak hukum semua lebih senang mendamaikan berdampak pada kualitas kejahatan anak yang sangat
kasus. Berbeda halnya dengan masyarakat yang meningkat dewasa ini. Pada saat ini kejahatan yang
termasuk korban akan lebih sulit mau menerima dilakukan oleh anak sangat luar biasa.
diversi, namun sampai sekarang diversi masih bisa Hasil riset menunjukkan dilematis penegak
berjalan. hukum yang memandang bahwa anak diusia 16-18
tahun saat ini tidak seperti usia 16-18 pada masa
B.2. Upaya (Solusi) yang Dapat Dilakukan untuk
dulu. Anak dapat dikatakan mengalami kemajuan
Mengoptimalkan Penerapan Diversi Dalam
dalam kedewasaan (dalam tanda kutip hal negatif).
Kerangka Keadilan Restoratif dari Segi
Anak saat ini sudah bisa melakukan kejahatan seperti
Substansi, Stuktur, dan Budaya Hukum di
orang dewasa, seperti mencuri dengan memanjat
Kota Denpasar
rumah orang dan bahkan di usia 18 tahun kurang
Membahas solusi yang dapat dilakukan untuk 1 hari anak melakukan pembunuhan dengan
mengoptimalkan diversi di Kota Denpasar dapat dikaji sadis, dan pada umumnya di usia 16 tahun anak
secara sistematis dari kendala-kendala yang dihadapi sudah mengenal sex yang berujung pada kejahatan
dalam pelaksanaannya. Kendala-kendala tersebut kesusilaan misalnya pemerkosaan dan cabul. Saat
sangat terkait dengan masalah penegakan hukum ini kualitas kejahatan anak bisa melebihi kejahatan
atau faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan orang dewasa. Trend kejahatan anak saat ini adalah
hukum sebagaimana di kembangkan oleh Soerjono aksi begal dengan kekerasan. Kejahatan dilakukan
Soekanto yang diilhami dari teori Lawrence Meir anak menunjukkan keprihatinan bahwa kejahatan
Friedman tentang sistem hukum. yang dilakukan anak saat ini tidak hanya karena
Mengacu pada pendapat Lawrence Meir Friedman rasa ingin tahu dan rasa ingin mencoba yang besar.
mengenai teori sistem hukum, Soerjono Soekanto Hal ini tidak hanya mengarah pada penanggulangan
menulis bahwa, Struktur hukum meliputi tempat kejahatan yang patut dilakukan namun juga perhatian
atau bentuk dari sistem. Misalnya tatanan lembaga terhadap pembatasan umur anak yang dianut oleh
hukum formal, hubungan antara lembaga, hak-hak UU SPPA.
dan kewajiban-kewajibannya. Substansi hukum Mengingat meningkatnya kualitas anak yang
meliputi isi norma hukum, perumusannya, dan melakukan kejahatan apakah tepat anak yang
hukum acaranya. Budaya hukum meliputi nilai-nilai berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
yang menjadi dasar hukum yang berlaku, konsepsi 18 (delapan belas) tahun ditempuh jalur diversi? Hal
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga ini terkait dengan efek jera yang didapatkan oleh anak.
diikuti) dan yang dianggap buruk (dihindari/dijauhi/ Penegak hukum pada dasarnya sangat mendorong
tidak dilakukan). Ketiga sistem ini dan dilengkapi
9
diterapkannya diversi namun fenomena meningkatnya
dengan faktor-faktor yang memperngaruhi penegakan kualitas kejahatan anak membawa kekhawatiran
hukum akan dijadikan sub kajian yang dapat tersendiri karena korban juga perlu mendapatkan
diuraikan dalam pembahasan dibawah ini. perlindungan.

