You are on page 1of 28

Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No.

1 (2020) | 93

PENDIDIKAN ANAK SUPERNORMAL DENGAN


PENDEKATAN LIVING VALUES EDUCATION PROGRAM
(STUDI KASUS KELAS AKSELERASI MAN 2 KOTA
MADIUN)
Asfahani
Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo
fahan380@gmail.com

Wiwin Rif’atul Fauziyati


Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo
rivaat_bik@yahoo.com

Abstract
The purpose of this study was to determine the strategies, approaches, stages
and results of the living value education program in the education of
supernormal children in MAN 2 Madiun City. Qualitative research method was
conducted by direct observation and gained the results of this study which were
that the Living Values Education Program (LVEP) acceleration class of MAN
2 in Madiun City is done by habituation, lecture, hands-on practice, discussion,
performance, assignments, and visits to religious places, and acts as good role
model. The holistic approach (integrated and synchronized) in which the
development of character values is integrated and interconnected in all aspects
of the madrasa environment. The stages of reviving the value in children
accelerated starting with the quarantine process. Through this LVEP, it is
certain that children have personalities based on religious and cultural noble
values. The conclusion of this research is that the LVEP approach has
delivered supernormal children of MAN 2 Madiun City to have an awareness
of high values, virtuous character and aware of the importance of exemplary
and practice of values themselves in appreciating "good value" in children, as
well as reflect on it.

Keywords: Value and Value Education, Living Values Education Program,


Supernormal Children.

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi, pendekatan,
tahapan dan hasil program pendidikan nilai kehidupan dalam pendidikan anak-
anak supernormal di MAN 2 Kota Madiun. Metode penelitian kualitatif
dilakukan dengan observasi langsung dan diperoleh hasil penelitian ini yaitu
bahwa kelas akselerasi Living Values Education Program (LVEP) MAN 2 di
Kota Madiun dilakukan dengan pembiasaan, kuliah, praktik langsung, diskusi,
kinerja, tugas, dan kunjungan ke tempat-tempat relijius, dan uswah hasanah.
Pendekatan holistik (terintegrasi dan tersinkronisasi) di mana pengembangan
nilai karakter terintegrasi dan saling berhubungan dalam semua aspek
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 94

lingkungan madrasah. Tahapan menghidupkan kembali nilai pada anak dimulai


dengan proses karantina. Melalui LVEP ini, dapat dipastikan bahwa anak-anak
memiliki kepribadian berdasarkan nilai-nilai luhur agama dan budaya.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pendekatan LVEP telah
menjadikan anak-anak supernormal dari MAN 2 Kota Madiun untuk memiliki
kesadaran akan nilai-nilai tinggi, karakter berbudi luhur dan menyadari
pentingnya teladan dan praktik nilai-nilai itu sendiri dalam menghargai "nilai
baik" pada anak.

Kata kunci: Nilai dan Pendidikan Nilai, Program Pendidikan Living Values,
Anak Supernormal

1. Pendahuluan
Dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa
Indonesia harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar
mampu mengikuti kemajuan tersebut. SDM yang berkualitas adalah
berkembangnya manusia secara menyeluruh. Manusia yang berkualitas adalah
manusia yang berkembang optimal baik secara fisik, kognitif, emosi, sosial,
maupun spiritual. Di sisi lain, di antara bangsa Indonesia terdapat anak-anak
yang memiliki kecerdasan luar biasa atau bisa dikatakan anak supernormal.
Anak supernormal memiliki keunggulan-keunggulan berbeda dengan
anak normal. Dari segi fisik sedikit lebih unggul baik tinggi, bobot dan
kesehatan. Lebih mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama,
mampu mencipta, mampu memahami mulai dari masalah material sampai
masalah abstrak. Karena kelebihan dalam hal kecerdasan, maka cenderung
bergaul dengan anak-anak yang lebih tua yang lebih banyak memiliki
kemahiran fisik dan pengalaman.1
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki anak supernormal sangat penting
untuk dikembangkan dan dibimbing secara optimal. Karena anak yang
memiliki kecerdasan lebih laksana tanaman yang membutuhkan seseorang
yang dapat membimbing dan membantunya agar ia bisa tumbuh dan
berkembang secara alamiah, menghilangkan berbagai kendala yang ada di

1
Ma’ruf Zurayk, Aku dan Anakku Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju Remaja
(Bandung: Al-Bayan, 1998),76
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 95

hadapannya, serta merintis jalan baginya. Mereka membutuhkan orang yang


dapat memahami serta menghargai kelebihannya secara utuh.
Apabila anak supernormal tidak disediakan pelayanan pendidikan, tidak
dibimbing dan tidak dididik sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya yang khas,
sehingga potensi-potensinya kurang dapat diwujudkan maka di samping dapat
kehilangan bibit-bibit unggul bagi perkembangan negara dan bangsa Indonesia,
anak-anak tersebut dirugikan bahkan dapat menjadi anak bermasalah, dan bisa
jadi putus sekolah.2 Jelas bahwa anak supernormal membutuhkan didikan dan
bimbingan secara khusus dan serius sehingga bisa mengikuti dan mengarahkan
sesuai dengan kemampuan serta tahapan perkembangannya. Bahkan dalam
Undang-Undang No. 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada
pasal 8 ayat 2 telah disebutkan bahwa: “warga negara yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus”.
Pasal ini menjadi dasar hukum bagi anak supernormal agar mereka mendapat
perhatian lebih.
Di sini peneliti mencoba untuk mengamati salah satu sekolah di kota
Madiun yang memiliki kelas unggulan (akselerasi) dengan latar belakang siswa
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata (anak supernormal) dengan
menggunakan pendekatan living values education program, yakni Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) 2 Kota Madiun. Para siswa kelas akselerasi MAN 2
Kota Madiun dikarantina dalam sebuah pesantren yang berada di dalam
kompleks sekolah MAN 2 Kota Madiun. Dari hasil wawancara dengan
pengelola kelas akselerasi, kebanyakan orang tua berkeyakinan bahwa anak
yang mempunyai kecerdasan tinggi tidak mengalami kekhawatiran, sebab
mereka mampu mengatasi masalahnya sendiri, orang tua memandang bahwa
anak mereka memiliki segalanya. Padahal di sisi lain, anak supernormal tidak
memiliki kemampuan untuk mencapai jalan yang benar tanpa bantuan orang
lain, sebab mereka memerlukan bantuan dalam berkreasi dan menampilkan
potensinya. Mereka tidak hanya memerlukan motivasi, tetapi lebih banyak

