Professional Documents
Culture Documents
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Abstract: This research was conducted to analyze the error and behavior of students in
solving mathematical word problems based on the Newman error analysis which consists
of reading, comprehension, transformation, process skills, and encoding.This study was
conducted on 20 seventh grade students of MTs Darul Huda Prigen. Researchers gave tests
about the 20 students to determine whether there is an error committed student and the
student's behavior in solving word problem. Once the test results are examined and
analyzed, conducted interviews of six students selected from the twenty-ability students
representing categories of high, medium and low to uncover information or data that is not
revealed by the test.The results of this study found that behaviors of students demonstrated
in solving word problems, among others, 1) DTA-Proficient; 2) DTA-Not Proficient; 3)
DTA-Limited of Context (without in justification); 4) DTA-Limited Context (with
justification), and 5) MBA-Full Context. Mistakes made over many came from students
with behavior DTA (Direct Translation Approach) or direct approach, only a few students
who make mistakes in the behavior of the MBA (Meaning Based Approach) or meaningful
approach. Mistakes made by students in solving mathematical word problems by Newman
error analysis contained in the comprehension and transformation stages, two categories of
these errors occur due to the inability of the student to understand the problem and
determine the information of the problem and unable to interpret the problem in question.
In addition, the mistakes made by the students are at the stage of encoding, this error occurs
because students can not write the final answer to the question on the relevant matter. This
error is the result of a mistake at this stage of comprehension.
312
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dikatahui dan apa yang ditanyakan pada soal cerita dan kurangnya pemahaman siswa mengenai
kalimat-kalimat matematika yang ada pada soal cerita. Kesalahan lain juga terjadi pada saat
menentukan metode yang digunakan. Berikut adalah satu jawaban siswa yang menunjukkan
adanya kesalahan dalam menuliskan apa yang ditanyakan dalam soal yang diberikan pada saat
observasi.
Gambar 1. Kesalahan siswa dalam mengaitkan informasi yang diketahui dan ditanyakan dalam
soal yang berbentuk komik
Siswa tersebut melakukan kesalahan dalam mengaitkan apa yang diketahui dan apa
yang ditanyakan, sehingga dalam perhitungan ia melakukan kesalahan. Kesalahan ini
disebabkan karena siswa tersebut tidak memiliki pemahaman secara menyeluruh terhadap soal.
Dalam menyelesaikan masalah soal cerita, karakteristik perilakuyang ditunjukkan setiap
siswadalam menuliskan penyelesaian soal cerita berbeda dengan siswa yang lain. Karakteristik
perilaku yang ditemukan oleh Pape (2004) yaitu Direct Translation Approach – Proficient
(DTA-Proficient), Direct Translation Approach– Not Proficient (DTA– Not Proficient), Direct
Translation Approach– Limited Context (DTA– LimitedContext), Meaning– Based Approach-
Full Context (MBA – Full Context) dan Meaning-Based Approach - Justification (MBA-
Justification).Salah satu metodeyangdigunakan untuk menganalisa kesalahan tersebut adalah
dengan menggunakan analisis kesalahan Newman (Muksar, dkk., 2009).
Metode analisis kesalahan Newman diperkenalkan pertama kali pada tahun 1977 oleh
Anne Newman, seorang guru bidang studi matematika di Australia. Dalam metode ini, dia
menyarankan lima kegiatan yang spesifik sebagai suatu yang sangat krusial untuk membantu
menemukan di mana kesalahan yang terjadi pada pekerjaan siswa ketika menyelesaikan suatu
masalah berbentuk soal cerita. Parakitipong dan Nakamura (2006) membagi lima tahapan
analisis kesalahan Newman menjadi dua kelompok kesalahan yang dialami siswa dalam
menyelesaikan masalah. Kesalahan pertama adalah masalah dalam kelancaran linguistik dan
pemahaman konseptual yang sesuai dengan tingkat membaca sederhana dan memahami makna
masalah.Kesalahan ini dikaitkan dengan tahapan membaca (reading) dan memahami
(comprehension) makna suatu permasalahan.Kesalahan kedua adalah masalah dalam
pengolahan matematika yang terdiri dari transformasi (transformation), keterampilan proses
(process skill), dan penulisan jawaban (encoding).
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasi kesalahan dan perilaku yang dilakukan siswa dalam pemecahan masalah soal
cerita perbandingan baik yang disajikan dalam bentuk teks, teks dan gambar maupun komik .
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang dilakukan
adalah deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Darul Huda Pasuruan pada tanggal 30 Mei
2014 s.d. 5 Juni 2014. Prosedurpenelitianyang dilakukan adalah1)Observasi, Peneliti melakukan
observasi dengancara melakukan pengamatan dan wawancara dengan dengan siswadanguru
berkaitan dengan kesalahan pemahaman materi 2) Pemberian soal tes.
3)Penelitimengidentifikasi temuan dan menganalisis perilaku-perilaku pemecahan masalah serta
kesalahan yang dilakukan ketika siswamenyelesaikan testersebut. 4) Wawancara, peneliti
memilih dua siswa yang mewakili kategori kemampuan tinggi, sedang dan rendah untuk
diwawancaraisesuai metode AnalisisKesalahan Newman.5)Penyusunan laporan, setelah
313
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memperoleh data yang dibutuhkan, peneliti menyusun laporan yang terdiri dari paparan data,
hasil temuan, pembahasan, serta menulis kesimpulan dan saran sebagai penutup laporan.
Sumber data penelitian iniadalah siswa yang telah mempelajari materi perbandingan.
Subyek penelitian dipilih dari siswa kelas VII C MTs Darul Huda Pasuruan yang terdiri dari
enam siswa yang terbagi dalam dua siswa kategori tinggi, dua siswa kategori sedang, dan dua
siswa kategori rendah.
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan soal tes kepada
masing-masing subjek untuk diselesaikan secara individu. Data yang diperoleh pada penelitian
ini berupa lembar jawaban siswa dan hasil wawancara. Data berupa lembar jawaban siswa
digunakan untuk menentukan siswa yang akan diwawancarai. Data yang diperoleh dari hasil
wawancara digunakan untuk mengidentifikasi bentuk kesalahan yang dilakukan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita menurut tahapan analisis kesalahan Newman yaitu reading,
comprehension, transformation, process skill, dan encoding.
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah peneliti,
lembar soal tes, dan pedoman wawancara. Soal tes dalam penelitian ini berbentuk soal cerita
yang berkaitan dengan perbandingan, soal tes terdiri dari tiga nomor soal. Satu soal disajikan
dalam bentuk teks, satu soal dalam bentuk teks dan gambar, dan satu soal disajikan dalam
bentuk komik. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data berupa kata-kata yang
merupakan ungkapan secara lisan tentang kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam
memahami soal cerita matematika.Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara terstruktur yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada kelima
tahapan Analisis Kesalahan Newman.
314
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 3. Jawaban S2 (Subjek Berkemampuan Tinggi) dalam tahap Transformation dan Process
Skill
315
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Jawaban pada Gambar 4 dan Gambar 5 merupakan jawaban dari soal berbentuk teks
dengan kategori “sulit”. Berikut transkrip wawancara antara peneliti dengan S4.
P : “Mengapa kamu menuliskan empat metode?”
S4 : “Karena semua metode itu bisa digunakan untuk menyelesaikan soal ini.”
P : “Apakah keempatnya kamu gunakan bersamaan?”
S4 : “Tidak, pertama saya gunakan perbandingan dulu kemudian pengurangan.”
P : “Terus yang perkalian sama pembagian kapan digunakan?”
S4 : “Mungkin bisa tapi saya belum mencobanya.”
Pada tahapan process skill, S4 menggunakan perbandingan dalam menyelesaikan soal,
walaupun pada tahapan transformation S4 menuliskan beberapa metode. S4 menuliskan
prosedur penyelesaian soal secara langsung dan tidak menuliskan penjelasan pada langkah-
langkah penyelesaiannya, S4 juga tidak menuliskan hal apa yang diwakili oleh variabel x. S4
juga melakukan kesalahan yaitu pada dua langkah penyelesaian terakhir. S4 menuliskan
𝑥 = 249 = 249 − 9 = 240.
P : “Menurutmu, apakah jawabanmu sudah benar?”
S4 : “Iya.”
P : “Apakah 249 = 249 − 9?”
S4 : “Oh tidak, maksud saya setelah menggunakan perbandingan dan ketemu nilai 249,
kemudian dikurangkan dengan 9 kardus yang sudah ada.”
P : “Bagaimana kamu bisa menggunakan cara ini, padahal tadi kamu tidak mengerti arti
kata untuk setiap?”
S4 : “Dikira-kira saja Bu, dikaitkan sama kalimatnya.”
S3 terlihat ragu dalam memilih metode yang digunakan.Hal ini ditandai dengan adanya
beberapa hal yang sudah dia tuliskan, tetapi dihapus dan mengganti dengan kata “perbandian”.
Padahal pada jawaban yang dihapus oleh S3, terlihat dia menuliskan perbandingan jumlah siswa
dan beberapa bilangan 7, 3,dan 9 serta variabel ?. Namun, disini peneliti menduga bahwa
metode yang dipilih S3 adalah perbandingan. Dalam perhitungan, S3 tidak menggunakan
konsep perbandingan, walaupun pada tahapan sebelumnya, S3 menuliskan perbandingan
sebagai metode. S3 langsung melakukan perhitungan bilangan-bilangan tanpa ada prosedur
yang berarti.S3 juga tidak memberikan penjelasan pada prosedur yang telah dilakukannya.
Namun, S3 memberikan tanda “/ ” pada bilangan 240 yang mewakili jawaban soal. Berikut hasil
wawancara peneliti dengan S3 terkait hal ini.
P : “Menurutmu, apakah jawabanmu sudah benar?”
S3 : “Iya.”
P : “Apakah 581: 7 sama dengan 83 × 3?”
S3 : “Oh tidak, 581: 7 = 83terus 83 × 3 = 249, terus 249 − 9 = 240.”
P : “Tapi itu semua dihubungkan dengan tanda “=” lho, maksudnya bagaimana itu?”
S3 : “Ya seperti yang saya jelaskan tadi, mungkin seharusnya gak pakai tanda “=”.”
P : “Ehm...kamu dapat cara itu darimana?”
S3 : “Menggunakan perbandingan.”
P : “Apa yang dibandingkan?”
S3 : “banyak kardus sama banyak siswa.”
316
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Sedangkan siswa yang berkemampuan rendah, tidak dapat atau kadang ragu dalam
memilih metode serta dalam perhitungan matematis banyak melakukan kesalahan, sehingga
kebanyakan siswa berkemampuan rendah tidak dapat memperoleh jawaban penyelesaian dari
masing-masing soal.
Gambar 6. Jawaban S6 (Subjek Berkemampuan Rendah) dalam Tahap Transformation pada Soal
yang Berbentuk Komik
Gambar 7. Jawaban S6 (Subjek Berkemampuan Rendah) dalam Tahap Transformation pada Soal
yang Berbentuk Teks & Gambar
Gambar 8. Jawaban S6 (Subjek Berkemampuan Rendah) dalam Tahap Transformation pada Soal
yang Berbentuk Teks
Temuan yang didapat peneliti setelah mewawancarai subjek berkemampuan rendah
adalah kesalahan yang dilakukan subjek berkemampuan rendah dalam tahap transformation dan
process skill dikarenakan mereka tidak mengetahui perbedaan antara metode dan prosedur
perhitungan matematis. Hal ini juga disebabkan kebiasaan untuk melakukan perhitungan
langsung ketika siswa diminta menyelesaikan soal cerita.
Kesalahan yang Dilakukan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita
Proses pemecahan masalah memiliki banyak faktor yang mendukung siswa untuk
mendapatkan jawaban yang tepat. Penelitian oleh Prakitipong dan Nakamura pada tahun 2006
menemukan rintangan yang menghalangi siswa untuk mendapatkan jawaban yang tepat, yaitu:
1) Masalah dalam kemahiran berbahasa dan pemahaman konseptual yang
berkorespondensi dengan bacaan ringan dan pemahaman makna soal
2) Masalah dalam proses pematematikaan yang terdiri dari transformasi, keahlian
proses dan menuliskan jawaban akhir
Klasifikasi ini mengimplikasikan bahwa siswa harus dapat menafsirkan masalah dalam soal ke
dalam proses matematika untuk mendapatkan jawaban yang tepat.Anne Newman (dalam White,
2005) menyatakan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah matematika dalam bentuk soal
cerita, siswa memerlukan lima tahap keterampilan, yaitu reading, comprehension,
transformation, process skill, dan encoding. Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan
subjek penelitian dalam menyelesaikan soal cerita perbandingan.
317
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 9. Kesalahan Siswa dalam Tahap Comprehension pada Soal yang Berbentuk Teks
Gambar 10. Kesalahan Siswa dalam Tahap Comprehension pada Soal yang Berbentuk Teks &
Gambar
Gambar 11. Kesalahan Siswa dalam Tahap Comprehension pada Soal yang Berbentuk Teks &
Gambar
Gambar 12. Kesalahan Siswa dalam Tahap Process Skill pada Soal yang Berbentuk Komik
318
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari hasil paparan data dan temuan penelitian, maka kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa
kelas VII C MTs Darul Huda Pasuruan dalam menyelesaikan soal cerita disajikan dalam Tabel
2berikut.
319
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
untuk mendapatkan
jawaban yang lengkap
Menuliskan jawaban akhir
dari penyelesaian soal
dalam kalimat matematika
S6 menuliskan kembali soal mengartikan kata-kata menuliskan kembali soal
dengan bahasa sendiri dan yang dianggap sulit dan dengan bahasa sendiri dan
kesalahan dalam menelaah kesalahan dalam kesalahan dalam menelaah
apa yang ditanyakan dalam menemukan dan apa yang ditanyakan dalam
soal mengartikan istilah- soal
memilih metode yang istilah matematika yang memilih metode yang
digunakan untuk terdapat dalam soal digunakan untuk
menyelesaikan soal menuliskan kembali soal menyelesaikan soal
pengerjaan prosedur dan dengan bahasa sendiri pengerjaan prosedur dan
perhitungan matematika dan kesalahan dalam perhitungan matematika
untuk mendapatkan menelaah apa yang untuk mendapatkan
jawaban yang lengkap diketahui dan ditanyakan jawaban yang lengkap
Menuliskan jawaban akhir dalam soal Menuliskan jawaban akhir
dari penyelesaian soal memilih metode yang dari penyelesaian soal
dalam kalimat matematika digunakan untuk dalam kalimat matematika
menyelesaikan soal
pengerjaan prosedur dan
perhitungan matematika
untuk mendapatkan
jawaban yang lengkap
Menuliskan jawaban
akhir dari penyelesaian
soal dalam kalimat
matematika
Kesalahan-kesalahan siswa pada saat menyelesaikan soal cerita antara siswa yang
berkemampuan tinggi, berkemampuan sedang, dan berkemampuan rendah berbeda-beda.
Kesalahan ini juga disebabkan oleh penyajian soal cerita yang berbeda
PEMBAHASAN
Kesalahan-kesalahan yang terjadi ketika siswa menyelesaikan soal matematika bentuk
cerita memang sering terjadi, hal ini dikarenakan soal berbentuk cerita memang mempunyai
tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada soal matematika dengan kata-kata yang minimal
sesuai dengan penelitian Threadgill-Sowder & Sowder pada tahun 1982 (dalam Craig: 3) yang
membandingkan level kesulitan dari soal dalam bentuk cerita dengan bentuk diagram dan yang
hanya menggunakan sedikit kata-kata. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa soal yang
disajikan dalam bentuk diagram secara signifikan lebih mudah dibandingkan dalam bentuk
cerita. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa ini juga dapat diakibatkan ketidakmampuan
siswa untuk mengkodekan kata-kata yang digunakan dalam soal cerita, tidak dapat memahami
kalimat, tidak dapat memahami beberapa kata-kata dan juga tidak mempunyai kepercayaan diri
atau kemampuan untuk berkonsentrasi ketika membaca soal (Cummins: 1988).
Kesalahan Siswa pada Saat Menyelesaikan Soal Cerita Berbentuk Teks
Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks, kesalahan yang umum terjadi adalah
kesalahan dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan dalam menelaah
apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Banyaknya kesalahan yang terjadi tahap
comprehension karena kemampuan membaca yang kurang. Padahal ketrampilan membaca soal
menjadi faktor penting dalam menyelesaikan soal cerita. Karena kesalahan ini siswa menjadi
tidak memahami masalah dari soal sehingga tidak dapat mentransformasikan masalah ke dalam
rencana metode penyelesaian (transformation). Sehingga juga mengakibatkan adanya kesalahan
dalam melakukan prosedur perhitungan matematis (process skill), yang pada akhirnya
menyebabkan adanya kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir soal (encoding).
Dalam penelitian ini, siswa dengan kategori kemampuan rendah melakukan kesalahan
pada tahap comprehension yang berakibat adanya kesalahan pada tiga tahap berikutnya.
Sedangkan siswa dengan kategori kemampuan tinggi dan sedang, walaupun melakukan
kesalahan pada tahap comprehension, mereka tidak melakukan kesalahan pada seluruh tahap-
320
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tahap selanjutnya. Kesalahan ini tidak mempengaruhi tahap transformation dan process skill.
Namun, kesalahan ini mengakibatkan adanya kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir
(encoding). Siswa juga masih banyak yang menuliskan jawaban akhir secara singkat dan belum
dapat merepresentasikan informasi yang ditanyakan dalam soal secara keseluruhan.
Kesalahan Siswa pada Saat Menyelesaikan Soal Cerita Berbentuk Teks dan Gambar
Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks dan gambar, kesalahan yang umum terjadi
adalah kesalahan dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan dalam
menelaah apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Padahal menurut Nuryasni (2013)
manfaat gambar dalam proses instruksional sebagai alat untuk menyampaikan dan menjelaskan
informasi, pesan dan ide tanpa banyak menggunakan bahasa verbal, tetapi dapat lebih
memberikan kesan. Pada siswa dengan kategori kemampuan tinggi dan sedang, kesalahan pada
tahap comprehension ini tidak berpengaruh terhadap tahap transformation dan process skill.
Namun, kesalahan ini menyebabkan kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir (encoding).
Sedangkan pada siswa dengan kategori kemampuan rendah, kesalahan ini berpengaruh terhadap
3 tahap berikutnya. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan kategori rendah ini
dikarenakan siswa kurang memahami maksud atau makna soal serta tidak memperhatikan
ilustrasi gambar yang diberikan. Dalam hal ini struktur kalimat serta ilustrasi gambar dalam soal
cerita berpengaruh terhadap pemahaman siswa dengan masalah yang harus dipecahkan.
Menurut Haghverdi (2012) kemampuan memahami kata, kalimat serta ilustrasi gambar
merupakan proses penyampaian pesan visual yang sangat penting untuk mengetahui masalah
yang harus dipecahkan. Kemampuan ini merupakan kemampuan awal yang harus dikuasai oleh
pemecah masalah.
Kesalahan Siswa pada Saat Menyelesaikan Soal Cerita Berbentuk Komik
Pada soal yang disajikan dalam bentuk komik, 3 subjek penelitian tidak melakukan
kesalahan pada bagian 2 (comprehension). Namun, mereka melakukan kesalahan pada bagian
transformation, process skill, dan encoding. Sedangkan 2 subjek penelitian yang lain, walaupun
melakukan kesalahan pada bagian 2, comprehension, tidak mengakibatkan kesalahan pada tiga
tahap berikutnya. Kesalahan yang terjadi pada tahap ini karena kurang lengkapnya siswa dalam
menuliskan informasi pada soal. Demikian juga menuliskan apa yang ditanyakan kadang juga
kurang lengkap. Sifat kurang teliti dan hati-hati menjadi penyebab kesalahan ini.Padahal
sebenarnya mereka dapat memahami maksud soal dengan baik.
Selain itu, juga terdapat 1 subjek penelitian yang tidak melakukan kesalahan pada tahap
comprehension, transformation, process skill, dan encoding, tetapi justru melakukan kesalahan
pada tahap encoding.Kesalahan ini disebabkan belum terbiasanya siswa dalam menuliskan
jawaban akhir.Dalam tahap reading, hampir semua siswa yang melakukan wawancara sudah
dapat membaca soal dengan lancar serta tidak terjadi kesalahan pengucapan.Hal ini sesuai
dengan pendapat Novianti (2010: 76) yang mengatakan bahwa media komik pembelajaran
matematika mampu meningkatkan pemahaman soal cerita karena pemakaian bahasa yang
mudah dipahami, kesinambungan antara pelafalan kalimat dengan ilustrasi gambar dengan
konsep sederhana namun jelas dari segi visualnya.Sedangkan dalam menemukan kata-kata sulit
siswa tidak menyebutkannya karena tidak sedikit siswa yang menganggap tidak ada kata sulit
pada soal.
Perilaku Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita
Perilaku pemecahan masalah yang ditunjukkan oleh siswa dalam penelitian ini ketika
mengerjakan tes soal cerita dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori DTA (Direct Translation
Approach) dan MBA (Meaning Based Approach) dimana dari kedua kategori tersebut masih
dibagi lagi menjadi 3 jenis, yaitu DTA-Proficient, DTA-Not Proficient, DTA Limited Context.
Sedangkan untuk kategori MBA hanya muncul satu jenis yaitu MBA-Full Context.Perilaku siswa
secara umum yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut.
321
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan Tabel1 terlihat bahwa pada soal no. 1 yang merupakan soal kategori sulit,
semua subjek berkemampuan tinggi menunjukkan perilaku cenderung ke MBA-Full Context,
walaupun ada beberapa indikator yang tidak terdapat pada kategori ini. Sedangkan subjek
berkemampuan sedang dan rendah menunjukkan perilaku DTA-Limited Context dan DTA-Not
Proficient.Sedangkan pada soal no. 2 dan soal no.3, perilaku yang ditunjukkan subjek
bervariasi.
Dari perilaku yang ditunjukkan subjek saat menyelesaikan soal cerita berdasarkan
perilaku pemecahan Pape, ada beberapa perilaku yang tidak memuat semua indikator, namun
terdapat keterkaitan dengan empat kategori yang ditemukan.Kemampuan siswa yang berbeda
ternyata sedikit membedakan kemampuan mereka saat menyelesaikan soal cerita.Siswa
berkemampuan tinggi juga tidak selalu dapat menyelesaikan soal cerita dengan benar, tetapi
mereka lebih sering dapat memahami maksud soal, memilih metode serta melakukan
perhitungan.Demikian juga dengan siswa berkemampuan sedang dan rendah tidak selalu dapat
menyelesaikan soal cerita dengan benar dalam hal memahami maksud soal dan melakukan
perhitungan, terlebih soal dengan kategori sulit.
Perilaku yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal cerita, baik soal yang
disajikan dalam bentuk teks, teks dan gambar, maupun komik bervariasi. Perilaku siswa
berkemampuan tinggi cenderung pada kategori MBA-Full Context, sedangkan siswa
berkemampuan sedang dan rendah cenderung pada kategori DTA dengan subkategori yang
bervariasi. Dari klasifikasi secara umum di atas, menunjukkan bahwa perilaku siswa kelas VII-
C MTs Darul Huda Pasuruan dalam memecahkan masalah soal cerita hanya terdapat dalam 4
kategori Pape, yaitu DTA-Proficient, DTA-Not Proficient, DTA-Limited Context, dan MBA-Full
Context. Dan indikator pada setiap kategori Pape tersebut juga tidak semua terpenuhi.Namun,
untuk kategori Pape, yaitu MBA-Justification tidak ada satu pun siswa yang termasuk dalam
kategori ini karena tidak ada yang memenuhi indikatornya.Padahal siswa dapat dikatakan
memiliki perilaku terbaik jika memenuhi semua indikator pada kategori MBA-
Justification.Akan tetapi tidak semua perilaku siswa terdapat dalam kategori Pape, karena ada
temuan perilaku yaitu DTA-Limited Context (with Justification).
322
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Sedangkan dalam menemukan kata-kata sulit siswa tidak menyebutkannya karena tidak
sedikit siswa yang menganggap tidak ada kata sulit pada soal.
2. Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks dan gambar, kesalahan yang umum terjadi
adalah kesalahan dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan
dalam menelaah apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Pada siswa dengan
kategori kemampuan tinggi dan sedang, kesalahan pada tahap comprehension ini tidak
berpengaruh terhadap tahap transformation dan process skill. Namun, kesalahan ini
menyebabkan kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir (encoding). Sedangkan pada
siswa dengan kategori kemampuan rendah, kesalahan ini berpengaruh terhadap 3 tahap
berikutnya. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan kategori rendah ini dikarenakan
siswa kurang memahami maksud atau makna soal serta tidak memperhatikan ilustrasi
gambar yang diberikan. Dalam hal ini struktur kalimat serta ilustrasi gambar dalam soal
cerita berpengaruh terhadap pemahaman siswa dengan masalah yang harus dipecahkan.
3. Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks, kesalahan yang umum terjadi adalah kesalahan
dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan dalam menelaah apa
yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Banyaknya kesalahan yang terjadi tahap
comprehension karena kemampuan membaca yang kurang. Karena kesalahan ini siswa
menjadi tidak memahami masalah dari soal sehingga tidak dapat mentransformasikan
masalah ke dalam rencana metode penyelesaian (transformation). Sehingga juga
mengakibatkan adanya kesalahan dalam melakukan prosedur perhitungan matematis
(process skill), yang pada akhirnya menyebabkan adanya kesalahan dalam menuliskan
jawaban akhir soal (encoding). Siswa juga masih banyak yang menuliskan jawaban akhir
secara singkat dan belum dapat merepresentasikan informasi yang ditanyakan dalam soal
secara keseluruhan.
Adapun klasifikasi perilaku siswa dalam memecahkan soal cerita matematika baik yang
disajikan dalam bentuk teks, teks dan gambar, maupun komik yang ditemukan dalam penelitian
ini adalah:MBA-Full Context, DTA-Limited Context (without Justification), *DTA-Limited
Context (with Justification), DTA-Proficient, DTA-Not Proficient
Guru diharapkan tidak menghindari soal-soal dalam bentuk cerita dalam pembelajaran,
karena soal dalam bentuk cerita dibutuhkan oleh siswa untuk mengasah kemampuan
pemahaman dan intuisi dalam memecahkan masalah. Selain itu, guru sebaiknya mengamati
bagaimana siswa menyelesaikan masalah, dari tahap reading, comprehension, transformation,
process skill, dan encoding, untuk mengetahui bahwa siswa benar-benar memahami setiap soal
sehingga siswa teliti dalam menuliskan informasi soal. Sebaiknya pada saat menuliskan metode
penyelesaian, siswa diminta untuk memberikan alasan agar siswa benar-benar mengerti bahwa
metode yang digunakan benar.
DAFTAR RUJUKAN
Craig, Tracy. 2000. Factors Affecting Students’ Perceptions of Difficulty in Calculus Word
Problems.University of Cape Town. South Africa
Cummins, D.D., Kintsch.W. 1988. The Role of Understanding in Solving Word Problems.
Cognitive Psychology
Marsudi, Rahardjo. 2008. Pembelajaran Soal Cerita Berkait Penjumlahan dan Pengurangan di
SD. Yogyakarta: P4TK
Muksar, dkk.2009. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris dan Hasil Belajar Matematika
Dasar 1 Mahasiswa Bilingual melalui Penerapan Metode Analisis Kesalahan
Newman.Penelitian tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM
Newman, M. A. 1977. An Analysis of Sixth-Grade Pupil’s Error on Written Mathematical
Tasks.Victoria Institute for Educational Research Bulletin
Nuryasni. 2013. Penggunaan Media Gambar dalam Penyajian Soal Cerita Matematika di Kelas I
MIN Gunung Pangilun Padang. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan ( Vol 13 No 1)
Otilia, C.Barbu. 2010. Effects of Linguistic Complexity and Math Difficulty on Word Problem
Solving by English Learner. International Journal of Education( Vol. 2, No. 2: E6)
Pape, J. Steven. 2004. Middle School Children’s Problem Solving Behavior: A Cognitive
Analysis from a Reading Comprehension Perspective. Journal of Mathematics Teacher
Education (Vol 35 No 3: 187-219)
323
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Belajar merupakan hal yang paling penting, mendasar dan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia, karena belajar merupakan bagian dari keseluruhan proses pendidikan pada
semua jenjang pendidikan dan kegiatan belajar merupakan kegiatan yang memegang peranan
yang vital. Hamalik, (2001)berpendapat bahawa belajar adalah modifikasi atau memperteguh
kelakuan melalui pengalaman.Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu
kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih
luas dari itu, yakni mengalami. Lebih lanjut lagi, Hamalik, (2001) menyatakan bahwa belajar
bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan. Jadi, merupakan
langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh untuk mencapai tujuan.
Menurut Soedjadi (2000) beberapa definisi tentang matematika yaitu: (a) matematika
adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, (b) matematika adalah
pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (c) matematika adalah pengetahuan tentang
penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan, (d) matematika adalah pengetahuan tentang
fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk, (e) matematika adalah
pengetahuan tentang struktur-struktur yang logis, dan (f) matematika adalah pengetahuan
tentang aturan-aturan yang ketat.
Budiningsih, (2005) Teori belajar konstrutivis mengakui bahwa siswa
menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan
pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Hal tersebut sesuai
dengan apa yang diungkapkan Hamalik, (2002) bahwa mengajar adalah menyampaikan
pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah, usaha mengorganisasi lingkungan
sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, memberikan bimbingan belajar kepada murid.
Menurut Nur, (2001) ide pokok pembelajaran konstruktivisme adalah siswa secara aktif
membangun pengetahuan mereka sendiri. Hujono (1998: 7) lingkungan belajar yang (1)
menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang
324
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
325
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
analisis dapat berfungsi secara efektif. Penting untuk disadari bahwa tidak semua kreasi (data)
yang di peroleh siswa itu valid. Selain membuat konjektur, siswa juga melakukan analisis dan
menyajikan hasilnya. Meskipun tidak lengkap atau tidak dapat di terima tafsiran penyelesaian
masalah dapat dijadikan sebagai proses dari aktivitas siswa di kelas dan diskusi.
Lebih lanjut, Nadia Stoyanova, (2009) Juga memberikan gambaran mengenai strategi
inkuiri. Nadia menyimpulkan bahwa dalam teori dan praktek Community Of Mathematical
Inquiry (CMI) memberikan gagasan pembelajaran dan pemikiran bahwa konstruksi pengetahuan
yang dilakukan siswa secara kalaboratif (kelompok) dalam bentuk diskusi, lebih baik
dibandingkan pengetahuan yang diperoleh secara individu. Dengan demikian, proses
pembelajaran di dalam Community Of Mathematical Inquiry (CMI) secara implisit di pahami
sebagai sebuah proses pengembangan strategi pembelajaran.Dalam proses konstruksi diperlukan
beberapa kemampuan siswa, yaitu kemampuan mengingat dan mengungkap kembali
pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan
perbedaan, serta lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.
Terdapat 3 (tiga) hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yakni:
(1) Konstruksi yang lama. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan yang lama (masa lampau)
dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan mendatang. Unsur-unsur yang
diabstraksikan dari pengalaman masa lampau, cara mengabstraksikan dan
mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang digunakan untuk mengerti sesuatu,
semuanya mempunyai pengaruh terhadap pembentukkan pengetahuan berikutnya.
(2) Dominan pengalaman. Pengalaman siswa yang terbatas dalam matematika akan sangat
membatasi perkembangan pembentukan pengetahuan.
(3) Jaringan struktur kognitif, merupakan suatu sistem yang saling berkaitan konsep,
gagasan/ide, teori dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan
satu dengan yang lain.
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas siswa sekaligus prestasi
belajarnya dalam pembelajaran kubus dan balok. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk
mengadakan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan judul:”Penerapan strategi inkuiri
berbantuan media manipulatif untuk meningkatkan hasil belajar matematika pada materi bangun
ruang sisi datar kelas VIIIA MTs Ar-Rusydiny NW Segaet”
Adapun rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: bagaimana penerapan strategi
inkuiri berbantuan media manipulatif yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi
bangun ruang sisi datar kelas VIIIA di MTS Ar-Rusydiny NW Segaet Lombok Timur.
Tujuan dari penelitian ini yaitu: mendeskripsikan penerapan strategi inkuiri berbantuan
media manipulitif yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi bangun ruang sisi
datar kelas VIIIA di MTS Ar-Rusydiny NW Segaet Lombok Timur.
Penelitian ini difokuskan pada aktivitas siswa. Pembelajaran dalam penelitian ini
membahas materi menyelesaikan kubus dan balok, menyelesaikandengan menggunakan strategi
inkuiri berbantuan media manipulatif
METODE PENELITIAN
Berdasarkan jenis datanya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif mempunyai karakteristik antara lain: (1) latar alamiah, (2) manusia sebagai alat
(instrumen), (3) analisis data secara induktif, (4) lebih mementingkan proses daripada hasil, dan
(5) desain yang bersifat sementara (Moleong, 2006: 8).
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Tujuan
dari penelitian tindakan kelas adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan praktek
pembelajaran di kelas secara kesinambungan (Aqib, 2009:18). Pengambilan jenis penelitian ini
juga didasarkan pada alasan karena penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri selaku pengelola
kelas, serta perlu dilakukan tindakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: Hasil validasi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar pengamatan aktivitas
guru dan siswa, lembar tes. Hasil pengamatan aktivitas guru dan aktivitas siswa dalam
pembelajaran. Hasil tes pra tindakan dan tes setelah tindakan
Data penelitian dikumpulkan secara alamiah dari sumbernya. Sumber data dalam
penelitian ini adalah validator, guru, dan seluruh siswa kelas VIIIAMTsAr-Rusydiny NW
Segaet semester genap tahun ajaran 2014/2015 yang mengikuti pembelajaran kubus dan balok.
326
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Data hasil validasi ini diperoleh dari validasi pakar terhadap instrumen pembelajaran yang telah
disusun oleh peneliti. Pakar yang dipilih adalah pakar yang berkompeten dibidangnya.
Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan di kelas selama proses pembelajaran
berlangsung. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas
siswa selama pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan oleh guru matematika dan teman
sejawat. Data hasil tes yang akan dilakukan yaitu: tes awal dan tes akhir. Tes awal
dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa, untuk pembentukan kelompok dan
juga untuk mengetahui kemampuan awal siswa terkait dengan materi prasyarat. Tes akhir
dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan materi dan untuk mengetahui peningkatan
pemahaman siswa terhadap materi kubus dan balok setelah pembelajaran, selanjutnya dianalisis
guna malakukan refleksi pada tindakan selanjutnya. Catatan lapangan dimaksudkan untuk
melengkapi data yang tidak terekam dalam lembar observasi dan bersifat penting sehubungan
dengan kegiatan pembelajaran.
HASIL PENELITIAN
Data penelitian ini menunjukkan bahwa hasil catatan lapangan yang dilakukan oleh 2
observer selama pembelajaran berlangsung dan analisis data yang dilakukan peneliti dari
pekerjaan siswa dalam mengerjakan tes, diperoleh persentase keberhasilan aktivitas siswa
sebagai berikut: Pengamatan dilakukan oleh obsever selama penelitian berlangsung.
Pengamatan diarahkan pada aktivitas siswa dan guru selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, dimana kedua observer mengisi lembar observasi kegiatan siswa dan lembar
observasi aktivitas guru berdasarkan pengamatan masing-masing.Secara akumulatif hasil
pengamatan observer terhadap aktivitas siswa pada siklus I dari hasil pengamatan terhadap
aktivitas siswa dikategorikan cukup dengan persentase skor 78,18% hal ini menunjukkan bahwa
aktivitas yang dilakukan siswa pada siklus I perlu diperbaiki. sehingga mengalami kemajuan ke
kategori yang lebih baik.
Hasil tes belajar siswa diperoleh skor hasil tes akhir sebagai berikut: dari tes hasil akhir
belajar, diperoleh data bahwa dari 22 siswa, jumlah siswa yang memperoleh skor ≥ 70.
sebanyak 16 siswa dan tidak tuntas sebanyak 6 siswa dengan skor rata-rata hasil tes siswa
72,72%. Hal ini menunjukkan bahwa tes hasil belajar pada siklus I tidak tuntas karena
ketuntasan klasikal sebesar 85%.Dari persentase di atas, diperoleh informasi bahwa persentase
tes hasil belajar siswa pada siklus I belum memenuhi standar minimal 85% dari keseluruhan
siswa mendapatkan skor ≥ 70. Hal ini dapat disimpulan bahwa pada siklus I perlu dilakukan
perbaikan pada siklus selanjutnya. Karena hasil pengamatan observer menunjukkan persentase
aktivitas belajar siswa berada dalam kategori cukup yaitu 78,64% sedangkan aktivitas guru
82,05% dan skor hasil tes belajar hanya mencapai 72,72% sedangkan hasil belajar dikatakan
meningkat jika proses pembelajaran mengalami kemajuan sekurang-kurangnya 85% dari
keseluruhan siswa mendapatkan ≥ 70.
Hal itu perlu dilakukan refleksi, yang diharapkan untuk mengkaji suatu tindakan yang
telah dilakukan. Refleksi tindakan I dilakukan untuk menentukan apakah tindakan siklus I telah
berhasil atau tidak, setelah data-data terkumpul selanjutnya peneliti melakukan refleksi. Hasil
refleksi pada tindakan siklus I adalah sebagai berikut :
1) Pengaturan waktu yang lebih baik lagi sehingga proses pembelajaran tidak terkesan diburu
waktu yang sudah ditetapkan.
2) Siswa belum berani bertanya kepada guru jika ada masalah yang tidak dipahami.
3) Pemberian bimbingan pada saat diskusi harus lebih efektif demi efisiensi waktu dan
memotivasi siswa untuk lebih aktif .
4) Mengurangi peran peneliti sebagai pemberi bantuan, sehingga siswa lebih banyak
melakukan/mengalami sendiri.
5) Dalam menjelaskan dan menyelesaikan masalah harus dapat meningkatkan aktivitas siswa.
6) Mempertegas tatacara diskusi dan mendorong siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan
pembelajaran di kelas.
Dalam kegiatan pembelajaran pada siklus II yang telah dilaksanakan pada pertemuan I
dan pertemuan II menunjukkan bahwa hasil pengamatan aktivitas guru sangat baik, yaitu:
Setelah menganalisis data yang terkumpul, maka diperoleh data observer berupa hasil observasi
aktivitas siswa mengalami kemajuan, dimana persentase aktivitas siswa berada dalam kategori
327
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sangat baik yaitu 90,23% sedangkan aktivitas guru 92,95% dan data dari hasil tes belajar
matematika siswa sebesar 86,36% memenuhi persentase 85% skor ≥ 70 jadi pada siklus II hasil
belajar mengalami kemajuan, karena sebelumnya pada siklus I aktivitas siswa berada pada
katagori cukup, sedang, pada siklus II berada pada katagori baik, dan persentase tes hasil belajar
siswa pada siklus sebesar 86,36%.
Peningkatan hasil belajar matematika siswa, ditunjukkan dengan persentase skor tes
hasil belajar matematika siswa, dan persentase aktivitas belajar dari siklus I mengalami
kemajuan ke siklus II, yaitu pada siklus I persentase skor tes hasil belajar matematika siswa
sebesar 72,72% dan aktivitas siswa berada katagori cukup dengan persentase 78,64%,aktivitas
guru 82,05% sedangkan pada siklus IIpersentase skor tes hasil belajar siswa sebesar 86,36% dan
aktivitas belajar siswa sebesar 90,23%,aktivitas guru 92,95% . Dengan demikian pesrsentase
skor tes hasil belajar matematika siswa mengalami kemajuan sebesar 13,64% dan aktivitas
belajar siswa mengalami kemajuan dari kategori cukup ke kategori sangat baik, dengan
persentase kemajuan sebesar 11,59%, aktivitas guru mengalami kemajuan 10,09%.
PEMBAHASAN
Penerapan strategi inkuiri dalam pembelajaran matematika, dimaksudkan untuk
meningkatkan hasil belajar matematika. Pada proses pembelajaran inkuiri diterapkan ketiga
karakteristik inkuiri, yaitu: (1) berpartisipasi, (2) melakukan investigasi, (3) mengonstruksi
pengetahuan.
Langkah awal dalam pembelajaran strategi inkuiri adalah kegiatan orientasi. langkah
orientasi dimaksudkan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang responsif, yaitu siswa
dalam kondisi siap belajar, dan siswa dapat berpartisipasi karena kegiatan belajar dilakukan
secara berkelompok. Maka langkah orientasi juga dimaksudkan agar guru mengelompokkan
siswa secara hetrogen, yaitu setiap kelompok terdiri atas siswa yang berkemampuan tinggi,
sedang dan rendah. Kegiatan siswa selanjutnya sebagai berikut:
1) Siswa berpartisipasi dalam kegiatan diskusi kelompok, mulai dari merumuskan masalah
sampai pelaporan hasil.
2) Siswa menginvestigasi, mengumpulkan data berupa bahan/materi penunjang yang dapat
membantu dalam proses investigasi, untuk memudahkan menyelesaikan masalah matematika
3) Siswa membuat dan menawarkan konjektur, dimana siswa tidak hanya menyampaikan
pendapat, tetapi juga memberikan komentar dari pendapat siwa lain.
Langkah awal (orentasi) merupakan langkah yang sangat penting untuk mengawali
aktivitas siswa dalam memecakan masalah. langkah ini menuntut guru agar bisa mengondisikan
siswa atau menciptakan suasana kelas yang kondusif/nyaman. Hal ini sejalan dengan penelitian
Richard Schuman dengan tiga struktur sosial pembelajaran inkuiri, yaitu:
(1) Suasana kelas yang nyaman merupakan hal yang penting dalam pembelajaran
(2) Kerjasama guru dan siswa, siswa dengan siswa diperlukan juga adanya dorongan secara
aktif dari guru dan teman.
(3) Dua atau lebih siswa yang berkerja sama dalam berfikir dan bertanya akan lebih baik
hasilnya dibandingkan jika siswa bekerja sendiri
Menurut Merrlyn Goos (2004), tentang beberapa asumsi kegiatan pembelajaran dengan
strategi inkuiri yang mendasari guru dan siswa pada aktivitas matematika (uraian pada BAB II),
merupakan aktivitas siswa sebagaimana yang diperoleh pada penelitian ini. Adapun deskripsi
aktivitas siswa dengan strategi inkuiri dalam pembelajaran matematika, diuraikan seperti tabel :
328
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari Tabel 1 di atas, Nampak terlihat bahwa keterlibatan siswa dalam pembelajaran di
kelas cukup baik dan kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa. Strategi inkuiri dapat
membuat aktivitas belajar siswa menjadi lebih baik, yaitu struktur berfikir siswa terpola secara
sistematis ditunjukkan dengan: siswa dapat melakukan praktek bertukar pikiran, siswa berpikir
kritis dan matematis, siswa mampu berargumantasi
Hal ini sejalan dengan diungkapkan Nadia Stoyanova (2009) berisi tentang diskusi
sebuah model pembelajaran yang disebut Community of Mathematical Inquiry (CMI)meliputi:
struktur berfikir, argumentasi matematika, pemikiran yang terintegrasi, transpormasi konsep,
internalisasi berfikir kritis, dan konsep dibangun secara bersama-sama.
DAFTAR RUJUKAN
Aqib, Z. 2009. Penelitian Tindakan Kelas Untuk: Guru. Bandung: Yrma Widya.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Goos, Merrilyn 2004. Learning Mathematics in a Classroom Community of Inquiry.Journal
Research in Mathematics Education 2004 vol. 35. No. 4, 258-291
Hujono , 1998. Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Kenedy, Nadia stoyanova. 2009. Towards A Dialogical Pedagogy: Some Characteristics Of A
Community Of Mathematical Inquiry. Eurasia Journal Of Mathematics, Science &
Technology Education, 2009, 5 (1), 71-78
Moleong .L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Nur, M . 2001. Realistic Mathematics Education. Makalah: PPPG Yoyakarta
Hamalik, Oemar. 2002. Media Pendidikan. Bandung, Alumni.
Sund, R.B. dan Trownbrigde, L.W. 1993. Teaching sience By Inquiriy in the secondary school.
Columbus, ochio: Charles B. Merril Publishing
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas
329
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Abstract: The observations in SMP Negeri 2 Jombang was obtained the data that the
process of group discussion was not optimal and problems were resolved by the students
through discussion were procedural. The purpose of this study is to describe the process
and results of the development of mathematics learning materials characterized by the
Open-Ended linear equations of one variable in class VII which is valid, effective, and
practical. The product development is a learning device in the form of lesson plans and
Students’s Worksheet which is characterized by open-ended that contain open-ended
problems. Development model which was used in this study was the 3-D model of
development define (definition), Design (Design) and Develop (Development). Based on
the results of validation, and testing in the classroom it was concluded that the lesson
should be revised, but was valid in practice, the teacher could be done improve the
communication and free to the students, as well as a solution and procedure to the problem.
330
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
331
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mampu menggunakan Buku Kerja Siswa melalui diskusi kelompok secara optimal. Perangkat
pembelajaran yang memenuhi kriteria efektif berarti pada pembelajaran, tingkat penguasaan
materi siswa melalui Buku Kerja Siswa baik, siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran, dan
respon siswa positif terhadap setiap permasalahan yang diselesaikan.
METODE
Penelitian ini mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan sintaks
model pembelajaran tertentu. Oleh sebab itu, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
pengembangan. Pengembangan perangkat pembelajaran bercirikan open-ended materi
persamaan linier satu variabel menggunakan model pengembangan 3-D Define (Pendefinisian),
Design (Perancangan), dan Develop (Pengembangan) yang dimodifikasi dari teori
pengembangan 4-D oleh Thiagarajan (1974: 6). Tahap keempat dari 4-D yaitu Disseminate
(Penyebaran) tidak digunakan karena membutuhkan banyak biaya untuk menyebarluaskan
produk dalam skala besar.
Penelitian dilakukan di SMP Negeri 2 Jombang di kelas VII-H dengan alokasi waktu
empat pertemuan pada Bulan Maret 2014. Tahap pendefinisian meliputi analasis awal-akhir,
analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap
perancangan meliputi penyusunan tes-kriteria yang dirujuk, pemilihan media, pemilihan format,
dan perancangan awal.. Tahap terakhir adalah tahap pengembangan yang meliputi validasi pada
ahli yaitu dosen matematika dan pendidikan matematika dengan kriteria pendidikan minimal S3
serta praktisi yaitu guru. Kemudian dilanjutkan dengan uji keterbacaan produk pada kelompok
kecil pada siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Tahap akhir adalah uji coba
lapangan yang dilakukan dengan cara menguji coba produk di kelas VII-H.
Produk pengembangan yang dihasilkan meliputi RPP dan Buku Kerja Siswa. Instrumen
penelitian meliputi lembar validasi, lembar observasi, tes hasil belajar, format asesmen, dan
angket respon siswa. Lembar validasi yang dikembangkan terdiri dari lembar validasi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, lembar validasi Buku Kerja Siswa, lembar validasi dari instrumen
lembar keterlaksanaan pembelajaran, lembar validasi dari instrumen lembar keterlaksanaan
penggunaan Buku Kerja Siswa, lembar validasi angket respon siswa, dan lembar validasi tes
hasil belajar siswa. Aspek pada lembar validasi memuat aspek isi dan konstruk. Namun, pada
setiap lembar validasi, aspek konstruk dijabarkan menjadi aspek bahasa, format penulisan, dan
manfaat lembar validasi. Lembar observasi keterlaksanaan perangkat pembelajaran yang
dikembangkan terdiri dari lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, lembar observasi
keterlaksanaan penggunaan Buku Kerja Siswa, dan lembar observasi aktivitas siswa.
Teknik analisis data dilakukan dengan cara menganalisis data kuantitatif dan kualitatif
yang diperoleh selama proses pengembangan. Data yang diperoleh meliputi data kevalidan,
kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran. Data direkapitulasi untuk empat
pertemuan kemudian dianalisis sesuai kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat
pembelajaran yang telah ditetapkan. Produk pengembangan berupa perangkat pengembangan
selanjutnya dikaji berdasar analisis data dan teori ahli yang dirujuk.
332
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
333
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
334
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk
melalui penyelesaian masalah nyata pada buku kerja siswa
4. Menghargai pendapat teman saat diskusi kelompok dan diskusi kelas
5. Menuliskan ide dalam pembuatan dan penyelesaian model matematika dari
masalah nyata yang berkaitan dengan persamaan linier satu variabel.
3 3.3 Menyelesaikan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel. KD pada
Indikator: KI-3
1. Menyelesaikan model matematika berkaitan dengan persamaan linier satu
variabel.
2. Menyelesaikan model matematika berkaitan dengan pertidaksamaan linier satu
variabel
4 4.3 Membuat dan menyelesaikan model matematika dari masalah nyata yang KD pada
berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel. KI-4
Indikator:
1. Membuat model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan
persamaan linier satu variabel.
2. Membuat model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan
pertidaksamaan linier satu variabel.
3. Membuat model matematika dari masalah nyata dengan solusi persamaan
linier satu variabel yang sama
4. Membuat model matematika dari masalah nyata dengan solusi
pertidaksamaan linier satu variabel yang sama
5. Menentukan solusi masalah nyata yang berkaitan dengan persamaan linier
satu variabel.
6. Menentukan solusi masalah nyata yang berkaitan dengan pertidaksamaan
linier satu variabel.
335
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
instrumen pengembangan yang dikembangkan dapat disimpulkan valid dengan revisi sesuai
saran, catatan, serta komentar validator.
Uji Keterbacaan pada Kelompok Kecil
Berdasar hasil uji coba kelompok kecil, dapat disimpulkan bahwa Buku Kerja Siswa
memerlukan perbaikan redaksi soal pada permasalahan open-ended dan permasalahan-
permasalahan pada Buku Kerja Siswa dapat diselesaikan. Permasalahan open-ended dapat
dipahami dengan baik. Hal ini dapat ditunjukkan adanya pendapat siswa yang mengatakan
bahwa terdapat variasi jawaban dan kebebasan anggota kelompok untuk menyelesaikan
permasalahan pada Buku Kerja Siswa. Permasalahan pada kuis juga dapat dipahami oleh siswa
secara benar. Beberapa saran, kritik, dan pertanyaan disampaikan secara langsung kepada
peneliti untuk dicatatat. Dengan demikian, terdapat perbaikan pada redaksi soal, kalimat
permasalahan open-ended , penambahan formula untuk menentukan rata-rata, ditambahkan
contoh soal pada permasalahan Buku Kerja Siswa 2, dan penambahan petunjuk untuk cara
menyelesaikan pertidaksamaan linier satu variabel yang membutuhkan pergantian tanda.
Uji Coba Lapangan
Uji coba di kelas dilakukan pada pembelajaran persamaan linier satu variabel dan
diawali dengan penyelesaian permasalahan nyata bercirikan open-ended. Guru membuka
pembelajaran dengan salam dan doa. Pada langkah pembelajaran “review”, guru memberikan
suatu permasalahan yang dapat diselesaikan dengan prosedur dan solusi yang tidak tunggal.
Siswa sebelumnya telah diberitahukan untuk membaca materi pada buku siswa tentang
persamaan linier satu variabel. Namun, penyelesaian masalah “review” diselesaikan beberapa
siswa dengan tidak menggunakan variabel melainkan kata benda yang ditanyakan pada
permasalahan. Siswa antusias untuk membuat solusi yang berbeda dengan teman sebangkunya.