9. Soerjono Soekanto. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. hlm. 59.

400
Optimalisasi Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan... (Diah Ratna Sari Hariyanto & Gde Made Swardhana)

Pembatasan umur anak diberbagai undang- paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal proses
undang berbeda-beda di Indonesia sebagaimana Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut
dapat dilihat dalam tabel 1. Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta
kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri
Tabel 1.
Pembatasan Umur Anak di Indonesia untuk dibuat penetapan. Menurut Jaksa yang penulis
No Undang-Undang Umur wawancarai hingga kini petunjuk teknis dan tata
1 Pasal 1 angka 2 Telah berumur 12 (dua belas) cara pelaksanaan mengenai aturan tersebut belum
UU SPPA tahun, tetapi belum berumur
18 ditetapkan.
2 Pasal 1 angka 1 Belum 18 tahun Apabila dikaji, aturan diversi memang
UU No. 23 tahun
2002 tentang mengutamakan kecepatan sehingga proses diversi
Perlindungan
Anak dilakukan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
3 Pasal 45 KUHP Belum 16 tahun Hal ini dikarenakan proses diversi mengutamakan
4 Pasal 330 Belum 21 tahun kepentingan terbaik untuk anak, agar kasus tidak
KUHPerdata
5 Pasal 1 angka Di bawah 18 dan belum berlarut-larut dan cepat terselesaikan. Konsekuensi
5 Undang- menikah dari hal ini maka Peraturan Perundang-undangan
Undang Republik
Indonesia Nomor memberikan batas waktu yang sangat singkat bagi
39 Tahun 1999
Tentang Hak penegak hukum untuk melakukan proses diversi.
Asasi Manusia
Melalui aturan pembatasan waktu ini, penegak hukum
6 Pasal 1 angka Belum 18 tahun
4 Undang- akan memprioritaskan kasus anak untuk dilakukan
Undang Republik
Indonesia Nomor diversi. Hal inilah yang melatarbelakangi pembatasan
44 Tahun
2008 Tentang waktu penegak hukum melakukan diversi. Sebagai
Pornografi
bentuk optimalisasi, kembali lagi ke kesadaran

Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada penegak hukum untuk memprioritaskan kasus

keseragaman dalam pembatasan umur anak dan anak untuk didiversi dan diperlukan komunikasi

ini hanya beberapa contoh undang-undang, diluar dan koordinasi yang lebih kondusif diantara penegak

itu banyak undang-undang yang mengatur batas hukum. Dalam konteks legislasi perlu dibuat

umur anak yang berbeda-beda. Hal ini patut dikritisi, peraturan-peraturan internal yang memperkuat

meskipun berdasarkan asas preferensi berdasarkan kerjasama antar penegak hukum dalam menangani

asas lex spesialis derogate legi generalis UU SPPA yang kasus tindak pidana anak melalui diversi. Peraturan-

digunakan dengan Batasan umur anak yakni telah peraturan internal yang sudah ada juga perlu selalu

berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur disosialisasikan kepada penegak hukum agar jiwa

18 tahun. Dalam konteks legislasi, perlu kajian lebih restorative justice melekat sebagai paradigma dalam

lanjut dan mendalam terkait batas umur anak yang menjalankan tugas dan kewenangannya.

diberlakukan dalam UU SPPA. Patut diketahui bahwa


B.2.2. Struktur Hukum
senyatanya secara teoritis dan filosofis restorative
justice tidak mengenal pembatasan usia dan tindak Hasil riset menunjukkan bahwa banyak

pidana, namun setiap negara memiliki kebijakan instansi atau institusi yang terlibat dalam proses

pidana yang beda-beda terkait pembatasan ini. diversi. Tidak hanya kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan yang termasuk ke dalam sub sistem
B.2.1.2. Pengaturan Prosedur Diversi di Tingkat peradilan pidana. Dalam hal ini banyak institusi
Penuntutan yang terlibat dalam proses diversi antara lain Bapas

Berdasarkan hasil riset menunjukkan bahwa (Balai Pemasyarakatan), Dinas Sosial (Dinsos),

jaksa mengalami kendala di Pasal 42 UU SPPA yang P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

menyatakan: Penuntut Umum wajib mengupayakan Perempuan dan Anak). Ketiga institusi inilah yang

Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima sangat berperan dalam proses diversi. Pihak Bapas

berkas perkara dari Penyidik yang dilaksanakan sangat berperan dalam melakukan penelitian untuk
merekomendasikan upaya diversi bagi anak beserta

401
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 3 - September 2021: 394-404

melakukan pendampingan. Pihak Dinsos dan P2TP2A jaksa harus selalu mengikuti perkembangan
juga sangat berperan dalam hal pendampingan. penyidikan anak dan memantau perkembangan
Lembaga pemerhati anak lainnya juga turut serta, diversi di tingkat penyidikan. Hal ini telah tegas diatur
bahkan pihak masyarakat yang prakteknya diwakili dalam Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat
oleh Kepala Lingkungan juga turut terlibat. Hal ini Penuntutan. Hal ini menunjukkan bahwa sedari awal
menunjukkan bahwa sistem institusi yang ada jaksa harus mengikuti, mencermati kasus tersebut
dalam proses diversi cukup banyak sehingga ada agar ketika diversi tidak berhasil di tingkat kepolisian,
koordinasi dan kerjasama diantara berbagai institusi penuntut umum dapat mengupayakan diversi dengan
tersebut. Berdasarkan hasil riset dapat diketahui segera. Langkah inilah yang perlu dilakukan sebagai
bahwa koordinasi antara kepolisian, Kejaksaan, dan optimalisasi pelaksanaan diversi. Pemahaman ide-ide
Pengadilan dengan Bapas (Balai Pemasyarakatan), restorative justice perlu ditanamkan sehingga penegak
Dinas Sosial (Dinsos), dan P2TP2A (Pusat Pelayanan hukum memiliki paradigma restorative justice dalam
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) sudah menangani tindak pidana anak.
sangat baik.
B.2.3. Budaya Hukum
Sebagaimana yang telah diuraikan mengenai
mekanisme pelaksanaan diversi, diversi pada dasarnya Budaya hukum dalam pembahasan ini dapat
dapat dilakukan di setiap tahap pemeriksaan dan dibagi menjadi dua yakni budaya hukum penegak
UU SPPA telah menegaskan bahwa diversi wajib hukum dan budaya hukum masyarakat. Berdasarkan
diupayakan oleh penegak hukum. Terkait dengan hasil riset dapat diketahui bahwa budaya hukum
kordinasi hal yang patut diperhatikan adalah di di kepolisian dan di pengadilan sangat baik untuk
tingkat kejaksaan. Hasil riset menunjukkan bahwa mengupayakan diversi atau dengan ungkapan “diversi
perlu adanya kordinasi yang lebih erat antara yang berhasil menjadi prestasi bagi mereka”. Begitu
Kejaksaan dengan Kepolisian dan Kejaksaan dengan juga di Kejaksaan yang juga mengupayakan diversi,
Pengadilan dalam mengupayakan diversi. Kejaksaan meskipun masih dapat ditemukan jaksa yang belum
nampaknya harus lebih menyatukan persepsi dan optimal mengupayakan diversi dan belum maksimal
bergerak maju untuk mengupayakan diversi seoptimal memahami terkait proses diversi, sehingga sebagai
mungkin. Terkait dengan proses diversi memang telah optimalisasi diperlukan sosialiasi dan pelatihan
diatur bahwa Kepolisian memiliki hubungan yang yang berkesinambungan. Berdasarkan riset penulis
erat dengan Kejaksaan pada saat memulai diversi bahwa diversi ini sangat diupayakan oleh penegak
ditingkat Kejaksaan. hukum karena merupakan perintah dari undang-
Terkait dengan permasalahan yang dialami undang dan adanya rasa prihatin dan iba ketika anak
jaksa perlu diketahui ketentuan yang telah diatur melakukan kejahatan (terkait dengan sebab-sebab
dalam undang-undang sebagaimana yang disebutkan anak melakukan kejahatan).
dalam Pasal 29 ayat (4), Pasal 42 ayat (4) UU SPPA, Budaya masyarakat juga mempengaruhi
Pasal 14 ayat (3), Pasal 25 ayat (3) dan 28 ayat (3), pelaksanaan proses diversi. Patut disadari bahwa
Pasal 31, Pasal 32 PP tentang Pedoman Diversi, pihak korban dan keluarga korban sangat menentukan
serta Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia adanya proses diversi karena diversi muncul jika
Nomor Per- 006/A/J.A/04/2015 Tentang Pedoman ada sepakat dari pihak pelapor (korban/keluarga
Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan telah korban) dan juga pelaku (anak yang berkonflik dengan
mengatur secara komprehensif terkait pedoman hukum).
pelaksanaan diversi di Kejaksaan (Terkait dengan Hasil riset menunjukkan bahwa pihak terlapor
koordinasi Bab III huruf 2). Berdasarkan beberapa (pelaku dan keluarga pelaku) tentu menginginkan
pasal tersebut dapat diketahui bahwa kepolisian proses diversi karena menguntungkan pihak terlapor
dan kejaksaan memiliki hubungan yang sangat erat namun pihak pelapor (korban dan keluarga korban)
dalam pelaksanaan diversi. Dapat dikatakan bahwa belum tentu demikian. Diversi akan mudah dilakukan
koordinasi kondusif harus dilaksanakan sesuai terhadap kasus-kasus yang ringan dalam hal ini
dengan amanat undang-undang. Memang senyatanya pihak pelapor mau menyelesaikan kasus lewat diversi

