You are on page 1of 21

PEMBERIAN TANDA WAQAF DAN IBTIDA’

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah


Ulumul Qur’an
Dosen : Adithya Warman. M.A.

Disusun Oleh :
Kelompok 12 · 1B PAI
Izzatul Jannah (23312680)
Nailah Atha Zhafirah (23312701)
Najlah Khoirunnisa (23312702)
Nurfaizah (23312705)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN(IIQ) JAKARTA
TAHUN AJARAN 2023/2024
ِ‫ِالرِحْيم‬
َّ ِ‫ْح ِن‬ َّ ِِ‫ِالل‬
ٰ ْ ‫ِالر‬ ِّٰ ِ‫بِ ْس ِم‬

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah
Swt., karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul
“Pemberian Tanda waqaf dan ibtida’” dapat diselesaikan sesuai harapan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat nilai tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia
Makalah ini penulis susun dengan bantuan dan bimbingan serta
sumbang saran dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh
keterbatasan penulis dalam pengetahuan, kemampuan mencari sumber, dan
pengalaman. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi pembaca. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Tangerang Selatan, 14 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 2

A. Latar Belakang ...................................................................................... 2

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 3

C. Tujuan .................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 4

A. Pemberian Tanda Waqaf dan Ibtida’ ..................................................... 4

B. Fungsi Waqaf dan Ibtida’ ...................................................................... 5

C. Sebab-sebab terjadinya perbedaan dan penentuan Waqaf dan Ibtida’ 13

D. Hikmah mengetahui waqof dan ibtida ................................................ 15

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 17

A. Kesimpulan.......................................................................................... 17

B. Saran .................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran agama Islam. Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur
selama 23 tahun. Pada zaman itu, penyebaran Al-Qur’an lebih banyak
melalui metode lisan dan hafalan dibandingkan tulisan. Pada masa itu,
fokus utama umat Islam adalah memastikan bacaan tetap terjaga seperti
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw..
Pada masa Nabi, penulisan Al-Qur’an umumnya dilakukan tanpa
ada tanda baca, termasuk waqaf dan ibtida’. Penggunaan tanda baca,
termasuk tanda waqaf dan ibtida’ menjadi lebih sistematis setelah
khalifah-khalifah awal islam melihat perlunya standar dalam penulisan
mushaf al-qur’an. Usaha terkenal dalam hal ini dilakukan oleh Khalifah
‘Utsman Bin ‘Affan, yang menyusun Mushaf Utsmani yang kemudian
menjadi referensi utama untuk penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Meskipun Mushaf Utsmani tidak terdapat tanda harakat atau tanda waqaf
dan ibtida’, namun muslim pada saat itu sudah memiliki pemahaman
tajwid yang mendalam. Tidak ada pemberian tanda waqaf dan ibtida’
secara resmi saat itu, tetapi aturan-aturan tajwid ini telah diterapkan dalam
bacaan Al-Qur’an sejak zaman awal Islam.
Pentingnya tajwid dan penggunaan tanda waqaf dan ibtida’ yang
merupakan bagian dari tajwid berkembang seiring dengan usaha para
ulama untuk memelihara bacaan Al-Qur’an secara tepat dan akurat. Tanda
waqaf dalam Al-Qur’an digunakan untuk menentukan tempat berhenti
yang tepat dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Sementara tanda ibtida’,

2
3

menjadi penanda awal ayat yang memberikan arah bagi pembaca untuk
memahami makna suatu ayat.
Pemberian tanda waqaf dan ibtida’ menjadi langkah penting dalam
memelihara keaslian bacaan Al-Qur’an dan mencegah terjadinya
penyimpangan makna yang bisa timbul tanpa adanya pedoman bacaan
yang jelas. Pemberian tanda waqaf dan ibtida’ dalam Al-Qur’an juga
bentuk penghormatan terhadap keindahan bahasa yang digunakan dalam
Al-Qur’an.
Dengan adanya makalah ini penulis berharap dapat membantu
pembaca memahami secara lebih mendalam mengenai paham pemberian
tanda waqaf dan ibtida’.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam makalah ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemberian tanda waqaf dan ibtida’ dalam Al-Qur’an?
2. Apa fungsi waqaf dan ibtida’ dalam bacaan Al-Qur’an?
3. Apa sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan waqaf dan
ibtida’?
4. Apa hikmah memahami waqaf dan ibtida’?

C. Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemberian tanda waqaf dan ibtida’.
2. Untuk mengetahui fungsi waqaf dan ibtida’ dalam bacaan Al-Qur’an.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan
waqaf dan ibtida’.
4. Untuk mengetahui hikmah setelah memahami waqaf dan ibtida’.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pemberian Tanda Waqaf dan Ibtida’
Dalam perkembangan waqaf dan ibtida’, para ulama
merumuskan beberapa tanda untuk menunjukkan tempat berhenti
(waqaf) yang digunakan dalam Al-Qur’an. Para ulama melihat
kebutuhan para pembaca Al-Qur’an terhadap tanda-tanda yang
menunjukkan tempat-tempat yang baik untuk berhenti atau me-waqaf-
kan bacaan. Tanda-tanda waqaf yang ada dalam Al-Qur’an akan hasil
dari ijtihad para ulama guna memudahkan para pembaca Al-Qur’an
agar terhindar dari kesalahan dalam menentukan tempat-tempat
berhenti (waqaf) ketika membaca Al-Qur’an. Jika seorang pembaca
Al-Qur’an tidak berhenti di tempat yang tepat, maka hal itu akan
mengubah makna Al-Qur’an. Salah satu contohnya ialah ketika
membaca Q.S. al-Ma’un : 4. Jika berhenti pada ayat tersebut, maka ayat
tersebut akan berarti: “maka celakahlah orang-orang yang shalat”.
Hal ini merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena tidak
mungkin orang yang mengerjakan shalat termasuk orang yang celaka.
Seharusnya ayat tersebut disambung dengan ayat berikutnya yang
berarti: “yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Untuk itu,
muncul beragam tanda waqaf dalam Al-Qur’an. Sebagaimana yang
biasa ditemukan dalam berbagai cetakan mushaf Al-Qur’an.1
Penggunaan tanda-tanda waqaf dalam Al-Qur’an ini
merupakan salah satu bentuk resepsi sosial budaya terhadap Al-Qur’an.
Disebut demikian, karena awal mula digunakannya tanda waqaf

1Muhaimin , Perbedaan Tanda Waqof dalam Mushaf al-Qiur’an dan Implikasinya Terhadap Makna
al-Qur’an , (Yogyakarta, 2007), h. 31.

4
5

memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan konteks sosial


masyarakat yang ada di sekitarnya. Apabila para ulama ahli Al-Qur’an
menganggap tanda waqaf tidak dibutuhkan oleh masyarakat pada
umumnya, tentu mereka tidak akan menciptakan tanda-tanda waqaf. Di
samping itu, tanda merupakan salah satu unsur budaya dan tanda waqaf
yang terdapat dalam Al-Qur’an pun dapat disebut sebagai budaya.
Penggunaan tanda waqaf ini menunjukkan bahwa manusia
menggunakan menggunakan simbol untuk berinteraksi dengan
manusia yang lain dalam kehidupannya. Simbol digunakan oleh
manusia karena ia mampu membuat penanda.

B. Fungsi Waqaf dan Ibtida’


1. Waqaf
a. Pengertian Waqaf
َ َ‫َوق‬
Secara etimologis, waqaf berasal dari kata ‫ف َبقِف‬
‫ وق ْونًا‬yang berarti berhenti atau menahan. Adapun dalam
kamus suatu tempat pemberhentian dan bentuk jamaknya
adalah ‫ وقف‬dan ‫ وت ْرف‬. dalam Mu'jam al-Washith, waqaf berarti
terpotongnya kata pada suatu tempat dari kata selanjutnya. Al-
Asymunî mengartikan secara bahasa dengan menahan dari
perbuatan ataupun perkataan. Abu Amr ad-Dâni mengartikan
dengan ‫( أوقفت أي سكت‬memberhentikan atau menahan).
Adapun secara terminologis, waqaf adalah
menghentikan kata dari kata berikutnya. Menurut as-Sijawandî
yaitu:
ِِ ‫ إِ َّمِا ِِبَِا يَلِي احلَْر‬،ِِ‫اف الْ ِقَراءَة‬
‫ف‬ ِِ َ‫استِثْ ن‬ ِ ِِ ِ ِ ِِ ‫الص ْو‬
ْ ‫ت َعلَى الْ َكل َمِة َزَمنًِا يَتَنفسِ ف ِيه َع َادةًِ بِنَ ِية‬ َّ ِ‫قَطْع‬

