You are on page 1of 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip dasar analisis kestabilan lereng

Kestabilan lereng, baik lereng alami maupun lereng buatan manusia serta
lereng timbunan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dinyatakan secara
sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang
bertanggung jawab terhadap kestabilan lereng tersebut. Pada kondisi gaya
penahan (terhadap longsoran) lebih besar dari gaya penggerak, lereng tersebut
akan berada dalam kondisi yang stabil (aman). Namun, apabila gaya penahan
lebih kecil dari gaya penggeraknya, lereng tersebut tidak stabil dan akan terjadi
longsoran. Sebenarnya, longsoran merupakan suatu proses alami yang terjadi
untuk mendapatkan kondisi kestabilan lereng yang baru (keseimbangan baru), di
mana gaya penahan lebih besar dari gaya penggeraknya (Arif, I., 2016).
Untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu lereng, dikenal istilah faktor
keamanan (safety factor). Faktor keamanan diperlukan untuk mengetahui
kemantapan suatu lereng untuk mencegah bahaya longsoran di waktu-waktu yang
akan datang (Arif, I., 2016).

Gambar 2.1 Sketsa gaya yang bekerja ( t dan S ) pada satu sayatan
(Zakariya, 2009)
6
Dari Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa gaya yang bekerja pada lereng
adalah gaya berat, kemudian dihasilkan gaya penggerak dan gaya penahan. Untuk
menjaga agar benda di lereng tidak jatuh (failure), diperlukan perhitungan
terhadap kemiringan sesuai dengan faktor keamanan yang diinginkan. Secara
mekanik sederhana, faktor keamanan (FK) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Faktor keamanan (FK) = Gaya penahan = F*
Gaya penggerak F
= Momen penahan = F* x r
Momen penggerak F xr
= Kekuatan geser = F* / A
Gaya penggerak F* x A …..………(2.1)
Kekuatan geser = 𝑐 + 𝜎n tan ∅ …..………………................(2.2)
Dimana : σn : Tegangan normal

c : Kohesi

Ø : Sudut geser

Dengan perhitungan lebih rinci didapatkan faktor keamanan sebagai


𝑐.𝐴+𝜎n.𝐴 tan ∅
berikut : Faktor Keamanan (FK) = 𝑊 sin ҩ 𝐹
𝑐.𝐴+𝑊 sin ҩ 𝐹 tan ∅
= ……………..………(2.3)
𝑊 sin ҩ 𝐹

Apabila nilai FK untuk suatu lereng > 1,0 (gaya penahan > gaya
penggerak) lereng tersebut berada dalam kondisi stabil. Namun, apabila harga F <
1,0 (gaya penahan < gaya penggerak), lereng tersebut berada dalam kondisi tidak
stabil dan mungkin akan terjadi longsoran pada lereng tersebut (Arif, I., 2016).
Untuk mendapatkan, mengolah, serta mengatur informasi ngenai
kestabilan lereng, pada pembahasan selanjutnya akan diberikan penjelasan
mengenai analisis kestabilan lereng, metode-metode untuk menjaga kestabilan
lereng, pemantauan lereng tersebut, serta studi kasus, baik untuk lereng tambang
yang aktif maupun lereng tambang final (Arif, I., 2016).

2.2 Macam-Macam Longsoran yang Sering Terjadi pada Lereng

Terzaghi dan Peck (1967) menyatakan bahwa longsoran dapat terjadi


pada hamper setiap kemungkinan, perlahan-lahan ataupun secara tiba-tiba dan
7
dengan atau tanpa adanya suatu peringatan yang nyata (Baskari, T.L., 2008).
Longsoran pada tanah diasumsikan terjadi pada suatu massa tanah yang
homogen dan kontinu, sehingga bentuk/geometri dari longsoran tersebut
berupa busur lingkaran atau paling tidak mendekati/dapat dianggap sebagai
busur lingkaran (Baskari, T.L., 2008).
Sifat fisik maupun sifat mekanik tanah dianggap sama dan merata di
semua bagian tubuh tanah tersebut. Sedangkan pada batuan keras, untuk
batuan yang utuh (intact) sifatnya juga homogen dan kontinyu seperti pada
tanah, tetapi karena batuan utuh tersebut sangat kuat maka umumnya tidak ada
masalah mengenai kemantapan lerengnya. Masalah kemantapan lereng akan
muncul apabila batuan keras tersebut mempunyai bidang-bidang lemah
(discontinuities) (Baskari, T.L., 2008).
Lereng yang tidak stabil akan mengalami longsoran sampai lereng tersebut
menemukan keseimbangan yang baru dan menjadi stabil. Macam-macam
longsoran yang sering terjadi pada lereng tambang adalah longsoran busur,
longsoran bidang, longsoran baji, dan longsoran guling serta longsoran kombinasi
dari keempat jenis longsoran yang telah disebutkan sebelumnya (longsoran
kompleks) (Arif, I., 2017).

2.2.1 Longsoran Busur (Circular Failure)

Longsoran jenis ini banyak terjadi pada lereng tanah dan batuan lapuk atau
sangat terkekarkan dan di lereng lereng timbunan. Bentuk bidang gelincir pada
longsoran busur, sesuai dengan namanya, akan menyerupai busur bila
digambarkan pada penampang melintang (Arif, I., 2017).
Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Busur Longsoran busur banyak
terjadi pada lereng batuan lapuk atau sangat terkekarkan dan di lereng-lereng
timbunan. Bentuk bidang gelincir pada longsoran busur, sesuai namanya, akan
menyerupai busur bila digambarkan pada penampang melintang. Longsoran jenis
ini juga sering terjadi jika ukuran fragmen tanah atau massa batuan sering terjadi
sangat kecil dibandingkan dengan ukuran lereng. Oleh karena itu, lereng yang
tersusun dari material pasir, lanau, atau partikel lain yang ukurannya lebih kecil
memiliki kemungkinan besar untuk mengalami longsoran busur (Arif, I., 2017).
8
Gambar 2.2 Skema longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018)

2.2.2 Longsoran Bidang (Plane Failure)

Longsoran bidang relatif jarang terjadi Namun, jika ada kondisi yang
menunjang terjadinya longsoran bidang, longsoran yang terjadi mungkin akan
lebih besar (secara volume) daripada jenis longsoran lain. Longsoran ini
disebabkan oleh adanya struktur geologi yang berkembang, seperti kekar (joint)
ataupun patahan yang dapat menjadi bidang luncur. Oleh karena itu, pengetahuan
akan analisis longsoran bidang sangat diperlukan (Arif, I., 2017).