402
Optimalisasi Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan... (Diah Ratna Sari Hariyanto & Gde Made Swardhana)

dan bahkan umumnya tidak menuntut ganti kerugian dan spirit diversi, serta kurangnya kesadaran dan
terutama jika anak berada pada ekonomi yang lemah. pemahaman masyarakat akan urgensi diversi
Sebaliknya, diversi akan sulit terjadi ketika kasus- (budaya hukum).
kasus yang lebih berat misalnya kasus lakalantas 2. Solusi optimalisasi penerapan diversi di Kota
yang sampai mengakibatkan kematian, meskipun Denpasar yang dapat dilakukan adalah melalui
ancaman hukumannya 6 tahun sehingga dapat perbaikan 3 (tiga) komponen sistem yakni
diupayakan diversi, namun dalam beberapa kasus pertama, substansi hukum dengan mereformulasi
diversi gagal. Hal ini dikarenakan pihak keluarga aturan terkait batas umur anak di UU SPPA
atau orang tua korban tidak setuju melakukan dan penguatan aturan internal penegak hukum
diversi karena nyawa tidak bisa ditukar berbeda sebagai pelaksana diversi. Kedua, struktur
dengan harta bisa dicari. Budaya masyarakat hukum yakni meningkatkan koordinasi dan
Indonesia pada dasarnya sejalan dengan diversi kerja sama antar penegak hukum. Ketiga,
karena musyawarah menjadi budaya masyarakat budaya hukum dengan mengadakan pelatihan
Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan yang serta sosialisasi ke penegak hukum secara
terjadi di masyarakat, namun diversi masih saja bisa berkesinambungan, mengadakan sosialisasi dan
gagal dilakukan. Optimaliasi yang dapat dilakukan pendekatan ke masyarakat untuk meningkatan
dengan memaksimalkan “pemulihan korban” pemahaman dan kesadaran penyelesaikan kasus
sebagai wujud nyata dari restorative justice, sehingga melalui diversi.
kepercayaan masyarakat akan meningkat. Budaya
C.2. Saran
hukum masyarakat juga perlu ditingkatkan melalui
sosialisasi pentingnya diversi untuk dilakukan. 1. Diversi sangat diharapkan dijadikan prioritas,
namun tidak melupakan upaya penanggulangan
C. Penutup
kejahatan, khususnya agar anak yang
C.1. Kesimpulan berkonflik dengan hukum tidak mengulangi
lagi kesalahannya sehingga perlu pendekatan
1. Pelaksanaan diversi di Kota Denpasar telah
humanis jika kasus diselesaikan melalui diversi.
dilakukan dengan pembatasan atau filterisasi
Pemulihan korban dengan berbagai upaya yang
sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yakni
dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan
hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana
hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban
anak yang diancam dengan pidana penjara
atas kesalahannya akan mendorong keberhasilan
di bawah 7 tahun dan bukan recidive. Dalam
diversi, sehingga perlu dioptimalkan. Pelaksanaan
pelaksanaan diversi di Kota Denpasar, tidak
diversi sebagaimana konsep Restortative Justice
hanya kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
juga nampaknya perlu lebih banyak melibatkan
yang terlibat, namun banyak institusi yang
masyarakat dalam proses diversi sehingga
terlibat dalam proses diversi antara lain Bapas
mencapai keadilan bagi semua pihak.
(Balai Pemasyarakatan), Dinsos (Dinas Sosial),
2. Kendala-kendala yang muncul sebaiknya
P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
ditindak dengan sebagai langkah optimalisasi.
Perempuan dan Anak), Lembaga pemerhati anak,
Peraturan diversi harus diperkuat, penegak
dan bahkan pihak masyarakat yang diwakili oleh
hukum juga harus memahami spirit diversi, dan
Kepala Lingkungan. Hingga saat ini kerjasama dan
masyarakatpun perlu memahami pentingnya
koordinasi berjalan dengan baik, namun masih
diversi sehingga diversi dapat optimal.
ada kendala yang dirasa dalam pelaksanaan
diversi di Kota Denpasar yakni terkait pengaturan
umur anak berdasarkan UU SPPA (substansi
hukum), kurangnya koordinasi dan pengawasan
(struktur hukum), dan masih bisa ditemukan
penegak hukum yang tidak memahami makna

