You are on page 1of 169

1

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN USAHA AGRO


TERPADU BERBASIS KOMODITAS KELAPA
DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

AGUSTANTO BASMAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Arahan Pengembangan


Kawasan Usaha Agro Terpadu Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten
Lampung Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Juni 2008

Agustanto Basmar
NRP. A353 060 121
3

ABSTRACT

AGUSTANTO BASMAR The Direction of Integrated Agribussiness Area


Development Based on Coconut Commodity in West Lampung Regency.
Under direction of Dr. Ir. ATANG SUTANDI, M.Si DAN Dr. Ir. ISKANDAR
LUBIS, MS.

West Lampung Regency has a great potency in agricultural sector. The


dominant commodities which developed by the people were: coffee, pepper,
clove, oil palm and coconut. The value added of whole products are very low
because there are no agroindustries. So that the regency government will build
the integrated agribusiness area development based on coconut commodity. The
pusposes of the research were: 1) to identify the potential location, 2)to identify
the prospective products, 3)to identify the public opinion, 4) to identify the
prospect of market and 5) arrange the direction of development.
The research was conducted in coastal district of West Lampung Regency
on January-Marh 2008. This study used Scalogram, LQ, Land suitability
Analysis. The results of those analysis were overlaid to find the alternative
location. The choosing of prospective products using Analytical Hierrarchy
Process (AHP) with expert respondent on coconut agoindustry. Chain of
marketing, Industrial Tree, and Trend Analysis were used to describe the market
prospect of coconut products.
The result showed that there are 3 potential locations, group of villages
Biha, Marang, Sumber Agung, and Negeri Ratu Ngambur, group of villages Way
Redak, Kampung Jawa, Pasar Krui, Seray, and Walur, and The Third alternative :
group of villages Pardasuka, Pagar Bukit dan Sukanegara. Coconut Oil and
Dessicated Coconut were the first and second prospective products. Another
prospective produtcs were Carbon Active Coco Milk and Coir Fiber.
There are 3 level of collecting traders from village, district until sending
trader, and the sending trader enjoyed the biggest profit. Projection trend showed,
that export tend to increase. Public perception (farmers and traders) showed that
farmers in district of Bengkunat, Pesisir Selatan, Pesisir Tengah and Karya
Penggawa know better about (Kawasan Usaha Agro Terpadu ) KUAT program
than Pesisir Utara and Lemong district. It was caused by the distant of location
and the infrastructure.
The direction of development based on 3 alternative location, choosen
product which requires tight quality handled by KUAT Management, on the other
hand the side products are handled by farmers/group of farmer. All the activities
are designed in a cluster which including many stakeholders participation.
Keywords : Direction of Development, Coconut Product, Area
4

RINGKASAN

AGUSTANTO BASMAR. Arahan Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu


Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Lampung Barat. Dibimbing oleh
Dr. Ir. ATANG SUTANDI, M.Si DAN Dr. Ir. ISKANDAR LUBIS, MS.

Kabupaten Lampung Barat memiliki potensi besar pada sektor pertanian.


Komoditas yang banyak diusahakan antara lain: kopi, lada, cengkeh, kelapa sawit
dan kelapa. Nilai tambah produk sangat rendah karena belum adanya industri
pengolahan Oleh karena itu pemerintah daerah mengembangkan kawasan agro
usaha berbasis komoditas kelapa. Tujuan penelitian: 1)Mengidentifikasi lokasi
pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu, 2) Mengidentifikasi produk
prospektif yang akan dikembangkan, 3)Mengidentifikasi persepsi stakeholder
tentang Program, 4) Mengkaji prospek pemasaran produk kelapa, 5) Menyusun
arahan pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu. Penelitian ini dilaksanakan
di 6 kecamatan pesisir Kabupaten Lampung Barat Pada Bulan Januari sampai
dengan Maret 2008.
Penelitian ini menggunakan metode survai dan studi pustaka, dimana
untuk menentukan lokasi yang sesuai digunakan analisis dengan Skalogram, LQ,
Kesesuaian Lahan. Ketiga hasil analisis di-over lay untuk mendapatkan alternatif
lokasi. Pemilihan Produk Prospektif menggunakan AHP dengan responden para
pakar di bidang agroindustri kelapa. Margin Pasar, Rantai Tata Niaga, Pohon
Industri dan Analisis Trend digunakan untuk menggambarkan prospek pemasaran
produk olahan kelapa.
Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) yang menggunakan
data luas areal komoditas kelapa pada 6 kecamatan di wilayah Pesisir Kabupaten
Lampung Barat, diketahui bahwa kelapa merupakan komoditas yang memiliki
pengaruh besar dalam perekonomian wilayah. Hal ini terlihat bahwa dari 6
kecamatan terdapat 43 dari 85 (51 persen) desa Pesisir yang memiliki nilai LQ >
1, sedangkan sisanya (49) memiliki nilai LQ<1.
Berdasarkan hasil analisis skalogram diketahui bahwa dari 85 desa di
wilayah Pesisir yang menjadi lokasi penelitian diketahui hanya terdapat 6 desa (7
persen) yang memiliki hirarki wilayah 1 atau berkembang. Adapun desa-desa
tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Bengkunat 4 desa, Kecamatan Pesisir
Selatan 1 desa dan 1 desa berada di Kecamatan Pesisir Tengah. Sedangkan
Kecamatan lain seperti Karya Penggawa, Pesisir Utara dan Lemong, berdasarkan
hasil analisis tidak terdapat desa dengan hirarki 1. Desa-desa yang memiliki
hirarki 2 atau relatif berkembang berjumlah 26 desa (31 persen) antara lain di
Kecamatan Bengkunat terdapat 7 desa, Pesisir Selatan 3 desa, Pesisir Tengah 6
desa, Karya Penggawa 3 desa, Pesisir Utara 4 desa dan Kecamatan Lemong 2
desa. Sedangkan sisanya atau 53 desa (62, persen) merupakan wilayah yang
berhirarki 3 atau belum berkembang. Adapun desa-desa yang memiliki hirarki 3
yaitu Kecamatan Bengkunat 9 desa, Pesisir Selatan 6 desa, Pesisir Tengah 13
desa, Karya Penggawa 3 desa, Peisir Utara dan Lemong masing-masing 12 dan 9
desa.
5

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan karya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari IPB
6

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN USAHA AGRO


TERPADU BERBASIS KOMODITAS KELAPA
DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

AGUSTANTO BASMAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
7

Judul Tesis : Arahan Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu


Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Lampung Barat
Nama : Agustanto Basmar
NIM : A 353 060 121

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS.
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian Tanggal Lulus :


8

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
Rahmat dan Ridho-Nya Tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan Maret 2008 ini adalah Arahan
Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu Berbasis Komoditas Kelapa di
Kabupaten Lampung Barat.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si dan Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS. selaku komisi
pembimbing.
2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi
Perencanaan Wilayah.
3. Dr. Ir. Setiahadi, MS. selaku dosen penguji luar komisi.
4. Drs. Hi. Mukhlis Basri selaku Bupati Lampung Barat dan Ir. Erwin Nizar T,
M.Si mantan Bupati Lampung Barat yang memberikan izin kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan Pasca Sarjana di IPB.
5. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas reguler maupun khusus angkatan 2006 atas
segala dukungan dan kerjasamanya.
6. Ninien Mardaningsih, A.Md sebagai istri dan ketiga anak-anakku Aulia, Faqih
dan Hafiz yang telah banyak berkorban waktu dalam kebersamaan selama
penulis mengikuti pendidikan di IPB Bogor.
7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Bogor, Juni 2008

Agustanto Basmar
9

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Gumawang Kecamatan Belitang Kabupaten


OKU Timur pada tanggal 02 Maret 1969 sebagai anak ke lima dari pasangan Hi.
M. Basir dan Hj. Mariyam. Tahun 1988 penulis lulus dari SMA Negeri Belitang
dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya di Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya Jurusan hama dan Penyakit Tumbuhan. Penulis
menamatkan pendidikan pada Agustus Tahun 1993.
Tahun 1993-1998 Penulis sempat bekerja pada beberapa perusahaan
swasta dan Tahun 1998, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan
ditempatkan pada Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat Provinsi
Lampung. Tahun 1998-2000 penulis menjadi Kepala Urusan Perencanaan, Tahun
2000-2002 menjadi Kasubbag Keuangan dan Perencanaan, dan Tahun 2002-2006
menjadi Kepala Seksi Perbenihan dan Budidaya Tanaman Pada Dinas Perkebunan
Kabupaten Lampung Barat. Sejak tahun 2006 Penulis memperoleh beasiswa dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat untuk melanjutkan pendidikan S2
di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.
Tahun 1999 penulis menikah dengan Ninien Mardaningsih, A.Md dan saat
ini telah dikaruniai seorang putri cantik bernama Aulia Siti Pradina dan dua
ksatria yang bernama Faqih Ahmad Hamami dan Hafizni Nofitri Syawal.
10

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………. xii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang…………………….……………......... 1
1.2. Perumusan Masalah…………………………………... 5
1.3. Tujuan ……………………………………………...... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………… 8
2.1. Komoditas Kelapa …………………………………… 8
2.2. Agroindustri Kelapa …………………………………. 10
2.3. Pengembangan Wilayah …………………………….. 12
2.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan........................................... 15
2.5. Keunggulan Komparatif Wilayah...…………………... 16
2.6. Hirarki Wilayah..................…………………………... 16
2.7. Proses Hirarki Analitik ................................................ 17
2.8. Margin Pemasaran....................……………………..... 18
2.9. Analisis Permintaan.........….………………………..... 18
2.10. Pohon Industri....................………………………..... 19
2.11. Sistem Informasi Geografis………………………..... 20
2.12. Program KUAT ……..……………………………… 21
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………… 23
3.1. Tempat dan Waktu ....................................................... 23
3.2 Kerangka Pemikiran ..................................................... 24
3.3. Metode Pengumpulan Data .......................................... 28
3.4. Analisis Data ................................................................ 29
3.4.1. Penentuan Lokasi KUAT.................................... 29
3.4.1.1. Analisis Kesesuaian Lahan Tanaman
Kelapa ................................................... 29
3.4.1.2. Analisis Location Quotient…………… 32
3.4.1.3. Analisis Skalogram................................ 33
3.4.2. Preferensi Masyarakat ....................................... 35
3.4.2.1. Analisis AHP ........................................ 35
3.4.2.2. Persepsi Masyarakat………………….. 37
3.4.3. Prospek Pasar Produk Kelapa............................. 38
3.4.3.1. Analisis Marjin Pasar............................ 38
3.4.3.2. Analisis Permintaan ............................. 39
3.4.3.3. Analisis Pohon Industri......................... 39
BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH ........................................ 41
4.1. Batas Wilayah Administrasi ........................................ 41
4.2. Kondisi Fisografi............................................................ 43
4.2.1. Geomorfologi....................................................... 44
4.2.2. Geologi................................................................. 45
4.2.3. Tanah.................................................................... 46
4.2.4. Lereng.................................................................. 47
4.2.5. Hidrologi............................................................. 48
11

Halaman

4.3. Kondisi Geografis.......................................................... 49


4.3.1. Iklim..................................................................... 49
4.4. Penduduk........................................................................ 49
4.5. Ekonomi......................................................................... 51
4.6. Perhubungan................................................................... 51
4.7. Pendidikan...................................................................... 52
4.8. Kesehatan....................................................................... 52
4.9. Perkebunan..................................................................... 53
4.9.1.Kelapa.................................................................... 54
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................ 56
5.1. Penentuan Lokasi .......................................................... 56
5.1.1. Location Quotient (LQ) ...................................... 56
5.1.2. Analisis Skalogram....... ...................................... 62
5.1.3. Analisis Kesesuaian Lahan................................. 69
5.1.4. Pemilihan Lokasi................................................. 70
5.2. Analisis Preferensi Masyarakat ................................... 78
5.3. Persepsi Masyarakat Tentang Program KUAT ........... 88
5.4. Prospek Pasar Produk Kelapa........................................ 89
5.4.1. Rantai Tata Niaga................................................ 89
5.4.2. Marjin Pemasaran................................................ 91
5.5. Keragaan Perkebunan Kelapa di Kabupaten
Lampung Barat ............................................................. 93
5.6. Analisis Pohon Industri ................................................ 97
5.6.1. Daun .................................................................. 98
5.6.2. Batang................................................................ 98
5.6.3. Buah................................................................... 98
5.6.3.1. Sabut Kelapa ....................................... 99
5.6.3.2. Coco Peat (Debu Sabut)....................... 99
5.6.3.3. Arang Aktif.......................................... 100
5.6.3.4. Daging Buah........................................ 101
5.6.3.5. Air Kelapa............................................ 102
5.6.4. Dessicated Coconut............................................ 103
5.6.5. Minyak Kelapa................................................... 103
5.6.6. Nata De Coco..................................................... 104
5.6.7. Santan Kelapa.................................................... 104
5.6.8. Virgin Coconut Oil............................................ 105
5.7. Analisis Permintaan (Demand) .................................... 105
5.7.1. Konsumsi Produk Kelapa .................................. 106
5.7.2. Ekspor Produk Kelapa ....................................... 109
5.8. Arahan Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu 115
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................... 123
6.1. Kesimpulan .................................................................. 123
6.2. Saran ............................................................................. 124
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 126
LAMPIRAN......................................................................... 127
12

DAFTAR TABEL
Halaman

1. Luas areal dan produksi perkebunan kelapa Indonesia 9


2000-2009......................................................................................
2. Jenis data yang dikumpulkan ........................................................ 28
3. Aspek, variabel yang diteliti, sumber dan teknik pengumpulan 29
data.................................................................................................
4. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk kelapa ..................................... 30
5. Struktur data aktifitas .................................................................... 32
6. Struktur tabel LQ .......................................................................... 33
7. Sistem urutan (Ranking) Saaty ..................................................... 36
8. Struktur tabel LQ .......................................................................... 43
9. Sistem urutan (Ranking) Saaty ..................................................... 45
10. Kemiringan lereng di Kabupaten Lampung Barat dan 48
Luasannya......................................................................................
11. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2005.............................. 50
12. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Lampung Barat 51
tahun 2005 (dalan Jutaan Rupiah)..... ..........................................
13. Sarana jalan berdasarkan status pengelolaan di Lampung Barat. 51
14. Jumlah sarana pendidikan Per kecamatan berdasarkan jenis ..52
pendidikan......................................................................................
15. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Lampung Barat .......... 53
16. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Kabupaten 54
Lampung Barat Tahun 2006..........................................................
17. Luas areal, produksi dan produktifitas tanaman kelapa 55
Kabupaten Lampung Barat tahun 2004-2006..............................
18. Data Potensi dan Produksi Kelapa Dalam Kabupaten Lampung 55
Barat 2006.....................................................................................
19. Hasil analisis Location Quotient desa-desa pesisir Kabupaten 59
Lampung Barat............................................
20. Hasil analisis Skalogram desa-desa pesisir Kabupaten Lampung 65
Barat...............................................................................................
21. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa....................... 68
22. Kriteria Potensi Lokasi…………………….……………………. 72
23. Hasil Analisis Lokasi Potensial…………………………………. 75
24. Urutan prioritas faktor kriteria penentu pemilihan produk 80
unggulan Kawasan Usaha Terpadu (KUAT).................................
25. Urutan Prioritas Pemilihan Produk Kawasan Usaha Agro 86
Terpadu (KUAT) Kabupaten Lampung Barat ..............................
26. Persentase pemahaman petani dan pedagang menyangkut 89
program KUAT.............................................................................
27. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Produk Kelapa di Kabupaten 93
Lampung Barat...............................................................................
13

28. Harga Pasar Produk Kelapa di Kabupaten Lampung Barat Tahun 94


2004-2006......................................................................................
29. Konsumsi Produk Kelapa Per Kapita Kabupaten Lampung 107
Barat...............................................................................................
30. Perkembangan Konsumsi Kelapa dan Minyak Kelapa di propinsi 108
Lampung Tahun 2001-2005...........................................................
31. Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung Tahun 2001- 109
2006...............................................................................................
32. Perkembangan Permintaan Ekspor Produk Kelapa Indonesia 111
Tahun 2001-2006...........................................................................
33. Hasil Analisis Trend Permintaan Ekspor Produk Kelapa Dengan 113
Metode Kuadrat Terkecil...............................................................
34. Arahan Pengembangan Kawasan Agro Usaha Terpadu………… 115
14

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian................................................................... 23


2. Kerangka pemikiran penelitian.................................................... 27
3. Pohon industri kelapa ………………………………………..... 40
4. Peta wilayah administrasi Kabupaten Lampung Barat................. 42
5. Hasil analisis Location Quotient (LQ).......................................... 63
6. Hasil analisis Skalogram............................................................... 69
7. Hasil analisis Kesesuaian Lahan................................................... 71
8. Hasil Penentuan Lokasi Berdasarkan Over Lay LQ, Skalogram 74
dan Kesesuaian Lahan..................................................................
9. Alternatif Lokasi Kawasan Usaha Agro Terpadu........................ 77
10. Struktur Hirarki Pemilihan Produk Propektif............................... 79
11. Rantai Pemasaran Kelapa di Kabupaten Lampung Barat............. 91
12. Perkebunan Kelapa Rakyat di Kabupaten Lampung Barat.......... 95
13. Proses Pengupasan Kelapa........................................................... 96
14. Pohon Industri Daun Kelapa........................................................ 98
15. Pohon Industri Batang Kelapa ..................................................... 98
16. Pohon Industri Sabut Kelapa........................................................ 100
17. Pohon Industri Tempurung Kelapa............................................... 101
18. Pohon Industri Daging Buah Kelapa............................................ 102
19. Pohon Industri Air Kelapa............................................................ 102
20. Diagram Alur Permintaan Produk Kelapa.................................... 106
21. Grafik Konsumsi Kelapa di Kabupaten Lampung Barat.............. 107
22. Grafik Konsumsi Minyak Goreng di Kabupaten Lampung 107
Barat..............................................................................................
23. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung............................ 108
24. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung............................ 109
25. Grafik Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung........................ 110
26. Grafik Ekspor Produk Kelapa Indonesia..................................... 112
27. Grafik Ekspor Minyak Kelapa Indonesia .................................... 113
28. Grafik Proyeksi Permintaan Ekspor Produk Olahan Kelapa
Indonesia....................................................................................... 113
15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Analisis Location Quotient Komoditas Kelapa Dalam Per 130


Kecamatan di Kabupaten Lampung Barat.....................................
2. Hasil Analisis Tingkat Perkembangan Desa-desa Pesisir di 135
Kabupaten Lampung Barat ……………........................................
3. Pendapat Pakar tentang kriteria Produk Prospektif ...................... 147
4. Perhitungan Trend Permintaan dengan Metode Kuadrat 151
Terkecil...........................................................................................
16

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai
tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah
kesenjangan dan isu globalisasi. Isu globalisasi ini menuntut tiap daerah untuk
mampu bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi
berimplikasi kepada propinsi dan kabupaten/kota, untuk melaksanakan percepatan
pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan
dan produk andalannya. Percepatan pembangunan ini bertujuan agar daerah tidak
tertinggal dalam persaingan pasar bebas, seraya tetap memperhatikan masalah
pengurangan kesenjangan. Karena itu seluruh pelaku memiliki peran mengisi
pembangunan ekonomi daerah dan harus mampu bekerjasama melalui bentuk
pengelolaan keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar
daerah (Bappenas 2006).
Pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian internal dari
pembangunan nasional dan tidak dapat dipisahkan dari pola pembangunan
nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan merata di seluruh
wilayah tanah air. Dengan demikian dalam pelaksanaan pembangunan tersebut
memerlukan suatu perencanaan yang strategis dan didukung oleh ketersediaan
dana serta partisipasi masyarakat sebagai subyek pembangunan untuk
meningkatkan pemerataan pertumbuhan dan pembangunan di segala bidang.
Todaro (1983) menyatakan bahwa pembangunan mengandung nilai-nilai
hakiki yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar,
yang terdapat pada hampir semua masyarakat/kultur di segala jaman. Nilai-nilai
tersebut adalah kebutuhan hidup, harga diri dan kebebasan.
Dalam PJP II kebijaksanaan pembangunan yang berorientasi pedesaan
harus merupakan kebijaksanaan sentral yang perlu dipertahankan, oleh karena itu
sektor pertanian tetap akan menjadi tumpuan pembangunan ekonomi dengan
peningkatan kualitas dari sekedar orientasi pada usaha tani untuk mencukupi
kebutuhan (product oriented) menjadi kegiatan-kegiatan yang berwawasan
17

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented)


(Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002).
Lebih lanjut Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2002) menegaskan
bahwa tujuan pembangunan pertanian adalah:
1. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan.
2. Meningkatkan perluasan lapangan kerja, kesempatan usaha, dan produksi
usaha pertanian.
3. Meningkatkan daya saing hasil pertanian dan pemanfaatan serta perluasan
pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri
4. Terpeliharanya kemantapan swasembada pangan serta kualitas gizi
masyarakat.
5. Meningkatnya kemampuan kelembagaan pertanian dalam mengembangkan
agrobisnis dan agroindustri.
Oleh karena itu pemerintah daerah di era otonomi ini dituntut untuk kreatif
merumuskan strategi pembangunan wilayah dengan memanfaatkan potensi lokal
yang dimiliki oleh setiap daerah. Potensi lokal meliputi, sumberdaya manusia,
kedudukan wilayah, dukungan politik lokal, dan sumberdaya alam (SDA).
Prinsip penting dalam pelaksanaan pendekatan pembangunan wilayah
yang utuh dan terpadu adalah kemampuan menemukenali potensi wilayah yang
ada untuk dikembangkan dengan berbagai masukan program pembangunan.
Dengan telah ditemukenalinya potensi wilayah, maka berbagai program
pembangunan dapat diarahkan sesuai dengan tingkat perkembangan masing-
masing wilayah (LPPM-IPB, 2002).
Dengan adanya preferensi program berdasarkan perkembangan potensi
wilayah diharapkan tidak terjadi generalisasi program pembangunan untuk
masing-masing wilayah. Sebaliknya akan terjadi spesialisasi program
pembangunan berdasarkan potensi wilayah yang ada. Dengan pendekatan
spesialisasi program yang proporsional pada gilirannya diharapkan pelaksanaan
berbagai program pengembangan wilayah akan dapat dilakukan secara efisien,
efektif dan akurat, yang pada akhirnya dapat mencapai hasil yang optimal (LPPM-
IPB, 2002). Optimalisasi pencapaian program pembangunan tidak terlepas dari
kejelian pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada.
18

Menurut Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2002) beberapa pertimbangan


yang perlu diperhatikan dalam penetapan suatu potensi Sumber Daya Alam
(SDA) sebagai sektor unggulan antara lain:
1. Secara fisik potensi lahan yang tersedia memiliki kesesuaian/cocok untuk
budidaya komoditi tertentu dan memiliki luas yang memungkinkan
tersedianya produksi sebagai pasokan industri yang akan dikembangkan antara
lain : Agroindustri.
2. Secara fisik potensi lahan yang tersedia cocok untuk pengembangan suatu
kawasan industri.
3. Bidang usaha yang dikembangkan dengan memanfaatkan potensi SDA dan
lahan yang tersedia memiliki peluang pasar yang besar baik lokal, regional,
nasional maupun ekspor, sehingga memungkinkan pengembalian investasi
yang besar.
4. Bidang usaha yang dikembangkan dengan memanfaatkan potensi SDA dan
lahan yang tersedia berdampak positif bagi pengembangan lapangan usaha
baru dan kesempatan kerja sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan
pendapatan masyarakat.
Berbagai upaya telah, sedang dan akan ditempuh pemerintah daerah dalam
memacu pertumbuhan ekonomi wilayah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi
diupayakan melalui perbaikan sarana dan prasarana pendukung, peningkatan
kualitas sumberdaya manusia dan peluncuran program pembangunan wilayah
berbasis komoditi tertentu.. Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya
untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil
kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah.
Rustiadi dan Hadi (2006) menyatakan bahwa strategi pembangunan
wilayah yang pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan
disparitas pembangunan wilayah antara lain:
1. Secara nasional dengan membentuk Kementerian Negara Percepatan
pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
2. Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial
berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan-kawasan
19

seperti (1) Kawasan Andalan (Kadal); (2) Kawasan Pembangunan Ekonomi


Terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di setiap propinsi.
3. Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong pembangunan
kawasan perdesaan dan sentra prosuki pertanian seperti : (1) Kawasan Sentra
Produksi (KSP) atau Kasep; (2) Pengembangan kawasan perbatasan; (3)
Pengembangan kawasan tertinggal; (4) Proyek pengembangan ekonomi lokal.
4. Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah : (1) Pewilayah
komoditas unggulan; (2) Pengembangan Sentra Industri Kecil; (3)
Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), dan lain-lain
Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan diharapkan dapat
memacu pertumbuhan suatu wilayah yang pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Beberapa wilayah memiliki keunggulan pada sektor
pertanian yang sebagian besar merupakan usaha tani rakyat. Salah satu model
pengembangan wilayah berbasis komoditas saat ini yang sedang dikembangkan
oleh beberapa wilayah adalah komoditas kelapa. Tercatat beberapa daerah seperti
Sulawesi Selatan dengan Program Implementasi Gerbang Emas Agroindustri
Pengolahan Kelapa Terpadu, dan Kabupaten Lampung Barat dengan Program
Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT) berbasis Komoditas Kelapa.
Program KUAT merupakan salah satu strategi Pemerintah Kabupaten
Lampung Barat dalam pengembangan komoditas unggulan melalui pendekatan
klaster agroindustri. Program ini dilaksanakan atas dukungan Depertemen
Perindustrian (Depperin) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), dengan komoditas basis kelapa.
Dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, petani kelapa di berbagai
negara termasuk Indonesia berada pada posisi yang tidak menguntungkan, karena
rendahnya produktivitas serta harga kopra yang rendah dan fluktuatif. Akibat
rendahnya pendapatan, petani kelapa menjadi kurang termotivasi untuk
mengadopsi teknologi anjuran untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usaha tani (Tarigans, 2003).
Kondisi tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi secara
sungguh-sungguh. Untuk itu pemberdayaan petani kelapa dalam rangka
meningkatkan pendapatan dan sekaligus mengentaskan kemiskinan merupakan
20

upaya yang strategis. Pemberdayaan petani kelapa melalui program KUAT


dilakukan secara terpadu dalam sistem agribisnis, mulai dari tahap on farm sampai
dengan off farm yang diwujudkan melalui pendirian pabrik pengolahan serta
pemasaran produk dan optimalisasi sarara dan prasarana pendukung.
Guna mendukung program KUAT tersebut diperlukan studi mendalam
tentang keuntungan komparatif, keuntungan kompetitif, kondisi harga, produk
turunan yang berdaya saing, kondisi sumberdaya manusia, tipologi wilayah dan
pandangan stakeholder tentang program ini.

1.2. Perumusan Masalah


Sebagai daerah dengan wilayah pegunungan dan pesisir potensi terbesar
berasal dari sektor pertanian tanaman pangan, hortikultura, kehutanan dan
perkebunan. Komoditas perkebunan utama yang terdapat di Kabupaten
Lampung Barat adalah Kopi, Lada, Cengkeh , Kelapa Sawit dan Kelapa Dalam.
Budidaya pertanian di Kabupaten Lampung Barat sebagian besar
merupakan usaha tani rakyat dengan input teknologi yang sangat sederhana. Hal
ini berdampak pada rendahnya produksi dan mutu produk. Dampak dari
kenyataan tersebut adalah nilai jual produk sangat murah dan pada akhirnya
mengakibatkan pendapatan petani menjadi sangat rendah.
Pemerintah Pusat dan Daerah terus berupaya meningkatkan produktifitas
hasil pertanian rakyat. Berbagai upaya ditempuh guna memacu perbaikan
pendapatan masyarakat. Namun hal ini belum berjalan secara efektif, disebabkan
program yang bersifat sektoral, sumberdaya manusia petani yang rendah, luasnya
wilayah dan besarnya jumlah petani disamping itu pemerintah memiliki
keterbatasan anggaran pembangunan.
Salah satu komoditas unggulan yang diusahakan oleh masyarakat
Kabupaten Lampung Barat secara turun-temurun adalah kelapa dalam (Cocos
nucifera L). Menurut Supadi dan Nurmanaf (2006) dalam perekonomian
Indonesia, kelapa merupakan salah satu komoditas strategis karena perannya yang
besar bagi masyarakat sebagai sumber pendapatan, sumber utama minyak dalam
negeri, sumber devisa, sumber bahan baku industri (pangan, bangunan, farmasi,
oleokimia), dan sebagai penyedia lapangan kerja. Namun demikian, bila dilihat
21

dari segi pendapatan petani, potensi ekonomi kelapa yang sangat besar itu belum
dimanfaatkan secara optimal karena adanya berbagai masalah internal baik dalam
proses produksi, pengolahan, pemasaran maupun kelembagaan (Kasryno et al.,
1998, dalam Supadi dan Nurmanaf, 2006).
Usaha tani kelapa dalam di Kabupaten Lampung Barat dilakukan secara
tradisional dengan input sarana produksi yang sangat minimum atau bahkan tidak
sama sekali. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan modal ditambah keyakinan
yang berlaku di kalangan masyarakat bahwa usaha tani ini tidak memerlukan
pemupukan. Dampaknya adalah rendahnya produktifitas perkebunan kelapa
rakyat. Menurut data statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat
Tahun 2005, luas areal tanaman kelapa mencapai 6.326 Ha dengan produksi
mencapai 2.413,0 ton. Sedangkan produktifitas tergolong sangat rendah yaitu
681 Kg/Ha/Tahun dalam bentuk Kopra.
Rendahnya penghasilan yang diperoleh dari kelapa menyebabkan petani
tidak memiliki modal untuk memelihara kebun secara intensif, apalagi menggarap
lahan perkebunan secara optimal maupun mengolah hasil (Supadi dan Nurmanaf,
2006). Di sisi lain pola usaha tani monokultur yang diterapkan sebagian besar
petani saat ini, dan pola usaha tani polikultur yang masih bersifat subsisten, telah
membatasi petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih layak.
Produk kelapa yang dihasilkan masyarakat baru berbentuk kelapa butir
dan kopra, dengan demikian nilai tambah komoditas sangat rendah. Variasi
produk kelapa yang belum dikembangkan ini disebabkan belum tumbuhnya
budaya diversifikasi produk olahan kelapa di kalangan masyarakat. Hal ini tidak
terlepas dari rendahnya pengetahuan tentang produk turunan kelapa dalam,
disamping teknologi pengolahan yang juga belum dikenal di kalangan
masyarakat.
Menurut Supadi dan Nurmanaf (2006), produk usaha tani yang dihasilkan
masih bersifat tradisional, yaitu kelapa butiran dan kopra berkualitas rendah.
Pemanfaatan hasil samping belum banyak dilakukan oleh petani, sehingga nilai
tambah dari usaha tani belum diperoleh secara optimal. Hanya sebagian kecil
petani yang telah memanfaatkan hasil samping seperti sabut dan tempurung.
22

Dalam pemasaran kelapa, petani di Kabupaten Lampung Barat melakukan


penjualan kepada pedagang pengumpul desa, selanjutnya dibawa kepada
pedagang pengumpul kecamatan, dan pabrik minyak kelapa di Bandar Lampung.
Pada prinsipnya, dalam hal pemasaran petani dirugikan oleh praktek pasar
monopsoni dari industri dan pedagang yang menentukan harga secara sepihak.
Posisi tawar yang lemah berdampak pada ketidakberdayaan petani di hadapan
para pedagang.
Permasalahan lain yang menjadi pembatas pengembangan usaha tani
kelapa adalah belum tersedianya industri pengolahan kelapa dan hasil ikutannya
di Kabupaten Lampung Barat. Kenyataan di atas menyebabkan lambannya
pengembangan produk hasil kelapa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diajukan beberapa
pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa dalam ? dan produk
apa yang akan dikembangkan dari komoditas kelapa?
2. Dimana calon lokasi KUAT yang representatif?
3. Bagaimana persepsi stakeholder atas program KUAT?
4. Bagaimana arahan pengembangan KUAT berbasis komoditas kelapa dalam di
Kabupaten Lampung Barat?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi lokasi pengembangan KUAT.
2. Mengidentifikasi produk peospektif yang akan dikembangkan dalam
program KUAT.
3. Mengidentifikasi persepsi stakeholder tentang program KUAT berbasis
kelapa.
4. Mengkaji prospek pemasaran produk kelapa dalam serta turunannya.
5. Menyusun arahan program KUAT di Kabupaten Lampung Barat Propinsi
Lampung.
23

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komoditas Kelapa


Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan komoditas strategis yang memiliki
peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat
diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman
kelapa mempunyai manfaat yang besar. Demikian besar manfaat tanaman kelapa
sehingga ada yang menamakannya sebagai "pohon kehidupan" (the tree of life)
atau "pohon yang amat menyenangkan" (a heaven tree) (Asnawi dan Darwis
1985). Kelapa selain dijuluki sebagai "pohon kehidupan", juga menamakannya
sebagai "pohon surga". Kelapa merupakan tanaman tropis yang telah lama dikenal
masyarakat Indonesia.
Sekitar tahun enampuluhan, tanaman kelapa merupakan tanaman yang
memiliki posisi strategis terutama sebagai bahan baku untuk pembuatan minyak
goreng. Pada era itu sampai tahun delapanpuluhan, tanaman kelapa dapat disebut
berjaya, sehingga luas areal tanamnya mendominasi lahan di berbagai daerah
termasuk di Kabupaten Lampung Barat. Namun saat ini posisi kelapa sebagai
bahan baku utama minyak goreng telah digeser oleh kelapa sawit (CPO).
Akibatnya kebutuhan kopra dari waktu ke waktu semakin menurun (Disbun
Lampung Barat, 2007).
Kelapa merupakan tanaman tropis yang telah lama dikenal masyarakat
Indonesia. Hal ini terlihat dari penyebaran tanaman kelapa di hampir seluruh
wilayah Nusantara, yaitu di Sumatera dengan areal 1,20 juta ha (32,90%), Jawa
0,903 juta ha (24,30%), Sulawesi 0,716 juta ha (19,30%), Bali, NTB, dan NTT
0,305 juta ha (8,20%), Maluku dan Papua 0,289 juta ha (7,80%), dan Kalimantan
0,277 juta ha (7,50%). Kelapa diusahakan petani baik di kebun maupun
pekarangan (Nogoseno, 2003 dalam Supadi dan Nurmanaf, 2006).
Supadi dan Nurmanaf (2006) menjelaskan bahwa kelapa merupakan
tanaman perkebunan dengan areal terluas di Indonesia, lebih luas dibanding karet
dan kelapa sawit, dan menempati urutan teratas untuk tanaman budi daya setelah
24

padi. Kelapa menempati areal seluas 3,70 juta ha atau 26% dari 14,20 juta ha
total areal perkebunan. Sekitar 96,60% pertanaman kelapa dikelola oleh petani
dengan rata-rata pemilikan 1 ha/KK (Allorerung dan Mahmud 2003), dan
sebagian besar diusahakan secara monokultur (97%), kebun campuran atau
sebagai tanaman pekarangan.
Luas areal dan produksi perkebunan kelapa di Indonesia periode 2000-
2006 dan prediksi 2007, 2008, dan 2009 disajikan pada Tabel 1. Rata-rata
produksi kelapa Indonesia dari perkebunan Rakyat pada periode 2000–2005
adalah sebesar 3.036.759 ton pertahun, sedangkan rata-rata produksi dari hasil
prediksi selama 2006–2009 adalah 3.187.695 ton, atau meningkat sekitar 5 persen.
Tabel 1. Luas areal dan produksi perkebunan kelapa Indonesia 2000-2009
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
PR PBN PBS JUMLAH PR PBN PBS JUMLAH
2000 3.061.698 13.891 75.825 3.691.414 2.951.005 9.038 84.945 3/044.528
2001 3.818.946 8.006 70.515 3.897.467 3.068.997 8.272 85.749 3.163.018
2002 3.806.032 7.070 71.848 3.884.950 3.010.894 4.815 82.787 3.098.496
2003 3.785.343 5.838 121.949 3.913.130 3.136.360 2.629 115.865 3.254.854
2004 3.723.879 4.883 68.242 3.797.004 3.000.839 4.489 49.183 3.054.511
2005* 3.735.838 6.127 61.649 3.803.614 3.052.461 3.659 40.724 3.096.844
2006** 3.749.844 6.148 61.804 3.817.796 3.112.040 3.672 41.164 3.156.876
2007** 3.777.100 6.193 62.253 3.854.546 3.212.914 3.791 42.498 3.259.203
2009** 3.790.728 6.215 62.478 3.859.421 3.263.172 3.850 43.163 3.310.185

Sumber : Disbun Lampung Barat


*) : Angka sementara
**) : Angka estimasi dengan model double exponential smoothing
PR : Perkebunan Rakyat
PBN : Perkebunan Besar Negara
PBS : Perkebunan Besar Swasta
Akhir-akhir ini kebutuhan akan biji kelapa, air kelapa dan arang batok
kelapa kembali meningkat, seiring dengan pertumbuhan penduduk. Diperkirakan
pada masa mendatang kebutuhan akan komoditas ini akan semakin meningkat,
mengingat pola hidup masyarakat Indonesia sulit dilepaskan dari komoditas
kelapa dan hasil olahannya. Tanaman kelapa juga merupakan salah satu dari
sebelas komoditas andalan perkebunan penghasil devisa negara, sumber
pendapatan asli daerah (PAD), sumber pendapatan petani dan masyarakat.
Dengan demikian komoditas kelapa diharapkan dapat membantu mengentaskan
25

kemiskinan di daerah dan dapat mendorong perkembangan agroindustri serta


pengembangan wilayah (Disbun Lampung Barat, 2007).
Kabupaten Lampung Barat memiliki potensi yang besar dalam
pengembangan komoditas kelapa. Namun demikian upaya pengembangan
komoditas kelapa dalam dihadapkan pada berbagai kendala antara lain: (i)
produktifitas yang masih rendah (di bawah normal), karena banyak kelapa
berumur di atas 20 tahun, dan budidaya dengan bibit asalan, (ii) rendahnya
pendanaan khususnya untuk perkebunan, (iii) kebijakan pembangunan yang
belum mendukung sektor perkebunan, dan (iv) industri hilir yang belum
berkembang, sehingga sebagian besar produk dijual dalam bentuk produk primer
(Disbun Lampung Barat, 2007).

2.2. Agroindustri Kelapa


Agroindustri merupakan perusahaan yang mengolah bahan baku pertanian
yang berasal dari tanaman atau hewan menjadi barang setengah jadi atau produk
akhir. Pengolahan yang dimaksud meliputi transformasi dan pengawetan melalui
perubahan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi (Austin,
1992 dalam Brown, 1994).
Menurut Tadjudin (2007), agroindustri dalam sistem pertanian merupakan
penyempurnaan yang merangkai semua komponen menjadi satu kesatuan yang
kuat. Ini berarti bahwa pengembangan agroindustri mempunyai keterkaitan ke
depan memenuhi permintaan pasar melalui penguatan industri hilir dan ke
belakang memberikan nilai tambah terhadap produk pertanian. Keterpaduan yang
dibangun melalui pengembangan agroindustri mempunyai dimensi yang amat luas
mulai dari penguatan pasar hasil pertanian sampai dengan pembentukan nilai
tambah dan daya saing komoditas pertanian.
Pada dasarnya seluruh bagian buah kelapa dapat diolah menjadi berbagai
produk untuk berbagai keperluan. Teknologi pengolahan, standar mutu dan
sistem sertifikasinya juga sudah dikuasai oleh tenaga ahli Indonesia. Namun
berbagai kelemahan masih melekat di Industri pengolahan kelapa kita seperti
suplai bahan baku, karena industri tidak memiliki kebun kelapa dan investasi yang
relatif besar sehingga kurang menarik investor (FOKPI, 2006).
26

Allorerung dan Lay (1998) menyatakan bahwa kelapa sebagian besar


diolah menjadi kopra yang selanjutnya diolah menjadi minyak goreng. Namun
usaha ini semakin lemah baik dalam perdagangan domestik maupun luar negeri
karena tersaingi oleh minyak kelapa sawit. Selain diolah menjadi minyak, kini
telah berkembang diversifikasi produk kelapa seperti dessicated coconut, gula
kelapa, nata de coco, berbagai produk daging kelapa, kelapa parut kering, arang
tempurung, serat sabut kelapa, mebel kayu kelapa dan akhir-akhir ini berkembang
santan siap saji dengan berbagai kemasan.

Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi


tinggi sangat besar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain Virgin
Coconut Oil (VCO), Oleochemical (OC), Desicated Coconut (DC), Coconut
Milk/Cream (CM/CC), Coconut Charcoal (CCL), Activated Carbon (AC), Brown
Sugar (BS), Coconut Fiber (CF) dan Cocon Wood (CW), yang diusahakan secara
parsial maupun terpadu. Pelaku agribisnis produk-produk tersebut mampu
meningkatkan pendapatannya 5-10 kali dibandingkan dengan bila hanya menjual
produk kopra. Berangkat dari kenyataan luasnya potensi pengembangan produk,
kemajuan ekonomi perkelapaan di tingkat makro (daya saing di pasar global)
maupun mikro (pendapatan petani, nilai tambah dalam negeri dan substitusi
impor) tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri
kelapa secara kluster sebagai prasyarat (Allorerung et al. 2005).

Industri pengolahan kelapa pada saat ini masih didominasi oleh produk
setengah jadi berupa kopra dan coconut crude oil (CCO). Produk olahan lainnya
yang sudah mulai berkembang adalah CC, nata decoco (ND), DC, AC, CF, dan
brown sugar (BS). Perkembangan CCO dalam 10 tahun terakhir menunjukkan
laju yang menurun (-0,2%). Di sisi lain laju perkembangan produk hilir cenderung
meningkat. Sebagai contoh, laju perkembangan DC mencapai 7,8%, di mana
tahun 2002 total produksinya mencapai 194,2 juta butir; laju perkembangan
produksi AC sebesar 9%; laju perkembangan produksi serat sabut menurun -
10,2%, walaupun permintaan CF di luar negeri meningkat. Kecenderungan
penurunan laju tersebut terkait dengan dampak tidak terpenuhinya standar ekspor
produk serat sabut asal Indonesia. Situasi ini mengindikasikan terjadinya
27

pergeseran orientasi produksi dari bahan setengah jadi menjadi produk akhir
(Allorerung et al. 2005).
Kegiatan industri kelapa terpadu akan memberi dua keuntungan sekaligus
yakni pertama menguntungkan dari segi agrobisnis dan yang kedua turut menjaga
kelestarian alam. Kelapa merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
mempunyai luas areal terbesar di kabupaten Lampung Barat yang sampai saat ini
belum banyak disentuh para investor, sedangkan potensi yang ada seperti telah
diuraikan diatas bila didayagunakan akan memberi keuntungan dari segi bisnis.
Disamping itu, bagi pemerintah daerah dan masyarakat akan merupakan sumber
penghasilan tambahan.

Berkurangnya pamor kelapa dengan maraknya perkebunan kelapa sawit


karena sudut pandang terhadap produk kelapa hanya terbatas pada produk minyak,
sedangkan produk ikutan lainnya belum digarap secara maksimal. Pengembangan
agroindustri kelapa di Kabupaten Lampung Barat dirasa sangat perlu untuk segera
direalisasikan mengingat potensi lokal yang dimiliki sangat besar. Selain itu
diharapkan agroindustri kelapa dapat menjadi motor penggerak (prime mover)
bagi perekonomian masyarakat dan wilayah.

2.3. Pengembangan Wilayah


Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau
aspek fungsional. Sedangkan kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi
utama lindung atau budi daya.
Konsep wilayah diklasifikasikan menjadi wilayah homogen, wilayah
fungsional dan wilayah perencanaan. Wilayah homogen adalah wilayah yang
dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah
tersebut homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam
(heterogen). Wilayah fungsional diklasifikasikan berdasarkan fungsinya, yang
memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan
tidak terpisahkan dalam kesatuan. Konsep Wilayah Fungsional menjelaskan
28

adanya wilayah nodal dan wilayah plasma. Wilayah nodal sebagai inti. Inti
merupakan pusat-pusat pelayanan atau pemukiman sedangkan plasma adalah
daerah belakang yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan
fungsional. Konsep Wilayah Perencanaan adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan kenyatan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut, yang bisa bersifat
alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan
dalam kesatuan wilayah perencanaan (Rustiadi et al. 2006).
Dengan memahami konsep wilayah diharapkan para perencana dalam
melakukan pendekatan lebih memperhatikan komponen-komponen penyusunan
wilayah tersebut yang saling berinteraksi dan mengkombinasikan potensi dari
masing-masing komponen sehingga tercipta suatu strategi pembangunan dan
pengembangan wilayah yang baik dan terarah.
Lebih lanjut Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa di Indonesia saat ini
telah dikenal berbagai wilayah perencanaan/pengelolaan berbasis sitem ekologi
seperi kesepakatan pengelolaan wilayah berbasis bioregion, penetapan status
kawasan-kawasan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan lain-lain. Wilayah
perencanaan/pengelolaan seperti kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET), Free
Trade Zone, Kawasan Andalan, Kawasan Sentra Produksi sehingga Agropolitan
merupakan penetapan kawasan-kawasan terencana dan pengelolaan yang
dilaksanakan pada pemahaman konsep-konsep wilayah sebagai sistem ekonomi.
Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki
tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan
pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Berbagai konsep
pengembangan wilayah yang pernah diterapkan (Bappenas, 2006) adalah:
1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya, yaitu: (1)
pengembangan wilayah berbasis sumberdaya; (2) pengembangan wilayah
berbasis komoditas unggulan; (3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi;
(4) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.
2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi
wilayah ke dalam: (1) pusat pertumbuhan; (2) integrasi fungsional; (3)
desentralisasi.
29

3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan kerjasama


antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah tertinggal.
4. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan klaster. Konsep ini terfokus pada
keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi
sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Klaster
yang berhasil adalah klaster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan
keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal.
Selanjutnya konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada
prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik
daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai
keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Bappenas, 2006).
Hal yang mendasar dalam analisis kelayakan ekonomi pengembangan
kawasan yaitu perlunya mengenali potensi lokasi, potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan; sehingga akan terjadi efisiensi
tindakan. Dengan usaha yang minimum akan diperoleh hasil yang optimum yang
kesemuanya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran
bagi seluruh masyarakat, serta terjadinya investasi dan mobilisasi dana.
Dalam pengembangan kawasan yang terkait dengan industri perlu
dilaksanakan pewilayahan agar tercipta keserasian secara sosial ekonomi dan
lingkungan serta budaya masyarakat sekitar. Menurut Dirdjojuwono (2004)
seringkali pewilayahan menjadi suatu masalah dalam pemanfaatan lahan.
Keharmonisan kawasan perindustrian kecil dengan lingkungan sekitarnya dapat
dicapai melalui penelaahan rancangan dan persetujuan perencanaan lokasi. Oleh
karena itu perencaan kawasan industri harus benar-benar dirancang sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan korban sosial yang besar. Pembangunan
kawasan industri hendaknya tidak mengesampingkan kepentingan perkembangan
dan kesejahteraan pemukiman penduduk serta tidak mengabaikan sektor lain
seperti pertanian.
30

2.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan


Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptibility) suatu lahan untuk tipe
penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi kesesuaian lahan pada
hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk satu penggunaan tertentu, seperti
untuk budidaya kelapa. Hal ini dapat dilakukan dengan menginterpretasikan peta-
peta yang dapat mengambarkan kondisi biofisik lahan seperti peta tanah, peta
topografi, peta geologi, peta iklim dan sebagainya dalam kaitannya dengan
kesesuaian tanaman kelapa dan tindakan pengelolaan yang diperlukan.
Adapun parameter yang dinilai dalam evaluasi lahan adalah kualitas lahan
yang dicerminkan oleh karakteristik lahan yang nyata berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman. Sistem klasifikasi kesesuaian lahan yang banyak dipakai
adalah berdasarkan sistem yang dikembangkan oleh FAO (1976).
Secara hirarki kelas-kelas kesesuaian lahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kelas sangat sesuai (S1). Lahan ini tidak mempunyai faktor pembatas yang
berarti untuk penggunaan terhadap suatu tujuan secara berkelanjutan atau
hanya sedikit faktor pembatas yang tidak akan mengurangi produktivitas atau
keuntungan terhadap lahan tersebut.
2. Kelas cukup sesuai (S2). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang berat
untuk penggunaan secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas
atau keuntungan terhadap lahan ini.
3. Kelas hampir sesuai (S3). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat
berat untuk penggunaan secara berkelanjutan dan akan mengurangi
produktivitas dan keuntungan terhadap pemanfaatannya.
4. Kelas tidak sesuai saat ini (N1). Lahan ini mempunyai faktor pembatas yang
sangat berat untuk penggunaan secara berkelanjutan sehingga menghambat
dan menghalangi beberapa kemungkinan untuk pemanfaatannya. Tetapi
hambatan itu masih dapat diatasi atau diperbaiki dengan tingkat pengelolaan
tertentu. Kelas tidak sesuai selamanya (N2). Lahan ini tidak sesuai selamanya,
karena jenis faktor penghambat yang permanen.
31

2.5. Keunggulan Komparatif Wilayah (Location Quatient Analysis)


Location Quotient Analysis (LQ) merupakan metode analisis yang umum
digunakan di bidang ekonomi geografi. Metode analisis ini digunakan untuk
menunjukan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Selain itu LQ juga bisa digunakan
untuk megetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat
kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. LQ merupakan suatu
indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan
pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktivitas wilayah. Secara operasional
LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas pada sub wilayah
terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati (Saefulhakim,
2006).
Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian,
mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur
konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam
penetapan sektor unggulan sebagai leading sektor suatu kegiatan ekonomi
(industri). Location Quotient (LQ) merupakan suatu indeks untuk
membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total
aktifitas tersebut dalam total aktifitas wilayah. Secara lebih operasional, LQ
didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i
terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang
digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam,
(2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan
produk yang sama (Hendayana, 2003).

2.6. Hirarki Wilayah (Analisis Skalogram)


Metode yang digunakan untuk menentukan hirarki wilayah adalah metode
skalogram. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh
setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini
bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap
wilayah, atau menuliskan ada/tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah tanpa
memperhatikan jumlah/kuantitasnya (Saefulhakim, 2006).
32

Analisis skalogram dilakukan untuk menentukan hirarki desa di lokasi


penelitian. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh
setiap unit desa didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini bisa
digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas setiap desa, atau menuliskan
ada/tidaknya fasilitas tersebut disuatu desa tanpa memperhatikan
jumlah/kuantitasnya

2.7. Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)


Proses Hierarki Analitik (PHA) atau dalam Bahasa Inggris disebut
Analytical Hierarchy Process (AHP), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L.
Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat pada
tahun 1970-an. AHP pada dasarnya didisain untuk menangkap secara rasional
persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu
melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara
berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model
permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk
memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang memerlukan
pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka,
pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama
sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman
ataupun intuisi. AHP ini juga banyak digunakan pada keputusan untuk banyak
kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-
strategi yang dimiliki dalam situasi konflik.
AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan
dengan pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami
suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil
keputusan.
Beberapa keuntungan dari penggunaan metode AHP antara lain adalah :
1. Dapat mempresentasikan suatu sistem yang dapat menjelaskan bagaimana
perubahan pada level yang lebih tinggi mempunyai pengaruh terhadap unsur-
unsur pada level yang lebih rendah.
33

2. Membantu memudahkan analisis guna memecahkan persoalan yang kompleks


dan tidak terstruktur dengan memberikan skala pengukuran yang jelas guna
mendapatkan prioritas.
3. Mampu mendapatkan pertimbangan yang logis dalam menentukan prioritas
dengan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. Mengukur secara komprehensif pengaruh unsur-unsur yang mempunyai
korelasi dengan masalah dan tujuan, dengan memberikan skala pengukuran
yang jelas.

2.8. Marjin Pemasaran


Marjin pemasaran diartikan sebagai perbedaan harga pada tingkat
produsen dengan harga di tingkat konsumen. Analisis marjin pemasaran dapat
digunakan untuk melihat efisiensi dan efektivitas pemasaran. Marjin pemasaran
terbagi dan tersebar diantara para pelaku pemasaran seperti petani sebagai
produsen, pedagang pengumpul, pedagang semantara, eksportir (apabila
komoditas diekspor).
Menurut Damanik dan Sientje (1992) pemasaran itu sendiri bagi usaha
tani kelapa mengandung arti bagaimana keadaan; harga produk, saluran distribusi,
transportasi, keuntungan komparatif dari ragam produk kelapa yang spesifik dan
lain sebaginya. Pada tingkat petani produsen penataan pemasaran kelapa sangat
penting karena situasi pertanaman kelapa yang umumnya menyebar di seluruh
wilayah. Karena itu diperlukan jasa pedagang perantara untuk menyalurkan
produksi sampai ke pedagang besar atau pabrik minyak kelapa.

2.9. Analisis Permintaan (Demand )

Konsep dasar dari permintaan konsumen adalah kuantitas suatu komoditas


yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu
tertentu pada berbagai tingkat harga, faktor lain tidak berubah. Permintaan pasar
adalah agregat dari permintaan individu-individu konsumen (Swastika, 1999).
Permintaan dapat diekspresikan dalam bentuk kurva yang menunjukkan hubungan
negatif antara jumlah barang yang diminta pada berbagai tingkat harga.
34

Permintaan pasar ekspor produk olahan kelapa umumnya menunjukkan


trend yang meningkat. Sebagai contoh, pangsa pasar Desicated Coconut (DC)
Indonesia terhadap ekspor DC dunia cenderung meningkat dalam lima tahun
terakhir. Kecenderungan yang sama terjadi pada arang aktif. Sebaliknya pangsa
ekspor Crude Coconut Oil (CCO) mengalami penurunan. Situasi ini
mengisyaratkan perlunya mengarahkan pengembangan produk olahan pada
produk-produk baru yang permintaan pasarnya cenderung meningkat (Demand
Driven) (Allorerung et al ., 2005).

Aspek demand masyarakat atas produk kelapa dapat dilihat melalui


kecenderungan permintaan masyarakat. Bila dibandingkan dengan produksi
kelapa dalam suatu wilayah, analisis permintaan dapat menggambarkan seberapa
besar tingkat kebutuhan pasar akan produk kelapa. Analisis permintaan ini akan
mengkaji tingkat permintaan dalam negeri (domestik) dan luar negeri .

2.10. Pohon Industri


Pohon industri merupakan gambaran diversifikasi produk suatu komoditas
dan turunannya secara skematis. Produk kelapa dalam dan turunannya mulai
dari daun, bunga, umbut, pelepah, sabut, tempurung, daging buah, air kelapa
sampai dengan batang diuraikan dalam suatu skema. Skema ini menggambarkan
keragaman produk akhir yang dapat dikembangkan dari komoditas kelapa dalam.

Menurut Allorerung et al. (2005), produk akhir kelapa yang sudah


berkembang dengan baik saat ini adalah adalah Desicated Coconut (DC), Coconut
Milk/Cream (CM/CC), Coconut Charcoal (CCL), Activated Carbon (AC), Brown
Sugar (BS), Nata de Coco (ND) dan Coconut Fiber (CF). Yang baru mulai
berkembang adalah Virgin coconut Oil (VCO) dan Coconut Wood (CW). Produk
DC, CCL, AC, BS, dan CF sudah masuk pasar ekspor dengan perkembangan yang
pesat, kecuali CF yang perkembangan ekspornya kurang karena belum
terpenuhinya standar, walaupun permintaan dunia terus meningkat. Kopra dan
Coconut Crude Oil (CCO) sebagai produk setengah jadi diharapkan dapat diolah
lebih lanjut menjadi produk oleochemical (OC), di mana Indonesia masih menjadi
pengimpor neto.
35

2.11. Sistem Informasi Geografis (SIG)


Pada era teknologi informasi seperti sekarang ini keberadaan sistem
analisis yang cepat, akurat dan murah sudah menjadi suatu hal yang tidak dapat
ditawar lagi. Perkembangan teknologi di bidang komputer semakin mempercepat
dan mempermudah berbagai bidang pekerjaan. Teknologi yang saat ini terus
berkembang dan menjadi bagian dari kehidupan moderen adalah sistem Informasi
Geografis (SIG).
Menurut Aronoff (1989) dalam Barus dan Wiradisastra (2000), SIG
adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk
menangani data bereferensi geografi yang mencakup (a) pemasukan, (b)
manajemen penyimpanan data dan pemanggilan kembali, (c) manipulasi dan
analisis, dan (d) pengembangan produk percetakan. Dalam pengertian yang lebih
luas lagi dalam SIG selain perangkat keras dan lunak, juga pemakai dan
organisasinya.
Informasi spasial memakai lokasi, dalam suatu sistem koordinat tertentu,
sebagai dasar referensinya. Karenanya SIG mempunyai kemampuan untuk
menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi,
menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi
SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, trend, pola, dan
pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi
lainnya. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda yang dapat diintegrasikan,
prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Dengan demikian, pemakai menjadi
lebih banyak memperoleh infomasi baru dan dapat menganalisisnya sesuai dengan
spesifikasi yang dibutuhkan.

2.12. Program KUAT


Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah
mengamanatkan pada pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk meningkatkan kemandirian lokal melalui pemanfaatan
sumberdaya alam yang dimiliki secara efisien dan optimal dalam rangka
membangun daya saing daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
36

pembangunan dan pengembangan kompetensi inti dari masing-masing daerah,


agar seluruh sumberdaya dan kemampuan yang dimiliki masing-masing daerah
difokuskan pada upaya untuk mengembangkan potensi daerah (sumberdaya
manusia, sumberdaya alam, dana dan fasilitas yang ada) secara efektif dan efisien.

Kebijakan pembangunan yang dicanangkan Departemen Perindustrian RI


sebagaimana tercantum dalam arah kebijakan nasional industri yaitu, strategi
pembangunan industri manufaktur ke depan, mengadaptasi pemikiran-pemikiran
terbaru yang berkembang saat ini, yaitu pengembangan industri melalui
pendekatan klaster dalam rangka membangun daya saing industri yang
berkelanjutan (Pemda Kab. Lampung Barat, 2007).
Pembangunan industri dalam suatu kawasan merupakan alternatif
pemecahan masalah dalam pemanfaatan sumber daya yang ada, Industri-industri
kecil dan menengah dapat ditempatkan dalam kawasan ini sehingga terjadi suatu
keterpaduan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain, akibatnya dapat
menghasilkan efesiensi investasi, pemerataan pelayanan dan efektifitas tujuan
pembangunan dapat tercapai. Pembangunan kawasan industri yang berbasis
sumberdaya daerah ini akan menciptakan iklim yang sehat, selain nilai tambah
produk bahan baku yang meningkat sehingga nilai jual yang ada menjadi tinggi,
juga akan membantu dalam hal penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat yang
ada di Kabupaten Lampung Barat ini.

Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT), merupakan suatu kawasan yang


terkait dengan fungsi yang memiliki nilai strategis bagi pertumbuhan dan
perkembangan wilayah lampung Barat. Kawasan tersebut merupakan kawasan
industri yang diharapkan mampu untuk Meningkatkan daya saing bagi komoditas
unggulan daerah, Meningkatkan nilai tambah produk, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Pemda Kab. Lampung Barat, 2007).
Latar belakang pembangunan KUAT merupakan upaya Pemerintah
Kabupaten Lampung Barat memanfaatkan kompetensi inti yang dimiliki
Kabupaten Lampung Barat yang belum diolah secara maksimal. Pemerintah
berupaya memacu pertumbuhan ekonomi wilayah dengan memanfaatkan potensi
yang dimiliki daerah tersebut. Salah satu sektor yang diharapkan dapat memacu
perkembangan wilayah adalah agroindustri.
37

Pembangunan KUAT di Kabupaten Lampung Barat merupakan perpaduan


perencanaan antara Pemerintah melalui Depperin dan Pemerintah Kabupaten
Lampung Barat yang didukung oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT). Wujud kerjasama ini dituangkan dalam bentuk Memorandum of
Understanding (MOU). Dalam MOU tersebut dijelaskan bahwa pembebasan
lahan merupakan tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Lampung Barat
sedangkan bangunan, peralatan, teknologi dan pelatihan disediakan oleh
Depperin. Sedangkan studi kelayakan dan penyusunan rencana induk akan
dilaksanakan oleh BPPT. Operasional pembangunan KUAT akan dimulai pada
tahun 2008 (Depperin, 2007).
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat berharap bahwa program KUAT
dapat menghasilkan efek berganda (Pemda Kab. Lampung Barat, 2007) seperti :
1. Menumbuhkan industri kecil menengah yang terintegrasi sehingga
memudahkan sinkronisasi dan keterpaduan pembinaan
2. Dengan tumbuhnya Industri Kecil dan Menengah (IKM) berbasis kompetensi
inti daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan mutu sehingga dapat
meningkatkan nilai tambah dan daya saing.
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lampung Barat melalui penciptaan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang mampu mendapatkan nilai
tambah.
Kegiatan pengembangan kawasan Usaha Agroindustri merupakan
konsepsi yang menempatkan kegiatan agroindustri dari produk hasil
pertanian/perkebunan dan nelayan sebagai satuan unit usaha yang berbasis
teknologi, berwawasan nilai tambah dan berkembang atas kemampuan daerah.
38

BAB III
METODE PENELITIAN

3.2. Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Lampung Barat, pada
kecamatan dengan potensi pengembangan kelapa dalam yang meliputi 6
Kecamatan yaitu: Bengkunat, Pesisir Selatan, Pesisir Tengah, Karya Penggawa,
Pesisir Utara dan Lemong. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan
Januari sampai dengan Februari 2008.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian


39

3.3. Kerangka Pemikiran


Sebagai Kabupaten dengan potensi wilayah berbasis sektor pertanian
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat menetapkan visi "Terwujudnya
masyarakat Lampung Barat yang Madani berbasis pertanian, kehutanan,
kelautan dan pariwisata"
Visi tersebut diatas, menggambarkan besarnya peranan sektor pertanian
yang diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan
perjalanan waktu sektor pertanian yang menjadi sumber penghasilan utama
masyarakat belum mampu memberikan dampak yang berarti bagi kemakmuran
wilayah. Hal ini tidak terlepas dari berbagai faktor seperti harga komoditas
pertanian yang fluktuatif, harga sarana produksi yang terus meningkat, lemahnya
peranan lembaga usaha petani dan kebijakan di bidang pertanian yang tidak fokus.
Pengembangan komoditas perkebunan dilaksanakan lebih kepada produk
yang berharga tinggi pada saat itu. Akibatnya komoditas yang telah diusahakan
oleh masyarakat seringkali terabaikan karena faktor rendahnya harga jual.
Kebijakan pembangunan komoditas kelapa di Kabupaten Lampung Barat pada 10
tahun terakhir sangat lemah. Selama ini komoditas perkebunan yang banyak
dikembangkan adalah kopi, cengkeh, nilam dan kakao. Sedangkan komoditas
kelapa relatif kurang diperhatikan. Kondisi ini membuat petani kelapa kurang
bergairah untuk terus memelihara dan meningkatkan produktifitas tanaman kelapa
mereka.
Dari subistem budidaya (produksi) permasalahan yang terjadi adalah:
penggunaan bibit asalan, pemeliharaan kebun yang sangat kurang berakibat pada
rendahnya produktifitas lahan. Berdasarkan data statistik Dinas Perkebunan
Kabupaten Lampung Barat Tahun 2005 produktifitas tanaman kelapa rakyat baru
mencapai 651 kg/ha/tahun. Menurut Supadi dan Nurmanaf (2006), potensi
produktivitas kelapa dalam yang dimiliki Indonesia sebesar 2,50 ton kopra/ha/
tahun. Dengan demikian produktifitas kelapa petani Kabupaten Lampung Barat
baru mencapai seperempat dari potensi produksi dan setengah dari rata-rata
produksi nasional 1-1,2 ton/ha/tahun.
Sedangkan pada kegiatan non budidaya permasalahan kelapa di Kabupaten
Lampung Barat antara lain: produk olahan baru sebatas kelapa butiran dan kopra
40

dengan kualitas asalan. Belum tersedianya fasilitas pengolahan produk kelapa dan
hasil ikutannya menjadikan petani memiliki keterbatasan dalam membuat produk
olahan kelapa. Tidak adanya insentif yang diberikan kepada petani kelapa untuk
mendorong petani menghasilkan kopra bermutu baik atau menjual kelapa segar
kepada pabrik terdekat.
Dari segi pemasaran, para petani kelapa dirugikan oleh praktek pasar
monopsoni dari pabrik minyak kelapa dan pedagang kopra yang menentukan
harga secara sepihak (Supadi dan Nurmanaf, 2006). Muara dari kondisi tersebut
adalah rendahnya nilai tambah produk komoditas kelapa di Kabupaten Lampung
Barat. Tanpa adanya perubahan mendasar dari cara pandang berbagai pelaku
agribisnis kelapa termasuk pemerintah maka kondisi petani kelapa akan tetap
terpuruk.
Pengembangan program KUAT adalah salah satu solusi alternatif dalam
meningkatkan kesejahteraan petani kelapa. Selain itu, program KUAT diharapkan
dapat menjadi motor penggerak perekonomian wilayah karena sifat keterpaduan
dan pengembangannya meliputi suatu kawasan. Oleh karena itu perlu dilakukan
analisis agar pendekatan arahan program akan tepat pada sasaran.
Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas
lahan masing-masing satuan peta lahan dengan persyaratan penggunaan lahan
yang akan ditetapkan. Peta Kesesuaian lahan kelapa di wilayah Pesisir Kabupaten
Lampung Barat, selanjutnya ditumpangsusun dengan peta desa. Hal ini berguna
untuk memberikan gambaran spasial desa-desa pesisir sesuai dengan tingkat
kesesuaian untuk tanaman kelapa.
Analisis Location Quotient (LQ) bertujuan untuk menggambarkan kondisi
basis/pemusatan komoditas kelapa di setiap kecamatan lokasi penelitian. Analisis
skalogram dilakukan untuk menentukan hirearki desa-desa di kawasan pesisir.
Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit
desa didata dan disusun dalam satu tabel. Analisis skalogram bertujuan untuk
menggambarkan tipologi wilayah tempat penelitian untuk menunjukkan pusat-
pusat pelayanan berdasarkan fasilitas yang dimiliki.
Penentuan produk kelapa akan dilaksanakan dengan metode proses
hierarki analitik (AHP). Analisis AHP ditujukan untuk mendeskripsikan
41

pandangan para stakeholder mengenai produk kelapa yang layak untuk


dikembangkan. Responden untuk analisis AHP merupakan para ahli yang terdiri
dari unsur peneliti perkelapaan, pengusaha agroindustri kelapa, pihak
Pemerintah Daerah Propinsi Lampung yang berasal dari Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, dan Kabupaten Lampung Barat terdiri dari Bappeda, unsur Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lampung Barat, Dinas Perkebunan
Kabupaten Lampung Barat.
Untuk mendapatkan gambaran keragaan petani kelapa di Kabupaten
Lampung Barat, maka dilakukan survai kepada petani. Pengumpulan data
dilaksanakan melalui wawancara langsung kepada petani kelapa. Data yang
dikumpulkan meliputi: luas areal kebun kelapa, usia tanaman kelapa, prosedur
pemeliharaan, pola panen dan pasca panen. Keragaan ini bertujuan untuk
memberikan gambaran sisi on farm dan off farm perkebunan kelapa rakyat.

Rantai tata niaga di Kabupaten Lampung Barat dianalisis dengan


menggunakan analisis rantai tata niaga dan marjin pasar. Melalui hasil analisis ini
dapat dilihat efektifitas dan efisiensi pemasaran produk kelapa dalam diantara
para pelaku pemasaran seperti petani sebagai produsen, pedagang pengumpul
tingkat kecamatan, dan eksportir (apabila komoditas diekspor).

Untuk mengetahui permintaan beberapa produk kelapa dilakukan survai


pustaka yang meliputi data ekspor, impor dan konsumsi produk olahan kelapa.
Data tersebut selanjutnya diolah untuk mendapatkan gambaran jumlah ekspor,
impor dan konsumsi dalam negeri. Melalui data tersebut dibuat peramalan trend
permintaan produk kelapa selama beberapa tahun ke depan.

Hasil analisis tersebut di atas disusun ke dalam matriks yang


menggambarkan kelayakan arahan Program KUAT. Wilayah-wilayah yang
secara fisik, ekonomi dan tipologinya mendukung diarahkan sebagai lokasi
program. Produk-produk terpilih yang akan digambarkan melalui nilai efisiensi
pasar, dan besarnya permintaan produk-produk tersebut juga ditampilkan dalam
matriks hasil analisis. Pada akhirnya akan didapat arahan program KUAT
berdasarkan gabungan hasil analisis fisik dan ekonomi wilayah. Pada diagram
alir berikut ini disajikan kerangka pemikiran penelitian (Gambar 2).
42

Kondisi Eksisting
Perkebunan Kelapa dan Wilayah
Pesisir Kabupaten Lampung Barat

Kebijakan Produksi Produk Harga Fasilitas


Pembangu Persatuan olahan Rendah, Kurang
nan Lahan Hanya ditentukan
Rendah Kopra pedagang

Nilai Tambah Produk


Kelapa Rendah

PROGRAM KAWASAN
USAHA AGRO TERPADU
(KUAT)

Analisis Analisis Analisis Analisis Analisis Analisis


Kesesuaian Location Skalogram Marjin Pasar Demand Pohon
Lahan Quotient Industri

Analytical
Hierarchy
Process

PREFERENSI
LOKASI MASYARAKAT PROSPEK PASAR

ARAHAN PENGEMBANGAN
KAWASAN USAHA AGRO TERPADU
(KUAT)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian


43

3.3. Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan untuk penelitian berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan (responden)
parapihak yang dianggap sebagai ahli dan berkompeten terkait program KUAT.
Gambaran keragaan perkebunan kelapa di Kabupaten Lampung Barat didapat
melalui wawancara langsung dengan petani kelapa.
Sedangkan data sekunder berupa peta administrasi, topografi, geologi,
hidrologi, data PDRB dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berasal dari
Bappeda, Data Potensi Desa dari Badan Pusat Statistik dan Data Luas Areal dan
Produksi Tanaman Kelapa dari Dinas Perkebunan. Tabel 2. menjelaskan jenis
dan metode pengumpulan data. Sedangkan aspek, variabel yang diteliti, sumber
dan teknik pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Jenis data yang dikumpulkan
No Jenis Data Metode Sumber
Pengumpulan
Data
1 Data Primer :
a. Persepsi para pihak Wawancara Responden :
terkait Produk dengan - Peneliti/Pakar Perkelapaan
Program KUAT kuisioner - Pengusaha Agroindustri Kelapa
- Dinas Perindag Prop. Lampung
- Unsur Bapeda
- Unsur Dinas Perkebunan
- Unsur Dinas Perindag

b. Keragaan perkebunan - Petani Kelapa


kelapa
c. Marjin pasar Wawancara Petani, Pedagang Pengumpul tingkat desa,
pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan
Pengumpul Kabupaten.
2 Data Sekunder
- Podes 2006 Studi Pustaka BPS
- (LBDA) Studi Pustaka BPS
- Data Susenas Studi Pustaka BPS
- Rencana Tata Ruang Studi Pustaka Bapeda Lampung Barat
Wilayah Dinas Perkebunan
- Database Perkebunan Studi Pustaka Bapeda Lampung Barat
- Peta Administrasi Studi Pustaka Bapeda Lampung Barat
- Peta Tanah 1 : Studi Pustaka Puslittanah
250.000 Studi Pustaka Bapeda Lampung Barat
- Peta Geologi Studi Pustaka Bapeda Lampung Barat
- Peta Hidrologi Studi Pustaka Bapeda Lampung Barat
- Peta Lereng Studi Pustaka Bapeda Lampung Barat
44

Tabel 3. Aspek, variabel yang diteliti, sumber dan teknik pengumpulan data
No Aspek Variabel Sumber Data Teknik
Pengumpul
an Data
1 Penentuan lokasi Sumber Daya Fisik Bapeda, Dinas Studi
KUAT Wilayah (Kesesuai Perkebunan Kab Pustaka,
an Lahan), luas Lampung Barat,
tanam dan produksi BPS
2. Penentuan hierarki Fasilitas pelayanan, BPS, Studi
wilayah, pusat-pusat Dinas/instansi pustaka
pelayanan terkait Kabupaten
3. Potensi Kelapa di Sumber Daya Fisik BPS, Dinas Studi
setiap kecamatan, Wilayah (Kesesuai Perkebunan pustaka
untuk menentukan an Lahan), luas areal Kabupaten
keunggulan tanaman kelapa. Lampung Barat
komparatif komoditi
4. Persepsi parapihak Pendapat para Studi Pustaka, Studi
tentang produk parapihak yang parapihak Pustaka,
program KUAT didapat dari Wawancara
wawancara
5. Nilai Ekonomi Produk Permintaan, Rantai Bapeda, Dinas Studi
Kelapa Tata Niaga, dan Perkebunan Kab pustaka
Pohon Industri Lampung Barat,
BPS
6. Keragaan Perkebunan Luas areal, produksi Petani Wawancara
Kelapa perawatan, panen,dll

3.4. Analisis Data


Dalam Penelitian ini data dianalisis dengan metode Kesesuaian lahan
melalui Sistem Informasi Geografis (SIG), Location Quotient (LQ), Analytical
Hierarchy Process (AHP), Analisis Margin Pasar, Analisis Demand pasar (Trend
Permintaan), dan Analisis Pohon Industri.

3.4.1. Penentuan Lokasi


3.4.1.1. Analisis Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), menggambarkan kriteria kesesuaian
lahan untuk tanaman kelapa berdasarkan karakteristik lingkungan fisik dan lahan
seperti temperatur, ketersediaan air, media perakaran, retensi hara, kegaraman,
toksisitas, hara tersedia, kemudahan pengolahan, dan terrain/potensi mekanisasi.
Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta untuk tipe
penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat atau kualitas lahan yang
dimiliki oleh lahan tersebut.
45

Tabel 4. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kelapa

Kualitas/Karakteristik Kelas Kesesuaian Lahan


Lahan S1 S2 S3 N1 N2
Temperatur (t)
2 o
-Rata Tahunan ( C) 25-28 >28-32 >32-35 Td >35
Ketersediaan Air (w)
- Bulan Kering (75 <2 2-3 >3-4 Td <4
mm)
- Curah Hujan/ tahun (mm) 2000-3000 3000-4000 4000-5000 Td >5000
1300-<2000 1000-<1300 <1000
- LGP (hari) >330 >300 >240 >240 >240
Media Perakaran (r) Baik Sedang, Cepat, Agak Terhambat Sgt
- Drainase Tanah Agak cepat terhambat Terhambat,
Sgt cepat
- Tekstur LS,SL,CL,SCL,S SC,SiC,C S,Str,C Td Kerikil
iL,Si,SiCL,L
Kedalaman Efektif (cm) >100 75-100 50-<75 <50
- Gambut
a. Kematangan - Saprik Hemik Hemik- Fibrik
Fibrik
b. Ketebalan (cm) - <100 100-150 >150-200 >200
Retensi Hara (f)
- KTK Tanah ≥ tinggi Sedang Rendah Sgt rendah -
- pH Tanah 5,5-7,0 >7,0-7,5 7,5-8,5 4,0-<4,5 >8,5
5,0-5,5 4,5-<5,0 <4
- C-organik (%) - - -
Kegaraman (c)
- Salinitas mmhos <2 2-4 >4-8 >8
/cm
Toksisitas (x)
- Kejenuhan Al (%)
-Kedalaman Sulfidik (cm) >175 115-175 85-<115 65-<85 <65
Hara Tersedia (n)
- Total N ≥ Sedang Rendah Sgt Rendah - -
- P2O5 ≥ Sedang Rendah Sgt Rendah - -
- K2O ≥ Sedang Rendah Sgt Rendah - -
Kemudahan Pengolahan (p)
- Konsistensi Besar Butir - - Sgt keras Sgt - Berkerikil,
teguh , Sgt lekat berbatu-

Terrain/potensi mekanisasi (s/m) - -


- Lereng (%) <8 8-15 >15-25 >25-45 >45
- Batuan Pmukaan (%) <3 3-15 >15-40 Td >40
- Singkapan batuan (%) <2 2-10 >10-25 >25-40 >40
Tigkat bahaya erosi (e) SR R S B SB
Bahaya banjir (b) FO F1 F2 F3 F4
46

Sumber: Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001)


Keterangan :
Td : Tidak berlaku Si : Debu
S : Pasir L : Lempung
StrC : Liat berstruktur Liat Masif : Liat Tipe 2:1 (vertisol)
Kedalaman tanah untuk penentuan tekstur, KTK, C-organik, Al, N, P2O5, K2O
disesuaikan dengan zone perakaran tanaman yang dievaluasi.

Kriteria kualitas lahan yang dijadikan parameter dalam penelitian ini


berdasarkan kriteria Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
(2002) yang mencakup iklim, tanah, terrain (meliputi lereng dan topografi),
batuan di permukaan dan di dalam tanah, singkapan batuan, hidrologi, dan
persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman.
Langkah awal dalam menganalisis data adalah dengan menggambarkan
lokasi yang memiliki kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa dalam di Kabupaten
Lampung Barat. Kesesuaian lokasi tanaman kelapa dianalisis menggunakan
pencocokan karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman kelapa.
Gambaran lokasi kesesuaian lahan akan menjadi bagian dalam menentukan lokasi
pengembangan program KUAT.

3.4.1.2. Analisis Location Quotient (LQ)


Analisis Location Quotient (LQ) dalam penelitian ini dilaksanakan pada
desa-desa di 6 Kecamatan wilayah Pesisir Kabupaten Lampung Barat yang
meliputi Kecamatan Bengkunat, Kecamatan pesisir Selatan Kecamatan Pesisir
Tengah, Kecamatan Karya Penggawa, Kecamatan Pesisir Utara dan Kecamatan
Lemong.
Untuk mengetahui peranan komoditas kelapa di desa-desa tersebut, maka
perlu dilaksanakan analisis LQ. Analisis ini untuk mengetahui keunggulan
wilayah saat ini dari komoditas kelapa terhadap peranannya kepada perekonomian
wilayah desa, kecamatan maupun terhadap kabupaten. Secara operasional LQ
dapat didefinisikan sebagai rasio persentase dari aktifitas pada sub wilayah ke-i
terhadap aktifitas total wilayah yang diamati.
47

Persamaan dari LQ ini adalah :

X ij / X . j
LQ ij =
Xi . / X ..

Dimana :
Xij : Luas Areal Kelapa (Ha) di Desa-i
X.j : Total Luas Areal Kelapa (Ha) di Kecamatan – j
Xi. : Total Luas Areal Tanaman Perkebunan (Ha) di Desa ke-i
X.. : Total Luas Areal Tanaman Perkebunan (Ha) di Kecamatan pesisir (j)
Tabel 5. Struktur data aktifitas

Sektor Desa Lokasi Studi Jumlah Xi.


(j) (Kecamatan)
i Nama Komoditas
1 X1j X1.
2 X2j X2.
... ... ... ...
n Xnj Xn.
Jumlah X.j X..

