You are on page 1of 29

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KELAINAN KULIT AKIBAT


ALERGI MAKANAN

DisusunOleh :

1. Nabela Pradina P. (1611027)


2. Reka Dwi Intan P. (1611029)
3. Shella Elselina P. (1611030)
4. Via Arantika (1611031)

Pendidikan Ners

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PATRIA HUSADA BLITAR

Tahun 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.

Maksud akan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai saranapembahasan
dan pemahamandalam mata kuliah KMB 3, materi yang kami bahas mengenai Askep dengan
Kelainan Kulit Akibat Alergi Makanan
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa STIKES.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Ulfa M.Kep.,Ns selaku dosen
pengampu dalam mata kuliah KMB 3. Dalam penulisan makalah ini terdapat berbagai
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan, maka kepada para pembaca kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Semoga dengan adanya pembuatan makalah ini dapat memberikan manfaat berupa
ilmu pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.

Blitar, 23 April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................................2
1.3 Tujuan .............................................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN TEORI
2.1 Derfinisi Alergi...............................................................................................................3
2.2 Etiologi.............................................................................................................................3
2.3 Klasifikasi........................................................................................................................4
2.4Manifestasi Klinis.............................................................................................................6
2.5 Patofisiologi.....................................................................................................................7
2.6 Komplikasi.......................................................................................................................10
2.7 Pencegahan......................................................................................................................10
2.8 Terapi...............................................................................................................................10
2.9 Penatalaksanaan...............................................................................................................13
2.10 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................................13
BAB III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN ................................................................................................................14
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN ......................................................................................14
3.3 INTERVENSI .................................................................................................................14
BAB IV. APLIKASI KASUS SEMU
4.1 KASUS ...........................................................................................................................17
BAB V. PENUTUP
5.1 KESIMPULAN ...............................................................................................................25
5.2 SARAN ...........................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka .......................................................................................................................26

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA,
IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang
bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat
limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang
terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak,
maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu
timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen,
sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada
orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat
berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-
sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di
permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf
bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi
menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan
fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam
lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat
bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif,
karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil
sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini

1
berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien
dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud konsep dasar dan teori kelainan kulit akibat alergi makanan?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan kelainan kulit
akibat alergi makanan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep dasar dan teori kelainan kulit akibat alergi makanan.

2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan kelainan
kulit akibat alergi makanan.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Alergi

Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan
tidak tidak tahan terhadap zat-zat asing yang masuk dalam tubuh ( Robert Davies,2003).
Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak tepat dan sering kali membahayakan
terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi merupakan manifestasi
cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi antara antigen dan antibody ( Brunner dan
Suddarth, 2002 ).

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan
atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang dicetuskan
oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula.

Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan.

2.2 Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu:


1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,
enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Fakor Eksternal

3
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.

2.3 KLASIFIKASI
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar
antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau
basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes
kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE
spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai.
Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun,
peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi
cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas
tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan
Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk
beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)
dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II adalah:

4
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi
antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis
sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini
disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran
bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa
asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-
menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru,
sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen
kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya
artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga
sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi
dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi.
Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus
dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt)
dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel
atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi
dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit
lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe

5
IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia,
eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-
lain.gejala sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
a. kejang perut, mual
b. neuritis optic
c. glomerulonefritis
d. sindrom lupus eritematosus sistemik
e. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma

6
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

2.5 PATOFISIOLOGI
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-
gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka
antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses
ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil.
Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka
akan terjadi 2 hal yaitu :
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama
anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran
menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

7
PATHWAY

Respon Alergi Alergen Kurang pengetahuan

Bahan lain Debu, makanan,


Deteksi oleh antigen
mikroorganisme

Sel T terangsang

Sekresi sitoksin

Menarik eusinofil dan neutrofil

Reaksi inflamasi

Kulit
Saluran pencernaan

- Ustikaria
- Bula
- Eritema Mual
- Skuama
- Purpura
Muntah

Gangguan citra tubuh


Diare

Kerusakan integritas kulit


Resiko deficit volume cairan
Gatal-gatal Gang3an rasa nyaman

Kerusakan integritas jaringan

Gangguan pola tidur

Resiko infeksi

PK pruritis
8
2.6 KOMPLIKASI
Bila terjadi gangguan saluran cerna, komplikasi yang sering terjadi adalah :
 Mudah sakit ( infeksi berulang )
 Gangguan otak dan perilaku anak
2.7 PENCEGAHAN

