You are on page 1of 7

SIFAT WUDU YANG

SEMPURNA DAN
KEUTAMAANNYA
َ‫ان‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫نﱠ ﺣ‬‫ ا‬،‫ أﺧﺒﺮه‬‫ﺜ‬‫ ﻳﺰِﻳﺪ اﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻄﺎء ﺑﻦ‬‫نﱠ ﻋ‬‫ ا‬،ٍ‫ﺎب‬‫ﻬ‬‫ﻦ ﺷ‬‫ﻦ اﺑ‬‫ ﻋ‬،‫ﻮﻧُﺲ‬‫ﻦ ﻳ‬‫ﻋ‬
‫ﻨْﻪ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ اﻟ‬‫ﺿ‬‫ﻔﱠﺎن ر‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎنَ ﺑ‬‫ﺜْﻤ‬‫نﱠ ﻋ‬‫ ا‬،‫ﺮه‬‫ﺧْﺒ‬‫ﻨْﻪ ا‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ اﻟ‬‫ﺿ‬‫ﺎنَ ر‬‫ﺜْﻤ‬‫ ﻋ‬َ‫ﻟ‬‫ﻮ‬‫ﻣ‬
،‫ واﺳﺘَﻨْﺜَﺮ‬،‫ﺾ‬‫ﻤ‬‫ﻀ‬‫ ﻣ‬‫ ﺛﻢ‬،ٍ‫ات‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ث‬ََ‫ ﺛ‬‫ ﻛﻔﱠﻴﻪ‬‫ ﻓَﻐﺴﻞ‬،‫ﺎ‬‫ﺿ‬‫ ﻓَﺘَﻮ‬،‫ﻮء‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﺑِﻮ‬‫ﻋ‬‫د‬
‫ث‬ََ‫ ﺛ‬‫ﻓﻖ‬‫ـﺮ‬‫ اﻟﻤ‬َ‫ﻟ‬‫ ا‬َ‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫ اﻟﻴ‬‫ﺪَه‬‫ ﻳ‬‫ﻞ‬‫ ﻏَﺴ‬‫ ﺛﻢ‬،ٍ‫ات‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ث‬ََ‫ﻪ ﺛ‬‫ﻬ‬‫ﺟ‬‫ و‬‫ﻞ‬‫ ﻏَﺴ‬‫ﺛﻢ‬
‫ﻠَﻪ‬‫ رِﺟ‬‫ﻞ‬‫ ﻏَﺴ‬‫ ﺛُﻢ‬،‫ﻪ‬‫ﺳ‬‫ا‬‫ ر‬‫ﺢ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ ﺛُﻢ‬،َ‫ﻚ‬‫ ذَﻟ‬‫ى ﻣﺜﻞ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ اﻟْﻴ‬‫ﺪَه‬‫ ﻳ‬‫ﻞ‬‫ ﻏَﺴ‬‫ ﺛﻢ‬،ٍ‫ات‬‫ﺮ‬‫ﻣ‬
‫ ﺛُﻢ‬،َ‫ﻚ‬‫ ذَﻟ‬‫ﺜْﻞ‬‫ى ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ اﻟﻴ‬‫ﻠَﻪ‬‫ رِﺟ‬‫ﻞ‬‫ ﻏَﺴ‬‫ ﺛُﻢ‬،ٍ‫ات‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ث‬ََ‫ ﺛ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ اﻟ‬َ‫ﻟ‬‫ ا‬َ‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫اﻟﻴ‬
‫ ﺛُﻢ‬،‫ﺬَا‬‫ ﻫ‬‫ﻮﺋ‬‫ ۇﺿ‬‫ﻮ‬‫ ﻧَﺤ‬‫ﺎ‬‫ﺿ‬‫ﻠﱠﻢ َﺗَﻮ‬‫ﺳ‬‫ و‬‫ﻪ‬‫ﻠَﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ اﻟ‬‫ﻠﱠ‬‫ﻪ ﺻ‬‫ اﻟ‬‫ﻮل‬‫ﺳ‬‫ ر‬‫ﺖ‬‫ﻳ‬‫ا‬‫ ر‬:‫ﻗَﺎل‬
‫ ﺛُﻢ‬،‫ﺬَا‬‫ ﻫ‬‫ﺋ‬‫ﻮ‬‫ ۇﺿ‬‫ﻮ‬‫ ﻧَﺤ‬‫ﺎ‬‫ﺿ‬‫ ﺗَﻮ‬‫ﻦ‬‫ ))ﻣ‬:‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ و‬‫ﻪ‬‫ﻠَﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ اﻟ‬‫ﻠﱠ‬‫ ﺻ‬‫ﻪ‬‫ اﻟ‬‫ﻮل‬‫ﺳ‬‫ ر‬‫ﻗَﺎل‬
.((‫ ذَﻧْﺒِﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎ ﺗﻘﺪﱠم‬‫ ﻣ‬‫ ﻟَﻪ‬‫ﺮ‬‫ ﻏُﻔ‬،‫ﻪ‬‫ﺎ ﻧَﻔْﺴ‬‫ﻬِﻤ‬‫ﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﺪِّث‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬ ‫ﻦ‬‫ﺘَﻴ‬‫ﻌ‬‫ﻛ‬‫ ر‬‫ﻊ‬‫ﻛ‬‫ ﻓَﺮ‬،‫ﻗَﺎم‬
‫ ﺑِﻪ‬‫ﺎ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﻳﺘَﻮ‬‫ﻎُ ﻣ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬‫ ا‬‫ﻮء‬‫ﺬَا اﻟﻮﺿ‬‫ ﻫ‬:َ‫ﻘُﻮﻟُﻮن‬‫ﻧَﺎ ﻳ‬‫ﺎو‬‫ﻠَﻤ‬‫ﺎنَ ﻋ‬‫ﻛ‬‫ و‬:ٍ‫ﺎب‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ اﺑ‬‫ﻗَﺎل‬
‫ ﺛُﻢ‬:‫ﺨَﺎرِي‬‫ اﻟﺒ‬‫ﻗَﺎل‬‫ و‬،‫ﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﺬَا ﻟَﻔْﻆُ ﻣ‬‫ﻫ‬‫ و‬،‫ﻪ‬‫ﻠَﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺘﱠﻔَﻖ‬‫ ﻣ‬.‫ة‬َ‫ﻠﺼ‬‫أﺣﺪٌ ﻟ‬
‫ﺘَﻨْﺜَﺮ‬‫ واﺳ‬،‫ﺘَﻨْﺸَﻖ‬‫اﺳ‬‫ و‬،‫ﺾ‬‫ﻤ‬‫ﻀ‬‫ﺗَﻤ‬.
Dari Yunus, dari Ibnu Syihab, bahwa Atha bin Yazid Al-Laytsi
mengabarkan kepada beliau, bahwa Humraan maula Utsman bin Affan
radhiyallahu anhu mengabarkan kepadanya (‘Atha), bahwa Utsman bin
Affan radhiyallahu anhu minta didatangkan air wudu, kemudian beliau
berwudu dengan mencuci kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali,
kemudian berkumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang
sebelumnya dimasukkan ke hidung), kemudian membasuh wajahnya
sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke
siku, kemudian membasuh tangan kirinya demikian pula, kemudian
membasuh kepalanya, kemudian mencuci kaki kanannya hingga ke mata
kaki sebanyak tiga kali, kemudian mencuci kaki kirinya demikian pula,
kemudian beliau berkata, “Saya melihat Rasulullah ‫ ﷺ‬berwudu
sebagaimana wudu saya ini, kemudian beliau bersabda, ‘Siapa berwudu
sebagaimana wudu saya ini, kemudian salat dua rakaat dan tidak
berbicara walau dengan dirinya sendiri (dalam salat tersebut), niscaya
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’”

