Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Kestabilan lereng, baik lereng alami maupun lereng buatan manusia serta
lereng timbunan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dinyatakan secara
sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang
bertanggung jawab terhadap kestabilan lereng tersebut. Pada kondisi gaya
penahan (terhadap longsoran) lebih besar dari gaya penggerak, lereng tersebut
akan berada dalam kondisi yang stabil (aman). Namun, apabila gaya penahan
lebih kecil dari gaya penggeraknya, lereng tersebut tidak stabil dan akan terjadi
longsoran. Sebenarnya, longsoran merupakan suatu proses alami yang terjadi
untuk mendapatkan kondisi kestabilan lereng yang baru (keseimbangan baru), di
mana gaya penahan lebih besar dari gaya penggeraknya (Arif, I., 2016).
Untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu lereng, dikenal istilah faktor
keamanan (safety factor). Faktor keamanan diperlukan untuk mengetahui
kemantapan suatu lereng untuk mencegah bahaya longsoran di waktu-waktu yang
akan datang (Arif, I., 2016).
Gambar 2.1 Sketsa gaya yang bekerja ( t dan S ) pada satu sayatan
(Zakariya, 2009)
6
Dari Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa gaya yang bekerja pada lereng
adalah gaya berat, kemudian dihasilkan gaya penggerak dan gaya penahan. Untuk
menjaga agar benda di lereng tidak jatuh (failure), diperlukan perhitungan
terhadap kemiringan sesuai dengan faktor keamanan yang diinginkan. Secara
mekanik sederhana, faktor keamanan (FK) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Faktor keamanan (FK) = Gaya penahan = F*
Gaya penggerak F
= Momen penahan = F* x r
Momen penggerak F xr
= Kekuatan geser = F* / A
Gaya penggerak F* x A …..………(2.1)
Kekuatan geser = 𝑐 + 𝜎n tan ∅ …..………………................(2.2)
Dimana : σn : Tegangan normal
c : Kohesi
Ø : Sudut geser
Apabila nilai FK untuk suatu lereng > 1,0 (gaya penahan > gaya
penggerak) lereng tersebut berada dalam kondisi stabil. Namun, apabila harga F <
1,0 (gaya penahan < gaya penggerak), lereng tersebut berada dalam kondisi tidak
stabil dan mungkin akan terjadi longsoran pada lereng tersebut (Arif, I., 2016).
Untuk mendapatkan, mengolah, serta mengatur informasi ngenai
kestabilan lereng, pada pembahasan selanjutnya akan diberikan penjelasan
mengenai analisis kestabilan lereng, metode-metode untuk menjaga kestabilan
lereng, pemantauan lereng tersebut, serta studi kasus, baik untuk lereng tambang
yang aktif maupun lereng tambang final (Arif, I., 2016).
Longsoran jenis ini banyak terjadi pada lereng tanah dan batuan lapuk atau
sangat terkekarkan dan di lereng lereng timbunan. Bentuk bidang gelincir pada
longsoran busur, sesuai dengan namanya, akan menyerupai busur bila
digambarkan pada penampang melintang (Arif, I., 2017).
Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Busur Longsoran busur banyak
terjadi pada lereng batuan lapuk atau sangat terkekarkan dan di lereng-lereng
timbunan. Bentuk bidang gelincir pada longsoran busur, sesuai namanya, akan
menyerupai busur bila digambarkan pada penampang melintang. Longsoran jenis
ini juga sering terjadi jika ukuran fragmen tanah atau massa batuan sering terjadi
sangat kecil dibandingkan dengan ukuran lereng. Oleh karena itu, lereng yang
tersusun dari material pasir, lanau, atau partikel lain yang ukurannya lebih kecil
memiliki kemungkinan besar untuk mengalami longsoran busur (Arif, I., 2017).
8
Gambar 2.2 Skema longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018)
Longsoran bidang relatif jarang terjadi Namun, jika ada kondisi yang
menunjang terjadinya longsoran bidang, longsoran yang terjadi mungkin akan
lebih besar (secara volume) daripada jenis longsoran lain. Longsoran ini
disebabkan oleh adanya struktur geologi yang berkembang, seperti kekar (joint)
ataupun patahan yang dapat menjadi bidang luncur. Oleh karena itu, pengetahuan
akan analisis longsoran bidang sangat diperlukan (Arif, I., 2017).
Gambar 2.3 Skema longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018)
9
Untuk kasus longsoran bidang dengan bidang gelincir tunggal, persyaratan
berikut ini harus terpenuhi (Wyllie dan Mah, 2004).