Pada pertemuan kedua dan keempat, siswa dan guru bersama-sama membahas hasil diskusi
yang dilakukan di luar kelas. Penyelesaian permasalahan disajikan dan dijelaskan secara
klasikal. Pada kegiatan inti pembelajaran, siswa diberikan suatu permasalahan yang mempunyai
prosedur penyelesaian dan solusi yang tidak tunggal. Siswa merasa kebingungan karena ragu
apabila terdapat variasi solusi permasalahan yang tidak tunggal. Guru menegaskan agar siswa
tetap pada jawaban masing-masing dan menyiapkan alasan pemilihan jawaban. Pada saat
presentasi hasil diskusi kelompok, siswa menemukan berbagai jawaban yang berbeda di setiap
kelompok. Pada proses kesimpulan, siswa ditegaskan kembali oleh guru bahwa permasalahan
menuntut jawaban yang berbeda dan tidak tunggal. Siswa Kelas VII-H sangat antusias dalam
menyelesaikan setiap permasalahan. Hal ini juga dibuktikan dari komentar Guru MF bahwa
siswa yang biasanya gaduh atau malas menyelesaikan soal menjadi antusias dan mengutarakan
pendapatnya masing-masing.
Kepraktisan Perangkat Pembelajaran
Data kepraktisan perangkat pembelajaran diperoleh dari rekapitulasi hasil observasi
aktivitas guru dan penggunaan buku kerja siswa. Berdasar hasil rekapitulasi observasi aktivitas
guru dapat diperoleh skor 3.62. Rekapitulasi skor observasi aktivitas guru diperoleh dengan
menghitung rata-rata skor observasi aktivitas guru untuk empat pertemuan. Skor akhir
menunjukkan bahwa aktivitas guru saat pembelajaran berlangsung sesuai dengan langkah
pembelajaran pada RPP. Hal ini berarti, guru dapat memahami RPP dan melaksanakan langkah
pembelajaran di kelas sesuai dengan urutan serta alokasi waktu. Hasil akhir dari rekapitulasi
observasi penggunaan buku kerja siswa adalah 3.52. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dapat
memahami dan menyelesaikan permasalahan pada Buku Kerja Siswa. Selain itu, penggunaan
Buku Kerja Siswa dapat membuat siswa aktif bertanya, berdiskusi, berkomunikasi,
mengemukakan alasan, mendorong siswa menemukan prosedur dan solusi yang tidak tunggal.
Dengan demikian, RPP dan Buku Kerja Siswa dapat dilaksanakan pada pembelajaran secara
praktis oleh guru dan siswa.
Keefektifan Perangkat Pembelajaran
Data keefektifan perangkat pembelajaran diperoleh dari skor penguasaan bahan ajar
(asesmen pengetahuan, keterampilan, dan sikap), respon siswa, dan skor aktivitas siswa.
Persentase skor akhir dari asesmen pengetahuan dan keterampilan adalah 75.74%. Hal ini
berarti sebanyak 75. 74% siswa telah mencapai ketuntasan belajar. Ketuntasan belajar dihitung
dari akumulasi skor pengetahuan, keterampilan, dan asesmen sikap selama empat pertemuan.
Skor pengetahuan dihitung dari rata-rata tes hasil belajar (kuis). Skor keterampilan dihitung dari
skor penyelesaian Buku Kerja Siswa melalui diskusi kelompok. Rata-rata skor akhir dari
336
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
asesmen sikap adalah 3.27 yang menunjukkan bahwa sikap siswa Kelas VII-H berpredikat baik.
Berdasar skor pengetahuan, keterampilan, dan asesmen sikap dapat dikatakan penguasaan bahan
ajar siswa malalui Buku Kerja Siswa adalah baik.
KAJIAN PRODUK
Berdasar hasil observasi, ditemukan permasalahan utama yaitu kurang optimalnya
diskusi kelompok karena siswa tidak dapat mengemukakan alasan prosedur penyelesaian
permasalahan dan tidak terjadi komunikasi antar anggota kelompok. Selain itu, permasalahan
yang muncul yaitu siswa terbiasa dengan prosedur dan solusi permasalahan yang tunggal
sehingga siswa tidak mempunyai alternatif penyelesaian permasalahan secara pribadi. Oleh
karena itu, dikembangkan perangkat pembelajaran yang harus memenuhi kriteria valid, praktis,
dan efektif. Produk pengembangan yang dimaksud adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) dan Buku Kerja Siswa materi Persamaan Linier Satu Variabel. RPP disusun dengan
menggunakan langkah pembelajaran melalui penyelesaian masalah menggunakan strategi
Polya. Kegiatan Siswa yang dideskripsikan pada RPP memuat komponen pendekatan saintifik.
Buku Kerja Siswa disusun secara sistematis sesuai dengan langkah penyelesaian permasalahan
Polya dan berisi permasalahan-permasalahan bercirikan open-ended. Penyusunan komponen
RPP merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81a Tahun 2013
tentang Implementasi Kurikulum. Buku Kerja Siswa terdiri dari Buku Kerja Siswa 1 sampai 4
sesuai dengan banyak pertemuan. Sesuai dengan Khoh (1996: 57), Buku Kerja Siswa
Matematika berisi investigasi permasalahan open-ended yang memuat konsep matematika,
dalam pengembangan ini adalah konsep persamaan linier satu variabel.
Temuan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini yaitu pembelajaran melalui
penyelesaian masalah open-ended menggunakan strategi Polya mampu membuat siswa
mengemukakan alasan prosedur penyelesaian permasalahan. Hal ini dapat ditunjukkan pada
permasalahan-permasalahan di Buku Kerja Siswa yang menuntut alasan penyelesaian
permasalahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Shimada (1997: 32) yaitu siswa yang
menyelesaikan permasalahan open-ended dapat menjelaskan ide penyelesaian permasalahan
yang sama dengan cara yang berbeda. Hal ini juga dibuktikan dari penelitian Hamdani (2005)
yaitu siswa aktif mengemukakan ide-ide yang berbeda tentang prosedur penyelesaian
permasalahan dan solusinya.
Menurut Shimada (1997: 27) terdapat 3 jenis permasalahan open-ended yaitu
menemukan relasi, mengklasifikasikan, dan mengukur. Jenis soal mengukur yang digunakan
dalam pengembangan ini sesuai dengan penelitian Shimada yaitu siswa diminta untuk
mengukur secara numeric untuk fenomena tertentu. Fenomena yang dimaksud adalah
permasalahan nyata yang familiar bagi siswa. Permasalahan tidak hanya menuntuk solusi yang
tidak tunggal tetapi juga menuntut metode untuk menemukan solusi yang juga tidak tunggal.
Contoh soal oleh Shimada yaitu Kontes Kecantikan Hewan:
“Hasil penjurian pada kontes kecantikan hewan adalah sebagai berikut: juara pertama Aoki,
juara kedua Ito, juara ketiga Uno, juara keempat Eguchi, dan juara kelima Ogata. Sebelum
pengumuman penjurian, audiens diminta untuk menebak urutan konstentan dan akan dijanjikan
hadiah untuk yang paling mendekati dengan jawaban juri. Tabel berikut menunjukkan jawaban
A, B, C, dan D bersama dengan keputusan akhir juri.
Tabel 3. Jawaban Kontestan
Kontestan Aoki Ito Unmo Eguchi Ogata
Hasil Final 1 2 3 4 5
A 3 1 4 5 2
B 2 3 1 4 5
C 5 3 2 4 1
D 4 2 3 1 5
Bagaimana kita dapat memutuskan ranking dari tebakan A, B,C, dan D? Tulis semua metode
perangkingan yang kamu peroleh.” (Shimada, 1997: 162).
Pada permasalahan Kontes Kecantikan Hewan, siswa diminta menentukan metode
untuk menemukan solusi mengapa perangkingan tersebut dapat diperoleh. Setiap soal yang
digunakan sebagai contoh pada Shimada menuntut adanya alasan di setiap metode dan solusi
yang diperoleh.
Soal yang diberikan kepada siswa Kelas VII sesuai dengan soal yang diberikan sebagai
contoh oleh Shimada. Permasalah diberikan pemanasan dengan cara memberikan contoh table
337
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
𝒙 = 𝟓𝟗
Siswa kemudian diminta untuk memberikan pendapat setuju atau tidak dengan prosedur
penyelesaian berupa table tersebut dan apabila tidak setuju, siswa diminta memberikan alasan
dan menuliskan prosedur penyelesaian yang menurut siswa tersebut lebih tepat.”
Permasalahan buku teks yang dikonversi dengan situasi open-ended untuk pemahaman
konseptual menurut Yee (1990: 135) berarti permasalahan yang termuat pada buku teks tetapi
dimodifikasi menjadi pertanyaan yang mempunyai prosedur penyelesaian dan solusi tidak
tunggal. Contohnya, pada Uji Kompetensi 6.2 Buku Siswa yang diterbitkan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 halaman 275.
Contoh soal 6.7 pada Buku Siswa merupakan contoh permasalahan yang mempunyai
prosedur penyelesaian dan solusi yang tunggal. Permasalahan buku teks yang dikonversi
menjadi permasalahan open-ended dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menghilangkan data,
pengajuan masalah, dan menjelaskan konsep atau kesalahan. Permasalahan pada Buku Siswa
tersebut dapat dikonversi dengan situasi open-ended dengan cara menghilangkan data yang
berupa gambar serta ukuran panjang dan lebar persegi panjang menjadi sebagai berikut:
338
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN
Ayu, H.D. 2011. Penerapan Strategi Open-Ended Problem Bersetting Kooperatif untuk
Meningkatkan Kreativitas dan Pemahaman Pecahan Bagi Siswa Kelas VII SMP PGRI 6
Malang. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: PPS-UM.
Becker, J.P &Shimada, S. 1997. The Open-Ended Approach: A new Proposal for Teaching
Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics.
339
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Bush, W. S., Leinwald S, et.al. 2000. Mathematics Assessment: A Practical Handbook For
Grade 6-8. Reston: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.
Hamdani. 2005. Pembelajaran Persamaan Garis Lurus Dengan Pendekatan Open-Ended Pada
Siswa Kelas II SMP Sriwedari Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS-UM
Khoh, L. S. 1996. Using Worksheets for Secondary School Mathematics. Singapore:
Association of Mathematics Educators. (online), (http://www.repository.nie.edu.ME-1-
1-55.pdf.) diakses pada tanggal 11 November 2013.
Leatharn, Keith R., L., Kathy, and Mewborn, D. S.. 2005. Getting Started with Open-Ended
Assessment. Reston: National Council of Teachers of Mathematics, Inc. (online),
(www.elem-math.wiki.educ.msu.edu/file/view/Leatham_etal_TCM05.pdf), diakses
pada tanggal 20 Februari 2013.
Muthalib, A. 2003. Pembelajaran Persamaan Garis Lurus Dengan Pendekatan Berakhir
Terbuka Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Sojol. Tesis
tidak diterbitkan. Malang: PPS-UM.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar
dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. (Online),
(http://www. http://bsnp-indonesia.org) diakses 9 September 2013
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81a Tahun 2013 Tentang Implementasi
Kurikulum. (Online), (http://www. http://bsnp-indonesia.org) diakses 9 Februari 2014
Thiagarajan, Sivasailam, S, S. Dorothy and Semmel, Melvyn I. 1974. Instructional
Development for Training Teachers of Exceptional Children. Minnesotta: Indiana
University.
Yee, F.P. 1990. Using Short Open-Ended Mathematics Questions to Promote Thinking and
Understanding. Singapore: National Institute of Education. (online),
(www.math.unipa.it/~grim/SiFoong.PDF), diakses pada tanggal 19 Februari 2013.
Kata kunci: berpikir kreatif, matematika, model Treffinger, garis dan sudut.
Pada Era Globalisasi dan Teknologi komunikasi yang canggih dewasa ini, tingkat
kompleksitas permasalahan semakin tinggi. Keadaan tersebut menuntut dunia pendidikan
sebagai tombak masa depan, mempersiapkan peserta didik yang memiliki berbagai ketrampilan
340
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan kemampuan, antara lain kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah.
Lois (Van Gundy, 2005:3) menyatakan kreatifitas dapat menyelesaikan hampir setiap masalah.
Kemampuan berpikir kreatif sangat diperlukan seseorang untuk menemukan solusi dari masalah
yang dihadapi. Hasil perbincangan pada tanggal 16 januari 2013 dengan ibu Rina Karyati, S.Pd,
MM., guru di SMP Negeri 19 Malang, dapat disimpulkan bahwa tingkat kreativitas siswa sangat
rendah. Kesulitan yang dialami oleh siswa dalam pembelajaran matematika, salah satunya pada
materi garis dan sudut. Hal ini diperkuat dengan soal yang diberikan siswa guna melihat
kreativitas siswa pada materi garis dan sudut diperoleh jawaban-jawaban yang belum
menunjukkan kreativitas yang tinggi bahkan tidak kreatif.
Sternberg (2007 :3) menyatakan orang-orang kreatif dapat lebih kreatif bukan karena
bawaan lahir, tetapi lebih dikarenakan perilaku dalam kehidupan, mereka dibiasakan merespon
masalah dengan cara yang baru dan unik daripada membiarkan diri mereka merespon secara
otomatis tanpa berpikir, selain itu DeMatteo (2010:134) juga mengemukakan bahwa kegiatan
pemecahan masalah dapat memberikan siswa pengalaman yang berkaitan dengan situasi
kehidupan nyata yang kompleks.
Salah satu model pembelajaran kreatif yang memiliki sifat dan karakter tersebut adalah
pembelajaran kreatif model Treffinger. Pembelajaran model Treffingerterdiri dari tiga tahap dan
setiap tahap mencakup segi kognitif dan segi afektif yang prosesnya berlangsung secara terpadu
(Semiawan, 1990:38). Tahap pertama disebut fungsi divergen, yaitu suatu tahap yang
menekankan pada keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan. Tahap kedua adalah proses
pemikiran dan perasaan yang majemuk, yaitu suatu tahap dimana faktor-faktor kognitif dan
afektif dari tahap pertama diperluas. Tahap ketiga adalah keterlibatan dalam tantangan-
tantangan nyata.
Selain meningkatnya perilaku kreatif yang diamati selama proses pembelajaran,untuk
menilai kemampuan berpikir kreatif setelah dan sebelum proses pembelajaran, menurut Darwis
(2012:259) kemampuan berpikir kreatif dapat dinilai dari kelancaran, fleksibilitas,
kebaruan/keaslian, elaborasi, transformasi. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan hanya
pada 3 aspek yaitu kelancaran, fleksibilitas, kebaruan/keaslian sesuai dengan Silver (1997:78)
memberikan indikator untuk menilai berpikir kreatif siswa berdasarkan tiga komponen kunci
dalam TTCT (The Torance Test of Creative Thinking) yaitu kelancaran (fluency), fleksibilitas
(flexibility) dan kebaruan (novelty) menggunakan pemecahan dan pengajuan masalah.
Ada empat kategori alasan dari pembelajaran Problem solving menurut Pehkonen
(1997:64) yaitu : (a)Pemecahan masalah membangun ketrampilan kognitif secara umum,
(b)Pemecahan masalah membantu perkembangan kreativitas, (c)Pemecahan masalah adalah
bagian dari proses aplikasi matematika, (d)Pemecahan masalah memotivasi siswa untuk belajar
matematika. Menyadari pentingnya pemecahan masalah dan dilihat sebagai upaya
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, maka dalam penelitian ini yang dimaksud
pemecahan masalah adalah menyelesaikan soal tidak rutin yang mempunyai solusi tidak tunggal
atau bersifat terbuka atau divergen. Sedangkan yang dimaksud pengajuan masalah atau problem
posing yaitu siswa diberi masalah khusus kemudian siswa diminta membuat soal baru.
Penjenjangan tingkat berpikir kreatif pada siswa digunakan penjenjangan berpikir
kreatif dari Siswono (2009:7) yaitu (1) Tingkat Kemampuan Berpikir Sangat Kreatif(2) Tingkat
Kemampuan Berpikir Kreatif (3) Tingkat Kemampuan Berpikir Cukup Kreatif(4) Tingkat
Kemampuan Berpikir Kurang Kreatif, dan (5) Tingkat Kemampuan Berpikir Tidak
Kreatif.Tujuan Penelitian ini adalah (1)Mendeskripsikan pembelajaran model Treffinger yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika pada materi garis dan sudut
bagisiswa kelas VII SMPN 19 Malang, dan (2) Mendeskripsikan peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematika pada materi garis dan sudut bagisiswa kelas VII SMPN 19 Malang
melalui pembelajaran model Treffinger.
METODE
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berupa penjelasan
tentang penerapan pembelajaran matematika dan dipaparkan sesuai dengan kejadian dalam
penelitian. Dengan pendekatan kwalitatif dan jenis penelitian yaitu Penelitian Tindakan Kelas
(PTK). Langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam penelitianterdiri dua siklus dan
setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu : (1) perencanaan (planing), (2) pelaksanaan (action), (3)
pengamatan (observation), dan (4) refleksi (reflektion). Keempat komponen tersebut adalah
341
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
langkah-langkah dalam suatu siklus (Arikunto, 2006 : 97), yang dilaksanakan di SMP Negeri 19
Malang jalan Belitung No. 1 kota Malang, pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) hasil tes kemampuan awal, (2)
hasil tes akhir siklus, (3) hasil pekerjaan siswa dalam mengerjakan Lembar Kegiatan Siswa, (4)
hasil tugas mandiri,(5) hasil observasi, dan (6) hasil wawancara dengan subyek penelitian.
Sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2009:129). Pada penelitian ini
data hasil tes awal, hasil tes akhir siklus dan hasil pekerjaan siswa mengerjakan LKS bersumber
dari subyek penelitian. Data observasi bersumber dari observer setelah mengamati aktivitas guru
danaktivitas enam siswa sebagai fokus pengamatan selama proses pembelajaran. Data hasil
validasi perangkat dan instrumen penelitian bersumber dari validator yang terdiri dari dua dosen
matematika yang sudah berpengalaman. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
lembar observasi, lembar validasi, dan lembar tes siswa.
Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini : (1) validasi
perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (2) observasi aktivitas siswa, (3) wawancara,
dan (4) tugas dan tes. Kemudian data di cek keabsahannya, cara untuk mengecek keabsahan
data melalui triangulasi yaitu pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
berbagai waktu (Sugiyono, 2011:274).
342
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
jenis sudut dan peragaan seorang siswa. (b) Teknik Warming up (Penggunaan ide kreatif) guru
menyediakan lembar geoboard untuk setiap siswa dan meminta siswa menggambarkan bentuk-
bentuk menarik yang di dalamnya terdapat hubungan sudut, dan menuliskan hubungan sudut
beserta sudutnya. Siswa merasa senang dan asyik dalam bentuk-bentuk yang dibuatnya dan
menunjukkan hubungan sudut tersebut. Salah satu hasilnya terlihat pada Gambar 1.
(c) Konflik internal, siswa diminta membuat naskah drama yang terkait dengan cake yang
berbentuk segitiga dan akan dibagi dengan ketentuan bahwa saat membagi cake masih dalam
bentuk segitiga. (d) Teknik bermain peran dalam menyelesaikan masalah (sosio drama), Siswa
diminta untuk mempersiapkan diri untuk memperagakan naskah drama yang telah mereka
tuliskan. Kemudian guru meminta beberapa kelompok siswa memperagakan di depan kelas dan
kelompok lain memperhatikan dan memberi tanggapan diakhir peran kelompok temannya.
Salah satu contoh naskah drama yang ditampilkan ada pada Gambar 2.
343
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembelajaran Model Treffinger Tingkat III. Di tahap inti pembelajaran, guru mengajak
siswa terlibat dalam tantangan dan masalah nyata. Melalui kegiatan pembelajaran ini diharapkan
siswa mampu mengorganisasi, mengolah keterangan dan gagasan, sehingga masalah yang
dihadapi dapat dipahami dan diselesaikan. (1) Teknik CreativeProblem solving, Teknik ini
diawali oleh guru dengan bercerita masalah nyata yang berkaitan dengan garis dan sudut, yaitu
tentang seorang pembuat pagar yang menerima pesanan untuk membuat pagar.
Dari hasil tes akhir tindakan siklus I diperoleh 3 siswa pada tingkatan tidak kreatif, 27
siswa pada tingkatan kurang kreatif, 2 siswa cukup kreatif, dan 10 siswa pada tingkat kreatif.
Berkenaan dengan kriteria keberhasilan, maka pembelajaran model Treffinger pada siklus I
dikatakan belum berhasil, karena walaupun siswa yang mengalami peningkatan kreativitas
sebesar 35% tetapi hanya 70% variabel pengamatan pribadi yang mencapai kriteria minimal
“baik” dan rerata hasil observasi variabel aspek kognitif dan afektif tiap tingkat model
Treffinger belum 100% (66,67%) pada kategori “baik” atau “sangat baik” . Untuk itu penelitian
perlu dilanjutkan ke siklus II dengan memperbaiki rencana pembelajaran dan memilih teknik
yang lebih sesuai.
Siklus II
Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti menyusun instrumen penelitian yang terdiri
dari lembar tes akhir dan observasi, dan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana
pelaksanaan pembelajaran dan lembar kerja siswa.
Pelaksanaan Tindakan Siklus II dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan dan materi
pembelajaran yang digunakan adalah hubungan garis yang terbentuk jika dua dua garis dipotong
oleh garis yang lain. Kegiatan pembelajaran model Treffinger tingkat I dilaksanakan dengan
tenik (a) teknik warming up (b) teknik pemikiran berakhir terbuka (c) teknik penyusunana sifat
hubungan sudut (d) teknik penulisan gagasan (e) teknik sumbangan saran. Pembelajaran model
treffinger tingkat II dilaksanakan dengan tenik (a) Teknik Warming Up (Penggunaan Ide
kreatif), (b) Teknik bermain peran dalam menyelesaikan masalah (sosio drama). Pembelajaran
model Treffinger tingkat II dilaksanakan dengan tenik Creative Problem Solving.
Berdasarkan analisa hasil tes akhir tindakan siklus II, diperoleh informasi 22 siswa
kurang kreatif dan 20 siswa kreatif. Terdapat 12 siswa yang mengalami peningkatan kreativitas.
Dibandingkan tes awal jumlah siswa yang mengalami peningkatan kreativitas adalah 41%.
Peningkatan kreativitas siswa pada tes akhir dibandingkan dengan tes awal disajikan
pada Gambar 3.
30
25
20 Tidak Kreatif
15 Kurang Kreatif
10
Cukup Kreatif
5
0 Kreatif
Tes Awal Tes Akhir Tes Akhir
Siklus I Siklus II
Sesuai dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditetapkan, maka pembelajaran model
Treffingerpada siklus II dikatakan berhasil, karena 97,2% variabel pengamatan pribadi
mencapai kriteria minimal “baik” sedangkan rerata hasil observasi variabel aspek kognitif dan
afektif tiap tingakat model Treffinger 100% pada kategori “baik” atau “sangat baik”. Dan
42,8% siswa mengalami peningkatan kreativitas.
TEMUAN PENELITIAN
Selama pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menerapkan model Treffinger,
terdapat temuan ikutan sebagai berikut: (a) Siswa merasa senang, karena pembelajaran terasa
lebih santai, bebas berpendapat, dan banyak tantangan. Hal ini membuat siswa menyukai
pelajaran matematika, (b) Pada Siklus I sempat terkendala dengan kekurangan waktu karena
siswa asyik berdiskusi dengan teman kelompok dan menikmati saat berkreasi di LKS dan tugas-
344
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tugas lain, (c) Pelaksanaan pembelajaran model Treffinger menggunakan soal-soal problem
solving yang open ended, siswa yang belum terbiasa harus membiasakan diri lebih dahulu
akibatnya mereka merasa kesulitan di awal tetapi setelah terbiasa merasa tertantang dan dapat
menyelesaikan soal. Tetapi siswa yang berkemampuan rendah sedikit kewalahan, diperlukan
waktu yang lebih lama untuk membiasakan mengerjakannya.
Pembelajaran Matematika melalui Model Treffinger
Tindakan pada penelitian memberikan pemanasan dengan memberikan pertanyaan yang
membebaskan siswa untuk berimajinasi dan memberikan jawaban yang beragam tentang apa
yang akan terjadi untuk sesuatu hal yang selama ini belum terbayangkan, bila tidak ada garis
lurus. Hal itu menimbulkan cara berpikir divergen sebagai ciri khas dari pembelajaran
Treffinger tingkat I sesuai dengan pernyataan Munandar (2009:195) bahwa berpikir divergen
dapat dirangsang dengan mengajukan pertanyaan yang mendorong ungkapan pikiran dan
perasaan yang berakhir terbuka (open ended thoughts and feelings).
Pemecahan masalah terbuka dilakukan secara berkelompok dengan menerapkan teknik
daftar penulisan gagasan dan teknik sumbang saran. Gagasan untuk menyelesaikan masalah
yang sudah ditulis masing-masing siswa disampaikan pada saat diskusi kelompok. Peneliti
sebagai guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator, mengarahkan agar pada saat
penyampaian gagasan tidak terjadi penilaian dan kritik dari siswa lain, hal ini sesuai dengan
Semiawan (1990:43) bahwa kritik akan mengahambat timbulnya gagasan-gagasan spontanitas.
Kritik dan penilaian baru disampaikan pada tahap penilaian, yaitu pada saat diskusi kelompok
dan pada saat setelah salah satu kelompok mempresentasikan hasil kelompoknya.
Pembelajaran dilanjutkan ke Model Treffinger tingkat II, diawali menggunakan teknik
warming up (pemanasan) dengan penggunaan ide kreatif melalui bantuan lembar geoboard.
Selanjutnya dengan belajar kreatif yang menggunakan proses pemikiran dan perasaan majemuk,
teknik yang digunakan pada pembelajaran ini adalah bermain peran dalam menyelesaikan
masalah (sosio drama). Karena melalui teknik bermain peran, siswa secara langsung dapat
menangani konflik, stress, dan masalah yang timbul dari pengalaman dalam kehidupannya
(Haryono, 2009:23). Siswa dihadapkan pada masalah menantang seputar kehidupan siswa
SMP. Siswa ditantang dengan masalah pada LKS untuk membuat sebuah cerita yang
diperankan mereka sendiri dan didalamnya ada suatu masalah matematika terkait tentang sudut
yang harus diselesaikan. Penggunaan LKS pada saat siswa melakukan diskusi bertujuan agar
terjadi proses bimbingan yang dilakukan oleh siswa yang lebih mampu menyelesaikan masalah
kepada siswa yang kurang mampu.
Model Treffinger tingkat III, yaitu (1) meminta siswa untuk mengajukan masalah yang
berkaitan dengan garis dan sudut, sejalan dengan hasil penelitian Siswono (2005:86) bahwa
pengajuan masalah banyak memberi manfaat dalam pembelajaran matematika, salah satunya
dalam mendorong kemampuan berpikir kreatif siswa. Pengajuan masalah terjadi antara anggota
kelompok selama diskusi kelompok dan antar kelompok. Diskusi mengarahkan siswa
memperoleh pengalaman melalui partisipasi dan interaksi Melalui diskusi terjadi aktivitas
pertukaran gagasan, fakta, opini, di antara siswa. sehingga belajar menjadi lebih dinamis
(Tsaniyah, 2005). (2) memberikan permainan creative problem solving berupa lomba
menyelesaikan masalah yang sudah dibuat masing-masing kelompok pada kegiatan problem
posing dan sudah diacak, (3) memberikan reward kepada siswa yang mengalami peningkatan
kemampuan berpikir kreatif karena menurut Hudojo (1988:279) penghargaan sangat diperlukan
untuk meningkatkan sikap, rasa puas, dan bangga siswa terhadap matematika.
KESIMPULAN
Pembelajaran model Treffinger yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif
siswa kelas VII SMP Negeri 19 Malang adalah sebagai berikut:
a. Model Treffinger tingkat I
(1) Memberikan pemanasan melalui pertanyaan yang menarik dan menantang tentang garis
dan sudut
(2) Melatih siswa berpikir divergen melalui pemberian LKS yang berisi masalah terbuka
tentang garis dan sudut.
(3) Meminta siswa menuliskan semua ide atau gagasannya dalam menyelesaikan masalah
terbuka tentang garis dan sudut.
345
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(4) Meminta siswa mendiskusikan ide atau gagasan masing-masing siswa dalam
menyelesaikan masalah terbuka bersama kelompoknya, dan menentukan beberapa
alternatif penyelesaiannya melalui kegiatan sumbang saran
(5) Meminta salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi dalam menentukan
beberapa alternatif penyelesaian masalah terbuka
b. Model Treffinger tingkat II
(1) Memberikan warming up (pemanasan) dan penggunaan ide kreatif dengan membuat
gambar yang berkaitan dengan garis dan sudut pada lembar geoboard,
(2) Bermain peran dalam menyelesaikan masalah (sosio drama). Masalah yang diberikan
kepada siswa adalah masalah sehari-hari yang terkait dengan materi garis dan sudut
c. Model Treffinger tingkat III
(1) Meminta siswa untuk mengajukan masalah yang berkaitan dengan garis dan sudut
secara berkelompok melalui kegiatan problem posing
(2) Memberikan permainan creative problem solving berupa lomba menyelesaikan masalah
yang sudah dibuat masing-masing kelompok pada kegiatan problem posing dan sudah
diacak.
(3) Memberikan reward kepada siswa yang mengalami peningkatan kemampuan berpikir
kreatif
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diuraiakan di atas, maka ada beberapa saran yang dapat
dikemukakan berkaitan dengan menumbuhkan krativitas siswa. Saran-saran tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh guru bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan
berpikit kreatif siswa dibutuhkan pembelajaran dengan memberikan masalah-masalah yang
menantang yang menuntut jawaban maupun cara yang beragam
2. Dalam menyusun tes kemampuan berpikir kreatif matematika, aspek bahasa merupakan
aspek yang rumit karena susunan kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa terkadang tidak
komunikatif dan sulit dipahami siswa. Sehingga selain memperhatikan kaidah bahasa, jika
siswa belum memahaminya maka guru harus memberikan penjelasan. Hal ini bertujuan agar
tujuan penilaian dapat tercapai.
3. Dalam menerapkan model Treffinger, guru harus sering memberikan motivasi, karena
ketika diminta untuk mengajukan masalah matematika siswa cenderung untuk membuat
yang mudah supaya tidak menyulitkan diri sendiri.
4. Tingkat berpikir kreatif yang diperoleh dari tes dapat digunakan sebagai pedoman dalam
mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan siswa dalam berpikir kreatif, sehingga guru dapat
menentukan strategi untuk pembelajaran selanjutnya.
5. Untuk memperoleh hasil penelitian yang memiliki validitas yang tinggi tentang kreativitas
siswa, sebaiknya menggunakan observer dari ahli psikologi atau memberdayakan guru
bimbingan konseling.
6. Bagi peneliti lain yang berminat mengadakan penelitian lanjutan hendaknya melakukan
pada materi yang lain atau sekolah yang lain sehingga akan diperoleh gambaran lebih lanjut
mengenai kreativitas siswa dalam pembelajaran dengan model Treffinger. Selain
peneliti/guru matematika yang menggunakan pembelajaran model treffinger, peneliti/guru
mata pelajaran lain juga dapat menerapkan pembelajaran model treffinger dengan
menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan untuk merancang penelitian baru berkaitan
tentang kreativitas siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Darwis, Gary A. Anak Berbakat dan Pendidikan Keberbakatan: Suatu Buku Panduan untuk
Guru dan Orang Tua. Diterjemahkan Harry Slamet. 2012. Jakarta: PT Indeks
DeMatteo, Rachel Wing. 2010. A Model Approach to Problem Solving.diperoleh dari
JournalMathematics Teaching in The Middle School NCTM. Vol. 16 No. 3. October
2010 : 132-135.
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
346
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Haryono, Ari Dwi. 2009. Pebelajaran Model Treffinger untuk Menumbuhkan Kreativitas dalam
Pemecahan Masalah Operasi Hitung Pecahan Siswa Kelas V SD Islam Hasyim
Singosari Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: UM
Munandar, U. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat-Cet.3. Jakarta: Rineka Cipta.
Pehkonen, Erkki. 1997. The State-of-Art in Mathematical Creativity. (Online),
http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a4.pdf, diakses 8 januari 2013
Semiawan, Conny dkk. 1990. Memupuk Bakat dan Kreatifitas Siswa Sekolah Menengah:
Petunjuk bagi Guru dan Orang tua. Jakarta : Penerbit PT Gramedia
Siswono, Tatag Y. E. 2005. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa melalui
Pengajuan Masalah. Jurnal terakreditasi “Jurnal Pendidikan
Matematika dan Sains”, FMIPA Universitas Yogyakarta. Tahun X, No. 1, Juni 2005.
ISSN 1410- 1866, hal 1-9, (On line),
http://www.papero5_problemposing.pdf (application/pdf.object), diakses 27 Februari
2013
Siswono, Tatag Y. E. 2009. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan IdentifikasiTahap
Berpikir Kreatif siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika.
Ringkasan Disertasi, (On line), http://suaraguru.wordpress.com/2009/02/02/ringkasan-
disertasi-tatag-yuli-eko-siswono-2/ diakses 27 Februari 2013
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : CV Alfabeta
Tsaniyah, S. 2005. Penerapan Model Siklus Belajar yang Menggunakan Asesmen Presentasi
dan Diskusi dalam Meningkatkan Kualitas Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas X
Semester 1 SMA Negeri 1 Gresik. MIPA. 10 (1):1-15.
Silver, Edward A. 1997. Fostering Creativity trough Instruction Rich in MathematicalProblem
Solving and Thinking in Problem Posing, (Online),
http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm.973a2.pdf. diakses 8 januari 2013
Sternberg, Robert. 2007. Creativity as A Habit : Creativity dalam Al-Girl Tan (Ed). A
Handbook for Teacher (hlm 3-25). Singapore: Nayang Technological University.
VanGundy, Athur B. 2005. 101 Activities for Teaching Creativity and Problem Solving. San
Fransisco: John Wiley & Son. Inc.
Abstract: The observations and interview in VIII H grade of SMP Negeri 11 Malang were
obtained the data that the mathematics learning was not effective. Mathematics teacher in
VIII grade said that students had difficulties on the study of system of linear equations in
two variables. This research aimed to describe the used of TPSmodel to increase the
effectiveness of mathematics learning in VIII H grade SMPN 11 Malang. The research
design was used in classroom action research. The research result that students activity,
teacher’s ability to manages the learning, and students response fulfilled the criterias for
effectiveness of TPS learning in system of linear equations in two variables lesson. But
students score of test were unfulfilled. Therefore, TPS learning in SPLDV lesson was not
effective yet.
Abstrak: Hasil observasi dan wawancara di kelas VIII H SMPN 11 Malang menunjukkan
bahwa pembelajaran matematika tidak efektif. Guru matematika di kelas VIII menyatakan
bahwa siswa mengalami kesulitan mempelajari materi Sistem Persamaan Linear Dua
Variabel (SPLDV). Tujuan penelitian ini mendeskripsikan penerapan model TPS yang
347
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran matematika pada siswa kelas VIII H SMP
Negeri 11 Malang. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan
respon siswa memenuhi indikator keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV.
Sedangkan hasil tes siswa tidak memenuhi indikator keefektifan pembelajaran. Dengan
demikian, pembelajaran TPS pada materi SPLDV dinyatakan belum efektif.
348
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE
Pendekatan dan jenis penelitian sebagai berikut. Pendekatan penelitian ini adalah
kualitatif dan kuantitatif. Jenis penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Tindakan
yang diterapkan berupa pembelajaran Think-Pair-Share untuk meningkatkan keefektifan
pembelajaran matematika.
Lokasi, subjek penelitian, dan kehadiran peneliti diuraikan sebagai berikut. Penelitian
dilakukan di kelas VIII H SMP Negeri 11 Malang, Jl. Ikan Piranha Atas No. 185, Malang.
Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII H SMP Negeri 11 Malang, sebanyak 38 siswa.
Kehadiran peneliti mutlak diperlukan dalam penelitian. Peneliti adalah instrumen utama karena
peneliti sebagai perencana dan pemberi tindakan dalam penelitian.Prosedur penelitian mengacu
349
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pada prosedur penelitian tindakan Mertler dan Charles (dalam Mertler, 2009:31) yang terdiri
dari 4 tahap, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, dan refleksi.
Perangkat pembelajaran adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Lembar
Kerja Siswa (LKS). Sedangkan instrumen penelitian adalah lembar tes, pedoman wawancara,
Lembar Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran, dan dokumentasi. Lembar Pengamatan
Keterlaksanaan Pembelajaran memuat deskripsi tertulis tentang aktivitas siswa dan aktivitas
guru selama pembelajaran.
Data dalam penelitian ini yaitu: hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian, hasil kerja siswa pada LKS, hasil tes siswa, hasil pengamatan aktivitas siswa, hasil
pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, keterlaksanaan pembelajaran, dan
wawancara. Sedangkan sumber data yaitu: validator, LKS, lembar tes siswa, Lembar
Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran, catatan lapangan, dokumentasi, dan siswa.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dan teknik
analisis data kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif berupa teknik analisis data yang
dikembangkan oleh Miles & Huberman (1994:10-11), yaitu: (1) mereduksi data, (2) penyajian
data, dan (3) menarik kesimpulan dan verifikasi data. Data yang dianalisis secara kualitatif
adalah Lembar Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran (data yang diperoleh berupa hasil
pengamatan aktivitas siswa dan kemampuan guru mengelola pembelajaran), wawancara (data
yang diperoleh berupa respon siswa), catatan lapangan, dan dokumentasi. Sedangkan data yang
dianalisis secara kuantitatif adalah hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen
penelitian, serta hasil tes.
HASIL
Paparan Data Penelitian
Hasil utama yang diperoleh dalam penelitian berupa langkah-langkah penerapan
pembelajaran Think-Pair-Share(TPS) untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran
matematika pada materi SPLDV. Hasil ini diperoleh berdasarkan hasil pengamatan aktivitas
siswa, hasil pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, hasil tes, dan hasil
wawancara untuk memperoleh respon siswa.
Pembelajaran TPS pada siklus I dikaji sebagai berikut. Hasil observasi aktivitas siswa
menunjukkan:(1) aktivitas siswa pada pertemuan 1 adalah tidak baik, (2) aktivitas siswa pada
pertemuan 2 adalah tidak baik, dan (3) aktivitas siswa pada pertemuan 3 adalah baik. Mayoritas
aktivitas siswa adalah tidak baik sehingga aktivitas siswa pada Siklus I dinyatakan tidak baik.
Hasil observasi aktivitas guru menunjukkan: (1) kemampuan guru mengelola
pembelajaran pertemuan 1 adalah tidak baik, (2) kemampuan guru mengelola pembelajaran
pertemuan 2 adalah baik, dan (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran pertemuan 3 adalah
baik. Dengan demikian, kemampuan guru mengelola pembelajaran pada Siklus I dinyatakan
baik.
Hasil wawancara dan tes pada siklus I sebagai berikut. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa tiga dari empat siswa yang diwawancara merasa senang dan berminat terhadap
pembelajaran yang telah dilaksanakan. Sehingga, respon siswa terhadap pembelajaran TPS pada
materi SPLDV dinyatakan positif.Berdasarkan rata-rata nilai tes siklus I, persentase siswa yang
mencapai KKM adalah 66%. Dalam penelitian ini, hasil tes dikatakan tidak baik jika kurang
dari 80% siswa mencapai KKM sehingga hasil tes siswa pada siklus I adalah tidak baik.
Berdasarkan uraian sebelumnya, pembelajaran Think-Pair-Share pada siklus I
dinyatakan tidak efektifkarena kriteria keefektifan pembelajaran (khususnya aktivitas siswa dan
hasil tes) tidak terpenuhi. Dengan demikian, diterapkan siklus II dengan harapan keefektifan
pembelajaran materi SPLDV akan mengalami peningkatan.Kekurangan dalam pelaksanaan
tindakan siklus I dan rencana perbaikannya diuraikan dalam tabel berikut.
350
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
351
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tidak baik jika kurang dari 80% siswa mencapai KKM. Sehingga, hasil tes siswa pada siklus II
dinyatakan tidak baik.
Pembelajaran TPS pada materi SPLDV dinyatakan belum efektif. Hal ini disebabkan
salah satu kriteria keefektifan pembelajaran, yaitu hasil tes tidak terpenuhi. Akan tetapi, siklus
(penelitian) telah dihentikan dengan pertimbangan: (1) berdasarkan pendapat Arikunto, dkk
(2012:23), Suyadi (2012:19), dan Daryanto (2011:30), penelitian tindakan kelas dapat dilakukan
minimal dalam dua siklus, dan (2) sekolah tidak mengizinkan penelitian lebih lanjut disebabkan
siswa harus melaksanakan Ujian Akhir Semester.
TEMUAN PENELITIAN
Pada Tahap Think, guru mengoptimalkan proses pendampingan agar bisa membantu
mayoritas siswa yang kesulitan mengerjakan LKS. Guru juga memberikan motivasi dan
menasehati siswa agar mengerjakan LKS secara individu. Berdasarkan observasi, tindakan ini
meningkatkan banyaknya siswa yang mengerjakan LKS secara Individu.
Pada Tahap Pair, guru meminta siswa menganggapi pertanyaan pasangannya. Guru
juga memotivasi bahwa siswa pasti bisa mengerjakan LKS jika saling bekerjasama dengan
anggota kelompoknya. Sehingga terjadi peningkatan banyaknya siswa yang aktif bekerjasama
menyelesaikan LKS Kelompok. Berdasarkan observasi, semua siswa menyumbangkan idenya
dalam diskusi kelompok.
Pada Tahap Share, guru menanyakan kepada kelompok lain apakah jawaban yang
dipresentasikan benar atau salah. Guru meminta kelompok lain dan menunjuk beberapa siswa
untuk menyampaikan pendapat jika jawabannya berbeda dengan hasil presentasi. Berdasarkan
observasi, tindakan ini meningkatkan partisipasi kelompok dalam diskusi kelas.
Terbatasnya pengawasan dan pendekatan guru kepada siswa berakibat masih ada siswa
yang membuat kegaduhan selama pembelajaran. Berdasarkan observasi, masih ditemui
beberapa siswa yang gaduh di kelas.
Pada kegiatan apersepsi untuk materi menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik,
guru kurang memperhatikan siswa yang tidak ikut menyampaikan pendapat. Beberapa siswa
menyampaikan pendapatnya dan menguasai materi prasyarat, yaitu menggambar grafik garis
lurus dengan benar. Selanjutnya, guru menganggap semua siswa telah mampu menggambar
grafik garis lurus. Tetapi, ternyata masih banyak siswa yang tidak dapat melakukannya.
PEMBAHASAN
Langkah-Langkah Pembelajaran Think-Pair-Share pada Materi Sistem Persamaan
Linear Dua Variabel
Tahap awal pembelajaran Think-Pair-Share (TPS)dalam penelitian ini adalah guru
menyampaikan topik dan tujuan pembelajaran. Kemudian guru menjelaskan langkah-langkah
pembelajaran yang akan dilaksanakan. Dengan menyampaikan tujuan dan langkah
pembelajaran, siswa mengetahui apa yang diharapkan untuk mereka pelajari. Sehingga siswa
dapat mengalokasikan waktu untuk kegiatan belajarnya. Siswa juga dapat memantau kemajuan
belajarnya berdasarkan materi yang seharusnya dikuasai. Sesuai dengan pernyataan Arends
(2007a:123) yaitu melalui pengkomunikasian tujuan unit dan berbagai kegiatan pembelajaran,
siswa dapat mengetahui apa yang diharapkan untuk mereka pelajari. Pengetahuan tentang
perencanaan unit dapat membantu siswa untuk mengalokasikan waktu belajar dan memantau
kemajuannya sendiri.
Tahap Think dilakukan dalam empat langkah. Langkah pertama, guru memberikan
permasalahan tentang SPLDV (berupa LKS Individu). LKS berisi permasalahan yang dapat
mengarahkan siswa untuk memahami materi SPLDV. Sehingga dalam proses pembelajaran,
siswa dapat terlibat aktif untuk menemukan konsep SPLDV.Langkah kedua, guru meminta
siswa untuk mengerjakan permasalahan dalam LKS secara individu. Pada langkah ini,
kemampuan individu siswa diperlukan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya sehingga
siswa dapat memahami materi melalui pengerjaan LKS.Sesuai dengan pendapat Hitipeuw
(2009:93) mengenai belajar dalam pandangan konstruktivistik kognitif, yaitu belajar adalah
proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan
yang bersifat individual dan internal.
Langkah ketiga, guru memantau dan memberikan bimbingan kepada siswa. Saat
memberikan bimbingan, guru berkeliling mendatangi siswa sehingga kegiatan masing-masing
352
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa dapat lebih teramati. Pada kegiatan ini, banyak siswa yang bertanya kepada guru tentang
kesulitannya mengerjakan LKS. Guru tidak memberikan jawaban secara langsung kepada siswa,
melainkan memberikan pertanyaan pancingan agar mereka dapat menemukan sendiri
jawabannya. Langkah keempat adalah meminta siswa mengumpulkan LKS Individu.
Tahap Pair dilakukan dalam lima langkah. Langkah pertama, guru membagi siswa ke
dalam pasangan-pasangan kelompok belajar TPS. Pemilihan anggota kelompok ditentukan
berdasarkan tingkat kemampuan siswa. Setiap pasangan terdiri dari siswa dengan kemampuan
yang heterogen.Langkah kedua adalah guru memberikan LKS kelompok kepada setiap
pasangan siswa. Langkah ketiga, guru meminta siswa untuk mendiskusikan LKS Kelompok.
Pada kegiatan ini, siswa bekerjasama dan saling berbagi ide untuk menemukan penyelesaian
masalah pada LKS. Langkah keempat adalah guru memantau dan memberikan bimbingan
kepada kelompok. Pelaksanaan bimbingan dilakukan seperti pada tahap sebelumnya, yaitu guru
berkeliling mendatangi masing-masing kelompok. Pada kegiatan ini, kelompok siswa bertanya
kepada guru apabila masih ada masalah yang tidak dipahami dalam diskusi. Langkah kelima
adalah guru meminta siswa mengumpulkan LKS Kelompok.
Tahap Share dilakukan dalam tiga langkah. Langkah pertama, guru memilih beberapa
kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Pemilihan kelompok presentasi dilakukan
secara acak. Kelompok yang terpilih menuliskan jawaban di papan tulis. Kemudian kelompok
tersebut menjelaskan jawabannya kepada seluruh siswa. Langkah kedua adalah meminta
kelompok lain untuk memberikan tanggapan terhadap jawaban yang dipresentasikan. Guru
melibatkan siswa dalam diskusi kelas dengan cara menanyakan persetujuan dan pendapat
kelompok lain terhadap jawaban presentasi. Kelompok lain menyampaikan pendapat apakah
jawaban yang dipresentasikan benar atau salah. Selain itu, kelompok lain juga menyampaikan
pendapat jika jawabannya berbeda dengan jawaban yang dipresentasikan. Langkah ketigaadalah
guru mengkonfirmasi kebenaran jawaban siswa. Kegiatan ini diperlukan agar siswa mengetahui
kebenaran dari hasil diskusi kelas.
Tahap akhir dari pembelajaran TPS adalah guru bersama siswa menyimpulkan hasil
pembelajaran. Kesimpulan dibuat bersama-sama dengan siswa sehingga siswa dapat mengingat
materi yang telah dipelajari.
353
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penelitian Wahyudi adalah aktivitas siswa berupa kerjasama dalam kelompok, keaktifan, serta
keberanian mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan. Muzaki (2012), menyatakan
bahwa Problem Based Learning melalui belajar kooperatif TPS sangat baik untuk
meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa.Kismanto (2008) menyatakan bahwa pembelajaran
TPS dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X.
Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran
Berdasarkan pengamatan, aktivitas guru pada siklus II mengalami perbaikan
dibandingkan dengan siklus I. Kemampuan guru mengelola pembelajaran siklus II adalah baik.
Sehingga, kemampuan guru mengelola pembelajaran dinyatakan memenuhi kriteria keefektifan
pembelajaran TPS pada materi SPLDV.
Respon Siswa
Hasil wawancara menunjukkan bahwa tiga dari empat siswa yang diwawancara merasa
senang dan berminat terhadap pembelajaran TPS yang telah dilaksanakan. Dengan demikian,
respon siswa terhadap pembelajaran TPS adalah positif. Respon siswa dinyatakan memenuhi
kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV. Respon siswa yang diamati dalam
penelitian ini sesuai dengan penelitian Mufidah, dkk (2013) yaitu kerjasama siswa, perasaan
bersemangat/tidak bersemangat, penguasaan materi, keberanian untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan. Mufidah menyatakan bahwa respon siswa kelas XI terus mengalami peningkatan
selama tiga siklus penelitian pembelajaran TPS.
Respon positif dalam pembelajaran TPS didukung pula oleh beberapa penelitian lain.
Marlina, dkk (2014) dan Wahyudi (2010)menyatakan bahwa respon siswa terhadap
pembelajaran TPS adalah positif. Pramesti (2010) menyatakan bahwa mahasiswa senang
dengan strategi pembelajaran TPS yang digunakan. Sehingga mereka termotivasi untuk lebih
giat belajar.
Hasil Tes Siswa
Hasil pembelajaran pada siklus II menunjukkan bahwa siswa dapat menguasai materi
menyelesaikan SPLDV dengan metode selain grafik. Nilai rata-rata tes pada siklus II rendah
disebabkan karena rendahnya nilai siswa pada topik tes menyelesaikan SPLDV dengan metode
grafik.
Kegiatan apersepsi untuk materi menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik berupa
tanya jawab mengenai materi prasyarat, yaitu menggambar garis lurus. Pada kegiatan apersepsi,
guru kurang memperhatikan siswa yang tidak menyampaikan pendapat. Sebagian siswa mampu
menggambar grafik garis lurus dengan benar sehingga guru menganggap semua siswa telah
menguasai materi apersepsi. Tetapi pada kegiatan mengerjakan LKS, ternyata masih banyak
siswa yang tidak dapat menggambar garis lurus. Akibatnya, siswa kesulitan mempelajari materi
menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik.
Tingkat penguasaan terhadap materi prasyarat mempengaruhi kemampuan siswa untuk
mempelajari materi berikutnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Slavin (2006:277), yaitu
kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru bergantung pada keterampilan atau pengetahuan
yang dibutuhkan untuk mempelajari materi baru tersebut. Siswa tidak akan mempelajari suatu
materi jika mereka memiliki kekurangan dalam keterampilan atau informasi prasyarat.
KESIMPULAN
Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) pada materi SPLDV dinyatakan belum efektif
karena kriteria keefektifan pembelajaran (khususnya hasil tes) tidak terpenuhi. Pembelajaran
TPS yang diterapkan dalam penelitian ini sebagai berikut.Kegiatan pada Tahap Think yaitu: (1)
guru memberikan permasalahan tentang SPLDV (berupa LKS Individu), (2) guru meminta
siswa mengerjakan permasalahan dalam LKS, (3) guru mendatangi siswa satu-persatu untuk
memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan mengerjakan LKS Individu,
bantuan diberikan dengan cara mengajukan pertanyaan pancingan agar siswa dapat menemukan
jawaban LKS, dan (4) meminta siswa mengumpulkan LKS Individu.
