You are on page 1of 13

CASE STUDY: EXXON VALDEZ

How pouring oil on water created plenty of


troubles
On 24 March 1989, at 2100 hours, the 987-foot Exxon Valdez oil tanker
left the harbour of South Alaska’s Valdez and entered Prince William Sound
bound for California. The seas were calm and the weather was good. A local pilot,
who had guided the super-tanker out of the port, was taken off shortly after 2330
hours. Twenty minutes later the Exxon Valdez ploughed into rocks and America’s
worst oil spill disaster had begun. Ten million gallons of oil spewed ut of the
vessel into Prince William Sound, a rich natural habitat. The disaster became
instant world news.
Exxon, one of the five largest companies in the United States, had been
under the leadership of Lawrence G Rawl since 1986. The son of a truck driver,
an ex-marine, and with 37 years as an employee of Exxon before becoming
chairman, Rawl was known for having a strong dislike of publicity and
journalists.
He perceived the media as a danger, to be avoided at all costs.
When the media asked for a comment at Exxon’s headquarters in Houston
several hours after the disaster it was told this was a matter for the Exxon
Shipping Company. They could not and did not want to make any further
comment. When asked if the chairman would be interviewed on television, the
response was that the chairman of the board had no time for that kind of thing.
Later, a spokesperson for Exxon Shipping coolly informed the press that
emergency procedures and manuals existed for such events. Meanwhile the entire
world was watching televised pictures of these emergency procedures failing as
thousands of birds, otters and seals died in the oil slick.
Emergency procedures should apparently have been initiated by the
Alyeska Pipeline Company, a consortium of seven oil companies that use the
Alaskan pipeline. In the event of disaster, the consortium would be the first to act.
But in this case even the most basic steps were not taken, and a ship specially
designated for fighting oil pollution was left sitting in the dock for some time.
After more than a week Exxon was still pursuing a policy of ‘no
comment’. The publicity became so hostile that eventually Frank Iarossi, the
director of Exxon Shipping, flew to Valdez to hold a press conference. This ended
in a bitter battle with fishermen and journalists. Iarossi retaliated and the one
small oppor-tunity to cooperate and communicate with the press was lost.
Iarossi’s subsequent daily briefings were likened to the press conferences during
the Vietnam War: generals who summed up small successes only to be
immediately
Confronted by journalists who had seen completely different things on the
battlefields.
Suddenly the chairman, Lawrence Rawl, decided to appear on television.
He was interviewed ‘live’ and watched by millions of extremely angry Americans
right across the United States. The first question put to him concerned the latest
plan for the clean-up. He hadn’t read it. He explained: ‘it is not the role of the
chairman of a large worldwide corporation to read every technical plan’. His
arrogance was blatant.
When asked about the public relations disaster his company was facing –
Esso
products were being boycotted in the United States by this time – he replied: ‘the
reason we’ve got this public relations disaster [admitting he had one] is because of
the media’s reporting of the situation’. He proceeded to place
the blame for his company’s problems at the feet of the world’s press. He showed
no emotion over the enormous environmental disaster and offered no pologies to
fishermen whose livelihood had been destroyed.
He didn’t bother to go to Alaska to see for himself the damage which had
been done until a fortnight after the event. When he did go the media was kept
unaware of his visit. The damage to Exxon’s reputation was complete.
The consequences for the company and the rest of the industry were dire.
It is estimated the spill cost the company – in fines, clean-up expenses and lost
market share – at least US$16 billion.
New legislation was imposed on the oil tanker industry requiring all new
ocean-going tankers to be built with double hulls. Experts in the shipping industry
suggest double hulls are potentially more dangerous than single hulls because of
the risk of a build-up of gas between the two hulls. Having seen the Braer and Sea
Empress disasters first hand, it is easy to form the view that four hulls would not
have prevented those oil spills. The new legislation appears to be a cosmetic,
knee-jerk political reaction by governments that felt they had to
be seen to ‘police’ the wicked oil tanker and oil industries – a perception of
wickedness created by Exxon’s appalling communication in the aftermath of the
Valdez spill.

