You are on page 1of 27

Kebijakan Tembak di Tempat Terhadap Pelaku Kejahatan 3C

(Curas, Curat, dan Curanmor) di Wilayah Hukum Polrestabes


Medan

Shot Policy in Place Against The Actor of The 3C Crime


(Thefting With Violence, Thefting With Weighting, and
Thefting of Motor Vehicle) in Jurisdiction Of Polrestabes
Medan

Wamilik Mabel wamilikmabel@gmail.com


Syafrudin Kalo, Madiasa Ablisar, M. Ekaputra

Abstract. Description of violence (Curas), and theft of motor vehicles (Curanmor) known as
Crimes 3C. The 3C crime is a crime against property which is a material crime. The police
responsible for the security and public order (Kamtibmas), in carrying out their duties will
always be confronted with changing circumstances in line with the dynamics of the community.
As a protective officer, protector, and public servant, members of the police are given the
authority to shoot on the spot against criminals who disturb the comfort, security, and safety of
the community. Members of the National Police are equipped with a legal umbrella in the use of
firearms contained in the Police Chief Regulation (Perkap) No. 1 of 2009 concerning the Use of
Force in Police Measures. The policy of the Medan Kapolrestabes in responding to the rampant 3C
Crimes in the City of Medan is to order its ranks to shoot on the spot against the perpetrators.
Every time the 3C Crime is found, the officer shoots on the spot with careful consideration and by
applicable procedures. The results of the study are as follows: 1) Legal procedures for the
implementation of gunfire on the spot constitute a discretionary authority or authority to act
according to the police's appraisal that can be justified as long as the officers follow the applicable
procedures (National Police Chief Regulation No. 1 of 2009 concerning Use of Force in Action
Police Department in conjunction with the Medan Police Chief Sprint No. Sprint / 811 / V / 2014,
dated May 24, 2014, concerning Operations of 810 in the Context of Enforcement of Persecutors of
3C Case Detention in the Medan Regional Police Jurisdiction); 2) Medan Kapolrestabes Policy in
enforcing 3C Crime cases, consisting of Penal Policy by carrying out "Operation 810" based on a
warrant that is no longer valid. Meanwhile, the non-penal policy consists of pre-emptive efforts,
in the form of counseling, and preventive efforts, consisting of: patrolling, creating a recidivist
database of perpetrators, opening a complaints phone line, and appeals to add multiple keys; 3)
The reason the Medan Police Chief issued a policy of firing on-site against 3C Crimes was that the
perpetrators had endangered and threatened the life safety of officers and the community because
they had used sharp weapons and homemade firearms.

Keywords. Firing policy on the spot; Operation 810; Crime 3C.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu bentuk kejahatan yang menjadi fenomena kompleks saat ini adalah kejahatan
atau tindak pidana pencurian. Kasus pencurian yang sering terjadi semakin membuat resah.
Bagaimana tidak, berbagai trik dilakukan dalam aksi pencurian mulai dari hipnotis, menggunakan
obat bius, bahkan pencurian secara bergerombol dengan menggunakan senjata api, yang membuat
korban tidak dapat berkutik.1
Pencurian yang dilakukan dengan sasaran pencurian yang tidak lagi terfokus ke rumah-
rumah di malam hari, melainkan justru dilakukan di siang hari di tempat keramaian seperti: bank,
toko emas, pegadaian, swalayan. Hasil rampokan pun tidak tangung-tanggung jumlahnya yang
menunjukkan bagaimana seseorang begitu kreatif dalam melakukan kejahatan. 2
1
Menurut AKBP Hindarsono, Kasubdit Bin Gakum, Polda Metro Jaya, menyatakan bahwa : “Para
pencuri lebih cenderung memilih tempat-tempat sepi untuk melakukan aksinya. Kalaupun memang ada, pasti si
pelaku berkelompok dengan dipersenjatai senjata tajam atau pistol rakitan maupun pistol api illegal”.
http://motor.otomotifnet.com/read/2013/12/02/345839/63/14/Trik-Menghindari-Pencurian-dan-
Perampokan-Sepeda-Motor., diakses pada hari Sabtu, tanggal 01 Januari 2020.
2
Contoh perampokan Pegadaian dapat dilihat pada Majalah Tempo, “Pegadaian Dirampok, Perhiasan
Rp. 1 Miliar Ludes”, diterbitkan Jum’at, 9 Maret 2012. Contoh perampokan Bank dapat dilihat pada Harian

1
2

Jenis pencurian yang akan diteliti adalah pencurian dengan pemberatan (Curat),
pencurian dengan kekerasan (Curas), dan pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) yang dikenal
dengan kejahatan 3C. Kejahatan 3C merupakan kejahatan terhadap harta benda yang tidak lazim
terjadi di negara-negara berkembang. Selanjutnya dikatakan bahwa kejahatan pencurian
kendaraan bermotor beserta isi-isinya merupakan sifat kejahatan yang menyertai pembangunan. 3
Pencurian merupakan tindak pidana terhadap harta kekayaan (tindak pidana materiil). Harta
kekayaan didapat dari seseorang bekerja. Pekerjaan yang dilakukan adalah demi pembangunan
dirinya dan secara tidak langsung juga membangun bangsanya. Pencurian terhadap harta benda
adalah kejahatan yang menghambat pembangunan karena secara tidak langsung akan menghambat
orang lain untuk bekerja.
Polisi sebagai aparat yang utamanya bertanggungjawab di bidang keamanan dan
ketertiban masyarakat (Kamtibmas), dalam pelaksanaan tugasnya akan selalu dihadapkan pada
situasi dan kondisi yang berubah-ubah sejalan dengan dinamika masyarakat. Sebagai aparat
Negara pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Anggota kepolisian diberikan kewenangan
menembak di tempat terhadap penjahat pengganggu yang mengganggu kenyamanan, keamanan
dan keselamatan masyarakat. Alasannya dalam menjalankan tugas, anggota Polri dibekali payung
hukum dalam mempergunakan senjata api yang dimuat dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1
Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Perkap ini terdiri dari 7
bab dan 17 pasal dan ditandatangani oleh Kapolri pada tanggal 13 Januari 2009. Adapun tujuan
perkap tersebut dibuat adalah untuk memberikan pedoman bagi anggota Polri dalam pelaksanaan
tindakan kepolisan yang memerlukan penggunaan kekuatan, sehingga terhindar dari tindakan yang
berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Prosedur melakukan tembak ditempat dalam penangkapan ialah menyebutkan dirinya
sebagai petugas atau anggota polri yang sedang bertugas, memberi peringatan dengan ucapan
secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan atau meletakkan senjatanya
dan memberi waktu yang cukup agar peringatan itu dipatuhi. Sebelum melepaskan tembakan,
petugas polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-
hatian tinggi, yang bertujuan untuk menurunkan moril pelaku, serta memberi peringatan sebelum
tembakan diarahkan ke pelaku.4 Pengecualiannya yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak
dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi
petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan tidak perlu dilakukan. 5
Kebijakan Kapolrestabes Medan dalam menyikapi maraknya terjadi kejahatan 3C adalah
dengan memerintahkan jajarannya untuk melakukan tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan
3C. Satreskrim Polrestabes Medan sebagai satuan kepolisian di bawah Ka.Polrestabes Medan juga
mendapatkan perintah untuk itu, sehingga setiap didapati pelaku kejahatan 3C, petugas kepolisian
melakukan penembakan di tempat dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang dan sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
Pertanggungjawaban secara pidana dan kode etik polisi terhadap tersangka yang terkena
tembakan yang tidak sesuai prosedur dalam penangkapan adalah jika ada pihak yang dirugikan
atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib membuat
penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan
akibat tindakan yang telah dilakukan.6
Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci
mengenai evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain tanggal dan tempat
kejadian, uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sehingga memerlukan
tindakan kepolisian, alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan, rincian kekuatan yang
digunakan, evaluasi hasil penggunaan kekuatan, dan akibat dan permasalahan yang ditimbulkan
oleh penggunaan kekuatan tersebut. Laporan inilah yang akan digunakan untuk bahan
pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan, serta sebagai bahan pembelaan

Tribun, “Besok Sidang Perdana Perampokan CIMB Niaga Medan”, diterbitkan Senin, 28 Maret 2011. Contoh
perampokan Toko Mas di Medan dapat dilihat pada Harian Kompas, “Perampokan Bersenjata Api di Toko
Emas Suranta Medan Terkait Teroris?”, diterbitkan pada 14 September 2013. Contoh perampokan di Swalayan
dapat dilihat pada Harian Orbit, “Perampok Swalayan Diduga Sama”, diterbitkan pada 15 Maret 2014.
3
Soerjono Soekanto, Hartono Widodo dan Chalimah Sutanto, Penanggulangan Pencurian
Kendaraan Bermotor Suatu Tinjauan Kriminologi, (Jakarta : Aksara, 1988), hlm. 20.
4
Pasal 15 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan
Kepolisian.
5
Pasal 48 huruf c Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam
Tindakan Kepolisian.
6
Pasal 49 ayat (2) huruf a Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam
Tindakan Kepolisian.
3

hukum dalam hal terjadi gugatan pidana atau perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan
oleh anggota polri yang bersangkutan.
Pada prinsipnya, setiap individu anggota polri wajib bertanggungjawab atas pelaksanaan
penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya. Oleh karena
pertanggungjawaban secara individu terhadap penggunaan senjata api oleh polisi, maka
penggunaan senjata api yang telah merugikan pihak lain karena tidak mengikuti prosedur dapat
dituntut pertanggungjawabannya secara perdata maupun secara pidana.
Bagian tubuh yang boleh atau menjadi sasaran dalam melakukan tembak ditempat adalah
apabila dalam keadaan tidak mendesak, sesuai dengan apa yang tercantum di Perkap haruslah
ditembak dibagian kaki atau tangan (yang bersifat melumpuhkan saja). Tetapi bila terdapat
perlawanan yang sangat mendesak atau terpaksa maka polisi berdasarkan prinsip kewajiban
umum, polisi harus menembak mati pelaku yang sasaran tubuhnya biasanya dibagian kepala atau
dada.
Apabila dalam penangkapan tersangka atau pelaku meninggal dunia akibat tembak di
tempat, polisi tidak dapat disalahkan begitu saja. Harus dicari tahu dahulu dengan cara
penyelidikan terhadap polisi yang melakukan tembak ditempat tersebut, apakah polisi tersebut
melakukan kewenangannya sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan ada saksi
tempat kejadian, ada barang bukti yang mendukung tindakan polisi tersebut untuk melakukan
tembak ditempat atau tidak sesuai dengan standar operasional prosedurnya. Apabila tindakan
tersebut tidak sesuai dengan standar operasional prosedurnya, maka pertama akan disidangkan
secara kode etik atau kedisiplinan sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sidang kode etik dipimpin oleh Ankum yang biasanya adalah kepala polisi daerah
setempat dan yang menjadi penuntutnya ialah polisi yang bekerja dibagian Provos. Di saat
bersamaan dengan sidang kode etik, muncul sidang di pengadilan negeri untuk mencari tahu apa
polisi tersebut memang melakukan tindak pidana atau tidak. Lalu pada saat ada putusan yang
menyimpulkan bahwa polisi tersebut melakukan tindak pidana, maka melalui putusan pengadilan
negeri tersebut menjadi dasar pada sidang kode etik untuk memberikan salah satu dari beberapa
sanksi seperti pemberhentian dengan tidak hormat, pemberhentian dengan hormat atau
dilakukannya pendidikan ulang profesi.7
Terkait dengan kebijakan tembak di tempat tersebut dikeluarkan adalah karena kasus
kejahatan di Kota Medan semakin meresahkan dari hari ke hari, lantaran pelaku semakin sadis dan
korban juga semakin banyak. Dalam dua bulan terakhir, medio Mei s.d. Juli 2019, Polrestabes
Medan mengamankan 47 tersangka pelaku kejahatan 3C atau pencurian kendaraan bermotor,
pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan. Dari pengungkapan kasus tersebut,
Polrestabes Medan mengamankan 56 kendaraan bermotor serta dua becak pengangkut barang.
Polisi juga mengamankan sejumlah senjata tajam (sajam) hingga senjata api (senpi) laras panjang
rakitan yang digunakan para pelaku kejahatan 3C tersebut. Menurut Dadang, pengungkapan
tersebut dilakukan selama dua bulan pada periode Juni - Juli 2019 di Polsek Medan Baru dan
Polsek Patumbak.8
Adapun Jumlah Tindak Pidana (JTP) dan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP)
pada wilayah hukum Polrestabes Medan pada tahun 2019 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1 Jumlah Tindak Pidana (JTP) dan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP)
Wilayah Hukum Polrestabes Medan Tahun 2019
No. Tindak Pidana Jumlah Tindak Pidana (JTP) Jumlah Penyelesaian Tindak
Pidana (JPTP)
1. Narkotika 2.117
2. Curanmor 1.261
3. Curat 985
4. Curas 294
5. Penganiayaan Berat 836
6. Judi/Sila 58
7. Pemerasan dan 102
Pengancaman
8. Terorisme 1
9. Dan seterusnya ---
Jumlah 5.645 3.934
Keterangan :
Curas = Pencurian dengan kekerasan

7
Lihat: Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
8
Harian Kompas, “Kejahatan di Medan Sangat Meresahkan Hingga Senpi Rakitan”, diterbitkan pada
hari Senin, tanggal 22 Juli 2019.
4

Curat = Pencurian dengan pemberatan


Curanmor = Pencurian kendaraan bermotor
JTP = Jumlah Tindak Pidana
JPTP = Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana
Sumber : Data Primer, Polrestabes Medan 2020.

