You are on page 1of 17

JURNAL MEDIA APLIKOM

ISSN : 2086 – 972X


Vol 1 No.2 Mei 2010

RELIGIUSITAS TARI LENGGER


DESA GERDUREN KECAMATAN PURWOJATI
BANYUMAS

Robertus Suraji
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Yos Sudarso

ABSTRACT

Dance of lengger is folk dance that thrives in the region of ex-Karesidenan Banyumas, especially in the
agricultural area or in villages. This dance represents traces of the previous Hindu culture. A sect of
Hinduism that is Cakta Tantrayana belived in Goddess of Durga as the vertility goddess. In worship
ceremonies, the dance like lengger were used to request fertility. When the Hindu teaching reached Java
there was transformation of meaning in this dance, caused by syncretism with Javanese belief. In Java,
Goddess of Sri was believed goddess. Long ago in the area of Banyumas, dance of lengger became social
the tool of society to be grateful to all Deities after harvest. In its growth later on dance of lengger naturally
had meaning differentiation, of religious meaning to secular meaning. This dance today in some ways
exploits the erotic.

Village societies of Gerduren that till now still take care of this dance of lengger, feel that dance is the
part of society life of Gerduren village. Till now they do certain rituals to take care of dance community.
Rituals run by lengger community of Gerduren village relate their belief of existence of spirit as protector
of dance of lengger. The spirit which is ordinarily referred to as the indang so called Kastinem.
Attendance of Kastinem indang in an show of lengger is believe to give supernatural strength to the
dancer of lengger.

Trust about existence of indang Kastinem in their belief does not oppose their belief in God. In reading of
the writer, believing of existence of indang Kastinem represents manifestation of alonging of God which
is immanent, God which is near by and accompany them. Lengger community of Gerduren village have
the conscious that they will not overcome problems of life with their own. They require strength aid from
outside themseves. That strength they find in indang Kastinem which they trust also comes from God. Of
above mentioned description, it can be concluded that dance of lengger of Gerduren village still has certain
religious meaning.

Keywords: religiosity, transformation, differentiation.

123
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

Pendahuluan sama sekali bagi masyarakat setempat dan bagi


mereka yang terlibat dalam tarian tersebut?
Sikap atau pandangan hidup suatu
masyarakat pada suatu waktu tidak dapat Penelitian ini mau menjawab
dilepaskan dari proses perjalanan sejarah pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.
masyarakat tersebut. Pandangan hidup Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan tersebut
masyarakat tersebut merupakan hasil dapat dirumuskan dalam tiga hal sebagai berikut
internalisasi masyarakat dalam proses pergulatan :
mereka dari waktu ke waktu (Berger, 1991: 34). 1. Bagaimana keberadaan tarian lengger di
Pandangan hidup masyarakat sekarang ini dalam masyarakat desa Gerduren?
merupakan warisan dari masa lampau Bagaimana masyarakat pada umumnya
masyarakat tersebut, walaupun dimungkinkan memandang tarian lengger, dan
juga terjadinya pembaharuan. Dalam proses bagaimana komunitas penari lengger
sejarah masyarakat tersebut ada banyak hal yang dari desa Gerduren memandang dirinya
ikut serta berperan membentuk pandangan dan dunia sekitarnya?
masyarakat. Tari lengger sebagai salah satu 2. Apakah tarian lengger berkaitan dengan
bentuk kebudayaan masyarakat desa Gerduren, keyakinan masyarakat setempat akan
kecamatan Purwojati Banyumas merupakan adanya yang Transenden atau Roh
tarian rakyat yang sudah sangat tua. Dalam Gaib? Bagaimana bentuk keyakinan
perjalanan sejarahnya tari lengger tentu telah tersebut? Dengan kata lain, apa makna
mengalami perubahan-perubahan. Perubahan- religius tarian lengger?
perubahan ini sangat tergantung kepada banyak 3. Sejauhmana keyakinan tersebut
faktor dalam masyarakat di mana tari lengger ini membentuk atau mempengaruhi sikap
hidup (Suharto, 1999:2). Keberadaan tarian di komunitas atau masyarakat setempat?
desa Gerduren tentu juga telah membentuk atau Adakah ajaran tertentu yang
sekurang-kurangnya mempengaruhi pandangan disampaikan lewat pertunjukan tarian
hidup atau gaya hidup masyarakat desa lengger? Apakah tarian lengger
Gerduren. Pandangan hidup erat kaitannya dengan merepresentasikan budaya Banyumasan
sistem religi yang dianut oleh masyarakat yang terpinggirkan?
setempat. Meskipun tari lengger dikenal sebagai
tarian yang sangat sekular, tetapi warisan budaya Tarian Lengger Sebagai Identitas
masa lalu suatu masyarakat tarian lengger Masyarakat
memiliki religiusitas tertentu.
Jika dalam budaya terdapat pandangan Tari lengger adalah tarian rakyat
hidup suatu masyarakat, apa pandangan hidup berkembang di desa-desa atau daerah pertanian,
masyarakat Banyumas, khususnya masyarakat termasuk kabupaten Banyumas. Kabupaten
Desa Gerduren yang terungkap lewat tarian Banyumas di jaman kerajaan dahulu berada dalam
lengger? Sebagai sebuah tarian rakyat, apakah batas kekuasaan antara keraton Mataram dan
lengger dari desa Gerduren mengungkapkan keraton Pajajaran. Banyumas tidak pernah
realitas tertentu dalam masyarakat? Berkaitan menjadi pusat kekuasaan. Kabupaten Banyumas
dengan kepercayaan, apakah dalam tarian sejak didirikan oleh R. Jaka Kaiman atau Adipati
lengger berkaitan atau mengungkapkan Mrapat pada kurang lebih tahun 1582 selalu
kepercayaan tertentu? Ada keyakinan apakah di berada dalam bayang-bayang kebesaran keraton
balik tarian rakyat tersebut, dan keyakinan yang Pajang atau Mataram (Koderi, 1991: 3-4). Oleh
bagaimana? Ataukah tarian lengger sekedar karena itu, Banyumas tidak pernah menjadi
hiburan rakyat yang tidak mempunyai makna

