Professional Documents
Culture Documents
Email: tsauroh@lazuardi.sch.id
sarislamudin@gmail.com
Kata kunci: Profil siswa, Pembelajaran Sosial Emosi, Usia 2-6 tahun
1. PENDAHULUAN
Anak dalam usia rentang 0-6 disebut-sebut sebagai usia yang sangat kritis karena
merupakan usia emas dalam perkembangannya. Maka oleh karena itu, hendaknya anak difasiltasi
semua kebutuhan terutama dalam pendidikan dan pengasuhannya agar menjadi modal dan fondasi
dasar dalam proses perkembangannya di masa yang akan datang.
Pendidikan tidak hanya tentang akademik, tetapi juga tentang perkembangan pribadi dan
sosial siswa. Pembelajaran sosial dan emosional (PSE) adalah komponen penting dari pendidikan
yang sering diabaikan, meskipun memiliki dampak besar pada perkembangan anak. Mengapa PSE
semakin mendesak untuk kita terapkan dan praktikkan? Kita tentu memahami serta menyadari
pentingnya perkembangan murid secara holistik bukan hanya intelektual, tetapi juga fisik,
emosional, sosial, dan karakter. (Kaseger, 2023)
PSE adalah proses belajar yang berkaitan dengan pemahaman diri, empati terhadap orang
lain, serta kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif. Ini mencakup aspek-aspek
seperti keterampilan sosial, regulasi emosi, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan.
Mengapa ini penting? Meningkatkan Kemampuan Berinteraksi Sosial PSE membantu siswa
mengembangkan kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Ini penting dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Siswa yang
memiliki keterampilan sosial yang baik cenderung lebih sukses dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam karier dan hubungan pribadi. (Kaseger, 2023)
Meningkatkan Kemampuan Empati Kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan
orang lain adalah komponen penting dari PSE. Ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih
inklusif dan mendukung dalam sekolah. Siswa yang mampu bersikap empati akan lebih mungkin
untuk menjalin hubungan yang positif dengan teman-teman mereka. (Kaseger, 2023)
Mengurangi Konflik Melalui pembelajaran regulasi emosi dan pemecahan masalah, PSE
membantu siswa mengatasi konflik dengan cara yang konstruktif. Ini penting dalam mencegah
bullying dan tindakan negatif lainnya yang dapat merusak lingkungan sekolah. PSE juga berperan
dalam meningkatkan kesejahteraan mental siswa. Dengan pemahaman diri yang baik dan
kemampuan mengelola emosi, siswa akan lebih tahan terhadap stres dan tekanan mental. Ini juga
dapat membantu mencegah masalah kesehatan mental di masa depan. (Kaseger, 2023)
Mempersiapkan siswa di dunia nyata, kemampuan sosial dan emosional adalah aset yang
berharga. Dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari, orang perlu bekerja sama dengan orang lain,
menyelesaikan konflik, dan beradaptasi dengan berbagai situasi. Pembelajaran PSE membantu
siswa mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan ini. Di sinilah letak urgensi PSE untuk
mendorong tumbuh kembang murid secara holistik. Pembelajaran yang mampu menciptakan
pengalaman belajar bagi murid untuk menumbuhkan dan melatih lima Kompetensi Sosial dan
Emosional (KSE), yaitu: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi,
dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. (Kaseger, 2023)
Sebagai Pendidik, Guru harus dapat mengeksplorasi PSE melalui empat indikator yaitu,
pengajaran eksplisit seperti kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, integrasi dalam praktek
mengajar guru dan kurikulum akademik dengan menyusun konten pembelajaran, strategi
pembelajaran maupun produk pembelajaran, penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah berdasar
keyakinan kelas berdasar nilai-nilai kebajikan, serta penguatan Keterampilan Sosial Emosional
(KSE) pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) melalui keteladanan, proses belajar, dan kolaborasi
dengan seluruh komunitas sekolah. (Kaseger, 2023)
Strategi Menerapkan Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) tidak hanya penting tetapi
juga dapat diajarkan secara efektif. Berikut beberapa strategi untuk mengintegrasikan PSE dalam
lingkungan pendidikan: Kurikulum PSE: Sekolah dapat menyusun kurikulum yang mencakup mata
pelajaran atau kegiatan yang fokus pada pengembangan PSE serta menciptakan lingkungan belajar
yang tepat serta terkoordinasi melalui Kelas, Sekolah, Keluarga dan Komunitasnya. Guru dan staf
sekolah dapat memberikan contoh positif dalam interaksi sosial dan cara mengelola emosi.
(Kaseger, 2023)
Pelatihan Guru: Guru dapat menerima pelatihan dalam mengajar PSE sehingga mereka
dapat membimbing siswa dengan efektif. Dalam bersikap terhadap diri sendiri, dan orang lain serta
lingkungannya dengan membangun kesejahteraan atau Well Being. (Kaseger, 2023)
Praktik Berbasis Kasus: Menggunakan kasus nyata dan peran dalam pembelajaran
membantu siswa memahami bagaimana menerapkan PSE dalam situasi sehari-hari. Kemampuan
untuk memahami perasaan, emosi, dan nilai-nilai diri sendiri dan bagaimana pengaruhnya pada
perilaku diri dalam berbagai situasi dalam lingkungan sekitar. Memanajemen diri dengan
kemampuan untuk mengelola emosi pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi
dan untuk mencapai tujuan aspirasi. Kesadaran sosial dengan kemampuan untuk memahami sudut
pandang dan dapat berempati dengan orang lain termasuk mereka yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda. Keterampilan berelasi dengan kemampuan untuk membangun dan
mempertahankan hubungan yang sehat dan suportif. Pengambilan keputusan yang bertanggung
jawab untuk mengambil pilihan-pilihan berdasarkan kepedulian, kapasitas dalam
mempertimbangkan standar-standar etis, rasa aman, mengevaluasi manfaat, konsekuensi dari
bermacam-macam Tindakan, perilaku untuk kesejahteraan psikologis di masyarakat serta
kelompok. (Kaseger, 2023)
Pembelajaran sosial dan emosional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan
yang holistik. Ini memiliki dampak besar pada perkembangan siswa, membantu mereka menjadi
individu yang lebih baik dalam hal keterampilan sosial, regulasi emosi, dan empati. Pendidikan
yang sukses tidak hanya menghasilkan akademisi yang cerdas, tetapi juga individu yang kuat secara
emosional dan sosial, siap untuk menghadapi tantangan di dunia nyata. Oleh karena itu, penting
untuk memberikan perhatian yang layak pada PSE dalam sistem pendidikan kita di mulai dari
dalam kelas disetiap mata pelajaran. (Kaseger, 2023)
Guru harus Dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan melaksanakan Pembelajaran
Sosial emosional baik secara eksplisit maupun secara terintegrasi dalam perangkat pembelajaran
atau modul, dalam hal ini guru benar benar mempersiapkan Pembelajaran Sosial emosional.