2
Sutratinah Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya (Jakarta: Bina
Aksara, 1984),14
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 96

memerlukan pengertian dan partisipasi serta dukungan. Orang tua dan


masyarakat juga tidak terlalu memperhatikan anak-anak cerdas, tidak memberi
sugesti, dan tidak membangkitkan kemampuan-kemampuan internal untuk
mencipta dan berkreasi. Orang tua dan masyarakat memperlakukan mereka
sama seperti yang lain, tidak ada yang beda maupun yang istimewa. Di sinilah
anak-anak tersebut menemukan lingkungan yang seolah-olah tidak menghargai
sebagaimana mestinya dan tidak mengenal kelebihan-kelebihan mereka.
Akibatnya membuat mereka lemah atau guncang dan bisa membunuh faktor-
faktor kreatifitas dan menghilangkan tanda-tanda kecerdasannya.
Keadaan ini diperparah dengan situasi orang tua yang kurang mengetahui
tentang keadaan anaknya yang tergolong supernormal sehingga kalau anaknya
berbuat hal-hal yang tidak masuk akal,3 orang tua tidak dapat mengerti. Bisa
jadi orang tua hanya akan marah-marah, menghukum dan selalu menyalahkan
anak tersebut. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk memahami dan
mengetahui tanda-tanda kecerdasan dan ciri-ciri anak supernormal sehingga
dalam kehidupan anak tersebut, orang tua akan mampu mengetahui dan bisa
mengarahkan serta mendidiknya sesuai dengan tahapan perkembangan anak
supernormal.
Hal-hal tersebut dapat dikatakan sebagai masalah yang unik untuk diteliti
karena terjadi kesenjangan antara harapan dan fakta. Oleh karena itu, tidak

3
Menurut tokoh pendidikan seperti Barbara Clark dan Seageo, anak berbakat memiliki
karakter khusus sehingga memungkinkan ia memiliki masalah dengan lingkungannya. Anak
berbakat memiliki keunggulan dalam aspek intelegensinya, yang ditandai dengan kecepatannya
dalam menangkap dan mengingat informasi yang diberikan, menyukai pemecahan masalah,
memiliki kemampuan konseptual, abstraksi dan sintesis yang baik, selalu berusaha mencari
hubungan sebab akibat, memiliki perbendaharaan kata yang cukup banyak, memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, memiliki konsentrasi yang tinggi serta dapat menahan diri terhadap hal-hal
yang menarik minatnya. Akan tetapi hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi anak tersebut untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya terutama teman sebaya. Anak menjadi tidak sabar
terhadap orang lain dan tidak menyukai hal yang monoton, serta tugas-tugas rutin. Pemikiran
mereka sering loncat-loncat dan tidak dimengerti oleh teman sebayanya. Mereka tidak menyukai
sesuatu yang tidak jelas dan tidak masuk akal, senang menggunakan kata-kata untuk memanipulasi
serta cepat bosan dengan teman sebaya. Kepribadian anak berbakat yang khas juga rentan
menimbulkan konflik bagi lingkungannya. Biasanya mereka memiliki rasa ingin tahu yang besar
dan keinginan yang kuat untuk selalu mencari jawaban atas sesuatu, yang mengakibatkan mereka
sering menanyakan hal-hal yang dianggap kurang pantas atau tabu, sehingga membuat orang lain
kewalahan. (Lihat “Warna-Warni Kecerdasan Anak” karangan Tim Pustaka Familia, (Yogyakarta;
Kanisius, 2006) hal; 109-110)
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 97

dapat dipungkiri bahwa yang terjadi seringkali bertolak belakang dengan teori-
teori di atas. Di mana anak supernormal di MAN 2 Kota Madiun ini yang
seharusnya mendapat perhatian dan pengertian atas sikap dan tindakannya
yang mungkin berbeda dengan anak normal malah kurang mendapat perhatian
dan pengertian dari orang tua maupun pihak yang belum atau kurang
mengetahuinya.
Seorang anak tidak bisa dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu saja
tanpa ada yang merawat dan membimbing, karena anak bisa tumbuh liar tak
terkendali sesuai dengan pola hidup dan lingkungannya. Pendidikan
merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang tua karena anak sebagai
amanah Allah SWT. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh menelantarkan
kebutuhan-kebutuhan anak yakni kasih sayang, perlindungan, pendidikan, dan
sebagainya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

䵘ഘ ഘ ⺂) 䇇 ⺂ഘ 墳‫ﱠ‬7︲9 䇇˵ϛ˴ ഘ ‫ﱠ‬Ϊ˴ϫ 䇇˵䵘ϛΑ ഘϮ˵Ϩ˶ഘ 䇇˵ϛ ˴ ഘ ഘϮ˵ϣ˵ഘ


(墳儘˴˵
Artinya:”Hormatilah anak-anakmu sekalian dan perhatikanlah pendidikan
mereka, karena anak-anakmu sekalian adalah karunia Allah kepadamu.”4
Dalam hadis di atas, terkandung sebuah perintah dan seruan kepada
orang tua untuk memperhatikan pendidikan dan mengarahkan anak-anak
mereka serta menjadi sebuah amanah bagi orang tua atas terbentuknya akhlak
mulia anak. Hal ini sejalan dengan prinsip yang terkandung dalam pendekatan
Living Values Education Program (LVEP). Pendekatan LVEP merupakan
sebuah model pendekatan karakter dengan nilai-nilai pendidikan yang
komprehensif.
Agar terjadi keseimbangan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
pada anak supernormal, perlu penanaman pendidikan karakter yang sejalan
dalam pendekatan Living Values Education Program (LVEP) agar dapat
menginternalisasi sikap hidup akhlakul karimah secara kondusif. Anak
4
Al-Khafiz Abi Abdillah Muh Bin Yazid, Sunan Ibnu Majjah (Beirut: Dar Al-Fikr tth, tt),
391
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 98

supernormal merupakan kekayaan sumber daya insani yang tidak terukur


nilainya. Mereka bukan hanya milik orang tuanya, melainkan milik masyarakat
dan bangsa di mana mereka tumbuh dan berkembang sampai dewasa. Oleh
karena itu, kekayaan yang besar ini semestinya tidak disia-siakan. Dengan
memenuhi kemauan positif, memuji daya kreasi dan hasil kerja, dan mendidik
serta mengarahkan langkah kehidupan mereka, sebagaimana dalam muatan
pendekatan Living Values Education Program (LVEP), supaya ia tumbuh
menjadi cendekiawan umat dan pimpinan masyarakat yang berkarakter dan
berlandaskan pada ajaran agama yang hakiki.
Berangkat dari penjajakan awal di MAN 2 Kota Madiun pada tanggal 18
Maret 2018, diketahui bahwa guru-guru MAN 2 Kota Madiun melakukan
upaya pendekatan pendidikan karakter (nilai) untuk anak supernormal di kelas
akselerasi sebagaimana pendekatan dalam LVEP dalam setiap pola
pembelajarannya. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti lebih dalam tentang
bagaimana strategi, tahapan, dan pendekatan LVEP dalam mendidik anak
supernormal yang mempunyai keunggulan kecerdasan untuk dapat
membangun kehidupan bangsa. Selain itu, keingintahuan penulis tentang hasil
penerapan Living Values Education Program dalam pengembangan anak
supernormal di MAN 2 Kota Madiun, direalisasikan dalam penelitian lanjutan
yang dilakukan dengan pendekatan observasi langsung di lapangan.
Data yang dikumpulkan sebagian berbentuk angka-angka (khusus data
sekunder), sedangkan data primer berbentuk kata-kata, peristiwa-peristiwa,
gambar-gambar, dan catatan-catatan. Oleh karena itu, penelitian ini tergolong
pada jenis penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong,5
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Penelitian ini dilaksanakan di MAN 2 Kota Madiun karena letaknya


strategis dan mudah dijangkau, dan utamanya karena merupakan salah satu
sekolah yang membuka kelas akselerasi untuk anak-anak supernormal. MAN 2
5
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (PT. Remaja Rosda Karya: Bandung,
2010), 4
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 99

Kota Madiun merupakan Sekolah Menengah Atas Negeri yang terletak di


tengah kota Madiun tepatnya di jalan Sumber Karya No. 08 Kota Madiun.
Sumber data yang diperoleh adalah dari Kepala Sekolah MAN 2 Kota Madiun,
1 (satu) Guru PKN, 1 (satu) Guru PAI, 1 (satu) Pengelola Akselerasi, 1 (satu)
Pengelola Asrama, 1 (satu) orang siswa dan 1 (satu) orang siswi dari kelas
akselerasi MAN 2 Kota, serta observasi keadaan geografis dan catatan-catatan
dokumen di MAN 2 Kota Madiun. Sebagai penunjang, beberapa elemen
organisasi kemasyarakatan juga menjadi sumber melalui beberapa teknik, yaitu
observasi, wawancara, dan dokumentasi.