Kegiatan pada Tahap Pair yaitu: (1) guru membagi siswa ke dalam pasangan-pasangan
kelompok belajar, setiap pasangan terdiri dari siswa dengan kemampuan yang heterogen, (2)
guru memberikan permasalahan tentang SPLDV (berupa LKS Kelompok) kepada setiap
pasangan siswa, (3) guru meminta siswa mendiskusikan LKS secara berpasangan, (4) guru
mendatangi setiap kelompok siswa untuk memberikan bantuan kepada kelompok yang
mengalami kesulitan mengerjakan LKS Individu, bantuan diberikan dengan cara mengajukan
354
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pertanyaan pancingan agar siswa dapat menemukan jawaban LKS, (5) guru meminta setiap
siswa menaggapi pertanyaan pasangannya dalam diskusi kelompok, dan (6) guru meminta siswa
mengumpulkan LKS Kelompok.
Kegiatan pada Tahap Share yaitu: (1) guru memilih beberapa kelompok untuk
mempresentasikan hasil diskusinya, (2) guru meminta kelompok lain memberikan tanggapan
terhadap jawaban yang dipresentasikan, tanggapan dari kelompok lain berupa menyampaikan
apakah jawaban yang dipresentasikan benar atau salah, kelompok lain juga diminta
menyampaikan pendapat apabila jawabannya berbeda dengan jawaban yang dipresentasikan,
dan (3) guru mengkonfirmasi kebenaran jawaban siswa.
Indikator yang memenuhi keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV adalah
aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan respon siswa. Sedangkan
indikator yang tidak memenuhi keefektifan pembelajaran adalah hasil tes siswa.
Pembelajaran TPS pada materi SPLDV dapat meningkatkan aktivitas
siswa.Berdasarkan hasil pengamatan, aktivitas siswa pada siklus I adalah tidak baik sedangkan
aktivitas siswa pada siklus II adalah baik. Aktivitas siswa dinyatakan memenuhi kriteria
keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV.
Pada siklus I kemampuan guru mengelola pembelajaran adalah baik. Begitu pula pada
siklus II, kemampuan guru mengelola pembelajaran adalah baik. Dengan demikian, kemampuan
guru mengelola pembelajaran dinyatakan memenuhi kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada
materi SPLDV.
Respon dan nilai tes siswa sebagai berikut. Respon terhadap pembelajaran TPS pada
materi SPLDV adalah positif, maka respon siswa dinyatakan memenuhi kriteria keefektifan
pembelajaran TPS pada materi SPLDV. Berdasarkan rata-rata nilai tes siswa secara klasikal
pada siklus I dan siklus II, terjadi peningkatan rata-rata nilai tes. Tetapi, persentase siswa yang
mencapai KKM pada kedua siklus kurang dari 80% sehingga hasil tes adalah tidak baik. Hasil
tes dinyatakan tidak memenuhi kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV.
Saran
Salah satu kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV yang tidak
terpenuhi adalah hasil tes. Pembelajaran TPS dalam penelitian ini dinyatakan belum efektif.
Peneliti menyarankan untuk dilaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai pembelajaran TPS
yang dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran matematika (khususnya pada kriteria hasil
tes).Apabila selanjutnya dilakukan penelitian pada materi Sistem Persamaan Linear Dua
Variabel (SPLDV), disarankan agar masalah SPLDV diperluas dengan soal tentang SPLDV
yang tidak mempunyai penyelesaian dan SPLDV yang mempunyai tak-hingga banyaknya
penyelesaian.
DAFTAR RUJUKAN
Arends, R. I. 2007a. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar: Buku Satu (edisi7).
Terjemahan Soetjipto, H. P. & Soetjipto, S. M. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Arends, R. I. 2007b. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar: Buku Dua (edisi7).
Terjemahan Soetjipto, H. P. & Soetjipto, S. M. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Arikunto, S., Suhardjono. & Supardi. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
BSNP. 2013. Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2012-2013 SMP/MTs. (Online),
(https://www.dropbox.com/s/e23xdw1vht0av3h/DVD%20analisis%20penilaian2013.rar
), diakses 30 Mei 2014.
Daryanto. 2011. Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Tindakan Sekolah Beserta Contoh-
Contohnya. Yogyakarta: Gava Media.
Febriansyah, R., Edy, Y. & Asep, N. 2014. Analisis Kesulitan Siswa dalam Memahami Materi
Persamaan Linear Dua Variabel di Kelas X SMA. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran. (Online), 3 (2): 1-9.
(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/4453/4528), diakses 10 Agustus
2014.
Hitipeuw, I. 2009. Belajar & Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Malang.
Iswarini, F., Bambang, P. D. & Astuti, E. P. 2013. Eksperimentasi Model Pembelajaran Think-
Pair-Share Terhadap Prestasi Belajar Matematika Sub Pokok Bahasan Segitiga pada
Siswa Kelas VII SMPN 8 Purworejo Tahun Pelajaran 2011/2012. Jurnal Ekuivalen,
355
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
356
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kata kunci: kemasan minuman, Joyful Learning, bangun ruang sisi datar
Pendidikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia sudah
sepatutnya mendapat perhatian secara terus menerus. Untuk meningkatkan mutu pendidikan
perlu dilakukan pembaruan dalam bidang pendidikan. Pembaruan pendidikan perlu karena kita
harus berpegang teguh pada tantangan masa depan yang penuh dengan persaingan global.
Seiring perkembangan masyarakat yang ditandai oleh perkembangan tekhnologi informasi dan
komunikasi, tuntutan adanya kurikulum yang sesuai dengan zamannya menjadi relevan
(Suparno, 2002:69). Pada tahun 2013 diberlakukan kurikulum 2013 sebagai kelanjutan
kurikulum 2006, yang dianggap sesuai dengan perkembangan kebutuhan peserta didik, maupun
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan dijenjang persekolahan yaitu
Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama, dan Sekolah Menengah yang sesuai dengan
kurikulum (Soedjadi, 2003:37). Mata pelajaran matematika yang diberikan kepada siswa di
jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah diarahkan untuk mempersiapkan siswa agar
sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan didunia yang selalu berkembang,
melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien
dan efektif (Puskur, 2002).
Salah satu tujuan umum pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk
mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Depdikbud, 2004:1).
Setyaningsih (2009:3) berpendapat bahwa dalam hal belajar matematika, pada dasarnya
merupakan belajar konsep. Salah satu cabang matematika yang memuat banyak konsep dan
merupakan salah satu kesulitan siswa dalam belajar matematika adalah belajar dalam cabang
geometri. Geometri merupakan suatu pengetahuan yang berkaitan dengan bentuk (bangun),
sifat-sifat bangun, dan hubungan-hubungan yang ada diantara sifat-sifat dari bangun tersebut.
Geometri pada dasarnya sudah dikenal anak sejak kecil. Anak-anak mengenal geometri
melalui benda-benda yang ada di lingkungan sekitar. Oleh karena kehidupan dikelilingi dan
dibentuk dari bangun-bangun (bangun ruang, bangun datar), maka pembelajaran geometri perlu
didasari dan diarahkan agar siswa mampu untuk memahami bangun-bangun yang ada
disekitarnya. Bangun ruang sisi datar khususnya kubus dan balok yang merupakan salah satu
cabang dari geometri mempunyai peranan penting dalam bidang matematika dan banyak
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, penguasaan terhadap kubus dan balok
perlu ditekankan pada siswa sejak dini.
Meskipun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penguasaan siswa
terhadap materi bangun ruang kubus dan balok masih rendah. Hal ini tidaklah mengherankan
357
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
karena Pembelajaran matematika yang digunakan selama ini adalah pembelajaran konvensional,
di mana metode tersebut lebih banyak ditransfer oleh guru kepada siswa. Pembelajaran
konvensioanl didominasi oleh ceramah dan cara-cara yang mengedepankan pemberian
pengetahuan prosedural. Pembelajaran konvensional yang dilakukan guru merupakan
pembelajaran secara gamblang atau mudah saja, melalui mencatat definisi-definisi pada buku
teks, pemberian contoh, latihan soal-soal atau penugasan, tanpa memikirkan taraf berfikir anak
yang memiliki kemampuan berfikir rendah atau dangkal.
Ada tiga kemungkinan yang terkait dengan pembelajaran konvensional. Antara lain (1)
guru seringkali mengutamakan buku teks atau LKS sebagai bahan utama pembelajaran (Hiebert
et al. 2003). (2) guru fokus pada perolehan keterampilan dasar menjawab soal-soal melalui
pengulangan masalah secara prosedural tanpa memperhatikan proses yang harus dipahami anak
(Schoenfeld, 2006). (3) guru sering memberikan tantangan soal pada siswa dengan maksud
mengembangkan penalaran matematika siswa, namun kadang membuat siswa kebingungan
sehingga merugikan guru itu sendiri (Sullivan et al 2009). Pembelajaran diatas dikenal dengan
“Shallow Teaching Syndrome” (STS) atau penyakit mengajar dangkal, mau gampangnya saja.
Tentu saja STS itu harus di hindari untuk dilakukan karena dengan cara seperti itu, tidak akan
cukup untuk membuat siswa memahami matematika secara bermakna.
Sesuai dengan pendapat Ausubel (dalam Salirawati, 2008:10) bahwa belajar akan
bermakna jika anak didik dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah
ada dalam struktur kognitifnya, dan pendapat Bruner (1991) yang menyatakan belajar akan
berhasil lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar (anak
didik). Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang dipelajari
ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar sudah
familiar di kepala kita.
Menyadari pentingnya materi geometri bangun ruang sisi datar khususnya kubus dan
balok, perlu kiranya dilakukan usaha yang serius dalam membangun pemahaman siswa terhadap
materi kubus dan balok. Pemahaman konsep yang baik sangat penting, karena untuk
memahami konsep yang baru diperlukan prasyarat pemahaman konsep sebelumnya. Jika dalam
memahami konsep matematika diperlukan media atau alat peraga yang dapat membantu siswa,
maka seyogyanya guru menyiapkan media atau alat peraga.
Media pembelajaran adalah salah satu faktor yang mendukung keberhasilan proses
pembelajaran. Karena media pembelajaran berfungsi sebagai perantara atau pengantar pesan
dari guru (tenaga pendidik) kepada penerima pesan (peserta didik). Penggunaan media yang
sesuai dengan karakter materi pelajaran, pembelajaran akan merasa menarik, membuat siswa
senang dan materi pelajaran akan dengan enak diterima peserta didik serta mudah dipahami.
Apalagi bila didukung dengan penggunaan media yang tepat dan menarik, misalnya pada materi
bangun ruang sisi datar menggunakan kemasan minuman sebagai media pembelajaran,
diharapkan siswa dapat melakukan pembelajaran secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan.
358
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
media itu dengan karakteristik siswa, disamping kriteria lain seperti kualitas dan teknik
penggunaan, kepraktisan serta kemudahan memperolehnya.
Kemasan minuman dalam penelitian ini adalah kemasan minuman berbentuk kubus dan
balok, yaitu bangun tiga dimensi yang memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi yaitu bangun
yang dapat dilihat dari semua sisinya. Penggunaan kemasan minuman yang berbahan dasar
kertas dengan bentuk tiga dimensi, seperti kemasan minuman teh kotak, kemasan minuman susu
indomilk, dan lain-lain. berbentuk kubus dan balok dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar
untuk memahamkan siswa konsep-konsep tentang kubus dan balok, membuat jaring-jaring
kubus dan balok, dan melakukan pengukuran seperti menghitung luas permukaan dan volume
kubus dan balok. Penggunaan kemasan minuman dapat menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian siswa,
sehingga tujuan pembelajaran dalam proses belajar tercapai.
Apabila dalam belajar, masih diperoleh banyak siswa belum mengalami ketuntasan
dalam belajar,maka dapat disimpulkan bahwa penyebab masalah adalah pada proses
pembelajaran yang dilaksanakan guru. Metode pembelajaran dan suasana belajar yang kurang
menyenangkan menjadi salah satu faktor penyebab siswa kesulitan memahami konsep-konsep
matematika. Guru lebih suka menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas, serta kurang
berorientasi pada tingkat berfikir siswa. Akibatnya siswa menjadi jenuh dan dan malas untuk
belajar matematika. Hal ini diasumsikan menjadi penyebab rendahnya hasil belajar matematika
karena guru dalam menerapkan model pembelajaran kurang tepat.
Metode pembelajaran jenisnya beragam, masing-masing memiliki kelebihan dan
kelemahan, sehingga pemilihan metode yang sesuai dengan topik atau pokok bahasan yang akan
diajarkan perlu dipikirkan dengan baik oleh guru yang akan menyampaikan materi pelajaran.
Perbaikan pada proses pembelajaran sangat penting agar diperoleh hasil belajar benar-benar
berkualitas. Terkait dengan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya,
metode joyful learning merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat dijadikan
alternatif dalam menciptakan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan (Ochimath, 2012).
Hayati (2012) mengemukakan bahwa pembelajaranyang merangsang adanyapartisipasiaktif dari
siswa sehingga dalam proses pembelajaran akan terjadi komunikasi yang aktif antara guru
dengan siswa dan antara siswa itu sendiri adalah metode joyful learning.
Metode joyful learning terdiri atas enam fase yaitu penyampaian tujuan dan memotivasi
siswa, penyampaian materi, penjelasan mengenai langkah-langkah, pelaksanaan, pencapaian
hasil, dan refleksi (Holil, 2009).
359
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian, Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu,
penelitian ini lebih menekankan pada proses pembelajaran dari pada hasil. Peneliti
membutuhkan data tentang tanggapan siswa, dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.
Pengambilan data diambil secara alami, yaitu sesuai dengan kejadian dalam penelitian. Selain
Selain itu, peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian, karena peneliti yang
merencanakan, melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan
membuat laporan. Rancangan penelitian ini mengacu pada perbaikan pembelajaran yang
berkesinambungan. Jadi jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas (PTK). Penelitian ini melibatkan guru (peneliti) secara penuh dalam proses
perencanaan (plan), pelaksanaan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection).
Keempat komponen tersebut adalah langkah-langkah dalam satu siklus.
Berikut diagram alir rancangan penelitian yang mengacu pada model Kemmis dan
Taggart. Langkah-langkah penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Pendahuluan
Tidak
Revisi Perencanaan Berhasil
Ya
Laporan
/selesai
Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas VIII-A SMP Negeri 2 Sikur dengan jumlah
siswa 33 orang. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) Skor hasil tes
pratindakan dan hasil tes akhir tindakan. Tes pratindakan dimaksudkan untuk mengecek materi
prasyarat siswa dan untuk selanjutnya dijadikan dasar penentuan kelompok. Tes akhir tindakan
berupa tes pada materi bangun ruang sisi datar kubus dan balok. Tes akhir tindakan ini untuk
mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang telah dipelajari. (2) Hasil
pengamatan tentang aktivitas guru dan aktivitas siswa selama pembelajaran melalui metode
joyful learningmenggunakan kemasan minuman bentuk kubus dan balok. (3) Hasil wawancara
terhadap subyek wawancara, yaitu 6 siswa yang terdiri dari 2 siswa berkemampuan tinggi, 2
siswa berkemampuan sedang, dan 2 siswa berkemampuan rendah. Pemilihan subyek wawancara
360
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dilakukan berdasarkan hasil tes awal dan pertimbangan guru matematika bahwa siswa-siswa
tersebut mudah diajak komunikasi.
Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2009:129). Pada
penelitian ini data hasil tes awal, hasil tes akhir siklus, dan data hasil wawancara. Data observasi
bersumber dari observer setelah mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa selama proses
pembelajaran. Data hasil validasi perangkat dan instrumen penelitian bersumber dari validator
yang terdiri dari dua dosen matematika yang sudah berpengalaman. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah lembar observasi, lembar validasi, dan lembar tes siswa.
Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah:(1)
validasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian,(2) observasi aktivitas guru dan siswa,
(3) wawancara, dan (4) tes. Kemudian data dicek keabsahannya, cara untuk mengecek
keabsahan data melalui triangulasi yaitu pengecekan data dari yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data.
Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi dengan sumber, yaitu
membandingkan data hasil pengamatan teman sejawat dengan hasil observasi lain, disamping
hasil pekerjaan peserta didik atau tes, dan data hasil wawancara. (Moleong, 2000:327).
Gambar 4. Aktivitas Siswa Dalam Menemukan Jaring-Jaring, Menentukan Luas Permukaan dan
Volume
Hasil penelitian pada siklus I menunjukkan bahwa hanya diperoleh hasil 84,85% siswa
yang mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Walaupun siswa menunjukkan respon yang
positif pada pembelajaran kubus dan balok, namun hasil belajar siswa secara keseluruhan belum
361
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memenuhi kriteria keberhasilan. Hal ini disebabkan masih terdapat siswa yang kurang
memahami prosedur atau langkah-langkah penyelesaian soal-soal aplikatif. Oleh karena itu
penelitian dilanjutkan ke siklus II. Berdasarkan kekurangan yang terjadi pada siklus I, maka
pada siklus II difokuskan pada pengaplikasian yang melibatkan konsep-konsep pada kubus dan
balok dalam pemecahan masalah. Hasil belajar pada siklus II menunjukkan bahwa 90,91%
siswa telah mencapai KKM. Dengan demikian siswa telah memahami bangun ruang sisi datar
kubus dan balok.
Temuan Siklus 1
Siswa melakukan
kesalahan prosedural
tidak mencari lebar
balok terlebih dahulu
sebelum mencari luas
permukaan kubus
Temuan Siklus 2
Siswa melakukan
kesalahan prosedur
dalam melakukan
operasi hitung
362
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ada beberapa teori atau hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan
antara oleh Tety Astuti (2011) dalam penelitiannya tentang pengaruh joyful learning pada
materi kelarutan dan hasil kali kelarutan menyimpulkan bahwa dengan penerapan model
pembelajaran joyful learning berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Selanjutnya,
Wang Wei (2011) dalam penelitiannya tentang pembelajaran perkalian matematika
menyimpulkan bahwa JCLS dapat membantu anak-anak peserta didik untuk memiliki
pengalaman belajar yang lebih baik dalam hal pengalaman belajar, belajar konstruktivis dan
pembelajaran yang menyenangkan. Banyak pelajar menjawab bahwa Joyful Classroom
Learning System (JCLS) dapat meningkatkan motivasi belajar mereka dan membantu mereka
berkonsentrasi pada pengajaran dan kegiatan belajar.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S. 2009. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Astuti, T. 2011. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Joyful Learning Berbantuan Modul
Smart-Interaktif Pada Hasil Belajar Materi Kelarutan Dan Hasil Kali Kelarutan. thesis,
Universitas Negeri Semarang.
Bruner, J.1961. The process of education. Cambridge, MA : Harvard University Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Standar Kompetensi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran
Matematika SMP dan MTs. Jakarta: Puskur.
Hayati, S. 2003. Pendekatan Joyful Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan Lingkungan
Hidup (PLH)http://pakguruonline/pendidikan.net diakses 27 Februari 2013
Hiebert, J. 2003. Teaching mathematics in seven countries: Results from the TIMSS 1999 Video
Study. Washington: National Centre for Education Statistics, U.S. Department of
Education
Holil, A. 2009, Joyful Learning sebagai Landasan Pembelajaran Siswa Aktif
(online)http://blogspot.com200901joyfullearningsebagailandasan.html diakses 27
Februari 2013
363
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Choppin, J. 2011. The Role Of Local Theories: Teacher Knowledge And Its Impact On
Engaging Students With Challenging Tasks. Published: 22 April 2011. OO Mathematics
Education Research Group of Australasia, Inc. 2011
Moleong, L.J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nana Sujana dan Ahmad Rivai.2002. Media pengajaran. Bandung : Sinar Baru.
Ochimath, 2012. Peningkatan Keaktifan Belajar Matematika Melalui Metode Pembelajaran
Berbasis Joyful Learning (online) http://ochimath. wordpress.com/2012/01/12/-
peningkatan-keaktifan-belajar-matematika-melalui-metode-penbelajaran-berbasis-
joyful-learningdiakses tanggal 28 Februari 2013.
Piaget, J. 1960. The child’s conception of the world. Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press.
Pijl, M. 2009. Students Discussing Their Mathematical Ideas: The Role Of The Teacher.
Published: 1 December 2011 The Author(s) 2011. This article is published with open
access at Springerlink.com
Puskur, 2002. Kurikulm dan Hasil Belajar. Kompetensi dasar mata pelajaran Matematika
sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Russell, J.D. 2012. Instructional Technologi And Media For Learning (Teknologi Pembelajaran
dan Media untuk Belajar). Jakarta: Kencana
Salirawati, D. 2008. Metode Pembelajaran Inovatif Sebagai Magnet Belajar : Makalah ini
disampaikan dalam rangka Lokakarya Metode Pembelajaran Inovatif dan Sistem
Penilaiannya, Program Hibah Kompetisi (PHK) A-2 Jurdik Kimia FMIPA UNY,
Jum’at, 24 Oktober 2008, di Ruang Sidang FMIPA UNY.
Schoenfeld, A. 2006. What doesn’t work: The challenge and failure of the What Works
Clearinghouse to conduct meaningful reviews of studies of mathematics curricula.
Educational Researcher, 35(2), 13–21.
Setyaningsih, R. 2011. Peningkatan Pemahaman Konsep Geometri dan Pengukuran dengan
Pendekatan Kontekstual melalui Pemanfaatan Barang Bekas sebagai Media
Pembelajaran. Makalahdisajikan pada Seminar Nasional Matematika Prodi
PendidikanMatematika,Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011,
(Online),(repository.upi.edu/ operator/upload/s_d025_030242_ bibliography.pdf),
diakses 22 September 2013.
Soedjadi, R. 2003. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstanti Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
Suherman, Y. 2009. Pengembangan Media Pembelajaran bagi ABK. Makalah Disampaikan
pada Diklat Profesi Guru PLB Wilayah X Jawa Barat, Bandung, 2009, (Online), (
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._ LUAR_BIASA /1966102519 93031-
YUYUS_SUHERMAN/I.Makalah /Pengembangan media Pembelajaran.pdf ), diakses
22 September 2013
Sullivan, P. 2009. Converting mathematics tasks to learning opportunities: An important aspect
of knowledge for mathematics teaching. Mathematics Education Research Journal,
21(1), 85–105.
Suparno, P. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Vincent, J. dkk. 2008. Do mathematics textbooks cultivate shallow teaching? Applying the
TIMSS video study criteria to Australian eighth-grade textbooks. Mathematics
Education Research Journal, 20(1), 82–107.
Wang W.C dkk. 2011. “A Joyful Classroom Learning System With Robot Learning Companion
For Children To Learn Mathematics Multiplication”. The Turkish Journal Of
Educational Technology/ Vol. 10 No. 2, pp. 1-13
364
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyara- kat, berbangsa
dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan
sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat
yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (Trianto, 2010:11).
Namun sampai saat ini nilai Matematika siswa Indonesia belum menunjuk kan hasil
yang memuaskan. Seperti yang dikemukakan oleh Rochmani (2013), anggota komisi X DPR
RI, ia menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-
negara lain. Hal ini terbukti dari riset yang dilakukan oleh Program for International Student
Assessment (PISA) yang menyatakan bahwa nilai Matematika siswa kelas VIII Indonesia masih
kalah dengan negara yang sedang mengalami konflik seperti Palestina. Bahkan Indonesia
menempati urutan 10 besar terendah di dunia (Rochmani, 2013)
Rendahnya hasil nilai ulangan matematika tersebut adalah suatu hal yang wajar
karena selama ini fakta di lapangan menunjukkan proses pembelajaran yang terjadi masih
berpusat pada guru, suasana kelas cenderung teacher centered sehingga siswa menjadi
pasif. Siswa lebih sering hanya diberikan rumus-rumus yang siap pakai tanpa memahami makna
dari rumus-rumus tersebut. Siswa sudah terbiasa menjawab pertanyaan dengan prosedur rutin,
sehingga ketika diberikan masalah yang sedikit berbeda maka siswa akan kebingungan
(Soedjadi, 2000: 30).
Hal ini menurut peneliti disebabkan oleh cara pembelajarannya yaitu siswa langsung
diberikan rumus dan kemudian diberikan latihan-latihan, tanpa tahu bagaimana rumus tersebut
diperoleh. Sehingga siswa cenderung hanya menghafal rumus-rumus atau konsep-konsep
tersebut yang pada akhirnya rumus-rumus atau konsep-konsep tersebut tidak bertahan lama
dalam ingatan siswa. Dan dari wawancara dengan beberapa siswa, diperoleh keterangan bahwa
kalau guru mengajar cuma diterangkan, diberikan rumus dan disuruh mengerjakan latihan.
Siswa kurang dilibatkan dalam setiap pembelajaran. Bagi siswa pembelajaran cenderung
membosankan, dan respon mereka terhadap pembelajaran tidak menyenangkan. Sehingga siswa
banyak yang ngantuk dan ngomong sendiri dengan temannya. Guru sudah berupaya membuat
pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa tapi hasilnya kurang memuaskan.
Menurut Sunardjo (2010) suasana menyenangkan di kelas seharusnya sudah
dibangkitkan sejak awal pembelajaran. Dave Meier (dalam Sunardjo) menyatakan dalam
bukunya yang berjudul The Accelerated Learning Handbook menuliskan “Menyenangkan atau
membuat suasana belajar dalam keadaan gembira bukan berarti membuat suasana ribut atau
hura-hura. Kegembiraan disini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh, serta
365
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
terciptanya makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang dipelajari), dan nilai yang mem-
bahagiakan dalam diri siswa.”
Salah satu teori-teori pembelajaran yang didasarkan pada cara siswa belajar aktif adalah
teori pembelajaran konstruktivis. Dalam hal ini guru dibim- bing untuk menggunakan strategi
pengajaran yang memperhatikan kondisi siswa dan bukannya memperhatikan diri sendiri.
Senada dengan hal ini Bruner (dalam Trianto, 2010:79) mengatakan bahwa inti belajar yang
terpenting adalah cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi
informasi secara aktif.
Metode penemuan terbimbing adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan
guru sebagai fasilitator, guru membimbing siswa dimana ia diper- lukan, siswa didorong untuk
berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan
bahan atau data yang telah disediakan guru (Rachmadi, 2004:4). Menurut Wilconx(dalam Nur,
2008:10) mengatakan bahwa pembelajaran penemuan (discovery learning) merupakan metode
pengajaran dimana siswa didorong untuk menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Menurut Ruseffendi (2006: 329) metode penemuan adalah metode mengajar yang mengatur
pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya
belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan
sendiri.
Berdasarkan uraian tentang pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing dan
temuan-temuan yang dihasilkan dalam pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan
terbimbing, maka peneliti akan melakukan penelitian pembelajaran di SMP Negeri 1 lamongan
pada materi Lingkaran dengan judul: “Pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing
untuk memahamkan siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan pada materi Lingkaran”.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: “Bagaimana
pelaksanaan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing yang dapat memahamkan
siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan pada materi Lingkaran dan bagaimana respon
siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan terhadap pembelajaran dengan metode penemuan
terbimbing pada materi Lingkaran”.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena
sumber data diperoleh dari situasi yang wajar dan natural sesuai dengan situasi dan kondisi
kelas yang sebenarnya. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan Classroom Action Research
atau PTK (Penelitian Tindakan Kelas) karena tujuan penelitian ini tidak hanya memperoleh
pengetahuan tapi sekaligus melakukan tindakan untuk memperbaiki atau meningkatkan situasi
yang ada.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tes
yang dilakukan adalah tes awal dan tes akhir siklus, berbentuk uraian dengan masing-masing
terdiri dari 4 butir soal. Tes awal adalah tes yang dilaksanakan sebelum pelaksanaan siklus,
bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal yang dimiliki subjek penelitian dan sebagai dasar
dalam pembentukan kelompok. Tes akhir dilakukan setiap akhir siklus pembelajaran dan
diberikan secara individu yang bertujuan untuk mengetahui kemajuan hasil belajar siswa
terhadap materi yang telah dipelajari dengan menggunakan metode penemuan terbimbing
berkelompok.
Menurut Moleong (2009: 186) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,
dimana percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.Wawancara dilakukan dengan tujuan menggali informasi dan pemahaman siswa
setelah mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berkelompok pada
materi lingkaran .
Siswa yang dipilih oleh peneliti sebagai subyek wawancara berdasarkan hasil tes awal
siswa, yang terdiri dari 3 siswa dengan rincian 1 siswa memperoleh nilai tes tertinggi, 1 siswa
memperoleh nilai tes rata-rata dan 1 siswa memperoleh nilai tes terendah. Wawancara dilakukan
setelah tes akhir dilaksanakan dan diluar jam pelajaran, sehingga tidak menggaggu kegiatan
belajar siswa. Wawancara dilakukan berdasarkan pada format wawancara yang telah disediakan.
Observasi atau pengamatan dilakukan untuk mengamati kegiatan siswa di kelas selama
pembelajaran berlangsung dan kegiatan peneliti sebagai guru. Observasi ini bertujuan untuk
366
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mengetahui adanya kesesuaian antara pelaksanaan siklus dan rencana yang telah disusun
sebelumnya. Kegiatan observasi dilakukan oleh 2 orang guru mata pelajaran Matematika
dengan menggunakan lembar observasi yang telah disediakan peneliti.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini didasarkan pada 3 kriteria (1) skor tes akhir siklus minimal 85% siswa
yang mencapai KKM yang ditetapkan sekolah yaitu 80, (2) Persentase rata-rata hasil
pengamatan aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru lebih dari 80% (dalam kategori baik). (3)
Dari hasil wawancara setelah siklus II terhadap 3 subyek wawancara menyatakan senang
terhadap materi lingkaran setelah mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan
terbimbing.
Data hasil tes akhir siklus I, sebanyak 23 siswa yang mendapatkan skor ≥ 80 dan 7
siswa yang mendapatkan skor < 80 sehingga persentase ketuntasan siswa secara klasikal adalah
76,7% (belum memenuhi kriteria pemahaman siswa).
Sedangkan pada siklus II, sebanyak 27 siswa yang mendapatkan skor ≥ 80 dan 3 siswa yang
mendapatkan skor < 80 sehingga persentase ketuntasan siswa secara klasikal adalah 90% (telah
memenuhi kriteria pemahaman siswa). Jadi telah meningkat 13,3%.
Observasi terhadap aktivitas guru yang dilakukan oleh 2 observer pada siklus I
menunjukkan bahwa persentase skor rata-rata adalah 88%, sedangkan pada siklus II adalah
91,15%. Jadi telah meningkat 3.15%. Untuk aktivitas siswa pada siklus I menunjukkan bahwa
persentase rata-rata adalah 84,1%. Sedangkan pada siklus II adalah 90,34%. Jadi telah
meningkat 6,24%
Dari ketiga subyek wawancara didapatkan hasil bahwa mereka senang setelah
mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing secara
berkelompok pada materi lingkaran.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing yang dapat
memahamkan siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan pada materi lingkaran terbagi
menjadi 3 kegiatan, yaitu : Kegiatan awal, merupakan kegiatan pendahuluan untuk
mempersiapkan siswa agar benar-benar siap belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Orton
(1992:9–10), yang menyatakan bahwa peserta didik yang siap untuk belajar akan belajar lebih
banyak daripada peserta didik yang tidak siap.
Pada kegiatan awal dimulai dengan mengarahkan siswa agar duduk sesuai dengan
kelompoknya masing-masing. Pembentukkan kelompok sudah dilaksanakan sebelum
pelaksanaan kegiatan dan didasarkan pada hasil tes awal siswa, kelompok yang terbentuk terdiri
atas 5 kelompok dengan 6 anggota. Pada tiap kelompok mempunyai kemampuan yang sama.
Pemilihan kelompok sebanyak 5 atau 6 anggota ini didasarkan pada alasan, jika satu
kelompok hanya terdiri dari 2 anggota, maka interaksi antar anggota kelompok akan sangat
terbatas dan kelompok menjadi terhenti jika salah satunya tidak hadir. Sebaliknya jika dalam
kelompok yang mempunyai anggota sangat besar, sukar bagi setiap siswa untuk mengutarakan
pendapat-pendapatnya dalam melakukan kerja sama.Pembagian kelompok yang beranggotakan
5 atau 6 siswa sesuai pendapat Artzt dan Newman (dalam Suherman, 2001:220-221) bahwa jika
kelompok terlalu kecil akan mengakibatkan interaksi yang terbatas dan jika terlalu besar akan
mengakibatkan kesulitan dalam melakukan koordinasi dan mencapai kesepakatan.
Dengan menyampaikan tujuan pembelajaran maka siswa mengetahui arah yang ingin
dicapai dalam pembelajaran, sehingga siswa termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran dan
akhirnya hasil pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Hal ini mendukung pendapat
Dahar (1988:174) bahwa penyampaian tujuan pembelajaran selain dapat memotivasi juga dapat
memusatkan perhatian siswa terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran.
Melakukan tanya jawab untuk menggali pengetahuan awal siswa tentang materi
sebelumnya. Hal ini sangat berguna bagi siswa dalam mempersiapkan diri untuk memulai
pembelajaran. Dengan tanya jawab diharapkan siswa dapat mengetahui dasar dari materi yang
akan digunakan, sehingga siswa mengetahui gambaran tentang materi yang akan dipelajari.
Hal ini didukung oleh hirarki belajar Gagne yang menyatakan bahwa penguasaan suatu
pengetahuan pada umumnya membutuhkan penguasaan terhadap pengetahuan atau kemampuan
prasyarat. Penyampaian materi prasyarat ini sesuai dengan pendapat Ausubel dalam Trianto
367
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(2008:55) bahwa pengetahuan prasyarat dapat berfungsi untuk membantu siswa menanamkan
pengetahuan baru dari suatu materi, sangat diperlukan konsep-konsep awal (pengetahuan
prasyarat) yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari.
Kegiatan inti dimulai dengan memberikan permasalahan dalam bentuk Lembar Kerja
Siswa (LKS) yang dapat mengarahkan siswa untuk dapat memahami materi lingkaran. LKS ini
berisi permasalahan-permasalahan yang dapat membawa/menuntun siswa memahami materi
yang dipelajari. Penggunaan LKS terbukti sangat membantu arah kerja siswa. Langkah-langkah
yang ditentukan dalam LKS merupakan suatu bentuk bantuan bagi siswa. Meskipun demikian,
LKS tidak menuntun siswa secara mutlak. Siswa diberikan kebebasan untuk mengungkapkan
ide dan kreativitasnya. Dengan demikian, siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri
bersama dengan kelompoknya secara aktif dengan bantuan LKS.
Hal ini didukung oleh pendapat Machmud (2001:7) yang menyatakan bahwa LKS
dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan. Setelah
LKS diterima oleh masing-masing kelompok, guru memberikan penjelasan untuk melengkapi
keterangan yang ada dalam LKS. Dari permasalahan itu siswa melakukan diskusi dengan
kelompoknya. Setelah masalah diterima dalam bentuk LKS, maka langkah berikutnya
pengumpulan data dengan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam LKS dengan
melakukan diskusi kelompok. Manfaat diadakannya diskusi kelompok adalah untuk
meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari.
Hal ini sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996:282) yang menyatakan
bahwa pemahaman siswa akan meningkat karena adanya interaksi dalam kelompok. Lebih
lanjut dikatakan bahwa tanggung jawab kelompok akan mendorong siswa untuk bekerja sama
dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Selain itu, manfaat diadakannya diskusi kelompok
adalah untuk melatih siswa berani mengemukakan pendapat, bersedia menerima pendapat orang
lain, dan bersedia menerima perbedaan. Dalam diskusi itu siswa secara aktif melakukan
penemuan dengan kelompoknya. Penemuan dilakukan sendiri oleh siswa serta tidak langsung
diberikan guru, akan menghasilkan pengetahuan yang bermakna.
Penemuan sendiri oleh siswa ini sesuai pendapat Bruner (dalam Dahar,1988:125) yang
menyatakan bahwa berusaha sendiri untuk menemukan pengetahuan akan menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna. Lebih lanjut Ausubel (dalam Hudojo, 2005:95)
mengatakan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara bermakna dapat diingat lebih lama dan
akan mampu menggunakannya ke dalam konteks yang lain.
Setelah diskusi kelompok, kegiatan selanjutnya adalah pemprosesan data dilakukan
dengan presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas. Presentasi hasil diskusi kelompok
diberikan kesempatan kepada salah satu kelompok yang mengajungkan tangan terlebih dahulu.
Hal ini diperlukan untuk dapat memupuk keberanian siswa dalam menyampaikan pendapatnya.
Dalam diskusi ini, memungkinkan adanya pembetulan kesalahan yang dilakukan oleh
kelompok yang mempresentasikan. Jawaban-jawaban yang salah dikoreksi oleh kelompok lain
dengan cara bertanya atau sanggahan. Koreksi yang diberikan kelompok lain dan mengamati
penyajian kelompok lain saat sharing sangat berguna untuk memperbaiki kesalahan yang
dilakukan suatu kelompok. Koreksi dan sharing pada saat diskusi kelas sesuai dengan pendapat
Sutawidjaja (2002:358) bahwa ketika kelompok menyajikan laporannya (benar atau salah),
kelompok akan mempunyai kesempatan berharga untuk memperbaiki laporan mereka.
Pemberian penghargaan terhadap presentasi kelompok diskuai dan tanya jawab yang
terjadi membuat siswa senang. Aplaus yang diberikan oleh siswa lain membuat siswa yang
mempresentasikan hasil diskusi menjadi senang dan percaya diri. Penghargaan ini ternyata
dapat memotivasi siswa dalam belajar. Didukung oleh pendapat Hudojo (1988) bahwa
penghargaan sangat diperlukan untuk meningkatkan sikap, rasa puas, dan bangga siswa
terhadap matematika.
Peneliti dan 2 observer berkeliling untuk memberikan bimbingan kepada siswa yang
mengalami kesulitan dalam memahami permasalahan. Kegiatan yang dilakukan guru ini
merupakan proses scaffolding yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada peserta didik selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberikan kesempatan peserta
didik untuk mengambil ahli tanggung jawab saat mereka mampu.
Kegiatan penutup dengan mengadakan evaluasi melalui tanya jawab lisan untuk
mengecek kembali pemahaman siswa. Peneliti perlu memastikan bahwa semua siswa dapat
memahami materi yang baru dipelajari. Kegiatan akhir dalam pembelajaran ini adalah
368
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mengarahkan siswa menuliskan hasil diskusi kelas sebagai simpulan akhir pembelajaran dan
mengerjakan tes. Membuat simpulan ini sesuai dengan pendapat Degeng (1997:28) bahwa
membuat rangkuman atau kesimpulan dari apa yang telah dipelajari perlu dilakukan untuk
mempertahankan retensi.
Hudojo (1988:109) mengungkapkan bahwa pengalaman belajar peserta didik juga
dipengaruhi oleh situasi lingkungan belajar yang diberikan. Kondisi itu dikarena masing-masing
kelompok memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan anggota kelompoknya. Hendaknya
dalam proses pembelajaran, penyusunan kelompok hanya dilakukan sekali sehingga pada
pertemuan-pertemuan berikutnya siswa sudah dapat berinteraksi dan bekerja sama dengan baik
bersama kelompoknya. Hal ini cukup berpengaruh terhadap lancarnya pelaksanaan
pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing.
Lie (2002:45) menyatakan bahwa kelompok yang lebih permanen akan sangat
menghemat waktu, memudahkan pengelolaan kelas, dan meningkatkan semangat gotong royong
karena siswa sudah saling mengenal dengan cukup baik dan terbiasa dengan cara belajar rekan-
rekannya yang lain. Untuk itu pada siklus II sudah tidak ditemuai lagi kelompok diskusi yang
tidak bisa bekerja sama dengan anggota kelompoknya, dikarenakan mereka sudah terbiasa
bekerja dengan kelompoknya, sudah saling mengenal dengan baik dan akrab.
Menurut pendapat Lie (dalam Gintings, 2008:217) bahwa dalam kerja kelompok siswa
dengan kemampuan yang lebih tinggi akan menularkan dan mendorong siswa yang lebih rendah
kemampuannya. Dan pada saat presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas, aktivitas
siswa semakin nampak maksimal dan merata. Kebanyakan siswa sudah dapat menyesuaikan diri
dengan baik pada pembelajaran yang dilaksanakan. Terlihat jelas pada saat diskusi kelas
dilakukan, hampir semua kelompok sudah bisa bekerja sama dengan anggota kelompoknya.
Pada waktu mempresentasikan hasil diskusi, tidak hanya didominasi oleh siswa yang
berkemampuan tinggi saja, tetapi siswa yang berkemampuan rendah juga sudah mulai aktif
ambil bagian. Diskusi kelas juga dapat melatih siswa untuk lebih kreatif dan menyebabkan
pemahaman siswa semakin berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan semakin optimalnya pembelajaran adalah siswa semakin berani dan mau
mengeluarkan ide-idenya karena merasa termotivasi untuk bertanggung jawab terhadap hasil
diskusi kelompoknya yang dipresentasikan di depan kelas.
369
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3. Bagi guru-guru yang berminat menggunakan metode penemuan terbimbing dalam proses
pembelajaran hendaknya diperhatikan penggunaan waktunya.
DAFTAR RUJUKAN
Dahar, RW. 1988. Teori Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Ditjen Dikti P2LPTK.
Degeng, I.N.1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasikan Isi dengan Elaborasi. Malang:
IKIP Malang.
Eggen, P.D & Kauchak,P.P. 1996. Strategies for Teaching: Teaching Content and Thinking
skill. Boston : Alyn & Bacon.
Gintings, A. 2008. Esensi Praktis Belajar & Pembelajaran. Penerbit Humaniora-Bandung.
Herdian. 2010. Metode Pembelajaran Discovery(Penemuan).(online)
http://herdy07.wordpress.com, diakses pada 29 januari 2013
Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit
Universitas Negeri Malang.
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdikbud
Lie, A. Cooperatife Learning: Mempraktekkan Kooperatif Learning di Ruang ruang Kelas.
Jakarta: Gramedia
Moleong,J L. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nur, M. 2008. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam
Pengajaran. Surabaya: Unesa Pusat sains dan matematika Sekolah(PSMS)
Orton, A. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory, and Practice. Great Britain: Redwood
Books.
Rachmadi,W. 2004. Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Disampaikan pada Diklat
Instruktur/Pengembang Matematika SMP Jenjang Dasar , 10-23 oktober 2004.
Rochmani. 2013,Nilai Matematika Siswa RI 10 Besar Terendah di Dunia.(online)
http://kampus.okezone.com/read/2013/01/08/373/742801/nilai-matematika-siswa-ri-10-besar-
terendah-di-dunia, diakses 31 maret 2013
Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pendidikan Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Soedjadi. 2001. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing. IKIP Surabaya.
Suherman. 2001. Common Tex Book Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.
Sunardjo. 2010. Seperti Apa Pembelajaran yang Menyenangkan? (online)
http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/13/seperti-apa-pembelajaran-yang-
menyenangkan-288755.html, diakses 6 Januari 2014
Sutawidjaja, A. 2002. Konstruksivisme Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran
Matematika. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. VIII (Edisi Khusus): 355-359.
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu, Jakarta: Bumi Aksara
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivisme. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher
370
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Model bangun-bangun datar dijumpai di sekitar kita, misalnya ubin yang dipakai untuk
menutup lantai, dinding bak kamar mandi. Bentuk-bentuk geometri ubin beragam, antara lain
persegi, persegi panjang, segienam, segitiga dan lain-lain. Ubin-ubin di sekitar kita juga
beragam ukurannya. Pada hari Selasa tanggal 2 April 2013 peneliti berkesempatan berkunjung
ke toko bahan bangunan “Makmur Abadi” yang beralamat di Jl. Raya Genengan 133
Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang, dan peneliti mendapat contoh berbagai ukuran ubin,
seperti nampak pada Gambar 1 berikut:
Menurut silabus matematika kelas lima Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah
Dasar, materi bangun datar sudah diperkenalkan kepada siswa. Sesuai silabus matematika KTSP
SMPN 2 Wagir, pembelajaran materi bangun datar dilanjutkan di tahun pertama untuk jenjang
SMP yaitu kelas VII. Tahun pertama di SMP merupakan pengalaman sebagai langkah untuk
belajar matematika lebih lanjut (Hudojo, 1979:107). Pemahaman materi bangun datar
khususnya luas bangun datar banyak bermanfaat untuk membantu menyelesaikan masalah
dalam kehidupan sehari-hari, dan juga untuk mempelajari luas permukaan dan volum bangun
ruang sisi datar yang dipelajari siswa di kelas VIII. Tetapi pembelajaran bangun datar di SMPN
2 Wagir kabupaten Malang masih belum optimal.
Berdasarkan pengamatan awalyang penulis lakukan pada hari Selasa tanggal 26 Maret
2013, melalui tes awal pertama dengan materi prasyarat tentang mengidentifikasi bangun datar
yang terdiri dari segitiga, persegi, persegi panjang, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang
dan trapesium diperoleh informasi bahwa rata-rata nilai tes awal adalah 68,71 dan 41,94 %
siswa mendapat nilai lebih dari atau sama dengan kriteria ketuntasan minimum, yaitu 75.
Beberapa pekerjaan siswa pada tes awal seperti nampak pada Gambar 1.3 menunjukkan masih
ada siswa yang belum paham tentang ciri-ciri segitiga dan jajar genjang. Menurut pengakuan
siswa melalui wawancara yang dilaksanakan setelah tes awal, jawaban siswa untuk soal nomor
4, pada jajar genjang, panjang sisi yang tidak berhadapan tidak sama panjang, dan sudut-
sudutnya tidak boleh siku-siku, karena akan menjadi belah ketupat bila sisi-sisi yang
berhadapan sama panjang, sedangkan bila sudut-sudutnya siku-siku akan menjadi persegi
panjang.
371
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada hari Sabtu tanggal 13 April 2013 peneliti melanjutkan pengamatan awal dengan
memberikan tes awal kedua untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menentukan luas
bangun datar yang berupa gabungan dari bangun-bangun segitiga, persegi, persegipanjang, jajar
genjang, layang-layang dan trapesium. Peneliti memperoleh informasi bahwa beberapa
kesulitan yang dihadapi beberapa siswa adalah (1) tidak paham bagaimana cara memisahkan
bangun yang berupa gabungan dari segitiga, persegi, persegipanjang, dan trapesium menjadi
bagian-bagiannya, (2) tidak tahu (lupa) rumus untuk menghitung luas bangun datar, dan (3)
tahu rumus tetapi salah prosedur operasi hitung. Dari hasil pengamatan awal, peneliti merasa
prihatin dan ingin berupaya untuk memahamkan siswa tentang materi bangun datar
menggunakan pendekatan pembelajaran dan memilih media yang tepat.
Pada penelitian ini peneliti mencari pendekatan yang dapat membantu siswa agar
mampu memahami konsep luas bangun datar serta menggunakannya dalam memecahkan
masalah. Bush dan Leinwand (2003: 22) menyatakan bahwa menurut standar-standar NTCM,
agar berhasil dalam belajar, siswa tidak sekedar mempunyai suatu pemahaman yang jelas
tentang konsep-konsep matematika, tetapi mereka juga harus mahir dengan ketrampilan-
ketrampilan matematika, dan yang lebih penting mereka harus mampu menyampaikan alasan
secara matematis. Shimada dan Becker (1997:1) memaparkan bahwa dalam pembelajaran
dengan pendekatan “open ended” permasalahan disajikan terlebih dahulu. Kegiatan
pembelajaran dijalankan dengan menggunakan banyak jawaban benar dari permasalahan yang
diberikan untuk memberikan pengalaman dalam menemukan sesuatu yang baru pada proses.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,
ketrampilan atau cara berpikir yang telah dipelajari sebelumnya.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 22 tahun 2006
tentang Standar Isi pada lampiran dua menyebutkan bahwa pendekatan pemecahan masalah
merupakan fokus pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi
tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara
penyelesaian. Dari pendapat Bush dan Leinwand, Becker dan Shimada dan Lampiran Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006, dapat diartikan bahwa dalam proses
pembelajaran siswa perlu dilatih agar mampu memecahkan berbagai masalah dengan
bermacam-macam cara menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang telah
dimiliki siswa. Hal senada diungkapkan oleh Sukoriyanto (2001:104) bahwa dalam
memecahkan masalah siswa perlu diberi kebebasan dalam mengungkapkan ide.
Nickson (dalam Hudojo, 1998:6) mengatakan bahwa pembelajaran matematika adalah
suatu upaya membantu siswa membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika
dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu
terbangun kembali. Menurut Hudojo (1998 : 7) pembelajaran matematika dalam pandangan
kontstruktivis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya,
siswa belajar materi matematika secara ber-makna dengan bekerja dan berpikir, (b) informasi
baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang
dimiliki siswa, dan (c) orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada
dasarnya adalah pemecahan masalah. Reasoning yang dianggap penting oleh Bush W. S dan
Leinwand S (2003:21) dalam problem solving akan dikembangkan dalam penelitian ini pada
saat siswa menyelesaikan masalah.
372
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Mengingat pentingnya peranan materi bangun datar dalam matematika dan dalam
kehidupan sehari-hari, menurut penulis ketrampilan menyelesaikan masalah bangun datar perlu
ditekankan dengan diawali kegiatan memahamkan siswa tentang materi bangun datar.
Demikian juga pembelajaran yang berfokus pada open ended taskperlu diterapkan sebagai
solusi dari kesenjangan yang ada. Untuk itu, penulis melakukan penelitian yang mampu
menghasilkan suatu deskripsi pembelajaran yang dapat memahamkan siswa tentang luas daerah
bangun datar dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan keramik.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan jenis Penelitian
Tindakan Kelas. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2013 di SMPN 2 Wagir
Kabupaten Malang dengan subyek 32 siswa kelas VII B yang mengikuti pembelajaran pada
semester genap tahun pelajaran 2012-2013. Penelitian ini diawali dengan observasi awal dengan
memberikan tes awal untuk mengetahui pengetahuan prasyarat yaitu tentang mengidentifikasi
segitiga, persegi, persegi panjang, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang dan trapesium.
Tes awal kedua dengan materi luas daerah bangun yang berupa gabungan dari bangun segitiga,
persegi, persegi pajang, jajar genjang, layang-layang dan trapesium. Hasil tes awal dijadikan
dasar dalam pembentukan kelompok, dan pemilihan subyek wawancara.Dalam penelitian ini,
peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, karena peneliti yang merencanakan, melaksanakan,
mengumpulkan data, menganalisa data, membuat kesimpulan dan membuat laporan.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) hasil observasi kegiatan
pembelajaran, (2) hasil tes dengan tipe soal open-ended, (3) hasil angket respon siswa, (4) hasil
wawancara terhadap subjek wawancara, dan (5) hasil catatan lapangan. Cara mengumpulkan
data dalam penelitian masing-masing adalah: (1) hasil observasi kegiatan pembelajaran yang
dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (2) hasil tes dengan tipe soal open-ended
yang diberikan pada akhir suatu tindakan, (3) hasil angket respon siswa yang diberikan pada
akhir tindakan, (4) hasil wawancara terhadap subjek wawancara yang dilakukan setelah semua
tindakan selesai dilaksanakan, dan (5) hasil catatan lapangan yang dibuat selama pembelajaran
berlangsung.