Sekolah mempersiapkan lingkungan pembelajaran bagi siswa yang didasarkan atas keyakinan
bersama dengan bersumber pada nilai-nilai kebajikan universal yang positif. Dengan demikian
diharapkan siswa mendapatkan pendidikan dengan pengalaman yang baik dalam mempersiapkan
mereka untuk melakukan aktivitas selanjutnya di sekolah dan masyarakat dengan mental yang kuat
yang memiliki kesadaran akan kemampuannya. (Kaseger, 2023)
Prastiti (dalam Choirunissa & Ediati, 2020) mengemukakan bahwa keterampilan dalam
pengelolaan emosi yang dipunyai oleh seseorang dapat membantu dalam mengendalikan emosi
negatif yang membuat terhindari dari perilaku menyimpang. Terdapat empat aspek yang diperlukan
dalam mengetahui kemampuan regulasi yang dimiliki oleh individu menurut Gross (2014),
diantaranya: 1) Strategies to emotion regulation (strategies), 2) Engaging in goal directed behavior
(goals) merupakan kemampuan seseorang untuk tetap berpikir dan berbuat positif tanpa
terpengaruh emosi negatif yang sedang dialaminya. 3) Control emotional responses (impulse)
merupakan keahlian seseorang guna menahan dan mengarahkan bagaimana perasaan dan
bagaimana mereka menunjukkan respon emosi (intonasi, tindakan dan fisiologis), yang
memungkinkan individu untuk menampilkan respon yang tepat dari emosinya tanpa merasa terlalu
emosional. 4) Acceptance of emotional response (acceptance) yaitu keterampilan individu guna
memperkenankan fenomena yang memicu negatifnya emosi individu tersebut serta berani
menerimanya.
Penelitian yang dilakukan Nansi dan Utami (2016:27) menunjukkan bahwa emosi memiliki
peran yang kuat secara tidak langsung pada diri manusia dalam berperilaku khususnya bagi
pelajar. Biasanya individu tidak berpikir dengan jernih dan tidak jarang melakukan tindakan yang
negatif diluar kesadarannya ketika mengalami emosi negatif. Rendahnya regulasi emosi juga
dapat mempengaruhi kedisiplinan, hal ini karena regulasi emosi membantu individu untuk
mengelola emosinya dalam berperilaku dan bertindak khususnya saat berada di lingkungan
sekolah. Disiplin dalam berperilaku dan mentaati tata tertib sekolah merupakan salah satu
indikator tercapainya tujuan pendidikan.
Profiling adalah cara untuk mengelompokkan sesuatu atau individu ke dalam kategori atau
kelompok berdasarkan karakteristik seperti situasi, penampilan, ciri-ciri (N.P. Dau, Rau & J.
Templeton 2000). Istilah profiling berarti mendapatkan informasi tentang aktivitas siswa, dan
memungkinkan untuk melakukan deteksi anomali pada profil siswa untuk memungkinkan
identifikasi siswa. Penelitian ini berencana untuk menyelidiki karakteristik siswa secara
psikometrik sehingga dapat mengidentifikasi siswa.
Bukan perkara mudah membentuk peserta didik seperti apa yang diharapkan. Fungsi dan
operasi antar-jejaring sosial diperlukan untuk beberapa aktivitas seperti membuat profil dan
mengidentifikasi perilaku siswa (Raad, Chbeir & Dipanda 2010). Profil siswa digunakan untuk
mengumpulkan informasi lebih dalam.
Jurnal ini akan berfokus pada evaluasi potensi profil regulasi sosial emosi individu. Untuk
mengevaluasi profil regulasi sosial emosi individu, penelitian ini akan menggunakan metode
pengumpulan data instrumen dan wawancara. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi siswa
dengan dua cara, identifikasi kemampuan siswa dalam hal positif dan identifikasi dalam hal siswa
negatif.
Temuan Penelitian Annika Rademacher, Naska Goagoses, Sören Schmidt, Jelena Zumbach
& Ute Koglin (2021): Transisi yang sukses dari prasekolah ke sekolah dasar sekolah memerlukan
adaptasi perilaku tingkat tinggi. Tujuan dari kami Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
faktor-faktor terkait anak di prasekolah yang memfasilitasi adaptasi perilaku positif dalam masa
transisi ke sekolah dasar. Analisis cluster dilakukan dengan data dari 406 anak prasekolah, di
untuk mengidentifikasi profil berdasarkan keterampilan pengaturan diri, kompetensi
sosial-emosional, dan masalah perilaku eksternalisasi. Menggunakan struktural pemodelan
persamaan, kami kemudian menguji model regresi untuk menguji yang mana profil prasekolah
cukup berhasil menyesuaikan perilaku mereka untuk sekolah dasar. Pengelompokan profil
menunjukkan bahwa terjadi masalah perilaku ketika keterampilan pengaturan diri rendah,
meskipun ada kompetensi sosial-emosional (sedang). Selain itu, rendahnya tingkat keterampilan
pengaturan diri di prasekolah memperkirakan kesulitan dalam adaptasi perilaku di sekolah,
terutama mengenai hiperaktif, bahkan ketika anak-anak memiliki tingkat hiperaktif sedang
kompetensi sosial-emosional. Praktek atau Kebijakan: Yang paling penting adalah hasil
memperkuat relevansi peningkatan keterampilan pengaturan diri sejak dini untuk mendukung
anak dalam proses adaptasi perilakunya pada masa transisi periode dari prasekolah hingga sekolah
dasar.
Penelitian ini memperluas fokus penelitian dari makalah teoritis Ellen Beate Hansen
Sandseter, Rasmus Kleppe and Leif Edward Ottesen Kennair (2023) untuk mengeksplorasi tiga
tingkat biopsikososial dari permainan berisiko anak-anak: (1) kesehatan mental dan regulasi
emosi, (2) fungsi sosial dan norma-norma yang menantang, dan (3) kesehatan dan perkembangan
fisik. Fokus Sandseter dan Kennair dalam artikel asli mereka pada tahun 2011 tentang evolusi
fungsi permainan berisiko sebagai mekanisme anti-fobia, dan mempertimbangkan jenis risiko lain
selain risiko fisik dan jenis permainan lainnya, termasuk jenis regulasi emosional lainnya daripada
pengurangan kecemasan. Termotivasi oleh emosi mendebarkan yang terlibat dalam permainan
berisiko, seseorang menjadi matang dalam kompetensi dan menguasai lingkungan psikososial
yang baru dan lebih kompleks. Bermain dengan risiko emosional, sosial, dan fisik mungkin telah
berkembang untuk meningkatkan kompetensi psikososial anak saat ini, tetapi juga melatih mereka
untuk konteks orang dewasa di masa depan. Kami merekomendasikan penelitian di masa depan
untuk mempertimbangkan bagaimana permainan berisiko dalam semua konteks mungkin
memiliki fungsi serupa.