ِِ ‫الْ َم ْوق‬
‫ أ َِْو ِِبَِا قَ ْب لَِه‬،ِ‫وف َعلَْي ِه‬
6

Menghentikan suara sejenak pada akhir kata untuk mengambil


nafas di waktu tersebut dengan niat melanjutkan bacaan, baik
setelah huruf tempat berhentinya ataupun sebelumnya.
Sedangkan menurut Abdul Fattah, waqaf yaitu
menghentikan suara sejenak pada akhir kata untuk mengambil
nafas pada waktu tersebut dengan niat melanjutkan bacaan
tidak berniat berpaling dari bacaan, seharusnya membaca
basmalah saat membuka surah dan berhenti pada akhir ayat atau
pertengahannya, bukan pada pertengahan kata dan yang
menjadi penyambung rasm seperti ‫ أن‬pada QS. Al-Qiyamah
َ ‫الَّ ْن ت ْج َم َع ِع‬.
ayat 3 : ‫ظا َمة‬
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat difahami
bahwa waqaf adalah menghentikan suara baik ditengah ataupun
diakhir ayat dengan niat melanjutkan bacaan Al-Qur'an.
b. Klasifikasi Waqaf
Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan
waqaf. Sebagian dari mereka membaginya berdasarkan tingkat
kesempurnaan makna, sementara kelompok yang lain
membaginya berdasarkan keadaan qari’ dan menjadikan
klasifikasi berdasarkan makna sebagai cabang darinya, bahkan
ada pula yang menggabungkan antara keduanya. Pendapat yang
terakhir menurut penulis dapat mengakomodasi dua pendapat
sebelumnya, sehingga waqaf dapat diklasifikasikan menjadi
enam, yaitu: ikhtibariy, intizariy, idtirariy, ikhtiyariy,
ta‘assufiy, dan muraqabah.2
a. Waqaf Ikhtibari (menguji atau mencoba)

2
Yahya 'and al razzak ghauthaniy, Ilm at-tajwid, h. 111.
7

Waqaf ikhtibari adalah waqaf yang dilakukan untuk


menguji qari’ atau menjelaskan agar diketahui cara waqaf
dan ibtida’ yang sebenarnya. Waqaf ini dibolehkan hanya
dalam proses belajar mengajar, yang sebenarnya tidak boleh
waqaf menurut kaidah ilmu tajwid.
b. Waqaf Idhthirari (terpaksa)
Waqaf idhthirari adalah waqaf yang dilakukan dalam
keadaan terpaksa, mungkin karena kehabisan nafas, batuk
atau bersin dan lain sebagainya. Apabila terjadi waqaf ini,
hendaklah mengulang dari kata tempat berhenti atau kata
sebelumya yang tidak merusak arti yang dimaksud oleh
ayat.
c. Waqaf Intizhari (menunggu)
Waqaf intizhari adalah waqaf yang dilakukan pada kata
yang diperselisihkan oleh ulama qira’at antara boleh dan
tidak boleh waqaf. Untuk menghormati perbedaan pendapat
itu, sambil menunggu adanya kesepakatan, sebaiknya
waqaf pada kata itu, kemudian diulangi dari kata
sebelumnya yang tidak merusak arti yang dimaksud oleh
ayat, dan diteruskan sampai tanda waqaf berikutnya.
Dengan demikian terwakili dua pendapat yang berbeda itu.
d. Waqaf Ikhtiari (pilihan)
Waqaf ikhtiari adalah waqaf yang dilakukan pada kata yang
dipilih, disengaja dan direncanakan, bukan karena ada
sebab-sebab lain. Waqaf ikhtiari terbagi menjadi beberapa
macam, yaitu sebagai berikut.
1) Waqaf Tam (sempurna)
8

Waqaf tam adalah waqaf pada akhir suku kata yang


sudah sempurna, baik menurut tata bahasa maupun arti.
Pada umumnya terdapat pada akhir ayat dan di akhir
keterangan, cerita, atau kisah. Dan tidak ada kaitannya
sama sekali dengan ayat berikutnya. Seperti waqaf pada
َ‫ ْال ُم ْف ِل ُح ْون‬dalam ayat berikut
]5ِ:ِ‫كِهمِالْم ْفلِح ْو َنِ[ِالبقرة‬
َ ِ‫ِالِواولئ‬ ِِ ِ ‫كِعلَىِه ًد‬
َ ‫ىِم ْنِ َّرِّب ْم‬
ّ
ِ
َ َ ‫اولئ‬
2) Waqaf Kafi (cukup)
Waqaf kafi adalah waqaf pada akhir suku kata yang
menurut tata bahasa sudah dianggap cukup, tetapi dari
segi arti, cerita atau kisah masih ada kaitannya dengan
ayat berikutnya. Seperti waqaf pada َ‫ ي ْوقِن ْون‬dalam surah
al-Baqarah ayat 4-5 berikut :