Ibnu Syihab berkata, “Para Ulama kita mengatakan bahwa wudu yang
seperti ini adalah wudu yang paling sempurna yang dapat dilakukan
seseorang ketika akan salat.’ Muttafaqun alaihi[1], dan ini lafal Muslim,
sedangkan lafal Al-Bukhari, “Kemudian berkumur, lalu ber-istinsyaq,
kemudian ber-istintsar.”

Kosa kata hadis:


1. Utsman bin Affanbin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdis Syams, bin
Abdi Manaf, nasab beliau bertemu dengan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
pada kakek yang bernama Abdi Manaf.

Beliau masuk Islam sejak permulaan dakwah, pernah berhijrah dua kali
(Hijrah Habasyah dan Madinah). Beliau menikahi dua orang putri Nabi
Muhammad (Ruqayyah dan Ummu Kaltsum) pada waktu yang berbeda
setelah salah seorang di antara keduanya wafat.

Beliau diangkat menjadi khalifah setelah Umar bin Khatthab wafat. Beliau
wafat pada Hari Jumat pada bulan Zulhijjah tahun 35 hijriah di
Madinah.[2]

2. Humraanmaula Utsman bin Affan, beliau adalah Humraan bin


Abaan al-Farisi. Awalnya beliau tawanan perang Ain At-Tamr
(negeri yang ditaklukkan kaum muslimin pada masa khilafah Abu
Bakar, di bawah komando Khalid bin Al-Walid). Beliau adalah
muazin dan juru tulis khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu
anhu, sering salat bermakmum di belakang beliau.[3]
3. (‫ـــــــﻮء‬‫ﺿ‬‫ )و‬huruf al-waw dibaca dengan harakat fatah, maknanya
adalah air yang digunakan untuk berwudu. Jika yang dimaksud
adalah perbuatan atau masdarnya maka dibaca dengan harakat
damah. Secara bahasa kata (‫ﻮء‬‫ )اﻟﯘﺿ‬berasal dari kata (‫ة‬‫ﺎء‬‫ﺿ‬‫)اﻟﻮ‬
yang bermakna hasan, bersih. Penamaan wudu salat dengan kata
ini karena seseorang yang berwudu, maka dia membersihkan diri
dan menjadi hasan atau elok.[4]
4. (‫ـــــــﻞ‬‫ )اﻟْﻐُﺴ‬Al-Ghusluatau mencuci maknanya secara fikih adalah
mengalirkan air ke anggota tubuh ketika berwudu, dan tidak
dipersyaratkan memijatnya (menggosok).[5]

Makna hadis:
Hadis ini mencakup sifat wudu yang sempurna dari sifat Nabi Muhammad
‫ﷺ‬. Utsman bin Affan radhiyallahu anhu mengajarkannya dengan metode
yang terbaik dan memahamkannya kepada orang di sekitarnya dengan
pemahaman yang sempurna yaitu dengan langsung mempraktikkannya.
Tentu cara ini akan lebih mudah dipahami dan lebih kuat dalam ingatan.

Beliau minta didatangkan air dalam bejana agar air tersebut tetap bersih,
dan beliau tidak mencelupkan tangannya ke dalam bejana, namun
dengan menuangkan air ke telapak tangan sebanyak tiga kali, sampai
kedua telapak tangan tersebut bersih. Kemudian beliau membasuh
wajahnya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya hingga ke
siku sebanyak tiga kali. Kemudian membasuh kepala sekali saja.
Kemudian mencuci kedua kakinya hingga ke mata kaki sebanyak tiga
kali.

Setelah beliau selesai mempraktikkannya, beliau menyampaikan


demikianlah tata cara wudu Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang beliau lihat
langsung. Beliau juga menyampaikan bahwa siapa berwudu dengan wudu
yang sama seperti itu, kemudian salat dua rakaat dengan khusyuk
menghadap Allah ta’ala, maka Allah ta’ala dengan rahmat-Nya akan
menghapus semua dosa-dosa yang telah lalu dari hamba tersebut.
Semua itu dikarenakan wudu yang sempurna dan salat yang ikhlas hanya
kepada-Nya.[6]

Faedah dan istinbat dari hadis:


1. Disyariatkannya mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali
sebelum memasukkannya ke dalam bejana air wudu.
2. Menggunakan tangan kanan ketika menciduk air wudu, dan
memulai dengan anggota tubuh yang kanan ketika dicuci saat
berwudu.
3. Disyariatkannya berkumur, ber-istinsyaq(memasukkan air ke
dalam hidung), ber-istintsar (mengeluarkan air tersebut) dengan
urutan sebagaimana dalam hadis. Hal ini disepakati oleh para
ulama, dan terjadi perbedaan pada kesimpulan hukumnya pada
berkumur dan ber-istinsyaq, apakah itu wajib atau bukan.

Rabi’ah, Malik, Al-Laitsi, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i bahwa keduanya adalah


sunah wudu dan mandi janabah.

Imam Ats-Tsauri dan Abu Hanifah memandang bahwa berkumur dan ber-
istinsyaq wajib pada saat mandi janabah, dan sunah ketika berwudu.

Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Tsaur berpendapat bahwa al-Istinsyaq
wajib ketika berwudu dan mandi janabah, namun berkumur tidak
wajib.[7]

4. Membasuh wajah dilakukan sebanyak tiga kali. Sekali cucian


secara vertikal adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala
(bagian depan) hingga dagu, secara horizontal dari telinga yang
satu hingga telinga yang satunya lagi.
5. Membasuh kedua tangan hingga ke siku sebanyak tiga kali.
6. Mengusap seluruh kepala sebanyak satu kali saja.

