You are on page 1of 38

ANALISIS CURAH HUJAN HARIAN MAKSIMUM DAN EKSTRIM DI

KABUPATEN BOGOR

LAILATUL MASRUROH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ABSTRACT

LAILATUL MASRUROH (G24080057). Analysis of Maximum Daily Rainfall and Extreme


Rainfall in Bogor Regency. Supervised by Rini Hidayati

The impact of extreme rainfall often cause serious problems for human being. However, the
study of extreme rainfall is needed, so the impact of such extreme events can be anticipated as
early as possible. This research aims to know the changes of extreme and maximum daily rainfall
at some stations of Bogor Regency, and analyze the relationship between maximum daily rainfall
with IOD condition (Indian Ocean Dipole) and SOI (Southern Oscillation Index). The analysis
which used in this study are trend test using the Spearman Rank statistics and the probability
distribution to acquire the probability of extreme rainfall and analyze maximum daily rainfall data
with exceedence probability 5%, 10%, 25% and 50%. Correlation analysis was used to test the
relationship between maximum daily rainfall with SOI and IOD. The results show that extreme
rainfall occur in January, February and March, even occur in April. The most statistical
distribution describes the maximum daily rainfall data in Bogor regency is Normal and Lognormal
distribution. In some stasion, 3-Parameter Lognormal distribution, Gamma and Weibull can
describes maximum daily rainfall data in dry season. The probability of extremes rainfall based on
consecutively three day rainfall in region of this study is high enough, that is 0.80 at Gunung Mas,
0.23 at Katulampa, and 0.13 at Empang stasion. Generally, SOI and IOD significantly correlated
and consistent on the maximum daily rainfall patterns in Bogor area in dry season and inconsistent
in rainy season.

Keyword : Correlation analisys, Extreme rainfall, Maximum daily rainfall IOD and SOI.
ABSTRAK

LAILATUL MASRUROH (G24080057). Analisis Curah Hujan Harian Maksimum dan Ekstrim
di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh Rini Hidayati.

Dampak dari curah hujan ekstrim seringkali menimbulkan permasalahan yang serius bagi
kehidupan manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai hujan ekstrim, sehingga
dampak dari kejadian ekstrim tersebut dapat di antisipasi sedini mungkin. Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran perubahan curah hujan ekstrim dan CH harian maksimum di
beberapa stasiun di Kabupaten Bogor, dan menganalisis hubungan antara curah hujan harian
maksimum dengan kondisi IOD (Indian Ocean Dipole) dan SOI (Southern Oscillation Indeks).
Analisis yang digunakan adalah uji tren menggunakan Spearman Rank Statistik dan analisis
distribusi sebaran peluang untuk memperoleh peluang curah hujan ekstrim dan menganalisa data
curah hujan harian maksimum dengan peluang terlampui 5%, 10%, 25% dan 50%. Analisis
korelasi digunakan untuk menguji hubungan keeratan curah hujan harian maksimum dengan SOI
dan IOD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian hujan harian maksimum > 100 mm
banyak terjadi pada bulan-bulan Januari, Februari dan Maret, bahkan diantaranya terjadi pada
bulan April. Sebaran teoritis yang paling menggambarkan data curah hujan maksimum bulanan di
Kabupaten Bogor adalah sebaran Normal dan Lognormal. Pada beberapa stasiun di musim
kemarau sebaran yang menggambarkan data CH harian maksimum adalah 3-Parameter
Lognormal, Gamma dan Weibull. Peluang kejadian ekstrim berdasarkan curah hujan berturut-turut
di wilayah kajian cukup tinggi yakni 0.80 di Gunung Mas, 0.23 di Katulampa dan 0.13 di Empang.
Secara umum SOI dan IOD berkorelasi nyata dan konsisten pada pola curah hujan harian
maksimum di wilayah Bogor untuk musim kemarau dan tidak konsisten untuk musim hujan.

Kata kunci : Analisis korelasi, Curah hujan ekstrim, Curah hujan harian maksimum, IOD dan SOI.
ANALISIS CURAH HUJAN HARIAN MAKSIMUM DAN EKSTRIM DI
KABUPATEN BOGOR

LAILATUL MASRUROH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana sains pada mayor meteorologi terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judul Skripsi : Analisis Curah Hujan Harian Maksimum dan Ekstrim di
Kabupaten Bogor
Nama : Lailatul Masruroh
NIM : G24080057

Menyetujui:
Pembimbing

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.


NIP: 19600305 198703 2 002

Mengetahui:
Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.


NIP: 19600305 198703 2 002

Tanggal Lulus:
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan
sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk
apapun tanpa izin IPB
vii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karuniaNya, penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Curah Hujan Harian Maksimum dan
Ekstrim di Kabupaten Bogor” sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Maret hingga Desember 2012.
Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini terutama kepada Allah SWT, kedua orang tua tercinta, adik,
kakak dan seluruh keluarga besar yang telah mendo’akan dan memberi semangat, serta kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. selaku pembimbing dan ketua Departemen Geofisika dan
Meteorologi.
2. Kementrian Agama RI yang telah membiayai pendidikan saya di tingkat sarjana.
3. Seluruh Staf pengajar GFM atas ilmu, pengalaman dan pengetahuan yang diberikan selama
perkuliahan.
4. Badan Meteorologi dan Geofisikan serta Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air Ciliwung-
Cisadane yang telah membantu dalam pengumpulan data dan informasi.
5. Teman–teman GFM 45 terima kasih atas kebersamaan yang sudah dilalui selama masa
studi.
6. Taufik, Kak Bembi, Faiz, Pacul, Iput, Sintong, Nisa dan Aulia terima kasih atas segala
bantuan dan masukannya.
7. Fida, Fey, Fatcha, Dodi, Mirna, Dora, Farrah, Mela, Fitra, Akfia, Usel, Ria, Diyah, Hanifah,
Dila terima kasih atas semangat dan bantuannya selama di Laboratorim.
8. Para Sahabat dan teman-teman CSS MoRa IPB khususnya CSS45 atas kebersamaan,
kekeluargaan dan persahabatan dalam suka duka selama di IPB.
9. Teman-teman Wisma Kenanga (Eka, Riri, luvi, Nisa, Uun, Mia, Tesha, Iin, Puji), Az-zahra
(Venni, Ika, Alma, Widya, Tri), A1-L9 (Vevi, Ratna, Uti, Ela, Nidya, Ina, Desta, Mimi,
Amel, mba Nia) yang selalu mendukung dan menyemangati.
10. Seluruh Staf TU GFM atas kemudahan dalam administrasi.
11. Semua pihak yang banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala
kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat memberi manfaat khususnya
bagi penulis dan bagi semua yang membacanya.

Bogor, Januari 2013

Lailatul Masruroh
viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lamongan (Jawa Timur) pada tanggal 22 Juli 1989. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ma’ruf dan Ibu Rofiah. Penulis
menyelesaikan jenjang sekolah dasar pada tahun 2002 di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mazroatul
Ulum 02. Kemudian melanjutkan ke pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mazroatul Ulum
dan lulus pada tahun 2005. Setelah lulus MTs penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah
(MA) Mazroatul Ulum dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi
masuk Institut pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Kementrian Agama RI dan diterima
pada Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama masa studi, penulis aktif pada beberapa organisasi
kemahasiswaan, yaitu aktif menjadi anggota CSS MoRA (Community of Santri Scholars of
Ministry of Religious Affairs) IPB, KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) dan
HIMAGRETO (Himpunan Mahasiswa jurusan Geofisika dan Meteorologi). Untuk menyelesaikan
studi di Departemen Geofisika dan Meteorologi, penulis membuat tugas akhir dengan judul
Analisis Curah Hujan Harian Maksimum dan Ekstrim di Kabupaten Bogor dibawah bimbingan Ibu
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.
ix

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................... .viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... xii

I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................................... 1

II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 1


2.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor ........................................................................ 1
2.2 Curah Hujan ............................................................................................................ 2
2.2.1 Hujan dan Iklim Ekstrim ................................................................................. 2
2.3 Distribusi Sebaran Peluang ...................................................................................... 3
2.4 Pola Perubahan Curah Hujan di Indonesia Akibat Iklim Ekstrim............................... 3
2.5 Pengaruh Kejadian ENSO dan IOD. ......................................................................... 4

III METODOLOGI ...................................................................................................... 5


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................................. 5
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................................... 5
3.3 Metode Analisis....................................................................................................... 5
3.3.1 Menghitung Curah Hujan Harian Maksimum ................................................... 5
3.3.2 Uji Tren Spearman Rank Statistik .................................................................... 5
3.3.3 Menentukan Tipe Sebaran ............................................................................... 5
3.3.4 Analisis CH Harian Maksimum. ...................................................................... 6
3.3.5 Pemetaan......................................................................................................... 6
3.3.6 Menghitung Kejadian CH Ekstrim Bulanan...................................................... 6
3.3.7 Analisis Korelasi ............................................................................................. 6

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 6


4.1 Kondisi Umum Curah Hujan di Kabupaten Bogor .................................................... 6
4.2 Analisis Statistik Sebaran Peluang............................................................................ 7
4.3 Peluang Kejadian Ekstrim Berdasarkan Curah Hujan Tiga Hari Berturut - turut ........ 9
4.4 Analisis Korelasi CH Maksimum Terhadap IOD dan SOI........................................ 10

V KESIMPULAN ........................................................................................................ 12
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 12

LAMPIRAN ..................................................................................................................... 15
x