ِ☼ِ‫َخَرةِِه ْمِي ْوقِن ْو َن‬


ِ ‫كِجِوِِبأل‬ِ ِ ِ ِ
َ ‫َوالَّذيْ َنِي ْؤِمن ْو َن ِِِبَاِانْ ِزَلِالَْي‬
َ َ ‫ك َِوَماِانْ ِزَلِم ْنِقَ ْبل‬
ِ☼‫كِهمِالْم ْفلِح ْو َِن‬
َ ِ‫ِالِواولئ‬ َِِّ ‫ىِمن‬
َ ‫ِرِّب ْم‬
ِ
ْ ّ ‫ِعلَىِه ًد‬
َ‫ك‬ َ ِ‫اولئ‬
3) Waqaf Hasan (baik)
Waqaf hasan adalah waqaf pada akhir suku kata yang
sudah dianggap baik menurut tata bahasa, tetapi masih
ada kaitan dengan ayat berikutnya, baik dari segi arti
َِ ْ ‫ الْ َعالَ ِم‬dalam
maupun tata bahasa. Seperti waqaf pada ‫ي‬

ayat berikut:
ِّ ‫كِي وِم‬
ِِ ِ َّ ‫ي☼ِاَ َّلر ْْح ِن‬
َِ ْ ‫بِالْ َع الَ ِم‬ ِ
☼‫ِالديْ ِن‬ ْ َ ‫ِالرحْي ِمِ☼ِ َم ال‬ ِّ ‫اَ ْحلَ ْم دِهلل َِر‬
4) Waqaf Qabih (buruk)
Waqaf qabih adalah waqaf pada akhir suku kata yang
menurut tata bahasa tergolong buruk dan bahkan
9

merusak arti atau maksud dari makna ayat yang


sebenarnya. Seperti waqaf pada ‫ن‬ ْ ‫ ْلل ُم‬dalam surah al-
َ ‫صلِحِ ي‬
Ma’un ayat 4-5 berikut:
ِِ ِ ِ ‫فَويلِلِلْم‬
☼ِ‫ِساه ْو َن‬
َ ‫ِصالَِِت ْم‬ َ ‫يِ☼ِالَّذيْ َنِه ْم‬
َ ‫ِع ْن‬ َ ْ ّ‫صل‬
َ ٌ َْ

َ ‫ ل ِْلم‬akan merusak arti atau maksud ayat.


Waqaf pada َ‫ص ِلِّيْن‬
Maksud dari ayat adalah : “Neraka itu untuk orang-
orang yang melalaikan shalat” Ketika waqaf pada
َ ‫ ل ِْلم‬, maka maksud ayat lalu berubah menjadi:
َ‫ص ِِّليْن‬
“Neraka itu untuk orang-orang yang mengerjakan
shalat."3

5) Waqaf aqbah
Secara bahasa, waqaf aqbah berarti waqaf yang paling
buruk. Menurut istilah, berarti berhenti pada kata yang
mengakibatkan makna yang bertolak belakang. Jika
berhenti disengaja haram hukumnya, apalagi jika
disertai keyakinan dalam hatinya maka akan
mengakibatkan pada kekafiran.4
2. Ibtida’
a. Pengertian ibtida’
Ibtida secara terminologis berarti memulai, atau dalam
kamus Lisân al-'Arab artinya ‫( فَ َع ْلته ابتداء‬saya memulai perbuatan).
Asal katanya merupakan bentuk mashdar ‫ ابتدأ‬yaitu : ‫بَدَأ َوا ْبتَدَأ بَدْ ًءا‬
‫ َوا ْبتِدَاء‬Adapun makna Ibtida’ secara etimologisnya adalah memulai
bacaan baik setelah qath ataupun waqaf.

3
http://mughits-sumberilmu.blogspot.com Sumber Ilmu: Waqaf dan Ibtida'
4
Muhammad Nabhan bin Husain Mishri, al-Mudzakkiroh fi al-Tajwid, h. 94
10