Penelitian ini akan menghasilkan deskripsi berupa uraian yang menjelaskan prosedur
pembelajaran materi bangun datar dengan pendekatan open ended menggunakan model
potongan keramik dengan memperhatikan aspek pemberian alasan (reasoning). Dalam
penelitian ini, peneliti lebih mengutamakan proses pembelajaran daripada hasil belajarnya.
Desain penelitian dapat disempurnakan sesuai keadaan di lapangan selama penelitian
berlangsung. Dengan karakteristik tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
seperti dinyatakan Moleong (2000:6).
HASIL
Pada siklus I rata-rata persentase skor observasi aktifitas pembelajaran yang diberikan
kedua observer adalah 85,87 %, aktifitas pembelajaran dalam kriteria baik. Hasil tes akhir
tindakan siklus I secara klasikal banyak siswa yang memperoleh nilai ≥ 75 baru mencapai 46,88
% dengan rata-rata 62,58 hasil tes ini belum memenuhi kriteria keberhasilan. Angket respon
siswa menunjukkan bahwa terdapat 100 % dari siswa kelas VII B yang menyatakan senang
setelah mengalami pembelajaran luas bangun datar dengan pendekatan open ended
menggunakan model potongan keramik. Hasil angket respon siswa telah memenuhi kriteria
keberhasilan. Secara keseluruhan tindakan siklus I belum memenuhi kriteria keberhasilan.
Pada siklus II rata-rata persentase skor observasi aktifitas pembelajaran yang diberikan
kedua observer adalah 93,77 %, dengan kriteria sangat baik. Berdasarkan hasil tes akhir siklus
2 diperoleh data bahwa siswa yang memperoleh skor ≥ 75 adalah sebanyak 28 dari 32 siswa
kelas VII B. Keadaan ini menunjukkan bahwa 87,5 % dari siswa kelas VII B telah memahami
materi luas bangun datar dengan rata-rata 82,74.Persentase hasil penyebaran angket respon
siswa setelah tindakan siklus II yang telah diberikan kepada 32 siswa kelas VII B menunjukkan
bahwa terdapat 96,87% siswa menyatakan senang setelah mengalami pembelajaran luas bangun
datar menggunakan model potongan keramik dengan pendekatan open ended. Hasil angket
respon siswa telah memenuhi kriteria keberhasilan. Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh
peneliti kepada 6 (enam) siswa yang terdiri dari masing-masing dua siswa dari kelompok
bawah, rendah dan atas menyatakan bahwa keenam siswa tersebut menyatakan senang belajar
373
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
materi luas daerah bangun datar dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan
keramik. Secara keseluruhan tindakan siklus II telah memenuhi kriteria keberhasilan.
Dari hasil yang diperoleh pada siklus I dan siklus II pada penelitian ini dapat diperoleh
beberapa informasi berikut: (1) pekerjaan siswa pada tes awal, dan tes akhir tindakan
menunjukkan bahwa kesalahan konsep maupun kesalahan prosedur mula-mula banyak dijumpai
pada siklus I dan sudah berkurang pada siklus II, (2) hasil observasi menunjukkan bahwa
aktifitas pembelajaran berlangsung dengan kriteria baik pada siklus I dan meningkat menjadi
sangat baik pada siklus II. (3) respon siswa terhadap pembelajaran materi luas daerah bangun
datar dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan keramik meningkat dari
88,85% pada siklus I menjadi 89,17% pada siklus II , (4) keenam siswa subyek wawancara
yang terdiri dari masing-masing dua siswa dari kelompok bawah, tengah dan atas menyatakan
senang setelah mengikuti pembelajaran materi luas daerah bangun datar dengan pendekatan
open ended menggunakan model potongan keramik.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh informasi
bahwa pembelajaran dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan keramik
telah berhasil memahamkan siswa kelas VII-B SMP Negeri 2 Wagir tentang materi luas bangun
datar. Hal ini didasarkan pada empat kriteria yaitu: (1) hasil observasi aktifitas pembelajaran,
(2) hasil tes akhir siklus, (3) hasil angket untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran
yang telah dialami, dan (4) hasil wawancara yang berfungsi untuk mendukung/ memperkuat
data hasil angket.
Observasi aktifitas pembelajaran dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung
untuk mengamati kesesuaian seluruh aktifitas yang dilakukan guru dan siswa dengan rancangan
yang dituangkan dalam RPP. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Fraenkel (2012:445)
bahwa cara terbaik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah melalui observasi
tentang bagaimana orang berperilaku atau bagaimana sesuatu nampak. Peneliti juga dapat
bertanya kepada guru-guru tentang bagaimana murid-murid mereka berperilaku selama diskusi
kelas, tetapi petunjuk yang lebih akurat dapat diperoleh melalui pengamatan langsung ketika
pembelajaran berlangsung.
Tes akhir pada suatu tindakan diperlukan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap
suatu materi yang dipelajari dalam suatu tindakan. Berkurangnya kesalahan konsep maupun
kesalahan prosedur yang nampak pada pekerjaan siswa dapat menunjukkan bahwa siswa
tersebut makin paham tentang materi yang dipelajari. Hal tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Arikunto (2010:194) bahwa untuk mengukur pencapaian seseorang setelah
mempelajari sesuatu dilakukan tes.
Angket pada penelitian ini diberikan setelah tes akhir tindakan, berfungsi untuk
mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran luas bangun datar yang telah dialami. Hal
tersebut sejalan dengan pernyataan Arikunto (2010:194) yang menyatakan bahwa angket adalah
sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi perasaan responden.
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 40
menjelaskan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana
pendidikan yang menyenangkan. Hal senada juga dijelaskan dalam peraturan pemerintah no 19
tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 19 ayat 1 yang antara lain menyatakan
bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara menyenangkan.
Berdasarkan kedua peraturan tersebut dalam penelitian ini angket respon siswa digunakan
sebagai instrumen untuk menggali informasi tentang respon siswa setelah mengalami
pembelajaran, dan diperkuat melalui wawancara.
Wawancara dilakukan setelah semua tindakan selesai. Wawancara dilakukan selain
untuk memperkuat data angket juga digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap
materi luas bangun datar. Pedoman wawancara dibuat untuk mengarahkan pewawancara
mengenai aspek-aspek apa saja yang perlu ditanyakan. Pedoman wawancara memberi
kesempatan pewawancara untuk memikirkan bagaimana aspek-aspek tersebut akan dijabarkan
secara kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual
saat wawancara berlangsung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fraenkel (2012:452) bahwa data
yang diperoleh akan sistematik dengan menggunakan pedoman wawancara.
374
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan
pendekatan open-ended menggunakan model potongan keramik yang dapat memahamkan siswa
tentang luas daerah bangun datar dalam penelitian ini terdiri dari langkah-langkah berikut: (1)
guru memberi masalah open-ended, (2) siswa menyelesaikan masalah open ended secara
individu, (3) diskusi kelompok untuk membahas hasil kerja individu, dan (4) diskusi kelas untuk
membahas hasil diskusi kelompok.
Saran
Beberapa saran yang dapat peneliti ajukan untuk penelitian, penulisan, atau kegiatan
pembelajaran lebih lanjut mengenai pembelajaran dengan pendekatan open-ended menggunakan
model potongan keramik adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan waktu pada saat diskusi kelompok perlu dikontrol agar diperoleh hasil
pembelajaran lebih optimal.
2. Pada kelas yang belum pernah menggunakan pendekatan open ended, guru perlu memberi
motivasi agar siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
3. Perlu ditanamkan kebiasaan siswa untuk bertanya dan menyampaikan pendapat agar
diskusi berlangsung lebih aktif, bila perlu dengan memberikan reward kepada siswa yang
mampu memberi pertanyaan / tanggapan yang berbobot.
4. Penggunaan pendekatan open-ended dan model potongan keramik yang dilakukan penulis
telah memberikan hasil yang baik pada pembelajaran luas daerah bangun datar, oleh
karena itu pendekatan ini dapat dijadikan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran
yang dapat diterapkan guru-guru untuk melaksanakan pembelajaran matematika di sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2010.Prosedur Penelitian.Yogyakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Bove, Claire. 2009. What Happens When Even the Teacher Doesn’t Know What the Next
Experiments Will Be? Science Educator 18.1 (40 – 47)
Bush W. S dan Leinwand S (Eds). 2003. Mathematics Assessment a Practical Handbook.
Second Printing. The NCTM Inc. Virginia
Depdiknas.2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Fraenkel Jack R, dkk.2012. How to design and evaluate research in education.8th Edition. The
McGraw Hill Companies.
375
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kata kunci: garis singgung persekutuan dua lingkaran, problem posing, dan media
komputer.
376
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
377
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
soal/pertanyaan berdasarkan informasi yang diberikan. Problem posing adalah salah satu model
pembelajaran matematika yang menekankan pada kemampuan peserta didik untuk membuat
sekaligus menyelesaikan soal (Soedjadi,2000).
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan
problem posing dengan bantuan media komputer yang dapat meningkatkan pemahaman siswa
terhadap materi garis singgung persekutuan dua lingkaran.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dirancang
mengikuti model Kemmis dan Mc Taggart. Model PTK ini memuat empat tahap yang saling
berkesinambungan dalam setiap siklusnya yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi.
Hasil refleksi merupakan pijakan awal untuk melakukan perencanaan pada siklus berikutnya.
1. 2.
3.
Gambar 1. Gambar yang Berkaitan dengan Materi
378
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
P : silakan AP
AP : AB = 𝑂𝐵2 − 𝑂𝐴2 = 262 − 102 = 676 − 100 = 576 = 24
P : Ya bagus sekali , sekarang perhatikan gambar nomor 3., manakah yang merupakan
garis singgung ?
S : (serentak) garis p, garis k, garis l
P : Semua jawaban kalian benar
Dari tanya jawab tersebut tampak bahwa siswa sudah mempunyai bekal prasyarat untuk
mempelajari materi garis singung pesekutuan dalam. Kegiatan dilanjutkan dengan
membangkitkan motivasi siswa dengan menyampaikan bahwa
materi yang dipelajari saat ini nanti akan dibahas lagi di jenjang pendidikan yang lebih tinggi
dan meminta siswa untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran dengan pendekatan problem
posing.Selanjutnya siswa diminta untuk duduk dalam kelompok masing-masing sesuai dengan
yang telah ditetapkan.
Pada tahap inti, peneliti membagikan lembar kerja siswa 1 (LKS 1) yang memuat
langkah-langkah menemukan rumus panjang garis singgung pesekutuan dalam kepada setiap
siswa dan meminta siswa untuk berdiskusi dalam kelompoknya Melalui bimbingan peneliti
siswa menyelesaikan LKS 1 untuk menemukan rumus panjang garis singgung persekutuan
dalam. Selanjutnya peneliti membagikan lembar kerja siswa 2 (LKS 2) kepada setiapsiswa.
Melalui power pointpeneliti menjelaskan bahwa berdasarkan gambar tersebut siswa diminta
untuk membuat soal. Berikut LKS 2 :
Buatlah 3 soal berdasarkan gambar dibawah ini:
Beberapa soal yang dibuat oleh siswa berdasarkan gambar diatas adalah : (1) apakah
yang dimaksud dengan SQ ?,(2)berapa panjang SQ ?, (3) Jika panjang R = 5 cm,berapakah
panjang r ? (4) berapakah jarak antara pusat lingkaran A dengan lingkaran B , (5) hitunglah
panjang garis singgung persekutuan dalam tersebut jika R = 3 cm, r = 2 cm, AB = 13 cm. Soal
nomor 1 dan 4 berbentuk pre solution posing, soal nomor 2 berbentuk within solution posing,
sedangkan nomor 3 dan 5 merupakan post solution posing.
Selanjutnya peneliti meminta siswa untuk menyelesaikan soal yang dibuat sendiri
tersebut bersama kelompoknya. Setiap kelompok diminta mengumpulkan LKS 2 sebanyak 1
eksemplar untuk penilaian dan dokumen bagi peneliti. Sebelum mengakhiri pertemuan peneliti
menayangkan power point tentang cara mendapatkan rumus panjang garis singgung persekutuan
dalam dengan tanya jawab dalam membuat rangkuman seperti berikut:
379
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Peneliti : Anak-anak perhatikan gambar, siapa bisa menyebutkan rumus panjang garis
singgung persekutuan dalam pada gambar tersebut.
Siswa : (SN,FA,AFR,UH secara bersamaan ) Saya Bu
Peneliti : Silahkan UH
UH : Pada gambar diatas, segitiga PQS adalah segitiga siku-siku, PSdan SQ adalah sisi
siku-siku, PQ = d adalah hipotenusa, garis singgung persekutuan dalam nya adalah
PS, sehingga
PS = 𝑃𝑄 2 − 𝑆𝑄 2
PS = 𝑑2 − (𝑟2 + 𝑟1 )2
Peneliti : Bagus sekali, anak-anak ada yang ingin bertanya?
Siswa : Sudah jelas Bu
Peneliti :Baiklah anak-anak, pertemuan hari ini sudah cukup, untuk tugas
dirumah kerjakan soal latihan dari buku paket halaman 155 latihan 6 , di
buku tugas masing- masing.
Dari dialog nampak bahwa siswa sudah memahami rumus panjang garis singgung
persekutuan dalam, hal itu terbukti siswa masih bisa mendapatkan rumus yang benar meskipun
gambar yang ada tidak menggunakan lambang yang sama dengan LKS 1 yang sudah mereka
kerjakan.
Pertemuan berikut nya, peneliti menayangkan materi di LKS 3, siswa diminta
memperhatikan gambar dengan seksama. Berikut adalah gambar pada LKS 3:
P
Q
Setiap kelompok diminta membuat soal berdasarkan gambar yang tersedia, sekaligus
menyiapkan jawaban nya dalam waktu 15 menit, kemudian dikerjakan oleh kelompok yang lain
dan sebaliknya. Selanjutnya peneliti meminta salah satu siswa mewakili kelompoknya untuk
mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas, siswa lainnya memperhatikan dan kelompok
pembuat soal diminta mengomentari hasil nya.
Berikutnya peneliti membagikan LKS 4 ,dimana siswa diminta membuat soal yang
dianggap sulit kemudian diberikan kepada teman sebangkunya untuk diselesaikan dan
sebaliknya.Berdasarkan hasil kerja siswa pada LKS 2 dan LKS 3, dari soal-soal yang diajukan
siswa setelah dianalisis diperoleh data bahwa:(1) semua soal tergolong bentuk pertanyaan
matematika dan merupakan pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan,.(2) soal
yangdisusun siswa berbentuk Pre Solution Posing (37,03%), Within Solution Posing(25,92%),
danPost SolutionPosing (57.03%)
Demikian juga hasil kerja siswa pada LKS 4 diperoleh data sebagai berikut:(1) Siswa
yang mengajukan soal/pertanyaan , tergolong bentuk soal matematik dan sudah baik sebanyak
31 orang ( 81,57%),(2) Siswa yang mengajukan soal/pertanyaanyang tergolong bentuk soal
matematika dilihat dari segi bahasa masih perlu perbaikan sebanyak 7 orang (18,42%),(3) Siswa
yang menjawab soal/pertanyaaan yang dibuattemannya dan sudah benar sebanyak 33 orang
(86,84%), (4) Siswa yang menjawabsoal/pertanyaan yang dibuat temannya dan masih salah
sebanyak 5 orang (13,15%) .Hal ini memberikan gambaran bahwa pemahaman siswa untuk
materi garis singgung persekutuan dalam sudah baik. Walaupun demikian peneliti melakukan
tes akhir tindakan untuk mengetahui yang lebih mendalam tentang pemahaman dan ketuntasan
belajar pada materi garis singgung persekutuan dalam.
Tes akhir tindakan I terdiri dari 3 soal dalam bentuk esai dengan waktu 45 menit, dan
diperoleh data sebagai berikut : siswa yang memperoleh skor ≥ 70 sebanyak 31 orang, dengan
nilai rata-rata kelas 81,45 (skala 1 – 100). Ini dapat diartikan bahwa siswa yang telah
memperoleh skor ≥ 70 % dari skor maksimal adalah 81,58 % dari jumlah siswa.
380
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari hasil pengamatan dan diskusi diperoleh kesepakatan yang harus diperbaiki pada
siklus II yaitu: mengingatkan siswa agar banyak membaca buku dari bebagai sumber untuk
memdapatkan berbagai bentuk soal, untuk mengatasi siswa yang tidak aktif selama diskusi
maka motivasi tidak hanya diberikan di awal proses pembelajaran akan tetapi saat ketika
memantau jalannya diskusi, pengaturan waktu diskusi lebih dipertegas sehingga seluruh bahan
diskusi dapat diselesaikan dan dipresentasikan, tugas dikumpulkan bersamaan sebelum
presentasi.
Pelaksanaan dan Hasil siklus II
Proses belajar mengajar pada siklus II dilaksanakan dalam 3 pertemuan (7,11,dan 14
Mei 2013), di mana tiap pertemuan berlangsung selama 2x40 menit. Materi yang dibahas dalam
siklus II adalah garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.
Pada tahap awalmelaluipower pointpeneliti memaparkan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai yaitu: (1) siswa dapat menggunakan rumus panjang garis singgung persekutuan
luar dua lingkaran untuk menyelesaikan soal-soal terkait, (2)siswa dapat menyelesaikan masalah
kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.
Selanjutnya ditayangkan gambar-gambar dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
garis singgung persekutuan luar lingkaran seperti berikut:
Peneliti meminta salah satu siswa untuk menceritakan hubungan gambar-gambar diatas dengan
materi yang akan dipelajari.Berikut dialog siswa dengan peneliti ketika apersepsi :
Pada tahap inti, sebelum pelaksanaan diskusi kelompok, peneliti meminta setiap
kelompok membaca dan memahami lembar informasi 1 tentang cara mendapatkan rumus
panjang garis singgung persekutuan luar lingkaran beserta contoh soal nya.
Selanjutntya peneliti membentuk kelompok-kelompok berdasarkan hasil tes akhir siklus
I.Pada awal kegiatan diskusi kelompok, peneliti membagikan LKS 1 kepada setiap siswa untuk
membuat soal yang berkaitan dengan informasi yang ada di LKS 1 minimal 3 butir . Informasi
LKS 1 nomor 1 sebagai berikut :
Panjang jari-jari dua lingkaran masing-masing adalah 8 cm dan 2 cm. Jarak
kedua titik pusatnya adalah 10 cm.
Dalam kegiatan ini rata-rata siswa tidak bingung lagi karena sudah pernah mengerjakannya pada
tindakan I yang lalu. Berikut ini adalah beberapa -soal yang dibuat siswa pada LKS 1: (1)
381
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
gambarlah lingkaran sesuai kondisi tersebut (2) lengkapi gambarmu dengan garis singgung
persekutuan luar (3) ada berapa garis singgung persekutuan luar yang dapat digambar?
(4)hitunglah panjang garis singgung persekutuan luar tersebut?(5) berapa besar sudut yang
menghubungkan jari-jari dan garis singgung? (6)jika R = 4 dan r = 2 sedangkan p = 10 cm ,
berapakah nilai ℓ?
Setelah setiap kelompok menuliskan soal yang telah dibuatnya, kemudian peneliti
menginformasikan bahwa semua soal yang telah dibuat benar, hanya saja ada beberapa soal
yang perlu diperbaiki bahasanya agar lebih bagus dan lengkap.Selanjutnya peneliti meminta
perwakilan kelompok 6 untuk mempresentasikan jawaban dari soal yang dibuatnya,Peneliti
meminta beberapa kelompok lain untuk menanggapi serta memberikan pertanyaan apabila
hasil yang diperolehberbeda dengan hasil yang telah mereka diskusikan. Pada tahap akhir
peneliti menyampaikan hasil diskusi hari itu, yaitu rumus panjang garis singgung persekutuan
luar lingkaran dengan tanya jawab melalui power point sebagai berikut :
“Jelaskan pengertian O, Q, A, B, r1, r 2 dan k pada gambar tersebut, tuliskan rumus untuk
menghitung panjang k pada gambar tersebut”. Hampir semua siswa aktif menjawab, beberapa
siswa mencatat hal-hal yang dianggap penting di buku catatannya. Selanjutnya peneliti
memberikan tugas individual untuk menyelesaikan soal buku paket halaman 158 latihan 8 di
buku tugas sebagai perkerjaan rumah.
Pertemuan berikutnyamempelajari tentang cara menghitung panjang lilitan. Untuk
memudahkan siswa memahami tujuan pembelajaran, peneliti menayangkan power point berikut
:
Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa dapat menghitung panjang tali
lilitan minimal yang digunakan untuk mengikat beberapa benda berbentuk tabung.Materi
prasyaratadalah rumus menghitung panjang busur lingkaran yang diketahui besar sudut pusat
dan panjang jari-jarinya. Untuk memotivasi siswa, peneliti menyampaikan bahwa mungkin
suatu ketika kita dihadapkan pada suatu pekerjaan, misalnya harus mengangkut beberapa pipa
paralon, tiang listrik, atau kayu gelondongan seperti di power point, ke suatu tempat yang agak
jauh, maka kita harus memastikan bahwa benda yang kita bawa dalam keadaan aman sampai di
tujuan. Untuk itu barang-barang tersebut harus diikat dengan tali.Akan dibahas bagaimana cara
menghitung panjang talililitan minimal yang diperlukan untuk mengikat benda tersebut supaya
aman
Pada lembar informasi II, siswa diminta menyusun pertanyaan-pertanyaan yang
merupakan langkah-langkah untuk menghitung panjang sabuk lilitan minimal yang diperlukan
untuk mengikat tiga pipa paralon tersebut.
382
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
.
Gambar 8. Ilustrasi Lilitan Pipa Paralon
Langkah pertama, gambarlah titik pusat setiap lingkaran lalu beri nama dengan A, B
dan C. Hubungkan titik pusat ketiga lingkaran dan titik singgung nya dengan tali yang
melingkarinya, seperti pada gambar diatas sehingga diperolehpanjang DE = FG = HI = AB =
AC =BC,seperti gambar berikut
Beberapa pertanyaan yang yang dibuat oleh siswa : (1)berapakah panjang garis
singgung HI ?, (2). berapa panjang garis singgung GF ? (3)berapa panjang garis singgung
DE ?,(4) segitiga ABC merupakan segitiga apa ? ,(5). berapa besar ∠ ABC dan besar ∠ EBF
?,( 6) berapa panjang sabuk lilitan minimal yang diperlukan untuk mengikat pipa?
Selanjutnya peneliti meminta kepada setiap siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut di lembar informasi II yang sudah mereka terima masing-masing. Siswa tampak
berebut untuk maju ke depan sehingga suasana agak ramai. Hal itu menggambarkan bahwa
siswa sangat antusias dalam pembelajaran dan siswa ingin menunjukkan bahwa mereka sudah
memahami apa yang dimaksud dalam soal.
Pada hari Kamis tanggal 16 Mei 2013 jam ke 5-6 pukul 10.05-11.25 sesuai rencana
peneliti mengadakan tes, yang disebut tes akhir tindakan II,dibantu oleh dua orang pengamat
membagi lembar soal tes akhir tindakan II yang terdiri dari 3 soal dengan bentuk soal esai.
Berdasarkan hasil tes akhir siklus II diperoleh bahwa 36 orang mendapat skor lebih dari
70 dengan nilai rata-rata kelas 82.95. Jika dibandingkan dengan siklus I maka ada kenaikan
sebesar 10,49 %.
383
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hal yang perlu diantisipasi bagi guru yang akan menerapkan problem posing di kelas
adalah pengaturan waktu yang baik agar pembelajaran dapat efisien sesuai waktu yang
direncanakan.
DAFTAR RUJUKAN
As’ari, A.R 1999. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem PosingJurnal
Matenatika Buletin Pelangi Pendidikan Vol.2 No.2:42-46
As’ari. A.R 2000. Problem Posing untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru IPA,Jurnal
Pelangi Pendidikan Matematika dan Sains, Jogjakarta. Tahun V.No.1 Hal 5 -25
As’ari A.R.2002.Beberapa Hal Penting tentang Pembelajaran Matematika dengan
Cooperative Learning. Makalah Disajikan dalam Simposium Guru Matematika ke V di
Hotel Sahid Jogyakarta, 11-14 November 2002.
English, I.D.1998.Children’s Problem Posing Within Formal and InformalContexts, Journal for
Research of Mathematics Education 83 – 106.
Soedjadi. 2000. Model Pembelajaran Problem Posing
Kemmis, S & Mc Taggart,R.1998. The Action Research Planner.Deakin University.
Paas, F, Renkl,A& Sweller, J. 2004. Cognitive Load Theory: Instructional Implications of the
Interaction between Information Structures and Cognitive Architecture.Instructional
Science
Silver, E.A dan Cai, J.1996. An Analisys of Arithmetic Problem Posing by Middle
School Student Journal of Research in Mathematics Education,
Vol 27. No. 5.
384
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kata kunci: pengembangan, perangkat, kontekstual, kooperatif, Two Stay Two Stray
Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di
Indonesia, di mana salah satu mata pelajarannya adalah matematika. Matematika sebagai mata
pelajaran wajib diberikan pada semua siswa diharapkan menjadi mata pelajaran yang
menyenangkan, menantang dan memotivasi siswa agar siswa dapat terlibat secara aktif dalam
proses pembelajaran.
When students find meaning in their lessons, they will learn and remember what they
study (Johnson, 2002:23). Artinya ketika para siswa menemukan makna dalam pelajaran
mereka, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari. Salah satu pembelajaran yang
sesuai dengan tujuan tersebut adalah pembelajaran matematika dengan pemdekatan kontekstual.
Sesuai dengan pendapat Johnson (2002:24) ―Contextual teaching and learning enabels student
to connect the content of academic subjects with the immediate context of their daily lives to
discover meaning”. Artinya pembelajaran kontekstual membuat siswa dapat menghubungkan isi
pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka untuk menemukan makna.
Menurut Johnson (2002: 24) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah
sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Sistem CTL
mencakup delapan komponen, yaitu: (1) Making meaningful connections (membuat keterkaitan-
keterkaitan yang bermakna); (2) Doing significant work (melakukan pekerjaan yang berarti); (3)
Self-regulated learning (melakukan pembelajaran yang diatur sendiri); (4) Collaborating
(bekerja sama); (5) Critical and creative thinking (berpikir kritis dan kreatif); (6) Nurturing the
individual (membantu individu untuk tumbuh dan berkembang); (7) Reaching high standards
(mencapai standar yang tinggi); (8) Using authentic assessment (menggunakan penilaian
autentik). Sedangkan Sabil (2011: 46) menyatakan bahwa ada tiga hal dalam konsep CTL yang
perlu dipahami, yaitu: pertama, CTL menekankan pada proses keterlibatan mahasiswa/siswa
untuk menemukan materi; kedua, CTL mendorong mahasiswa/siswa dapat menemukan
hubungan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata; dan ketiga, CTL mendorong
mahasiswa/siswa menerapkan materi yang dipelajari dalam kehidupannya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
memberikan hasil yang memuaskan di sekolah. Diantaranya penelitian Mulyati (2008)
menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dari pembelajaran matematika dengan
pendekatan kontekstual pada hasil belajar matematika. Armiya (2006) menyimpulkan
pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang materi volume tabung
dan kerucut. Penelitian tentang pengembangan perangkat pembelajaran kontekstual pernah
dilakukan Tati (2009) menghasilkan perangkat yang valid, praktis dan efektif. Demikian juga
385
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Irmawan (2013), Junaidi (2012), dan Asmadi (2011) yang mengembangkan perangkat
pembelajaran berdasarkan model pengembangan Plomp.
Pembelajaran kontekstual menekankan pada pembelajaran sebagai proses sosial. Melalui
interaksi dalam komunitas belajar, proses dan hasil belajar menjadi lebih bermakna. Menurut
Johnson (2002:29): ―Collaborating helps student‟s identify issues, design plans, and explore
solutions‖. Artinya dengan bekerja sama, siswa terbantu dalam menemukan persoalan,
merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Pada kegiatan kolaboratif siswa saling
berbagi ide dan pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang dapat
mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk saling berbagi ide tersebut dalam mempelajari
materi pelajaran. Slavin (1995:2) menyatakan: ―In Coopertaif classrooms, students are expected
to help each other, to discuss and argue with each other, to assess each other‟s current
knowledge and fill in gaps in each other‟s un derstanding”. Artinya pada pembelajaran
kooperatif, siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi,
untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam
pemahaman masing-masing. Pembelajaran kooperatif adalah metode yang layak namun kurang
dimanfaatkan (Jones, 2008). Jones sangat menyarankan agar menerapkan pembelajaran
kooperatif di kelas. Pembiasaan dengan dasar pembentukan kelompok yang variatif dalam
model pembelajaran kooperatif akan mengembangkan kesadaran hidup sekarang dan nanti bagi
siswa. (Suparmi, 2012). Adapun menurut Yuwono (2006) pembentukan kelompok secara
heterogen berdasarkan kemampuan siswa pada saat diskusi kelompok akan lebih baik karena
siswa biasanya tidak segan bertanya kepada kawannya dalam kelompok tersebut.
Perbandingan hasil dari pembelajaran koperatif dan tradisional khususnya pada bidang
matematika telah dibuktikan oleh Awofala (2012), Kupczynski (2012) dan Zaheer (2010). Pada
penelitian Awofala (2012) siswa mula-mula mendapat skor pre test yang relatif sama, ternyata
pada hasil pos testnya kelompok yang bekerjasama memiliki hasil yang lebih baik. Kupczynski
(2012) menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif menemukan
manfaat belajar lebih dari kelompok tradisional. Sedangkan pada penelitian Zaheer (2010)
menyatakan juga terdapat perbedaan yang signifikan dalam nilai tes kedua kondisi tersebut,
sehingga disarankan guru lebih memilih strategi pembelajaran yang inovatif seperti kooperatif
daripada pembelajaran tradisional.
Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah Two Stay Two Stray (TSTS).
Pada model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini siswa menjadi lebih aktif, yaitu pada saat
diskusi dalam kelompok maupun saat bertamu ke kelompok lain siswa. Pembelajaran kooperatif
menggunakan tipe Two Stay Two Stray (TSTS) sudah banyak dimanfaatkan dalam beberapa
penelitan, antara lain oleh Hamiddin (2010), Mayasari (2012) dan Sary (2013). Menurut
Hamiddin (2010) pembelajaran kooperatif tipe TSTS mampu memperbaiki pemahaman siswa.
Menurut Mayasari (2012) metode pembelajaran TSTS dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis tertulis siswa kelas XI IPA SMAN 1 Purwosari, dan menurut Sary
(2013) model pembelajaran kooperatof tipe TSTS dan tipe NHT memberikan prestasi yang
sama ditinjau dari aktivitas belajar siswa. Model pembelajaran yang didalamnya melibatkan
siswa secara aktif untuk membangun pemahaman untuk menemukan penyelesaian soal sangat
diperlukan skenario pembelajaran yang baik.
Dari pengamatan peneliti selama mengajar matematika di SMA Negeri 5 Banjarmasin,
pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah masih bersifat konvensional, masih dengan
urutan menerangkan, memberi contoh dan latihan soal. Selain itu, bahan ajar yang digunakan di
SMA Negeri 5 Banjarmasin adalah Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dari penerbit tertentu.
Biasanya penyajian LKS mencakup ringkasan materi, contoh soal dan latihan soal. Tetapi dari
sajian LKS yang ada, siswa hanya mendapatkan keterampilan prosedural. Dapat disimpulkan
LKS yang digunakan di SMA Negeri 5 Banjarmasin masih belum cukup membantu siswa
dalam pemahaman konsep matematika. Berdasarkan data yang diperoleh, Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang digunakan juga terkadang bukan buatan guru itu sendiri, melainkan
buatan penerbit tertentu, download di internet atau disusun oleh MGMP namun masih belum
lengkap, dan pada umumnya di RPP yang biasa digunakan tersebut kegiatan guru dan siswa
tidak dideskripsikan dengan detail.
Peneliti memilih materi trigonometri kelas X dalam penelitian pengembangan ini karena
pada saat peneliti mengajar di kelas XI, ditemukan indikasi kesulitan siswa terhadap materi
perbandingan trigonometri yang pernah mereka pelajari di kelas X. Pada saat siswa
386
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menggunakan rumus trigonometri, masih banyak yang salah dalam menentukan nilai
perbandingan trigonometri sudut istimewa dan nilai perbandingan trigonometri di semua
kuadran, hal ini berkaitan dengan pemberian materi Trigonometri di tingkat sebelumnya.
Karena materi Trigonometri ini adalah materi yang berkelanjutan dari kelas X ke kelas XI.
Kesulitan siswa terhadap materi trigonometri di kelas X juga terjadi di SMAN 50 Jakarta, ada
dua penelitian yang dilaksanakan di sekolah tersebut terkait materi trigonometri. Wiyartimi
(2010) dalam diagnosisnya menemukan letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal
materi trigonometri. Kemudian Livia (2010) berupaya meningkatkan hasil belajar trigonometri
dengan menggunakan sebuah metode pembelajaran yang memacu para siswa untuk bekerja
sama dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang
dimilikinya.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengembangkan perangkat pembelajaran yang
bertujuan untuk menghasilkam RPP dan LKS yang valid, praktis dan efektif bersetting
kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi trigonometri.
METODE
Model pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan perangkat dalam
penelitian yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
merujuk pada Plomp (2010), yang terdiri dari tiga fase, yaitu: pertama, Preliminary research.
Fase ini merupakan fase pengamatan terhadap kondisi yang sedang berjalan di SMA Negeri 5
Banjarmasin. Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan adalah analisis kebutuhan untuk
mengembangkan perangkat pembelajaran. Aktivitas tersebut meliputi : (a) melakukan
pengamatan terhadap pembelajaran matematika, mengamati LKS dan RPP yang digunakan oleh
guru pengajar matematika, (b) mengkaji teori tentang model pembelajaran kontekstual dan
kooperatif, (c) melakukan kajian tentang pengembangan perangkat pembelajaran, (d)
melakukan kajian teori tentang kualitas perangkat yang baik, (e) pemilihan perangkat
pembelajaran yang akan dikembangkan.
Kedua, Prototyping phase. Pada fase ini dilakukan (1) perancangan instrumen yang
meliputi RPP, LKS, lembar observasi keterlaksanaan LKS, lembar observasi aktiviras guru,
lembar observasi aktivitas siswa, angket respon siswa dan soal tes, (2) perancangan lembar
validasi instrumen. RPP dan LKS disusun menggunakan 8 komponen pembelajaran kontekstual
dan skenario pembelajaran di desain bersetting kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS).
Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS dilakukan dengan urutan diskusi kelompok (4-5 orang).
Kemudian setelah diskusi, dua orang dari kelompok semula berbagi tugas masing-masing
bertamu ke dua kelompok lain, demikian juga untuk kelompok lainnya. Sisa anggota kelompok
berperan sebagai ―tuan rumah‖. Siswa ―tuan rumah‖ berbagi informasi kepada siswa ―tamu‖.
Siswa ―tamu‖ mengklarifikasi jawaban di lembar tamu. Setelah waktu bertamu selesai, maka
siswa‖tamu‖ kembali ke kelompok asal untuk mendiskusikan kembali isi lembar tamu dengan
hasil diskusi kelompok semula. Hasil diskusi akhir ini akan di presentasikan di depan kelas.
Ketiga, Assessment phase (fase penilaian). Fase ini mengetahui apakah perangkat
memenuhi kriteria perangkat pembelajaran yang baik. Perangkat pembelajaran yang dibuat pada
tahap sebelumnya (Prototipe 1) divalidasi para ahli kemudian di revisi menghasilkan prototipe
2. Prototipe 2 di uji cobakan terbatas pada 12 orang siswa dan kemudian di revisi menghasilkan
prototipe 3. Selanjutnya untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan suatu perangkat,
Prototipe 3 diuji coba di kelas (tidak termasuk 12 siswa sebelumnya). Hasil uji coba di kelas di
analisis dan direvisi untuk menghasilkan Prototipe Final.
HASIL
Penelitian awal dalam pengembangan ini merupakan fase pengamatan terhadap kondisi
pembelajaran yang tengah berjalan. Tahapan ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan
untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP dan LKS. Hasil diskusi
dengan beberapa orang guru matematika SMA di Banjarmasin diketahui bahwa perangkat
pembelajaran selama ini hanya menyajikan kumpulan rumus tanpa penjelasan proses bagaimana
menemukan rumus itu. LKS yang digunakan oleh siswa tidak memuat bagaimana menemukan
nilai trigonometri, tetapi langsung diberikan rumus-rumus yang harus digunakan untuk
perbandingan trigonometri dan langsung dituliskan nilai perbandingan trigonometri sudut
istimewa dan rumus sudut berelasinya. Siswa hanya mengandalkan LKS yang hanya memuat
387
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
rumus-rumus disertai dengan latihan soal. ada tahap penelitian awal ini dilakukan pula kajian
terhadap empat RPP yang pernah digunakan oleh guru matematika di SMA Negeri 5
Banjarmasin, tetapi tidak ditemukan RPP untuk materi trigonometri yang bersetting kooperatif
tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Berdasarkan instrumen penilaian penyusunan RPP, catatan
kelebihan dan kekurangan setiap RPP, maka peneliti membuat rancangan RPP untuk materi
trigonometri yang bersetting kooperatif tipe TSTS dengan memperhatikan kekurangan-
kekurangan yang ada pada RPP sebelumnya, serta dengan mempertimbangkan saran dari
beberapa orang guru matematika mengenai perangkat pembelajaran untuk materi trigonometri.
Hasil dari fase prototype adalah dihasilkannya rancangan perangkat pembelajaran
kontekstual bersetting kooperatif tipe TSTS pada materi trigonometri kelas X yang meliputi: (1)
perancangan instrumen (RPP,LKS,lembar observasi, angket respon siswa dan soal tes
penguasaan bahan belajar), (2) perancangan lembar validasi instrumen.
Hasil fase penilaian didapat dari 2 kegiatan yaitu hasil validasi oleh ahli dan praktisi
terhadap produk yang dikembangkan dan hasil uji coba. Perhitungan hasil validasi RPP dan
LKS berturut-turut 3,66 dan 3,60 dari skor maksimal 4, maka sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan dapat disimpulkan bahwa RPP dan LKS yang dikembangkan valid. Berdasarkan
saran dari validator, pengembang melakukan revisi. Hasil revisi menghasilkan RPP dan LKS
yang akan digunakan dalam uji coba keterbacaan terhadap 12 orang siswa di luar kelas uji coba,
baru kemudian direvisi kembali sesuai taggapan dari siswa pada uji coba keterbacaan. LKS
yang sudah direvisi pada tahap penilaian ini baru digunakan untuk uji coba kelas.
Adapun hasil pengembangan ini berupa perangkat pembelajaran yang telah mendapatkan
validasi dan revisi. Perangkat pembelajaran yang sudah direvisi diujicobakan pada 30 siswa
kelas X-1 SMAN 5 Banjarmasin. Tujuan dari uji coba ini untuk mengetahui tingkat kepraktisan
dan keefektifan dari perangkat pembelajaran. Untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan
tentang kepraktisan dan keefektifan dari LKS yang telah dikembangkan, maka disajikan dalam
tabel berikut ini.
PEMBAHASAN
Pada penelitian pengembangan ini telah dihasilkan produk pengembangan berupa
perangkat pembelajaran kontekstual bersetting kooperatif tipe TSTS pada materi trigonometri
untuk 5 pertemuan yang telah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan dan keefektifan.
Kriteria kevalidan diperoleh dari hasil validasi lembar RPP dan LKS dari ahli (1 orang dosen)
dan praktisi (1 orang guru). Kriteria kepraktisan diperoleh dari hasil observasi keterlaksanaan
penggunaan LKS dan hasil observasi aktivitas guru model. Sedangkan kriteria keefektifan
diperoleh dari hasil observasi aktivitas siswa, ketuntasan belajar dan angket respon siswa.
Berdasarkan hasil validasi dari dua orang validator, diperoleh skor kevalidan RPP dan
LKS berturut-turut 3,66 dan 3,60 dari skor maksimal 4. Dengan demikian, disimpulkan bahwa
perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah valid dengan beberapa catatan dan revisi
dari validator. Revisi dilakukan pada beberapa bagian yang ditunjukkan oleh validator.
Berdasarkan masukan tersebut peneliti kemudian memperbaiki bagian-bagian tersebut. Hal ini
sesuai dengan Plomp (2010) yang menyatakan pada fase validasi ini sering menghasilkan
rekomendasi untuk perbaikan produk. Disamping itu sejalan dengan Kemp (1977) yang
menyatakan bahwa tiap-tiap pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas perbaikan.
Berdasarkan hasil observasi dilapangan, tingkat keterlaksanaan penggunaan LKS pada
tiap pertemuan berada dalam kategori tinggi dan hasil observasi aktivitas guru pada tiap
pertemuan berada dalam kategori aktif, sehingga sudah memenuhi kriteria kepraktisan yang
telah ditetapkan. Pada penyusunan RPP, skenario aktivitas guru ini dikembangkan berdasarkan
Hobri (2010) yang telah memberikan kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas guru untuk setiap
pertemuan.
388
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
389
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN
Armiya. 2006. Pembelajaran Volum Tabung dan Kerucut dengan Pendekatan Kontekstual
Pada Siswa Kelas I SMA Negeri 1 Samudra. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program
Pasca Sarjana UM
Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers
Awofala. 2012. Achievment in Cooperative versus Individualistic Goal_Structured Junior
Secondary School Mathematics Classroom in Nigeria. International Journal of
Mathematics Trend and Technoloy, 3(1): 7-12
Gaspar dan Dau, O. (2011). The Teacher’s creative attitudes-An Influence Factor Of The
students’ Creativity Attitudes, International conference, The Future of Education.
(Online), Conference.
Fixel.online.net/edu_future/common/download/paper_pdf/ITL53_Gaspar.pdf, diakses 6
oktober 2013.
Hamiddin, 2010. Improving student‟s comprehension of poems using the TSTS strategy. Online
http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/vidya_karya/article
/view/335 Diakses 14 Juli 2013
Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi Pada Penelitian Matematika).
Jember: Pena Salsabila
Irmawan. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dengan Pendekatan Matematika
Realistik Berbantuan LKS Terstruktur Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar
Siswa Kelas XI SMK. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha. Volume 2 Tahun 2013.
Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press
Junaidi. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Humanistik Untuk
Meningkatkan Kemahiran Matematis. Unnes Jorunal of Mathematics Education
Research. UJMER 1 (2) (2012)
Jones, K. 2008. Making Cooperative Learning Work in the College Classroom: An Application
of the ―Five Pillars‖ of Cooperative Learning to Post-Seconary Instruction. The Journal
of Effective Teaching, 8(2): 61-76
Kelly, C. 2006. Using Manipulatives in Mathematical Probem Solving. A Performance Based
Analysis. The Montana Mathematics Enthisiast, 3(2): 184-193
Kemp, J.E. 1977. Instructional Design. California : David S. Lake Publisher.
Komalasari, 2011. Pembelajaran Kontekstual. Bandung : Refika Aditama.
390
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
391
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
terbimbing bersetting kooperatif STAD dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar
siswa.
392
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
terbimbing sama seperti langkah-langkah pembelajaran inkuiri pada umumnya. Ciri khas dari
inkuiri terbimbing adalah adanya bimbingan guru dalam proses inkuiri mulai dari orientasi
sampai menyusun kesimpulan. Siswa tidak dibiarkan melakukan proses inkuiri secara bebas
tanpa bimbingan dari guru, hal ini dilakukan agar pembelajaran terfokus pada tujuan yang telah
ditetapkan. Proses bimbingan juga dimaksudkan untuk mengurangi salah satu efek negatif dari
pembelajaran inkuiri yaitu membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Metode pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan inkuiri
terbimbing manurut Dewi, Dantes, dan Sadia (2013:4) adalah guru dapat membimbing siswa
melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi.
Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya.
Inkuiri terbimbing digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman dalam pembelajaran
inkuiri.
Selain memiliki kelebihan, metode inkuiri terbimbing juga memiliki kelemahan.
Kelemahan metode pembelajaran inkuiri terbimbing diantaranya: (a) sulit mengontrol kegiatan
dan keberhasilan siswa, (b) sulit merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan
siswa dalam belajar, (c) kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, dan (d) apabila kriteria
keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, metode ini
akan sulit diimplementasikan oleh guru.
Kesulitan yang dialami oleh guru dalam pembelajaran matematika dengan metode
inkuiri terbimbing harus dapat diminimalisir. Guru harus mengontrol siswa dengan baik selama
pembelajaran serta merencanakan pembelajaran dengan baik sesuai dengan tujuan dan alokasi
waktu yang tersedia. Oleh sebab itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat mengatur
siswa secara berkelompok agar pembelajaran inkuiri terbimbing dapat dilaksanakan dengan
baik. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengakomodasikan kebutuhan guru tersebut
adalah model kooperatif STAD.
Model pembelajaran kooperatif yang cocok untuk memenuhi harapan di atas adalah
Student Teams Achievement Divisions (STAD). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wyk
(2012:261) menyimpulkan bahwa siswa yang belajar dengan STAD memperlihatkan sikap yang
lebih positif, menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dan lebih termotivasi untuk belajar.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan
hasil belajar siswa yang berpartisipasi (Tran, 2013:5). Langkah-langkah pembelajaran
kooperatif STAD adalah presentasi kelas, diskusi kelompok, tes individu, menentukan poin
perkembangan individu dan kelompok, dan pemberian penghargaan.
Ibrahim dkk (Majid,2013:188) menyampaikan beberapa kelebihan dan kekurangan dari
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Kelebihan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: (a)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan siswa lain, (b) siswa dapat
menguasai pelajaran yang disampaikan, (c) dalam proses pembelajaran siswa saling
ketergantungan positif, dan (d) setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain. Adapun
kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: (a) membutuhkan waktu yang
lama, (b) siswa pandai cenderung enggan disatukan dengan temannya yang kurang pandai,
begitupun sebaliknya, (c) siswa diberikan kuis dan tes secara perorangan sedangkan
pembelajarannya dilaksanakan berkelompok dan skor perorangan juga berdampak besar bagi
skor perkembangan kelompok. Hal ini juga akan bedampak pada pemberian penghargaan
terhadap kelompok.
Berdasarkan uraian tersebut, Pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting STAD
diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Langkah-langkah pelaksanaan
pembelajaran inkuiri terbibing bersetting STAD adalah membentuk kelompok belajar secara
heterogen (4 – 5 orang), diskusi mengamati dan menganalisa masalah dalam Lembar Kerja
Kelompok (LKK)¸ diskusi untuk menemukan data-data yang terdapat pada masalah di LKK,
diskusi untuk menyelesaikan masalah pada LKK, diskusi untuk merumuskan kesimpulan dari
data-data yang telah diperoleh, presentasi kelompok, mencoba keabsahan hasil temuan dengan
menjawab kuis individual, dan mengumumkan rekor kelompok, individu, dan memberikan
hadiah.
Pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting STAD dilaksanakan dalam bentuk lesson
study dengan jumlah 4 (empat) anggota. Masalah dalam pembe-lajaran lesson study ini
difokuskan pada bagaimana penerapan pembelajaran matematika dengan metode inkuiri
393
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
terbimbing bersetting STAD di kelas X SMAN 9 Barabai?. Berdasarkan fokus masalah yang
akan diselesaikan penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang penerapan
pembelajaran matematika inkuiri terbimbing bersetting kooperatif STAD yang dapat
meningkatkan keak-tifan dan mengetahui hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika di
SMAN 9 Barabai.
METODE PENELITIAN
Lesson study dilakukan untuk memahami fenomena yang terjadi pada saat pembelajaran
di kelas sehingga dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar
sekelompok siswa dan memperbaiki citra serta keterampilan professional guru. Lesson study
dilaksanakan di SMA Negeri 9 Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas XB SMA Negeri 9 Barabai tahun pelajaran 2013/2014 yang
terdiri dari 20 siswa. Sedangkan instrumen kunci adalah peneliti dengan dibantu oleh 3 (tiga)
observer.
Tahapan lesson study meliputi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, observasi, dan
refleksi. Perencanaan pembelajaran dimulai dengan menentukan materi yang akan disajikan,
model, strategi, pendekatan dan metode yang akan diterapkan, penyusunan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Kelompok (LKK) serta lembar observasi.
Semua perangkat pembelajaran dan instrumen yang akan digunakan divalidasi oleh semua
anggota kelompok lesson study untuk mengetahui tingkat kelayakan perangkat dan istrumen
yang digunakan.
Pelaksanaan pembelajaran merupakan tahap menerapkan perangkat pembelajaran yang
telah disusun dengan sistematis. Pembelajaran dilaksanakan sejalan dengan RPP dan tidak boleh
menggangu atau menghambat kegiatan pembelajaran di sekolah. Pembelajaran yang dilakukan
mengacu pada skenario yang telah direncanakan dalam RPP inkuiri terbimbing bersetting
kooperatif STAD.
Observasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mengamati dan merekam setiap
peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Pelak-sanaan observasi
menyatu dengan pelaksanaan pembelajaran sehingga peneliti membutuhkan cara dan alat untuk
mengakses kegiatan guru dan siswa secara menyeluruh dan akurat. Observasi dilakukan oleh
anggota kelompok lesson study. Observer bertugas mengobservasi kegiatan guru dan siswa
selama proses pembelajaran dan merekam kejadian-kejadian yang terjadi dengan kamera video.
Observasi menggunakan lembar observasi dan dokumentasi.
Refleksi merupakan tahapan melakukan analisis terhadap setiap data hasil observasi dan
hasil tes. Refleksi dilakukan terhadap kegiatan guru dan siswa. Refleksi dilaksanakan dengan
menelaah hasil observasi dan mendengarkan komentar dan saran dari observer secara langsung,
Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi dan kefektifan pembelajaran yang disajikan,
pada bagian apa yang meningkatkan keaktifan siswa dan pada bagian apa yang harus diperbaiki.
Refleksi juga dilakukan terhadap hasil tes untuk menentukan peningkatan hasil belajar siswa
setelah mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting kooperatif STAD.
Sebelum data-data dinarasikan, data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan
diuji dan dianalisis. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat validitasnya. Teknik yang
digunakan untuk pengujian adalah teknik triangulasi. Teknik triangulasi digunakan dengan cara
membandingkan apa diamati langsung oleh peneliti, apa yang diamati oleh observer, hasil
observasi dan memutar kembali rekaman video. Kevalidan data dlihat dari keseuaian antara
unsur-unsur yang digunakan dalam teknik triangulasi tersebut.
.
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING BERSETTING
KOOPEATIF STAD
Pelaksanaan pembelajaran dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap awal, tahap inti, dan
tahap penutup. Tahap awal dimulai dengan guru mengajak siswa berdo’a menurut agamanya
masing-masing, kemudian guru menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran yaitu dasar-
dasar trigonometri dengan tujun agar siswa dapat menyelidiki dan menemukan konsep sinus,
cosinus, tangen, cosecn, secn dan cotangen. Guru menyampaikan keterkaitan yang erat antara
materi trigonometri dengan kehidupan sehari-hari. Guru menyampaikan langkah-langkah
pembela-jaran yang akan dilakukan dan menjelaskan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan
394
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
oleh siswa selama pembelajaran. Kemudian guru melakukan tes awal terhadap siswa tentang
matei prasyarat. Tahap awal pembelajaran berlangsung selama 10 menit.
Langkah pertama pada tahap inti pembelajaran adalah membentuk kelompok belajar.