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Rata-rata Hujan Wilayah Periode 1996 ............................................................................ 2
2 Daftar Stasiun Pengamatan Hujan yang di Uji di Wilayah Kajian ..................................... 5
3 Hasil Uji Spearman Rank Statistik yang Menunjukkan Tren Nyata ................................... 6
4 Tipe Sebaran Peluang di Beberapa Statiun di Kabupaten Bogor........................................ 7
5 Jumlah Stasiun yang Datanya Mengikuti Sebaran Teoritis pada masing - masing Bulan
di Kabupaten Bogor......................................................................................................... 8
6 Peluang Tertinggi Curah Hujan Harian Maksimum > 100 mm.......................................... 8
7 Curah Hujan Maksimum dengan Peluang Terlampui 5% .................................................. 9
8 Peluang Curah Hujan Tiga Hari Berturut-turut Melebihi 20, 20, 70 mm/hari ................... 10
9 Peluang Curah Hujan Tiga Hari Berturut-turut Melebihi 20, 20, 100 mm/hari .................. 10
10 Hasil Korelasi Tertinggi Antara CH Harian Maksimum Musim Kemarau Dengan IOD.... 10
11 Hasil Korelasi Tertinggi Antara CH Harian Maksimum Musim Kemarau Dengan SOI .... 11
12 Hasil Korelasi Tertinggi Antara CH Harian Maksimum Musim Hujan Dengan IOD ........ 11
13 Hasil Korelasi Tertinggi Antara CH Harian Maksimum Musim Hujan Dengan SOI ......... 12
xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Curah Hujan Rata-rata Maksimum dan Minimum Bulanan Stasiun Gunung Mas Katulampa
dan Empang ................................................................................................................... 6
2 Tren Curah Hujan Tahunan Stasiun Gunung Mas Katulampa dan Empang ...................... 7
3 Sebaran Normal, Lognormal, 3-Parameter Lognormal, Gamma dan Weibul .................... 8
4 Peta Sebaran Bulan Terjadinya Peluang Tertinggi Curah Hujan Harian Maksimum >100 mm
di Kabupaten Bogor........................................................................................................ 9
5 Korelasi Tertinggi antara Curah Hujan Harian Maksimum Musim Kemarau dengan IOD 11
6 Korelasi Tertinggi antara Curah Hujan Harian Maksimum Musim Kemarau dengan SOI 11
7 Korelasi Tertinggi antara Curah Hujan Harian Maksimum Musim Hujan dengan IOD .... 12
8 Korelasi Tertinggi antara Curah Hujan Harian Maksimum Musim Hujan dengan SOI .... 12
xii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tipe Sebaran Peluang Curah Hujan Harian Maksimum pada Beberapa Stasiun di Kabupaten
Bogor .......................................................................................................................... 16
2 Curah Hujan Harian Maksimum dengan Peluang Terlampui 5% 10% 25% 50% dan Peluang
CH >100 mm pada Beberapa Stasiun di Kabupaten Bogor............................................ 17
3 Peluang Kejadian Ekstrim Berdasarkan Curah Hujan Tiga Hari Berturut-turut pada Musim
Kemarau...................................................................................................................... 18
4 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Gunung Mas ....................................... 19
5 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Katulampa .......................................... 20
6 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Empang .............................................. 21
7 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Cihideung ........................................... 22
8 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Citeko................................................. 23
9 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Cikasungka ......................................... 24
10 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Gadog ................................................. 25
11 Grafik Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Depok ................................................. 26
1

I. PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.1 Latar Belakang Penelitian ini memiliki tujuan:
Iklim adalah unsur geografis yang paling 1. Memperoleh gambaran perubahan
penting dalam mempengaruhi kehidupan curah hujan ekstrim dan CH harian
manusia. Parameter iklim yang paling maksimum di beberapa stasiun hujan di
berpengaruh di Indonesia adalah curah hujan. Kabupaten Bogor.
Unsur iklim seperti curah hujan disamping 2. Menganalisis hubungan antara curah
menjadi sumber daya alam yang amat hujan harian maksimum dengan kondisi
dibutuhkan, juga dapat menjadi sumber SOI dan IOD.
bencana. Tingginya curah hujan di wilayah
Indonesia menyebabkan wilayah ini rentan II. TINJAUAN PUSTAKA
terhadap bencana banjir.
Dampak perubahan cuaca dan iklim 2.1 Gambaran Umum Kabupaten
ekstrim merupakan bagian permasalahan yang Bogor
paling serius bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Bogor terletak pada 6o 19’ – 6o
dunia (WMO 2009). Kejadian ekstrim akan 47’ LS dan 106o 24’ – 107o 13’ BT dengan
lebih sering terjadi, lebih luas atau meningkat luas wilayah sebesar 2.710,62 Km2. Secara
intensitasnya pada abad ke-21 (IPCC 2007). geografis, Kabupaten ini berbatasan dengan
Berbagai masalah timbul akibat iklim dan Sebelah Utara : Kota Depok dan DKI
cuaca ekstrim mulai dari wabah penyakit, Jakarta
gangguan kesehatan, nelayan yang tidak Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi
berani melaut akibat ombak tinggi sampai Sebelah Barat : Kabupaten Lebak
petani yang gagal panen dan kerawanan sosial Sebelah Timur : Kabupaten Purwakarta.
lainnya. Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidt
Sebagai negara kepulauan, Indonesia dan Ferguson Kabupaten Bogor termasuk
merupakan negara tropis yang rentan terhadap iklim tropis Tipe A (sangat basah) di bagian
dampak dan kejadian ekstrim. Jika dilihat dari Selatan dan Tipe B (basah) di bagian Utara.
dampak yang ditimbulkan maka kajian cuaca Sedangkan klasifikasi iklim Koppen sebagian
dan iklim ekstrim perlu dikembangkan di besar Bogor termasuk tipe Af (iklim hujan
Indonesia (lintang rendah), khususnya Jawa tropis). Suhu rata-rata tahunan 25oC dengan
Barat karena dinamika atmosfer di wilayah curah hujan berkisar 2500-4500 mm pertahun.
Indonesia memang lebih sulit diprediksi kecuali sebagian kecil di bagian Utara yang
dibandingkan negara-negara di lintang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan
menengah dan tinggi (Roesmara 2008). DKI Jakarta dengan curah hujan yang kurang
Kabupaten Bogor memiliki kondisi dari 2.500 mm.
topografi yang cukup komplek sehingga Secara umum wilayah Kabupaten Bogor
pengaruhnya sangat besar terhadap variasi mempunyai kemiringan relatif ke arah utara.
hujan secara spasial, adanya pegunungan yang Pegunungan di bagian selatan ke arah utara
berhadapan dengan sumber uap air seperti yang meliputi 6 Daerah Aliran Sungai yaitu
lautan juga akan meningkatkan curah hujan di DAS Cidurian, Cimanceuri, Cisadane,
wilayah pegunungan tersebut terutama pada Ciliwung, Bekasi dan Citarum (khususnya
bagian depan yang menghadap arah angin, DAS Cipamingkis dan Cibeet). Dengan
karena pada wilayah tersebut uap air akan demikian wilayah Kabupaten Bogor
terangkat naik karena adanya gunung dan merupakan wilayah hulu bagi wilayah-
membentuk awan. wilayah di sebelah utara (Tangerang, Depok,
Dengan demikian, penting untuk DKI Jakarta dan Bekasi). Sebelah Selatan
mempelajari informasi dan pengetahuan Bogor terdapat gunung-gunung Halimun
tentang cuaca dan iklim ekstrim. Dengan (1929 m), Kendeng (1375 m), Salak (2213 m),
mengetahui pola cuaca ekstrim maka dampak Pangrango (3023 m) dan gunung Gede (2958
dari kejadian ekstrim tersebut dapat m) yang membujur dari barat ke timur.
diantisipasi sedini mungkin. Selain itu Wilayah Bogor merupakan kaki bagian utara
pengetahuan yang bagus tentang iklim, dari gunung gunung tersebut yang melandai
terutama kejadian iklim ekstrim juga berguna ke utara ke laut Jawa dengan perbukitan pada
bagi petani dan stakeholder agar produksi ketinggian 300 m sampai 600 m dpl
tanaman pangan bisa dimaksimalkan dan (Suharsono 1982).
kerugiannya bisa diminimalkan.
2