Jika memulai bacaan setelah al-Qath, maka harus dibuka


dengan ta’awudz dan basmalah jika diawal surah, dan jika
dipertengahan surah maka cukup membaca ta'awudz. Adapun jika
memulai bacaan setelah al-Waqf, maka tidak harus memulainya
dengan ta'awudz maupun basmalah.
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
ibtida’ adalah memulai bacaan setelah waqaf maupun qatha'
dengan tetap memperhatikan maknanya.5
b. Klasifikasi ibtida’
Adapun klasifikasi ibtida’, berbeda dengan
pengklasifikasian waqaf. Jika waqaf dapat diklasifikasi
berdasarkan keadaan pembaca Al-Qur'an dan tingkat
kesempurnaan makna, maka ibtida’ hanya diklasifikasikan
berdasarkan tingkat kesempurnaan maknanya saja. Ia bebas
menentukan pilihan darimana ia akan memulai bacaannya, dengan
kata lain ibtida’ selalu ikhtiyari.6 Dengan demikian, ibtida
diklasifikasikan menjadi empat bagian yang hampir sama dengan
klasifikasi waqaf ikhtiyari yaitu: Tam, Kafi, Hasan, dan Qabih.7
3. Urgensi waqaf dan ibtida’
Ibarat pembaca Al-Qur'an adalah seorang musafir dalam
sebuah perjalanan, maka waqaf adalah tempat peristirahatannya.
Menurut Abu Amr ad-Dâni waqaf-ibtida merupakan bagian
penting yang harus diketahui pembaca Al-Qur'an agar berhenti
pada tempat-tempat yang telah rumuskan oleh ahli qira'at dengan

5
Nurhikmatul Aulia, Skripsi: Tanda Waqaf Lazim dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif
antara Mushaf standar Indonesia dan Mushaf Madinah serta Pengaruhnya Terhadap
Penafsiran), (Jakarta: IIQ, 2020), h. 21-23
6
Jalal al-Dîn ‘Abd ar-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuti, al-liqân fi ‘Ulûm al-Qur'an, (Arab
Saudi: Mujamma' al-Malik Fahd lithiba'at al-Mushaf al-Sraif, t.r), jilid 1. h. 551.
7
Ahmad Fathoni, Metode Maisura, h. 386.
11

tujuan terjaganya makna, serta memulai bacaan pada tempat


tertentu agar tidak merusak maknanya. Ibn al-Anbari mengatakan
"merupakan kesempurnaan dari mengetahui Al-Qur'an adalah
memahami waqaf-ibtida. Karena tidak seorang pun yang
memahami makna Al-Qur'an kecuali menguasai juga imu fawashil
(waqaf-ibtida'), hal ini menunjukan akan kewajiban seseorang
untuk mempelajari dan mengajarkannya".
Para ulama terdahulu telah memperhatikan bidang ilmu
waqaf-ibtida’ dengan maksimal, mereka menghimbau agar
masyarakat mengetahui dan mempelajarinya secara utuh, dengan
berpegang pada sunnah Rasul Saw., atsar sahabat dan tabi'in, dan
umat setelahnya. Allah Swt. berfirman dalam Surah al-
Muzammil/73:4:
ًِ ِ‫َوَرتِّ ِِل الْق ْرآ َِن تَ ْرت‬
‫يال‬

"Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan tartil yang unggul."


Sayyidina Ali ra. menjelaskan bahwa Tartil adalah
membaguskan bacaan huruf-huruf Al-Qur'an dan mengetahui hal
ihwal waqaf. Abu Hatim pernah berkata: ‫ف َلِْ يَ ْعلَ ِم‬ ِِ ‫من َِلْ ي ْع ِر‬
َِ ْ‫ف الْ َوق‬

ِ‫( الْق ْرآ َن‬Barang siapa belum mengetahui tentang Waqaf maka dia

belum mengetahui Al-Qur'an). Karena, dengan ilmu Waqaf-ibtida


maka Kalamullah dapat difahami dengan benar.
Salah satu hadis Rasul Saw. yang menjadi pedoman ulama
akan urgensi ilmu waqaf-ibtida adalah hadis Nabi Saw.:
ِِ ‫ َحدَّثنِا عل ِي ب ِن‬: ً‫ قا ِال‬،ِ ‫ وُمَ َّم ِد بن احلس ِن‬،ِ ‫أخربان احلسي بن أيوب‬
‫ َحدَّثَنَا أَبو‬، ‫عبد الْ َع ِزي ِز‬

ِِ ِ‫ حدثنا عبدِ الْ َمل‬، ‫ حدثين حيىي بن سعي ِد األموي‬، ‫عبَ ْيدِ القاسم بن سال ِم‬
‫ َع ِْن‬،ِ ‫ك بْ ِن جَريْ ِج‬
12

ِ
ْ َ‫ قَال‬، ‫صلَّى للاِ َعلَْيِه َو َسلَّ َِم‬
ِ‫ َكا َِن َرسول‬: ِ‫ت‬ ِّ ِ‫ج الن‬
َ ‫َّب‬ ِ ِ‫اللِ بْ ِن أ‬
َِ ‫ َع ِْن أ َِْم َسلَ َم ِةَ َزْو‬، َ‫َب ملئِ َكِة‬ َِّ ‫َعْب ِِد‬