Dari deskripsi kasus di atas, analisis:


1. Berdasarkan teori Sistem, Excellence theory, Situational theory of the
public, Atribusi theory, Situational crisis communication theory, Apologia
theory. Apa yang salah? bagaimana sebaiknya dilakukan?
2. Perusahaan dapat dikatakan mengalami kegagalan berkomunikasi dalam
menyediakan tiga pesan sederhana terkait situasi yang terjadi. Jelaskan!
3. Apa akibat dari ketiga kegagalan itu jika dibiarkan? Jelaskan!
ANALISIS STUDI KASUS

1. Berdasarkan teori Sistem, Excellence theory, Situational theory of the public,


Atribusi theory, Situational crisis communication theory, Apologia theory.
Apa yang salah? bagaimana sebaiknya dilakukan?

1.1 EXCELLENCE THEORY


Grunig & Hunt,1984 dalam Kriyantono (2014, h.105) menjelaskan
bahwa teori ini merupakan pengembangan dari empat model public
relations dan teori situational of the public. Teori excellence berangkat
dari kedua teori tersebut dengan lebih menekankan aspek negosiasi dan
kompromi.
Larissa A. Grunig, J.E Grunig dan D. M. Dozier dalam (Mawardi,
2010) berpendapat bahwa Excellence Theory menjelaskan bagaimana
hubungan masyarakat dapat berkomntribusi sebagai fungsi manajemen
untuk keseluruhan keefektifan organisasi, dan mereka berpendapat
“premis utama excellence theory menyatakan bahwa komunikasi memiliki
nnilai terhadap sebuah organisasi karena ia membantu untuk tmembangun
hubungan jangka panjang yang baik dengan publik – publik stategis”.
Kriyantono(2014, h. 111) ada sepuluh premis public relations, antara lain :
a. Organisasi mesti melibatkan aktivitas public relations dalam fungsi
strategis manajemen. Setiap pengambilan keputusan mesti
mempertimbangkan perspektif public relations agar menghasilkan
kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan dengan publik
(involvement).
b. Public relations mesti mendapatkan akses langsung kedalam
kelompok dominan dan dapat langsung berkomunikasi dengan manajer
senior, CEO (empowerment). Manajer public relations mempunyai
pengaruh dalam koalisi dominan.
c. Organisasi mesti mempunyai fungsi public relations yang terintegrasi
ke dalam satu departemen sendiri. Jangan sampai setiap departemen
mempunyai divisi public relations masing – masing, atau departemen
public relations diletakkan dibawah kendali departemen lain, seperti
marketing (integration).
d. Public relations yaitu fungsi manajemen yang terpisah dari fungsi
manajemen yang lain, seperti marketing, human resources
development, ataupun keuangan (independence).
e. Manajer public relations haruslah seorang yang bercirikan ‘manajer
komunikasi’ bukan ‘teknisi komunikasi’ (mangerial). Program –
program public relations harus dikelola secara strategis.
f. Mengadopsi model two-way symmetric sebagai basis utama menjalin
relasi publik. Tetapi dimungkinkan memadukannya dengan two-way
asymmetric (mixed motives) (symmetrical model).
g. Sistem komunikasi internal bersifat two-way symmetric, berupa
desentralisasi struktur yang menjamin otonomi antarbagian, ada dialog
dua arah, dan memberi peluang anggota organisasi terlibat dalam
mekanisme pengambilan keputusan (symmetrical internal
communication).
h. Fungsi public relations model symmetric, perran manajerial, pelatihan
akademik public relations, dan professionalitasdilaksanakan dengan
berdasarkan ilmu pengetahuan yang memadai tentang bagaimana
menjalankan peran manajerial dalam sistem symmetric. Termasuk
disini yaitu pengetahuan tentang penelitian yang menunjang fungsi
public relations (knowledge).
i. Adanya diversitas peran dalam menjalankan fungsi public relations.
Public relations yang excellence memberi peluang terjadinya
harmonisasi multikultur dan menghindarkan diri dari diskriminasi
gender, ras, etnis, maupun latar belakang (role diversity).
j. Dalam menjalankan peran dalam menjalankan fungsi public relations
harus mengutamakan kode etik dan integritas profesi (ethical public
relations).
Dari beberapa penjelasan tentang premis diatas, jika dikaitkan dengan
studi kasus kita kali ini terlihat banyak sekali elemen – elemen dari premis
utama teori excellence yang tidak tersentuh. Tentunya hal ini
mempengaruhi kegiatan public relations pada Exxon Valdez. Beberapa
premis yang diabaikan yaitu, 1) involvement, dimana pihak Exxon dirasa
tidak memiliki praktisi public relations yang independen, praktisi public
relation-nya tidak terlihat bahkan tidak melakukan kegiatan konferensi
pers menyangkut permasalahan yang dihadapi pihak Exxon. Selain itu kita
dapat dilihat dari sikap Exxon yang tidak mau berhubungan dengan media,
mereka menganggap media hanyalah sesuatu hal yang berbahaya. Padahal
jika kita telaah lebih lanjut, media adalah jembatan sebuah perusahaan
untuk mendekatkan diri dengan publik sehingga keberadaan perusahaan
tersebut diketahui oleh publik. 2) integration, bagaimana bisa Exxon
mendaapatkan integrasi dimana adanya sebuah departemen sendiri untuk
public relations-nya, jika saya saja menganggap bahwa Exxon saja tidak
memiliki praktisi public relations yang pantas disebut sebagai manajer
komunikasi dalam sebuah organisasi. Selain itu, pihak Exxon tidak
mempercayai praktisi public relations-nya untuk melakukan kegiatan
public relations. Pada kasus ini, dapat dilihat juga bahwa praktisi public
relations pihak Exxon tidak berada pada posisi dominant coalition. 3)
symmetrical model, pihak Exxon dirasa tidak ingin segala pemberitaan
tentang perusahaannya diekspos media dan diketahui oleh publik. Pada
kasus ini saya melihat adanya kekurangan dalam alur komunikasi yang
diterapkan oleh pihak Exxon sendiri. Pihak Exxon terkesan
mengesampingkan publik, hal ini dilihat saat ketua Exxon, Lawrence Rawl
hanya menganggap pemberitaan ini hanyalah perdebatan antara nelayan
dan wartawan dan bukan dari pihak Exxon.