Penelitian ini akan berfokus pada profiling pembelajaran sosial emosi siswa dalam usia 2
sampai 6 tahun dan akan mempertimbangkan apakah kematangan sosial emosi siswa yang
berbeda dapat dinilai dengan profiling untuk mengidentifikasi siswa. Kematangan sosial emosi
siswa berupa perubahan suasana hati yang cepat (keadaan emosional sulit diantisipasi karena
ananda bergerak cepat dari suasana hati positif ke negatif dan sebaliknya), menanggapi secara
positif pendekatan ramah dari orang dewasa, berpindah dengan baik dari satu aktivitas ke aktivitas
yang lainnya (tidak merasa cemas, marah, tertekan, atau terlalu bersemangat ketika berpindah dari
satu aktivitas ke aktivitas lainnya), pulih dengan cepat saat merasa kesal atau kesusahan (contoh,
tidak cemberut atau tetap cemberut, cemas atau sedih setelah mengalami kejadian yang
menyusahkan secara emosional), mudah frustasi, merespon secara positif pendekatan dari teman
sebaya, memiliki amarah yang mudah meledak/ Ananda sangat mudah marah, menunda kepuasan
(menunggu untuk mendapatkan hal yang baik), merasa senang dalam kesulitan orang lain (misal
tertawa saat orang lain dihukum atau terluka, senang menggoda orang lain), mengatur rasa
gembira (misal tidak terlalu terbawa suasana dalam suatu situasi seperti terlalu bersemangat saat
memenangkan perlombaan maupun dalam situasi yang kurang pantas), cengeng atau lengket
dengan orang dewasa, memiliki energi yang meledak-ledak atau memiliki kegembiraan berlebihan
yang mengganggu, merespon aturan dari orang tua dengan amarah, dapat mengatakan kapan ia
merasa sedih, marah atau kesal, takut maupun cemas/khawatir, tampak sedih atau lesu, merasa
sangat gembira saat melibatkan orang lain dalam permainannya, memperlihatkan afek yang datar
(tidak ekspresif atau ekspresi kosong), merespon secara negatif pendekatan dari teman sebaya
(contoh berbicara dengan suara marah atau merespon dengan takut), impulsif, berempati terhadap
orang lain (seperti sedih atau khawatir saat teman terluka), terlihat gembira saat mengganggu
orang lain atau terlihat gembira pada sesuatu yang dianggap orang lain mengganggu,
memperlihatkan emosi negatif yang sesuai (marah, takut, frustasi, atau kesulitan) dari tindakan
teman sebaya yang mengganggu, memusuhi, atau agresif, menampilkan emosi negatif ketika
mencoba melibatkan orang lain dalam permainan Penelitian ini akan melakukan analisis yang
sama pada data dari profiling sosial emosi siswa tersebut, dengan menggunakan analisis data
kuesioner dan wawancara.
Penelitian ini menganalisis dua bentuk data yang berbeda dengan dua cara, pertama untuk
memeriksa apakah dapat mendeteksi apakah siswa saat ini sesuai dengan kuesioner profil sosial
emosi siswa. Cara kedua adalah mendeteksi bagaimana keadaan sosial emosi siswa di dalam
kelas. Kedua cara tersebut berguna untuk memberikan gambaran mendetail tentang keadaan
sosial emosi siswa
Dalam penelitian ini, akan menganalisis aktivitas mereka setelah masuk kelas dan akan
memberikan informasi yang berkorelasi kuat dengan profil siswa dan mengonfirmasi identitas
mereka, atau tidak sesuai dengan profil sosial emosi siswa.
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Q1: Bagaimana profiling
sosial emosi siswa usia 2 sampai 6 tahun? Q2: Apakah profiling memberikan gambaran mendetail
tentang sosial emosi siswa? Q3: Bagaimana gambaran profiling sosial emosi siswa di kelas?
Penelitian ini akan memberikan kontribusi pengetahuan sebagai berikut: (a) Mengusulkan
dan menilai kegunaan dari profiling sosial emosi siswa dengan kuesioner (b) Membedakan antara
identifikasi positif dan negatif, dan menunjukkan apakah perbedaan ini praktis berpengaruh
dengan pembelajaran di kelas.
2. Tinjauan Pustaka
2) Egosentrisme Egosentrisme adalah keterbatasan berpikir dari seorang anak yang melihat
dunianya hanya dari perspektifnya sendiri dan mengalami kesulitan dalam memahami perspektif
lain (Chandrawaty et al., 2020). Orang yang egosentris akan lebih mengutamakan kepentingan
dirinya daripada kepentingan orang lain. Pembicaraan, cara berpikir, serta segala tindakannya akan
di arahkan ke dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan dirinya. Secara umum anak-anak
lebih banyak tenggelam dalam perilaku egosentrisme, baik itu cara berpikir dan berbicara. Sifat ini
akan mendatangkan kerugian bagi dirinya, terlebih dalam kehidupan sosial, karena begitu anak
masuk ke dalam dunia sekolah, maka sikap egosentrisme perlahan-lahan akan berkurang. Sikap
egosentrisme dipengaruhi oleh beberapa faktor (Jahja, 2011) yaitu:
• Merasa Superior Jika anak telah merasa superior, maka sikap egosentrisme akan semakin
tinggi dan berharap berlebihan, seperti orang-orang akan menunggu, bertepuk tangan Az-Zahra:
Journal of Gender and Family Studies Vol.3 No.1, 2022: 41-66 50 dari 66 Ulya Ainur Rofi’ah et
al. / Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun dan Stimulasinya Menurut Teori Perkembangan
terhadap karyanya, serta akan dijadikan pemimpin. Sibuk menyanjung dirinya sendiri,
menganggap dirinya paling berkuasa, tidak peduli pada orang lain, serta anti terhadap kerja
kelompok.
• Egosentris karena merasa inferior Egosenstrisme juga kerap kali muncul akibat dari
seorang individu yang merasa dirinya tidak punya harga diri dalam suatu komunitas, sehingga
permasalahan akan ditanggungnya sendiri. Tipe anak yang seperti ini, sering kali menjadi bahan
suruhan temannay, dan sangat cepat untuk dipengaruhi. Dalam kelompoknya, anak ini selalu
merasa dirinya kurang andil, sehingga sering kurang mendapatkan perhatian. Tetapi bukan berarti
dibenci oleh temannya.
• Egosentrisme akibat merasa menjadi korban Merasa diperlakukan tidak adil,
mengakibatkan anak akan bersikap ramah kepada semua orang. Sikap ini membuat mereka tidak
punya andil dalam komunitasnya, sehingga sering diabaikan oleh kelompoknya, dan bahkan akan
ditolak oleh kelompoknya jika ia menunjukkan sikap marah yang berkepanjangan.
3) Anak yang Terisolasi Anak yang terisolasi merupakan anak yang terkekang dalam
lingkungannya, serta bermasalah dalam kehidupan sosial. Hal ini disebabkan karena
teman-temannya tidak menyukai perilakunya. Ataupun anak itu sendiri yang tidak ingin
melakukan interaksi sosial, dan membangun relasi dengan teman-temannya. Untuk menemukan
masalah yang dihadapi dalam penerimaan sosial, serta menjawab siapakah anak yang paling
disukainya atau tidak dapat dilakukan dengan sosiometri. Sehingga guru akan lebih mudah
menemukan permasalahannya serta cara membimbingnya. Adapun Hurlock mengidentifikasi
kategori penerimaan anak dalam lingkungan sosialnya sebagai berikut (Susanto, 2018):
• Star, merupakan anak-anak yang diterima dalam lingkungan temannya sehingga menjadi
terkenal.
• Accepted, adalah anak-anak yang cukup dapat, sehingga menjadi cukup populer dalam
lingkungan teman-temannya.
• Climber, adalah anak-anak yang diterima dalam lingkungan karena mengikuti pola dan
aturan maupun kelompok tersebut. Maka anak yang termasuk dalam kelompok ini merasa takut
jika tidak taat akan kehilangan teman sebaya
• Fringer (pinggiran), adalah anak yang hampir sama dengan kategori sebelumnya, tetapi
anak ini memiliki ketakutan yang tinggi karena tidak diterima
• Ineglettee, anak-anak yang ditolak dalam lingkungannya karena sifatnya yang pemalu,
atau melakukan tindakan yang negatif
• Isolate, anak-anak yang termasuk dalam kategori ini bisa disebut sebagai anak introvert
karena selalu merasa takut bergaul dan tidak memiliki motivasi untuk melebur dengan lingkungan
teman sebayanya, bahkan tidak tertarik dan menarik bagi kelompoknya.