Kelompok belajar dibentuk berdasarkan hasil tes awal. Kelompok yang terbentuk terdiri dari 3
(kelompok) yang maing-masing terdiri dari 5 anggota. Setiap kelompok terdiri dari 1 siswa
berkemampuan tinggi, 3 siswa berkemampuan sedang dan 1 siswa berkemampuan rendah. Guru
mengumumkan pembagian kelompok kemudian membagikan LKK dan menyampaikan
pentingnya komunikasi dan kerjasama dalam mengerjakan LKK. Setelah menerima LKK, siswa
menuliskan nama kelompok dan anggota-angotanya pada halaman pertama LKK dan langsung
berdiskusi untuk memahami dan mengerjakan LKK yang diberikan. Guru memberikan
kesempatan kepada setiap kelompok untuk menanyakan hal-hal apa saja yang belum dipahami
dari LKK.
Langkah kedua adalah guru mengamati kerja setiap kelompok selama pembelajaran.
Guru membimbing setiap kelompok yang mengalami kesulitan mengerjakan LKK. Semua
anggota kelompok aktif dalam mengerjakan LKK walaupun ada beberapa anggota kelompok
yang terlihat pasif. Siswa-siswa ang terlihat pasif diberikan bimbingan secara personal, didekati
dan diajak bekerja sama alam mengerjakan LKK, sehingga mereka dapat aktif dalam
pembelajaran. Kelompok I dan II tidak mengalami banyak hambatan mengerjakan LKK, dengan
sedikit bimbingan dari guru mereka sudah dapat menyelesaikan LKK. Sebaliknya kelmpok III
memerlukan banyak bimbingan dari guru sehingga mereka agak terlambat dalam mengerjakan
LKK. Guru memberikan bimbingan kepada setiap kelompok dengan cara berdiskusi dengan
siswa dan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan siswa pada penyelesaian
tugas yang diharapkan sampai siswa mampu menyelesaikan masalah pada LKK.
Langkah ketiga adalah presentasi hasil kerja kelompok. Pada saat presentasi terlihat
siswa sudah mulai aktif dan keatif dalam mempresentasikan hasil kelompoknya. Semua
kelompok mendapatkan hasil kerja yang sama sehingga tidak ada pertanyaan yang muncul dari
siswa. Selama siswa melakukan presentasi, guru mengambarkan tabel perhitungan poin
perkembangan kelompok. Setelah presentasi berakhir, guru kemuadian mengajak siswa
menyimpulkan hasil pembelajaran yang telah dijalani.
Selama siswa melakukan presentasi, guru mengambarkan tabel perhitu-ngan poin
perkembangan kelompok. Guru kemudian mengadakan tes akhir pembelajaran. Hasil tes akan
dijadikan sebagai nilai akhir untuk menentukan poin perkembangan kelompok dan menentukan
penghargaan kelompok pembelajaran. Tes berjalan dengan baik dan lancar.
Sebelum menutup pembelajaran, guru mengoreksi dan memberi nilai hasil tes akhir
pembelajaran. Setelah tabel hasil tes akhir pembelajaran terisi, guru bersama-sama siswa
menghitung poin perkembangan kelompok. Kegiatan selanjutnya adalah pemberian hadiah
(penghargaan) kepada siswa. Siswa menerima penghargaan dengan antusias. Berakhirnya
kegiatan penyerahan hadiah ini juga merupakan akhir kegiatan inti pembelajaran. Kegiatan inti
pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Tahap penutup dimulai dengan mengajak siswa bersama-sama menyim-pulkan hasil
pembelajaran. Kemudian guru meminta siswa mempelajari kembali materi pembelajaran
trigonometri terutama materi sinus, kosinus, tangen, cosecan, secan dan cotangen dirumah
masing-masing. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan tentang tugas
yang diberikan guru tersebut. Selanajutnya mengajak siswa berdo’a bersama secara khidmat,
kemudian menutup pembelajaran dengan salam. Pembelajaran berlangsung sesuai dengan waktu
yang direncanakan.
HASIL
Berdasarkan hasil pengatamatan yang dilakukan oleh guru dan observer. Siswa tampak
aktif mengikuti pembelajaran. Respon siswa tampak sudah baik sejak pelaksaan apersepsi.
Siswa mulai aktif berdiskusi sejak menerima Lembar Kerja untuk kelompoknya masing-masing.
Semua siswa terlibat aktif ketika memahami masalah yang diberikan pada LKK. Siswa yang
kesulitan dalam memahami masalah yang terdapat pada LKK segeri bertanya dan berdiskusi
dengan guru. Pada kegiatan prnutup siswa terlibat aktif ketika melakukan refleksi dan
merangkum hasil pembelajaran.
Data hasil tes akhir pembelajaran memperlihatkan bahwa hasil belajar siswa sudah baik.
Data memperlihatkan bahwa terdapat 7 dari total 13 siswa yang mengikuti tes atau 53,85%
395
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa memperoleh nilai sempurna (100), 30,77% mendapatkan nilai baik (≥ 70), dan hanya
terdapat 15,38% dari 13 siswa yang memperoleh hasil belajar yang kurang baik (< 70).
KESIMPULAN
Implementasi pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting kooperatif STAD dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar. Siswa terlibat akif dalam mengikuti pembelajaran
sejak kegiatan pendahuluan, kegiatan inti sampai kegiatan penutup. Siswa aktif bekerjasama
dalam kelompok dengan baik. Hasil belajar siswa juga memperlihatkan bahwa secara klasikal
84,62% siswa hasil belajar yang baik. Guru matematika dapat menggunakan pembelajaran
inkuiri terbimbing besetting kooperatif STAD untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam
pembelajaran. Pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar terutama pada materi mencari
dan menemukan perbandingan tigonometri (sin, cos, dan tangen) dan menentukan nilai
perbandingan trigonometri pada sudut 300.
DAFTAR RUJUKAN
Alrø, H., & Høines, MJ. 2012. Inquiry - Without Posing Questions?. The Mathematics
Enthusiast. 9 (3). 253-270.
Andriani, N., Husaini, I., dan Nurliyah, L. 2011. Efektifitas Penerapan Pembelajaran Inkuiri
Terbimbing (Guided Inquiry) pada Mata Pelajaran Fisika Pokok Bahasan Cahaya di
Kelas VIII SMP Negeri 2 Muara Padang. Prosiding Simposium Nasional Inovasi
Pembelajaran dan Sains 2011 (SNIPS 2011). Pada tanggal 22-23 Juni 2011, Bandung,
Indonesia.
Chin, ET., Lin, YC., Chuang, CW., & Tuan, HL. 2007. The Influence Of Inquiry-Based
Mathematics Teaching on 11th Grade High Achievers: Focusing On Etacognition.
Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education. Vol 2. 129-136. Seoul: PME.
Dewi, NL,. Dantes, N., Sadia, IW. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Terhadap Sikap Belajar IPA. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar (Vol 3)
Goos, M. 2004. Learning Mathematics in a Classroom Community of Inquiry. Journal for
Research in Mathematics Education. Vol. 35, No. 4. pp. 258-291
Goos, M., Stillman, M,. dan Vale, C. 2007. Teaching Secondary School Mathematics :
Research And Practice for the 21st Century. Singapore: CMO Image Printing.
Gialamas, S., Cherif, A., Keller, S., dan Hansen, A. 2000. Using Guided Inquiry in Teaching
Matematical Concepts. Illionis Mathematics Teachers, Fall 2000. (Online).
(http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&
source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.research
gate.net%2Fpublication%2F256373552_Using_Guided_Inquiry_in_Teaching_Mathem
atical_Concepts_Stefanos_Gialamas_and_Abour), Diakses tanggal 31 Oktober 2013.
Jaworski, B. 2006. Theory And Practice in Mathematics Teaching Development: Critical
Inquiry As A Mode Of Learning In Teaching. Journal of Mathematics Teacher
Education. Vol 9. 187–211.
Kuhlthau, CC. 2009. Guided Inquiry: School Libraries in the 21st Century. School Libraries
Worldwide. 16 (1). 17-28.
Kuhlthau, CC., Maniotes, LK., dan Kaspari, AK. 2012. Guided Inquiry Design: A Framework
for Inquiry in Your School. The Journal of the New Members Round Table. Vol 4 (1).
Majid, A. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandun: .Remaja Rosdakarya.
Majoka, MI., Dad, MH., dan Mahmood, T. 2010. Student Team Achievement Division (STAD)
As An Active Learning Strategy: Empirical Evidence From Mathematics Classroom.
Journal of Education and Sociology, ISSN: 2078-032X. 16-20.
Matthew, BM., dan Kenneth, EO. 2013. A Study on The Effects of Guided Inquiry Teaching
Method on Students Achievement in Logic. International Researcher. 2(1).
Minner, DD., Levy, AJ., dan Century, J. 2009. Inquiry-Based Science Instruction—What Is It
and Does It Matter? Results from a Research Synthesis Years 1984 to 2002. Journal of
Research in Science Teaching. Published online in Wiley Inter Science
(www.interscience.wiley.com).
396
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Mustika, AC, Lasmawan, IW., dan Candiasa, IM.,. 2013. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif
STAD Terhadap Hasil Belajar Ditinjau Dari Motivasi Belajar Pada Pembelajaran
Matematika Siswa Kelas IV SD Saraswati Tabanan. e-Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar (Volume 3)
Narso, D., Suyitno, H., dan Masrukan. 2013. Model Kooperatif Tipe STAD Bermuatan
Kewirausahaan Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Peluang.
Unnes Journal of Mathematics Education Research. 2 (1).
Nurcholis. 2013. Implementasi Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa pada Penarikan Kesimpulan Logika Matematika. Jurnal Elektronik
Pendidikan Matematika Tadulako. 1(1). H. 33-42.
Putra, SR. 2013. Desain Belajar Mangajar Kreatif berbasis Sains. Jogjakarta: Diva Press.
Rooney, C. 2012. How am I Using Inquiry-Based Learning to Improve My Practice and to
Encourage Higher Order Thinking Among My Students of Mathematics?. Educational
Journal of Living Theories. 5(2): 99-127.
Rumanto, UD. 2013. Penerapan Metode Inkuiri Terbimbing Untuk Mingkatkan Minat,
Keterampilan Inkuiri dan Hasil Belajar IPA Biologi Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 2
Gemarang. Tesis (tidak dipublikasikan. Malang: PPs UM.
Sanjaya, W. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Cet ke-5. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Sikko, SA., Lyngved, R., & Pepin, B. (2012). Working with Mathematics and Science teachers
on inquirybased learning (IBL) approaches: Teacher beliefs. Acta Didactica Norge
Vision Converensi 2011 teacher education. 6(1) Art. 17.
Slavin, RE. 2005. Cooperative Learning: Thery, Reasearch, and Practice. Terjemahan oleh
Narulita Yusron. 2011. Cet ke-9.Bandung: Nusa Media.
Tran, VD. 2013. Effects of Student Teams Achievement Division (STAD) on Academic
Achievement, and Attitudes of Grade 9th Secondary School Students towards
Mathematics. International Journal of Sciences. 2(Apr).
Withney, D., dan Bloom, AT. 2010. The Power of Appreciative Inquiry A Practical Guide to
Positive Change. Second Edition. San Francisco: Barrett Kohler Publishing Inc.
Wyk, MM. 2012. The Effects of the STAD-Cooperative Learning Method on Student
Achievement, Attitude and Motivation in Economics Education. J Soc Sci, 33(2). 261-
270.
Sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, matematika termasuk mata pelajaran yang
dipelajari secara berkesinambungan dari sekolah tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Bruner dan
Kenney (dalam Bell, 1981: 143) mengemukakan dalil konektivitas sebagai salah satu empat
dalil umum dalam belajar matematika. Dalil konektivitas berarti setiap konsep, prinsip dan
397
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kemampuan dalam matematika terkait pada konsep, prinsip atau kemampuan lainnya.
Keterkaitan ini juga dapat dimaknai bahwa suatu konsep dapat menjadi prasyarat bagi
pemahaman konsep lainnya. Sebagai contoh, konsep luas persegi dapat menjadi prasyarat bagi
pemahaman konsep luas permukaan kubus.
Koneksi juga termasuk dalam salah satu dari lima standar proses kemampuan dasar
matematika yang digunakan NCTM sebagai acuan kurikulum matematika sekolah di Amerika
Serikat. Menurut NCTM (2000: 64), koneksi mengarahkan siswa untuk memahami keterkaitan
antar topik dalam matematika, antara materi matematika dengan subjek lainnya, dan dengan
pengalaman mereka, dalam hal ini terkait dengan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-
hari. Melalui keterkaitan ini, pemahaman siswa terhadap matematika akan menjadi lebih
mendalam dan tahan lama.
Pada pengembangan Kurikulum 2013 oleh pemerintah Indonesia sebagai kurikulum uji
coba pada tahun 2013, dapat dilihat bahwa kurikulum inipun menekankan pada adanya
keterkaitan antar materi dalam suatu mata pelajaran, antar mata pelajaran, yang kemudian dapat
diterapkan untuk dapat memberi solusi pada permasalahan di kehidupan nyata. Hal ini
berdasarkan salah satu faktor pengembangan kurikulum 2013, yaitu faktor pengembangan pola
pikir (Permendikbud No. 70: 5-6). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dalam
kurikulum 2013 juga sejalan dengan standar proses dari NCTM, yaitu koneksi (connection).
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiman (2008) menunjukkan bahwa siswa SMP
memiliki koneksi terendah pada koneksi antartopik matematika, yaitu dengan persentase 41 %.
Penelitian lain pada materi persamaan garis kelas VIII menunjukkan temuan bahwa tingkat
koneksi antara konsep persamaan garis dengan konsep lain dalam matematika serta koneksi
dengan bidang ilmu selain matematik tergolong lebih rendah dibandingkan koneksi intertopik
dan koneksi dengan kehidupan sehari-hari (Mahmudah, 2013). Sehingga disarankan untuk
melakukan kajian koneksi matematika yang lebih mendalam baik pada materi persamaan garis,
maupun materi lainnya.
Pada pembelajaran trigonometri di kelas X semester genap ini di SMK N 1 Malang,
guru menemukan kesulitan siswa dalam menghubungkan konsep-konsep di dalam trigonometri.
Berdasarkan hasil observasi, terlihat bahwa siswa seringkali kurang tepat dalam membuat
representasi perbandingan trigonometri dalam segitiga siku-siku. Selain itu, siswa juga
menunjukkan kekurangan dalam menyelesaikan operasi hitung bilangan real. Beberapa siswa
yang tidak menjawab mengaku bahwa mereka bingung dalam mengaitkan trigonometri ke
rumus luas segitiga.
Menelaah hasil penelitian Sugiman (2008) dan Mahmudah (2013) serta hasil observasi
yang dilakukan, tampak bahwa terdapat kekurangan siswa dalam mengkoneksikan ide-ide
matematika yang telah mereka pelajari. Dalam penelitian ini dikaji secara mendalam
kemampuan koneksi siswa, terutama pada koneksi intertopik dan antartopik trigonometri.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan kemampuan koneksi matematika siswa kelas X pada materi trigonometri.
Kemampuan koneksi siswa dilihat berdasarkan kemampuan koneksi siswa pada tiap aspek
koneksi. Aspek koneksi merupakan hubungan antara dua konsep yang terdapat pada struktur
koneksi. Struktur koneksi merupakan dasar bagi penyusunan soal pada tes koneksi yang
diberikan pada siswa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena
pendekataan ini dapat memberikan gambaran tentang kemampuan koneksi matematika siswa
pada materi trigonometri. Subjek pada penelitian adalah siswa kelas X Pemasaran 2. Data
kemampuan koneksi matematika siswa pada materi trigonometri diperoleh dari hasil analisis
jawaban siswa menggunakan rubrik penilaian yang telah disusun oleh peneliti, disertai hasil
wawancara seputar pola jawaban siswa dalam tes koneksi yang telah dikerjakan sebelumnya.
398
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kemampuan koneksi matematika siswa pada penelitian ini ditentukan oleh rata-rata poin
siswa ( x poin ) dari aspek-aspek koneksi yang muncul pada jawaban siswa. Rata-rata poin
tersebut selanjutnya digunakan sebagai pedoman penentuan kategori kemampuan koneksi
matematika siswa, dengan kriteria sebagai berikut.
HASIL
Untuk mengaji kemampuan koneksi siswa dilakukan dengan memberikan masalah
sebagai berikut.
12
1. Diketahui nilai cos .
13
Di kuadran mana sajakah kemungkinan letak sudut ? (Berikan alasanmu)
Berapa nilai cotan di setiap kuadran tersebut? (Berikan alasanmu!)
Gambar 1. Masalah untuk Mengaji Kemampuan Koneksi
Soal di atas lebih fokus pada koneksi intertopik trigonometri. Soal ini memuat 5 aspek
koneksi, yaitu koneksi antara segitiga siku-siku dan teorema Pythagoras, cos α dengan segitiga
siku-siku, cos α dengan koordinat kartesius, tan α dengan cotan α, dan cotan α dengan nilai
perbandingan trigonometri di kuadran I, II, III, dan IV. Berdasarkan analisis terhadap 5 aspek
koneksi yang muncul, diketahui bahwa siswa tergolong sebagian terkoneksi pada soal ini. Hal
ini berarti, pada setiap aspek koneksi, jawaban siswa sudah mulai mengarah pada koneksi yang
diharapkan. Akan tetapi, penjelasan yang diberikan dalam jawaban siswa masih kurang tepat.
Hasil ini juga disebabkan karena sebagian besar siswa hanya mencantumkan satu kemungkinan
letak sudut .
Pada soal berikutnya, akan dilihat lebih lanjut koneksi antartopik trigonometri.
2. Diketahui segitiga samakaki 𝐴𝐵𝐶, jika 𝐴𝐶 = 𝐵𝐶 = 8 𝑐𝑚, dan ∠𝐴 = 30°.
Tentukan luas segitiga tersebut!
Hasil tes koneksi siswa pada soal ini memberikan tiga pola koneksi yang berbeda.
Perbedaan pola koneksi ini disebabkan karena cara siswa dalam menentukan panjang sisi alas
segitiga. Pada pola pertama, siswa menggunakan cos α pada segitiga siku-siku. Pola kedua,
siswa yang menentukan panjang sisi alas dengan menggunakan tan α pada segitiga siku-siku.
Pola ketiga, siswa menentukan panjang alas segitiga siku-siku dengan menggunakan teorema
Pythagoras. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap hasil tes koneksi siswa pada
soal ini diketahui bahwa siswa tergolong sebagian terkoneksi. Hasil ini disebabkan karena
beberapa siswa tidak memberikan jawaban serta ada siswa yang kurang tepat dalam
memberikan penjelasan.
399
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil tes koneksi yang diperoleh siswa, diketahui bahwa siswa
berkemampuan tinggi memiliki kemampuan koneksi yang tinggi pula, begitupun dengan siswa
berkemampuan sedang dan rendah. Kesesuaian antara tingkat kemampuan siswa dengan
kemampuan koneksinya sejalan dengan hasil penelitian Mandur et al. (2013). Mandur et al.
(2013) mengungkapkan bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar matematika ditentukan oleh
kemampuan koneksi matematisnya. Namun kemampuan koneksi matematika bukanlah satu-
satunya hal yang berpengaruh terhadap capaian prestasi belajar siswa. Hal yang juga
mendukung suksesnya siswa dalam belajar matematika adalah kemampuan representasi
matematis serta disposisi matematis siswa. Disposisi merujuk pada sikap siswa terhadap
matematika, yang nampak saat siswa menyelesaikan tugas matematika.
Sejalan dengan Mandur et al., ditemui pula adanya satu siswa berkemampuan tinggi
(Eva) yang menjadi satu-satunya siswa yang memiliki poin terendah pada aspek koneksi antara
cos α dengan Segitiga Siku-siku di soal no. 1. Pekerjaan Eva ditunjukkan pada gambar berikut.
Karena yang diketahui adalah nilai cos α , maka seharusnya perbandingan tersebut
antara sisi samping dan sisi miring. Menurut penuturannya, Eva tidak memeriksa kembali
jawabannya sehingga ia tidak tahu telah melakukan kesalahan itu.
Pranyata (2013) menyatakan hal ini termasuk dalam tipe kesulitan siswa saat
memecahkan masalah trigonometri. Kesulitan yang dimaksud adalah kesulitan dalam
memeriksa solusi yang didapat. Memeriksa kembali jawaban merupakan salah satu dari empat
langkah Polya dalam memecahkan masalah matematika, yaitu look back. Salah satu pertanyaan
siswa saat melakukan langkah ini adalah ―Is my solution correct? Does my answer satisfy the
statement of the problem?‖ (Musser & Burger, 2011: 5). Kebiasaan siswa melakukan empat
langkah Polya dalam memecahkan masalah akan menghindarkan siswa dari kesalahan yang
disebabkan kecerobohan dan kurang telitinya siswa saat memecahkan masalah.
Kemampuan koneksi terendah siswa berada pada aspek yang terkait dengan
kemungkinan nilai sudut apabila diketahui nilai perbandingan trigonometrinya. Sebagaimana
disebutkan pada soal nomor 1, rendahnya rata-rata poin siswa pada aspek ini disebabkan oleh
siswa kurang mampu dalam menemukan kemungkinan ukuran sudut dari nilai suatu
perbandingan trigonometri. Dari hasil wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa siswa
masih sulit menentukan kapan suatu perbandingan trigonometri (sin α, cos α, dan tan α)
positif/negatif. Hal inilah yang menyebabkan banyak siswa tidak dapat menguasai aspek
koneksi di atas.
Zamir & Leikin (2012) mengungkapkan hal ini terkait dengan kelangsungan ide dan
penggunaan pengetahuan dasar atau dapat disebut fluency (kelancaran) dalam belajar
matematika. Fluency termasuk dalam faktor yang berpengaruh dalam kreatifitas dalam belajar
matematika. Kurangnya kelancaran siswa dalam belajar akan mengurangi kreatifitas siswa
dalam belajar matematika. Hal inilah yang membuat siswa tidak dapat menemukan ukuran-
ukuran sudut yang memenuhi penyelesaian soal tersebut.
Rendahnya rata-rata poin siswa pada aspek-aspek di atas juga dikarenakan siswa kurang
dalam memahami soal yang diberikan. Hasil ini diketahui berdasarkan hasil wawancara
terhadap siswa. Siswa mengaku bingung dengan kalimat ―kemungkinan letak sudut α‖ pada soal
nomor 1. Kebingungan siswa ini mengakibatkan mereka kesulitan dalam menyelesaikan soal
serta memberi penjelasan pada jawaban mereka. Untuk mengeksplorasi ide siswa dalam
menyelesaikan masalah, guru perlu lebih sering memberi siswa soal non-rutin (Fauzi, 2011).
Dengan demikian, pemikiran kreatif siswa akan muncul dan mengurangi kebingungan siswa
saat menghadapi soal yang relatif baru bagi mereka.
Beberapa siswa juga menganggap soal nomor 2 merupakan soal yang baru bagi mereka
sehingga mereka melakukan kesalahan serupa dalam menyelesaikan soal. Beberapa dari mereka
tidak menjawab, serta ada siswa yang mengerjakan aspek ini langsung dengan pendekatan tan α
400
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pada segitiga samakaki. Dari penuturan siswa, diketahui bahwa siswa mencoba mencari panjang
sisi alas segitiga samakaki dengan menggunakan tan α. Hal ini disebabkan siswa beranggapan
mungkin saja perbandingan trigonometri dapat dihitung pada sebarang segitiga. Selain itu,
pendekatan tan α dipilih karena sering digunakan dalam mengerjakan soal yang rutin diberikan
oleh guru.
Pemberian soal non-rutin atau tidak biasa bagi siswa mengakibatkan beberapa siswa
mengalami kesulitan dan berusaha menebak dan mencoba cara yang tepat untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Proses yang dilakukan siswa sudah sesuai dengan salah satu strategi yang
dapat dilakukan pada langkah pemecahan Polya, devise a plan, yaitu guess and test. Sayangnya,
dalam hal ini siswa tidak melakukan test, sehingga jawaban akhir siswa tetap salah.
Keterkaitan antara materi yang telah dipelajari siswa dengan materi yang sudah mereka
peroleh sebelumnya sangatlah penting. Seperti disebutkan Jaijan (2009) bahwa koneksi
matematika yang perlu dimiliki siswa adalah koneksi yang mampu mengaitkan materi dan
mengembangkan koneksi terhadap materi itu sendiri dari topik yang mereka pelajari saat ini
dengan topik yang telah mereka pelajari sebelumnya.
Sebagian besar siswa terkoneksi pada aspek yang pernah mereka pelajari sebelumnya,
seperti koneksi antara teorema Pythagoras dan segitiga siku-siku, serta koneksi antara luas
segitiga dan segitiga samakaki. Hal ini diperjelas dengan keterangan Eva dan Lely, kedua
siswa ini sepakat bahwa jika segitiga samakaki yang dibagi dua tepat pada garis tingginya akan
menjadi segitiga siku-siku yang sama (kongruen). Hampir 100 % siswa telah mampu mencari
panjang sisi yang tidak diketahui pada segitiga siku-siku dengan menggunakan teorema
Pythagoras. Beberapa dari mereka juga mengingat bilangan yang termasuk triple Pythagoras.
Berdasarkan rata-rata hasil tes koneksi yang diperoleh, diketahui bahwa siswa tergolong
terkoneksi, sebagian terkoneksi, dan sedikit terkoneksi. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa
tidak ada siswa yang tergolong tidak terkoneksi. Hasil ini mengungkapkan bahwa siswa sudah
cukup akrab dengan adanya koneksi antarkonsep matematika namun siswa masih belum
terbiasa dalam menerapkan koneksi tersebut. Pada jawaban yang diberikan siswa, diketahui
bahwa sebagian besar siswa dapat memberikan penyelesaian yang benar pada setiap aspek
koneksi, namun siswa tidak dapat memberikan keterangan/alasan mengapa memberikan
jawaban tersebut. Kondisi ini menjelaskan perlunya siswa mengapresiasi hubungan dasar dalam
topik-topik yang ada dalam matematika. Hal ini dikarenakan pada jawaban yang diberikan,
siswa tampak lebih memahami prosedur penyelesaian soal daripada koneksi yang terkait dalam
penyelesaian soal itu sendiri. Hasil ini digambarkan pada diagram lingkaran di bawah ini.
Terkoneksi
Sebagian Terkoneksi
Sedikit Terkoneksi
Tidak Terkoneksi
0% 18%
35%
47%
Kekurangan siswa dalam memahami soal, mencari koneksi serta memberi penjelasan
pada jawaban memerlukan solusi dalam pembelajaran. Sulistyaningsih (2012), Permana &
Sumarmo (2007), dan Bahri & Bukhori (2011) mengembangkan desain pembelajaran yang
dapat meningkatkan koneksi matematika siswa. Berdasarkan metode pembelajaran yang
dilakukan oleh ketiganya, diketahui bahwa kemampuan koneksi matematika dapat meningkat
melalui pembelajaran konstruktivis yang menekankan pada pengenalan koneksi yang ada pada
materi tersebut, serta dengan materi lain dalam matematika dan dengan masalah pada kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, selanjutnya pembelajaran perlu dirancang agar siswa mampu
mengenal dan menerapkan koneksi matematika di dalamnya.
401
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN
Bahri, Saiful & Bukhori. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi
Matematika Siswa dengan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) di SMA Swasta Al-Azhar Medan, (Online), (www.umnaw.ac.id/wp-
content/uploads/2013/01/LAPORAN-SAIFUL.pdf, diakses tanggal 16 April 2014).
Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). United
States of America: Wm. C. Brown Company.
Jaijan, Wasukree. 2011. The Thai Mathematics Curriculum and Mathematical Connection.
(Online), (http://www.recsam.edu.my/COSMED/cosmed09
/AbstractsFullPapers2009/Abstract/Mathematics%20Parallel%20PDF/Full%20Paper/18
.pdf, diakses pada 7 Januari 2014).
Mahmudah, Yuniek Fauziah. 2013. Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas VIII pada
Materi Persamaan Garis . Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri
Malang.
Mandur, Kanisius, Sadra, I Wayan & Suparta, I Nengah. 2013. Kontribusi Kemampuan
Koneksi, Kemampuan Representasi, dan Disposisi Matematis terhadap Prestasi Belajar
Matematika Siswa SMA Swasta di Kabupaten Manggarai. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Matematika, (Online),
Volume 2, Tahun 2013, (http://pasca.undiksha.ac.id/e-
journal/index.php/JPM/article/download/ 885/639, diakses pada tanggal 2 Mei 2014).
Musser, G., Burger, W. & Peterson, B. 2008. Mathematics for Elementary Teachers A
Contemporary Approach. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 2000. Principles and Standards for
School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Permana, Yanto dan Sumarmo, Utari. 2011. Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan
Koneksi MAtematik Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Portal Jurnal
Universitas Pendidikan Indonesia. (Online), (jurnal.upi.edu/penelitian-
pendidikan/author/yanto-permana-dan-utari-sumarmo, diakses tanggal 6 Januari 2014).
Pranyata, Yuniar Ika Putri. 2013. Analisis Kesulitan Siswa dalam Memecahkan Masalah
Trigonometri dan Pemberian Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS
Universitas Negeri Malang.
Sugiman. 2008. Koneksi Matematika dalam Pembelajaran Matematika di SekolahMenengah
Pertama. Jurnal Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas
Negeri Yogyakarta. (Online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/-
131930135/2008_Koneksi_Mat.pdf, diakses tanggal 6 Januari 2014).
Sulistyaningsih, D., Waluya, S. B., Kartono. 2012. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC
dengan Pendekatan Konstruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi
Matematik. Unnes Journal of Mathematics Education Research. (Online).
(http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujmer, diakses tanggal 17 Februari 2014).
402
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Zamir, Hana Lev. & Leikin, Roza. 2012. Creative mathematics teaching in the eye of beholder:
focusing on teacher’s conception . Research in Mathematics Education. (Online),
(http://www.tandfonline.com/loi/rrme20, diakses tanggal 6 Januari 2014).
Abstrak: Penelitian ini akan mendeskripsikan proses dan hasil pengembangan bahan ajar
berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing materi trigonometri untuk kelas X yang valid,
praktis, dan efektif. Pengembangan bahan ajar ini menggunakan model pengembangan 4D,
tanpa fase diseminasi. Instrumen penelitian meliputi lembar validasi, lembar observasi,
angket, dan tes. Berdasarkan hasil uji kevalidan bahan ajar diperoleh skor rata-rata seluruh
aspek 2,18 (valid) . Hasil uji coba lapangan mengenai observasi keterlaksanaan bahan ajar
diperoleh skor rata-rata seluruh aspek yaitu 2,80 dapat dikatakan bahan ajar praktis.
Berdasarkan uji coba lapangan yang dilakukan, diperoleh hasil yaitu 82,53% siswa kelas X
telah menguasai materi trigonometri. Berdasarkan hasil angket, rata-rata seluruh responden
1,55 memberikan respon positif terhadap penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran.
Berdasarkan indikator-indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan ajar efektif
digunakan dalam pembelajaran.
403
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
404
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE
Pengembangan ini menggunakan model pengembangan Four D, yang terdiri dari tahap
define (mendefinisikan), design (merancang), develop (mengembangkan), dan disseminate
(menyebarkan). Dari keempat tahap tersebut, alasan pemilihan model 4D dalam penelitian ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: (a) model ini disusun dengan urutan kegiatan
yang sistematis dalam upaya pemecahan masalah belajar yang berkaitan dengan sumber belajar
yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pebelajar; (b) model ini membahas khusus
bagaimana mengembangkan bahan ajar berupa LKS dan bukan pada rancangan pengajarannya;
(c) model 4D sudah banyak digunakan dalam penelitian pengembangan bahan ajar berupa
LKS,peneliti hanya melakukan hingga tahap ketiga karena hasil pengembangan tidak untuk
disebarluaskan melainkan hanya untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut.
Tahap mendefinisikan akan dilakukan observasi terhadap pembelajaran baik model
yang digunakan, maupun kemampuan siswa. Selain itu, akan disusun 1) konsep materi
trigonometri, 2) rincian tugas yang akan dikerjakan siswa di akhir pembelajaran, 3) tujuan
pembelajaran sesuai dengan konsep dan rincian tugas.
Pada tahap merancang akan dirancang bahan ajar dan RPP (draf I), serta instrumen.
Instrumen yang dirancang antara lain lembar validasi, lembar observasi, angket, dan tes.
Lembar validasi digunakan untuk mengetahui tingkat kevalidan bahan ajar, RPP, dan tes
berdasarkan skor dan saran yang diberikan oleh validator. Lembar observasi aktivitas guru
untuk mengetahui tingkat kepraktisan bahan ajar dan diisi oleh pengamat ketika pelaksanaan
pembelajaran. Tes digunakan untuk mengetahui nilai ketuntasan belajar siswa yang dikerjakan
secara individu. Lembar observasi aktivitas siswa diisi oleh pengamat ketika pelaksanaan
pembelajaran. Angket respon siswa diisi oleh siswa untuk mengetahui respon siswa terhadap
produk yang digunakan dan aktivitas pembelajaran. Tes, lembar observasi aktivitas siswa, dan
angket digunakan untuk mengetahui tingkat keefektifan bahan ajar.
Sedangkan tahap mengembangkan akan dihasilkan draf akhir bahan ajar berupa LKS
dan RPP setelah dilakukan revisi berdasarkan saran dari validator dan uji coba. Validasi
dilakukan oleh dua dosen dan satu praktisi untuk memperoleh saran/komentar terhadap produk
yang dikembangkan. Uji coba dilakukan pada siswa kelas X SMK Putra Indonesia Malang pada
materi trigonometri yaitu nilai perbandingan trigonometri suatu sudut diberbagai kuadran, dan
rumus perbandingan trigonometri sudut berelasi dan melibatkan guru model yaitu guru yang
mengajar di SMK Putra Indonesia Malang.
Jenis data yang diperoleh dari uji coba produk pengembangan bahan ajar ini
dikelompokkan menjadi dua, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa
masukan, tanggapan, dan saran perbaikan dari ahli, praktisi, observer, pengamatan peneliti dan
siswa, melalui validasi maupun uji coba lapangan. Sedangkan data kuantitatif berupa skor
penilaian yang diberikan oleh validator, observer, dan siswa serta berupa skor hasil ketuntasan
belajar siswa.
Untuk mengukur tingkat kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan maka disusun
instrumen. Instrumen pengumpulan data pada pengembangan bahan ajar LKS ini berupa: (a)
lembar validasi, (b) lembar observasi, (c) angket, dan (d) tes.
Seluruh instrumen pengumpulan data sebelum digunakan, terlebih dahulu divalidasi
oleh para ahli, yaitu dosen dan guru (praktisi) untuk mengetahui validitas instrumen-instrumen
tersebut. Pada Tabel berikut disajikan instrumen penelitian yang diadaptasi dari Parta (2009:
62), dengan adanya beberapa modifikasi.
Tabel 1. Aspek yang diukur, Instrumen, Data yang diamati, dan Responden
Aspek yang diukur Instrumen Data yang diamati Responden
Kevalidan bahan ajar Lembar validasi Kevalidan bahan ajar, RPP, tes, Ahli dan Praktisi
lembar observasi dan angket
Kepraktisan bahan Lembar observasi Keterlaksanaan bahan ajar Observer
ajar
Keefektifan bahan Lembar observasi Aktivitas siswa, aktivitas guru Observer
ajar Angket Respon siswa, tanggapan siswa Subjek uji coba
Tes Penguasaan materi Subjek uji coba
405
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
406
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
407
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi. Menurut Piaget, tidak akan terjadi proses
belajar, apabila siswa tidak mengolah, mengasimilasi atau mengakomodasi segala informasi
yang dijumpai dalam lingkungannya.
Kelebihan dan Kelemahan Produk Hasil Pengembangan
a. Kelebihan Bahan Ajar yang Telah Disusun
(1) Bahan ajar berupa LKS dapat digunakan sebagai sumber belajar siswa dalam
pembelajaran menggunakan metode inkuiri terbimbing.
(2) Bahan ajar berupa LKS disusun untuk kepentingan siswa, sehingga strukturnya
disesuaikan dengan karakteristik siswa.
(3) Bahan ajar berupa LKS disusun untuk membimbing siswa dalam mengkonstruk
pemahamannya terhadap materi yang disajikan didalamnya.
(4) Bahan ajar berupa LKS memberi ruang bagi pengguna untuk menuangkan ide dan
gagasannya.
(5) Bahan ajar berupa LKS memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih
mengerjakan soal secara mandiri melalui soal uji kompetensi.
b. Kelemahan Bahan Ajar yang Telah Disusun
Kelemahan bahan ajar berupa LKS yang telah disusun hanya berdasar pada analisis
masalah pembelajaran dan analisis karakteristik siswa dalam pembelajaran matematika di
SMK Putra Indonesia Malang , sehingga keberadaannya juga hanya sesuai dengan siswa
SMK Putra Indonesia Malang. Topik yang dimuat belum mencakup semua topik pada poko
bahasan perbandingan trigonometri. Topik yang disajikan meliputi nilai perbandingan
trigonometri untuk sudut diberbagai kuadran, dan rumus perbandingan trigonometri untuk
sudut berelasi. Selain itu, uji coba pengembangan LKS ini hanya sampai pada pengerjaan
secara berkelompok oleh siswa.
Saran
(a) Peran guru masih sangat dibutuhkan untuk membimbing siswa dalam menggunakan bahan
ajar berupa LKS, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan siswa dalam
pengambilan kesimpulan.
(b) Bahan ajar LKS ini dapat digunakan sebagai sumber belajar bagi siswa, namun guru
hendaknya menyarankan siswa agar tetap mencari dan mambaca sumber belajar yang lain.
(c) Pilih materi yang cocok untuk dibelajarkan kepada siswa melalui metode inkuiri
terbimbing.
(d) Upayakan pengembangan bahan ajar LKS berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing yang
cocok untuk karakteristik dan masalah pembelajaran yang berbeda-beda.
(e) Disarankan untuk mengujicobakan LKS ini kepada siswa secara individu untuk mengetahui
lebih rinci perkembangan siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Blanchard, M.R., Sherry A.S, & Ellen M.G.2009. No silver bullet for inquiry: Making sense of
teacher change following an inquiry‐based research experience for teachers. Science
Education. 93.2 : 322-360.
Blanchard, M.R., dll. 2010. Is inquiry possible in light of accountability?: A quantitative
comparison of the relative effectiveness of guided inquiry and verification laboratory
instruction. Science Education. 94.4 : 577-616.
Canadas, Maria C., Castro, Encarnacion, and Castro, Enrique. 2009. Using a Model to
Describe Students’ Inductive Reasoning in Problem Solving. .Electronic Journal of
Research in Educational Psychology, (Online), 17(7):261-278.
Dasopang, N.A.2012. Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa pada Pelajaran Matematika
dengan Menggunakan Model Pembelajaran Inquiry Training di Kelas IV SD Negeri
101780 Percut TA 2011/2012. Tesis tidak diterbitkan. Medan: PPs Universitas Negeri
Medan.
Dyer, J., H. G, & C. Christensen.2009. The Innovators DNA. Harvard Bussiness Review: 61-67.
Edelson, D. C, Douglas N. G, & Roy D. P.1999. Addressing the challenges of inquiry-based
learning through technology and curriculum design. Journal of the Learning Sciences
8.3-4 : 391-450.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas
(SMA)/Madrasah Aliyah (MA).
408
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Keys, C.W, & Lynn A. B.2001. Co‐constructing inquiry‐based science with teachers: Essential
research for lasting reform. Journal of research in science teaching 38.6 : 631-645.
Lotter, C, William S. H, and J. José B.2007. The influence of core teaching conceptions on
teachers' use of inquiry teaching practices. Journal of Research in Science Teaching
44.9: 1318-1347.
Martinello, M. L. & Cook, G. E. 2000. Interdisciplinary Inquiry in Teaching and Learning, 2nd
Ed. Upper Saddle River, New York: Merrill.
Mayer, Richard. E. 2004. Should There Be a Three-Strikes Rule Against Pure Inquiry Learning?
The Case for Guided Methods of Instruction. American Psychologist, (Online), 59(1):
14-19.
Parta, I. N. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Inquiry untuk Memperhalus
Pengetahuan Matematika Mahasiswa Calon Guru melalui Pengajuan Pertanyaan.
Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA.
Rasmussen, David and Miceli, Stacey. 2008. Inquiry Geometry An Investigative Approach,
Condensed Lessons: A Tool for Parents and Tutors. USA: Key Curriculum Press.
Subagio, N.H. 2009. Implementasi Metode Pembelajaran Inquiry (penemuan) pada Mata
Pelajaran Matematika Pokok Bahasan Hitung Campuran dalam Soal
Cerita/Pemecahan Masalah di Kelas V MI Islamiyah Kota Malang.Skripsi tidak
diterbitkan. Malang: Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar & Prasekolah-Fakultas Ilmu
Pendidikan UM.
Sund, R. B. & Trowbridge, L. W. 1973. Teaching Science by Inquiry in The Secondary School
2ndED. Ohio: A Bell & Howell Company.
Thiagarajan, Sivasailan And Others. 1974. Instructional Development for Training Teacher of
Exceptional Children. Minnesota: University of Minnesota.
Wallace, C.S, & Nam‐Hwa K.2004. An investigation of experienced secondary science teachers'
beliefs about inquiry: An examination of competing belief sets. Journal of research in
science teaching 41.9 : 936-960.
Wilson, C. D, dll.2010. The relative effects and equity of inquiry‐based and commonplace
science teaching on students' knowledge, reasoning, and argumentation. Journal of
Research in Science Teaching 47.3 276-301.
Abstrak: Untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif terhadap
matematika perlu diperhatikan cara pengajarannya. Matematika merupakan hal yang
menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan banyak kegunaannya. Hal ini
dapat dirasakan melalui pembelajaran matematika realistik (Realistic Mathematic
Education). Bahan ajar khususnya Lembar Kerja Siswa (LKS) yang ada selama ini
kebanyakan hanya sebatas kumpulan soal-soal, dan sedikit uraian materi di dalamnya.
Siswa hanya terpaku pada uraian dalam LKS tanpa menganalisis suatu masalah. Hal ini
kurang meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Berdasar fakta yang terjadi di
MTsN Paiton untuk materi persamaan linier dua variabel, siswa sudah pernah
mendapatkannya di jenjang pendidikan sebelumnya, namun kebanyakan siswa belum
paham akan konsepnya. Hal di atas yang mendasari dikembangkannya LKS yang
bercirikan Realistic Mathematic Education (RME) yang valid, praktis dan efektif. Adapun
langkah-langkah pembelajaran realistik tercermin dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
dan lembar kerja siswa meliputi (a) memulai pembelajaran dengan mengajukan
permasalahan riil sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuan peserta didik (b)
peserta didik mengembangkan model-model simbolik terhadap masalah yang diajukan (c)
pembelajaran berlangsung secara interaktif (d) Penekanan utama bukan pada langkah-
409
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
langkah prosedural, tetapi lebih pada pemahaman konsep dan penyelesaian masalah,
dengan melibatkan masalah yang tidak rutin dan mungkin jawabannya tidak tunggal, (e)
Pembelajaran di desain agar materi pelajaran terkait dengan topik atau bahasan lain
sehingga lebih bermakna.Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Proses untuk
memperoleh hasil pengembangan berdasarkan model Plomp, yaitu meliputi (a)
prototyping stage, meliputi fase investigasi awal, fase desain /perancangandan fase
pengembangan/konstruksi (2) assesment stage meliputi fase implementasi/uji produk dan
fase analisis, evaluasi dan revisi. LKS Sistem Persamaan Linier Dua Variabel bercirikan
RME divalidasi oleh tiga validator dengan skor 91,67% dan uji coba produk menunjukkan
persentase skor ketelaksanaan lembar kerja siswa yang di tunjukkan dari aktivitas siswa
adalah 90,00% dengan kriteria sangat baik. Data tersebut menunjukkan bahwa hasil
penelitian pengembangan ini berupa rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kerja
siswa telah memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan
di sekolah. khususnya di SMP/MTs. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang
memasukkan matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang dujikan secara nasional, Akan
tetapi pada kenyataannya sebagian besar siswa mengatakan matematika merupakan pelajaran
yang sulit dan membosankan. Sehingga menjadi pelajaran yang menakutkan. dan sebagian
besar siswa kurang memiliki minat dan menyenangi pelajaran matematika. Padahal setiap segi
kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari matematika.
Kata minat dan senang merupakan dua kata yang saling kait mengait. Seorang siswa
yang memiliki minat untuk belajar tentunya di dalam dirinya akan timbul perasaan senang
terhadap pelajaran itu. Apabila seorang siswa menyenangi pelajaran matematika tentu di dalam
dirinya akan timbul minat untuk mempelajari matematika. Dengan munculnya minat dan
perasaan senang terhadap matematika diharapkan penguasaan konsep matematika akan lebih
baik.
Dalam Permendiknas no. 41/2007 tentang standar proses dinyatakan bahwa standar
proses pembelajaran matematika yang baik,harus interaktif,inspiratif, menantang dan
memotivasi peserta didik untuk mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. Agar
proses pembelajaran bisa efektif dan menyenangkan harus didukung oleh beberapa komponen
pembelajaran yaitu sumber-sumber pembelajaran yang memotivasi siswa untuk belajar dengan
model-model pembelajaran yang efektif.
LKS (lembar kerja siswa) merupakan salah satu bahan ajar yang digunakan dalam
pembelajaran . Selama ini perangkat pembelajaran yang berupa LKS ini memang sudah ada di
sekolah peneliti meski bukan buatan guru sendiri.Akan tetapi LKS yang digunakan
penyusunannya seringkali tanpa mempertimbangkan struktur isi bidang studi untuk kepentingan
pembelajaran seperti (a) tidak di tampilkannya kompetensi dasar secara jelas dan terinci (b)
materi yang disajikan belum dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari (c) belum menggunakan
suatu pendekatan pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam mengerjakannya.LKS
semacam ini tidak efektif dan kurang optimal dalam proses membelajarkan siswa, siswa hanya
terpaku pada uraian di LKS tanpa menganalisa masalah.
Pendidikan matematika realistik atau PMR dipilih untuk memecahka masalah karena
model pembelajaran PMR peserta didik akan lebih aktif mengkonstuksi pengetahuan
matematika untuk dirinya sendiri, sehingga para guru lebih banyak sebagai motivator dalam
proses pembelajaran bukan sebagai pengajar atau penyampai ilmu (Yuwono, 2001). Melalui
pengaitan konsep-konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari, dapat
menyebabkan siswa tidak mudah lupa terhadap terhadap konsep-konsep matematika yang ia
pelajari. Bahkan ia juga akan lebih mudah mengaplikasikan konsep matematika untuk
menyelesaikan maupun menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sehinnga mengaitkan pengalaman kehidupan nyata siswa dengan dengan ide-ide matematika
dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna ( Soedjadi, 2000:4,
Zamroni, 2000:3 ). Keunggulan pembelajaran realistik sebagai model pembelajaran didukung
temuan dari penelitian Kultsum (2009) yang menyimpulkan bahwa ada peningkatan
pemahaman dan respon positif siswa kelas VII dalam mengikuti pembelajaran, dengan
pendekatan realistik Jannah (2007) menyimpulkan bahwa pendekatan Realistic Mathematic
410
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Education (RME) dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa SMP dalam materi persegi
panjang dan persegi. Dalam implementasinya di kelas pembelajaran realistik menggunakan 5
karaktristik dasar (Gravemeijer 1994) yaitu sebagai berikut (1) menggunakan konteks yang
nyata sebagai titik awal belajar (2) menggunakan model untuk menjembatani konsep
matematika yang konkret dan abstrak (3) menghargai sumbangan pikiran siswa (4) belajar
dalam suasana demokratif dan interaktif (5) menghargai jawaban informal siswa sebelum
mereka mencapai bentuk formal matematika. (Nur, 2001). Kelima karakteristik menurut
filosofi realistik inilah yang menjiwai setiap aktivitas pembelajaran matematika.
Berdasar hasil observasi dan studi kepustakaan, penulis termotivasi dan tertantang
untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang realistik. Perangkat pembelajaran yang
dihasilkan berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang bercirikan RME yang harus memenuhi
kriteria valid, efektif dan praktis. Perangkat pembelajaran memenuhi kriteria valid apabila telah
divalidasikan kepada ahli dan praktisi. Kevalidan perangkat pembelajaran berarti perangkat
pembelajaran layak diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas. Perangkat pembelajaran
yang memenuhi kriteria praktis apabila Lembar Kerja Siswa (LKS) dilaksanakan secara nyata di
lapangan yang di tunjukkan dengan perolehan skor akhir respon guru mencapai kriteria minimal
baik. Perangkat pembelajaran yang memenuhi kriteria efektif apabila dalam penyelesaian tes
akhir pembelajaran dengan kriteria baik, tingkat penguasaan materi siswa melalui Lembar
Kerja Siswa baik, siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran.
METODE
Penelitian ini mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan sintaks
model pembelajaran tertentu. Oleh sebab itu, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
pengembangan. Pengembangan perangkat pembelajaran bercirikan RME materi Sistem
Persamaan linier Dua variabel menggunakan model Plomp. Model Plomp ini terdiri dari dua
tahap utama , yaitu prototyping stape dan assesment stage. Kegiatan pokok pada tahap pertama,
adalah fase infestigasi awal, fase desain, dan fase realisasi/konstruksi, dan kegiatan pokok pada
tahap kedua, adalah fase tes, evaluasi dan revisi dan fase implementasi. Fase implementasi ini
tidak digunakan karena membutuhkan banyak biaya untuk menyebarluaskan produk dalam
skala besar.
Penelitian dilakukan di MTsN Paiton di kelas VIII-G dengan alokasi waktu empat
pertemuan pada Bulan April2014. Kegiatan yang dilakukan pada tahap investigasi awal adalah
menghimpun informasi permasalahan pembelajaran matematika terdahulu dan merumuskan
rasional pemikiran pentingnya mengembangkan perangkat, mengidentifikasi dan mengkaji
teori yang melandasi pengembangan perangkat. Pada tahap desain perangkat, kegiatan di
tujukan untuk menghasilkan prototype perangkat pembelajaran, antara lain menyangkut desain
format, isi, pemilihan metode pembelajaran, dan aktivitas guru dan siswa. Kemudian
kegiatan pada tahap konstruksi adalah kegiatan untuk merealisasika desain untuk menghasilkan
suatu prototipe yang lebih lanjut akan di teliti, divalidasi dan direvisi. Pada tahap ke dua tahap
tes, evaluasi dan revisi dilakukan dua kegiatan utama yaitu kegiatan validasi dan kegiatan uji
coba produk dan prototipe hasil validasi . Sebelum uji coba produk, terlebih dahulu materi dan
proses pembelajaran realistik telah dipahami oleh guru yang melaksanakan pembelajaran dan
pengamatan yang mengamati jalannya proses pembelajaran.
Produk pengembangan yang dihasilkan meliputi RPP danLembar Kerja
Siswa.Instrumen penelitian meliputi lembar validasi, lembar observasi, tes hasil belajar.