Pencegahan dari alergi makanan yaitu:

1. Mencatat jenis makanan yang kemungkinan menjadi sumber alergi sehingga dapat
dihindari.
2. Selaluu membaca label kemasan untuk mengetahui bahan-bahan yang digunakan
sebelum membeli makanan.
3. Membersihkan dapur agar terhindar dari lumut, terutama tempat cuci piring dan cuci
makanan.
4. Menanyakan bahan makanan yang digunakan secara detail sebelum memesannya di
restoran.

2.8 TERAPI

Ada beberapa regimen diet yang bisa digunakan :

1. ”ELIMINATION DIET”: beberapa makanan harus dihindari yaitu Buah, Susu, Telur,
Ikan dan Kacang, di Surabaya terkenal dengan singkatan BSTIK. Merupakan makanan-
makanan yang banyak ditemukan sebagai penyebab gejala alergi, jadi makanan-makanan
dengan indeks alergenisitas yang tinggi. Indeks ini mungkin lain untuk wilayah yang lain,
sebagai contoh dengan DBPFC mendapatkan telur, kacang tanah, susu sapi, ikan, kedelai,
gandum, ayam, babi, sapi dan kentang, sedangkan Bischop mendapatkan susu, telur,
kedelai dan kacang.

2. ”MINIMAL DIET 1” (Modified Rowe’s diet 1): terdiri dari beberapa makanan dengan
indeks alergenisitas yang rendah. Berbeda dengan ”elimination diet”, regimen ini terdiri dari
beberapa bahan makanan yang diperbolehkan yaitu : air, beras, daging sapi, kelapa, kedelai,
bayam, wortel, bawang, gula, garam dan susu formula kedelai. Bahan makanan lain tidak
diperbolehkan.

3. ”MINIMAL DIET 2” (Modified Rowe’s Diet 2): Terdiri dari makanan-makanan dengan
indeks alergenisitas rendah yang lain yang diperbolehkan, misalnya : air, kentang, daging

9
kambing, kacang merah, buncis, kobis, bawang, formula hidrolisat kasein, bahan makanan
yang lain tidak diperkenankan.

4. ”EGG and FISH FREE DIET”: diet ini menyingkirkan telur termasuk makanan-makanan
yang dibuat dari telur dan semua ikan. Biasanya diberikan pada penderita-penderita dengan
keluhan dengan keluhan utama urtikaria, angionerotik udem dan eksema.

5. ”HIS OWN’S DIET”: menyingkirkan makanan-makanan yang dikemukakan sendiri oleh


penderitanya sebagai penyebab gejala alergi.

Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan makanan
setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu
berturut-turut. Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah
dilakukan dengan benar, maka diberikan regimen yang lain. Sebelum memulai regimen yang
baru, penderita diberi ”carnaval” selama seminggu, artinya selama 1 minggu itu semua
makanan boleh dimakan (pesta). Maksudnya adalah memberi hadiah setelah 3 minggu diet
dengan baik, dengan demikian ada semangat untuk menjalani diet berikunya. Selanjutnya diet
yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu sebelum dilakukan provokasi.

Bila diet tidak bisa dilaksanakan maka harus diberi farmakoterapi dengan obat-obatan seperti
yang tersebut di bawah ini :

i. Kromolin, Nedokromil.

Dipakai terutama pada penderita dengan gejala asma dan rinitis alergika. Kromolin
umumnya efektif pada alergi makanan dengan gejala Dermatitis Atopi yang disebabkan alergi
makanan. Dosis kromolin untuk penderita asma berupa larutan 1% solution (20 mg/2mL) 2-4
kali/hari untuk nebulisasi atau berupa inhalasi dengan metered-dose inhaler 1,6 mg (800
µg/inhalasi) 2-4 kali/hari. Untuk rinitis alergik digunakan obat semprot 3-4 kali/hari yang
mangandung kromolin 5.2 mg/semprot. Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata 4% 4-6 x 1
tetes mata/hari.Nedokromil untuk nebulisasi tak ada. Yang ada berupa inhalasi dengan
metered-dose inhaler dan dosis untuk asma adalah 3,5 mg (1,75 mg/inhalasi) 2-4 kali/hari.
Untuk konjungtivitis diberikan tetes mata nedokromil 2% 4-6 x 1-2 tetes mata/hari.

ii. Glukokortikoid.