Imam Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah pernah berkata bahwa kaum


perempuan dan laki-laki sama dalam hal membasuh kepala ketika
berwudu.[8]

7. Mencuci kaki berikut mata kaki sebanyak tiga kali.


8. Wajib hukumnya berurut-urutan dalam membasuh anggota tubuh
ketika berwudu.
9. Hikmah didahulukannya berkumur dan ber-istinsyaq sebelum
membasuh muka adalah bahwa iktibar kesucian air dengan tiga
sifatnya yang utama. Warna dapat di ketahui dengan penglihatan
mata, rasa dapat dikecap dengan lidah, dan aroma dapat dicium
dengan hidung.

Maka dengan didahulukannya berkumur dan ber-istinsyaq dapat menguji


dan mendeteksi kondisi air sebelum melakukan hal yang wajib ketika
berwudu.[9].

10. Ulama bersepakat bahwa membasuh anggota tubuh ketika


berwudu lebih dari tiga kali hukumnya makruh.

Imam Abu Muhammad al-Juwaini bahkan berpendapat bahwa, jika


dengan sengaja membasuh sebanyak empat kali, maka yang keempat
adalah bidah yang dibenci.

11. Hadis ini memberikan dalil tentang anjuran melakukan salat dua
rakaat setiap selesai wudu, dan hukumnya sunah muakkad. Salat
ini boleh dilakukan pada semua waktu tanpa terkecuali, karena
ada sebabnya.

Jika setelah berwudu tersebut kemudian salat yang dilakukan adalah


salat fardu atau nafilah, maka keutamaan yang disebutkan dalam hadis
juga didapat dan maksud telah tercapai. Sebagaimana keutamaan salat
tahiat masjid didapatkan oleh orang yang masuk masjid kemudian dia
salat fardu atau sunah rawatib.[10]

12. Pahala yang dijanjikan dalam hadis khusus jika dilakukan dengan
sempurna dua hal utama, pertama, berwudu dengan tata cara
sebagaimana dalam hadis, kedua, salat dua rakaat dengan sifat
salat yang khusyuk seperti dijelaskan dalam hadis.[11]

Dosa yang diampunkan adalah terkhusus untuk dosa-dosa kecil, karena


dosa-dosa besar pelakunya harus bertaubat dan tidak melakukan dosa
tersebut lagi.

13. Sebab kesempurnaan salat adalah hati yang tawajuh bahwa


seseorang yang salat berada di hadapan Allah. Hadis ini juga
mengajak untuk ikhlas kepada Allah sekaligus peringatan bahwa
salat dapat tertolak jika ada di dalamnya urusan duniawi. Akan
tetapi, barang siapa dalam salatnya terlintas perkara duniawi
kemudian dia berusaha menghilangkan pikiran tersebut, maka
mudah-mudahan dia tetap mendapat pahala tersebut.[12]
14. Kewajiban atas orang yang berilmu untuk menyampaikan ilmu
yang ada padanya dan menyebarkan ilmu di tengah-tengah
manusia.

Karena Allah mengancam orang yang menyembunyikan apa yang telah


diturunkan berupa huda dan bayyinat dengan ancaman laknat dari Allah
dan dari semua manusia. Allah telah mengambil perjanjian yang tegas
dari para ulama agar tidak menyembunyikan ilmu dan harus
menjelaskannya kepada semua manusia. Meskipun ayat tersebut turun
bagi ahli kitab, namun termasuk di dalamnya semua orang yang berilmu
dan menjadikan ilmu tersebut wasilah untuk beribadah kepada Allah.[13]

15. Ikhlas kepada Allah dalam beribadah dan meninggalkan urusan


dunia (saat beribadah) merupakan sebab mendapat magfirah dan
diterimanya amalan.[14]

Footnote:

[1] HR. Al-Bukhari (164) dan Muslim (226).

[2] Adz-Dzahabi. Op. Cit. Jilid 2, hlm 149.

[3] Adz-Dzahabi. Op. Cit. Jilid 4, hlm 183.

[4] An-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 99.

[5] An-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 107.

[6] Abdullah bin Shalih Al-Bassam. Op. Cit. Jilid. 1, hlm 27.

[7] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm 254.


[8] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm 281.

[9] Ibnu Daqiiq Al-‘Ied. Ihkamul Ahkam Syarh Umdatil Ahkam. Jilid 1, hlm
82.

[10] An-Nawawi. Al-Minhaaj. Jilid 3, hlm 109.

[11] Abdullah bin Shalih Al-Bassam. Op. Cit. Jilid. 1, hlm 29.

[12] Ibid.

[13] Ibnu Batthal. Op. Cit. Jilid 1, hlm 250.

[14] Ibid.

You might also like