Polrestabes Medan berhasil mengungkap 5.645 kasus tindak pidana di Kota Medan
sepanjang 2019. Dari jumlah tersebut, 2.117 merupakan kasus narkoba. Tren jumlah kasus tindak
pidana tahun 2019 mengalami penurunan sebanyak 3% (tiga persen) jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 5.825 kasus tindak pidana. Pada tahun 2018 tercatat
sebanyak 5.825 kasus tindak pidana ditangani pihak kepolisian, sedangkan tahun 2019 ini
sebanyak 5.645 kasus. Dari jumlah tersebut 3.934 kasus tindak pidana diantaranya berhasil
diselesaikan pihak kepolisian.
Berdasarkan data kriminalitas tersebut di atas, maka terhadap kejahatan 3C pada tahun
2019 adalah sebanyak 2.540 kasus. Adapun kasus 3C tersebut, terdiri dari: kejahatan Curas
sebanyak 294 kasus, Curat sebanyak 985 kasus dan Curanmor sebanyak 1.261 kasus. Curanmor
merupakan kejahatan yang terbanyak diantara kejahatan 3C lainnya, selanjutnya kejahatan Curat
dan diikuti dengan kejahatan Curas.
Pemilihan topik mengenai kebijakan Kapolrestabes Medan dalam penegakan hukum
kejahatan Curat, Curas, dan Curanmor (3C) untuk tembak di tempat dapat dikaji dan dianalisis
lebih lanjut. Penelitian terhadap kebijakan tembak di tempat tersebut terhadap kejahatan-
kejahatan yang meresahkan masyarakat merupakan kebijakan yang jika dikaji dari perspektif
keadilan, tentunya akan sangat tidak adil bagi pelaku. Tembak di tempat tersebut seyogyanya
terdapat prosedural hukum untuk dilakukan, seperti penembakan dilakukan pada bagian betis kaki
pelaku, untuk menimbulkan efek jera. Namun, tetap saja belum mampu menghapus tindak
kejahatan 3C tersebut, khususnya di wilayah hukum Polrestabes Medan.
Dengan demikian penelitian dengan judul: “Kebijakan Tembak di Tempat Terhadap
Pelaku Curas, Curat, dan Curanmor di Wilayah Hukum Polrestabes Medan”, layak
untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini dapat dirumuskan, sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur hukum yang berlaku bagi aparat penegak hukum, petugas Polri
dalam melakukan tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan 3C?
2. Bagaimana kebijakan kriminal dalam melakukan penegakan hukum Kejahatan Curas,
Curat, dan Curanmor (3C) ditinjau dari perspektif keadilan di wilayah hukum Polrestabes
Medan?

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur hukum yang berlaku bagi aparat penegak
hukum, petugas Polri dalam melakukan tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan 3C.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan kriminal dalam melakukan penegakan
hukum kejahatan Curas, Curat, dan Curanmor (3C) ditinjau dari perspektif keadilan di
wilayah hukum Polrestabes Medan.

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. 9 Sifat penelitian adalah deskriptif
analisis.10 Pendekatan penelitian adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach). Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum
primer, sekunder, dan tertier.11 Selanjutnya juga digunakan data primer untuk mendukung data
9
Penelitian hukum normatif, yaitu menganalisis data didasarkan pada asas-asas hukum dan
perbandingan-perbandingan hukum yang ada dalam masyarakat. Lihat : Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum
Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 6.
10
Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran
(deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau
mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Lihat : Peter
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), hlm. 93-95.
11
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa
peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur lainya yang saling berhubungan dengan permasalahan
yang dibahas. Lihat : Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris,
5

sekunder. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan (“library research”) dan
studi lapangan (field research).12 Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan
metode analisa kualitatif.13

KERANGKA TEORI
Teori Kebijakan Kriminal
Definisi tentang kebijakan (policy) tidak ada pendapat yang tunggal. Istilah kebijakan atau
sebagian orang mengistilahkan kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah
policy. Hal tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat
istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia.
Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata bijak yang berarti:
1. “Selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir.
2. Pandai bercakap-cakap, petah lidah. Sedangkan kebijakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti:
a. Kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan.
b. Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Menurut
Perserikatan Bangsa-Bangsa, kebijaksanaan itu diartikan sebagai pedoman untuk
bertindak”.14
Menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir, pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah
semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi,
mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. 15 James E.
Anderson dalam Budi Winarno, memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah
aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu.16
Beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan
tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang kebijakan
mencakup pertanyaan: what, why, who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut
tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut;
isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan.
Thomas R. Dye (1978) menjelaskan bahwa kebijaksanaan negara atau public policy is
whatever governments choose- to do or not to do (pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau
tidak ingin dilakukan oleh pemerintah). 17 Penelitian ini yang bertindak atas nama Pemerintah
adalah Pejabat Negara yang diberikan kewenangan berdasarkan jabatan, tugas, dan tanggung jawab
yang melekat pada seorang Kapolres.
Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori kebijakan hukum pidana yang
dikemukakan oleh Barda Nawawi Arif mengutip Marc Ancel, pernah menyatakan bahwa “modern
criminal science” terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: criminology, criminal law, dan penal
policy. Menurut Marc Ancel, mengemukakan bahwa “penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus
seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Istilah “kebijakan” dalam penelitian ini diambil

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 156.


12
Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah,
laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan,
buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber bahan hukum lainnya. Lihat : Mestika Zed, Metode Penelitian
Kepustakaan, Ed. Ke-2, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Januari 2008), hlm. 1.
13
Dilihat dari tujuan analisis, maka ada 2 (dua) hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif,
yaitu : 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang
tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu
fenomena. Lihat : Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 153.
14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1988).
15
Sjahrir, Ekonomi Politik Deregulasi, (Prisma, 1988), hlm. 66.
16
James E. Anderson dalam Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, (Yogyakarta :
MedPress, 2007).
17
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Edisi Revisi, (Jakarta :
Grasindo, 2005), hlm. 264-265.
6

dari istilah “policy” (inggris). Bertolak dari istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana
dapat pula disebut sebagai “penal policy”.18
Secara garis besar kebijakan kriminal dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara, yaitu:19
1) “Upaya Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih
menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya represive (penindasan/
pemberantasan/penumpasan) dengan menggunakan sarana penal (hukum penal);
2) Upaya Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih
menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya preventif (pencegahan/
penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut terjadi. Sasaran utama dari
kejahatan ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan”.
Menurut A. Mulder, “strafrecht politiek” mempunyai garis tuntutan sebagai berikut:20
1) “Seberapa jauh kebijakan hukum pidana yang berlaku perlu diubah/diperbaharui;
2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanan pidana harus
dilaksanakan”.
Pengertian A. Muller di atas, berdasarkan pada pendapat “sistem hukum pidana” dari
Marc Ancel yang menyatakan bahwa:
“Setiap masyarakat yang tertata memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:
1) “Peraturan hukum pidana dan sanksinya;
2) Suatu tata cara hukum pidana;
3) Suatu mekanisme pelaksanaan pidana”.21
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan pidana juga merupakan
bagian dari “criminal policy” dengan pengertian sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Kebijakan hukum pidana juga merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan hukum pidana dalam
arti luas dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang
hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Penelitian ini menitikberatkan
pada kebijakan di bidang hukum pidana materil (substantif).
Menurut perspektif kebijakan hukum, sanksi digunakan sebagai sarana dan upaya
penanggulangan kejahatan.22 Sanksi merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan pemidanaan.
Sistem sanksi yang berlaku saat ini hanya mengenal dua bentuk sanksi yaitu sanksi pidana dan
tindakan, menandakan pemidanaan di Indonesia menganut sistem dua jalur, dikenal dengan
sebutan Double Track System (DTS). Dianutnya double track system merupakan perkembangan
yang terjadi dalam sistem sanksi hukum pidana dari aliran klasik ke aliran modern dan aliran
neoklasik. Terjadinya transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi
di dunia pada umumnya telah mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana
yang lebih manusiawi dimana konsep pemidanaan semula berorientasi pada pembalasan
(punishment to punishment) berubah ke arah pembinaan (treatment philosophy). Sehingga bentuk
sanksi yang diterapkan adalah sanksi pidana dan sanksi tindakan. 23
Kondisi tersebut memperlihatkan kecenderungan legislator untuk selalu menggunakan
sanksi pidana sebagai sarana dalam upaya penanggulangan kejahatan (dominasi sanksi pidana),
juga menunjukkan keadaan yang tidak seimbang dalam penggunaan sanksi pidana dan sanksi
tindakan sehingga harus diakui sistem sanksi dalam hukum pidana saat ini telah menempatkan
sanksi yang utama sehingga keberadaan sanksi tindakan tidak sepopuler sanksi pidana. Tentu saja
18
Marc Ancel dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005), hlm. 21.
19
Ibid.
20
Ibid., hlm. 25-26.
21
Ibid., hlm. 26.
22
JE. Sahetapy mengatakan bahwa : “Apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata
hanya untuk pembalasan dan menakutkan maka belum pasti tujuan pemidanaan akan tercapai karena dalam
diri terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan menaruh
rasa dendam”. Sumber : JE. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni,
Bandung, 1979, hlm. 149.
23
Setyo Utomo, “Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justice”,
makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “Politik Perumusan Ancaman
Pidana Dalam Undang-Undang di Luar KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Hukum dan HAM, di Jakarta,
tanggal 21 Oktober 2010, hlm. 9.
7

hal tersebut dapat mempengaruhi pola pikir dan kebijakan yang diterapkan berkaitan dengan
penggunaan sanksi tindakan yang terkesan hanya sebagai sanksi pelengkap, yang pada akhirnya
berpengaruh pada putusan-putusan hakim yang dalam penjatuhan pidananya banyak didominasi
oleh penggunaan sanksi pidana baik itu terhadap kejahatan konvensional maupun non-
konvensional seperti tindak pidana pencurian kendaraan bermotor.
Menurut ahli hukum pidana, Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan,
yang menyatakan bahwa:24
“Tujuan pemidanaan dibagi tiga kelompok, yakni :
a) Teori Absolut (retributif);
Teori Absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak
pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan kejahatan sehingga sanksi bertujuan memuaskan tuntutan
keadilan.
b) Teori Teleologis; dan
Teori Teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan
atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk
melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada
tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka
bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
c) Teori Retributif Teleologis”.
Sistem sanksi sebagai sub-sistem hukum pidana tidak dapat dilepas dari sistem hukum
pidana itu sendiri oleh karena hakekatnya bertitik tolak dari pemahaman kebijakan penal sebagai
sarana penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Penjatuhan pidana oleh hakim, terkait sanksi
yang dikenakan seharusnya disesuaikan pula dengan karakter kejahatannya, sanksi apa yang layak
untuk dikenakan terhadap seorang pelaku. Menyangkut penetapan sanksi dalam hukum pidana,
merupakan bagian terpenting dalam sistem pemidanaan karena keberadaannya dapat memberikan
arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak
pidana. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan kecenderungan produk perundang-undangan
pidana di luar KUHP yang tampaknya ada kemajuan dalam stelsel sanksinya yang telah
menggunakan double track system, baik yang ditetapkan secara eksplisif maupun implisif.
Penggunaan double track system dalam perundang-undangan pidana masih banyak memunculkan
kerancuan, terutama bentuk-bentuk dari jenis sanksi tindakan dan jenis sanksi pidana tambahan.
Pada akhirnya kerancuan dalam penetapan kedua jenis sanksi dalam hukum pidana tersebut
menimbulkan masalah ketidakkonsistenan antara peraturan perundang-undangan pidana yang
satu dengan perundang-undangan pidana yang lainnya.25
Polisi dapat mengambil kebijakan untuk menanggulangi tindak pidana curanmor.
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Kebijakan polisi dapat diambil
dengan dasar value chain atau rantai nilai kebijakan negara yang dapat digambarkan dalam 5
(lima) hal utama, yaitu26 :
1. “Analisis kebijakan;
Pada rantai ini dilakukan proses analisis perlunya suatu kebijakan sesuai kebutuhan.
Analisis dapat dilakukan melalui pengkajian maupun penelitian terhadap suatu
fenomena atau permasalahan tertentu terkait dengan tugas dan fungsi pemerintah.
Analisis kebijakan yang dilakukan juga termasuk melakukan pengkajian dan
peninjauan ulang terhadap kebijakan sejenis yang berlaku dan memastika bahwa
kebijakan baru yang akan dibuat tidak tumpang tindih satu dengan yang lainnya.
2. Formulasi kebijakan;
Formulasi kebijakan dilakukan berdasarkan analisis yang telah dilakukan. Formulasi
kebijakan adalah penyusunan kebijakan pemerintah hingga disahkan menjadi suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Dalam formulasi pada
beberapa kebijakan, proses ini dilakukan secara berjenjang sehingga terkadang
24
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Universitas Diponogoro, 1996), hlm. 49-51,
Bambang Poernomo dan Van Bemmelen juga menyatakan ada 3 (tiga) teori pemidanaan sebagaimana yang
dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan (absolute theorien), teori tujuan (relative theorien) dan teori
gabungan atau (verenigings theorien). Lihat : Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1985), hlm. 27.
25
EZ. Leasa, Op.cit., hlm. 52.
26
Riri Satria, “Polisi dan Kebijakan Negara”,
http://www.polresklungkung.org/index.php/pengetahuan/kepolisian., diakses pada 01 April 2014.
8

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan suatu peraturan


perundang-undangan. Terlebih jika isu yang diangkat pada kebijakan tersebut sudah
menimbulkan resistensi terlebih dahulu sebelum disahkan.
3. Implementasi kebijakan;
Kebijakan yang telah disahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
tersebut kemudian diimplementasikan sesuai peruntukkannya. Implementasi
peraturan perundang-undangan biasanya dilakukan secara bertahap, mulai dari tahap
sosialisasi hingga implementasi secara konsisten.
4. Pengamanan kebijakan; dan
Dalam implementasinya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak selamanya
dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini terjadi baik pada tahap sosialisasi maupun
pada tahap implementasinya. Reaksi yang muncul akibat implementasi kebijakan ini
dapat berdampak positif maupun negatif terhadap stabilitas keamanan dan ketertiban
masyarakat. Untuk itu, maka perlu adanya pengamanan kebijakan untuk
meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan yang
dilakukan. Pengamanan juga dilakukan untuk mengawal implementasi kebijakan
pemerintah serta melihat sejauh mana dampak kebijakan tersebut terhadap
masyarakat.
5. Evaluasi kebijakan.
Evaluasi kebijakan dilakukan untuk meninjau ulang apakah kebijakan yang telah
dikeluarkan cukup efektif dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan. Hasil dari
langkah ini kemudian akan menjadi umpan balik (feedback) pada proses analisis
kebijakan. Sehingga berdasarkan hasil evaluasi ini kemudian dapat diputuskan
langkah-langkah strategis dan taktis guna optimalisasi kebijakan yang dibuat”.
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk
mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Tujuannya adalah
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum
itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.27
Amara Raksasataya mengemukakan policy sebagai suatu taktik dan strategi yang
diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Policy memuat 3 (tiga) elemen, yaitu:28
1. “Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari
taktik atau strategi”.
Menurut Sudarto, mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 29
1. “Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di
dalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Kepolisian;
3. Dalam arti paling luas (yang diambil dari Jorgen Jepsen) adalah keseluruhan
kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan bahan-bahan resmi,
yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat”.
Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius
constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Kebijakan hukum pidana identik dengan
penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem hukum pidana terdiri dari budaya
(cultural), stuktur (structur), dan substansial (substansive) hukum. Undang-Undang merupakan

27
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998),
hlm. 148.
28
Ali Masyhar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik atas Kebijakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2009), hlm. 19.
29
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
(Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 1., Sudargo menyatakan bahwa : “Kebijakan kriminal merupakan suatu usaha
yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan atau upaya penanggulangan
kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Tujuan dari politik kriminal adalah perlindungan masyaarkat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti,
yaitu : a. ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; b. ada keterpaduan
(integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal”.
9

bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui


perundang-undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.
Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif
diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. Usaha dan kebijakan membuat
peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana bagian dari politik criminal.
Dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.30
Ruang lingkup kebijakan pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum
pidana. Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap
konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari:
1. Tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-
undang. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislative.
2. Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai
dari Kepolisian sampai dengan Pengadilan. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan
yudikatif.
3. Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksanaan pidana. Tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, tahap kebijakan legislative
merupakan tahap yang paling penting atau tahap paling strategis dari keseluruhan kebijakan untuk
mengoperasionalisasikan sanksi pidana. Landasan legislatif bagi suatu kebijakan pemidanaan,
menurut G.P. Hoefnagels mengemukakan:
“I agree with the view that effectiveness is prerequisite for lawfulness and even an
element to be taken into account in sentencing, effectiveness alone is no guarantee of
justice. Punishment in criminal law is limited not only by effectiveness and
purposefulnees, but above all by legality”.31
Secara garis besar, kebijakan legislatif (formulatif) dalam penanggulangan kejahatan
meliputi:32
1. “Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan
ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;
2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap
pelaku perbuatan terlarang (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem
penerapannya;
3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan
pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana”.
Hukum pidana mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konflik (kejahatan) yang
terjadi untuk melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat,. Masyarakat Indonesia yang
heterogen, baik horizontal (suku, agama, ras) maupun vertikal (perbedaan kekayaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi), pada hakikatnya dapat menjadi faktor kriminogen, terutama jika
terjadi ketidakadilan dan diskriminasi dalam menangani masyarakat. Hukum pidana menjadi
penting perannya, sekarang dan di masa mendatang, bagi masyarakat sebagai control sosial untuk
mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan.
Menegakkan hukum pidana, maka harus ada keterpaduan dalam persepsi dan
penanganan konflik yang timbul dari semua komponen hukum pidana, baik komponen structural,
substansial, dan dukungan sosial. Komponen substansial yang bersifat normative dan normal
seharusnya berpijak dan mengutamakan keadilan, kemudian kemanfaatan, dan selanjutnya pijakan
terakhir adalah kepastian hukum.
Menurut Muladi, pembaharuan hukum pidana bagi penegakan hukum masa mendatang
harus mempunyai karakteristik operasional sebagai berikut:33
1. “Hukum pidana tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan
kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.
2. Hukum pidana harus dapat menyesuaikan diri dengan
kecenderungankecenderungan universal yang berkembang pada pergaulan
masyarakat beradab.

30
Ibid., hlm. 1.
31
Ibid., hlm. 1.
32
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 23-24.
33
Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang : Averroes Press, 2002), hlm. 12-
14.
10

3. Hukum pidana harus mempunyai aspek-aspek yang bersifat preventif. Hal ini
bertujuan untuk memperkecil terjadinya tindak pidana, karena secara tidak langsung
sudah menumbuhkan perasaan takut untuk melanggar hukum pidana.
4. Hukum pidana harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan efektifitas fungsinya di dalam masyarakat”.
Menurut Soerjono Soekanto, faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:
1. “Faktor undang-undang;
Undang-undang (dalam arti materil) yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan
dbuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Faktor yang dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut, antara lain :
a. Tidak diikutinya dengan benar asas-asas berlakunya undang-undang yang
bersangkutan;
b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang yang bersangkutan;
c. Ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya
2. Faktor penegakan hukum;
Penegakan hukum mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum. Ada beberapa faktor yang menghambat
pelaksanaan penegakan hukum pada usnur penegakan hukum ini. Faktor-faktor
tersebut dapat berasal dari diri penegak hukum itu sendiri ataupun dari lingkungan
luar, antara lain :
a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain
dengan siapa dia berinteraksi;
b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi;
c. Kegairahan yang sangat terbatass untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit
sekali membuat suatu proyeksi;
d. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan materiel;
e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. 34
3. Faktor sarana dan fasilitas;
Sarana atau fasilitas yang dimaksud antara lain mencakup sumber daya manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup. Dan lain-lain. Sarana dan fasilitas ini mempunyai peranan
penting dalam proses penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut,
penegak hukum tidak mungkin dapat menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang senyatanya.35
4. Faktor masyarakat;
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum. Kompetensi hukum itu tidak mungkin ada,
apabila masyarakatnya:
a. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, bahwa hak-hak mereka telah dilanggar
atau diganggu;
b. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi
kepentingannya;
c. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor
keuangan, psikhis, sosial atau politik;
d. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya;
e. Mempunyai pengalaman-pengalaman yang kurang baik dalam proses interaksi
dengan berbagai unsure kalangan hukum formal.36
5. Faktor kebudayaan;
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (sehingga diikuti) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari).

34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid.
11

Kelima faktor ini akan sangat mempengaruhi apakah penegakan hukum tersebut akan
berjalan lancar atau akan mengalami hambatan-hambatan tertentu. Akibat adanya
berbagai faktor yang mengganggu, maka penegakan hukum sulit terwujud dalam
bentuknya yang total”.37
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menempuh pendekatan kebijakan tersebut
mengandung arti adanya keterpaduan antara politik criminal dan politik social dan antara upaya
penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan non penal. Sebagaimana ditegaskan
Hoefnagels bahwa: “criminal policy as science of policy is part of a larger policy: the law
enforcement policy”. Jadi, kebijakan kriminal bukanlah sebuah kebijakan yang berdiri sendiri,
terlepas dengan kebijakan-kebijakan lain, tetapi ia harus dilihat pula dalam hubungannya dengan
keseluruhan kebijakan sosial, sebab sebagai suatu kebijakan penegakan hukum, upaya ini termasuk
di dalam bidang kebijakan sosial. Maka dari itu, kebijakan criminal adalah bagian dari kebijakan
penegakan hukum dan kebijakan sosial.38
Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal law policy atau
strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh atau total.
Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dengan
hal-hal sebagai berikut:39
1. “Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum
pidana;
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum
pidana;
4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan lebih besar”.
Apabila dipergunakan sarana penal/hukum pidana saja, maka ada keterbatasan
didalamnya ditinjau dari sudut terjadinya kejahatan dan dari sudut hakikat berfungsi/bekerjanya
hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief, sarana penal mempunyai
keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan (sisi-sisi negatif), antara lain:
1. Secara dogmatis/idealis sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam atau
keras disebut sebagai ultimum remedium;
2. Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana
pendukung yang lebih bervariasi, anatara lain: berbagai undang-undang organic, lembaga
atau aparat pelaksana dan lebih menuntut biaya tinggi.
3. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif atau
paradoksal dan memandang unsure/atau efek samping yang negative;
4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurien am
symptom (menanggulangi/menyembuhkan gejala).40 Jadi, hukum atau sanksi pidana
hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif karena sebab-
sebab kejahatan yang demikian kompleks diluar jangkauan hukum pidana;
5. Hukum atau sanksi hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana
control social yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-
psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);
6. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual atau personal, tidak bersifat
structural atau fungsional;
7. Keefektifan pidana masih bergantung kepada banyak faktor, karena itu masih sering
dipermasalahkan.
Kejahatan merupakan perilaku menyimpang yang akan senantiasa ada dan melekat pada
tiap bentuk masyarakat. Sosial kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang
dinamis, yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya
yang sangat kompleks. Kejahatan harus ditanggulangi Karena apabila tidak, kejahatan dapat
membawa akibat-akibat:41 “Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional,
dan Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional”.
Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita
pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman
37
Ibid., hlm. 12-14.
38
Ali Masyhar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, (Bandung : Mandar Maju, 2009), hlm. 26-
27.
39
Ibid., hlm. 26-27.
40
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 35.
41
Ibid., hlm. 26-27.
12

pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini. Pembabakan tentang tujuan
pemidanaan dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, dan social
defence.42
Pencegahan kejahatan pada dasarnya adalah segala tindakan yang tujuan khususnya dalah
untuk membatasi meluasnya kekerasan kejahatan, entah melalui pengurangan kesempatan untuk
melakukan kejahatan atau dengan cara mempengaruhi pelaku potensial dan masyarakat umum. 43

Teori Keadilan
Menurut Aristoteles menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih dari satu arti. Adil
dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Disini ditunjukkan
bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang
semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang
didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.44
Keadilan merupakan hal yang penting, hal ini sejalan dengan pemikiran Rawls yang
mengatakan perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.
Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan.
Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada
jaminan stabilitas hidup manusia.45
Keadilan didasarkan pada nilai, norma dan moralitas masyarakat setempat. Masyarakat
memiliki prosedur dan mekanisme sendiri dalam menyelesaikan setiap konflik yang muncul.
Beberapa yang berkembang dan sudah menjadi rujukan kolektif adalah melalui jalan musyawarah,
mediasi, remedial, negosiasi, antar pihak-pihak yang berselisih atau berkonflik. 46
Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus
mengerjakan dua hal yakni:
a. “Prinsip keadilan harus memberikan penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-
institusi dan praktik-praktik institusional.
b. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangan
kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur
dasar masyarakat tertentu”.47
Semua orang mempunyai kemampuan mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil
sehingga keadilan menjadi fokus utama pembentukan undang-undang, yang harus sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan di satu pihak dan di pihak lain dengan tujuan yang sama. 48
Mengenai teori hukum keadilan menurut Aristoteles mengemukakan 5 (lima) jenis
perbuatan yang digolongkan adil. Kelima jenis keadilan tersebut, sebagai berikut:
a) “Keadilan Komutatif, adalah perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat jasa-
jasa yang telah diberikannya. Contoh: Seseorang yang telah melakukan
kesalahan/pelanggaran tanpa memandang kedudukannya, dia tetap dihukum sesuai
dengan kesalahan/pelanggaran yang dibuatnya.
b) Keadilan Distributif, adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa
yang telah diberikannya. Contoh: Beberapa orang pegawai suatu perusahaan
memperoleh gaji yang berbeda, berdasarkan masa kerja, golongan kepangkatan,
jenjang pendidikan, atau tingkat kesulitan pekerjaannya.
c) Keadilan Kodrat Alam, adalah memberi sesuatu sesuai dengan yang diberikan oleh
orang lain kepada kita. Contoh: Seseorang yang menjawab salam yang diucapkan
orang lain dikatakan adil karena telah menerima salam dari orang tersebut.
d) Keadilan Konvensional, adalah jika seorang warga negara telah menaati segala
peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
e) Keadilan Perbaikan, adalah perbuatan adil menurut perbaikan jika seseorang telah
berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar”.49
42
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy
Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 68.
43
Is. Heru Permana, Politik Kriminal, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2007), hlm. 10.
44
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 161.
45
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 51.
46
Umar Sholehudin, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, (Malang:
Setara, 2011), hlm. 23.
47
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit, hlm. 163.
48
Zainuddin Ali, Op.cit., hlm. 88.
49
Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2006), hlm.
57.
13

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian


antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi
ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang
bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan.
Penegakan hukum erat kaitannya dengan fungsi penegak hukum dalam hal ini adalah Kepolisian.
Terlaksananya kebijakan tembak di tempat oleh Petugas Polrestabes Medan sebagai salah satu
upaya represif untuk menekan angka kejahatan 3C yang meresahkan masyarakat tersebut.
Meminjam konsep penegakan hukum, maka dapat diteliti beberapa faktor yang mempengaruhi
kinerja Polrestabes Medan dalam merespon ataupun melakukan pencegahan (preventif) dan
pembinaan (pre-emtif) terjadinya kejahatan 3C di wilayah hukum Polsek Polrestabes Medan.

HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN


Prosedur Hukum Tembak di Tempat Terhadap Pelaku Kejahatan 3C
Salah satu bentuk tindak pidana pencurian yang sangat meresahkan saat ini adalah tindak
pidana pencurian, baik pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan, maupun
pencurian kendaraan bermotor. Kejahatan yang dikenal dengan kejahatan 3C tersebut dikenal
dengan “pembegalan”. Kejahatan 3C atau pembegalan dapat dikatakan sebagai perbuatan
pencurian yang dilakukan dengan cara-cara paksa dan melalui tindakan kekerasan maupun
pemberatan. Pencurian dengan motif pembegalan yang terjadi, banyak diantaranya yang dilakukan
secara berkelompok atau bersama-sama.50
Beragam alasan muncul menjadikan pelaku pembegalan menjadi lebih berani melakukan
kejahatan terang-terangan, tidak hanya dilakukan pada malam hari namun juga dilakukan pada
siang hari, tidak juga di tempat yang jauh dari keramaian namun juga di tengah kawasan yang
ramai. Bahkan, tidak jarang pelaku yang dulu hanya bermodalkan senjata tajam (sajam), kini
bahkan banyak sekali dari pelaku yang tertangkap ditemukan pula senjata api (senpi). Senjata api
tersebut merupakan senjata api rakitan atau senjata api ilegal yang tidak memiliki izin dalam
pemakaiannya.51
Salah satu tugas aparat kepolisian adalah menangkap orang yang melakukan suatu tindak
pidana. Masyarakat menganggap bahwa tugas penangkapan selalu berjalan lancar apabila proses
penangkapan terhadap pelaku tidak mendapatkan perlawanan atau pelaku kooperatif dalam proses
penangkapannya, sehingga tidak perlu dilakukan tindakan berlebihan oleh pihak kepolisian.
Namun faktanya, tidak jarang petugas di lapangan harus menerima tindakan kekerasan akibat
perlawanan dari tersangka yang melakukan perlawanan secara aktif, bahkan dianggap
membahayakan petugas yang melakukan penyidikan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kompol Yasir Ahmadi, Kapolsek Sunggal
Polrestabes Medan menegaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya melakukan penangkapan
terhadap tersangka pelaku tindak pidana, terkadang pihak kepolisian menemui hambatan-
hambatan. Salah satu hambatan tersebut adalah adanya perlawanan dari tersangka pada saat
petugas berusaha melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kepolisian dibekali kewenangan
diskresi dalam penerapan tugasnya di lapangan. Diskresi ini merupakan tindakan yang harus
diambil oleh seorang polisi dengan memperhatikan tingkatan kerja sama tersangka dalam situasi
tertentu, serta mempertimbangkan rangkaian logis dan hukum sebab-akibat. Dalam situasi
tersebut polisi harus memutuskan cara apa yang akan ditempuh, teknik spesifik dan tingkat
kekerasan yang akan digunakan berdasarkan keadaan yang ada di lapangan. 52
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pelaksanaan tindakan tegas kepolisian dalam
melumpuhkan pelaku Kejahatan 3C umumnya dikaitkan dengan kewenangan dalam melakukan
tembak di tempat terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pihak kepolisian dalam melaksanakan
tugasnya harus sesuai dengan dasar hukum pelaksanaan tembak di tempat, serta sesuai dengan
situasi dan kondisi kapan perintah tembak di tempat itu dapat diberlakukan, dan juga dalam
pelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai asas tujuan, keseimbangan, asas keperluan,
dan asas kepentingan. Pada dasarnya, tindakan tegas berupa tembak di tempat menjadi prioritas
apabila posisi petugas terdesak dan/atau pelaku mengancam keselamatan polisi atau orang-orang
yang berada di sekitar tempat kejadian perkara. Tujuan dari melakukan tindakan tegas dan terukur
tersebut adalah untuk melumpuhkan pelaku, bukan untuk mematikan pelaku.53

50
Regina Frederica, Op.cit.
51
Harian Kompas, “Kejahatan di Medan Sangat Meresahkan, Pelaku Pakai Sajam Hingga Senpi
Rakitan”, Op.cit.
52
Wawancara mendalam dengan Kompol Yasir Ahmadi, Kapolsek Sunggal Polrestabes Medan
sewaktu Rapat Koordinasi di Polrestabes Medan, Medan, Kamis, 14 Mei 2020.
53
Wawancara mendalam dengan Kompol Yasir Ahmadi, Kapolsek Sunggal Polrestabes Medan
sewaktu Rapat Koordinasi di Polrestabes Medan, Medan, Sabtu, 27 Juni 2020.
14

Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan 3C, polisi harus
menghormati hak hidup dan hak bebas dari penyiksaan karena kedua hak itu dijamin dengan
undang-undang serta perlunya pemahaman mengenai kode etik dan prinsip dasar penggunaan
kekuatan, maupun penggunaan senjata api oleh Polri. Dalam pelaksanaan kewenangan tindakan
tegas agar nantinya tidak melanggar hukum sehingga setiap prosedur tembak di tempat oleh
petugas kepolisian terhadap pelaku kejahatan 3C dapat dibenarkan secara hukum.
Tindakan tembak di tempat yang dilakukan oleh petugas kepolisian di lapangan terhadap
pelaku kejahatan yang mengakibatkan pelaku harus dilumpuhkan dengan tembakan, terkadang
pelaku meninggal dunia yang seringkali dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah
(presumpetion of innocence)54 dan masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, tindakan yang
dilakukan oleh Polisi tersebut memang benar-benar harus dilakukan akibat situasi di lapangan
yang membahayakan petugas.
Menurut penjelasan Kompol. Yasir Ahmadi, bahwa terhadap setiap tersangka tindak
pidana berlaku asas praduga tidak bersalah merupakan suatu hal yang tidak terlepas dari Hak Asasi
Manusia (HAM). Asas praduga tidak bersalah erat kaitannya terhadap prosedur tembak di tempat
dikarenakan asas ini merupakan salah satu asas yang memberikan perlindungan HAM atas
seseorang tersangka/terdakwa tindak pidana. Asas praduga tidak bersalah atau Persumption of
Innocence ini, jika ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan
penerapan acquisitoir yaitu menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam semua tingkat
pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. Tersangka/terdakwa harus
didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan
harga diri. Sedangkan, obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan
pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus
ditujukan.55
Adapun konsekuensi logis dari asas praduga tidak bersalah atau presumption of
innocence ini, maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak
memberikan keterangan yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan,
maupun untuk mendapatkan tindakan yang layak pada saat dilakukan penyidikan dan
penangkapan oleh polisi. Namun polisi sebagai aparat penegak hukum juga diberikan kewenangan
untuk melakukan tindakan tegas dan terukur terhadap pelaku apabila dalam melakukan
penangkapan terhadap tersangka, tersangka tersebut melakukan perlawanan yang dapat dianggap
membahayakan petugas di lapangan. Permasalahan mendasarnya adalah bahwa penerapan
tindakan tegas dan terukur tersebut dilakukan tidak konsisten, sebab setiap petugas di lapangan
akan berbeda dalam memaknai peristiwa di lapangan menurut sudut pandangnya masing-masing
sehingga hal ini menjadi rentan dan bersinggungan serta berpotensi adanya pelanggaran HAM
dalam penangan kasus-kasus tindak pidana.56
Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis bahwa prosedur tindakan tegas kepolisian
terhadap pelaku Kejahatan 3C (Pembegalan) yang dapat dibenarkan secara hukum, maka seorang
petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Kemudian
sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara
antara lain menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota polri yang sedang bertugas,
memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti,
angkat tangan, atau meletakkan senjatanya dan memberikan waktu yang cukup agar peringatan
dipatuhi, serta dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu diperkirakan
dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, tindakan
peringatan tidak perlu dilakukan.
Petugas kepolisian wajib mengedepankan prinsip legalitas, nesesitas, dan
proporsionalitas. Secara legalitas penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tindakan tembak di
tempat diatur dalam Pasal 5 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan
Dalam Tindakan Kepolisian yang bertujuan untuk melumpuhkan pelaku. Namun, dalam hal
kebijakan tembak di tempat oleh Kapolrestabes Medan hingga saat ini masih menggunakan Surat
Perintah No. Sprin/811/V/2014 tertanggal 24 Mei 2014. Surat Perintah tersebut berisikan “Operasi
810” dalam rangka penindakan para pelaku Kejahatan 3C (“Curas, Curat, dan Curanmor”) di
wilayah hukum Polresta Medan. Secara nesesitas, petugas polisi harus dalam keadaan terdesak
dan/atau pelaku mengancam keselamatan petugas atau orang-orang yanag berada di sekitar TKP.
54
Maksudnya adalah bahwasanya pelaku belum ditetapkan sebagai tersangka, apalagi terdakwa.
Namun, petugas sudah mendapatkan bukti-bukti yang cukup dan terhadap pelaku yang ditembak dengan
mematikan biasanya sudah menjadi target operasi.
55
Wawancara mendalam dengan Kompol. Yasir Ahmadi selaku Kapolsek Medan Sunggal sewaktu
Rapat Koordinasi di Polrestabes Medan, Medan, Kamis, 14 Mei 2020.
56
Wawancara mendalam dengan Kompol. Yasir Ahmadi selaku Kapolsek Medan Sunggal sewaktu
Rapat Koordinasi di Polrestabes Medan, Medan, Kamis, 14 Mei 2020.
15

Secara proporsionalitas, tujuan tembak di tempat bagi pelaku Kejahatan 3C adalah untuk
melumpuhkan.