10
Digunakan terutama bila ada gejala asma. Steroid oral pada asma akut digunakan pada yang
gejala dan PEF nya makin hari makin memburuk, PEF yang kurang dari 60%, gangguan
asma malam dan menetap pada pagi hari, lebih dari 4 kali perhari, dan memerlukan nebulizer
serta bronkodilator parenteral darurat. menggunaan bronkodilator. Steroid oral yang dipakai
adalah : metil prednisolon, prednisolon dan prednison. Prednison diberikan sebagai dosis
awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari
kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid
parenteral digunakan untuk penderita alergi makanan dengan gejala status asmatikus, preparat
yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10
mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Steroid
hirupan digunakan bila ada gejala asma dan rinitis alergika.

iii. Beta adrenergic agonist

Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Epinefrin subkutan bisa diberikan dengan
dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis.

iv. Metil Xantin

Digunakan sebagai bronkodilator. Obat yang sering digunakan adalah aminofilin dan
teofilin, dengan dosis awal 3-6/kg/dosis, lanjutan 2,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.

v. Simpatomimetika

Simpatomimetika terdiri atas :

Efedrin : 0,5 – 1,0 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam

Orciprenalin : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam

Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam

Salbutamol : 0,1 – 0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam

2.9 PENATALAKSANAAN

Dasar utama penanganan alergi makanan dan obat adalah penghentian makanan dan obat
yang di curigai menyebabkan alergi kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.

11
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus,
urtikaria, atau edema angioneurotik dapat diberikan antihistamin dan bila kelainan tersebut
cukup luas diberikan pula adrenalin. Reksi anafilaktif akut membutuhkan epenefrin, patensi
jalan napas, oksigen cairan intra vena, antihistamin dan kortikosteroid.

2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti.

12
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
2. Riwayat kesehatan dahulu ( pernah menderita penyakit sejenis )
3. Riwayat alergi kulit, reaksi alergi makanan, obat serta zat kimia dan riwayat kanker
kulit
4. Kaji kulit melibatkan seluruh area kulit, termasuk membran mukosa, kulit kepala dan
kuku
5. Kaji vital sign
6. Kaji riwayat imunisasi
7. Kaji nyeri
8. Kaji nutrisi
9. Riwayat kesehatan sekarang
3.2 DIAGNOSA KEPPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman
2. Kerusakan integritas kulit
3. Resiko infeksi
3.2 INTERVENSI

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan

1. Gangguan rasa Status kenyamanan Pengurangan kecemansan


nyaman Ditingkatkan ke 4
Aktivitas:
Indikator:
 Gunakan pendekatan yang
 Kesejahteraan fisik
 Control terhadap gejala tenang dan meyakinkan
 Kesejahteraan psikologis  Nyatakan dengan jelas
 Lingkungan fisik harapan terhadap perilaku
 Dukungan fisik dari keluarga
klien
 Dukungan social dari teman-
 Jelaskan semua prosedur
teman
termasuk sensasi yang akan
 Perawatan sesuai dengan
kebutuhan dirasakan yang mungkin
akan dialami klien selama
prosedur (dilakukan)
 Berada di sisi klien untuk
menuingkatkan rasa aman
dan mengurangi ketakutan
 Dorong keluarga untuk

13
mendampingi klien dengan
cara yang tepat
 Berikan objek yang
menunjukkan perasaan
aman
 Berikan aktivitas pengganti
ynag bertujuan untuk
mengurangi tekanan

2. Kerusakan Integritas jaringan : kulit Pemberian obat kulit


Ditingkatkan ke 4 Aktivitas:
integritas jaringan
Indikator:  Catat riwayat medis dan
kulit  Suhu kulit
riwayat alergi.
 Sensasi
 Tentukan pengetahuan
 Elastisitas
 Tekstur pasien mengenai
 Integritas kulit medikasi dan pemahaman
 Pengelupasan kulit
pasien mengenai
pemberian obat.
 Tentukan kondisi kulit
pasien di atas area
dimana obat akan
diberikan.
 Buang sisa obat
sebelumnya dan
bersihkan kulit.
 Berikan obat di atas kulit
sesuai kebutuhan.
 Monitor adanya efek
samping lokal dari
pemberian obat.
 Dokumentasikan
pemberian obat dan
respon pasien.

