You are on page 1of 9

Sunday, March 23, 2014

Leopold Nisnoni: Penjaga Sejarah Kerajaan Koepang


Don Leopold Isu Nisnoni lahir pada tahun 1936 sebagai anak dari Pangeran Mahkota Kupang, Raja Muda
Alfonsus Nisnoni dan Putri dari Termanu / Rote, yang kemudian disebut Kartine dari wilayah Timor.
Beliau adalah pewaris saat ini untuk Kerajaan Kupang dan Kepala Royal House of Kupang dan Dinasti
Nisnoni di Timor Barat, Indonesia. Raja saat Kupang berhasil sebagai Kepala Royal House of Kupang pada
tanggal 14 November 1992. Dia adalah Wakil Ketua Dewan Timor Rajas ( Dewan Usif Timor ) dan sebagai
hadiah berfungsi sebagai Sekretaris.
Saat ini, ia memainkan peran penting di bidang sosial budaya dan aspek adat setempat. Dia masih
seorang pemimpin budaya dan adat yang diakui oleh masyarakat Nusa Tenggara Timor Provinsi yang
Kupang adalah ibu kota dan sebagai kustodian dan penonton budaya dan adat istiadat.
Dia punya banyak gaya Eropa dibesarkan selama bertahun-tahun di Belanda bersama dengan
pendidikan Timor Timur yang memberikan kepadanya pola pikir yang tradisional dan terbuka karena
berbagai situasi dan keadaan telah bertemu banyak orang-orang Barat dan cendekiawan dari Eropa,
Amerika Serikat, Australia dan sejenisnya. Melalui berbagai keterlibatannya dengan jaringan royalti
Indonesia, sebagai Ketua Dinasti Raja Kupang dihormati.
Pada usia 12, Pangeran Leopold meninggalkan Kupang dengan tingkat sangat tinggi mantan resmi
Pengadilan Keadilan di Kupang ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya dan untuk mendapatkan
perspektif yang lebih luas dalam hidupnya. Ia tinggal dengan keluarga ini resmi selama beberapa tahun,
dengan hanya sangat baik temannya ada yang benar-benar tahu, bahwa ia adalah putra mahkota
Kupang, lahir sangat tinggi kelahiran. Di Belanda, ia telah belajar untuk hidup secara berbeda dan juga
belajar banyak tentang kehidupan dari perspektif yang berbeda dari hidupnya sopan di Kupang.
Di Belanda, Pangeran pertama menyelesaikan sekolahnya dasar dan melakukan sebagian besar sekolah
tinggi. Dia belajar banyak dari Holland modern dan dibangun kembali. Tapi, di utara Holland, di mana ia
tinggal sebagian besar waktu, dia tinggal dengan tidak ada kontak dengan setiap orang Indonesia. Untuk
memastikan bahwa akar tetap dipertahankan dengan Indonesia, ia kembali untuk belajar di Indonesia di
sekolah tinggi Belanda Bandung. Raja kemudian kembali ke Timor setelah ketiadaan sekitar 10 tahun. Ia
kembali ke Timor yang telah berubah.
Pikiran Raja sebagai Timor Timur mahkota 22 tahun adalah sekarang Eropa berorientasi dan ia adalah
sangat termotivasi untuk membawa semangat modernisasi dan era baru (hal yang baik itu) nya orang,
tetapi pada waktu itu kemerdekaan dan yang bangga Indonesia sendiri budaya adalah Roh kemudian.
Setelah bekerja di kantor daging Pengalengan pabrik ayah di Kupang, yang memiliki sekarang sudah
setuju rela untuk memiliki Kupang untuk bergabung dengan bangsa Indonesia yang baru (ayahnya
adalah orang pertama Indonesia untuk memulai sebuah pabrik di Indonesia). Di Kupang, dia ingin
membuat karier di pemerintah, tetapi pandangannya pada waktu itu dianggap sebagai banyak terlalu
modern dan berorientasi Eropa.
Namun ia diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya melalui dukungan dari Royal Timor Timur dalam
posisi yang sangat tinggi yang memahami Pangeran muda. Dengan kerja keras dia berhasil menjadi
Direktur perusahaan percetakan dari total Provinsi NTT (NTT). Ia segera dikenal, sebagai manusia, yang
selalu sedikit lebih baik daripada yang lain karena disiplin dan kualitas yang ia pelajari di Indonesia dan
Eropa.