Sebagian wilayah Kabupaten Bogor pula intensitasnya. Curah hujan diukur dalam
bergelombang dan berlereng pada ketinggian satuan milimeter (mm). Alat yang dipakai
150-300 mdpl dengan kemiringan 8-15%. untuk mengukur curah hujan adalah tabung
Wilayah datar sampai berombak terdapat di gelas ukur (raingauge) atau perekam
dataran rendah yaitu di sekitar sungai yang (Automatic Rain Recorder atau Pluviometer).
terletak pada ketinggian 15-100 mdpl dan Raingauge menghasilkan data disket,
berlereng kurang dari 3%. Wilayah berbukit sedangkan pluviometer akan menghasilkan
dengan lereng 15% terdapat di kaki gunung data yang berkesinambungan (pluviogratif).
Salak dan Gede Pangrango antara 350-750 Pengukuran curah hujan dilakukan melalui
mdpl di perbukitan sebelah timur dan barat alat yang disebut penakar curah hujan dan
(Atmosentono dalam Soeharsono 1982). diukur setiap jam 7 pagi waktu setempat.
Menurut Suharsono (1982) hujan yang Curah hujan mempunyai variabilitas yang
terjadi selama musim hujan umumnya besar dalam ruang dan waktu. Dalam skala
disebabkan oleh pengaruh monsoon barat ruang, variabilitasnya sangat dipengaruhi oleh
yang berhembus selama bulan November letak geografis, topografi, arah angin dan letak
sampai Februari. Pada bulan-bulan tersebut lintang. Dalam skala waktu keragaman curah
arah angin berasal dari barat dan barat laut. hujan dibagi atas tipe harian, bulanan dan
Pada bulan Desember sampai Maret kadang- tahunan. Variasi curah hujan harian lebih
kadang terlihat pergerakan awan (angin) yang dipengaruhi oleh faktor lokal, variasi bulanan
berasal dari arah barat daya dan selatan. dipengaruhi oleh angin moonson, aktivitas
Selama musim peralihan monsoon yaitu bulan koneksi, arah aliran udara di permukaan serta
Maret-April dan Oktober-November sering variasi sebaran daratan dan lautan. Variasi
terjadi hujan disertai petir. Hal ini diduga curah hujan tahunan dipengaruhi oleh perilaku
karena gabungan dari pengaruh konvektif dan kondisi atmosfer lautan global, siklon tropis
orografik, gangguan-gangguan atmosfer dan dan lain-lain (Prasetyo 2011).
monsoon barat. Pengunungan yang membujur
dari arah barat ke timur di sebelah Selatan 2.2.1 Hujan dan Iklim Ekstrim
Bogor juga mempunyai pengaruh yang besar Curah hujan ekstrim adalah kondisi curah
terhadap hujan, terutama lereng gunung Salak hujan yang cukup tinggi/rendah dari rata-rata
dimana curah hujan meningkat dari lembah ke kondisi normalnya. Secara garis besar, curah
arah gunung. hujan ekstrim dapat dibedakan menjadi curah
hujan ekstrim basah yang mengakibatkan
2.2 Curah hujan banjir, dan curah hujan ektrim kering yang
Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi berdampak kekeringan.
yang sering dijumpai. Tjasyono (2008) Menurut Supriatna dalam BMKG (2011)
mendefinisikan presipitasi sebagai endapan air curah hujan dengan intensitas > 100 mm/hari
dari atmosfer pada permukaan bumi dalam menjadi parameter terjadinya hujan ekstrim.
bentuk cair (tetes hujan) dan padat (es). Hujan ekstrim pada peneliti ini juga
Bentuk presipitasi (endapan) yang umum didefinikan dari analogi kejadian hujan yang
dikenal adalah hujan (rain), gerimis (drizzle), menyebabkan banjir pada tanggal 6-7 Januari
salju (snow) dan batu es hujan (hail). Di dan 10-11 Februari tahun 1996 di daerah
wilayah tropis seperti Indonesia presipitasi aliran sungai Ciliwung (Rachmawati et al.
lebih didefinisikan sebagai hujan karena 2004).
sangat jarang dalam bentuk jatuhan keping es.
Jumlah hujan dicatat dalam inci atau Tabel 1 Rata-rata hujan wilayah periode 1996
millimeter. Curah hujan dapat diartikan Rata-rata Hujan Wilayah (mm)
sebagai ketinggian air yang tekumpul dalam Bagian 2-5 6 7 6-9 10 11
tempat yang datar, dengan asumsi tidak Jan Jan Jan Feb Feb Feb
meresap, tidak mengalir dan tidak menguap ke Hulu 312 108 51 61 87 75
atmosfer (Tjasyono 2004). Tinggi curah hujan Tengah 104 55 55 74 64 59
diasumsikan sama pada luasan yang tercakup Hilir 86 22 25 95 192 59
oleh sebuah penakar hujan tergantung pada DAS 218 76 41 74 105 65
homogenitas pada daerahnya. Intensitas hujan Sumber : Rachmawati 2004
adalah tinggi atau kedalaman air hujan
persatuan waktu. Sifat umum hujan adalah Penentuan nilai-nilai ekstrim menurut
makin singkat hujan berlangsung Gill dan Kelleze (2003) dapat dilakukan
intensitasnya cenderung makin tinggi dan dengan dua cara yaitu :
makin besar periode ulangnya makin tinggi
3

1. Dengan mengambil nilai-nilai tertentu, jika dipetakan dengan menggunakan


maksimum dalam suatu periode, fasilitas AD statistik, maka data tersebut akan
misalnya perita mingguan atau memenuhi distribusi tertentu, diindikasikan
bulanan; pengamatan atas dari nilai- dengan nilai yang terkecil. Semakin kecil
nilai ini dianggap sebagai nilai-nilai nilai AD statistik semakin baik maka sebaran
ekstrim. tersebut tersebut akan semakin sesuai dengan
2. Dengan mengambil nilai-nilai yang datanya. Sedangkan p-value digunakan untuk
melampui threshold u (ambang u) menguji apakah data sesuai dengan distribusi
dianggap sebagai nilai-nilai ekstrim. tertentu.
Dalam penelitian ini, nilai ekstrim curah hujan
diambil satu nilai tertinggi untuk setiap 2.4 Pola Perubahan Hujan di
periode bulanan. Indonesia Akibat Iklim Ekstrim
Iklim ekstrim adalah kondisi dimana salah Kemampuan sistem untuk beradaptasi
satu atau beberapa unsur iklim secara terhadap kejadian iklim ekstrim harus
signifikan menyimpang dari kondisi dibangun untuk meningkatkan upaya
normalnya (rata-rata). Iklim ekstrim yang ketahanan sistem terhadap keragaman iklim
harus mendapat perhatian adalah curah hujan dimasa mendatang. Pertanian adalah sektor
ekstrim. Kejadian curah hujan ekstrim yang yang sebagian besar mengandalkan dan
dimaksudkan adalah curah hujan ekstrim dipengaruhi oleh variabel iklim terutama
tinggi dan nilai ekstrim maksimum. curah hujan dan suhu. Berbagai studi di
Iklim ekstrim atau penyimpangan iklim Indonesia menunjukkan bahwa keduanya
dari keadaan normal dapat menyebabkan antara jumlah curah hujan dan musim hujan di
bencana alam kekeringan dan banjir. Bencana banyak lokasi telah berubah. Namun, studi
alam, kekeringan dan banjir di berbagai tersebut tidak menunjukkan hasil yang sama
wilayah Indonesia selain dipengaruhi oleh dalam perubahan curah hujan untuk lokasi
faktor iklim terutama distribusi atau sifat yang sama (Kaimuddin 2000, Boer & Faqih
curah hujan. Keadaan ini dapat dikaitkan 2004, Aldrian 2007). Studi lain (Handoko et
dengan El Nino dan La Nina. Terjadinya al. 2008) menemukan bahwa beberapa lokasi
bencana alam ini juga dapat di duga kuat menunjukkan kecenderungan peningkatan
karena dipengaruhi oleh sistem peramalan sementara penelitian lainnya menunjukkan
musim atau iklim yang masih belum efektif penurunan tren curah hujan. Semua temuan
dan tingkat ketepatannya belum memadai, menunjukkan ketidakjelasan dampak dari
pemetaan wilayah-wilayah rawan terhadap perubahan iklim pada curah hujan.
kejadian iklim ekstrim belum dilakukan secara Perubahan pola hujan sudah terjadi di
komprenhensif, perilaku petani yang kurang beberapa wilayah di Indonesia sejak beberapa
responsif terhadap informasi ramalan, serta dekade terakhir, seperti awal musim hujan
langkah penanganan terhadap kejadian iklim yang mundur pada beberapa lokasi, dan maju
ekstrim yang belum dilakukan secara efektif di lokasi lain (Ibrahim 2004). Penelitian
(Boer dalam Ulya 2004). Aldrian dan Djamil (2006) menunjukkan
jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim
2.3 Distribusi Sebaran Peluang cenderung meningkat dalam 50 tahun terakhir,
Dalam statistik di kenal beberapa macam terutama di kawasan pantai. Naylor (2007)
distribusi sebaran peluang kontinu antara lain: memprediksi arah perubahan pola hujan tipe
Normal, Lognormal, 3-Parameter LogNormal, di wilayah Bagian Barat Indonesia dan
Gamma dan Weibull. Masing-masing Selatan Khatulistiwa. Di Bagian Utara
distribusi mempunyai sifat yang khas, Sumatera dan Kalimantan, intensitas curah
sehingga data curah hujan harus diuji hujan cenderung lebih tinggi dengan periode
kecocokannya dengan sifat statistik masing- yang lebih pendek, sedangkan di wilayah
masing distribusi tersebut. Pemilihan jenis Selatan Jawa dan Bali akan menurun tetapi
distribusi yang tidak benar dapat dengan periode yang lebih panjang. Secara
menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup nasional, Boer et al. (2009) mengungkapkan
besar, baik over estimated maupun under tren perubahan secara spasial, di mana curah
estimated (Sri Harto 1993). hujan pada musim hujan lebih bervariasi
Kecocokan distribusi pada program dibandingkan dengan musim kemarau.
minitab, bisa dilakukan dengan menggunakan Perubahan curah hujan sebagai akibat dari
fasilitas Anderson-Darling (AD) statistik perubahan iklim menyebabkan perubahan
untuk mengukur kesesuaian distribusi data peluang kejadian hujan ekstrim di beberapa
terhadap distribusi tertentu. Sekumpulan data wilayah di Indonesia. Di Jawa Barat, Banten,
4