2. Nilai, Pendidikan Nilai, dan Tujuannya


Menurut Gordon Alport, nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang
bertindak atas dasar pilihannya. Menurut Kuperman, nilai adalah patokan
normatif yang memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara
cara-cara tindakan alternatif. Menurut Kuchlohn, nilai sebagai konsepsi
(tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri
kelompok) dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi pilihan terhadap cara,
tujuan antara, dan tujuan akhir tindakan.6
Mulyana menjelaskan bahwa pendidikan nilai adalah pengajaran atau
bimbingan kepada anak agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan
keindahan melalui keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan
pembiasaan bertindak yang konsisten.7 Menurut Sumantri, pendidikan nilai
merupakan proses bimbingan melalui suri tauladan pendidik yang
berorientasikan pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya
mencakup nilai-nilai agama, budaya, etika dan estetika menuju pembentukan
anak yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat dan negara.8

6
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004), 9.
7
Mulyana R, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004), 11
8
Sumantri, Pendidikan Nilai Kontemporer (Bandung: Program Studi PU UPI, 2007), 134
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 100

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa


pendidikan nilai merupakan suatu proses bimbingan kepada seorang individu
yang di dalamnya meliputi nilai-nilai kehidupan yang diperlukan untuk
kelangsungan hidup individu tersebut, masyarakat di sekitar, dan negara.
Menurut Hill (dalam Somad), pendidikan nilai ditujukan agar anak dapat
menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya,
konsensus masyarakatnya, dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga
menjadi karakter pribadinya.9 Hal lain dikemukakan Sauri bahwasanya
pendidikan nilai bertujuan untuk membantu anak agar memahami, menyadari,
dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam
kehidupan. Pendidikan nilai membimbing pemenuhan kehidupan manusia
melalui perluasan dan pendalaman makna yang menjamin kehidupan yang
bermakna manusiawi.10 Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan
pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih
khusus. Seperti dikemukakan komite AFEID (Asia and The Pasific Programme
of Education Innovation for Development), pendidikan nilai secara khusus
ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b)
menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c)
membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan
demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang
berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan
perilaku-perilaku yang bernilai.11

Dari beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan nilai di atas dapat


diambil kesimpulan bahwa pendidikan nilai memiliki tujuan agar seorang
individu dapat mengenal, mempelajari, memahami, dan berperilaku sesuai
nilai-nilai kehidupan yang diinginkan oleh masyarakat.

9
Somad, Pengembangan Model Pembinaan Nilai-Nilai Keimanan dan Keberagamaan
Siswa di Sekolah (Studi Kasus di SMAN 2 Bandung) (Disertasi Doktor pada SPs UPI: tidak
diterbitkan, 2007), 22
10
Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah, Meretas Pendidikan Nilai (Bandung: CV Armico,
2010), 7
11
Mulyana R, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai .., 120
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 101

3. Living Values Education Program (LVEP)

a. Pengertian Living Values Education


Living Values Education (LVE) adalah sebuah model pendekatan bidang
pendidikan yang menawarkan pelatihan dan metodologi praktis bagi para
pendidik, fasilitator, pekerja sosial, orang tua, dan pendamping anak untuk
membantu mereka menyediakan kesempatan bagi anak-anak dan orang muda
menggali dan mengembangkan nilai-nilai universal. Program pendidikan nilai
ini juga berlanjut sampai tahap bagaimana anak-anak dan orang muda dapat
mengasosiasikan nilai tersebut dalam keterampilan sosial emosional dan
intrapersonal interpersonal mereka sehari-hari.
LVEP berangkat dari asumsi dasar berikut:
1) Nilai-nilai universal mengajarkan penghargaan dan kehormatan tiap-tiap
manusia. Belajar menikmati nilai-nilai ini menguatkan kesejahteraan
individu dan masyarakat pada umumnya.
2) Setiap murid benar-benar memperhatikan nilai-nilai dan mampu
menciptakan dan belajar dengan positif bila diberikan kesempatan.
3) Murid-murid berjuang dalam suasana berdasarkan nilai dalam lingkungan
yang positif, aman dengan sikap saling menghargai dan kasih sayang, di
mana para murid dianggap mampu belajar menentukan pilihan-pilihan yang
sadar lingkungan.12
Berangkat dari asumsi dasar yang universal tersebut, kurikulum LVEP
kemudian mencakup nilai-nilai kehidupan di mana kegiatannya bertujuan
untuk perdamaian, rasa hormat, cinta, kerja sama, kebahagiaan, kejujuran,
kerendahan hati, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, kebebasan dan
kesatuan.13 Nilai-nilai universal yang terintegrasi dalam tujuan Living Values
Education Program (LVEP) sejalan dengan prinsip penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
12
Diane Tillman Diana Hsu, Living Values Activities for Young Adults (Jakarta: Grasindo,
2004), xv
Diane Tillman, Living Values Activities for Children Ages 3-7 (New York: Health
13

Communication, 2000). h. ii
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 102

manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.14


Kurikulum LVE mencakup berbagai aktivitas bermuatan nilai untuk damai,
menghargai, kasih sayang, kerja sama, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan
hati,tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, kebebasan, dan persatuan.
Selain digunakan dalam pendidikan formal dan informal, LVE juga memiliki
materi khusus untuk anak korban perang atau konflik, anak korban gempa
bumi, anak jalanan, anak dalam rehabilitasi narkoba dan anak dalam penjara
remaja.
Salah satu proses mendasar dalam program pelatihan LVE adalah tiap
pendidik juga diajak untuk merefleksikan dan menggali nilai pribadi mereka,
agar dapat menjadi pondasi dalam menciptakan suasana belajar yang berbasis
nilai. LVE percaya bahwa nilai tidak diajarkan, melainkan ditangkap atau
dirasakan. Murid belajar dari contoh yang diberikan pendidiknya. Oleh karena
itu, sangat penting bagi tiap pendidik untuk menyadari dan terus
menghidupkan nilai pribadi mereka, untuk dapat menjalani peran sebagai
panutan ini secara positif.
Mendidikkan nilai harus berorientasi secara simultan pada process-
oriented dan content-oriented. Process-oriented adalah pembelajaran yang
berorientasi pada pengembangan keterampilan penalaran, keterampilan sosial,
serta keterampilan sikap dan nilai-nilai, sedangkan content-oriented adalah
pembelajaran yang berorientasi pada upaya pengembangan materi
pembelajaran agar lebih kaya, variatif, dan kontekstual. Hal ini penting
dilakukan agar peserta didik tidak hanya dilibatkan pada aktifitas kognitif,
tetapi juga mengembangkan keterampilan afektual dan partisipatorik.15
Dengan demikian dapar dimaknai bahwa Living Values Education
Program (LVEP) adalah program nilai-nilai pendidikan yang komprehensif.
Usaha global yang inovatif ini menawarkan pelatihan, metodologi praktis dan
berbagai pengalaman aktivitas nilai untuk pendidik, fasilitator, orang tua dan