Kriyantono (2014, h.115) menjelaskan bahwa teori excellence


menjelaskan peran public relations menyediakan saluran komunikasi yang
dua arah timbal balik, yang memungkinkan organisasi dan publik berbagi
informasi dan menyampaikan gagasan. Agar peran ini berjalan baik,
public relations mesti mengombinasikan peran sebagai teknisi dan
manajer dengan baik. Public relations dituntut tidak hanya fokus sebagai
teknisi komunikasi yang banyak melakukann pekerjaan teknis
menyampaikan pesan (misalnya menulis, mengedit, memfoto, membuat
majalah, membuat produk audiovisual, mengelola event tertentu, dan
mengadakan konferensi pers).
Melihat terangnya penjelasan diatas mengenai public relations
dalam kajian teori excellence, ada banyak hal yang tidak dilakukan oleh
praktisi public relations pihak Exxon. Kegiatan – kegiatan public relations
yang seharusnya dilakukan malah terlihat tidak bekerja dengan baik pada
pihak Exxon, hal ini juga mempengaruhi kualitas hubungah yang dibangun
oleh pihak Exxon kepada publiknya.

1.2 SITUATIONAL THEORY of PUBLIC


Kriyantono (2014, h.152) Teori situational of the publics (STP) ini
bermanfaat untuk mengidentifikasi publik sehingga dapat membuat kategori
publik berdasarkan perilaku komunikasi dari individu dan efek komunikasi
yang diterima individu tersebut. Teori ini membantu public relations untuk
membuat target sasaran yang lebih spesifik, sehingga pesan komunikasinya
benar – benar sesuai dengan kebutuhan sasarannya itu.
Menurut Grunig dalam Kriyantono (2014, h.153), teori situational of the
publics (STP) mempunyai beberapa asumsi dasar, yaitu:
a. Individu yang berbeda diasumsikan mempunyai perilaku yang lebih
komsisten dan cenderung sama jika mereka berada pada situasi yang
sama.
b. Persepsi seseorang pada suatu situasi akan menentukan kapan dia
merespons,mengapa dia merespons, bagaimana cara dia merespons dan
mengoomunikasikan situasi tersebut.
c. Setiap individu akan berusaha beradaptasi dengan situasi dalam cara
tertentu, yang menurut persepsinya sesuai dengan karakteristik situasi
tersebut.
d. Publik bersifat situasional tergantung pada situasi yang dihadapi.
Untuk isu tertentu,seseorang secara aktif mencari informasi tetapi
untuk isu yang lain dia memilih pasif. Hal ini tergantung pada seberapa
besar isu memengaruhi kepentingannya.
e. Karena bersifat situasional, masalah atau isu bersifat dinamis, maka
publik pun bersifat dinamis. Masalah datang dan pergi bergantian dan
hanya dianggap relevan oleh individu yang mengalami situasi
problematik yang berkaitan dengan aaktivitas organisasi.

