You are on page 1of 2

MENANGGAPI DISKURSUS FERDY SAMBO DARI SUDUT PANDANG

KEBINATANGAN DAN HATI NURANI MANUSIA

Beberapa minggu terakhir, media massa penuh dengan berita tentang kasus pada tubuh
Polri yang melibatkan mega-oknum Ferdy Sambo. Lantas pada tulisan ini pembaca tidak
diarahkan untuk hanya memandang FS dan sederet nama yang sering disebut sebagai tokoh
antagonis. Justru penulis ingin agar ulasan singkat ini menyasar kepada semua pihak agar secara
terang benderang dan bijaksana mengurus kompleksitas persoalan tersebut. Uraian ini
selanjutnya akan bertolak dari sudut pandang psikologi dimana objek utama yang digarap adalah
ego atau keputusan tingkah laku atas pertimbangan id (dorongan kebinatangan) dan superego
(hati nurani) manusia.

Persepsi psikologi ini bermula dari bertele-telenya diskursus amoral pada tubuh Polri
tersebut. Bagaimana tidak, sudah lebih dari 3 pekan kasus ini belum pernah menuai titik terang.
Bahkah menjadi ‘garang’ jika memang benar rumor yang sedang beredar kalau-kalau ada
“Kerajaan Sambo” pada tubuh Polri. Sehingga ruwet untuk diatasi sebab adanya kelompok-
kelompok yang menghalangi terkuaknya persoalan sebagaimana diuangkapkan oleh Menko
Polhukam, Mahfud MD. Kuat dugaan bahwa hal ini terutama disebabkan oleh ego atau
keputusan tingkah laku entah dari sederet tersangka, terduga atau siapa saja yang berwenang
mengusutnya. Andaikata pihak-pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung
mengandalkan superego atau kuatnya hati nurani, kasus ini tidak begitu menyita waktu, pikiran
dan mungkin juga biaya yang tidak sedikit. Sebaliknya, sekian banyak orang yang terlalu
mengagung-agungkan peran id atau dorongan kebinatangan, maka yang terjadi adalah publik
menunggu entah kapan kasus ini kelar. Bisa jadi, selamanya hanya instink jahat yang bertahan
dan jelas terukir sebagai sejarah kelam pada instansi Polri. Lihat saja statusnya yang masih
terkatung-katung, sehingga semua orang yang terlibat apalagi mereka yang mengetahui
kronologi peristiwa ini akan dicap sebagai binatang. Itulah konsekuensi dari nalar psikologi.
Singkatnya, kegagalan menangani kasus ini adalah akibat menguatnya kebinatangan daripada
hati nurani.

Lebih lanjut, banyak potensi buruk yang bisa terjadi manakala faktor id yang
mendominasi pada proses penanganan kasus tersebut. Penulis mencemaskan kemungkinan yang
cukup buruk, misalnya ada individu atau kelompok yang memanfaatkan kekacauan dalam tubuh
paling vital di NKRI; yakni kepolisian. Sebut saja, kelompok anarkis yang sedang menyimak
fenomena ini. Bagaimana tidak, pro-kontra yang sudah alot dalam tubuh kepolisian ini tentu saja
menghilangkan solidnya keamanan Indonesia. Kelompok anarkis tersebut tentu dengan mudah
mengobrak-abrik keamanan apalagi jika mereka bersenjata. Selain itu, kemajuan negara tercinta
ini sangat bergantung pada kebijakan dan konsistensi terhadap regulasi. Artinya, sektor
kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk keamanan negara harus benar-benar
dijalankan sesuai prosedur yang berlaku. Tetapi setelah diamati, penyebab utama mandeknya
kemajuan Indonesia malah berada di lingkup regulator. Bukan masyarakat akar rumput yang
kadang dianggap bodoh dan penghambat. Singkatnya, pemerintah memilih mengutak-atik
regulasi daripada fokus pembangunan. Sehingga berbicara tentang generasi emas di tahun 2045
adalah mustahil. Lebih buruk lagi ketika mendengar isu bahwa sudah lama para regulator
melindungi para penjahat bahkan terlibat di dalamnya. Media memberitakan keterlibatan Polri
dalam perlindungan situs-situs perjudian dan pengedaran obat-obat terlarang. Itulah, mengapa
penulis menyebutkan term binatang yang pantas disematkan pada dada regulator. Bukan lencana
kehormatan. Sebabnya adalah binatang saja yang bertingkah seturut instink tanpa pertimbangan
moral dan nalar. Kemungkinan lain yang terjadi adalah massa Indonesia pada umumnya akan
tumbuh dalam budaya anti-human dimana kekeliruan, kesalahan, amoral, pelanggaran, intoleran,
korup, suap dan lain-lain dianggap biasa saja dan bisa jadi diterima umum.

Pada intinya, tatkala id mendominasi atas peran superego maka yang terjadi adalah
dinamika kehidupan manusia akan ditandai oleh cacat permanen. Demikian juga pada konteks
persoalan FS; yang terjadi malah menguatnya peran id daripada superego. