You are on page 1of 61

Profiling dengan Social Emotional Learning (SEL)

siswa usia 2-6 Tahun di Pra-K dan TK Lazuardi Global


Compassionate School (GCS) dan Taman Pendidikan
Qur'an (TPQ) Nurul Karimah

Tsauroh Arrisalati, S.Psi


Guru Pendamping Khusus
Sekolah Dasar (SD) Lazuardi Global Compassionate (GCS) School

Lazuardi Global Compassionate School: Griya Cinere


I Jl. Garuda Ujung No.35, Cinere, Kec. Limo, Kota
Depok, Jawa Barat 16515

Email: tsauroh@lazuardi.sch.id
sarislamudin@gmail.com

Abstrak: Profiling is an approach to help recognize grouping things or individuals


into categories or groups based on characteristics such as situation, appearance,
traits. Student profiles are important in ability mapping because they record very
specific information about students—profiles are basically created to record
information about students or so that students can know each other's experiences and
notes. Thus, student profiles are used to collect relevant information about students'
activities, and to identify their behavior patterns. This research uses quantitative
methods with questionnaire data collection techniques and qualitative methods with
interview data collection techniques. Data collection techniques using the
questionnaire method to characterize each student's style, and have the potential to
provide accurate student identification. The data collection technique uses the
interview method to dig deeper into identifying the results of filling in the
questionnaire and exploring the development of information in the classroom. As a
result, the questionnaire technique is for detecting development because it can
identify students according to the development threshold. The contribution of this
research is identifying the behavior or physical abilities that appear in children
during their growth and development to identify students' abilities in social emotional
learning. This can enable early detection of behavioral needs or abilities that are not
appropriate to the social and emotional development of students aged 2 to 6 years.
The development of an emotional regulation scale instrument can be used to detect
students' level of emotional regulation, as well as produce a standard and reliable
instrument for measuring emotional regulation. Research and development (R&D)
with 3D design is an approach to research.

Kata kunci: Profil siswa, Pembelajaran Sosial Emosi, Usia 2-6 tahun

Abstrak: Membuat profil adalah sebuah pendekatan untuk membantu mengenali


mengelompokkan sesuatu atau individu ke dalam kategori atau kelompok
berdasarkan karakteristik seperti situasi, penampilan, ciri-ciri. Profil siswa penting
dalam pemetaan kemampuan karena karena merekam informasi yang sangat spesifik
tentang siswa-profil pada dasarnya dibuat untuk merekam informasi tentang siswa
atau agar siswa dapat diketahui pengalaman dan catatan satu sama lain. Dengan
demikian, profil siswa digunakan untuk mengumpulkan informasi yang relevan
tentang aktivitas siswa, dan untuk mengidentifikasi pola perilaku mereka. Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik pengumpulan data kuesioner dan
metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara. Teknik pengumpulan
data dengan metode kuesioner untuk mengkarakterisasi setiap gaya siswa, dan
berpotensi memberikan identifikasi siswa yang akurat. Teknik pengumpulan data
dengan metode wawancara untuk menggali lebih dalam tentang identifikasi hasil
isian kuesioner dan menggali perkembangan informasi di dalam kelas. Hasilnya,
Teknik kuesioner untuk deteksi perkembangan karena dapat mengidentifikasi siswa
sesuai dengan ambang batas perkembangan. Kontribusi dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi perilaku atau kemampuan fisik yang nampak pada anak-anak di
masa pertumbuhan dan perkembangannya untuk mengidentifikasi kemampuan siswa
dalam pembelajaran sosial emosi. Hal ini dapat memungkinkan deteksi dini
kebutuhan perilaku atau kemampuan yang belum sesuai dengan perkembangan sosial
emosi siswa pada usia 2 sampai 6 tahun. Pengembangan instrumen skala regulasi
emosi dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat regulasi emosi peserta didik, serta
menghasilkan instrumen yang standar dan dapat diandalkan dalam pengukuran
regulasi emosi. Research and development (R&D) dengan desain 3D merupakan
pendekatan dalam penelitian.

Keywords: Student profile, Social Emotional Learning, Ages 2-6 years

1. PENDAHULUAN

Anak dalam usia rentang 0-6 disebut-sebut sebagai usia yang sangat kritis karena
merupakan usia emas dalam perkembangannya. Maka oleh karena itu, hendaknya anak difasiltasi
semua kebutuhan terutama dalam pendidikan dan pengasuhannya agar menjadi modal dan fondasi
dasar dalam proses perkembangannya di masa yang akan datang.
Pendidikan tidak hanya tentang akademik, tetapi juga tentang perkembangan pribadi dan
sosial siswa. Pembelajaran sosial dan emosional (PSE) adalah komponen penting dari pendidikan
yang sering diabaikan, meskipun memiliki dampak besar pada perkembangan anak. Mengapa PSE
semakin mendesak untuk kita terapkan dan praktikkan? Kita tentu memahami serta menyadari
pentingnya perkembangan murid secara holistik bukan hanya intelektual, tetapi juga fisik,
emosional, sosial, dan karakter. (Kaseger, 2023)
PSE adalah proses belajar yang berkaitan dengan pemahaman diri, empati terhadap orang
lain, serta kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif. Ini mencakup aspek-aspek
seperti keterampilan sosial, regulasi emosi, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan.
Mengapa ini penting? Meningkatkan Kemampuan Berinteraksi Sosial PSE membantu siswa
mengembangkan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Ini penting dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Siswa yang
memiliki keterampilan sosial yang baik cenderung lebih sukses dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam karier dan hubungan pribadi. (Kaseger, 2023)
Meningkatkan Kemampuan Empati Kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan
orang lain adalah komponen penting dari PSE. Ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih
inklusif dan mendukung dalam sekolah. Siswa yang mampu bersikap empati akan lebih mungkin
untuk menjalin hubungan yang positif dengan teman-teman mereka. (Kaseger, 2023)
Mengurangi Konflik Melalui pembelajaran regulasi emosi dan pemecahan masalah, PSE
membantu siswa mengatasi konflik dengan cara yang konstruktif. Ini penting dalam mencegah
bullying dan tindakan negatif lainnya yang dapat merusak lingkungan sekolah. PSE juga berperan
dalam meningkatkan kesejahteraan mental siswa. Dengan pemahaman diri yang baik dan
kemampuan mengelola emosi, siswa akan lebih tahan terhadap stres dan tekanan mental. Ini juga
dapat membantu mencegah masalah kesehatan mental di masa depan. (Kaseger, 2023)
Mempersiapkan siswa di dunia nyata, kemampuan sosial dan emosional adalah aset yang
berharga. Dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, orang perlu bekerja sama dengan orang lain,
menyelesaikan konflik, dan beradaptasi dengan berbagai situasi. Pembelajaran PSE membantu
siswa mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan ini. Di sinilah letak urgensi PSE untuk
mendorong tumbuh kembang murid secara holistik. Pembelajaran yang mampu menciptakan
pengalaman belajar bagi murid untuk menumbuhkan dan melatih lima Kompetensi Sosial dan
Emosional (KSE), yaitu: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi,
dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. (Kaseger, 2023)
Sebagai Pendidik, Guru harus dapat mengeksplorasi PSE melalui empat indikator yaitu,
pengajaran eksplisit seperti kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, integrasi dalam praktek
mengajar guru dan kurikulum akademik dengan menyusun konten pembelajaran, strategi
pembelajaran maupun produk pembelajaran, penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah berdasar
keyakinan kelas berdasar nilai-nilai kebajikan, serta penguatan Keterampilan Sosial Emosional
(KSE) pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) melalui keteladanan, proses belajar, dan kolaborasi
dengan seluruh komunitas sekolah. (Kaseger, 2023)
Strategi Menerapkan Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) tidak hanya penting tetapi
juga dapat diajarkan secara efektif. Berikut beberapa strategi untuk mengintegrasikan PSE dalam
lingkungan pendidikan: Kurikulum PSE: Sekolah dapat menyusun kurikulum yang mencakup mata
pelajaran atau kegiatan yang fokus pada pengembangan PSE serta menciptakan lingkungan belajar
yang tepat serta terkoordinasi melalui Kelas, Sekolah, Keluarga dan Komunitasnya. Guru dan staf
sekolah dapat memberikan contoh positif dalam interaksi sosial dan cara mengelola emosi.
(Kaseger, 2023)
Pelatihan Guru: Guru dapat menerima pelatihan dalam mengajar PSE sehingga mereka
dapat membimbing siswa dengan efektif. Dalam bersikap terhadap diri sendiri, dan orang lain serta
lingkungannya dengan membangun kesejahteraan atau Well Being. (Kaseger, 2023)
Praktik Berbasis Kasus: Menggunakan kasus nyata dan peran dalam pembelajaran
membantu siswa memahami bagaimana menerapkan PSE dalam situasi sehari-hari. Kemampuan
untuk memahami perasaan, emosi, dan nilai-nilai diri sendiri dan bagaimana pengaruhnya pada
perilaku diri dalam berbagai situasi dalam lingkungan sekitar. Memanajemen diri dengan
kemampuan untuk mengelola emosi pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi
dan untuk mencapai tujuan aspirasi. Kesadaran sosial dengan kemampuan untuk memahami sudut
pandang dan dapat berempati dengan orang lain termasuk mereka yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda. Keterampilan berelasi dengan kemampuan untuk membangun dan
mempertahankan hubungan yang sehat dan suportif. Pengambilan keputusan yang bertanggung
jawab untuk mengambil pilihan-pilihan berdasarkan kepedulian, kapasitas dalam
mempertimbangkan standar-standar etis, rasa aman, mengevaluasi manfaat, konsekuensi dari
bermacam-macam Tindakan, perilaku untuk kesejahteraan psikologis di masyarakat serta
kelompok. (Kaseger, 2023)
Pembelajaran sosial dan emosional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan
yang holistik. Ini memiliki dampak besar pada perkembangan siswa, membantu mereka menjadi
individu yang lebih baik dalam hal keterampilan sosial, regulasi emosi, dan empati. Pendidikan
yang sukses tidak hanya menghasilkan akademisi yang cerdas, tetapi juga individu yang kuat secara
emosional dan sosial, siap untuk menghadapi tantangan di dunia nyata. Oleh karena itu, penting
untuk memberikan perhatian yang layak pada PSE dalam sistem pendidikan kita di mulai dari
dalam kelas disetiap mata pelajaran. (Kaseger, 2023)
Guru harus Dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan melaksanakan Pembelajaran
Sosial emosional baik secara eksplisit maupun secara terintegrasi dalam perangkat pembelajaran
atau modul, dalam hal ini guru benar benar mempersiapkan Pembelajaran Sosial emosional.
Sekolah mempersiapkan lingkungan pembelajaran bagi siswa yang didasarkan atas keyakinan
bersama dengan bersumber pada nilai-nilai kebajikan universal yang positif. Dengan demikian
diharapkan siswa mendapatkan pendidikan dengan pengalaman yang baik dalam mempersiapkan
mereka untuk melakukan aktivitas selanjutnya di sekolah dan masyarakat dengan mental yang kuat
yang memiliki kesadaran akan kemampuannya. (Kaseger, 2023)
Prastiti (dalam Choirunissa & Ediati, 2020) mengemukakan bahwa keterampilan dalam
pengelolaan emosi yang dipunyai oleh seseorang dapat membantu dalam mengendalikan emosi
negatif yang membuat terhindari dari perilaku menyimpang. Terdapat empat aspek yang diperlukan
dalam mengetahui kemampuan regulasi yang dimiliki oleh individu menurut Gross (2014),
diantaranya: 1) Strategies to emotion regulation (strategies), 2) Engaging in goal directed behavior
(goals) merupakan kemampuan seseorang untuk tetap berpikir dan berbuat positif tanpa
terpengaruh emosi negatif yang sedang dialaminya. 3) Control emotional responses (impulse)
merupakan keahlian seseorang guna menahan dan mengarahkan bagaimana perasaan dan
bagaimana mereka menunjukkan respon emosi (intonasi, tindakan dan fisiologis), yang
memungkinkan individu untuk menampilkan respon yang tepat dari emosinya tanpa merasa terlalu
emosional. 4) Acceptance of emotional response (acceptance) yaitu keterampilan individu guna
memperkenankan fenomena yang memicu negatifnya emosi individu tersebut serta berani
menerimanya.
Penelitian yang dilakukan Nansi dan Utami (2016:27) menunjukkan bahwa emosi memiliki
peran yang kuat secara tidak langsung pada diri manusia dalam berperilaku khususnya bagi
pelajar. Biasanya individu tidak berpikir dengan jernih dan tidak jarang melakukan tindakan yang
negatif diluar kesadarannya ketika mengalami emosi negatif. Rendahnya regulasi emosi juga
dapat mempengaruhi kedisiplinan, hal ini karena regulasi emosi membantu individu untuk
mengelola emosinya dalam berperilaku dan bertindak khususnya saat berada di lingkungan
sekolah. Disiplin dalam berperilaku dan mentaati tata tertib sekolah merupakan salah satu
indikator tercapainya tujuan pendidikan.
Profiling adalah cara untuk mengelompokkan sesuatu atau individu ke dalam kategori atau
kelompok berdasarkan karakteristik seperti situasi, penampilan, ciri-ciri (N.P. Dau, Rau & J.
Templeton 2000). Istilah profiling berarti mendapatkan informasi tentang aktivitas siswa, dan
memungkinkan untuk melakukan deteksi anomali pada profil siswa untuk memungkinkan
identifikasi siswa. Penelitian ini berencana untuk menyelidiki karakteristik siswa secara
psikometrik sehingga dapat mengidentifikasi siswa.
Bukan perkara mudah membentuk peserta didik seperti apa yang diharapkan. Fungsi dan
operasi antar-jejaring sosial diperlukan untuk beberapa aktivitas seperti membuat profil dan
mengidentifikasi perilaku siswa (Raad, Chbeir & Dipanda 2010). Profil siswa digunakan untuk
mengumpulkan informasi lebih dalam.
Jurnal ini akan berfokus pada evaluasi potensi profil regulasi sosial emosi individu. Untuk
mengevaluasi profil regulasi sosial emosi individu, penelitian ini akan menggunakan metode
pengumpulan data instrumen dan wawancara. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi siswa
dengan dua cara, identifikasi kemampuan siswa dalam hal positif dan identifikasi dalam hal siswa
negatif.
Temuan Penelitian Annika Rademacher, Naska Goagoses, Sören Schmidt, Jelena Zumbach
& Ute Koglin (2021): Transisi yang sukses dari prasekolah ke sekolah dasar sekolah memerlukan
adaptasi perilaku tingkat tinggi. Tujuan dari kami Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
faktor-faktor terkait anak di prasekolah yang memfasilitasi adaptasi perilaku positif dalam masa
transisi ke sekolah dasar. Analisis cluster dilakukan dengan data dari 406 anak prasekolah, di
untuk mengidentifikasi profil berdasarkan keterampilan pengaturan diri, kompetensi
sosial-emosional, dan masalah perilaku eksternalisasi. Menggunakan struktural pemodelan
persamaan, kami kemudian menguji model regresi untuk menguji yang mana profil prasekolah
cukup berhasil menyesuaikan perilaku mereka untuk sekolah dasar. Pengelompokan profil
menunjukkan bahwa terjadi masalah perilaku ketika keterampilan pengaturan diri rendah,
meskipun ada kompetensi sosial-emosional (sedang). Selain itu, rendahnya tingkat keterampilan
pengaturan diri di prasekolah memperkirakan kesulitan dalam adaptasi perilaku di sekolah,
terutama mengenai hiperaktif, bahkan ketika anak-anak memiliki tingkat hiperaktif sedang
kompetensi sosial-emosional. Praktek atau Kebijakan: Yang paling penting adalah hasil
memperkuat relevansi peningkatan keterampilan pengaturan diri sejak dini untuk mendukung
anak dalam proses adaptasi perilakunya pada masa transisi periode dari prasekolah hingga sekolah
dasar.
Penelitian ini memperluas fokus penelitian dari makalah teoritis Ellen Beate Hansen
Sandseter, Rasmus Kleppe and Leif Edward Ottesen Kennair (2023) untuk mengeksplorasi tiga
tingkat biopsikososial dari permainan berisiko anak-anak: (1) kesehatan mental dan regulasi
emosi, (2) fungsi sosial dan norma-norma yang menantang, dan (3) kesehatan dan perkembangan
fisik. Fokus Sandseter dan Kennair dalam artikel asli mereka pada tahun 2011 tentang evolusi
fungsi permainan berisiko sebagai mekanisme anti-fobia, dan mempertimbangkan jenis risiko lain
selain risiko fisik dan jenis permainan lainnya, termasuk jenis regulasi emosional lainnya daripada
pengurangan kecemasan. Termotivasi oleh emosi mendebarkan yang terlibat dalam permainan
berisiko, seseorang menjadi matang dalam kompetensi dan menguasai lingkungan psikososial
yang baru dan lebih kompleks. Bermain dengan risiko emosional, sosial, dan fisik mungkin telah
berkembang untuk meningkatkan kompetensi psikososial anak saat ini, tetapi juga melatih mereka
untuk konteks orang dewasa di masa depan. Kami merekomendasikan penelitian di masa depan
untuk mempertimbangkan bagaimana permainan berisiko dalam semua konteks mungkin
memiliki fungsi serupa.
Penelitian ini akan berfokus pada profiling pembelajaran sosial emosi siswa dalam usia 2
sampai 6 tahun dan akan mempertimbangkan apakah kematangan sosial emosi siswa yang
berbeda dapat dinilai dengan profiling untuk mengidentifikasi siswa. Kematangan sosial emosi
siswa berupa perubahan suasana hati yang cepat (keadaan emosional sulit diantisipasi karena
ananda bergerak cepat dari suasana hati positif ke negatif dan sebaliknya), menanggapi secara
positif pendekatan ramah dari orang dewasa, berpindah dengan baik dari satu aktivitas ke aktivitas
yang lainnya (tidak merasa cemas, marah, tertekan, atau terlalu bersemangat ketika berpindah dari
satu aktivitas ke aktivitas lainnya), pulih dengan cepat saat merasa kesal atau kesusahan (contoh,
tidak cemberut atau tetap cemberut, cemas atau sedih setelah mengalami kejadian yang
menyusahkan secara emosional), mudah frustasi, merespon secara positif pendekatan dari teman
sebaya, memiliki amarah yang mudah meledak/ Ananda sangat mudah marah, menunda kepuasan
(menunggu untuk mendapatkan hal yang baik), merasa senang dalam kesulitan orang lain (misal
tertawa saat orang lain dihukum atau terluka, senang menggoda orang lain), mengatur rasa
gembira (misal tidak terlalu terbawa suasana dalam suatu situasi seperti terlalu bersemangat saat
memenangkan perlombaan maupun dalam situasi yang kurang pantas), cengeng atau lengket
dengan orang dewasa, memiliki energi yang meledak-ledak atau memiliki kegembiraan berlebihan
yang mengganggu, merespon aturan dari orang tua dengan amarah, dapat mengatakan kapan ia
merasa sedih, marah atau kesal, takut maupun cemas/khawatir, tampak sedih atau lesu, merasa
sangat gembira saat melibatkan orang lain dalam permainannya, memperlihatkan afek yang datar
(tidak ekspresif atau ekspresi kosong), merespon secara negatif pendekatan dari teman sebaya
(contoh berbicara dengan suara marah atau merespon dengan takut), impulsif, berempati terhadap
orang lain (seperti sedih atau khawatir saat teman terluka), terlihat gembira saat mengganggu
orang lain atau terlihat gembira pada sesuatu yang dianggap orang lain mengganggu,
memperlihatkan emosi negatif yang sesuai (marah, takut, frustasi, atau kesulitan) dari tindakan
teman sebaya yang mengganggu, memusuhi, atau agresif, menampilkan emosi negatif ketika
mencoba melibatkan orang lain dalam permainan Penelitian ini akan melakukan analisis yang
sama pada data dari profiling sosial emosi siswa tersebut, dengan menggunakan analisis data
kuesioner dan wawancara.
Penelitian ini menganalisis dua bentuk data yang berbeda dengan dua cara, pertama untuk
memeriksa apakah dapat mendeteksi apakah siswa saat ini sesuai dengan kuesioner profil sosial
emosi siswa. Cara kedua adalah mendeteksi bagaimana keadaan sosial emosi siswa di dalam
kelas. Kedua cara tersebut berguna untuk memberikan gambaran mendetail tentang keadaan
sosial emosi siswa
Dalam penelitian ini, akan menganalisis aktivitas mereka setelah masuk kelas dan akan
memberikan informasi yang berkorelasi kuat dengan profil siswa dan mengonfirmasi identitas
mereka, atau tidak sesuai dengan profil sosial emosi siswa.
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Q1: Bagaimana profiling
sosial emosi siswa usia 2 sampai 6 tahun? Q2: Apakah profiling memberikan gambaran mendetail
tentang sosial emosi siswa? Q3: Bagaimana gambaran profiling sosial emosi siswa di kelas?
Penelitian ini akan memberikan kontribusi pengetahuan sebagai berikut: (a) Mengusulkan
dan menilai kegunaan dari profiling sosial emosi siswa dengan kuesioner (b) Membedakan antara
identifikasi positif dan negatif, dan menunjukkan apakah perbedaan ini praktis berpengaruh
dengan pembelajaran di kelas.
2. Tinjauan Pustaka

2.1. Perkembangan Sosial Emosional


2.1.1. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun
Di era sekarang ini anak usia dini disebut dengan generasi Z (Putri et al., 2022), karena
kehidupan anak dipengaruhi oleh berbagai teknologi pada usia dini (Fujiawati et al., 2020).
Sedangkan anak dalam rentang usia 0-6 tahun termasuk dalam kategori kelompok anak
prasekolah. Program prasekolah atau kindergarten merupakan program yang kerap kali diikuti
oleh anak usia dini. Selanjutnya, program penitipan atau disebut juga dengan kelompok bermain
(play group) yang umumnya diikuti oleh anak-anak usia dini. Latipah berpendapat bahwa usia
dini merupakan mereka yang berada dalam lingkaran usia 0-6 tahun (Latipah et al., 2020).
Sedangkan dalam pandangan Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini menyebutkan bahwa usia
dini yaitu mereka yang mengenyam pendidikan sejak usia dini ataupun yang tidak, dan memiliki
usia dari 0 sampai dengan 6 tahun (Widodo, 2020). Hal yang senada juga disebutkan dalam UUD
No. 20 Sisdiknas yang mengatakan bahwa usaha pembinaan dilakukan kepada anak usia dini
sejak lahir (Novrinda et al., 2017), hingga usia 6 tahun dengan cara pemberian stimulus
pendidikan untuk menunjang perkembangannya secara jasmani maupun rohani, Hal ini dilakukan
agar seseorang lebih siap dalam menempuh pendidikan yang lebih lanjut.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya anak dalam usia 0-6 tahun
termasuk dalam kategori usia dini. Hal ini ditegaskan dalam UUD No. 23 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas pasal 28 ayat 1 yang mengatakan bahwa sebelum pendidikan dasar, terlebih dahulu
diselenggarakan pendidikan anak usia dini, dan usia untuk memulai pendidikan dasar yaitu tujuh
tahun (Wathoni, 2020). Perubahan yang terjadi pada anak usia dini terjadi pada masa usia
sebelumnya. Pada fase anak dalam usia dini, sering disebut sebagai masa-masa keemasan atau
Golden Age. Pada periode keemasan atau Golden Age, anak memiliki beberapa aspek yang
mungkin dikembangkan yaitu aspek sosial emosional. Sosial dan emosional merupakan dua
terminologi yang tidak memiliki arti yang sama, namun satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Merriam-Webster menyatakan bahwasanya emosi adalah:
“A conscious mental reaction (such as anger or fear) subjectively experienced as strong
feeling usually directed toward a specific object and typically accompanied by physiological and
behavior changes in the body” (Hjort & Laver, 1997).
“Both the biological and the discursive of social act view allow that emotions can be both
inherited and learned, though the biologically oriented students of emotion tend to play little
attention to the huge cultural variations in the repertoires and occasioned uses of emotion displays
observed by anthropologists” (Hjort & Laver, 1997).
Cabanac mendefinisikan emosi sebagai pengalaman mental dengan intensitas tinggi dan
hedonis tinggi konten (kesenangan atau ketidaksenangan). Sumber lain berpendapat: “Emotional
is difficult to define but always consists of feelings, behavior, physiological change and cognitions
and always occurs in a particular context which influences it. Its major function is to give
information to the individual about their interaction with the world” (Silalahi et al., 2020).
Beberapa argumentasi yang dibangun oleh para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa emosi adalah reaksi mental sehingga menyebabkan adanya sebuah perubahan perilaku yang
dapat diamati oleh seseorang. Hal yang paling nyata bagi perkembangan emosi anak adalah ketika
ia mampu mengenal dirinya serta perasaannya sendiri. Sementara sosial emosional memiliki
jangkauan yang lebih luas, artinya bahwa anak bukan hanya mampu mengetahui tentang dirinya
sendiri, melainkan ia telah mampu bersosialisasi bersama teman sebaya, menciptakan hubungan
yang baik dengan orang dilingkungannya, serta memahami keadaan perasaan orang lain (Goleman
et al., 2007).
Jika anak telah mampu untuk melaksanakan apa yang menjadi ciri-ciri sosial emosional,
maka tentu anak telah memiliki perkembangan serta kematangan sosial emosional yang baik.
Untuk memahami sejauh mana perkembangan sosial emosional anak. Dalam memahami
perkembangan sosial emosional anak usia 0-6 tahun, dapat dilihat dari seorang anak sejak usia
bayi, dan akan berkembang pesat saat anak berusia balita. Ketika mengamati anak, maka dapat
diamati dengan cara-cara bagaimana seorang anak memahami dirinya seperti siapakah dirinya
(Rofi’ah & Fatonah, 2021), bagaimana cara anak berhubungan dengan orang-orang yang ada
disekelilingnya, maka apa harapan dari hubungan anak tersebut, selanjutnya apakah terjadi
hubungan timbal balik kah dalam hubungan tersebut, bagaimana cara anak menjaga pertemanan,
dan bagaimana cara anak menghadapi hal-hal atau orang lain yang tidak disenanginya.
Senyum sosial seorang anak yang berusia dua bulan, yaitu ketika anak usia dua bulan
tersebut membalas dengan senyuman ketika dipanggil namanya. Senyum bayi di usia dua bulan ini
merupakan tanda pertama bagaimana seorang anak usia dua bulan bisa berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Oleh karenanya, disebut dengan senyum sosial. Pada usia-usia selanjutnya, anak
akan tertawa terkekeh-kekeh apabila melihat situasi yang ada disekitarnya yang menarik.
Misalnya, anak akan tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat sekumpulan burung dara yang setiap
kali turun mengambil makanan lalu terbang kembali. Serta ketika anak melihat orangtuanya
memegang bola lalu melempar bola tersebut ke arah dinding dan kembali memantul. Selanjutnya
pada usia yang lebih besar anak bisa menunjukkan rasa marah, senang, sedih, maupun takut.
Semakin bertambahnya usia seorang anak, maka lingkungan yang dilihat oleh anak akan semakin
luas. Anak akan semakin pandai mengemukakan rasa empati maupun antisipasinya terhadap
sesuatu dalam bentuk ekspresi wajah, kata-kata, kalimat, bentuk tulisan, maupun karya-karya
seperti film dan musik. Dengan kata lain, semakin bertambahnya usia anak dapat dilihat
bagaimana karakter yang ada pada diri seorang anak, yaitu karakter anak yang lembut terhadap
orang lain, anak yang kaku ataupun anak yang keras terhadap orang lain.
Dari deskripsi di atas, secara keseluruhan dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
kemampuan anak dalam mengelola emosi yang positif dan baik dalam membangun komunikasi
dengan dengan lingkungannya. Artinya dalam interaksi sosialnya, anak dapat mengelola emosinya
dengan positif, sehingga menciptakan rasa aman dan nyaman kepada teman-temannya. Jika hal di
atas telah tercapai, menjadi bukti bahwa anak telah berhasil dalam mengelola sosial emosional
yang dimilikinya. Perkembangan sosial yang baik dari seorang anak dapat dimulai dari lingkungan
keluarga atau rumah, selanjutnya di sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Perkembangan sosial
emosional anak yang positif akan menciptakan suasana belajar yang kondusif dan mendukung
lingkungan belajar, dan akan menyebabkan pengaruh yang positif seperti semangat dan motivasi
belajar. Secara umum, jika anak sudah masuk sekolah, anak sudah mampu mengembangkan
kompetensinya berketerampilan sosial. Seringkali tuntutan sekolah mengharapkan anak untuk
dapat merawat dan menjaga hubungannya dengan kawan-kawannya di sekolah. Anak-anak tidak
marah dan berkelahi, sehingga anak dapat mencapai pribadi yang diharapkan, ia bersikap baik
terhadap teman-temannya maupun dengan gurunya. Selain itu juga, ia mampu menunjukkan rasa
bahagia, serta mau mentaati apa yang disampaikan oleh guru. Maksudnya, seorang anak dapat
diterima dengan baik dalam hubungan pertemanan. Misalnya anak tidak menyendiri, mau
berteman, membantu teman, dan bekerjasama. Oleh karena itu, menciptakan hubungan yang
harmonis, baik itu dengan teman sekelasnya terlebih dengan dewan guru, demi tercapainya sebuah
proses pembelajaran yang maksimal, maka dibutuhkan perkembangan sosial emosional yang
matang untuk anak.

2.1.2. Karakteristik Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun


Salah satu aspek yang harus menjadi perhatian khusus kepada anak yaitu sosial emosional
anak, karena tahapan perkembangan yang dilalui oleh seorang anak akan sangat berpengaruh
bahkan menjadi salah satu sebab dari kesuksesannya di masa yang akan datang. Perkembangan
sosial dan emosional merupakan suatu kemahiran dalam memahami, mengatur, serta menunjukkan
dimensi sosial dan emosional di dalam kehidupan diri seseorang, yang memungkinkan
mengelolaan kehidupan sebagaimana tugas belajar di sekolah, membangun relasi, menyelesaikan
berbagai masalah sehari-hari (Elias, 1997).
Walaupun sosial dan emosional tidak sama, artinya memiliki perbedaan dari segi makna,
tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Kedua kata ini memiliki keterkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, Siswanto berpendapat bahwasanya antara sosial dan
emosional bagi perkembangan anak usia dini tidak dapat diceraikan, karena salah satu aspek
penting dalam perkembangan anak (Siswanto, 2020). Dalam bahasa yang lain, ketika kita
membincangkan persoalan sosial, maka hal itu melibatkan emosi (Damanhuri et al., 2022).
Demikian juga sebaliknya, ketika membahas perkembangan emosi, maka aspek sosial anak
harus dilibatkan. Antara sosial dan emosi menyatu dalam ruang jiwa anak yang utuh. Maka oleh
karena itu, para orang tua terlebih tenaga pendidik PAUD harus mengetahui ciri-ciri dari
perkembangan dari anak, agar dapat menyesuaikan dengan proses pembelajaran. Tabel di bawah
ini akan menjelaskan rangkain tahapan proses perkembangan sosial emosional anak usia dini
dalam rentang usia 0-6 tahun berikut ini:

Tabel 1. Tahapan Proses Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini


USIA SOSIAL EMOSIONAL 0-1 Tahun ➢ Tidak berdaya ➢ Asosial ➢ Dibantu orang
lain ketika makan ➢ Memberikan perhatian dan senyuman kepada orang yang dikenalnya. ➢
Masih lebih banyak tegang ➢ Adanya senyum diwajah ➢ Mengenal rasa kurang nyaman ➢
Lebih suka dipeluk dan dimanja ➢ Terbangun berserakan emosional yang khas dengan ibunya
USIA SOSIAL EMOSIONAL ➢ Senang diayun ➢ Ibunya dikenal ➢ Mengetahui orang
asing dengan orang yang dikenalnya ➢ Akan tersenyum jika mengetahui maksud ➢ Selalu
berharap untuk di mandikan, dipakaikan pakaian, serta diberikan makanan ➢ Suka permainan
cilukba ➢ Merespon jika namanya dipanggil ➢ Melambaikan tangan ➢ Paham kata “tidak” ➢
Memberi dan menerima sesuatu ➢ Menangis jika dijauhkan dengan ibunya ➢ Muncul rasa marah
➢ Muncul rasa cinta ➢ Takut pada orang yang tak dikenal ➢ Timbul rasa ingin tahu ➢ Mencoba
untuk menjelajahi lingkungan sekitar 2 Tahun ➢ Bermain sendiri (soliter) ➢ Sangat bergantung
pada pengawasan orang yang lebih dewasa ➢ Boneka adalah teman bermain ➢ Jika dipanggil, ia
akan menampilkan dirinya ➢ Secara sosial belum matang ➢ Sudah bisa melakukan apa yang
diperintahnya ➢ Sangat memfokuskan pada dirinya sendiri ➢ Mulai mengerti tentang siapa
dirinya dan barang-barang miliknya ➢ Berperilaku kurang baik ➢ Kerap kali frustasi ➢
Kemampuan memilih belum dimilikinya ➢ Senang dipeluk dan dibelai ➢ Sulit untuk berubah ➢
Sudah mulai mandiri ➢ Rensponsif kepada candaan dan gangguan, dari pada aturan dan
penjelasan 3 Tahun ➢ Bermain berdampingan ➢ Menikamati situasi bersama orang lain ➢
Bersikap tertib ➢ Mampu mengetahui jenis kelaminnya ➢ Lebih menikmati permainan beregu
yang sebentar, dan tidak membutuhkan keterampilan khusus ➢ Responsif terhadap nasehat yang
berbentuk verbal ➢ Lebih suka ditenangkan ➢ Berperilaku memble dan santai ➢ Perubahan
ditanggapi lebih tenang ➢ Keadaannya lebih tenang ➢ Merasa memiliki terhadap barang yang
tinggi. ➢ Suka menjelajah ➢ Mulai menghayati musik 4 Tahun ➢ Bermain kerjasama ➢ Merasa
nikmat jika ditemani anak yang lain ➢ Suka berperilaku sosial ➢ Mampu memainkan permainan
yang tidak rumit ➢ Banyak bicara ➢ Terampil ➢ Percaya terhadap diri sendiri ➢ Bertindak
diluar kewajaran ➢ Kerap kali kurang baik ➢ Terkadang suka menentang ➢ Suka mengetes diri
sendiri ➢ Ingin diberi kebebasan

USIA SOSIAL EMOSIONAL 5 Tahun ➢ Bekerjasama dalam permainan tingkat tinggi


➢ Memiliki sahabat karib ➢ Sangat teratur ➢ Permainan meja yang menggunakan sistem giliran
sangat dinikmatinya ➢ Masuk ke sekolah ➢ Merasa puas terhadap kepemilikannya ➢ Memiliki
motivasi yang tinggi terhadap suatu tanggung jawab ➢ Memiliki kepercayaan tinggi ➢ Konsisten
➢ Mampu beradaptasi dengan baik ➢ Suka berasosiasi bersama ibu ➢ Dapat mengerjakan suatu
tugas tertentu ➢ Kritis terhadap diri sendiri ➢ Menikmati tanggung jawab ➢ Senang bermain
dan mengikuti aturan 6 Tahun ➢ Bermain bersama selama dua menit dengan satu atau dua anak
➢ Suka bermain meja dua atau tiga permainan seperti Halma, Ular Tangga, dll) ➢ Menyukai
permainan dengan aturan yang simpel. ➢ Sekurangnya selama 20 menit bekerja kelompok ➢
Humoris, serta sering mengulang ulang cerita ➢ Mampu membedakan antara sekolah dan rumah
➢ “bu guru bilangnya…” adalah kalimat yang kerap kali digunakan ➢ Mampu bermain sendiri
dengan permainannya ➢ Mulai menirukan karakter apa yang dilihat di TV ➢ Merawat
persahabatan dengan 1 atau 2 teman seumurannya ➢ Ia akan merasa gagal dan putus asa jika tidak
meminta tolong pada orang lain ➢ Bekerja secara mandiri ➢ Prestasinya mulai dibandingkan
dengan orang lain ➢ Merespon secara penuh hati terhadap sesuatu di sekelilingnya, dan
memberikan perhatian khusus kepada makhluk hidup segala bentuk gejala alam

2.1.3. Permasalahan Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun


Beberapa permasalahan yang sering kali dihadapi oleh anak usia dini dalam pandangan
Nugraha (Mashar, 2015) yaitu:

1) Maladjustment Maladjustment merupakan tipe individu yang menyesuaikan dirinya


dengan keburukan. Anak anak yang dianggap maladjustment secara sosial didefinisikan federal
sebagai gangguan emosi yang serius (Sujarwanto & Rofiah, 2014).
Prasangka pada anak yang berasal dari emotional maladjustment biasanya muncul dari
pendidikan, budaya pengasuhan dan disiplin yang keras dan represif (Baidhawy, 2005). Ada
beberapa karakteristik yang menandakan bahwa anak dalam bermasalah yaitu:
• Mengekspresikan kekhawatiran dan kecemasan yang tinggi, jarang menunjukkan senyum
dan bercanda, serta terlihat depresi
• Sering mengambil benda-benda kecil walaupun sering mendapatkan hukuman
• Lebih banyak terbuai dengan khayalan
• Suka berkelahi dengan anak kecil (di mana tempat dia merasa berkuasa)
• Selalu merasa tidak mendapatkan keadilan (lebih sering dihukum dari pada anak yang
lain)
• Terlalu khawatir dengan penampilan dirinya, serta sulit untuk meninggalkan perbuatan
yang salah, kendatipun telah terkena marah dan hukuman
• Perlawanan pada setiap bentuk otoritas, suka berbohong, serta terlalu lama mengambil
keputusan • Terus menerus mengompol
• Selalu menciptakan kerusakan
• Bertingkah konyol untuk mencari perhatian orang
• Keras kepala jika ditegur, bahkan mencari kambing hitam
• Mengadu adalah cara mendapatkan perhatian orang yang lebih dewasa. Untuk mencegah
terjadinya maladjustment kepada anak, maka tindakan dasar yang perlu dilakukan adalah dengan
berusaha memperkenalkan dirinya serta lebih membangkitkan kepercayaan terhadap kemampuan
yang dimilikinya. Hal di atas akan dapat tercapai jika lingkungan mendukung, artinya bahwa
usaha akan berhasil jika didukung oleh lingkungan yang realistik begitu juga sebaliknya.

2) Egosentrisme Egosentrisme adalah keterbatasan berpikir dari seorang anak yang melihat
dunianya hanya dari perspektifnya sendiri dan mengalami kesulitan dalam memahami perspektif
lain (Chandrawaty et al., 2020). Orang yang egosentris akan lebih mengutamakan kepentingan
dirinya daripada kepentingan orang lain. Pembicaraan, cara berpikir, serta segala tindakannya akan
di arahkan ke dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan dirinya. Secara umum anak-anak
lebih banyak tenggelam dalam perilaku egosentrisme, baik itu cara berpikir dan berbicara. Sifat ini
akan mendatangkan kerugian bagi dirinya, terlebih dalam kehidupan sosial, karena begitu anak
masuk ke dalam dunia sekolah, maka sikap egosentrisme perlahan-lahan akan berkurang. Sikap
egosentrisme dipengaruhi oleh beberapa faktor (Jahja, 2011) yaitu:
• Merasa Superior Jika anak telah merasa superior, maka sikap egosentrisme akan semakin
tinggi dan berharap berlebihan, seperti orang-orang akan menunggu, bertepuk tangan Az-Zahra:
Journal of Gender and Family Studies Vol.3 No.1, 2022: 41-66 50 dari 66 Ulya Ainur Rofi’ah et
al. / Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun dan Stimulasinya Menurut Teori Perkembangan
terhadap karyanya, serta akan dijadikan pemimpin. Sibuk menyanjung dirinya sendiri,
menganggap dirinya paling berkuasa, tidak peduli pada orang lain, serta anti terhadap kerja
kelompok.
• Egosentris karena merasa inferior Egosenstrisme juga kerap kali muncul akibat dari
seorang individu yang merasa dirinya tidak punya harga diri dalam suatu komunitas, sehingga
permasalahan akan ditanggungnya sendiri. Tipe anak yang seperti ini, sering kali menjadi bahan
suruhan temannay, dan sangat cepat untuk dipengaruhi. Dalam kelompoknya, anak ini selalu
merasa dirinya kurang andil, sehingga sering kurang mendapatkan perhatian. Tetapi bukan berarti
dibenci oleh temannya.
• Egosentrisme akibat merasa menjadi korban Merasa diperlakukan tidak adil,
mengakibatkan anak akan bersikap ramah kepada semua orang. Sikap ini membuat mereka tidak
punya andil dalam komunitasnya, sehingga sering diabaikan oleh kelompoknya, dan bahkan akan
ditolak oleh kelompoknya jika ia menunjukkan sikap marah yang berkepanjangan.

3) Anak yang Terisolasi Anak yang terisolasi merupakan anak yang terkekang dalam
lingkungannya, serta bermasalah dalam kehidupan sosial. Hal ini disebabkan karena
teman-temannya tidak menyukai perilakunya. Ataupun anak itu sendiri yang tidak ingin
melakukan interaksi sosial, dan membangun relasi dengan teman-temannya. Untuk menemukan
masalah yang dihadapi dalam penerimaan sosial, serta menjawab siapakah anak yang paling
disukainya atau tidak dapat dilakukan dengan sosiometri. Sehingga guru akan lebih mudah
menemukan permasalahannya serta cara membimbingnya. Adapun Hurlock mengidentifikasi
kategori penerimaan anak dalam lingkungan sosialnya sebagai berikut (Susanto, 2018):
• Star, merupakan anak-anak yang diterima dalam lingkungan temannya sehingga menjadi
terkenal.
• Accepted, adalah anak-anak yang cukup dapat, sehingga menjadi cukup populer dalam
lingkungan teman-temannya.
• Climber, adalah anak-anak yang diterima dalam lingkungan karena mengikuti pola dan
aturan maupun kelompok tersebut. Maka anak yang termasuk dalam kelompok ini merasa takut
jika tidak taat akan kehilangan teman sebaya
• Fringer (pinggiran), adalah anak yang hampir sama dengan kategori sebelumnya, tetapi
anak ini memiliki ketakutan yang tinggi karena tidak diterima
• Ineglettee, anak-anak yang ditolak dalam lingkungannya karena sifatnya yang pemalu,
atau melakukan tindakan yang negatif
• Isolate, anak-anak yang termasuk dalam kategori ini bisa disebut sebagai anak introvert
karena selalu merasa takut bergaul dan tidak memiliki motivasi untuk melebur dengan lingkungan
teman sebayanya, bahkan tidak tertarik dan menarik bagi kelompoknya.

4) Agresif Permasalahan selanjutnya yang sering dihadapi oleh anak yaitu agresif. Agresif
adalah sebuah tindakan serangan balik yang diberikan kepada anak, baik itu berbentuk fisik,
maupun verbal serta menebar ancaman karena disebabkan oleh timbulnya rasa permusuhan.
Perbuatan ini sering muncul karena akibat dari reaksi dari sikap frustasi, seperti dilarang untuk
melakukan pekerjaan. Terkadang perbuatan ini muncul karena adanya sifat agresif yang ada pada
dirinya, sehingga semakin kuat. Namun beberapa keluarga, walaupun tidak semua kerap kali
agresif mendapatkan apresiasi dari keluarga. Bahkan tanpa kita sadari, anak sering mengambil
contoh dari orang tua. Beberapa kebiasaan agresif yang muncul dari anak seperti menyerang,
temper tantrum, merusak, juga marah dengan bahasa yang agak kasar.