Gambar 2.3 Skema longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018)
9
Untuk kasus longsoran bidang dengan bidang gelincir tunggal, persyaratan
berikut ini harus terpenuhi (Wyllie dan Mah, 2004).
1. Bidang gelincir mempunyai strike sejajar atau hampir sejajar (maksimal
20o) dengan strike lereng.
2. Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang gelincir harus
muncul di muka lereng. Dengan kata lain, kemiringan bidang gelincir
lebih kecil daripada kemiringan lereng.
3. Kemiringan bidang gelincir lebih besar daripada sudut geser dalamnya.
4. Harus ada bidang release yang menjadi pembatas di kanan dan kiri blok
yang menggelincir (Arif, I., 2017).
Analisis dua dimensi selalu mempertimbangkan unit ketebalan yang
arahnya tegak lurus dengan garis muka lereng. Oleh karena itu bidang gelincir
dapat direpresentasikan sebagai garis kemiringan tertentu dan blok yang
menggelincir dapat direpresentasikan sebagai suatu luasan pada penampang
vertikal tegak lurus dengan strike lereng. Kondisi umum longsoran bidang dapat
dilihat pada gambar berikut : (Arif, I., 2017).

Gambar 2.4 Kondisi umum longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981 Utama,
P.P., et al., 2018)

10
2.2.3 Longsoran Baji (Wedge Failure)

Longsoran baji merupakan jenis longsoran yang sering terjadi di lapangan.


Sama halnya dengan longsoran bidang, longsoran baji juga diakibatkan oleh
adanya struktur geologi yang berkembang. Perbedaan pada longsoran baji adalah
adanya dua struktur geologi berkembang dan saling berpotongan. Contoh skema
longsoran baji dapat dilihat pada gambar berikut : (Arif, I., 2017).

Gambar 2.5 Skema longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018)

Longsoran baji merupakan jenis longsoran yang sering terjadi dilapangan.


Oleh karena itu, pengetahuan mengenai analisis longsoran baji ini sangat
diperlukan. Berbeda dengan longsoran bidang, Longsoran baji terjadi jika terdapat
dua bidang lemah atau lebih berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk
baji terhadap lereng. Persyaratan lainnya yang harus dipenuhi untuk terjadinya
longsoran baji adalah bila sudut yang dibentuk garis potong kedua bidang lemah
tersebut dengan bidang horizontal lebih kecil dari sudut dan sudut garis potong
kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser dalamnya (Arif, I., 2017).

11
Gambar 2.6 Kondisi geometri untuk longsoran baji (Hoek dan Bray,1981
dalam Utama, P.P., et al., 2018)

2.2.4 Longsoran Guling (Toppling Failure)

Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada
batuan yang keras, di mana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom.
Longsoran guling ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang terdapat pada
lereng mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng (Arif,
I., 2017).

Gambar 2.7 Skema longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018).
12
Longsorang guling memiliki bentuk-bentuk yang umum yang dapat
dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.8 (a) block toppling; (b) flexural toppling, dan (c) block-flexure
toppling (Goodman dan Bray,1976 dalam Arif, I., 2017)

2.3 Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Massa Batuan


2.3.1 Sifat Fisik Batuan

Sifat fisik batuan adalah sifat yang terdapat pada suatu batuan setelah
dilakukan pengujian tanpa melakukan pengrusakan. Sifat-sifat fisik antara lain
bobot isi, berat jenis, porositas, absorbsi dan void ratio. Pengujian sifat fisik
batuan yang ditentukan, antara lain :
Wn
a. Bobot isi asli (natural density) = ……………….(2.4)
Ww  Ws
Wo
b. Bobot isi kering (dry density) = ………………..(2.5)
Ww  Ws
Ws
c. Bobot isi jenuh (saturated density) = ………………...(2.6)
Ww  Ws
Wo
d. Berat jenis semu = / bobot isi air.....(2.7)
Ww  Ws
Wo
e. Berat jenis sejati (true specific gravity) = / bobot isi air….(2.8)
Wo  Ws
Wn - Wo
f. Kadar air asli (natural water content) = x 100 %..............(2.9)
Wo

13
Ww - Wo
g. Saturated water content = x 100 %............(2.10)
Wo
Wn - Wo
h. Derajat kejenuhan = x 100 %............(2.11)
Ww - Wo
Ww - Wo
i. Porositas, n = x 100 %............(2.12)
Ww - Ws
n
j. Void ratio, e = ..................................(2.13)
1- n
(Arif, I., 2017)

2.3.2 Sifat Mekanik Batuan

Sifat mekanik batuan adalah sifat suatu batuan setelah mengalami


pengrusakan. Pengujian sifat mekanik ini terdiri dari :
a. Uji kecepatan gelombang ultrasonik (ultrasonic velocity)
b. Uji kuat tekan uniaksial (uniaxial compressive strength test)
c. Uji beban titik (point load test/test franklin)
d. Uji kuat tarik (Indirect tensile strength test)
e. Uji triaxial (triaxial compression test)
f. Uji kuat geser langsung (punch shear test) (Wattimena, R.. K., 2017 ).