Kebijakan Kriminal Dalam Penegakan Hukum Kejahatan Curas, Curat, dan


Curanmor (3C) Ditinjau Dari Perspektif Keadilan di Wilayah Hukum Polrestabes
Medan

A. Kebijakan Penggunaan Hukum Pidana (Penal Policy) di Wilayah Hukum


Polrestabes Medan
Kota Medan yang merupakan ibukota Sumatera Utara sangat potensial bagi peningkatan
kejahatan, Kota Medan merupakan daerah yang utama bagi semua sector kegiatan. Adapun batas-
batas wilayah Kota Medan tersebut adalah :
1. Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka;
2. Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli
serdang;
3. Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.
4. Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang.
Kota Medan mempunyai luas wilayah 256 km² (26.510 Ha) dengan jumlah penduduk
sebanyak ± 2.500.000 jiwa dan mempunyai 11 Kecamatan dan 144 Kelurahan.
Kota Medan terletak di bawah wilayah hukum Kepolisian Resort Kota Besar (selanjutnya
ditulis Polrestabes) Medan mempunyai 12 (dua belas) Kepolisian Sektor Kota (selanjutnya ditulis
Kepolisian Sektor). Keseluruhan dari Kepolisian wilayah yang ada di jajaran Polresta Medan ini
adalah sebagai berikut :
1. Kepolisian Sektor Deli Tua;
2. Kepolisian Sektor Kutalimbaru;
3. Kepolisian Sektor Medan Area;
4. Kepolisian Sektor Medan Barat;
5. Kepolisian Sektor Medan Baru;
6. Kepolisian Sektor Medan Helvetia;
7. Kepolisian Sektor Medan Kota;
8. Kepolisian Sektor Medan Timur;
9. Kepolisian Sektor Pancur Batu;
10. Kepolisian Sektor Patumbak;
11. Kepolisian Sektor Percut Sei Tuan; dan
12. Kepolisian Sektor Sunggal.
Dalam penelitian ini mengkhususkan pada Polrestabes Medan, yang mana kejahatan 3C
pada lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup meresahkan masyarakat.
Berdasarkan data yang didapat dari Polrestabes Medan pada tahun 2019 paling tinggi kejahatan 3C
adalah pencurian kendaraan bermotor. Curanmor sebanyak 1.261 kasus, Curat sebanyak 985 kasus,
dan Curas sebanyak 294 kasus.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) di Wilayah Hukum Polrestabes Medan terkait
dengan penanggulangan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor menggunakan upaya
represif dengan cara mengikuti kebijakan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Kapolrestabes
Medan. Adapun kebijakan Kapolrestabes Medan terkait dengan pencurian kendaraan bermotor
adalah melalui Surat Perintah No. Sprin/811/V/2014 tertanggal 24 Mei 2014. Surat Perintah
tersebut berisikan “Operasi 810” dalam rangka penindakan para pelaku penadahan Kasus 3C
“Curas, Curat, dan Curanmor” di wilayah hukum Polresta Medan. Curas adalah pencurian dengan
kekerasan, curat adalah pencurian dengan pemberatan, dan curanmor adalah pencurian kendaraan
bermotor.
Operasi 810 tersebut memerintahkan kepada personil yang ditugaskan untuk melakukan
penindakan ditempat apabila tertangkap tangan melakukan pencurian dengan kekerasan,
pencurian dengan pemberatan, dan pencurian kendaraan bermotor. Penindakan tersebut berupa
menembak pelaku dengan cara:57
1. “Memberitahukan kepada pelaku tentang identitas personil;
2. Memperingatkan pelaku dengan menembakkan ke atas;
3. Apabila pelaku melakukan perlawanan barulah dilakukan penembakan dengan tujuan
untuk melumpuhkan pelaku yaitu penembakan di kaki”.

57
Wawancara dengan AKBP. Ronny N. Sidabutar, S.Ik., M.H., selaku Kasat Reskrim Polrestabes
Medan di Medan, pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
16

Prosedur tersebut tidak dijalankan, maka personil yang melakukan penembakan tersebut
akan ditindak berdasarkan ketentuan yang berlaku. Penindakan terhadap personil kepolisian yang
tidak menjalankan prosedur tersebut adalah melalui Propam Polrestabes Medan. 58
Apabila Kapolrestabes Medan mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan
3C, maka seluruh jajaran wajib mengikutinya. Dalam mengeluarkan kebijakan tersebut,
Kapolrestabes Medan wajib mempunyai dasar hukum dan alasan kenapa dikeluarkannya kebijakan
tersebut. Adapun kebijakan yang dikeluarkan Kapolrestabes Medan terkait dengan upaya penal
penanggulangan kejahatan 3C adalah dengan mengawasi residivis yang baru keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan (LP) terkait dengan tindak pidana kejahatan 3C yang dilakukannya. Sehingga
dapat mengontrol pergerakan residivis tersebut. Pengawasan terhadap residivis ini dilakukan
karena para pelaku akan selalu mengulangi perbuatannya.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) di Wilayah Hukum Polrestabes Medan terkait
dengan penanggulangan tindak pidana Kejahatan 3C menggunakan upaya represif dengan cara
mengikuti kebijakan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Kapolrestabes Medan. Kebijakan
penggunaan hukum pidana (Penal Policy) di Wilayah Hukum Polrestabes Medan berasal dari
Kapolrestabes Medan.
Adapun kebijakan Kapolrestabes Medan terkait dengan kejahatan 3C adalah melalui Surat
Perintah No. Sprin/811/V/2014 tertanggal 24 Mei 2014. Surat Perintah tersebut berisikan “Operasi
810” dalam rangka penindakan para pelaku penadahan Kasus 3C “Curas, Curat, dan Curanmor” di
wilayah hukum Polrestabes Medan. Curas adalah pencurian dengan kekerasan, curat adalah
pencurian dengan pemberatan, dan curanmor adalah pencurian kendaraan bermotor.
Adapun kebijakan yang dikeluarkan Kapolrestabes Medan terkait dengan upaya penal
penanggulangan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor adalah dengan mengawasi residivis
yang baru keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) terkait dengan tindak pidana pencurian
kendaraan bermotor yang dilakukannya. Sehingga dapat mengontrol pergerakan residivis tersebut.
Pengawasan terhadap residivis ini dilakukan karena para pelaku akan selalu mengulangi
perbuatannya.

B. Kebijakan Tanpa Menggunakan Hukum Pidana (Non-Penal Policy) di Wilayah


Hukum Polrestabes Medan
Sistem peradilan pidana pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan akhir dan bukan
pula merupakan satu-satunya cara untuk mencapai tujuan pidana atau tujuan sistem peradilan
pidana. Banyak cara dapat ditempuh, dapat menggunakan hukum pidana maupun dengan cara
diluar hukum pidana atau diluar pengadilan. Dilihat dari segi ekonomisnya sistem peradilan pidana
disamping tidak efisien, juga pidana penjara yang tidak benar-benar diperlukan semestinya tidak
usah diterapkan.59
Penegakan hukum dengan sarana penal merupakan salah satu aspek saja dari usaha
masyarakat menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha masyarakat
menanggulangi kejahatan melalui sarana non-penal. Usaha non-penal dalam menanggulangi
kejahatan sangat berkaitan erat dengan usaha penal. Upaya non- penal ini dengan sendirinya akan
sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pencegahan atau
menanggulangi kejahatan harus dilakukan pendekatan integral yaitu antara sarana penal dan non
penal.60
Menurut M. Hamdan, upaya penanggulangan yang merupakan bagian dari kebijakan
sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu:61
1. “Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application);
2. Jalur non-penal, yaitu dengan cara :
a. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di
dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata.
b. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan
lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment)”.
Secara sederhana dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
“penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/ pemberantasan /

58
Wawancara dengan AKBP. Ronny N. Sidabutar, S.Ik., M.H., selaku Kasat Reskrim Polrestabes
Medan di Medan, pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
59
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi : Diskresi Kepolisian, (Jakarta : Pradnya
Paramita, 1991), hlm. 29.
60
Mahmud Mulyadi, Op.cit., hlm. 51.
61
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 5.
17

penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non-penal” lebih menitik beratkan pada
sifat “preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 62
Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana, artinya tidak
semua tindak pidana menurut undang-undang pidana dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan
beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun
tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya sarana nonpenal
diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan tersebut, juga masih diragukannya atau
dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal.63
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non-penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain,
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dilihat dari sudut politik
kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan
strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. 64 Kongres PBB mengenai “The Prevention of
Crime and Treatment of Offenders” ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan
sebab-sebab timbulnya kejahatan.65
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab
timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan
“penal”. Di sinilah keterbatasan jalur “penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh jalur
“nonpenal”. Salah satu jalur “nonpenal” untuk mengatasi masalah -masalah sosial seperti
dikemukakan diatas adalah lewat jalur “kebijakan sosial” (social policy).66 Dalam skema G.P.
Hoefnagels, juga dimasukkan dalam jalur “prevention without punishment”.67 Kebijakan sosial
pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi
berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah
penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai
anggota masyarakat maupun kesehatan/ kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan
anak dan remaja), serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah “mental
health”, “national mental health” dan “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema
Hoefnagels sebagai salah satu jalur “prevention (of crime ) without punishment” (jalur “non-
penal”). Sudarto pernah juga mengemukakan, bahwa “kegiatan karang taruna, kegiatan Pramuka
dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama” merupakan upaya-upaya
nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.68
Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-
mata kesehatan rohani/mental, tetapi juga kesehatan budaya dan nilai – nilau pandangan hidup
masyarakat. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat
(sebagai salah satu upaya nonpenal dalam strategi politik kriminal), tidak hanya harus berorientasi
pada pendekatan religius tetapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional.
Dilihat dari sisi upaya nonpenal ini berarti, perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh
potensi dukungan dan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk mengefektifkan dan
mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system” yang ada di
masyarakat.69

62
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 118.
63
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hlm. 58.
64
Ibid., hlm.80.
65
United Nations Guidelines on The Role of Prosecutor atau Petunjuk Umum Bagi Jaksa/Penuntut
Umum Dalam Menjalankan Tugas dan Kewenangannya merupakan adopsi dari Kongres PBB ke-8 tentang
pencegahan tindak pidana dan perlakuan bagi orang yang bersalah. Kongres ini dilaksanakan di Havana, Cuba,
pada tanggal 27 Agustus sampai dengan 07 September 1990.
Adapun yang menjadi pertimbangannya sebagaimana dijelaskan/diamanatkan dalam UDHR
(Universal Declaration of Human Rights) tentang Prinsip-prinsip Peradilan yaitu prinsip persamaan di depan
hukum (equalit before the law), asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), dan peradilan yang
merdeka/bebas/netral dan tidak berat sebelah (fair trial & impartial).
66
Barda Nawawi Arief, Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
(Semarang : Raja Grafindo Persada, 1971), hlm. 152.
67
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.cit., hlm. 115.
68
JE. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, (Bandung :
Alumni, 1990), hlm. 82.
69
Barda Nawawi Arief, Loc.cit., hlm. 77.
18