4) Agresif Permasalahan selanjutnya yang sering dihadapi oleh anak yaitu agresif. Agresif
adalah sebuah tindakan serangan balik yang diberikan kepada anak, baik itu berbentuk fisik,
maupun verbal serta menebar ancaman karena disebabkan oleh timbulnya rasa permusuhan.
Perbuatan ini sering muncul karena akibat dari reaksi dari sikap frustasi, seperti dilarang untuk
melakukan pekerjaan. Terkadang perbuatan ini muncul karena adanya sifat agresif yang ada pada
dirinya, sehingga semakin kuat. Namun beberapa keluarga, walaupun tidak semua kerap kali
agresif mendapatkan apresiasi dari keluarga. Bahkan tanpa kita sadari, anak sering mengambil
contoh dari orang tua. Beberapa kebiasaan agresif yang muncul dari anak seperti menyerang,
temper tantrum, merusak, juga marah dengan bahasa yang agak kasar.
6) Pertengkaran Perbuatan ini merupakan sebuah perdebatan pendapat yang dibangun atas
dasar kemarahan. Biasanya pertengkaran timbul karena anak melakukan penyerangan tanpa
didasari oleh alasan yang jelas.
7) Mengejek dan Menggertak Disebut mengejek karena perbuatan ini menggunakan lisan
sebagai alat utama, hal ini berbeda dengan menggertak yang menggunakan fisik. Dua tindakan ini
cara seseorang untuk meluapkan dendamnya, sehingga membuat korban merasa tersiksa.
8) Perilaku seperti berkuasa Perbuatan ini merupakan sebuah naluri seseorang untuk
menguasai orang lain, atau dengan bahasa yang lebih kasar ingin menjadi bos. Tindakan ini dalam
lingkungan sosial sangat tidak diterima.
9) Prasangka Mengenai prasangka Hurlock menjelaskan bahwa sikap ini terbentuk ketika
masa kanak-kanak (Rose & Mustafa, 2018). Prasangka timbul karena adanya perbedaan baik itu
berupa sikap maupun penampilan, sehingga perbedaan mereka memandang dirinya rendah.
Dengan demikian, prasangka muncul karena anak tidak pernah berfikir positif dalam setiap
fenomena yang dialaminya.
Perkembangan sosial anak akan sangat sulit beradaptasi bahkan terganggu jika kurangnya
kasih sayang dari orang-orang terdekat, tetapi terlalu berlebihan dalam memberikan kasih sayang
juga kurang baik bagi anak. Anak akan kesulitan dalam melakukan penyesuaian jika lebih banyak
diberikan kasih sayang. Pemberian kasih sayang akan yang terlalu banyak akan menghambat anak
untuk menunjukkan eksistensinya pada orang lain. Adapun metode yang dapat dilakukan dalam
mengatasi kekurangan kasih sayang kepada anak, yaitu:
• Memperhatikan kebutuhan dan keinginan anak Perlu disadari bahwa anak-anak sering
kali mempunyai keinginan diluar kewajaran, tetapi penting bagi orang tua untuk memperhatikan
hal tersebut. Kebanyakan orang tua memberikan apa yang diinginkan oleh anak sebagai bentuk
perhatiannya, namun hal yang demikian kurang baik, tetapi orang tua harus mempertimbangkan
dan berdialog dengan anak agar ia tidak salah paham, sehingga anak juga tetap merasa
diperhatikan.
• Menyerahkan anak kepada pengasuh yang bisa memahaminya saat ibu bekerja atau
bepergian Menentukan pengasuh yang sesuai dengan keinginan anak tidak mudah bagi orang tua,
karena pengasuh yang sesungguhnya bagi anak adalah ibunya sendiri sebagaimana ditakdirkan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi ketika ibu berada diluar rumah, pengasuh begitu sangat
penting untuk mengganti posisi ibunya. Memilih pengasuh harus disepakati oleh kedua orang
tuanya. Memilih pengasuh anak lebih diutamakan orang yang memiliki akhlak, dan sopan santun
yang baik.
• Mengasuh dan mendidik anak dengan gembira Mengasuh anak merupakan pekerjaan
yang unik. Anak yang diasuh akan mengikuti pola pengasuhnya, seperti marah, kesal, maka anak
ketika besarnya nanti akan seperti itu. Hal yang sebaliknya juga akan terjadi, jika anak-anak
diasuh dengan penuh kasih sayang dan gembira, maka ia akan menjadi anak yang tumbuh seperti
itu. 2) Anxiety (Cemas) Merupakan perasaan khawatir dan takut tanpa alasan yang jelas yang
berlangsung dalam waktu yang lama. Perasaan takut yang berlebihan juga didukung oleh
kegelisahan dan praduga terhadap perbuatan buruk yang belum tentu akan terjadi seperti
bertabrakan, kematian dan segala macam yang buruk. Perasaan cemas pada anak biasanya akan
terjadi dalam rentang usia 3 tahun, dan bentuk bisa bermacam-macam seperti kehilangan kasih
sayang dari orang tua, merasakan sakit, berbeda dari kebanyakan orang, dan semua bentuk
peristiwa yang tidak menyenangkan. Perasaan cemas pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya:
• Inkonsistensi dari para orang tua dan guru. Sikap tidak konsisten yang ditunjukkan oleh
orang tua dan guru menyebabkan anak merasa bahwa kehidupan ini sesuatu yang menakutkan dan
tidak pasti.
• Tuntutan yang berlebihan orang tua kepada anak untuk berprestasi.
• Batasan dan aturan yang tidak jelas dari orang tua mengenai perbuatan yang boleh dan
tidak dilakukan oleh anak menyebabkan kecemasan pada anak, karena anak belum mampu
menciptakan batasan sendiri dalam perbuatannya.
• Terlalu berlebihan dalam memberikan kritik oleh mareka para orang tua maupun orang
lain.
• Orang tua tidak membiasakan anak untuk mengingatkan anak kewajibannya sejak dini.
• Perasaan bersalah. Hal ini terjadi karena anak selalu memikirkan hukuman yang akan
diberikan.
• Orang tua sebagai model. Anak akan lebih banyak belajar dari orang terdekat yaitu orang
tua, ketika dalam kehidupannya orang tua sering menunjukkan sikap cemas, maka hal itu akan
diikuti pula oleh anak.
• Frustasi yang berkepanjangan. Kecemasan dan kemarahan yang terjadi pada anak sering
disebabkan oleh sikap frustasi secara terus menerus. Selain itu, orang tua terlalu menargetkan anak
hal-hal yang terlalu tinggi, sehingga ketika tidak itu tidak tercapai akan membuat anak merasa
cemas. Kecemasan pada anak dapat di atasi oleh para guru dan orang tua dengan cara sebagai
berikut:
• Anak yang cemas butuh ketentraman, maka oleh karena itu orang tua maupun guru harus
lebih tenang ketika anak dalam keadaan menangis, bersedih, bandel, maupun panik.
• Mengalihkan fokus anak kepada hal-hal yang membuatnya senang, sehingga ia menjadi
lupa dengan pikiran-pikiran yang membuatnya merasa cemas.
• Menghindari desakan untuk meminta penjelasan dari anak. Karena hal itu bagian dari
perbuatan yang sulit dimengerti oleh anak. • Relaksasi bersama anak. Relaksasi dapat dilakukan
dengan menarik nafas sedalam mungkin, kemudian melepaskannya perlahan-lahan dibarengi
dengan kata “tenan” atau “semua akan baik-baik saja” setelah melakukan relaksasi bersama anak.
