You are on page 1of 10

Djono dkk.

- Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa


HUMANIORA
VOLUME 24 No. 3 Oktober 2012 Halaman 269 - 278

NILAI KEARIFAN LOKAL


RUMAH TRADISIONAL JAWA
Djono*
Tri Prasetyo Utomo**
Slamet Subiyantoro***

ABSTRACT
Java has the values that can be taken in relation to the value of the benefits of ethics and aesthetics.
One form of those values are joglo art that have the local knowledge of Javanese culture. Model approach
in this research is leading to a descriptive qualitative ethnographic, in which the empirical reality a
result, demanding researchers go directly to the location of the study, to be able to live up to their
tradition, and the symptoms of everyday life that is full of social phenomena local culture. This research
forms a single case study stuck. In the context of this case study, a traditional Javanese home visits as a
sub unit of analysis, but its existence still viewed/reviewed as a place that is part of the social system of
the larger society around Surakarta. Java house building structure is one that reflects the composition of
space like typical building pendhapa, pringgitan, dalem, kitchen, or gadri gandhok. The relation between
this structure is a structure which is strongly influenced by the manifestation process mythology and
cosmology Java). This means that the traditional Javanese house is not just a place to shelter (practical
function), but also understood as a manifestation of the ideals and outlook on life or a symbolic function.
In this case the traditional Javanese houses are not only placed as an autonomous element, a separate
stand alone, but being seen in context, particularly relevant to the context of allied Javanese cosmology
that underlie the view that the Javanese philosophy of life.

Keywords: local wisdom, joglo, Javanese culture

ABSTRAK
Jawa memiliki nilai-nilai sarat dengan nilai etika dan estetika. Salah satu bentuk nilai-nilai tersebut
adalah joglo yang memiliki pengetahuan lokal budaya Jawa. Model pendekatan dalam penelitian ini
mengarah ke etnografi deskriptif kualitatif. Realitas empiris diperoleh peneliti langsung ke lokasi
penelitian, untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan sesuai dengan tradisi mereka, dan gejala
kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kearifan lokal. Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal
terpancang. Dalam konteks studi kasus ini, rumah tradisional Jawa sebagai sub unit analisis, namun
keberadaannya masih dipandang sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat yang lebih luas di sekitar
Surakarta. Struktur bangunan rumah tradisional Jawa mencerminkan komposisi ruang bangunan khas
seperti: pendhapa, pringgitan, dalem, dapur, atau gadri gandhok. Hubungan antara struktur ini sangat
dipengaruhi oleh mitologi proses manifestasi dan kosmologi Jawa. Ini berarti bahwa rumah Jawa
tradisional tidak hanya sebuah tempat untuk berlindung (fungsi praktis), tetapi juga dipahami sebagai
manifestasi dari cita-cita dan pandangan hidup atau fungsi simbolis. Dalam hal ini rumah-rumah

* Pengajar Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta


** Pengajar Institut Seni Indonesia, Surakarta
*** Pengajar Program Studi Pendidikan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

269
Humaniora, Vol. 24, No. 3 Oktober 2012: 269 - 278

tradisional Jawa tidak hanya ditempatkan sebagai unsur otonom, berdiri terpisah saja, tetapi dilihat
dalam konteks, sangat relevan dengan kesatuan kosmologi Jawa yang mendasari pandangan filosofi
hidup orang Jawa.

Kata Kunci: kearifan lokal, joglo, budaya Jawa.