124
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

pusat kebudayaan. Budaya Banyumasan oleh ditarikan pada masa sesudah panen sebagai
banyak orang dianggap sebagai budaya ungkapan syukur masyarakat terhadap para
pinggiran, budaya desa atau budaya petani. Dewa yang telah memberikan rejeki1. Pendapat
Logat Banyumasan yang medhok dan kasar Tohari ini sesuai dengan pendapat
sering dianggap sebagai cermin dari orang Koentjaraningrat soal tarian ledhek, dalam
pinggiran yang kurang mengerti unggah- bukunya Kebudayaan Jawa. Menurut
ungguh. Di daerah inilah tarian lengger tumbuh Koentjaraningrat masa sesudah panen adalah
subur. masa untuk bersukaria bagi para petani. Pada
saat itu para penari ledhek sibuk melayani pesanan
Istilah Lengger sampai saat ini masih
untuk menari (Koentjaraningrat, 1994:
dalam perdebatan. Ada yang mengatakan
211-212). Jadi boleh dikatakan bahwa tarian
lengger adalah nama lokal Banyumas untuk
lengger pada awalnya adalah sebuah tarian
tarian yang biasanya disebut Ronggeng.
religius, atau tarian keagamaan lokal. Sebagai
Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan
tarian keagamaan, lengger belum menjadi seni
Jawa menulis bahwa dalam budaya Bagelen
pertunjukkan seperti sekarang ini dan oleh
para penari teledhek disebut ronggeng. Menurut
karenanya juga tidak memasang tarif.
Koentjaraningrat seorang penari ronggeng sudah
mulai menari sejak ia berusia antara delapan Ada kemungkinan lengger sebagai tarian
sampai sepuluh tahun. Seorang penari anak-anak berasal dari India, atau merupakan pengaruh
seperti itu biasanya adalah anak gadis ketua agama Hindu yang masih tersisa sampai
rombongan tersebut, dan ia menarikan tarian sekarang ini. Tarian tersebut merupakan hasil
teledhek serta menyanyikan nyanyian anak-anak pengaruh dari kegiatan ritus keagamaan di India
(dolanan lare). Rakyat di daerah Bagelen Selatan, yaitu pesta seks di pusat keagamaan (kuil)
menyebut penari ronggeng yang masih anak- anak sebagai sarana pemujaan terhadap dewi Durga2.
itu lengger. Seorang lengger belum tentu menjadi Ben Suharto dalam bukunya Tayub: Pertunjukan
seorang ronggeng bila ia dewasa, akan tetapi dan Ritus Kesuburan, menguraikan bahwa tayub
sebaliknya seorang ronggeng biasanya berasal (tarian sejenis dengan tari lengger) di masa
dari lengger (Koentjraningrat, 1994: lampau kiranya mempunyai kaitan dengan
221). Berbeda dengan pendapat kepercayaan asli yang telah berpadu dengan
Koentjaraningrat, pendapat lain mengatakan ajaran Hindhuisme dari sekte tertentu. Dalam
bahwa lengger merupakan akronim dari leng dan Hindhuisme di India pada masa lampau ada
ngger. Dikiranya para penari itu adalah leng golongan (sekte) mistikus, yaitu golongan Ciwa
(Lubang) artinya wanita, ternyata jengger Cakta Tantrayana, yang di dalam cita- citanya
(terjulur) artinya pria (Koderi, 1991: 60). Sebelum mengejar moksa mencari jalan sesingkat-
tahun1960-an tari lengger memang ditarikan oleh singkatnya, antara lain dengan persetubuhan
pria. Istilah lengger ini tetap dipakai sampai (maithuna). Golongan ini menyembah cakti dari
sekarang, walaupun para penari kini adalah
wanita. 1
Wawancara dengan Ahmad Tohari di rumahnya,
Menurut asal-usulnya, tari lengger pada Jatilawang Banyumas, pada tanggal 11 Februari
2004.
awalnya merupakan tarian ungkapan rasa 2
Kegiatan seksual sebagai ritus pemujaan seperti itu
terimakasih kepada dewa-dewi kesuburan. pada saat ini masih diyakini dan dijalankan orang
Menurut Ahmad Tohari, pada jaman dahulu di di beberapa tempat, misalnya: di Gunung
Kemukus, Boyolali, Jawa Tengah untuk memuja
daerah Banyumas tarian lengger banyak Pangeran Samudra

125
Ciwa yaitu Uma atau Durga. Dalam aliran ini Tumilah (18 tahun) dan Tumisah (17 tahun)3.
banyak dijumpai pemujaan yang sifatnya sihir dan Tumiyah yang sekarang ini menjadi pelatih
gaib. Yang menarik dari aliran ini adalah apa lengger, lahir dari keluarga buruh tani. Ia
yang bagi manusia biasa terlarang, bagi aliran menjadi penari lengger selama empat belas
ini justru menjadi upacara tersuci. Menurut tahun. Ia adalah anak pertama dari lima
paham mereka, tidak ada sesuatupun yang kotor bersaudara. Dia terdorong untuk menjadi penari
bagi manusia yang bersih. Lima larangan yaitu lengger karena himpitan ekonomi. Bapaknya
mamsa (daging), matsya (ikan), madya (alcohol), meninggalkan dia bersama ibu dan saudara-
maithuna (persetubuhan), dan mudra (sikap saudaranya untuk kawin lagi. Padahal waktu itu
tangan), bahkan dianggap mampu menimbulkan Tumiyah dan saudara-saudaranya masih kecil-
tenaga-tenaga gaib, bila dilakukan secara kecil, sedangkan ibunya hanya buruh tani. Oleh
berlebihan. Dengan cara ini mereka karena itu, kakeknya yang melihat Tumiyah
melakukannya sebagai upacara (Ben Suharto, mempunyai bakat menari menganjurkannya
1999: 4-8. bdk. Soekmono, 1973: 33-34). untuk menjadi lengger. Menjadi lengger adalah
Prinsip asal mula kehidupan yang lahir lewat satu-satunya alternatif bagi Tumiyah untuk
persatuan laki-laki dan perempuan juga berlaku keluar dari kesulitan ekonomi yang dialami
bagi Dewa, agar mereka dapat melanggengkan keluarganya.
kehidupan. Maka timbul dari para Dewa yang Hal yang sama dialami oleh Tuminah
seorang mantan penari lengger. Ia menjadi
disebut chakti, misalnya chakti dari Wisnu
lengger selama delapan tahunan, sejak SD kelas
adalah Laksmi atau Sri yang merupakan dewi VI. Menurut Tuminah biasanya lengger berlatih
kebahagiaan atau dewi kesuburan. Di dalam sejak anak-anak masih duduk di bangku SD.
banyak tradisi keagamaan penghormatan kepada Karena latihan-latihan itu, sering terjadi bahwa
dewi kesuburan, selalu dekat dengan pesta seks. anak tidak meneruskan sekolah lagi dan memilih
Ketika ajaran Hindu sampai di Jawa ajaran dan bergabung dalam grup lengger, meskipun
tarian itu terbawa, dan mengalami akulturasi mereka pada akhirnya belum tentu dapat
menjadi penari lengger. Apa yang dikatakan
dengan keyakinan akan dewi Sri sebagai dewi Tuminah ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh
padi. Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, 1994: 221).
Mengenai asal-usul tari lengger, para Pada masa Tuminah menjadi penari lengger
seniman lengger desa Gerduren mempunyai biaya tanggapan sekali pentas untuk satu grup
versi tersendiri. Tamiaji (71 tahun) dukun lengger kurang lebih Rp. 500,00. Sebagai penari
lengger dan pemilik calung (alat musik lengger ia mendapat upah Rp, 75.00. Hal itu dapat
dibandingkan dengan masa sekarang ini, di mana
Banyumasan yang terbuat dari bambu) tertua di
seorang lengger desa sekali pentas mendapat upah
Banyumas meyakini bahwa tari lengger adalah minimal Rp. 150.000.00, sedangkan sinden
tarian yang asal-usulnya dari desa Gerduren, dan lengger mendapat upah Rp.
tidak ada hubungannya dengan kesuburan. 125.000.00. Motivasi Tuminah menjadi penari
Baginya lengger lebih merupakan hiburan dan Lengger adalah untuk mendapatkan uang,
tempat mencari rejeki. Para penari lengger desa membantu biaya hidup berkeluarga karena dia
Gerduren umumnya memang berasal dari berasal dari keluarga petani miskin, sementara
bapaknya sudah meninggal. Agak sedikit
keluarga yang kurang mampu secara sosial berbeda dengan yang dialami Tumiyah,
ekonomi, seperti yang dialami oleh Tumiyah (47 Tuminah merasakan bahwa dengan menjadi
tahun), Tumijah (35 tahun), Tuminah (31 tahun),