2.4 Klasifikasi Massa Batuan

Terdapat empat parameter yang perlu diperhatikan dalam perancangan


kestabilan lereng di tambang terbuka, yaitu rencana penambangan, kondisi
struktur geologi, sifa fisik dan mekanik material pembentuk lereng, serta tekanan
air tanah. Dari keempat parameter tersebut, struktur geologi merupakan parameter
yang paling dominan dalam mengontrol kemantapan lereng batuan, baik dari
bentuk maupun arah longsoran yang terjadi (Arif, I., 2017).
Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat
cocok untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang
lemah atau kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Berdasarkan parameter
tersebut, sudah banyak usulan atau medifikasi klasifikasi massa batuan yang dapat
digunakan untuk merancang kemantapan lereng. Pada umumnya klasifikasi
tersebut mencoba menghubungkan parameter sudut kemantapan lereng dengan
bobot klasifikasi massa batuan untuk berbagai tinggi lereng (Romana, 1985 dan
1991) menekankan deskripsi detail dari kekar untuk melihat potensi
14
kelongsorannya dan pengaruh cara penggalian terhadap kemantapan lereng.
Romana mengatakan bahwa setiap metode klasifikasi harus bisa mengatasi
berbagai macam kemungkinan tipe longsoran. Pada sebagian besar kasus,
longsoran pada massa batuan dipengaruhi oleh bidang diskontinu (joints), yang
berkembang di sepanjang muka (surface) lereng yang terbentuk dari satu atau
beberapa bidang diskontinu (Arif, I., 2017).
Karakteristik Umum Klasifikasi Massa Batuan Menurut beberapa pihak,
termasuk Bieniawski (1989), pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan untuk
memenuhi kepentingan berikut:
1. Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang memengaruhi
perilaku massa batuan;
2. Membagi massa batuan ke dalam kelompok yang mempunyai perilaku
sama di setiap kelas massa batuan;
3. Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas
massa batuan,
4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi
dengan lokasi lainnya;
5. Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa
engineering; dan
6. Memberikan dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para
insinyur dan ahli geologi.
Agar dapat digunakan dengan baik dan cepat, klasifikasi massa batuan
harus mempunyai beberapa sifat sebagai berikut: Sederhana, mudah diingat dan
dimengerti; Menyertakan sifat-sifat massa batuan yang penting;
1. Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah;
2. Pembobotan dilakukan secara relatif;
3. Menyediakan data-data kuantitatif.
Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan, akan diperoleh setidaknya
tiga keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng (Bieniawski, 1989), yaitu:
1. Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan
minimum sebagai parameter klasifikasi;
2. Memberikan informasi/data kuantitatif untuk tujuan rancangan; dan
15
3. Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada
suatu proyek.
Beberapa klasifikasi massa batuan yang banyak dipakai atau di modifikasi
untuk kepentingan kemantapan lereng antara lain:
1) Rock Mass Rating (RMR, Bieniawski, 1973, 1984, 1989)
2) Rock Mass Strength (RMS, Selby, 1980)
3) Slope Mass Rating (SMR, Romana, 1985, 1993, 1995) (Arif, I., 2017).

2.5 Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR)

Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan


yang disebut Klasifikasi Geomekanika atau lebih dikenal dengan Rock Mass
Rating (RMR). Setelah bertahun-tahun, klasifikasi massa batuan ini telah
mengalami penyesuaian dikarenakan adanya penambahan data masukan
sehingga Bieniawski membuat perubahan nilai rating pada parameter yang
digunakan untuk penilaian klasifikasi massa batuan tersebut yaitu : (Atmaja, D.,
2014).
Sistem klasifikasi massa batuan RMR menggunakan lima
parameter, yaitu:
1. Uniaxial Compressive Strength atau Point Load Strength Index (Is).
2. Rock Quality Designation (RQD).
3. Joint spacing atau spasi bidang diskontinu.
4. Kondisi bidang diskontinu.
5. Kondisi dari air tanah (ground water)(Atmaja, D., 2014).
Klasifikasi RMR yang diusulkan oleh Bieniawski (1979) digunakan untuk
menentukan kualitas massa batuan berdasarkan lima parameter, yakni kuat tekan
batuan utuh (UCS), RQD (dengan melakukan pengukuran atau estimasi), spasi
bidang-bidang diskontinu, kondisi bidang bidang diskontinu, dan kondisi air
tanah. Tabel berikut menunjukkan bobot setiap parameter pada kondisi kondisi
tertentu (Arif, I., 2016).

16
Tabel 2.1 Rock Mass Rating (Bieniawski, 1979 dalam Arif, I., 2017).

Parame
No Selang Pembobotan
ter
Kuat PLI Gunakan
>10 4_10 2_4 1_2
tekan (Mpa) nilai USC
1 Batuan USC 5_ 1_ <
>250 100-250 50-100 25-50
utuh (Mpa) 25 5 1
Bobot 15 12 7 4 2 1 0

RQD (%) 90-100 75-90 50-75 25-50 <25


2
Bobot 20 17 13 8 3
0.06-0.2
Jarak kekar >2 m 0.6-2 m 0.2-0.6 m <0.06 m
3 m
Bobot 20 15 10 8 5
Permuk
aan permuka
sangat an
kasar, slickensi
Permukaan Permukaan
tak ded atau Gouge lunak
agak kasar, agak kasar,
meneru gouge<5 >5 mm atau
Kondisi kekar pemisahan<1 pemisahan<1
4 s, tak mm, pemisahan >
mm, dinding mm, dinding
terpisah pemisaha mm, menerus
agak lapuk sangat lapuk
, n 1-5
dinding mm,men
tak erus
lapuk
Bobot 30 25 20 10 0
Aliran
per 10 m
panjang
Kosong <10 10 _25 25-125 >125
singkapa
n
(Lt/men)
Tekanan
air/tegan
gan 0 <0.1 0.1-0.2 0.2-0.5 >0.5
Air
utama
5 tanah
major
Kondisi
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
umum
Bobot 15 10 7 4 0

2.6 Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR)