1. Bidang gelincir mempunyai strike sejajar atau hampir sejajar (maksimal
20o) dengan strike lereng.
2. Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang gelincir harus
muncul di muka lereng. Dengan kata lain, kemiringan bidang gelincir
lebih kecil daripada kemiringan lereng.
3. Kemiringan bidang gelincir lebih besar daripada sudut geser dalamnya.
4. Harus ada bidang release yang menjadi pembatas di kanan dan kiri blok
yang menggelincir (Arif, I., 2017).
Analisis dua dimensi selalu mempertimbangkan unit ketebalan yang
arahnya tegak lurus dengan garis muka lereng. Oleh karena itu bidang gelincir
dapat direpresentasikan sebagai garis kemiringan tertentu dan blok yang
menggelincir dapat direpresentasikan sebagai suatu luasan pada penampang
vertikal tegak lurus dengan strike lereng. Kondisi umum longsoran bidang dapat
dilihat pada gambar berikut : (Arif, I., 2017).
Gambar 2.4 Kondisi umum longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981 Utama,
P.P., et al., 2018)
10
2.2.3 Longsoran Baji (Wedge Failure)
Gambar 2.5 Skema longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018)
11
Gambar 2.6 Kondisi geometri untuk longsoran baji (Hoek dan Bray,1981
dalam Utama, P.P., et al., 2018)
Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada
batuan yang keras, di mana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom.
Longsoran guling ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang terdapat pada
lereng mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng (Arif,
I., 2017).
Gambar 2.7 Skema longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981 dalam Utama,
P.P., et al., 2018).
12
Longsorang guling memiliki bentuk-bentuk yang umum yang dapat
dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.8 (a) block toppling; (b) flexural toppling, dan (c) block-flexure
toppling (Goodman dan Bray,1976 dalam Arif, I., 2017)
Sifat fisik batuan adalah sifat yang terdapat pada suatu batuan setelah
dilakukan pengujian tanpa melakukan pengrusakan. Sifat-sifat fisik antara lain
bobot isi, berat jenis, porositas, absorbsi dan void ratio. Pengujian sifat fisik
batuan yang ditentukan, antara lain :
Wn
a. Bobot isi asli (natural density) = ……………….(2.4)
Ww Ws
Wo
b. Bobot isi kering (dry density) = ………………..(2.5)
Ww Ws
Ws
c. Bobot isi jenuh (saturated density) = ………………...(2.6)
Ww Ws
Wo
d. Berat jenis semu = / bobot isi air.....(2.7)
Ww Ws
Wo
e. Berat jenis sejati (true specific gravity) = / bobot isi air….(2.8)
Wo Ws
Wn - Wo
f. Kadar air asli (natural water content) = x 100 %..............(2.9)
Wo
13
Ww - Wo
g. Saturated water content = x 100 %............(2.10)
Wo
Wn - Wo
h. Derajat kejenuhan = x 100 %............(2.11)
Ww - Wo
Ww - Wo
i. Porositas, n = x 100 %............(2.12)
Ww - Ws
n
j. Void ratio, e = ..................................(2.13)
1- n
(Arif, I., 2017)
16
Tabel 2.1 Rock Mass Rating (Bieniawski, 1979 dalam Arif, I., 2017).
Parame
No Selang Pembobotan
ter
Kuat PLI Gunakan
>10 4_10 2_4 1_2
tekan (Mpa) nilai USC
1 Batuan USC 5_ 1_ <
>250 100-250 50-100 25-50
utuh (Mpa) 25 5 1
Bobot 15 12 7 4 2 1 0
18
Tabel 2.2 Bobot Pengatur Untuk Kekar, F1, F2 dan F3 (Romana,1985 dalam Arif. I.,
2017)
Kriteria Tak Sangat Tak
Sangat Mengun
Kasus Faktor Sedang Mengun Mengun
Menguntungkan tungkan
Koreksi tungkan tungkan
P l αj - αs l
l αj - αs - >30 30-20 20-10 10_5 <5
T
180 l
P/T F1 0,15 0,4 0,7 0,85 1
P l βj l <20 20-30 30-35 35-40 >45
P F2 0,15 0,4 0,7 0,85 1
T F2 1 1 1 1 1
P βj - βs >10 10_0 0 0-(-10) <-10
T βj - βs <110 110-120 >120
P/T F3 0 -6 -25 -50 -60
19
Tabel 2.3 Deskripsi Untuk Setiap Kelas SMR (Romana, 1985 dalam Arif, I., 2017)
Profil Massa
Deskripsi
Batuan
No Kelas V IV III II I
Rating 100-81 80-61 60-41 40-21 20-0
Sangat
Kelas massa batuan Baik Sedang Jelek Sangat jelek
baik
Beberapa Bidang Bidang besar
Tidak beberapa
Longsoran kekar atau atau baji atau seperti
ada blok
banyak baji besar tanah
sangat
Tidak Sewaktu-
Penyanggan Sistematis perlu Reexcavation
ada waktu
perbaikan
Tabel 2.4 Bobot Pengatur Swindells SMR (Swindells, 1985 dalam Arif, I., 2017)
20
2.7 Kekuatan Massa Batuan
Gambar 2.9 Diagram idealisasi transisi dari batuan utuh ke massa batuan
yang terkekarkan (Hoek dan Brown, 1980 dalam Baskari, T.L.,
2008).