3
Nama-nama tersebut adalah nama samaran.

126
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

penari lengger dapat menopang perekonomian sering terjadi pula bahwa penari lengger
keluarga. Keluarganya yang miskin banyak dipangku dan diciumi di depan orang banyak
terbantu dengan profesi Tuminah sebagai penari oleh orang yang “ketiban sampur” (dipilih untuk
lengger. menari bersama lengger). Akan tetapi “ketiban
Pada umumnya mantan para penari sampur” pertama menjadi suatu kebanggaan
karena orang yang “ketiban sampur” pertama
lengger sesudah berkeluarga hidupnya jauh lebih
akan dianggap paling jantan dan paling banyak
mapan karena mendapat suami orang yang uangnya.
memiliki kedudukan atau secara ekonomi lebih
Kesan tersebut di atas dibantah oleh
baik. Misalnya: Tumiyah mendapatkan suami
Tamiaji, menurutnya lengger desa Gerduren
seorang polisi. Sedangkan Tuminah tidak seperti yang digambarkan oleh masyarakat.
mendapatkan suami orang dari keluarga terkaya Pandangan masyarakat yang negatif tersebut
di tetangga desa. Ada lagi penari lengger yang menjadi tantangan paling berat yang dialami
menjadi istri kepala desa. Memang ada beberapa para penari lengger. Untuk memulihkan citra
penari lengger yang masih hidup pas-pasan negatif tersebut seringkali tidak mudah.
karena kawin dengan sesama seniman lengger, Beberapa mantan penari lengger yang sudah
berkeluarga bahkan harus cerai gara-gara suami
seperti yang dialami oleh Tumijah. Tumijah
tidak kuat menahan tudingan masyarakat
sampai sekarang masih menjadi penari lengger terhadap istrinya sebagai mantan penari lengger.
keliling di Jakarta. Di sana ia mendapatkan Memang ada banyak mantan penari lengger
penghasilan Rp. 40.000.00 setiap hari. yang bisa keluar dari tekanan pandangan
Menurutnya hal itu jauh lebih baik dari pada masyarakat ini.
hidup di desanya. Di desanya sekarang tidak ada
tanggapan lengger lagi. Umumnya karena Indang Sebagai Jaminan Keberadaan Tari
Lengger
sesudah berkeluarga kebutuhan ekonominya
Pertunjukan kesenian rakyat di daerah
tercukupi, maka para penari lengger tidak lagi Jawa seperti: kuda lumping (ebeg), reog, dolalak
menari. (angguk), rodhad, sintrenan, buncis, pencak silat,
pada umumnya diiringi dengan adanya
Kisah perjuangan hidup para seniman kekuatan-kekuatan mistis, yang mampu
lengger yang tertulis di atas, tentu hanya membuat “grengseng” (bersemangat) jalannya
sebagian kecil dari kisah hidup para seniman pertunjukan. Adanya kekuatan mistis itu
lengger. Peneliti menyadari barangkali tidak membuatnya mereka mampu melakukan hal-hal
semua seniman lengger menjadi pemain lengger yang tidak masuk akal, misalnya: memakan
karena alasan ekonomi. Namun dari para pecahan kaca tanpa terluka, memegang bara api
seniman lengger yang peneliti jumpai, tanpa menjadi terbakar, ditusuk dengan
ditemukan latar belakang dan alasan yang sama, menggunakan pisau tetapi tidak terluka, dan lain
yakni motivasi mereka menjadi seniman lengger sebagainya. Dalam bentuk lain, orang yang telah
untuk menopang ekonomi keluarga. Dengan kerasukan kekuatan mistis tersebut akan
demikian, sampai di sini peneliti menemukan sanggup menari selama berjam-jam tanpa lelah,
bahwa tari lengger sebagai tari rakyat kini jauh atau tariannya kelihatan indah. Mereka tidak
dari motivasi-motivasi keagamaan. Masyarakat akan memiliki kemampuan tersebut dalam
pada umumnya mempunyai kesan kurang baik keadaan biasa (tidak trans). Kekuatan mistis ini
terhadap tarian lengger. Tarian lengger di mata dipercaya berasal dari roh halus yang mereka
masyarakat identik dengan “kemesuman”. puja. Roh halus tersebut dapat memberikan
Penari lengger sering dianggap merusak rumah kekuatan yang mengatasi kelemahan manusiawi
tangga orang. Menurut Ahmad Tohari, kesan yang para seniman rakyat tersebut. Para penari yang
buruk terhadap tarian lengger timbul karena telah kemasukan roh halus tersebut akan ndadi
pada jaman dahulu dalam pertunjukkan lengger (mengalami keadaan trance) sehingga mampu
selalu ada minuman keras. Selain itu
127
melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa. Strategi Kebudayaan karya van Peursen termuat
Tari lengger dari desa Gerduren pun tidak lepas patung prasejarah dewi Venus dari Willendorf;
dari kepercayaan adanya roh halus yang patung seorang ibu dengan anaknya dari sebuah
menyertai mereka dalam pertunjukan lengger. kuil di Syango (Nigeria) (Peursen, 1988: 52-53).
Bahkan roh halus tersebut seolah-olah menjadi
jaminan bagi keberhasilan suatu pertunjukan Dalam mitologi penciptaan versi Agami
lengger yang mereka laksanakan. Tanpanya Jawi misalnya dalam Suluk Gatoloco dan Suluk
pertunjukan lengger tidak akan berjalan dengan Darmogandul, penjelmaan Tuhan untuk
baik. Roh halus itu mereka sebut sebagai indang. menciptakan kehidupan baru di bumi melalui
Para penari lengger desa Gerduren meyakini berbagai proses. Dari alat-alat kelamin roh sajati
adanya indang yang bernama nyai Kastinem berjalan-jalan ke tempat yang melambangkan
yang menjamin keberadaan mereka. Dalam tari rahim ibu, untuk menjadi makhluk ciptaan baru.
lengger, kehadiran indang atau roh lengger Kita dapat membaca adanya tafsiran menarik
menjadi jaminan bagi seorang penari lengger dan mistis yang mengungkapkan bahwa hal
untuk dapat menarik dengan baik dan menarik. sedemikian itu memang dapat tercapai.
Bila seorang penari lengger telah kemasukan Sanggama menjadi pengalaman kesatuan sang
indang maka meskipun ia berwajah kurang Mistikus, “manusia sempurna” (insan alkamil),
cantik dan tidak memiliki bentuk tubuh yang dengan Allah (Van Akkeren, 1968: 23. Bdk.
kurang indah maka pada saat menari ia akan Koentjaraningrat, 1994: 332, 335). Mitologi
menjadi kelihatan lain sama sekali. Ia akan Jawa yang sangat terkenal, dan dihidupi oleh
kelihatan cantik dan tariannya sangat indah. masyarakat pertanian ialah mitologi Dewi Sri.
Seorang penari lengger yang telah kemasukan Ceritera mengenai Dewi Sri ada berbagai macam
indang bisa memiliki kekuatan untuk menari versi. Salah satunya mengisahkan demikian:
berjam-jam, dan dapat menari apa saja tanpa ada Kisah Dewi Sri berawal dari kisah cinta
rasa malu. Beberapa orang meyakini bahwa Tisnawati dan Djakasudana. Tisnawati adalah
lengger memiliki kekuatan sihir yang bisa anak perempuan Batara Guru, raja para dewa.
membuat orang tertipu. Sementara Djakasudana adalah seorang
manusia. Batara Guru marah bahwa puterinya
Dalam banyak tradisi keagamaan kuno yang adalah seorang Dewi jatuh cinta pada
penghormatan kepada dewi kesuburan, selalu manusia, maka ia mengutuk Dewi Sri menjadi
dekat dengan pesta seks. Misalnya yang terjadi batang padi. Djakasudana yang melihat
dalam agama-agama kesuburan di Palestina kekasihnya berubah menjadi batang padi,
(Kanaan), Mesir dan Mesopotamia ribuan tahun menjadi sangat menderita dan tiap hari hanya
sebelum Masehi. Dalam naskah Ugarit yang duduk memandangi padi-padi. Karena kasihan
melihat hal itu, maka Batara Guru mengubah
ditemukan di Ras Syamra, Siria, tertulis adanya
Djakasudana menjadi batang padi pula. Oleh
berbagai bentuk upacara keagamaan untuk karena itu setiap batang padi mulai berisi para
mendatangkan hujan, antara lain dengan petani mengadakan slametan tingkeban dan
mengurbankan anak (menyembelih), dan adanya mereka meyakini bahwa hal tersebut adalah
kebaktian dengan pelacur suci. Iklim di daerah buah perkawinan antara Dewi Sri dan
Timur Tengah sangat labil, sehingga kesuburan Djakasudana. Pada saat panen mereka juga
mengadakan slametan metik. Hasil panen
pertanian menjadi masalah yang hebat. Oleh
mereka terima mereka yakini sebagai berkat
karena itu perayaan-perayaan kesuburan perkawinan Dewi Sri dan Djakasudana (Clifford
mendapatkan tempatnya (W.S. Lasor, D.A. Geertz, 1960: 81. Masa sesudah panen
Hubbard & F.W. Bush, 1987: 291-293). Pada merupakan saat bagi para petani untuk bersyukur
banyak suku bangsa, dewi kesuburan dilukiskan dan mengadakan pesta. Pada saat seperti itulah
dalam bentuk seorang wanita atau ibu yang dimainkan tari lengger (Koentjaraningrat, 1994:
dadanya disorot secara khusus. Dalam buku 211).