Tabel 6. Struktur tabel LQ

Sektor Desa Lokasi Studi


(j)
i Nama Komoditas
1 LQij
2 LQ2j
... ... ...
n LQnj
48

Untuk dapat menginterpretasikan hasil analisis LQ, digunakan batasan sebagai


berikut :
- Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu
aktivitas di desa-i secara relatif dibandingkan dengan total kecamatan pesisir
atau terjadi pemusatan aktifitas di desa ke-i.
- Jika nilai LQij = 1, maka desa ke-i tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara
dengan pangsa total atau konsentrasi aktifitas di desa-i sama dengan rata-rata
total kecamatan di daerah pesisir.
- Jika nilai LQij < 1, maka desa ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih
kecil dengan aktifitas secara umum ditemukan diseluruh kecamatan pesisir.
Data yang digunakan dalam LQ adalah luas areal tanaman kelapa dan tanaman
perkebunan lainnya di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Barat. Seluruh data
bersumber dari Data Statistik Perkebunan Kabupaten Lampung Barat Tahun 2005.
Untuk mendukung analisis LQ ini dapat digunakan analisis Location Index
(LI) dengan persamaan : α = ∑ ( Xij / X . j ) − Xi. / X ..) . Setelah diperoleh hasil

perhitungan, maka hasil perhitungan yang bernilai positif saja yang digunakan
untuk komoditas yang diselidiki, nilai α yang mendekati 1 artinya pengusahaan
komoditas tersebut terkonsentrasi di suatu daerah (Saefulhakim, 2006.)

3.4.1.3. Analisis Skalogram


Salah satu cara untuk mengukur tingkat perkembangan suatu kawasan
secara cepat dan mudah adalah menggunakan metode skalogram. Pada prinsipnya
suatu wilayah berkembang secara ekonomi dicirikan oleh tingkat aksesibilitas
masyarakat di dalam pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya ekonomi yang dapat
digambarkan baik secara fisik maupun non fisik.
Melalui analisis skalogram pemetaan desa-desa pesisir yang menjadi
lokasi penelitian dapat digambarkan berdasarkan tipologi wilayah masing-masing.
Tipologi wilayah disusun berdasarkan jenis fasilitas yang dimiliki oleh desa-desa
tersebut. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki ranking
tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis
ini dapat ditentukan indikator yang digunakan dalam analisis skalogram adalah
49

jumlah penduduk, jumlah jenis, jumlah unit serta kualitas fasilitas pelayanan yang
dimiliki masing-masing desa. Hasil analisis ini nantinya akan menjadi
pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menentukan lokasi KUAT
sesuai dengan tipologi wilayah.
Tahapan penyusunan skalogram adalah sebagai berikut :
1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam
unit-unit desa. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh desa diletakkan dalam
urutan paling kiri dan seterusnya sampai fasilitas yang terdapat paling jarang
penyebarannya di seluruh unit desa yang ada diletakkan di kolom tabel paling
kanan.
2. Menyusun sedemikian rupa dimana unit desa yang mempunyai ketersedian
fasilitas paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit desa
dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap terletak disusunan paling
bawah
3. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal baik jumlah jenis fasilitas
maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit desa.
4. Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal sehingga diperoleh
jumlah unit fasilitas yang tersebar diseluruh unit desa.
5. Dari hasil penjumlahan ini diharapkan diperoleh urutan, posisi teratas
merupakan desa yang mempunyai fasilitas umum terlengkap, sedangkan
posisi terbawah merupakan desa dengan ketersediaan fasilitas umum paling
tidak lengkap.
6. Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua desa dengan
jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas yang sama, maka pertimbangan ketiga
adalah jumlah penduduk. Desa dengan jumlah penduduk lebih tinggi
diletakkan pada posisi di atas.
7. Disamping cara sebagaimana telah disebutkan diatas terdapat cara lain yang
merupakan modifikasi dari metode skalogram yaitu dengan penentuan indeks
perkembangan desa dengan berdasarkan jumlah penduduk dan jenis fasilitas
pelayanan.
50

Model untuk menentukan nilai indeks perkembangan desa (IPj) suatu


wilayah atau pusat pelayanan adalah sebagai berikut :
n Dimana :
IPj = ∑ I ' ij IPj = Indeks Perkembangan desa ke-j
i
Iij = Nilai indikator perkembangan ke-i desa ke-j
Iij − Ii min
I 'ij = I’ij = Nilai indikator perkembangan ke-i
SDi terkoreksi/terstandarisasi desa ke-j
Ii min = Nilai indikator perkembangan ke-i terkecil
SDi = Standar deviasi indikator perkembangan ke-i

Nilai-nilai tersebut akan digunakan untuk mengelompokkan unit desa


dalam kelas-kelas yang dibutuhkan atau hirearki desa. Diasumsikan bahwa
kelompok yang diperoleh berjumlah 3, yaitu kelompok I dengan tingkat
perkembangan tinggi, kelompok II dengan tingkat perkembangan sedang dan
kelompok III dengan tingkat perkembangan rendah. Selanjutnya ditetapkan suatu
konsensus misalnya jika nilainya adalah lebih besar atau sama dengan (2 x standar
deviasi + nilai rata-rata) maka dikategorikan tingkat perkembangan tinggi,
kemudian jika antara nilai rata-rata sampai ( 2 x standar deviasi + nilai rata-rata)
maka termasuk tingkat perkembangan sedang, dan jika nilai kurang dari nilai rata-
rata maka termasuk dalam tingkat perkembangan rendah (Saefulhakim, 2006)

Secara matematis kelompok tersebut adalah :


Xi > X rata-rata + 2Stdev (tinggi)
Xrata-rata < Xi < + 2 Stdev (sedang)
Xi < Xrata-rata (rendah)
Analisis skalogram dalam penelitian ini menggunakan data PODES 2006

3.4.2. Preferensi Masyarakat


3.4.2.1. Analisis AHP
Analisa AHP digunakan untuk menarik kesimpulan tentang pandangan
para stakeholder mengenai komoditas yang dianggap menguntungkan untuk
dikembangkan pada program KUAT Kabupaten Lampung Barat. Hasil kuesioner
setiap responden dianalisa untuk dilihat tingkat konsistensinya dalam menjawab
setiap pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner.
51

Menurut Azis (1994), asumsi-asumsi yang dipakai oleh AHP adalah


sebagai berikut: pertama-tama harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas)
kemungkinan tindakan, yakni, 1,2,....,n yang adalah tindakan positif, n adalah
bilangan yang terbatas. Responden diharapkan akan memberikan nilai dalam
angka yang terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atribut-
atribut. Skala yang dipergunakan dapat apa saja, tergantung dari pandangan
responden dan situasi yang relevan. Tabel 8 berikut menggambarkan tingkat
urutan dan definisinya.
Tabel 7. Sistem urutan (Ranking) Saaty (Azis, 1994)

Intensitas/ Definisi Penjelasan


Pentingnya
1 Sama Pentingnya Dua aktifitas memberikan kon
tribusi yang sama kepada tujuan
3 Perbedaan penting yang lemah Pengalaman dan selera sedikit
antara satu dengan yang lain menyebabkan yang satu sedikit
lebih disukai daripada yang lain
5 Sifat lebih pentingnya kuat Pengalaman dan selera yang
menyebabkan penilaian yang satu
lebih daripada yang lain. Yang satu
sangat lebih disukai daripada yang
lain
7 Menunjukkan sifat sangat Aktifitas yang satu sangat disukai
penting yang menonjol dibandingkan yang
lain;dominasinya tampak nyata
9 Penting absolut Bukti bahwa antara yang satu lebih
disukai daripada yang lain
menunjukkan kepastian tingkat
tertinggi yang dapat dicapai.
2,4,6,8 Nilai tengah diantara nilai Diperlukan kompromi
diatas/dibawahnya
Kebalikan Jika aktifitas i, dibandingkan Asumsi yang masuk akal
angka bukan dengan j, mendapat nilai bukan
nol di atas nol seperti tertera di kolom 1,
maka j-bila di bandingkan
dengan i-mem punyai nilai
kebalikannya
Rasional Rasio yang timbul dari skala Jika konsistensi perlu dipaksanakan
dengan mendapatkan sebanyak n
nilai angka untuk melengkapi
matriks.
52

Walaupun demikian, mengikuti perkembangan baku AHP dipergunakan


metode skala Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan ”sama penting” (jadi untuk
atribut yang sama, skalanya selalu 1) sampai dengan 9 yang menggambarkan
kasus atribut yang paling absolut dibandingkan dengan yang lain (urutan
pemastian tertinggi yang mungkin).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah :
1. Mengidentifikasi/menetapkan masalah yang muncul;
2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai;
3. Mengidentifikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah
yang ditetapkan;
4. Menetapkan struktur hierarki
Hirearki adalah suatu sistem yang tersusun dari beberapa level/tingkatan,
dimana masing-masing tingkat mengandung beberapa unsur atau faktor. Hal
yang dilakukan dalam suatu hierarki adalah mengukur pengaruh berbagai
kriteria yang terdapat pada hirarki. Pada umumnya, masalah dasar yang
muncul dalam penyusunan hierarki adalah menentukan level tertinggi dari
berbagai interaksi yang terdapat pada berbagai level.
5. Menentukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan,
pelaku/objek yang berkaitan dengan masalah, dan nilai masing-masing faktor.
6. Membandingkan alternatif (comparative judgement)
7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (synthesis of priority)
8. Menentukan urutan alternatif dengan memperhatikan logical consistency)
Sarana yang digunakan dalam AHP adalah dengan memberikan kuisioner
kepada responden terpilih yang mengetahui dan memahami dengan baik masalah
kelapa dan agroindustri kelapa. Responden dipilih dengan metode pupossive
sampling. Analisis AHP dilakukan dengan program aplikasi Expert Choice 2000

3.4.2.2 Persepsi Masyarakat


Program KUAT merupakan upaya pemerintah daerah untuk
melaksanakan pembangunan berbasis komoditas. Keberhasilan program
dipengaruhi oleh persepsi masyarakat tentang program tersebut. Penggalian
53

persepsi masyarakat dilakukan dengan survei terhadap petani dan pedagang yang
terlibat dalam usaha tani kelapa di seluruh wilayah kecamatan lokasi penelitian.
Pertanyaan disusun menyangkut pemahaman masyarakat tentang program
terutama lokasi dan produk yang akan dikembangkan. Seluruh data (petani dan
pedagang) dihitung secara persentatif berdasarkan lokasi pengamatan.

3.4.3. Prospek Pasar Produk Kelapa


3.4.3.1. Analisis Marjin Pasar.

Marjin pemasaran mempunyai dua pengertian (Tomek dan Robinson,


1990), yaitu: (1) Perbedaan harga antara dua lembaga pemasaran (seperti petani,
pedagang, pengolah dan eksportir); dan (2) Biaya yang dikeluarkan untuk
membayar jasa-jasa sepanjang saluran pemasaran. Hal ini terkait dengan peran
pemasaran berupa waktu, tempat dan transformasi kepemilikan produk (Malian et
al., 2004).

Produk-produk yang merupakan bagian dari komoditas kelapa dalam akan


dianalisis dengan menggunakan analisis marjin pasar. Jenis produk yang
dianalisis didasarkan pada pandangan para ahli tentang produk kelapa yang
menguntungkan. Melalui hasil analisis ini dapat dilihat efektifitas dan efisiensi
pemasaran produk kelapa dalam diantara para pelaku pemasaran seperti petani
sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang sementara, eksportir (apabila
komoditas diekspor).
Menurut Damanik dan Sientje (1992) formulasi yang digunakan untuk
mengetahui marjin pemasaran produk kelapa digunakan pendekatan berikut ini.
Misal harga kelapa/produk kelapa masing-masing lembaga tata niaga adalah:
1. Petani : Rp. A
2. Pedagang Pengumpul/perantara : Rp. B
3. Eksportir/Pedagang Besar : Rp. C
54

Maka marjin pemasaran menjadi:


A
a. Petani = x 100 % = %
B
B
b. Pedagang Perantara/Pengumpul x 100 % = %
C

3.4.3.2. Analisis Permintaan (Demand)


Definisi dasar dari permintaan konsumen adalah kuantitas suatu komoditas
yang mampu dan ingin dibeli oleh konsumen pada suatu tempat dan waktu
tertentu pada berbagai tingkat harga ketika faktor lain tidak berubah. Permintaan
pasar adalah agregat dari permintaan individu konsumen.
Untuk mengetahui permintaan beberapa produk kelapa akan dilakukan
survai pustaka ke pihak-pihak yang berwenang menangani pemasaran produk
kelapa antara lain: Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Lampung Barat, Dinas Perdagangan dan industri Propinsi Lampung, Departemen
Perdagangan, Departemen Perindustrian, eksportir, Asia and Pacific Coconut
Community (APCC), dan pengusaha minyak goreng di Bandar Lampung,
pedagang pengumpul tingkat Kecamatan dan Kabupaten.
Analisis permintaan dilaksanakan dengan membuat proyeksi permintaan
produk-produk kelapa yang prospektif berdasarkan kecenderungan data, dengan
asumsi bahwa pola konsumsi pada tahun-tahun mendatang sama seperti tahun
sebelumnya. Asumsi lain yang dipergunakan adalah bahwa variabel selain waktu,
kondisi perekonomian, kondisi pesaing, perubahan teknologi di anggap stabil.
Proyeksi permintaan ini menggunakan metode peramalan time series.

3.4.3.3. Analisis Pohon Industri

Dalam analisis pohon industri, produk-produk turunan yang berbahan


baku kelapa akan diuraikan secara satu persatu kemudian dianalisis produk kelapa
yang memiliki nilai ekonomi. Produk-produk olahan kelapa yang telah
berkembang saat ini akan diuraikan satu persatu tentang rangkaian proses dan
manfaat masing-masing. Seluruh produk olahan kelapa mulai dari daun, buah,
55

sampai dengan batang akan digambarkan satu persatu melalui diagram pohon
industri. Analisis ini diperlukan untuk menunjukkan keragaman produk yang
dapat dihasilkan dari tanaman kelapa.

Melalui deskripsi pohon industri dapat diketahui bahwa, pemanfaatan


kelapa untuk menghasilkan aneka ragam produk olahan dapat dilakukan dari
bagian-bagian kelapa seperti daging buah, air kelapa, tempurung, sabut, sampai
dengan tandan bunga. Analisis ini akan menggunakan model pohon industri yang
dipakai oleh Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan Departemen Pertanian.
Gambaran produk kelapa dan turunannya digambarkan pada Gambar 3 berikut ini:

Gambar 3. Pohon industri kelapa


Sumber: Ditjenbun (2007)
56

BAB IV
KEADAAN UMUM WILAYAH

4.1. Batas Wilayah Administrasi


Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu dari sepuluh kabupaten /
kota di wilayah Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Barat dengan Ibukota
Liwa, dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1991 tanggal 16
Agustus 1991. Secara geografis Kabupaten Lampung Barat terletak pada posisi
koordinat antara 40 47’ 16” – 50 56’ 42” Lintang Selatan dan 1030 35’ 8” – 1040
33’ 51” Bujur Timur, dengan batas wilayah antara lain adalah :
a. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten
Way Kanan, Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tanggamus
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Selat Sunda.
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia
d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu dan
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS) Provinsi Sumatera Selatan.
Adapun kecamatan yang terdapat di Kabupaten Lampung Barat yaitu :
Kecamatan Sumberjaya, Way Tenong, Sekincau, Suoh, Belalau, Batu Brak.Balik
Bukit, Sukau, Pesisir Tengah, Karya Penggawa, Pesisir Utara, Lemong, Pesisir
Selatan, dan Bengkunat. Luas wilayah tiap kecamatan, persentase luas wilayah,
ibukota per kecamatan dan jumlah desa tiap kecamatan disajikan dalam Tabel 9.
Kabupaten Lampung Barat memiliki luas wilayah sekitar 4.950.4 km2 atau
13,99 persen dari luas wilayah Provinsi Lampung. Sebagian besar mata
pencaharian pokok penduduknya bertumpu pada sektor pertanian. Secara
administratif Kabupaten Lampung Barat terdiri dari 14 (empat belas) kecamatan
dan dengan 170 pekon (desa), dan 4 kelurahan.
57

Gambaran umum wilayah Kabupaten Lampung Barat disajikan berikut ini :

Gambar 4. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Lampung Barat


58

Tabel 8. Kecamatan, Luas wilayah, jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten


Lampung Barat Tahun 2005

Kecamatan Luas (Km2) Jumlah Jumlah Ibukota


Desa Kelurahan Kecamatan
Pesisir Selatan 699,52 10 - Biha
Bengkunat 1400,81 20 - Pardasuka
Pesisir Tengah 110,01 19 1 Pasar Krui
Karya Penggawa 62,46 8 - Kebuayan
Pesisir Utara 307,18 16 - Pugung Tampak
Lemong 327,25 11 - Lemong
Balik Bukit 195,50 11 1 Liwa
Sukau 218,48 9 - Tanjung Raya
Belalau 395,06 12 - Kenali
Suoh 231,62 10 - Sumber Agung
Sekincau 270,90 9 - Pampangan
Batu Brak 189,67 9 - Pekon Balak
Sumberjaya 356,46 14 1 Simpang Sari
Way Tenong 185,48 14 1 Mutar Alam
Jumlah 4.950.4 170 4

Sumber : Lampung Barat Dalam Angka, 2005

4.2. Kondisi Fisiografi


Secara fisiografis daerah Lampung Barat dibedakan atas 3 (tiga) bagian
yakni daerah pesisir di Bagian Barat dengan kemiringan 0 sampai dengan 15
persen, daerah pegunungan yang merupakan daerah Bagian Tengah dengan
kemiringan 15 sampai dengan atau lebih dari 40 persen, daerah bergelombang di
Bagian Timur dengan kemiringan lahan 2 sampai 40 persen.
Ketinggian wilayah Kabupaten Lampung Barat, dibedakan menjadi 3
wilayah yaitu:
a. Dataran rendah dengan ketinggian 0 – 200 meter dpl
b. Daerah perbukitan dengan ketinggian 200 - 1000 meter dpl,
c. Daerah pegunungan dengan ketinggian 1000 – 2000 meter dpl
Kecamatan Balik Bukit, Belalau dan Sumberjaya sebagian besar wilayahnya
mempunyai ketinggian antara 500 – 1000 meter dari permukaan laut (dpl).
Sedangkan Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Tengah dan Pesisir Selatan pada
59

umumnya mempunyai ketinggian berkisar antara 0 – 500 meter dpl. Bentuk


bentang alam sepanjang pesisir barat datar sampai berombak dengan kemiringan
berkisar antara 3 – 5 persen.
Dibagian barat laut Kabupaten Lampung Barat terdapat gunung-gunung dan
bukit, yaitu Gunung Pugung (1.808 m), Bukit Palalawan (1.753 m), dan Bukit
Tabajan (1.413 m). Sedangkan bagian selatan terdapat beberapa gunung dan bukit
yaitu Bukit Penetoh (1.166 m), Bukit Bawanggutung (1.042 m), Gunung Sekincau
(1.718 m), Pegunungan Labuan Balak (1.313 m), Bukit Sipulang (1.315 m). Di
sebelah Timur dan Utara terdapat pula Gunung Pesagi (2.127), Gunung
Subhanallah (1.623 m), Gunung Ulujamus (1.789 m), Gunung Siguguk (1.779 m),
dan Bukit Penataan (1.688 m).

4.2.1. Geomorfologi
Bentuk Lahan merupakan bentukan alam di permukaan bumi yang
menggambarkan kondisi suatu wilayah dengan ciri yang berbeda satu dengan
lainnya, tergantung dari proses pembentukan dan evolusinya.
Kabupaten Lampung Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 grup landform utama,
yaitu: (1) Marin (M), (2) Fluvial (F), (3) Denudasional (D) , (4) Struktural (S), (5)
Vulkanik (V), (6) Kars (K).
Sebagian besar wilayah Kabupaten Lampung Barat merupakan daerah
perbukitan dan pegunungan dengan kelerengan curam hingga terjal. Secara
morfometrik dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi yaitu:
a. Satuan geomorfologi dataran aluvial
b. Satuan geomorfologi perbukitan
c. Satuan geomorfologi pegunungan
Satuan geomorfologi dataran aluvial, satuan geomorfologi terbagi dua
yaitu aluvial marin dan aluvial sungai. Luas dataran marin 68.812 ha (66,1
persen), sedangkan aluvial sungai 21.862 ha (21 persen). Satuan geomorfologi ini
berada pada ketinggian 0 - 50 meter dpl. Daerah ini relatif sempit memanjang
sepanjang pantai. Daerah yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia.
Seperti umumnya pantai di pantai Barat Sumatera dan Pantai Selatan Jawa
dipengaruhi oleh gempa tektonik dan gelombang tsunami.
60

Satuan geomorfologi perbukitan, berada pada ketinggian 200 – 1000


meter dpl., ditempati oleh endapan volkanik kuarter. Daerah ini relatif aman
terhadap gempa namun pada bagian yang berlereng masih rawan longsor.
Satuan geomorfologi pegunungan, yang merupakan punggungan Bukit
Barisan, ditempati oleh endapan volkanik kuarter dan beberapa formasi. Daerah
ini memiliki ketinggian 1000 – 2000 meter dpl. Daerah ini dilalui sesar
semangko, dengan lebar zona 10 – 25 km. Pada beberapa tempat dijumpai
beberapa aktifitas vulkanik. Dengan demikian daerah ini rawan terhadap gempa
bumi, bencana gunung api, tanah longsor dan rawan erosi.
Dengan melihat kondisi geomorfologi di atas, Kabupaten Lampung Barat
dibagi menjadi 3 (tiga) zona rawan bencana:
a. Zona I, daerah pesisir dengan ancaman gempa tektonik, tsunami dan banjir.
b. Zona II, daerah perbukitan rawan terhadap bencana longsor
c. Zona III, daerah pegunungan yang paling rentan terhadap bencana tanah
longsor, volkanisme dan gempa bumi,

4.2.2. Geologi
Batuan yang umum dijumpai di Kabupaten Lampung Barat adalah
endapan gunung api, batu pasir Neogen, granit batu gamping, metamorf, tufa
Lampung, dan Alluvium. Formasi tufa masam dari debu gunung api di sekitar
Bukit Barisan. Sedangkan endapan gunung api menutupi sebagian besar wilayah
dan kadang-kadang dijumpai endapan emas dan perak serta mineral logam lainnya
sebagai mineral ikutan.
Berdasarkan peta geologi propinsi Lampung skala 1 : 250.000 yang
disusun oleh S. Gafoer, TC Amin, Andi Mangga (1989) dalam Bakosurtanal
(2004), Lampung Barat terdiri dari batuan Vulkan Tua (Old Quarternary Young),
Formasi Simpang Aur, Formasi Ranau, Formasi Bal, dan Batuan Intrusive.
Litologi yang dominan adalah jenis vulkanik, seperti Andesit – Basaltik. Jenis
batuan ini menyebar hampir di semua kecamatan, kecuali di kecamatan Karya
Penggawa yang mempunyai jenis batuan gamping. Batuan sedimen (alluvium)
menyebar di sepanjang pantai Barat, yaitu di kaki lereng Bukit Barisan. Tabel 9
berikut ini menyajikan unit geologi yang dominan per kecamatan dan luasannya di
Kabupaten Lampung Barat.
61

Tabel 9. Unit Geologi yang dominan per kecamatan dan luasannya (Km2)
No Kecamatan Unit Geologi Yang Dominan Luas (Km2)
1. Pesisir Selatan Formasi simpangaur 224,057
Andesitic-basaltic volcanic unit 107,005
2. Bengkunat Formasi simpangaur 764,942
Andesitic-basaltic volcanic unit 557,426
3. Pesisir Tengah Formasi simpangaur 106,183
Andesitic-basaltic volcanic unit 84,476
4. Karya Formasi simpangaur 39,105
Penggawa Anggota Batugamping 10,193
5. Pesisir Utara Andesitic-basaltic volcanic unit 103,011
Formasi simpangaur 30,804
6. Lemong Andesitic-basaltic volcanic unit 229,666
Formasi Ranau 159,356
7. Balik Bukit Formasi Ranau 68,210
Andesitic-basaltic volcanic unit 60,199
8. Sukau Younger Volcanic 69,238
Andesitic-basaltic volcanic unit 58,010
9. Belalau Younger Volcanic 273,378
Formasi Ranau 59,944
10. Sekincau Younger Volcanic 241,100
Formasi Ranau 29,156
11. Suoh Younger Volcanic 101,125
Formasi Ranau 53,053
12. Batu Brak Andesitic-basaltic volcanic unit 144,44
Formasi Ranau 87,037
13. Sumber Jaya Younger Volcanic 227,405
Formasi Ranau 15,069
14. Way Tenong Younger Volcanic 151,646
Sumber : Bakosurtanal 2004

4.2.3. Tanah
Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Baturaja dan Kota Agung
Skala 1 : 250.000 (1980), jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Lampung Barat
cukup bervariasi. Berdasarkan pengelompokan fisiografi yang terbentuk, maka
unit-unit lahan yang ada meliputi aluvial (A), marin (B), volkan (V), perbukitan
(H) dan pegunungan (M). Sedangkan tanah yang terbentuk dalam tingkat order
tanah dapat dikelompokkan dalam entisol, inceptisol, dan ultisol. Gambaran
order tanah di Kabupaten Lampung Barat adalah sebagai berikut:
62

a. Entisol
Order tanah entisol tergolong sebagai tanah yang belum berkembang yang
dicirikan belum adanya perkembangan profil. Pada daerah aluvial dan dataran
belum adanya perkembangan tanah tersebut disebabkan oleh adanya
penambahan endapan yang terus-menerus, sedangkan pada daerah perbukitan,
pegunungan dan volkan, terhambatnya perkembangan profil karena adanya
erosi yang berlangsung setiap saat. Great Group tanah yang termasuk ordo
Entisol di daerah perbukitan dan pegunungan Kabupaten Lampung Barat
adalah : trophorthents.
Pada daerah aluvial yang berupa dataran pantai, great group tanah yang
dijumpai meliputi : troposamments, hyraquents, dan sulfaquents.
Pada daerah aluvial yang berupa daerah pengendapan sungai, great group
tanah yang dijumpai meliputi : tropaquents, fluvaquents, dan tropofluents.
b. Inceptisol
Order tanah inceptisol tergolong tanah muda yang mengalami tahap
perkembangan lebih lanjut, jenis inceptisol dicirikan oleh adanya
perkembangan pencucian hara dan liat pada lapisan atas dan penimbunan
bahan-bahan tersebut pada lapisan bawah yang belum intensif, sehingga
tanah-tanah ini tergolong relatif subur.
Sebaran inceptisol merupakan yang terluas dibandingkan order-order tanah
yang lain. Terbentuknya tanah ini cenderung lebih mudah pada daerah
dataran tanah mineral. Great group tanah yang terbentuk di Kabupaten
Lampung Barat antara lain : tropaquepts, dystropepts, eutropepts,
humitropepts, dan distrandepts.
c. Ultisol
Order tanah ultisol merupakan tanah yang telah mengalami perkembangan
lanjut, jenis tanah ini dicirikan oleh adanya penimbunan liat dan pencucian
unsur hara dari lapisan atas ke lapisan bawah. Berhubungan pencucian yang
terjadi berlangsung secara intensif, maka kejenuhan basa di lapisan bawah
tergolong rendah yaitu 30 persen serta kemasaman tinggi. Order ultisol
meliputi great group : hapludult. Sebagian besar jenis tanah ini terbentuk pada
daerah berupa volkan, perbukitan dan pegunungan di Lampung Barat.
63

4.2.4. Lereng
Secara umum kemiringan lereng bervariasi dari datar sampai sangat terjal.
Sebagian besar wilayah Lampung Barat berlereng miring sampai sangat terjal
sebesar 70 % dari seluruh luasan wilayah Lampung Barat. Wilayah ini
memanjang dari utara ke selatan di sepanjang Patahan Semangka. Wilayah terjal
sampai sangat terjal dengan kemiringan 25% – 40% dan >40% terdapat di
Kecamatan Lemong (Pekon Lemong, Malaya, Bandar Pugung, Pagar Dalam,
Hutan, Balam), sebagian besar wilayah Kecamatan Karya Penggawa, Kecamatan
Suoh (Pekon Tugu Ratu, Simpang Bayur, Suoh, Sri Mulyo, Tambak Jaya),
Kecamatan Bengkunat (Pekon Marang, UPT Biha I, Mon, UPT Biha II, Gedung
Cahya, Kota Baru), Kecamatan Way Tenong (Pekon Sukananti), Kecamatan
Sumber Jaya (Pekon Pajar Bulan, Sindang Pagar, Way Petay), dan Kecamatan
Balik Bukit (Pekon Bahway). Luas wilayah dengan kemiringan curam sampai
sangat terjal sebesar 2.372,94 km2.
Wilayah dengan kemiringan lahan antara datar (0 – 0.2%) sampai landai
(0.2 – 2%) terdapat di pantai barat Kecamatan Pesisir Selatan dan Bengkunat.
Wilayah ini mempunyai luasan sebesar 1.474,98 km2 atau 30% dari seluruh luas
wilayah Lampung Barat. Keadaan kemiringan lereng dan luasannya dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Kemiringan lereng di Kabupaten Lampung Barat dan Luasannya.
No Kelas Lereng (%) Keterangan Luas (Km2) %
1 0 – 0.2 Datar 686.77 14.0
2 0.2 – 2 Landai 788.22 16.0
3 2 – 15 Miring 1074.26 21.8
4 15 – 25 Curam 756.84 15.4
5 25 – 40 Terjal 1089.55 22.1
6 >40 Sangat Terjal 526.54 10.7
Sumber : Bakosurtanal, 2004

4.2.5. Hidrologi
Secara umum keadaan aliran sungai di Kabupaten Lampung Barat terbagi
menjadi 2 golongan yaitu : wilayah Bagian Timur, merupakan hulu sungai-sungai
besar yang mengalir ke seluruh wilayah Propinsi Lampung.
64

Sebagian besar wilayah Lampung Barat adalah daerah perbukitan dan


pegunungan yang terletak di ujung selatan Bukit Barisan. Secara keseluruhan
daerah ini merupakan hulu dari sungai-sungai besar di Propinsi Lampung. Oleh
karena itu daerah ini memegang peranan penting dalam sistem Hidrologi
Lampung, yaitu sebagai daerah tangkapan air (Catchment Area) dari sungai-
sungai besar dan mempengaruhi keadaan iklim secara keseluruhan. Sungai-
sungai tersebut di antaranya, Way Besay, Way Umpu, Way Semangka, Way
Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang dan Way Mesuji.

4.3. Kondisi Geografis


4.3.1. Iklim
Menurut Oldeman akibat pengaruh dari rantai pegunungan Bukit Barisan,
maka Kabupaten Lampung Barat memiliki 2 (dua) Zone Iklim yaitu :
a. Zone A (jumlah bulan basah + 9 bulan) terdapat di bagian barat Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan termasuk Krui dan Bintuhan.
b. Zone B (jumlah bulan basah 7 – 9 bulan) terdapat di bagian timur Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan.
Berdasarkan curah hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika, curah
hujan Kabupaten Lampung Barat berkisar antara 2.500 – 3.000 milimeter per
tahun atau 140 – 221 milimeter per bulan.
Tinggi curah hujan di Kabupaten Lampung Barat terbagi atas :
a. Curah hujan antara 1500 – 2000 mm pertahun
b. Curah hujan antara 2000 – 2500 mm pertahun
c. Curah hujan antara 2500 – 3000 mm pertahun
Secara umum Kabupaten Lampung Barat beriklim tropis humid dengan
angin laut lembab yang bertiup dari Samudera Indonesia dengan 2 (dua)
angin/musim setiap tahunnya. Pada bulan November sampai dengan bulan Maret
angin bertiup dari arah barat dan barat laut, bulan Juli sampai dengan Agustus
angin bertiup dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan angin rata-rata 70
km/hari. Temperatur udara maksimum 33°C dan temperatur minimum 22°C.
Rata-rata kelembaban udara sekitar 80-88 persen, akan semakin tinggi pada
daerah yang lebih rendah.
65

4.4 Penduduk
Kependudukan di Kabupaten Lampung Barat dapat digambarkan melalui
jumlah, pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, komposisi penduduk
menurut umur, jenis kelamin, agama yang dianut, mata pencaharian, dan angkatan
kerja.
Menurut Dinas Kependudukan Kabupaten Lampung Barat, sampai dengan
tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten Lampung Barat sebanyak 388.113 jiwa.
Kecamatan Sumber Jaya adalah kecamatan dengan penduduk terbanyak. Di
kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara ini bermukim
47.231 jiwa atau 12,17 persen dari total penduduk Kabupaten Lampung Barat.
Kecamatan kedua terbanyak penduduknya adalah Bengkunat, yaitu 43.274 jiwa
(11,15 persen). Sebaliknya di kecamatan Pesisir Utara, penduduknya hanya 10.325
jiwa. Tabel 11 berikut menjelaskan jumlah penduduk setiap kecamatan dan
kepadatan per kilometer persegi di Kabupaten Lampung Barat tahun 2005.
Tabel 11. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2005
Kecamatan Luas (Km2) Jumlah Penduduk Kepadatan
(Penduduk/K
Pesisir Selatan 699,52 20.209 m2)
28,89
Bengkunat 1400,81 43.274 30,89
Pesisir Tengah 110,01 31.189 283,51
Karya Penggawa 62,46 13.849 221,72
Pesisir Utara 307,18 10.325 33,61
Lemong 327,25 14.163 43,28
Balik Bukit 195,50 31.387 160,55
Sukau 218,48 25.344 116,00
Belalau 395,06 24.896 63,02
Suoh 231,62 33.196 122,54
Sekincau 270,90 40.477 174,75
Batu Brak 189,67 12.856 67,78
Sumberjaya 356,46 47.231 132,50
Way Tenong 185,48 39.718 214,14
Jumlah 4.950.4 388.113 78,40

Sumber : Lampung Barat Dalam Angka 2005


66

4.5. Ekonomi
Secara umum struktur perekonomian Kabupaten Lampung Barat masih
didominasi oleh sektor pertanian dengan sub-sektor perkebunan yang memberikan
kontribusi terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
(Tabel 12).
Tabel 12. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Lampung Barat tahun
2005 (dalan Jutaan Rupiah).
No Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Atas Dasar Harga
Berlaku Konstan 1993
1. Pertanian 878.375 827.020
2. Pertambangan dan Penggalian 20.119 15.412
3. Industri Pengolahan Tanpa Migas 31.850 30.374
4. Listrik dan Air Bersih 2.988 2.861
5. Bangunan 46.825 44.048
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 244.267 219.855
7. Pengangkutan dan Komunikasi 42.487 37.584
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 22.487 18.703
Perusahaan
9. Jasa-jasa 69.498 42.244
Sumber : Lampung Barat Dalam Angka Tahun 2005

4.6. Perhubungan
Panjang ruas jalan di Kabupaten Lampung Barat sepanjang 519,06 km
yang terdiri dari Jalan Nasional 158,88 km, Jalan, Propinsi 316,18 dan Jalan
Kabupaten (Tabel 13)
Tabel 13. Sarana jalan berdasarkan status pengelolaan di Kabupaten Lampung
Barat
No Status Jalan Panjang Jalan (Km) Tipe Aspal
1 Nasional 158,88 A
2. Propinsi 316,18 A
3. Kabupaten 44 A
Sumber : Lampung Barat Dalam Angka Tahun 2005 (diolah)
67

4.7. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk menuju
masyarakat yang cerdas, terampil dan sejahtera. Di Kabupaten Lampung Barat,
jumlah sarana pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah
Menengah Umum disajikan pada Tabel 14 berikut.
Tabel 14. Jumlah sarana pendidikan Per kecamatan berdasarkan jenis pendidikan
No Kecamatan Jenis Pendidikan
TK SD SMP SMU
1 Pesisir Selatan 3 17 2 1
2 Bengkunat 3 26 5 3
3 Pesisir Tengah 2 24 4 3
4 Karya Penggawa 2 11 1 1
5 Pesisir Utara 5 13 3 0
6 Lemong 5 16 2 1
7 Balik Bukit 5 21 2 1
8 Sukau 2 25 3 2
9 Belalau 2 19 1 1
10 Sekincau 2 13 6 1
11 Suoh 3 13 8 2
12 Batu Brak 1 10 1 0
13 Sumberjaya 7 27 3 1
14 Way Tenong 8 26 3 3
Jumlah 50 261 44 20
Sumber : Lampung Barat Dalam Angka Tahun 2005 (diolah)

4.8. Kesehatan
Salah satu indikator tingkat kesejateraan masyarakat adalah kesehatan.
Ketersediaan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas, serta tenaga
medis mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat disamping faktor-faktor
lainnya. Jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Lampung Barat tersaji pada
Tabel 15. berikut ini.
68

Tabel 15. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Lampung Barat


Jenis Fasilitas Kesehatan
No Kecamatan Puskesmas Puskesmas Puskesmas Klinik
Perawatan Pembantu
1 Pesisir Selatan 1 0 3 0
2 Bengkunat 2 0 10 0
3 Pesisir Tengah 1 0 3 0
4 Karya Penggawa 0 1 1 0
5 Pesisir Utara 0 2 2 0
6 Lemong 1 0 2 0
7 Balik Bukit 1 0 4 2
8 Sukau 0 2 4 0
9 Belalau 0 1 5 0
10 Sekincau 0 1 6 0
11 Suoh 1 0 4 0
12 Batu Brak 0 1 3 0
13 Sumberjaya 1 0 5 0
14 Way Tenong 1 0 5 0
Jumlah 9 8 57 2
Sumber : Lampung Barat Dalam Angka Tahun 2005

4.9. Perkebunan
Kabupaten Lampung Barat sebagai daerah dengan potensi pertanian yang
besar, luas areal dan produksi tanaman kelapa cenderung terus meningkat.
Berdasarkan data statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat Tahun
2006, dari sisi luas areal dan produksi tanaman kelapa di Kabupaten Lampung
Barat menduduki peringkat ketiga dari 17 komoditas yang banyak diusahakan
masyarakat.
69

Tabel 16. Luas Areal dan Produksi Tanaman Perkebunan Kabupaten Lampung
Barat Tahun 2006
LUAS AREAL (Ha) PRO- PRODUK
NO KOMODITAS
DUKSI TIVITAS
TBM TM TR JML
(TON) (Kg/Ha/Th)

1 Aren 132.1 147.8 21.2 301.1 44.6 302

2 Cengkeh 1,080.5 384.4 136.6 1,601.5 42.3 110

3 Kakao 953.5 238.5 5.2 1,197.2 77.3 324

4 Kayu Manis 525.6 331.5 56.0 913.1 203.9 615

5 Kelapa Dalam 2,986.5 3,707.9 115.2 6,809.6 2,450.9 661

6 Kelapa Hibrida 1.5 30.6 8.8 40.9 9.8 321

7 Kelapa Sawit 891.7 5,341.3 87.0 6,320.0 24,009.1 4,495

8 Kemiri 54.2 44.4 1.0 99.6 44.9 1,012

9 Kopi Robusta 2,802.9 56,630.1 1,038.8 60,471.8 24,124.4 426

10 Kopi Arabika 4.8 9.1 3.1 17.0 3.6 398

11 Lada 3,621.0 9,124.5 545.1 13,290.6 3,403.4 373

12 Nilam 348.0 58.5 71.5 478.0 4.2 72

13 Pala 5.0 2.0 - 7.0 2.0 980

14 Pinang 100.6 183.0 17.9 301.5 51.2 280

15 Sereh Wangi 3.8 13.8 - 17.6 5.4 390

16 The 2.2 14.8 16.3 33.3 8.5 573

17 Vanili 43.6 16.2 - 59.8 5.7 353

JUMLAH I 13,557.5 76,278.4 2,123.6 91,959.5


Sumber : Disbun Lampung Barat (2007)
Keterangan :