14
Departemen Agama, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan
(Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006), 9.
15
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Setrategi Mendidik Anak di Zaman Global
(Jakarta: Grasindo. 2007), 44
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 103

pengasuh untuk membantu mereka memberikan kesempatan bagi anak-anak


dan remaja untuk menggali dan mengembangkan nilai-nilai universal juga
intrapersonal terkait keterampilan sosial dan emosional. Pendidik diminta
untuk merefleksikan nilai-nilai mereka sendiri dan menciptakan suasana
berbasis nilai. LVEP memiliki berbagai macam nilai yang diterapkan, meliputi
perdamaian, menghormati, cinta, kerja sama, kebahagiaan, kejujuran,
kerendahan hati, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, kebebasan, dan
kesatuan.
b. Strategi dan Tahapan Pendidikan Nilai dalam LVEP
Strategi dalam melaksanakan proses pendidikan nilai diawali dengan
melihat kembali semua nilai-nilai yang telah dilaksanakan di lingkungan sekitar.
Bagaimana pola interaksi antar individu, nilai-nilai apa yang tertempel di ruang
publik, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis digunakan untuk fokus terhadap usaha-
usaha pengembangan suasana di mana nilai-nilai tersebut dilihat sebagai sebuah
pendukung kurikulum yang vital. Dalam rangka menciptakan etos lembaga
pendidikan yang positif, harus ada komitmen dari seluruh warga untuk
menjadikan pendidikan berbasis nilai ini sebagai inti dari misi lembaga tersebut.16
Adapun langkah-langkah praktis dalam menjalankan proses pembelajaran
pendidikan nilai di sekolah adalah sebagai berikut:
1) Guru menjelaskan pengertian dari nilai itu sendiri
2) Para siswa bercermin pada nilai tersebut dan mengkaitkannya pada
tindakan mereka.
3) Para siswa akan mengimplementasikan nilai tersebut dalam tindakan
mereka.
4) Pastikan para staff memberikan contoh nilai-nilai tersebut dari tingkah laku
mereka. Pastikan bahwa nilai-nilai tersebut diajarkan secara implisit
melalui setiap aspek di dalam kurikulum.17

16
Muqowim, Materi Workshop; Disampaikan pada Workhsop tentang Pendidikan Nilai
di STAIM Nglawak Nganjuk Jawa Timur pada tanggal 10-11 Februari 2018.
17
Ibid..,
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 104

Developing Values Schematic: The LVEP Method

Values-based Atmosphere

Values Stimulus

Exploring
Reflecting Values in the Receiving
Internally Real World Information
imagining and through stories,
reflective through news, reflection points
activities games and and literature
various content

Discussion
Sharing, cognitive exploration
and affective understanding

Exploration of Ideas
Further discussion, self-reflection, small
group study, and mind mapping

Skill Development Society, Environment


Creative Expression
and the World

Personal Social Interpersonal


and Emotional Communication
Skills Skills

Transfer of Learning
Integrating Values in Life
Implementation of values-based behaviors

4. Anak Supernormal
Sebelum menguraikan tentang anak supernormal, terlebih dahulu akan
penulis uraikan apa itu intelegensi dan IQ serta bagaimana cara pengukurannya,
karena patokan anak supernormal dalam tulisan ini adalah tingkat tingginya
intelegensi. Intelegensi atau kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi
dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia dan diperoleh sejak
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 105

lahir. Dengan demikian, potensi intelegensi mulai berfungsi memengaruhi


waktu dan kualitas perkembangan individu dan apabila sudah berkembang,
maka fungsinya semakin berarti bagi manusia, yakni akan memengaruhi
kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungan.18
Para ahli mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu:
Nama Tokoh Pendapat
Anita E. Menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi tiga
Woolfolk pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2)
keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan
untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau
lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk
mengemukakan bahwa intelegensi itu merupakan satu atau
beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan
pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan
beradaptasi dengan lingkungan.19
Alfred Binet Bersama Theodore Simon mendefinisikan intelegensi atas
tiga komponen yaitu (a) kemampuan untuk mengarahkan
fikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk
mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah
dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk mengeritik diri
sendiri atau melakukan autocriticism.20
David Menciptakan skala-skala intelegensi yang populer sampai
Wechsler saat ini dan mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan
atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dalam
tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta mengahadapi
lingkungannya dengan efektif.21

18
Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993),111
19
Samsu Yusuf, Psikologi Perkembanngan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002), 106
20
Saifudin Azwar, Pengantar Psikologi Intelegensi (Yogyakarta: Pustaka Utama, 2002),
5
21
Ibid Hal., 7
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 106

S.C.Utami Secara umum bahwa intelegensi dapat dirumuskan: (a)


Munandar kemampuan untuk berfikir abstrak, (b) kemampuan untuk
menangkap hubungan dan untuk belajar dan (c) kemampuan
untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.22
Woodworth Intelegensi erat hubungannya dengan intelek atau
pengetahuan, terutama berkenaan dengan kualitas dan
kegunaannya. Intelegensi itu sendiri merupakan intelektual
yang berdaya guna dan berhasil guna untuk menghadapi atau
bertindak dalam suatu situasi atau dalam menyelesaikan
masalah dimana dalam bertindak dan memecahkannya
tampak intelegen atau bodoh. Jadi orang yang intelegen
adalah orang yang mampu berbuat atau bertindak dengan
bijaksana, cepat, tepat dan berhasil.23

Dari beberapa pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa


intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang dibawa individu atau
manusia sejak lahir yang dapat digunakan untuk menyesuaikan diri dalam
lingkungan yang baru dan untuk memecahkan problem-problem yang dihadapi
dengan cepat dan tepat. Intelegensi berhubungan dengan bakat karena anak
yang berbakat adalah anak dengan intelegensi sangat tinggi, intelegensi juga
berhubungan dengan kreatifitas meski tidak dapat diidentifikasi menggunakan
tes intelegensi, dan intelegensi juga berhubungan dengan prestasi yang bisa
diukur sesuai variasi intelegensinya.
Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu
(seperti yang telah dijelaskan di atas) sedangkan IQ adalah hasil dari suatu tes
intelegensi tertentu yang notabene yang hanya mengukur sebagian kecil dari
intelegensi.24 IQ singkatan dari Intellegence Quotient menunjukkan ukuran
atau taraf intelegensi atau kecerdasan seseorang. Dari hasil tes intelegensi IQ