Dengan uang dari karirnya ia membangun sebuah penginapan modern di tempat istana-istana dari
mantan Rajas Dinasti. Istana terakhir di sini dihancurkan dalam Perang Dunia II.
Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1992, itu adalah pertanyaan, siapa yang akan menjadi Liurai
Sonbai Kecil. Itu adalah suksesi otomatis. Rajadom Kupang adalah martabat elektif; tetapi kenyataannya
semi-otomatis. Anggota Dinasti nya didukung Pangeran Leopold berhasil tahta karena ia merupakan
pewaris sah dan pada tahun 1992, ia menjadi Liurai Sonbai Kecil.
Sejak ia menghabiskan lebih banyak waktu pada tradisional urusan rakyatnya. Ia secara bertahap pindah
dari pekerjaannya dengan perusahaan percetakan dan hanya tinggal sebagai penasihat. Karena dia
menjadi pemain tenis baik (olahraga nomor satu di Indonesia), ia mampu untuk mendapatkan
penghasilan juga sebagai Tenis guru dan menjadi anggota Asosiasi Tenis Provinsi lokal.
Sebagai seorang anak muda, ia menikah dengan Dona Darifeto Lino, seorang bangsawan yang lahir di
Flores dan anggota dari Dinasti raja Termanu. Ia seorang wanita yang benar-benar memahami Nisnoni.
Dengan dia, Nisnoni menjadi bahagia dalam hidupnya.
Pengalaman luar negeri dan kemudian waktu serupa di Indonesia membuat karakternya kuat, sehingga ia
selalu menjadi raja dengan pikiran terbuka untuk membantu orang lain. Ada banyak catatan sejarah di
Barat leluhur keturunan Don Leopold dan posisi saat ini sebagai kepala rumah Royal Kupang dan penerus
kerajaan mantan Sonbai. Bahkan pada saat ini, banyak penelitian sejarah yang dilakukan oleh Profesor
tertentu Eropa pada raja Timor dengan Don Leopold mengambil peran terkemuka dan bimbingan bagi
para peneliti.
Meskipun Raja tidak terlibat dalam politik, ia sangat disegani oleh pemerintah provinsi dan dalam
masyarakat di Kupang dengan posisi sebagai pemimpin tradisional dan budaya yang menjadi kepala
rumah Royal Kupang dan pewaris kerajaan Kupang.
(Layar masih tertutup, panggung gelap, terdengar musik leko’ sene’ selama
dua menit. Pelan-pelan layar dibuka. Sepasang suami istri dan seorang anak
perempuan berjalan dari sudut kiri panggung tetap diiringi musik leko’sene’
menemui Usif yang sedang duduk di dalam istana. Mereka berlutut memberi
sembah salam pada Usif. Usif memandang anak perempuan itu sambil
tersenyum lalu berganti pandang pada anak laki-lakinya. Usif tersenyum
bahagia sambil mengangguk-anggukan kepala. Anak laki-laki lantas berdiri
mengajak anak perempuan itu memberi salam pada usif)
Ena 1 : Mengapa kalian semua menari? (Mengamati Ena-Ena yang
baru datang)
Ena 2 : (Balasa mengamati) Rapi…
Ena 3 : Rapi… (Mengikuti)
Ena 2 : Usif sedang menikahkan Naimnuke Lemo dan… kami semua
bahagia
Semua Ena : Sama ! (Serentak dengan wajah penuh bahagia)
Ena 1 : Kalau begitu mari kita menari…
Ena 2 : Betul mari kita rayakan
(Musik terdengar mereka mulai menari dengan gembira. Tiba-tiba rombongan
usif dan kato masuk ke panggung. Para Ena yang menari segera menyadari
kedatangan Usif, mereka berkumpul memberi salam)
Usif : Selamat. Selamat anak-anakku. Kalian akan mengarungi
kehidupan yang baru. Kelak bila kalian memiliki anak. Mereka akan menjadi
pemimpin-pemimpin yang tangguh. Mata mereka tak pernah takut pada
musuh. Tangan mereka kuat mematahkan besi. Tapi hati mereka akan lembut
memahami rakyat.
Semua : Selamat Nenoanan (sambil membungkuk memberi selamat)
Usif : Uis neno nokan kit. Em…Emhat bon… Ama Lipus… panggil
para ama dan ena untuk menari. Mari kita menari bonet.