Lembar validasi yang dikembangkan terdiri dari lembar validasi Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran, lembar validasi Lembar Kerja Siswa. Aspek pada lembar validasi memuat aspek
isi dan konstruk. Namun, pada setiap lembar validasi, aspek konstruk dijabarkan menjadi aspek
bahasa, format penulisan, dan manfaat lembar validasi. Lembar observasi keterlaksanaan
perangkat pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari lembar observasi keterlaksanaan
pembelajaran, lembar observasi keterlaksanaan penggunaan Lembar Kerja Siswa.
Teknik analisis data dilakukan dengan cara menganalisis data kuantitatif dan kualitatif
yang diperoleh selama proses pengembangan. Data yang diperoleh meliputi data kevalidan,
kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran. Data direkapitulasi untuk empat
pertemuan kemudian dianalisis sesuai kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat
pembelajaran yang telah ditetapkan. Produk pengembangan berupa perangkat pengembangan
selanjutnya dikaji berdasar analisis data dan teori ahli yang dirujuk.
411
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
412
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Validasi LKS diperoleh presentase rata-rata keseluruhan Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
yaitu 91,05% dan berdasar kriteria kevalidan yang telah ditetapkan, maka prototipe Lembar
Kegiatan Siswa (LKS) memenuhi kriteria valid.
Hasil validasi instrumen Lembar Observasi Keterlaksanaan Penggunaan Lembar Kerja
Siswa tidak ada catatan dari validator. Hasil validasi yang sangat berpengaruh terhadap
kevalidan data. Hal ini dikarenakan lembar observasi obsevasi harus sesuai dengan kegiatan
pembelajaran yang telah disusun pada lembar kerja siswa dan bagaimana penggunaan lembar
kerja siswa dapat menggunakan masalah kontekstual dan adanya kesempatan siswa untuk
menyelesaikan masalah secara individu/kelompok. Berdasarkan skor yang diberikan
validator,lembar observasi dapat digunakan untuk mengamati penggunaan lembar kerja siswa
sehingga siswa dapat menyelesaikan lembar kerja siswa dan mengobservasi aktivitas siswa
secara berkelompok dan diskusi kelas.
Hasil validasi dari validator/observer tidak ada catatan tentang lembar observasi aktivitas
guru. Berdasarkan rata rata tiap aspek maka prosentase rata-rata keseluruhan yaitu 95,00%.
Pengamatan terhadap aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran menggunakan lembar
observasi aktivitas siswa. Pengamatan dilakukan dua guru matematika, pengamatan terhadap
aktivitas siswa yang di mulai dari awal hingga akhir kegiatan pembelajaran. Adapun hasil
validasi dari validator/observer terhadap tes hasil belajar tidak ada catatan tentang lembar
observasi aktivitas siswa.Berdasarkan rata rata tiap aspek maka prosentase rata-rata keseluruhan
yaitu 90,00%.
Berdasarkan pengamatan terhadap tes hasil belajar siswa yang dilaksanakan sudah
memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah 80 sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwa siswa sudah menguasai materi Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV) dengan
pembelajaran realistik
KAJIAN PRODUK
Berdasar hasil observasi, ditemukan pada awal pembelajaran masih kurang efektif
siswa belum terbiasa dengan cara belajar secara mandiri/ berkelompok menggunakan LKS,
tanpa bimbingan guru. Namun pada pertemuan berikutnya sudah terbiasa dengan LKS dan
berdiskusi dengan teman jika ada kesulitan sehingga pembelajaran berjalan dengan lancar.
Karena itu, dikembangkan perangkat pembelajaran yang harus memenuhi kriteria valid, praktis,
dan efektif.
Untuk menilai kualitas perangkat pembelajaran ini dikembangkan instrumen dan
perangkat pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar
Kegiatan Siswa (LKS). Perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus valid, hal ini
dimaksudkan untuk menjamin perangkat pembelajaran mempunyai validitas dan konstruksi.
Validitas yang ingin dicapai yaitu mengembangkan perangkat pembelajaran realistik materi
Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV) Validitas konstruksi ditunjukkan oleh
perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Selain valid,
perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus praktis. Hal ini bertujuan agar perangkat
pembelajaran benar-benar dapat diterapkan diamati sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Kepraktisan perangkat pembelajaran ini juga diatur melalui pengamatan tentang keterlaksanaan
pembelajaran dan observasi akativitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Kepraktisan
perangkat pembelajaran ditunjukkan oleh tanggapan ketiga observer, bahwa perangkat
pembelajaran ini dapat diterapkan dalam penelitian. Disamping itu, desain harus memenuhi
kriteria efektif. Keefektifan desain diukur melalui kemampuan siswa dalam melakukan tes hasil
belajar. Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan diperoleh data kemampuan siswa dalam
menyelesaikan Tes Hasil Belajar sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal yaitu 80.
Temuan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini yaitu penggunaan Lembar
Kerja Siswa bercirikan RME dapat membantu siswa membangun pemahaman mereka sendiri,
dapat saling berdiskusi bertukar ide /gagasan dan saling memberi informasi antar siswa
sehingga tidak terlalu terfokus pada guru. Hal ini juga dibuktikan dari penelitian Kultsum
(2009) yang menyimpulkan bahwa ada peningkatan pemahaman dan respon positif siswa kelas
VII dalam mengikuti pembelajaran dengan dengan pendekatan realistik Jannah (2007)
menyimpulkan bahwa pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dapat meningkatkan
pemahaman konsep siswa SMP dalam materi persegi panjang dan persegi. Bahkan siswa juga
akan lebih mudah mengaplikasikan konsep matematika maupun menyelesaikan masalah yang
413
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN
Gravemeijer, K. 1994. Developing Realisties Mathematics Education : Utreach: Freudenthal
Institute.
Jannah, M. 2007. Kemampuan Pemahaman Konsep Sswa Kelas VII SMP Negeri 2 Tanjung
Brebes Dalam Pembelajaran Matematika Desa Pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) pada Sub Materi Pokok Bahasan Persegi Panjang dan Persegi Tahun
Pelajaran 2006/2007.
Kultsum, S. 2009, Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan
Pemahaman Siswa Terhadap Konsep Bilangan Bulat (Penelitian Tindakan Kelas
Terhadap Siswa Kelas VII – E SMP 2 Kab. Bandung) Sekripsi tidak di terbitkan.
Bandung jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Pendidikan Indonesia
Nur, M. 2001. RealisticMathematics Education. Makalah di sampaikan pada pelatihan TOT
guru Mata Pelajaran SLTP dan MTs dan enam propinsi di selenggarakan oleh
Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Dirjend Dikalasmen di Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Wilayah IV Surabaya, 20 juni – 6 juli 2001.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Lembaran Negara Republik
Indonesia. BSNP
Soedjadi, R.2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstantasi Keadaan Masa Kini
menuju harapan masa depan. Jakarta : Ditjen Dikti Depdinas Jakarta.
Triyanto. 2010. Mendesaian Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Yuwono.I, 2006.Pengembangan Model Pembelajaran Secara Membumi.: Disertasi tidak
diterbitkan. Surabaya : PPs UM
Zamroni, 2000. Paradiqna Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Biqrat Publishiq.
414
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
415
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
hasil observasi yang dilakukan, ternyata ketika guru menyampaikan materi pada pelajaran
teori, guru menyampaikan materi dengan menggunakan metode konvensional, guru kurang
dapat melibatkan siswa dalam proses pembelajaran ini. Hal ini menyebabkan banyak siswa
yang ngobrol sendiri, bermain handphone pada saat proses pembelajaran berlangsung,
akhirnya siswa kurang dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru. Aktivitas siswa
seperti bertanya, mengajukan pendapat, menyanggah pendapat dari guru dan menjawab
pertanyaan tidak muncul gejala aktif dari siswa. Hal ini menjadikan siswa kurang kreatif dan
kurang bisa mengembangkan diri serta sukar untuk mengaplikasikan apa yang telah
diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan ceramah yang dilakukan oleh guru sama sekali tidak salah, namun ketika
ceramah, interaksi guru dengan siswa kurang begitu berjalan, guru hanya cenderung ceramah
dan tidak memperhatikan situasi dan kondisi siswa di kelas. Metode ceramah juga tidak bisa
dilepaskan dari proses pembelajaran. Metode ceramah akan membuat siswa mendapat hasil
belajar yang maksimal jika dikemas dengan lebih baik dan menarik.
Tercapainya tujuan pembelajaran tidak lepas dari peran utama seorang guru.
Seorang guru tidak hanya dituntut sekedar menyampaikan ilmu, tetapi juga harus dapat
menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif sehingga proses pembelajaran dapat
belangsung secara aktif. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diperlukan metode
pembelajaran yang mampu melibatkan peran serta siswa secara menyeluruh sehingga
kekuatan belajar mengajar tidak hanya didominasi oleh siswa-siswa tertentu saja.
Pemilihan metode pembelajaran tersebut di harapkan dapat meningkatkan peran serta dan
keaktifan siswa dalam mempelajari dan menelaah ilmu.
Salah satu metode pembelajaran yang menuntut keaktifan seluruh siswa adalah
metode pembelajaran kooperatif. Johnson & Johnson (2008) menarik kesimpulan sebagai
berikut.
Cooperative learning, one kind of student-centered learning approach, has
beendocumented throughout the literature as effective in helping students obtain
practical learning skills, abilities for effective communication and proficiency in term of
understanding knowledge, and it promotes positive student attitudes towards their own
learning.
Pembelajaran kooperatif, satu jenis pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa,
yang efektif dalam membantu siswa memperoleh keterampilan belajar yang praktis,
kemampuan komunikasi dan kemampuan yang efektif dalam hal pengetahuan pemahaman, dan
mempromosikan sikap siswa positif terhadap pembelajaran mereka sendiri.
”Students were able to make more progress when they worked in groups than they
would have made working individually” (Jansen, 2012). Siswa mampu membuat kemajuan lebih
ketika mereka bekerja dalam kelompok-kelompok dari mereka akan membuat bekerja secara
individual.
Dalam pembelajaran kooperatif terjadi hubungan interaksi antar siswa. Siswa yang
kurang pandai atau lemah akan dibantu oleh siswa yang lebih pandai, sehingga akan
memperkaya pengetahuan siswa yang diharapkan sehingga hasil belajarnya dapat
meningkat. Lie (2004:28) menyimpulkan “metode pembelajaran kooperatif berbeda dengan
sekedar belajar dalam kelompok”. Perbedaan ini terletak pada adanya unsur-unsur dasar dalam
pembelajaran kooperatif yang tidak ditemui dalam pembelajaran kelompok yang dilakukan
secara asal-asalan. Prosedur metode pembelajaran kooperatif yang dilakukan dengan benar
akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif. Ciri-ciri pembelajaran
kooperatif sebagai berikut: (a) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk
menuntaskan materi belajarnya, (b) kelompok dibentuk dari siswa yang berkemampuan
tinggi, sedang, dan rendah, (c) apabila mungkin, anggota kelompok berasal dari ras,
budaya, agama, etnis, dan jenis kelamin yang berbeda-beda, (d) pembelajaran lebih berorientasi
kepada kelompok daripada individu.
Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap belajar kooperatif. Sistem pengajaran
cooperative learning bisa didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang
terstruktur. Lima unsur pokok yang termasuk dalam struktur ini adalah: (a) saling
ketergantungan yang positif antar anggota kelompok, (b) tanggung jawab perseorangan, (c)
tatap muka antar anggota, (d) komunikasi antar anggota, (e) evaluasi proses kelompok.
Cooperative learning comprises “instructional methods in which teachers organize
students into small groups, which then work together to help one another learn academic
416
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
content” (Slavin, 2011: 344). Pembelajaran kooperatif terdiri dari metode pembelajaran di mana
guru mengatur siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil, yang kemudian bekerja sama untuk
saling membantu mempelajari materi pembelajaran. Aronson, Blaney, Stepan, Sikes & Snapp
(1978) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Helps students break learning materials into manageable learning pieces, and then has
students teach others the piece they have mastered, consequently combining these pieces
intoone whole. Jigsaw learning is based on the perspective that each student will first
become “an expert” in a small part of the whole learning material, and then teach other
students in his group this part of the material.
Pembelajaran Jigsaw, satu jenis metode pembelajaran kooperatif yang dikembangkan
oleh Aronson, Blaney, Stepan, Sikes & Snapp (1978), membantu siswa memecahkan materi
pembelajaran menjadi beberapa bagian materi dikelola belajar, dan itu telah siswa mengajar
orang lain bagian materi yang mereka telah menguasai, akibatnya menggabungkan bagian-
bagian materi yang terpisah menjadi satu kesatuan. Pembelajaran Jigsaw didasarkan pada
perspektif bahwa setiap siswa pertama akan menjadi "ahli" di bagian kecil dari materi
pembelajaran secara keseluruhan, dan kemudian mengajarkannya kepada siswa lain dalam
kelompoknya ini bagian dari materi.
Metode Jigsaw adalah salah satu teknik pembelajaran kooperatif. Siswa yang
memiliki tanggung jawab lebih besar dalam pelaksanaan pembelajaran, dan bukan
gurunya. Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Eliot Aroson dan teman-
temannya di Universitas Texas, dan diadopsi oleh Slavin dan teman-temannya di
Universitas John Hopkins (Trianto, 2010: 73). Pembelajaran menggunakan Jigsaw
melibatkan semua peserta didik yang ada di kelas. Tujuan dari metode ini adalah
mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif dan penguasaan materi. Kegiatan-
kegiatan yang dilakukan dalam metode jigsaw ini antara lain: (a) listening (mendengarkan),
siswa aktif mendengarkan dalam materi yang dipelajari dan mampu memberi pengajaran
pada kelompok asalnya, (b) speaking-student (berkata), akan menjadikan siswa bertanggung
jawab menerima pengetahuan dari kelompok baru dan menyampaikannya kepada pendengar
baru dari kelompok asalnya, (c) kerjasama setiap anggota dari tiap kelompok bertanggung
jawab untuk sukses dari yang lain dalam kelompok, (d) Refleksi pemikiran dengan berhasil
melengkapi, menyelesaikan kegiatan dalam kelompok yang asal, harus ada pemikiran
reflektif yang menerangkan tentang yang dipelajari dalam kelompok ahli.
Pada proses pembelajaran Jigsaw siswa dituntut aktif dalam proses belajar mengajar,
peranan guru hanya sebagai fasilitator. Metode ini merupakan metode yang menarik untuk
digunakan karena materi yang disampaikan tidak harus urut dan siswa dapat berbagi ilmu
dengan siswa lainnya. Dengan ini siswa akan selalu aktif dan menambah kualitas prestasi
belajarnya, guru dapat memonitor pemahaman siswa, pembelajaran bisa lebih terarah, dan juga
siswa bisa mengembangkan kemampuan diri sendiri dengan cara diskusi-diskusi dan latihan
soal.
“Students should also be held individually accountable, so that each member has a
responsibility to contribute to the group and is accountable for the learning progress of the
group” (Kotsopoulos, 2010). Siswa harus bertanggung jawab secara individual, sehingga setiap
anggota memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi kepada kelompok dan
bertanggung jawab untuk kemajuan belajar kelompok.
Berdasarkan informasi tersebut penulis melakukan wawancara dengan guru matematika
di SMK Muhammadiyah Kusan Hilir dan diperoleh keterangan bahwa prestasi belajar
matematika siswa kelas X Farmasi di sekolah tersebut masih tergolong rendah. Hal ini dapat
dilihat dari nilai rata-rata ulangan harian siswa hanya mencapai 45 dari skor maksimal 100.
Nilai rata-rata ini jika dibandingkan dengan ketuntasan belajar menurut kurikulum, yakni
sebesar 6,5 dari skor maksimal 10 dan dapat dikatakan bahwa nilai tersebut berada di bawah
standar ketuntasan yang diharapkan.
Dari hasil wawancara juga di peroleh informasi dari guru matematika di sekolah tersebut
bahwa pokok bahasan yang dianggap sulit untuk dipahami oleh siswa adalah pokok bahasan
program linier. Dalam hal ini siswa seringkali mengalami kesulitan dan kekeliruan dalam
menyelesaikan soal-soal latihan. Hal ini disebabkan karena siswa hanya bekerja secara individu
sehingga kemampuan mereka dalam menyelesaikan soal sangat minim. Selama ini mereka
hanya menerima apa saja yang diberikan oleh guru dan tidak pernah bertanya kepada
417
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
guru atau teman yang lebih paham disaat mereka mengalami kesulitan, dan siswa yang bisa
menjawab tidak mau memberikan penjelasan kepada siswa lain yang belum paham. Oleh karena
itu, jika siswa diberi soal-soal latihan mereka tidak bisa menjawab. Yang dapat mereka jawab
hanya soal-soal yang sama persis dengan yang dicontohkan oleh guru. Penulis menduga model
pembelajaran yang digunakan selama ini belum efektif. Hal inilah yang menyebabkan
rendahnya prestasi siswa, khususnya siswa kelas X Farmasi SMK Muhammadiyah Kusan Hilir.
“The results of this study showed that most students liked working with others and
getting help, discussing and sharing information with others, teaching others, helping one
another, and enjoying the jigsaw context” (Tran & Lewis, 2012). “The study revealed that
jigsaw is a very useful technique, most of the pupils were able to take active part in the lesson
by answering questions during and after the lesson” (Adams, 2013). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa menyukai pembelajaran dengan jigsaw karena
mereka lebih aktif dalam menjawab pertanyaan selama dan setelah pembelajaran. Penelitian
Resor (2008) menemukan beberapa komentar dari siswa yang diajar dengan metode jigsaw.
Sebagian besar komentar mereka adalah bahwa metode pembelajaran jigsaw membuat pelajaran
menjadi lebih menarik dan meningkatkan kemampuan berfikir secara mendalam dan
kemampuan melakukan analisis secara kritis. “Seorang siswa mengatakan metode jigsaw
menyenangkan dan memberi pencerahan karena membawa pada hal-hal yang terang yang tak
pernah terfikirkan” (Alsa, 2010).
Berdasarkan dugaan di atas maka penulis menggunakan tindakan alternatif untuk
mengatasi masalah yang ada berupa penerapan model pembelajaran lain melalui lesson study
yang lebih mengutamakan keaktifan siswa dan memberi kesempatan siswa untuk
mengembangkan potensinya secara maksimal. Model pembelajaran yang dimaksud adalah
model jigsaw.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menerapkan lesson studi di SMK
Muhammadiyah Kusan Hilir. Penelitian dilakukan pada saat penerapan Lesson study pada SMK
Muhammadiyah Kusan Hilir tempat penulis bertugas. Subjek penelitian adalah siswa kelas X
Keperawatan yang berjumlah 17 siswa dan kelas X Farmasi yang berjumlah 17 siswa.
Kegiatan pengambilan data dilakukan dengan siklus Lesson study. Tahap siklus Lesson
study mencakup Plan, Do, dan See. Plan dilakukan untuk menyusun perencanaan pembelajaran
(pembuatan RPP, pemilihan metode pembelajaran, dan pembuatan Lembar Kerja Kelompok).
Do dilakukan untuk mengimplementasikan rencana pembelajaran, mengobservasi kegiatan
siswa dalam pembelajaran. See dilakukan untuk merefleksi kegiatan guru berdasarkan hasil
pengamatan dalam kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan.
418
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
telah dikuasai siswa. Banyak siswa yang menjawab pertanyaan dari guru, terlihat bahwa guru
sudah menarik perhatian siswa untuk memulai pembelajaran yang akan guru ciptakan, dan
siswa diharapkan siswa dapat mengaitkan pengetahuan mereka tentang pertidaksamaan satu
variabel dengan materi yang akan mereka terima dalam pembelajaran ini.
Penilaian hasil belajar dilihat dari aspek kognitif. Hasil belajar dikatakan meningkat
apabila lebih dari atau sama dengan 75% dari banyaknya siswa di kelas memperoleh nilai tes
lebih dari atau sama dengan 70. Fakta menunjukkan bahwa pada akhir siklus 1 pada kelas X
Keperawatan, siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 14 siswa dan 3 siswa tidak tuntas.
Sehingga persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 82%, sedangkan pada akhir siklus 2 pada
kelas X Farmasi, siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 12 siswa dan 5 siswa tidak
tuntas. Sehingga persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 70%. Hasil ini memberikan
gambaran bahwa penelitian ini telah mencapai kriteria keberhasilan, di mana jumlah siswa yang
mencapai kriteria tuntas melebihi 75%.
Berdasarkan fakta tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X Keperawatan dan kelas X
Farmasi pada materi Program Linear. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
yang dapat meningkatkan hasil belajar yang dilakukan peneliti adalah penyajian materi,
penempatan siswa dalam kelompok asal dilakukan sebelum pembelajaran dimulai, membaca
dan mengerjakan LKK yaitu materi ahli dibagi oleh peneliti, pembentukan kelompok ahli dan
diskusi kelompok ahli, laporan masing-masing kelompok ahli ke kelompok asalnya, tes dan
penghargan kelompok.
Langkah-langkah jigsaw yang dapat meningkatkan hasil belajar adalah: (1) Penyajian materi:
peneliti memberikan apersepsi, motivasi, kemudian menjelaskan tujuan pembelajaran dan
aturan main jigsaw, (2) Penempatan siswa dalam kelompok asal: peneliti telah membagi
kelompok asal berdasarkan masukan dari guru matematika yang mengajar di kelas X dan
meminta tiap kelompok agar duduk dengan kelompoknya masing-masing seblum pembelajaran
dimulai agar waktu bisa dikondisikan, kemudian peneliti memberikan LKK, (3) Membaca dan
mengerjakan LKK: peneliti yang menentukan pembagian materi ahli pada tiap kelompok asal,
kemudian peneliti meminta siswa untuk membaca dan mengerjakan LKK yang telah dibagi, (4)
Pembentukan kelompok ahli dan diskusi kelompok ahli: peneliti meminta siswa untuk duduk
bersama dengan anggota kelompok yang lain yang memiliki materi sama, kemudian peneliti
meminta untuk mendiskusikan LKK, (5) Laporan masing-masing kelompok ahli ke kelompok
asalnya: siswa kembali ke kelompok asalnya, siswa menjelaskan bergiliran, peneliti menunjuk
siswa mempresentasikan materi yang bukan menjadi materi ahli mereka pada saat diskusi
kelompok ahli, kemudian siswa menyimpulkan materi bersama peneliti, (6) Tes: peneliti
memberikan tes individu yang terdiri dari beberapa soal, (7) Penghargaan kelompok: peneliti
memberikan penghargaan bagi kelompok asal yang mendapatkan skor rata-rata kelompok
tertinggi.
Tahap Refleksi (See)
Dalam tahap ini, guru model bersama teman-teman observer melaksanakan refleksi. Ada
beberapa temuan yang kami dapatkan selama pelaksanaan pembelajaran.
Temuan: (1) Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe jgsaw baru pertama kali
diterapkan di SMK Muhammadiyah Kusan Hilir pada kelas X Keperawatan dan kelas X
Farmasi sehingga di awal pertemuan siswa msh mengalami kebingungan dan masih beradaptasi,
(2) Siswa berani bertanya dan aktif menganggapi pendapat kelompok lain, (3) Berdasarkan
wawancara yang dilakukan dengan tiga orang siswa berinisial A, B, dan C sebagai subjek
wawancara didapatkan bahwa siswa bertambah semangat dalam belajar matematika jika
dilakukan dengan berdiskusi bersama temannya karena merasa tidak takut dan malu jika ingin
bertanya dan menyampaikan pendapatnya.
Hasil tes menunjukkan bahwa pada akhir siklus 1 pada kelas X Keperawatan, siswa
yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 14 siswa dan 3 siswa tidak tuntas. Sehingga persentase
ketuntasan belajar klasikal adalah 82%, sedangkan pada akhir siklus 2 pada kelas X Farmasi,
siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 12 siswa dan 5 siswa tidak tuntas. Sehingga
persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 70%. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw yang dapat meningkatkan hasil belajar yang dilakukan peneliti adalah penyajian
materi, penempatan siswa dalam kelompok asal dilakukan sebelum pembelajaran dimulai,
membaca dan mengerjakan LKK yaitu materi ahli dibagi oleh peneliti, pembentukan kelompok
419
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ahli dan diskusi kelompok ahli, laporan masing-masing kelompok ahli ke kelompok asalnya, tes
dan penghargan kelompok. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat memberikan pemahaman siswa pada materi program
linear.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: (1)
Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat memberikan
pemahaman siswa pada materi program linear, (2) Ada empat tahapan dalam lesson study yaitu
perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refkelsi (see), (3) Komponen dalam tahap
pelaksanaan yaitu pengajar yang bertindak sebagai guru model dan pengajar lainnya bertindak
sebagai observer, (4) Komponen dalam tahap refleksi adalah masukan –masukan dari observer,
(5) Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas tidak akan berhasil tanpa adanya perencanaan
yang matang, (6) Kualitas pembelajaran tidak akan meningkat apabila tidak ada refleksi dan
tindak lanjut dari proses pembelajaran yang dilaksanakan, (7) Kolaborasi antar pengajar sangat
berperan penting untuk keberhasilan lesson study.
DAFTAR RUJUKAN
Adams, Francis Hull. 2013. Using JIigsaw Technique As An Effective Way Of Promoting
Cooperative Learning Among Primary Six Pupils In Fijai. International Journal of
Education and Practice, 1(6), 64-74.
Alsa, Asmadi.(2010. Pengaruh Metode Belajar Jigsaw Terhadap Keterampilan
Hubungan Interpersonal dan Kerjasama Kelompok pada Mahasiswa Fakultas Psikologi. Jurnal
psikologi, 37(2), 165-175.
Aronson, E., Blaney, N., Stepan, C., Sikes, J., & Snapp, N. 1978. The jigsaw classroom.(2rd
ed.). Beverley Hills, CA: Sage.
Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Degeng, I.S. 1997. Strategi Pembelajaran: Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi.
Malang: IKIP dan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia.
Dotger, S., Barry, D., Wiles, J., Benevento, E., Brzozowski, F., Hurtado-Gozales, J., Wisner, E.
2012. Graduate Students Develop Knowledge from Hardy-Weinberg Equilibrium
through Lesson study.Journal of College Science teaching, 2(1), 40-44.
Eggen, Paul D. Kauchak, Donald P. 1996. Strategies for Teachers. Teaching Context and
Thinking Skills. USA: Allyn and Bacon.
Hendayana, S., dkk. 2006. Lesson study: Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan
Pendidikan (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung UPI Press.
Hiebert, J.A., Morris, A.K., Berk, D., & Jansen, A. 2007. Prepare Teachers to Learn to Teach.
Journal of teacher education, 58, 47-61.
Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstuktivistik. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika. Malang: Prorogram Pasca
Sarjana IKIP Malang, 4 Maret.
Jansen, A. 2012. Developing Productive Dispositions During Small-Group Work in Two Sixth-
Grade Mathematics Classrooms. Middle Grades Research Journal, 7(1), 37-56.
Johnson, D. W., & Johnson, R. T. 2008. Social Interdependence Theory and Cooperative
Learning: The Teacher's Role. In R. M. Gillies, A. Ashman & J. Terwel (Eds.),
Teacher's Role in Implementing Cooperative Learning in the Classroom(pp. 9-37). New
York, U.S.A: Springer.
Kotsopoulos, D. 2010. When Collaborative Learning is Not Collaborative: Supporting Student
Learning Through Self-Surveillance. International Journal of Educational Research,
49(4-5), 129-140.
Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang
Kelas. Jakarta: Grasindo.
Lewis, C. 2002. Does lesson study have a future in the United States? Nagoya Journal of
Education and Human Development, 1, pp.1-23.
Ong, E.G., Lim, C.S., & Ghazali, M. 2010. Examine Changes in Novice and Experienced Math
Teacher Asked Techniques Through Lesson study Process. Journal of Science and
Mathematics Education in Southeast Asia. 33(1), 86-109.
420
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Orton, A. 1992. Learning Mathematics. Issues, Theory and Clssroom Practice. Second Edition.
London: British Library Cataloguing in Publication Data.
Skemp, R.R. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. Expanded American Edition.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Slavin, R. E. 2011. Instruction Based on Cooperative Learning. In R. E. Mayer & P. A.
Alexander (Eds.), Handbook of Research on Learning and Instruction(pp. 344-360).
New York: Taylor & Francis.
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sutawidjaja, Akbar. 2002. Konstruktivisme, Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran
Matematika. Jurnal Matematika dan Pembelajarannya. Universitas Negeri Malang.
Edisi Khusus; Juli tahun VII.
Tall, D.O & Mejia-Ramos, J.P. 2009. The Long-Term Cognitive Development of Different
Types of Reasoning and Proof, In H.N. Jahnke & H. Pulte (Eds.), Explanation and
proof in mathematics: Philosophical and educational perspectives. New York:
Springer.
Tran, Van Dat, & Lewis, Ramon. 2012. The Effects of Jigsaw Learning on Students’ Attitudes
in a Vietnamese Higher Education Classroom. International Journal of Higher
Education, 2(1), 9-20.
Abstrak: Penerapan pembelajaran inquiry pada materi limit fungsi ini dilakukan untuk
membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan tentang limit fungsi secara intuif. Bantuan
atau bimbingan diberikan guru melalui Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dan secara langsung
pada saat kegiatan diskusi. Tahap pembelajaran yang dilalui siswa meliputi observasi
menemukan masalah; merumuskan masalah; mengajukan hipotesis; merencanakan
pemecahan masalah; melaksanakan observasi; pengumpulan data; dan analisis data.
Berdasarkan penerapan pembelajaran inquiry yang dilakukan, ditemukan bahwa sebagian
siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan tantang konsep limit fungsi secara intuitif
dengan mengerjakan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang diberikan oleh guru.
421
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan di dua kelas yakni
kelas X jurusan Agrobisnis (AGB) 2 dan kelas X Pemasaran (PM) 2 SMK Negeri 1 Malang.
422
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
423
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Beberapa kelompok tidak menunjuk pada satu nilai untuk pertanyaan tersebut. Beberapa
kelompok yang lain menunjuk pada satu nilai namun masih tidak sesuai dengan harapan. Siswa
terlihat masih bingung dengan arti kata “mendekati”.
Terlepas dari kendala yang muncul, ada kelompok yang berhasil melalui ketujuh tahap
pembelajaran inquiry tersebut dengan baik. Penemuan oleh siswa tentang konsep limit fungsi
ditandai dengan adanya penarikan kesimpulan oleh siswa baik dalam bentuk tulisan pada
jawaban LKS serta secara lisan.
424
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan pekerjaan mandiri oleh siswa dalam tes yang diberikan ditemukan bahwa
masih banyak siswa yang belum memahami dengan baik tentang pembelajaran limit fungsi.
Kesimpulan tersebut kemungkinan dapat terjadi mengingat hanya beberapa siswa saja yang
mampu membuat kesimpulan tentang konsep limit fungsi secara lisan. Berikut beberapa
pekerjaan mandiri siswa yang mencerminkan ketidakpahaman mereka tentang materi yang
dipelajari.
Dari pekerjaan siswa tersebut, terlihat bahwa siswa masih tidak mengerti baik
mengenai konsep limit itu sendiri mauapun simbol-simbol yang digunakan.
Beberapa siswa dapat menjawab tes yang diberikan secara benar, yakni pada soal yang
meminta siswa menentukan nilai suatu limit fungsi dan menjelaskan maknanya.
425
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pertanyaan pada LKS dapat dibuat lebih terstruktur sehingga siswa dapat lebih mudah dalam
membuat kesimpulan.
Pelaksanaan tahap analisis data terkesan terburu-buru. Hal tersebut disebakan karena
kekhawatiran akan kurangnya waktu. Dalam mengatasi hal ini pemberian tugas pada LKS
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya dapat dibagi untuk masing-masing kelompok. Hal
tersebut dilakukan agar waktu yang tersedia dapat digunakan secara optimal. Selain itu juga
agar diperoleh kesimpulan yang mendalam serta bervariasi dari masing-masing kelompok.
Pelaksanaan penerapan pembelajaran pada siklus kedua dilakukan beberapa perbaikan
berdasarkan praktik pembelajaran pertama, antara lain dilakukan revisi pada LKS baik pada segi
konstruksi pertanyaan yang diberikan maupun pada segi sistematika penyusunan pertanyaan.
Selain itu juga dilakukan perubahan pembagian tugas untuk tiap-tiap kelompok pada kegiatan
inti.
Pada kegiatan pendahuluan tidak terdapat kendala yang berarti. Kesiapan siswa sangat
baik dalam menerima pembelajaran meskipun ada dua orang siswa yang terlambat, namun tidak
mengganggu jalannya pembelajaran. Siswa yang terlambat segera menyesuaikan diri dan
mengikuti pembelajaran yang disajikan.
Motivasi siswa tampak ketika guru menyajikan tayangan berupa powerpoint berkaitan
dengan konsep limit. Kegiatan apersepsi yaitu terkait materi fungsi dapat terlaksana dengan
baik. Sebagian besar siswa dapat membuat contoh fungsi serta menentukan beberap nilai fungsi
dari contoh fungsi yang disebutkan.
Pada kegiatan inti, guru juga membagi kelas menjadi beberapa kelompok dengan
masing-masing beranggotakan empat siswa seperti pada praktik pembelajaran pertama.
Selanjutnya, pada kegiatan inti guru membimbing siswa berdasarkan tahapan pembelajaran
inquiry yakni observasi menemukan masalah; merumuskan masalah; mengajukan hipotesis;
merencanakan pemecahan masalah; melaksanakan observasi; pengumpulan data; dan analisis
data.
Berdasarkan pembelajaran pada kelas sebelumnya tetang makna frase “nilai yang
mendekati”, pada awal kegiatan inti pelaksanaan pembelajaran inquiry tahap 1 yaitu observasi
menemukan masalah, tahap 2 yaitu merumuskan masalah dan tahap 3 yaitu merumuskan
hipotesis dilakukan dengan lebih cermat. Pertanyaan arahan yang diajukan guru dibuat lebih
mengarah pada tujuan yang diharapkan. Seperti pada pertemuan sebelumnya, pertanyaan yang
diajukan dapat dijawab dengan baik pada tahap ini meskipun pada tahap pengajuan hipotesis
siswa belum mampu membuat dugaan yang tepat tentang definisi limit fungsi secara intuitif.
Namun, kata-kata seperti “pendekatan” dan “ batas” telah muncul ketika mereka diminta
memberikan hipotesa mereka tentang pengertian limit fungsi. Pada penerapan pembelajaran
kedua ini juga muncul kata “perkiraan” yang lebih menambah pemahaman mereka tentang
konsep limit fungsi.
Seperti pada pembelajaran ke-1, pada tahap merencanakan pemecahan masalah siswa
memulai kegiatan diskusi sesuai petunjuk guru. Selanjutnya pada tahap melaksanakan
pemecahan masalah dengan menjawab pertanyaan pada LKS. Kendala terkait pertanyaan
426
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
berkurang dengan adanya penyusunan pertanyaan yang lebih runtut dan sistematis pada LKS.
Berikut adalah contoh-contoh pekerjaan kelompok dalam melengkapi LKS yang diberikan.
Penemuan oleh siswa tentang konsep limit fungsi ditandai dengan adanya penarikan
kesimpulan oleh siswa baik dalam bentuk tulisan pada jawaban LKS serta secara lisan.
427
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan penerapan pembelajaran siklus kedua ini dilakukan refleksi oleh peneliti
dan ketiga observer dan diperoleh beberapa masukan untuk perbaikan perencanaan
pembelajaran inquiry selanjutnya. Saran atau masukan tersebut antara lain adalah bahwa
pembelajaran inquiry untuk materi limit fungsi yang berkaitan dengan menemukan definisi limit
fungsi secara intuitif sebaiknya tidak hanya dilakukan di kelas. Tahap perencanaan penyelesaian
masalah, melakukan observasi, pengumpulan data dan sebagian tahap analisis data dapat
dilakukan di rumah dengan meminta siswa berdiskusi di luar jam pelajaran. Dengan meminta
siswa membawa pekerjaan ke rumah, maka guru memberikan cukup waktu untuk siswa berpikir
dan memahami secara seksama. Hal tersebut dilakukan agar didapat kesimpulan yang lebih
mendalam serta kaya bagi tiap-tiap siswa.
Selanjutnya tahap analisis data diperdalam dengan melaksanakan diskusi di kelas.
Guru membimbing untuk memberi penguatan tentang kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh
siswa beserta teman sekelompoknya. Dengan demikian penggunaan waktu di kelas akan jauh
lebih optimal. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah tentang
kedisplinan siswa dalam mengerjakan tugas tersebut. Diharapkan guru dapat memotivasi siswa
untuk mengerjakan tugas tersebut dengan baik.
KESIMPULAN
Pada perencanaan pembelajaran inquiry hendaknya perlu dimengerti dengan baik
kondisi siswa, baik dari segi karakter maupun kemampuan yang dimiliki siswa. Pemberian LKS
dalam menyajikan materi juga perlu memperhatikan aspek sistematika dan keruntutan susunan
pertanyaannya. Guru hendaknya tidak hanya mementingkan dari sisi kecepatan materi tersebut
diperoleh siswa, namun hendaknya lebih mengupayakan agar siswa mampu menemukan konsep
yang mereka pelajari. Selain itu, perlu diyakinkan bahwa siswa juga mendapat pemahaman
tentang materi yang dipelajari secara benar. Berdasarkan penerapan pembelajaran inquiry pada
materi limit fungsi yang telah dilakukan, meminta siswa melaksanakan tahapan perencanaan
penyelesaian masalah, melakukan observasi, pengumpulan data dan sebagian tahap analisis data
di luar jam pelajaran dapat dijadikan alternatif dalam melaksanakan pembelajaran limit fungsi
yakni dalam menemukan definisi limit secara intuitif. Faktor kedisiplinan siswa dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan guru harus lebih diperhatikan apabila alternatif ini
dilakukan.
DAFTAR RUJUKAN
Balim, A.G. 2009. The Effects of Dscovery Learning on Students’ Success Inquiry Learning
Skills. Eurasin Journal of Education Research. Vol.35.
Bruner, J. 2006. In Search of Pedagogy Volume I: The selected works of Jerome S. Bruner.
New York: Routledge.
Jaworski, B. 2006. Theory and Practice in Mathematics Teaching Development: Critical Inquiry
As A Mode of Learning in Teaching. Journal of Mathematics Teacher Education. Vol
9.
Githua. B. N. 2002. Factors Related to The Motivation to Learn Mathematics among Secondary
School Student’s in Kenya’s Nairobi Province and Three Districts of Rift Valley
428
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
429
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
430
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
keyakinan tentang diri sendiri sebagai seorang pembelajar matematika; keyakinan tentang peran
guru, dan keyakinan lain tentang pembelajaran Matematika. Juga Pehkonen (1995)
membedakan empat kategori utama dari keyakinan: keyakinan tentang matematika; keyakinan
tentang diri sendiri dalam matematika; keyakinan tentang pengajaran matematika; keyakinan
tentang belajar matematika.
Eynde, De Corte, dan Verschaffel (2002) telah melakukan analisis filosofis dan
psikologis melalui kajian literatur mengenai artikel tentang keyakinan matematika, kemudian
mengemukakan definisi keyakinan siswa terkait-matematika adalahs ecara implisit maupun
eksplisit yang dipegang siswa yaitu konsepsi subjektif yang dianggap benar tentang pendidikan
matematika, tentang diri mereka sendiri seperti matematikawan, dan tentang konteks kelas
matematika. Keyakinan ini menentukan dalam interaksi satu sama lain dan dengan pengetahuan
siswa sebelumnyat entang belajar dan pemecahan masalah matematika dalam kelas. Selanjutnya
mereka mengemukakan kerangka kerja keyakinan terkait matematika menjadi keyakinan
tentang pendidikan matematika, keyakinan tentang diri (self) dan keyakinan tentang konteks
sosial.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar pendidikan matematika
yang tertarik dengan keyakinan siswa terkait matematika, terdapat beberapa hal yang
mempengaruhi keyakinan tersebut. Keyakinan siswa terkait matematika antara lain dipengaruhi
oleh sifat matematika, peran dan fungsi guru, cara belajar dan mengajar matematika, serta diri
(self) siswa (misalnya van Uden, dkk, 2014; Lazim, dkk, 2004), juga kurikulum (misalnya
Taylor, 2009) dan met-befores (misalnya Tall, Lima dan Healy, 2014; McGowen dan Tall,
2010). Juga telah ditunjukkan bahwa etnis, usia dan gender juga terkait dengan keyakinan siswa
(misalnya Goings, 2014; Fennema dan Sherman, 1978).
Keyakinan siswa tentang diri dalam kaitannya dengan matematika mengacu pada
literatur penelitian motivasional- diberi label keyakinan motivasional – yang disarkan pada tiga
konstruksi dasar motivasi yaitu harapan, nilai dan afektif (misalnya, Pintrich dan Schrauben,
1992; Pintrich, Smith, Garcia, dan McKeachie, 1993). Sedangkan keyakinan siswa tentang
konteks sosial dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, keluarga, komunitas sosial, guru dan teman
belajar (misalnya van Uden, dkk, 2014; Goings, 2014; Lazarides dan Perels, 2012;
Sonnenschein, dkk, 2012).
Keyakinan dapat membatasi harapan dan sumber daya kognitif dan karena itu,
mempengaruhi tujuan dan strategi individu yang digunakan etika terlibat dalam kegiatan
matematika dan pada pemahaman matematika (De Corte, Op't Eynde, Peter, &Verschaffel,
2002; Mason, 2003,Schoenfeld, 1983). Keyakinan yang menghambat motivasi atau memiliki
efek negatif atau tidak ada pengaruh pada pemahaman siswa dianggap tidak menguntungkan
untuk belajar (Kloosterman & Stage, 1992; Muis, 2004). Siswa di semua tingkatan mempunyai
keyakinan nonavailing tentang matematika (Kloosterman & Stage, 1992; Muis, 2004;
Schoenfeld, 1988). Keyakinan nonavailing dapat mencakup keyakinan matematika yang
didasarkan pada fakta, aturan, formula, dan prosedur; pembelajaran matematika harus terjadi
dengan cepat; matematika adalah tentang mendapatkan jawaban yang benar; pengetahuan
matematika secara pasif diturunkan oleh beberapa tokoh otoritas; dan matematika tidak berguna
dalam kehidupan sehari-hari (Cobb, 1986; Kloosterman & Stage, 1992; Mason, 2003; McLeod,
1992; Schoenfeld, 1988; Schoenfeld, 1989).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, dilakukan dengan cara menyebarkan angket
pada satu kelas mahasiswa Politeknik Negeri Malang (Polinema) Program Studi Teknik Mesin
angkatan tahun 2014/2015 yang terdiri dari 24 mahasiswa. Angket berisi isian yang meliputi
identitas mahasiswa termasuk latar belakang sekolah, serta beberapa pertanyaan menyangkut
kejadian/momen penting berkaitan dengan riwayat matematika. Dari angket yang terkumpul
diperoleh data sebagai berikut partisipan terdiri dari 21 mahasiswa laki-laki, 2 orang mahasiswa
perempuan dan 1 orang mahasiswa tidak masuk pada saat pengambilan data. Selain itu juga
diketahui bahwa 8 mahasiswa berasal dari SMK, 14 mahasiswa dari SMA dan 1 mahasiswa dari
MA.
HASIL PENELITIAN
431
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Angket memuat beberapa pertanyaan yang harus dijawab mahasiswa, pertanyaan dan
beberapa jawaban dari mahasiswa disajikan sebagai berikut.
Identifikasi dan tulis momen penting yang telah anda alami dengan matematika dari TK sampai
saat ini. Sertakan saat-saat menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Jawaban mahasiswa yang paling umum dari pertanyaan tersbut dikelompokkan menjadi
dua. Pertama, kejadian menyenangkan, beberapa alasan yang dikemukakan antara lain dapat
mengerjakan soal dengan benar (maju di depan kelas, waktu ujian, latihan); mendapat nilai yang
bagus; tidak pernah kena remidi; mengikuti olimpiade/lomba matematika; guru sabar dan
menerangkan kembali materi yang belum dimengerti; ditantang mendapat nilai yang baik;
gurunya membuat menyenangi matematika; mendapat hadiah karena prestasi dalam
matematika.
Kedua, kejadian tidak menyenangkan, beberapa alasan yang dikemukakan antara lain
dicubit guru karena tidak mengerjakan PR, dihukum guru karena tidak mengerjakan PR, tidak
dapat mengerjakan soal, mendapat nilai rendah, tidak tuntas, gurunya kaku dan terlalu cepat
dalam menerangkan, dimarahi guru karena mengerjakan PR dengan cara yang berbeda,
mendapatkan jawaban yang salah walau caranya sudah benar diajari matematika sampai
menangis, dihukum guru karena tidak hapal perkalian, tidak hapal rumus.
Apakah ada titik waktu ketika anda tertarik matematika? Apa yang membuat anda tertarik
matematika?
Semua mahasiswa (100%) menjawab ada titik waktu mereka tertarik dengan
matematika. Adapun alasan yang dikemukakan antara lain dapat mengerjakan soal, mendapat
nilai bagus, tidak kena remidi, bisa mengerjakan soal tanpa menghapal, cukup dengan
memahami soal, cara mengajar guru menyenangkan, mudah dipahami, tidak terlalu cepat, rasa
penasaran akan jawaban yang muncul dari soal-soal baru, seru dan penuh tantangan dalam
mengerjakan soal, menyukai matematika sejak kecil, dan ayah membantu menyelesaikan
masalah.
Titik waktu ketika siswa tertarik matematika 70% (16 siswa dari 23 siswa) terjadi pada
saat mereka duduk di bangku SMP ke bawah (SD/MI = 8 siswa, SMP/MTS = 8 siswa) dan 30%
terjadi pada sekolah menengah atas (SMA/MA = 4 dan SMK = 3).
Apakah ada titik ketika anda menarik diri (tidak tertarik) dari matematika? Apa yang
menyebabkan anda menarik diri dari matematika?
Terdapat 21 mahasiswa (91%) yang menjawab ada titik waktu dimana mereka menarik
diri dari matematika. Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain guru tidak jelas, terlalu
cepat dalam menyampaikan materi, guru suka marah-marah, tidak memahami materi, rumus-
rumus; materi sulit, pindahan dari sekolah lain, tidak ada tempat bertanya bila mengalami
kesulitan, tidak suka trigonometri, membutuhkan waktu lama untuk memahami, mendapatkan
nilai jelek, guru terlalu santai dan tidak peduli dengan murid yang nakal, sering tidak masuk
karena aktif di OSIS dan ekstrakurikuler, apabila semua siswa bisa dan hanya saya yang tidak
bisa.
Sedangkan titik waktu ketika siswa menarik diri (tidak tertarik) dari matematika 30% (7
siswa dari 23 siswa) terjadi pada saat mereka duduk di bangku SMP ke bawah (SD/MI = 2
siswa, SMP/MTS = 5 siswa) dan 70% terjadi pada sekolah menengah atas (SMA/MA = 11 dan
SMK = 5).
PEMBAHASAN
Beberapa alasan yang dikemukakan mahasiswa di atas secara teoritis dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, keyakinan tentang pendidikan matematika,
meliputi keyakinan tentang matematika, keyakinan tentang belajar matematika dan keyakinan
tentang pembelajaran matematika. Keyakinan tentang matematika tercermin dari persepsi
mahasiswa bahwa matematika berisi rumus-rumus yang harus dihafal. Keyakinan terhadap
belajar matematika bahwa belajar matematika harus dilakukan dengan menghafal. Keyakinan
terhadap pembelajaran terkait dengan persepsi guru yang baik adalah pertama menjelaskan teori
dan memberikan contoh latihan sebelum ia meminta untuk memecahkan masalah matematika,
cara mengajar guru yang mudah dipahami. Hal ini sesuai dengan temuan (Underhill, 1988;
McLeod, 1992; Pehkonen, 1995; Kloosterman, 1996).
Kedua, keyakinan siswa tentang diri atau lebih dikenal dengan keyakinan motivasional,
yang didasarkan pada tiga konstruksi dasar motivasi yaitu harapan, nilai dan afektif. Hal yang
432
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
paling memuaskan bagi saya dalam pelajaran matematika adalah memahami konten, penting
bagi saya untuk mempelajari materi pelajaran di kelas matematika, saya yakin bisa memahami
materi yang paling sulit disajikan dalam pelajaran matematika, jika saya belajar sungguh-
sunguh maka saya akan mendapat nilai yang baik. Hal ini juga didukung hasil penelitian dari
McLeod (1992; PintrichdanSchrauben (1992); Pehkonen (1995); dan Kloosterman, (1996).
Ketiga, keyakinan siswa tentang konteks sosial pendidikan matematika mengacu pada
pandangan siswa dan persepsi norma-norma kelas, termasuk norma-norma sosial dannorma-
norma sosial-matematis, peran dan fungsi guru, peran dan fungsisiswadi kelas, peran dan fungsi
orang tua. Pandangan siswa tentang apa yang dianggap sebagai solusi yang berbeda atau sebagai
penjelasan yang dapat diterima dalam kelas mereka, guru yang sabar dan telaten dalam
menerangkan materi, orang tua yang peduli terhadap prestasi matematika siswa. Hal ini juga
ditegaskan oleh Underhill (1988); McLeod (1992); Cobb &Yackel (1998); dan Gunderson
(2012).
Pertanyaan kedua dan ketiga “apakah ada titik waktu anda tertarik (menarik diri) dari
matematika?”, diketahui bahwa semua siswa pernah mengalami tertarik dengan matematika
(70% terjadi pada tingkat SMP ke bawah) hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
National Research Council,A.S (2001) bahwa siswa sebagian besar memulai sekolah dengan
antusias dan pergeseran orientasi motivasi muncul di sekitar kelas 3 (sekitar 8 tahun). Dan 91%
siswa pernah mengalami menarik diri dari matematika (70% terjadi pada tingkat sekolah
menengah atas). Hal ini paralel dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Steffens, Jelenec,
dan Noack (2010) yang mengungkapkan bahwa perilaku negatif terhadap matematika sering
terjadi pada siswa setelah kelas 10 (usia 15 tahun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keyakinan siswa dan juga mahasiswa Polinema tentang matematika mengalami pergeseran dari
menyukai matematika menjadi tidak menyukai matematika atau sebaliknya.
SIMPULAN
Berdasarkan pengumpulan data dan pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1)
beberapa faktor yang mempengaruhi keyakinan mahasiswa terhadap matematika yaitu sifat dari
matematika (Nature of mathematics), peran dan sifat guru, metode pembelajaran, konteks sosial,
dan konsep diri mahasiswa sebagai pembelajar matematika, (2) keyakinan
matematikamahasiswa terkaitt matematika dapat dikelompokkan menjadi keyakinan tentang
pendidikan matematika, keyakinan siswa tentang diri atau lebih dikenal dengan keyakinan
motivasional, dan keyakinan siswa tentang konteks sosial pendidikanmatematika, (3) keyakinan
matematika mahasiswa mengalami pergeseran dari menyukai matematika menjadi tidak
menyukai matematika atau sebaliknya.
DAFTAR RUJUKAN
Berry, Robert Quinlyn, III., 2003. Voices of african-american male students: A portrait of
successful middle school mathematics students. Disertasi Doctor of Philosophy: Culture,
Curriculum and Change (Mathematics Education). The University of NorthCarolina at
Chapel Hill
Cobb, P., 1986. Contexts, goals, beliefs, and learning mathematics. For the Learning of
Mathematics, volume 6, halaman 2-9.
Carter, C. S., & Yackel, E., 1989. A constructivist perspective on the relationship between
mathematicalbeliefs and emotional acts. Paper presented at the annual meeting of the
AERA, San Francisco.