PENGANTAR tempat tinggal, tetapi juga diharapkan membawa


Bangunan fisik selalu menandai tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuni-
perkembangan kehidupan manusia sehingga nya melalui pernggabungan unsur makrokosmos
setiap bangunan sarat dengan nilai instrinsik dan mikrokosmos di dalam rumah tersebut.
tentang kearifan lokal (Ahimsa-Putra, 2008:7). Dengan demikian, diharapkan keseimbangan
Dari masa prasejarah dapat dijumpai beberapa hidup tercapai dan membawa dampak positif bagi
artefak, seperti yupa, lingga, hingga cat-cat penghuninya. Mendalami unsur filosofi dalam
tangan di dinding-dinding gua di Kalimantan yang rumah tradisi Jawa membuka kemungkinan usaha
mampu merekonstruksi kehidupan mentalitas generasi muda sebagai pewaris kebudayaan di
manusia waktu itu. Ketika mengamati Candi masa yang akan datang untuk memelihara dan
Sukuh lalu didapati arca Nandi di pelatarannya, melestarikan warisan generasi pendahulunya.
mampu ditafsirkan bahwa agama yang dianut Model pendekatan dalam penelitian ini
masyarakat waktu itu adalah Hindu. Hal ini adalah deskriptif kualitatif yang mengarah pada
menunjukkan bahwa bangunan-bangunan fisik etnografis, yaitu dalam menggambarkan suatu
yang sampai di masa sekarang merupakan kenyataan empirik hasil penelitian, peneliti di-
representasi kehidupan manusia yang mem- tuntut terjun langsung ke lokasi penelitian agar
dapat menghayati adat istiadat dan gejala-gejala
buatnya. Semangat orientalisme telah membawa
arus untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang telah kehidupan sehari-hari yang sarat dengan feno-
mena sosial budaya setempat. Selama penelitian,
dimiliki bangsa kita jauh sebelum masuknya
peneliti lebih banyak terlibat dan berusaha meng-
orientasi Eropa sehingga nilai-nilai kearifan lokal
hayati sistem sosial-budaya masyarakat se-
merupakan penanda peradaban Jawa telah
tempat, khususnya dalam kaitannya dengan
tumbuh sejak masa lampau.
konteks rumah sebagai perwujudan pandangan
Salah satu nilai kearifan lokal ditemukan
hidup orang Jawa yang bersifat kosmologis.
dalam rumah tradisional Jawa. Jawa memiliki
Strategi pendekatan ini dipilih atas dasar
berbagai keindahan budaya dan seni yang
pertimbangan bahwa (1) pendekatan kualitatif
terintegrasi dengan kehidupan masyarakatnya.
meskipun hanya mencakup skala lokasi penelitian
Berbagai seni tradisi dan budaya tertuang dalam
yang kecil/terbatas, mampu mengembangkan
karya karya pusaka masyarakat Jawa, seperti
pada kerangka konsepsual yang lebih luas, (2)
batik, rumah joglo, keris, dan gamelan. Joglo
model pendekatan ini tidak semata-mata hanya
sebenarnya hanya merupakan salah satu bentuk
mementingkan hasil saja, melainkan aspek proses
rumah tradisional Jawa, tetapi joglo merupakan adalah sesuatu yang lebih utama, bahkan (3)
tipe rumah Jawa yang paling lengkap susunannya pendekatan kualitatif yang bersifat etnografis ini
sehingga nilai kearifan yang terkandung dalam sangat baik apabila suatu penelitian ingin men-
rumah ini pun juga tidak habis diuraikan hingga jelaskan suatu fenomena secara mendalam dan
sekarang. menyeluruh sehingga hasil penelitiannya merupa-
Tulisan ini mengungkap konstruksi rumah kan deskripsi detil yang tidak kaku tetapi juga
tradisi Jawa secara fisik dan meninjaunya dari mendalam (Bogdan & Tylor, 1982:35-37).
segi filosofis masyarakat Jawa. Bangunan atau Pada dasarnya bentuk penelitian ini merupa-
rumah tradisi tidak hanya dibangun sebagai kan penelitian kasus tunggal terpancang. Pada

270
Djono dkk. - Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa

konteks penelitian kasus ini, rumah tradisional berciri tropis sebagai upaya penyesuaian ter-
Jawa dilihat sebagai subunit analisis, namun hadap kondisi lingkungan yang beriklim tropis.
keberadaannya tetap dilihat/dikaji sebagai tempat Salah satu bentuk penyesuaian terhadap kondisi
yang merupakan bagian dari sistem sosial tersebut adalah dengan membuat teras depan
masyarakat yang lebih besar di sekitar Surakarta yang luas, terlindung dari panas matahari oleh
(Abdullah, 1995:57). Dengan demikian, kerterkait- atap gantung yang lebar, mengembang ke segala
an antara tempat penelitian dan keberadaan sudut yang terdapat pada atap joglo. Menurut
rumah tradisional Jawa merupakan bagian Rahmanu Widayat (2004:2) rumah tradisi Jawa
integratif yang perlu diperhatikan dalam meng- yang bentuknya beraneka ragam mempunyai
gambarkan suatu fenomena dalam suatu wilayah pembagian ruang yang khas, yaitu terdiri atas
fokus kajian. pendhapa, pringgitan, dan dalem.
Terjadi penerapan prinsip hierarki dalam pola
JOGLO DAN KONSTRUKS KEBUDAYAAN penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki
JAWA perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat
Perkembangan sejarah joglo tidak terlepas umum (publik), dan bagian belakang bersifat
dari bangunan purba yang disebut punden khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan
berundak, sebuah bangunan suci (Hedi, 2005:28- dari bagian teras, pendhapa sampai bagian
38), struktur dan bentuk bersusun memusat belakang (pawon dan pekiwan) tidak hanya
semakin ke atas semakin kecil (Sunarningsih, memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsur
1999:32). Susunan atas bagian luar pendhapa filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan
joglo ditutup atap menjulang ke atas berbentuk terhadap dewa diwujudkan dengan ruang
seperti gunungan yang bagian puncaknya pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan
terhubung mala yang membujur, biasa orang dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan
Jawa menyebut penuwun. Pada bagian tengah mata pencaharian masyarakat Jawa (petani-
joglo terdapat struktur penyangga bagian atas, agraris). Ruang tersebut disebut krobongan, yaitu
namanya saka guru, berupa bahan kayu ber- kamar yang selalu kosong, namun lengkap
jumlah empat dengan formasi persegi. Bagian dengan ranjang, kasur, bantal, dan guling, dan
bawah saka guru ditopang umpak atau bebatur dapat juga digunakan untuk malam pertama bagi
dari bahan batu. Apabila dicermati, struktur dan pengantin baru (Widayat, 2004:7). Krobongan
bentuk rumah joglo sama dengan struktur dan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai
bentuk candi Hindu. Oleh karena itu, dapat diduga penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap
bahwa rumah joglo adalah bentuk transformasi sangat berperan dalam semua sendi kehidupan
bentuk candi. masyarakat Jawa.
Bangunan tradisi atau rumah adat merupa- Rumah tradisi Jawa banyak memengaruhi
kan salah satu wujud budaya yang bersifat rumah tradisi lainnya, di antaranya rumah abu
konkret. Dalam kontruksinya, setiap bagian/ruang (bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga
dalam rumah adat sarat dengan nilai dan norma dan digunakan sebagai rumah sembahyang dan
yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudaya- rumah tinggal untuk menghormati leluhur etnis
an tersebut. Begitu juga dengan joglo, konstruksi Cina). Oleh karena itu, struktur rumah abu memiliki
bangunan yang khas dengan fungsi setiap bagian banyak persamaan dengan rumah tradisi Jawa
yang berbeda satu sama lain mengandung unsur dalam berbagai segi.
filosofis yang sarat dengan nilai-nilai religi, Kehidupan bagi orang Jawa adalah sesuatu
kepercayaan, norma, dan nilai budaya adat etnis yang dicari bukan dihindari atau belakangi.
Jawa. Selain itu, joglo juga memiliki makna Bangunan rumah sendiri sesungguhnya merupa-
historis yang perlu dipelihara dan dilestarikan. kan tiruan gunung. Dengan demikian, antara
Rumah tradisi Jawa masih dapat ditemukan gunung dan samudra sebenarnya adalah gambar-
pada Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. an dunia atau kosmos yang saling berhadapan,