Upaya non-penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat
sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara materiil dan immateriil) dari
faktor-faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan
sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor “antikriminogen” yang merupakan bagian integral
dari keseluruhan politik kriminal.70 Disamping upaya-upaya nonpenal dapat ditempuh dengan
menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan mengali berbagai potensi yang ada di
dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya
yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya, media pers/media massa,
pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”) dan pemanfaatan
potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. 71 Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah
mengemukakan, bahwa “Kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya
nonpenal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial”.
Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan kepolisian di beberapa tempat
tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif
edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya nonpenal yang perlu diefektifkan. 72
Tindakan hukum dikatakan “efektif” ketika perilaku bergerak ke arah yang dikehendaki,
ketika subyek patuh atau menurut, banyak tindakan hukum tidak “efektif” dalam pengertian ini.
Orang-orang mengabaikan atau melanggar ketentuan.Lazimnya sanksi dibagi menjadi dua bagian,
imbalan dan hukuman, yakni sanksi positf dan negatif. Gagasannya adalah bahwa orang-orang
yang menjadi subyek hukum akan memilih satu dan menghindari yang lainnya. Para pembuat
hukum berasumsi bahwa sanksi yang berlabel “hukuman” adalah bersifat menyakitkan dan
“imbalan” adalah yang bersifat menyenangkan, sehingga konsekuensi perilaku yang dikehendaki
akan mengikuti secara otomatis. Bentuk-bentuk hukuman yang lazim dalam hukum pidana adalah
denda dan kurungan. Hukuman fisik atau hukuman jasmaniah lainnya, pada masa lalu, sering
digunakan dalam hukum.
Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembaharuan
masyarakat.73 Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan,
merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat diperlukan. 74 Upaya nonpenal merupakan
kerangka pembangunan hukum nasional yang akan datang (ius constituendum). Pencegahan
kejahatan harus mampu memandang realitas sosial masyarakat, hukum sebagai panglima harus
mampu menciptakan suatu tatanan sosial melalui kebijakan sosial.
Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-
kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi
menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan
kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan
kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan
pembangunan yang menyeluruh pembangunan hukum pada hakikatnya mencakup pembinaan
hukum serta pembaharuan hukum. Pembinaan hukum pada hakikatnya berarti usaha-usaha untuk
lebih menyempurnakan hukum yang sudah ada, sehingga sesuai dengan perkembangan
masyarakat.
Hukum sesungguhnya merupakan fasilitasi interaksi antara manusia yang bertujuan
untuk mencapai keteraturan kehidupan sosial sehingga kaidah-kaidah hukum yang akan
diterapkan haruslah memiliki kerangka falsafah, nilai kebudayaan dan basis sosial yang hidup di
masyarakat. Satjipto Rahardjo mengatakan, “Hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam
masyarakatnya”. Setiap kali hukum dan cara berhukum dilepaskan dari konteks masyarakatnya,
maka akan dihadapkan pada cara berhukum yang tidak substansil. Hukum merupakan pantulan
dari masyarakatnya, maka tidak mudah memaksa rakyat untuk berhukum menurut cara yang tidak
berakar pada nilai-nilai dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat itu. Selalu ada tarik menarik
antara hukum yang berlaku dan diberlakukan dengan masyarakatnya. Hukum bukan institutif yang
70
Ibid., hlm. 49.
71
Ibid., hlm. 58.
72
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hlm. 118.
73
Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social
engineering) relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi
dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau
kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi antara
elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic and social engineering” (BSE).
Lihat : Romli Artasasmita, “Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional”, Makalah
disampaikdan alam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7.
74
Lilik Mulyadi, “Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M : Sebuah
Kajian Deskriptif Analitis”, hlm. 5., http://badilum.info/upload_file/img/article/doc/
kajian_deskriptif_analitis_teori_hukum_pembangunan.pdf., diakses Sabtu, 12 Juli 2014.
19

steril dar satu skema yang selesai. Hukum tidak ada di dunia abstrak melainkan juga berada dalam
kenyataan masyarakat.75
Optimalisasi jalur non-penal sejalan dengan cita-cita bangsa dan tujuan negara, seperti
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang
memuat Pancasila. Segala bentuk pembangunan harus berangkat dari nilai-nilai Pancasila, karena
pada hakikatnya pancasila merupakan tonggak konvergensi berbagai gagasan dan pemikiran
mengenai dasar falsafah kenegaraan yang didiskusikan secara mendalam oleh para pendiri negara.
Pancasila menjadi kesepakatan luhur (modus vivendi) yang kemudian ditetapkan sebagai dasar
ideologi negara.76 Upaya non penal dalam pencegahan tindak pidana merupakan salah satu aspek
cita-cita Pancasila, Pancasila menjadi dasar rasional mengenai asumsi tentang hukum yang akan
dibangun sekaligus sebagai orientasi yang menunjukan kemana bangsa dan negara harus dibangun.
Menurut Kompol. Yasir Ahmadi, juga menjelaskan bahwa sebagai upaya untuk
meningkatkan pengungkapan Kejahatan 3C, Polrestabes Medan dan jajarannya telah melakukan
berbagai upaya, baik melalui upaya preventif maupun represif guna menekan angka tindak pidana
tersebut di wilayah hukum Polrestabes Medan. Upaya yang dilakukan oleh Polrestabes Medan,
dapat diuraikan sebagai berikut:77
1. “Upaya Preventif
Upaya preventif merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan untuk pertama
kalinya atau upaya pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi adanya tindak
kejahatan. Kepolisian berupaya untuk melakukan upaya pembinaan dan peningkatan
kesadaran masyarakat antara lain dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk
secara mandiri melakukan pengamanan di wilayahnya masing-masing dengan
menggiatkan kegiatan Siskamling atau Ronda, upaya peningkatan kesadaran hukum
masyarakat melalui sosialisasi kepada masyarakat, serta kegiatan razia yang dilakukan
pada saat-saat tertentu dan waktu-waktu tertentu yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan terhadap terjadinya potensi kejahatan terutama yang dilakukan di wilayah-
wilayah yang rawan kejahatan.

2. Upaya Represif
Upaya represif merupakan cara penanggulangan berupa penanganan kejahatan yang
sudah terjadi. Adapun upaya-upaya represif yang dilakukan Polrestabes Medan untuk
menanggulangi pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kota Medan, dilakukan
dengan operasi-operasi yang secara terus-menerus dilakukan. Operasi-operasi tersebut
dilakukan dengan menggunakan kepolisian secara lengkap, diantaranya: Samapta,
Intelejen, Binmas dan Reserse. Operasi-operasi tersebut diadakan di berbagai tempat dan
waktu yang berbeda sehingga tujuan dari diadakannya operasi tersebut adalah sebagai
upaya menangkap pelaku pencurian dengan kekerasan.
Khusus dalam penanganan kejahatan 3C, Kepolisian Resort Kota Besar Medan
(Polrestabes Medan) sejak 2016 yang lalu telah membentuk Tim Anti Begal Polrestabes
Medan sebagai unit yang diprioritaskan penanganan kasus kejahatan 3C yang terjadi yang
terjadi di seluruh wilayah Kota Medan. Hal ini dilakukan sebagai respon dari aspirasi
masyarakat yang merasa sangat resah dengan pelaku pembegalan, sebab kini pelaku tidak
lagi hanya bermodalkan senjata tajam bahkan mereka menggunakan senjata api dan tidak
segan-segan bertindak sadis, bahkan tak jarang mereka membunuh korbannya apabila
melawan”.

Berdasarkan wawancara di atas dan dikaitkan dengan penelitian ini, maka kebijakan
penanggulangan Kejahatan 3C (Pembegalan) dengan menggunakan upaya hukum non-penal dapat
dilakukan di Wilayah Hukum Polrestabes Medan, dengan upaya pre-emptif dan preventif.
a. Upaya Pre-Emptif
Adapun upaya pre-emptif yang dilakukan Polrestabes Medan untuk menanggulangi
kejahatan 3C adalah melakukan penyuluhan ke masyarakat yang dilakukan salah satu unsur
Polrestabes Medan, yaitu Babhinkamtibmas. Adapun penyuluhan yang dilakukan oleh
Babhinkamtibmas dengan mengumpulkan seluruh Sekuriti (Tenaga Pengamanan) dari
75
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik, (Jakarta :
Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. 115.
76
Mahfud MD, “Penuangan Pancasila di Dalam Peraturan Perundang-Undangan”, Makalah untuk
Seminar Nasional “Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Ilmu Hukum dan Perundang-Undangan
Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya Pancasila
di Yogyakarta, 30-31 Mei 2007, hlm. 2.
77
Wawancara mendalam dengan Kompol Yasir Ahmadi, Kapolsek Sunggal Polrestabes Medan
sewaktu Rapat Koordinasi di Polrestabes Medan, Medan, Kamis, 14 Mei 2020.
20

perusahaan-perusahaan maupun perumahan-perumahan. Isi penyuluhan yang diberikan adalah


mengenai bagaimana cara menjaga dan memelihara lingkungan dari orang luar atau orang tidak
dikenal.
b. Upaya Preventif
1) Patroli dan Tingkatkan Siskamling Masyarakat
Pendekatan preventif yang dilakukan oleh Polrestabes Medan dengan melakukan patroli
dan razia di jalan-jalan umum di wilayah-wilayah yang dianggap rawan, melakukan pemeriksaan
kelengkapan surat-surat kendaraan secara cermat guna menghindari pemalsuan surat-surat (SIM,
STNK, BPKB) yang meluas, melakukan pengawasan terhadap bengkel-bengkel kendaraan bermotor
yang dicurigai sebagai tempat penadahan, melakukan penangkapan terhadap pelaku, penadah dan
pemalsu surat-surat kendaraan, kemudian meneruskan para tersangka maupun penadah yang
melakukannya ke pengadilan agar mendapatkan hukuman atas perbuatan yang dilakukannya.
Kemudian sebagai upaya memaksimalkan upaya penanggulangan Kejahatan 3C
(Pembegalan), Tim Anti Begal Polrestabes Medan harus bekerja secara berkelanjutan untuk
menangkal aksi pembegalan yang semakin meresahkan. Secara rutin berpatroli di wilayah-wilayah
rawan, serta melakukan reaksi cepat setiap adanya kejadian Kejahatan 3C (Pembegalan) di wilayah
hukum Polrestabes Medan.
Dalam mengantisipasi faktor penyebab terjadinya Kejahatan 3C, maka seharusnya
masyarakat juga dapat berperan menjadi “penegak hukum” di tengah ligkungannya sendiri dengan
secara aktif berpartisipasi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman sehingga potensi
terjadinya tindak pidana di lingkungannya dapat ditekan sedini mungkin. Misalnya, aktif
mengadakan kegiatan Siskamling atau ronda malam secara bergiliran di antara warga lingkungan
setempat.
2) Membuka Saluran Telepon Pengaduan Masyarakat (Aplikasi Polisi Kita)
Adapun upaya-upaya non-penal yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara membuka
saluran telepon untuk Dumas (Pengaduan Masyarakat) terkait dengan kehilangan kendaraan
bermotor. Upaya tersebut telah lama dilakukan. Saluran telepon tersebut digunakan untuk gerak
cepat agar dapat menangkap pelaku di tempat kejadian perkara.78
Aplikasi Polisi Kita dapat digunakan sebagai sarana untuk menyalurkan pengaduan
masyarakat kepada pihak kepolisian apabila diketahui ada terjadi tindak pidana di wilayah hukum
Polrestabes Medan. Pengaduan dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan telepon genggam
(Android), lalu membuat akun dan dapat langsung membuat laporan dengan melampirkan foto-
foto kejadian sebagai bukti.79
3) Meningkatkan Kewaspadaan Dengan Menambah Kunci Ganda
Upaya preventif lainnya dengan cara meningkatkan kewaspadaan dalam memarkirkan
kendaraan, dengan menambah kunci ganda setiap kendaraan bermotor. Hal ini dilakukan
sosialisasi dengan masyarakat yang datang ke Polrestabes Medan.80
4) Kebijakan Lain Polrestabes Medan Sebagai Upaya Non-Penal Untuk
Menekan Kejahatan 3C di Wilayah Hukum Polrestabes Medan
Kasus kejahatan di Medan semakin meresahkan dari hari ke hari, lantaran pelaku semakin
sadis dan korban juga semakin banyak. Pada tahun 2019, antara bulan Juni s.d. Juli 2019,
Polrestabes Medan sewaktu dipimpin Kombes Pol. Dadang Harianto, selaku Kapolrestabes Medan,
mengatakan:81
“Dalam dua bulan terakhir pihaknya mengamankan 47 tersangka pelaku Kejahatan 3C
atau Curas, Curat, dan Curanmor. Dari pengungkapan kasus tersebut, Polrestabes Medan
mengamankan 56 kendaraan bermotor serta dua becak pengangkut barang. Polisi juga
mengamankan sejumlah senjata tajam (sajam) hingga senjata api (senpi) laras panjang
rakitan yang digunakan para pelaku Kejahatan 3C tersebut.
Pengungkapan tersebut dilakukan selama 2 bulan pada periode Juni – Juli 2019 di Polsek
Medan Baru dan Polsek Patumbak. Aksi para pelaku sangat meresahkan lantaran tidak
hanya sajam dan senpi panjang rakitan yang digunakan, pelaku juga menggunakan