TBM : Tanaman Belum Menghasilkan TR : Tanaman Rusak


TM : Tanaman Menghasilkan TBS : Tandan Buah Segr

4.9.1. Kelapa
Pada tahun 2004 - 2006 luas areal tanaman kelapa secara berturut-turut
adalah 6.802,6 Ha, 6.807,6 ha, dan 6.809,6 ha. Adapun produksi pada tahun yang
sama adalah 2.296,4 ton, 2.413 ton dan 2.450,9 ton, dengan produktifitas 633
kg/ha/th, 651 kg/ha/th dan 661 kg/ha/th. Secara lengkap luas areal dan produksi
tanaman kelapa di Kabupaten Lampung Barat disajikan pada Tabel 17 berikut ini:
70

Tabel 17. Luas areal, produksi dan produktifitas tanaman kelapa Kabupaten
Lampung Barat tahun 2004 – 2006

No Tahun Luas Areal (ha) Produksi (Ton) Produktiftas


(Kg/ha/th)
1 2004 6.802,6 2.293,4 633
2 2005 6.807,6 2.413,0 651
3 2006 6.809,6 2.450,9 661
Sumber : Disbun Lampung Barat (2007)

Penyebaran komoditas kelapa berada pada 7 Kecamatan yaitu Kecamatan


Pesisir Selatan, Bengkunat, Pesisir Tengah, Karya Penggawa, Pesisir Utara,
Lemong dan Sukau (Tabel 18). Pada wilayah kecamatan lain komoditas kelapa
bukan merupakan komoditas utama hal ini terkait dengan kesesuaian agroklimat
(Bapeda Kabupaten Lampung Barat, 2003).
Tabel 18. Data Potensi dan Produksi Kelapa Dalam Kabupaten Lampung Barat
Tahun 2006

NO KECAMATAN LUAS AREAL (Ha) PRODUKSI Produktifitas BENTUK


TBM TM (Ton/Th) (Kg/Ha/Th) HASIL
1 Pesisir Tengah 66.30 282.29 326.17 1,115 Kopra
2 Karya Penggawa 72.20 290.80 206.36 710 Kopra
3 Pesisir Selatan 104.54 1,184.95 610.76 515 Kopra
4 Bengkunat 207.25 710.55 527.30 742 Kopra
5 Pesisir Utara 34.95 440.05 316.34 719 Kopra
6 Lemong 19.30 354.80 247.50 698 Kopra
7 Sukau 2,378.11 180.47 48.75 270 Kopra
JUMLAH 2,882.65 3,443.91 2,283.18 -

Sumber : Disbun Lampung Barat (2007)


Catatan:
• TBM = Tanaman belum menghasilkan
• TM = Tanaman menghasilkan
71

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penentuan Lokasi


5.1.1. Location Quotient (LQ)
Salah satu upaya menuju efisiensi ekonomi pembangunan sektor
pertanian dalam arti luas, dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas
yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran
maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh
superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi
sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Sedangkan dari sisi permintaan,
komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan di pasar baik pasar
domestik maupun internasional (Syafaat dan Supena, 2000 dalam Hendayana,
2003). Kondisi sosial ekonomi yang dimaksud mencakup penguasaan teknologi,
kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur misalnya pasar dan kebiasaan
petani setempat
Superioritas tersebut harus dapat diukur secara kuantitatif dalam kaitannya
dengan komoditas lain dalam wilayah yang lebih luas. Diperlukan cara atau
metode dalam menentukan apakah suatu komoditas tersebut mempengaruhi
perekonomian wilayah setempat. Salah satu teori yang banyak dipakai dalam
menentukan sektor basis dalam wilayah adalah Location Quotient (LQ).
Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan
dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor
kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif
atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.
Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) yang menggunakan
data luas areal komoditas kelapa pada 6 kecamatan di wilayah Pesisir Kabupaten
Lampung Barat, diketahui bahwa kelapa merupakan komoditas yang memiliki
pengaruh besar dalam perekonomian wilayah. Hal ini terlihat bahwa dari 6
kecamatan terdapat 43 dari 85 (51 persen) desa Pesisir yang memiliki nilai LQ >
1, sedangkan sisanya (49) memiliki nilai LQ<1. Adapun uraian hasil analisis
sebagai berikut: pada Kecamatan Bengkunat terdapat 10 desa (50 persen) yang
memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Selatan terdapat 3 desa (30 persen)
72

dengan nilai LQ>1, selanjutnya Kecamatan Pesisir Tengah desa dengan nilai LQ.1
berjumlah 9 desa (45 persen), Kecamatan Karya Penggawa 6 desa (60 persen)
yang memiliki nilai LQ>1, Kecamatan Pesisir Utara terdapat 11 desa ( (68 persen)
yang memiliki LQ>1 dan 4 desa (36 persen) pada Kecamatan Lemong yang
memiliki nilai LQ kelapa>1.
Sebagai daerah dengan mata pencaharian pokok penduduk bertumpu pada
sektor pertanian, peranan komoditas perkebunan lainnya seperti Kopi, Cengkeh,
Lada dan Kelapa Sawit di wilayah pesisir cukup dominan. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai LQ>1 pada beberapa desa. Di Kecamatan Bengkunat, terdapat 8
desa yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kopi, 6 desa untuk komoditas
Cengkeh, 5 desa untuk komoditas Lada dan 7 desa memiliki nilai LQ> 1 untuk
komoditas Kelapa Sawit.
Keberadaan komoditas Kopi, Lada, dan Cengkeh merupakan bentuk pola
budidaya masyarakat pesisir yang menggunakan sistem budidaya kebun campuran
dengan tanaman Damar atau dikenal dengan istilah Repong Damar. Tanaman
tersebut merupakan bagian dari usaha budidaya Damar yang tumbuh dengan baik
pada pola kebun campuran Kopi, Lada, Cengkeh dan tanaman buah-buahan
lainnya. Sedangkan Kelapa Sawit di Kecamatan Bengkunat merupakan
perkebunan perusahaan swasta PT. Karya Canggih Mandirutama (PT. KCMU),
yang mengusahakan perkebunan Kelapa Sawit dengan Pola Perkebunan Inti
Rakyat (PIR).
Kecamatan Pesisir Selatan nilai LQ>1 tanaman kelapa hanya terdapat
pada 3 desa, sedangkan tanaman Kopi terdapat 7 desa yang memiliki nilai LQ>1,
3 desa untuk tanaman Cengkeh, dan 5 desa untuk komoditas Lada serta 2 desa
untuk Kelapa Sawit. Seperti halnya Kecamatan Bengkunat, di kecamatan ini pola
pengusahaan tanaman perkebunan dengan sistem Repong Damar.
Peranan sektor perkebunan tidak begitu besar di Kecamatan Pesisir
Tengah, hal ini terbukti dengan nilai LQ>1 hanya terdapat pada beberapa desa
yaitu kelapa 8 desa, Kopi terdapat pada 4 desa, Cengkeh 5 desa, dan 3 desa untuk
tanaman Lada. Sedangkan tanaman Kelapa Sawit belum ada di Kecamatan ini.
Rendahnya peranan sektor perkebunan karena Kecamatan Pesisir Tengah
merupakan wilayah yang relatif lebih maju dari kecamatan lain dalam wilayah
73

pesisir Kabupaten Lampung Barat. Hal ini disebabkan aktifitas ekonomi lebih
bertumpu pada sektor perdagangan komoditas pertanian, kehutanan, dan jasa.
Sebagai kecamatan yang memiliki jumlah desa paling sedikit, Karya
Penggawa, merupakan wilayah penyangga dan pemasok hasil perkebunan untuk
wilayah Pesisir Tengah. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui bahwa desa-desa
yang memiliki nilai LQ>1 untuk komoditas Kelapa terdapat pada 6 desa, Kopi
terdapat 1 desa, Cengkeh 1 desa dan 3 desa untuk komoditas Lada, sedangkan
Kelapa Sawit tidak terdapat di wilayah ini. Rendahnya peranan sektor
perkebunan terutama komoditas Kopi, dan Cengkeh karena sebagian wilayah ini
berada pada daerah hutan Taman Nasional dan pantai.
Kecamatan Pesisir Utara merupakan daerah perbukitan, dimana usaha
budidaya pertanian berada di sekitar hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Budidaya pertanian di kecamatan ini merupakan campuran antara tanaman
perkebunan dan kehutanan yaitu Damar. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui
bahwa kontribusi beberapa komoditi antara lain: Kelapa dengan nilai LQ>1
terdapat pada 12 desa, kopi dengan 3 desa, Cengkeh terdapat pada 12 desa, dan
Lada terdapat pada 8 desa. Peranan sektor perkebunan sangat besar karena
terdapat satu pulau yaitu Pulau Pisang dimana mata pencaharian penduduk sangat
tergantung pada komoditas Kelapa dan Cengkeh serta perikanan tangkap.
Sedangkan wilayah pegunungan Kecamatan Pesisir Utara didominasi oleh
perkebunan campuran Cengkeh, Kopi dan Damar.
Kecamatan Lemong merupakan wilayah yang berada di sisi paling Utara
Pesisir Kabupaten Lampung Barat dan berbatasan langsung dengan Propinsi
Bengkulu. Wilayah pantai dengan bagian daratan berupa punggung Bukit Barisan
Selatan, maka mata pencaharian masyarakat bergantung pada sektor perkebunan.
Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa terdapat 4 desa dengan nilai LQ>1, 4 desa
untuk komoditas kopi, 5 desa untuk komoditas Cengkeh, dan 5 desa untuk
komoditas Lada. Sedangkan Kelapa Sawit belum diusahakan di wilayah ini. Pada
kecamatan Lemong dan Pesisir Utara produksi hasil perkebunan sulit terdata
secara detil karena banyak lahan yang merupakan kawasan hutan lindung dan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
74

Secara lengkap hasil analisis LQ komoditas kelapa berdasarkan indeks luas panen
dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Hasil analisis Location Quotient desa-desa pesisir Kabupaten Lampung
Barat.
No NAMA DESA KELAPA KOPI CENGKEH LADA K. SAWIT
KECAMATAN BENGKUNAT
1 W H BELIMBING 1.01 1.47 - 2.10 -
2 BANDAR DALAM 4.43 1.33 1.00 0.80 -
3 KOTA JAWA 0.94 1.40 0.15 2.19 -
4 PENYANDINGAN 0.67 1.33 - 2.39 -
5 SUKAMARGA 0.01 0.97 - 1.62 0.82
6 KOTA BATU 4.08 0.74 11.07 0.40 -
7 PARDASUKA 0.52 0.78 0.30 0.62 1.59
8 RAJABASA 0.28 1.13 12.22 0.37 0.62
9 MULANG MAYA 0.59 2.95 2.20 0.32 0.01
10 NRATU NGARAS 2.94 0.79 13.62 0.48 -
11 G CAHYA KUNINGAN 0.92 0.72 0.27 0.18 1.83
12 N.R. NGAMBUR 1.40 0.14 0.04 0.13 2.18
13 PEKONMON 1.70 0.16 0.11 0.10 2.11
14 SUMBER AGUNG 6.56 0.36 - 0.18 0.66
15 PAGAR BUKIT 0.44 0.65 1.15 0.52 1.71
16 TANJUNG KEMALA 0.64 1.29 0.57 0.53 1.22
17 ULOK MUKTI 0.75 1.29 0.57 0.53 1.22
18 SUKA NEGARA 1.20 0.56 0.45 1.20 0.80
19 MUARA TEMBULIH 1.70 0.16 0.11 0.10 -
20 SUKA BANJAR 1.20 0.59 0.60 0.70 -
KECAMATAN PESISIR SELATAN
21 MARANG 0.50 0.22 0.49 0.47 1.57
22 WAY JAMBU 0.75 0.51 - 1.53 1.26
23 BIHA 1.54 0.71 0.25 0.81 0.77
24 TANJUNG SETIA 2.53 1.41 2.65 - -
25 PAGAR DALAM 0.00 4.44 - - -
26 TANJUNG JATI 0.41 6.27 - - -
27 SUMUR JAYA 1.23 2.21 - 8.42 -
28 PELITA JAYA 0.49 4.80 5.33 4.17 -
29 SUKARAME 0.80 3.60 - 6.84 -
30 N.R TENUMBANG 0.45 4.42 13.10 4.80 -
KECAMATAN PESISIR TENGAH
31 BALAI KENCANA 1.23 0.97 0.60 1.01 -
32 WAY SULUH 1.32 1.57 0.36 0.27 -
33 WAY NAPAL 1.65 - 0.43 - -
34 PADANG HALUAN 1.88 - - - -
35 LINTIK 0.01 0.28 0.53 0.71 -
36 WALUR 1.88 - - - -
37 PEMERIHAN 1.21 0.92 0.70 0.79 -
38 WAY REDAK 1.43 1.42 0.27 - -
39 SERAY 0.16 - 2.48 2.94 -
40 KAMPUNG JAWA 1.88 - - - -
75

Tabel 19 (lanjutan)
41 RAWAS 0.15 - 2.32 3.74 -
42 PASAR KRUI - - - - -
43 SUKANEGARA 0.17 1.45 2.08 - -
44 PAHMUNGAN 0.14 1.93 2.43 - -
45 PAJAR BULAN - - - - -
46 BUMIWARAS - - - - -
47 PENGGAWA V ILIR - - - - -
48 BANJAR AGUNG 0.63 - 2.28 - -
49 ULU KRUI 1.21 0.92 0.70 0.79 -
50 GUNUNG KEMALA 0.13 6.25 0.48 1.44 -
KECAMATAN KARYA PENGGAWA
51 MENYANCANG 2.75 0.13 0.16 0.87 -
52 PENGGAWA V TENGAH 2.87 0.06 0.23 0.39 -
53 LAAY 2.14 0.45 0.62 0.14 -
54 PENGGAWA V ULU 1.97 0.60 0.32 1.46 -
55 PENENGAHAN 0.00 0.98 0.79 3.33 -
56 WAY NUKAK 1.82 0.25 0.91 1.40 -
57 KEBUAYAN 2.18 0.45 0.55 0.25 -
58 WAY SINDI 0.08 1.49 1.44 0.87 -
KECAMATAN PESISIR UTARA
59 WALUR 0.62 1.20 0.50 1.54 -
60 PADANG RINDU 3.61 0.03 0.41 0.46 -
61 KURIPAN 2.88 0.03 1.86 1.50 -
62 NEGERI RATU 2.74 0.16 1.34 1.70 -
63 KERBANG LANGGAR 0.00 1.24 1.23 2.52 -
64 KERBANG DALAM 0.41 0.52 4.28 3.55 -
65 BALAM 1.52 0.55 2.03 1.80 -
66 WAY NARTA 1.31 0.37 3.39 2.50 -
67 KOTA KARANG 2.17 0.29 2.34 1.03 -
68 BATURAJA 0.21 1.48 0.23 0.64 -
69 SUKAMARGA 1.97 - 5.08 - -
70 PEKON LOK 1.43 - 6.47 - -
71 BANDAR DALAM 1.54 - 6.18 - -
72 PASAR PULAU PISANG 1.31 - 6.77 - -
73 SUKADANA 1.40 - 6.53 - -
74 LABUHAN 1.31 - 6.77 - -
KECAMATAN LEMONG
75 PENENGAHAN 0.83 0.93 4.30 1.04 -
76 BANDAR PUGUNG 1.79 0.86 0.78 1.00 -
77 PAGAR DALAM 0.52 1.44 0.65 0.60 -
78 BAMBANG 0.93 0.61 1.13 1.48 -
79 MALAYA 0.00 0.61 1.16 1.58 -
80 CAHAYA NEGERI 0.17 1.26 0.26 0.90 -
81 LEMONG 0.80 1.14 0.60 0.88 -
82 WAY BATANG 5.32 0.49 0.47 0.66 -
83 TANJUNG SAKTI 3.77 0.58 1.08 0.88 -
84 TANJUNG JATI 3.11 0.61 1.39 0.98 -
85 RATA AGUNG 0.03 1.08 0.55 1.13 -
76

Gambaran secara spasial desa-desa lokasi penelitian menunjukkan


kecenderungan pengelompokan (klaster) wilayah yang memiliki nilai LQ>1. Di
Kecamatan Bengkunat desa-desa yang memiliki nilai LQ>1 yaitu: Way Haru dan
Bandar Dalam merupakan desa yang bersebelahan. Desa-desa lain yang memiliki
nilai LQ>1 seperti Kota Batu, Negeri Ratu Ngaras, Negeri Ratu Ngambur, Pekon
Mon dan Sumber Agung juga merupakan lokasi yang secara geografis berada
dalam jarak yang berdekatan. Demikian juga dengan Sukanegara, Muara
Tembulih dan Suka Banjar merupakan desa-desa yang berdekatan.
Kecamatan Pesisir Selatan terdapat 3 desa yang memiliki nilai LQ>1
yaitu: Biha, Tanjung Setia dan Sumur Jaya, yang berdekatan secara geografis satu
sama lainnya. Kecamatan Pesisir Tengah, terdapat beberapa desa yang memiliki
nilai LQ>1 yaitu: Balai Kencana, Way Suluh, Way Napal, Padang Haluan, Walur,
Pemerihan, Way Redak, dan Kampung Jawa secara spasial merupakan desa-desa
yang berdekatan satu sama lain, sedangkan desa Ulu Krui berada pada lokasi yang
agak berjauhan dengan desa-desa lainnya. Pada Kecamatan Karya Penggawa 6
dari 8 desa yang memiliki nilai LQ>1, secara spasial berada dalam jarak yang
berdekatan.
Di lain pihak di Kecamatan Pesisir Utara, 3 desa yang merupakan sentra
Kelapa yaitu Balam, Kota Karang dan Way Narta secara geografis berdekatan
satu sama lain. Desa Kuripan, Negeri Ratu dan Kerbang Langgar juga memiliki
jarak yang saling berdekatan. Sedangkan 6 desa penghasil Kelapa lainnya yaitu:
Pekon Lok, Sukamarga, Labuhan, Pasar Pulau Pisang, Sukadana dan Bandar
Dalam adalah desa-desa di Pulau Pisang. Demikian juga dengan desa-desa di
Kecamatan Lemong yang memiliki nilai LQ>1, terdapat 3 desa yang berdekatan
yaitu: Way Batang, Tanjung Sakti dan Tanjung Jati, sedangkan Bandar Pungung
berada pada wilayah yang relatif agak jauh dengan ketiga desa di atas.
Pola penyebaran komoditas perkebunan, yang cenderung berdekatan
secara administratif disebabkan oleh perluasan areal komoditas sejenis banyak
diusahakan secara turun temurun. Secara lengkap tampilan spasial desa-desa
lokasi penelitian yang memiliki nilai LQ>1 disajikan pada gambar 5.
77

Gambar 5. Hasil analisis Location Quotient (LQ)


78

5.1.2. Analisis Skalogram


Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi
pusat pertumbuhan wilayah berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan
demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan aktivitas
pelayanan suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan
pusat pelayanan, sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi
daerah belakang (hinterland)
Lampung Barat merupakan salah satu daerah Kabupaten dalam wilayah
Propinsi Lampung yang berada di pantai barat. Keberadaan wilayah yang hampir
78 persen merupakan kawasan lindung ini menjadikan Kabupaten Lampung Barat
mengalami hambatan dalam pembangunan infrastruktur. Topografi yang berbukit
dengan kawasan hutan yang luas membuat banyak desa memiliki kekurangan
dalam hal sarana dan prasarana fisik.
Berdasarkan hasil analisis skalogram diketahui bahwa dari 85 desa di
wilayah Pesisir yang menjadi lokasi penelitian diketahui hanya terdapat 6 desa (7
persen) yang memiliki hirarki wilayah 1 atau berkembang. Adapun desa-desa
tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Bengkunat 4 desa, Kecamatan Pesisir
Selatan 1 desa dan 1 desa berada di Kecamatan Pesisir Tengah. Sedangkan
Kecamatan lain seperti Karya Penggawa, Pesisir Utara dan Lemong, berdasarkan
hasil analisis tidak terdapat desa dengan hirarki 1.
Desa-desa yang memiliki hirarki 2 atau relatif berkembang berjumlah 26
desa (31 persen) antara lain di Kecamatan Bengkunat terdapat 7 desa, Pesisir
Selatan 3 desa, Pesisir Tengah 6 desa, Karya Penggawa 3 desa, Pesisir Utara 4
desa dan Kecamatan Lemong 2 desa. Sedangkan sisanya atau 53 desa (62,
persen) merupakan wilayah yang berhirarki 3 atau belum berkembang. Adapun
desa-desa yang memiliki hirarki 3 yaitu Kecamatan Bengkunat 9 desa, Pesisir
Selatan 6 desa, Pesisir Tengah 13 desa, Karya Penggawa 3 desa, Peisir Utara dan
Lemong masing-masing 12 dan 9 desa.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa beberapa desa yang memiliki
hirarki 1 merupakan ibukota kecamatan, seperti halnya Biha yang merupakan
ibukota Kecamatan Pesisir Selatan, Pasar Krui adalah ibu kota Kecamatan Pesisir
Tengah dan Pardasuka yang merupakan ibukota Kecamatan Bengkunat.
79

Sedangkan ibukota Kecamatan Karya Penggawa, Pesisir Utara dan Lemong


masing-masing memiliki hirarki 2.
Desa Pagar Bukit dan Sumber Agung di Kecamatan Bengkunat memiliki
hirarki 1, karena merupakan pusat aktifitas perdagangan dan adanya perusahaan
perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Bengkunat, sedangkan desa
Penyandingan memiliki hirarki 1 karena berbatasan langsung dengan Kabupaten
Tanggamus, dimana desa ini merupakan pusat perdagangan desa-desa sekitar
seperti Way Haru, Bandar Dalam, Sukamarga dan desa-desa dalam Kabupaten
Tanggamus yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Barat.
Dengan demikian adalah wajar bila fasilitas tersedia karena aktifnya pergerakan
kegiatan perekonomian setempat.
Menurut Rustiadi et al. (2006), sarana penunjang sangat diperlukan karena
menyangkut lokasi produksi, ditribusi dan pemasaran produk atau komoditi. Pada
kenyataannya sarana penunjang tidak menyebar secara merata dalam satu sistem
ruang, tetapi penyebarnnya tergantung pada permintaan dan permintaan sangat
tergantung pada konsentrasi penduduk. Keadaan ini mengakibatkan timbulya
hirarki pusat-pusat pelayanan.
Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan
yang lebih banyak dan lebih beragam dari pusat pelayanan yang berhirarki lebih
rendah (Rustiadi et al 2006). Hirarki tidak selalu sama dengan hirarki
administratif. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan
masa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai masa yang lebih besar
daripada yang berhirarki lebih rendah.
Keberadaan fasilitas pendukung dalan rencana lokasi industri sangat
penting karena merupakan kebutuhan primer masyarakat dan wajar harus tersedia,
demi menunjang aktifitas masyarakat sekitar lokasi industri. Satu hal yang
penting adalah bahwa masyarakat sekitar lokasi industri akan menanggung
dampak lingkungan dari aktifitas industri. Secara lengkap gambaran hirarki desa
dalam lokasi penelitian disajikan pada tabel 20 berikut ini.
80

Tabel 20. Hasil analisis Skalogram desa-desa pesisir Kabupaten Lampung Barat.
Jumlah Luas Total Jumlah Jenis Hierarki
No Nama Desa Penduduk Desa (Ha) Fasilitas Fasilitas Wilayah

KECAMATAN BENGKUNAT
1 PENYANDINGAN 2213 960 81.00 26 1
2 PAGAR BUKIT 3711 11008 82.00 27 1
3 PARDA SUKA 2304 7570 84.00 27 1
4 SUMBER AGUNG 1640 7252 34.00 25 1
5 WAY HARU 2888 13550 39.00 18 2
6 BANDAR DALAM 3633 2626 39.00 16 2
7 TANJUNG KEMALA 2550 11550 67.00 20 2
8 G CAHYA KUNINGAN 4490 3215 42.00 21 2
9 N RATU NGAMBUR 2010 2041 64.00 24 2
10 ULOK MUKTI 2860 956 42.00 15 2
11 SUKA BANJAR 2442 1140 43.00 15 2
12 KOTA JAWA 3717 15160 66.00 14 3
13 SUKAMARGA 4105 14400 41.00 14 3
14 RAJA BASA 1201 5413 21.00 11 3
15 MULANG MAYA 772 9023 24.00 13 3
16 NEGERI RATU NGARAS 2337 13500 24.00 10 3
17 KOTA BATU 1520 7000 16.00 10 3
18 PEKON MON 3422 6676 39.00 14 3
19 SUKA NEGARA 1136 1264 29.00 13 3
20 MUARA TEMBULIH 727 1211 10.00 8 3
KECAMATAN PESISIR SELATAN
21 BIHA 4770 2526 117.00 31 1
22 MARANG 4468 4512 98.00 23 2
23 WAY JAMBU 3678 18590 72.00 22 2
24 SUMUR JAYA 1455 9313 42.00 17 2
25 TANJUNG SETIA 1364 6680 21.00 14 3
26 PAGAR DALAM 608 2165 13.00 8 3
27 TANJUNG JATI 332 2165 15.00 12 3
28 PELITA JAYA 1455 9313 31.00 10 3
29 SUKARAME 798 5052 10.00 9 3
30 NR. TENUMBANG 2125 15349 44.00 12 3
KECAMATAN PESISIR TENGAH
31 PASAR KRUI 8598 546 207.00 31 1
32 BALAI KENCANA 1720 984 32.00 18 2
33 WAY REDAK 797 393 23.00 16 2
34 SERAY 1300 492 27.00 16 2
35 KAMPUNG JAWA 2096 345 34.00 22 2
36 RAWAS 1193 464 30.00 15 2
37 ULU KRUI 2833 1803 33.00 22 2
38 WAY SULUH 1505 600 14.00 10 3
39 WAY NAPAL 860 508 17.00 11 3
40 PADANG HALUAN 665 264 19.00 13 3
41 LINTIK 1509 328 26.00 13 3
42 WALUR 526 437 37.00 11 3
81

Tabel 20. (lanjutan)


43 PEMERIHAN 632 513 20.00 12 3
44 SUKANEGARA 840 328 18.00 10 3
45 PAHMUNGAN 976 923 29.00 12 3
46 PAJAR BULAN 380 219 15.00 9 3
47 BUMIWARAS 401 153 17.00 11 3
48 PENGGAWA V ILIR 1292 387 33.00 14 3
49 BANJAR AGUNG 441 164 19.00 9 3
50 GUNUNG KEMALA 2340 1327 53.00 14 3
KECAMATAN KARYA PENGGAWA
51 LAAY 1260 492 34.00 16 2
52 PENENGAHAN 2667 1530 53.00 15 2
53 KEBUAYAN 839 392.5 23.00 15 2
54 WAY SINDI 4409 1913 96.00 20 2
55 MENYANCANG 1160 333 21.00 13 3
56 P. LIMA TENGAH 1047 546 26.00 9 3
57 PENGGAWA LIMA ULU 1380 130.5 26.00 12 3
58 WAY NUKAK 1378 437 21.00 10 3
KECAMATAN PESISIR UTARA
59 KURIPAN 876 2923 42.00 22 2
60 NEGERI RATU 1058 3080 39.00 19 2
61 PASAR PULAU PISANG 849 447 28.00 18 2
62 LABUHAN 737 516 29.00 19 2
63 WALUR 921 4280 32.00 11 3
64 PADANG RINDU 800 2980 23.00 13 3
65 KERBANG LANGGAR 658 3040 20.00 12 3
66 KERBANG DALAM 650 2005 21.00 12 3
67 BALAM 788 2880 19.00 10 3
68 WAY NARTA 402 2615 11.00 7 3
69 KOTA KARANG 918 2704 30.00 17 3
70 BATURAJA 668 2713 20.00 11 3
71 SUKAMARGA 166 779 11.00 10 3
72 PEKON LOK 331 200 18.00 9 3
73 BANDAR DALAM 419 152 18.00 9 3
74 SUKADANA 473 156 15.00 10 3
KECAMATAN LEMONG
75 PENENGAHAN 2222 4561 39.00 17 2
76 LEMONG 3330 1287 42.00 15 2
77 BANDAR PUGUNG 706 2962 18.00 11 3
78 PAGAR DALAM 1176 3209 15.00 11 3
79 BAMBANG 729 2463 22.00 9 3
80 MELAYA 2221 3222 31.00 11 3
81 CAHYA NEGERI 960 7513 28.00 11 3
82 WAY BATANG 782 2556 16.00 8 3
83 TANJUNG SAKTI 213 2334 10.00 9 3
84 TANJUNG JATI 381 2773 12.00 9 3
85 RATA AGUNG 2026 1056 45.00 14 3
Jumlah fasilitas 139,022 292,578 2,926.00 1,206.00
Jumlah desa yang memiliki fasilitas 84.00 84.00
82

Secara spasial sebaran desa-desa berdasarkan hirarki wilayah


menunjukkan bahwa desa-desa dengan hirarki 1 cenderung mengelompok. Pada
wilayah Kecamatan Bengkunat, desa-desa berhirarki 1 berada dalam wilayah yang
berdekatan yaitu yaitu Pagar Bukit dan Pardasuka, kecuali desa Penyandingan.
Namun demikian secara geografis desa Penyandingan berada dalam lokasi yang
tidak terlalu berjauhan dengan kedua desa lainnya.
Kecamatan Pesisir Selatan yang memiliki 1 desa berhirarki 1, yaitu Biha,
sedangkan di Wilayah Kecamatan Pesisir Tengah hanya terdapat 1 desa dengan
hirarki 1 yaitu desa Pasar Krui. Tersedianya fasilitas pendukung di desa-desa
yang berdekatan merupakan hal yang wajar sebagai akibat aktifitas ekonomi dan
pemerintahan lokal. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa desa yang memiliki
hirarki 1 merupakan ibukota kecamatan yang memiliki fasilitas lebih baik dari
desa lainnya. Ketersediaan fasilitas tersebut akan memicu pergerakan ekonomi
daerah sekitar sebagai akibat kegiatan ekonomi dalam hal ini pasar. Dampak
tersebut akan sangat dirasakan oleh desa-desa yang secara geografis berdekatan
dengan ibukota kecamatan. Menurut Rustiadi et al. (2006) aspek spasial adalah
fenomena yang alami. Adalah wajar bila perkembangan suatu wilayah lebih
dipengaruhi oleh wilayah sebelahnya atau lebih dekat dibandingkan wilayah yang
lebih berjauhan akibat adanya interaksi sosial ekonomi penduduk.
Kecamatan Karya Penggawa dan Pesisir Utara merupakan daerah
belakang (hinterland) yang menjadi pemasok produk hasil pertanian ke
Kecamatan Pesisir Tengah. Sebagian besar mata pencaharian pendudukdi ketiga
kecamatan tersebut tergantung pada sektor pertanian dan perikanan laut yang pada
umumnya bersifat tradisonal.
Desa Pasar Krui merupakan pusat aktifitas ekonomi dan Pemerintahan di
Kecamatan Pesisir Tengah, serta memiliki pelabuhan pendaratan ikan, jalur
transportasi laut masyarakat Pulau Pisang dan pusat perdagangan produk
pertanian dan kehutanan. Oleh karena itu sebagai desa dengan hirarki 1, Pasar
Krui menjadi pusat pelayanan bagi desa-desa disekitarnya termasuk desa-desa di
Kecamatan lainnya. Fasilitas pelabuhan, pasar dan sarana sosial lain tersedia di
ibukota Kecamatan Pesisir Tengah ini. Secara lengkap gambaran secara spasial
hasil analisis hirarki wilayah berdasarkan fasilitas disajikan pada gambar 6.
83

Gambar 6. Hasil analisis Skalogram


84

5.1.3. Analisis Kesesuaian Lahan


Dalam analisis kesesuaian lahan, prosedur penilaian kesesuaian lahan
dilakukan dengan pendekatan satuan lahan yang dikemukakan FAO (1976).
Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara mencocokkan (matching)
karakteristik dan kualitas lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman tertentu.
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan di wilayah Pesisir Kabupaten
Lampung Barat, diketahui bahwa luas areal yang sangat sesuai untuk tanaman
kelapa (S1) 72.231 ha, cukup sesuai (S2) 33.688 ha,sesuai marjinal (S3) 84.973
ha, dan tidak sesuai (N1) seluas 92.801 ha dan Tidak sesuai selamanya (N2)
10.3610 ha. Tabel 21 berikut menunjukkan hasil analisis kesesuaian lahan:
Tabel 21. Hasil Analisis Kesesuaian Lahan Tanaman Kelapa
Keterangan Luas (Ha) Persentase
Sangat Sesuai (S1) 72.231 24,78
Cukup Sesuai (S2) 33.688 11,40
Sesuai Marjinal (S3) 84.973 28,76
Tidak Sesuai Saat ini (N1) 92,801 31,40
Tidak Sesuai Untuk Selamanya (N2) 10.808. 3,66
Jumlah 294.502 100,00

Mengacu pada hasil analisis di atas, potensi lahan untuk tanaman kelapa
sangat luas, dimana wilayah yang sesuai (S1 dan S2) untuk tanaman kelapa
mencapai 105.919 ha. Sedangkan lahan yang sesuai marjinal 84.973 ha.
Berdasarkan data statistik Perkebunan Kabupaten Lampung Barat Tahun
2006, luas areal tanaman kelapa mencapai 6.809,6 ha, kondisi tersebut
menggambar potensi pengembangan areal perkebunan kelapa di wilayah pesisir
masih sangat besar. Potensi tersebut belum tergarap secara maksimal karena
banyak keterbatasan seperti: sarana produksi, sumberdaya manusia, preferensi
petani dan kebijakan pemerintah.
Menurut buku satuan lahan Lembaran Kota Agung Pusat Penelitian Tanah
Departemen Pertanian, dijelaskan bahwa di daerah pesisir Lampung Barat,
merupakan dataran rendah yang terletak pada ketinggian 0-20 meter dari
permukaan laut (m dpl), banyak dijumpai tanah jenis Entisol/Alluvial
(Tropopsamments) yang merupakan tanah belum berkembang dan cocok untuk
perkebunan kelapa. Selanjutnya dibagian Barat pesisir juga dijumpai Grup Teras
Marin yang terletak pada ketinggian 0-200 m dpl dengan jenis tanah utama
85

Dystropepts/Eutropepts yang sangat baik untuk dikembangkan kegiatan pertanian


lahan kering baik semusim dan tahunan. Grup Marin dan Teras Marin ini
memanjang dari bagian selatan menuju arah Utara sampai dengan Kecamatan
Pesisir Utara.
Berdasarkan Peta Satuan Lahan Pusat Penelitian Tanah Departemen
Pertanian, di daerah bagian utara banyak dijumpai jenis tanah Dystropepts,
Hapludult dan Humitropepts. Pembatas kesesuaian lahan di daerah ini adalah
kelerengan yang berkisar antara 30-75 persen. Demikian juga di daerah Timur
Pesisir pembatas utama adalah kelerengan yang berkisar antara 16-30 persen dan
pegunungan yang memiliki kelerengan > 75 persen. Hasil analisis kesesuaian
lahan disajikan pada gambar 7.

5.1.4. Pemilihan Lokasi


Pemilihan lokasi rencana pusat agroindustri didasarkan pada beberapa
kriteria antara lain: dukungan sektor basis komoditas kelapa (LQ), sarana dan
prasarana (Skalogram) dan kesesuaian lokasi pengembangan kelapa. Disamping
itu perlu dipertimbangkan faktor-faktor lain seperti jumlah penduduk yang terkait
dengan tenaga kerja, jarak dan kebijakan pemerintah.
Dalam penelitian ini penentuan lokasi potensial didasarkan pada kriteria
kesesuaian lahan, LQ dan hasil analisis skalogram. Analisis dibatasi oleh kriteria
utama yaitu kesesuaian lahan aktual. Hal ini dasarkan pada beberapa
pertimbangan antara lain: faktor kesesuaian lahan aktual merupakan hal yang
alamiah (given), artinya keberadaanya sudah ada sejak secara alami tanpa adanya
campur tangan manusia. Kesesuaian lahan juga dalam proses evaluasinya
memerlukan persyaratan yang cukup kompleks menyangkut tanah, iklim,
kelerengan, drainase dan lain-lain.
Skalogram merupakan output dari aktifitas budaya manusia dan sifatnya
dapat berubah tergantung kondisi suatu wilayah. LQ lebih menggambarkan
kondisi kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa
diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi
86

Gambar 7. Hasil analisis Kesesuaian Lahan


87

masyarakat tersebut. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas


hidup sangat menentukan dalam kegiatan non basis ini.
Kriteria potensi lokasi disusun sebagaimana tabel berikut:
Tabel 22. Kriteria Potensi Lokasi
Kriteria Kesesuaian Location Hirarki
Lahan Quotient (Skalogram)
Potensial 1 S1, S2 LQ>1 I dan II
Potensial 2 S2, S3 LQ<1 III
Potensial 3 S2, S3 LQ<1 III
Tidak Potensial N1, N2 LQ<1 III

Adapun pengertian dari masing-masing adalah sebagai berikut:


Potensial 1 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk
pengembangan kelapa, dimana salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori
lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca
yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi
penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 1
merupakan basis komoditas kelapa, dengan kata lain daerah tersebut mampu
mengekspor kelapa ke daerah lain. Dari struktur hirarki, wilayah dengan potensial
1 merupakan daerah yang sudah maju atau berkembang, dimana fasilitas
infrastruktur sudah tersedia.
Potensial 2 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk
pengembangan kelapa, dengan salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori
lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca
yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi
penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 2
bukan merupakan basis komoditas kelapa, daerah tersebut belum swasembada
kelapa atau terdapat komoditas lain yang lebih potensial dari komoditas kelapa.
Dari struktur hirarki, wilayah dengan potensial 3 merupakan daerah yang belum
maju atau berkembang, dimana fasilitas infrastruktur belum tersedia. Daerah
potensial 3 masih cocok untuk pengembangan lokasi suatu agroindustri.
88

Potensial 3 : Pada wilayah tersebut memiliki kesesuaian lahan yang baik untuk
pengembangan kelapa, dimana salah satu indikatornya adalah tanah. Dalam teori
lokasi istilah tanah mengandung pengertian keadaan topografi dan keadaan cuaca
yang terdapat di wilayah tersebut, kesemuanya ini juga akan mempengaruhi lokasi
penempatan suatu industri. Dari struktur ekonomi basis, wilayah potensial 3
merupakan non basis komoditas kelapa, daerah tersebut belum mampu
mengekspor kelapa ke daerah lainnya. Dari struktur hirarki, wilayah dengan
potensial 3 merupakan daerah yang masih belum berkembang, yang dicirikan
dengan belum tersedia/kurangnya infrastruktur yang memadai.
Tidak Potensial : Wilayah ini tidak memiliki kesesuaian lahan untuk komoditas
kelapa baik dalam jangka pendek atau bersifat permanen. Dari struktur ekonomi
basis belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat wilayah tersebut akan
komoditas kelapa. Sedangkan dari hirarki wilayah merupakan daerah dengan
infrastruktur yang belum memadai atau belum berkembang. Daerah ini tidak
cocok untuk pengembangan lokasi industri, akibat keterbatasan sarana dan
prasarana pendukung.
Gambaran spasial hasil overlay LQ, Skalogram dan Kesesuaian Lahan yang
menunjukkan alternatif disajikan pada gambar 8.
Berdasarkan hasil overlay peta LQ, Skalogram, dan Kesesuaian lahan
diketahui desa-desa yang memiliki kesesuaian lokasi (Potensial 1) untuk kawasan
Usaha Agro Terpadu meliputi: Desa Biha, Way Jambu, dan Marang Kecamatan
Pesisir Selatan, Sumber Agung dan Negeri Ratu Ngambur Kecamatan
Bengkunat dan Desa Way Redak Kecamatan Pesisir Tengah.
89

Gambar. 8. Hasil Penentuan Lokasi Berdasarkan Over Lay LQ, Skalogram dan
Kesesuaian Lahan
90

Tabel berikut menyajikan hasil pemilihan calon lokasi Kawasan Usaha Agro
Terpadu (KUAT):
Tabel 23. Hasil Analisis Lokasi Potensial
Potensi Nama Desa Jumlah
Potensial 1 NR. Ngambur, Sumber Agung, Marang, Biha, Way 5
Redak
Potensial 2 Pagar Bukit, Penyandingan, Pardasuka, 16
Sukanegara, Way Jambu, Tanjung Setia, Sumur
Jaya, Kp. Jawa, Seray, Walur, Pasar Krui, Balai
Kencana, Way Napal, Laay, Penengahan, Way
Sindi
Potensial 3 GC Kuningan, Pekonmon, Bd Dalam, Kota Jawa, 40
Sukamarga, Tanjung Kemala, Rajabasa, Mulang
Maya, Sukabanjar, Muara Tembulih, Ulok Mukti,
Pelita Jaya, Tanjung Jati, Pagar Dalam, Sukarame,
NR. Tenumbang, Way Suluh, Pemerihan, Lintik,
Rawas, Sukanegara, Bumiwaras, Pajar Bulan,
Padang Haluan, Penggawa V Tgh, Menyancang,
Penggawa V Ulu, Way Nukak, Kebuayan, Walur,
Kuripan, NR. Ratu, Pdg Rindu, Kerbang Langgar,
Kota Karang, Kerbang Dalam, Penengahan, Bandar
Pugung, Lemong, Way Batang, Tanjung Sakti
Tidak NR. Ngaras, Kota Batu, Way Haru, PenggawaV 19
Potensial Ilir, Banjar Agung, Pamungan, Ulu Krui, Way
Narta, Baturaja, Sukamarga, Pekonlok, Bandar
Dalam, Pasar Pulau Pisang, Sukadana, Labuhan,
Balam, Bambang, Pagar Dalam Malaya, Cahaya
Negeri, Tanjung Jati, Rata Agung.