128
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

Pada masyarakat yang percaya adanya sekarang ini. Indang Kastinem dipercayai akan
mitos-mitos seperti di atas, dikenal adanya selalu mengikuti di mana pun lengger pentas.
nyanyian, doa dan tarian sebagai tradisi ritual Lengger desa Gerduren bisa bertahan sampai
untuk menghadirkan kekuatan tokoh-tokoh mitis sekarang ini diyakini berkat bantuan indang
tersebut. Misalnya, pada awal kebudayaan Cina, Kastinem. Sementara di desa lain banyak
lama sebelum Masehi, orang Shaman selalu
kelompok lengger yang sudah hilang. Tidak ada
menciptakan hujan dalam wujud tari gembira
(Curt Sach, 1963: 65,66,67). Fungsi tarian seorang pun yang dapat menceritakan siapakah
tersebut adalah menciptakan (mengundang) indang Kastinem itu, dan mengapa ia mau
kekuatan yang memiliki daya tumbuh bagi menjadi pelindung bagi tarian lengger desa
tumbuh-tumbuhan atau datangnya hujan. Dalam Gerduren. Menurut keyakinan orang-orang dari
pengungkapannya sering dijumpai unsur-unsur kelompok tarian lengger ini, keyakinan mereka
seksual yang terkandung di dalamnya. Seperti akan keberadaan indang Kastinem tidak
misalnya saling mendekatkan dan menggoyang-
bertentangan dengan keyakinannya kepada
goyangkan pantat. Secara umum dapat diketahui
bahwa sebagian besar upacara kesuburan Tuhan.
tumbuh-tumbuhan selalu dimulai dengan Keyakinan masyarakat akan adanya
kesuburan manusia sendiri. Hal ini mengingat indang sebagai roh yang membantu hidupnya
bahwa bagi dunia kehidupan yang sangat kesenian tradisional tidak dapat dilepaskan dari
sederhana dan primitif, mereka masih sangat adanya mitos-mitos keberadaan roh halus dalam
menyatu dengan lingkungan alam serta sadar masyarakat, seperti: buto ijo, thuyol, dan
keharusan keterlibatannya dalam menjaga sebagainya. Masyarakat menghadapi pertanyaan-
keseimbangannya. pertanyaan berkaitan dengan fenomena-fenomena
Lengger sebagai tarian rakyat yang yang mereka temukan dalam kehidupan. Lewat
digunakan dalam upacara-upacara kesuburan mitos-mitos tersebut, masyarakat menemukan
juga tidak terhindarkan dari unsur-unsur jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak
erotisme. Bagi orang yang tidak memahami kaitan terjawab dalam kehidupan mereka. Mitos
tarian ini dengan latar belakang keyakinan mencoba menjelaslan cara beradanya sesuatu,
mereka, akan dengan mudah memandang tarian atau mengapa sesuatu terjadi demikian.
ini sebagai tarian yang tidak senonoh. Padahal Ini sesuai dengan teori Mircea Eliade.
sebagai tarian rakyat lengger menjadi perangkat Menurut Mircea Eliade mitos menjadi dasar
yang dapat membantu para petani kehidupan sosial dan kebudayaan bagi suatu
mengungkapkan suka cita di hadapan Sang masyarakat tertentu. Mitos mengungkapkan cara
Pencipta yang telah memberi mereka hasil panen beradanya di dunia, atau terjadinya sesuatu.
yang baik. Gerakan-gerakan tarian lengger yang Mitos merupakan realitas kultural yang
erotis sekaligus menyimbolkan perkawinan mitis kompleks dan karena itu sulit untuk memberikan
para dewa yang berbuah pada panen yang batasan-batasan yang definitif terhadapnya.
melimpah. Eliade memandang mitos sebagai usaha manusia
Mitos adanya indang tidak mempunyai kaitan untuk melukiskan lintasan yang supranatural ke
langsung dengan mitos-mitos kesuburan yang dalam dunia. Mitos menjadi suatu kebenaran
tertulis di atas. Adanya mitos indang ini yang pasti dan menetapkan suatu kebenaran
absolut yang tak dapat diganggu gugat. “Sesuatu
menunjukkan bahwa tarian lengger bagi
itu demikian karena memang demikian, titik dan
masyarakat Gerduren bukan semata-mata habis perkara”. Mitos berbicara hanya tentang
sebagai tontonan yang terlepas dari keseluruhan apa yang disebutnya dengan kenyataan, tentang
budaya masyarakat desa tersebut. Kelompok apa yang pada kenyataannya terjadi. Kenyataan
penari lengger percaya bahwa indang Kastinem ini merupakan kenyataan kudus, karena hanya
yang menjamin hidupnya tarian mereka sampai Yang Kuduslah yang sungguh-sungguh