Kestabilan lereng merupakan sebuah sebuah keharusan pada setiap


pekerjaan jalan raya. Lereng sepanjang jalan yang terdiri dari batuan dan tanah
haruslah memiliki kestabilan yang cukup sehingga tidak dimungkinkan untuk
terjadinya longsor. Untuk mengetahui kestabilan sebuah lereng batu perlu
17
dilakukan analisis kinematik lereng dan klasifikasi massa batuan yang bertujuan
untuk mengetahui jenis longsoran yang akan terjadi di masa yang akan datang,
menilai kualitas massa batuan pembentuk lereng, dan tingkat kestabilannya
berdasarkan klasifikas Slope Mass Rating (SMR) (Rusydy, et al., 2017).
Romana (1980) menyertakan bobot pengatur orientasi kekar untuk
memodifikasi RMR menjadi klasifikasi massa batuan baru yang disebut slope
Mass Rating (SMR). Klasifikasi SMR dibuat berdasarkan pengamatan dan data
aktual dari 87 lereng yang berada di Valencia dengan jenis kelongsoran bidang
dan guling. SMR dapat memberikan panduan awal dalam analisis kestabilan
lereng dan memberikan informasi yang berguna tentang tipe keruntuhan serta hal-
hal yang diperlukan untuk perbaikan lereng. SMR didefinisikan sebagai berikut:

SMR = RMR + (F1 x F2 x F3 ) + F4


……..............(2.14)
Nilai SMR diperoleh dari nilai RMR yang ditambah dengan faktor-faktor
terkoreksi. F1, F2, dan F3 merupakan faktor koreksi terhadap kondisi kekar (joints),
sedangkan F4 merupakan faktor koreksi terhadap metode penggalian yang
digunakan pada lereng. Faktor-faktor koreksi untuk kekar (joints), seperti
diperlihatkan pada Tabel 2.2 merupakan perkalian dari tiga faktor sebagai
berikut.:
1. F1, tergantung pada paralelisme antara kekar dan kemiringan muka lereng
(strike).
2. F2, berhubungan dengan sudut dip kekar pada longsoran bidang.
3. F3, menunjukkan hubungan antara kemiringan lereng dan kemiringan
kekar.
Nilai faktor koreksi F4 tergantung pada metode penggalian lerengnya,
apakah lereng alamiah, digali dengan peledakan presplit, peledakan smooth,
peledakan buruk atau penggalian mekanis (Arif, I., 2016).

18
Tabel 2.2 Bobot Pengatur Untuk Kekar, F1, F2 dan F3 (Romana,1985 dalam Arif. I.,
2017)
Kriteria Tak Sangat Tak
Sangat Mengun
Kasus Faktor Sedang Mengun Mengun
Menguntungkan tungkan
Koreksi tungkan tungkan
P l αj - αs l
l αj - αs - >30 30-20 20-10 10_5 <5
T
180 l
P/T F1 0,15 0,4 0,7 0,85 1
P l βj l <20 20-30 30-35 35-40 >45
P F2 0,15 0,4 0,7 0,85 1
T F2 1 1 1 1 1
P βj - βs >10 10_0 0 0-(-10) <-10
T βj - βs <110 110-120 >120
P/T F3 0 -6 -25 -50 -60

Keterangan : αj = dip dir. Kekar


αs = dip dir. Lereng
βs = dip lereng
P = longsoran bidang
T = longsoran guling
Bobot pengatur untuk metode penggalian, F4:
1. Lereng alamiah = 15
2. Peledakan presplitting = 10
3. Peledakan smooth = 8
4. Peledakan normal = 0
5. Peledakan buruk = -8
6. Penggalian mekanis = 0
Deskripsi untuk setiap kelas SMR serta kondisi kestabilan lereng tipe
keruntuhan yang mungkin terjadi serta metode perbaikan yang sesuai
diperlihatkan pada tabel 2.3. Tipe keruntuhan yang mungkin terjadi dan metode
perbaikan yang dianjurkan untuk setiap nilai range SMR ditunjukkan pada tabel
2.3 (Arif, I., 2016).

19
Tabel 2.3 Deskripsi Untuk Setiap Kelas SMR (Romana, 1985 dalam Arif, I., 2017)

Profil Massa
Deskripsi
Batuan
No Kelas V IV III II I
Rating 100-81 80-61 60-41 40-21 20-0
Sangat
Kelas massa batuan Baik Sedang Jelek Sangat jelek
baik
Beberapa Bidang Bidang besar
Tidak beberapa
Longsoran kekar atau atau baji atau seperti
ada blok
banyak baji besar tanah
sangat
Tidak Sewaktu-
Penyanggan Sistematis perlu Reexcavation
ada waktu
perbaikan

Swindells (1985) melakukan penelitian mengenai pengaruh ledakan pada


kemantapan 16 lereng di Skotlandia. Hasil penyelidikannya menunjuk bahwa
tingkat tebal atau kedalaman kerusakan lereng dipengaruhi oleh metode
penggalian yang dipakai (Arif, I., 2016).

Tabel 2.4 Bobot Pengatur Swindells SMR (Swindells, 1985 dalam Arif, I., 2017)

Tebal/kedalaman kerusakan SMR


Metode Penggalian No
Selang (m) Rata (m) F4
Lereng alamiah 4 0 0 15
Peledakan resplitting 3 0-0,6 0,5 10
Peledakan Smooth 2 2_4 3 8
Peledakan Masal 3 3_6 4 0

Hasil penyelidikan Swindell menunjukkan kesamaan umum antara tebal


atau kedalaman zona kerusakan dengan faktor koreksi F4 menurut Romana. Dari
penjelasan di atas, tampak bahwa tidak ada faktor khusus untuk penentuan
kemantapan lereng menurut longsoran baji. Oleh karena itu, analisis longsoran
baji dilakukan dengan cara menghitung RMR untuk sistem kekar. Cara langsung
penentuan kemantapan lereng menurut longsoran baji dapat menggunakan tode
Hoek dan Bray (1981) dengan cara menggunakan streonet (Arif, I., 2016).