3. Resiko infeksi Kontrol Resiko: Proses Infeksi Perlindungan Infeksi


Dipertahankan ke 4 Aktivitas:
 Mengidentifikasi tanda  Monitor adanya tanda
dan gejala infeksi dan gejala infeksi
 Mengidentifikasi strategi

14
untuk melindungi diri dari sistemik dan local.
 Monitor kerentanan
orang lain yang terkena
terhadap infeksi.
infeksi
 Berikan perawatan kulit
 Memonitor perilaku diri
yang tepat untuk area
yang berhubungan dengan
yang mengalami infeksi.
resiko infeksi
 Periksa kulit dan selaput
 Memonitor factor di
lendir untuk adanya
lingkungan yang
kemerahan, kehangatan
berhubungan dengan
ekstrim, atau drainase.
resiko infeksi
 Anjurkan istirahat .
 Mempraktikan strategi
 Instruksikan pasien untuk
efektif untuk mengontrol
minum antibiotic yang
infeksi
diresepkan.
 Memonitor perubahan
 Ajarkan pasien dan
status kesehatan
anggota keluarga
bagimana cara
menghindari infeksi.

BAB IV

APLIKASI KASUS SEMU

4.1 Kasus
An R (11 tahun) datang ke poli kulit RS Guna Sehat. Ia sejak semalam mengeluhkan
gatal-gatal karena biduran dan diare setelah makan ayam. An R terlihat merintih dan
menggaruk-garuk di seluruh tubuhnya. Ibunya mengatakann sejak kecil memang sering
seperti ini. Ibunya mengatakan anaknya tidak sampai separah ini dan sampai dirawat inap di
rumah sakit. Saat dilakukan pemeriksaan didapat :
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/mnt
Suhu : 36, 8 0 c
RR : 24 x/mnt
BB : 35 kg

15
TB : 140 cm

I. BIODATA
Nama : An “R’ Nama ibu : Ny “W”
Umur : 11 tahun Umur : 49 tahun
Agama : Kristen Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SD kelas 6 Agama : kristen
Pekerjaan : pelajar Pendidikan : S1
Alamat : Jl. Duku setro 5/4 sidoarjo Alamat : Jl. Duku setro 5/4 sidoarjo

II. KELUHAN UTAMA


Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya pada saat ini tanggal 18-04-2017 waktunya suntik
terapi (imonoterapi) tapi anaknya sejak semalam mengeluh gatal-gatal karena biduran dan
diare setelah makan ayam.

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Ibu pasien mengatakan pasien sering biduran dan diare setelah makan ayam. Sebelum
diperiksakan ke poli anak RS Guna Sehat, satu tahun yang lalu pernah diperiksakan di RS.
Siti Hajar.

IV. RIWAYAT PASIEN MASA LALU


Ibu pasien mengatakan pasien dari bayi sudah sering gatal-gatal dan diare tapi tidak pernah
sampai dirawat inap di rumah sakit. Ibu pasien juga mengatakan tidak pernah menderita
penyekit menular seperti hepatitis, TBC, herpes, penyakit menahun seperti hipertensi, asma
dan jantung.

V. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


Ibu pasien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat alergi, juga
tidak ada yang menderita penyakit menurun seperti jantung, asma, hipertensi,. Penyakit
menular seperti hepatitis, TBC herpes, dan HIV/AIDS.

VI. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI


a. Pola istirahat

16
Tidur malam : pukul 20.15 – 05.00 WIB
Tidur siang : pukul 13.30 – 15.30 WIB

b. Pola eliminasi
BAK : ± 4-5 x/hari
BAB : 1 x/hari

c. Pola makan dan minum


Makan : 3 x/hari dengan menu : nasi, sayur dan buah makan-makanan yang tidak
menyebabkan alergi.
Minum : 7-8 gelas per hari.

d. Pola kebersihan diri


Pasien mandi 2 x/hari, ganti baju 2 x/hari, keramas 2x/minggu, gosok gigi 2x/hari.