21
2.8 Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown (Edisi 2002)
...................(2.15)
σ’ dan σ’ adalah tegangan efektif maksimum dan minimum pada saat
runtuh, m konstanta Hoek-Brown m untuk massa batuan, s dan a adalah
konstanta yang tergantung kepada karakteristik massa batuan, dan σ adalah
nilai kuat tekan batua utuh. Untuk batuan utuh, nilai s dan a ditetapkan 1 dan 0.5
sehingga rumusan Hoek-Brown untuk batuan utuh dihitung dengan persamaan
berikut:
..................(2.16)
(Wattimena, R.. K., 2017)
Indeks RQD telah diperkenalkan lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai
indeks dari kualitas batuan pada saat informasi kualitas batuan hanya tersedia dari
deskripsi ahli geologi dan persentase dari perolehan inti (core recovery). RQD
adalah modifikasi dari persentase perolehan inti yang utuh dengan panjang 10 cm
atau lebih. Ini adalah indeks kuantitatif yang telah digunakan secara luas untuk
mengidentifikasikan daerah batuan yang kualitasnya rendah sehingga dapat
diputuskan untuk penambahan pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya
(Hirnawan, R.F., dan Zakaria. Z.,2009)
RQD = Length of core pieces >10cm length x 100%................(2.17)
Total length of core run
Untuk menentukan RQD, ISRM merekomendasikan ukuran inti paling
kecil berdiameter NX (54,7 mm) yang dibor dengan menggunakan double tube
core barrels (Hirnawan, R.F., dan Zakaria. Z.,2009).
22
Tabel 2.5 Hubungan Antara Indeks RQD dan Kualitas Teknik Dari Batuan
(Deere, 1968 dalam (Hirnawan, R.F., dan Zakaria. Z.,2009)
2.10 Geological Strength Index (GSI) dan Rock Mass Rating (RMR)
23
Tabel 2.6 Nilai GSI Berdasarkan Deskripsi Kondisi Geologi (Hoek,2007 dalam
Wattimena, R.. K., 2017 )
24
Pengujian ini dilakukan menggunakan mesin tekan (compressio machine)
dan dalam pembebanannya mengikuti standar dari International Society for Rock
Mechanics (ISRM, 1981). Secara teoritis penyebaran tegangan di dalam contoh
batuan searah dengan gaya yang dikenakan pada contoh tersebut. Akan tetapi,
pada kenyataan nya arah tegangan tidak searah dengan gaya yang dikenakan pada
contoh. Hal ini terjadi karena ada pengaruh dari plat penekan pada mesin tekan
yang berbentuk bidang pecah yang se dengan gaya berbentuk "cone" (Arif, I.,
2017).
Contoh batuan yang akan digunakan dalam pengujian kuat tekan harus
memenuhi beberapa syarat. Kedua muka contoh uj batuan harus mencapai
kerataan hingga 0,02 mm dan tidak melenceng dari sumbu tegak lurus lebih besar
daripada 0,001 radian (sekitar 3,5 min) atau 0,05 mm dalam 50 mm (0,06%).
Demikian juga sisi panjangnya harus bebas dari ketidakrataan sehingga
kelurusannya sepanjang contoh batu uji tidak melenceng lebih dari 0,3 mm (Arif,
I., 2017).
Perbandingan antara tinggi dan diameter contoh batuan akan
mempengaruhi nilai kuat tekan batuan. Jika digunakan perban dingan (L/D) 1,
kondisi tegangan triaxial saling bertemu sehingga akan memperbesar nilai kuat
tekan batuan. Sesuai dengan ISRM (1981), untuk pengujian kuat tekan digunakan
rasio L/D antara 2 - 2,5 dan sebaiknya diameter (D) contoh batu uji paling
berukuran tidak kurang dari ukuran NX, atau kurang lebih 54 mm. Semakin besar
perbandingan antara tinggi dan diameter contoh batuan yang digunakan, kuat
tekannya akan semakin kecil seperti ditunjukkan oleh persamaan di bawah ini:
(Arif, I., 2017).
