You are on page 1of 3

MELEMAHNYA AJARAN SOSIAL GEREJA (ASG) DALAM

MENGATASI PERSOALAN-PERSOALAN DUNIA

Dunia saat ini masih dihantui persoalan-persoalan yang cukup pelik diatasi. Sebut saja
ada persoalan rasisme, pengangguran dan upah di bawah standar, perang, kelaparan, masalah
ekologi, perkawinan sejenis dan sederet konflik global lainnya. Istilah rasis misalnya, konotasi
buruknya sudah digunakan sejak 1940-an dan besar kemungkinan bahwasannya jauh sebelum
abad ke-19 rasisme sudah muncul di tengah-tengah masyarakat dunia. Rasisme yang
penggunaannya entah untuk menyatakan perbedaan biologis ataupun etnis telah menyebabkan
pertumpahan darah, perang dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.

Menanggapi masalah-masalah tersebut, banyak pihak telah berupaya meminimalisir


terjadinya berbagai macam dampak buruk pada masyarakat dunia. Pihak-pihak yang berupaya
tersebut datang dari pemerintah, lembaga-lembaga sosial, termasuk Gereja Katolik. Melalui
dokumen-dokumen resmi, Gereja Katolik telah berupaya mengatasi berbagai persoalan tersebut.
Misalnya rerum novarum yang berupaya memerangi eksploitasi oleh kapitalis, pacem in teris
tentang perdamaian dunia, populorum progresio tentang pemberdayaan orang-orang miskin,
laborem excercens tentang martabat kerja manusia dan beberapa dokumen lain yang selalu
berupaya dan memperjuangkan dunia yang lebih baik.

Adapun pertanyaan paling mendasar yakni “Apa alasan utama bahwasannya seruan-
seruan Gereja semacam kurang mampu menanggapi persoalan-persoalan dunia?” Superioritas
kapitalis kian hari kian menggerus para pekerja yang hanya mencukupi hidup dengan sedikit
upah. Perang dan pertumpahan darah memadati media-media informasi serta tingkat kemiskinan
semakin bertambah. Apakah Gereja perlu merumuskan kalimat-kalimat ‘pedang’ agar sebagian
besar umat manusia menemukan cara pandang baru tentang dunia yang harmonis? Ataukah
Gereja kurang bersosialisasi kepada orang dari denominasi lain ataupun orang yang tidak
beragama? Ataukah Gereja perlu merelativisasi beberapa dokumen? Bukankah semua umat
dunia mengerti tentang perdamaian dan keadilan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya perlu dijabarkan antara lain: Pertama: hemat


penulis, bentuk sosialisasi dan dialog dengan denominasi lain terbatas hanya pada tokoh-tokoh
tertentu, sedangkan kelompok besar dalam denominasi tersebut tidak terjangkau. Alhasil akar
diskusi terkait pluralisme tidak mendarat sampai pada kelompok masyarakat paling bawah dan
rentan. Dengan kata lain, ideologi kelompok tersebut tetap terperangkap dalam dualisme tentang
pluralitas dunia atau bisa jadi tetap menjunjung tinggi egoisme ras. Pacem in teris mesti
mempertimbangkan aspek ini demi memupuk perdamaian di dalam realitas plural.

Kedua: rumusan-rumusan kalimat suci pada dokumen Gereja yang memperjuangkan


keharmonisan dunia mestinya lebih dari sekedar tulisan lantas dipublikasikan. Lebih dari itu,
dokumen-dokumen tersebut harus menjadi tradisi semua umat Gereja Katolik atau sekurang-
kurangnya lembaga Gereja yang menyumbangkan ide harus menampilkan kesaksian yang
ekstrim. Bila perlu sampai meneteskan darah sebagaimana teladan Sang Guru Agung Yesus
Kristus. Bukan sebaliknya, petugas pastoral banyak meresahkan umat. Sehingga berbicara
tentang melemahnya fungsi ASG berbanding lurus dengan tingkah laku petugas pastoral yang
amburadul dan pandai menyembunyikan kebusukan.

Ketiga: reformasi model sekolah inklusif. Misalnya sekolah Katolik, sekolah Madrasah
dan sekolah-sekolah lain yang ciri ketertutupannya sama. Nama sebagai identitas sekolah
hendaknya tidak membatasi berbaurnya semua agama dan ideologi. Hal ini dibuat agar tidak
memupuk tradisi indoktrinasi dan pencucian otak bagi gernerasi-generasi baru. Sehingga cara
pandang generasi baru terhadap perbedaan menjadi semakin luas, bukannya memicu sentimen
dan perang. Piciknya cara pandang atas perbedaan justru timbul dari proses belajar yang inklusif,
dimana semua peserta didik diarahkan untuk berpikir seturut agamanya masing-masing dan
hampir tidak mengenal agama-agama lain. Adapun yang mengenal agama lain, tetapi hanya
nama dan kulit luar saja sedangkan ideologi dan karakternya nihil. Oleh karena itu, cukup
mendesak bagi kita untuk berbaur dengan denominasi lain dalam proses belajar, bahkan sejak
usia dini. Kalau mau konsekuen, jumlah peserta didik dari semua denominasi agama mesti
sebanding. 100 siswa Katolik, 100 siswa Hindu, 100 siswa Islam dalam satu sekolah.

Keempat: kapitalis tidak dilawan dengan agama (yang oleh Marx disebut candu). Senjata
kapitalis adalah SDM (Sumber Daya Manusia) yang memadai, maka proletar juga harus
memiliki senjata SDM. Melawan kapitalis, agama tidak layak. Cukup logis jika penulis
mengusulkan agar pada dokumen laborem excercens dan rerum novarum yang anti eksploitasi
kapitalis menuliskan point-point tentang pemberdayaan SDM. Belajar, bekerja, berinovasi,
menciptakan teknologi, berwirausaha adalah hal-hal yang harus diperjuangkan oleh dokumen-
dokumen tersebut. Bukan melulu seruan tentang keberpihakan pada orang miskin, berdoa, saling
memaafkan dan sederet larangan-larangan Injili yang membosankan.

Pada prinsipnya dokumen-dokumen Gereja (ASG) adalah baik bahkan deretan tawaran
etis yang tidak main-main. Semua umat manusia digiring untuk berlaku adil, jujur, manusiawi
dan bijak. Tetapi tuntuan dunia dewasa ini tidak terbatas hanya pada berlembar-lembar ajaran
dan konstitusi. Dunia menuntut suatu cara pandang dan sikap global yang menukik dan berdaya
guna bagi perubahan. Mudah-mudahan Gereja sebagai lembaga agama bisa menyadari suatu
peran baru dan beralih dari cara lama yang ‘itu-itu saja’.

You might also like