403
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 3 - September 2021: 394-404

Daftar Pustaka Peraturan Perundang-Undangan


Buku
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Dewi, DS dan Syukur, Fatahillah A. 2011. Mediasi Tahun 1945.
Penal: Penerapan Restorative Justice di
Undang-Undang RI No. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Pengadilan Anak Indonesia. Depo: Indie
Peradilan Anak.
Publishing.
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang
Nasir, M. 2013. Anak Bukan untuk dihukum. Jakarta:
Perlindungan Anak.
Sinar Grafika.
Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 Tentang
Pramukti, Angger Sigit. 2014. Sistem Peradilan Pidana
Perubahan Atas Undang-Undang RI No. 23
Anak, Yogyakarta: Medpress.
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Purwati, Ani. 2020. Keadilan Restoratif dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak,
65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Surabaya: CV. Jakad Media Publishing.
Diversi dan Penanganan Anak yang Belum
Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor yang Berumur 12 (Dua Belas) Tahun
Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor
PT Raja Grafindo Persada.
Per- 006/A/J.A/04/2015 Tentang Pedoman
Jurnal Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan.

A. R Hambali. 2019. Penerapan Diversi Terhadap Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014
Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam
Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Ilmiah Sistem Peradilan Anak
Kebijakan Hukum Volume 13 Nomor 1.

Fahmi Noor Adly. 2020. Diversi sebagai bentuk


penyelesaian perkara pidana anak di tingkat
penyidikan dalam kasus kejahatan kesusilaan
di wilayah hukum Polda Jatim. Jurnal Sosiologi
Dialektika Volume 15 Nomor 1.

Hendricus Andrianto, Pujiyono, dan Nur Rochaeti.


2016. Implementasi Diversi Terhadap Anak
yang Berhadapan Dengan Hukum di Polres Pati.
Diponegoro Law Journal Volume 5 Nomor 3.

I. Kasuma, I. A, Hermawan, & M. Setyawati. 2020.


Problematika Pelaksanaan Diversi Bagi Anak
Berhadapan Dengan Hukum di Kota Layak
Anak (Studi Pada Aparat Hukum, Pemerintah
Kota dan Masyarakat di Depok Dan Surakarta).
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Volume
8 Nomor 2.

404

You might also like