dan DKI Jakarta, peluang kejadian hujan Selatan, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
ekstrim dengan intensitas mencapai 500 (Aldrian et al. 2003). Dampak El Nino
mm/bulan selama periode tahun 1970 - 1999 terhadap kondisi cuaca global antara lain
meningkat hingga 13%. Padahal, selama angin pasat timuran melemah, akumulasi
periode tahun 1900 - 1929, peluang kejadian curah hujan berkurang di wilayah Indonesia,
hujan ektrim di ketiga wilayah tersebut hanya Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian
3%. Berkaitan dengan masalah di bidang utara. Cuaca di daerah tersebut cenderung
pertanian (ketahanan pangan) yang melanda lebih dingin dan kering, dengan potensi hujan
belahan dunia, produksi padi merupakan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial
tanaman yang rentan terhadap kejadian Tengah dan Barat serta Argentina.
ekstrem: El-Nino dan La-Nina (Naylor et al. La Nina merupakan fase dingin dari
2001). kejadian ENSO dengan Indeks Osilasi
Identifikasi curah hujan ekstrem di Selatannya bernilai positif. La Nina terjadi
wilayah Bogor sebelumnya pernah dilakukan karena angin pasat timur yang bertiup
oleh Prang (2006) dengan sebaran nilai disepanjang Samudera Fasifik menguat,
ekstrim terampat, Sadik (1999) sehingga massa air hangat yang terbawa
mengidentifikasi curah hujan ekstrem di semakin banyak ke arah Pasifik Barat.
wilayah Jawa Barat. Li et al. (2004) Akibatnya massa air dingin yang ada di
mengidentifikasi curah hujan ekstrem di Pasifik Timur bergerak ke atas dan
wilayah Australia dengan generalized pareto menggantikan massa air hangat yang
distribution. berpindah tersebut (upwelling), maka suhu
permukaan laut mengalami penurunan dari
2.5 Pengaruh Kejadian ENSO dan normalnya (Thurman 1994).
IOD Kedua fenomena tersebut sangat berkaitan
ENSO (El Nino-Southern Oscilation) dengan angin dan pola curah hujan yang
adalah fenomena alam yang muncul dari terjadi pada suatu daerah yang dilaluinya.
perangkai interaksi atmosfer dan laut di Kejadian ENSO ini mencapai puncaknya pada
Samudera Pasifik Tropis. Pusat aktivitasnya akhir dan awal tahun yaitu pada bulan
terletak di Pasifik Ekuatorial tetapi Desember sampai Februari (Smith and Petley
pengaruhnya terhadap sistem iklim meluas di 1991). Pengaruh El Nino terhadap hujan pada
luar Pasifik. Indikator yang digunakan untuk musim kemarau lebih kuat, begitu pula La
mengetahui apakah fenomena ENSO sedang Nina. pengaruh La Nina pada peningkatan
berlangsung atau tidak ialah kondisi curah hujan di musim hujan tidak begitu jelas.
anomali suhu muka laut (sea surface Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan
temperature, SST) yaitu penyimpangan suhu gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan
muka laut dari nilai rata-rata. Hendon (2003) oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera
menyatakan bahwa keragaman SST pada Nino Hindia di sekitar khatulistiwa. Indikator yang
3.4 mempengaruhi 50% keragaman curah digunakan untuk mengetahui kejadian IOD
hujan di seluruh Indonesia. Selain indikator adalah Dipole Mode Index (DMI) yaitu,
suhu muka laut, berlangsung tidaknya perbedaan anomali temperatur permukaan laut
fenomena ENSO dapat diketahui dari nilai antara Bagian Barat (50°-70°BT, 10°LU-
Indeks Osilasi Selatan (Southern 10°LS) dan Bagian Timur (90°-110°BT, 0°-
Oscillation Index, SOI). 10°LS) dari Samudera Hindia (Saji et al.
Menurut Yasunari (1990), terdapat 1999).
hubungan negatif antara aktivitas monsun Nilai positif dari IOD di jelaskan sebagai
India dengan aktivitas ENSO, sehingga anomali suhu permukaan laut Samudera
monsun India yang lemah dapat memicu Hindia tropis bagian barat, yang lebih besar
terjadinya El Nino dan sebaliknya memicu La dari bagian timurnya. Pada kondisi ini
Nina. Selain itu, monsun India yang lemah pertemuan massa udara ada di wilayah Barat
akan memperlambat kedatangan musim hujan Samudera Hindia (Timur Afrika), sehingga
di kepulauan Indonesia. El Nino terjadi karena pembentukan awan-awan konvektif lebih
Indeks Osilasi bernilai negatif atau disebut banyak di wilayah Afrika akibatnya di sana
juga fase panas dari ENSO. Periode kejadian terjadi peningkatan curah hujan di atas
El Nino tidak berlangsung secara berurutan normal, sedangkan di wilayah Barat Sumatera
dari tahun ke tahun, namun dapat terjadi terjadi kekeringan setelah massa uap airnya
setiap 3 sampai 7 tahun (Trenberth 1997). gagal diturunkan sebagai hujan. Kondisi
Dampak fenomena ENSO sangat sebaliknya terjadi pada saat IOD negatif
menyolok pada curah hujan di Sumatera (Ashok et al. 2001).
5

Hermawan (2008) mengatakan kombinasi Alat yang digunakan dalam penelitian ini
El Nino di Samudera Fasifik dan IOD positif adalah software Microsoft Excel dan
di Samudera Hindia menyebabkan Indonesia Minitab14 untuk pengolahan data beserta
mengalami kemarau berkepanjangan dari software ArcGIS untuk pemetaan bulan
bulan Juli hingga Februari tahun berikutnya, terjadinya peluang tertinggi CH maksimum >
seperti kejadian pada tahun 1997/1998. 100 mm/hari.
Menurut Luo et al. (2010) fenomena
ENSO dan IOD berperan penting terhadap 3.3 Metodologi
kondisi ekstrim variabilitas hujan yang 3.3.1 Menghitung curah hujan harian
berdampak terhadap kondisi lingkungan dan maksimum pada setiap bulan di
sosial baik secara global maupun regional. beberapa stasiun di Kabupaten Bogor
Data suhu permukaan laut pada nino 3.4 dapat yang datanya tersedia.
digunakan sebagai prediktor awal musim 1. Urutkan data curah hujan harian dari
hujan yaitu suhu muka laut bulan Agustus, tahun 1981-2010 pada masing-
September, dan Desember (Naylor et al. masing bulan di setiap stasiun
2001). Sehingga diduga kuat terdapat 2. Tentukan nilai CH maksimum harian
hubungan antara ENSO dan IOD pada bulan- untuk setiap bulan.
bulan tersebut terhadap kejadian curah hujan
ekstrim. 3.3.2 Uji tren menggunakan Spearman Rank
Statistik. Langkah-langkah yang
III. BAHAN DAN METODE digunakan dalam uji tren spearman
adalah sebagai berikut :
3.1 Waktu dan Tempat 1. Urutkan data dari yang terkecil
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan hinggá yang terbesar
Maret sampai bulan Oktober 2012, yang 2. Tentukan rankingnya
mencakup studi literatur, pengumpulan data, 3. Hitung nilai di = ki-i , dengan i
pengolahan data, penyusunan laporan, dan adalah nomor urut data menurut
diskusi dengan pembimbing. Kegiatan urutan waktu
dilaksanakan di Departemen Geofisika dan 4. Hitung statistik peringkat Spearman
Meteorologi Institut Pertanian Bogor. yakni rs dan ts dengan rumus :
n

3.2 Alat dan Bahan 6 d12


s  1  i 1
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:

n n2  1 
1. Data curah hujan harian Kabupaten Bogor n2
ts  s
dari beberapa stasiun antara lain : 1  s

Tabel 2 Daftar stasiun pengamatan hujan yang di Dimana,


uji di wilayah kajian τs : koefisien spearman
Koordinat Elevasi n : jumlah data
Stasiun Peiode Data LS BT mdpl d1 : selisih ki dan i
Gunung Mas 1981-2010 06°42' 106°58' 1160 ki : rangking
Citeko 1985-2010 06°42' 106°56' 920 i : nomer urut data menurut deret
Gadog 1990-2009 06°39' 106°51' - waktu
Katulampa 1981-2010 06°38' 106°50' 347 ts : nilai deret t hitung
Empang 1981-2010 06°36' 106°47' 255 4. Bandingkan ts dengan nilai t tabel
Cihideung 1988-2010 06°35' 106°43' - dengan derajad bebas (n-2) dan tingkat
Cikasungka 1994-2009 06°33' 106°32' - kepercayaan (90%). Jika ts > t tabel
Depok 1996-2010 06°24' 106°45' 108
maka disimpulkan terdapat tren pada
Sumber : BMKG dan BPSDA Ciliwung – Cisadane
data yang diuji.
2. Data SOI pada nino 3.4 Sumber :
http://www.bom.gov.au/climate 3.3.3 Menentukan tipe sebaran yang sesuai
3. Data IOD sumber : pada analisis sebaran peluang curah
http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d hujan harian maksimum di masing-
1/iod masing bulan dan di setiap stasiun,
dengan p-value > α (0.05).
6

3.3.4 Menganalisis CH harian maksimum


dengan peluang terlampui 5%, 10%,
25% dan 50%, serta peluang curah
hujan maksimum melampui 100
mm/hari.