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa kesesuaian lokasi untuk


kawasan usaha agro terpadu di Kabupaten Lampung Barat terdapat beberapa
alternatif berdasarkan pengelompokan lokasi:
Alternatif Pertama : Kelompok Desa Biha, Marang, Sumber Agung, dan Negeri
Ratu Ngambur. Beberapa hal pendukung alternatif tersebut antara lain: secara
geografis wilayah tersebut saling berdekatan, sehingga dalam pengembangan
dapat dibentuk suatu klaster agroindustri. Dengan kata lain beberapa persyaratan
lokasi sudah sangat memadai.
Diantara pilihan tersebut terdapat Desa Way Jambu yang berada di
antara Biha dan Marang, lokasi ini budidaya kelapa banyak ditumpangsari dengan
91

melinjo. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa alternatif pertama bisa
dijadikan pilihan.
Dari aspek dukungan bahan baku, infrastruktur dan kesesuaian untuk
pengembangan lokasi tersebut sangat memadai karena secara geografis beberapa
wilayah berdekatan satu sama lain. Artinya pemilihan satu lokasi dapat
memberikan Multiplier Effect kepada daerah sekitarnya. Menurut Handoko (2000)
beberapa alasan dalam memilih lokasi oleh industri antara lain: fasilitas dan biaya
transportasi, kedekatan dengan bahan baku, tenaga kerja, kedekatan dengan pasar,
dan lingkungan masyarakat.
Alternatif Kedua : Kelompok Desa Way Redak, Kampung Jawa, Pasar Krui,
Seray, dan Walur. Pada wilayah ini terdapat beberapa hal yang mendukung,
antara lain: daerah tersebut secara administratif berada dalam satu Kecamatan
yaitu Pesisir Tengah. Dari sudut infrastruktur wilayah merupakan daerah yang
relatif lebih dekat dengan ibukota Kabupaten Lampung Barat (35 km) sehingga
memudahkan dalam hal koordinasi. Kota Krui sudah sangat dikenal masyarakat
sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai jalur perdagangan pada era tahun
70 an, dimana transportasi laut merupakan jalur utama dalam hal keluar
masuknya barang. Jalur Keberadaan Krui sebagai pusat perdagangan komoditas
pertanian dan kehutanan menjadi salah satu pedukung pemilihan lokasi ini.
Alternatif Ketiga : Pardasuka, Pagar Bukit dan Sukanegara. Pada wilayah ini
secara geografis sangat jauh dari ibukota kabupaten, namun relatif lebih dekat
dengan Bandar Lampung Bila melewati Kabupaten Tanggamus. Secara hirarki
wilayah alternatif ini agak sulit untuk dipilih karena dukungan fasilitas masih
sangat minim.
Pemilihan alternatif lokasi suatu kawasan tidak terlepas dari kesesuaian
secara teknis, ekonomi, sosial dan kebijakan pemerintah. Menurut Djojodipuro
(1992) pemerintah dapat menentukan lokasi industri. Kebijaksanaan ini dapat
mendorong, menghambat, atau melarang kegiatan industri pada lokasi tertentu.
Kebijaksanaan pengaturan yang didasarkan atas pembagian daerah atau zoning
terkait dengan perencanaan pengembangan suatu wilayah.
Selain itu alternatif di atas harus disesuaikan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Lampung Barat. Berdasarkan Rencana Tata Ruang
92

Wilayah Kabupaten Lampung Barat, Kecamatan Pesisir Tengah dan Pesisir


Selatan diarahkan sebagai sentra pengembangan aneka industri seperti pengolahan
tambang, hasil perikanan dan kerajinan rakyat. Pada wilayah pesisir juga
didukung oleh keberadaan jalur Lintas Barat dalam jangka panjang dapat
mendorong percepatan pengembangan wilayah. Pada dasarnya pilihan atas
alternatif di atas tergantung pada kepentingan Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Barat selaku pemilik program. Lokasi alternatif berdasarkan hasil
analisis disajikan pada gambar 9 berikut ini.

Gambar. 9. Alternatif Lokasi Kawasan Usaha Agro Terpadu


93

5.2. Analisis Preferensi Masyarakat


Pemilihan produk potensial dalam penelitian ini menggunakan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP). Struktur AHP dibangun menggunakan
beberapa kriteria yang menjadi tolok ukur apakah suatu produk layak untuk
dikembangkan.
Dalam menentukan produk agroindustri yang memiliki nilai jual ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu aspek pasar dan pemasarannya, aspek
teknis dan teknologis, aspek manajemen dan aspek ekonomi. Beberapa
pertimbangan yang diperlukan menurut Sutojo (1996) adalah: peluang pasar,
teknologi yang digunakan, lokasi pabrik yang strategis, ketersediaan tenaga kerja
dan modal.
Dalam penelitian ini kriteria-kriteria yang dipertimbangkan didasarkan
pada studi literatur dan konsultasi dengan para pakar, maka terdapat 7 kriteria
yang dipilih yaitu: Peluang Pasar (PP), Kebijakan Pemerintah (KP), Nilai Tambah
(NT), Dampak Lingkungan (DL), Penyerapan Tenaga Kerja (PTK), Kualifikasi
SDM (KS), dan Teknologi Yang digunakan (TEK).
Sedangkan produk-produk agroindustri kelapa yang dipilih berdasarkan
hasil studi literatur dan konsultasi dengan para pakar. Produk-produk tersebut
adalah: Dessicated Coconut/Kelapa Parut Kering (DC), Minyak Kelapa (MK),
Arang Aktif (AA), Santan Kelapa (SK), Coco Fiber (CF), Nata De Coco (NDC)
dan Coco Peat (CP).
Menurut Turban (1993) penyusunan hirarki adalah langkah pendefinisian
masalah yang kompleks sehingga menjadi lebih jelas dan rinci. Hirarki keputusan
disusun berdasarkan pandangan pihak-pihak yang memiliki keahlian dan
pengetahuan di bidang yang bersangkutan. Keputusan yang diambil sebagai
tujuan dijabarkan menjadi elemen-elemen yang lebih rinci hingga menjadi suatu
tahapan yang terstruktur. Hirarki permasalahan akan mempermudah pengambil
keputusan untuk menganalisis dan menarik kesimpulan terhadap permasalahan
tersebut.
Adapun Struktur Hierarki penentuan produk prospektif dalam penelitian
ini digambarkan sebagai berikut:
94

Pemilihan Produk Potensial Dalam


KUAT

PP KP NT DL PTK KS TEK

DC DC MK AA SK CF NDC CP

PRODUK-PRODUK
AGROINDUSTRI KELAPA
PROSPEKTIF

Gambar 10 Struktur Hirarki Pemilihan Produk Propektif


Penilaian urutan kriteria didapat dari pendapat para pakar yang berasal dari
instansi pemerintah Kabupaten Lampung Barat, peneliti agroindustri kelapa, dan
pelaku industri berbasis kelapa.
Pakar-pakar tersebut adalah:
1. Ir. Eric Enrico, MT. pakar yang mewakili Dinas Perindustrian, Perdagangan
dan Pasar kabupaten Lampung Barat
2. Ir. Karyo Kardono, M.Si. pakar yang mewakili Badan Perencanaan Daerah
Kabupaten Lampung Barat
3. Ir. Ahliansyah. Pakar yang mewakili Dinas perkebunan Kabupaten Lampung
Barat
4. Ir. Slameto, M.Si. Pakar yang mewakili Peneiliti Agroindustri Kelapa dari
Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung
5. Ir. Sugiarto pakar yang berasal dari PT. Sari Segar Husada industri pembuatan
Dessicated Coconut dan Santan Kelapa
6. Drs. Yusrizal Roni pakar yang berasal dari PT. Sinar Laut industri yang
menghasilkan Minyak Goreng.
Berdasarkan pendapat para pakar yang didapat melalui wawancara tertulis
dengan metode AHP, dimana penilaian pendapat dilakukan dengan pembobotan
pada tujuh kriteria tersebut, maka didapatkan hasil urutan kriteria yang menjadi
95

penentu pemilihan produk prospektif, sebagaimana ditunjukkan pada tabel


berikut ini:
Tabel 24. Urutan prioritas faktor kriteria penentu pemilihan produk unggulan
Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT)

Kriteria Deskripsi Bobot Urutan


Peluang Pasar Prospek permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar 1
negeri, semakin tinggi peluang pasar, semakin prospektif 0.23
untuk dikembangkan.
Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam mendukung 2
pengembangan dan pemasaran produk agroindustri 0.17
Nilai Tambah Besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika produk 3
tersebut dikembangkan. 0.16
Dampak Lingkungan Dampak lingkungan yang dihasilkan bila suatu produk 4
dikembangkan. 0.12
Penyerapan Tenaga Indikator yang menunjukkan jumlah tenaga kerja yang 5
Kerja terserap oleh agroindustri penghasil produk kelapa yang 0.11
prospektif
Kualifikasi SDM Tingkat kemampuan/keahlian teknik dari SDM yang ada di 6
Kabupaten Lampung Barat dalam agroindustri kelapa 0.10
Teknologi Yang Kriteria ini menunjukkan kemampuan teknologi yang 6
digunakan tersedia dalam menghasilkan produk prospektif, apakah 0.10
sudah operasional atau baru tingkat uji laboratorium

Dari Tabel tersebut terlihat bahwa faktor penentu yang dimiliki oleh
Peluang Pasar sebesar 0,23, diikuti oleh Kebijakan Pemerintah dengan nilai 0,17,
dan Nilai Tambah dengan bobot 0,16. Selanjutnya pada urutan ke empat kriteria
yang dipilih pakar adalah Dampak Lingkungan dengan skor 0,12, Penyerapan
Tenaga Kerja sebesar 0,11, Kualifikasi SDM dengan nilai 0,10 dan diikuti kriteria
Teknologi yang digunakan dengan bobot 0,10.
Pengembangan suatu produk agroindustri harus memperhatikan prospek
pasar karena semakin besar peluang pasar suatu produk, maka hal ini akan
memberikan gambaran bahwa produk tersbut semakin prospektif untuk
dikembangkan. Selain itu peluang pasar sangat penting karena akan menunjukkan
prospek kebutuhan produk agroindustri kelapa yang akan dikembangkan untuk
keperluan pasar dalam negeri maupun ekspor. Faktor peluang pasar sangat
penting untuk mendukung pengembangan sektor agroindustri kelapa, karena
kualitas dan kuantitas yang memadai tidak cukup membantu bila peluang pasar
suatu produk sangat rendah. Selain itu peluang pasar akan dapat meningkatkan
kinerja ekspor dan penambahan devisa negara, serta mendukung pengembangan
agroindustri itu sendiri. Berdasarkan pendapat para pakar, kriteria peluang pasar
mendapat nilai 0,23
96

Kebijakan pemerintah yang mendukung program pengembangan


agroindustri kelapa merupakan salah satu kriteria yang dipakai dalam menentukan
produk prospektif dalam KUAT. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam
mengembangkan agroindustri berbasis kelapa sangat tidak diragukan. Hal ini
terlihat dari rencana pengembangan program KUAT.
Program KUAT merupakan sinergi pemerintah pusat melalui Departemen
Perindustrian Republik Indonesia dengan Pemerintah Daerah dalam
mengembangkan klaster agroindustri di luar pulau Jawa. Semakin besar
dukungan pemerintah terhadap pengembangan dan pemasaran produk, semakin
prospektif produk tersebut untuk dikembangkan. Sebaliknya semakin rendah
dukungan pemerintah, maka produk tersebut semakin tidak prospektif. Para pakar
berpendapat dengan memberikan penilaian terhadap kriteria ini 0,17.
Nilai tambah menunjukkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika
produk tersebut dikembangkan. Dengan demikian akan muncul keyakinan
memperoleh keuntungan yang tinggi dari pelaksanaan kegiatan suatu usaha
dimana pada akhirnya meningkatkan motivasi para investor untuk menanamkan
modalnya. Semakin besar nilai tambah suatu produk, maka akan semakin besar
prospeknya untuk dikembangkan. Pada tabel di atas terlihat bahwa para pakar
memberikan penilaian terhadap kriteria ini dengan skor 0,16.
Salah satu faktor yang menjadi pembatas dalam dalam pengembangan
usaha adalah dampak terhadap lingkungan. Semakin besar dampak lingkungan
atas pengembangan suatu produk, maka semakin tidak prospektif produk tersebut
untuk dikembangkan. Pada penilaian para pakar atas kriteria pengembangan
produk prospektif, dampak terhadap lingkungan menempati urutan ke empat
dengan nilai 0,12.
Kriteria penyerapan tenaga kerja mengandung pengertian jumlah tenaga
kerja yang dapat terserap dengan pengembangan suatu produk. Pendirian usaha
agroindustri yang banyak menyerap tenaga kerja akan menguntungkan
masyarakat di sekitar lokasi program, juga akan membantu pemerintah dalam
mengurangi angka pengangguran. Berdasarkan penilaian para pakar terhadap
kriteria penyerapan tenaga kerja, tampak bahwa para pakar memilih kriteria ini
sebagai prioritas kelima dengan nilai 0,11.
97

Berdasarkan pendapat para pakar, kriteria kualifikasi SDM mendapat nilai


0,10. Hal ini menunjukkan bahwa kualifikasi SDM agroindustri kelapa yang
meliputi tingkat kemampuan teknik dari SDM yang ada di Kabupaten Lampung
Barat bukan merupakan kriteria yang berpengaruh besar dalam menentukan
produk prospektif. Dengan kata lain agroindustri kelapa belum memerlukan
tenaga dengan kemampuan teknik yang spesisifk.
Kriteria terakhir adalah Teknologi yang digunakan, berdasarkan pendapat
para pakar kriteria ini mendapat nilai 0,10. Pada dasarnya kriteria teknologi yang
digunakan perlu dipertimbangkan dalam mendirikan suatu usaha agroindustri, hal
ini menunjukkan kemampuan teknologi proses sudah tersedia. Teknologi yang
digunakan akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, sehingga mampu
bersaing dengan produk sejenis di pasaran.
Hasil penilaian para pakar dalam memilih produk yang potensial untuk
dikembangkan pada Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT) di Kabupaten
Lampung Barat diketahui bahwa, minyak kelapa dan Dessicated Coconut
merupakan prioritas pertama dan kedua yang layak dikembangkan. Kedua produk
olahan kelapa tersebut memiliki nilai masing-masing 0,215 dan 0,170. Produk
berikutnya yang layak dikembangkan menurut para pakar adalah secara berturut-
turut yaitu arang aktif, santan kelapa, coco fiber, nata de coco dan coco peat
dengan nilai masing-masing yaitu: 0,112, 0,112, 0,105, 0,098, 0,096, dan 0,092.
Dipilihnya Minyak kelapa dan Dessicated Coconut sebagai produk yang
paling prospektif merupakan hal yang wajar karena minyak kelapa merupakan
salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako), artinya produk ini sangat
dibutuhkan oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangga. Berdasarkan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh BPS diketahui bahwa
konsumsi rata-rata perkapita perminggu minyak kelapa di Indonesia tahun 2002
sebesar 0,197 liter, tahun 2005 sebesar 0,195 liter dan 0,198 liter pada tahun 2007.
Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat akan
minyak goreng sangat besar. Meskipun saat ini terdapat produk alternatif dari
kelapa sawit, namun peranan minyak kelapa sebagai bahan kebutuhan memasak
didapur masih cukup di kalangan masyarakat Indonesia.
98

Dessicated Coconut/Kelapa Parut Kering dipilih oleh pakar sebagai salah


satu produk prospektif karena potensi pasar Dessicated Coconut sangat besar
mengingat produk ini merupakan bahan tambahan untuk produk biskuit.
Besarnya nilai ekspor sebagaimana dijelaskan oleh Asia Pacific Coconut
Community (AAPC), peningkatan nilai ekspor periode 2004-2006 sangat
signifikan. Pada tahun 2004 total ekspor Dessicated Coconut sebesar 30.780 ton
dengan nilai 21.245.000 US Dollar, tahun 2005 mencapai 51.025 ton dengan
nilai 35.939.000 US Dollar dan pada tahun 2006 mencapai 62.249 ton dengan
nilai 36.886.000 US Dollar.
Peningkatan nilai ekspor ini sangat dipengaruhi oleh besarnya permintaan
terutama oleh negara-negara Eropa dan Asia Pasifik. Sebagai produk yang
bernilai ekspor tinggi adalah wajar bila Dessicated Coconut menjadi pilihan dalam
pengembangan agroindustri berbasis kelapa. Menurut Palungkun (1998)
permintaan produk Dessicated Coconut merupakan indikasi cerahnya prospek
pasar, dan Indonesia memiliki potensi untuk merebut peluang yang ditawarkan.
Produk lain yang memiliki prospek untuk dikembangkan menurut para
pakar adalah Arang Aktif, dimana berdasarkan pendapat para pakar memiliki skor
0,112. Arang aktif banyak diperlukan untuk proses pemurnian dalam dunia
industri makanan dan kimia. Menurut APCC (2007) ekspor produk Arang Aktif
Indonesia tahun 2004-2006 terus mengalami peningkatan, dimana tahun 2004
total ekspor mencapai 15.624 ton dengan nilai12.387.000 US Dollar, pada tahun
2005 meningkat menjadi 25.670 ton dengan nilai 16.303.000 US Dollar namun
menurun menjadi 15.529 ton dengan nilai 17.577.000 US Dollar pada tahun 2006.
Pada dasarnya produk Arang dari tempurung kelapa sangat prospektif
untuk dikebangkan ditengah gencarnya isu menipisnya bahan bakar fosil, karena
arang tempurung berpotensi menjadi bahan bakar alternatif pengganti minyak
tanah. Saat ini pemanfaatan Arang Tempurung sebagai pengganti arang kayu dan
minyak tanah belum banyak dilakukan di kalangan masyarakat, sebagan besar
tempurung kelapa terbuang percuma. Oleh karena itu potensi pemanfaatan
produk tempurung kelapa masih sangat besar.
Produk Santan Kelapa adalah bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia
karena berfungsi sebagai bahan pelengkap makanan. Namun komersialisasi
99

produk ini masih sangat kurang. Hal ini tidak terlepas dari belum banyak
tersedianya santan kelapa kemasan. Berdasarkan pendapat para pakar dalam
penelitian ini skor untuk Santan Kelapa 0,112. Produk ini sebenarnya sangat
prospektif untuk dikembangkan, berdasarkan data Statistical Year Book APCC
(2006) ekspor Indonesia pada tahun 2004-2006 terus meningkat. Pada tahun 2004
total ekspor mencapai20.240 ton dengan nilai 15.248.000 US Dollar, meningkat
menjadi 32.480 ton pada tahun 2005 dan mencapai 27.402 ton dengan nilai
21.928.000 US Dollar pada tahun 2006. Disisi lain bagai masyarakat perkotaan
keberadaan santan kelapa kemasan merupakan pilihan yang tepat sebagai
pelengkap masakan karena terbatasnya waktu dalam mengolah kelapa menjadi
santan.
Produk lainnya seperti Coco Fibre menurut para pakar mendapat skor
0,105. Pada dasarnya produk ini sangat banyak diperlukan oleh rumah tangga dan
industri, namun belum difahaminya peluang pasar dan nilai tambahnya, maka
sabut kelapa sampai saat ini masih menjadi limbah di kalangan masyarakat
terutama di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Menurut APCC (2007) ekspor
Coco Fibre Indonesia pada periode 2004-2006 sebesar 1.180 ton, 3.550 ton dan
3450 ton.
VCO, Nata De Coco, dan Coco Peat menurut para pakar berada pada
urutan belakang dengan skor 0,098, 0,096, dan 0,092. Produk ini baik untuk
dikembangkan, namun dalam skala industri kelapa terpadu seperti KUAT, ketiga
produk dapat dikembangkan dalam jangka panjang, artinya dalam jangka pendek
pengembangan produk ini belum dapat dilaksanakan. Ke depan melalui
pemberdayaan masyarakat, produk-produk ini dapat dilaksanakan melalui skala
rumah tangga dengan kata lain melalui Usaha Kecil dan Menengah atau industri
rumah tangga.
Program KUAT merupakan upaya Pemerintah Daerah Kabupaten
Lampung Barat melaksanakan percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan
motor utama sektor Industri. Selama ini belum terdapat usaha agroindustri yang
berskala menengah dan besar di wilayah ini. Namun demikian terkait dengan
Program KUAT dengan komoditas utama Kelapa, pengembangan produk harus
bersifat terpadu. Dengan kata lain meskipun berdasarkan analisis para pakar
100

cenderung untuk memilih produk Minyak Kelapa dan Dessicated Coconut,


pembangunan agroindustri kelapa harus bersifat terpadu. Bila konsep terpadu
tidak dilaksanakan, maka sasaran dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sulit
tercapai.
Pengembangan agroindustri kelapa dengan produk yang terbatas
menjadikan kelayakan ekonomis sangat sulit tercapai, hal ini disebabkan harga
produk kelapa segar cenderung terus meningkat, terutama dalam 2 tahun terakhir.
Oleh karena itu langkah peningkatan peranan ekonomi rakyat melalui komoditas
kelapa harus dilakukan secara terpadu. Bagaimana peranan pemerintah,
masyarakat dan swasta harus disinergikan sehingga produk kelapa yang
dikembangkan dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak, sesuai dengan
ketersediaan teknologi dan sumberdaya yang ada.
Hasil Pemilihan produk prospektif yang akan dikembangkan dalam
Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT), berdasarkan pendapat para ahli disajikan
pada Tabel berikut ini:
Tabel 25. Urutan Prioritas Pemilihan Produk Kawasan Usaha Agro Terpadu
(KUAT) Kabupaten Lampung Barat

Kriteria Penentu Pemilihan Produk Hasil


Agre Urutan
Peluang Kualifika Nilai Penyrp Tekno Kebija Dampak
Produk gasi Prio
Pasar si SDM Tambah Tenaga logi kan Ling
ritas
Kerja Yang Peme kungan
Diguna rintah
kan
Minyak 0.27 0.16 0.20 0.24 0.17 0.26 0.21 0.215 1
Kelapa
Dessicated 0.16 0.20 0.14 0.17 0.22 0.17 0.12 0.170 2
Coconut
Arang Aktif 0.10 0.07 0.10 0.10 0.07 0.16 0.18 0.112 3
Santan 0.09 0.14 0.11 0.12 0.1 0.1 0.09 0.112 3
Kelapa
Coco Fiber 0.11 0.10 0.16 0.08 0.09 0.10 0.10 0.105 4
VCO 0.09 0.12 0.12 0.08 0.11 0.07 0.09 0.098 5
Nata De 0.09 0.11 0.08 0.12 0.11 0.06 0.10 0.096 6
Coco
Coco Peat 0.09 0.10 0.09 0.09 0.09 0.08 0.10 0.092 7
101

Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa Minyak Kelapa dan Dessicated
Coconut merupakan produk unggulan pertama dan kedua dengan nilai masing-
masing 0,215 dan 0,170. Jenis lain yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu
Arang Aktif ,Santan Kelapa dan Coco Fiber dengan skor 0,112 , 0,112 dan 0,105.
Terlepas dari hasil analisis di atas terdapat 2 hal yang berbeda yaitu produk
Minyak Kelapa dan Dessicated Coconut dan Santan memiliki bahan baku yang
berasal dari daging buah. Sebaliknya Arang Aktif dan Coco Fiber berasal dari
tempurung dan sabut kelapa. Hal ni menjelaskan bahwa untuk efisiensi
produktifitas pembangunan agroindustri berbasis komoditas kelapa harus
dilakukan secara simultan dan terpadu.
Sebagai sebuah program pembangunan klaster industri yang diharapkan
menjadi trigger (pemicu) pergerakan perekonomian wilayah, maka harus dipilih
produk yang akan dikembangkan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang
ada. Pemerintah Daerah tidak mungkin akan membangun agroindustri terpadu
secara serentak karena keterbatasan dana. Sedangkan keberadaan masyarakat di
sekitar lokasi program harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Oleh karena
itu beberapa pilihan alternatif dalam membangun keterpaduan dapat ditempuh
dengan memberdayakan kelmbagaan masyarakat.
Produk-produk agroindustri yang membutuhkan modal, teknologi dan
sumberdaya manusia yang tinggi dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan atau
swasta. Produk-produk tersebut antara lain: Dessicated Coconut, Minyak Kelapa
dan Santan Kelapa. Hal ini penting karena produk tersebut memerlukan Quality
Control dan persyaratan mutu, tingkat higienis yang tinggi. Sedangkan produk
dengan teknologi sederhana dan Quality Cntrol yang kurang ketat, seperti Arang
Aktif, Coco Fiber, Nata De Coco dan Coco Peat dapat dilaksanakan melalui
lembaga masyarakat atau kelompok tani.
Menurut Allolerung dan Lay (1998), pengolahan kelapa skala industri
besar dewasa ini telah mengolah hampir seluruh komponen buah kelapa baik
secara terpadu maupun parsial yang menghasilkan produk bernilai ekonomi dan
pasaran yang luas antara lain: minyak kelapa, Dessicated Coconut (Kelapa Parut),
Santan, Bungkil Tepung Tempurung, Arang Aktif, Serat Sabut dan Nata De Coco.
Pengembangan aneka ragam produk menghasilkan nilai tambah besar, namun
102

tidak berpengaruh terhadap perbaikan pendapatan petani. Hal ini disebabkan


posisi petani hanya sebagai penyedia bahan baku industri. Oleh karena itu
pelibatan petani diharapkan agar mereka apat menikmati nilai tambah tersebut.
Pengembangan pengolahan kelapa terpadu skala pedesaan adalah alternatif
yang memadai untuk dirintis karena ketersediaan bahan baku, sumberdaya
manusia dan teknologi di Kabupaten Lampung Barat. Produk-produk dengan
batasan mutu dan teknologi yang rendah dapat dilaksanakan oleh masyarakat.
Dengan demikian pembangunan kawasan agro usaha terpadu dapat berjalan
efektif dengan biaya yang relatif lebih murah serta melibatkan partisipasi
masyarakat.
Formulasi kerjasama pengolahan kelapa terpadu dengan partisipasi
masyarakat perlu dirumuskan sehingga dapat diperjelas peranan dan
tanggungjawab masing-masing pihak.

5.3. Persepsi Masyarakat Tentang Program KUAT


Berdasarkan hasil wawancara menyangkut rencana program KUAT, dari
30 responden yang terdiri dari 20 orang petani dan 10 pedagang pengumpul pada
6 kecamatan dalam wilayah pesisir diketahui bahwa petani di Kecamatan
Bengkunat, Pesisir Selatan dan Pesisir Tengah dan Karya Penggawa sudah
mengetahui tentang rencana Program KUAT. Sebaliknya responden di
Kecamatan Pesisir Utara dan Lemong cenderung belum mengetahui rencana
tersebut. Pengetahuan petani tentang rencana pemerintah meliputi komoditas
yang akan dikembangkan dan produk yang dipilih yaitu minyak kelapa. Produk
selain minyak kelapa tidak diketahui oleh masyarakat. Menurut pendapat
masyarakat pemerintah akan mengembangkan pabrik minyak kelapa.
Kekurangtahuan masyarakat Pesisir Utara dan Lemong tidak terlepas dari
jarak yang jauh, dan lokasi sentra kelapa berada pada kecamatan Karya
Penggawa, Bengkunat, Pesisir Selatan dan Pesisir Tengah.
Menurut para pedagang pengumpul, pada hampir seluruh kecamatan
mengetahui tentang rencana program KUAT. Hal ini tidak terlepas dari lancarnya
arus informasi di kalangan pedagang pengumpul. Atas dasar tersebut dapat
103

dijelaskan bahwa sosialisasi program berjalan cukup efektif. Hasil analisis


pendapat masyarakat disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 26. Persentase pemahaman petani dan pedagang menyangkut program
KUAT
Petani Pedagang Pengumpul
Rencana Produk Rencana Produk
Kecamatan Program Program
Tahu Tidak Tahu Tidak Tahu Tidak Tahu Tidak
(%) Tahu (%) Tahu (%) Tahu (%) Tahu
(%) (%) (%) (%)
Bengkunat 74 26 60 40 80 20 80 20
Pesisir Selatan 86 14 63 37 90 10 80 20
Pesisir Tengah 89 11 63 37 80 20 60 40
Karya Penggawa 67 33 52 48 40 60 50 50
Pesisir Utara 27 73 20 80 40 60 40 60
Lemong 24 76 21 79 40 60 30 70

Persepsi masyarakat diperlukan dalam upaya pelaksanaan suatu program.


Hal ini terkait dengan kesuksesan pelaksanaan di lapangan. Menurut Handoko
(2000), kesediaan masyarakat suatu daerah menerima segala konsekuensi baik
positif mapupun negatif didirikannya suatu pabrik merupakan suatu syarat
penting. Perusahaan perlu memperhatikan nilai-nilai lingkungan dan ekologi
dimana perusahaan berlokasi. Di lain pihak masyarakat memerlukan industri
sebagai penyedia lapangan kerja dan uang yang dibawa industri ke masyarakat.

5.4. Prospek Pasar Produk Kelapa


5.4.1. Rantai Tata Niaga

Tata niaga Kelapa di Kabupaten Lampung Barat identik dengan


pemasaran produk pertanian yang umumnya bertingkat, yaitu mulai dari petani
sebagai produsen, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul
kecamatan sampai dengan konsumen dan industri. Pola pemasaran yang panjang
tersebut sangat tidak menguntungkan pihak petani karena semakin panjang rantai
tata niaga, maka marjin yang diterima petani semakin kecil.
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian di Kabupaten lampung
Barat, diketahui bahwa terdapat tiga tingkatan pedagang pengumpul yang
berperan dalam tata niaga kelapa sebelum sampai pada konsumen akhir atau
industri. Perdagangan kelapa pada umumnya dimulai dengan transaksi langsung
104

antara petani dengan pedagang desa, dengan sistem harga borongan berupa kelapa
utuh belum di kupas.
Selanjutnya pedagang desa menjual kepada pedagang kecamatan yang
akan membeli dengan cara datang langsung ke pedagang desa. Sistem pembelian
dilakukan dengan cara borongan tanpa memperhatikan ukuran biji kelapa.
Pedagang Kecamatan selanjutnya menjual kepada pedagang kabupaten di Liwa
atau Pasar Fajar Bulan di Kecamatan Way Tenong, yang kemudian dijual kepada
pedagang pengecer. Pedagang pengecer membeli kelapa untuk dipasarkan
langsung ke konsumen. Pada tahapan pemasaran ke konsumen ukuran biji kelapa
menjadi dasar dalam menentukan harga.
Rantai tata niaga kelapa juga terjadi antara pedagang tingkat kecamatan
dengan pedagang pengirim yang akan membawa komoditas kelapa ke industri
berbahan baku kelapa di Bandar Lampung. Industri tersebut merupakan produsen
produk nata de coco, vco, santan kelapa dan desisicated coconut.
Kelapa pecah akan diapkir dan menjadi tanggungjawab pembeli yang
umumnya merupakan pedagang desa, pada tahapan ini kelapa apkir akan diolah
menjadi kopra. Pedagang pengumpul kopra berada di Kelurahan Pasar Krui,
dimana harga jual berkisar antara sebesar Rp. 3.000-3.500/kg tergantung pada
mutu kopra yang dijual. Harga tersebut cenderung tetap dari tahun ke tahun. Bila
kopra tersebut jumlahnya sudah memadai, maka akan dibawa ke Bandar
Lampung atau Kota Metro untuk dijual kepada Industri Minyak Goreng. Namun
seiring dengan harga kelapa yang cukup tinggi, produksi kopra menjadi berkurang
karena petani menjual dalam bentuk kelapa butiran. Sebaliknya bila harga kelapa
butiran rendah, maka petani akan mengolah kelapa menjadi kopra.
Berkurangnya produksi kopra karena secara ekonomi pengolahan kopra
tidak menguntungkan dimana untuk menghasilkan 1 Kg kopra dibutuhkan sekitar
4 butir kelapa, dengan harga jual Rp. 2.000 sampai dengan 3.750/kg. Sedangkan
bila dijual butiran maka harga kelapa Rp. 1.100/butir. Oleh karena itu merupakan
hal yang wajar bila petani tidak mengolah kelapa menjadi kopra di saat harga
kelapa cukup tinggi. Secara lengkap bagan rantai pemasaran kelapa di Kabupaten
Lampung Barat di sajikan pada gambar berikut ini:
105

PETANI
/PRODUSEN

KELAPA PECAH PEDAGANG


/APKIR PENGUMPUL
DESA

KOPRA PEDAGANG
PEDAGANG
KERING PENGUMPUL
PENGECER
KECAMATAN

PEDAGANG PEDAGANG KONSUMEN


PENGUMPUL PENGIRIM
KOPRA

INDUSTRI
INDUSTRI VCO,KELAPA
MINYAK KELAPA PARUT,NATA DE
COCO, DLL

Gambar 11. Rantai Pemasaran Kelapa di Kabupaten Lampung Barat

5.4.2. Marjin Pemasaran


Berdasarkan hasil analisis biaya dan marjin tata niaga di Kabupaten
Lampung Barat diketahui bahwa biaya angkutan merupakan komponen terbesar
dalam biaya pemasaran. Menurut Damanik dan Sientje (1992) besarnya biaya
angkutan produk kelapa disebabkan bentuk fisik kelapa yang berifat kamba (rasio
volume dan bobot sangat besar). Secara geografis wilayah Kabupaten Lampung
Barat memiliki topografi datar sampai dengan berbukit. Besarnya komponen
biaya sesuai dengan jarak tempuh, dimana untuk pedagang desa, jarak tempuh
relatif dekat dengan kata lain masih dalam satu desa. Sedangkan pedagang
kecamatan harus mengangkut lebih jauh dengan jarak 30-80 km. Besarnya biaya
angkut untuk komponen industri disebabkan jarak angkut menuju lokasi industri
berkisar antara 260 km sampai 300 km.
Marjin tata niaga dipisahkan menjadi dua yaitu dari petani sampai dengan
konsumen dan dari petani ke industri. Pemisahan ini dilakukan karena terdapat
106

pedagang pengirim yang ikut dalam proses tata niaga. Pedagang pengirim
mengambil produk kelapa dari pedagang kecamatan. Peran pedagang pengirim
cukup besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya marjin.
Distribusi biaya pemasaran relatif merata kecuali biaya angkut dan harga
beli. Marjin keuntungan tertinggi berada pada level pedagang pengirim yang
mencapai Rp. 300/butir. Hal ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi,
disamping besarnya modal dalam mekanisme pemasaran. Sedangkan marjin
terendah berada pada tingkat pedagang pengumpul desa. Salah satu penyebabnya
adalah adanya biaya pengupasan kulit luar yang harus ditanggung sebelum
pembeli tingkat kecamatan datang. Selain itu dari sisi permodalan pedagang
pengumpul desa relatif memiliki modal yang kecil. Resiko pecah dan apkir juga
menjadi pembatas pedagang level ini untuk menigkatkan marjin keuntungan.
Marjin keuntungan setiap golongan pedagang lebih besar dibandingkan
biaya pemasaran sehingga harga di tingkat petani menjadi relatif rendah.
Damanik dan Sientje (1992) menyatakan bahwa pola tata niaga di atas merupakan
ciri dari pemasaran yang bersifat monopsoni. Harga ditentukan oleh beberapa
atau satu lembaga pemasaran yang dalam hal ini pemilik modal.
Dalam pemasaran kelapa, pedagang pengirim memegang peranan yang
sangat besar dalam menjalankan fungsi tata niaga kelapa, karena mereka inilah
yang menyediakan sebagian besar modal kerja dan menghadapi resiko paling
besar. Resiko inilah yang sering dijadikan alasan untuk menekan harga di tingkat
pedagang pengumpul maupun petani, sebagai akibatnya tata niaga kelapa di
daerah menjadi tidak efisien (Herman dan Saputro (1990) dalam Damanik dan
Sientje (1992).
Disisi lain posisi petani sebagai price taker (penerima harga) menjadikan
pedagang memiliki kekuasaan untuk menentukan harga, selain beberapa petani
telah menerima pembayaran awal harga kelapa sebelum panen. Pola pembayaran
awal banyak dilakukan pada kondisi petani memerlukan dana untuk biaya anak
sekolah atau biaya berobat. Kebutuhan tersebut mendorong petani kelapa
meminjam dana kepada pedagang dengan konsekuensi pembayaran dengan
produk kelapa pada saat panen. Hasil analisis marjin tata niaga kelapa menurut
golongan pedagang disajikan pada tabel berikut:
107

Tabel 27. Hasil Analisis Marjin Pemasaran Produk Kelapa di Kabupaten


Lampung Barat.
Harga Biaya Persentase Persentase
No Uraian
(Rp/butir) (Rp/butir Konsumen Industri
1 Harga jual petani 1,100 - - -
Harga beli pedagang pengumpul
2 Desa 1,100 - 61.11 50.00
Biaya sortir dan membersihkan - 50 7.14 4.55
Biaya angkut/transportasi - 50 7.14 4.55
Keuntungan - 50 7.14 4.55
3 Harga beli pedagang kecamatan 1,250 - 69.44 56.82
Biaya bongkar muat - 50 7.14 4.55
Biaya Angkut/transportasi - 100 14.29 9.09
Keuntungan - 100 14.29 9.09
4 Harga Beli Pedagang Pengecer 1,500 - 83.33
Biaya bongkar muat 50 7.14
Biaya Angkut/transportasi 50 14.29
Keuntungan 200 28.57
5 Harga Beli Konsumen 1,800 - - -
Jumlah Marjin Konsumen 700
6 Harga Beli Pedagang Pengirim 1,250 - - 64.10
Biaya bongkar muat - 100 - 9.09
Biaya Angkut/transportasi - 300 - 27.27
Keuntungan - 300 - 27.27
Harga Beli Industri 1,950 - - -
Jumlah Marjin Industri - 1,100 107.14 100.00