5) Negativisme Selanjutnya disebut dengan istilah negativisme yaitu perlawanan yang


diberikan oleh anak kepada tekanan yang datang dari orang lain yang menuntutnya untuk
berperilaku tertentu. Biasanya perbuatan ini akan muncul ketika anak dalam usia 2 tahun, dan
puncaknya terjadi pada usia 3-6 tahun. Secara fisik, anak akan menunjukkan kemarahan yang akan
meledak, tetapi secara bertahap anak akan mulai untuk menolak secara lisan, dan pada akhirnya
akan mentaati perintah. Keadaan ini sering disebut dengan masa “berkata tidak” karena setiap
permintaan, anak akan memberikan jawaban dengan kata “tidak”. Jika kita sebagai orang dewasa
tidak dapat memahami masa atau keadaan ini, maka akan menjadi masalah yang besar. Keadaan
ini akan berakibat fatal, jika orang yang dewasa menanggapi hal ini dengan tindakan pemaksaan,
kemudian perbuatan yang dapat membuat anak malu, ataupun memberikan peringatan dengan
bahasa-bahasa yang kasar dan bernada celaan, sehingga justru membuat suasana menjadi keruh.

6) Pertengkaran Perbuatan ini merupakan sebuah perdebatan pendapat yang dibangun atas
dasar kemarahan. Biasanya pertengkaran timbul karena anak melakukan penyerangan tanpa
didasari oleh alasan yang jelas.

7) Mengejek dan Menggertak Disebut mengejek karena perbuatan ini menggunakan lisan
sebagai alat utama, hal ini berbeda dengan menggertak yang menggunakan fisik. Dua tindakan ini
cara seseorang untuk meluapkan dendamnya, sehingga membuat korban merasa tersiksa.

8) Perilaku seperti berkuasa Perbuatan ini merupakan sebuah naluri seseorang untuk
menguasai orang lain, atau dengan bahasa yang lebih kasar ingin menjadi bos. Tindakan ini dalam
lingkungan sosial sangat tidak diterima.

9) Prasangka Mengenai prasangka Hurlock menjelaskan bahwa sikap ini terbentuk ketika
masa kanak-kanak (Rose & Mustafa, 2018). Prasangka timbul karena adanya perbedaan baik itu
berupa sikap maupun penampilan, sehingga perbedaan mereka memandang dirinya rendah.
Dengan demikian, prasangka muncul karena anak tidak pernah berfikir positif dalam setiap
fenomena yang dialaminya.

2.1.3. Faktor Penyebab Terbentuknya Perilaku Sosial Bermasalah


Perilaku sosial yang bermasalah memiliki hubungan yang erat ketika anak melakukan
adaptasi sosial sejak usia dini. Baumrid mengidentifikasi beberapa faktor penyebab munculnya
perilaku sosial bermasalah yaitu (Setiawan, 2018):
1) Sikap Orang Tua yang Overprotected Sikap overprotected yang ditekankan oleh orang
tua ternyata dapat menimbulkan perilaku antisosial pada anak, karena sikap orang tua yang
overprotected secara tidak langsung membuat ruang gerak anak menjadi terbatas, sehingga hal ini
membuat anak sulit untuk mengembangkan kecakapan sosialisasi bagi anak dengan
lingkungannya. Dalam proses interaksi anak dengan lingkungannya, telah banyak pengalaman
penting yang terlewatkan akibat dari sikap orang tua yang terlalu overprotected tidak sesuai pada
tempatnya. Selain itu, overprotected dapat membentuk anak menjadi egois, agresif, dan prilaku
apatis.
2) Sikap Orang Tua yang Pencela, Membandingkan, dan Mencemooh Anak Hubungan
yang kurang baik dengan orang tua sangat mempengaruhi anak dalam membentuk cara berfikir
dan bertindak dalam kehidupannya. Anak sejak dalam usia dini telah melakukan imitasi dengan
orangtuanya. Sehingga ketika melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk jangan disalahkan,
karena ia pun mencontoh orang tuanya yang melakukan perbuatan buruk kepadanya. Tindakan
membanding bandingkan, mencemooh, yang dilakukan oleh orang tua, serta menampilkan sikap
seolah-olah menolak kehadirannya, secara emosional hal itu sangat buruk dan telah menyakiti hati
anak.
3) Sempitnya Kesempatan Bergaul dengan Anak Lain Pergaulan anak yang luas dengan
teman dan lingkungannya, dalam arti tidak dikekang oleh orang tuanya dapat mempengaruhi
perkembangan sosial emosional pada anak. Lingkungan memberikan pengalaman sosial emosional
yang berharga bagi anak, baik itu pengalaman yang bersifat positif maupun negatif. Anak akan
menginternalisasikan dan mengelolanya dalam lingkungannya ini. Maka ketika anak tidak
memiliki banyak waktu untuk bergaul, maka secara tidak langsung ia telah kehilangan kesempatan
berharga untuk melakukan pembelajaran dari lingkungan terhadap perbuatannya dalam melakukan
adaptasi sosial.
4) Pola Asuh Otoriter Seringkali permasalahan sosial anak dipicu oleh pola asuh orang tua
yang otoriter. Anak yang pemberontak, tidak penurut, agresif, bersikap seperti berkuasa, dibentuk
oleh pola asuh otoriter yang diterapkan oleh para orang tua. Orang tua yang menerapkan disiplin
serta aturan yang tidak jelas kepada anak dapat menjadi fatal dalam mengasuh anak. Anak akan
tumbuh menjadi seseorang yang tidak taat, keinginannya selalu ingin tercapai, kurang menghargai
teman-temannya. Hal ini yang akan membuat anak ditolak oleh dalam kelompok sosialnya.
5) Lingkungan yang Buruk Salah satu hal yang sangat mempengaruhi anak adalah keadaan
lingkungan yang buruk. Seorang anak akan tetap mengambil contoh dalam lingkungan yang buruk
ini. Pada umumnya proses imitasi kepada lingkungan akan dilakukan oleh anak, baik itu
lingkungan yang baik maupun buruk tanpa melalui proses berpikir panjang. Anak akan mengambil
hal-hal yang positif dari lingkungan yang positif, begitu juga sebaliknya.

2.1.4. Penanganan Gangguan Perilaku Sosial


Pada Anak Bagong Suyanto memberikan tips untuk menangani anak yang dalam masalah
gangguan perilaku sosial yaitu sebagai berikut (Suyanto, 2016):
1) Memberikan anak untuk berinteraksi dengan anak-anak yang memiliki latar belakang
yang berbeda dan seusia dengannya. Jika anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
sendiri, maka ia tidak akan bisa belajar bergaul. Semakin banyak yang akan dipelajari oleh
seorang anak, jika lingkungan pergaulannya juga beragam, sehingga semakin banyak bekal untuk
mengemangkan keterampilannya dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.
2) Selain dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan baik, seorang anak juga harus mampu
untuk menyampaikan pembicaraan yang mudah dan menarik bagi orang lain.
3) Seorang anak harus mempunyai motivasi untuk bergaul. Motivasi akan timbul jika anak
memiliki kepuasan dari hasil interaksi sosialnya. Kesenangan, penerimaan, serta pengalaman yang
didapatkan akan memotivasi anak untuk lebih melebarkan pergaulan, memperkaya wawasan, serta
memperluas wilayah pergaulannya. Tetapi hal yang sebaliknya akan terjadi pada anak.
4) Melakukan bimbingan pada anak. Melalui bimbingan dan pengajaran dari orang-orang
yang dapat dijadikan sebagai model dalam bergaul merupakan jalan yang efektif untuk
membimbing anak.Bergaul bisa saja dilakukan dengan oleh anak melalui trial and error ataupun
mencontoh tindakan orang lain, tetapi tetap orang tua menjadi model yang utama bagi anak. 2.4.
Permasalahan Perkembangan Emosi Pada Anak Usia 0-6 Tahun Perkembangan anak akan banyak
menemukan permasalahan terkait dengan emosinya disekeliling kita. Problematika emosi yang
dihadapi anak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keluarga sebagai faktor utama.

2.1.5. Jenis Permasalahan Emosi pada Anak Usia 0-6 tahun


Penerimaan dan apresiasi terhadap dirinya adalah hal yang sangat fundamental yang harus
dibangun pada anak. Kasih sayang dari orang terdekat tentu dalam hal ini orang tua merupakan
perwujudan yang paling awal mengenai perasaan ini. Maka tidak dapat disalahkan jika emosi yang
sehat pada anak telah hilang dengan adanya perasaan ini. Terdapat beberapa jenis emosi pada anak
usia dini yang sering timbul diantaranya (Aan Zulyanto, 2017) : 1) Kekurangan Afeksi Kata afeksi
adalah sebuah istilah dari psikologis yang digunakan untuk menjabarkan suatu perasaan (K.
Chaniago, 2020). Kata ini merangkum beberapa perasaan seperti cinta dan kasih sayang,
kenyamanan, serta persahabatannya dengan orang lain. Setiap manusia membutuhkan afeksi baik
itu untuk memberi dan menerima.
Selanjutnya dampak negatif dari kekurangan afeksi adalah dapat berupa (Idrus, 2014):
• Munculnya kekecewaan psikologis yang biasanya berpengaruh terhadap kondisi fisik
• Kegelisahan yang terus menerus
• Mudah putus asa
• Pengkhayal
• Sering menggigit jari kuku
• Suka menyendiri
• Menyerah dihadapan orang lain untuk mengambil perhatian mereka.

Perkembangan sosial anak akan sangat sulit beradaptasi bahkan terganggu jika kurangnya
kasih sayang dari orang-orang terdekat, tetapi terlalu berlebihan dalam memberikan kasih sayang
juga kurang baik bagi anak. Anak akan kesulitan dalam melakukan penyesuaian jika lebih banyak
diberikan kasih sayang. Pemberian kasih sayang akan yang terlalu banyak akan menghambat anak
untuk menunjukkan eksistensinya pada orang lain. Adapun metode yang dapat dilakukan dalam
mengatasi kekurangan kasih sayang kepada anak, yaitu:
• Memperhatikan kebutuhan dan keinginan anak Perlu disadari bahwa anak-anak sering
kali mempunyai keinginan diluar kewajaran, tetapi penting bagi orang tua untuk memperhatikan
hal tersebut. Kebanyakan orang tua memberikan apa yang diinginkan oleh anak sebagai bentuk
perhatiannya, namun hal yang demikian kurang baik, tetapi orang tua harus mempertimbangkan
dan berdialog dengan anak agar ia tidak salah paham, sehingga anak juga tetap merasa
diperhatikan.
• Menyerahkan anak kepada pengasuh yang bisa memahaminya saat ibu bekerja atau
bepergian Menentukan pengasuh yang sesuai dengan keinginan anak tidak mudah bagi orang tua,
karena pengasuh yang sesungguhnya bagi anak adalah ibunya sendiri sebagaimana ditakdirkan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi ketika ibu berada diluar rumah, pengasuh begitu sangat
penting untuk mengganti posisi ibunya. Memilih pengasuh harus disepakati oleh kedua orang
tuanya. Memilih pengasuh anak lebih diutamakan orang yang memiliki akhlak, dan sopan santun
yang baik.
• Mengasuh dan mendidik anak dengan gembira Mengasuh anak merupakan pekerjaan
yang unik. Anak yang diasuh akan mengikuti pola pengasuhnya, seperti marah, kesal, maka anak
ketika besarnya nanti akan seperti itu. Hal yang sebaliknya juga akan terjadi, jika anak-anak
diasuh dengan penuh kasih sayang dan gembira, maka ia akan menjadi anak yang tumbuh seperti
itu. 2) Anxiety (Cemas) Merupakan perasaan khawatir dan takut tanpa alasan yang jelas yang
berlangsung dalam waktu yang lama. Perasaan takut yang berlebihan juga didukung oleh
kegelisahan dan praduga terhadap perbuatan buruk yang belum tentu akan terjadi seperti
bertabrakan, kematian dan segala macam yang buruk. Perasaan cemas pada anak biasanya akan
terjadi dalam rentang usia 3 tahun, dan bentuk bisa bermacam-macam seperti kehilangan kasih
sayang dari orang tua, merasakan sakit, berbeda dari kebanyakan orang, dan semua bentuk
peristiwa yang tidak menyenangkan. Perasaan cemas pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya:
• Inkonsistensi dari para orang tua dan guru. Sikap tidak konsisten yang ditunjukkan oleh
orang tua dan guru menyebabkan anak merasa bahwa kehidupan ini sesuatu yang menakutkan dan
tidak pasti.
• Tuntutan yang berlebihan orang tua kepada anak untuk berprestasi.
• Batasan dan aturan yang tidak jelas dari orang tua mengenai perbuatan yang boleh dan
tidak dilakukan oleh anak menyebabkan kecemasan pada anak, karena anak belum mampu
menciptakan batasan sendiri dalam perbuatannya.
• Terlalu berlebihan dalam memberikan kritik oleh mareka para orang tua maupun orang
lain.
• Orang tua tidak membiasakan anak untuk mengingatkan anak kewajibannya sejak dini.
• Perasaan bersalah. Hal ini terjadi karena anak selalu memikirkan hukuman yang akan
diberikan.
• Orang tua sebagai model. Anak akan lebih banyak belajar dari orang terdekat yaitu orang
tua, ketika dalam kehidupannya orang tua sering menunjukkan sikap cemas, maka hal itu akan
diikuti pula oleh anak.
• Frustasi yang berkepanjangan. Kecemasan dan kemarahan yang terjadi pada anak sering
disebabkan oleh sikap frustasi secara terus menerus. Selain itu, orang tua terlalu menargetkan anak
hal-hal yang terlalu tinggi, sehingga ketika tidak itu tidak tercapai akan membuat anak merasa
cemas. Kecemasan pada anak dapat di atasi oleh para guru dan orang tua dengan cara sebagai
berikut:
• Anak yang cemas butuh ketentraman, maka oleh karena itu orang tua maupun guru harus
lebih tenang ketika anak dalam keadaan menangis, bersedih, bandel, maupun panik.
• Mengalihkan fokus anak kepada hal-hal yang membuatnya senang, sehingga ia menjadi
lupa dengan pikiran-pikiran yang membuatnya merasa cemas.
• Menghindari desakan untuk meminta penjelasan dari anak. Karena hal itu bagian dari
perbuatan yang sulit dimengerti oleh anak. • Relaksasi bersama anak. Relaksasi dapat dilakukan
dengan menarik nafas sedalam mungkin, kemudian melepaskannya perlahan-lahan dibarengi
dengan kata “tenan” atau “semua akan baik-baik saja” setelah melakukan relaksasi bersama anak.
• Mengerjakan aktivitas yang membuat tenang ketika merasa cemas, seperti mendengarkan
lagu, menggambar, membaca dan lain sebagainya.
• Melalui cerita dan permainan, para orang tua maupun guru mulai membiasakannya untuk
mengekspresikan dirinya.
• Jika perasaan cemas terus menerus, orang tua atau guru dapat meminta bantuan ahli
untuk mengatasinya.