20
2.7 Kekuatan Massa Batuan

Dalam analisis desain suatu lereng, pondasi, dan terowongan,


memperkirakan kekuatan dan karakteristik deformasi suatu massa batuan adalah
merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan kekuatan batuan
utuh yang didapatkan dari pengujian laboratorium belum mencerminkan
kekuatan massa batuan. Gambar berikut memperlihatkan perbandingan kekuatan
batuan utuh terhadap massa batuan. Untuk itu diperlukan adanya rumusan yang
menghubungan kekuatan batuan utuh dengan kekuatan massa batuan. Hoek dan
Brown (1980) memperkenalkan rumusan untuk memperkirakan kekuatan massa
batuan berdasarkan kepada hubungan antara blok batuan dan kondisi
permukaaan diantara blok batuan tersebut. Sejak diperkenalkan pertama kali,
rumusan ini telah mengalami modifikasi dengan menambahkan beberapa
parameter yang sebelumnya tidak dipertimbangkan pada rumusan tersebut.
Rumusan Hoek-Brown yang dipakai pada penelitian ini adalah kriteria
keruntuhan Hoek-Brown edisi 2002 (Utama, P.P., et al., 2018).

Gambar 2.9 Diagram idealisasi transisi dari batuan utuh ke massa batuan
yang terkekarkan (Hoek dan Brown, 1980 dalam Baskari, T.L.,
2008).

21
2.8 Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown (Edisi 2002)

Kriteria keruntuhan Hoek-Brown pertama kali dikembangkan


untuk analisa terowongan pada massa batuan terkekarkan didefinisikan dengan
persamaan berikut:

...................(2.15)
σ’ dan σ’ adalah tegangan efektif maksimum dan minimum pada saat
runtuh, m konstanta Hoek-Brown m untuk massa batuan, s dan a adalah
konstanta yang tergantung kepada karakteristik massa batuan, dan σ adalah
nilai kuat tekan batua utuh. Untuk batuan utuh, nilai s dan a ditetapkan 1 dan 0.5
sehingga rumusan Hoek-Brown untuk batuan utuh dihitung dengan persamaan
berikut:

..................(2.16)
(Wattimena, R.. K., 2017)

2.9 Indeks Rock Quality Designation (RQD)

Indeks RQD telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai
indeks dari kualitas batuan pada saat informasi kualitas batuan hanya tersedia dari
deskripsi ahli geologi dan persentase dari perolehan inti (core recovery). RQD
adalah modifikasi dari persentase perolehan inti yang utuh dengan panjang 10 cm
atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatif yang telah digunakan secara luas untuk
mengidentifikasikan daerah batuan yang kualitasnya rendah sehingga dapat
diputuskan untuk penambahan pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya
(Hirnawan, R.F., dan Zakaria. Z.,2009)

RQD = Length of core pieces >10cm length x 100%................(2.17)
Total length of core run
Untuk menentukan RQD, ISRM merekomendasikan ukuran inti paling
kecil berdiameter NX (54,7 mm) yang dibor dengan menggunakan double tube
core barrels (Hirnawan, R.F., dan Zakaria. Z.,2009).

22
Tabel 2.5 Hubungan Antara Indeks RQD dan Kualitas Teknik Dari Batuan
(Deere, 1968 dalam (Hirnawan, R.F., dan Zakaria. Z.,2009)

No RQD (%) Kualitas Batuan


1 < 25 Sangat jelek (very poor)
2 25 - 50 Jelek (poor)
3 50 - 75 Sedang (fair)
4 75 - 90 Baik (good)
5 90 - 100 Sangat Baik (excellent)

2.10 Geological Strength Index (GSI) dan Rock Mass Rating (RMR)

Kekuatan massa batuan terkekarkan tergantung kepada sifat/kekuatan


batuan utuh dan juga kepada bebas tidaknya blok-blok batuan yang
menyusun massa batuan untuk meluncur dan berotasi dibawah kondisi
tegangan yang berbeda. Hal tersebut dikontrol oleh bentuk geometri dari
blok-blok batuan penyusun massa batuan maupun kondisi permukaan bidang
pemisah antar blok-blok batuan tersebut. Suatu blok batuan yang menyudut
dengan bidang permukaan kasar akan mempunyai kekuatan massa batuan
yang lebih besar dibandingkan dengan dengan blok batuan yang membundar
dan bidang permukaanya terlapukan (Baskari, T.L., 2008).
Geological Strength Index (GSI) diperkenalkan oleh Hoek (1995) dan
Hoek, Kaiser, dan Bawden (1995) ditujukan untuk memperkirakan
berkurangnya kekuatan suatu massa batuan yang disebabkan oleh kondisi
geologi yang berbeda (Wattimena, R.. K., 2017 ).
Hoek (2007) menemukan bahwa pada tahun-tahun awal penerapan system
GSI, nilai GSI diestimasi langsung dari Rock Mass Rating (RMR). Tetapi kolerasi
ini telah terbukti tidak handal, khususnya untuk massa batuan buruk dan batuan-
batuan dengan kekhasan litologi yang tidak dapat diakomodasi dalam klasifikasi
RMR. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk mengestimasi GSI secara
langsung menggunakan tabel 2.4 (Wattimena, R.. K., 2017 )..

23
Tabel 2.6 Nilai GSI Berdasarkan Deskripsi Kondisi Geologi (Hoek,2007 dalam
Wattimena, R.. K., 2017 )

2.11 Uji Kuat Tekan Uniaksial (Unconfined Compressive Strength Test)

Uji tekan dilakukan untuk mengukur kuat tekan uniaksial (Unconfirm


Comprehensive Strength Test UCS Test) dari sebuah contoh ba an berbentuk
silinder dalam satu arah (uniaksial). Tujuan utama ini adalah untuk
mengklasifikasi kekuatan dan karakterisasi batu utuh. Hasil uji ini berupa
beberapa informasi, seperti kurva teganga regangan, kuat tekan uniaksial,
modulus elastisitas, nisbah Poisson, energi fraktur, dan energi fraktur spesifik
(Arif, I., 2017).