( Musik leko’ sene’ terdengar lebih keras. Masyarakat berkumpul dan menari
bersama selama beberapa menit kemudian musik berubah menjadi musik
bonet. Masyarakat langsung membuat lingkaran menari bonet. Tak berapa
lama rombongan usif meninggalkan panggung. Masyarakat tetap menari
sambil satu persatu mengarah ke sudut kanan panggung dan keluar. Begitu
musik selesai panggung kosong. Seorang pangeran kecil muncul dengan
membawa pemanah. Ia berjalan pelan-pelan sambil membidik ke atas. Tiba
tiba tiga pangeran lainnya muncul. Mereka menggelitik adiknya)
Naimnuke 4 : Tata’. Kenapa kalian selalu mengikuti saya. Pergi bermain
sendiri. (teriaknya dengan keras)
Naimnuke 2 : sudah berbulan-bulan l’eko itu kamu pegangi, tapi tidak
pernah saya dengar bunyinya bagus. Mari ke sini adik kecil, biar saya ajarkan
cara yang tepat. (Ujarnya sambil mendekati Naimnuke 4)
Naimnuke 4 : tidak mau. En… Ena’… Tata’ mau mengambil ‘leko
saya. En…
(Naimnuke 2 dan 3 berpura-pura berlari sambil mengejar naimnuke 4 di
dalam istana sambil terkekeh kekeh. Bila mereka mendapat adiknya, mereka
menggelitiknya sampai tertawa dan berteriak memanggil Ena’Nabu. Sesaat
kemudian Ena’Nabu mendengar suara mereka dan muncul dari kiri panggung
bersama Usi’ Kole)
Ena’Nabu` : Molo’, jangan ganggu adikmu.
(seru Ena’ Nabu sambil berjalan di samping Usi’ Kole. Mereka berjalan lalu
duduk memerhatikan anak-anaknya bermain. Musik leko sene berbunyi pelan.
Begitu musik selesai para pangeran sudah keluar dari panggung)
Ena’ Nabu : Baru kemarin rasanya kita menyaksikan mereka bermain di
halaman ini. Suara mereka menggelagar memenuhi sonaf ini. Sekarang
mereka bahkan sudah menikah dan punya anak.
Usi’ Kole : Seperti yang dituturkan Ama Usif saat hari pernikahan itu. Kita
memiliki putra yang sehat dan tangguh. Mereka seperti empat tiang-tiang lopo
‘naek yang kokoh di kaki gunung Tuniun ini. Empat putra tanpa putri. Tidak
apa-apa, kelak keturunan mereka akan banyak cucu-cucu perempuan.
Ena’ Nabu : Saat ini, Naimnuke’ Gabriel berada di dalam penjara. Anak
pertama kita ini mendapatkan ujian seperti Usi’ Kole. Adik-adiknya pun turut
menjadi incaran mereka. Meski begitu mereka harus didorong untuk tetap
sekolah.
Usi’ Kole : Meski kau menyembunyikan kekahwatiranmu, aku tetap
menangkapnya dalam matamu. Putra-putramu lahir dari darahku, mereka
memiliki tujuan yang akan mereka capai. Jangan khawatirkan mereka secara
berlebihan. Berdoa pada uis neno dan uis pah agar menjaga mereka.
Ena’ Nabu : begitulah kami para perempuan yang hamil, mengandung
dan melahirkan Usi’. Kami menyusui dan menjaga mereka sampai kaki-kaki
mereka mampu berjalan sendiri. Saat mereka masih kecil, kami ingin mereka
segera dewasa agar mereka mampu menjelajah dunia ini. Namun ketika
mereka dewasa, terkadang kami ingin mereka tetap kecil… bermain di bawah
pengawasan kami. Ainu… betapa plinplannya kami
Usi’ Kole : saya tidak pernah menganggapmu plinplan. Bukankah
memang demikian perasaan seorang ibu yang khawatir akan anak-anaknya.
Bersabarlah En… terkadang aku menyombongkan diri bahwa keberanian
mereka murni dari darahku. Tanpa kusadari dalam darahmu pun mengalir
keberanian tiada tara.
(Ena’ Nabu berubah raut wajahnya. Senang bercampur malu)
Usi’ Kole : Ingat, ketika para amaf mengejar rusa waktu itu. Dengan
berani kau keluar dengan kayu di tanganmu. Hanya dengan sekali pukul, rusa
itu tak mampu lari lagi. Hahaha… (Tertawa sambil bangkit dan berjalan-jalan
kea rah depan panggung, lalu tiba-tiba teringat). Ah iya, saat kau
menggantikanku membawa pajak masyarakat Noaebunu ke Soe. Kau
menunggangi kuda dengan gagah berani menempuh perjalan yang jauh.