• Mengerjakan aktivitas yang membuat tenang ketika merasa cemas, seperti mendengarkan
lagu, menggambar, membaca dan lain sebagainya.
• Melalui cerita dan permainan, para orang tua maupun guru mulai membiasakannya untuk
mengekspresikan dirinya.
• Jika perasaan cemas terus menerus, orang tua atau guru dapat meminta bantuan ahli
untuk mengatasinya.
3) Hipersensitivitas Pada anak-anak kerap kali dijumpai anak yang memiliki emosional
yang sangat sensitif atau berlebihan. Anak yang dihinggapi gejala hipersensitivitas akan sangat
mudah untuk tersinggung, dan terlalu berlebihan menanggapi sikap orang lain. Anak yang
mengidap hipersensitivitas akan menunjukkan sikap kurang baik jika mendapatkan kritik,
komentar, dan penilaian (Waryono, 2017). Sikap tersebut timbul karena anak merasa dirinya tidak
selevel dengan orang lain seperti merasa rendah, tidak pandai, kurang menarik, atau jauh dari
kepopuleran sebagaimana anak-anak yang lain. Jika hal ini terjadi, orang tua dapat mengambil
langkah-langkah sebagai berikut (Ndari et al., 2018):
• Para orang tua hendaknya tidak terlalu bersikap overprotective kepada anak, disamping
itu orang tua hendaknya selalu membuka diri terhadap lingkungan sosial yang dihuni oleh ragam
manusia dengan latar belakang yang berbeda.
• Orang tua sudah mulai memperkenalkan anak tentang kritik sedikit demi sedikit. Tetapi
juga para guru dan orang tua harus menghindari kritik yang bernada meremehkan dan
merendahkannya, namun memberikan kritik yang sifatnya membangun.
• Tenaga pendidik dan orang tua sebaiknya memperkenalkan anak dalam proposional.
Disamping harus menyadari adanya sisi positif darinya, tetapi juga tidak melupakan dimensi
negatifnya.
• Disamping itu, anak sejak dini mungkin sudah mulai diajarkan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. 4) Fobia Kata Fobia berasal dari Yunani yaitu phobos yang
mempunyai makna “ketakutan”. Fobia merupakan suatu ketakutan yang tidak normal dan juga
tidak beralasan terhadap suatu objek atau pada situasi tersentu. Sebenarnya fobia merupakan
sesuatu hal yang wajar, dan berbeda dengan penyakit (Andri Hakim, 2010). Jadi, tidak terdapat
suatu bahaya nyata yang mengancamnya. Fobia adalah gangguan psikologis yang harus ditangani,
terutama apabila telah sampai pada level kehidupan sehari-hari. Fobia merupakan gabungan dari
aspek emosi dan perbuatan. Seorang anak yang menderita gejala fobia akan merasa sangat takut
jika berhadapan dengan orang asing, lalu gerogi, kemudian mengasingkan diri ke dalam kamar,
atau mengekspresikan ketakutan yang berlebihan.
Adapun cara yang ditawarkan oleh para ahli konseling dan psikolog sangat efektif untuk
digunakan diantaranya adalah sebagai berikut:
• Terapi perilaku kognitif (CBT) Menurut Prof. DR. dr. A. Samik Wahab terapi
perilaku-kognitif merupakan intervensi lain yang diperkenalkan baru-baru ini untuk menangani
gangguan kepanikan (Wahab, 2000). Terapi perilaku ini merupakan salah satu jenis psikoterapi
yang dalam penerapannya dengan melakukan kombinasi antara terapi perilaku dan terapi kognitif.
Metode terapi ini sangat membantu para penderita fobia untuk keluar dari penderitanya, serta
merubah cara melihat orang lain dari perspektif yang berbeda, dari cara melihat yang membuatnya
telah takut. Pada intinya tujuan terapi ini agar pasien dapat mengembalikan kepercayaan dirinya,
dan terhindar dari berpikir negatif tentang orang lain.
• Terapi pemaparan (desensitisasi) Terapi pemaparan (desensitisasi) sistematis untuk
mengekspos penderita kepanikan, secara bertahap dalam situasi yang paling menakutkan bagi
penderita fobia sambil membantu mempertahankan kontrol atas gejala fobia atau keunikan
tersebut (Sari, 2003). Penerapan terapi ini mencoba untuk mendekatkan anak pada objek yang
membuatnya takut secara bertahap, hal ini untuk meminimalisir rasa takut yang dirasakan oleh
anak atau pasien.
Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, emosi positif maupun negatif. Santrock
mengungkapkan bahwa emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga pengalaman masa lalu.
Terutama ekspresi wajah dari emosi, disini dijelaskan bahwa emosi dasar seperti bahagia, terkejut,
marah, dan takut memiliki ekspresi wajah yang sama pada budaya yang berbeda. Emosi memiliki
peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik pada usia prasekolah maupun pada
tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh terhadap perilaku anak.
Woolfson menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional, seperti ingin dicintai, dihargai,
rasa aman, merasa kompeten dan mengoptimalkan kompetensinya.
Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan emosi. Pada usia
enam tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih kompleks, seperti kecemburuan,
kebanggaan, kesedihan dan kehilangan, tetapi anak-anak masih memiliki kesulitan di dalam
menafsirkan emosi orang lain. Pada tahapan ini anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi,
yang mencakup kapasitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional, serta menjaga
perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan untuk dibimbing oleh
pengalaman emosional. Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan selama masa
prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya kemampuan anak dalam
mentoleransi frustasi.
Kemampuan untuk mentoleransi frustasi ini, yang merupakan upaya anak untuk
menghindari amarah dalam situasi frustasi yang membuat emosi tidak terkontrol dan perilaku
menjadi tidak terorganisir. Anak-anak tampak meningkat kemampuannya dalam mentoleransi
frustasi ketika diminta melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Mereka juga
mulai belajar bagaimana menegosiasikan konflik tersebut. Sedangkan Kemampuan untuk
menunjukkan kontrol diri terhadap emosi akan menjadi anugerah yang dilematis bagi anak apabila
anak tidak mampu menyesuaikan levelnya terhadap situasi tertentu.
Pada beberapa situasi anak diharapkan mampu menahan diri, tetapi pada situasi yang lain
anak-anak dapat berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang mereka inginkan. Intinya, anak pra
sekolah diharapkan mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan baik dan tanpa merugikan
orang lain, serta dapat pula mulai belajar melakukan regulasi emosi.
Santrock (2007) perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal ditandai dengan
munculnya emosi evaluatif yang disadari rasa bangga, malu, dan rasa bersalah, dimana kemunculan
emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai memahami dan menggunakan peraturan dan
norma sosial untuk menilai perilaku mereka. Berikut penjelasan dari tiga emosi tersebut:
1) Rasa bangga Perasaan ini akan muncul ketika anak merasakan senang setelah sukses
melakukan perilaku tertentu. Rasa bangga sering diasosiasikan dengan pencapaian suatu tujuan
tertentu.
2) Malu Perasaan ini muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi
standar atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa bersembunyi
atau menghilang dari situasi tersebut. Secara fisik anak akan terlihat menge-rut seolah-olah ingin
menghindar dari tatapan orang lain. Dan biasanya rasa malu lebih disebabkan oleh interpretasi
individu terhadap kejadian tertentu.
3) Rasa bersalah Rasa ini akan muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah
kegagalan.