271
Humaniora, Vol. 24, No. 3 Oktober 2012: 269 - 278

dan bahkan keduanya keberadaan disakralkan atas kaju. Skala vertikal dalam konteks pem-
atau disucikan. bahasan terdiri tujuh tataran mulai dari kongkrit
Bangunan rumah tradisional dapat dilihat ke abstrak, atau susunan dari bawah ke atas.
dalam dua skala, yaitu skala horisontal dan Skala tersebut tersusun dalam tiga struktur yaitu
vertikal. Skala horisontal membicarakan perihal atas, tengah, dan bawah. Masing-masing
ruang dan pembagiannya, sedangkan skala struktur, baik yang atas maupun bawah adalah
vertikal membicarakan pembagian bangunan berpasangan, sedangkan struktur tengah terdiri
rumah yang terdiri atas lantai dasar yang disebut struktur tiga, di mana di tengahnya terdapat
kaki (umpak, bebatur), tubuh (tiang, dinding) dan struktur pembatas dari kedua struktur lainnya.
bagian atas yaitu kepala atau atab. Skala vertikal Unsur budaya seperti rumah tradisional Jawa
pada rumah merupakan struktur tegak yang tersusun dalam tiga struktur secara vertikal, yaitu
berupa oposisi antara dunia transenden (imma- atas, tengah, dan bawah. Keduanya terdiri atas
terial) dengan dunia imanen (material). Dalam tujuh tataran dari bawah ke atas mencerminkan
konteks mistik kejawen, struktur atas adalah sifat dari kongkret menuju ke abstrak. Tataran
bagian puncak yang merepresentasikan kegaib- tujuh pada rumah tradisional Jawa dari bawah
an, sedangkan struktur horisontal atau bagian ke atas berturut-turut sebagai berikut: pondasi,
bawah adalah tempat manusia melakukan bebatur, saka guru, sunduk kili, tumpangsari,
kehidupan. ander, dan mala. Skala yang terdiri atas tujuh
Pandangan hidup orang Jawa ini tidak ter- tataran juga ditemukan pada ruang dalem, selain
lepas dengan peran Raja dan kekuasaan dalam pendhapa.
Keraton. Mengingat kedudukan Keraton sebagai Dalam skala horisontal pembagian ruang
pusat jagad raya, maka pengaturan bangunan di rumah terdiri lima ruang. Ruang dalem posisinya
dalam Keraton tidak terlepas dari usaha Raja tepat di tengah, diapit bagian depan oleh ruang
untuk menyelaraskan kehidupan warga komuni- pendhapa-pringgitan, dan diapit bagian belakang
tas Keraton dengan jagad raya itu. Kedudukan oleh ruang gadripawon. Sementara bagian kiri
Raja tidak lepas dari otoritas kekuasan yang dan bagian kanan ruang dalem terdiri ruang
dimiliki, kaitannya pula dengan konsep spiritual gandhok kiri dan gandhok kanan. Struktur ini
yang diduga akibat pengaruh kultur India (Darsiti, merupakan transformasi dari struktur alam (kos-
1989: 3). Pengaruh konsep spiritual tercermin mologi) berupa empat arah mata angin, yaitu: (U)
pada bangunan yang didasarkan pada pola utara, (S) selatan, (T) timur dan (B) barat, dan
tengah atau pusat yang bermakna sakral. Pola satu titik pusat di tengah, yang merupakan
itu juga termanifestasi dalam struktur satu di persinggungan ke empat arah mata angin ter-
tengah diapit dua lainnya, atau pola struktur di sebut. Dalam terminologi Jawa struktur ini disebut
depan dan belakangnya, atau di kiri dan kanan- papat kiblat limapancer.
nya, seperti tercermin dalam pola papat kiblat Struktur ruang pokok Keraton yang merupa-
lima pancer (Darsiti, 1989: 40). kan tempat Ratu itu adalah manifestasi bentuk
Struktur vertikal dalam pandangan hidup kosmologi. Keraton juga merupakan tiruan
orang Jawa secara alamiah (kosmologis) disari- kosmos (Suhardi, 2004: 18). Kedudukannya yang
kan dari kundalini yoga, juga pada serat wirid di tengah dipercaya sebagai pancer atau pusat
hidayat jati. Tataran tujuh dari bawah ke atas dari kosmos, menjadi rujukan dari unsur di sekitar
seperti tercermin dalam struktur alam yaitu: tanah, yang mengelilinginya. Struktur ruang rumah
air, api, udara, ether, ajna, dan roh. Tataran serat tradisional Jawa sama dengan rumah Raja
wirid hidayat jati yang menggambarkan proses (Keraton). Indikasi ini menegaskan bahwa rumah
tahapan kesempurnaan dumadining dzat dari tradisional Jawa adalah replika struktur Keraton.
bawah ke atas terdiri atas kijab atau dinding jalal, Rumah tradisional Jawa dengan demikian juga
darah, dammar, roh, kaca, nur, dan yang paling merupakan manifestasi kosmologi Jawa.