3.3.5 Pemetaan periode (bulan) terjadinya


peluang tertinggi CH maksimum > 100
mm dengan mengunakan software
ArcGIS.
a
3.3.6 Menghitung jumlah kejadian curah
hujan ekstrim bulanan, yaitu CH yang
melebihi 20, 20, dan 70 mm/hari
berturut-turut serta melebihi 20, 20,
dan 100 mm/hari berturut-turut dalam
periode 30 tahun. Langkah selanjutnya
adalah menghitung fungsi peluang (P)
dan periode ulangnya (T), dengan
rumus :

dengan, n = jumlah kejadian hujan


ekstrim berturut-turut

3.3.7 Analisis korelasi digunakan untuk


menguji keeratan hubungan antara
curah hujan harian maksimum (Y)
dengan SOI dan IOD (X). Analisis
korelasi dilakukan dengan
menghubungkan curah hujan bulan ini
dengan SOI maupun IOD pada bulan- c
bulan sebelumnya. Gambar 1 Curah hujan rata-rata, maksimum dan
minimum bulanan stasiun (a) Gunung
Mas (b) Katulampa (c) Empang tahun
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1981-2010

4.1 Kondisi Umum Curah Hujan Di Guna mengetahui pola kecendrungan hujan
Kabupaten Bogor ekstrim di Kabupaten Bogor selama periode
Berdasarkan analisis curah hujan rata-rata tahun 1981-2010 pada tiap stasiun
dari stasiun Gunung Mas, Katulampa, dan pengamatan hujan dilakukan uji tren. Hasil
Empang curah hujan di wilayah kajian cukup analisis terhadap data curah hujan harian
tinggi, dimana hujan terjadi hampir sepanjang maksimum ditemukan adanya kecendrungan
tahun. Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi naik pada beberapa bulan di tiap titik stasiun
terjadi pada bulan Januari dan Februari pengamatan.
sedangkan curah hujan bulanan maksimum
tertinggi terjadi pada bulan Maret di stasiun Tabel 3 Hasil uji Spearman Rank Statistik yang
Gunung Mas, Katulampa maupun Empang. menunjukkan tren nyata
Adapun curah hujan rata-rata tahunan di
Stasiun Bulan rs ts t tabel
stasiun Gunung Mas, Katulampa dan Empang
Jan 0.4234 2.9501
berturut-turut bernilai 3688 mm/tahun, 4097 Gunung Feb 0.4234 2.9501
mm/tahun, dan 4061 mm/tahun. Mas Mei 0.4140 2.8619
Juni 0.2485 1.5168 1.31
Katulampa Jan 0.3184 2.0404
Jan 0.4883 3.6123
Empang
Juni 0.2427 1.4759
7

Dalam jangka panjang curah hujan harian 4.2 Analisis Statistik Sebaran Peluang
maksimum pada stasiun Gunung Mas, Hasil pengujian sebaran statistik
Katulampa dan Empang menunjukkan menggunakan paket program minitab
kecendrungan meningkat yang signifikan menunjukkan terdapat beberapa sebaran
(α=10%) pada bulan-bulan seperti Januari, peluang teoritis yang menggambarkan sebaran
Februari, Mei, dan Juni (Tabel 3). Pada curah data curah hujan harian maksimum di wilayah
hujan tahunan dalam jangka panjang di Bogor. Pada umumnya curah hujan
Gunung Mas menunjukkan kecendrungan maksimum mengikuti sebaran Normal (37%)
meningkat (Gambar 2a), sedangkan di dan Lognormal (28%). Pada data musim
Katulampa dan Empang menunjukkan kemarau dimana ada data yang nilainya sama
kecendrungan menurun (Gambar 2b, 3c). dengan nol, maka sebaran teoritis yang sesuai
Namun perubahan peningkatan dan penurunan adalah sebaran 3-Parameter Lognormal.
tersebut tidak nyata. Meskipun demikian ada sejumlah 26% data
yang sebaran datanya tak simetris antara
jumlah data di sebelah kiri dan kanan dari
nilai rata-rata (tak normal), yaitu mengikuti
sebaran Gamma dan Weibull (Tabel 4).
Analisis sebaran peluang hujan harian
maksimum di Kabupaten Bogor dipelajari dari
8 titik stasiun yakni stasiun Gunung Mas,
Katulampa, Citeko, Empang, Cihideung,
Gadog, Depok dan Cikasungka dalam kurun
waktu rata-rata 23 tahun. Analisis sebaran
peluang diujikan pada data setiap bulan di
masing-masing stasiun
a
Tabel 4 Tipe sebaran peluang di beberapa stasiun di
Kabupaten Bogor
Jumlah
Sebaran bulan Persentase
Normal 35 36.5
Lognormal 27 28.1
3 Paramater Lognormal 9 9.4
Gamma 13 13.5
Weibull 12 12.5
Jumlah 96 100
b
Secara umum sebaran Normal terjadi pada
curah hujan harian maksimum di hampir
semua bulan kecuali bulan Agustus. Begitu
pula dengan sebaran Lognormal, sebaran ini
juga ditemukan di seluruh bulan kecuali bulan
Juli dan September. Sedangkan sebaran 3-
Parameter Lognormal terjadi pada musim
kering (Mei – September). Sementara itu, ada
beberapa data curah hujan harian maksimum
dari stasiun tertentu yang datanya menyebar
membentuk distribusi sebaran Gamma dan
c Weibull pada musim kemarau (Tabel 5).
Gambar 2 Tren curah hujan tahunan (a) Gunung
Mas (b) Katulampa (c) Empang tahun
1981-2010
8

Tabel 5 Jumlah stasiun yang datanya mengikuti sebaran teoritis pada masing-masing bulan
di Kabupaten Bogor
Bulan Jumlah
Tipe Sebaran %
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des
Normal 4 2 3 4 3 1 4 3 5 2 4 35 36.5
Lognormal 3 4 3 2 1 1 2 2 5 4 27 28.1
3-Par. Lognormal 2 2 2 2 1 9 9.4
Gamma 2 1 1 1 1 3 3 1 13 13.5
Weibull 1 2 1 1 3 1 1 1 1 12 12.5
Jumlah 96 100

Gambar 3. (a) Sebaran Normal (b) Lognormal (c) 3-Parameter Lognormal (d) Gamma (e) Weibull

Sebaran Normal menandakan bahwa pada Tabel 6 Peluang tertinggi CH harian max >100 mm
kejadian antara musim hujan dan musim Stasiun Bulan P >100 mm
kemarau seimbang (Gambar 3a). Sebaran Gunung Mas Januari 35%
Lognormal mengartikan bahwa log dari data
Katulampa Februari 20%
curah hujan harian maksimum ketika di
gambarkan membentuk sebaran Normal. Empang Maret 19%
Begitu pula dengan sebaran 3-Parameter Citeko Januari 28%
Lognormal, hanya saja pada sebaran ini Cihideung April 12%
menggunakan threshold pada nilai terendah. Gadog Januari 33%
Dalam hidrologi distribusi sebaran Lognormal
Depok Januari 16%
digunakan untuk menganalisis nilai-nilai
Cikasungka Februari 12%
variabel ekstrim seperti nilai maksimum
bulanan dan tahunan curah hujan harian dan
volume debit sungai. Sementara itu untuk Hasil analisis sebaran peluang
sebaran Gamma dan Weibull menjelaskan menunjukkan bahwa bulan Januari, Februari
sebaran data dengan nilai-nilai maksimum dan Maret dikategorikan sebagai bulan yang
terbanyak pada nilai-nilai kecil atau kurang rawan untuk kejadian hujan ekstrim harian di
dari rata-rata dari nilai maksimumnya Kabupaten Bogor. Di stasiun Cihideung
(bergantung dari parameter bentuk dan skala). bahkan peluang tertinggi terjadi CH ekstrim
harian terjadi pada bulan April. Pada bulan-
bulan tersebut masih memiliki peluang
tertinggi terjadi CH harian maksimum lebih
dari 100 mm, sehingga pada bulan-bulan di
atas perlu diwaspadai. Namun secara
keseluruhan bulan Januari memiliki tingkat
kerawanan yang paling tinggi. Hal ini ditandai
9

dengan, peluang terbesar untuk kejadian Citeko dan Gadog curah hujan harian
seperti di atas kebanyakan terjadi pada bulan maksimum tertinggi terjadi pada pertengahan
Januari yakni di stasiun Gunung Mas sebesar musim hujan atau bulan Januari, kemudian
35%, Citeko 28% dan Gadog 33% (Gambar bergerak ke arah barat menuju dataran rendah
4). Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa pada bulan-bulan berikutnya.
di daerah dataran tinggi seperti Gunung Mas,

Gambar 4 Peta sebaran bulan terjadinya peluang tertinggi CH harian maksimum > 100 mm
di Kabupaten Bogor