3) Hipersensitivitas Pada anak-anak kerap kali dijumpai anak yang memiliki emosional
yang sangat sensitif atau berlebihan. Anak yang dihinggapi gejala hipersensitivitas akan sangat
mudah untuk tersinggung, dan terlalu berlebihan menanggapi sikap orang lain. Anak yang
mengidap hipersensitivitas akan menunjukkan sikap kurang baik jika mendapatkan kritik,
komentar, dan penilaian (Waryono, 2017). Sikap tersebut timbul karena anak merasa dirinya tidak
selevel dengan orang lain seperti merasa rendah, tidak pandai, kurang menarik, atau jauh dari
kepopuleran sebagaimana anak-anak yang lain. Jika hal ini terjadi, orang tua dapat mengambil
langkah-langkah sebagai berikut (Ndari et al., 2018):
• Para orang tua hendaknya tidak terlalu bersikap overprotective kepada anak, disamping
itu orang tua hendaknya selalu membuka diri terhadap lingkungan sosial yang dihuni oleh ragam
manusia dengan latar belakang yang berbeda.
• Orang tua sudah mulai memperkenalkan anak tentang kritik sedikit demi sedikit. Tetapi
juga para guru dan orang tua harus menghindari kritik yang bernada meremehkan dan
merendahkannya, namun memberikan kritik yang sifatnya membangun.
• Tenaga pendidik dan orang tua sebaiknya memperkenalkan anak dalam proposional.
Disamping harus menyadari adanya sisi positif darinya, tetapi juga tidak melupakan dimensi
negatifnya.
• Disamping itu, anak sejak dini mungkin sudah mulai diajarkan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. 4) Fobia Kata Fobia berasal dari Yunani yaitu phobos yang
mempunyai makna “ketakutan”. Fobia merupakan suatu ketakutan yang tidak normal dan juga
tidak beralasan terhadap suatu objek atau pada situasi tersentu. Sebenarnya fobia merupakan
sesuatu hal yang wajar, dan berbeda dengan penyakit (Andri Hakim, 2010). Jadi, tidak terdapat
suatu bahaya nyata yang mengancamnya. Fobia adalah gangguan psikologis yang harus ditangani,
terutama apabila telah sampai pada level kehidupan sehari-hari. Fobia merupakan gabungan dari
aspek emosi dan perbuatan. Seorang anak yang menderita gejala fobia akan merasa sangat takut
jika berhadapan dengan orang asing, lalu gerogi, kemudian mengasingkan diri ke dalam kamar,
atau mengekspresikan ketakutan yang berlebihan.

Adapun cara yang ditawarkan oleh para ahli konseling dan psikolog sangat efektif untuk
digunakan diantaranya adalah sebagai berikut:
• Terapi perilaku kognitif (CBT) Menurut Prof. DR. dr. A. Samik Wahab terapi
perilaku-kognitif merupakan intervensi lain yang diperkenalkan baru-baru ini untuk menangani
gangguan kepanikan (Wahab, 2000). Terapi perilaku ini merupakan salah satu jenis psikoterapi
yang dalam penerapannya dengan melakukan kombinasi antara terapi perilaku dan terapi kognitif.
Metode terapi ini sangat membantu para penderita fobia untuk keluar dari penderitanya, serta
merubah cara melihat orang lain dari perspektif yang berbeda, dari cara melihat yang membuatnya
telah takut. Pada intinya tujuan terapi ini agar pasien dapat mengembalikan kepercayaan dirinya,
dan terhindar dari berpikir negatif tentang orang lain.
• Terapi pemaparan (desensitisasi) Terapi pemaparan (desensitisasi) sistematis untuk
mengekspos penderita kepanikan, secara bertahap dalam situasi yang paling menakutkan bagi
penderita fobia sambil membantu mempertahankan kontrol atas gejala fobia atau keunikan
tersebut (Sari, 2003). Penerapan terapi ini mencoba untuk mendekatkan anak pada objek yang
membuatnya takut secara bertahap, hal ini untuk meminimalisir rasa takut yang dirasakan oleh
anak atau pasien.

2.1.6. Faktor Penyebab Timbulnya Permasalahan Emosi


Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan emosi pada anak sebagaimana
diungkapkan oleh Reynold (Sutianah, 2019) yang mengatakan bahwa:
1) Kehidupan keluarga yang menunjukkan sikap kasar dalam menghadapi berbagai
masalah yang dihadapinya, seperti memukul, mengumpat, dan lainnya.
2) Merasa ditolak kehadirannya oleh orang tua baik secara fisik dan psikis. Anak yang
dalam posisi ini, hatinya sering bergejolak seperti ini.
3) Kematangan untuk melakukan pengasuhan oleh orang dewasa kendati secara umur
belum termasuk dewasa.
4) Keadaan keluarga yang tidak baik (broken home) akibat perceraian,, ataupun yatim
piatu sehingga sejak kecil tidak merasakan belaian kasih sayang dari orang-orang tersayang.
5) Diawali oleh orang tua yang tidak pernah merasakan kasih sayang sejak mereka kecil,
sehingga mereka pun sangat minim dalam memberikan cinta dan kasih kepada anaknya.
6) Merasa sudah tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua, akibat dari rasa cemburu
karena telah memiliki adik, sehingga perhatian orang tua terfokus kepada adiknya.
7) Kehidupan yang baru, sehingga memaksanya untuk menghadapi kondisi yang baru,
karena pasangan yang menemaninya belum cocok.
8) Gangguan dari orang lain seperti gertakan, bentakan dan lainnya. Anak yang memiliki
kecacatan pada fisik, ataupun kelainan akan menimbulkan gangguan emosional jika tidak di atasi
secara cepat.

2.1.7. Stimulasi Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun


Anak dalam usia dini, merupakan usia yang sangat mempengaruhi perkembangan
emosional sosial anak, karena anak hidup mengikuti lingkungan kedua orang tuanya ataupun
keluarganya di lingkungan masyarakat. Perlu adanya stimulasi agar perkembangan pada aspek
sosial emosional anak nantinya dapat mempengaruhi aspek perkembangan lainnya. Terdapat lima
macam stimulus untuk menunjang keterampilan sosial emosional anak yang dimulai sejak dini.
Sehingga diharapkan anak mempunyai karakteristik tingkat kematangan perkembangan sosial
emosional yang baik, kelima aspek tersebut yaitu (Tiel, 2019):
1) Perkembangan Self-Awareness (Kesadaran Akan Diri Sendiri) Perkembangan anak pada
aspek ini adalah kemampuan untuk mengetahui dirinya sendiri. Perkembangan pada aspek ini oleh
para ahli telah dibuktikan oleh salah seorang psikolog bernama Daniel Stern pada tahun 1985.
Stern membuat sebuah uji coba kepada bayi-bayi dan mengamatinya kapan bayi itu mampu
mengenal dirinya sendiri. Percobaan dilakukan dengan menggunakan cermin yang diperlihatkan
pada bayi-bayi itu dan diamati apakah bayi mengenal dirinya sendiri melalui cermin. Dari
percobaan tersebut tampak bayi-bayi yang berusia 18 bulan sudah bisa mengenal dirinya melalui
cermin. Berangkat dari ini, kemudian bayi-bayi ini, mengalami kemajuan, sehingga ia sudah mulai
mengenal kata “aku”, serta orang-orang disekelilingnya. Ia telah mampu memberikan antara diri
dan orang disekitarnya, dan menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari lingkungan itu.
2) Self-concept dan Self-esteem (Konsep Diri dan Harga Diri) Dari mengenal diri sendiri,
maka berkembanglah apa yang dinamakan dengan self concept atau konsep diri. Ini merupakan
sebuah pandangan anak itu sendiri terkait dengan dirinya, perasaan, serta tingkah lakunya.
Perkembangan pada tahapan ini sangat berperan penting dalam mengelola dirinya menjadi
individu yang percaya diri, serta membangun motivasi dirinya. Self-concept secara garis besar
memiliki banyak cabang, satu diantaranya yaitu self-esteem yaitu menjaga rasa harga diri.
Self-esteem memiliki hubungan yang erat dengan konsep diri sendiri, karena self-esteem berbicara
tentang karakteristik fisik, kejiwaan, suku, etnis, dan identitas diri. Selain itu juga dipengaruhi oleh
norma-norma yang berlaku dalam budaya setempat.
3) Empati Empati merupakan ciri dari kepribadian yang memungkinkan seseorang untuk
mengidentifikasi dengan berbagai situasi lain, pikiran, ataupun dengan kondisi dengan
menempatkan diri sendiri dalam situasi orang lain (Prihanti, 2015). Empati akan melahirkan belas
kasih terhadap orang lain. Empati datang dari dalam diri sendiri, tidak dipaksa oleh kehendak
orang lain. Masing-masing orang memiliki sikap empati yang berbeda-beda, karena sikap empati
dipengaruhi oleh keturunan, perkembangan neurobiologis, pola asuh, dan lingkungan tempat
tinggal. Sikap empati sangat penting bagi kehidupan sosial, karena dapat menjadi sumber motivasi
untuk membantu orang lain. Perkembangan empati anak dimulai sejak anak berusia 18 bulan.
Tetapi beberapa kelompok yang bermasalah dengan perkembangan empatinya, yaitu golongan
orang orang penyandang autisme dan juga kelompok psikopat, sehingga mengakibatkan
terkendala dalam melakukan sosialisasi. Dalam perkembangannya, terdapat dua macam empati
yaitu emosional empati dan kognitif empati. Anak yang dalam usia dini, akan mengalami
perkembangan empati yang pertama, karena ia telah mampu merasakan apa yang anak-anak pada
usianya rasakan. Sedangkan empati yang kedua dialami dalam rentang usia 4-5 tahun, pada saat
itu anak-anak sudah mencoba untuk berfikir, sehingga mengalami perkembangan menjadi kognitif
empati. Selanjutnya secara nonverbal, usaha yang dapat dilakukan untuk mengkomunikasikan
empati adalah sebagai berikut (Harahap & Putra, 2019): • Terlibat aktif untuk mengekspresikan
berbagai gerak yang dilakukan oleh orang tua. • Memfokuskan konsentrasi anak pada kontak
mata, bentuk fisik, serta kedekatan secara fisik. • Penuhi cinta dan kasih sayang anak sebagaimana
mestinya.
4) Pengelolaan Emosi Pengelolaan emosi merupakan pemahaman seseorang anak tentang
akibat dari perbuatannya terhadap emosinya sendiri ataupun dengan orang lain dan bagaimana
cara mengatur emosinya menjadi positif (Tridhonanto & Agency, 2009).
Emosi memegang peranan yang penting dalam kaitannya penyesuaian diri karena akan
mempengaruhi anak-anak ketika mereka disaat dewasa nanti. Perkembangan anak usia dini,
bersamaan dengan emosi yang masif, seperti keadaan sedih, marah, dan khawatir. Anak dalam
kondisi tertentu akan menunjukkan perasaan seperti tertawa, menangis, temper tantrum dan
mengamuk, atau ketakutan. Tetapi anak-anak belum mengerti nama dari emosinya itu. Tetapi
ekspresi dari emosinya sering kali berubah begitu cepat. Dari yang awalnya bersedih, lalu berubah
sekejap menjadi tertawa gembira. Bahkan tiba-tiba menangis, atau marah-marah yang tidak jelas
karena masalah yang dihadapinya tidak mengertinya. Para psikolog memberikan tips agar para
orang tua mengajarkan nama-nama emosi ini, dan mulai memperkenalkan perasaan-perasaan yang
biasa terjadi, serta cara-cara menyelesaikan masalah. Pengenalan keterampilan emosi ini, dapat
mendukung perkembangan emosi anak yang baik, hal itu ditandai oleh beberapa karakter (Mashar,
2015) yaitu:
• Mampu mengatur amarah dengan baik, serta mentoleransi sikap frustasi
• Anak tepat dalam menyatakan amarahnya
• Anak mampu mengendalikan tindakan agresif yang nantinya berdampak terhadap
kerusakan diri sendiri maupun orang yang ada disekitarnya
• Mempunyai perasaan yang positif, baik di lingkungan sekolah, dan keluarga
• Mampu mengendalikan stres yang dialaminya
• Dalam lingkungan pergaulan, anak dapat menghilangkan perasaan sepi dan stres.

5) Keterampilan Bersosialisasi Keterampilan bersosialisasi perlu dimiliki oleh setiap anak


usia dini, karena menjadi persyaratan mutlak dalam suksesnya pergaulan dan pendidikan anak,
serta dalam dunia kerja ditentukan oleh kecakapannya dalam bersosialisasi. Dale Carnegie
merupakan salah satu tokoh yang terkenal dalam pengembangan keterampilan bersosialisasi
(Amstrong, 2002).
Pembawaan (genetik) dan cara orang tua mengasuh anak menjadi faktor yang sangat
menentukan keterampilan ini. Selama anak tidak memiliki permasalahan dalam
perkembangannya, maka kecakapannya dalam bersosialisasi dapat dikembangkan sendiri melalui
pola asuh orang tua. Berikut ini berbagai dasar kemampuan keterampilan sosial emosional yang
dapat dikembangkan ketika anak dalam usia dini:
• Kemampuan berkomunikasi, berupa kemampuan berkomunikasi timbal balik dan
mempunyai kontak mata saat berkomunikasi.
• Kooperatif, dimana anak mampu mengikuti petunjuk dan peraturan.
• Asertif, minta bantuan ketika mengalami kesulitan, atau menanyakan hal-hal yang dirasa
tidak adil.
• Tanggung jawab, tanggung jawab terhadap barang-barang teman, dan bertanggung jawab
akan perbuatannya.
• Empati, merupakan kemampuan untuk merasakan penderitaan dan memaafkan orang
lain.
• Kelekatan, mampu membangun pertemanan dengan mudah, dan mampu mengundang
teman untuk ikut bergabung.
• Kompromi, dapat melakukan kompromi dan tetap tenang jika diganggu atau diejek.
• Toleransi, toleransi perlu dikenalkan dan dikembangkan sejak dini karena diperlukan
untuk kehidupan sosialnya.

Dengan diterapkannya kelima aspek pembelajaran keterampilan sosial emosional pada


anak sejak sedini mungkin, membuka harapan anak untuk mampu mengerti bukan hanya
perasaannya, tetapi juga orang lain, untuk menciptakan ruang-ruang pertemanan, pergaulan dan
saling memberi. Artinya bahwa anak telah mampu mengembangkan kemampuan sosial emosional
serta memiliki sosial emosional yang sangat baik. (Rofi’ah, 2022)
Pembelajaran sosial dan emosional (SEL) adalah proses perkembangan berbasis kekuatan
yang dimulai sejak lahir dan berkembang sepanjang masa hidup (Weissberg et al., 2015). Ini
adalah proses di mana anak-anak, remaja, dan orang dewasa mempelajari keterampilan untuk
mendukung perkembangan dan hubungan yang sehat.
Berikut cara penerapan diferensiasi dalam konteks SEL:
1. Memahami Beragam Kebutuhan Sosial dan Emosional
2. Strategi Pembelajaran yang Bervariasi
3. Penetapan Tujuan Individual
4. Kegiatan Belajar Fleksibel
5. Dukungan dan Intervensi yang Disesuaikan
6. Penilaian dan Umpan Balik
7. Kolaborasi dan Komunikasi

Dengan memasukkan strategi diferensiasi ke dalam praktik SEL, pendidik dapat


menciptakan lingkungan pembelajaran inklusif yang memenuhi kebutuhan sosial dan emosional
unik setiap siswa, meningkatkan kesejahteraan mereka secara keseluruhan, dan mendorong
pengalaman sekolah yang positif. Strategi pembelajarannya yaitu: Menggunakan Permainan untuk
Mengajarkan Keterampilan Emosional Sosial, Permainan Papan Pemecahan Masalah Sosial,
Permainan Papan Empati, Strategi Mengatasi Masalah Gulung & Putar, Tantangan Fungsi
Eksekutif, Aktivitas pengendalian diri, Bayangan cermin, Gunakan adonan pemodelan, Baca buku
bergambar, Baca dengan suara keras, Berhenti dan think Berikan situasi kehidupan nyata,
pernapasan penuh perhatian, Berbagi cerita, Permainan peran, dan Latihan pemecahan masalah.