272
Djono dkk. - Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa

KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA nya di dada merupakan sumber rasa yang dalam
Kosmologi adalah konsep yang sudah di- serat wirid hidayat jati disebut baital-mukaram.
kenal orang Jawa sebelum datangnya pengaruh Tataran ketiga ada di bagian bawah, tempat
agama Hindu. Namun, dengan datangnya kemaluan, tempat ini adalah sumber dari karsa
pengaruh Hindu India, konsep tersebut nuansa atau baitalmukadas (Ranggawarsita dalam
luarnya semakin disempurnakan meskipun isinya Tanojo, 1954:14). Gunungan itu pun kemudian
sama, atau ibaratnya ganti pakaian baru meskipun pindah, bergerak sehingga tidak lagi di tengah.
tubuhnya tetap yang lama (Sunarningsih 1999: Hal demikian menyiratkan makna yang mendalam
31). Oleh karena itu, rumah bagi orang Jawa tidak setelah adanya gerak kayon (gunungan) di
cukup hanya sekedar sebagai tempat tinggal. tengah kelir tadi, menandakan ada kehidupan
Rumah adalah satuan simbolik bagi pemiliknya atau kaju, yaitu bayi akan lahir (Mulyono, 1983:
sehingga kedudukan rumah adalah cerminan 109).
kepribadian dan kehidupan penghuninya. Kayon atau gunungan yang esensinya
Dengan demikian, menganalisis rumah tradisional adalah perwujudan rumah tradisional Jawa itu
Jawa sama halnya membahas manusia Jawa dan merupakan simbol hidup atau kehidupan itu
kebudayaannya secara utuh (Tjahjono dalam sendiri. Oleh karena itu, rumah dalam pandangan
Santosa, 2000:ix). hidup orang Jawa dipercaya sebagai peng-
Struktur vertikal rumah terdiri atas tiga tingkat. hubung bumi (dunia bawah) dan langit (dunia
Pada bagian atas disebut kepala, bagian tengah atas). Struktur ketinggiannya itu menjadi media
disebut badan, sedangkan bagian bawah di- dan axis mundi yang menghubungkan dunia
umpamakan kaki (Yudaseputra, 1993:118). manusia yang bersifat imanendengan dunia gaib
Rumah Jawa adalah tiruan gunungan yang yang bersifat transenden.
puncaknya menjulang tinggi ke atas. Meru me- Puncak dari struktur rumah adalah tempat
keberadaan metakosmos, dunia rohani yang gaib
rupakan nama gunung yang dipercaya sebagai
tempat para Dewa bersemayam (Prijatama, 1992: serba tidak tampak. Atap rumah yang menjulang
ke atas adalah simbol tunas yang siap me-
41, 54). Umumnya rumah tradisional Jawa bentuk-
nguncup, awal dari yang tunggal. Pada bagian
nya menyerupai Meru. Tidak aneh apabila dalam
mistik kejawen, gunungan yang diimajinasikan atas puncak atap yang ada hanya awang-uwung
yang dalam pandangan lahiriah fenomena ini
Meru itu diwujudkan dalam bentuk gunungan
menggambarkan alam tunggal yang kosong,
wayang kulit purwa yang disebut sebagai kaju
namun secara batiniah alam tersebut tidak hanya
yang artinya pohon kehidupan.
bermakna kosong tetapi sekaligus berisi segala-
Sebagai ilustrasi dapat ditunjukkan ketika
nya. Inilah pandangan orang Jawa dalam me-
dalang wayang kulit purwa menancapkan
maknai rumah sebagai media komunikasi ke yang
gunungan dengan posisi tepat di tengah-tengah
kosong-paradoks, yakni Yang Maha Ada sekali-
kelir sebelum pertunjukan wayang dimulai.
gus Yang Tiada.Sang Ada tidak terjangkau oleh
Gunungan atau kayontersebut menggambarkan
pengalaman manusia di dunia ini. DiaTiada,
alam pikiran orang Jawa bahwa pada mulanya
kosong namun sekaligus segalanya yang Ada,
belum ada kelahiran masih awang-uwung, yang
dan yang mungkin Ada, kosong namun isi
ada pertama hanya kaju. Tak lama kemudian
sepenuhnya manusia, dunia dan semesta
gunungan itu pun ditarik ke bawah oleh sang
berasal dari sana (Sumarjo, 2006:202-204).
dalang, melambangkan adanya penjilmaan zat
pertama (gesang tumitis). Bahkan, kemudian
KEARIFAN LOKAL JOGLO
yang menarik adalah gunungan tersebut ditarik
ke bawah berhenti sampai tiga kali. Bisa jadi itu Struktur bangunan rumah Jawa merupakan
merupakan lambang tiga tataran pembukaan tata susunan ruang yang mencerminkan satu bangun-
maligai yang letaknya di kepala sebagai sumber an khas seperti pendhapa, pringgitan, dalem,
cipta atau baitalmakmur. Tataran kedua tempat- dapur, gandhok, dan gadri. Relasi antarsusunan