129
merupakan kenyataan sejati dan benar. Karena berendam di sungai, mandi tengah malam,
itulah menurut Eliade mitos sama sekali berbeda bersamadi di tempat tertentu, pergi ke makam, dan
dengan dongeng. Dongeng bukanlah merupakan sebagainya. Kalau sudah mendapatkan indang,
kenyataan. Mitos menguakkan suatu tabir indang pun harus dipelihara dengan menjalankan
misteri, mewahyukan suatu peristiwa primordial laku tertentu, supaya indang kerasan tinggal
yang masih selalu diceritakan dan diulang
padanya. Ada pantangan- pantangan yang harus
kembali pada waktu sekarang. Mitos merupakan
model paradigmatik tentang apa yang terjadi in dijalani seorang penari lengger untuk
illo tempore; mitos memberikan contoh-contoh memelihara indang. Pada saat akan pentas,
model untuk dijadikan referensi tindakan indang harus dipanggil mengunakan upacara atau
manusia sekarang. Mitos-mitos menjadi dasar sesaji tertentu, sesuai yang diperintahkan indang
tindakan manusia religius. Apa yang mereka tersebut. Bila sesaji tidak lengkap, kerap kali
lakukan adalah meniru apa yang dilakukan oleh terjadi indang tidak mau hadir.
para dewa atau leluhur mereka. Mereka
menemukan contoh-contoh model itu dalam Ritus yang juga harus dijalani seorang
mitos, dan setiap tindakan manusia dibenarkan
lengger adalah melaksanakan laku midang.
dengan mengambil referensi pada mitos.
Menjadi manusia religius berarti hidup dan Midang adalah rangkaian prosesi seorang calon
tinggal dalam lingkungan yang sakral. Hidup penari lengger dengan cara mendatangi rumah-
dalam lingkungan yang sakral berarti rumah penduduk, beserta rombongan untuk
berpartisipasi pada ada yang nyata. Apa yang mendapatkan tanggapan dengan imbalan suka
dilakukan manusia dengan inisiatifnya sendiri rela, atau bahkan tidak mendapatkan imbalan
tanpa suatu model mitis itu termasuk dalam sama sekali. Midang bertujuan sebagai ujian
lingkungan profan, dan kegiatan tersebut
mental bagi calon penari lengger (Sunaryadi,
dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia karena
tidak nyata. Semakin religius manusia itu, 2000, hlm. 52-53). Setelah seorang calon penari
semakin ia mempunyai pegangan contoh model lengger melaksanakan midang tujuh kali, maka
untuk membimbing sikap dan tindakannya dia akan disahkan sebagai penari lengger, atau
(Wendell C. Beane and William G. Doty biasa hanya disebut lengger dalam upacara
(editor), 1976: 2-4, 8-9). wisuda lengger. Upacara wisuda dilaksanakan
Di dalam suatu pertunjukan lengger dengan mengadakan selamatan dan pementasan
mitos adanya indang diaktualkan dalam syair pertunjukan lengger. Upacara ini sebagai bentuk
tembang, yang lebih tepat disebut “mantra”. pengesahan bahwa seseorang telah menjadi
Mantra tersebut berfungsi untuk mendatangkan lengger dengan segala hak, tugas dan status yang
atau mengundang indang (Lih. Sunaryadi, 2000:
42). Kekuatan mantra lewat syair tembang disandangnya. Meskipun demikian, dalam
tersebut benar-benar dirasakan oleh para penari upacara yang masih sangat tradisional seperti
lengger. Seperti yang dialami oleh Tumiyah. pada jaman dahulu, upacara wisuda ini bukanlah
Setiap kali pentas dimulai, pada saat tembang puncak dari proses pencalonan lengger, karena
“Sekar Gadung” dinyayikan, Tumiyah masih ada satu upacara lagi yang dijalankan,
merasakan seolah-olah ada suatu kekuatan yang
yaitu bukak klambu. Upacara “bukak klambu”
memasuki dirinya. “Kekuatan” itu mengajaknya
untuk menyanyi dan menari di atas pentas. dianggap tahapan yang paling sakral bagi
Dalam bahasanya sendiri Tumiyah melukiskan seorang lengger. Hal ini berkaitan dengan
bahwa saat mendengar tembang sekar gadung kedudukan lengger sebagai symbol kesuburan.
kaki dan tangannya menjadi kemlitir (bergetar) Dengan upacara bukak klambu maka simbol
dan ingin njrantal (berlari) ke atas pentas. tersebut terwakili, yaitu bersatunya lingga dan
Ada berbagai ritus untuk mendapatkan yoni, bersatunya laki-laki dan perempuan.
indang, misalnya: puasa pada hari-hari tertentu,
130
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

Dalam upacara ini, laki-laki yang berhak Ada beberapa simbol maupun tindakan
melaksanakan bukak klambu adalah dia yang simbolis yang menyimbolkan keberadaan roh
memenangkan sayembara, yaitu bersedia lengger. Simbol-simbol tersebut dapat berupa
menyerahkan uang atau harta yang paling alam (sungai, air terjun, pohon, panembahan
banyak. Dialah yang akan mendapatkan (makam)), benda-benda (makanan, bunga,
keperawanan seorang lengger (Tohari, 1982: minyak), tindakan (puasa, mandi, berendam),
77). waktu (wayah bedhug (tengah hari), tengah
malam, hari-hari keramat), dan sebagainya.
Setiap agama apa pun bentuknya pasti Lewat berbagai macam simbol dan tindakan
mempunyai ritus atau upacara keagamaan, simbolis itu komunitas lengger mempercayai
karena salah satu prasyarat agama adalah adanya kehadiran indang, sebagai mahkluk yang
ritus. Ritus merupakan wujud konkret dari supranatural dan dapat menjamin keberadaan
kehidupan beragama. Ritus dapat berupa suatu komunitas itu. Hidup manusia tidak bisa
tindakan yang sangat sederhana atau pun dipisahkan dari simbolisasi. Semua kegiatan
tindakan yang sangat kompleks. Ritus berfungsi manusia umumnya melibatkan simbol. Karena
sebagai sarana bagi manusia religius untuk beralih itu dapat dikatakan bahwa manusia bukan hanya
dari profan ke waktu kudus. Di dalam ritus ia animal rationale, tetapi juga disebut animal
meniru tindakan kudus yang mengatasi kondisi symbolicum atau homo simbolicus (Cassirer,
manusiawinya; ia keluar dari waktu kronologis 1987: 39-40).
(kronos) dan masuk ke dalam waktu awal mula
yang kudus (kairos). Dengan kata lain melalui Menurut hakekatnya manusia adalah
ritus manusia menghubungkan diri dengan Yang makluk simbolis. Simbolisasi itu bisa terlaksana
Ilahi. Melalui ritus daya kekuatan Yang Ilahi melalui tubuh, kata, gerak-gerik atau
dihadirkan kembali sehingga manusia yang tindakannya. Identitas manusia terbentuk dan
melaksanakan ritus tersebut mengalami terungkap dalam ekspresi dirinya. Simbol
penyucian kembali. merupakan sarana berkomunikasi bagi manusia.
Lebih lagi dalam dunia religius. Fakta-fakta
Bagi manusia yang beragama, dunia religius sendiri menurut kodratnya sudah bersifat
yang sekarang ini bukan lagi dunia yang murni, simbolis. Karena hal ini pula, Eliade
kuat dan kudus seperti waktu baru saja menegaskan bahwa simbol merupakan cara
diciptakan oleh Tuhan atau para dewa. Dunia ini pengenalan yang bersifat khas religius (Susanto,
bukan lagi kosmos tempat tinggal para dewa 1987: 61). Manusia tidak akan mampu
yang keadaannya baik dan tidak dapat berubah, mendekati Allah secara langsung, karena Allah itu
melainkan merupakan dunia yang sudah didiami transenden, sedangkan manusia adalah makhluk
dan dipakai oleh makhluk-makhluk dari daging temporal yang terikat di dalam dunianya. Maka
dan darah, dunia yang berada di bawah hukum manusia bisa mengenal Allah, sejauh bisa dikenal,
perkembangan, menjadi tua dan mati. Karena itu melalui simbol. Semua pewahyuan itu sampai
secara periodik dunia perlu diperbaharui kepada manusia dalam bahasa simbol. Simbol
kembali, diperbaiki dan diperkuat. Satu-satunya merupakan cara untuk dapat sampai kepada
cara untuk memperbaharui dunia ialah dengan pengenalan akan Allah.
mengulang kembali tindakan penciptaan yang
dilakukan para dewa in illo tempore (Eliade,
1964: 41-45).