2.2. Perkembangan Emosi


Bagian ini akan membahas beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan beberapa
aspek inti dari jurnal ini. Tinjauan pustaka ini akan menyelidiki beberapa penelitian serupa yang
melibatkan analisis kuesioner FEAS dan literatur tambahan untuk mendukung penelitian. analisis
kuesioner FEAS adalah salah satu metode yang akan digunakan untuk proyek ini. Meninjau
beberapa makalah, yang menggunakan analisis kuesioner FEAS yang digunakan oleh greenspan,
menunjukkan bagaimana analisis kuesioner FEAS telah berhasil membuat profil perkembangan
sosial emosi siswa.
Perkembangan Emosi Campos (dalam Santrock 2007) mendefinisikan emosi sebagai
perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap
penting oleh individu tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan
atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang bentuk rasa senang, takut,
marah, dan sebagainya. Karakteristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang terjadi
pada orang dewasa, dimana karakteristik emosi pada anak itu antara lain;
(1) Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba;
(2) Terlihat lebih hebat atau kuat;
(3) Bersifat sementara atau dangkal;
(4) Lebih sering terjadi;
(5) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya, dan
(6) Reaksi mencerminkan individualitas.

Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, emosi positif maupun negatif. Santrock
mengungkapkan bahwa emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga pengalaman masa lalu.
Terutama ekspresi wajah dari emosi, disini dijelaskan bahwa emosi dasar seperti bahagia, terkejut,
marah, dan takut memiliki ekspresi wajah yang sama pada budaya yang berbeda. Emosi memiliki
peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia prasekolah maupun pada
tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh terhadap perilaku anak.
Woolfson menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional, seperti ingin dicintai, dihargai,
rasa aman, merasa kompeten dan mengoptimalkan kompetensinya.
Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan emosi. Pada usia
enam tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih kompleks, seperti kecemburuan,
kebanggaan, kesedihan dan kehilangan, tetapi anak-anak masih memiliki kesulitan di dalam
menafsirkan emosi orang lain. Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi,
yang mencakup kapasitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional, serta menjaga
perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan untuk dibimbing oleh
pengalaman emosional. Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan selama masa
prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya kemampuan anak dalam
mentoleransi frustasi.
Kemampuan untuk mentoleransi frustasi ini, yang merupakan upaya anak untuk
menghindari amarah dalam situasi frustasi yang membuat emosi tidak terkontrol dan perilaku
menjadi tidak terorganisir. Anak-anak tampak meningkat kemampuannya dalam mentoleransi
frustasi ketika diminta melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Mereka juga
mulai belajar bagaimana menegosiasikan konflik tersebut. Sedangkan Kemampuan untuk
menunjukkan kontrol diri terhadap emosi akan menjadi anugerah yang dilematis bagi anak apabila
anak tidak mampu menyesuaikan levelnya terhadap situasi tertentu.
Pada beberapa situasi anak diharapkan mampu menahan diri, tetapi pada situasi yang lain
anak-anak dapat berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang mereka inginkan. Intinya, anak pra
sekolah diharapkan mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan baik dan tanpa merugikan
orang lain, serta dapat pula mulai belajar melakukan regulasi emosi.
Santrock (2007) perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal ditandai dengan
munculnya emosi evaluatif yang disadari rasa bangga, malu, dan rasa bersalah, dimana kemunculan
emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan
norma sosial untuk menilai perilaku mereka. Berikut penjelasan dari tiga emosi tersebut:
1) Rasa bangga Perasaan ini akan muncul ketika anak merasakan senang setelah sukses
melakukan perilaku tertentu. Rasa bangga sering diasosiasikan dengan pencapaian suatu tujuan
tertentu.
2) Malu Perasaan ini muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi
standar atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi
atau menghilang dari situasi tersebut. Secara fisik anak akan terlihat menge-rut seolah-olah ingin
menghindar dari tatapan orang lain. Dan biasanya rasa malu lebih disebabkan oleh interpretasi
individu terhadap kejadian tertentu.
3) Rasa bersalah Rasa ini akan muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah
kegagalan.

Dan dalam mengekspresikan perasaan ini biasa anak terlihat seperti melakukan
gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka. Terdapat beberapa hal
penting dalam perkembangan emosional anak yang perlu difahami:
1) Usia berpengaruh pada perbedaan perkembangan emosi Setiap rentang usia menunjukkan
beberapa perbedaan yang paling mencolok dalam ekspresi dan regulasi emosi. Selama usia
prasekolah, anak juga mengalami stress dan meresponsnya, namun di usia ini mereka juga berusaha
untuk mengatur perasaan dan dorongan dirinya sendiri. Perbedaan kemampuan dalam
mengekspresikan dan meregulasi emosi pada anak ini juga terkait dengan perkembangan kognitif
anak, dimana perkembangan kognitif anak ini akan mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol
diri dan menghambat impuls.
2) Perubahan ekspresi wajah terhadap emosi Seperti halnya orang dewasa, ekspresi perasaan
anak-anak juga terlihat dari ekspresi wajahnya. Seiring dengan bertambahnya usia mereka,
anak-anak semakin mampu dalam mengekspresikan emosi mereka melalui tersenyum, mengerutkan
kening, dan ekspresi lainnya perasaan. Kemampuan menggambarkan ekspresi emosi mereka
semakin kompleks dan terlihat dari raut wajah mereka.
3) Menunjukkan emosi yang kompleks Anak-anak di usia prasekolah memperlihatkan
ekspresi wajah yang menunjukkan kebanggaan, malu-malu, malu, jijik, dan rasa bersalah yang tidak
terlihat pada bayi atau anak yang lebih muda. Ekspresi yang lebih kompleks dapat di tunjukkan dan
kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif untuk mereka mengalami dan
mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut.
4) Bahasa tubuh Ternyata wajah tidak cukup bagi anak untuk mengekspresikan emosi, anak
juga menggunakan seluruh tubuhnya untuk mengekspresikan perasaannya. Mereka
mengekspresikannya melalui gerak gerik dan bahasa tubuhnya.
5) Suara dan kata Anak-anak semakin baik dalam mengekspresikan perasaan mereka
melalui suara dan kata seiring bertambahnya usia. Mereka mulai memberi label yang sederhana
terhadap apa yang mereka rasakan kemudian berkembang menjadi pelabelan yang semakin
kompleks seiring dengan perasaan yang semakin kompleks yang mereka alami.
6) Representasi simbolik Sejak batita, balita, dan selanjutnya, anak-anak semakin baik
dalam menggunakan simbol, memainkan permainan, menggambar, dan memanipulasi material,
untuk mengkomunikasikan dan mengarahkan emosi.
7) Pengetahuan emosi Anak telah mulai mampu mengidentifikasi dan memberi nama
perasaan yang dialaminya dan orang lain, dimana kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk regulasi
emosi anak dalam berempati dan menunjukkan sikap pro sosial yang sesuai. Emosi anak
berkembang lebih awal dibanding dengan saat anak mulai mampu berpikir. Batita sudah mampu
memberi label pada emosinya yang sederhana, walaupun mereka membutuhkan waktu lebih lama
untuk melabel emosi yang lebih kompleks atau campuran dari beberapa emosi yang terjadi dalam
satu waktu. Perubahan dari batita ke masa prasekolah, anak berpikir bahwa orang akan merasa apa
yang mereka rasakan menjadi bahwa perasaan mereka sendiri mungkin berbeda dari orang lain.
Serta belajar kapan mereka perlu dan tidak perlu mengungkapkan perasaan mereka sesuai dengan
tuntutan sosial.
8) Perubahan usia dalam regulasi emosi Anak usia ini lebih dapat menyamar-kan atau
melebihkan emosi yang mereka rasakan dari reaksi yang biasanya mereka tampilkan di usia yang
lebih muda. Anak yang lebih tua lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan tidak
tertulis apa pun yang ada dalam budaya dan masyarakat mereka, tentang menunjukkan atau
menyembunyikan emosi
9) Respons pada perasaan lainnya Anak menikmati dalam menunjukkan emosi yang kuat,
dan tampaknya kegiatan ini menjadi salah satu cara mereka belajar tentang perasaan. Kemampuan
berempati juga semakin berkembang. Dan ekspresi emosi yang ditampilkan untuk satu keadaan
yang sama dapat saja berbeda dari setiap rentang usia, misalnya batita akan merasa takut saat
melihat anjing yang besar berlari kencang, namun anak yang lebih tua akan menunjukkan perasaan
tertarik.
10) Ikatan emosional dengan yang lain Ikatan emosional dengan orang lain mulai
berkembang, dan akan berkembang lebih cepat pada anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan
yang mendukung seperti banyak menghabiskan waktu bersama saudara kandung atau di tempat
pengasuhan atau penitipan yang banyak terdapat orang.
11) Tahap-tahap perkembangan emosional Terdapat beberapa model perkembangan emosi
yang dapat dijadikan landasan untuk mempelajari perkembangan emosi anak prasekolah. Seperti
teori dari Stanley Greenspan, Kurt Fischer, dan Carolyn Saarni. Dimana Model Greenspan menjadi
lebih psikodinamik, Fischer berfokus lebih pada kognitif yaitu pada pertumbuhan keterampilan
emosi tertentu, dan Saarni datang dari perspektif konstruktivis sosial.

2.2.1. Model Perkembangan Emosi


Tabel 1 Model Perkembangan Emosi
Greenspan: Emotional thinking merupakan dasar untuk berfantasi, menyadari kenyataan,
dan membentuk harga diri
Fischer Representasi situasi emosi melalui bermain pura-pura dan bahasa spontan (sebagai
hasil pembangunan melalui representasi emosi yang semakin kompleks, namun terus berhubungan
dengan peristiwa nyata dan pengalaman langsung)
Saarni 2 ½ -5 tahun
● berkembangnya penggunaan simbol-simbol untuk mewakili emosi
● Penggunaan emosi pura-pura dalam permainan dramatis dan menggoda
● Menyadari kemampuan untuk menyesatkan orang lain dengan menggunakan
ekspresi palsu
● Dengan berkomunikasi dengan orang lain, belajar lebih banyak tentang bagaimana
berperilaku dalam situasi sosial
● Bersimpati pada anak-anak lain; membantu perilaku dalam meningkatkan wawasan
emosi yang lain 5-7 tahun
● Mencoba untuk mengatur/menyadari emosi sendiri (malu, bangga, malu)
● Masih membutuhkan orang dewasa untuk membantu tetapi lebih memilih untuk
mengatasi dan pemecahan masalah sendiri
● Mengadopsi emosi yang tenang dengan rekan-rekan
● Keterampilan sosial lebih terkoordinasi dengan perasaan sendiri maupun orang lain
● Mulai untuk mengkoordinasikan emosi yang sesuai dengan orang lain

Menempatkan perubahan bersama-sama dari berbagai teori Greenspan, Fischer, dan Saarni
percaya bahwa perkembangan dari bayi, batita, dan anak-anak prasekolah itu selalu akan bergerak
maju. Seperti: (a) Semakin luas, dan memiliki hubungan emosional yang semakin kompleks, (b)
Kemampuan yang lebih baik mengkoordinasikan dan mengontrol emosi dan menghubungkan
emosi, (c) Lebih mampu untuk merefleksikan perasaan mereka sendiri dan orang lain, (d)
Representasi emosi melalui bahasa, bermain, dan fantasi, (e) Menghubungkan emosi individu
terhadap nilai dan standar budaya, dan (f) Terintegrasi, positif, dan otonom, namun berhubungan
secara emosional, perasaan diri.

2.3. Keterkaitan Perkembangan Sosial dan Emosi Anak


Dalam konteks sosial emosi, emosi cenderung mendorong aktivitas sosial seseorang.
Kompetensi sosial ditentukan oleh kompetensi emosi seseorang. Seseorang dengan kecerdasan
emosional yang tinggi cenderung menjadi pribadi yang kompeten secara sosial. Goleman (2006)
menyatakan bahwa kematangan emosi seorang anak merupakan kunci keberhasilan dalam menjalin
hubungan sosial-nya. Kecakapan tersebut merupakan faktor utama dalam menunjang keberhasilan
dalam pergaulan. Goleman (2006) juga menyebutkan bahwa salah satu kunci kecakapan sosial
adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaanya.
Sehingga dapat diketahui bahwa perkembangan emosi sangat berpengaruh besar terhadap
perkembangan sosial anak. Interaksi sosial membutuhkan keterampilan khusus yang didorong oleh
kondisi emosi anak seperti motivasi, empati dan menyelesaikan konflik. Anak yang dapat
mengendalikan diri dan mudah menunjukkan empati dan kasih sayang akan mudah bersosialisasi
dengan orang disekitarnya. Dalam Peraturan Menteri Nomor 58 Tahun 2009 mengenai standar
pendidikan anak usia dini sudah dibuat standar mengenai tingkat pencapaian perkembangan
berdasarkan kelompok usia. Kelompok usia dibagi menjadi tahap usia 0 - <2 tahun, tahap usia 2 -
<4 tahun, tahap usia 4 - ≤6 tahun. Anak prasekolah seperti yang disebutkan diatas yaitu antara usia
3-6 tahun. Adapun tingkat pencapaian perkembangan pada lingkup perkembangan sosial emosi
anak pada usia 3-6 tahun dapat dilihat pada Tabel 2.