273
Humaniora, Vol. 24, No. 3 Oktober 2012: 269 - 278

ini merupakan struktur yang proses perwujudan- Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep
nya sangat dipengaruhi oleh mitologi dan filosofis tentang makna ruang yang dalam dengan
kosmologi Jawa (Suhardi, 2004:28). Ini berarti keberadaan pendhapa sebagai perwujudan
bahwa rumah tradisional Jawa bukan sekedar konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat
tempat untuk berteduh (fungsi praktis), melainkan Jawa. Pendhapa tidak hanya sekadar sebuah
juga dimaknai sebagai bentuk perwujudan dari tempat, tetapi mempunyai makna filosofis yang
cita-cita dan pandangan hidupnya atau fungsi lebih mendalam, yaitu sebagai tempat untuk
simbolis (Santosa, 2000:68). mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan
Dalam konsepsi joglo yang memiliki empat antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat
saka guru atau tiang utama, dalam konsep Jawa sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendhapa
susunan memusat yang kelilingi empat elemen merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam
yang bertalian dalam satu kesatuan struktur masyarakat Jawa.
merupakan bentuk konkret pandangan orang Pringgitan merupakan ruang peralihan antara
Jawa tentang papat kiblat lima pancer. Struktur area publik dan privat yang terletak di antara
tersebut menggambarkan mandala yang susun- pendhapa dan dalem ageng. Pringgitan juga
annya meliputi empat anasir yang di tengahnya berfungsi sebagai tempat pertunjukan wayang
terdapat pancer sebagaimana dikatakan orang kulit apabila ada acara khitanan, ruwatan, per-
ahli bangunan Jawa: kawinan, dan sebagainya. Ruangan yang disebut
bahwa semua yang diciptakan Tuhan Yang Esa dalem ageng merupakan ruang privat (pribadi),
selalu bermula dari empat sudut dan satu yang yang salah satu fungsinya adalah sebagai ruang
berasal dari tengah yang orang Jawa menyebut berkumpul seluruh anggota keluarga. Bentuk
empat kiblat lima pancer. Semua kejadian ruangan ini persegi dengan dilingkupi dinding
berasal dari lima penjuru tersebut. Rumah joglo pada setiap sisinya. Di dalam ruangan dalem
adalah merupakan wujud yang dianggap mikro
tetapi juga makro bagi alam raya. Ia merupakan ageng terdapat tiga petak ruangan yang ber-
peniruan alam, maka harus berpijak pada ukuran sama besar yang disebut senthong.
pedoman pajupat dimana dalem adalah titik Senthong kiwa dan senthong tengendi sisi kanan
pusatnya yang dikelilingi bangunan lainnya. dan kiri merupakan tempat tidur anggota keluarga
pria dan wanita, sedangkan senthong tengah
Rumah tradisi Jawa memiliki beberapa merupakan senthong paling sakral/suci.
ruangan yang simetris dan terdapat hierarki ruang Senthong tengah atau krobongan merupakan
di dalamnya. Dari luar terdapat ruang publik yang tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi
bersifat umum, semakin ke dalam ruangan yang Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga.
ada bersifat pribadi (private). Bagian luar yang Senthong tengah merupakan area paling privat
disebut teras merupakan ruangan terbuka tanpa (pribadi) bagi pemilik rumah tradisi Jawa.
atap. Teras juga merupakan ruang publik sebagai Bagian rumah lain yang bersifat privat adalah
area peralihan dari luar ke dalam rumah. gandhok,pawon, dan pekiwan.Gandhok merupa-
Ruangan selanjutnya, yaituPendhapa, masih kan ruangan belakang yang memanjang di sisi
berfungsi sebagai ruang public; di ruangan inilah dalem ageng dan pringgitan. Pawon merupakan
biasanya tuan rumah menerima tamu-tamunya. bangunan di belakang dalem ageng dan terletak
Pendhapa memiliki bentuk ruangan persegi dan jauh dari tempat paling suci (senthong tengah/
memiliki empat tiang (soko guru) yang terdapat krobongan) yang berfungsi sebagai dapur.
di tengah-tengah pendhapa. Ruangan ini tidak Ruangan yang berfungsi sebagai WC adalah
memiliki pembatas pada keempat sisinya. Hal ini pekiwan. Ruangan-ruangan yang dianggap
melambangkan keterbukaan pemiliknya terhadap kotor ini diletakkan jauh-jauh dari ruangan-
siapa saja yang datang. Pendhapamenggambar- ruangan utama sebelumnya, seperti dalem
kan gaya hidup masyarakat Jawa yang rukun. ageng atau krobongan sebagai tempat suci
Bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi pemujaan Dewi Sri.