Daskalogianni, K., & Simpson, A., 2001. Beliefs overhang: The transition from school to
university. Dalam Proceedings of the British Society for Research into the Learning of
Mathematics, Vol. 2, halaman 97-108.
Dewi, Mutia Lina, dkk, 2007.Belajar Kelompok Model STAD dan Jigsaw untuk Meningkatkan
Motivasi dan Keaktifan Mahasiswa dalam Belajar Matematika di Politeknik Negeri
Malang, Laporan Penelitian Fundamental Dikti,Malang.
Griese, B., Glasmachers, E., Härterich, J., Kallweit, M. dan Roesken, B., 2011. Engineering
Students and the learning of mathematics. Dalam Roesken, B. dan Casper, M. (Eds).
Proceedings of the MAVI-17 Conference. September 17-20, 2011, Ruhr-Universität
Bochum, Germany.
433
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gunderson, E. A., Ramirez, G., Levine, S. C. dan Beilock,S. L., 2012.“The role of parents and
teachers in the development ofgender-related math attitudes,” Sex Roles, vol. 66,
halaman 153–166.
Kapetanas, E. & Zachariades, T., 2007, Students’ Beliefs and Attitudes about Studying and
Learning Mathematics. Dalam Woo, J. H., Lew, H. C., Park, K. S. & Seo, D. Y. (Eds.).
Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education, Vol. 3, halaman 97-104. Seoul: PME.
Kloosterman, P., Raymond, A. M., & Emenaker, C., 1996. Students' beliefs about mathematics:
A three-year study. The Elementary School Journal, volume 97(1), halaman 39-56.
Kloosterman, P., & Stage, F. K., 1992. Measuring beliefs about mathematical problem solving.
School Science and Mathematics, volume 92(3), halaman 109-115.
Leder, G. C. dan Forgasz, H.J., 2002. Measuring Mathematical Beliefs and Their Impact On
The Learning Of Mathematics: A New Approach. Dalam G. C. Leder, E. Pehkonen, &
G. Törner (Eds.), Beliefs: A Hidden Variable in Mathematics Education?, Kluwer
Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Halaman95-113.
Leder, G. C., Pehkonen, E. & Törner, G., 2002. Beliefs: A Hidden Variable in Mathematics
Education?, Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.
Liston, N., & O’Donoghue, J., 2008. The influence of affective variables on students’ transition
to university mathematics. Topic Study Group 30, ICME 2008.
http://tsg.icme11.org/tsg/show/31. Diakses tanggal 27 April 2014.
Mason, L., 2003. High school students' beliefs about maths, mathematical problem solving, and
their achievement in maths: A cross-sectional study. Educational Psychology, volume
23(1), halaman 73-85.
McLeod, D. B., 1992. Research on affect in mathematics education: A reconceptualization.
Dalam D. A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and
learning (halaman 575-596). Reston, VA: The National Council of Teachers of
Mathematics, Inc.
Muis, K. R., 2004. Personal epistemology and mathematics: A critical review and synthesis of
research. Review of Educational Research, 74(3), 317-377.
National Research Council, 2001. Adding It Up: Helping ChildrenLearn Mathematics,
Mathematics Learning Study Committee, Center for Education, Division of Behavioral
and Social Sciencesand Education, National Academy Press, Washington,DC, USA.
Op 'T Eynde, P.,De Corte, E., & Verschaffel, L., 2002. "Knowing what to believe": The
relevance of students' mathematical beliefs for mathematics education. Dalam B. K.
Hofer, & P. R. Pintrich (Eds.), (pp. 297-320). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Pehkonen, E. (1995). Pupils’ view of mathematics: Initial report for an international comparison
project. University of Helsinki, Department of Teacher Education. Research report 152
Pintrich, P. R., & Schrauben, B., 1992. Students' motivational beliefs and their cognitive
engagement inacademic tasks. In D. Schunk, & J. Meece (Eds.), Students' perceptions
in the classroom: Causes andconsequences (pp. 149-183). Hillsdale, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates.
Pintrich, P. R., Smith, D. A. F., Garcia, T., & McKeachie, W. J., 1993. Reliability and
predictive validityof the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ).
Educational and PsychologicalMeasurement, 53, 801-813.
Schoenfeld, A. H., 1989. Explorations of students' mathematical beliefs and behavior. Journal
for Research in Mathematics Education, volume 20, halaman 338-355.
Schoenfeld, A. H., 1988. When good teaching leads to bad results: The disasters of "well-
taught" mathematics courses. Educational Psychologist, volume 23(2), halaman 145-
166.
Schoenfeld, A. H., 1983. Beyond the purely cognitive: Belief systems, social cognitions, and
metcognitions as driving forces in intellectual performance. Cognitive Science, volume
7, halaman 329-363.
Steffens, M. C., Jelenec, P., dan Noack, P., 2010. “On the leakymath pipeline: comparing
implicit math-gender stereotypesand math withdrawal in female and male children
andadolescents,” Journal of Educational Psychology, vol. 102, no.4, halaman 947–963.
434
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Steiner, L. A., 2007. Disertasi: The Effect of Personal and Epistemological Beliefs on
Performance in a College Developmental Mathematics Class. Doctor of Philosophy.
Department of Foundations and Adult Education, College of Education. Kansas State
University. Manhattan, Kansas.
Taylor, M. W., 2009. Changing Students’ Minds About Mathematics: Examining Short-Term
Changes In The Beliefs Of Middle-School Students. Dalam Swars, S. L., Stinson, D.
W., & Lemons-Smith, S. (Eds.). Proceedings of the 31st annual meeting of the North
American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics
Education, Volume 5, halaman 105-112.Atlanta, GA: Georgia State University.
Underhill, R., 1988. Mathematics learners' beliefs: A review. Focus on Learning Problems in
Mathematics, 10, 55-69.
435
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
436
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom actionresearch) dengan
pendekatan kualitatif. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan,yaitu : perencanaan tindakan,
pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi, danrefleksi (Kemmis dan Mc. Taggart dalam
Arikunto 2010:93).
Kehadiran peneliti di lapangan mutlak diperlukan. Menurut Moleong (1996:21),
kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah sebagai perencana, pelaksana, pengumpul
data, penganalisis, penafsir data dan akhirnya sebagai pelapor hasil penelitian. Sehubungan
dengan penelitian ini, maka kehadiran peneliti di lapangan adalah menyusun rencana kegiatan,
melakukan pengamatan, mewawancarai peserta didik, melaksanakan tes awal dan tes akhir pada
setiap akhir tindakan. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai guru dan dibantu teman
sejawat dengan kualifikasi pendidikan S1.
HASIL PENELITIAN
Peneliti melaksanakan tes awal yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal
peserta didik pada materi aritmatika sosial dan untuk dijadikan alat dalam pembentukan
kelompok yang bersifat heterogen. Dari hasil analisis tes awal tersebut peneliti memeriksa
bahwa dari 32 orang peserta didik yang mengikuti tes tersebut, hanya terdapat 7 orang peserta
didik yang dapat menyelesaikan soal dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman
peserta didik mengenai materi yang diberikan masih rendah sehingga tidak mencapai ketuntasan
klasikal yang telah ditetapkan. Umumnya peserta didik masih sulit mengubah suatu kalimat ke
model matematika.
437
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PEMBAHASAN
Peneliti melaksanakan tes awal yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal
peserta didik pada materi penarikan kesimpulan logika matematika dan untuk dijadikan alat
dalam pembentukan kelompok yang bersifat heterogen. Hal ini sejalan dengan pendapat
Sutrisno (2012:212), yaitu pelaksanaan, tes sebelum perlakuan dilakukan untuk mengetahui
pemahaman awal peserta didik .
Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas guru dalam mengelolah pembelajaran
dan aktivitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran pada siklus I, kegiatan pembelajaran
belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan metode pembelajaran yang digunakan agak
sedikit berbeda dengan biasanya. Kecenderungan belajar individu mengakibatkan kurangnya
komunikasi dan kerjasama dalam kelompok. Dalam pembelajaran yang telah dilaksanakan
dapat dilihat bahwa peserta didik yang berkemampuan rendah hanya bergantung pada teman
sekelompoknya yang berkemampuan lebih. Hal ini sejalan dengan pendapat Purnomo
(2011:46), yaitu pada model kooperatif, peserta didik kemampuan lebih dapat membantu
kemampuan di bawahnya pada saat proses interaksi dengan kelompoknya. Namun, peserta didik
berkemampuan rendah dalam proses penyelesaian masalah tidak berkembang karena hanya
bertumpu pada peserta didik berkemampuan lebih.
Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas guru dalam mengelolah pembelajaran
dan aktivitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran pada siklus II, pembelajaran berjalan
lebih baik dari sebelumnya, baik dari peserta didik yang mengikuti pembelajaran maupun
peneliti dalam menjelaskan materi dan membimbing peserta didik . Proses pembelajaran di
kelas telah berpusat pada peserta didik . Walaupun masih ada peserta didik keliru dalam mengisi
tabel kebenarannya, namun bisa teratasi dengan bimbingan dari peneliti. Peneliti memberikan
bimbingan untuk mengarahkan peserta didik agar menemukan konsep yang dipelajarinya.
Bimbingan tidak hanya diberikan kepada individu/kelompok itu saja, tetapi seluruh peserta
didik di kelas. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutrisno (2012: 214-215), yaitu selama proses
pembelajaran, kelas dibentuk menjadi bebe-rapa kelompok diskusi untuk memudahkan
membimbing peserta didik, selama diskusi berlangsung peserta didik bertanya kepada peneliti
saat mengalami kesulitan. Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh
peneliti. Peneliti meminta peserta didik untuk lebih cermat mendiskusikan hal yang ditanyakan,
jawaban harus ditemukan sendiri oleh peserta didik . Oleh karena itu, peneliti membimbing
peserta didik dengan petunjuk tambahan untuk membantu mengarahkan menemukan jawaban
pertanyaan atau konsep yang dipelajari, petunjuk tidak diberikan hanya kepada kelompok yang
bertanya saja, tetapi kepada semua peserta didik di kelas. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
pengulangan pertanyaan oleh peserta didik /kelompok lain. Dengan demikian, proses
438
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran benar-benar terpusat pada peserta didik, peserta didik berusaha menggunakan dan
mencari ide untuk menemukan suatu konsep.
Dalam proses penemuan, peserta didik dibantu oleh LK yang diberikan dan bimbingan
oleh peneliti. Peserta didik yang berada satu kelompok saling berinteraksi dalam menyelesaikan
permasalahan yang terdapat pada LK. Jika peserta didik belum mengerti dalam menyelesaikan
masalah tersebut, peserta didik bisa berinteraksi dengan peneliti. Peneliti hanya mengarahkan
peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang diberikan dan peserta didik yang
mengkonstruksisendiri pengetahuannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Karim
(2011:30), yaitu dalam melakukan aktivitas penemuan, peserta didik berinteraksi dengan peserta
didik lainnya. Interaksi berupa sharing atau peserta didik yang berkemampuan lemah bertanya
kepada peserta didik yang pandai dan peserta didik yang pandai menjelaskannya. Interaksi juga
terjadi antara guru dengan peserta didik tertentu, dengan beberapa peserta didik atau serentak
dengan seluruh peserta didik dalam kelas. Lebih lanjut Karim (2011:29) mengatakan dalam
proses penemuan konsep, peserta didik mendapat bantuan dari guru, bantuan yang diberikan
menggunakan teknik scaffolding. Teknik scaffolding merupakan suatu teknik memberi bantuan
kepada peserta didik yang mengalami kesulitan di atas kemampuannya dalam memecahkan
masalah, antara lain berupa pengajuan pertanyaan dan pemberian petunjuk, pertanyaan yang
diberikan oleh guru berbentuk pertanyaan yang lebih sederhana dan lebih mengarahkan peserta
didik untuk dapat untuk mengonstruksi konsep. Bentuk pertanyaan tersebut merupakan lanjutan
dari per-tanyaan yang dituangkan dalam LK, bantuan yang diberikan bukan untuk individu
melainkan untuk kelompok yang mengalami kendala dalam melakukan proses penemuan
berdasarkan langkah-langkah penemuan dalam LK.Langkah-langkah penemuan yang disajikan
dalam LK yaitu stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification,
dan generalization.
Hasil tes akhir tindakan siklus I, diperoleh bahwa masih banyak peserta didik yang
belum mampu menyelesaikan soal berkaitan dengan persentase untung-rugi. Akan tetapi, hasil
tes akhir siklus I ini menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan hasil tes awal.
Hasil tes akhir siklus I ini belum mencapai kriteria keberhasilan tindakan yang telah ditetapkan.
Hasil tes akhir tindakan siklus II menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik dalam
menyelesaikan soal diskon, bruto, tara, netto, dan bunga tunggal lebih baik daripada persentase
untung-rugi pada siklus I. Padahal jika kita melihat dari tingkat kesulitannya, menghitung bunga
tunggal lebih sulit dari pada untung-rugi. Hal ini dikarenakan peserta didik sudah memahami
konsep persentase.
Setelah melaksanakan tes akhir, peneliti melakukan wawancara dari informan untuk
memperoleh informasi, baik dari metode yang digunakan oleh peneliti maupun hasil tes yang
diberikan. Peneliti melakukan wawancara untuk melengkapi hasil observasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sukardi (2011:75), yaitu instrumen observasi akan lebih efektif jika informasi
yang hendak diambil berupa kondisi atau fakta alami, tingkah dan hasil kerja responden dalam
situasi alami. Instrumen observasi mempunyai keterbatasan dalam menggali informasi yang
berupa pendapat atau persepsi dari subjek yang diteliti. Lebih lanjut Sukardi (2011:79)
mengemukakan bahwa pada teknik wawancara ini peneliti berhadapan langsung dengan
responden atau subjek yang diteliti. Peneliti menanyakan sesuatu yang telah direncanakan
kepada responden. Hasilnya dicatat sebagai informasi penting dalam penelitian. Berdasarkan
hasil wawancara siklus I diperoleh informasi bahwa peserta didik bingung dengan persentase
untung-rugi dan belum memahami cara menentukan nilainya. Berdasarkan hasil wawancara
siklus II diperoleh informasi bahwa peserta didik sudah memahami konsep diskon, bruto, tara,
netto, dan bunga tunggal.
KESIMPULAN
Pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing yang dapat meningkatkan
pemahaman konseptual dan pengetahuan prosedural peserta didik kelas VII SMP Al Kautsar
Srono, yaitu stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification, dan
generalization. Pada tahap Stimulationadalah kegiatan pendahuluan yang meliputi persiapan
pembelajaran dan apersepsi sebagai perangsang pengetahuan peserta didik,. Tahap problem
Statement dimana peserta didik diberi kesempatan mengidentifikasi permasalahan yang
diberikan dalam lembar kerja (LK). Pada tahap data Collectionpeserta didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, kemudian mengamati petunjuk dalam
439
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
LK. Tahap data Processingpeserta didik mengerjakan dan mengolah semua informasi serta
petunjuk dalam LK. Tahap verification peserta didik mengecek kembali hasil kerja atau temuan-
temuan dalam LK. Tahap generalizationpeserta didikmembuat rangkuman atau kesimpulan
berdasarkan hasil temuan. Metode penemuan terbimbing kiranya dapat menjadi bahan
pertimbangan guru matematika khususnya sebagai alternatif dalam meningkatkan hasil belajar
peserta didik .
DAFTAR RUJUKAN
Ampadu, E. 2011. Aspiring Mathematicians: Students’ Views Regarding What it Takes to be
Successful in Mathematics,Ernest.ampadu@richmond.ac.uk, Richmond Uneversity, UK
Arikunto, S., Suhardjono.& Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Aryani, Farida. 2011. Pengembangan Lks Untuk Metode Penemuan Terbimbing Pada
Pembelajaran Matematika Kelas VIII Di SMP Negeri 18 Palembang. (online).
(http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jpm/article/ download/578/170). Diakses 12
Januari 2014
Bell, Frederick, H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). United
States of America: Brown Company
Bilgin, Ibrahim. 2009. The effects of guided inquiry instruction incorporating a cooperative
learning approach on university students’ achievement of acid and bases concepts and
attitude toward guided inquiry instruction, (Online), 4(10)
(http://academicjournals.org/article/ article1380559513_Bilgin.pdf.) diakses 20 Maret
2014
Dahar, R.W.. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Dedikbud P2LPTK.
Daud, A. 2008. Sekali Lagi, Tentang Dampak Buruk Ujian Nasional, (Online),
(http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/03/26/sekali-lagi-tentang-dampak-buruk-
ujian/) diakses 21 Desember 2013
Depdikbud. 1999. Penelitian Tindakan (Action Research). Jakarta: Depdikbud
Depdikbud. 2013. Kurikulum 2013; Lampiran permendikbud No. 65 tentang standar proses.
Jakarta: Kemendikbud.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Matematika SMP dan MTs. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Standar Kompetensi Matematika SMP
dan MTs. Jakarta: Depdiknas.
Djali & Muljono, P. 2008. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. PT. Gramedia: Jakarta
Dubinsky, Ed &McDonald, Michael A. APOS: A Constructivist Theory of Learningin
Undergraduate Mathematics Education Research, (Online),
(http://www.math.kent.edu/~edd/ICMIPaper.pdf). Diakses 10 Maret 2014
Even, R. & Tirosh, D. (2002). Teacher Knowledge and Understanding of Students’
Mathematical Learning. Dalam L. D. English (Ed.) Handbook of International
Research in Mathematics Education. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Ewo, M.E, Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model STAD Berbantuan Bahan
Manipulatif yang dapat Meningkatkan Pemahaman Konsep Penjumlahan dan
Pengurangan Pecahan pada Siswa SD Kelas IV.Tesis tidak diterbitkan. Malang:
Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Freudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education.China Lectures.Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers.
Grouws, D.A.. 1992. Handbook af Research on Mathematics Teaching and Learning New
York: Macmillan Publishing Co.
Hiebert, J. & Carpenter, Th. P. (1992). Learning and teaching with understanding. In: D. W.
Grouws (Ed.), Handbook of research in teaching and learning of mathematics (pp. 65-
97). New York: Macmilan.
Hiebert, J. & Lafevre, P. 1986. Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of
Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associatrs, LEA.
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah
disajikan pada Seminar Nasional “Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan
440
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Matematika dala Era Globalisasi”. Program Pasca Sarjana IKIP Malang. Malang: 4
April.
Jafaruddin.2005. Membangun Pemahaman Siswa melalui Model Pembelajaran Penemuan
Terbimbing pada Materi Fungsi Invers di Kelas II SMA Negeri Baktiya.Tesis tidak
diterbitkan. Malang: PPS UM
Jumadi. Penerapan pembelajaran penemuan terbimbing untuk meningkatkan hasil belajar
matematika bagi siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Malang. (Online).
http://library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=59895 diakses 20 Oktober 2014
Karim, A. 2011.Penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran Matematika
untuk meningkatkan pemahaman konsep dan Kemampuan berpikir kritis siswa sekolah
dasar, (online), (http://jurnal.upi.edu/file/3-Asrul_Karim.pdf.) diakses 12 Januari 2014
Kilpatrick, Jeremy, Swafford, Jane, & Findell, Bradford. 2001. Adding It Up: Helping Children
Learn Mathematics. Washington, DC: National Academy Press
Kinach, M., B. (2002). Understanding and Learning to Explain by Representing Mathematics:
Epistemological Dilemmas Facing Teacher Educators in the Secondary Mathematics
“Method” Course. Journal of MathematicsTeacher Education, 5, 153-186.
Miles, M.B. & Huberman, A.M..1992. Analisis Data Kualitatif.Terjemahan oleh Tjetjep
Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong L. J.. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda.
Morgan, Watson, & Tikly. 2004. Teaching School Subjects 11-19: Mathematics. New York
Mukminan. 2003. Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Depdiknas.
Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing.
Yogyakarta: PPG Depdiknas
Noralhuda, Nik & Hasnida, Nor. 2010.Conceptual and Procedural Knowledge in Mathematics
Education.nidacmg@yahoo.com, Universiti Kebangsaan Malaysia
Nurcholis. 2013. Implementasi Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa Pada Penarikan Kesimpulan Logika Matematika. (online).
(http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/JEPMT/ article/download/1707/1124). Di
akses 12 Januari 2014
Nurdin, L. 2004. Analisis Pemahaman Siswa Tentang Barisan Berdasarkan Teori Apos(Action,
Processe, Object, And Shceme). Tesis tidak diterbitkan: PPS UM
Pa’is. 2010. Peningkatan Penguasaan Konsep Volume Bangun Ruang dengan Metode
Penemuan Terbimbing Berkelompok di MTs Darussa’adah Gubugklakah Kec.
Poncokusumo Kab. Malang. Tesis tidak diterbitkan: PPS UM
Perkins, David & Simmon, R. 1998. Teaching for Understanding, (Online),
(http://www.exploratorium.edu/ifi/resources/workshops/teachingforunderstanding.html)
Diakses 15 Maret 2014
Perkins, D. N. & Simmons, R. (1988). Patterns of Misunderstanding: An Integrative Model for
Science, Math, and Programming. Review of Educational Research, Vol. 58, No. 3
(Autumn, 1988), 303-326.
Purnomo, Y. W. 2011. Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan Cooperative Learning
Pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Pendidikan. [online], volume 41, nomor 1.
Tersedia: http://journal.uny.ac.id/index.php/jk/article/download/503/366 [3Nopember
2014].
Rahayu, Y. 2013. Efektivitas Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing Melalui Pendekatan
Open-Ended Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Dan Penalaran Matematika
Siswa Kelas Viii Mts Ma’arif Kaliwiro. (Online). (http://digilib.uin-suka.ac.id/7713/)
diakses 20 Oktober 2014
Sobel, M.A. & Maletsky, E.M.. 1975. Teching Mathematics: A. Sourcebook of Aids, Activities,
and Strategies. New Jersey: Prentice-Hall.
Sukardi. E. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.Jakarta: Bumi
Aksara
Sutawidjaja, A.. 1997. Pembelajaran Matematika di SD Jurnal Matematika, IPA dan
Pembelajarannya 26 (2): 175-187
Sutrisno.2012. Efektivitas Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap
Pemahaman Konsep Matematis Siswa.Jurnal Pendidikan Matematika. [online]. Volume
441
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Abstrak: Penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair Share
(TPS) berbantuan media manipulatif pada materi segiempat. Model tersebut sesuai untuk
mengatasi permasalahan pembelajaran yang terjadi di SMP Ma’arif Kota Batu. Penelitian
ini digunakan untuk mengatasi kekurangan TPS dengan menggunakan media manipulatif
Hasil penelitian ini adalah penggunaan metode TPS berbantuan media manipulatif dapat
meningkatkan pemahaman siswa. Hal ini terjadi karena adanya pemberian waktu berpikir
(think) untuk siswa, bekerjasama dengan pasangan, dan berbagi dengan pasangan yang lain.
Peningkatan pemahaman dapat dilihat dari rata-rata nilai tes siswa pada siklus 1 ke siklus 2
yaitu dari 61,88 menjadi 73,56.
442
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran yang ditawarkan oleh TPS, yakni Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share
(berbagi).
Menurut Gersten dan Clarke (2007) pemberian waktu berpikir (Think) untuk siswa
sangat penting karena dapat membantu siswa mengungkapkan pemikirannya. Pada tahap diskusi
(Pair dan Share) siswa dilatih untuk menggunakan bahasa dalam mengembangkan kemampuan
terhadap pemahaman matematika (Wagner dan Eisenmann, 2008). Selain itu menurut
Fernandez dan Erbilgin (2009) diskusi juga dapat meningkatkan komunikasi dan melatih siswa
untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan berdiskusi maka akan terjadi interaksi yang baik
diantara siswa tersebut (Gresalfi dkk, 2009) dan dengan diskusi maka dapat menambah
kontribusi dalam pembelajaran matematika serta dapat membangun pemahaman konsep (Weber
dkk, 2008).
Beberapa penelitian tentang TPS sudah pernah dilaksanakan dan menunjukkan hasil
yang positif. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa model pembelajaran TPS ini sangat
efektif, diantaranya Lutfiyah (2009: 103) menyatakan bahwa pada saat berpasangan siswa yang
berkemampuan rendah mendapat bantuan dari siswa yang berkemampuan tinggi untuk dapat
mengkonstruksi pengetahuan ke dalam pikirannya. Begitu pula penelitian oleh Pramesti (2010)
yang menyatakan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran TPS menunjukkan bahwa
prestasi belajar siswa akan meningkat. Wahyudi (2010) juga menyatakan bahwa penerapan
metode TPS dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa.
Think Pair Share menjadi salah satu alternatif model Cooperative Learning sebab
mempunyai proses struktur untuk berbagi informasi secara efisien. Ini dapat digunakan sebagai
alat untuk memperbaiki proses pembelajaran. Menurut Radhakrishna dan Ewing (2012), proses
ini dapat digunakan sebagai petunjuk pada situasi pembelajaran yang lain yang dapat
membangun dasar pengetahuan dan pemahaman. Selain itu, Think Pair Share ini merupakan
cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.
Dalam hal ini diasumsikan bahwa diskusi memerlukan pengaturan untuk
mengendalikan kelas secara keseluruhan sehingga siswa lebih leluasa untuk berfikir, merespon
dan saling membantu. Guru hanya melengkapi dan memberikan penguatan. Pada pembelajaran
TPS siswa harus belajar tidak hanya menemukan jawaban tetapi juga bagaimana
mengkomunikasikan proses jawaban mereka secara jelas dan lengkap sehingga guru harus
mendorong siswa agar dapat mendeskripsikan/ menggambarkan apa yang telah dipikirkan.
Adapun tujuan penerapan TPS dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan respon siswa
b. Mengajak siswa terlibat langsung secara aktif dalam memikirkan konsep-konsep yang
disajikan dalam pembelajaran
c. Mengantarkan siswa agar dapat menyerap informasi-informasi penting pada saat
pembelajaran, sebab siswa mempunyai waktu berpikir, dan berbagi.
d. Untuk dapat memahami ide-ide baru sesuai dengan pengetahuan mereka. Jika terdapat
kesalahpahaman mereka tentang topik yang dibicarakan dapat diselesaikan selama tahap
diskusi ini.
e. Untuk menumbuhkan kesediaan siswa dalam berpartisipasi dan berkomunikasi.
Dengan model pembelajaran TPS ini diharapkan siswa akan lebih paham terhadap
segiempat dan lebih tertarik untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Apalagi
dalam pembelajaran tersebut juga akan digunakan bantuan media manipulatif sebagai alat
peraga untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran TPS. Salah satu kelemahan TPS adalah
didominasi oleh siswa yang pandai. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka dengan
bantuan media manipulatif diharapkan dapat membantu berpikir siswa yang berkemampuan
sedang maupun rendah, sehingga siswa tersebut akan mudah menyelesaikan permasalahan yang
diberikan dan dapat mengomunikasikannya dengan baik.
Menurut Kosko dan Wilkins, penggunaan media manipulatif merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan pemahaman siswa. Selain itu manipulatif dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, serta menumbuhkan citra metematika sebagai
mata pelajaran yang menyenangkan (Suharjana, 2009). Menurut Abraham (2009), penggunaan
media pembelajaran juga dapat membantu membangun rumus-rumus pada pemikiran siswa
sehingga pemahaman siswa meningkat. Oleh karena itu, dengan bantuan media manipulatif
yang berupa potongan-potongan bangun datar diharapkan dapat membantu meningkatkan
443
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pemahaman siswa pada materi segiempat sehingga pada akhirnya hasil belajar siswa menjadi
meningkat.
Pemahaman merupakan bagian dasar untuk membangun pengetahuan (Hidayah, 2013).
Salah satu faktor penentu pemahaman konsep yang diserap siswa adalah metode pembelajaran.
Pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai metode. Menurut Mulyasa (2007:107)
penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran.
Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
Secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan pembelajaran Kooperatif
TPS sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam materi segiempat, kerjasama
kelompok sebagai kunci keberhasilan dalam memahami materi segiempat (kerjasama terjadi
pada tahap Pair dan Share), serta kemampuan berkomunikasi dan menyampaikan pendapat
dalam diskusi.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Penelitian ini merupakan kegiatan Lesson study yang dilaksanakan di SMP Ma’arif Kota Batu.
Lesson study (LS) adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian
pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip – prinsip kolegalitas
dan mutual learning untuk membangun learning community (Sunawan, 2008). Dalam
pelaksanaannya Lesson study memuat tiga kegiatan utama yaitu Plan (merencanakan), Do
(melaksanakan), See (refleksi) (Ibrohim, 2009).
Penelitian ini terdiri dari dua siklus dan masing-masing siklus menggunakan metode
TPS dalam pembelajarannya. Hal ini dikarenakan menurut peneliti metode tersebut sesuai
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di SMP Ma’arif, khususnya pada pembelajaran
matematika untuk materi segiempat. Penggunaan metode tersebut akan dikombinasikan dengan
media manipulatif untuk mengurangi kelemahan-kelemahan metode.
Menurut Kaddoura (2013), pembelajaran TPS merupakan variasi model Cooperative
Learning yang diperkenalkan pertama kali oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas
Maryland pada tahun 1981. Pada pembelajaran ini memberikan kesempatan siswa saling
berinteraksi dan kemudian berpasangan untuk berbagi informasi. Dengan kata lain,
pembelajaran ini melibatkan tiga tahapan pada struktur kooperatif. Pada tahap pertama (Think),
secara individu berpikir tentang masalah yang telah diajukan oleh guru. Pada tahap kedua
(Pair), para individu berpasangan dan saling mentransfer pengetahuan. Pada tahap ketiga
(Share), secara berpasangan berbagi jawaban dengan pasangan lain, kelompok lain, atau semua
kelompok.
Subjek pada kegiatan Lesson study adalah siswa kelas VII A SMP Ma’arif Batu tahun
pelajaran 2013/2014. Banyak siswa kelas VII A adalah 36 siswa, terdiri dari 23 laki-laki dan 13
perempuan.
444
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran. Setelah itu, dilanjutkan dengan kegiatan inti yang melibatkan siswa dalam
pengerjaan LKS Kegiatan 1 dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif TPS, dan
diakhiri dengan kegiatan penutup yang berisi tentang penguatan materi dan penyimpulan serta
pemberian tes untuk mengetahui pemahaman siswa.
Pada pembelajaran ini seluruh siswa terlihat siap untuk belajar. Kondisi kelas juga
cukup kondusif untuk memulai pelajaran. Kemudian pada saat guru menyampaikan kegiatan
apersepsi/ pemberian motivasi terlihat beberapa siswa yang merespon aktif. Pada saat guru
menguji materi prasyarat dengan memberikan pertanyaan ada beberapa siswa yang dapat
menjawab pertanyaan tersebut. Siswa terlihat antusias mengikuti pembelajaran dan
memperhatikan guru ketika menginformasikan alur pembelajaran yang akan dilaksanakan
bersama.
Pada saat LKS dibagikan siswa langsung membuka-buka dan membaca LKS tersebut
walaupun tidak ada perintah dari guru. Ini adalah bukti bahwa siswa sangat antusias untuk
mempelajari materi segiempat. Siswa diberi waktu 10 menit untuk membaca, mempelajari,
mencoba memahami dan memikirkan soal-soal yang ada pada LKS secara individu. Setelah itu,
siswa diberi kesempatan untuk mengerjakan LKS secara berpasangan, agar hasilnya lebih
akurat. Pada saat berpasangan terjadi interaksi antar siswa dengan siswa untuk mendiskusikan
permasalahan yang ada pada LKS. Namun ada beberapa siswa yang terlihat bingung
memahami perintah di LKS. Kemudian guru mendatangi siswa tersebut dan memberikan
penjelasan sehingga siswa dapat memahami apa yang harus dilakukan. Selain itu guru juga
memberikan penjelasan secara klasikal untuk menghindari agar siswa lain yang mengalami
kebingungan yang sama.Selanjutnya, guru berkeliling untuk memberikan bantuan kepada siswa
lain yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS. Pada kegiatan ini terlihat adanya
interaksi antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru.
Dari hasil pekerjaan siswa pada LKS dapat diketahui bahwa ternyata materi prasyarat
untuk segiempat masih belum benar-benar dikuasai oleh siswa. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan adanya kesalahan siswa dalam membedakan kesejajaran garis. Kesalahan ini juga
merupakan salah satu bahan yang didiskusikan oleh kelompok.
Setelah siswa berdiskusi dengan kelompoknya dan menyelesaikan permasalahan yang
ada di LKS maka guru meminta setiap kelompok untuk menuliskan kesepakatan hasil diskusi
pada kertas karton yang disediakan oleh guru. Selanjutnya setiap kelompok menempelkan
kertas tersebut pada tempat yang disediakan. Kemudian guru meminta salah satu perwakilan
kelompok untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya. Pada saat presentasi, muncul beberapa
pertanyaan dari kelompok lain sehingga terjadi interaksi lagi di antara siswa. Kelompok
pemresentasi mendapat masukan-masukan dari kelompok lain.
Setelah presentasi maka guru memberikan penguatan materi dan membuat kesimpulan
bersama siswa. Setelah itu guru memberikan soal tes kepada siswa yang harus dikerjakan secara
individu untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Soal tes terdiri
dari tiga soal uraian, yang harus dikerjakan dalam waktu 15 menit. Rata-rata nilai tes yang
diperoleh pada pembelajaran ini adalah 61,88. Kemudian guru memberikan tugas rumah dan
arahan kepada siswa untuk mempelajari materi selanjutnya
Tahap selanjutnya adalah refleksi atau evaluasi pembelajaran pada siklus kesatu yang
dilakukan langsung setelah tahap do selesai. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh
observer, tahap do yang telah dilaksanakan pada siklus kesatu masih memiliki beberapa
kekurangan, antara lain:
a. Manajemen waktu yang dilaksanakan oleh guru model masih kurang tertata dengan baik,
sehingga tidak semua kegiatan yang direncanakan dalam tahap plan dapat terlaksana.
b. Apersepsi dan motivasi masih kurang eksplisit.
c. Interaksi antarsiswa masih belum maksimal, karena ada beberapa siswa yang acuh terhadap
pendapat temannya dan sibuk dengan urusannya sendiri.
d. Kerjasama antarpasangan masih belum terlihat maksimal, tidak semuanya serius dalam
berdiskusi dengan pasangan.
e. Ada beberapa siswa yang masih belum paham tentang materi prasyarat, sehingga perlu
penekanan tentang materi prasyarat.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dilakukan pembenahan dan perencanaan pembelajaran
yang lebih baik untuk pertemuan pada siklus kedua dengan memperbaiki kekurangan-
445
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kekurangan yang telah ditemukan sehingga pelaksanaan pembelajaran pada siklus kedua dapat
berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Alur pembelajaran pada siklus kedua tidak jauh berbeda dengan pembelajaran pada
siklus pertama. Setelah kegiatan pendahuluan selesai, guru segera membagikan LKS kepada
semua siswa dan memberitahukan bahwa pada pertemuan tersebut permasalahan yang harus
diselesaikan adalah LKS Kegiatan 2. Sesudah mendapatkan LKS maka semua siswa segera
membaca, memahami dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara
individu. Pada saat siswa mengerjakan permasalahan pada LKS tersebut maka guru berkeliling
untuk membantu siswa yang mendapatkan kesulitan dalam memahami permasalahan yang ada
pada LKS. Semua siswa berusaha untuk menyelesaikan permasalahan pada LKS yang telah
diberikan dengan sungguh-sungguh.
Waktu yang disediakan untuk menyelesaikan permasalahan pada LKS Kegiatan 2
secara individu telah berakhir, guru segera memberitahukannya kepada para siswa. Kegiatan
selanjutnya adalah siswa bersama pasangannya diharapkan dapat berdiskusi untuk mendapatkan
kesepakatan penyelesaian. Pada kegiatan ini guru tetap memberikan waktu bagi siswa untuk
bertanya jika mengalami kesulitan. Tidak jauh berbeda dengan pembelajaran pada siklus
pertama, pada pertemuan ini juga ada siswa yang bertanya tentang kebingungannya dalam
mengerjakan LKS dan ada beberapa siswa yang asyik berdiskusi dengan pasangannya. Sesekali
mereka membuka buku paket untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Suasana
kelaspun tampak aktif karena siswa berdiskusi.
Pada pertemuan ini terlihat bahwa sudah lebih banyak lagi siswa yang terarah dalam
menyelesaikan permasalahan LKS. Tahap berdiskusi dengan pasangan telah terlaksana. Guru
meminta setiap kelompok untuk menuliskan kesepakatan hasil diskusi pada kertas karton yang
disediakan oleh guru. Selanjutnya setiap kelompok menempelkan kertas tersebut pada tempat
yang disediakan untuk dipresentasikan.Tahapan ini akan dilanjutkan pada tahap presentasi. Kali
ini guru tidak menunjuk pasangan yang harus presentasi, namun guru mencoba membuat
undian. Undian dibuat dari kertas yang diberi nomor dan digulung. Setelah itu dengan mata
tertutup ketua kelas mengambil satu gulungan yang akan mewakili presentasi. Pada saat
presentasi, muncul beberapa pertanyaan dari kelompok lain sehingga terjadi interaksi lagi di
antara siswa. Kelompok pemresentasi mendapat masukan-masukan dan pertanyaan-pertanyaan
dari kelompok lain. Diskusi siswa terlihat lebih aktif dibandingkan dengan pertemuan
sebelumnya karena beberapa siswa mulai berani bertanya. Bagi siswa yang bertanya diberikan
poin tambahan sehingga hal ini bisa memicu timbulnya diskusi yang lebih aktif.
Tahap presentasi telah berakhir, kegiatan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan
tentang materi pembelajaran oleh guru dan siswa dan memberikan penguatan. Setelah
menyimpulkan dan memberi penguatan, siswa diberikan soal tes untuk menguji seberapa paham
siswa terhadap materi yang telah dipelajari. Tes terdiri dari 3 soal uraian dengan tingkat
kesulitan berbeda yang harus dikerjakan dalam waktu 15 menit. Adapun rata-rata hasil dari tes
pada pertemuan ini adalah 73,56.
Tahap refleksi atau evaluasi pembelajaran pada siklus kedua dilakukan langsung setelah
tahap do selesai. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh observer, tahap do yang telah
dilaksanakan pada pembelajaran pada siklus kedua masih memiliki beberapa kekurangan, yaitu
masih ada beberapa siswa yang kurang aktif dalam kelompoknya, namun sudah terjadi
peningkatan keaktifan kelompok dibandingkan pembelajaran pada siklus kesatu. Agar terjadi
kerjasama yang maksimal harus diperhatikan pembentukan kelompok yang heterogen karena
akan mempengaruhi keaktifan dalam diskusi.
Peningkatan pemahaman terjadi dari siklus satu ke siklus dua. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya peningkatan rata-rata nilai tes akhir siklus yang disajikan pada tabel berikut.
446
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Metode Think Pair Share dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi segiempat.
Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan rata-rata nilai tes siswa dari siklus satu ke siklus
dua yaitu 61,88 menjadi 73,56.
Siswa dapat menyerap informasi-informasi penting pada saat pembelajaran, sebab siswa
mempunyai waktu berpikir (think) untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Siswa dapat memahami ide-ide baru sesuai dengan pengetahuan mereka. Jika terdapat
kesalahpahaman mereka tentang topik yang dibicarakan dapat diselesaikan selama tahap
share.
Dapat menumbuhkan kesediaan siswa dalam berpartisipasi dan berkomunikasi.
Pembagian kelompok yang heterogen (pemerataan kemampuan siswa) mempengaruhi
keaktifan diskusi.
Pada tahap pair dan share dapat menunjang usaha-usaha pengembangan sikap sosial para
siswa.
Lesson study ini akan bermuara pada analisa atau pembahasan dari sejumlah refleksi
yang muncul. Dari refleksi-refleksi ini akan digunakan untuk melakukan perubahan
pembelajaran ke arah yang lebih baik, efektif, efisien, dan menimbulkan daya tarik dan motivasi
siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan realita dan analisa hasil lessson study yang telah dilaksanakan di SMP
Ma’arif Kota Batu, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil refleksi para observer pada pembelajaran pada siklus kesatu menunjukkan masih
adanya masalah yang ditemukan ketika seorang guru model mengajarkan segiempat dengan
menggunakan metode TPS. Masalah-masalah tersebut dapat teratasi dalam pembelajaran
pada siklus kedua sehingga pada pembelajaran selanjutnya lebih efektif dan efisien.
2. Hasil refleksi para observer sangatlah berarti dalam memberikan solusi alternatif pada
sejumlah permasalahan itu. Pada setiap praktik pembelajaran terdapat sejumlah
permasalahan yang tidak disadari oleh guru dan berdampak pada tidak efektifnya sebuah
pembelajaran. Tanpa diamati oleh observer sejumlah permasalahan pembelajaran itu tidak
pernah diketahui dan terus terjadi dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
3. Refleksi yang dikemukakan oleh para observer sangat bermanfaat yang mampu mengatasi
hambatan dan sekaligus menghindari hal-hal yang tidak mengefektifkan sebuah proses
pembelajaran.
4. Profesionalitas seorang guru akan lebih bisa terbangun lewat lesson study ini, sebab tidak
hanya sekedar kajian teoritis dengan berpijak pada setumpuk buku, namun langsung
berhadapan dengan realita permasalahan di kelasnya.
5. Penggunaan metode TPS dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar dan
meningkatkan kemampuan berfikir mandiri siswa (ini terjadi karena adanya pemberian
waktu berpikir untuk siswa), bekerja sama dengan pasangan dan berbagi dengan pasangan
yang lain.
6. Penggunaan metode TPS dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan pemahaman
siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Abraham, Dor. 2009. Embodied Design: Constructing Means for Constructing Meaning.
Education Study Mathematic, 70:27–47
Fernandez, Maria Lorelei dan Evrim Erbilgin. 2009. Examining the Supervision of
Mathematics Student Teachers Trough Analysis of Conference Communications. .
Education Study Mathematic , 72:93–110
Gersten, Russel dan Benjamin S. Clarke. 2007. Effective Strategies for Teaching Students with
Difficulties Mathematics (National Council of Teacher of Mathematics). Instruction
Research Brief, : 1-2
Gresalfi, Melissa, Taylor Martin, Victoria Hand danJames Greeno. 2009. Constructing
Competence: an Analysis of Student Participation in the Activity Systems of
Mathematics Classrooms. Education Study Mathematic , 70:49–70
447
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hidayah, Nurul Malikah. 2013. Pembelajaran Think Pair Share untuk Memahamkan Konsep
Garis Singgung Persekutuan Dua Lingkaran. Tesis tidak diterbitkan. Malang:
Universitas Negeri Malang
Ibrohim. 2009. Panduan Pelaksanaan Lesson study di KKG. Malang: UM Press
Kaddoura, Mahmoud. 2013. Think Pair Share: A Teaching Learning Strategy to Enhance
Students' Critical Thinking. Educational Research Quarterly, 36(4): 3-24
Kosko, Karl W dan Jesse L. M. Wilkins. Mathematical Communication and Its Relation to the
Frequency of Manipulative Use. International Electronic Journal of Mathematics
Education, 2(5): 79-90
Ledlow, Susan. 2001. Using Think-Pair-Share in the College Classroom. Center for Learning
and Teaching Excellence, 1-2
Lutfiyah. 2009. Proses Berpikir Siswa dalam Mengkonstruksi Pengetahuan Himpunan melalui
Aktivitas Think Pair Share. Tesis Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Mulyasa. 2007. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Pramesti, Cicik. 2010. Peningkatan Prestasi Belajar Mahasiswa Melalui Pembelajara Think
Pair Share pada Materi Ruang Vektor. Tesis Tidak diterbitkan. Malang: Universitas
Negeri Malang
Radhakrishna, Rama dan John Ewing. 2012. TPS (Think, Pair and Share) as an Active Learning
Strategy. NACTA Journal, 56(3): 84-85
Suharjana. 2009. Pemanfaatan Alat Peraga Sebagai Media Pembelajaran Matematika. Sleman:
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Matematika
Sunawan, Ade dan Ai Rosilah. 2008. Lesson study Disajikan pada Training Of Trainers (TOT)
Fasilitator KKG/ MGMP di LPMP Jawa Barat. Jawa Barat: Lembaga Penjaminan
Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan
Tarim, Kamuran dan Fikri Akdeniz. 2008. The Effects of Cooperative Learning on Turkish
Elementary Students Mathematics Achievement and Attitude Towards Mathematics
Using TAI and STAD Methods. Education Study Mathematic, 67:77–91
Wagner, David dan Beth Herbel-Eisenmann. 2008. “Just don’t”: The Suppression and Invitation
of Dialogue in the Mathematics Classroom. Education Study Mathematic, 67:143–
157
Wahyudi, Bambang. 2010. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share untuk
Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Kemampuan Afektif Siswa Kelas X TKJ B
pada Materi Program Linear di SMK Negeri 8 Malan.Tesis tidak diterbitkan. Malang:
Universitas Negeri Malang
Weber, Keith, Carolyn Maher, Arthur Powell dan Hollylynne Stohl Lee. 2008. Learning
Opportunities from Group Discussions: Warrants become the Objects of Debate.
Education Study Mathematic, 68:247–261
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran kooperatif tipe
TPS menggunakan media potongan kayu untuk memahamkan siswa materi barisan dan
deret di kelas XII IPA SMAN 11 Banjarmasin. Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan
448
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kelas (PTK) dengan 2 siklus, dan dilaksanakan pada tanggal 13 Maret – 3 April 2014.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA 1 pada semester genap tahun
pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 32 siswa. Pembelajaran dilakukan dengan menerapkan
strategi Think Pair Share (TPS) dengan berbantuan media potongan kayu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) peningkatan hasil tes belajar, ditunjukkan oleh skor hasil belajar
siswa pada siklus 1 yaitu sebesar 78,125% siswa dikelas memperoleh skor minimal 75 dan
pada siklus II sebesar 93,75% siswa dikelas memperoleh skor minimal 75, dan (2)
berkurangnya kesalahan konsep atau kesalahan prosedur yang dilakukan siswa dalam
menyelesaikan soal pada siklus I terdapat 56,25% siswa mengalami kesalahan konsep atau
salah prosedur dalam mengerjakan soal, dan pada siklus II terdapat 37,25% siswa
mengalami kesalahan konsep atau kesalahan prosedur dalam mengerjakan soal.
Kata kunci: media, potongan kayu, koperatif , Think Pair Share (TPS), pemahaman,
barisan,deret.
Aljabar merupakan salah satu cabang matematika yang diajarkan disekolah. Terdapat 10
standar kompetensi tentang aljabar yang dipelajari di SMA. Salah satu standar kompetensi yang
berkaitan dengan aljabar, khususnya topik barisan dan deret. Barisan dan deret merupakan suatu
topik yang tercantum dalam kurikulum 2006 (KTSP) matematika SMA. Pada kurikulum 2006,
materi barisan dan deret diajarkan di kelas XII IPA semester genap. Penguasaan pokok bahasan
barisan dan deret akan banyak berguna untuk membantu menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengamatan peneliti terhadap hasil belajar siswa menunjukkan bahwa mereka masih
belum memahami konsep barisan dan deret. Dari beberapa jawaban tes yang diberikan, dapat
diketahui bahwa pemahaman mereka masih perlu ditingkatkan. Jenis-jenis kesalahan siswa
tentang barisan dan deret meliputi: (1) kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep barisan
dan deret, antara lain menyebutkan suku, beda, menulis notasi, dan memilih rumus, (2)
rendahnya kemampuan siswa dalam melakukan prosedur penyelesaian, (3) kurangnya
kemampuan siswa dalam membedakan barisan dan deret aritmetika dengan barisan dan deret
geometri, serta (4) kurangnya kompetensi siswa dalam memahami soal yang berakibat pada
kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal. Kesalahan-kesalahan ini menunjukkan siswa belum
memahami materi barisan dan deret serta penggunaaannya dalam pemecahan masalah.
Karena banyaknya kesalahan-kesalahan dalam pekerjaan siswa maka dalam
pembelajaran barisan dan deret diperlukan suatu strategi yang tepat agar konsep barisan dan
deret dapat dipahami dengan baik dan bermakna bagi siswa, sehingga meningkatkan hasil
belajarnya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan guru untuk tujuan meningkatkan
pemahaman siswa pada materi matematika adalah dengan memanfaatkan media pembelajaran
yang konkrit yang berstrukturkan urutan pelajaran.
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam memilih media pembelajaran,
diantaranya: (1) selaras dan menunjang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, (2) sesuai
dengan materi pelajaran yang berdampak positif pada hasil pembelajaran siswa, (3) sesuai
dengan kondisi siswa, yaitu umur, intelegensi, latar belakang pendidikan, budaya, dan
lingkungan siswa, (4) tersedia di sekolah atau dapat dibuat oleh guru, (5) memerlukan biaya
yang relatif tidak banyak (Usman dan Asnawir, 2002: 15-16).
Berpijak pada pendapat Usman dan Asnawir (2002), dan Bruner (Sujana, 1990) bahwa
dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda (alat
peraga), anak akan langsung melihat bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat
dalam benda yang sedang diperhatikannya. Dalam penelitian ini akan dipilih potongan kayu
sebagai media pembelajaran. Potongan kayu memenuhi syarat untuk dipilih sebagai media
sebab sesuai dengan kondisi siswa, mudah di dapatkan, murah, dan masih cocok digunakan oleh
siswa kelas XII. Selain memenuhi syarat, potongan kayu dapat dipegang, disusun ataupun
ditumpuk dengan ukuran-ukuran tertentu, sehingga membentuk pola-pola yang dapat diamati
untuk memahamkan konsep barisan dan deret sesuai. Bahan media yang digunakan,ini
dimanipulasi sendiri oleh siswa untuk mencapai pemahaman konsep. Kayu yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kayu bangunan. Kayu dipotong berbentuk balok dengan berbagai
ukuran, antara lain 3 cm x 2 cm x 3 cm, 2 cm x 3 cm x 5 cm, 2 cm x 5 cm x 5 cm, 3 cm x 4
cm x 6 cm, 4 cm x 5 cm x 7 cm, dan ukuran lainnya.
449
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Salah satu model pembelajaran yang bisa diterapkan dengan menggunakan media
pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Model
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dikembangkan pertama kali oleh Frank
Lyman dari University of Maryland. Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)
memiliki prosedur yang memberikan siswa lebih banyak waktu untuk berpikir, menjawab dan
saling membantu satu sama lain. Pada tipe ini guru memberikan persoalan kepada siswa dan
siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan (think-pairs), kemudian presentasi kelompok
(share) (Slavin, 2005: 257). Dengan cara berpasangan diharapkan siswa mampu termotivasi
dalam belajar , mengurangi rasa jenuh dan bosan sehingga akan mempengaruhi hasil belajar
siswa pada materi barisan dan deret.
Hasil penelitian terdahulu oleh Martini (2013) menyatakan bahwa siswa memberikan
sikap positif terhadap model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Menurut
Ifamuyiwa dan Onakoya (2013), ada pengaruh yang signifikan dari prestasi siswa dalam
matematika dengan menggunakan Think Pair Share (TPS). Rizana (2013) menyatakan bahwa
model pembelajaran Think Pair Share (TPS) memberikan prestasi belajar yang lebih baik
dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional, dan menurut Utami (2013),
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) meningkatkan pemahaman dan hasil
belajar siswa.