Tabel 7 Curah hujan harian maksimum dengan 4.3 Peluang Kejadian Ekstrim Berdasarkan
peluang terlampui 5% Curah Hujan Tiga Hari Berturut-turut
Peluang Terlampui 5% (mm) Analisis curah hujan ekstrim yang lain
Stasiun dilakukan pada kejadian hujan melebihi nilai
DJF MAM JJA SON
tertentu yakni 20, 20, dan 70 mm/hari
Gunung Mas 154 118 105 107 berturut-turut serta melebihi 20, 20, dan 100
Katulampa 137 132 141 121 mm/hari berturut-turut. Kejadian hujan
tersebut dianalogikan pada kejadian banjir
Empang 139 146 145 134
tahun 1996 di daerah aliran sungai Ciliwung.
Citeko 169 98 97 84 (Rachmawati et al. 2004).
Cihideung 107 116 128 109 Hasil analisis wilayah kajian menunjukkan
Gadog 175 152 140 131 bahwa peluang curah hujan tiga hari berturut-
turut melebihi angka 20, 20, dan 70 mm/hari,
Depok 121 117 120 108 cukup tinggi baik di stasiun Gunung Mas,
Cikasungka 123 113 129 116 Katulampa maupun Empang. Peluang
tertinggi dari ketiga stasiun di atas masing-
Hasil analisis sebaran peluang yang lain masing sebesar 0.80 atau dengan periode
menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan ulang 1.3 tahun pada bulan Januari di Gunung
harian tertinggi (maksimum) di Kabupaten Mas; 0.23 dengan periode ulang 4.3 tahun
Bogor pada peluang terlampui 5% (periode pada bulan Februari di Katulampa; dan 0.13
ulang 20 tahun) untuk periode DJF, MAM, dengan periode ulang 7.5 tahun pada bulan
JJA dan SON hampir semuanya melampui Oktober di Empang (Tabel 8). Peluang
nilai 100 mm/hari, kecuali di stasiun Citeko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya
hanya terjadi pada periode DJF. Contoh, suatu kejadian yang bersifat acak. Sementara
peluang terlampui 5% pada periode DJF di periode ulang adalah waktu dimana hujan
stasiun Gunung Mas adalah 134 mm artinya dengan satuan atau besaran tertentu rata-rata
CH harian maksimum pada bulan DJF dengan akan menyamai atau melampui sekali dalam
periode ulang 20 tahun besarnya ≥ 134 mm. jangka waktu tersebut (Sri Harto 1993).
Peluang kejadian ekstrim berdasarkan
hujan tiga hari berturut-turut melebihi nilai 20,
20 dan 100 mm/hari lebih kecil dibandingkan
10

dengan nilai peluang sebelumnya. Hanya di hujan seperti di atas hanya terjadi di bulan-
stasiun Gunung Mas yang diperoleh peluang bulan tertentu saja pada musim hujan. Dilihat
tinggi yakni sebesar 0.47 dengan periode dari angka peluang yang diperoleh antar
ulang 2.1 tahun pada bulan Januari, yang stasiun maka wilayah disekitar Gunung Mas
artinya kejadian tersebut terjadi sebanyak 14 berpeluang tinggi untuk terjadi hujan ekstrim.
kali dalam waktu 30 tahun (Tabel 9). Kejadian

Tabel 8 Peluang curah hujan tiga hari berturut-turut melebihi 20, 20, dan 70 mm/hari (1981-2010)
Oktober Nopember Desember Januari Februari Maret
n - 3 10 24 21 2
Gunung
Mas peluang - 0.10 0.33 0.80 0.70 0.07
periode ulang (tahun) - 10 3 1.3 1.4 15
n 2 5 4 5 7 1
Katulampa peluang 0.07 0.17 0.13 0.17 0.23 0.03
periode ulang (tahun) 15 6 7.5 6 4.3 30
n 4 2 1 1 3 3
Empang peluang 0.13 0.07 0.03 0.03 0.10 0.10
periode ulang (tahun) 7.5 15 30 30 10 10

Tabel 9 Peluang curah hujan tiga hari berturut-turut melebihi 20, 20, dan 100 mm/hari (1981-2010)
Oktober Nopember Desember Januari Februari Maret
n - - 3 14 7 1
Gunung
Mas peluang - - 0.10 0.47 0.23 0.03
periode ulang (tahun) - - 10 2.1 4.3 30
n 1 - - 1 2 -
Katulampa peluang 0.03 - - 0.03 0.07 -
periode ulang (tahun) 30 - - 30 15 -
n - 1 - 1 - -
Empang peluang - 0.03 - 0.03 - -
periode ulang (tahun) - 30 - 30 - -

4.4 Analisis Korelasi Curah Hujan Tabel 10 Hasil korelasi tertinggi antara CH harian
Maksimum Terhadap IOD dan ENSO maksimum musim kemarau dengan IOD
Hubungan antara curah hujan dengan IOD CH IOD
dan ENSO dilakukan untuk melihat apakah Stasiun bulan bulan Korelasi P-value
CH harian maksimum di daerah kajian 3 Juli April -0.419 0.021
dipengaruhi secara nyata atau tidak oleh Mei -0.445 0.014
kedua indeks tersebut. Analisis korelasi Juni -0.415 0.022
dilakukan dengan menghubungkan curah 1 April -0.452 0.012
hujan bulan tertentu dengan SOI maupun IOD Mei -0.539 0.002
Juni -0.541 0.002
pada bulan-bulan sebelumnya. Hasil korelasi
3 Agust April -0.366 0.047
nyata antara CH harian maksimum pada
Mei -0.436 0.016
musim kemarau terhadap indeks IOD dan SOI Juni -0.470 0.009
disajikan pada Tabel 10 dan 11. Korelasi
Juli -0.485 0.007
nyata terlihat pada CH bulan Juli, Agustus dan 2 Juli -0.375 0.041
September baik terhadap indeks IOD maupun 1 Juli -0.377 0.040
SOI terutama pada bulan April-Juli. Hasil ini 3 Sept Juni -0.398 0.030
senada dengan penelitian Hendon (2003) yang Juli -0.518 0.003
menyatakan bahwa ENSO dan IOD sangat Agust -0.522 0.003
mempengaruhi besarnya hujan saat musim Ket : 3 = St. Gunung Mas, 2 = St. Katulampa, 1 =
kemarau dan saat musim monsum JJA dan St. Empang
SON. Menurutnya hubungan yang tinggi
antara curah hujan dengan ENSO maupun
IOD saat musim kemarau terjadi karena kedua
fenomena tersebut mempengaruhi kondisi
suhu permukaan laut di Indonesia.
11

Saat SOI bernilai positif fenomena yang


terjadi adalah La Nina. Ketika La Nina
berlangsung angin pasat timur yang bertiup
disepanjang Samudera Fasifik menguat,
sehingga massa air hangat yang terbawa
semakin banyak ke arah Pasifik Barat, yang
menyebabkan suhu permukaan laut di wilayah
ini meningkat. Pada kondisi ini pembentukan
awan konvektif lebih banyak terjadi di Barat
Gambar 5 Korelasi tertinggi antara curah hujan
Pasifik, akibatnya di Indonesia mengalami
harian maksimum musim kemarau peningkatan curah hujan di atas normal
dengan IOD (Thurman 1994).
Berdasarkan perbandingan banyaknya
IOD yang berpengaruh terhadap CH harian variabel curah hujan yang berkorelasi nyata
maksimum musim kemarau adalah IOD 3 dengan IOD maupun SOI maka terlihat bahwa
hingga 1 bulan sebelumnya. Korelasi tertinggi pengaruh IOD lebih nyata dibandingkan
ditemukan di stasiun Empang sebesar -0.541. dengan SOI saat musim kemarau. Namun
Korelasi negatif pada IOD menunjukkan secara umum kedua indeks tersebut
bahwa kenaikan indeks IOD / IOD (+) dapat mempengaruhi pola curah hujan harian
menurunkan curah hujan harian maksimum di maksimum di wilayah Bogor. Dimana curah
Kabupaten Bogor. hujan pada musim kemarau (Juli, Agustus,
September) dipengaruhi oleh indeks IOD dan
Tabel 11 Hasil korelasi tertinggi antara CH harian SOI pada 1 sampai 3 bulan sebelumnya.
maksimum musim kemarau dengan SOI Berbeda halnya dengan musim kemarau
CH SOI pada musim penghujan, pola pengaruh
Stasiun bulan bulan Korelasi P-value fenomena IOD dan ENSO kurang jelas sebab
3 Juli April 0.399 0.029
korelasi yang diperoleh antar stasiun berbeda-
3 Agust Mei 0.372 0.043
beda pada satu indeks yang sama. Korelasi
Juni 0.453 0.012
Juli 0.528 0.003
CH harian maksimum terhadap IOD maupun
2 Juli 0.402 0.028 SOI pada musim hujan disajikan pada Tabel
1 Juli 0.368 0.046 12 dan 13.
3 Sept Mei 0.473 0.008
Agust 0.402 0.028 Tabel 12 Hasil korelasi tertinggi antara CH harian
Ket : 3 = St. Gunung Mas, 2 = St. Katulampa, 1 = maksimum musim hujan dengan IOD
St. Empang CH IOD
Stasiun bulan bulan Korelasi P-value
3 Okt Juli -0.529 0.003
Agust -0.587 0.001
Sept -0.615 0.000
2 Nov Agust 0.363 0.049
Sept 0.372 0.043
1 Juli 0.398 0.030
Agust 0.391 0.033
3 Jan Sept -0.384 0.036
Okt -0.394 0.031
Nov -0.407 0.026
Gambar 6 Korelasi tertinggi antara curah hujan Des -0.410 0.024
harian maksimum musim kemarau 2 Feb Okt 0.455 0.012
dengan SOI Nov 0.434 0.016
Des 0.394 0.031
Seperti halnya dengan IOD, SOI yang Ket : 3 = St. Gunung Mas, 2 = St. Katulampa, 1 =
berpengaruh terhadap CH harian maksimum St. Empang
musim kemarau adalah SOI 3 hingga 1 bulan
sebelumnya. Korelasi tertinggi ditemukan di
stasiun Gunung Mas sebesar 0.528. Korelasi
positif menunjukkan bahwa kenaikan SOI /
SOI (+) dapat menaikkan curah hujan harian
maksimum.
12