VII. DATA PSIKOLOGI


Ibu pasien mengatakan cemas dengan kondisi ankanya apabila alerginya kambuh lagi.

VIII. PEMERIKSAAN FISIK


a. Kedaan umum : cukup
Kesadaran : composmentis
b. TTV
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/mnt
Suhu : 36, 8 0 c
RR : 24 x/mnt
BB : 35 kg
TB : 140 cm
c. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
 Muka : terlihat bintik-bintik merah, tidak ada lesi.
 Mata : conjungtiva merah mudah, seklera putih, simetris.
 Hidung : simetris, tidak ada secret, tidak ganguan pernafasan.
 Mulut : simetris, tidak labiokisis dan palatokisis.
 Telingga : simetris, tidak ada serumen, tidak ada gangguan pendengaran.

17
 Thorak : simetris tidak ada retraksi pada dinding dada.
 Abdomen : tidak ada pembesaran pada perut.
 Ekstermitas atas : tidak gangguan pada ekstermitas atas, jumlah jari-jari lengkap,
tidak odem.
 Ekstermitas bawah : tidak ada gangguan pada ekstermitas bawah, jumlah jari-jari
lengkap, tidak odem pada ekstermitas bawah.
2. Palpasi
 Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe, tidak ada nyeri tekan.
 Thorax :tidak ada benjolan / odem paru (efusi pleura), tidak ada nyeri tekan
 Abdomen : tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran organ
ginjal dan hati
 Ekstermitas atas : tidak ada benjolan/odem, tidak ada nyeri tekan
 Ekstermitas bawah : tidak ada benkolan/odem, tidak ada nyeri tekan
3. Auskultasi
 Thorak : tidak ada suara ronchi dan wheezing
 Abdomen : bising usus +
4. Perkusi
 Reflek patella : +/+
 Rencana Keperawatan
NO DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH
KEPERAWATAN
1. Data Subyektif Respon alergen Gangguan rasa
Ibu pasien mengatakan ↓ nyaman
anaknya mengeluhkan gatal- Makanan
gatal karena biduran dan ↓
diare setelah makan ayam. Deteksi oleh antigen
Data Obyektif ↓
An R terlihat merintih dan Sel T terangsang
menggaruk-garuk di seluruh ↓
tubuhnya. Sekresi sitoksin
Kedaan umum : cukup ↓
Kesadaran : composmentis Menarik eusinofil dan eutrofil
TTV: ↓
Tensi : 110/80 mmHg Reaksi inflamasi
Nadi : 84 x/mnt ↓
Suhu : 36, 8 0 c Gatal pada kulit

18
RR : 24 x/mnt ↓
Gangguan rasa nyaman

2. Data Subyektif Respon alergen Kerusakan


Ibu pasien mengatakan ↓ integritas kulit
anaknya mengeluhkan gatal- Makanan
gatal karena biduran dan ↓
diare setelah makan ayam. Deteksi oleh antigen

Data Obyektif Sel T terangsang
Muka : terlihat bintik-bintik ↓
merah, tidak ada lesi. Sekresi sitoksin
TTV : ↓
Tensi : 110/80 mmHg Menarik eusinofil dan eutrofil
Suhu : 36, 8 0 c ↓
Reaksi inflamasi

Muncul
ustikaria,bula,eritema,skuama,purpura

Kerusakan integritas kulit
3. Data Subjektif Respon alergen Resiko infeksi
Ibu pasien mengatakan ↓
anaknya mengeluhkan gatal- Makanan
gatal karena biduran dan ↓
diare setelah makan ayam. Deteksi oleh antigen

D Data Objektif Sel T terangsang
An R terlihat merintih dan ↓
menggaruk-garuk di seluruh Sekresi sitoksin
tubuhnya. ↓
Muka : terlihat bintik-bintik Menarik eusinofil dan eutrofil
merah, tidak ada lesi. ↓
Reaksi inflamasi

19
TTV: ↓
Tensi : 110/80 mmHg Muncul
Nadi : 84 x/mnt ustikaria,bula,eritema,skuama,purpura
Suhu : 36, 8 0 c ↓
Gatal-gatal yang digaruk