2.3.1. Tingkat pencapaian perkembangan sosial emosi anak pada usia 3-6 tahun
Tingkat Pencapaian Perkembangan
Tabel 2
Tingkat pencapaian perkembangan sosial emosi anak pada usia 3-6 tahun
Tingkat Pencapaian Perkembangan

2 - <3 tahun
1. Mulai bisa mengungkapkan ketika ingin buang air kecil dan buang air besar.
2. Mulai memahami hak orang lain (harus antri, menunggu giliran).
3. Mulai menunjukkan sikap berbagi, membantu, bekerja bersama.
4. Menyatakan perasaan terhadap anak lain (suka dengan teman karena baik hati, tidak suka
karena nakal, dsb.).
5. Berbagi peran dalam suatu permainan (menjadi dokter, perawat, pasien penjaga toko atau
pembeli

3 - <4 tahun
1. Mulai bisa melakukan buang air kecil tanpa bantuan.
2. Bersabar menunggu giliran.
3. Mulai menunjukkan sikap toleran sehingga dapat bekerja dalam kelompok.
4. Mulai menghargai orang lain.
5. Bereaksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar (marah apabila diganggu atau
diperlakukan berbeda).
6. Mulai menunjukkan ekspresi menyesal ketika melakukan kesalahan

4 - <5 tahun
1. Menunjukkan sikap mandiri dalam memilih kegiatan.
2. Mau berbagi, menolong, dan membantu teman.
3. Menunjukan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif.
4. Mengendalikan perasaan.
5. Menaati aturan yang berlaku dalam suatu permainan.
6. Menunjukkan rasa percaya diri.
7. Menjaga diri sendiri dari lingkungannya.
8. Menghargai orang lain.

5 - ≤6 tahun
1. Bersikap kooperatif dengan teman.
2. Menunjukkan sikap toleran.
3. Mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih antusias
dsb.)
4. Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat.
5. Memahami peraturan dan disiplin.
6. Menunjukkan rasa empati.
7. Memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah).
8. Bangga terhadap hasil karya sendiri.
9. Menghargai keunggulan orang lain.

2.4. Pembuatan profil


Pembuatan profil yaitu: Tindakan atau proses mengekstrapolasi informasi tentang seseorang
berdasarkan sifat atau kecenderungan yang diketahui. Pembuatan profil dalam konteks
Pembelajaran Sosial-Emosional (SEL) melibatkan penilaian dan pemahaman kompetensi sosial,
emosional, dan perilaku siswa. Pembuatan profil SEL bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi berbagai aspek keterampilan, kekuatan, tantangan, dan kebutuhan sosial dan
emosional siswa.
3. METODOLOGI

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi siswa khususnya dalam kemampuan regulasi
sosial emosi siswa di kelas. Penelitian ini akan menggunakan metode analisis data kuesioner
untuk identifikasi data - ini adalah metode pengambilan data yang sudah mapan. Selain itu,
penelitian ini juga menjabarkan gambaran sosial emosi di kelas
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam. Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan untuk menggali informasi
secara utuh, detail dan bersifat spesifik (Hadi, 2004).

3.1. Pengaturan Instrumen kuesioner

Pada bagian implementasi dijelaskan tentang bagaimana instrumen kuesioner melibatkan


instrumen The Functional Emotional Assessment Scale (FEAS). Kuesioner instrumen ini
diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia. Terdapat tingkatan sosial emosi sesuai dengan usia
mulai dari o bulan. Akan dijabarkan bagaimana perkembangan kemampuan sosial emosi yang
seharusnya diampu pada setiap bulan.
Untuk mengamati kapasitas emosional dan perkembangan bayi, amati interaksi bebas
selama 15 hingga 20 menit atau lebih antara bayi dan pengasuhnya, diikuti, jika diperlukan,
dengan interaksi bebas antara bayi dan pengasuh, diikuti, jika diperlukan, dengan interaksi bebas
antara bayi dan dokter. Jika bayi atau anak tidak menunjukkan pola sesuai usianya, dokter atau
pengasuh dapat mencoba untuk mendapatkan kapasitas perkembangan yang sesuai dengan
usianya dengan menggunakan beberapa saran yang dijelaskan di bawah ini. Saran-saran ini
dimaksudkan hanya untuk membantu mewujudkan segala sesuatunya. (Greenspan, 2001)
Kapasitas yang harus diperoleh dicantumkan dalam enam tahap perkembangan emosional.
Setiap rangkaian kapasitas, meskipun biasanya pertama kali terlihat pada periode tertentu pada
masa bayi atau anak usia dini, akan terus berlanjut seiring pertumbuhan anak. Tingkat seorang
anak, serta tingkat keahlian yang dimilikinya, harus diperhatikan. Jika saran yang diberikan hanya
mengacu pada usia di mana seorang anak pertama kali menguasai suatu kapasitas tertentu, dokter
harus melakukan improvisasi cara untuk mendukung kapasitas tersebut pada anak yang lebih besar
(misalnya, membujuk anak yang lebih besar untuk menjalin hubungan dengan bermain dan
tersenyum, bukan hanya tersenyum. dan suara) (Greenspan, 2001)

3.2. Analisis FEAS


Skala Penilaian Emosional Fungsional (FEAS) dikembangkan sebagai acuan kriteria
instrumen untuk anak-anak mulai usia 7 bulan hingga 4 tahun. Itu dirancang untuk mengukur
fungsi emosional pada anak-anak dengan masalah berbasis konstitusional dan maturasi
(misalnya, gangguan peraturan), anak-anak dengan masalah interaksi yang menyebabkan
berbagai macam gejala seperti kecemasan, impulsif, depresi, dll, dan anak-anak dengan gejala
yang menyebar kesulitan perkembangan. Ini termasuk anak-anak yang mengalami konstitusi atau
masalah kematangan perkembangan, seperti gangguan regulasi atau pervasif gangguan
perkembangan, serta pengasuh dan anak-anak dengan masalah relasional, seperti gangguan
keterikatan, atau anak dari keluarga multi-masalah dengan interaksi yang beragam kesulitan
(misalnya, kecemasan, depresi, impulsif, dll.). FEAS memberikan sistematika penilaian kapasitas
emosional fungsional anak dan pengasuh. Untuk bayi dan muda anak, kapasitas tersebut meliputi
kemampuan anak dalam mengatur interaksi bermain dengan benda dan orang, untuk mengatur
suasana hati dan mengatur perhatian, untuk membentuk keterikatan dengan pengasuh, untuk
terlibat dalam interaksi dan komunikasi emosional timbal balik, dan untuk mewakili perasaan dan
ide dan terlibat dalam pemikiran emosional melalui interaksi bermain. Perilaku pengasuh adalah
dievaluasi sehubungan dengan kapasitas mereka untuk mendukung perkembangan anak mereka
di masing-masing bidang tersebut.
Skala Penilaian Emosional Fungsional FEAS dimaksudkan untuk digunakan untuk profil
fungsi sosial-emosional pada bayi dan anak muda. Seperti yang akan terlihat pada bab ini,
membedakan antara anak dengan risiko tinggi profil fungsi emosional dan mereka yang tidak
memiliki masalah, serta antara tipe yang berbeda masalah. Bila digunakan bersama dengan
instrumen lain sebagai bagian yang komprehensif evaluasi, FEAS menyediakan data tentang
kapasitas sosial dan emosional anak dan pengasuhnya menggunakan kerangka pengembangan
yang mengintegrasikan pengamatan terhadap sejumlah variabel. Ini mencakup variabel
konstitusional, seperti kapasitas pengaturan diri, sensorik, dan perhatian. Mereka juga mencakup
tingkat perkembangan fungsi emosional serta komponen interaktif yang membentuk dasar
keterikatan, pengaturan suasana hati, fungsi emosional, dan sosial komunikasi. Temuan dari
FEAS tidak mengarah pada diagnosis formal gangguan tertentu, seperti autisme, gangguan
kecemasan, gangguan keterikatan, atau gangguan regulasi; Namun, data dari FEAS,
dikombinasikan dengan informasi diagnostik lainnya (misalnya, wawancara klinis orang tua dan
anak, tindakan laporan orang tua, dan pengujian formal lainnya) dapat membantu memberikan
profil fungsi emosional.
3.3. Sampel siswa

Pada bagian ini kami menganalisis dua bentuk profiling: kuesioner regulasi sosial emosi
(FEAS) dan wawancara guru

3.4. Analisis data kuesioner FEAS

Skala Penilaian Emosional Fungsional (FEAS) dikembangkan sebagai acuan kriteria


instrumen untuk anak-anak mulai usia 7 bulan hingga 4 tahun. Itu dirancang untuk mengukur fungsi
emosional pada anak-anak dengan masalah berbasis konstitusional dan maturasi (misalnya,
gangguan peraturan), anak-anak dengan masalah interaksi yang menyebabkan berbagai macam
gejala seperti kecemasan, impulsif, depresi, dll, dan anak-anak dengan gejala yang menyebar
kesulitan perkembangan. Ini termasuk anak-anak yang mengalami konstitusi atau masalah
kematangan perkembangan, seperti gangguan regulasi atau pervasif gangguan perkembangan, serta
pengasuh dan anak-anak dengan masalah relasional, seperti gangguan keterikatan, atau anak dari
keluarga multi-masalah dengan interaksi yang beragam kesulitan (misalnya, kecemasan, depresi,
impulsif, dll.). FEAS memberikan sistematika penilaian kapasitas emosional fungsional anak dan
pengasuh. Untuk bayi dan muda anak, kapasitas tersebut meliputi kemampuan anak dalam
mengatur interaksi bermain dengan benda dan orang, untuk mengatur suasana hati dan mengatur
perhatian, untuk membentuk keterikatan dengan pengasuh, untuk terlibat dalam interaksi dan
komunikasi emosional timbal balik, dan untuk mewakili perasaan dan ide dan terlibat dalam
pemikiran emosional melalui interaksi bermain. Perilaku pengasuh adalah dievaluasi sehubungan
dengan kapasitas mereka untuk mendukung perkembangan anak mereka di masing-masing bidang
tersebut. (Greenspan, 2008)

Skala Penilaian Emosional Fungsional FEAS dimaksudkan untuk digunakan untuk profil
fungsi sosial-emosional pada bayi dan anak muda. Seperti yang akan terlihat pada bab ini,
membedakan antara anak dengan risiko tinggi profil fungsi emosional dan mereka yang tidak
memiliki masalah, serta antara tipe yang berbeda masalah. Bila digunakan bersama dengan
instrumen lain sebagai bagian yang komprehensif evaluasi, FEAS menyediakan data tentang
kapasitas sosial dan emosional anak dan pengasuhnya menggunakan kerangka pengembangan yang
mengintegrasikan pengamatan terhadap sejumlah variabel. Ini mencakup variabel konstitusional,
seperti kapasitas pengaturan diri, sensorik, dan perhatian. Mereka juga mencakup tingkat
perkembangan fungsi emosional serta komponen interaktif yang membentuk dasar keterikatan,
pengaturan suasana hati, fungsi emosional, dan sosial komunikasi. Temuan dari FEAS tidak
mengarah pada diagnosis formal gangguan tertentu, seperti autisme, gangguan kecemasan,
gangguan keterikatan, atau gangguan regulasi; Namun, data dari FEAS, dikombinasikan dengan
informasi diagnostik lainnya (misalnya, wawancara klinis orang tua dan anak, tindakan laporan
orang tua, dan pengujian formal lainnya) dapat membantu memberikan profil fungsi emosional.
(Greenspan, 2008)
Koleksinya berjumlah 46 item untuk versi pengasuh dan 79 item untuk versi anak FEAS
dihasilkan secara sistematis dari daftar spesifikasi domain. Ini disajikan dalam Tabel 1-1. Strategi
ini menjamin bahwa item-item tersebut mewakili setiap domain. Beberapa item dibangun untuk
masing-masing fungsi yang akan diukur. Versi pertama FEAS adalah dikembangkan pada tahun
1992 oleh Stanley I. Greenspan, M.D. dan diuji cobakan oleh Georgia A. DeGangi, Ph.D. pada
sampel 45 bayi, 30 diantaranya berkembang secara normal dan 15 dengan bayi normal gangguan.
Bekerja sama dengan Dr. Greenspan, Dr. DeGangi merevisi soal tes, lalu mengumpulkannya data
selama lima tahun. Versi penelitian FEAS terdapat pada Lampiran B. Ini adalah versi yang menjadi
dasar pembuatan FEAS versi usia tertentu. (Greenspan, 2008)
4. Hasil Temuan Emotion Regulation di TK Lazuardi dan TPQ Nurul Karimah

Jumlah responden 10 siswa dengan rentang usia 2 sampai 6 tahun:


2 tahun 2 bulan
4 tahun 10 bulan
5 tahun 6 bulan
5 tahun 6 bulan
5 tahun
5 th
6 tahun
6 Tahun
6 tahun
6 tahun 2 bulan

Kriteria: Tidak Pernah (1)


Indikator:
● Merasa senang dalam kesulitan orang lain (misal tertawa saat orang lain dihukum atau
terluka, senang menggoda orang lain)


● Memperlihatkan afek yang datar (tidak ekspresif atau ekspresi kosong)


● Merespon secara negatif pendekatan dari teman sebaya (contoh berbicara dengan suara
marah atau merespon dengan takut)


● Impulsif


● Terlihat gembira saat mengganggu orang lain atau terlihat gembira pada sesuatu yang
dianggap orang lain mengganggu.


● Menampilkan emosi negatif ketika mencoba melibatkan orang lain dalam permainan.

Jarang (2)
Indikator:
● Riang


● Dapat pulih dengan cepat saat merasa kesal atau kesusahan (contoh, tidak cemberut atau
tetap cemberut, cemas atau sedih setelah mengalami kejadian yang menyusahkan secara
emosional)


● Memiliki amarah yang mudah meledak/ Ananda sangat mudah marah.


● Mampu menunda kepuasan (menunggu untuk mendapatkan hal yang baik)


● Mampu mengatur rasa gembira (misal tidak terlalu terbawa suasana dalam suatu situasi
seperti terlalu bersemangat saat memenangkan perlombaan maupun dalam situasi yang
kurang pantas)


● Memiliki energi yang meledak-ledak atau memiliki kegembiraan berlebihan yang
mengganggu


● Tampak sedih atau lesu


Kriteria: Sering (3)
Indikator:
● Menunjukan perubahan suasana hati yang cepat (keadaan emosional sulit diantisipasi karena
ananda bergerak cepat dari suasana hati positif ke negatif dan sebaliknya)


● Menanggapi secara positif pendekatan ramah dari orang dewasa


● Dapat berpindah dengan baik dari satu aktivitas ke aktivitas yang lainnya (tidak merasa
cemas, marah, tertekan, atau terlalu bersemangat ketika berpindah dari satu aktivitas ke
aktivitas lainnya)


● Dapat merespon secara positif pendekatan dari teman sebaya.


● Cengeng atau lengket dengan orang dewasa.


● Merespon aturan dari orang tua dengan amarah


● Dapat mengatakan kapan ia merasa sedih, marah atau kesal, takut maupun cemas/khawatir.

● Merasa sangat gembira saat melibatkan orang lain dalam permainannya


● Mampu berempati terhadap orang lain (seperti sedih atau khawatir saat teman terluka)


● Memperlihatkan emosi negatif yang sesuai (marah, takut, frustasi, atau kesulitan) dari
tindakan teman sebaya yang mengganggu, memusuhi, atau agresif.