maksimum tinggi. Pada bulan November dan


Februari terjadi sebaliknya. CH harian
maksimum rendah jika SOI beberapa bulan
sebelumnya negatif. Artinya jika suhu muka
laut di Indonesia dingin maka CH harian
maksimum rendah.
Hubungan yang kurang jelas antara curah
hujan dengan dengan ENSO saat musim
penghujan dikarenakan puncak kejadian
ENSO terjadi saat musim kemarau sehingga
Gambar 7 Korelasi tertinggi antara curah hujan tidak terjadi hubungan antara kejadian ENSO
harian maksimum musim hujan dengan dengan curah hujan saat musim hujan
IOD (Roswintiarti 1999), sedangkan menurut
Hamada et al. (2002) ketidakjelasan hubungan
Pada bulan September - Desember jika tersebut karena mekanisme hujan saat musim
IOD positif maka CH harian maksimum bulan hujan berupa kelompok awan tidak
Oktober dan Januari rendah. Artinya jika suhu terpengaruh akibat kejadian ENSO.
muka laut di Indonesia dingin maka CH
harian maksimum rendah. Pada bulan-bulan V. KESIMPULAN
lainnya (November dan Februari) terjadi
sebaliknya. Jika IOD beberapa bulan 5.1 Kesimpulan
sebelumnya bernilai negatif maka CH harian Kondisi curah hujan harian maksimum di
maksimum bulan November dan Februari Kabupaten Bogor menunjukkan kecendrungan
tinggi. Artinya jika suhu muka laut di meningkat dalam jangka panjang yakni pada
Indonesia panas maka CH harian maksimum bulan Januari, Februari, Mei dan Juli.
tinggi. Berdasarkan uji sebaran diperoleh bahwa
sebaran teoritis yang paling menggambarkan
Tabel 13 Hasil korelasi tertinggi antara CH harian
data curah hujan harian maksimum adalah
maksimum musim hujan dengan SOI
Normal dan Lognormal. Sebaran 3-Parameter
CH SOI
Stasiun bulan bulan Korelasi P-value Lognormal, Gamma dan Weibull dapat
3 Okt Juli 0.659 0.000 mewakili sebaran data pada sebagian data CH
Agust 0.516 0.004 harian maksimum pada musim kemarau.
Sept 0.509 0.004 Kejadian hujan harian maksimum > 100 mm
1 Nov Juli -0.408 0.025 banyak terjadi pada bulan Januari untuk
2 Feb Okt -0.401 0.028 wilayah dataran tinggi, sedangkan pada
Des -0.467 0.009 dataran rendah terjadi secara berurutan dari
Jan -0.418 0.021 arah timur menuju barat di bulan Februari,
Ket : 3 = St. Gunung Mas, 2 = St. Katulampa, 1 = Maret hingga April. CH harian maksimum
St. Empang dengan peluang terlampui 5% selalu
melampui nilai 100 mm/hari pada hampir
semua bulan yakni bulan DJF, MAM JJA dan
SON, kecuali di stasiun Citeko. Peluang hujan
ekstrim berdasarkan curah hujan tiga hari
berturut-turut di wilayah kajian cukup tinggi
untuk CH yang melampui 20, 20 dan 70
mm/hari.
SOI dan IOD berkorelasi nyata dan
konsisten pada pola curah hujan harian
maksimum di wilayah Bogor untuk musim
kemarau dan tidak konsisten untuk musim
Gambar 8 Korelasi tertinggi antara curah hujan hujan.
harian maksimum musim hujan dengan
SOI
DAFTAR PUSTAKA
Pada bulan Juli - September jika SOI
positif maka CH harian maksimum bulan
Ashok K, Guan Z, Yamagata T. 2001. Impact
Oktober tinggi. Artinya jika suhu permukaan
laut di Indonesia panas maka CH harian of the Indian ocean Dipole on the
Relationship between the Indian
13

Monsoon Rainfall. Geohys.Res.Lett Local Air–Sea Interaction. Journal of


28: 4499-4502. Climate, 16: 1775–1790.
Aldrian E. 2007. Decreasing trends in annual Hermawan E, Komalaningsih K. 2008.
rainfalls over Indonesia:A threat for Karakteristik Indian Ocean Dipole
the national water resources? Mode di Samudera Hindia
Published by Journal of BMG. Jakarta Hubungannya dengan Perilaku Curah
Aldrian E, and Djamil SD. 2006. Long term Hujan di Kawasan Sumatera Barat
rainfall trend of the brantas catchment Berbasis Analisis Mother wavelet.
area, East Java. Indonesian Journal of Sains Dirgantara. 5(2): 109-129.
Geography 38:26-40 IPCC. 2007. Climate Change 2007: The
Aldrian E, and Susanto RD. 2003. Physical Science Basis. Contribution
Identification of three dominant of Working Group I to the Fourth
rainfall regions within Indonesia and Assessment Report of the
their relationship to sea surface Intergovernmental Panel on Climate
temperature, Int. J. Climatol. 23: Change [Solomon, S., D. Qin, M.
1453-1464 Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B.
Boer R. and A. Faqih. 2004: Current and Averyt, M.Tignor and H.L. Miller
Future Rainfall Variability in (eds.)]. Cambridge University Press,
Indonesia. AIACC Technical Report Cambridge, United Kingdom and New
021.http://sedac.ciesin.columbia.edu/a York, NY,USA.
iacc/progress/AS21_Jan04.pdf Kaimuddin, 2000. Dampak Perubahan Iklim
Boer R. 2009. Sekilas Status Komunikasi dan Tata Guna Lahan Terhadap
Nasional Indonesia untuk Perubahan Keseimbangan Air Wilayah Sulawesi
Iklim dipresentasikan pada Enabling Selatan: Studi kasus DAS Walanae
Activities for the Preparation of Hulu dan DAS Saddang. Disertasi
Indonesia’s SNC, Jakarta 21 April Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
2009. Kementrian Lingkungan Hidup Li Y, Cai W, and Campbell EP. 2005.
bekerjasama dengan UNDP Indonesia. Statistical Modelling of Extreme
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Rainfall in Southwest Australia. J.
Geofisika. 2011. Analisis Hujan Bulan Climate 18: 852-863
Oktober 2011 dan Prakiraan Hujan Luo J-J, Zhang R, Behera SK, Masumoto Y,
Bulan Desember 2011, Januari dan Jin F-F, Lukas R, and Yamagata T.
Februari 2012. Provinsi DKI Jakarta. 2010. Interaction between El Niño and
Gilli and Kelleze. 2003. An Application of extreme Indian Ocean Dipole. Journal
Extreme Value for Measuring Risk. of Climate 23: 726–742.
Departement of Econometrics, Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon
University of Geneva, Switzerland WP, and Burke MB. 2007 : Assessing
http://www.unige.ch/ses/metrigilli/evt risk of climate variability and climate
m/CSDA-08-02-2003.pdf change for Indonesian rice agriculture,
Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J, PNAS, 104(19): 7752-7757
Fukao S, Winarso PA, and Naylor RL, Falcon WP, Rochberg D, Wada N.
Sribimawati T. 2002. Spasial and 2001. Using El Nino Southern
Temporal Variations of The Rainy Oscillation Climate Data to Predict
Season Over Indonesia and Their Link Rice Production in Indonesia. Climate
to ENSO. Journal of the Change 50: 255-256.
Meteorological Society of Japan, 80: Prang JD. 2006. Sebaran Nilai Ekstrem
285-310. Terampat dalam Fenomena Curah
Handoko I, Sugiarto Y, and Syaukat Y. 2008. Hujan. Bogor: Program Pasca Sarjana,
Keterkaitan Perubahan Iklim dan Institut Pertanian Bogor.
Produksi Pangan Strategis : Telaah Prasetyo R. 2011. Analisis Curah hujan
kebijakan independent dalam bidang Akibat Siklon Tropis Nangka. Parma
perdagangan dan pembangunan. dan Nida di Sulawesi Utara. Skripsi
SEAMEO BIOTROP. Bogor. 191p. Sarjan FMIPA Unsrat.
Harto S. 1993. Analisis Hidrologi Gramedia. Rachmawati, Kusratmoko E, Damayanti A.
Jakarta. 2004. Peristiwa Banjir Tahun 1996
Hendon HH. 2003. Indonesian Rainfall dan 2002 di Daerah Aliran Ciliwung.
Variability: Impacts of ENSO and Makalah Semiloka Pengelolaan Tata
14