274
Djono dkk. - Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa

Krobongan sebagai tempat suci bagi para cerita Mahabarata) yang menceritakan sewaktu
penghuni rumah tradisi Jawa berkaitan erat ular Basuki melilit pada pinggang gunung
dengan mitos dan kepercayaan masyarakat Mandara yang membantu untuk keluarnya air
agraris Jawa terhadap Dewi Sri. Dewi Sri yang amerta (abadi) yang dibutuhkan para dewa untuk
melambangkan kesuburan dan kebahagiaan diminum (Wibowo dkk., 1987:157). Sebelum
dalam rumah tangga sangat dekat dengan datangnya Hindu ke Nusantara (zaman Neoliti-
kehidupan masyarakat Jawa. Di ruangan sakral kum), dunia dianggap memiliki dua bagian yaitu
tersebut tersimpan benda-benda pusaka yang dunia atas dan dunia bawah yang memiliki sifat-
dipercaya memiliki kekuatan magis yang juga sifat bertentangan. Dunia atas dilambangkan
disertai dengan alat-alat penuh makna mistis dengan matahari, terang, atas, rajawali, kuda
yang dikaitkan dengan paham Hindu dan zaman sedangkan dunia bawah dilambangkan dengan
neolitikum. Keberadaan krobongan dalam rumah gelap, bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, dan
tardisi Jawa menggambarkan dunia orang Jawa buaya (Soegeng, 1957:11). Berdasarkan keper-
yang tidak dapat dipisahkan dari pemahaman cayaan neolitikum dan cerita Mahabarata, ular
tentang keseimbangan makrokosmos dan mikro- selalu dikaitkan dengan air. Makna hiasan ular
kosmos. Segala sesuatunya selalu dikaitkan pada krobongan merupakan simbol agar dalam
dengan kekuatan-kekuatan alam, sesuatu yang bertani tidak akan kekurangan air (Widayat,
metafisik sebagaimana orang Jawa memahami 2004:17). Keenam, hiasan burung: Garuda; hias-
rumah Jawanya. Keseimbangan kosmologi ter- an garuda pada krobongan merupakan simbol
sebut dibangun di atas pemahaman yang selalu penyeimbang dari hiasan naga atau ular yang
dalam bentuk dualitas, seperti adanya siang- melambangkan dunia bawah, sedangkan garuda
malam, panas-dingin, utara-selatan, dan laki-laki- melambangkan dunia atas. Selain itu, burung
perempuan; selain itu juga adanya makna garuda mengingatkan pada cerita Gurudeya.
simbolik yang mengacu pada tiga, empat, atau Burung garuda yang merupakan anak Winata
lima kutub. menyelamatkan ibunya dari perbudakan dan
Krobongan sebagai ruangan khusus sebagai menjadikan para dewa tidak mati. Dalam cerita
bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri memiliki tersebut, burung garuda menjadi sosok pem-
makna yang terdapat pada setiap benda yang berantas kejahatan dan hal inilah yang diharap-
ada di dalamnya. Pertama, padi: Dewi Sri kan sehingga hiasan burung garuda diletakkan
merupakan Dewi Kesuburan dan dilambangkan pada krobongan(Widayat, 2004:17).
oleh abdi di dalam krobongan. Kedua, patung Arus globalisasi bukanlah faktor tunggal
Loro-Blonyo: patung mempelai pria dan wanita penyebab degradasi moral dan degradasi budaya
adat Jawa ini diletakkan di depan krobongan yang terjadi pada akhir-akhir ini. Faktor-faktor
yang melambangkan kegahagiaan suami istri dan yang menyebabkan kebudayaan Jawa tidak
lambang kesuburan. Ketiga, pusaka/keris: tampil dalam kehidupan sehari-hari, antara lain
pusaka/keris yang merupakan benda suci maka karena beberapa alasan. Pertama, kebudayaan
akan diletakkan di tempat suci pula seperti Jawa dianggap kurang praktis. Mengapa orang
krobongan. Keempat, kain Cindai/patola India: lebih suka memakai blus, rok, kaos, kemeja,
penutup tempat tidur dan bantal serta guling di celana panjang daripada memakai sarung,
dalam krobongan merupakan kain cindai/patola beskap, kain, kebayak, tentu saja karena alasan
India. Karena memiliki pola yang sarat dengan kepraktisan. Kedua, kebudayaan Jawa mem-
makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata berlakukan banyak aturan dan ritual yang
Dewa Wisnu dan delapan tataran yoga), kain ini memang mahal. Dalam fase-fase kehidupan
dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya manusia Jawa dari kelahiran, pernikahan,
pun dikeramatkan. Kelima, hiasan gaga: hiasan kehamilan, dan kematian selalu diwarnai upacara-
naga pada krobongan muncul setelah mendapat upacara ritual yang dianggap rumit dan mahal.
pengaruh Hindu. Cerita Amertamanthana (dalam Ketiga, kebudayaan Jawa memberlakukan