Resiko infeksi

20
 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan

1. Gangguan rasa Status kenyamanan Pengurangan kecemansan


nyaman Ditingkatkan ke 4
Aktivitas:
Indikator:
 Gunakan pendekatan yang
 Kesejahteraan fisik
 Control terhadap gejala tenang dan meyakinkan
 Kesejahteraan psikologis  Nyatakan dengan jelas
 Lingkungan fisik harapan terhadap perilaku
 Dukungan fisik dari keluarga
klien
 Dukungan social dari teman-
 Jelaskan semua prosedur
teman
termasuk sensasi yang akan
 Perawatan sesuai dengan
kebutuhan dirasakan yang mungkin
akan dialami klien selama
prosedur (dilakukan)
 Berada di sisi klien untuk
menuingkatkan rasa aman
dan mengurangi ketakutan
 Dorong keluarga untuk
mendampingi klien dengan
cara yang tepat
 Berikan objek yang
menunjukkan perasaan
aman
 Berikan aktivitas pengganti
ynag bertujuan untuk
mengurangi tekanan

2. Kerusakan Integritas jaringan : kulit Pemberian obat kulit


Ditingkatkan ke 4 Aktivitas:
integritas jaringan
Indikator:  Catat riwayat medis dan
kulit  Suhu kulit
riwayat alergi.
 Sensasi
 Tentukan pengetahuan
 Elastisitas
pasien mengenai

21
 Tekstur medikasi dan pemahaman
 Integritas kulit pasien mengenai
 Pengelupasan kulit
pemberian obat.
 Tentukan kondisi kulit
pasien di atas area
dimana obat akan
diberikan.
 Buang sisa obat
sebelumnya dan
bersihkan kulit.
 Berikan obat di atas kulit
sesuai kebutuhan.
 Monitor adanya efek
samping lokal dari
pemberian obat.
 Dokumentasikan
pemberian obat dan
respon pasien.

3. Resiko infeksi Kontrol Resiko: Proses Infeksi Perlindungan Infeksi


Dipertahankan ke 4 Aktivitas:
 Mengidentifikasi tanda  Monitor adanya tanda
dan gejala infeksi dan gejala infeksi
 Mengidentifikasi strategi sistemik dan local.
untuk melindungi diri dari  Monitor kerentanan
orang lain yang terkena terhadap infeksi.
 Berikan perawatan kulit
infeksi
 Memonitor perilaku diri yang tepat untuk area
yang berhubungan dengan yang mengalami infeksi.
 Periksa kulit dan selaput
resiko infeksi
 Memonitor factor di lendir untuk adanya
lingkungan yang kemerahan, kehangatan
berhubungan dengan ekstrim, atau drainase.
 Anjurkan istirahat .
resiko infeksi
 Instruksikan pasien untuk
 Mempraktikan strategi
minum antibiotic yang
efektif untuk mengontrol
diresepkan.
infeksi
 Ajarkan pasien dan
 Memonitor perubahan

22
status kesehatan anggota keluarga
 Melakukan tindakan bagimana cara
segera untuk mengurangi menghindari infeksi.
resiko  Lapor dukaan infeksi
pada personil pengendali
infeksi dari air, udara.

23
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan
tidak tidak tahan terhadap zat-zat asing yang masuk dalam tubuh ( Robert Davies,2003).
Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak tepat dan sering kali membahayakan
terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi merupakan manifestasi
cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi antara antigen dan antibody ( Brunner dan
Suddarth, 2002 ).

5.2 Saran

Perawat mempunyai peran, fungsi, tanggung jawab, dan hak pada klien yang
ditanganinya, maka sebaiknya kita sebagai perawat harus mengetahui dan memahami
tindakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem imunitas
seperti pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan penunjang lainnya,agar nantinya kita bisa
menjadi perawat yang professional.

Sangat diharapkan agar terhindar dari alergi dilakukan dengan menghindari penyebab
dari alergi misalnya meghindarialergen seperti debu dan makan-makanan yangmembuat
individu alergi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner & Suddarth.2002.Buku Ajar Keperawaqtan Medikal Bedah, volume 3,


Jakarta: EGC.
2. Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi Praktek Klinik.Jakarta: EGC.

25

You might also like