Dan dalam mengekspresikan perasaan ini biasa anak terlihat seperti melakukan
gerakan-gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka. Terdapat beberapa hal
penting dalam perkembangan emosional anak yang perlu difahami:
1) Usia berpengaruh pada perbedaan perkembangan emosi Setiap rentang usia menunjukkan
beberapa perbedaan yang paling mencolok dalam ekspresi dan regulasi emosi. Selama usia
prasekolah, anak juga mengalami stress dan meresponsnya, namun di usia ini mereka juga berusaha
untuk mengatur perasaan dan dorongan dirinya sendiri. Perbedaan kemampuan dalam
mengekspresikan dan meregulasi emosi pada anak ini juga terkait dengan perkembangan kognitif
anak, dimana perkembangan kognitif anak ini akan mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol
diri dan menghambat impuls.
2) Perubahan ekspresi wajah terhadap emosi Seperti halnya orang dewasa, ekspresi perasaan
anak-anak juga terlihat dari ekspresi wajahnya. Seiring dengan bertambahnya usia mereka,
anak-anak semakin mampu dalam mengekspresikan emosi mereka melalui tersenyum, mengerutkan
kening, dan ekspresi lainnya perasaan. Kemampuan menggambarkan ekspresi emosi mereka
semakin kompleks dan terlihat dari raut wajah mereka.
3) Menunjukkan emosi yang kompleks Anak-anak di usia prasekolah memperlihatkan
ekspresi wajah yang menunjukkan kebanggaan, malu-malu, malu, jijik, dan rasa bersalah yang tidak
terlihat pada bayi atau anak yang lebih muda. Ekspresi yang lebih kompleks dapat di tunjukkan dan
kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif untuk mereka mengalami dan
mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut.
4) Bahasa tubuh Ternyata wajah tidak cukup bagi anak untuk mengekspresikan emosi, anak
juga menggunakan seluruh tubuhnya untuk mengekspresikan perasaannya. Mereka
mengekspresikannya melalui gerak gerik dan bahasa tubuhnya.
5) Suara dan kata Anak-anak semakin baik dalam mengekspresikan perasaan mereka
melalui suara dan kata seiring bertambahnya usia. Mereka mulai memberi label yang sederhana
terhadap apa yang mereka rasakan kemudian berkembang menjadi pelabelan yang semakin
kompleks seiring dengan perasaan yang semakin kompleks yang mereka alami.
6) Representasi simbolik Sejak batita, balita, dan selanjutnya, anak-anak semakin baik
dalam menggunakan simbol, memainkan permainan, menggambar, dan memanipulasi material,
untuk mengkomunikasikan dan mengarahkan emosi.
7) Pengetahuan emosi Anak telah mulai mampu mengidentifikasi dan memberi nama
perasaan yang dialaminya dan orang lain, dimana kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk regulasi
emosi anak dalam berempati dan menunjukkan sikap pro sosial yang sesuai. Emosi anak
berkembang lebih awal dibanding dengan saat anak mulai mampu berpikir. Batita sudah mampu
memberi label pada emosinya yang sederhana, walaupun mereka membutuhkan waktu lebih lama
untuk melabel emosi yang lebih kompleks atau campuran dari beberapa emosi yang terjadi dalam
satu waktu. Perubahan dari batita ke masa prasekolah, anak berpikir bahwa orang akan merasa apa
yang mereka rasakan menjadi bahwa perasaan mereka sendiri mungkin berbeda dari orang lain.
Serta belajar kapan mereka perlu dan tidak perlu mengungkapkan perasaan mereka sesuai dengan
tuntutan sosial.
8) Perubahan usia dalam regulasi emosi Anak usia ini lebih dapat menyamar-kan atau
melebihkan emosi yang mereka rasakan dari reaksi yang biasanya mereka tampilkan di usia yang
lebih muda. Anak yang lebih tua lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan tidak
tertulis apa pun yang ada dalam budaya dan masyarakat mereka, tentang menunjukkan atau
menyembunyikan emosi
9) Respons pada perasaan lainnya Anak menikmati dalam menunjukkan emosi yang kuat,
dan tampaknya kegiatan ini menjadi salah satu cara mereka belajar tentang perasaan. Kemampuan
berempati juga semakin berkembang. Dan ekspresi emosi yang ditampilkan untuk satu keadaan
yang sama dapat saja berbeda dari setiap rentang usia, misalnya batita akan merasa takut saat
melihat anjing yang besar berlari kencang, namun anak yang lebih tua akan menunjukkan perasaan
tertarik.
10) Ikatan emosional dengan yang lain Ikatan emosional dengan orang lain mulai
berkembang, dan akan berkembang lebih cepat pada anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan
yang mendukung seperti banyak menghabiskan waktu bersama saudara kandung atau di tempat
pengasuhan atau penitipan yang banyak terdapat orang.
11) Tahap-tahap perkembangan emosional Terdapat beberapa model perkembangan emosi
yang dapat dijadikan landasan untuk mempelajari perkembangan emosi anak prasekolah. Seperti
teori dari Stanley Greenspan, Kurt Fischer, dan Carolyn Saarni. Dimana Model Greenspan menjadi
lebih psikodinamik, Fischer berfokus lebih pada kognitif yaitu pada pertumbuhan keterampilan
emosi tertentu, dan Saarni datang dari perspektif konstruktivis sosial.
Menempatkan perubahan bersama-sama dari berbagai teori Greenspan, Fischer, dan Saarni
percaya bahwa perkembangan dari bayi, batita, dan anak-anak prasekolah itu selalu akan bergerak
maju. Seperti: (a) Semakin luas, dan memiliki hubungan emosional yang semakin kompleks, (b)
Kemampuan yang lebih baik mengkoordinasikan dan mengontrol emosi dan menghubungkan
emosi, (c) Lebih mampu untuk merefleksikan perasaan mereka sendiri dan orang lain, (d)
Representasi emosi melalui bahasa, bermain, dan fantasi, (e) Menghubungkan emosi individu
terhadap nilai dan standar budaya, dan (f) Terintegrasi, positif, dan otonom, namun berhubungan
secara emosional, perasaan diri.
2.3.1. Tingkat pencapaian perkembangan sosial emosi anak pada usia 3-6 tahun
Tingkat Pencapaian Perkembangan
Tabel 2
Tingkat pencapaian perkembangan sosial emosi anak pada usia 3-6 tahun
Tingkat Pencapaian Perkembangan
2 - <3 tahun
1. Mulai bisa mengungkapkan ketika ingin buang air kecil dan buang air besar.
2. Mulai memahami hak orang lain (harus antri, menunggu giliran).
3. Mulai menunjukkan sikap berbagi, membantu, bekerja bersama.
4. Menyatakan perasaan terhadap anak lain (suka dengan teman karena baik hati, tidak suka
karena nakal, dsb.).
5. Berbagi peran dalam suatu permainan (menjadi dokter, perawat, pasien penjaga toko atau
pembeli
3 - <4 tahun
1. Mulai bisa melakukan buang air kecil tanpa bantuan.
2. Bersabar menunggu giliran.
3. Mulai menunjukkan sikap toleran sehingga dapat bekerja dalam kelompok.
4. Mulai menghargai orang lain.
5. Bereaksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak benar (marah apabila diganggu atau
diperlakukan berbeda).