Menurut data statistik Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat,


harga kelapa dan kopra pada tahun 2004-2006 rata-rata Rp. 700-1.500-/ butir dan
Rp.1.000- 3.150/kg. Harga tersebut cenderung meningkat terutama pada tahun
2005-2006. Peningkatan tersebut tidak lepas dari bertambahnya konsumsi kelapa
di kalangan masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa harga
kelapa di tingkat petani berada pada level di atas Rp. 1.000/butir sejak tahun 2005
sampai dengan sekarang. Bagi petani harga tersebut cukup memberikan gairah
untuk menjadikan kelapa sebagai salah satu alternatif pendapatan. Berikut ini
disajikan perkembangan harga komoditas kelapa di Kabupaten Lampung Barat
tahun 2004-2006.
108

Tabel 28. Harga Pasar Produk Kelapa di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2004-
2006
Tahun Produk Satuan Harga Harga Rata-rata
Terendah Tertinggi
2004 Kopra Kg 1,000 1,000 1,000
Kelapa Segar Butir 700 1.000 875
2005 Kopra Kg 4,000 4,000 4,000
Kelapa Segar Butir 1.000 1.300 1.250
2006 Kopra Kg 3,200 4,000 3.150
Kelapa Segar Butir 1,200 1,500 1,230
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat

5.5. Keragaan Perkebunan Kelapa di Kabupaten Lampung Barat


Fluktuasi harga yang tidak menentu menyebabkan petani kurang bergairah
untuk meningkatkan produksi tanaman kelapa melalui perawatan. Hal ini terlihat
dari hasil wawancara, seluruh responden menyatakan tidak pernah melakukan
pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Pada dasarnya petani
memahami perlunya perawatan, namun harga jual yang tidak menentu dan belum
adanya produk olahan, pertanaman kelapa menjadi penghasilan sampingan selain
usaha tani lainnnya.
Berikut ini disajikan keragaan perkebunan kelapa di Kabupaten Lampung Barat.
1. Perkebunan Kelapa di Kabupaten Lampung Barat seluruhnya merupakan
perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional turun temurun.
2. Luas kepemilikan lahan usaha tani kelapa berkisar antara 1−2 ha per kepala
keluarga, dengan populasi 100-143 pohon/ha. Luas tersebut cenderung akan
berkurang sebagai akibat fragmentasi lahan sejalan dengan sistem bagi waris
yang menjadi budaya.
3. Pola tanam sebagian besar dilakukan secara monokultur, kecuali di
Kecamatan Pesisir Selatan yang dilakukan tumpangsari dengan melinjo dan
kakao. Pola monokultur ini menjadikan pemanfaatan lahan kurang optimal
sehingga produktivitasnya rendah. Petani juga belum menerapkan teknologi
budi daya anjuran karena keterbatasan modal dan adanya keengganan untuk
merawat akibat ketidakpastian harga. Pemeliharaan tanaman masih terbatas
pada penyiangan dengan interval tidak teratur, tanpa pemupukan dan
pengendalian hama dan penyakit.
109

Gambar 12. Perkebunan Kelapa Rakyat di Kabupaten Lampung Barat


4. Perkebunan kelapa petani di Kabupaten Lampung Barat pernah didukung oleh
Proyek Pengembangan dan Rehabilitasi Tanaman Ekspor (PRPTE).
5. Jenis kelapa yang diusahakan adalah kelapa dalam lokal dengan produktivitas
hanya 660-700 kg kopra/ha/tahun atau atau sekitar 2.600-3.000 butir kelapa
segar, jauh di bawah potensi produktivitas yang dimiliki sebesar 2,50 ton
kopra/ha/tahun.
6. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar tanaman kelapa berumur tua
(lebih dari 20 tahun) dan kurang produktif lagi sebagai akibat belum
berjalannya program peremajaan tanaman. Usaha peremajaan terhambat oleh
ketersediaan dan mahalnya harga bibit yaitu berkisar Rp. 5.000 sampai dengan
Rp. 15.000/batang tergantung umur. Selain itu serangan hama babi hutan
pada pertanaman muda dan banyaknya sapi milik masyarakat yang tidak
dikandangkan menjadi hama tanaman kelapa muda.
110

Gambar. 13. Proses Pengupasan Kelapa


7. Produk usaha tani yang dihasilkan masih bersifat terbatas pada kelapa butiran
dan kopra berkualitas rendah. Pemanfaatan hasil samping belum banyak
dilakukan oleh petani, sehingga banyak produk sampingan terbuang percuma
akibatnya nilai tambah dari usaha tani belum diperoleh secara optimal.
8. Pendapatan petani kelapa di Kabupaten Lampung Barat masih rendah dan
fluktuatif sehingga tidak mampu mendukung kehidupan keluarga secara layak.
Pendapatan dari usaha tani kelapa monokultur sebesar Rp2.700.000/ha/tahun
sampai dengan Rp. 3.100.000/ha/tahun atau Rp.225.000/ha/bulan sampai
dengan 258.000/ha/bulan. Hal ini menggambarkan bahwa usaha tani kelapa
belum mampu memberikan penghasilan yang layak. Kondisi ini semakin
mendorong petani utnuk tidak melakukan perawatan intensif karena besarnya
biaya perawatan terutama pupuk dan obat-obatan.
9. Dukungan kelembagaan seperti koperasi dan kelompok tani belum berjalan
dengan baik. Kondisi ini tampak dari ketiadaan koperasi pendukung usaha
tani kelapa dan kelompok tani berbasis kelapa yang aktif.
Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan dilapangan saat ini telah
terdapat upaya pemerintah Kabupaten Lampung Barat dalam memberdayakan
111

petani kelapa. Langkah-langkah pemerintah daerah tampak dalam beberapa tahun


terakhir dengan berjalannya program pembinaan antara lain:
1. Pemerintah Daerah telah menyusun Peta Jalan (Road Map) komoditas kelapa
sampai dengan tahun 2011. Road Map ini memberikan penjelasan bahwa
adanya upaya untuk meningkatkan produktiftas dan kesejahteraan petani
kelapa secara terencana.
2. Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat memberikan bantuan bibit
kelapa unggul lokal sebanyak 5.000 batang kepada petani pada tahun 2007
dan 10.000 batang pada tahun 2008. Bantuan bibit ini dilakukan untuk turut
membantu dalam meremajakan pertanaman kelapa mayarakat.
3. Adanya upaya perbaikan pola pengusahaan melalui pemberian bantuan bibit
kakao untuk tumpangsari dengan tanaman kelapa, disamping penguatan
kelembagaan kelompok. Tercatat sejak tahun 2002 telah diberdayakan 12
kelompok tani yang melaksanakan pembibitan sebanyak 250.000 batang bibit
kakao.
4. Pemerintah Daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah
memberikan bantuan alat pengolahan kelapa terpadu kepada beberapa
kelompok tani.
5. Perencanaan pembangunan Kawasan Usaha Agro Terpadu (KUAT)
bekerjasama dengan Departemen Perindustrian, sebagai bentuk langkah
Pemerintah Daerah mendukung perekonomian wilayah pesisir melalui sektor
industri.

5.6. Analisis Pohon Industri


Analisis pohon industri didasarkan pada keragaman produk turunan dari
kelapa, karena itu tanaman ini dikenal sebagai tanaman serba guna dimana seluruh
bagiannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan tanaman kelapa
mulai dari batang, daun, akar dan buah. Berbagai manfaat dari bagian-bagian
tersebut antara lain untuk keperluan: pangan, obat-obatan, mebel, kerajinan
tangan, sampai dengan bahan baku industri. Berikut ini disajikan diagram alir
pemanfaatan tanaman kelapa:
112

5.6.1. Daun

Hiasan, Ketupat,
Helai Industri Kerajinan
Daun Tangan Tas, Keranjang

Lidi Industri Kerajinan Sapu Lidi, Tusuk


Daun Tangan Sate

Pelepah Industri Kerajinan Souvenir


Tangan

Gambar 14. Pohon Industri Daun Kelapa

5.6.2. Batang
Pemanfaatan batang kelapa sebagai produk kerajinan sudah sejak lama
dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Produk furniture, alat-alat dapur, peralatan
pertanian sampai dengan bahan bangunan merupakan hal yang umum di kalangan
masyarakat. Industri berbasis pohon kelapa masih dilakukan dalam skala kecil,
yaitu di tingkat perajin rumah tangga sampai dengan usaha-usaha kecil. Pada
gambar berikut disajikan pohon industri produk yang berasal dari batang kelapa.

Bahan-bahan
Bangunan
Industri Kerajinan
Tangan
Bahan
Jembatan

Batang
Furniture, gagang
Cangkul, dll
Industri Kerajinan

Hiasan Dinding,
Asbak

Gambar. 15. Pohon Industri Batang Kelapa

5.6.3. Buah
Buah kelapa memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia terutama
untuk keperluan rumah tangga. Secara umum buah kelapa dibedakan menjadi:
sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa.
113

5.6.3.1. Sabut Kelapa


Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus
tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas
lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium
mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali,
karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi
jok kursi/mobil/kasur dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan
0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri
atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium .
Salah satu produk yang dapat diolah dari tanaman kelapa adalah serabut
kelapa. Namun saat ini pemanfaatan serabut kelapa masih sangat kurang di
kalangan masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pemahaman tentang nilai
ekonomi produk ini. Disisi lain teknologi dan informasi pasar tentang serabut
kelapa belum banyak diketahui oleh masyarakat.
Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri atas serat (serat
panjang), bristle (serat halus dan pendek), dan debu abut. Serat dapat diproses
menjadi serat berkaret, matras, geotextile, karpet, dan produk-produk
kerajinan/industri rumah tangga. Matras dan serat berkaret banyak digunakan
dalam industri jok, kasur, dan pelapis panas.

5.6.3.2. Coco Peat (Debu Sabut)


Debu sabut dapat diproses jadi kompos dan cocopeat, dan particle
board/hardboard. Coco peat digunakan sebagai substitusi gambut alam untuk
industri bunga dan pelapis lapangan golf. Di samping itu, bersama bristle dapat
diolah menjadi hardboard (Nur et al. 2003 dalam Mahmud dan Ferry, 2007).
Produksi yang dihasilkan adalah sabut kelapa dan debu (coco peat). Setiap 1 kg
sabut membutuhkan 5 butir kelapa, dan setiap 1 kg debu sabut membutuhkan 16
butir kelapa. Pada Gambar berikut ini disajikan pohon industri sabut kelapa.
114

Sapu, Keset, sikat


Serat
Industri Kerajinan
Panjang Matras, Tambang

Genteng
Sabut Serat
Industri Kerajinan
Pendek
Hard Board

Coco Peat/Media
Debu Tanam
Industri Kerajinan
Sabut
Kompos

Gambar. 16 Pohon Industri Sabut Kelapa

5.6.3.3. Arang Aktif


Arang tempurung kelapa adalah produk yang diperoleh dari pembakaran
tidak sempurna terhadap tempurung kelapa. Sebagai bahan bakar, arang lebih
menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberikan kalor pembakaran
yang lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Arang dapat ditumbuk, kemudian
dikempa menjadi briket dalam berbagai macam bentuk. Briket lebih praktis
penggunaannya dibanding kayu bakar. Arang dapat diolah lebih lanjut menjadi
arang aktif, dan sebagai bahan pengisi dan pewarna pada industri karet dan
plastik.
Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar,
sekarang sudah merupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang
dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung
tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki
daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang
terbarukan. Pada gambar berikut disajikan pohon industri produk tempurung
kelapa (Mahmud dan Ferry, 2007).
115

Hiasan Dinding,
Tas, Ikat Pinggang
Industri Kerajinan
Tangan
Asbak, peralatan
makan
Tempurung
Arang Aktif, Briket

Industri Kimia

Asap Cair

Gambar. 17 Pohon Industri Tempurung Kelapa


Karbon aktif merupakan bahan baku olahan dari tempurung kelapa yang
banyak digunakan dalam berbagai industri antara lain obat-obatan, makanan,
minuman dan pengolahan air. Manfaat arang aktif secara kimiawi berguna untuk
proses pemurnian cairan, penjernihan air, dan penyaringan gas-gas kotor.
Pembuatan karbon aktif dilakukan melalui aktivasi dari arang tempurung.
Dalam pembuatannya arang tempurung dimasukkan ke dalam suatu tabung.
Produksi yang dihasilkan adalah arang tempurung. Setiap 1 kg arang tempurung
membutuhkan 24 butir tempurung kelapa.

5.6.3.4. Daging Buah


Daging buah kelapa merupakan produk primer yang banyak dimanfaatkan
dari kelapa. Saat ini ekspor produk kelapa Indonesia didominasi oleh hasil
industri yang memanfaatkan daging buah kelapa. Berikut ini disajikan gambar
pohon industri berbahan daging kelapa.
116

Industri Minyak Goreng


Makanan Margarin
Kopra Minyak
Kelapa
Industri Sabun Cuci,
Kimia Shampo

Daging Kelapa Industri Campuran Biskuit,


Buah Parut Makanann Kue Kering

Santan Industri Biskuit, Kue Kering


Makanann

Gambar. 18 Pohon Industri Daging Buah Kelapa

5.6.3.5. Air Kelapa


Volume air yang terdapat pada kelapa dalam sekitar 300 ml, kelapa
Hibrida 230 ml, dan kelapa Genjah 150 ml. Air kelapa dimanfaatkan untuk
pembuatan minuman ringan, jelly, ragi, alkohol, nata de coco, dextran, anggur,
cuka, ethyl acetat, dan sebagainya. Komposisi kimia air kelapa adalah; specific
grafity 1,02 %, bahan padat 4,71 %, gula 2,56 %, abu 0,46 %, minyak 0,74 %,
protein 0,55 %, dan senyawa khlorida 0,17%. Air kelapa yang dapat diolah untuk
menghasilkan beberapa produk bernilai ekonomi seperti minuman ringan, cuka,
dan nata de coco. Nata de coco sendiri selain sebagai makanan berserat, juga
dapat digunakan dalam industri akustik. Saat ini nata de coco telah berkembang
mulai dari skala industri rumah tangga hingga industri besar (Tenda et al. 1999
dalam Mahmud dan Ferry, 2007).
Nata De Coco

Industri
Makanan
Kecap,
Asam Cuka
Air Kelapa
Dekstrosa

Industri
Farmasi
Obat Penurun
Panas

Gambar. 19. Pohon Industri Air Kelapa


117

Berdasarkan hasil kajian literatur dan diskusi dengan pakar kelapa, maka
didapat beberapa produk olahan yang berasal dari daging kelapa dan memiliki
nilai ekonomi, serta prospek pasar, baik domestik maupun ekspor. Adapun
produk tersebut adalah: Dessicated Coconut (Kelapa Parut), Minyak Kelapa, Nata
De Coco, Virgin Coconut Oil (VCO). Berikut ini disajikan deskripsi tentang
produk-produk tersebut:

5.6.4. Dessicated Coconut (Kelapa Parut)


Istilah Dessicated Coconut mungkin kurang akrab di telinga masyarakat
Indonesia. Sebenarnya produk ini sudah diproduksi oleh pengusaha Indonesia
sejak tahun 1960 an. Dessicated Coconut atau Kelapa Parut Kering adalah daging
buah kelapa yang dihaluskan, dikeringkan, dan diproses secara higienis. Produk
ini dikenal dalam empat ukuran yaitu; sangat halus, halus, sedang, kasar, dengan
bentuk potongan memanjang, keping, tipis dan parutan (Palungkun, 1992).
Pengolahan Dessicated Coconut meliputi beberapa tahap seperti seleksi
awal, pemisahan daging buah, pemotongan dan pencucian,sterilisasi,
penghancuran, pengeringan serta pengemasan. Berbagai manfaat dari dessicated
coconut antara lain: sebagai bahan tambahan pembuatan biskuit dan kue kering,
manisan kelapa, krim kelapa dan makanan ringan lain seperti coconut chips.

5.6.5. Minyak Kelapa


Minyak kelapa merupakan produk penting yang banyak dibutuhkan oleh
rumah tangga dan industri terutama industri makanan. Sebagai salah satu
komponen dari sembilan bahan pokok (sembako), saat ini keberadaannya sedang
banyak dibicarakan. Langkanya produk minyak goreng di pasaran telah
mendorong peningkatan harga. Manfaat minyak kelapa di kalangan masyarakat
Indonesia adalah sebagai media untuk memasak di dapur. Sebagai bahan untuk
menggoreng minyak kelapa merupakan elemen penting dalam pemenuhan
kebutuhan dasar manusia yaitu makan. Oleh karena itu manfaat minyak goreng
sangat besar. Selain itu minyak kelapa berguna sebagai bahan baku industri
kosmetik, sabun dan bahan kimia lainnya.
118

5.6.6. Nata De Coco


Di Indonesia pemanfaatan air kelapa belum maksimal, karena banyak yang
terbuang percuma. Namun akhir-akhir ini sudah banyak upaya memanfaatkan air
kelapa untuk diolah menjadi produk yang bernilai tinggi yaitu Nata De Coco. Di
Philipina air kelapa sudah dimanfaatkan untuk pembuatan minuman ringan, jelly,
ragi alkohol, dekstran, anggur, cuka, ethyl acetat dan lain-lain (Palungkun, 1992).
Nata De Coco mempunyai arti krim yang berasal dari air kelapa. Krim ini
dibentuk oleh mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi.
Mikroorganisme membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula.
Pembentukan Nata De Coco terjadi karena proses pengambilan glukosa dari
larutan gula dalam air kelapa oleh Acetobacter xylinum. Nata De Coco sebenarnya
tidak mempunyai nilai gizi yang berarti bagi manusia, oleh sebab itu produk ini
hanya dipakai sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet.

5.6.7. Santan Kelapa


Penggunaan santan kelapa sebagai bahan masakan sudah merupakan hal
yang umum di kalangan masyarakat Indonesia. Santan kelapa dipergunakan
untuk bahan makanan, dan pelengkap pembuatan kue. Oleh karena itu
keberadaan santan kelapa sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat
Indonesia. Dengan kata lain banyak bahan makanan dan kue terasa kurang
nikmat tanpa tambahan santan kelapa.
Teknik pembuatan santan kelapa terus berkembang, mulai dari manual
hingga kini menggunakan mesin. Namun cara-cara tersebut menghasilkan santan
yang tidak tahan lama karena hanya dalam beberapa jam saja, santan akan berbau
tengik. Untuk mengatasi masalah tersebut santan kelapa diawetkan dalam bentuk
pasta dan dikemas dalam kaleng atau botol. Di Lampung industri pembuatan
santan kelapa sudah berkembang sejak tahun 1990 an. Saat ini tercatat PT. Sari
Segar Husada sebagai produsen santan kelapa, dimana sebagian besar produknya
di ekspor.
119

5.6.8. Virgin Coconut Oil (VCO)


Virgin Coconut Oil atau minyak kelapa murni terbuat dari daging kelapa
segar. Prosesnya semua dilakukan dalam suhu relatif rendah. Daging buah
diperas santannya. Santan ini diproses lebih lanjut melalui proses fermentasi,
pendinginan, tekanan mekanis atau sentrifugasi. Penambahan zat kimiawi
anorganis dan pelarut kimia tidak dipakai serta pemakaian suhu tinggi berlebihan
juga tidak diterapkan. Hasilnya berupa minyak kelapa murni yang rasanya lembut
dan bau khas kelapa yang unik. Apabila beku warnanya putih murni dan dalam
keadaan cair tidak berwarna atau bening (WWW.VCO BALIWAE.COM).
Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan salah satu produk diversifikasi
kelapa yang akhir-akhir ini sedang menjadi primadona karena beberapa
khasiatnya, disamping harganya yang tinggi cukup menggiurkan untuk
diusahakan. VCO lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan suplemen dan bahan
baku farmasi serta kosmetik daripada sebagai minyak goreng. Saat ini nilai
jualnya dapat meningkat lebih 500% dibanding minyak kelapa biasa yang
harganya Rp. 7000/liter (BPTP Lampung, 2006).
Berbagai macam penyakit dapat dicegah dengan mengkonsumsi VCO
karena adanya kandungan asam lemak rantai sedang seperti asam laurat dalam
VCO tersebut. Beberapa khasiat dari VCO adalah membunuh berbagai virus,
bakteri, jamur dan ragi penyebab berbagai penyakit, mencegah hipertensi,
diabetes, sakit jantung, kanker, lever dan mencegah pembesaran kelenjar prostat.

5.7. Analisis Permintaan (Demand)


Secara umum permintaan suatu komoditas pertanian dalam suatu negara
merupakan penjumlahan dari permintaan domestik (dalam negeri) dan permintaan
untuk ekspor (luar negeri). Bagi negara-negara maju umumnya mampu memenuhi
kebutuhan pangan penduduknya, sehingga kelebihan produksi dapat dialokasikan
untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri (ekspor). Sementara itu bagi
negara-negara berkembang termasuk Indonesia, permintaan terhadap komoditas
pertanian cenderung untuk memenuhi permintaan dalam negeri, bahkan untuk
beberapa komoditas pemenuhan kebutuhan dalam negeri masih harus didatangkan
dari luar negeri (impor). Dalam penelitian ini permintaan akan dibedakan menjadi
120

dua yaitu permintaan domestik dan permintaan akan ekspor. Permintaan domestik
secara garis besar dibedakan menjadi permintaan langsung (konsumsi
rumahtangga) dan permintaan turunan (tidak langsung) yaitu permintaan untuk
bahan baku industri (Rachman, 2004).
Permintaan untuk konsumsi rumah tangga dihitung dari rata-rata konsumsi
per kapita pada tahun tertentu untuk komoditas kelapa dikalikan dengan jumlah
penduduk pada pertengahan tahun yang bersangkutan.

Permintaan
Ekspor
Permintaan Langsung
Permintaan /Konsumsi Rumah
Produk Kelapa Tangga
Permintaan
Domestik
Permintaan Tidak
Langsung/Turunan

Gambar. 20. Diagram Alur Permintaan Produk Kelapa

5.7.1. Konsumsi Produk Kelapa


Permintaan produk kelapa untuk konsumsi rumah tangga merupakan hasil
perkalian antara konsumsi perkapita pertahun dengan jumlah penduduk pada
tahun yang bersangkutan. Dalam penelitian ini konsumsi produk kelapa dibagi
menjadi dua yaitu wilayah Kabupaten lampung Barat dan Propinsi Lampung,
sedangkan jenis produk yang dihitung yaitu minyak kelapa dan kelapa butiran.
Data jumlah penduduk dan jumlah konsumsi perkapita diperoleh dari badan Pusat
statistik. Berikut ini disajikan Perkembangan Permintaan Produk Kelapa Dalam
untuk Konsumsi Rumah Tangga di Kabupaten Lampung Barat.
121

Tabel 29. Konsumsi Produk Kelapa Per Kapita Kabupaten Lampung Barat

Tahun Kelapa Butiran Minyak Kelapa


Σ Penduduk Butir/Kap Total Σ Penduduk Liter/Kap Total
2001 371,787 6.60 2,455,281 71,787 3.74 1,391,971
2002 377,298 8.79 3,315,695 377,298 4.58 1,726,516
2003 382,706 9.41 3,602,029 382,706 3.85 1,472,653
2004 388,113 11.28 4,379,467 388,113 4.00 1,554,004
2005 393,520 7.90 3,110,382 393,520 4.21 1,657,506
Sumber : BPS

KONSUMSI KELAPA BUTIRAN DI KABUPATEN LAMPUNG


BARAT TAHUN 2001-2005

5,000,000
VOLUME (BUTIR)

4,000,000
3,000,000 Σ Penduduk
2,000,000 Konsumsi

1,000,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

KONSUMSI MINYAK GORENG DI KABUPATEN LAMPUNG


BARAT TAHUN 2001-2005

2,000,000
VOLUME (LITER)

1,500,000
Σ Penduduk
1,000,000
Konsumsi
500,000

-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

Gambar. 21 dan 22 Grafik Konsumsi Kelapa Minyak Goreng di Kabupaten


Lampung Barat

Pengukuran konsumsi produk kelapa butiran dan minyak di Propinsi


Lampung dihitung berdasarkan jumlah penduduk dikalikan dengan tingkat
konsumsi per kapita per tahun. Data konsumsi diperoleh dari Survei sosial
ekonomi nasional (SUSENAS) 2007 Badan Pusat Statistik.
122

Perkembangan Permintaan Produk Kelapa Dalam untuk Konsumsi Rumah


Tangga di Propinsi Lampung. Tabel berikut ini menyajikan data perkembangan
tingkat konsumsi kelapa butiran dan minyak kelapa di Propinsi Lampung Tahun
2001-2005
Tabel. 30. Perkembangan Konsumsi Kelapa dan Minyak Kelapa di propinsi
Lampung Tahun 2001-2005.
Tahun Kelapa Butiran Minyak Kelapa
Σ Penduduk Butir/Kap Total Σ Penduduk Liter/Kap Total
2001 3,465,901 6.60 22,888,810 3,465,901 3.74 12,976,333
2002 3,504,260 8.79 30,795,437 3,504,260 4.58 16,035,494
2003 3,534,975 9.41 33,271,185 3,534,975 3.85 13,602,584
2004 3,563,313 11.28 40,208,424 3,563,313 4.00 14,267,505
2005 3,596,432 7.90 28,426,199 3,596,432 4.21 15,148,172
Sumber : BPS

Konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung berkisar antara 6,6 butir per
kapita per tahun sampai dengan 11,28 butir per kapita per tahun. Tingginya
konsumsi terjadi pada tahun 2004. Pada gambar berikut ditunjukkan
perkembangan tingkat konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung Tahun
2001-2005.

KONSUMSI KELAPA BUTIRAN DI PROPINSI LAMPUNG


TAHUN 2001-2005

50,000,000
VOLUME (BUTIR)

40,000,000
30,000,000 Σ Penduduk
20,000,000 Konsumsi

10,000,000
-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

Gambar. 23. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung

Perkembangan tingkat konsumsi minyak goreng di Propinsi Lampung


pada tahun 2001-2005 cenderung relatif konstan yaitu berkisar antara 12.976.333
liter sampai dengan 16.035.494 liter. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2002
yaitu 16.035.494 liter. Tingginya konsumsi kelapa butiran di Propinsi Lampung
tidak terlepas dari sikap masyarakat Lampung khususnya daerah pesisir yang
123

selalu menggunakan santan sebagai bagian dari bumbu masakan penduduk.


Fenomena ini membuat tingkat konsumsi kelapa cenderung meningkat setiap
tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk. Pada gambar berikut disajikan
perkembangan konsumsi minyak goreng di Propinsi Lampung tahun 2001-2005.

KONSUMSI MINYAK GORENG DI PROPINSI LAMPUNG TAHUN


2001-2005

20,000,000
VOLUME (LITER)

15,000,000
Σ Penduduk
10,000,000
Konsumsi
5,000,000

-
2001 2002 2003 2004 2005
TAHUN

Gambar. 24. Grafik Konsumsi Kelapa di Propinsi Lampung

5.7.2. Eskpor Produk Kelapa


Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil produk
pertanian di Indonesia. Produk pertanian sebagian diekspor dalam bentuk produk
non olahan, juga diekspor dalam bentuk hasil industri. Produk olahan kelapa yang
diekspor dari Propinsi Lampung adalah Dessicated Coconut, Nata De Coco,
Arang Tempurung, Coco Fiber, dan Santan Kelapa. Perkembangan ekspor
produk olahan kelapa di Propinsi Lampung disajikan pada Tabel berikut ini:
Tabel. 31. Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung Tahun 2001-2006
VOLUME (TON) Rata-Rata
PRODUK KELAPA Pertumbu
2001 2002 2003 2004 2005 2006
han (%)
Oil Cake, and Other 21,016.00 10,050.00 18,252.83 - 10,280.13 26,902.24 18.23
Solid Residue/Kopra A
Dessicated Coconut 2,180.49 2,898.44 1,544.15 258.47 2,220.90 5,031.28 5.90
Kelapa Butiran - - 24.49 - - - -
Coco Fiber - - - 10.79 - 38.22 -
Arang Tempurung 3,690.41 7,078.54 9,115.96 1,702.16 50.00 - (12.15)
Produk Kelapa Lain 12.25 69.00 168.20 314.76 115.00 3,434.96 716.24

Sumber Departemen Perdagangan (diolah)


Perkembangan ekspor tersebut dipengaruhi oleh terus tumbuhnya industri
pengolahan kelapa di Propinsi Lampung. Industri tersebut antara lain PT. Wong
124

Coco yang memproduksi Nata De Coco, PT. Sari Segar Husada yang
memproduksi Dessicated Coconut dan Santan Kelapa dan PT. Sinar Laut yang
memproduksi minyak kelapa. Berkembangnya industri tersebut semakin
meningkatkan aktifitas pengolahan kelapa, selain tumbuhnya usaha kecil yang
mengolah sabut kelapa, arang tempurung dan VCO. Pada gambar berikut
disajikan grafik perkembangan ekspor produk kelapa dari Propinsi Lampung pada
tahun 2001-2006.

EKSPOR PRODUK KELAPA PROPINSI LAMPUNG

30,000,000
25,000,000 COPRA COCONUT A
VOLUME (TON)

COCONUT DESSICATED
20,000,000
KELAPA BUTIRAN
15,000,000
PRODUK KELAPA LAIN
10,000,000
TEMPURUNG KELAPA
5,000,000 ARANG TEMPURUNG
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN

Gambar. 25. Grafik Ekspor Produk Kelapa Propinsi Lampung

Ekspor produk kelapa Propinsi Lampung didominasi oleh kopra,


Dessicated Coconut, dan arang tempurung. Berdasarkan data di atas volume
ekspor cenderung tidak stabil. Salah satu hambatan ekspor kelapa di Propinsi
Lampung adalah kotinyuitas ketersediaan bahan baku. Kontinyuitas sangat
dipengaruhi oleh produksi di tingkat petani, karena sebagian besar produksi
kelapa berasal dari perkebunan rakyat. Kenyataan ini akan berpengaruh terhadap
Supply dan Demand produk kelapa oleh industri, disamping tingginya jumlah
konsumsi di kalangan masyarakat.
Dari data ekspor di atas terjadi penurunan tajam pada tahun 2004,
sebaliknya berdasarkan data konsumsi pada tahun yang sama terjadi peningkatan
yang besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa rendahnya nilai ekspor produk
kelapa seperti kopra dan dessicated coconut, karena meningkatnya konsumsi
kelapa di masyarakat (Tabel 29).
Perkembangan perdagangan produk kelapa tidak hanya bersifat lokal
propinsi Lampung tetapi juga dalam skala nasional. Berdasarkan data dari Asia
125

Pacific Coconut Community (APCC) Indonesia merupakan salah satu produsen


kelapa dan produk olahan terbesar di dunia.
Negara-negara pengimpor produk kelapa Indonesia antara lain Eropa:
Bulgaria, Prancis, Jerman Georgia, Italia, Kazakhstan Latvia, Lithuania, Belanda
Protugal Rusia, Spanyol, Swedia, Ukraina dan lain-lain, Amerika antara lain:
Brazil, Meksiko, Nicaragua, Amerika Serkat. Negara-negara impotrir dari Afrika
adalah: Aljazair, Mesir, Maroko, Mozambik, Tanzania, Tunisia dan lain-lain, dan
negara-negara Importir dari Asia adalah: RRC, Australia, Timor Leste,
Hongkong, India Iran Jepang, Yordania Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru
Pakistan Papua Nugini, singapura, Sri Langka, Siria, Taiwan, Thailand, Vietnam
dan lain-lain.
Menurut APCC kontribusi sektor kelapa terhadap ekspor Indonesia
cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2001-2006 berkisar antara 0,33 sampai
dengan 0,65 persen dengan rata-rata pada periode tersebut yaitu sebesar 0,40
persen. Meskipun relatif kecil, namun kontribusi ini dapat terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan agroindustri berbasis kelapa.
Data perkembangan ekspor produk minyak kelapa Indonesia tahun 2001 sampai
dengan 2006 adalah sebagai berikut:
Tabel. 32. Perkembangan Permintaan Ekspor Produk Kelapa Indonesia Tahun
2001-2006
Volume (Ton) Rata-Rata
Produk Kelapa 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pertum
buhan (%)
Minyak Kelapa 385,140 434,972 321,535 443,762 745,742 519,556 12.52
Dessicated 35,683 50,410 37,286 30,780 51,025 62,249 17.11
Coconut
Karbon Aktif 12,104 11,544 12,157 15,624 25,670 15,529 10.80
Coco Fiber 73 78 281 1,067 3,550 3,450 155.34
Santan 10,500 24,100 20,340 20,240 32,480 27,402 31.65
Kelapa Segar 16,613 32,891 38,321 31,619 30,799 83,600 53.17
Kopra 23,884 40,045 25,107 36,139 3,550 3,450 (3.74)

Sumber: Statistical Year Book APCC (diolah)

Gambar berikut menyajikan perkembangan secara grafis ekspor produk


kelapa Indonesia tahun 2001-2006.
126

PERKEMBANGAN EKSPOR PRODUK KELAPA INDONESIA


TAHUN 2001-2006

100,000
Dessicated Coconut
VOLUME (TON)

80,000
Karbon Aktif
60,000 Coco Fiber
40,000 Santan
Kelapa Segar
20,000
Kopra
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN

Gambar. 26. Grafik Ekspor Produk Kelapa Indonesia

PERKEMBANGAN EKSPOR MINYAK KELAPA INDONESIA


TAHUN 2001-2006

800,000
700,000
VOLUME (TON)

600,000
500,000
400,000 Minyak Kelapa
300,000
200,000
100,000
-
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN

Gambar. 27. Grafik Ekspor Minyak Kelapa Indonesia

Trend permintaan terhadap ekspor produk kelapa Indonesia mengalami


fluktuasi, hal ini dipengaruhi oleh kondisi pasar dunia, negara-negara pesaing dan
produksi kelapa rakyat. Menurut Muslim (2006) Indonesia mengalami penurunan
ekspor sebagai akibat perubahan struktur impor negara tujuan (efek struktural)
dan menurunnya daya saing (efek kompetitif).
Berdasarkan data ekpor di atas, maka dapat dianalisis proyeksi permintaan
ekspor produk kelapa Indonesia di pasar internasional. Proyeksi menggunakan
pendekatan estimasi trend. Estimasi trend menggunakan metode Kuadrat Terkecil
(Least Squares). Pemilihan metode ini karena metode ini menggunakan apa yang
secara matematik digambarkan sebagai Line of Best Fit.
127

Berdasarkan analisis trend dengan metode Kuadrat Terkecil, maka didapat


data proyeksi permintaan sebagaimana disajikan pada table berikut ini:
Tabel. 33. Hasil Analisis Trend Permintaan Ekspor Produk Kelapa Dengan
Metode Kuadrat Terkecil.
Volume (Ton) Rata-Rata
Produk Kelapa 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Pertum
buhan (%)
Minyak Kelapa 529,338 532,147 534,957 537,766 540,575 543,385 0.53
Dessicated 64,801 68,482 72,163 75,844 79,525 83,205 5.13
Coconut
Karbon Aktif 24,936 26,631 28,325 30,020 31,715 33,410 6.03
Coco Fiber 5,083 5,726 6,368 7,011 7,653 8,295 10.30
Santan 40,886 44,265 47,644 51,022 54,401 57,780 7.16
Kelapa Segar 78,274 85,052 91,831 98,610 105,389 112,167 7.46
Kopra 82,309 89,042 95,775 102,509 109,242 115,975 7.10

Pada gambar 27 dan 28 berikut disajikan grafik proyeksi permintaan Minyak


Kelapa dan Produk Olahan Kelapa lainnya Tahun 2008-2013.

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR MINYAK KELAPA


INDONESIA TAHUN 2008-2013

545,000
VOLUME (TON)

540,000
535,000
Minyak Kelapa
530,000

525,000
520,000
2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR PRODUK KELAPA


INDONESIA TAHUN 2008-2013

140,000
120,000 Dessicated Coconut
VOLUME (TON)

100,000 Karbon Aktif


80,000 Coco Fiber
60,000 Santan
40,000 Kelapa Segar
20,000
Kopra
-
2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN

Gambar 27 dan 28. Grafik Proyeksi Permintaan Produk Kelapa Indonesia


128

Berdasarkan data ekspor produk kelapa di atas terlihat bahwa trend


permintaan ekspor Indonesia cenderung meningkat, meskipun terdapat sedikit
penurunan pada beberapa tahun tertentu. Menurut Muslim (2006) pada dasarnya
ekspor produk kelapa Indonesia tidak terspesialisai pada produk tertentu, karena
permintaan impor dari suatu negara sangat ditentukan oleh kebutuhan industri di
negara tersebut. Dengan demikian peranan barang substitusi sangat berpengaruh
terhadap produk agroindustri berbasis kelapa yang digunakan sebagai bahan baku
di negara-negara maju.
Proyeksi permintaan ekspor produk kelapa Indonesia diperkirakan akan
terus mengalami peningkatan. Beberapa hal yang mendukung peningkatan
tersebut menurut Muslim (2006) antara lain:
1. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia, trend produksi terus
meningkat, sedangkan negara-negara lain seperti, Malaysia, Meksiko dan
Srilanka mengalami penrunan.
2. Ekspor produk Dessicated Coconut, Crude Coconut Oil, Kopra, dan Arang
tempurung masih didominasi oleh Indonesia.
3. Dalam hal ekspor produk agroindustri berbasis kelapa, Indonesia memiliki
spesialisasi pada tujuan negara China (Kopra); Malaysia (Kelapa Segar dan
Arang Aktif), Rusia (Kopra) dan Singapura (Arang Kayu).
Hal-hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa walaupun trend ekspor
dipengaruhi oleh produksi dalam negeri, namun prospek pasar luar negeri masih
sangat besar. Semakin berkurangnya produksi kelapa di negera-negara anggota
Asian and Pacific Coconut Community merupakan peluang bagi Indonesia untuk
meningkatkan perolehan devisa dari komoditas kelapa.
Upaya ini harus didukung oleh kebijakan pengembangan agroindustri
berbasis kelapa, tanpa mengabaikan sisi On Farm yang memainkan peranan
penting dalam menunjang produksi agroindustri. Berdasarkan tabel 31-32 di atas
terlihat bahwa ekspor rata-rata produk kelapa Indonesia sangat bervariasi
(bahkan terdapat pertumbuhan negatif). Ekspor produk kelapa Lampung terlihat
pada tabel 31., produk yang cenderung stabil yaitu Oil Cake, and Other Solid
Residue/Kopra A dan Dessicated Coconut. Sedangkan secara nasional produk
129

variabilitas pertumbuhan terdapat nilai negatif yaitu kopra (-3,74), sedangkan


Coco Fiber mencapai rata-rata 155,34 persen.
Berdasarkan hasil proyeksi perkembangan ekspor tahun 2008-2013
pertumbuhan terendah dicapai minyak kelapa yaitu 0,53 persen, dan tertinggi
terdapat pada produk Coco Fiber yaitu 10,30 persen (Tabel 33).
Ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia memberikan sumbangan
yang cukup berarti terhadap ekspor nasional. Berdasarkan data APCC tahun 2006
selama kurun waktu 2002-2006, kontribusi sektor perkelapaan terhadap ekspor
nasional mencapai 2,08 persen dari ekspor nasional dengan rata-rata 0,42 persen
per tahun.
Pertumbuhan rata-rata permintaan ekspor produk kelapa Indonesia baik
lokal Propinsi Lampung maupun Nasional cenderung terus meningkat. Oleh sebab
itu Pemerintah Pusat dan Daerah seyogyanya dapat meningkatkan upaya
pemenuhan permintaan ekspor tersebut. Langkah ini dapat ditempuh dengan
merevitalisasi agroindustri berbasis kelapa. Di sisi lain penanganan sisi On Farm
juga harus dilakukan secara serius meliputi perbaikan kultur teknis budidaya sejak
pembibitan, perawatan dan penanganan pasca panen.
Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, trend permintaan
ekspor yang besar tersebut merupakan peluang terkait dengan rencana
pembangunan Kawasan Usaha Agro Terpadu Berbasis Komoditas Kelapa ini.
Luas areal dan produktifitas kelapa rakyat di Kabupaten Lampung Barat Tahun
2005, yang mencapai 6.326 Ha dengan produksi mencapai 2.413,0 ton, dan
produktifitas 681 Kg/Ha/Tahun dalam bentuk Kopra, tergolong sangat rendah.
Produktifitas optimal kelapa dapat mencapai 1,5-2,0 ton kopra/ha/tahun atau
setara 7.000-10.000 butir /ha/tahun.
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan kelapa diketahui bahwa di wilayah
pesisir Kabupaten Lampung Barat, lahan yang sesuai (S1-S3) mencapai 190.892
ha atau 64,94 persen dari luas wilayah pesisir. Luas areal eksisting perkebunan
kelapa rakyat di Kabupaten Lampung baru mencapai 6.326 ha. Dengan demikian
potensi pengembangan masih sangat besar. Hal ini menjadi peluang dari sisi
budidaya dalam rangka mendukung program KUAT. Menurut buku Road Map
komoditas kelapa di Kabupaten Lampung Barat proyeksi penambahan luas areal
130

yaitu 5 persen per tahun sampai dengan tahun 2011. Pada Tahun 2011
diproyeksikan areal perkebunan kelapa akan bertambah sebesar 1,879.10 ha.
Dari angka tersebut 1,082.38 atau 57,6 persen diarahkan ke wilayah pesisir.
Angka tersebut relatif kecil, namun diharapkan dapat memberikan dampak
terhadap pengembangan areal dan wilayah setempat.
Oleh karena itu produk yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pohon
kehidupan ini perlu mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Besarnya
pangsa ekspor harus dimanfaatkan dengan cepat oleh pemerintah dan masyarakat
perkelapaan, ditengah semakin lemahnya isu pengembangan kelapa terkait
dengan maraknya pengembangan kelapa sawit oleh perusahaan swasta.
Pemenuhan kebutuhan ekspor produk kelapa memerlukan kerja keras para
stakeholder usaha tani kelapa. Hal ini terkait dengan kontinyuitas produksi,
karena di Kabupaten Lampung Barat seluruh areal perkebunan kelapa merupakan
usaha tani rakyat, dengan skala kecil dan teknologi sederhana. Namun demikian
gairah petani kelapa akan semakin tinggi bila ada jaminan kepastian harga dan
kemudahan pemasaran produk.