24
Pengujian ini dilakukan menggunakan mesin tekan (compressio machine)
dan dalam pembebanannya mengikuti standar dari International Society for Rock
Mechanics (ISRM, 1981). Secara teoritis penyebaran tegangan di dalam contoh
batuan searah dengan gaya yang dikenakan pada contoh tersebut. Akan tetapi,
pada kenyataan nya arah tegangan tidak searah dengan gaya yang dikenakan pada
contoh. Hal ini terjadi karena ada pengaruh dari plat penekan pada mesin tekan
yang berbentuk bidang pecah yang se dengan gaya berbentuk "cone" (Arif, I.,
2017).
Contoh batuan yang akan digunakan dalam pengujian kuat tekan harus
memenuhi beberapa syarat. Kedua muka contoh uj batuan harus mencapai
kerataan hingga 0,02 mm dan tidak melenceng dari sumbu tegak lurus lebih besar
daripada 0,001 radian (sekitar 3,5 min) atau 0,05 mm dalam 50 mm (0,06%).
Demikian juga sisi panjangnya harus bebas dari ketidakrataan sehingga
kelurusannya sepanjang contoh batu uji tidak melenceng lebih dari 0,3 mm (Arif,
I., 2017).
Perbandingan antara tinggi dan diameter contoh batuan akan
mempengaruhi nilai kuat tekan batuan. Jika digunakan perban dingan (L/D) 1,
kondisi tegangan triaxial saling bertemu sehingga akan memperbesar nilai kuat
tekan batuan. Sesuai dengan ISRM (1981), untuk pengujian kuat tekan digunakan
rasio L/D antara 2 - 2,5 dan sebaiknya diameter (D) contoh batu uji paling
berukuran tidak kurang dari ukuran NX, atau kurang lebih 54 mm. Semakin besar
perbandingan antara tinggi dan diameter contoh batuan yang digunakan, kuat
tekannya akan semakin kecil seperti ditunjukkan oleh persamaan di bawah ini:
(Arif, I., 2017).

Makin besar maka kuat tekannya akan bertambah kecil seperti
D
ditunjukkan oleh persamaan di bawah ini :

Menurut American Society for Testing and Materials (ASTM)


c
 c(  D) =
0,222
0,778 +
/D
...........................(2.18)

25
Menurut Protodyakonov:
8 c
 c( = 2D) =
2
7 +
/D
...........................(2.19)

2.12 Uji Kuat Geser (Direct Shear strength Test)

Semua massa batuan memiliki bidang-bidang diskontinu, seperti kekar,


bidang perlapisan, dan sesar. Pada kedalaman yang dangkal, ketika tegangan
tegangan yang bekerja sangat rendah atau dapat diabaikan, deformasi ataupun
runtuhan yang terjadi pada batuan utuh (intact rock) dan massa batuan lebih
banyak dikendalikan oleh luncuran pada bidang diskontinu dan sifat fisik butiran
batuan utuh (intact rock) di antara bidang luncur gesernya (Arif, I., 2016).
Salah satu contoh kasus ini ialah pembuatan lereng-lereng pada kegiatan
tambang terbuka. Oleh karena itu, sebelum mendesain lereng tambang, kita perlu
mengetahui parameter-parameter kuat geser batuan, yaitu kohesi (c) dan sudut
gesek dalam (ᶲ) yang diperoleh dengan melakukan uji geser langsung di
laboratorium (Arif, I., 2016).
Kuat geser batuan merupakan perlawanan internal batuan terhadap
tegangan yang bekerja sepanjang bidang geser dalam batuan tersebut, yang
dipengaruhi oleh karakteristik intrinsik dan faktor eksternal. Untuk mengetahui
kuat geser batuan pada tegangan normal tertentu diperlukan uji kuat geser yang
menggunakan contoh uji paling tidak sebanyak 4 buah. Kuat geser batuan sangat
berguna sebagai parameter rancangan kestabilan lereng. Kuat geser batuan sangat
berguna sebagai parameter rancangan kestabilan lereng. Kriteria keruntuhan geser
yang paling banyak digunakan adalah kriteria Mohr-coulomb (Arif, I., 2016).
Hasil pengujian ini untuk mengetahui kuat geser batuan pada tegangan
normal tertentu. Dari hasil pengujian dapat ditentukan :
a) Kurva instrinsik (Strength envelope)
b) Kuat geser (Shear Strength)
c) Sudut geser dalam (∅) dan Kohesi (c)
d) Tegangan normal (𝜎n) (Arif, I., 2016).

26
2.13 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menganalisis


kestabilan suatu lereng adalah sebagai berikut :
1. Penyebaran Batuan
Hal ini disebabkan karena sifat fisik dan mekanik suatu jenis batuan
akan berbeda dengan jenis batuan yang lainnya sehingga kekuatannyapun akan
berbeda pula.
2. Relief Permukaan Bumi
Daerah yang curam mengakibatkan pengikisan yang lebih intensif
dibandingkan daerah yang landai. Karena erosi yang intensif, banyak dijumpai
singkapan yang menyebabkan pelapukan yang lebih cepat. Batuan yang lapuk
mempunyai kekuatan yang lebih rendah sehingga kestabilan lereng menjadi
berkurang.
3. Struktur Geologi
Struktur geologi adalah merupakan bidang lemah yang berkembang
didalam massa batuan dan dapat menurunkan kestabilan suatu lereng.
4. Iklim
Berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena mempengaruhi
perubahan temperatur. Perubahan temperatur yang cepat sekali berubah
dalam waktu yang singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan.
5. Geometri Lereng
Geometri lereng meliputi tinggi lereng dan sudut kemiringan lereng.
Lereng dengan ketinggian yang lebih tinggi mempunyai kestabilan yang lebih
kecil dibandingkan lereng yang lebih rendah. Demikian juga untuk lereng
dengan sudut lereng yang lebih besar mempunyai kestabilan yang lebih kecil
dibandingkan lereng dengan sudut lereng lebih kecil. Kandungan air tanah
juga akan mempengaruhi kestabilan suatu lereng. Lereng dengan muka air
tanah yang lebih tinggi akan mempunyai kestabilan yang lebih kecil
dibandingkan lereng dengan muka air tanah yang lebih rendah.
6. Gaya Luar
Gaya luar seperti getaran yang ditimbulkan oleh peledakan ataupun
kendaraan akan dapat mempengaruhi kestabilan suatu lereng (Zakariya, 2009).
27
2.14 Macam-Macam Metode Analisis Kestabilan Lereng