131
Tari Lengger dan Pembentukan Sikap untuk bersyukur atas keberhasilan panen.
Masyarakat Bahkan selanjutnya bergeser menjadi tarian
yang profan, sekedar sebagai hiburan atau
Pada awalnya tari lengger digunakan
tontonan. Di sini terjadi diferensiasi makna
untuk penghormatan kepada dewa-dewi
terhadap tari lengger. Menurut van Pausen tahap
kesuburan. Dibalik tindakan tersebut ada
ini disebut sebagai tahap ontologis. Tahap
keyakinan bahwa hasil panen yang mereka
ontologis adalah tahap pada saat mana manusia
terima merupakan buah karya (kegiatan) para
menyadari dirinya sebagai subyek yang
dewa, oleh karena itu diadakan upacara
berhadapan dengan obyek (Peursen, 1976: 18).
memohon berkat dan ucapan syukur kepada dewa-
dewi kesuburan. Dalam tahap seperti ini Meskipun tari lengger sudah bergeser
masyarakat tidak memisahkan atau tidak ada jarak menjadi sarana hiburan, tetapi di dalamnya juga
antara alam yang mereka diami dengan alam masih terdapat keyakinan-keyakinan tertentu. Di
para dewa berkegiatan. Tahap ini oleh van dalam tari itu masih terdapat unsur-unsur yang
Peursen disebut sebagai tahap mitis. Dalam masih “primitif” dan mistis. Unsur mistis yang
tahap mitis manusia menghayati dunianya dimaksud adalah keyakinan adanya roh lengger
sebagai dunia yang dipenuhi dengan kekuatan- atau indang. Gambaran mengenai Allah yang
kekuatan gaib yang melingkupi manusia. Transenden menyisakan pertanyaan-pertanyaan
Manusia berpartisipasi dalam kekuatan-kekuatan berkaitan dengan pengalaman hidup mereka
(dewa-dewa, Allah) yang melingkupi dunianya sehari-hari yang tidak terjawab. Ada kerinduan
lewat ritus-ritus. Waktu, ruang, benda-benda, manusia untuk berhubungan dengan Allah yang
kosmos memiliki dimensi sacral (Peursen, 1976: dekat dan menyapa secara personal. Di sisi lain
18). adanya kemajuan tehnologi ternyata justru
Dalam tahap ini Allah (dewa) dirasakan menyisakan pertanyaan yang bagi masyarakat
sebagai Allah yang sangat dekat dan menyertai (dunia) pertanian tidak terjawab. Mereka tidak
hidup manusia. Allah adalah Allah yang imanen. dapat mengendalikan harga-harga produk
Allah yang imanen ini hadir dan mengatur setiap panenan mereka. Mengalami keadaan seperti itu
segi kehidupan alam semesta ini. Keselamatan sebagian masyarakat tersebut lari kepada mitos-
mitos yang dahulu pernah hidup dan mereka
manusia ditentukan oleh keterlibatannya dalam
kegiatan Allah. Partisipasi tersebut diaktualkan yakini. Mitos kehadiran indang Kastinem juga
dalam ritus-ritus. Sebagai bagian dari tindakan menjadi jawaban kerinduan komunitas lengger
ritual, tari-tarian kesuburan (termasuk lengger) desa Gerduren terhadap kehadiran Allah yang
memainkan peranan yang menentukan Transenden, jauh tak terjangkau, menjadi Allah
keberhasilan ritual tersebut. Tari tersebut yang Imanen, yang menyapa manusia secara
menggambarkan tindakan mitis para dewa lebih dekat.
Tari lengger mempunyai peran ganda di
(Allah), sekaligus mengaktualkan
dalam masyarakat. Di satu sisi berperan dalam
(menghadirkan kembali) tindakan mitis tersebut.
memelihara dan mewariskan nilai-nilai
Tahab selanjutnya manusia menyadari tradisional masyarakat Jawa, tetapi di sisi lain
bahwa dunia mereka tidak sepenuhnya dikuasai lengger mewakili kelompok yang memberontak
terhadap nilai-nilai yang dipegang teguh oleh
oleh kekuatan gaib. Manusia adalah “penguasa”
masyarakat. Dalam pentas lengger ada beberapa
dunianya. Keberhasilan panen tidak tergantung
tindakan yang menurut tradisi Jawa pada
kepada bagaimana para dewa berkegiatan, tetapi
umumnya tidak diperbolehkan, seperti
tergantung kepada kegiatan manusia. Mereka
penggunaan minuman keras, mencium wanita di
masih meyakini bahwa panen merupakan berkah
depan umum. Hal itu bagi masyarakat Jawa
dari yang maha kuasa, tetapi berkah itu diterima
adalah tabu. Apa yang dalam masyarakat umum
sebagai buah usaha mereka. Maka tari lengger
adalah tabu tersebut, justru dipertontonkan
pun berubah fungsi, dari fungsi sakral untuk
dalam pertunjukan lengger. Anehnya masyarakat
mengenangkan dan menghadirkan tindakan para
menerima dan menganggap hal itu wajar bila
dewa, menjadi perangkat sosial masyarakat desa
132
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

dilakukan atau terjadi dalam pertunjukan Gung). Mereka menggugat berbagai bentuk
lengger. Dengan demikian sebagai sebuah tari tatakrama (aturan) yang ada
hiburan, lengger dapat dikatakan melampaui
norma-norma atau batas kewajaran dalam
masyarakat, dan membentuk nilai tersendiri
yang hanya berlaku dikalangan mereka.

Menarik untuk menempatkan lengger


dalam kerangka pemberontakan nilai dengan
mengaitkan tempat bertumbuhnya tarian lengger
tersebut. Tarian lengger adalah tarian yang
berkaitan dengn agricultural ceremonies
(upacara kesuburan pertanian), sehingga tarian
lengger berkembang di daerah pertanian. Namun
demikian tidak di semua daerah pertanian ada
tarian (sejenis) lengger. Tarian sejenis lengger
tumbuh di “daerah pinggiran”, seperti
Banyumas, Wonosari, Banyuwangi, Betawi, dan
sebagainya. Daerah-daerah tersebut tidak pernah
menjadi pusat kekuasaan. Sebagai “daerah
pinggiran” daerah-daerah tersebut tentu
mengalami terpinggirkan. Tarian lengger yang
tumbuh di daerah terpinggirkan tersebut
berkembang menjadi tarian “tanpa aturan” dan
“melanggar norma”. Ada banyak kemungkinan
di balik tarian tanpa aturan tersebut. Pepatah
yang berbunyi “cedhak watu, adoh ratu” (dekat
dengan batu, jauh dengan raja) menunjukkan
bahwa orang yang jauh dari raja (pusat
kekuasaan) budi bahasanya kasar atau tidak
mengerti adat sopan santun. Oleh karena itu, dapat
dimengerti bahwa tarian lengger adalah tarian
yang tanpa aturan karena tarian tersebut tumbuh
di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan
(Koentjaraningrat, 1994: 213, 215 dan 219).
Y.B. Mangunwijaya pernah menulis tentang
bahasa sandi yang digunakan rakyat kecil (wong
cilik). Seringkali rakyat kecil menirukan bahasa
para pejabat dengan diplesetke (diucapkan
keliru) atau dibanget- bangetke (diekstrimkan)
sehingga menjadi bahan tertawaan. Bahasa sandi
tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat
secara pasif kepada pejabat (Mangunwijaya,
1989: 67-68.). Menempatkan tarian lengger
dalam kerangka pemikiran tersebut maka dapat
dikatakan bahwa tarian lengger merupakan
bentuk perlawanan pasif rakyat di daerah
pinggiran kepada pusat kekuasaan (Negara

133
dalam masyarakat, karena aturan tatakrama
bersumber pada pusat kekuasaan. Gugatan
mereka diungkapkan dalam bentuk seni.