Orang-orang hanya menyaksikan debu yang tertinggal di jalan-jalan sambil
berkata … lihat… itu Ena’ Nabu… Kato’ Noebunu…
Ena’ Nabu : Usi’ terlalu banyak mengingat yang lalu-lalu, bahkan yang
paling lalu sekalipun. Ingatan Usi’ sangat baik…
(Musik Leko’Sene terdengar perlahan. Ena’ Nabu bangkit lalu keluar ke sisi
kanan panggung. Satu menit kemudian dua orang laki-laki masuk ke
panggung menghampiri Usi’ Kole’. Satu orang berpostur tinggi besar
merupakan seorang Belanda, sedangkan seorang lainnya bertubuh khas
Timor meski sedikit tinggi juga. Gaya mereka sopan dibuat-buat)
Laki-laki : Sonaf Noebunu…
Orang Belanda : (mengamati sekeliling)
Laki-laki : Ah, kau… di mana Usi’ Kole?
Pelayan : Usif sedang pergi ke Nipol Tuan.
Laki-laki : Hah… Kapan pergi? Kapan Kembali?
Pelayan : Saya tak tahu Tuan. Saya akan beritahu Ena
Kato’ atas kedatangan Tuan.
Laki-Laki : Ya… Beritahu Kato’ Sonaf Noebunu. Lalu… hei, apa kau lupa
cara memuliakan tamu?
Pelayan : Maksud Tuan?
Ena’ Nabu : (Tiba-tiba muncul dari balik rumah) Kami tak lupa Tuan.
Orang Timor tak pernah lupa memuliakan tamu. Ena’ Kauna’…. Minta Ama’
Lius untuk memanggang daging dari kambing terbaik, cari tua’ terbaik. Tuan-
tuan ini memiliki selera minum Sopi yang mengagumkan. Ayo cepat…
Laki-Laki : Kato’ Noebunu… Ena’ kato Noebunu… Seorang penyimpul
yang baik. Simpulanmu tepat bahkan sebelum kami bicarakan…
Ena’ Nabu : Saya bahkan dapat menyimpulkan hanya dengan mendengar
tarikan napasmu Tuan.
Laki-laki : lalu? Apakah kau tah sesuatu akan saya, dan ah…
iya… Meneer Robert… Kemari… berkenalanlah dengan ratu… eh,
permaisuri… kato’… sama saja…
Orang Belanda : Sha…yaa.. Robert. (menyodorkan tangan pada Ena Nabu
namun tak dibalas dan tiba-tiba dijabat oleh Usi’ Kole yang muncul di depan
mereka) Ohh… Goedemorgen… Ik benRobert
Usi’ Kole : Selamat datang di Sonaf Noebunu, Tuan-Tuan.
Orang Belanda : Dankj Thu..an…
(Mata Ena’ Nabu langsung menatap wajah keberatan Usi’ Kole atas
keberadaannya. Ia melangkah mundur meninggalkan panggung)
Laki-laki : Maaf bila kedatangan kami mengejutkan. Kami datang untuk
meminjam sulat plenat fetor Noebunu. Surat itu dibutuhkan pemerintah untuk
penyesuaian gaji?
Usi’ Koli : Penyesuaian? Bukankah data saya telah lengkap? Sudah
saya turuti keinginan tuan-tuan, saya telah datang membawa surat ini dan
telah diperiksa.
(Orang belanda berbisik pada laki-laki itu meminta penjelasan)
Laki-Laki : Tapi kali ini berbeda, kami meminjamnya sebagai bukti Usi’.
Saya dan meneerRobert telah berkeliling. Sulat Plenat fetor Noehonbet,
Noelaku, Noeliu, dan yang lain sudah ada di tangan kami.
Usi’ Koli : Saya akan antar sendiri ke Soe. Jangan khawatir tuan-tuan.
Saya Fetor Noebunu, akan menyampaikan sendiri surat ini.
Laki-Laki : Jadi Usi’ tidak percaya pada saya?
Usi’ Koli : Bicaralah yang lain, jangan pernah Tuan bicara akan
kepercayaan. Kepercayaan pada manusia lebih sering berakhir pada
pengkhianatan.
(Wajah Usi’ Koli berubah menahan emosi. Suaranya meninggi. Orang
belanda itu melirik pada laki-laki di sampingnya)
Orang Belanda : Hoe… Wergende hij? /bagaimana? Apakah dia menolak?