Terdapat sejumlah metode yang dapat digunakan dalam analisis kestabilan


lereng, mulai dari yang sederhana, seperti metode grafik, metode stereonet,
metode kesetimbangan batas, hingga yang rumit dan canggih, seperti metode
elemen hingga (finite-element method) dan metode elemen diskret (discrete
element method). Setiap metode memiliki keunggulan dan keterbatasan masing-
masing (Arif, I., 2017).
Saat ini terdapat banyak software untuk analisis kestabilan lereng.
Penggunaan software tersebut memerlukan pemahaman mengenai prinsip-prinsip
dari metode analisis yang digunakan, kelebihan dan keterbatasan pada setiap
metode dan software, sehingga dapat dgunakan secara tepat. Untuk menyelesaikan
persoalan geomekanika terdapat dua pendekatan, yaitu:
1) Pertama, tanah dan batuan dianggap sebagai suatu massa yang kontinu atau
menerus (Metode kontinum), yang terdiri dari :
a) Metode beda hingga (Finite difference method)
b) Metode elemen hingga (Finite element method)
2) Kedua, tanah dan batuan dianggap sebagai suatu benda yang tidak
kontinu/tidak menerus (Metode Diskontinu) seperti metode elemen diskret.
Kedua pendekatan tersebut dapat juga digabung untuk memperoleh
kelebihan dari masing-masing metode, pendekatan ini disebut Metode campuran
(hybrid) (Arif, I., 2017).

2.14.1 Analisis Kinematik Lereng (Slope Kinematic Analysis)

Metode analisis kinematik merupakan sebuah upaya mengetahui


kestabilan lereng berdasarkan jenis gerakan material lereng tanpa menganalisis
gaya penyebab material lereng bergerak (Gurocak, et al., 2008). Dalam metode
kinematik analisis, pengaruh struktur geologi berupa bidang diskontinuitas berupa
perlapisan, kekar, lipatan, rekahan dan patahan akan dianalisis secara
seksama. Aspek struktur geologi bidang diskontinuitas ini sangat mempengaruhi
tingkat kestabilan lereng batuan (Rusydy, et al., 2016; Grelle, et al., 2011; Wyllie
& Mah, 2004).

28
Metode analisis kinematik lereng merupakan salah satu metode analisis
kestabilan lereng yang menggunakan parameter orientasi struktur geologi,
orientasi lereng dan sudut geser dalam batuan yang diproyeksikan pada stereonet
(Hoek dan Bray, 1981) dan Goodman (1989 dalam Rusydy, et al., 2017).
Semua data geologi yang didapatkan di lapangan berupa arah kemiringan
dan bidang kemiringan sebuah rekahan, patahan, kekar, dan perlapisan. Data
tersebut akan diplotkan dalam proyeksi stereografi untuk selanjutkan dianalisis
tingkat kestabilan lereng dan jenis longsoran yang akan terjadi. Proyeksi
stereografi sendiri merupakan sebuah metode memproyeksikan kondisi struktur
geologi tiga dimensi menjadi bidang datar dua dimensi. Dengan memahami
distribusi bidang-bidang lemah yang sudah diproyeksikan, maka kita akan bisa
mengetahui sudut relatif sebuah batuan yang selanjutnya digunakan untuk tujuan
analisis kinematik. Metode analisis proyeksti stereografi ini biasa digunakan
untuk menganalisis kestabilan lereng dan terowongan (Lee & Wang, 2011 dalam
Rusydy, et al., 2017).
Dalam analisis kinematika digunakan Schmidt net dengan proyeksi bidang
menjadi titik (pole plot) maupun garis lengkung (plane). Analisis longsoran baji
menggunakan prinsip proyeksi bidang menjadi garis lengkung sedangkan analisis
longsoran bidang menggunakan prinsip proyeksi bidang menjadi titik. Data yang
digunakan antara lain data line mapping dan data pemboran geoteknik. Pada data
kekar perlu dilakukan contouring untuk mengetahui arah orientasi utama
selanjutnya arah orientasi utama tersebut digunakan dalam analisis kinematika
maupun analisis kesetimbangan batas (Aprilia, F., 2014).
Berdasarkan hasil analisis kinematik, nantinya akan dapat diperkirakan
sebuah lereng stabil atau tidak. Apabila sebuah lereng ditemukan tidak stabil,
maka berdasarkan analisis kinematic ini akan diketahui jenis longsoran yang akan
terjadi di masa yang akan datang. Rai, et al., (2014) menyatakan bahwa klasifikasi
massa batuan berkembang ketika pada tahun 1879 Ritter berusaha
memformulasikan pendekatan empiris untuk perancangan terowongan, terutama
untuk keperluan sistem penyangga (Rusydy, et al., 2017).
Banyak klasifikasi massa batuan menggunaksan multiparamater yang
dikembangkan dari kasus pekerjaan sipil dan komponen sifat geologi massa
29
batuan seperti RMR (Rock Mass Rating) yang dikembangkan oleh Bieniawski
(1989), SMR (Slope Mass Rating) yang dibuat oleh Romana (1985), Q System
oleh Barton, et al., (1974) dan masih banyak klasifikasi massa batuan lainnya.
Klasifikasi massa batuan digunakan untuk menilai kualitas massa batuan untuk
pekerjaan sipil dan pertambangan termasuk didalamnya dalam terowongan dan
lereng. Dalam penelitian ini, klasifikasi massa batuan digunakan bertujuan untuk
menilai kualitas dan kestabilan sebuah lereng di jalan raya. Pengambilan data
struktur massa batuan dan klasifikasi massa batuan dilakukan menggunakan
metode scanline dengan cara membentang meteran sepanjang lereng yang akan
dianalisis. Metode scanline merupakan metode objektif yang sangat efektif untuk
merekam/mendata dan mendiskripsikan rekahan pada sebuah singkapan massa
batuan (Brown, 1981).