6. Mulai menunjukkan ekspresi menyesal ketika melakukan kesalahan
4 - <5 tahun
1. Menunjukkan sikap mandiri dalam memilih kegiatan.
2. Mau berbagi, menolong, dan membantu teman.
3. Menunjukan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif.
4. Mengendalikan perasaan.
5. Menaati aturan yang berlaku dalam suatu permainan.
6. Menunjukkan rasa percaya diri.
7. Menjaga diri sendiri dari lingkungannya.
8. Menghargai orang lain.
5 - ≤6 tahun
1. Bersikap kooperatif dengan teman.
2. Menunjukkan sikap toleran.
3. Mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih antusias
dsb.)
4. Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat.
5. Memahami peraturan dan disiplin.
6. Menunjukkan rasa empati.
7. Memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah).
8. Bangga terhadap hasil karya sendiri.
9. Menghargai keunggulan orang lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi siswa khususnya dalam kemampuan regulasi
sosial emosi siswa di kelas. Penelitian ini akan menggunakan metode analisis data kuesioner
untuk identifikasi data - ini adalah metode pengambilan data yang sudah mapan. Selain itu,
penelitian ini juga menjabarkan gambaran sosial emosi di kelas
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam. Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan untuk menggali informasi
secara utuh, detail dan bersifat spesifik (Hadi, 2004).
Pada bagian ini kami menganalisis dua bentuk profiling: kuesioner regulasi sosial emosi
(FEAS) dan wawancara guru
Skala Penilaian Emosional Fungsional FEAS dimaksudkan untuk digunakan untuk profil
fungsi sosial-emosional pada bayi dan anak muda. Seperti yang akan terlihat pada bab ini,
membedakan antara anak dengan risiko tinggi profil fungsi emosional dan mereka yang tidak
memiliki masalah, serta antara tipe yang berbeda masalah. Bila digunakan bersama dengan
instrumen lain sebagai bagian yang komprehensif evaluasi, FEAS menyediakan data tentang
kapasitas sosial dan emosional anak dan pengasuhnya menggunakan kerangka pengembangan yang
mengintegrasikan pengamatan terhadap sejumlah variabel. Ini mencakup variabel konstitusional,
seperti kapasitas pengaturan diri, sensorik, dan perhatian. Mereka juga mencakup tingkat
perkembangan fungsi emosional serta komponen interaktif yang membentuk dasar keterikatan,
pengaturan suasana hati, fungsi emosional, dan sosial komunikasi. Temuan dari FEAS tidak
mengarah pada diagnosis formal gangguan tertentu, seperti autisme, gangguan kecemasan,
gangguan keterikatan, atau gangguan regulasi; Namun, data dari FEAS, dikombinasikan dengan
informasi diagnostik lainnya (misalnya, wawancara klinis orang tua dan anak, tindakan laporan
orang tua, dan pengujian formal lainnya) dapat membantu memberikan profil fungsi emosional.
(Greenspan, 2008)
Koleksinya berjumlah 46 item untuk versi pengasuh dan 79 item untuk versi anak FEAS
dihasilkan secara sistematis dari daftar spesifikasi domain. Ini disajikan dalam Tabel 1-1. Strategi
ini menjamin bahwa item-item tersebut mewakili setiap domain. Beberapa item dibangun untuk
masing-masing fungsi yang akan diukur. Versi pertama FEAS adalah dikembangkan pada tahun
1992 oleh Stanley I. Greenspan, M.D. dan diuji cobakan oleh Georgia A. DeGangi, Ph.D. pada
sampel 45 bayi, 30 diantaranya berkembang secara normal dan 15 dengan bayi normal gangguan.
Bekerja sama dengan Dr. Greenspan, Dr. DeGangi merevisi soal tes, lalu mengumpulkannya data
selama lima tahun. Versi penelitian FEAS terdapat pada Lampiran B. Ini adalah versi yang menjadi
dasar pembuatan FEAS versi usia tertentu. (Greenspan, 2008)
4. Hasil Temuan Emotion Regulation di TK Lazuardi dan TPQ Nurul Karimah
●
● Memperlihatkan afek yang datar (tidak ekspresif atau ekspresi kosong)
●
● Merespon secara negatif pendekatan dari teman sebaya (contoh berbicara dengan suara
marah atau merespon dengan takut)
●
● Impulsif
●
● Terlihat gembira saat mengganggu orang lain atau terlihat gembira pada sesuatu yang
dianggap orang lain mengganggu.
●
● Menampilkan emosi negatif ketika mencoba melibatkan orang lain dalam permainan.
Jarang (2)
Indikator:
● Riang
●
● Dapat pulih dengan cepat saat merasa kesal atau kesusahan (contoh, tidak cemberut atau
tetap cemberut, cemas atau sedih setelah mengalami kejadian yang menyusahkan secara
emosional)
●
● Memiliki amarah yang mudah meledak/ Ananda sangat mudah marah.
●
● Mampu menunda kepuasan (menunggu untuk mendapatkan hal yang baik)
●
● Mampu mengatur rasa gembira (misal tidak terlalu terbawa suasana dalam suatu situasi
seperti terlalu bersemangat saat memenangkan perlombaan maupun dalam situasi yang
kurang pantas)
●
● Memiliki energi yang meledak-ledak atau memiliki kegembiraan berlebihan yang
mengganggu
●
● Tampak sedih atau lesu
●
Kriteria: Sering (3)
Indikator:
● Menunjukan perubahan suasana hati yang cepat (keadaan emosional sulit diantisipasi karena
ananda bergerak cepat dari suasana hati positif ke negatif dan sebaliknya)
●
● Menanggapi secara positif pendekatan ramah dari orang dewasa
●
● Dapat berpindah dengan baik dari satu aktivitas ke aktivitas yang lainnya (tidak merasa
cemas, marah, tertekan, atau terlalu bersemangat ketika berpindah dari satu aktivitas ke
aktivitas lainnya)
●
● Dapat merespon secara positif pendekatan dari teman sebaya.
●
● Cengeng atau lengket dengan orang dewasa.
●
● Merespon aturan dari orang tua dengan amarah
●
● Dapat mengatakan kapan ia merasa sedih, marah atau kesal, takut maupun cemas/khawatir.
●
● Merasa sangat gembira saat melibatkan orang lain dalam permainannya
●
● Mampu berempati terhadap orang lain (seperti sedih atau khawatir saat teman terluka)
●
● Memperlihatkan emosi negatif yang sesuai (marah, takut, frustasi, atau kesulitan) dari
tindakan teman sebaya yang mengganggu, memusuhi, atau agresif.
Hasil Penelitian ini adalah lebih banyak siswa dengan usia 2 sampai 6 tahun berada pada
Kriteria: Selalu (4). Hal ini dijabarkan dengan Indikator: Ananda mudah frustasi.
Frustasi adalah perasaan jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Menurut
Nihayatus mengutip repository Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, kebutuhan seseorang tak
selalu bisa dipenuhi dengan lancar dan seringkali ada hambatan dalam pemuasan kebutuhan.
Keadaan terhambat ini dinamakan frustasi
Berbagai beban kehidupan yang dihadapi anak, baik yang bersumber dari tekanan keluarga,
tekanan dari teman bergaulnya, maupun tekanan dari lingkungan sekolah menjadikan anak mudah
stres dan frustasi, akibatnya mengganggu emosi dan perilaku sosial anak.
Marah sering kali muncul sebagai reaksi terhadap frustasi, sakit hati, dan merasa terancam.