275
Humaniora, Vol. 24, No. 3 Oktober 2012: 269 - 278

unggah-ungguh yang terlalu tinggi untuk Dalam hal ini diharapkan manusia dapat me-
dipahami oleh remaja-remaja zaman sekarang. lahirkan pemikiran-pemikiran atau hasrat baik
Ditambah lagi ada sinyal bahwa tingkat atau luhur secara terus menerus guna di-
pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai sumbangkan bagi kepentingan manusia atau
budaya masih rendah. Keempat, kebudayaan bebrayan agung termasuk untuk melindungi atau
Jawa belum mendarah daging di kalangan melestarikan dunia seisinya. Etos kerja dan
masyarakat Jawa karena tingkat kehidupan profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi Sepi
masyarakat masih pada kebutuhan primer. ing pamrih rame ing gawe giat bekerja tanpa
Misalnya rakyat biasa kecil kemungkinan dapat memikirkan diri sendiri.
membangun rumah mewah berbentuk joglo yang Akibat perubahan masyarakat dewasa ini,
membutuhkan biaya besar. tradisi-tradisi lama cenderung ditinggalkan. Hal
ini terjadi akibat perubahan pola pikir yang
SIMPULAN didukung oleh perubahan sosial dan lingkungan
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang masyarakat. Begitu pula dengan rumah tradisi
yang harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi yang semakin jarang ditemukan. Di perkotaan
dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern pada umumnya, masyarakat lebih nyaman mem-
yang dibawa globalisasi. Dunia internasional bangun rumah dengan konsep modern atau
sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, tinggal di perumahan dan apartemen. Tidak
lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan hanya di kota, masyarakat pedesaan pun mulai
di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi merubah tempat tinggalnya menjadi bangunan
dengan aktualisasi dari filosofi Hamemayu modern.
Hayuning Bawana, masyarakat harus bersikap Perubahan tersebut tentu saja disesuaikan
dan berperilaku yang selalu mengutamakan dengan kebutuhan saat ini. Maka tidak meng-
harmoni, keselarasan, keserasian dan ke- herankan apabila generasi muda etnis Jawa
seimbangan hubungan antara manusia dengan sendiri tidak mengenal secara mendalam tentang
alam, manusia dengan manusia dan manusia rumah adat Jawa. Selain sulit untuk menemukan
dengan Allah SWT dalam melaksanakan hidup rumah tersebut di lingkungan tempat tinggalnya,
dan kehidupan agar negara menjadi panjang, sedikit sekali sumber informasi yang dapat mereka
punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja. peroleh. Banyak bangunan bernilai historis
Hamemayu Hayuning Bawana dapat di- berarsitektur Jawa maupun etnis lain yang tidak
realisasikan dengan Hamemasuh Memalaning terpelihara atau bahkan dibongkar karena tidak
Bumi, yaitu membersihkan atau mengamankan dapat difungsikan lagi dan diganti dengan
tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi gedung/bangunan modern. Dengan realitas
manusia. Memalaning Bumi itu dapat berupa demikian, yang tidak dapat dinafikan, masih pula
peperangan, penghapusan etnis, penyalah- terlihat keseriusan Pemerintah untuk melestarikan
gunaan obat bius, penggunaan senjata pe- dan juga membiasakan joglo dalam keseharian
musnah masal, terorisme, wabah penyakit, pem- masyarakat, seperti terlihat salahsatunya dari
bakaran hutan, dan lain-lain yang membahayakan beberpa perkantoram yang memiliki akses publik
kehidupan manusia dan alam lingkungan. Rasio langsung, berbentuk joglo, seperti pada kantor
dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan lainnya,
Hangengasah Mingising Budi, yang meng- khususnya di ekskarisidenan Surakarta, semua-
gambarkan upaya yang tidak berhenti untuk nya dibangun berbentuk joglo. Silain itu, tidak
mempertajam budi/manusia sehingga semakin sedikit papan nama di depan gedung, di banyak
tajam dari waktu ke waktu. Budi manusia yang perkantoran milik pemerintah juga mengingatkan
terasah akan selalu menghasilkan hal-hal yang kembali bentuk joglo. Melalui usaha yang
bersifat baik bahkan luhur dalam wujud hasrat demikian setidaknya menjadi pemelihara salah
sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya. satu kearifan lokal budaya Jawa.