5.8. Arahan Pengembangan Kawasan Usaha Agro Terpadu


Pembangunan suatu kawasan agroindustri terpadu pada prinsipnya
merupakan langkah mempercepat pertumbuhan suatu wilayah dengan motor
penggerak ekonomi dari sektor industri. Konsep tersebut sangat tepat bila
dilaksanakan pada daerah dengan sumberdaya yang memadai untuk
kelangsungan proses produksi, disamping kebijakan pemerintah setempat.
Pembangunan klaster agroindustri membutuhkan biaya dan harapan yang
besar di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut arahan program pengembangan
kawasan perlu disusun sesuai dengan potensi dan kondisi yang ada. Melalui
Pembangunan Kawasan Agrousaha Terpadu diharapkan dapat menjadi salah satu
solusi dalam upaya peningkatan nilai tambah komoditas kelapa.
Arahan pembangunan klaster agro usaha terpadu di Kabupaten Lampung
Barat berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan berdasarkan : lokasi, produk
terpilih, pelaku kegiatan, dan prospek pemasaran. Secara rinci dapat dilihat pada
Tabel berikut ini:
131

Tabel. 34. Arahan Pengembangan Kawasan Agro Usaha Terpadu


Uraian Pelaku Tujuan Arahan
Pembangunan Kawasan Pemerintah Daerah Meningkatkan Nilai Kawasan Agrousaha
Agrousaha Terpadu Tambah Produk Terpadu
Kelapa, Memacu
Pertumbuhan Eko
nomi Wilayah
Pemilihan Lokasi Pemerintah Daerah Memudahkan koordi Alternatif 1: Desa
nasi, ketersediaan Biha, Marang
bahan baku, Sumber Agung dan
kedekatan dengan NR. Ngambur
lokasi pemasaran Alternatif 2:
Meningkatkan Desa Way Redak,
Keuntungan Usaha Kampung Jawa,
Pasar Krui, Seray,
dan Walur.
Pemilihan Produk Prospektif Pengelola KUAT Pemilihan Produk Produk dengan
yang memiliki nilai Quality Contorl ketat
tambah dan pasar dilakukan oleh
yang dapat dikelola manajemen Kawasan
oleh manajemen seperti: Dessicated
Kawasan Coconut, Minyak
Kelapa, Santan
Kelapa
Petani/UKM Pemanfaatan hasil Produk dengan
sampingan produk teknologi dan modal
kelapa dengan target yang tidak terlalu
pasar lokal dan besar seperti :Coco
ekspor, serta dapat Fiber, Arang Aktif,
dilakukan oleh Nata De Coco, Coco
petani/kelompok tani Peat, VCO, dikelola
oleh UKM/
Masyarakat.
Prospek Pemasaran
- Rantai Tata Niaga Kelapa Pemerintah Daerah Mengetahui sistem Mengurangi rantai
UKM, Pengusaha pemasaran produk tata niaga yang
Swasta kelapa, sehingga panjang melalui
dapat dilakukan peningkatan nilai
perbaikan sistem tambah agar produk
yang tepat dapat diolah.
- Identifikasi Permintaan Produk Pemerintah Daerah Pemilihan produk Minyak Kelapa,
Olahan Kelapa UKM, Pengusaha yang bernilai jual Dessicated Coconut,
Swasta skala ekspor Santan Kelapa,
berdasarkan data-data Arang Aktif, Coco
statistic perdagangan Fiber, Kopra
produk kelapa
Persepsi Masyarakat Pemerintah Daerah, Mengupayakan Melibatkan peran
Lembaga Penelitian, program dapat serta masyarakat
Petani diterima oleh dalam proses pem
masyarakat secara bangunan penge
sosial dan budaya. lolaan sampai dengan
pemanfaatan hasil
Kondisi Eksisting Perkebunan Pemerintah Daerah Mendapatkan Melaksanakan pen
Kelapa Lembaga Penelitian, gambaran kondisi dekatan pada sisi On
Petani eksisting perkebunan Farm melalui per
kelapa rakyat, baikan sistem budi
sehingga pemilihan aya untuk men
program dapat dukung agroindustri
berjalan efektif
132

Pemilihan lokasi untuk kawasan agroindustri kelapa merupakan


wewenang Pemerintah Daerah. Tanpa perencanaan lokasi yang tepat perusahaan
pengelola dapat terjebak pada persoalan biaya yang tinggi, kondisi sosial
masyarakat tidak kooperatif, jarak ke konsumen yang jauh dan kurangnya
kontinyuitas bahan baku yang berakibat tidak efisiennya proses produksi.
Berdasarkan hasil analisis alternatif lokasi yaitu Alternatif 1: Desa Biha, Marang
Sumber Agung dan NR. Ngambur, sedangkan Alternatif 2: Desa Way Redak,
Kampung Jawa, Pasar Krui, Seray, dan Walur. Namun keputusan final berada di
tangan pemerintah daerah yang akan memilih lokasi paling ekonomis dan secara
sosial dapat diterima masyarakat.
Pemilihan produk prospektif didasarkan pada pendapat para ahli dan
analisis permintaan produk olahan komoditas kelapa dalam. Dessicated Coconut,
Minyak Kelapa, dan Santan Kelapa merupakan hasil olahan yang banyak
dibutuhkan oleh pasar lokal maupun ekspor. Namun demikian produk-produk
tersebut memerlukan teknologi dan pengawasan mutu serta biaya produksi yang
besar. Oleh karena itu maka sebaiknya produksi dilakukan oleh perusahaan di
dalam kawasan.
Sebaliknya produk dengan teknologi dan modal yang tidak terlalu besar
seperti : Coco Fiber, Arang Aktif, Nata De Coco, Coco Peat, VCO, dikelola oleh
UKM/ Masyarakat. Keterlibatan pihak UKM dan masyarakat dapat mendorong
percepatan pemanfaatan hasil olahan komoditas kelapa, disamping dapat
meningkatkan misi sosial perusahaan. Produk-produk di atas sangat prospektif
karena memiliki pasar lokal dan ekspor, selain itu pengembangannya
memanfaatkan bagian lain dari daging buah kelapa, sehingga mendukung
keterpaduan pemanfaatan komoditas kelapa.
Peningkatan pemahaman dan persepsi masyarakat tentang program ini
penting dilakukan pemerintah, karena menyangkut komoditas dalam suatu
wilayah sehingga seharusnya dipahami oleh berbagai stakeholder. Sedangkan
keragaan perkebunan kelapa merupakan gambaran awal yang perlu diketahui
oleh Pemerintah Daerah dalam menyusun arahan guna mendukung program
pengembangan kawasan agroindustri terpadu berbasis komoditas kelapa.
133

Rantai tata niaga kelapa di Kabupaten Lampung Barat yang bersifat


monopsoni, merupakan fenomena umum dalam sistem pamasaran produk
pertanian di Indonesia. Kondisi yang kurang menguntungkan pihak petani seperti
ini dapat dikurangi melalui peran aktif Pemerintah Daerah dalam
memberdayakan petani kelapa. Diharapkan melalui pembangunan kawasan agro
industri terpadu ini permasalahan tersebut secara perlahan dapat tertangani.
Menurut Soekartawi (2005), sebagai motor penggerak pembangunan
pertanian, agroindustri diharapkan akan dapat memainkan peranan penting dalam
kegiatan pembangunan daerah, baik sasaran pemerataan pembangunan,
petumbuhan ekonomi maupun stabilitas nasional. Banyak harapan telah
ditumpukkan pada agroindustri, namun harapan besar tersebut perlu melihat
potensi yang ada. Untuk mengubah potensi tersebut menjadi kenyataan, berbagai
apspek harus dikaji lebih mendalam apakah agroindustri yang dikembangkan
tersebut dapat menjalankan peranannya seperti yang diharapkan.
Pembangunan agroindustri kelapa selama ini belum memberikan pengaruh
pada peningkatan kesejahteraan petani, hal ini disebabkan petani hanya sebagai
pemasok bahan baku, dan belum terlibat dalam peningkatan nilai tambah. Disisi
lain keberadaan masyarakat di sekitar lokasi pabrik belum berpartisipasi secara
aktif, karena keberadaan industri merupakan milik swasta yang memerlukan
tenaga terampil. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses peningkatan nilai
tambah produk kelapa juga perlu dirumuskan dalam kawasan agrousaha terpadu
di Kabupaten Lampung Barat. Pembangunan klaster kelapa terpadu dengan
berbagai elemen yang dapat berperan dengan motor utama pengelola kawasan,
merupakan salah satu model pembangunan wilayah berbasis komoditas.
Kawasan industri seringkali juga dikenal dengan istilah klaster. Sementara
klaster dapat diartikan sebagai pusat perekonomian dalam suatu wilayah yang
merupakan kelompok perusahaan, yang ditandai oleh tumbuhnya pengusaha-
pengusaha yang menggunakan teknologi lebih maju, berkembang spesialisasi
proses produksi pada perusahaan-perusahaan dan kegiatan ekonominya saling
terkait dan saling mendukung.
Dalam klaster yang telah berkembang dengan baik, kelompok usaha yang
terdapat dalam kesatuan geografis bukan saja melibatkan usaha yang saling terkait
134

mulai dari hulu sampai hilir, tetapi juga terdapat aktivitas-aktivitas jasa yang
menunjang seperti lembaga penelitian dan pengembangan yang menunjang
aktivitas usaha dalam klaster (Taufiq, 2004). Secara tersirat, klaster industri
menunjukkan bahwa kompetensi pelaku usaha menjadi syarat utama bagi
penciptaan keunggulan kompetitif. Kompetensi ini juga mencerminkan
pemahaman nilai-nilai dan perilaku usaha, pengalaman, pengetahuan dan
kapasitas usaha.
Faktor lokasi juga menentukan tingkat perkembangan klaster. Klaster
yang ada di daerah perdesaan umumnya mempunyai usaha produktif yang sangat
terbatas akibat kelangkaan sumberdaya manusia dan prasana.
Pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses peningkatan nilai tambah
kelapa secara terpadu antara lain: Pemerintah Daerah, Manajemen Pengelola
Kawasan, Lembaga Pendampingan Petani, Lembaga Penelitian dan
Pengembangan, Lembaga Sosial Perkelapaan, UKM, Lembaga Keuangan, dan
Kelompok Petani/Masyarakat Petani Kelapa.
Peranan masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah : sebagai pemilik program sekaligus regulator dalam
wilayah setempat, peranan pemerintah daerah lebih banyak sebagai
koordinator dan motivator pelaksanaan jalannya klaster agrousaha terpadu.
Semakin berkembang klaster, maka peranan Pemerintah Daerah akan semakin
berkurang.
2. Pengelola kawasan usaha agro terpadu : pengelola dan pelaksana produksi
kawasan berfungsi sebagai produsen produk berteknologi dan Quality Control
yang ketat. Pengelola kawasan dapat berbentuk badan usaha milik daerah
(BUMD). Selain untuk membantu proses produksi, menurut Dirdjojuwono
(2004) pengelola kawasan dapat memberikan jasa pelayanan kepada investor
dalam kawasan industri antara lain: 1) menjual tanah kavling siap bangun
dalam kawasan, 2) menyewakan kavling siap bangun, 3) menyewakan
bangunan untuk usaha industri, 4) menjual bangunan untuk usaha industri, dan
5) menyewakan lahan untuk material dan barang produksi jadi (stockyard).
3. Lembaga Pendamping Petani : merupakan organisasi non pemerintah yang
berfungsi membantu petani dalam produksi hasil olahan. Lembaga
135

pendamping merupakan organisasi yang berlokasi di sekitar kawasan, dan


memahami kondisi sosial dan ekonomi petani/kelompok masyarakat yang
didampingi. Selain itu Lembaga Perguruan Tinggi setempat dapat berperan
sebagai pendamping masyarakat.
4. UKM (Usaha Kecil dan Menengah) : merupakan kelompok usaha individu
ataupun kelompok yang mengolah produk samping kelapa. Produk tersebut
berasal dari sabut kelapa, tempurung dan air kelapa.
5. Lembaga Keuangan : merupakan lembaga yang memberikan pinjaman
pembiayaan bagi proses produksi di tingkat kelompok tani/masyarakat petani
kelapa. Lembaga keuangan dapat berbentuk Koperasi, Bank atau penyedia
jasa keuangan yang ditunjuk pemerintah daerah.
6. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi : merupakan institusi yang
bertanggungjawab dalam pengembangan teknologi di bidang produk
perkelapaan. Lembaga ini dapat berupa Balai Pengkajian dan Teknologi
Pertanian (BPTP) yang bernaung di bawah Departemen Pertanian, atau Balai
Besar Industri Agro yang berada di bawah Departemen Perindustrian serta
Perguruan Tinggi yang ikut serta dalam melakukan penelitian di bidang
perkelapaan.
7. Lembaga Sosial Perkelapaan : merupakan organisasi masyarakat dan profesi
yang bergerak di bidang komoditas kelapa. Lembaga tersebut dapat berupa
Kelompok Tani Kelapa, Forum Kelapa Indonesia (FOKPI) dan APCC dapat
berperan dalam mendukung pemberdayaan petani kelapa. Dalam sistem ini
keberadaan lembaga ini diharapkan dapat membantu petani dalam
meningkatkan peranan kelembagaan.
8. Petani Kelapa : merupakan individu ataupun kelompok tani yang
membudidayakan kelapa. Petani berfungsi sebagai mitra dalam penyediaan
bahan baku, proses jual beli melalui kesepakatan harga antara kedua belah
pihak, dengan prinsip kesetaraan.
9. Sistem : merupakan hubungan antar pelaku dalam kawasan klaster
agroindustri yang saling menguntungkan, kooperatif dan saling membina.
Berjalannya sistem akan memberikan dampak pada keberlangsungan kegiatan
produksi di kawasan.
136

Secara skematis keterpaduan pengembangan kawasan usaha agro terpadu


di Kabupaten Lampung Barat ditunjukkan pada gambar berikut ini:

PASAR NASIONAL /
INTERNASIONAL PEMERINTAH
DAERAH

PRODUK MINYAK PRODUK SERABUT,


KELAPA, DESSICATED ARANG, NATA DE
COCONUT, SANTAN COCO, COCO PEAT
KELAPA

Pengelola UKM
PENDAMPING PETANI

Kawasan
Usaha Agro
Terpadu
SABUT KELAPA,
) TEMPURUNG DAN
AIR KELAPA
KELAPA
BUTIRAN

Kelompok Kelompok
Tani/Masyarakat Tani/Masyarakat
Petani Kelapa Petani Kelapa

LEMBAGA SOSIAL Lembaga Lembaga Litbang


PERKELAPAAN Keuangan Teknologi

Gambar 29. Bagan alir pengelolaan kawasan usaha agro terpadu.

Penjelasan gambar di atas adalah sebagai berikut: Pengelola kawasan


membeli produk kelapa bulat dari masyarakat. Kelapa selanjutnya dikupas untuk
diambil daging buahnya dan diolah menjadi Dessicated Coconut, Minyak Kelapa
atau Santan Kelapa. Air, tempurung dan sabut kelapa dikembalikan kepada
UKM untuk diolah menjadi produk Coco Fiber, Arang Aktif, Nata De Coco dan
Coco Peat, dengan standar mutu yang ditetapkan.
137

Penanganan produksi di tingkat UKM didampingi oleh Lembaga


Pendamping agar standar mutu yang ditetapkan oleh pengelola kawasan.
Pendampingan terhadap kelompok meliputi: manajemen, pengelolaan keuangan
dan pemberdayaan. Lembaga ini mendapatkan imbalan berupa Fee dari
kelompok yang didampinginya. Pengelola kawasan akan menampung produk
olehan dari UKM dan memasarkan pada pasar nasional ataupun ekspor.
Harga produk olahan UKM ditentukan oleh pengelola kawasan dengan
sistem terbuka tergantung kondisi pasar ekspor. Keterbukaan dilakukan dengan
secara transparan kepada UKM tentang kondisi pasar produk di tingkat dunia.
Hal ini berguna untuk menjamin kepercayaan di tingkat petani, kegagalan
kemitraan selama ini karena lemahnya keterbukaan terutama di tingkat
perusahaan.
Pemerintah daerah berperan mengawasi proses perjalanan kemitraan,
menjadi mediator bagi berbagai pihak serta mengkoordinir instansi teknis lainnya
dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat dalam mendukung program-program
guna keberlangsungan pembangunan klaster. Lembaga keuangan berfungsi
memberikan pinjaman kepada petani dan UKM. Pembiayaan dapat berupa
pinjaman berbunga lunak dengan jaminan dari pemerintah daerah. Melalui
pembiayaan ini, UKM mendapat kepastian permodalan tanpa harus terjerat pada
rentenir. Sedangkan lembaga penelitian berfungsi dalam mengkaji teknologi
terbarukan dalam kegiatan produksi.
Dalam proses pengembangan ke depan, pengelola kawasan akan
memainkan peranan yang lebih besar dalam melayani UKM dan para investor.
Melalui jenis pelayanan atau jasa yang akan dijual pengelola kawasan dapat
melakukan survei pasar, kira-kira jasa apa yang dapat dijual dalam kawasan usaha
agro terpadu di Kabupaten Lampung Barat. Dalam menentukan biaya pelayanan
(service charge), pengelola kawasan harus berkoordinasi dengan pemerintah
daerah dan investor sehingga harga yang ditetapkan dapat disepakati oleh
berbagai pihak. Pada prinsipnya pengelola kawasan akan menjadi fasilitator
dalam proses pemanfaatan untuk pengembangan dan investasi di dalam kawasan.
Arahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan produk
primer dan ikutan tanaman kelapa.di wilayah Kabupaten Lampung Barat.
138

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemilihan lokasi Kawasan Usaha Agro Terpadu berbasis komoditas Kelapa di
Kabupaten Lampung Barat terdapat 3 lokasi yaitu: Alternatif 1, Kelompok
Desa Biha, Marang, Sumber Agung, dan Negeri Ratu Ngambur, Alternatif 2,
Kelompok Desa Way Redak, Kampung Jawa, Pasar Krui, Seray, dan Walur
dan Alternatif 3, meliputi desa Pardasuka, Pagar Bukit dan Sukanegara.
2. Pemilihan Produk prospektif berdasarkan pendapat para pakar di bidang
komoditas kelapa diketahui bahwa kriteria penentuan yang memiliki nilai
tertinggi yaitu : Peluang Pasar (0,23), Kebijakan Pemerintah 0,17), Nilai
Tambah (0,16), dan Dampak Lingkungan (0,12). Sedang Produk prospektif
yang dipilih para pakar yaitu: Minyak Kelapa (0,215), Dessicated Coconut
(0,170), Arang Aktif (0,112) dan Santan Kelapa (0,112).
3. Produk olahan kelapa di Indonesia memiliki potensi pasar ekspor yang baik,
hal ini ditunjukkan dari kecenderungan permintaan ekspor yang terus
meningkat. Berdasarkan analisis trend dengan metode kuadrat terkecil,
diketahui bahwa proyeksi produk: Minyak Kelapa, Dessicated Coconut,
Karbon Aktif, Coco Fiber, Santan Kelapa, Kelapa Segar dan Kopra memiliki
trend permintaan yang cenderung meningkat. Selain itu konsumsi kelapa dan
minyak kelapa dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk.
4. Keragaan kelapa di Kabupaten Lampung Barat menunjukkan masih rendahnya
teknik budidaya dan pengelolaan kebun,
5. Sistem pasar kelapa di Kabupaten Lampung Barat bersifat monopsoni dimana
rantai tata niaga kelapa yang panjang yaitu: pedagang pengumpul desa,
dengan keuntungan Rp. 50 (17,4 persen), pedagang pengumpul kecamatan Rp.
100 (14,29 persen), pedagang pengecer Rp. 200 (28,57 persen), pedagang
139

pengirim Rp. 300 (27,27 persen). Keuntungan tertinggi terdapat di pedagang


pengirim karena faktor resiko dan besarnya permodalan.
6. Persepsi masyarakat (petani dan pedagang) menunjukkan bahwa petani di
Kecamatan Bengkunat, Pesisir Selatan, Pesisir Tengah dan Karya Penggawa
lebih memahami rencana program KUAT, sedangkan masyarakat Pesisir
Utara dan Lemong cenderung kurang mengetahui, hal ini disebabkan lokasi
kecamatan yang relatif jauh dan fasilitas yang kurang memadai.
7. Arahan Program KUAT meliputi pemilihan lokasi pada 3 alternatif dan
produk yang dikelola oleh manajemen KUAT meliputi produk yang memiliki
persyaratan mutu yang ketat, sedangkan produk sampingan dikelola oleh
petani/kelompok masyarakat. Seluruh kegiatan dirancang dalam suatu klaster
dengan berbagai pihak terlibat seperti: Pemerintah daerah, Manajemen KUAT,
Petani/Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Lembaga Sosial
Perkelapaan, UKM, Peneliti dan Penyedia jasa pembiayaan.

6.2. Saran
Adapun saran-saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Perlunya dilakukan penelitian tentang klaster industri lain yang merupakan
potensi wilayah pesisir barat Kabupaten Lampung Barat. Hal ini diperlukan
mengingat potensi lain seperti: perikanan, damar, lada dan kelapa sawit sangat
besar di wilayah ini, dan belum tergarap secara maksimal.
2. Wilayah Utara Pesisir Lampung Barat memiliki potensi yang besar di bidang
perkebunan seperti : komoditas Lada, Cengkeh, Nilam dan Kakao. Potensi ini
dapat dijadikan oleh pemerintah daerah sebagai peluang pengembangan
pertanian organik, mengingat pola budidaya masyarakat yang masih
tradisional dan minim dalam penggunaan sarana produksi pupuk kimia dan
pestisida.
140

DAFTAR PUSTAKA

Allorerung, D., Mahmud, Z., Wahyudi., Novarianto, H., Luntungan, H.T. 2005.
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.Departemen Pertanian 2005. hal 1-38.

Allorerung, D. dan Lay, A. 1998. Kemungkinan Pengembangan Pengolahan Buah


Kelapa Secara Terpadu Skala Pedesaaan. Prosiding Konferensi Nasional
Kelapa IV. Bandar Lampung. 21-23 April 1998.

Asia and Pacific Coconut Community (AAPCC). Statistical Year Book. 2004-
2007. Asia and Pacific Coconut Community (AAPCC).

Asnawi, S. dan S.N. Darwis. 1985. Prospek Ekonomi Tanaman Kelapa dan
Masalahnya di Indonesia.. Balai Penelitian Kelapa, Manado. Terbitan
Khusus 1985 . hal 6.

Azis, I.J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Lembaga Penerbit Fakultas ekonomi Universitas Indonesia. hal. 85

Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Lampung Barat. 2002. Pewilayahan


Komoditas Pertanian Kabupaten Lampung Barat (Laporan Akhir).
Kerjasama Bapeda Kab Lambar dengan LP UNILA. Lampung. hal 2

Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Lampung Barat. 2003. Master Plan of


Investment Kabupaten Lampung Barat (Laporan Akhir). Kerjasama Bapeda
Kab Lambar dengan LP UNILA. Lampung. hal III 1-10

Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Lampung Barat. 2004. Laporan Tematik


Lampung Barat Beserta Informasinya (Laporan Akhir). Kerjasama Bapeda
Kab Lambar dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(bakosurtanal. hal III- 1-14

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Pengembangan ekonomi


daerah berbasis kawasan andalan: Membangun model pengelolaan dan
pengembangan keterkaitan program. Direktorat Pengembangan Kawasan
Khusus dan Tertinggal Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan
Regional BAPPENAS. Dikutip dari www. Bappenas.go.id. hal 1

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Panduan Pembangunan


Klaster Industri Untuk Pengembangan Ekonomi Daerah Berdaya Saing
Tinggi. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal.

Barus, B. dan Wiradisastra, US. 2000. Sistem Informasi Geografi: Sarana


Manjemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi
Jurusan Tanah institut Pertanian Bogor. hal. 6-13
141

BPTP Lampung. 2006. Situs Resmi Prima Tani. Di download dari WWW.
Deptan.go.id. Pada Tanggal 2 Maret 2008.

Brown, JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Washington DC.:


The World Bank.

Damanik, S, dan Sientje, RS. 1992. Pemasaran Kelapa di Kabupaten Sukabumi


Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.

Departemen Perindustrian, 2007. Hasil Rapat Kerja Departemen Perindustrian.


Tanggal 27 Februari 2007. dikutip dari www. Depperin.go.id.

Dirdjojuwono, RW. 2004. Kawasan Industri Indonesia. Pustaka Wirausaha


Muda. Bogor. 214 hal.

Dinas Perkebunan Kabupaten lampung Barat. 2007. Road Map Pengembangan


Komoditas Kelapa Kabupaten Lampung Barat. Dinas Perkebunan
Kabupaten Lampung Barat (Penerbit tidak diketahui). hal. 1-10

Dinas Perkebunan Kabupaten lampung Barat. 2007. Statistik Perkebunan


Kabupaten Lampung Barat. Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat
(Tidak Dipublikasikan).

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Pohon Industri Kelapa. di download dari


Website www. Deptan.go.id

Djojodipuro, N. 1992. Teori Lokasi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


239 hal.

Food And Agriculture Organization (FAO). 1976. A Framework For Land


Evaluation. FAO Soil Bull. No. 32 Rome, 72 pp. and ILRI Publication No.
22. Wageningen.

Forum Kelapa Indonesia (FOKPI). 2006. Membangun Kemakmuran Berbasis


Kelapa di Berbagai Pulau indonesia. Jakarta:FOKPI. hal 3.

Handoko, HT. 2000. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. BPFE


Yogyakarta. Edisi I. Hal 65 dan 255.

Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata


Guna Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Menejemen Sumber Daya Lahan.
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. hal. 20.
142

Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quitient (LQ) Dalam Penentuan


Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian Volume 12
(Desember 2003) Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian,Bogor.

Lampung Barat Dalam Angka (LBDA). Tahun 2005. Badan Pusat Statistik
Bekerjasama dengan Bappeda Kabupaten Lampung Barat.

Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat IPB (LPPM-IPB). 2002. Laporan


Akhir Studi Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (P-KSP) Kabupaten
Cianjur. Kerjasama dengan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Cianjur
Tahun 2002.

Mahmud, Z dan Ferry, Y. 2007. Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesian Center for
Estate Crops and Development Jalan Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111.

Malian, HA., Rachman, B., dan Djulin, A., 2004. Permintaan Ekspor dan Daya
Saing Panili di Propinsi Sumatera Utara. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 22
No.1, Mei 2004 : 26 – 45. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor.

Muslim, C. 2006. Analisis Daya Saing Produk Ekspor Agroindustri Komoditas


Berbasis Kelapa di Indonesia. ICASEPS Working Paper No. 87. Nopember
2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balitbang
Departemen Pertanian. hal 24-15.

Palungkun, R. 1992. Aneka Produk Tanaman Kelapa. Penebar Swadaya.


Jakarta. 118 hal.

Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, 2001. Revisi Rencana Tata Ruang


Wilayah (RTRW) Kabupaten Lampung Barat. Bapeda Kabupaten Lampung
Barat. hal 16.

Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, 2007. Dikutip dari situs Resmi Pemda
Lampung Barat. WWW.Lambar.go.id., 2007.

Prahalad, CK and Hamel, G. 1990. The Core Competence of the Corporation.


Harvard Business Review;May – June 1990; hal 79 – 90.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2002. Pewilayahan Komoditas Unggulan


Propinsi Lampung. [Di dalam]: Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas
Pertanian Unggulan Nasional. Edisi 1. Bogor: Puslittanak. hlm 6-7.
Berwarna, skala 1:1 000 000.
143

Rachman, HPS. 2004. Permintaan Komoditas Pangan: Analisis Perkembangan


Konsumsi Untuk Rumah Tangga dan Bahan Baku Industri. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for
Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. ICASERD
WORKING PAPER No.37. Maret 2004

Ratnasari, Z. 2005. Kajian Kelayakan Pengembangan KIMBUN Rakyat di


Kabupaten Lampung Selatan. Thesis Program Studi Perencanaan Wilayah
(PWL) Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan) Hal 56.

Rosenfeld, SA. 1995. Industrial Strength Strategies: Regional Business Clusters


and Public Policy. Washington DC: Aspen institute. hal 36.

Rustiadi, E, Panuju, DR, dan Saefulhakim, S. 2006. Perencanaan dan


Pengembangan Wilayah. Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak
dipublikasikan. hal II-5.

Rustiadi, E dan Hadi, S. 2006. Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi


Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Konsep
Pambangunan Desa-Kota Berimbang. Crestpent Press Kampus IPB
Baranangsiang. P4W-LPPM IPB. hal 1-31

Saefulhakim, S. 2006. Permodelan. Modul Praktikum Analisis Kuantitatif


Spasial. (Tidak Dipublikasikan)

Soekartawi. 2005. Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Raja


Grafindo Persada. Jakarta. 140 hal.

Sukamto. 2001. Upaya Meningkatkan Produksi Kelapa. PT. Penebar Swadaya,


Jakarta. hal. 34.

Supadi dan Nurmanaf. AR. 2006. Pemberdayaan petani kelapa dalam upaya
peningkatan pendapatan. Jurnal Litbang Pertanian. 2006; hal 26.

Sutojo, S. 1996. Studi Kelayakan Proyek. Teori dan Praktek. Pustaka Binaman
Presindo. Jakarta.

Swastika, DKS. 1999. Penerapan Model Dinamis dalam Sistem Penawaran dan
Permintaan Beras di Indonesia Informatika Pertanian Volume 8 (Desember
1999)
144

Tajudin. 2007. Inovasi dalam akselerasi agroindustri perdesaan. Makalah


semiloka Menuju Desa 2020 tanggal 9-10 Mei 2007 di Bogor. LPPM IPB.
2007. hal 2.

Tarigans, D.D. 2003 Pengembangan usaha tani kelapa berbasis pendapatan


melalui penerap-an teknologi yang berwawasan pengurangan kemiskinan
petani kelapa di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V.
Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan, Bogor. hal. 106−115.

Taufiq, M. 2004. Proyeksi Sentra Menjadi Klaster. Infokop Nomor 25 Tahun


XX, 2004

Todaro, MP. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerjemah:


Burhanudin Abdullah. Jakarta: Erlangga.

Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices. 2nd edition.
Cornell University Press. Ithaca and London.

Turban, E. 1993. Decison Support and Expert System: Management Support


Systems. McMillan Publishing Company.

Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Direktorat


Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum.
.
WWW.VCO BALIWAE.COM. E-Book. Apakah Virgin Coconut Oil Itu.
Didownload pada tanggal 5 April 2008
145

Lampiran 1. LQ LUAS AREAL PERKEBUNAN KEC. BENGKUNAT


KELAPA KOPI CENGKEH LADA KELAPA SAWIT
No NAMA DESA LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI TOTAL PERSEN
AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%)
1 WAY HARU 72 7.64 300.00 11.07 - - 381.00 15.79 - - 753.00 7.53
BELIMBING
2 BANDAR DALAM 58 6.16 50.00 1.85 4.00 1.38 27.00 1.12 - - 139.00 1.39
3 KOTA JAWA 100 10.62 429.00 15.83 5.00 1.73 600.00 24.87 - - 1,134.00 11.34
4 PENYANDINGAN 44 4.67 250.00 9.23 - - 402.00 16.66 - - 696.00 6.96
5 SUKAMARGA 53 5.63 283.00 10.44 - - 421.00 17.45 320.00 8.78 1,077.00 10.77
6 KOTA BATU 48 5.10 25.00 0.92 40.00 13.84 12.00 0.50 - - 125.00 1.25
7 PARDASUKA 57 6.05 244.00 9.00 10.00 3.46 175.00 7.25 675.00 18.52 1,161.00 11.61
8 RAJABASA 8 0.85 93.000 3.43 107.000 37.02 27.000 1.12 68.000 1.87 303.00 3.03
9 MULANG MAYA 22 2.34 315.00 11.62 25.00 8.65 30.00 1.24 2.00 0.05 394.00 3.94
10 NEGERI RATU 26 2.76 20.00 0.74 37.00 12.80 11.00 0.46 - - 94.00 0.94
NGARAS
11 GEDUNG CAHYA 67 7.11 150.00 5.54 6.00 2.08 33.00 1.37 515.00 14.13 771.00 7.71
KUNINGAN
12 NEGERI RATU 110 11.68 32.00 1.18 1.00 0.35 27.00 1.12 665.00 18.24 835.00 8.35
NGAMBUR
13 PEKONMON 52 5.52 14.00 0.52 1.00 0.35 8.00 0.33 250.00 6.86 325.00 3.25
14 SUMBER AGUNG 128 13.59 20.00 0.74 - - 9.00 0.37 50.00 1.37 207.00 2.07
15 PAGAR BUKIT 50 5.31 210.00 7.75 40.00 13.84 150.00 6.22 750.00 20.58 1,200.00 12.00
16 TANJUNG 47 4.99 275.00 10.15 13.00 4.50 100.00 4.14 350.00 9.60 785.00 7.85
KEMALA
JUMLAH 942 100.00 2,710.00 100.00 289.00 100.00 2,413.00 100.00 3,645.00 100.00 9,999.00 100.00
146

LQ LUAS AREAL PERKEBUNAN KEC. PESISIR SELATAN


KELAPA KOPI CENGKEH LADA KELAPA SAWIT
No NAMA DESA TOTAL PERSEN
LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI
AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%)
1 MARANG 236.00 17.59 47.00 7.87 4.00 17.39 26.00 16.56 1,200.00 55.17 1,513.00 35.24
2 WAY JAMBU 250.00 18.63 76.00 12.73 - - 60.00 38.22 685.00 31.49 1,071.00 24.94
3 BIHA 358.00 26.68 74.00 12.40 1.00 4.35 22.00 14.01 290.00 13.33 745.00 17.35
4 TANJUNG SETIA 390.00 29.06 97.00 16.25 7.00 30.43 - - - - 494.00 11.50
5 PAGAR DALAM 52.00 3.87 84.00 14.07 - - - - - - 136.00 3.17
6 TANJUNG JATI 9.00 0.67 61.00 10.22 - - - - - - 70.00 1.63
7 SUMUR JAYA 10.00 0.75 8.00 1.34 - - 8.00 5.10 - - 26.00 0.61
8 PELITA JAYA 16.00 1.19 70.000 11.73 3.000 13.04 16.000 10.19 - - 105.00 2.45
9 SUKARAME 5.00 0.37 10.00 1.68 - - 5.00 3.18 - - 20.00 0.47
10 NEGERI RATU 16.00 1.19 70.00 11.73 8.00 34.78 20.00 12.74 - - 114.00 2.65
TENUMBANG
JUMLAH 1,342.00 100.00 597.00 100.00 23.00 100.00 157.00 100.00 2,175.00 100.00 4,294.00 100.00

LQ LUAS AREAL PERKEBUNAN KEC. K. PENGGAWA


KELAPA KOPI CENGKEH LADA KELAPA SAWIT
No NAMA DESA TOTAL PERSEN
LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI
AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%)
1 MENYANCANG 57.00 15.45 3.00 0.75 3.00 0.87 4.00 4.88 - - 67.00 5.61
2 PENGGAWA V 66.00 17.89 1.50 0.38 5.00 1.46 2.00 2.44 - - 74.50 6.24
TENGAH
3 LAAY 35.00 9.49 8.00 2.00 9.50 2.77 0.50 0.61 - - 53.00 4.44
4 PENGGAWA V 79.00 21.41 26.00 6.50 12.00 3.49 13.00 15.85 - - 130.00 10.88
ULU
5 PENENGAHAN 15.00 4.07 23.00 5.75 16.00 4.66 16.00 19.51 - - 70.00 5.86
6 WAY NUKAK 41.00 11.11 6.00 1.50 19.00 5.53 7.00 8.54 - - 73.00 6.11
7 KEBUAYAN 60.00 16.26 13.50 3.38 14.00 4.08 1.50 1.83 - - 89.00 7.45
8 WAY SINDI 16.00 4.34 319.000 79.75 265.000 77.15 38.000 46.34 - - 638.00 53.41
JUMLAH 369.00 100.00 400.00 100.00 343.50 100.00 82.00 100.00 - - 1,194.50 100.00
147

LQ LUAS AREAL PERKEBUNAN KEC. LEMONG


KELAPA KOPI CENGKEH LADA KELAPA SAWIT
No NAMA DESA LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI TOTAL PERSEN
AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%)
1 PENENGAHAN 29.00 7.47 173.00 8.34 18.00 38.71 164.00 9.34 - - 384.00 9.00
2 BANDAR 28.50 7.35 73.00 3.52 1.50 3.23 72.50 4.13 - - 175.50 4.11
PUGUNG
3 PAGAR DALAM 26.50 6.83 393.00 18.94 4.00 8.60 139.00 7.91 - - 562.50 13.18
4 BAMBANG 20.50 5.28 72.00 3.47 3.00 6.45 148.00 8.43 - - 243.50 5.71
5 MALAYA 15.00 3.87 118.00 5.69 5.00 10.75 258.00 14.69 - - 396.00 9.28
6 CAHAYA NEGERI 8.50 2.19 329.00 15.85 1.50 3.23 198.00 11.27 - - 537.00 12.59
7 LEMONG 45.00 11.60 343.00 16.53 4.00 8.60 224.00 12.75 - - 616.00 14.44
8 WAY BATANG 141.00 36.34 70.000 3.37 1.500 3.23 79.000 4.50 - - 291.50 6.83
9 TANJUNG SAKTI 43.50 11.21 36.00 1.73 1.50 3.23 46.00 2.62 - - 127.00 2.98
10 TANJUNG JATI 28.00 7.22 29.50 1.42 1.50 3.23 40.00 2.28 - - 99.00 2.32
11 RATA AGUNG 2.50 0.64 439.00 21.15 5.00 10.75 388.00 22.09 - - 834.50 19.56
JUMLAH 388.00 100.00 2,075.50 100.00 46.50 100.00 1,756.50 100.00 - - 4,266.50 100.00
148