22
S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah; Petunjuk
Guru dan Orang Tua (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), 19
23
Alisuf sabri., 111
24
Irwanto Dkk. Psikologi Umum (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977), 171
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 107

ini diperoleh dengan menggunakan rumus: hasil bagi umur mental dengan
umur Cronologis atau kalender dikalikan seratus atau IQ = (MA/ CA) X 100.25
MA singkatan dari Mental Age (usia mental) yang merupakan suatu
norma pembanding pada kelompok usia tertentu. Misalnya pada kelompok
anak-anak usia 8 tahun sebagian besar diantara mereka mampu menjawab
dengan benar sebanyak 24 soal dalam tes, maka skor atau angka itu dijadikan
norma untuk kelompok anak-anak usia 8 tahun, dan disebut usia mental 8
tahun. Bila seorang anak dalam mengerjakan tes yanng sama mampu
menjawab dengan benar sebanyak 24 soal maka ia mempunyai usia mental 8
tahun.26 CA singkatan dari Chronological Age (usia kronologis) yaitu usia anak
sejak dilahirkan yang dapat dinyatakan dalam satuan tahun atau dalam satuan
bulan. Misalnya apabila seorang anak yang berusia 8 tahun mampu menjawab
dengan benar sebanyak 24 soal, maka ia dikatakan memiliki usia mental 8
tahun dan IQ-nya dihitung sebagai IQ = (8/8) x 100 = 100. Seorang anak lain
yang berusia 6 tahun tetapi sudah mampu menjawab dengan benar sebanyak 24
dalam tes yang sama akan memperoleh usia mental 8 tahun pula namun IQ-nya
adalah (8/6) x 100 = 133.27
Jelaslah bahwa apabila seorang anak mencapai usia mental yang sama
dengan usia kronologisnya, maka ia akan mendapat IQ = 100 yang secara logis
diartikan sebagai berintelegensi normal. Bila seorang anak memperoleh usia
mental lebih tinggi daripada usia kronologisnya maka anak tersebut tergolong
anak yang berintelegensi di atas normal, sebaliknya bila usia mental lebih kecil
dari usia kronologisnya berarti intelegensinya di bawah normal. Demikianlah
gambaran prinsip perhitungan IQ.28 Berdasarkan prinsip-prinsip perhitungan
IQ tersebut, indikasi awal lahirnya konsep kecerdasan dinyatakan bahwa
“semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya”.
Adapun pengertian anak supernormal yaitu anak yang mempunyai
kecerdasan di atas anak-anak normal dan memiliki IQ di atas 110. Anak yang

25
Alisuf Sabri.., Hal.113
26
Saifudin Azwar..,. 52
27
Ibid.,. 53
28
Ibid
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 108

tergolong supernormal yaitu meliputi anak genius memiliki IQ 140 ke atas,


anak gifted atau very superior memiliki IQ 125-140, dan anak superior
memiliki IQ 110-125.
Adapun batasan arti anak supernormal yakni :
a. Anak Genius, mewakili golongan anak yang memiliki IQ 140 ke atas.
Genius mempunyai arti anak yang memiliki tingkat intelegensi yang
tinggi (IQ 140 ke atas) istilah ini juga dipakai terhadap seseorang yang
memiliki bakat kemampuan luar biasa.29
Dalam bukunya Sri Rumini berjudul “Pendidikan Anak Genius”
dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang batasan pengertian genius:
1) Orang awam banyak yang berpendapat bahwa semua anak yanng cerdas,
cemerlang, berkemampuan tinggi adalah tergolong anak genius.
2) Ada yang menyamakan dengan talented (berbakat)
3) Ada yang menyamakan dengan Gifted atau Highly Gifted
4) Robert Woodworth dalam bukunya “Psychology” berpendapat bahwa
anak genius adalah anak yang memiliki IQ di atas 140
5) Prof. Hollingwort berpendapat anak sudah berhak disebut genius kalau
IQ-nya lebih dari 180
6) Dalam “The Wood Book Encyclopaedia” volume 8, halaman 87
dinyatakan kalau genius dipandang dari psikologi adalah seseorang
dengan IQ 140 atau lebih
7) Ruth Strung mempunyai pendapat lain lagi terhadap para genius,
menurut dia: kata genius sering diterapkan kepada individu yang
mempunyai kapasitas istimewa (luar biasa) dan mampu menciptakan
sesuatu yang sangat tinggi nilainya (mutunya). Jadi titik beratnya pada
hasil ciptaannya, tidak hanya pada tingkatan intelegensinya.30
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak
genius adalah anak luar biasa cerdasnya sehingga dapat menciptakan
sesuatu yang sangat tinggi nilainya, bila diukur dengan tes intelegensi IQ

29
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hal. 359
30
Sutratinah Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya., hal. 31-32
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 109

mereka paling rendah 140 sedang yang paling tinggi dapat mencapai 200
lebih.
Para jenius lebih dari super cerdas ataupun sangat berbakat, mereka
adalah orang-orang yang betul-betul hebat dan jauh mendahului masyarakat,
bahkan dunia yang berbeda karena kontribusinya, sebagai contoh Beed
Hoven, Picasso, Issac Newton Maria Currie, Leonardo Da Vinci dan

sebagainya.31
b. Anak Gifted/ Very superior
Anak gifted atau very superior memiliki tingkat kecerdasan tinggi
bila diukur dengan tes intelegensi kurang lebih 125-140. Tingkat gifted
berada di bawah tingkat genius dan di atas tingkat superior. Gifted adalah
suatu terminologi bagi individu yang mempunyai IQ atau tingkat kecerdasan
yang lebih dari normal yaitu IQ nya antara 120-140. Di samping itu
mempunyai pula bakat yang istimewa atau menonjol antara lain berbakat
dalam seni musik, drama, ketrampilan, dan keahlian memimpin

masyarakat.32
Dalam bukunya Samsu Yusuf yang berjudul “Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja” dijelaskan bahwa gifted atau very
superior ber-IQ 130-139 yaitu seorang yang cakap dalam membaca,
mempunyai pengetahuan tentang bilangan yang sangat baik, perbendaharaab
kata yang luas dan memahami pengertian abstrak. Faktor kesehatan,

kekuatan, dan ketangkasan lebih menonjol dari pada anak normal.33


c. Anak Superior
Sesuai pada bagan penyebaran IQ anak superior menduduki IQ kurang lebih
110-125, merupakan golongan anak supernormal paling bawah. Anak
superior dapat didefinisikan sebagai anak cerdas yang memiliki IQ kurang

lebih 110-125, sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang tinggi.34

31
Joan Freeman, Utami Munandar, Cerdas dan Cemerlang (Jakarta, Pustaka, 2001) hal. 7
32
Ibid., hal. 33
33
Samsu Yusuf., 112
34
Sutratinah Tirtonegoro., hal 33
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 110

Menurut Samsu Yusuf, “superior” yaitu seseorang yang mempunyai IQ


120-129 kelompok ini sangat berhasil dalam pekerjaan sekolah atau
akademik, mereka seringkali terdapat dalam kelas biasa, pimpinan kelas

biasanya berasal dari kelompok ini.35


Demikianlah batasan-batasan arti anak yang supernormal yang pada
intinya sama yaitu anak yang mempunyai kecerdasan tinggi tetapi dengan
kemampuan yang berbeda-beda sehingga perlu dibedakan dalam mendidik
dan mengajar mereka.