Di sisi lain, lengger mewariskan dan


menawarkan nilai-nilai yang mestinya masih
hidup dalam masyarakat desa. Misalnya pada
saat tukang soder membawa sampur, sampur
pun pertama-tama diberikan kepada orang yang
berkedudukan paling tinggi yang ada dalam
pertunjukan tersebut. Lengger juga berperan
dalam upacara tradisional, seperti wiwitan
(tanam padi), bersih dusun, syukuran sesudah
masa panen, dan lain sebagainya. Lengger banyak
memainkan peranan dalam upacara syukuran
sesudah orang sakit, dan dalam pesta- pesta
pernikahan. Selain untuk melanggengkan adat-
istiadat, lengger juga menyampaikan nilai hidup
yang sangat penting bagi kehidupan bersama,
yaitu hidup dalam kebersamaan dan kesetaraan.
Berbeda dengan tari gambyong dan bedaya
serimpi dimainkan oleh orang-orang yang
dipilih secara khusus sebagai penari keraton,
dalam tari lengger siapapun boleh menjadi
penari. Pertunjukan lengger tanpa aturan
formal yang mengikat pada pola-pola tertentu.
Orang yang mau ikut menari dalam pertunjukan
lengger tidak harus orang yang pernah belajar
menari. Tidak peduli pejabat ataupun anak muda
mendapatkan kesempatan untuk menari, dalam
tarian yang dipilih oleh mereka masing-masing.
Bagi masyarakat desa Gerduren, lengger
adalah identitas masyarakat desa tersebut. Pada
masa ketika tari lengger masih berjaya desa
Gerduren pun ikut berjaya. Lengger seakan-akan
menjadi “roh” atau “api” masyarakat desa
Gerduren. Kini lengger tidak lagi dianggap
sebagai identitas (seni) bagi desa-desa, tetapi
menjadi kesenian yang terpinggirkan,
hiburannya orang miskin, menjadi tari jalanan.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa tari
lengger merupakan cermin bagi masyarakat desa
yang karena kalah dalam persaingan hidup, dan
menjadi terpinggirkan. Keberadaan tarian
lengger di satu sisi lengger menjadi penguat
orientasi budaya masyarakat desa, namun di sisi
lain mereka melampaui budaya masyarakatnya,
dan seolah-olah menciptakan nilai bagi

136
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

komunitas mereka sendiri. Pada saat yang sama, bermasyarakat. Pada masanya, lengger pernah
tari lengger pun telah mengalami pergeseran menjadi perangkat sosial bagi masyarakat.
makna dan nilai akibat modernisasi tehnologi, Lengger juga menjadi bagian dari upacara
yang mengakibatkan lunturnya nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat. Sebagai suatu
kepercayaan (nilai agama), nilai gotong royong komunitas yang mempunyai paham tertentu,
(solidaritas), dan nilai seni mengalami dalam perjalanan sejarah lengger pernah
komersialisasi. Dahulu tari lengger lebih mewakili komunitas pemberontakan terhadap
didominasi oleh rasa seni, kebersamaan dan nilai-nilai yang berkembang di tengah
kegembiraan, terlepas dari pertimbangan masyarakat. Pada saat yang sama lengger juga
material. Sebagai kesenian rakyat atau desa, menguatkan pandangan mengenai hidup
sekarang ini tari lengger sudah tidak bersama dalam masyarakat, bahkan dapat
menampakkan lagi jiwa kerakyatannya. menjadi sarana pewarisan nilai-nilai hidup
bersama. Seiring dengan kemajuan masyarakat
Penutup tarian lengger pun mengalami pergeseran fungsi.
Pergeseran fungsi tarian lengger menempatkan
Dari penelusuran perjalanan sejarah tari lengger
kesenian ini pada posisi yang sama dengan seni
dapat disimpulkan paham mereka mengenai
hiburan. Berbagai gerak yang semula ada
Allah tidak statis, melainkan mengalami
kaitannya dengan tindakan ritual tertentu sekarang
perkembangan atau perubahan. Secara konsep
ini mempunyai makna yang sangat berbeda.
komunitas penari lengger desa Gerduren yang
Gerakan erotis yang semula dipercaya secara
semuanya beragama Islam, meyakini bahwa Allah
magi-simpatetis akan mempengaruhi kesuburan
adalah Sang Mahakuasa dan Mahatinggi. Allah
tanah, kini ditafsirkan sebagai gerakan
adalah Allah yang jauh mengatasi manusia,
menggoda kaum pria. Oleh karenanya, citra
atau transenden. Di balik keyakinan adanya Allah
penari lengger yang semula dianggap sebagai
yang transenden, ternyata mereka juga meyakini
meditor antara jagat nyata dengan kekuatan
adanya kekuatan indang. Indang mereka percayai
supranatural, sekarang dianggap sebagai
sebagai roh halus yang berasal dari Allah. Dari
prostitusi terselubung.
cerita dan keyakinan mereka pada indang, dapat
disimpulkan bahwa mitos adanya indang adalah Agaknya nilai positif tarian lengger baru bisa
manifestasi kerinduan mereka akan Allah yang terlihat, jika orang secara arif memandangnya
imanen. Indang yang mereka percayai sebagai dari kerangka yang utuh sebagai satu kesatuan
manifestasi dari kekuatan Yang Ilahi, diyakini budaya. Keselarasan antara nilai dengan jiwa
oleh komunitas lengger ini berdiam di tempat jaman, memang merupakan tuntutan tak
tertentu di sekitar desa mereka. Tempat-tempat terelakkan bagi kelangsungan hidup suatu
berdiamnya roh halus ini mereka yakini sebagai bentuk kesenian. Dengan kata lain roh dari
tempat yang keramat. Tempat itu menjadi keramat kesenian itu sebenarnya adalah perubahan itu
karena adanya kekuatan dari yang Ilahi di sendiri. Sekarang tinggal bagaimana
tempat- tempat tersebut. Alam dalam keseharian menempatkan kedudukan lengger ke dalam
orang- orang desa Gerduren adalah lahan bagi bingkai kesakralannya menurut tuntutan jaman.
mereka untuk bercocok tanam. Akan tetapi
pada saat yang sama, mereka mempercayai
bahwa Yang Ilahi dapat hadir pada alam di sekitar BIBLIOGRAFI
mereka. Alam dapat menjadi sarana bagi Yang Adisasmita, Ki Sumidi. 1975. Pustaka Centhini;
Ilahi untuk menampakkan diri dan kekuatanNya. Ikhtisar Seluruh Isinya.
Paham mereka ini sangat menentukan Yogyakarta, Penerbit U.P.
bagaimana mereka harus bersikap terhadap Indonesia.
alam.
Sebagai warisan dari perjalanan masa lalu suatu Agus Budi Agung, Santhy, B. 2001. Nur di Lereng
masyarakat lengger kaya dengan sejarah hidup Slamet (Novel tentang sejarah
masuknya Islam di
135
Pasir Luhur). Banyumas, Douglas, Mary. 1970. Natural Symbols. London,
Kantor Arsip Perpustakaan The Cresset Press.
Umum. Eilers, Franz-Josef. 1987. Comunicating
between cultures: an
Akkeren, Philip, Van. 1969. Sri and Christ, A
introduction to intercultural
Studi of The Indigenus Church
communication. Cambridge,
in East Java. London,
Polity Press.
Lutterworth Press.

Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and The
dan Religiusitas Dalam Sastra. Profane. Transleted by Wilard
Bandung, Sinar Baru. R. Trask. New York, Harcourt,
Brace and Word Inc.
Baal, van J. 1988. Sejarah Pertumbuhan Teori
Antropologi Budaya (Hingga ------------------. 1964. Myth and Reality.
Dekade 1970), jilid 2. Jakarta, London, George Allen & Anwin
Gramedia. LTD.

Banyumas dalam Angka 1987. 1988. ------------------. 1969. The Quest, History and
Purwokerto, Catatan Statistik Meaning in Religion. Chicago
Kabupaten. and London, The university of
Chicago Press.
Beane, Wendell, C., and Doty, William, G.
1975. Myths, Rites, Symbols: A ------------------. 1985. Symbolism, the Sacred,
Mircea Eliade Reader. New and the Arts. New York,
York, Evanston, San Francisco, Crossroad.
London, Herper Colophon
Books. Geertz, Clifford. 1964. The Religion of Java.
London, The Free Press of
Beatty, Andrew. 1999. Varieties of Javanese Glencoe.
Religion. Cambridge University
Press. ------------------. 1973. The Interpretation of
Cultures, Selected Essay. New
Bleeker, C.J. 1970. Man, Culture and Religion; York, Basic Books.
Studies and Religious
Anthropology. Roma, G.U.P. Graft, De, Dr. H.J. 1987. Awal Kebangkitan
Mataram. Jakarta, Grafititi Pers.
Brakel-Papenhuyzen, Clara. 1991. Seni Tari
Jawa. Jakarta, Perpustakaan Hadikusuma, Hilman, S.H., Prof. 1993.
Nasional. Antropologi Agama bagian I.
Bandung, Citra Aditya Bakti.
Brandon, S.G.F. 1965. History, Time and Deity.
London, Routledge. Herusatoto, Budiono. 2003. Simbolisme Dalam
Budaya Jawa. Yogyakarta,
Camus, Albert. 1998. Seni, Politik, Hanindita.
Pemberontakan. Yogyakarta,
Yayasan Bentang Budaya. Ismail, Feisal. 1982. Agama dan Kebudayaan.
Bandung, Alma Arif.
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan
Kebudayaan; Sebuah Esei Kamajaya (penterjemah). 1990. Serat Centhini
Tentang Manusia. Jakarta, (Suluk Tambang Raras), Jilid X.
Gramedia. Yogyakarta, Yayasan Centhini.