Laki-Laki : Maak je geen zorgen. /Jangan khawatir (mencoba
menenangkan teman belandanya)
Apa maksud Usi’? Kami hanya menjalankan tugas. Bila Usi’ berkeberatan,
tidak menjadi soal. Tapi saya bukanlah pengkianat!
Usi’ Kole : Silakan Tuan-Tuan pulang. Sebagai camat Noebunu, saya
berterima kasih atas kebaikan Tuan-Tuan mengabarkan berita ini. Akan saya
antar surat itu besok pagi.
(Begitu keluar, mereka berpapasan dengan pelayan yang membawa makan)
Pelayan : Sopinya Tuan…
Laki-Laki : Minum sendiri!
(sambil melotot. Pelayan berjalan mundur diiukuti Kedua orang tersebut
dengan wajah masam. Musik leko sene terdengar bertalu-talu. Usi’Kole duduk
termenung sesekali berjalan mengelilingi panggung. Air mukanya mengeras,
tampak otaknya pun dipaksa ikut berpikir keras. Musik mengalun lebih pelan)
Usi Kole : Apa yang Tuan dan Nyonya pikirkan tentang penghianat dari
golongan sendiri? Bukankah akan tertinggal rasa sakit yang tak habis ditelan
umur? Ya. Umur manusia tak sepanjang aliran sungai yang menyambung ke
laut. Umur ini teramat pendek. Namun dengan umurku yang pendek ini, aku
habiskan melihat saudara-saudaraku ditipu saudara sendiri. Orang Timor
ditipu sesama orang Timor. Mereka menyebutnya ‘kerjasama’
dengan kaesmuti’. Dan kaesmuti’, orang-orang kulit putih itu tak segan-segan
membunuh dan membakar. Ailooooh….malang-malang sekali kami ini.
(Menarik napas panjang melakukan monolog) esok lusa, darah-darah
manusia macam ini akan merengseng masuk ke dalam sekolah-sekolah,
kantor-kantor, negara-negara, seluruh dunia akan berlimpah pengkianat. Dan
lagi-lagi, yaaa… pengkhianat dari golongan saudara sendirilah yang akan
lebih menusuk, membentuk luka abadi. Zaman belum lagi maju, namun
pengkianatan sudah lebih canggih dari teknologi. Saya telah membaca
kegelapan ini, mereka akan tetap hidup sampai zaman ini mati. Anak-anakku
akan terus diadudomba, difitnah, hingga keluar masuk penjara. (tiba-tiba
musik melankolis) An..aaak… Anaaakku… mereka dikejar seperti pencuri…
dipukuli tanga-tangan kotor…itu. Mereka diseret.. keluar seperti pengkianat…
aku tak punya kekuatan untuk membela mereka…Tuan…Nyonya. Orang-
orang itu telah membentuk suatu sistem yang kejam…membunuh setiap
anak-anak yang jujur membela rakyat. Dan mereka ini kelak akan menguasai
bangsa ini… bangsa ini… akan diramaikan berita para pengkhianat dari
golongan kita sendiri… (menangis)
(Tak berapa lama mendengar suara orang memanggilnya. Ama’… Ama’…Usi’
Koli mencari sumber suara. Usi Kole terkejut bukan main, ia meloncat
memeluk anaknya sambil terus berbicara, Au anah.. Au an mone… Au
anah… fain nem. Anak saya kembali….)
Naimnuke 1 : Am… Saya sudah kembali, tidak perlu Ama merisaukan saya
lagi.
Usi’ Kole : Penjara batu itu. Dulu Ama’ pun pernah dikurung di sana.
Mereka rupanya tak pernah puas. Tak cukup saya, kau pun harus merasakan
dingin dan kejamnya bangunan batu itu.
Naimnuke 1 : Ama’… Penjara hanya mengurung jasad, tidak kekuatan
pikiran ini. Aku sudah kembali, meski tak ada jaminan esok-lusa jasad ini
harus terkurung lagi.
(pikiran Usi’ Kole tiba-tiba menerawang. Seolah mengingat sesuatu yang
sangat pedih namun juga menyisipkan amarah)
Usi’ Kole : Mereka telah membakar Ama’ Nuban di Fatu Tunbes.
Sebelumnya mereka pula sudah menipunya. Cendana, lilin, semua diraup
dengan muslihat. Ama’ Nuban dan para Amaf lari tersebar di berbagai
penjuru.