5. Strategi dan Pendekatan Living Values Education Program (LVEP)


dalam Pendidikan Anak Supernormal

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelas akselerasi MAN 2


Kota Madiun menjadikan anak supernormal dengan mendidikkan dan
menghidupkan nilai-nilai kehidupan kepada mereka. Secara umum diketahui
bahwa strategi living values education program (LVEP) di kelas akselerasi
MAN 2 Kota Madiun ini dilakukan dengan “pembiasaan, ceramah, praktek
langsung, diskusi, unjuk kerja, pemberian tugas, dan kunjungan ke tempat-
tempat kebesaran Allah, serta uswah hasanah”.36
Pembelajaran anak supernormal yang dilakukan guru melalui penyisipan
nilai-nilai dalam pada materi pelajaran yang dipelajari siswa, pemberian
contoh sikap secara langsung oleh guru sebagai teladan bagi siswa, dan kalimat
sederhana secara berulang-ulang agar siswa memahami pentingnya nilai/sikap
tersebut. Menurut pandangan beberapa pakar terkemuka tentang pendidikan,
beberapa pokok pikiran sebagaimana berikut kiranya layak untuk disimak
untuk menjadi hal yang dapat dilakukan dalam rangkaian pembentukan sikap,
karakter, dan akhlak mulia yang diharapkan semua orang tua.
a. Pembiasaan
Sebagaimana yang telah ada di MAN 2 Kota Madiun bahwa pembiasaan
menjadi pembentuk nilai karakter siswa sehingga menjadikan mereka lebih
35
Samsu Yusuf ., 112
36
Wawancara dengan Bapak Dimyati (Guru al-Qur’an Hadist) di MAN 2 Madiun.
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 111

memahami dan lebih peduli.37 Sikap malu bersikap egois dapat ditumbuhkan
dalam diri setiap siswa sejak dini, sejak masa kanak-kanak, bahkan
sebagaimana pandangan Ibnu Sina, sejak masa memilih jodoh. Dengan
menanamkan kesadaran bahwa apapun yang dilakukan seseorang, baik atau
buruk, akan membawa dampak kepada diri sendiri dan orang lain.
b. Keteladanan (Values are caught)
Teknik pendidikan karakter ini meskipun sering terlupakan dalam
diskursus pendidikan merupakan salah satu teknik yang efektif dan dapat
membuahkan hasil gemilang. Al-Abrasyi menulis bahwa keteladanan
merupakan faktor utama dalam membentuk kebiasaan. Itulah sebabnya, Ibnu
Sina menegaskan perlunya guru yang bertindak sebagai mursyid dan referensi
hidup peserta didik yang dapat diteladani di mana kita bisa mengetahui bahwa
manusia teladan terbesar dalam alam nyata adalah Nabi Muhammad saw..
Sebagaimana yang telah ada di MAN 2 Kota Madiun, bahwa guru agama
juga menjadi teladan yang baik dalam pendidikan ibadah. Misalnya dalam hal
shalat, guru agama biasanya yang menjadi imam dalam shalat dzuhur secara
berjamaah. Orang-orang Arab dalam masa jahiliyyah telah melihat pada diri
Muhammad saw. keistimewaan dan kemuliaan akhlaknya, sehingga beliau
digelari "al-shaadiqu al-amiin" (yang benar lagi amanah). Orang tua di rumah,
guru di madrasah, dan pemuka masyarakat baik formal (atasan) maupun
informal di masyarakat, adalah pendidik yang menanamkan benih-benih
pertama karakter mulia serta sikap dan perilaku determinan dalam diri anak
didik.
c. Sentuhan Kalbu melalui Kata Hikmah dan Dialog
Di dalam menanamkan nilai-nilai, yang disentuh adalah rasa dan
kesadaran manusia yang lebih dalam yang letaknya tidak di otak, tapi di hati
dan kalbu. Hal ini tentunya terkait dengan aspek afektif dan psikomotorik. Ada
suatu hal yang menarik untuk diaktualkan kembali dalam kaitannya dengan
pendidikan nilai untuk menyentuh kesadaran manusia yang lebih dalam setelah
hilang dalam peredaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam; yaitu pelajaran

37
Ibid..,
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 112

aforisma (al-mahfudhaat) yang berisi sentuhan akan nilai-nilai belajar,


kebenaran, kejujuran, kesungguhan, kehormatan, kedisiplinan, penghargaan
atas ilmu pengetahuan, dan sebagainya yang tentunya laik untuk
menumbuhkan sikap fleksibilitas, keterbukaan, ketegasan, pendangan ke depan,
perrcaya diri, toleransi, kemandirian, dan seterusnya. Pelajaran berupa amtsaal
(perumpamaan), hikmah, dan ungkapan-ungkapan betul-betul dapat menyentuh
hati secara sangat efektif.
Manusia masa modern sebenarnya amat sangat membutuhkan sentuhan
sentuhan pendidikan nilai-nilai sufistik dan falsafah hidup keagamaan yang
lebih menyentuh. Oleh sebab itu, disarankan adanya seorang pendidik khusus
yang menangani pendidikan nilai lewat teknik ini.
d. Kisah-kisah
Kisah-kisah yang mengandung nilai seperti al-Qiraat al-Rasyiidah yang
banyak beredar di Indonesia atau semisalnya diharapkan dapat membentuk
kebiasaan dan karakter mulia dan agung. Kisah-kisah serupa didapati juga
dalam bahasa Inggris yang dibuat oleh Aesop. Kisah pendek kurang lebih 5-10
menit tentu dapat diinkorporasikan dalam satu mata pelajaran tertentu atau
dikisahkan sebelum penyajian topik inti suatu mata kuliah. Sebagaimana
diungkapkan oleh Ramayulis bahwa metode kisah ialah suatu cara mengajar
dimana guru memberikan materi pembelajaran melalui kisah atau cerita.38
Cerita atau kisah akan menjadi pengalaman dan pelajaran yang berharga untuk
disampaikan pada anak-anak agar mereka terinspirasi tokoh dalam kisah
tersebut.
e. Kedisiplinan
Sebenarnya, kedisiplinan sangat efektif untuk membentuk sikap positif di
kalangan peserta didik. Hal ini erat kaitannya dengan ketegasan yang
proporsional tapi bukan kekerasan. Strategi menghidupkan nilai untuk
menanamkan nilai-nilai (transfer of value) ke dalam diri peserta didik
dilakukan secara kontinuitas dan berkesinambungan. Dengan adanya
penanaman nilai-nilai kehidupan, maka setiap materi pelajaran yang

38
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 196.
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 113

disampaikan akan berbasis nilai dengan menyentuh berbagai aspek yang


ditentukan. Penanaman nilai melalui agama tidak hanya dilakukan dalam
madrasah-madrasah Islam saja, yang mata pelajaran agamanya bercabang
menjadi banyak, namun juga dalam sekolah umum, seperti SMA, SMK, dan
lain sebagainya.
Dalam menjalankan kelas akselerasi untuk anak supernormal, pendekatan
yang dilakukan di MAN 2 Kota Madiun merupakan pendekatan holistik
(terintegrasi dan tersinkronisasi) di mana pengembangan nilai karakter
diintegrasikan dan diinterkoneksikan pada semua aspek yang ada dalam
lingkungan madrasah. Untuk itu, perlu ada kolaborasi seluruh komponen yang
ada di madrasah (siswa, guru, staff, komite, wali murid serta komunitas
lainnya).
Model pengembangan pembelajaran berbasis nilai di kelas akselerasi
MAN 2 Kota Madiun sebenarnya sudah lumayan, maka dari itu para guru tetap
berusaha mengembangkannya dengan mengikuti diklat, workshop
pengembangan bahan ajar, MGMP, membuat ringkasan dan hand out materi
sendiri.39 Hal ini memang dari aspek penekanan mata pelajarannya itu, lebih
ditekankan agar peserta didik menerapkan isi materi berbasis nilai dalam
kehidupan sehari-hari. Para remaja setingkat SLTA ini rentan dengan
perubahan gejolak jiwa dan pengaruh negatif dalam proses pencarian jati diri.