78
Wawancara dengan AKBP. Ronny N. Sidabutar, S.Ik., M.H., selaku Kasat Reskrim Polrestabes
Medan di Medan, pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
79
Nur Istiono, dkk., “Upaya Satuan Narkoba Polrestabes Medan Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Narkotika Melalui Aplikasi (Polisi Kita)”, USU Law Journal Vol. 7 No. 3, Juni 2019, hlm. 75-91.
80
Wawancara dengan AKBP. Ronny N. Sidabutar, S.Ik., M.H., selaku Kasat Reskrim Polrestabes
Medan di Medan, pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
81
Keterangan Kombes Pol. Dadang Harianto selaku Kapolrestabes Medan dalam Harian Kompas,
“Kejahatan di Medan Sangat Meresahkan, Pelaku Pakai Sajam Hingga Senpi Rakitan”, diterbitkan Senin, 22 Juli
2019.
21

peralatan lainnya: kunci T, alat potong besi, tang, dan linggis hingga satu pucuk senjata
api rakitan berikut 7 peluru aktif.
Dari Polsek Medan Baru, pada 22 Juni 2019, Petugas telah menangkap 3 (tiga) orang
pelaku pencurian dengan pemberatan di malam hari. Pelaku membongkar dan mengambil
kendaraan bermotor. Setelah dilakukan pengembangan, ternyata para pelaku memiliki
rekam jejak di 30 Tempat Kejadian Perkara (TKP). Kemudian dari Polsek Patumbak, pada
18 Juli 2019, Petugas juga telah menangkap 2 (dua) orang pelaku kejahatan yang mencuri
kendaraan bermotor dan ternyata juga memiliki rekam jejak pada 10 TKP”.
Berdasarkan keterangan pers tersebut di atas, dapat diketahui bahwasanya para pelaku
Kejahatan 3C rata-rata adalah residivis yang telah “profesional” dalam menjalankan aksinya. Oleh
karenanya, Polrestabes Medan mempunyai kebijakan lain sebagai upaya non-penal untuk menekan
angka Kejahatan 3C berupa membuat database pelaku/residivis Kejahatan 3C. Pelaku Kejahatan 3C
sebenarnya pelakunya jarang pemain baru, sehingga kejahatan tersebut merupakan pengulangan
tindak pidana.
Selain membuat database tersebut, kebijakan non-penal lainnya yaitu membuat dan
memasang CCTV pada setiap daerah-daerah di Kota Medan yang rawan kejahatan. Pemasangan
CCTV sangat penting karena dapat memonitor kegiatan menyimpang pada masyarakat, sehingga
dapat diidentifikasi dan diungkap. Polrestabes Medan juga telah menjalin hubungan kerjasama
dengan Dinas Perhubungan (Dishub) Pemerintah Kota Medan agar CCTV dapat terkoneksi dengan
baik memanfaatkan teknologi dan informasi yang sudah berkembang, namun demikian jumlahnya
masih sangat terbatas.82
Adapun jumlah CCTV untuk Kota Medan hanya sebanyak 174 titik, dibandingkan dengan
kota lainnya sangat jauh dari layak. Efektifnya, CCTV harus mencapai ribuan, jadi kalau ada CCTV,
jika diketahui ada kejadian pada titik tertentu, pihak Petugas Anti Begal Polrestabes Medan dapat
memonitor dari mana pelaku bergerak sampai melakukan aksinya.83

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum Kejahatan Curas, Curat, dan
Curanmor (3C) Ditinjau Dari Perspektif Keadilan
Menurut Kombes Pol. Riko Sunarko pada acara serah terima jabatan Polrestabes Medan,
pada hari Senin, tanggal 18 Mei 2020 di lapangan Polda Sumut, menyatakan bahwa:
”Polrestabes Medan akan fokus pada penanganan kasus 3C (Curas, Curat, dan Curanmor).
Sejumlah program yang ada dari Kapolrestabes sebelumnya akan tetap dilanjutkan
penanganan kejahatan jalanan, terkait kejahatan 3C, untuk tidak memberikan ruang gerak
bagi seluruh pelaku kejahatan di Kota Medan sebagaimana semboyan dari Bapak Kapolda
Sumut, tidak ada tempat bagi para pelaku kejahatan”.84
Adapun maksud dari tidak ada tempat untuk pelaku kejahatan di Kota Medan adalah
bahwasanya Petugas Kepolisian akan mengambil tindakan tegas yang terukur bagi pelaku
Kejahatan 3C. Tindakan tegas yang terukur adalah melakukan tembak di tempat terhadap pelaku
Kejahatan 3C. Terukur maksudnya dalam melakukan tembak di tempat tidak boleh didasarkan
dengan adanya unsur kesengajaan. Kesengajaan ini dapat menghilangkan nyawa orang lain.
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain oleh anggota Kepolisian Republik
Indonesia dalam melaksanakan kewajibannya di luar kebutuhan untuk melakukan pembelaan
terpaksa dapat diminta pertanggungjawabannya sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kapolri
No. 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, yang menyatakan:
“Setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan
dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya”. Pasal 49 ayat (1) huruf a, yang menyatakan: “Setiap
petugas wajib mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api”.
Alasan pembenar tidak dapat digunakan karena melakukan penggunaan senjata api tidak
sesuai peraturan perundang-undangan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya karena
menjalankan undang-undang.
Menurut Penjelasan Memorie van Toelichting (MVT) dapat diketahui anggota Kepolisian
mendapat jaminan tidak dipidana karena telah melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan telah diwajibkan untuk melakukan perbuatan tertentu, dan bukan
orang yang diberikan hak untuk melakukan perbuatan tertentu. Adapun pendapat Noyon dan

82
Wawancara dengan AKBP. Ronny N. Sidabutar, S.Ik., MH., selaku Kasatreskrim Polrestabes Medan
di Kantor Porlestabes Medan pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
83
Wawancara dengan AKBP. Ronny N. Sidabutar, S.Ik., MH., selaku Kasatreskrim Polrestabes Medan
di Kantor Porlestabes Medan pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
84
Keterangan Kombes Pol. Riko Sunarko pada acara serah terima jabatan Kapolrestabes Medan di
Lapangan Mapolda Sumut, pada hari Senin, tanggal 18 Mei 2020.
22

Langemeijer yang mengatakan: “Untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan, orang


hanya dapat melakukan suatu perbuatan sebagai kewajiban dan bukan seseorang mempunyai hak
untuk berbuat demikian”.85
Dengan tidak sesuai prosedur tembak di tempat yang dilakukan, maka pihak Polri dalam
melakukan penangkapan dapat menyebabkan kematian pada terduga atau pelaku Kejahatan 3C.
Dalam hal, penangkapan dan penembakan mati dilakukan dengan sewenang-wenang, maka pihak
kepolisian dapat diminta pertanggung-jawabannya secara hukum karena terdapat kesalahan dalam
melaksanakan tugasnya yang melanggar asas praduga tidak bersalah, karena tidak sesuai dengan
amanat Pasal 48 KUHP tentang daya paksa yang disebabkan adanya perlawanan atau ancaman dari
pihak pelaku Kejahatan 3C. Dimana tidak terdapat daya paksa bathin dan psikis yang
mengharuskan anggota Kepolisian melepaskan tembakan yang berujung pada kematian.
Dalam hal, penggunaan senjata api tetap dilakukan, maka anggota kepolisian diduga
berbuat kesalahan. Tidak terpenuhinya alasan-alasan pembenar menyebabkan anggota kepolisian
dalam melakukan proses penangkapan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, baik terduga
maupun pelaku Kejahatan 3C dapat diminta pertanggungjawaban pidananya karena adanya unsur
kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian dan mampunya anggota Polri untuk
bertanggungjawab.
Adanya kebijakan tembak di tempat yang dilakukan oleh Tim Anti Begal Polrestabes
Medan sebagai bagian dari Polri memberikan kesan bahwa pemerintah mengedepankan
pendekatan legal, formal, dan represif dalam menumpas pelaku Kejahatan 3C di Indonesia.
Pendekatan yang legal dan formal wajib untuk dilakukan, lalu bagaimana dengan pendekatan
represif? Dalam melakukan kebijakan Operasi 810 terhadap Kejahatan 3C, harus benar-benar
memperhatikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) terhadap para pelaku
Kejahatan 3C.
Petugas Tim Anti Begal Polrestabes Medan sebagai petugas operasi penumpasan
Kejahatan 3C wajib memperhatikan asas praduga tak bersalah dengan cara menghindari tindakan
yang sewenang-wenang dan berada di luar prosedur yang telah ditetapkan, baik dalam undang-
undang maupun peraturan lainnya. Kejahatan 3C memang dapat dikategorikan sebagai kejahatan
yang sangat meresahkan masyarakat. Dalam penumpasannya harus memperhatikan asas praduga
tak bersalah yang erat kaitannya dengan pemenuhan HAM yang dimiliki oleh para pelaku
kejahatan 3C, terutama hak hidup.86
Dari perspektif keadilan, pelaksanaan kebijakan tembak di tempat dalam “Operasi 810”
harus dilaksanakan secara kasuistis. Maksudnya bahwa petugas Tim Anti Begal Polrestabes Medan
harus mengalami tekanan dan situasi serta kondisi yang mengharuskannya untuk melepaskan
tembakan. Dalam hal melepaskan tembakan ini pun ada aturannya, kepada pelaku Kejahatan 3C,
yaitu:87
1. Memberikan peringatan terlebih dahulu dengan memberitahukan identitas petugas
kepada terduga pelaku;
2. Memberikan tembakan peringatan ke atas dengan maksud agar pelaku Kejahatan 3C
menghentikan aksinya, atau tidak lari dari kejaran pihak petugas;
3. Dalam hal, pelaku Kejahatan 3C masih meresahkan, maka petugas dapat mengambil
tindakan tegas yang terukur dengan menembakkan ke arah kakinya bertujuan
melumpuhkan, bukan mematikan.
Dengan adanya pemberitahuan identitas dan peringatan inilah yang merupakan keadilan
bagi pelaku Kejahatan 3C untuk memberikan pilihan kepada dirinya apakah meneruskan
kejahatannya, atau tidak. Jika pilihannya dirinya tetap melarikan diri, maka barulah petugas dapat
mengambil tindakan tegas dan terukur terhadap pelaku.