LQ LUAS AREAL PERKEBUNAN KEC. PESISIR TENGAH


KELAPA KOPI CENGKEH LADA KELAPA SAWIT
No NAMA DESA LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI TOTAL PERSEN
AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%)
1 BALAI KENCANA 30.00 7.59 5.00 6.02 8.00 3.69 3.00 6.25 - - 46.00 6.19
2 WAY SULUH 40.00 10.13 10.00 12.05 6.00 2.76 1.00 2.08 - - 57.00 7.67
3 WAY NAPAL 35.00 8.86 - - 5.00 2.30 - - - - 40.00 5.38
4 PADANG 46.00 11.65 - - - - - - - - 46.00 6.19
HALUAN
5 LINTIK 50.00 12.66 2.00 2.41 10.00 4.61 3.00 6.25 - - 65.00 8.75
6 WALUR 62.00 15.70 - - - - - - - - 62.00 8.34
7 PEMERIHAN 25.00 6.33 4.00 4.82 8.00 3.69 2.00 4.17 - - 39.00 5.25
8 WAY REDAK 48.00 12.15 10.00 12.05 5.000 2.30 - - - - 63.00 8.48
9 SERAY 5.00 1.27 - - 42.00 19.35 11.00 22.92 - - 58.00 7.81
10 KAMPUNG JAWA 6.00 1.52 - - - - - - - - 6.00 0.81
11 RAWAS 5.00 1.27 - - 42.00 19.35 15.00 31.25 - - 62.00 8.34
12 PASAR KRUI - - - - - - - - - - -
13 SUKANEGARA 4.50 1.14 8.00 9.64 30.00 13.82 7.00 14.58 - - 49.50 6.66
14 PAHMUNGAN 3.50 0.89 10.00 12.05 33.00 15.21 - - - - 46.50 6.26
15 PAJAR BULAN - - - - - - - - - - - -
16 BUMIWARAS - - - - - - - - - - - -
17 PENGGAWA V - - - - - - - - - - - -
ILIR
18 BANJAR AGUNG 7.00 1.77 - - 14.00 6.45 - - - - 21.00 2.83
19 ULU KRUI 25.00 6.33 4.00 4.82 8.00 3.69 2.00 4.17 - - 39.00 5.25
20 GUNUNG 3.00 0.76 30.00 36.14 6.00 2.76 4.00 8.33 - - 43.00 5.79
KEMALA
JUMLAH 395.00 100.00 83.00 100.00 217.00 100.00 48.00 100.00 - - 743.00 100.00
149

LQ LUAS AREAL PERKEBUNAN KEC. P. UTARA


KELAPA KOPI CENGKEH LADA KELAPA SAWIT
No NAMA DESA LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI LUAS KONTRI TOTAL PERSEN
AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%) AREAL BUSI (%)
1 WALUR 51.00 10.49 233.00 20.24 16.00 8.51 22.00 25.88 - - 322.00 16.86
2 PADANG RINDU 180.00 37.04 4.00 0.35 8.00 4.26 4.00 4.71 - - 196.00 10.26
3 KURIPAN 44.00 9.05 1.00 0.09 11.00 5.85 4.00 4.71 - - 60.00 3.14
4 NEGERI RATU 37.00 7.61 5.00 0.43 7.00 3.72 4.00 4.71 - - 53.00 2.77
5 KERBANG 2.00 0.41 80.00 6.95 13.00 6.91 12.00 14.12 - - 107.00 5.60
LANGGAR
6 KERBANG 2.00 0.41 6.00 0.52 8.00 4.26 3.00 3.53 - - 19.00 0.99
DALAM
7 BALAM 29.00 5.97 25.00 2.17 15.00 7.98 6.00 7.06 - - 75.00 3.93
8 WAY NARTA 3.00 0.62 2.000 0.17 3.000 1.60 1.000 1.18 - - 9.00 0.47
9 KOTA KARANG 48.00 9.88 15.00 1.30 20.00 10.64 4.00 4.71 - - 87.00 4.55
10 BATURAJA 47.00 9.67 780.00 67.77 20.00 10.64 25.00 29.41 - - 872.00 45.65
11 SUKAMARGA 12.00 2.47 - - 12.00 6.38 - - - - 24.00 1.26
12 PEKON LOK 8.00 1.65 - - 14.00 7.45 - - - - 22.00 1.15
13 BANDAR DALAM 9.00 1.85 - - 14.00 7.45 - - - - 23.00 1.20
14 PASAR PULAU 4.00 0.82 - - 8.00 4.26 - - - - 12.00 0.63
PISANG
15 SUKADANA 5.00 1.03 - - 9.00 4.79 - - - - 14.00 0.73
16 LABUHAN 5.00 1.03 - - 10.00 5.32 - - - - 15.00 0.79
JUMLAH 486.00 100.00 1,151.00 100.00 188.00 100.00 85.00 100.00 - - 1,910.00 100.00
150

135
LAM PIRAN 2. ANALISIS TINGK AT PERK EM BANGAN DESA-DESA PESISIR K ABUPATEN LAM PUNG BARAT
Pondok
puskesm a tem pat tem pat
Jum lah Jum lah SLTP Jum lah SM A P usakesa Jum lah bersalin m antri
No N am a D esa Jum lah Penduduk Luas D esa S LTPN s praktek praktek D okter bidan
TK SD swasta SLTP swasta m as posyandu desa kesehatan
pem bantu dokter bidan
(polindes)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
1 W AY H AR U 2888 13550 0 3 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1
2 BAN D AR D ALAM 3633 2626 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1
3 KOTA JAW A 3717 15160 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 3 0 0 1 1
4 PEN YAN DIN GAN 2213 960 1 2 1 0 1 0 0 1 0 0 3 0 0 2 0
5 SU KAMA RG A 4105 14400 0 4 0 1 1 0 0 0 0 0 3 1 0 0 0
6 TA N JUN G KEMA LA 2550 11550 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
7 PAG AR BU KIT 3711 11008 1 2 0 0 0 0 0 1 0 2 10 0 0 1 2
8 PAR D A S U KA 2304 7570 0 2 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 3 1
9 RA JA B ASA 1201 5413 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
10 MULAN G MA YA 772 9023 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1
11 NE GER I R ATU N GAR AS 2337 13500 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
12 KOTA BATU 1520 7000 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
13 GED U N G C AH YA KU N ING AN 4490 3215 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0
14 NE GER I R ATU N GAMB UR 2010 2041 1 3 0 0 0 0 1 0 0 1 3 0 0 3 1
15 PEK ON MON 3422 6676 0 2 0 0 0 0 0 1 0 0 3 0 0 1 0
16 SU MBER A GU N G 1640 7252 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0
17 ULOK MU KTI 2860 956 0 2 0 0 0 0 0 1 0 0 2 0 0 1 0
18 SU KA NE GAR A 1136 1264 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0
19 MUA RA TEMBU LIH 727 1211 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
20 SU KA BAN JAR 2442 1140 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
21 MAR AN G 4468 4512 0 5 0 0 0 0 0 1 0 2 0 5 0 2 2
22 W AY JAMBU 3678 18590 0 3 0 2 2 0 0 0 0 2 0 3 0 4 3
23 BIH A 4770 2526 1 1 0 2 2 0 1 1 1 2 0 4 2 3 3
24 TA N JUN G SETIA 1364 6680 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2 2
25 PAG AR D ALAM 608 2165 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
26 TA N JUN G JATI 332 2165 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1
27 SU MUR JAYA 1455 9313 0 1 0 0 0 0 0 0 0 2 0 1 0 1 2
28 PELITA JAYA 1455 9313 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
29 SU KAR AME 798 5052 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0
30 NE GER I R ATU TEN U MBAN G 2125 15349 0 2 0 0 0 0 0 1 0 1 0 3 0 0 1
31 BALAI KEN C AN A 1720 984 0 3 0 1 1 1 0 0 0 1 2 0 0 1 1
32 W AY SU LU H 1505 600 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
33 W AY N APAL 860 508 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1
151

136

Pondok
puskesm a tem pat tem pat
Jum lah Jum lah SLTP Jum lah SMA P usakesa Jum lah bersalin m antri
No Nam a Desa Jum lah Penduduk Luas Desa SLTP N s praktek praktek Dokter bidan
TK SD swasta S LTP sw asta m as posyandu desa kesehatan
pem bantu dokter bidan
(polindes)

34 P ADANG HALUAN 665 264 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1


35 LINTIK 1509 328 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 2
36 W ALUR 526 437 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1
37 P EME RIHAN 632 513 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
38 W AY REDAK 797 393 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1
39 S ERAY 1300 492 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1
40 K AMP UNG JA W A 2096 345 1 1 1 1 2 1 0 0 1 1 1 1 1 0 4
41 RA W AS 1193 464 0 1 0 0 0 2 0 0 0 1 1 0 0 1 1
42 P AS AR K RUI 8598 546 2 6 2 0 2 0 1 1 1 4 3 0 1 1 4
43 S UKANE GA RA 840 328 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1
44 P AHMUNGA N 976 923 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
45 P AJA R BULAN 380 219 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
46 B UMIW A RAS 401 153 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1
47 P ENGG AW A V ILIR 1292 387 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
48 B ANJA R AG UNG 441 164 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0
49 ULU KRUI 2833 1803 0 2 1 0 1 0 0 1 1 1 2 0 1 1 1
50 G UNUNG KE MALA 2340 1327 0 2 1 0 1 0 0 0 0 1 2 0 0 0 1
51 ME NYA NCANG 1160 333 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
52 P ENGG AW A LIMA TENG AH 1047 546 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
53 LAA Y 1260 492 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 3
54 P ENGG AW A LIMA ULU 1380 130.5 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
55 P ENENG AHA N 2667 1530 1 2 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1
56 W AY NUKAK 1378 437 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
57 K EB UA YA N 839 392.5 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1
58 W AY SINDI 4409 1913 1 4 0 2 2 0 1 0 0 1 2 0 0 0 1
59 W ALUR 921 4280 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0
60 P ADANG RINDU 800 2980 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0
61 K URIPA N 876 2923 0 1 1 2 3 1 1 0 0 1 1 0 0 1 4
62 NE GERI RATU 1058 3080 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
63 K ERBA NG LANG GA R 658 3040 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0
64 K ERBA NG DA LA M 650 2005 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
65 B ALAM 788 2880 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0
66 W AY NARTA 402 2615 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
67 K OTA KA RANG 918 2704 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0
68 B ATURAJA 668 2713 0 2 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
152

137
Pondok
puskesma tempat tempat
Jumlah Jumlah SLTP Jumlah SMA Pusakesa Jumlah bersalin mantri
No Nama Desa Jumlah Penduduk Luas Desa SLTPN s praktek praktek Dokter bidan
TK SD swasta SLTP swasta mas posyandu desa kesehatan
pembantu dokter bidan
(polindes)

69 SUKAMARGA 166 779 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0


70 PEKON LOK 331 200 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2
71 BANDAR DALAM 419 152 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0
72 PASAR PULAU PISANG 849 447 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 2 1
73 SUKADANA 473 156 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
74 LABUHAN 737 516 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 2 1
75 PENENGAHAN 2222 4561 1 2 1 0 1 1 0 0 0 1 2 0 0 0 1
76 BANDAR PUGUNG 706 2962 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
77 PAGAR DALAM 1176 3209 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0
78 BAMBANG 729 2463 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
79 MELAYA 2221 3222 1 3 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
80 CAHYA NEGERI 960 7513 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 0
81 LEMONG 3330 1287 1 3 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1
82 WAY BATANG 782 2556 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
83 TANJUNG SAKTI 213 2334 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0
84 TANJUNG JATI 381 2773 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
85 RATA AGUNG 2026 1056 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

Jumlah fasilitas 141,235.00 293,538.00 26.00 117.00 16.00 14.00 30.00 7.00 7.00 20.00 8.00 52.00 104.00 43.00 9.00 42.00 343.00

Jumlah desa yang memiliki fasilitas 25.00 74.00 15.00 10.00 23.00 6.00 7.00 20.00 8.00 44.00 73.00 32.00 8.00 28.00 51.00

Rasio jumlah desa yang memiliki


fasilitas/jumlah total desa 2.27 6.73 1.36 0.91 2.09 0.55 0.64 1.82 0.73 4.00 6.64 2.91 0.73 2.55 4.64
Bobot keberadaan fasilitas 3.40 1.15 5.67 8.50 3.70 14.17 12.14 4.25 10.63 1.93 1.16 2.66 10.63 3.04 1.67
Jumlah Fasilitas x Bobot 88.40 134.39 90.67 119.00 110.87 99.17 85.00 85.00 85.00 100.45 121.10 114.22 95.63 127.50 571.67
Jumlah Minimal 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Standar Deviasi 0.49 1.09 0.42 0.48 0.65 0.32 0.28 0.43 0.29 0.71 1.22 0.88 0.35 0.85 20.47
Rata-rata 0.31 1.38 0.19 0.16 0.35 0.08 0.08 0.24 0.09 0.61 1.22 0.51 0.11 0.49 3.94
153

138

w arte/kiospo Perusahaan K ios sarana


dukun bayi jum lah jum lah jum lah jum lah Lapangan
dukun bayi Jum lah jum lah lapangan n/warpostel/ P os pertanian P erusahaan produksi
No N am a D esa Jum lah P enduduk Luas D esa belum surau/lan gereja gereja vihara/kle sepak
terlatih m asjid pura bulu tangkis w arparposte keliling tanam an Perkebunan m ilik non
terlatih ggar kristen katolik nteng bola
l pangan KUD

1 2 3 4 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
1 W A Y H AR U 2888 13550 0 4 7 3 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0
2 BA N D AR D A LAM 3633 2626 0 0 6 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
3 KO TA JA W A 3717 15160 0 8 10 3 0 0 1 0 2 1 0 0 0 0 0
4 PE N YA N D IN G A N 2213 960 0 8 6 3 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 3
5 SU KA M AR G A 4105 14400 0 10 8 4 0 0 0 0 2 1 0 0 0 1 0
6 TA N JU N G K EM ALA 2550 11550 0 3 8 9 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0
7 PA G A R B U K IT 3711 11008 3 2 3 16 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0
8 PA R D A SU KA 2304 7570 0 5 8 6 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0
9 R A JA B A SA 1201 5413 0 3 3 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0
10 MU LA N G M AYA 772 9023 0 2 2 3 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0
11 N E GE R I R ATU N G A R A S 2337 13500 1 4 4 5 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
12 KO TA BA TU 1520 7000 0 2 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0
13 G. C K U N IN G AN 4490 3215 0 1 6 4 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0
14 N R N G A MB U R 2010 2041 5 0 7 3 0 0 1 0 1 0 2 0 0 1 0
15 PE K O N M ON 3422 6676 3 5 5 8 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0
16 SU MB E R A G U N G 1640 7252 0 4 2 2 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1
17 U LO K MU K TI 2860 956 1 3 4 6 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
18 SU KA N EG A R A 1136 1264 1 6 3 1 0 0 2 0 1 0 0 0 0 1 0
19 MU A R A T EM BU LIH 727 1211 0 3 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
20 SU KA BA N JA R 2442 1140 0 9 2 7 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0
21 MA R A N G 4468 4512 3 9 9 1 0 0 2 0 1 1 2 0 0 0 2
22 W A Y JAM B U 3678 18590 2 5 9 3 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
23 BIH A 4770 2526 1 10 7 7 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
24 TA N JU N G S ETIA 1364 6680 2 2 3 2 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
25 PA G A R D A LA M 608 2165 0 3 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
26 TA N JU N G JA TI 332 2165 1 2 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
27 SU MU R JA YA 1455 9313 1 3 2 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
28 PE LITA JA YA 1455 9313 4 8 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
29 SU KA R A ME 798 5052 0 0 2 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
30 N E GE R I R ATU TE N U MB AN G 2125 15349 2 7 4 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
31 BA LA I KE N C AN A 1720 984 2 3 2 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
32 W A Y S U LU H 1505 600 2 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
33 W A Y N AP A L 860 508 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
154

139

w arte/kiospo Perusahaan K ios sarana


dukun bayi jum lah jum lah jum lah jum lah Lapangan
dukun bayi Jum lah jum lah lapangan n/w arpostel/ P os pertanian P erusahaan produksi
No N am a D esa Jum lah Penduduk Luas D esa belum surau/lan gereja gereja vihara/kle sepak
terlatih m asjid pura bulu tangkis w arparposte keliling tanam an P erkebunan m ilik non
terlatih ggar kristen katolik nteng bola
l pangan KUD

34 P AD AN G H A LU A N 665 264 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
35 LIN TIK 1509 328 0 0 3 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
36 W A LUR 526 437 2 0 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
37 P EME R IH AN 632 513 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
38 W A Y R ED A K 797 393 2 2 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
39 S ER AY 1300 492 1 0 3 1 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 1
40 K AMP U N G JA W A 2096 345 1 1 2 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0
41 R A W AS 1193 464 1 0 1 4 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
42 P AS AR K R U I 8598 546 2 1 8 3 0 0 0 0 0 1 5 0 0 0 0
43 S U KAN E GA R A 840 328 0 0 2 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
44 P AH MU N GA N 976 923 2 1 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
45 P AJA R BU LAN 380 219 2 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
46 B U MIW A R AS 401 153 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
47 P EN GG AW A V ILIR 1292 387 2 1 4 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
48 B AN JA R AG U N G 441 164 2 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
49 U LU KR U I 2833 1803 1 2 3 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0
50 G U N UN G K EMA LA 2340 1327 2 0 4 5 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
51 ME N YA N C AN G 1160 333 3 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
52 P EN GG AW A LIM A TE N GAH 1047 546 0 1 2 4 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
53 LAA Y 1260 492 0 2 2 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
54 P EN GG AW A LIM A U LU 1380 130.5 0 4 2 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0
55 P EN EN G AH A N 2667 1530 0 4 2 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
56 W A Y N U KA K 1378 437 0 2 3 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
57 K EB UA YAN 839 392.5 2 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
58 W A Y SIN D I 4409 1913 0 7 8 5 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
59 W A LUR 921 4280 0 5 2 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
60 P AD AN G R IN DU 800 2980 0 2 2 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
61 K U R IPA N 876 2923 0 0 3 3 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
62 N E GER I R A TU 1058 3080 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0
63 K ER BA N G LA N GGA R 658 3040 1 2 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
64 K ER BA N G D ALAM 650 2005 2 2 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
65 B ALAM 788 2880 1 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
66 W A Y N AR TA 402 2615 1 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
67 K OTA KA R AN G 918 2704 2 4 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
68 B ATU R AJA 668 2713 2 1 1 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
155

140
warte/kiospo Perusahaan Kios sarana
dukun bayi jumlah jumlah jumlah jumlah Lapangan
dukun bayi Jumlah jumlah lapangan n/warpostel/ Pos pertanian Perusahaan produksi
No Nama Desa Jumlah Penduduk Luas Desa belum surau/lan gereja gereja vihara/kle sepak
terlatih masjid pura bulu tangkis warparposte keliling tanaman Perkebunan milik non
terlatih ggar kristen katolik nteng bola
l pangan KUD

69 SUKAMARGA 166 779 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


70 PEKON LOK 331 200 0 1 2 2 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
71 BANDAR DALAM 419 152 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
72 PASAR PULAU PISANG 849 447 0 1 2 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0
73 SUKADANA 473 156 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
74 LABUHAN 737 516 1 4 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
75 PENENGAHAN 2222 4561 1 2 7 3 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
76 BANDAR PUGUNG 706 2962 2 2 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
77 PAGAR DALAM 1176 3209 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
78 BAMBANG 729 2463 1 1 3 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
79 MELAYA 2221 3222 2 0 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
80 CAHYA NEGERI 960 7513 1 5 5 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
81 LEMONG 3330 1287 5 0 7 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
82 WAY BATANG 782 2556 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
83 TANJUNG SAKTI 213 2334 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
84 TANJUNG JATI 381 2773 1 2 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
85 RATA AGUNG 2026 1056 1 4 5 4 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0

Jumlah fasilitas 141,235.00 293,538.00 89.00 208.00 257.00 188.00 - - 8.00 - 50.00 60.00 30.00 3.00 - 13.00 287.00
Jumlah desa yang memiliki
fasilitas 51.00 62.00 85.00 69.00 0.00 0.00 6.00 0.00 48.00 60.00 21.00 3.00 0.00 13.00 7.00

Rasio jumlah desa yang memiliki


fasilitas/jumlah total desa 4.64 5.64 7.73 6.27 0.00 0.00 0.55 0.00 4.36 5.45 1.91 0.27 0.00 1.18 0.64
Bobot keberadaan fasilitas 1.67 1.37 1.00 1.23 0.00 0.00 14.17 0.00 1.77 1.42 4.05 28.33 0.00 6.54 12.14
Jumlah Fasilitas x Bobot 148.33 285.16 257.00 231.59 0.00 0.00 113.33 0.00 88.54 85.00 121.43 85.00 0.00 85.00 3485.00
Jumlah Minimal 1.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Standar Deviasi 1.14 2.62 2.49 2.46 0.00 0.00 0.37 0.00 0.54 0.46 0.77 0.19 0.00 0.36 21.02
Rata-rata 1.05 2.45 3.02 2.21 0.00 0.00 0.09 0.00 0.59 0.71 0.35 0.04 0.00 0.15 3.30
156

1 41

J um lah
indus tri B an guna n B e ngke l
Indus tri indus tri P e rusa ha an P a sa r ta npa W arun g/ke d K ope ra s i
k ec il K e lom pok pa sa r Tok o/w arung R e pa ras i
No N a m a D e sa J um lah P end uduk Lua s D es a k era jina n k ec il listrik non ba nguna n a i m a ka na n N on K U D
ke rajina n pe rtok oan pe rm a ne n/se ke lintong k en dara an
anya m an m a k ana n P LN pe rm ane n m inum a n lainn ya
k ayu m i p erm an en be rm otor
(unit)
1 2 3 4 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
1 W AY H ARU 28 8 8 13 5 50 0 1 1 0 0 0 0 7 3 1 0
2 BA NDA R DALA M 36 3 3 2 6 26 0 2 4 0 0 0 0 3 12 0 0
3 K O T A JA W A 37 1 7 15 1 60 0 0 0 0 0 0 0 0 31 0 0
4 P E N YA N D IN G A N 22 1 3 9 60 3 1 0 0 1 0 1 4 28 0 3
5 SUKAMAR GA 41 0 5 14 4 00 3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 T A N JU N G K E M A L A 25 5 0 11 5 50 2 3 6 0 0 0 0 8 15 0 2
7 P A G A R B U K IT 37 1 1 11 0 08 1 3 5 0 0 0 1 6 12 1 1
8 PARDA SUKA 23 0 4 7 5 70 2 5 2 0 0 0 1 14 19 0 2
9 R A JA B A S A 12 0 1 5 4 13 0 0 0 0 0 0 0 3 4 0 0
10 MULANG MA YA 772 9 0 23 0 0 0 0 0 0 0 2 7 0 0
11 NEG ERI R ATU NG A RA S 23 3 7 13 5 00 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0
12 KO TA BATU 15 2 0 7 0 00 0 1 0 0 0 0 0 6 0 0 0
1 3 G E D U N G C A H Y A K U N IN G A N 44 9 0 3 2 15 0 5 2 0 0 0 2 0 7 0 2
14 NEG ERI R ATU NG A MBUR 20 1 0 2 0 41 0 1 0 0 0 0 1 6 12 0 5
15 PEKO N MO N 34 2 2 6 6 76 2 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0
16 SUMBER AG UN G 16 4 0 7 2 52 1 1 0 0 0 0 1 2 1 0 3
17 ULO K MUKTI 28 6 0 9 56 0 0 0 0 0 0 0 2 14 0 0
18 SUKA NEG AR A 11 3 6 1 2 64 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 1
1 9 M U A R A T E M B U L IH 727 1 2 11 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
2 0 S U K A B A N JA R 24 4 2 1 1 40 0 2 2 0 0 0 0 1 10 0 1
21 MAR ANG 44 6 8 4 5 12 3 0 0 0 0 0 0 2 39 1 2
2 2 W A Y JA M B U 36 7 8 18 5 90 0 0 0 0 0 1 1 1 20 0 3
2 3 B IH A 47 7 0 2 5 26 2 1 0 0 0 1 1 3 50 0 2
2 4 T A N JU N G S E T IA 13 6 4 6 6 80 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 5 P A G A R D A LA M 608 2 1 65 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0
2 6 T A N JU N G JA T I 332 2 1 65 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0
2 7 S U M U R JA Y A 14 5 5 9 3 13 0 0 0 0 0 1 1 1 20 0 0
2 8 P E LIT A JA Y A 14 5 5 9 3 13 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0
29 SUKAR AME 798 5 0 52 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
30 NEG ERI R ATU TENUMBA NG 21 2 5 15 3 49 0 0 0 0 0 0 0 0 19 0 0
3 1 B A LA I K E N C A N A 17 2 0 9 84 0 0 0 0 0 0 1 0 8 0 1
32 W A Y SULUH 15 0 5 6 00 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0
33 W A Y N APAL 860 5 08 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 1
157

142

Jum lah
industri B angunan B engkel
Industri industri P erusahaan Pasar tanpa W arung/ked K operasi
kecil K elom pok pasar Toko/warung R eparasi
No N am a D esa Jum lah P enduduk Luas D esa kerajinan kecil listrik non bangunan ai m akanan N on K U D
kerajinan pertokoan perm anen/se kelintong kendaraan
anyam an m akanan P LN perm anen m inum an lainnya
kayu m i perm anen berm otor
(unit)
34 P A D A N G H A LU A N 665 264 2 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0
35 LIN TIK 1509 328 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 1
36 W A LU R 526 437 0 0 0 0 0 0 0 0 25 0 0
37 P E ME R IH AN 632 513 1 0 0 0 0 0 0 0 7 2 0
38 W A Y R E D A K 797 393 1 0 0 0 0 0 0 0 6 1 1
39 S E R A Y 1300 492 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 2
40 K A MP U N G JA W A 2096 345 0 2 0 0 0 0 0 0 7 0 1
41 R AW A S 1193 464 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0
42 P A S A R K R U I 8598 546 0 0 0 0 1 1 0 7 100 0 15
43 S U K A N E G A R A 840 328 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0
44 P A H M U N GA N 976 923 2 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0
45 P A JA R B U LA N 380 219 0 1 0 0 0 0 0 0 6 0 0
46 B U M IW A R AS 401 153 0 0 0 0 0 0 0 0 7 1 0
47 P E N G G A W A V ILIR 1292 387 2 0 0 0 0 0 0 0 15 0 1
48 B A N JAR A G U N G 441 164 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0
49 U LU K R U I 2833 1803 2 0 0 0 0 0 0 2 5 0 1
50 G U N U N G K E MA LA 2340 1327 1 0 0 0 0 0 0 0 30 0 0
51 M E N YA N C AN G 1160 333 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0
52 P E N G G A W A LIMA T E N G A H 1047 546 0 0 0 0 0 0 1 0 14 0 1
53 LA A Y 1260 492 0 0 2 0 0 0 1 12 0 1 2
54 P E N G G A W A LIMA U LU 1380 130.5 0 0 0 0 0 0 1 0 11 0 0
55 P E N E N G A H AN 2667 1530 0 0 0 0 0 0 1 32 0 1 0
56 W A Y N U K A K 1378 437 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0
57 K E B U A YA N 839 392.5 0 0 0 0 0 0 1 8 0 0 1
58 W A Y S IN D I 4409 1913 0 2 0 0 0 0 1 47 0 1 1
59 W A LU R 921 4280 10 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0
60 P A D A N G R IN D U 800 2980 5 0 0 0 0 0 0 0 5 1 0
61 K U R IP A N 876 2923 5 0 0 2 0 0 0 0 6 0 1
62 N EG E R I R A TU 1058 3080 2 0 0 0 0 0 0 5 16 1 1
63 K E R B A N G LAN G G AR 658 3040 0 1 0 0 0 1 0 0 8 0 0
64 K E R B A N G D A LA M 650 2005 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 1
65 B A LA M 788 2880 0 5 0 0 0 0 0 0 4 0 0
66 W A Y N A R TA 402 2615 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0
67 K O TA KA R AN G 918 2704 2 0 0 0 0 0 0 0 6 1 0
68 B A TU R A JA 668 2713 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0
158

143
Jumlah
industri Bangunan Bengkel
Industri industri Perusahaan Pasar tanpa Warung/ked Koperasi
kecil Kelompok pasar Toko/warung Reparasi
No Nama Desa Jumlah Penduduk Luas Desa kerajinan kecil listrik non bangunan ai makanan Non KUD
kerajinan pertokoan permanen/se kelintong kendaraan
anyaman makanan PLN permanen minuman lainnya
kayu mi permanen bermotor
(unit)
69 SUKAMARGA 166 779 1 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0
70 PEKON LOK 331 200 4 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0
71 BANDAR DALAM 419 152 2 1 0 5 0 0 0 0 4 0 0
72 PASAR PULAU PISANG 849 447 1 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0
73 SUKADANA 473 156 2 0 0 2 0 0 0 0 4 0 0
74 LABUHAN 737 516 2 1 0 2 0 0 0 0 3 0 0
75 PENENGAHAN 2222 4561 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 1
76 BANDAR PUGUNG 706 2962 1 0 0 0 0 0 0 0 6 0 1
77 PAGAR DALAM 1176 3209 1 0 0 0 0 0 0 0 5 0 1
78 BAMBANG 729 2463 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0
79 MELAYA 2221 3222 1 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0
80 CAHYA NEGERI 960 7513 1 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0
81 LEMONG 3330 1287 0 0 0 0 0 0 0 0 15 0 1
82 WAY BATANG 782 2556 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0
83 TANJUNG SAKTI 213 2334 1 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0
84 TANJUNG JATI 381 2773 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0
85 RATA AGUNG 2026 1056 0 2 0 0 0 0 1 0 20 0 1

Jumlah fasilitas 141,235.00 293,538.00 71.00 42.00 25.00 13.00 1.00 5.00 18.00 189.00 887.00 13.00 64.00

Jumlah desa yang memiliki fasilitas 32.00 21.00 9.00 5.00 1.00 5.00 17.00 25.00 75.00 12.00 33.00

Rasio jumlah desa yang memiliki


fasilitas/jumlah total desa 2.91 1.91 0.82 0.45 0.09 0.45 1.55 2.27 6.82 1.09 3.00
Bobot keberadaan fasilitas 2.66 4.05 9.44 17.00 85.00 17.00 5.00 3.40 1.13 7.08 2.58
Jumlah Fasilitas x Bobot 188.59 170.00 236.11 221.00 85.00 85.00 90.00 642.60 1005.27 92.08 164.85
Jumlah Minimal 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.00 0.00 0.00
Standar Deviasi 1.53 1.11 1.02 0.68 0.11 0.24 0.44 6.55 13.21 0.39 1.82
Rata-rata 0.84 0.49 0.29 0.15 0.01 0.06 0.21 2.22 10.44 0.15 0.75
159

Lampiran 3. Pendapat Pakar tentang kriteria Produk Prospektif

Pendapat Pakar tentang Produk Prospektif berdasarkan

Pakar 6

Teknologi Yang digunakan


Pakar 5
Kualifikasi SDM
Pakar 4 Penyerapan Tenaga Kerja
Dampak Lingkungan
Pakar 3 Nilai Tambah
Kebijakan Pemerintah
Pakar 2
Peluang Pasar

Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

1. Peluang Pasar

Pakar 6
VCO
Pakar 5 Coco Peat
Santan Kelapa
Pakar 4
Nata De Coco
Arang Aktif
Pakar 3
Coco Fiber
Pakar 2 Dessicated Coconut
Minyak Kelapa
Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

2. Kualifikasi SDM
160

Pakar 6
VCO
Pakar 5 Coco Peat
Santan Kelapa
Pakar 4
Nata De Coco
Arang Aktif
Pakar 3
Coco Fiber
Pakar 2 Dessicated Coconut
Minyak Kelapa
Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

3. Nilai Tambah

Pakar 6
VCO
Pakar 5 Coco Peat
Santan Kelapa
Pakar 4
Nata De Coco
Arang Aktif
Pakar 3
Coco Fiber
Pakar 2 Dessicated Coconut
Minyak Kelapa
Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

4. Penyerapan Tenaga Kerja


161

Pakar 6
VCO

Pakar 5 Coco Peat


Santan Kelapa
Pakar 4 Nata De Coco
Arang Aktif
Pakar 3 Coco Fiber
Dessicated Coconut
Pakar 2
Minyak Kelapa

Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

5. Teknologi yang digunakan

Pakar 6
VCO
Pakar 5 Coco Peat
Santan Kelapa
Pakar 4
Nata De Coco
Arang Aktif
Pakar 3
Coco Fiber
Pakar 2 Dessicated Coconut
Minyak Kelapa
Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

6. Kebijakan Pemerintah
162

Pakar 6
VCO
Pakar 5 Coco Peat
Santan Kelapa
Pakar 4
Nata De Coco
Arang Aktif
Pakar 3
Coco Fiber
Pakar 2 Dessicated Coconut
Minyak Kelapa
Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50

7. Dampak Lingkungan

Pakar 6
VCO
Pakar 5 Coco Peat
Santan Kelapa
Pakar 4
Nata De Coco
Arang Aktif
Pakar 3
Coco Fiber
Pakar 2 Dessicated Coconut
Minyak Kelapa
Pakar 1

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50


163

Lampiran 4. Perhitungan Trend Permintaan dengan Metode


Kuadrat Terkecil
1. Minyak Kelapa

Tahun Jumlah (Y) X XY X2


2000 736,667 -3 (2,210,00) 9
2001 385,140 -2 (770,280) 4
2002 434,972 -1 (434,972) 1
2003 321,535 0 - 0
2004 443,762 1 443,762 1
2005 745,742 2 1,491,484 4
2006 519,556 3 1,558,668 9
Jumlah 3,587,374 - 78,661 28

a= 512,482
b= 2809.32

Persamaan
Y = 512482 + 809,32 X

Tahun X PROYEKSI
2007 5 526,529
2008 6 529,338
2009 7 532,147
2010 8 534,957
2011 9 537,766
2012 10 540,575
2013 11 543,385
Jumlah 3,744,696

Grafik Proyeksi Permintaan Ekspor Minyak Kelapa

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR MINYAK KELAPA

545,000
540,000
VOLUME (TON)

535,000
530,000 PROYEKSI
525,000
520,000
515,000
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN
164

2. Dessicated Coconut

Tahun Jumlah (Y) X XY X2


2000 31,579 -3 (94,737) 9
2001 35,683 -2 (71,366) 4
2002 50,410 -1 (50,410) 1
2003 37,286 0 - 0
2004 30,780 1 30,780 1
2005 51,025 2 102,050 4
2006 62,249 3 186,747 9
Jumlah 299,012 - 103,064 28

a= 42,716
b= 3680.86

Persamaan
Y = 42716 + 3680.86 X

Tahun X PROYEKSI
2007 5 61,120
2008 6 64,801
2009 7 68,482
2010 8 72,163
2011 9 75,844
2012 10 79,525
2013 11 83,205
Jumlah 505,140

Grafik Proyeksi Permintaan Ekspor Dessicated Coconut

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR DESSICATED COCONUT

90,000
80,000
VOLUME (TON)

70,000
60,000
50,000
40,000
30,000
20,000
10,000
-
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN PROYEKSI
165

3. Karbon Aktif

Tahun Jumlah (Y) X XY X2


2000 10,205 -3 (30,615) 9
2001 12,104 -2 (24,208) 4
2002 11,544 -1 (11,544) 1
2003 12,409 0 - 0
2004 15,898 1 15,898 1
2005 25,670 2 51,340 4
2006 15,529 3 46,587 9
Jumlah 103,359 - 47,458 28

a= 14,766
b= 1694.93

Persamaan
Y = 14766 + 1694.93 X

Tahun X PROYEKSI
2007 5 23,241
2008 6 24,936
2009 7 26,631
2010 8 28,325
2011 9 30,020
2012 10 31,715
2013 11 33,410
Jumlah 198,278

Grafik Proyeksi Permintaan Ekspor Arang Aktif

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR ARANG AKTIF

40,000
35,000
30,000
VOLUME

25,000
20,000 PROYEKSI
15,000
10,000
5,000
-
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN
166

4. Coco Fiber

Tahun Jumlah (Y) X XY X2


2000 102 -3 (306) 9
2001 73 -2 (146) 4
2002 78 -1 (78) 1
2003 281 0 - 0
2004 1,067 1 1,067 1
2005 3,550 2 7,100 4
2006 3,450 3 10,350 9
Jumlah 8,601 - 17,987 28

a= 1,229
b= 642.39

Persamaan
Y= 1229 +642.39 X

Tahun X PROYEKSI
2007 5 4,441
2008 6 5,083
2009 7 5,726
2010 8 6,368
2011 9 7,011
2012 10 7,653
2013 11 8,295
Jumlah 44,577

Grafik Proyeksi Permintaan Ekspor Coco Fiber

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR COCO FIBER

9,000
8,000
VOLUME (TON)

7,000
6,000
5,000
PROYEKSI
4,000
3,000
2,000
1,000
-
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN
167

5. Santan Kelapa

Tahun Jumlah (Y) X XY X2


2000 9,234 -3 (27,702) 9
2001 10,500 -2 (21,000) 4
2002 24,100 -1 (24,100) 1
2003 20,340 0 - 0
2004 20,240 1 20,240 1
2005 32,480 2 64,960 4
2006 27,402 3 82,206 9
Jumlah 144,296 - 94,604 28

a= 20,614
b= 3378.71

Persamaan
Y = 20614 + 3378.71 X

Tahun X PROYEKSI
2007 5 37,508
2008 6 40,886
2009 7 44,265
2010 8 47,644
2011 9 51,022
2012 10 54,401
2013 11 57,780
Jumlah 333,506

Grafik Proyeksi Permintaan Ekspor Santan Kelapa

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR SANTAN KELAPA

70,000
60,000
VOLUME (TON)

50,000
40,000
PROYEKSI
30,000
20,000
10,000
-
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN
168

6. Kelapa Butiran

Tahun Jumlah (Y) X XY X2


2000 29,365 -3 (88,095) 9
2001 16,613 -2 (33,226) 4
2002 32,891 -1 (32,891) 1
2003 38,321 0 - 0
2004 31,619 1 31,619 1
2005 30,799 2 61,598 4
2006 83,600 3 250,800 9
Jumlah 263,208 - 189,805 28

a= 37,601
b= 6778.75

Persamaan
Y = 37601 + 6778.75 X

Tahun X PROYEKSI
2007 5 71,495
2008 6 78,274
2009 7 85,052
2010 8 91,831
2011 9 98,610
2012 10 105,389
2013 11 112,167
Jumlah 642,817

Grafik Proyeksi Permintaan Ekspor Kelapa Butiran

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR KELAPA SEGAR

120,000
100,000
VOLUME (TON)

80,000
60,000 PROYEKSI
40,000
20,000
-
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN
169

7. Kopra

Tahun Jumlah (Y) X XY X2


2000 34,579 -3 (103,73) 9
2001 23,884 -2 (47,768) 4
2002 40,045 -1 (40,045) 1
2003 25,107 0 - 0
2004 36,139 1 36,139 1
2005 56,884 2 113,768 4
2006 76,725 3 230,175 9
Jumlah 293,363 - 188,532 28

a= 41,909
b= 6733.29

Persamaan
Y = 41909 +6733.29 X

Tahun X PROYEKSI
2007 5 75,575
2008 6 82,309
2009 7 89,042
2010 8 95,775
2011 9 102,509
2012 10 109,242
2013 11 115,975
Jumlah 670,427

PROYEKSI PERMINTAAN EKSPOR KOPRA

140,000
120,000
VOLUME (TON)

100,000
80,000
PROYEKSI
60,000
40,000
20,000
-
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TAHUN

You might also like