Naimnuke 1 : Saya sudah mendengar berita ini Ama’. Memang sulit berjaga
bila teman sendiri yang membawa pisau. Sepertinya kita telah kehilangan
persaudaraan… kekuasaan selalu memakan saudara.
Usi’ Kole : Ainooooh…. Uis neno nok uis pah nokan kit… besok Ama
akan pergi ke Soe. Mereka meminta surat keputusan Ama sebagai Fetor
untuk mengurus penyesuaian gaji. Temui Ena’ lalu istirahatlah. Penjara telah
memakan sebagian badanmu.
(Usi Kole berjalan keluar panggung. Musik mengalun lebih keras. Naimnuke 1
bangkit dan ikut keluar. Suasana pagi hari, burung-burung berkicau penuh
semangat. Ena’ Nabu duduk menyisir rambut panjangnya lalu membentuk
konde besar. Sebuah tusuk konde diselipkan dengan rapi. Tiba-tiba
Naimnuke 1 memasuki panggung)
Naimnuke 1 : Ena’ masih suka merawat rambut seperti dulu… lihatlah…
rambut Ena’ semakin hitam dan panjang. Hehehe…
Ena’ Nabu : Nenekmu sudah memberi bekal berbagai macam ramuan
untuk kesuburan rambut. Sudah Ena pelajari sejak kecil daun dan akar
tumbuhan itu, termasuk cara membuatnya.
Naimnuke 1 : Sebenarnya Ena’ hafal karena takut pada Nenek kan?
(tertawa) Mata Nenek sangat tajam…
Ena’ Nabu : Ya. Kau kan pernah lari sambil terkencing-kencing dikejar
Nenekmu. si Manis, anjing kesayangannya mati kau tembak. (tertawa)
Naimnuke 1 : Ainoooh… En… Jangan ceritakan itu …. (Sambil melihat
kesana-kemari)Bagaimana kalau adik-adik mendengarnya.
Ena’ Nabu : (tertawa) Biarlah mereka dengar. Kau selalu ingin kuat dan
hebat… biarlah mereka tahu… (Tiba-tiba air muka Ena’ Nabu berubah.
Tawanya berhenti) Amaa….
Naimnuke 1 : Ada apa En?
Ena’ Nabu : Ama sudah pergi pagi-pagi sekali. Orang-orang itu datang
kemarin, mereka ingin meminjam sulat plenat Ama. Tapi Ama bersikeras ingin
mengantar sendiri ke Soe.
Naimnuke 1 : (menarik napas panjang, matanya menatap kosong langit-
langit) Tenanglah Ena’, Ama bisa mengatasinya.
(Musik kembali terdengar semakin lama semakin kencang. Bunyi sepatu kuda
berdentuman diiringi teriakan kuda dan koa yang bertalu-talu dari jauh.
Semakin lama semakin turun hanya terdengar bunyi kuda dipacu dan teriakan
koa. Wajah Ena’ Nabu dan Naimnuke 1 berubah menjadi resah. Keduanya
berlari kesana kemari di atas panggung memastikan asal suara itu. Lampu
mulai meredup, Ena Nabu kembali tenang dan mengambil posisi duduk di
sudut panggung, lampu sorot berwarna kuning mengarah kepadanya. Ia
duduk memanjatkan doa pada para leluhur. Bunyi itu semakin dekat dank
eras lalu muncul sosok dari sudut panggung. Sosok itu usi kole)
Usi’ Kole : Aa’auooooooo….. (mengulang koa dengan penuh amarah.
Matanya memerah)
Ama Lius, mekit ai. Bawakan api! Korek api! Cepat!
(Seorang laki-laki masuk membawakan korek api. Usi Kole dengan
mengambil buku-buka dan berkas surat-surat yang ada di dalam almari.
Dibuangnya di tempat api, lalu menyambar korek api dari Ama Lius)
Usi Kole : Biar musnah semua catatan ini. manusia penipu!
Naimnuke 2 : (Tiba-tiba muncul dan memeluk Usi’ Kole) Usi…. Jangan
bakar surat-surat ini. jangan lakukan Usi’.
(Usi’ Koli tak mengubris, api menyala melahap kertas-kertas. Namun akhirnya
kedua bersaudara itu mencari air dan menyiramnya. Laki-laki yang menipu
Usi Kole masuk dengan tawa melengking)
Laki-laki : (Tertawa panjang) Fetor Noebunu… Hari ini hari bahagiamu,
kau telah kehilangan surat keputusan fetor. Hari yang bahagia bukan?