‫)يقطع‬. ‫ك يَ ْوِِم الدين‬


ِِ ِ‫ َمال‬، ‫الرِحي ِم‬
َّ ‫الر ْْحَ ِن‬ ِ ‫ احلم ِد هلل ر‬، ‫الل َعلَْيِِه َو َسلَّ َِم‬
َّ ، ‫ب العاملي‬ َِّ ‫صلَّ ِى‬ ِِ
َ ‫للا‬
‫قراءتِه إبسم للا الرْحن الرحي ِم‬

Mengabarkan kepada kami al-Husain Ibn Ayyub dan Muhammad


Ibn al-Hasan berkata: meriwayatkan kepada kami Ali Ibn 'Abd al-
'Aziz, meriwayatkan dari Ubaid al-Qasim Ibn Sallâm, dari Yahya
Ibn Sa'id al-Umawiyy, dari Abdul Malik Ibn Juraij, dari Abdullah
Ibn Abi Mulaikah, dari Ummi Salamah ra berkata bacaan
Rasulullah Saw. "Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Al-Hamdulillah
Rabb al-'Alamin. Ar-Rahman ar-Rahim. Maliki Yaum al-Din".
(HR. Al-Hakim, diriwayatkan juga oleh Abu Dawud", dan ad-
Dâruquthni).
Hadis ini secara umum menggambarkan bahwa Rasul Saw.
memperhatikan waqaf-ibtida dalam membaca Al-Qur'an.
Ibn al-Jazari berkata "akan sulit dilakukan oleh seorang qari
agar bisa membaca satu surah atau kisah dalam satu nafas, juga
tidak boleh menyambung nafas dalam dua pembahasan yang
berbeda. Tetapi dia harus memilih tempat berhenti untuk
mengambil nafas dan istirahat, kemudian melanjutkan bacaan
setelahnya". Adapun menurut para Imam Qiraat haram hukumnya
mencampurkan (ketidakjelasan) dalam membaca Al-Qur'an antara
waqaf dan wasal.
Dari penjelasan diatas maka dapat diketahui, betapa
pentingnya mengetahui ilmu waqaf-ibtida bahkan sejak masa
sahabat Nabi Saw. ilmu ini sudah diperhatikan. Karena, waqaf-
ibtida sangat berkaitan dengan makna yang terkandung
13

didalamnya. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang qari’


harus menguasai ilmu waqaf-ibtida untuk dapat memahaminya,
karena mustahil dapat memahami Al-Qur'an kecuali dengan
mengetahui kaidah-kaidah waqaf-ibtida.

C. Sebab-sebab terjadinya perbedaan dan penentuan Waqaf dan


Ibtida’
Faktor yang penyebab terjadinya perbedaan penempatan tanda
waqaf dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah yaitu:
1. Ilmu Nahwu dan Sharaf, kadang kala satu lafaz bisa memiliki lebih
dari satu kedudukan dalam susunan redaksi yang masing-masing
berpengaruh kepada waqaf-nya, sehingga memunculkan perbedaan
pendapat penandaan waqaf.
2. Adanya relasi al-waqf wa al-ibtida’ dengan hukum fikih, namun
hubungannya tidak secara langsung, artinya orang yang bertemu
waqaf pada tempat yang terindikasi konsekuensi hukum fikih yang
timbul akibat pilihan itu tidak secara otomatis mengikuti hukum
yang dapat diindikasikan melalui waqaf pada tempat tersebut.
3. Relasi penempatan tanda waqaf didasari pemahaman (tadabur)
terhadap arti ayat Al-Qur’an dengan tetap menyelaraskan kaidah-
kaidah ilmu nahwu dan bahasa Arab yang dibenarkan.
4. Relasi al-waqf wa al-ibtida’ dengan ilmu qira’at sangat jelas, sebab
diferensiasi bentuk kalimat akan mempengaruhi kedudukan lafaz
dalam sebuah ayat.
5. Relasi al-waqaf wa al-ibtida’ dengan ilmu tafsir sulit dihindarkan
sebab banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki interpretasi
berbeda, salah satu di antaranya dikarenakan penempatan waqaf
yang berbeda tersebut sama-sama dapat dibenarkan. Pengetahuan
14