Dari beberapa asumsi dasar mengenai teori situational of the publics


(STP) ini, terlihat adanya peran masyarakat yang aktif pada kasus
penumpahan minyak di Alaska. Para nelayan bersikap aktif menuntut ganti
rugi dari pihak Exxon, dimana mereka kehilangan penghasilan
dikarenakan banyak ikan yang mati sehingga mereka tidak dapat
menghasilkan uang untuk beberapa waktu. Masyarakat Amerika saat itu
bergerak aktif mencari informasi tentang perusahaan Exxon untuk siap
mengganti rugi akibat tumpahan minyak tersebut, masyarakat bergerak
bersama pers untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. Dalam kasus
ini, masyarakat masuk kedalam kategori publik yang aktif.

1.3 ATRIBUSI THEORY

Fritz Heider dalam (Ataghaitsa, 2013) menjelaskan gagasannya terkait


dengan teori atribusi, bahwa setiap individu mencoba untuk memahami
perilaku mereka sendiri dan orang lain dengan mengamati bagaimana
sesungguhnya setiap individu berperilaku. Penyebab situasional (dipengaruhi
oleh lingkungan), pengaruh pribadi (mempengaruhi secara pribadi),
kemampuan (dapat melakukan sesuatu), usaha (mencoba melakukan sesuatu),
hasrat (keinginan untuk melakukannya), perasaan (merasa menyukainya),
keterlibatan (setuju dengan sesuatu), kewajiban (merasa harus), dan perizinan
(telah diizinkan). Adapun Kriyantono (2014, h.169) menjelaskan bahwa teori
atribusi ini membahas tentang bagaimana individu menarik kesimpulan
tentang penyebab dari suatu perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun
perilaku seseorang (termasuk organisasi ) lainnya.

Jika dikaitkan dengan studi kasus, bisa dilihat dari reaksi masyarakat
Amerika melihat permasalahan yang ditimbulkan akibat tumpahnya tanker
minyak perusahaan Exxon. Masyarakat dinilai kritis dalam menunjukkan
kritikan dan amarahnya pada pihak Exxon untuk segera mengganti kerugian
masyarakat serta melakukan pembersihan limbah minyak yang mengganggu
kehidupan ekosistem air di Alaska. Pada kasus ini, teori atribusi terlihat ketika
bagaimana masyarakat Amerika menunjukkan emosinya ketika menghadapi
sebuah permasalahan krisis dan bagaimana mereka menginterpretasi kejadian
tersebut.

1.4 SITUATIONAL CRISISS COMMUNICATION THEORY

Kriyantono (2014, h.188) menjelaskan bahwa SCC membantu praktisi


public relations sebagai manajer krisi mengukur situasi krisis untuk menguji
tingkat ancaman adalah sejumlah kerusakan yang ditimbulkan krisis terhadap
reputasi jika organisasi tidak mengambil tindakan menyelesaikan krisis
dengan baik.
Dalam studi kasus diatas, saya merasa adanya kegagalan dari pihak Exxon
untuk mempertahankan reputasi perusahaannya, selain itu pihak Exxon juga
kurang tanggap dalam menyelesaikan krisis dengan memberikan penawaran
alternatif untuk mengalihkan isu terkait tumpahan minyak di Alaska.
Seharusnya untuk menyelamatkan perusahaannya, Lawrence Rawl selaku
ketua dari perusahaan Exxon Valdez mengurangi sikap arogansinya dan
meminta maaf kepada masyarakat, sefrta memberikan kompensasi atau
penawaran yang lain sebagai wujud permohonan maaf atau wujud tanggung
jawabnya kepada masyarakat demi menjaga reputasi perusahaannya.