Makin besar maka kuat tekannya akan bertambah kecil seperti
D
ditunjukkan oleh persamaan di bawah ini :
25
Menurut Protodyakonov:
8 c
c( = 2D) =
2
7 +
/D
...........................(2.19)
26
2.13 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng
28
Metode analisis kinematik lereng merupakan salah satu metode analisis
kestabilan lereng yang menggunakan parameter orientasi struktur geologi,
orientasi lereng dan sudut geser dalam batuan yang diproyeksikan pada stereonet
(Hoek dan Bray, 1981) dan Goodman (1989 dalam Rusydy, et al., 2017).
Semua data geologi yang didapatkan di lapangan berupa arah kemiringan
dan bidang kemiringan sebuah rekahan, patahan, kekar, dan perlapisan. Data
tersebut akan diplotkan dalam proyeksi stereografi untuk selanjutkan dianalisis
tingkat kestabilan lereng dan jenis longsoran yang akan terjadi. Proyeksi
stereografi sendiri merupakan sebuah metode memproyeksikan kondisi struktur
geologi tiga dimensi menjadi bidang datar dua dimensi. Dengan memahami
distribusi bidang-bidang lemah yang sudah diproyeksikan, maka kita akan bisa
mengetahui sudut relatif sebuah batuan yang selanjutnya digunakan untuk tujuan
analisis kinematik. Metode analisis proyeksti stereografi ini biasa digunakan
untuk menganalisis kestabilan lereng dan terowongan (Lee & Wang, 2011 dalam
Rusydy, et al., 2017).
Dalam analisis kinematika digunakan Schmidt net dengan proyeksi bidang
menjadi titik (pole plot) maupun garis lengkung (plane). Analisis longsoran baji
menggunakan prinsip proyeksi bidang menjadi garis lengkung sedangkan analisis
longsoran bidang menggunakan prinsip proyeksi bidang menjadi titik. Data yang
digunakan antara lain data line mapping dan data pemboran geoteknik. Pada data
kekar perlu dilakukan contouring untuk mengetahui arah orientasi utama
selanjutnya arah orientasi utama tersebut digunakan dalam analisis kinematika
maupun analisis kesetimbangan batas (Aprilia, F., 2014).
Berdasarkan hasil analisis kinematik, nantinya akan dapat diperkirakan
sebuah lereng stabil atau tidak. Apabila sebuah lereng ditemukan tidak stabil,
maka berdasarkan analisis kinematic ini akan diketahui jenis longsoran yang akan
terjadi di masa yang akan datang. Rai, et al., (2014) menyatakan bahwa klasifikasi
massa batuan berkembang ketika pada tahun 1879 Ritter berusaha
memformulasikan pendekatan empiris untuk perancangan terowongan, terutama
untuk keperluan sistem penyangga (Rusydy, et al., 2017).
Banyak klasifikasi massa batuan menggunaksan multiparamater yang
dikembangkan dari kasus pekerjaan sipil dan komponen sifat geologi massa
29
batuan seperti RMR (Rock Mass Rating) yang dikembangkan oleh Bieniawski
(1989), SMR (Slope Mass Rating) yang dibuat oleh Romana (1985), Q System
oleh Barton, et al., (1974) dan masih banyak klasifikasi massa batuan lainnya.
Klasifikasi massa batuan digunakan untuk menilai kualitas massa batuan untuk
pekerjaan sipil dan pertambangan termasuk didalamnya dalam terowongan dan
lereng. Dalam penelitian ini, klasifikasi massa batuan digunakan bertujuan untuk
menilai kualitas dan kestabilan sebuah lereng di jalan raya. Pengambilan data
struktur massa batuan dan klasifikasi massa batuan dilakukan menggunakan
metode scanline dengan cara membentang meteran sepanjang lereng yang akan
dianalisis. Metode scanline merupakan metode objektif yang sangat efektif untuk
merekam/mendata dan mendiskripsikan rekahan pada sebuah singkapan massa
batuan (Brown, 1981).
Tabel 2.7 Klasifikasi Jarak Kekar (Attewell,1993 dalam Arif, I., 2017)
30
Laminasi tebal (Batuan
Spasi sangat rapat 20-Jun
sedimen)
Laminasi sempit (batuan
20-Jun
metamorf dan batuan beku)
32