276
Djono dkk. - Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa

DAFTAR RUJUKAN Studi Arsitektur. Bandung: Unversitas Parahiyangan


Abdullah, I. 1991.Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Ronald, A. 1993. Transformasi Nilai-nilai Mistik dan
Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa. Humaniora. Simbolik Dalam Ekspresi Arsitektur Rumah
2 : 87-100. Tradisional Jawa. Yogyakarta: Lembaga Javanologi
Abdullah, I. 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Panunggalan.
Jawa Analisis Gunungan pada Upacara Rosita, M. 1986. Arsitektur Jawa pada Masa Majapahit
Garebeg.Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai dalam Makna Peninggalan Arkeologi dalam
Tradisional. Kebudayan Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan
Ahimsa-Putra, H.S. 2008. Ilmuwan Budaya dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Dirjen Kebud P
Revitalisasi Kearifan Lokal: Tantangan Teoritis dan dan K.
Metodologis. Disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Santosa, R.B. 2000. Omah: Membaca Makna Rumah
Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Yogyakarta 3 Maret 2008. Siswanto, J. 2005. Orientasi Kosmologi. Jogjakarta: Gadjah
Bogdan & Tylor. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Mada University Press.
Penerjemah: A. Khozim Affandi. Surabaya: Usaha Soekiman. 1986. Yang tabu dan yang disenangi dalam
Nasional. pendirian bangunan rumah Jawa dalam Kesenian,
Darsiti, 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830- Bahasa dan Foklor Jawa (Sudarsono, ed), Yogya-
1939. Yogyakarta: Tamansiswa karta: Departemen Pendidikan dan Kebudayan
Hedy C. Indrani dan Maria Ernawati Prasodjo. 2005. Soegeng. 1957. Sedjarah Kesenian Indonesia, Jakarta:
Tipologi, Organisasi Ruang, dan Elemen Interior Fasco.
Rumah Abu Han di Surabaya. Dimensi Interior, Vol. Subiyantoro, S. 2007. Struktur Rumah dalem Broto-
3 No.1, hal-44-65. diningratan. Laporan Penelitian. Surakarta: FKIP
Hidayatun, Maria I. 1999. Pendhapa dalam Era UNS
Modernisasi: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendhapa Suhardi. 1986. KonsepSangkan Paran dan Upacara
pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Selamatan dalam Budaya Jawa. Beberapa Aspek
Kebudayaan. Dimensi Teknik Arsitektur, 27, hal. Kebudayaan Jawa. (Soedarsono dkk., ed).
37-46. Yogyakarta: Dep. P & K Dirjen Kebuduyaan Proyek
Koentjoro, J. 2003. Tata Ruang Spasial Lingkungan Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Karaton Surakarta Hadiningrat (Pengetrapan . 2004. Rumah Orang Jawa: Konteks
Konsepsual Jawaisme). Makalah Seminar. Surakarta Kosmologi Dalam Arsitektur Tradisional. Dalam
27 September 2003. Seminar Nasional Kompetensi Sarjana Arsitektur
Laksono. 1985. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa tanggal 25 Juni. Yogyakarta: Jurusan Arsitektur
Kerajaan dan Pedesaan Alih Ubah Model Berpikir Fakultas Teknik UGM. h. 61-69.
Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Sujamto. 1992. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan
Mujitho. 1986/1987. Interior Senthong Tengah Rumah Hidup Jawa. Semarang: Dahara Prize.
Tinggal Tradisional Yogyakarta. Suatu Hasil Laporan Susanto, H. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea
Penelitian. Yogyakatrta: FSDR ISI Eliade. Yogyakarta: Kanisius
Nuryanti, W. 1992. Concept, Perspective and Sunarningsih. 1999. Pola Memusat: Salah Satu Model
Challenges dalam Universal Tourism Enriching Or Kosmologis Pada Masa Prasejarah Indonesia.
Degrading culture?. Yogyakarta: Procceedings On Arkeologi XIX: (2) 30-35
The International Conference On Cultural Wiradinata, 2004.Konsep Disain Interior Tradisional
TourismGadjahMadaUniversity. Jawa Dikaji dari Pendekatan Etnologi dalam 2d 3d
Pitana, T. S. 2001. Javanese Cosmology and Its Influence Jurnal Ilmiah Disain. Vol 1 no 1 Prosesi Ilmiah
on Javanese Architecture Thesis Submitted for the Widayat, Rahmanu. 2004. Krobongan Ruang Sakral
Research Degree of Master of Tropical Architecture. Rumah Tradisi Jawa. Dimensi Interior, Vol. 2 No.
Australia: JamesCookUniversity 1, hal. 1-21.
Premordia, I. 2005. Kajian Konsep Kosmologi Jawa pada Wibowo, HJ. dkk. 1987. Arsitektur Tradisional Daerah
Pola Tatanan Keraton Kasunanan Surakarta Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Depdikbud
Hadiningrat. Skripsi S1. Fakultas Teknik Program Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah.

277
Humaniora, Vol. 24, No. 3 Oktober 2012: 269 - 278

Wibowo & Sadilah, Emiliana. 1990/1991. Sistem P & K Dirjen Kebudayaan Balai Kajian Sejarah &
Pengetahuan Orang Jawa mengenai Flora dan Fauna Nilai Tradisional.
dalam kaitannya dengan Rumah Tradisional. Dep

278

You might also like