Kemarahanmu sungguh membahagiakan… (mengejek)
Naimnuke 2 : Apa maksudmu penjilat kaesmuti’?
Laki-laki : Sssssst…. Hati-hati dengan bicaramu. Sebab sekolah
tinggimu itu tak akan mampu menjadi tameng menuju penjara batu.
Naimnuke 1 : Baiknya saudara pulang. Tak ada manfaa…
Laki-laki : Ssssst… saya bermanfaat. Telah saya bebaskan Usi Kole
dari tugasnya. Tak perlu makan gaji, tak perlu terima pensiunan. Manfaat apa
lagi yang saudara inginkan?
Naimnuke 2 : Kau telah mempermalukan leluhur kita. Ama’ mu tentu
menyesal sekali memiliki anak penjilat sepertimu.
Laki-Laki : Berhenti membawa Ama’ ku!
Naimnuke 2 : Lalu kau pun berhenti! Berhenti menganggu kami!
Laki-laki : Menganggu? Bila kau terganggu, itu artinya kau lemah
(tertawa) bagaimana Usi’ Anak-anakmu yang kau banggakan hanya
mampu melihat dan marah. Tak mampu berbuat sesuatu denga otak mereka
yang kau sekolahkan…hahaha
Usi’ Kole : Cukup!!! (Menerik napas panjang) Hari ini telah kusaksikan
segalanya. Demi tanah yang kita pijaki dan langit yang kita junjung. Air yang
kita minum dan udara yang kita hirup. Tanah, langit, air, dan udara bersaksi,
sampai mati…. Seberapapun kali kau bersembunyi, tanah ini tetap akan
mengenangmu sebagai pengkhianat. Pulanglah…sebelum senapan Fetor
Noebunu memecah kepalamu.
(raut wajah laki-laki itu pucat, namun kembali ia menguasasi diri)
Laki-Laki : Hiiiiii…. Seraaam…. Jangan Usi’…. sungguh…. Aku sungguh
takut akan senjata….
(dengan gerakan cepat sebuah pedang telah berada di leher laki-laki itu)
Naimnuke 1 : (sambil menodongkan pedang) Jangan menguji
kesabaranku, saudara. Beraninya kau menghina Usif Noebunu. Pergilah!!!
Sebelum kepalamu terpenggal!
Usi’ Koli : Usir dia! Cepat Usir dia
(Laki-laki itu beringsut keluar dengan wajah pucat. Kedua anaknya membawa
laki-laki itu keluar. Usi kole kembali duduk. Ena Nabu membuka matanya, ia
mengambil napas pelan lalu bangkit dari posisinya. Ia mengambil air dari
kendi menuangnya ke gelas dan menyuguhkannya kepada Usi’Koli)
Usi’ Koli : Mereka menipuku! Pengkianat-Pengkianat itu menipuku!
Ena’ Nabu : Minumlah Usi’.
Usi’ Koli : Mereka merobek sulat plenat-ku sebagai Fetor Noebunu. Dan
benar katanya… anak-anakku tak mampu berbuat apa-apa.
Ena’ Nabu : Jangan salahkan anak-anakmu Usi’.
Usi’ Koli : Lalu siapa? Kau menganggapku lemah. Tak mampu
melindungi diri dari jabatan ini. Iya? (Suaranya mengeras)
(Ena’ Nabu terdiam. Ia tak lagi menyambung pembicaraan dengan suaminya.
Keduanya terdiam beberapa saat. Usi’ Koli mengambil air yang diberikan
istrinya di atas meja lalu meminumnya. Ia menarik napas pelan)
Ena’ Nabu : (Menatap wajah Usi’ Koli) Usi’… Bukankah dahulu Usi’
menyatakan. Jabatan adalah titipan yang tak mampu di bawa mati namun
sanggup membuat mati. Uis Neno, bersama kita. Tak penting jabatan Fetor
itu, yang penting adalah tetap berjuang memberi rasa aman pada masyarakat
Noebunu.
Usi’ Kole : (Mentaap dalam-dalam wajah istrinya) Ya. Kau benar. Hampir
saja terlupa kata-kata itu. Masyarakatku… rakyatku… mereka adalah
kebahagiaanku. Gabriel… (memanggil Naimnuke 1)
Naimnuke 1 : Bagiamana Ama’?
Usi Koli : Duduklah
Ena’ Nabu : (tersenyum) Sekolah tinggi kalian adalah kebanggaan kami.