mendalam interpretasi sebuah ayat akan sangat membantu dalam


menetapkan waqaf yang berbeda-beda.
6. Tanda waqaf banyak di tetapkan dalam Mushaf Indonesia karena
menyesuaikan masyarakat Indonesia yang nafasnya lebih pendek,
dan untuk menuntun masyarakat Indonesia yang kesehariannya
bukan menggunakan bahasa Arab.
7. Ilmu Balaghah sangat erat dengan disclosure makna yang termuat
dalam susunan redaksi ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat dipahami
dengan jelas dan keindahannya menjadi semakin tampak. Sebab
itu, salah satu faktor yang menyebabkan adanya perbedaan
penempatan waqaf yaitu adanya perbedaan dalam memahami
susunan redaksi Al-Qur’an dari sisi ilmu balaghah dalam ketiga
cabangnya yaitu ‘Ilm al-Bayan, ‘Ilm al-Ma’ani, dan ‘Ilm al-Badi’.
8. Mushaf Madinah lebih memilih menetapkan sedikit tanda waqaf
pada setiap ayat, karena masyarakat Arab kesehariannya
menggunakan bahasa Arab dan masyarakat Arab memiliki nafas
yang panjang ketika membaca Al-Qur’an. Sebab itu Mushaf
Madinah lebih sedikit menetapkan tanda waqaf dibandingkan
Mushaf Indonesia.
Adapun sebab-sebab dari beberapa faktor, diantaranya :
a. Qira’at dan warisan ilmu tajwid
Berbagai qira’at (bacaan) Al-Quran dan warisan ilmu tajwid
yang berbeda dapat mempengaruhi penentuan waqaf dan
ibtida’. Beberapa ulama dan mazhab memiliki pandangan yang
berbeda terkait aturan-aturan tersebut.
b. Tradisi Masyarakat dan Daerah
Praktik membaca Al-Qur’an dapat dipengaruhi oleh tradisi
Masyarakat dan daerah.
15

c. Perbedaan Hafalan
Individu yang menghafal Al-Qur’an dari berbagai daerah atau
mazhab dapat memunculkan variasi dalam penentuan waqaf
dan ibtida’. Hafalan yang beda dapat menciptakan perbedaan
dalam pelafalan dan penekanan. Oleh karena itu, perbedaan
dalam penentuan waqaf dan ibtida’ adalah fenomena yang
kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas.

D. Hikmah mengetahui waqof dan ibtida


Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bin Abu Anaisah dari Qosim
bin Auf bahwa sahabat Abdullah bin Umar mengatakan sungguh kami
telah hidup dalam waktu yang lama dari usia kami. Dan salah satu salah
satu di antara kami di berikan iman sebelum mendapatkan ayat Al-
Quran. Dan turun sedikit demi sedikit ayat Al-Quran kepada Nabi
Muhammad Saw.. Kemudian mereka mempelajarinya ilmu mengenai
halal, haram, perintah, dan larangan dari surat Al-Quran tersebut, serta
sebab seyogyanya mereka membaca waqaf dalam surah Al-Quran
sebagaimana kalian sekarang belajar Al-Quran. (HR. Baihaqi).
Ditambah lagi dengan ungkapan para ulama' di masa setelah
zaman para sahabat diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Muhammad bin Qasim Ibnu Anbar
Muhammad bin Qasim Ibnu Anbar mengatakan sebagian
dari memahami Al-Quran adalah memahami ilmu mengenai waqaf
ibtida’ karena sungguh tidak datang kefahaman sedikitpun
mengenai makna kandungan Al-Quran kepada seseorang kecuali ia
telah mengetahui al-fawasil (pemisah/waqaf-ibtida’). Maka wajib
bagi pembaca Al-Quran untuk waqaf dan ibtida’.8

8
Muhammad bin qosim , Idhah al- waqaf wal Ibtida’ fi kitabillah , (Damaskus : Majma’ al lugoh al-
Arabiyya , 1971).hal.108.
16

2. Ibnu Jazari
Ibnu Jazari mengatakan ketika membaca tidak mampu
menyelesaikan rangkaian satu kisah atau ayat secara lengkap
dengan satu kali nafas. Di sisi lain, ia juga tidak boleh mengambil
nafas ketika membaca washal. Maka ia boleh waqaf di tengah
rangkaian ayat untuk mengambil nafas dan ia harus menentukan
runtutan tempat ibtida’. Hal ini dengan syarat tidak merusak makna
dan kepahaman dari ayat yang ia baca. Sebagaimana yang di
riwayatkan Ibnu Umar bahwa para sahabat belajar waqaf-ibtida’
sebagai rangkaian dalam belajar Al-Quran dan para ulama sepakat
tidak memperbolehkan memberikan ijazah sanad Al-Quran kepada
pelajar Al-Quran sebelum mereka mengerti ilmu waqaf dan ibtida’.
Abu Bakar bin Mujahid mengatakan tidaklah menerapkan waqaf
dalam Al-Quran secara sempurna kecuali seseorang memahami
ilmu nahwu, ilmu qira’at, ilmu tafsir, ilmu bahasa, serta fiqih.9

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hikmah dari


memahami waqaf dan ibtida’ adalah kita terhindar dari kesalahan fatal
ketika membaca Al-Quran, mengetahui tempat yang baik untuk waqaf
dan ibtida’, dapat menafsirkan Al-Quran sesuai dengan apa yang
diinginkan, artinya sesuai dengan teks Al-Quran tersebut.