Penerapan nilai-nilai di madrasah sama penekanannya dengan bidang


akademik pada umumnya. Model pendekatannya berupa dialog berperadaban,
problem solving, dan sentuhan kalbu. Model pembelajarannya dengan
demikian sifatnya aktif dan sugestopedik. Demikian sebagaimana disampaikan
oleh Bapak Imron selaku pengelola asrama Pondok Pesantren Darul Rohmah
MAN 2 Kota Madiun.

39
Wawancara dengan Bapak Ridho (Pengelola Akselerasi) MAN 2 Kota Madiun.
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 114

6. Tahapan LVEP di MAN 2 Kota Madiun

Tahapan menghidupkan nilai pada anak akselerasi MAN 2 Kota Madiun


dimulai dari proses karantina, yang mana setiap siswa yang masuk pada kelas
akselerasi pada tahun pelajaran 2017/2018 harus berada di asrama pondok
pesantren “Darul Rohmah”.40 Mereka selama pendidikan dua tahun di MAN 2
Kota Madiun harus berada di dalam asrama dengan maksud agar waktu intensif
untuk belajar bisa benar-benar dimanfaatkan. Dari proses karantina akan
diperoleh banyak manfaat terutama dalam pembentukan nilai-nilai kehidupan
sehari-hari. Karena dalam asrama, anak diajarkan antri (makan, minum, mandi,
dan menggunakan fasilitas asrama), selain antre anak diajak untuk menjalani
kehidupan yang mandiri, jauh dari orang tua dan kerabat, menjalani kehidupan
secara sederhana, menghindari bermewah-mewahan dan fokus serta sungguh-
sungguh untuk rajin belajar.
Tentunya tahapan-tahapan dalam menghidupkan nilai-nilai kehidupan
siswa tersebut perlu pendampingan pendidik yang profesional. Menurut
Munardji, untuk menjadi pendidik profesional tidaklah mudah, karena ia harus
memiliki kompetensi keguruan, atau disebut kompetensi dasar (based
competency) yang ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dan
kecenderungan yang dimilikinya.41 Guru sebagai salah satu komponen dalam
kegiatan belajar mengajar, memiliki posisi yang sangat menentukan
keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama guru adalah merancang,
mengelola, melaksanakan, serta mengevaluasi. Untuk mengetahui seberapa
jauh pemahaman siswa terhadap suatu materi maka sebagai seorang guru yang
profesional mengadakan evaluasi sebagai tolak ukur.
Tahapan pendidikan nilai juga masuk dalam proses belajar mengajar
pada setiap langkah pembelajarannya. Karena itu, guru yang akan mengajar
pasti memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikan pada

40
Wawancara dengan Bapak Imron (Pengelola Asrama) MAN 2 Kota Madiun.
41
Munardji, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), 23.
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 115

anak didik.42 Hand out materi akan mempermudah guru dalam menyampaikan
materi yang banyak sehingga teringkas dalam hand out tersebut secara
menyeluruh. Materi yang padat itu akan lebih baik jika seorang guru memiliki
bahan ajar yang berupa hand out materi yang berasal dari pemikiran dan
rangkuman guru berbasis nilai itu sendiri.
Oleh sebab itu penting seorang guru tahu, kreatif membuat hand out
materi/modul, dan faham dengan bahan ajar berbasis nilai yang akan
disampaikannya. Sebagaimana kita tahu dari data di lapangan bahwasanya para
guru MAN 2 Kota Madiun juga berusaha untuk kreatif membuat hand out
materi/modul pembelajaran baik dari ringkasannya sendiri, membuat
slide/power point,43 yang bisa ditampilkan melalui OHP karena sebagian
kelasnya juga sudah ada LCD proyektor,44 sehingga mempermudah dan
mendukung guru untuk selalu kreatif dalam penyampaian materinya.

Jadi, di kelas akselerasi MAN 2 Kota Madiun tahapan-tahapan dalam


pendidikan nilai dimulai dengan proses karantina di asrama, kegiatan belajar
mengajar, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan di luar, serta kegiatan perlombaan.
Para guru juga sudah tergolong kreatif dengan berbagai teknik menyampaikan
materi ajar berbasis nilai kepada peserta didik. Dengan dukungan fasilitas yang
cukup memadai karena sudah berbasis IT dalam penyampaian materi di kelas.
Para guru di sini juga dituntut untuk belajar dan kreatif lagi dalam
penyampaian materi ajar berbasis nilai karena memang sebagian siswa-siswi
MAN 2 Kota Madiun memiliki kecerdasan otak di atas rata-rata sebagaimana
di kelas akselerasi yang memiliki IQ 130 ke atas.45 Mereka yang memiliki otak
di atas rata-rata sangat kritis, antusias dan aktif sekali di kelas khusus sehingga
seorang guru yang akan mengajar di kelas khusus itu, ada tuntutan untuk lebih
kreatif dan memiliki wawasan yang lebih tinggi daripada peserta didiknya.
Dalam tahapan-tahapan menghidupkan nilai, bisa dilalui dengan mudah tanpa

42
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1996), hal. 50.
43
Wawancara dengan Bapak Zaenuri (Waka Kurikulum) MAN 2 Kota Madiun.
44
Ibid..,
45
Wawancara dengan Bapak Ari selaku Kepala Sekolah MAN 2 Kota Madiun.
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 116

kendala yang berarti apalagi masing-masing anak sudah menyadari sendiri


akan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai seorang siswa dan juga karena
kesungguhannya sehingga tahapan-tahapan itu bisa terlampaui dengan cepat.

7. Hasil Penerapan LVEP terhadap Anak Supernormal


Melalui Living Values Education Program (LVEP) dapat mewakili
tanggung jawab orang tua dalam memastikan anak-anaknya memiliki
kepribadian yang berbasis nilai luhur agama dan budaya. Pasalnya, pendidikan
menghidupkan nilai dapat berlaku efektif terutama didasarkan pada keyakinan
mendasar; Pertama, semua orang telah memiliki nilai kebaikan, baik dari
Tuhan dan dari pengalaman sosial. Atas dasar ini, proses pendidikan tidak
dilakukan dengan "memaksa" anak-anak untuk bernilai, melainkan mendorong
setiap anak untuk mengapresiasi "nilai baik" pada dirinya, merefleksikannya,
kemudian melahirkan nilai sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Kedua,
nilai tidak bisa diajarkan, nilai hanya bisa diteladani. Melalui keyakinan ini,
LVEP dapat membantu para pendidik untuk melahirkan nilai dirinya
(kesadaran nilai), kemudian dilengkapi keterampilan agar nilai-nilai itu bisa
dinikmati bersama orang lain, khususnya anak didiknya.
Pentingnya pendidikan nilai menjadi suatu kebutuhan khusus yang tidak
dapat dihindarkan lagi dalam dunia pendidikan saat ini. Sejalan dengan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidik atau guru sebagai
salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar, memiliki posisi yang
sangat menentukan keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama guru
adalah merancang, mengelola, melaksanakan, serta mengevaluasi.