Kami bangga meski kalian pagi bernapas bebas dan sore bernapas di
penjara. Anak-anakku, kebebasan ini abstrak. Mereka yang benar-benar
bebas adalah mereka yang bernapas dengan ketulusan dan berpikir dalam
kebaikan. Dan hanya orang-orang tulus dan baiklah yang sanggup menjadi
pembela bangsa ini. Jangan sekali-kali menjadi penghianat bangsa ini. Meski
nanti orang-orang ramai tergiur melakukannya. Jangan kalian, rahimku hanya
melahirkan darah pejuang.
Usi’ Koli : (Memandang anaknya) Biarlah semua ini terjadi. Ini garis
takdir Ama. Esok lusa, tetaplah berjuanglah dengan ketulusan seperti cita-
cita Ena’mu. Hanya keberhasilan yang sanggup membuat kami bangga.
(Musik leko’sene terdengar kencang. Layar ditutup)
Oepura sudah lama dikenal orang. Sejak Propinsi NTT terbentuk, nama Oepura sudah
ada. Sejak masih berstatus Desa Oepura, wilayah ini sudah menjadi pusat
pemerintahan. Oepura menjadi pusat pemerintahan Propinsi NTT dan juga Kerajaan
Helong.
Kolan Foenay dan Mince Foenay yang ditemui terpisah di kediamannya, Kamis
(13/3/2014), mengaku, Oepura memiliki cerita panjang dalam sejarah NTT dan Kota
Kupang. Keduanya mengatakan, Oepura yang dulunya hanya sebuah desa kecil,
berkembang sangat cepat dan bahkan sekarang sudah jadi dua kelurahan. Wilayah
pecahan Oepura adalah Kelurahan Naikolan.
Kolan Foenay menuturkan, pusat pemerintahan kerajaan Suku Helong berada di
Oepura. Padahal, di Oepura sendiri kala itu penduduk terbanyak adalah Suku Sabu.
"Dulu pusat Kerajaan Helong itu ada di sini. Suku terbanyak waktu itu adalah Sabu.
Waktu itu Raja Helong, yakni Kolan mempercayakan salah satu dari mereka bernama
Barnemeng untuk mengontrol tuak (pohon lontar, red) yang ada di sini," katanya.
Kerajaan Helong yang berpusat di Oepura dulunya mempunyai dua wilayah
kekuasaan yaitu yang dipimpin Welhelmus Foenay mencakup Bolok, Kuanheum dan
beberapa daerah lainya. Kerajaan Sonbay Kecil yang dipimpin Eben Foenay
mencakup Baumata, Oehani, Besmarak, Oben dan Kolhua.
Seiring berjalannya waktu, Foenay membentuk sistem pemerintahan yang terbagi
dalam beberapa camat yaitu Amarasi yang dipimpin oleh Veki Koroh dan Kupang
Timur yang dipimpin oleh Eben Sonbay. Amfoang dipimpin oleh Nailius yang kemudian
berkembang dengan pemekaran yang pesat hingga saat ini.
Sonaf yang merupakan pusat kerajaan Foenay, seiring waktu dan perubahaan sistem
pemerintahan negara semakin memudar. "Dulu kalau warga di sini memanggil kami
Amlahi (sapaan untuk bangsawan), namun kami tidak terlalu terikat dengan panggilan
itu. Keinginan kami agar bisa lebih dekat dekat masyarakat, jadi kita bergaul seperti
biasa saja," tutur Kolan.
Mince Foenay yang tinggal di Sonaf Foenay, mengatakan dulunya sonaf tersebut
pernah dibom oleh tentara Sekutu. Sekutu, katanya, berpikir kalau sonaf tersebut
menjadi tempat persembunyian para penjajah.
"Sonaf ini dibangun tahun 1910 beratap genteng kemudian alang-alang. Setelah
dibom oleh sekutu, dibangun lagi menggunakan atap seng," ungkap Mince Foenay.
Konon, sonaf tersebut merupakan tempat penyelesaian semua perkara yang terjadi
dalam masyarakat. Sonaf itu juga sebagai tempat pelaksanaan kegiatan adat seperti
pernikahan dan acara lainnya.
Sonaf atau Istana Kerajaan Foenay terletak di Jalan Anggrek Kelurahan Oepura ini
masih berdiri kokoh. Bangunan ini berbentuk klasik namun sudah direhab di beberapa
bagian. Nampak pepohonan yang berumur ratusan tahun masih berdiri kokoh di
halaman sonaf yang cukup luas itu.

You might also like