2.14.2 Metode Scanline dan Metode Proyeksi Stereografis

Metode scanline merupakan metode pengukuran bidang diskontinu. Jarak


pisah antara bidang diskontinu (kekar) adalah jarak tegak lurus antara dua bidang
diskontinu yang berurutan sepanjang sebuah garis pengamatan yang disebut scan-
line, dan dinyatakan sebagai intact length. Panjang scan-line minimum untuk
pengukuran jarak diskontinuiti adalah sekita 50 kali jarak rata-rata diskontinuiti
yang hendak diukur. Namun, menurut Internasional Society for Rock Mechanics
(ISRM,1981) panjang ini cukup sekitar 10 kali, tergantung tujuan pengukuran
scanline-nya (Arif, I., 2017).

Tabel 2.7 Klasifikasi Jarak Kekar (Attewell,1993 dalam Arif, I., 2017)

Deskripsi Jarak Struktur Bidang Diskontinu Jarak (Mm)

Spasi sangat besar Perlapisan sangat tebal >2000

Spasi lebar Perlapisan tebal 600-2000


Spasi cukup lebar Perlapisan sedang (medium) 200-600
Spasi rapat Perlapisan tipis 60-200

Perlapisan sangat tipis 20-60

30
Laminasi tebal (Batuan
Spasi sangat rapat 20-Jun
sedimen)
Laminasi sempit (batuan
20-Jun
metamorf dan batuan beku)

Berlapis, memiliki belahan


(cleavage), struktur perlapisan
20-Jun
seperti aliran/flow (flow-
banded), metamorfik,dll

Perlapisan tipis (batuan


<20
sedimen)

Spasi sangat rapat sekali Sangat berfoliasi, memiliki


(Ekstrem) belahan (cleavage) dan struktur
perlapisan seperti aliran/flow <6
flow- banded), (batuan
metamorf dan batuan beku), dll.

Metode Proyeksi Stereografiis merupakan tahap awal dalam melakukan


analisis kemantapan lereng sebelum melangkah ke tahap perhitungan angka faktor
keamanan. Dengan melakukan analisis ini dapat diketahui jumlah bidang, jenis,
dan arah longsoran yang mungkin terjadi (Arif, I., 2017).

2.14.3 Metode Kesetimbangan Batas ( Limit Equilibrium Method)

Metode kesetimbangan batas merupakan metode yang sangat populer


untuk digunakan dalam menganalisis kestabilan lereng tipe gelinciran
translasional dan rotasional. Metode ini relatif sederhana, mudah digunakan, serta
telah terbukti keandalannya dalam praktik rekayasa selama bertahun-tahun (Arif,
I., 2016).
Pada metode ini, perhitungan analisis kestabilan lereng hanya
menggunakan kondisi kesetimbangan statik dan mengabaikan adanya hubungan
tegangan-regangan pada lereng. Asumsi lainnya, yaitu geometri dari bentuk
bidang runtuh, harus diketahui dan ditentukan terlebih dahulu (Arif, I., 2016).
Analisis kesetimbangan batas merupakan metode analisis kesetimbangan
dari massa yang berpotensi bergerak menuruni lereng dengan membandingkan
gaya penggerak dan gaya penahan sepanjang bidang gelincir longsoran.
31
Perbandingan kedua gaya tersebut akan menghasilkan nilai FS. Dalam penelitian
ini kriteria kestabilan lereng dalam analisis kesetimbangan batas ditetapkan
sebagai berikut: nilai FS ≤ 1 menunjukkan lereng dalam kondisi tidak stabil,
sedangkan nilai FS > 1 menunjukkan lereng dalam kondisi stabil (Hoek dan Bray,
1981). Lebih lanjut, nilai 1 < FS < 1,2 menunjukkan lereng dalam kondisi kritis
dan nilai FS ≥ 1,2 menunjukkan lereng dalam kondisi aman (Priest dan Brown,
1983 dalam Aprilia, F. et al., 2014).
Analisis kesetimbangan batas pada penelitian ini dilakukan pada daerah
yang tidak stabil secara kinematika baik untuk macam-macam tipe longsoran.
Analisis longsoran bidang dilakukan dengan metode General Limit Equilibrium
(GLE) menggunakan Mohr-Couloumb Criterion untuk memodelkan sifat-sifat
kekuatan material pengisi sesar dan kekar yang relatif homogen dan anisotropic
strength function untuk memodelkan sifat-sifat kekuatan massa batuan. Metode
GLE berdasarkan pada dua persamaan faktor keamanan lereng, yakni faktor
keamanan terhadap kesetimbangan gaya dan faktor keamanan terhadap
kesetimbangan momen. Selain itu, metode ini mempertimbangkan gaya-gaya
interslices (Krahn, 2004), sehingga diharapkan hasil yang diperoleh lebih akurat.
Dalam analisis menggunakan anisotropic strength function diperlukan data
orientasi utama bidang diskontinuitas pada masing-masing sayatan (Aprilia, F. et
al., 2014).
Kondisi kestabilan lereng dalam metode kesetimbangan batas dinyatakan
dalam indeks faktor keamanan. Faktor keamanan dihitung menggunakan
kesetimbangan gaya, kesetimbangan momen, atau menggunakan kedua kondisi
kesetimbangan tersebut, tergantung metode perhitungan yang dipakai (Arif, I.,
2016).

32

You might also like