Model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok
untuk bekerja sama saling membantu mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau
inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap
kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karakter), ada kontrol
dan fasilitas, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan dan presentasi
(Ngalimun, 2013: 161–162).
Carlan, Rubin dan Morgan (2005) menyatakan terdapat empat perubahan perilaku siswa
dengan menggunakan pembelajaran kooperatif dalam pemecahan masalah matematika, yaitu:
(1) siswa menjadi lebih terlibat dalam pemecahan masalah, (2) siswa pindah dari kompetitif
untuk sikap kooperatif, (3) siswa menemukan beberapa cara yang benar untuk menemukan
solusi, dan 4) terdapat perubahan karakter siswa dengan latar belakang yang berbeda.
Menurut Morgan (2012) pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan yang dapat
digunakan pendidik untuk meningkatkan kesenangan siswa dalam belajar. Metode pembelajaran
kooperatif menampilkan keragaman tergantung pada jumlah siswa, struktur sosial lingkungan,
struktur fisik dari kelas dan diterapkan pada subjek jurusan dan program studi (Simsek dkk,
2013). Selain itu, ketika siswa bekerja bersama-sama, mereka menunjukkan peningkatan
partisipasi dalam diskusi kelompok, terlibat dalam lebih sedikit gangguan ketika orang lain
berbicara, dan memberikan lebih banyak kontribusi intelektual berharga (Gillies, 2010).
Think Pair Share (TPS) atau Berpikir-Berpasangan-Berbagi dikembangkan pertama kali
oleh Frank Lyman sebagai struktur kegiatan pembelajaran cooperative learning (Lie, 2008: 57).
TPS merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola
interaksi siswa. Ifamuyiwa (2013) menyatakan bahwa TPS menambahkan unsur interaksi teman
sejawat dalam belajar bersama, memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, merespon dan
saling membantu, dan merupakan cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi
kelas.
Langkah-langkah penerapan TPS menurut Majid (2013: 191-192), sebagai berikut: (1)
berpikir (Thinking). Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang berhubungan dengan
pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau masalah tersebut secara
mandiri untuk beberapa saat; (2) berpasangan (Pairing). Guru meminta siswa agar berpasangan
dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Bliss
dan Lawrence (2009) menemukan diskusi kelompok kecil memiliki partisipasi siswa yang lebih
besar , dibandingkan dengan diskusi kelompok secara keseluruhan , serta karena lebih banyak
interaksi peer-to-peer dan pengetahuan yang lebih kaya membangun melalui posting diskusi; (3)
berbagi (Sharing). Guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang
apa yang telah mereka bicarakan.
METODE
Penelitian tindakan kelas ini berangkat dari permasalahan yang diperoleh peneliti
melalui serangkaian langkah observasi awal yang dilakukan dalam studi pendahuluan.
450
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan hasil studi pendahuluan diperoleh beberapa masalah dalam proses pembelajaran
yang selama ini telah dijalankan di kelas, yaitu (1) kurangnya pemahaman siswa terhadap
konsep barisan dan deret, antara lain menyebutkan suku, beda, menulis notasi, dan memilih
rumus, (2) rendahnya kemampuan siswa dalam melakukan prosedur penyelesaian, (3)
kurangnya kemampuan siswa dalam membedakan barisan dan deret aritmetika dengan barisan
dan deret geometri, serta (4) kurangnya kompetensi siswa dalam memahami soal yang
berakibat pada kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal.. Selanjutnya peneliti merefleksi dan
menganalisis permasalahan yang ada dengan beberapa teori pendukung untuk mencari solusi
masalah. Fokus utama penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran dan berupaya untuk
memperbaiki praktik pembelajaran, yaitu upaya untuk memperbaiki pembelajaran materi
barisan dan deret. Kegiatan pembelajaran dalam penelitian memanfaatkan media potongan
kayu melalui proses pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), sebagai usaha
untuk memahamkan siswa tentang materi barisan dan deret.
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) tes hasil
belajar, data diambil langsung dari siswa yang mengerjakan instrumen tes yang dibuat sendiri
oleh peneliti, (2) wawancara, wawancara disusun secara sistematis terhadap hasil tes siswa
untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang pemahaman siswa terhadap materi barisan
dan deret aritmetika, (3) observasi, dimaksudkan untuk mengamati aktivitas siswa dan guru,
dan (4) catatan lapangan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) lembar tes,
(2) pedoman wawancara, (3) lembar observasi aktivitas siswa dan guru. Teknik analisis data
menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman (Sugiyono, 2010), yaitu (1)
reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan.
Prosedur PTK yang akan diterapkan dalam penelitian ini mengacu pada model Kemmis
dan Mc Taggart. Siklus dimulai dengan rencana (planning), tindakan (acting), pengamatan
(observing), refleksi (reflecting), dan perencanaan kembali yang merupakan dasar untuk suatu
ancang-ancang pemecahan masalah. Rincian daritahap-tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
(1) Rencana (Planning). Sebelum melaksanakan tindakan, peneliti menyiapkan dan menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), lembar
observasi aktivitas siswa dan guru, tes hasil belajar siswa, media pembelajaran,
memvalidasi RPP, LKS, lembar observasi, dan tes hasil belajar.
(2) Tindakan (Acting). Kegiatan yang akan dilakukan pada tahapan ini adalah melakukan
tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran. Pada tahapan ini, peneliti menerapkan pembelajaran dengan menggunakan
potongan kayu melalui pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) seperti yang
terlampir dalam RPP. Pelaksanaan penelitian akan dilakukan dalam 4 x 45 menit yang
terbagi dalam dua kali pertemuan, dengan rincian setiap pertemuan berlangsung selama 2 x
45 menit.
(3) Observasi (Observing). Dilakukan bersamaan peneliti melakukan tindakan. Objek yang
diamati meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas siswa selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Aktivitas yang diamati meliputi aspek-aspek yang terkait
dengan aktivitas siswa dan guru yang mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pengamatan akan dilakukan oleh teman sejawat yang disebut observer, yaitu guru mata
pelajaran matematika kelas XII IPA. Bentuk pengamatan dilakukan berdasarkan lembar
observasi yang telah disiapkan sebelumnya.
(4) Refleksi (Reflecting). Merefleksi artinya memikirkan ulang berdasarkan catatan, temuan,
kejadian-kejadian dalam proses pembelajaran demi perbaikan dalam pembelajaran.
Refleksi dilakukan pada akhir tindakan dengan tujuan untuk melihat keseluruhan proses
pelaksanaan tindakan dan hasil pemahaman siswa. Berdasarkan hasil pengamatan akan
dilakukan refleksi. Dalam refleksi data yang telah diperoleh dideskripsikan. Berdasarkan
deskripsi tersebut dapat diambil kesimpulan apakah subyek telah memahami konsep
barisan dan deret atau belum.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dan
kualitatif. Analisis data kuantitatif yang dimaksud adalah data yang telah diperoleh dianalisis
dengan menggunakan rumus yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, peneliti
mengutamakan bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan tetapi tetap memperhatikan hasil
belajar dan pekerjaan siswa. Keberhasilan penelitian ini dilihat dari (1) berkurangnya kesalahan
451
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
konsep atau salah prosedur yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal, kesalahan
konsep atau kesalahan prosedur dapat diketahui peneliti berdasarkan hasil penelusuran melalui
pekerjaan siswa dan wawancara, (2) pada tes akhir siklus, lebih dari atau sama dengan 85%
siswa di kelas memperoleh skor minimal 75, dan (3) persentase aktivitas siswa dan guru
minimal baik.
452
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Selain skor dan kriteria tersebut, dari diskusi yang dilakukan antara peneliti dan
observer, observer memberikan masukan sebagai berikut. (1) Pertemuan ke-1: peneliti
sebaiknya memperhitungkan alokasi waktu karena pada saat bel jam istirahat berbunyi pelajaran
masih belum selesai; pada tahap think siswa masih banyak siswa yang bertanya jawaban dengan
teman disebelahnya, peneliti sebaiknya memisahkan tempat duduk siswa agar tidak mudah
untuk saling bertanya jawaban. (2) Pertemuan ke-2: memberikan tambahan waktu pada tahap
pair, mengurangi butir soal pada LKS agar siswa tidak mengalami kekurangan waktu.
Berdasarkan pengamatan dari hasil tindakan terdapat ketidakpuasan karena (1) masih
banyak siswa yang melakukan kesalahan konsep dan prosedur yaitu sebesar 56,25% siswa, dan
(2) terdapat 78% siswa dikelas memperoleh skor minimal 75 sehingga peneliti harus
melakukan siklus II.
Berdasarkan hasil diskusi peneliti dengan observer, terdapat kekurangan pada siklus I
sehingga perlu diperbaiki pada siklus II. Adapun rencana perbaikan pada siklus II dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut.
Hasil observasi aktivitas siswa dan aktivitas guru pada siklus I dapat dilihat dari Tabel
3. Selain skor dan kriteria tersebut, pada dua pertemuan ini observer tidak memberikan catatan
apapun, kecuali pernyataan bahwa pembelajaran telah berjalan dengan baik.
453
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan diketahui bahwa pada siklus II lebih baik daripada
siklus I. Adapun peningkatannya dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Berdasarkan hasil analisis ini, pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)
menggunakan media potongan kayu efektif untuk memahamkan siswa pada materi barisan dan
deret aritmetika. Terlihat dari proses pembelajaran maupun tes hasil belajar pada setiap
tindakan. Penggunaan media potongan kayu juga cukup menarik antusiasme siswa. Media ini
dapat menjadi alternatif bagi guru untuk meningkatkan semangat belajar siswa untuk belajar
matematika.
DAFTAR RUJUKAN
Bliss, C., & Lawrence, B. 2009. Is The Whole Greater Than The Sum of Its Parts? A Comparis
On of Small Group and Whole Class Discussion Board Activity In Online Courses.
Journal of Asynchronous Learning Networks Volume 13 25-39. 2009.
Carlan, Rubin, dan Morgan. 2005. Cooperative Learning, Mathematical Problem Solving, and
Latinos. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. 30 Juni 2005.
Gillies, R. & Michael Boyle. 2010. Teachers' Reflections on Cooperative Learning: Issues of In
Implementation. Teaching and Teacher Education Volume 26.933 – 940. 2010.
Ifamuyiwa, Adebola S & Onakoya. 2013. Impact Of Think-Pair-Share Instructional Strategy on
Students’ Achievement in Secondary School Mathematics. Journal of the Science
Teachers Association of Nigeria. Volume 45, Issue 1. 2013.
454
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Abstrak: Penggunaan teknologi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika. Salah satu hasil perkembangan teknologi yang dapat
dimanfaatkan adalah Graphmatica. Artikel ini membahas masalah bagaimana penggunaan
graphmatica dalam discovery learning pada materi limit fungsi di kelas XI.IA5 SMAN 8
Malang. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif diskriptif. Hasil yang diperoleh
adalah penggunaan Graphmatica dalam pembelajaran matematika dengan model discovery
learning dilakukan dengan tahapan: (1) memahami permasalahan; (2) mengumpulkan data
(melalui menentukan nilai fungsi dan observasi grafik pada Graphmatica) untuk
menemukan solusi permasalahan; dan (3) mengolah data; (4) membuktikan dan (5)
membuat kesimpulan atas temuan yang diperoleh dari menyelesaikan permasalahan.
Kesimpulan yang diperoleh adalah pelaksanaan pembelajaran tersebut meningkatkan
keaktifan siswa.
455
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
hasil perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika adalah
Graphmatica. Graphmatica merupakan software untuk menggambar grafik fungsi.
Graphmatica dapat digunakan dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan fungsi
dan grafik.
Beberapa materi matematika yang berkaitan dengan fungsi dan grafik bersifat abstrak,
seperti Limit Fungsi, Turunan dan Integral. Secara umum, materi matematika SMA yang
bersifat abstrak sering kali diajarkan secara prosedural dengan diawali pemberian dogma-dogma
dan dilanjutkan dengan berbagai prosedur untuk menyelesaian soal matematika. Siswa SMA
sering merasa bahwa pembelajaran yang terjadi kurang memberikan kesempatan yang cukup
untuk membahas masalah kritis dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas
mereka (Sutman dkk, 2008). Akan tetapi, walaupun materi matematika SMA bersifat abstrak
dan sulit dicari kontekstualnya, pembelajaran matematika tetap perlu didesain agar dekat dengan
kehidupan dan pengetahuan siswa.
Materi Limit Fungsi merupakan salah satu materi yang berkaitan dengan fungsi dan
grafik serta bersifat abstrak. Pembelajaran Limit Fungsi sulit untuk dirancang agar kontekstual.
Kekontekstualan materi limit terbatas hanya pada apersepsi pembelajaran. Akan tetapi,
walaupun limit fungsi merupakan bagian dari kalkulus yang mana pada matematika universitas
sering diajarkan secara formal dengan diawali definisi limit fungsi, akan tetapi pada matematika
SMA diperlukan suatu model pembelajaran tertentu agar limit fungsi dapat dengan mudah
dipahami oleh siswa. Konsep Limit Fungsi dapat dipelajari melalui kegiatan pengamatan grafik
fungsi dan tabel nilai fungsi. Oleh karena itu, berkaitan dengan penggunaan teknologi untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran, Graphmatica dapat digunakan dalam pembelajaran Limit
Fungsi.
Penggunaan Graphmatica dalam pembelajaran Limit Fungsi perlu dipadukan dengan
penggunaan suatu model pembelajaran yang tepat agar kualitas pembelajaran optimal.
Sebagaimana disampaikan pada paparan sebelumnya bahwa pembelajaran menggunakan
Graphmatica merupakan pembelajaran berbasis teknologi. Menurut Novak dan Krajick (2006),
teknologi merupakan alat yang sangat berguna untuk membantu siswa dalam kegiatan bersifat
penemuan. Oleh karena itu pembelajaran Limit Fungsi menggunakan Graphmatica dapat
dipadukan dengan model pembelajaran penemuan atau discovery learning.
Selain karena pertimbangan tersebut, discovery learning dipilih karena beberapa hal.
Matematika sekolah perlu mengarah pada situasi di mana siswa belajar menikmati matematika,
mempelajari pentingnya matematika, memahami bahwa matematika merupakan bagian dari
kehidupan siswa, dan memahami struktur dasar dari matematika, dan guru berusaha membuat
setiap siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran (National Council of Educational Research
and Training, 2006). Proses mengumpulkan, mengamati dan meringkas informasi merupakan
kegiatan efektif untuk menstimulasi diskusi dan mengembangkan kemampuan berpikir (Sutman
dkk, 2008). Adanya kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif untuk berdiskusi dan
menemukan suatu konsep matematika dapat menjadi kegiatan yang menarik sekaligus
menantang sehingga meningkatkan keaktifan siswa.
Dalam mengimplentasikan suatu model pembelajaran dan media pembelajaran
diperlukan refleksi guru. Walshaw (2010) menyatakan bahwa refleksi guru dapat menjadi suatu
katalis untuk memperkuat dialog untuk perubahan pedagogis. Berdasarkan perspektif teoritis,
refleksi dari temuan yang diperoleh dari hasil kegiatan dan hasil diskusi merupakan inti untuk
mencapai perubahan fundamental sebagai cara mengetahui diri sendiri, belajar dari pengalaman,
mengembangkan diri dan berlatih (Chapman dan Heater, 2010. Manfaat lain dari refleksi
adalah mengembangkan guru sebagai peneliti. Ada beberapa cara dalam mengembangkan guru
sebagai peneliti diantaranya penelitian tindakan, refleksi praktisi, lesson study dan self-study
(Bishop, 2009).
Lesson study merupakan salah satu kegiatan yang tepat digunakan dalam refleksi
penggunaan graphmatica dalam discovery learning pada materi limit fungsi. Hal tersebut
dikarenakan bentuk kegiatan lesson study yang memiliki banyak manfaat. Lesson study
merupakan suatu bentuk kegiatan kolaborasi berbasis pengembangan profesionalisme sekolah
oleh sekelompok guru yang bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui model
pembelajaran diskusi profesional dan pelaksanaan pembelajaran (Burghes dan Robinson, 2009).
Lesson study dapat mengembangkan pengetahuan guru mengenai konten, pedagogi dan
pemikiran siswa, dengan membangun komunitas guru profesional dan dengan meningkatkan
456
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
bahan-bahan pembelajaran (Lewis dkk, 2009). Hal ini sesuai dengan pernyataan Doig dan
Groves (2011) bahwa lesson study memungkinkan guru membangun usaha dan memperdalam
pemahaman mereka.
Selain berbagai manfaat tersebut, kegiatan plan, do dan see dalam Lesson study
merupakan wadah bagi guru untuk menganalisis pembelajaran. Analisis pembelajaran dapat
membantu guru memikirkan kembali pembelajaran yang telah dilakukan dengan berfokus pada
mengartikan dari berbagai sisi dan mengajukan pertanyaan tentang pemikiran siswa dan materi-
materi dalam kurikulum (Ryken, 2009). Selain itu, lesson study merupakan suatu cara untuk
belajar dalam mengajar dan meningkatkan profesionalisme guru (Gunnarsdottir dan Palsdottir,
2011). Guru yang meningkatkan profesionalitasnya akan mampu menggunakan literatur mereka
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam pembelajaran (da Ponte, 2009).
Graphmatica
Graphmatica merupakan suatu software untuk menggambar grafik. Graphmatica
didesain oleh Keith Hertzer, seorang lulusan dari University of California. Sofware ini dapat
dioperasikan pada semua versi Microsoft Windows, sehingga mudah dioperasikan di berbagai
komputer di Indonesia yang mayoritas menggunakan Windows. Graphmatica merupakan suatu
aplikasi untuk menggambar menggunakan equation yang mendukung lima tipe bidang grafik,
menggambar bidang vektor dan solusi persamaan diferensial, mampu menampilkan banyak
grafik pada satu bidang, dapat mengunci koordinat cursor, dan memungkinkan grid untuk diatur
ukurannya (Hertzer, 2014).
Graphmatica dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dalam belajar matematika.
Graphmatica dapat digunakan untuk menggambar grafik fungsi di bidang koordinat Cartesius
maupun Polar dengan banyak grafik yang tidak terbatas. Selain itu, Graphmatica juga dapat
digunakan untuk menentukan koordinat titik yang ditunjuk oleh pointer mouse dan menyajikan
tabel nilai fungsi. menggambar garis lusrus yang melalui dua titik, menggambar daerah
penyelesaian dari pertidaksamaan dan menentukan rumus dan menggambar grafik turunan
pertama maupun menggambar garis singgung kurva di suatu titik. Grafik fungsi yang dapat
digambar menggunakan Graphmatica tidak hanya terbatas pada fungsi aljabar, tetapi juga
fungsi trigonometri maupun fungsi transenden.
Graphmatica merupakan software yang mudah digunakan. Untuk menggambar grafik
fungsi, pengguna hanya perlu menuliskan rumus fungsi kemudian menekan tombol enter. Untuk
menggambar daerah penyelesaian dari satu atau beberapa pertidaksamaan, pengguna hanya
perlu menuliskan pertidaksamaannya kemudian menekan tombol enter. Untuk menggambar
garis lurus yang melalui dua titik yang ditentukan, pengguna hanya perlu menekan suatu
toolbar, menuliskan koordinat titik-titik yang diketahui kemudian menekan suatu tombol yang
ada pada kotak dialog. Langkah-langkah serupa juga berlaku untuk fungsi Graphmatica yang
lain.
Tampilan Graphmatica bagus dan mudah untuk diatur. Warna grafik fungsi yang
berbeda untuk rumus fungsi yang berbeda mempermudah pengamatan grafik. Jenis bidang dan
ukuran grid pada bidang koordinat juga dapat diatur dengan mudah. Bidang koordinat juga
fleksibel untuk diberi label. Adanya scrollbar dan zoom tools semakin membuat pengamatan
grafik pada Graphmatica dapat dilakukan secara fleksibel. Selain itu, grafik yang telah
digambar dapat disimpan dalam bentuk file maupun dicetak. Tampilan Graphmatica disajikan
pada gambar 1, contoh grafik fungsi disajikan pada gambar 2, sedangkan toolbar Graphmatica
disajikan pada gambar 2.
457
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
458
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Discovery learning merupakan salah satu model dari pembelajaran dengan pendekatan
scientific. Pendekatan scientific merupakan pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013.
Berdasarkan panduan kurikulum 2013, prosedur pelaksanaan discovery learning yaitu: (1)
Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah); (2) Data collection (pengumpulan data),
(3) Data processing (pengolahan data); (4) Verification (pembuktian) dan (5) Generalization
(menarik kesimpulan/generalisasi).
Discovery learning merupakan salah satu model pembelajaran dengan aktifitas
penemuan yang berpusat pada siswa. (1) Sutman dkk (2008) menyatakan bahwa beberapa
asumsi yang penting dalam mendesain aktifitas penemuan yaitu: (1) siswa perlu melakukan
generalisasi terhadap jawaban; (2) siswa secara signifikan terlibat dalam investigasi; (3) guru
menghindari jawaban personal atau langsung terhadap sebagian pertanyaan siswa; dan (4) guru
menugaskan siswa untuk menggunakan berbagai sumber untuk menjawab atau membuat
kesimpulan. Dari aktifitas penemuan tersebut tampak bahwa discovery learning adalah
pembelajaran yang membuat siswa aktif.
Menurut Sutman dkk (2008), ada tiga fase dalam kegiatan penemuan, yaitu: (1) fase
Pre-Laboratory yang berisi kegiatan menemukan masalah dan merencanakan prosedur
investigasi; (2) fase Laboratory yang berisi kegiatan melakukan percobaan atau pengumpulan
data dan menganalisisnya; dan (3) fase Post-Laboratory yang berisi kegiatan membuat
kesimpulan dan mendiskusikan aplikasi dari kesimpulan atau temuan lain yang terkait. Fase-
fase tersebut dapat dikembangkan dan didesain agar dapat meningkatkan kualitas aktifitas
siswa. Tantangan dalam merubah pembelajaran di kelas untuk memasukkan lebih banyak
diskusi dan interaksi antar siswa dapat dijawab dengan menerapkan penggunaan teknologi
dalam proses diskusi. Salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengembangkannya adalah
penggunaan teknologi dalam kegiatan pengamatan maupun pengumpulan dan penyajian data.
Discovery learning yang melibatkan penggunaan teknologi memiliki banyak
meningkatkan kualitas dan efektifitas pembelajaran. Penggunaan perangkat komputer membuat
guru dapat mendesain dan mengeksplor tugas-tugas dalam pembelajaran matematika dari
perspektif-perspektif yang jelas yang dapat mengarahkan siswa dalam mengkonstruksi
keterkaitan dalam matematika (Santos-Trigo, 2008). Discovery learning yang menggunakan
simulasi komputer yang dipadukan dengan pembelajaran kooperatif efektif untuk meningkatkan
penalaran ilmiah siswa (Abdullah dan Shariff, 2008). Selain itu, komputer dapat menyajikan
representasi visual dari suatu konsep yang sulit untuk dipahami apabila hanya menggunakan
kertas dan pensil saja (Cheng-Yao, 2008).
Selain dapat meningkatkan efektifitas pembelajaran, penggunaan komputer dapat
menjadi daya tarik bagi siswa untuk lebih aktif belajar. Penggunaan komputer dapat menjadi
motivasi bagi siswa untuk membuat matematika menarik (Cheng-Yao, 2008). Hal ini berarti
bahwa, penggunaan komputer dalam discovery learning dapat menjadi salah satu alternatif cara
untuk membuat siswa lebih aktif dalam belajar matematika.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran discovery learning
berbantuan graphmatica. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pembelajaran
matematika yang dibahas pada penelitian ini merupakan hasil kegiatan lesson study di kelas
XI.IA5 SMAN 8 Malang dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014, dengan 4
anggota yang terdiri dari 1 guru model dan 3 observer. Guru model merupakan guru matematika
SMAN 8 Malang dan para observer merupakan guru matematika dari SMA yang lain.
Keputusan menggunakan graphmatica dalam discovery learning pada materi limit fungsi
merupakan hasil dari kegiatan plan.
PEMBAHASAN
Kegiatan do dalam lesson study tersebut berupa pembelajaran di kelas XI.IA5 SMAN
8 Malang pada 8 Maret 2014 dan 13 Maret 2014 yang membahas Limit fungsi dengan indikator:
(1) Menjelaskan arti limit fungsi di suatu titik melalui pengamatan grafik dan perhitungan nilai-
nilai di sekitar titik tersebut; dan (2) Menentukan kondisi yang mengakibatkan ada tidaknya
nilai limit fungsi di suatu titik melalui pengamatan grafik dan perhitungan nilai-nilai di sekitar
titik tersebut. Sebelum pembelajaran limit menggunakan Graphmatica, siswa terlebih dahulu
dikenalkan cara mengoperasikan Graphmatica. Pada kegiatan ini, siswa belajar cara menuliskan
459
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
rumus fungsi pada Graphmatica dan mencoba menggunakan fungsi dari tools yang ada pada
Graphmatica. Cara penulisan rumus fungsi pada Graphmatica berbeda dengan cara menuliskan
rumus fungsi menggunakan equation editor yang ada pada MsWord. Kemampuan menuliskan
rumus fungsi sangat penting. Kesalahan penulisan rumus fungsi akan menyebabkan kesalahan
gambar grafik fungsi. Untuk mengecek kebenaran rumus fungsi yang dituliskan, siswa
diarahkan untuk membandingkan koordinat beberapa titik yang ada pada gambar grafik dengan
hasil perhitungan nilai fungsi dari beberapa nilai pada domain yang bersesuaian dengan titik
yang diamati. Hal ini sangat perlu dilakukan karena walaupun rumus fungsi yang dituliskan di
Graphmatica tidak sesuai dengan rumus fungsi yang ingin digambarkan grafiknya, maka pada
Graphmatica tetap akan muncul gambar grafik fungsinya.
Pada kegiatan do, penerapan discovery learning tidak berarti bahwa guru menjadi
lebih santai dan dapat meninggalkan kelas saat siswa sibuk dengan aktifitas penemuan. Peran
guru pada kegiatan pembelajaran lebih sebagai fasilitator. Selain peran fasilitator dalam
mendesain kegiatan dan memotivasi siswa agar aktif belajar, peran guru sebagai fasilitator
dalam setiap tahap kegiatan sangat diperlukan. Dalam tahap memahami masalah, guru perlu
aktif menghampiri dan memberikan bantuan siswa yang kesulitan memahami LKS. Dalam
tahap mengumpulkan data, guru perlu aktif membantu siswa yang kesulitan dalam menuliskan
rumus fungsi pada Graphmatica atau kesulitan mengoperasikan tools yang ada pada
Graphmatica. Dalam tahap membuat kesimpulan , guru memandu dan membimbing siswa
untuk membuat kesimpulan yang tepat jika kesimpulan yang dibuat oleh siswa belum tepat.
Dari kegiatan see, diperoleh hasil bahwa penggunaan Graphmatica dalam
pembelajaran limit fungsi yang menggunakan model discovery learning dapat meningkatkan
keaktifan siswa. Hal ini diketahui dari hasil pengamatan. Dalam kegiatan pembelajaran, siswa
konsentrasi dalam mengerjakan LKS, siswa tekun dalam berusaha menggunakan Graphmatica
untuk menggambar grafik, siswa aktif berdiskusi dengan teman satu kelompok, siswa aktif
untuk bertanya kepada guru jika mengalami kesulitan, siswa aktif untuk bertanya dan
memberikan tanggapan dalam diskusi kelas. Walaupun masih ada beberapa siswa yang kurang
aktif dan tidak konsentrasi, akan tetapi secara umum siswa lebih aktif dari pada pembelajaran-
pembelajaran sebelumnya yang tidak menggunakan penemuan terbimbing dan Graphmatica.
Penggunaan graphmatica dalam pembelajaran matematika dengan model discovery
learning tidak terlepas dari beberapa kendala. Hal ini sesuai dengan pernyataan Uworwabayeho
(2009) bahwa integrasi teknologi baru dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa
merupakan suatu tantangan. Berdasarkan hasil kegiatan see, beberapa kendala dalam
pembelajaran yang dilakukan tersebut diantaranya adalah banyak siswa kesulitan dalam
mengoperasikan Graphmatica, misalnya kesulitan dalam menuliskan rumus fungsi pada
Graphmatica. Hal ini terjadi karena Graphmatica merupakan software yang baru bagi siswa.
Kendala lain yang ada adalah siswa kesulitan dalam menggambar grafik fungsi yang awam bagi
mereka, misalnya kesulitan dalam menggambar grafik fungsi berbentuk
2 x 2 3, x 2
f ( x) , walaupun sudah menggunakan Graphmatica. Hal ini terjadi karena
6 x, x 2
pada pembelajaran materi fungsi, siswa belum mendapatkan pengalaman untuk menggambar
grafik fungsi seperti itu. Selain itu, Graphmatica merupakan software yang baru bagi siswa
sehingga keterampilan siswa dalam mengoperasikan Graphmatica masih perlu dikembangkan.
KESIMPULAN
Perkembangan teknologi perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika. Ada banyak hal yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran, diantaranya meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
melakukan pembelajaran dengan mengaplikasikan berbagai model pembelajaran dan media
pembelajaran yang inovatif dan selalu merefleksi kegiatan pembelajaran. Penggunaan
Graphmatica dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu bentuk penerapan
pembelajaran matematika yang berbasis teknologi. Penggunaan Graphmatica dalam
pembelajaran matematika dengan model discovery learning mencerminkan pembelajaran
dengan pendekatan scientific. Pelaksanaan model pembelajaran dan media tersebut di kelas
perlu disertai kegiatan refleksi proses pembelajaran yang dapat dilakukan dengan kegiatan
lesson study.
460
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Sopiah dan Shariff, Adilah. 2008. The Effects of Inquiry-Based Computer Simulation
with Cooperative Learning on Scientific Thinking and Conceptual Understanding of Gas
Laws. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Tecnology Education, Vol. 4 (4), hal.
387-398.
Bishop, Alan J. 2009. Developing teacher-researchers: a review of two handbooks. Journal of
Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.305-310.
Burghes, David; dan Robinson, Derek. 2009. Lesson study: Enhancing mathematics Teaching
and Learning. Copyright: CfBT Education Trust United Kingdom (http://www.cfbt.com)
Chapman, Olive dan Heater, Brenda . 2010. Understanding change through a high school
mathematics teacher’s journey to inquiry-based teaching. Journal of Mathematics
Teacher Education, Vol. 13, hal. 445-458.
Cheng-Yao, Lin. 2008. Beliefs about Using Technology in the Mathematics Classroom:
Interviews with Pre-service Elementary Teachers. Eurasia Journal of Mathematics,
Science and Tecnology Education, Vol. 4 (4), hal. 135-142.
da Ponte, Joao Pedro. 2009. Conditions of progress in mathematics teacher education. Journal
of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.311-313.
Doig, Brian and Groves, Susie. 2011. Japanese elsson Study: Teacher Professional
Development Through Communities of Inquiry. Mathematics Teacher Education and
development, Vol. 13 (1), hal. 77-93.
Flick, L.B and Lederman, N.G. 2006. Scientific Inquiry and Nature of Science: Implication for
Teaching, Learning and Teacher Education. Netherlands: Springer.
Gunnarsdottir, G. Helga; dan Palsdottir, G. 2011. Lesson study in Teacher Education: A Tool to
Establish A Learning Community. Proceeding of Seventh Congress of the European
Society for Mathematics Education (CERME 7) in Rzeeszow, Poland 3-13 February
2011.
Hertzer, Keith. 2014. Graphmatica. http://archives.math.uk.edu/software/msdos/graphing/g-
rmat/.html (diakses 30 April 2014 pukul 05.00).
Hunter, Roberta. 2010. Changing roles and identities in the construction of a community of
mathematical inquiry. Journal of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.397-409.
Lewis, Catherine C ; Perry, Rebecca R; dan Hurd, Jacqueline. 2009. Improving mathematics
instruction through lesson study: a theoretical model and North American case. Journal of
Mathematics Techer Education Vo. 12, halaman 285-304.
461
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
National Council of Educational Research and Training. 2006. Position Paper: National Fokus
Group on Teaching of mathematics. New Delhi: National Council of Educational
Research and Training.
Ryken, Amy E. 2009. Multiple representations as sites for teacher reflection about mathematics
learning. Journal of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.347-364.
Santos-Trigo, Manuel. 2008. An Inquiry Approach to Construct Instructional Trajectories Based
on The Use of Digital Technologies. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Tecnology Education, Vol. 4 (4), hal. 347-357.
Sutman, Frank X; Schmuckler, Joseph S; dan Woodfield, Joyce D. 2008 . The Science Quest:
Using Inquiry/Discovery to Enhance Student Learning, Grades 7–12. San Fransisco: John
Wiley & Sons, Inc.
Uworwabayeho, Alphonse. 2009. Teachers’ innovative change within countrywide reform: a
case study in Rwanda. Journal of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal. 315–324.
Walshaw, Margaret. 2010. Mathematics pedagogical change: rethinking identity and reflective
practice. Journal of Mathematics Teacher Education Vol. 13, hal. 487–497
Weinbaum, Alexandra [dkk]. 2004. Teaching as Inquiry : Asking Hard Questions to Improve
Practice and Student Achievement. New York: Teachers College Press.
Wikipedia. 2014. Graphmatica. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Graphmatica (diakses 30 April
2014 pukul 05.00 WIB).
Kata Kunci: pembelajaran konstruktivisme, media benda konkret, geometri bangun ruang
Mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit
oleh sebagian siswa. Banyak siswa yang kurang antusias dan kurang semangat mengikuti
pelajaran matematika sehingga hasil belajar matematika biasanya di bawah rata-rata. Masalah
lain yang timbul pada pembelajaran matematika yaitu penggunaan media yang kurang oleh guru
sehingga siswa sulit dalam menerima materi yang bersifat abstrak.
Di dalam belajar matematika, seseorang yang mempelajari konsep B sebelum
memahami konsep A atau suatu konsep yang lebih tinggi tingkatannya (higher-order concept)
hanya dapat dipahami melalui konsep yang lebih rendah tingkatannya (lower-order concept)
(Hudojo, 1990:4). Selain itu, siswa SD berada dalam masa perkembangan operasional konkret.
Siswa pada tahap berpikir konkret akan merasa kesulitan apabila matematika disajikan dalam
bentuk abstrak. Oleh sebab itu, diperlukan penyesuaian pembelajaran yang menyajikan sebagai
bentuk representasi konsep matematika untuk membantu siswa agar dapat memudahkan
belajarnya.
462
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
463
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Guru juga bisa menggunakan media benda-benda yang ada di sekitar kita yang biasa
dijumpai seperti contoh dibawah ini.
Dengan media konkret bangun ruang ini siswa dapat mempelajari dengan sendiri sifat-
sifat berbagai bangun ruang melalui pengamatan. Dengan menggunakan media tersebut maka
siswa akan mendapatkan pengetahuan secara konkret tentang bangun ruang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Pelaksanaan
penelitian ini mengacu pada siklus PTK yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (1988).
Adapun siklus dalam penelitian ini terdiri dari 4 tahapan yaitu: (1) perencanaan tindakan
(planning), (2) pelaksanaan tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi
(reflecting).
a. Tahap Perencanaan Tindakan
Pada tahap perencanaan tindakan I, hal-hal yang dilakukan dalam pelaksanaan ini
meliputi: (1) menyusun RPP, (2) menyiapkan media pembelajaran berupa benda konkret
tentang bangun ruang, (3) menyiapkan Lembar Kegiatan Kelompok (LKK), (4) menyiapkan
lembar observasi, (5) menyusun instrumen tes hasil belajar berupa tes, (6) menyiapkan
sarana dan fasilitas pendukung yang diperlukan di kelas.
b. Tahap pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan penelitian dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
tindakan yang telah dirumuskan pada tahap perencanaan. Tujuan utama pada tahap ini adalah
mengupayakan inovasi dalam proses pembelajaran dengan tujuan meningkatkan kualitas
464
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran. Pada tahap ini guru mempraktikan pembelajaran konstruktivisme pada materi
geometri bangun ruang dengan menggunakan media benda konkret.
c. Tahap Observasi
Pada tahap ini, dilakukan proses observasi selama pelaksanaan pembelajaran
dengan menggunakan lembar observasi. Observasi dilakukan terhadap RPP, pelaksanaan
pembelajaran dan aktivitas siswa pada saat mengikuti pembelajaran. Instrumen yang
digunakan untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran yaitu berupa lembar pengamatan
untuk guru, sedangkan instrumen yang digunakan untuk mengamati aktivitas siswa pada saat
pembelajaran yaitu pedoman penilaian untuk siswa. Setiap akhir pertemuan, siswa diberikan
tes untuk mengukur tingkat pemahaman mereka.
d. Tahap Refleksi
Pada tahap refleksi, kegiatan yang dilakukan adalah: (1) mengevaluasi hasil
penilaian aktivitas siswa, (2) mengevaluasi hasil belajar siswa yang diperoleh melalui hasil
tes di akhir pertemuan I, dan (3) merefleksikan data-data yang didapat pada tahap
pelaksanaan untuk diperbaiki pada siklus selanjutnya. Peneliti melakukan refleksi atas proses
dan hasil pembelajaran yang dicapai pada proses tindakan ini. Refleksi yang dimaksud
adalah melakukan perenungan atau berpikir ulang terhadap kegiatan yang sudah dilakukan,
kegiatan yang belum dilakukan, apa saja yang sudah dicapai, apa saja yang belum dicapai,
masalah apa saja yang belum terpecahkan, dan menentukan tindakan yang perlu dilakukan
dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran.
Untuk mengetahui hasil belajar keseluruhan siswa kelas V di SDN Bumiayu 1 Malang pada
siklus I maka dicari rata-rata nilai hasil evaluasi di kelas tersebut dengan rumus.
skor perolehan
Rata − rata hasil belajar siswa =
jumlah siswa
2795
Rata − rata hasil belajar siswa = = 68
41
Dari perhitungan data didapat rata-rata hasil belajar siswa adalah 68. Dari paparan data
di atas dapat dilihat bahwa siswa yang mendapatkan nilai dibawah KKM sebanyak 19 siswa
atau 46% jumlah seluruh siswa sedangkan siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak
465
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
22 siswa atau 54% jumlah seluruh siswa. Karena hasil belajar ketuntasan klasikal masih di
bawah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan yaitu 85% maka perlu dilanjutkan pada siklus
II.
Untuk mengetahui hasil belajar siswa kelas V di SDN Bumiayu 1 Malang pada siklus I
maka dicari rata-rata nilai hasil evaluasi di kelas tersebut dengan rumus.
skor perolehan
Rata − rata hasil belajar siswa =
jumlah siswa
466
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3265
Rata − rata hasil belajar siswa = 41
= 79
Dari perhitungan data didapat rata-rata hasil belajar siswa adalah 79. Dari paparan data
di atas dapat dilihat bahwa siswa yang mendapatkan nilai dibawah KKM sebanyak 5 siswa atau
12% jumlah seluruh siswa sedangkan siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 36
siswa atau 88% jumlah seluruh siswa. Jumlah tersebut sudah mengalami peningkatan dari siklus
I. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketuntasan belajar secara klasikal sudah memenuhi target
yang ditentukan yaitu 85%, maka pembelajaran ini di anggap berhasil pada siklus II, serta
meningkatnya rata-rata siswa.
Pada umumnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada siklus II sudah berjalan
lancar dan dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan, namun guru juga perlu
memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran baik media
pembelajaran maupun pengorganisasian waktu. Pembelajaran yang dilakukan mengalami
peningkatan baik dalam proses maupun produknya. Hal ini dapat dijadikan sebagai motivasi
bagi guru untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mata pelajaran matematika khususnya materi geometri bangun ruang.
Berdasarkan data rekapitulasi di atas dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan hasil
belajar siswa pada materi geometri bangun ruang siswa kelas V SDN Bumiayu 1 dalam masing-
masing siklus. Hal ini disebabkan siswa termotivasi dalam pembelajaran Matematika pada
materi geometri bangun ruang dengan menggunakan media benda konkret, sehingga hasil
belajar siswa mengalami peningkatan.
Setelah menerapkan Pembelajaran Konstruktivisme dengan menggunakan media benda
konkret pada mata pelajaran Matematika , hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Pada
siklus I, siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 22 siswa atau 54% jumlah seluruh
siswa. Pada siklus II, siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 36 siswa atau 88%
jumlah seluruh siswa.
Jumlah siswa yang mengalami peningkatan hasil belajar yaitu sebanyak 35 siswa atau
85% jumlah semua siswa. Sedangkan siswa yang tidak mengalami peningkatan hasil belajar
sebanyak 4 siswa atau 10% jumlah semua siswa. 5% lainnya yaitu 2 siswa merupakan siswa
yang mendapat nilai 100 dari siklus I sampai siklus II.
Peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika dengan meteri
geometri bangun ruang juga ditunjukkan dari rata-rata hasil belajar siswa. Pada siklus I, rata-
rata hasil belajar siswa adalah 68 sedangkan pada siklus II rata-rata hasil belajar siswa adalah
79.
Di bawah ini dipaparkan perbandingan perolehan rata-rata hasil belajar dan presentase
ketuntasan KKM pada siklus I dan 2.
467
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
100
90
80
70
60
Rata-rata Hasil Belajar
50
40 Persentase Siswa Tuntas
30 KKM
20
10
0
Siklus 1 Siklus 2
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto,S, Suhardjono, dan Supadi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: bumi aksara
Hudojo, H., 1990. Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Jakarta : Depdikbud
Ibrahim,R, & Nana Syaodih S. 2010. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Kemmis, S. dan Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. Deakin:Deakin University.
Lisnawati, Lilis. 2011. Penggunaan Media Konkret Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Pada Konsep Pesawat Sedehana Di Kelas V SD Negeri Limbangan Tengah Kabupaten
Garut. repository.upi.edu/operator/upload/s_pgsd-0708085_chapter2.pdf. Diunduh pada
19 November 2013 pukul 09.00 WIB
Sudjono, Anas. 1996. Pengantar Statistik Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.
Suwangsih, E dan Triulina. 2006. Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI Press.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
468
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kemampuan komunikasi merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa
dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematis merupakan kesanggupan atau
kecakapan seorang siswa untuk dapat menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara
lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada dalam soal matematika (Depdiknas, 2006).
Sesuai dengan pendapat Pugalee (2001) mengatakan proses komunikasi membantu makna,
mempublikasikan ide, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
pemahaman mereka. Khalid dan Tengah (tanpa tahun) juga menyatakan bahwa matematika
adalah subjek yang paling tepat untuk mengembangkan komunikasi karena cara komunikasi dan
pemikiran matematis diperlukan bagi siswa untuk mencapai keberhasilan dalam hidup terutama
ketika bekerja dalam kehidupan nyata. Hal ini juga senada dengan Ilma (2011) yang
menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus
dimiliki siswa karena merupakan bagian yang sangat penting dalam matematika dan pendidikan
matematika. Sebagaimana tercantum dalam prinsip-prinsip dan standar dari National Council of
Teacher of Mathematics (NCTM) yang memuat lima standar proses, yaitu pemecahan masalah,
penalaran dan bukti, komunikasi, koneksi, dan representasi. Beracuan pada NCTM juga, ada
beberapa komponen kemampuan komunikasi matematis tertulis yang menjadi indikator dalam
penelitian ini, yaitu: (1) kemampuan menuliskan masalah ke dalam kalimat matematika, (2)
kemampuan menuliskan pemahaman konsep dengan benar, (3) kemampuan dalam menuliskan
penyelesaian masalah dengan strategi dan langkah-langkah yang benar (4) kemampuan
melakukan perhitungan dengan benar.
Beberapa fakta menunjukkan hasil pembelajaran matematika di SMKN 2 Barabai
belum mencapai target, hasil ulangan harian siswa masih rendah, hanya sekitar 50% siswa yang
tuntas secara klasikal, ini belum mencukupi KKM secara klasikal yang ditetapkan sekolah yaitu
70 % siswa minimal mendapat nilai 70. Hal ini juga diperkuat dengan hasil diskusi dengan guru
matematika di SMKN 2 Barabai bahwa dalam materi vektor dimensi dua, siswa masih bingung
mengomunikasikan permasalahan ke dalam bahasa matematika, mereka juga kesulitan dalam
mengomunikasikan ide-ide matematika kepada siswa lain atau guru di kelas. Ada siswa yang
sudah memahami, namun belum bisa mengomunikasikan pemahamannya di kelas. Ada juga
siswa yang belum mengerti namun bingung untuk mengutarakan ide-ide atau pengetahuan
mereka baik itu secara lisan maupun tertulis.
Menurut CORD (1999) dan Crawford (2001) pembelajaran kontekstual adalah
pembelajaran yang memberikan kesempatan guru berkomunikasi efektif dengan siswa dan
membuka pemikiran siswa tentang makna dan relevansi dari konsep yang mereka pelajari.
Dalam penerapannya pembelajaran ini memuat lima komponen yang disingkat REACT, yaitu
relating (menghubungkan atau mengaitkan), experiencing (mengalami), applying (menerapkan),
cooperating (bekerja sama), transferring (mentransfer). Abdussakir dan Achadiyah (2009)
menyatakan strategi REACT adalah strategi yang dapat mengaktifkan dan mengembangkan daya
pikir siswa karena dalam strategi ini: (a) siswa dapat mengaitkan materi dengan situasi nyata
dan pengetahuan awal siswa, (b) melibatkan siswa dalam pemecahan masalah, (c) melibatkan
siswa dalam pembelajaran kooperatif, dan (d) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengalami sendiri, mengaplikasikan, dan mentransfer konsep yang dipelajari. Jadi cara terbaik
menyampaikan konsep di kelas, membangun komunikasi guru dan siswa, dan membuka pola
pikir siswa yaitu dengan strategi REACT.
Lesson study sesungguhnya bukanlah program baru sebab sesungguhnya program
kerjasama peningkatan pembelajaran ini merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya yang
disebut “piloting”. Lesson study merupakan sebuah adaptasi program peningkatan kualitas
469
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran yang dilakukan di Jepang. Menurut Lewis dan Takahasi lesson study is explored
both as a means of professional learning for teachers and as an approach to connecting
research and practice more closely. Stigler and Hibert (dalam Sparks) menyatakan lesson study
is a collaborative process in which a group of teachers identifiy an instructional problem, plan
a lesson (which involves finding books and articles on the topic), teach the lesson (one member
of the group teaches the lesson while the others observe), evaluate and revise the lesson, teach
the revised lesson, again evaluate the lesson, and share the results with other teachers. Sejalan
dengan itu, Wang-Invertion (2005) mengatakan lesson study is a unique tool for ongoing
professional learning, because it can help teachers to reach a common understanding of student
thinking and then collaboratively develop strategies that raise students to higher levels of
understanding and accomplishment.
Lesson study dilaksanakan kolaboratif dari sekelompok guru untuk secara bersama-
sama. Ada 3 langkah dalam pelaksanaannya yaitu (1) merencanakan pembelajaran (plan), (2)
salah seorang guru (disebut guru model) melaksanakan pembelajaran di depan kelas dan guru
lain (disebut guru pengamat) mengamati jalannya proses pembelajaran (do), dan (3) melakukan
refleksi atau melihat lagi (see) pembelajaran yang telah dilaksanakannya, guna menemukan dan
memecahkan masalah pembelajaran yang mungkin muncul, agar pembelajaran berikutnya dapat
direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik. Melalui kegiatan Lesson study yang
demikian para guru secara bersama-sama akan belajar masalah pembelajaran dari pembelajaran
pada kelas yang sebenarnya. Fokus pengamatan para guru dalam kegiatan lesson study adalah
mengamati bagaimana siswa atau kelompok siswa belajar dan saling belajar. Jika teramati
adanya masalah pada diri seorang siswa atau kelompok siswa, maka guru pengamat harus
berusaha menganalisa faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi penyebabnya sehingga
kegiatan belajar siswa tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Guru pengamat (observer) juga
diharapkan mampu memberi masukan kepada guru model (praktikan) berdasarkan fakta yang ia
temukan pada siswa atau kelompok siswa selama pembelajaran berlangsung. Lesson study
merupakan kegiatan para guru dalam belajar tentang pembelajaran, memperhatikan bagaimana
guru harus mengamati dan menganalisa jalannya proses pembelajaran pada siswa.
Tujuannya dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran strategi
REACT berbasis lesson study untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tertulis
Siswa SMKN 2 Barabai.
METODE
Metode yang digunakan adalah lesson study yang dapat dikategorikan sebagai
penelitian tindakan. Lesson study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu plan (merencanakan),
Do (melakukan), dan See (merefleksi) yang berkelanjutan. Pelaksanaan lesson study dilakukan
secara partisipatif dan kolaboratif antara mahasiswa dan guru matematika SMKN 2 Barabai.
Mahasiswa yang terlibat pada lesson study ini adalah tim peneliti sendiri sebanyak 4 orang dan
1 orang guru pengajar matematika di SMKN 2 Barabai. Pada pelaksanaan, 1 mahasiswa akan
bertindak sebagai guru model (praktikan) dan 3 mahasiswa serta 1 guru pengajar bertindak
sebagai observer atau kameramen. Pelaksanaan penelitian berlangsung mulai tanggal 8 sampai
11 Maret 2014. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan model PTK sekaligus dalam bentuk
lesson study. Jumlah siklus tindakan atau siklus lesson study direncanakan sebanyak 2 siklus.
Alur penelitian secara umum adalah kegiatan perencanaan (plan), pelaksanaan (Do) dan refleksi
(See), dan dalam alur tersebut memuat langkah dalam penelitian tindakan (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pelaksanaan, (4) refleksi.
Tempat penelitian di di SMKN 2 Barabai tahun pelajaran 2013/2014 yang berlokasi di
Jl. Sa’aludin RT. 05 RW. 03 Aluan Mati Seberang Kec. Batu Benawa Kabupaten Hulu Sungai
Tengah Propinsi Kalimantan Selatan. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas XI B Teknik
Kendaraan Ringan SMKN 2 Barabai yang berjumlah 31 siswa dengan 1 siswa perempuan dan
30 siswa laki-laki tahun pelajaran 2013/2014.
Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil
belajar, hasil observasi, dan dokumentasi.
470
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
471
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
SIMPULAN
Siswa mampu menuliskan masalah ke dalam kalimat matematika, menuliskan pemahaman
konsep dengan benar, menuliskan penyelesaian masalah dengan strategi dan langkah-langkah
yang benar, dan melakukan perhitungan yang benar. Pembelajaran dengan strategi REACT
dapat meningkatkan motivasi dan antusias siswa dalam belajar matematika, serta membuat
suasana belajar tidak kaku dan menjenuhkan. Pembelajaran dengan strategi REACT berbasis
lesson study dapat meningkatkan kemampuan komunikasi tertulis pada siswa SMKN 2 Barabai.
DAFTAR RUJUKAN
Abdussakir dan Achadiansyah, Nur Laili. Pembelajaran Keliling dan Luas Lingkaran dengan
Strategi REACT pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto.
CORD.1999. Teaching Mathematics Contextually: The Cornerstone Of Teach Pref.Waco.
Texas: CORD Communications.Inc
Crawford, M. L. 2001. Teaching Contextually. Research, Rationale, and Techniques for
Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science. Cord.
Depdiknas.2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas
Ilma, I. Putri. 2011. Improving Mathematics Comunication Ability Of Students In Grade 2
Through PMRI Approach. Universitas Brawijaya : Departemen Pendidikan Matematika
472
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
473