9
Jalaludin Abdurrohman As-Suyuti , Al Itqon fi Ulumil quran, (Lebanon : Dar Fikr,1996), h. 222.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangan waqaf dan ibtida’, para ulama
merumuskan beberapa tanda untuk menunjukkan tempat berhenti
(waqaf) yang digunakan dalam Al-Qur’an. Para ulama melihat
kebutuhan para pembaca Al-Qur’an terhadap tanda-tanda yang
menunjukkan tempat-tempat yang baik untuk berhenti atau me-waqaf-
kan bacaan.

Ibarat pembaca Al-Qur'an adalah seorang musafir dalam


sebuah perjalanan, maka waqaf adalah tempat peristirahatannya.
Menurut Abu Amr ad-Dâni waqaf-ibtida’ merupakan bagian penting
yang harus diketahui pembaca Al-Qur'an agar berhenti pada tempat-
tempat yang telah rumuskan oleh ahli qira'at dengan tujuan terjaganya
makna, serta memulai bacaan pada tempat tertentu agar tidak merusak
maknanya.

Faktor yang penyebab terjadinya perbedaan penempatan tanda


waqaf dalam Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah yaitu:
1. Ilmu nahwu dan sharaf; 2. Adanya relasi al-waqf wa al-ibtida’
dengan hukum fikih; 3. Relasi penempatan tanda waqaf didasari
pemahaman (tadabur) terhadap arti ayat Al-Qur’an; 4. Relasi al-waqf
wa al-ibtida’ dengan ilmu qira’at sangat jelas; 5. Relasi al-waqaf wa
al-ibtida’ dengan ilmu tafsir sulit dihindarkan; 6. Tanda waqaf banyak
di tetapkan dalam Mushaf Indonesia; 7. Ilmu Balaghah sangat erat
dengan disclosure makna yang termuat dalam susunan redaksi ayat-
ayat Al-Qur’an; dan 8. Mushaf Madinah lebih memilih menetapkan
sedikit tanda waqaf pada setiap ayat.

17
18

Hikmah dari memahami waqaf dan ibtida’ adalah kita terhindar


dari kesalahan fatal ketika membaca Al-Quran, mengetahui tempat
yang baik untuk waqaf dan ibtida’, dapat menafsirkan Al-Quran
sesuai dengan apa yang diinginkan, artinya sesuai dengan teks Al-
Quran tersebut.

B. Saran
1. Bagi pembaca, diharapkan makalah ini dapat menambah
pengetahuan terkait dengan pemberian tanda waqaf dan ibtida’.
2. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuti, Jalal al-Dîn Abd ar-Rahman Ibn Abi Bakr. al-liqân fi "Ulûm al-
Qur'an. Arab Saudi: Mujamma' al-Malik Fahd lithiba'at al-
Mushaf al-Sraif.
As-Suyuti, Jalaludin Abdurrohman. 1996. Al Itqon fi Ulumil quran. Lebanon:
Dar Fikr.
Fathoni, Ahmad. 2016. Metode Maisura. Jakarta: Yayasan Bengkel Metode
Maisura.
Ghauthaniy, Yahya 'Abd Al Razzak. Ilm at-tajwid, t.t: t.t.
Mishri, Muhammad Nabhan bin Husain. al-Mudzakkiroh fi al-Tajwid, t.t :t.t.
Muhaimin. 2007. Perbedaan Tanda Waqof dalam Mushaf al-Qiur’an dan
Implikasinya Terhadap Makna al-Qur’an. (Tesis, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta: Yogyakarta)
Muhammad bin Qosim. 1971. Idhah al- waqaf wal Ibtida’ fi kitabillah.
Damaskus: Majma’ al lugoh al-Arabiyya.
Nurhikmatul, A. 2020. Tanda Waqaf Lazim dalam Al-Qur’an (Studi
Komparatif antara Mushaf standar Indonesia dan Mushaf Madinah
serta Pengaruhnya Terhadap Penafsiran). (Skripsi, Institut Ilmu Al-
Qur’an Jakarta: Jakarta).
http://mughits-sumberilmu.blogspot.com Sumber Ilmu: Waqaf dan Ibtida'.

19

You might also like