Pada umumnya, frustasi atau keinginan yang tidak terpenuhi merupakan hal yang paling sering
menimbulkan kemarahan pada tiap tingkat usia. Dibanding rasa takut, rasa marah lebih sering
muncul pada masa kanak-kanak. Ini disebabkan rangsangan-rangsangan untuk marah lebih sering
dialami anak ketimbang rangsangan yang menimbulkan rasa takut. Selain itu, dalam tahun-tahun
pertama, anak sering belajar dari pengalaman bahwa dengan marah keinginannya akan terpenuhi.
6. Rekomendasi
Almassian, N, Azmi, R & Berenji, S. 2009. 'AIDSLK: Sistem Deteksi Intrusi Berbasis Anomali
pada Kernel Linux', Sistem Informasi, Teknologi dan Manajemen: hal. 232-243.
Annika Rademacher, Naska Goagoses, Sören Schmidt, Jelena Zumbach & Ute Koglin (2021):
Preschoolers’ Profiles of Self-regulation, Social-emotional and Behavior Skills and Its
Prediction for a Successful Behavior Adaptation during the Transitional Period from
Preschool to Elementary School, Early Education and Development, DOI:
10.1080/10409289.2021.1958283 To link to this article:
https://doi.org/10.1080/10409289.2021.1958283
Ashman, H & Holland, S. 'Membuat profil dan mengidentifikasi siswa dengan analisis n-gram
pada riwayat baris perintah mereka' (dalam draft).
Az-Zahra: Journal of Gender and Family Studies Vol.3 No.1, 2022: 41-66 65 dari 66 Ulya Ainur
Rofi’ah et al. / Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun dan Stimulasinya Menurut Teori
Perkembangan DOI : 10.15575/azzahra.v3i1.11036 ISSN 2746-8585 (Print) ISSN
2746-8593 (Online) https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/azzahra/index Sosial Emosional
Anak Usia 0-6 Tahun dan Stimulasinya Menurut Teori Perkembangan Ulya Ainur
Rofi’ah1* , Nurlaili Dina Hafni2, and Layyinatul Mursyidah3 1UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta 1; rofiahulya@gmail.com 2,3 Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban 2;
dinahafni89@gmail.com , layyeenaalin1609@gmail.com
Choirunissa, R., & Ediati, A. (2020). Hubungan antara Komunikasi Interpersonal
Remaja-Orangtua dengan Regulasi Emosi pada Siswa SMK. Jurnal Empati, 7(3),
1068–1075.
Ellen Beate Hansen Sandsetera, Rasmus KleppeaandLeif Edward Ottesen Kennair (2023). Risky
play in children’s emotion regulation, social functioning, and physical health: an
evolutionary approach. Department of Physical Education and Health, Queen Maud
University College of Early Childhood Education, Trondheim, Norway; Department of
Psychology, Norwegian University of Science and Technology, Trondheim, Norway.
INTERNATIONAL JOURNAL OF PLAY2023, VOL. 12, NO. 1, 127–139.
https://doi.org/10.1080/21594937.2022.2152531
Greenspan, S, DeGangi G, & Wieder, S. (2001). The Functional Emotional Assessment Scale
(FEAS) For Infancy and Early Childhood: Clinical and Research Applications. by the
Interdisciplinary Council on Developmental and Learning Disorders. U.S.A.
Georgia A. DeGangi, Ph.D., OTR. & Stanley I. Greenspan, M.D., 2008. The Functional Emotional
Assessment Scale. Chapter 5. RESEARCH ON THE FEAS: TEST DEVELOPMENT,
RELIABILITY, AND VALIDITY STUDIES. by the Interdisciplinary Council on
Developmental and Learning Disorders. U.S.A.
Grzech, A. 2006. Deteksi anomali dalam sistem komunikasi komputer terdistribusi. Sibernetika
dan Sistem, 37: 635-652.
HUBBALLI, N., BISWAS, S. & NANDI, S. 2011. Sequence Gram: pemodelan n-gram dari
panggilan sistem untuk deteksi anomali berbasis program. Dalam Sistem Komunikasi
dan Jaringan (COMSNETS), Konferensi Internasional Ketiga, 4-8 Januari 2011
2011: 1-10.
Maia, M, Almeida, J, Virg & Almeida, l. 2008, 'Mengidentifikasi perilaku siswa di jejaring sosial
online'. Prosiding Lokakarya Pertama tentang Sistem Jaringan Sosial, Glasgow, Skotlandia.
Nansi, D., & Utami, F. T. (2017). Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Perilaku Disiplin
Santri Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Qodratullah Langkan. Psikis: Jurnal Psikologi
Islami, 2 (1), 16–28.
N.P.Dau, V, Rau, V & J.Templeton, S. 2000. 'Membuat profil siswa di Lingkungan OS UNIX'.
Pannell, G & Ashman, H. 2010, 'Pemodelan siswa untuk Pengecualian dan Deteksi Anomali:
Sistem Deteksi Intrusi Perilaku'. dalam De Bra, P, Kobsa, A & Chin, D (eds), Pemodelan
siswa, Adaptasi, dan Personalisasi, vol. 6075, Springer Berlin / Heidelberg: hal. 207-218.
Putri, S., Lado, U., Gaddi, M. E., Widyantari, N. M., Keguruan, F., & Pendidikan, D. I. (2022).
Meningkatkan Pendidikan Karakter bagi Generasi Z pada Era Society 5.O. Prosiding Pekan
Ilmiah Pelajar (PILAR), 2, 1–13.
https://e-journal.unmas.ac.id/index.php/pilar/article/view/4414
Rahmah Wati Anzani & Intan Khairul Insan. PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSI PADA ANAK
USIA PRASEKOLAH. Universitas Muhammadiyah Tangerang rahmahanzani@gmail.com ,
intanjr17m@gmail.com. Pandawa : Jurnal Pendidikan dan Dakwah Volume 2, Nomor 2,
Mei 2020; 180-193 https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pandawa
Randi Kaseger, S.Pd., M.Pd. Guru Penggerak Angkatan 6 Kota Manado, SMA Negeri 7 Manado.
https://bgpsulawesiutara.kemdikbud.go.id/2023/11/01/pentingnya-pembelajaran-sosial-dan-e
mosional-dalam-pendidikan/
Reddy, DKS & Pujari, AK. 2006, 'Analisis n-gram untuk deteksi virus komputer'. Jurnal Virologi
Komputer, vol. 2, no. 3: hal. 231-239.
Rhoades, B. L., Heather K. W., Celene E. D., & Mark T. G. (2011). Examining The Link Between
Preschool Social-Emotional Competence And First Grade Academic Achievement: The Role
Of Attention Skills. Early Childhood Research Quarterly, 26, 182-191.
Tria Yunita Sari dan Najlatun Naqiyah. PENGEMBANGAN INSTRUMEN SKALA REGULASI
EMOSI PADA PESERTA DIDIK SMK. Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya
Lampiran
Regulation and interest in the world Internal regulation (harmony and balanced
(0 to 3 months) interest in the world)
Emotional thinking or the development and Enhanced and eventually optimal flexibility to
expression of thematic play conserve and transform complex and
(3 to 5 years) organized representations or experience in the
context of expanded relationship patterns and
phase-expected developmental tasks
Berikut merupakan formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait kemampuan Ananda dalam
Regulasi-Emosi. Mohon diisi sesuai dengan kemampuan Ananda saat ini.
Terimakasih
Nama Ananda
*
Short-answer text
Usia Ananda
*
Short-answer text
NAMA AYAH/IBU
*
Short-answer text
Kriteria Jawaban:
Tidak pernah
Jarang
Sering
Selalu