Sebagai program unggulan, Kelas Akselerasi MAN 2 Kota Madiun


menerapkan Living Values Education Program (LVEP) dalam rangkaian
aktifitas layanan pendidikan dan pengasuhannya untuk pembangunan karakter
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 117

anak. Living Values Education Program (LVEP) adalah pendidikan nilai yang
komprehensif, program pendidikan nilai yang memperhatikan kebutuhan anak-
anak, remaja, dan dewasa saat ini. Model teori dari program ini adalah
mendorong terciptanya suatu suasana berbasis nilai dengan tujuan untuk
memperbaiki kualitas pendidikan untuk manusia secara utuh.

8. Penutup

Dari hasil penelitian ini, maka penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu;
a. Strategi Living Values Education Program (LVEP) dalam pendidikan anak
supernormal.
1) Melalui Pembiasaan di kelas Akselerasi MAN 2 Kota Madiun, di
antaranya:
a) Pembiasaan Rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan jadwal
yang telah disusun oleh MAN 2 Madiun.
b) Pembiasaan Spontan, Pembentukan perilaku memberi senyum,
salam, sapa, membuang sampah pada tempatnya, budaya antri,
mengatasi silang pendapat(pertengkaran),saling mengingatkan ketika
melihat pelanggaran tata tertib sekolah, kunjungan rumah,
kesetiakawanan sosial, kerja sama.
c) Pembiasaan Keteladanan, dalam bentuk perilaku sehari-hari,
meliputi: berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca,
memuji kebaikan dan keberhasilan orang lain, datang tepat waktu.
2) Melalui implementasi Kurikulum 2013 (K-13) yang sudah diintegrasikan
dan dinamakan kurikulum differensiasi di kelas akselerasi. Strategi ini
dikembangkan melalui penerapan K-13 disemua mata pelajaran karena K-
13 menuntut untuk melakukan pembelajaran berbasis tematik (terpadu).
3) Melalui memaksimalkan peran orang tua dalam memonitoring setiap
kegiatan anak di lingkungan rumah.
b. Pendekatan Living Values Education Program (LVEP) dalam pendidikan
anak supernormal.
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 118

Pendekatan yang dilakukan guru pada anak supernormal di kelas akselerasi


MAN 2 Kota Madiun merupakan pendekatan holistic (terintegrasi dan
tersinkronisasi) di mana pengembangan nilai karakter diintegrasikan dan
diinterkoneksikan pada semua aspek yang ada di lingkungan madrasah.
Untuk itu, perlu ada kolaborasi seluruh komponen yang ada di madrasah,
siswa, guru, staf, komite, para wali murid serta komunitas lainnya. Model
pendekatannya berupa dialog berperadaban, problem solving, personal
maupun kelompok, sentuhan kalbu, dan lain sebagainya.
c. Tahapan Living Values Education Program (LVEP) dalam pendidikan anak
supernormal.
Tahapan menghidupkan nilai pada anak akselerasi MAN 2 Kota Madiun
dimulai dari proses karantina, yang mana setiap siswa yang masuk pada
kelas akselerasi pada tahun pelajaran 2017/2018 harus berada di asrama
pondok pesantren “Darul Rohmah MAN 2 Kota Madiun ini tentunya
dengan manfaat yang luar biasa didapat. Tahapan selanjutnya masuk pada
ranah pembelajaran dan kegiatan belajar mengajar dalam/luar kelas yang
mana dalam setiap langkah-langkah kegiatan belajar mengajar selalu disisipi
pendidikan nilai. Selain pada tahapan ketika KBM, juga masuk pada
tahapan ketika siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan di luar,
dan perlombaan untuk selalu menjunjung nilai-nilai yang terbaik.
d. Hasil penerangan Living Values Education Program (LVEP) dalam
pendidikan anak supernormal
Hasil penerangan pendidikan menghidupkan nilai dapat berlaku efektif
terutama didasarkan pada keyakinan mendasar; Pertama, semua orang telah
memiliki nilai kebaikan, baik dari Tuhan dan dari pengalaman sosial. Atas
dasar ini, proses pendidikan tidak dilakukan dengan "memaksa" anak-anak
untuk bernilai, melainkan mendorong setiap anak untuk mengapresiasi "nilai
baik" pada dirinya, merefleksikannya. Kedua, nilai tidak bisa diajarkan, nilai
hanya bisa diteladani dan dipraktekkan. Melalui keyakinan ini LVEP dapat
membantu para pendidik untuk melahirkan nilai dirinya (kesadaran nilai),
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 119

kemudian dilengkapi keterampilan-keterampilan agar nilai-nilai itu bisa


dinikmati bersama orang lain, khususnya anak didiknya.

Daftar Referensi

Abi Abdillah Muh. Bin Yazid, Al-Khafiz, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar Alfikr,
t.thn.
Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan: Jakarta, Pedoman
Ilmu Jaya, 1993.
Azwar, Saifudin. Pengantar Psikologi Intelegensi, Yogyakarta: Pustaka Utama,
2002.
Bahri Djamarah, Syaiful, dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1996.
Departemen Agama, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang
Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen
Agama RI, 2006.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta, Balai Pustaka, 1989.
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, Rajawali Press: Jakarta,
2011.
http://www.terwujud.com/2012/01/tujuan-program-pendidikan-nilai-
nilai.html?m=1
Irwanto Dkk, Psikologi Umum: Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1977.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya:
Bandung, 2010.
Koesoema A, Doni, Pendidikan Karakter Setrategi Mendidik Anak di Zaman
Global Jakarta: Grasindo. 2007.
Ma’ruf Zurayk, Aku dan Anakku, Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju
Remaja: Bandung, Al-Bayan, 1998.
Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004.
Munardji, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Ilmu, 2004.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Sabri, Ahmad, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching, Jakarta: Quantum
Teaching, 2005.
Saifudin Azwar, Pengantar Psikologi Intelegensi: Yogyakarta, Pustaka Utama,
2002.
Sauri dan Herlan Firmansyah, Sofyan, Meretas Pendidikan Nilai, Bandung: CV
Armico, 2010.
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan. Vol. 15 No. 1 (2020) | 120

Somad, Pengembangan model pembinaan nilai-nilai keimanan dan


keberagamaan siswa di sekolah (studi kasus di SMAN 2 Bandung), Disertasi
Doktor pada SPs UPI: tidak diterbitkan, 2007.
Sumantri, Pendidikan Nilai Kontemporer, Bandung: Program Studi PU UPI, 2007.
S.C Utami Munandar, Perkembangan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah,
Petunjuk Orang Tua: Jakarta, Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992.
Tillman, Diane, Living Values Activities for Children Ages 3-7, New York: Health
Communication, 2000.
Tillman, Diane, Diana Hsu, Living Values Activities for Young Adults. Jakarta:
Grasindo., 2004.
Tirtonegoro, Sutratinah, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya: Jakarta,
Bina Aksara, 1984.
Yusuf, Samsu. Psikologi Perkembanngan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002.

© 2020 pada penulis. Diterbitkan oleh LP2M INSURI Ponorogo, artikel jurnal ini dapat diakses secara terbuka
dan memiliki lisensi CC-BY-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/).

You might also like