1.5 APOLOGIA THEORY


Kriyantono (2014, h.177) menjelaskan bahwa, teori apologia
ditawarkan sebagai upaya bagi organisasi menghadapi situasi krisis, yaitu
dalam kajian komunikasi krisis ( crisis communication ) atau merespons
krisis (crisis respons).
Dalam studi kasus diatas, bisa digambarkan bagaimana teori
apologia ini tidak tanggap digunakan oleh pihak Exxon. Pihak Exxon
hanya bungkam dengan segala pemberitaan dan kerusakan yang telah
diakibatkan dalam kurun waktu hampi dua pekan. Seharusnya jika
merujuk pada teori ini, pihak Exxon-lah yang harus lebih tanggap dalam
mananggapi krisis dan publik sehingga dapat mengurangi krisis yang
terjadi dan publikpun dapat mengurangi tingkat kemarahannya pada pihak
Exxon.

2. Perusahaan dapat dikatakan mengalami kegagalan berkomunikasi dalam


menyediakan tiga pesan sederhana terkait situasi yang terjadi. Jelaskan!

1) Perusahaan menanggapi situasi krisis dengan “No Comment”.


Seharusnya pihak perusahaan Exxon tidak mengeluarkan kata “No
Comment” dalam memanggapi isu krisis yang sedang dihadapi. Karena
tindakan tersebut akan menambah kecurigaan masyarakat akan pihak
Exxon.
2) Praktisi public relations tidak dapat memberikan tanggapan terkait isu
krisis
Praktisi public relations tidak termasuk dalam koalisi dominan dan tidak
dapat menanggapi akan isu yang terjadi pada perusahaan Exxon.
3) Buruknya hubungan dengan media
Kebencian Lawrence Rawl akan publisitas dan media menjadi penghambat
tersendiri bagi pihak Exxon untuk membangun hubungan yang baik
dengan media. Media adalah jembatan perusahaan dengan khalayak luas,
jika perusahaan dan media tidak berhubungan baik maka akan
mempengaruhi pemberitaan yang dikeluarkan oleh media.

3. Apa akibat dari ketiga kegagalan itu jika dibiarkan? Jelaskan!


Ada banyak akibat yang diakibatkan oleh ketiga kegagalan tersebut, yaitu : 1)
masyarakat merasa diabaikan sehingga membutuhkan kepastian akan
penyelesaian masalah yang ditimbulkan oleh pihak Exxon, masyarakat yang
menuntut akan pertanggungjawaban dari pihak Exxon tidak akan segan –
segan untuk melakukan tindakan anarkis bahkan menuntut pihak exxon, hal
ini tentu akan mempengaruhi reputasi pihak Exxon, serta kepercayaan
konsumen akan berkurang dan mempengaruhi penurunan daya jual kepada
konsumen. 2) tidak adanya pihak humas dalam suatu perusahaan, atau tidak
berjalannya fungsi atau peran humas sebagaimana mestinya akan
mempengaruhi hubungan perusahaan kepada stakeholder, media dan
publiknya. 3) seorang ketua dari sebuah perusahaan sepantasnya tidak arogan
ketika menyampaikan klarifikasi masalah yang disebabkan oleh
perusahaannya, hal ini dapat menambah kebencian publik terhadap perusahaan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Aghaitsa (2013). Tradisi Sosiopsikologis. Diakses pada 10 November


2014, dari https://ataghaitsa.wordpress.com/tag/teori-atribusi/

Kriyantono, R. (2014). Teori public relations perspektif barat & lokal :


aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta: Kencana

Larissa A. Grunig, J.E Grunig dan D. M. Dozier (2002). Excellent Public


Relations and Effective Organizations : A Study of Communication
Management in Three Countries. Diakses pada 10 November 2014, dari
http://ranggamawardi.wordpress.com/2010/08/25/excellence-teori/
TUGAS UTS TEORI PUBLIC RELATIONS
STUDI KASUS

Dosen pengampu : Rachmat Kriyanto, Ph.D

Oleh:
BAIQ MIRNA GITA PURNAMA
NIM : 125120200111081

PROGRAM STUDI S1 ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

You might also like