136
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

Keesing, Roger M. 1981. Cultural Antropology. Mulder, Niels. 1999. Agama, hidup sehari-hari
Paulis Press. dan perubahan budaya: Jawa,
Muangthai, Filipina. Jakarta,
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Imu Gramedia.
Antropologi. Jakarta, Balai
Pustaka. Nagawa, Shin, Prof. 2000. Musik dan Kosmos.
Jakarta, Yayasan Obor.
--------------------. 1994. Kebudayaan Jawa.
Jakarta, Balai Pustaka. Otto, Rudolf. 1959. Mysticism East and The
West. New York, Paulis Press.
Koderi, M. 1991. Banyumas: Budaya dan
Wisata. Purwokerto, Metro Pals, Daniel L. 1996. Seven Theories of
Jaya. Religion. New York, Oxford
University Press.
Kuntowijoyo, Dr. 1987. Budaya dan
Masyarakat. Yogyakarta, Tiara Pathy, T.V. 1980. Elura: Art and Culture. New
Wacana. Delhi, Sterling Publ. Pvt.Ltd.

Legenda Baturaden. 1986. Banyumas, Kantor Peursen, C.A. van, Prof, Dr. 1976. Strategi
Arsip Perpustakaan Umum. Kebudayaan. Yogyakarta,
Kanisius.
Levi-Strauss, C. 1997. Mitos Dukun dan Sihir.
Yogyakarta, Kanisius. Prawiroatmojo, S. 1957. Dalam Bausastra
(kamus) Djawa-Indonesia.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Surabaya, Express dan Marfiah.
Budaya Jilid I. Jakarta,
Gramedia. Purwadi. 2001. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta,
Pustaka Alif.
--------------------. 1996. Nusa Jawa: Silang
Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa.
Budaya Jilid II. Jakarta,
Yogyakarta, Komunitas Bambu.
Gramedia.
Sach, Curt. 1963. Woeld History of the Dance.
--------------------. 1996. Nusa Jawa: Silang
Terjemahan Bassie Schonberg.
Budaya Jilid III. Jakarta,
New York, W.W. Norton &
Gramedia.
Company.
Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan
Said, Noer. 1986. Raden Kamandaka. Solo, Tiga
Kebudayaan. Jakarta, Rineka
Serangkai.
Cipta.
Sejarah Kabupaten Banyumas dan Lambang
Maslow, Abraham, H. 2000. Agama, Nilai, dan
Daerah Kabupaten Banyumas.
Pengalaman Puncak. Ende,
1966. Pemerintah Daerah
Arnoldus. Kabupaten Banyumas.
Moedjanto, G., M.A., Drs. 1987. Konsep Seni Banyumasan. 1986. Banyumas, Kantor
Kekuasaan Jawa. Yogyakarta, Arsip Perpustakaan Umum.
Kanisius.
Singh, Lalan Prasad. 1976. Tantra: Its mystic
Moerdowo, Dr. 1958. Reflections on Indonesian and Scientific Basis. Delhi,
Arts and Culture. Surabaya, Naurang Rai.
Permata.

137
Soedarsono, Astuti, Sunjata, I.W.P. (ed). 1986. Turner, Victor, C. 1994. Ritus Adat Inisiasi:
Beberapa Aspek Kebudayaan Tahab liminal pada “Rites de
Jawa. Yogyakarta, P3N Passage”. Yogyakarta, Pusat
(Javanologi). Pastoral.

Soekmono, R, Drs. 1973. Sejarah Kebudayaan -----------------------. 1967. The Ritual Process.
Indonesia, Jilid I dan II. London, The Cresset Press.
Yogyakarta, Kanisius.
Tim Penyusun, Departemen Pendidikan dan
Solechan & Pujamartaya. 1996. Babad Kebudayaan. 1984. Upacara
Banyumasan. Kantor Arsip Tradisional Dalam Kaitannya
Perpustakaan Umum, Dengan Peristiwa Alam Dan
Banyumas. Kepercayaan – Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Sosrodihardjo, Soedjito. 1970. Nilai-nilai Sosial Yogyakarta, Departemen P dan
dan perubahan struktur K.
masyarakat. Jogjakarta, UGM.
Wojowasito, S., Drs. 1954. Sedjarah
Suharto, Ben. 1999. Tayub: Pertunjukan dan Kebudajaan Indonesia. Jakarta,
Ritus Kesuburan. Bandung, Siliwangi.
Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia. ARTIKEL DAN MAJALAH
Danandjaja, James. “The Role of Local Cultures
Sumarsam. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya
in Inculturation: An Indonesian
dan Perkembangan Musikal di
Case”, in Eas Asian Pastoral
Jawa. Yogyakarta, Pustaka
Review. 1993. edisi 30, hlm.
Pelajar.
283-294.
Sunaryadi. 2000. Lengger; Tradisi dan
Tansformasi. Yogyakarta, Hajat Bumi, Syukur Ala Kampung Kuta.
Yayasan Untuk Indonesia. http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0404/
Suparlan, Parsudi, Prof, Dr. 1998. Wacana 17/0108.html.
Masyarakat dan Kebudayaan
Jawa Pesisiran. Semarang, Hefner, R.W. “The Politics Popular art:
Bendera. Tayuban Danceand Culture
Change in East Java”, in
Supriyadi. 1986. Kesenian Tradisional Begalan. Indonesia (yearbook). 1987.
Purwokerto, Widyakarya. edisi 43, hlm. 75-94.

Susanto, Hary, P.S. 1987. Mitos Menurut Quintas, A.L. “Art and Culture”, in
Pemikiran Mircea Eliade. International Philosophical
Yogyakarta, Kanisius. Quarterly. 1984. edisi 24:4, hlm.
373-381.
Tashadi dkk. 1993. Refleksi Nilai-nilai Budaya
Jawa: Suatu Kajian Terhadap Mangunwijaya, Y.B. Prisma. Memahami
Serat Sekeber. Jakarta, Gerakan Rakyat, 1989, edisi 7,
Departemen Pendidikan dan hlm. 66-70.
Kebudayaan RI.
“Ronggeng Gunung” Yang Kian Pudar.
Tohari, Ahmad. 1988. Ronggeng Dukuh Paruk. http://www.pikiran-
Jakarta, Gramedia.
138
JURNAL MEDIA APLIKOM
ISSN : 2086 – 972X
Vol 1 No.2 Mei 2010

rakyat.com/cetak/0704/18/
khazanah/lainnya07/html.

Sekilas Pengamatan Situasi Tari di Indonesia.


http://unitantri.i8.com/tari.html.

“Sendra” Tari Tinggi. http://www.Suara


Merdeka.com/harian/0203/21/bud.3htm.

Wanita Publik dari Masa ke Masa.


http://www.panjimas.co.id/edisi
18/panjut3.html.

139

You might also like