KESIMPULAN & SARAN


Kesimpulan
Adapun benang merah yang dapat dijadikan kesimpulan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Pada dasarnya prosedur hukum pelaksanaan tindakan tembak di tempat merupakan
“kewenangan diskresi” atau “kewenangan bertindak” menurut penilaian sendiri petugas
kepolisian di lapangan yang dapat dibenarkan pelaksanaannya sepanjang aparat
kepolisian mengikuti aturan dan prosedur yang berlaku. Adapun prosedur yang
85
Noyon dan Langemeijer dalam Agus Salem, “Penggunaan Tindakan Tembak di Tempat Terhadap
Pelaku Terorisme oleh Densus 88 Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah”, Unes Law Review No. 1
Issue 2, Desember (2018), hlm. 111-120.
86
Warga Negara Indonesia dijamin hak hidupnya oleh Undang-Undang Dasar 1945: “Setiap orang
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
87
Wawancara dengan AKBP. Ronny N. Sidabutar, S.Ik., MH., selaku Kasatreskrim Polrestabes Medan
di Kantor Porlestabes Medan pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
23

dilaksanakan adalah petugas kepolisian wajib mengedepankan prinsip legalitas, nesesitas,


dan proporsionalitas. Sebelum menggunakan senpi, petugas wajib memberikan
peringatan jelas dengan cara: menyebutkan dirinya sebagai peetugas atau anggota polisi
yang sedang bertugas, memberikan peringatan dengan ucapan yang jelas dan tegas kepada
pelaku untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya dan memberikan
waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi, serta dalam keadaan terdesak dimana
penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi
petugas atau masyarakat di sekitar TKP. Dasar hukum pelaksanaan tembak di tempat
terhadap pelaku Kejahatan 3C, yaitu: Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang
Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian jo. Surat Perintah Kapolrestabes
Medan No. Sprin/811/V/2014, tertanggal 24 Mei 2014.
2. Kebijakan Kapolrestabes Medan dalam melakukan penegakan hukum Kejahatan 3C terdiri
dari Kebijakan Penal dan Kebijakan Non-Penal.
a. Kebijakan hukum pidana (penal policy) terkait dengan penanggulangan Kejahatan 3C
menggunakan upaya represif dengan cara menjalankan kebijakan hukum pidana yang
dikeluarkan oleh Kapolresta Medan melalui Surat Perintah No. Sprin/811/V/2014
tertanggal 24 Mei 2014 yang dikenal dengan “Operasi 810”. Operasi tersebut
memerintahkan kepada setiap personil di jajaran, khususnya Tim Anti Begal untuk
melakukan penindakan di tempat apabila kedapatan pelaku kejahatan sedang
melakukan kejahatannya.
b. Kebijakan Non-Penal Polrestabes Medan, terdiri dari: upaya pre-emptif dan preventif.
1) Upaya pre-emptif, jajaran Tim Anti Begal Polrestabes Medan melakukan
penyuluhan masyarakat yang dilakukan oleh salah satu unsur Polrestabes
Medan, yaitu: Babhinkamtibmas.
2) Upaya preventif, jajaran Tim Anti begal Polrestabes Medan, melakukan:
a) Patroli dan meningkatkan siskamling di masyarakat;
b) Membuat database residivis pelaku Kejahatan 3C;
c) Membuka saluran telepon pengaduan masyarakat (Aplikasi Polisi Kita); dan
d) Meningkatkan kewaspadaan dengan menambah kunci ganda pada
kendaraan bermotor pada saat diparkirkan.
24

Saran
Adapun rekomendasi yang dapat dijadikan saran dalam penelitian ini, antara lain :
1. Dalam membuat regulasi/pengaturan megnenai tembak di tempat, sebaiknya
Kapolrestabes memperbaharui Surat Perintah No. Sprin/811/V/2014 tertanggal 24 Mei
2014 atau meningkatkannya menjadi Peraturan Kapolri.
2. Dalam menjalankan kebijakan non-penal, berupa saluran telepon pengaduan masyarakat
(Aplikasi Polisi Kita) dan penyuluhan hukum seyogyanya jarang sekali dilaksanakan, maka
sebaiknya Polrestabes Medan melaksanakannya secara terus-menerus dan berkelanjutan
atau jika tidak mampu, cukup menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah daerah.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abdussalam, R., Hukum Kepolisian : Sebagai Hukum Positif Dalam Disiplin Hukum, Jakarta:
Restu Agung, 1997.
Ali, Achmad., Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009.
Ali, Zainuddin., Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Alius, Suhardi., Menjalin Sinergi: 14 Bulan Sebagai Kabareskrim Polri, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, Februari 2019.
Anwar, H.A.K. Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 2, Bandung: Alumni,
1986.
Arief, Barda Nawawi., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
--------------------------., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005.
--------------------------., Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru, Jakarta: Kencana, 2008.
--------------------------., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
--------------------------., Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang: Raja Grafindo Persada, 1971.
Bruggink, JJ., Refleksi tentang Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Chazawi, Adami., Kejahatan Terhadap Harta Benda, Malang: Bayu Media, 2003.
Consedine, Jim., Restorative Justice : Healing the Effects of Crime, Lyttelton: Ploughshares
Publications, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1988.
Darmodiharjo, Darji., dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Echol, M. John., dan Hasan Shadilly, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002.
Faal, M., Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi : Diskresi Kepolisian, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1991.
Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media, 2009.
Gunadi, Ismu., dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Ed. Ke-1, Cet. Ke-
2, Jakarta: Kendana Prenadamedia Group, 2015.
Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005.
Hamdan, M., Politik Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Jonkers, JE., Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Kartanegara, Satochid., Hukum Pidana II Delik-Delik Tertentu, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa
tahun.
Komisi Kepolisian Nasional, Diskresi Kepolisian: Dalam Tinjauan Hukum dan Implementasinya
di Lapangan, Jakarta: Komisi Kepolsian Nasional, 2002.
Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Jakarta: Cipta Manunggal, 1997.
Lamintang, P.A.F., Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
Bandung: Sinar Baru, 1989.
Makarin, Ednom., Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Manheim, Herman., Comperative Criminology, Boston, New York, 1985.
25

Mansyur, Ridwan., Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),
Jakarta: Yayasan Gema Yustisia, Indonesia, 2008.
Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Masyhar, Ali., Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah Kritik atas Kebijakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung:
Refika Aditama, 2007.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1983.
Mugopal, Undang., Hukum Untuk Manusia, Kado (Tak) Istimewa dari Fakultas Hukum UNISBA
untuk Indonesia, Jakarta: Pilar Utama Mandiri, 2012.
Muhammad, N.A. Noor., Ifdhal Kasim (Editor), Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa
Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam,
2001.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998.
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Universitas Diponogoro, 1996.
Mulyadi, Mahmud., Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy
Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.
Nurcholis, Hanif., Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta:
Grasindo, 2005.
Permana, Is. Heru., Politik Kriminal, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2007.
Poerwadarminta, WJS., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Pohan, Agustinus., dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012.
Projodikoro, Wirjono., Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama,
2003.
Purnomo, Bambang., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Puspa, Yan Pramadya., Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 1977.
Rahardjo, Satjipto., Hukum dan Perilaku, Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik, Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2009.
----------------------., Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Sadjijono, H., dan Bagus Teguh Santoso, Hukum Kepolisian Di Indonesia Studi Kekuasaan dan
Rekonstruksi Fungsi Polri dalam Fungsi Pemerintahan, Surabaya: LaksBang PRESSindo,
2017.
Sahetapy, JE., Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung: Alumni, 1979.
Sahetapy, JE., dan B. Mardjono Reksodiputro, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, Bandung:
Alumni, 1990.
Salam, Faisal., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Pustaka, 2004.
Santoso, Muhari Agus., Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, 2002.
Sholehudin, Umar., Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, Malang:
Setara, 2011.
Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Siregar, Bismar., Hukum Acara Pidana, Jakarta: Penerbit Binacipta, 1983.
Sjahrir, Ekonomi Politik Deregulasi, Prisma, 1988.
Soeharto, Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Soekanto, Soerjono., Hartono Widodo dan Chalimah Sutanto, Penanggulangan Pencurian
Kendaraan Bermotor Suatu Tinjauan Kriminologi, Jakarta: Aksara, 1988.
Soekanto, Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
-----------------------., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Soemardipraja, A., Himpunan Putusan Mahkamah Agung Disertai Kaidah-Kaidahnya, Bandung:
Remaja Karya, 1977.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1994.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Alumni, 1983.
---------., Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.
Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Tresna, Azas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: UNPAD, 1959.
Winarno, Budi., Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta: MedPress, 2007.
Zed, Mestika., Metode Penelitian Kepustakaan, Ed. Ke-2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Januari 2008.

B. Karya Ilmiah
26

Arief, B. Nawawi., “Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam Penyelesaian Sengketa/Masalah


Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan,” Law Reform Vol. 2 No. 1, Apr. 2006.
Artasasmita, Romli., “Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional”, Makalah
disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18
Juli 2003.
Frederica, Regina., “Analisis Yuridis Tindakan Tegas Kepolisian Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Polda Lampung)”, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2019.
Istiono, Nur., dkk., “Upaya Satuan Narkoba Polrestabes Medan Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Narkotika Melalui Aplikasi (Polisi Kita)”, USU Law Journal Vol. 7 No. 3, Juni
2019.
MD, Mahfud., “Penuangan Pancasila di Dalam Peraturan Perundang-Undangan”, Makalah untuk
Seminar Nasional “Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Ilmu Hukum dan
Perundang-Undangan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM
dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya Pancasila di Yogyakarta, 30-31 Mei 2007.
Mogonta, Dennis A.C., “Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Tindakan Tembak di Tempat oleh
Aparat Hukum (Polisi)”, Jurnal Lex Et Societatis Vol. VI No. 10, Desember (2018).
Ngafifi, M., “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia Dalam Perspektif Sosial Budaya, Jurnal
Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi Vol. 2 No. 1, 2014.
Said, Abbas., “Tolok Ukur Penilaian Penggunaan Diskresi oleh Polisi Dalam Penegakan Hukum
Pidana”, Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 1 No. 1, Maret 2012.
Salem, Agus., “Penggunaan Tindakan Tembak di Tempat Terhadap Pelaku Terorisme oleh Densus
88 Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah”, Unes Law Review No. 1 Issue 2,
Desember (2018).
Tombokan, Mardiono Marco., “Implementasi Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
tentang Penggunaan Senjata Api Terhadap kasus Penembakan Yang Menyebabkan
Kematian”, Jurnal Lex Crimen Vol. VII No. 7, September (2018).
Utomo, Setyo., “Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justice”,
makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “Politik
Perumusan Ancaman Pidana Dalam Undang-Undang di Luar KUHP”, diselenggarakan
oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), Departemen Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010.

C. Media Massa & Internet


Anonymous, “Kejahatan Korporasi Dalam Diskusi Bersama Prof. Koesparmono Irsan”,
https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/01/13/kejahatan-korporasi-dalam-diskusi-
bersama-prof-koesparmono-irsan/., diakses pada hari Selasa, tanggal 19 Mei 2020.
Anonymous, “Trik Menghindari Pencurian dan Perampokan Sepeda Motor”,
http://motor.otomotifnet.com/read/2013/12/02/345839/63/14/Trik-Menghindari-
Pencurian-dan-Perampokan-Sepeda-Motor., diakses pada hari Sabtu, tanggal 01 Januari
2020.
Harian Kompas, “Kejahatan di Medan Sangat Meresahkan Hingga Senpi Rakitan”, diterbitkan pada
hari Senin, tanggal 22 Juli 2019.
Harian Kompas, “Perampokan Bersenjata Api di Toko Emas Suranta Medan Terkait Teroris?”,
diterbitkan pada 14 September 2013.
Harian Orbit, “Perampok Swalayan Diduga Sama”, diterbitkan pada 15 Maret 2014.
Harian Tribun, “Besok Sidang Perdana Perampokan CIMB Niaga Medan”, diterbitkan Senin, 28
Maret 2011.
Heriani, Fitri Novia., “Begini Hukum Penggunaan Senjata Api di Indonesia: Penyalahgunaan
Senjata Api Dapat Kena Sanksi Berupa Pencabutan Izin Kepemilikan Senjata Api Hingga
Ancaman Pidana”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d0785d86cc9f/begini-
hukum-penggunaan-senjata-api-di-indonesia/., diakses Selasa, 19 Mei 2020.
Majalah Tempo, “Pegadaian Dirampok, Perhiasan Rp. 1 Miliar Ludes”, diterbitkan Jum’at, 9 Maret
2012.
Mulyadi, Lilik., “Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M:
Sebuah Kajian Deskriptif Analitis”, hlm. 5.,
http://badilum.info/upload_file/img/article/doc/
kajian_deskriptif_analitis_teori_hukum_pembangunan.pdf., diakses Sabtu, 12 Juli 2014.
Satria, Riri., “Polisi dan Kebijakan Negara”,
http://www.polresklungkung.org/index.php/pengetahuan/kepolisian., diakses pada 01
April 2014.
27

D. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana atau lazim disebut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Pertahanan RI No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan dan
Pengendalian Senjata Api Standar Militer di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan
Dan Tentara Nasional Indonesia.
Peraturan Kapolri No. 82 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamanan Pengawasan
dan Pengendalian Senjata Api Non-Organik TNI/Polri.
Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.
Peraturan Kapolri No. 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian
Daerah.
Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Untuk
Kepentingan Olahraga.
Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri No. 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional
Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana.
Pembukaan Keputusan Kapolri No. Pol. KEP/32/VII/2003, tertanggal 01 Juli 2003.

You might also like