Air & Sampah Jakarta. 14 Agustus Thurman HV. 1994. Introductory


2004. Oceanography. Seventh Edition.
Roesmara. 2008. Indonesia Mampu prediksi Macmillan Publishing Company. New
Iklim.[http://www.erakomputer.com/c York.
ontent/berita/juli/indonesia-mampu- Tjasyono BKH. 2008. Meteorologi Terapan.
prediksi-iklim] accessed on 3 Oktober ITB Bandung.
2011. Tjasyono BKH. 2004. Meteorologi Terapan.
Roswintiarti O. 1999. Statistical Analysis and ITB Bandung.
Numerical Simulations of The Trenberth KE. 1997. The Definitions of El
Intertropoical Convergence Zone Nino. Bulletin of the American
during Normal and ENSO Years. Meteroological Society. Vol. 78 Issue
Ph.D. Dissertation, North Carolina 12: 2771-2777.
State University, USA. Yasunari T. 1990. Impact of Indian Monsoon
Sadik K. 1999. Pemodelan Nilai Ekstrem on the Coupled Atmosphere/Ocean
Terampat untuk Proses Lingkungan, System in the Tropical Fasific.
Studi Kasus pada Curah Hujan Meteorology and Atmospheric
Harian. Bogor: Program Pasca Physics. 44: 29-41.
Sarjana, Institut Pertanian Bogor. WMO. 2009. Guidelines onAnalysis of
Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, extremes in a changing climate in
Yamagata T. 1999. A Dipole Mode in support of informed decisions for
the Tropical Indian Ocean. Nature no adaptation. Publications Board.
401, 360-363. Geneva 2, Switzerland.
Smith K, Petley DN. 1991. Environmental Zubaida U. 2004. Analisis Kerentanan dan
Hazard: Assessing Risk and Reducing Mekanisme Adapatasi Petani Padi
Disaster. Fifth Edision. Routledge. Indramayu Terhadap Kejadian Iklim
New York. Ekstrim [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Suharsono H. 1982. Beberapa aspek iklim Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Bogor. Skripsi. Jurusan Alam, Institut Pertanian bogor.
Agrometeorogi Departemen Ilmu
Pengetahuan Alam. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
15

LAMPIRAN
16

Tabel Lampiran 1. Tipe sebaran peluang curah hujan harian maksimum pada beberapa stasiun di Kabupaten Bogor
Stasiun Tipe Sebaran Data Curah Hujan Harian Maksimum
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pengamatan
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 Gunung Mas √ √ √ √ √ √
2 Katulampa √ √ √ √ √ √
3 Empang √ √ √ √ √ √
4 Citeko √ √ √ √ √ √
5 Cihideung √ √ √ √ √ √
6 Gadog √ √ √ √ √ √
7 Depok √ √ √ √ √ √
8 Cikasungka √ √ √ √ √ √

Stasiun Sebaran Data Curah Hujan Harian Maksimum


No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pengamatan
Juli Agustus September Oktober November Desember
1 Gunung Mas √ √ √ √ √ √
2 Katulampa √ √ √ √ √ √
3 Empang √ √ √ √ √ √
4 Citeko √ √ √ √ √ √
5 Cihideung √ √ √ √ √ √
6 Gadog √ √ √ √ √ √
7 Depok √ √ √ √ √ √
8 Cikasungka √ √ √ √ √ √
Ket : 1 = Sebaran Normal 2 = Lognormal 3 = 3-Parameter Lognormal 4 = Gamma 5 = Weibull
17

Tabel Lampiran 2. Curah hujan harian maksimum dengan peluang terlampui 5% 10% 25% dan 50% serta
peluang CH > 100 mm/hari pada beberapa stasiun di Kabupaten Bogor
Peluang Terlampui (mm) Peluang CH Peluang Terlampui (mm) Peluang CH
Stasiun Bulan Stasiun Bulan
50% 25% 10% 5% >100 mm 50% 25% 10% 5% >100 mm
Gunung Mas Sept 37.8 59 83 100.6 5% Cihideung Sept 41.5 60 82 99.9 4%
Okt 41.8 60 83 100.8 5% Okt 62 78.8 93 102 5%
Nov 52 70 90.9 106.6 6% Nov 65.7 81 97.9 109 8%
Des 63 83 105 121 13% Des 60 78.7 94.9 104 7%
Jan 84 112 138 154 35% Jan 64 78.9 92 99.9 4%
Feb 79 95 131.8 152 27% Feb 68 84.6 98.8 107 9%
Mar 71 90 107 117.7 16% Mar 54 71 86 95 3%
Apr 59.8 71 81 87 - Apr 59 81.8 103 116 12%
Mei 45.6 62 80.8 95 3% Mei 44 65.8 92 113 7%
Jun 40.6 57.6 77.8 93.5 3% Jun 52 71.5 89 100.5 5%
Jul 42 61.7 85.8 105 5% Jul 51.6 73.8 93 104.9 6%
Agust 40.9 57.9 78 93.7 3% Agust 45 70 101.9 128 10%
Katulampa Sept 67.9 87 103.9 114 10% Cikasungka Sept 54.6 71.5 86 95 3%
Okt 75 93.8 110 119.8 18% Okt 63 79 95.9 107.9 7%
Nov 72.8 90 108 121 16% Nov 64 82 101.7 115.8 10%
Des 65.8 85.6 102.9 113.5 10% Des 46.6 68 95 116.5 8%
Jan 73.6 87.6 101.9 111.8 10% Jan 70.6 86 99.8 108 9%
Feb 72.9 94.9 119 137 20% Feb 57.9 79.5 104 123 12%
Mar 68 89 113 130.6 17% Mar 44 65.8 91.9 112.9 7%
Apr 70 89 109 123.7 16% Apr 55 68 79.7 86.6 -
Mei 42 62 87 107 6% Mei 54.6 73.8 93.6 107 7%
Jun 58 76 92 101.6 5% Jun 25.8 50.9 90 128.7 8%
Jul 48 68 85 96 3% Jul 35.9 54.6 73 85.9 2%
Agust 52 84 117.9 141 17% Agust 32.6 46.9 64 77.7 1%
Empang Sept 68.9 92.7 117 134 19% Gadog Sept 57.7 77 94.7 105 7%
Okt 70.6 87.9 105 116.5 14% Okt 60 79 95.9 106 7%
Nov 68.9 86 104.5 117.6 13% Nov 71.8 96.5 118 131 22%
Des 63.6 86.5 112.7 132.6 16% Des 58 77.6 94.6 104.9 7%
Jan 65.8 81.7 98.5 110 9% Jan 80 110.8 137 153.7 33%
Feb 68.7 92 119 139 19% Feb 78 112.6 149 174.5 32%
Mar 65.9 92 122.6 146 19% Mar 67.8 83.8 97.8 106 8%
Apr 69 88.7 110 125.6 16% Apr 63.8 94.7 128 151.9 21%
Mei 77 92.5 106 114 16% Mei 65.6 91 113.9 127.6 18%
Jun 59 84 113.7 136.7 16% Jun 54 75.9 98.6 114 9%
Jul 65 86.9 111.6 130 16% Jul 47 65.9 82 92 2%
Agust 56 86.8 120.7 145 18% Agust 61.8 86.9 116.7 139.8 17%
Citeko Sept 39 52.7 64.5 71 - Depok Sept 28.7 53 83 105.5 5%
Okt 47 62 75.7 83.7 - Okt 55 75 92.9 103.5 6%
Nov 48.6 61.9 73 80 - Nov 65 83 98.8 108 8%
Des 65.7 81.6 95.6 104 7% Des 31.8 46 64 78 1%
Jan 73.9 104.6 140.9 169 28% Jan 67.9 90 109.7 121 16%
Feb 73 106 142 167 28% Feb 60.9 79 95 105 6%
Mar 50.5 69.5 87 98 4% Mar 36 54 71.5 82.9 1%
Apr 49 64 77 85 1% Apr 58 82.6 104 117 10%
Mei 42 59.9 77 88 2% Mei 40 54 66.5 73.9 -
Jun 30 48.5 67.5 80 1% Jun 40 64 88.9 105.7 6%
Jul 23 42 65.5 83 2% Jul 45 63.8 80 90 2%
Agust 26 49 76 96.7 4% Agust 27 55.8 91.8 119.7 8%
18

Tabel Lampiran 3. Peluang kejadian ekstrim berdasarkan curah hujan tiga hari berturut-turut
pada musim kemarau

Tabel 10 Peluang curah hujan melebihi 20, 20, 70 mm/hari berturut-turut (1981-2010)
April Mei Juni Juli Agustus September
n 2 - - - - -
peluang 0.07 - - - - -
Gunung Mas periode ulang (tahun) 15 - - - - -
n 6 4 3 1 1 1
peluang 0.2 0.13 0.1 0.03 0.03 0.03
Katulampa periode ulang (tahun) 5 8 10 30 30 30
n 3 1 2 - 3 1
peluang 0.1 0.03 0.07 - 0.1 0.03
Empang periode ulang (tahun) 10 30 15 - 10 30

Tabel 11 Peluang curah hujan melebihi 20, 20, 70 mm/hari berturut-turut (1981-2010)
April Mei Juni Juli Agustus September
n - - - - - -
peluang - - - - - -
Gunung Mas periode ulang (tahun) - - - - - -
n 2 - - - 1 1
peluang 0.07 - - - 0.03 0.03
Katulampa periode ulang (tahun) 15 - - - 30 30
n 1 - 1 - 1 1
peluang 0.03 - 0.03 - 0.03 0.03
Empang periode ulang (tahun) 30 - 30 - 30 30
19

Gambar Lampiran 4. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Gunung Mas (a) musim hujan (b) musim
kemarau
20

Gambar Lampiran 5. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Katulampa (a) musim hujan (b) musim
kemarau
21

Gambar Lampiran 6. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Empang (a) musim hujan (b) musim kemarau
22

Gambar Lampiran 7. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Cihideung (a) musim hujan (b) musim kemarau
23

Gambar Lampiran 8. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Citeko (a) musim hujan (b) musim kemarau
24

Gambar Lampiran 9. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Cikasungka (a) musim hujan (b) musim kemarau
25

Gambar Lampiran 10. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Gadog (a) musim hujan (b) musim kemarau
26

Gambar Lampiran 11. Grafik curah hujan harian maksimum stasiun Depok (a) musim hujan (b) musim kemarau

You might also like