Kriteria: Selalu (4)


Indikator: Ananda mudah frustasi
5. KESIMPULAN

Upaya Pengembangan Sosial Emosi Anak Mengembangkan sosial emosional harus


dilakukan sejak dini terutama pada usia taman kanak-kanak. Hal ini disebabkan karena pada
masa tersebut anak mulai mengembangkan pergaulan dengan teman sebaya di lingkungan rumah
dan di luar rumah. Bahkan anak-anak yang berbeda wilayah dengan mereka yang tentunya
memiliki ciri khas budaya yang berbeda.
Hasil penelitian Rhoades, et al (2011) menunjukkan bahwa attention selama masa taman
kanak-kanak mampu memediasi hubungan antara pengetahuan emosi, keterampilan atensi dan
kompetensi akademik di kelas pertama dengan memperhitungkan dampak pendidikan ibu,
pendapatan keluarga, usia anak, jenis kelamin. Temuan ini menjadi salah satu strategi untuk
meningkatkan keberhasilan akademis masa depan anak-anak. Tugas guru dalam mengembangkan
sosial emosi pada anak didik hendaknya menguasai prinsip tindakan:
(1) Menjadi contoh atau teladan yang baik,
(2) Mengenalkan emosi,
(3) Menanggapi perasaan anak,
(4) Melatih pengendalian diri,
(5) Melatih mengelola emosi,
(6) Menerapkan disiplin dengan konsep empati,
(7) Melatih keterampilan komunikasi,
(8) Mengungkapkan emosi dengan kata-kata, dan
(9) Memperbanyak permainan dinamis.

Hasil Penelitian ini adalah lebih banyak siswa dengan usia 2 sampai 6 tahun berada pada
Kriteria: Selalu (4). Hal ini dijabarkan dengan Indikator: Ananda mudah frustasi.

Frustasi adalah perasaan jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Menurut
Nihayatus mengutip repository Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, kebutuhan seseorang tak
selalu bisa dipenuhi dengan lancar dan seringkali ada hambatan dalam pemuasan kebutuhan.
Keadaan terhambat ini dinamakan frustasi
Berbagai beban kehidupan yang dihadapi anak, baik yang bersumber dari tekanan keluarga,
tekanan dari teman bergaulnya, maupun tekanan dari lingkungan sekolah menjadikan anak mudah
stres dan frustasi, akibatnya mengganggu emosi dan perilaku sosial anak.
Marah sering kali muncul sebagai reaksi terhadap frustasi, sakit hati, dan merasa terancam.
Pada umumnya, frustasi atau keinginan yang tidak terpenuhi merupakan hal yang paling sering
menimbulkan kemarahan pada tiap tingkat usia. Dibanding rasa takut, rasa marah lebih sering
muncul pada masa kanak-kanak. Ini disebabkan rangsangan-rangsangan untuk marah lebih sering
dialami anak ketimbang rangsangan yang menimbulkan rasa takut. Selain itu, dalam tahun-tahun
pertama, anak sering belajar dari pengalaman bahwa dengan marah keinginannya akan terpenuhi.

6. Rekomendasi

Cara Mengatasi Anak yang Mudah Merasa Frustasi:

● Pastikan Anak Mengenali Emosi yang Sedang Dialami


● Ajak Anak untuk Tetap Tenang
● Cari Tahu Penyebab Frustrasi pada Anak
● Biarkan anak curhat mengenai penyebab frustrasinya.
● Cek jadwal tidur anak
● Ajak anak melakukan kegiatan ringan bersama yang menyenangkan
● Mengajak anak untuk fokus pada solusi daripada masalah
● Yakinkan bahwa setiap anak punya kelebihan masing-masing
● Luangkan waktu bersama anak
REFERENSI

Almassian, N, Azmi, R & Berenji, S. 2009. 'AIDSLK: Sistem Deteksi Intrusi Berbasis Anomali
pada Kernel Linux', Sistem Informasi, Teknologi dan Manajemen: hal. 232-243.

Annika Rademacher, Naska Goagoses, Sören Schmidt, Jelena Zumbach & Ute Koglin (2021):
Preschoolers’ Profiles of Self-regulation, Social-emotional and Behavior Skills and Its
Prediction for a Successful Behavior Adaptation during the Transitional Period from
Preschool to Elementary School, Early Education and Development, DOI:
10.1080/10409289.2021.1958283 To link to this article:
https://doi.org/10.1080/10409289.2021.1958283

Ashman, H & Holland, S. 'Membuat profil dan mengidentifikasi siswa dengan analisis n-gram
pada riwayat baris perintah mereka' (dalam draft).

Az-Zahra: Journal of Gender and Family Studies Vol.3 No.1, 2022: 41-66 65 dari 66 Ulya Ainur
Rofi’ah et al. / Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun dan Stimulasinya Menurut Teori
Perkembangan DOI : 10.15575/azzahra.v3i1.11036 ISSN 2746-8585 (Print) ISSN
2746-8593 (Online) https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/azzahra/index Sosial Emosional
Anak Usia 0-6 Tahun dan Stimulasinya Menurut Teori Perkembangan Ulya Ainur
Rofi’ah1* , Nurlaili Dina Hafni2, and Layyinatul Mursyidah3 1UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta 1; rofiahulya@gmail.com 2,3 Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban 2;
dinahafni89@gmail.com , layyeenaalin1609@gmail.com
Choirunissa, R., & Ediati, A. (2020). Hubungan antara Komunikasi Interpersonal
Remaja-Orangtua dengan Regulasi Emosi pada Siswa SMK. Jurnal Empati, 7(3),
1068–1075.

Ellen Beate Hansen Sandsetera, Rasmus KleppeaandLeif Edward Ottesen Kennair (2023). Risky
play in children’s emotion regulation, social functioning, and physical health: an
evolutionary approach. Department of Physical Education and Health, Queen Maud
University College of Early Childhood Education, Trondheim, Norway; Department of
Psychology, Norwegian University of Science and Technology, Trondheim, Norway.
INTERNATIONAL JOURNAL OF PLAY2023, VOL. 12, NO. 1, 127–139.
https://doi.org/10.1080/21594937.2022.2152531

Greenspan, S, DeGangi G, & Wieder, S. (2001). The Functional Emotional Assessment Scale
(FEAS) For Infancy and Early Childhood: Clinical and Research Applications. by the
Interdisciplinary Council on Developmental and Learning Disorders. U.S.A.
Georgia A. DeGangi, Ph.D., OTR. & Stanley I. Greenspan, M.D., 2008. The Functional Emotional
Assessment Scale. Chapter 5. RESEARCH ON THE FEAS: TEST DEVELOPMENT,
RELIABILITY, AND VALIDITY STUDIES. by the Interdisciplinary Council on
Developmental and Learning Disorders. U.S.A.

Grzech, A. 2006. Deteksi anomali dalam sistem komunikasi komputer terdistribusi. Sibernetika
dan Sistem, 37: 635-652.

Hadi, S. (2004). Metodologi Research jilid 2. Yogyakarta: Andi

HUBBALLI, N., BISWAS, S. & NANDI, S. 2011. Sequence Gram: pemodelan n-gram dari
panggilan sistem untuk deteksi anomali berbasis program. Dalam Sistem Komunikasi
dan Jaringan (COMSNETS), Konferensi Internasional Ketiga, 4-8 Januari 2011
2011: 1-10.

Maia, M, Almeida, J, Virg & Almeida, l. 2008, 'Mengidentifikasi perilaku siswa di jejaring sosial
online'. Prosiding Lokakarya Pertama tentang Sistem Jaringan Sosial, Glasgow, Skotlandia.

Nansi, D., & Utami, F. T. (2017). Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Perilaku Disiplin
Santri Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Qodratullah Langkan. Psikis: Jurnal Psikologi
Islami, 2 (1), 16–28.

N.P.Dau, V, Rau, V & J.Templeton, S. 2000. 'Membuat profil siswa di Lingkungan OS UNIX'.

Pannell, G & Ashman, H. 2010, 'Pemodelan siswa untuk Pengecualian dan Deteksi Anomali:
Sistem Deteksi Intrusi Perilaku'. dalam De Bra, P, Kobsa, A & Chin, D (eds), Pemodelan
siswa, Adaptasi, dan Personalisasi, vol. 6075, Springer Berlin / Heidelberg: hal. 207-218.

Putri, S., Lado, U., Gaddi, M. E., Widyantari, N. M., Keguruan, F., & Pendidikan, D. I. (2022).
Meningkatkan Pendidikan Karakter bagi Generasi Z pada Era Society 5.O. Prosiding Pekan
Ilmiah Pelajar (PILAR), 2, 1–13.
https://e-journal.unmas.ac.id/index.php/pilar/article/view/4414

Rahmah Wati Anzani & Intan Khairul Insan. PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSI PADA ANAK
USIA PRASEKOLAH. Universitas Muhammadiyah Tangerang rahmahanzani@gmail.com ,
intanjr17m@gmail.com. Pandawa : Jurnal Pendidikan dan Dakwah Volume 2, Nomor 2,
Mei 2020; 180-193 https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pandawa

Randi Kaseger, S.Pd., M.Pd. Guru Penggerak Angkatan 6 Kota Manado, SMA Negeri 7 Manado.
https://bgpsulawesiutara.kemdikbud.go.id/2023/11/01/pentingnya-pembelajaran-sosial-dan-e
mosional-dalam-pendidikan/

Reddy, DKS & Pujari, AK. 2006, 'Analisis n-gram untuk deteksi virus komputer'. Jurnal Virologi
Komputer, vol. 2, no. 3: hal. 231-239.

Rhoades, B. L., Heather K. W., Celene E. D., & Mark T. G. (2011). Examining The Link Between
Preschool Social-Emotional Competence And First Grade Academic Achievement: The Role
Of Attention Skills. Early Childhood Research Quarterly, 26, 182-191.

Tria Yunita Sari dan Najlatun Naqiyah. PENGEMBANGAN INSTRUMEN SKALA REGULASI
EMOSI PADA PESERTA DIDIK SMK. Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya

WEI, W., XIAOHONG, G. & XIANGLIANG,


Z. 2004. Pembuatan profil program dan perilaku siswa untuk deteksi intrusi anomali
berdasarkan faktorisasi matriks non-negatif. Keputusan dan Pengendalian, 2004. CDC.
Konferensi IEEE ke-43 pada: 14-17 Dec. 2004 2004. 99-104 Vol.1.

Lampiran

Table 1-1. Domain Specifications for the FEAS.

Domain Description of Domain

Regulation and interest in the world Internal regulation (harmony and balanced
(0 to 3 months) interest in the world)

Forming relationships or attachment Rich, deep, multisensory emotional


(2 to 7 months) investment in animate world (especially with
primary caregivers)

Intentional two-way communication Flexible, wide-ranging, affective, multisystem


(3 to 10 months) contingent (reciprocal interactions (especially
with primary) caregivers)
Development of a complex sense of self (e.g., Complex, organized, assertive, innovative,
behavioral organization and elaboration) integrated behavioral and emotional patterns
(9 to 24 months)

Representational capacity and elaboration of Formation and elaboration of internal


symbolic thinking representations (imagery); organization and
(11⁄2 to 4 years) differentiation of imagery pertaining to self
and nonself, emergence of cognitive insight;
stabilization of mood and gradual emergence
of basic personality functions

Emotional thinking or the development and Enhanced and eventually optimal flexibility to
expression of thematic play conserve and transform complex and
(3 to 5 years) organized representations or experience in the
context of expanded relationship patterns and
phase-expected developmental tasks

Formulir Kemampuan Regulasi Emosi Anak


(EMOTION-REGULATION CHECKLIST)
Assalamualaikum wr. wb

Kepada Bapak/Ibu Orang tua Ananda.

Berikut merupakan formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait kemampuan Ananda dalam
Regulasi-Emosi. Mohon diisi sesuai dengan kemampuan Ananda saat ini.

Terimakasih
Nama Ananda
*
Short-answer text
Usia Ananda
*
Short-answer text

NAMA AYAH/IBU
*
Short-answer text

ASAL SEKOLAH KELAS


Short-answer text

Kriteria Jawaban:
Tidak pernah
Jarang
Sering
Selalu

● Ananda adalah anak yang riang


● Ananda menunjukan perubahan suasana hati yang cepat (keadaan emosional
sulit diantisipasi karena ananda bergerak cepat dari suasana hati positif ke negatif
dan sebaliknya)
● Menanggapi secara positif pendekatan ramah dari orang dewasa
● Ananda dapat berpindah dengan baik dari satu aktivitas ke aktivitas yang lainnya
(tidak merasa cemas, marah, tertekan, atau terlalu bersemangat ketika berpindah
dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya)
● Dapat pulih dengan cepat saat merasa kesal atau kesusahan (contoh, tidak
cemberut atau tetap cemberut, cemas atau sedih setelah mengalami kejadian
yang menyusahkan secara emosional)
● Ananda mudah frustasi
● Ananda dapat merespon secara positif pendekatan dari teman sebaya.
● Ananda memiliki amarah yang mudah meledak/ Ananda sangat mudah marah.
● Ananda mampu menunda kepuasan (menunggu untuk mendapatkan hal yang
baik)
● Ananda merasa senang dalam kesulitan orang lain (misal tertawa saat orang lain
dihukum atau terluka, senang menggoda orang lain)
● Ananda mampu mengatur rasa gembira (misal tidak terlalu terbawa suasana
dalam suatu situasi seperti terlalu bersemangat saat memenangkan perlombaan
maupun dalam situasi yang kurang pantas)
● Ananda cengeng atau lengket dengan orang dewasa.
● Ananda memiliki energi yang meledak-ledak atau memiiki kegembiraan berlebihan
yang mengganggu
● Ananda merespon aturan dari orang tua dengan amarah
● Ananda dapat mengatakan kapan ia merasa sedih, marah atau kesal, takut
maupun cemas/khawatir.
● Ananda tampak sedih atau lesu
● Ananda merasa sangat gembira saat melibatkan orang lain dalam permainannya
● Ananda memperlihatkan afek yang datar (tidak ekspresif atau ekspresi kosong)
● Ananda merespon secara negatif pendekatan dari teman sebaya (contoh
berbicara dengan suara marah atau merespon dengan takut)
● Ananda impulsif
● Ananda mampu berempati terhadap orang lain (seperti sedih atau khawatir saat
teman terluka)
● Terlihat gembira saat mengganggu orang lain atau terihat gembira pada sesuatu
yang dianggap orang lain mengganggu.
● Ananda memperlihatkan emosi negatif yang sesuai (marah, takut, frustasu, atau
kesulitan) dari tindakan teman sebaya yang mengganggu, memusuhi, atau
agresif.
● Ananda menampilkan emosi negatif ketika mencoba melibatkan orang lain dalam
permainan.

You might also like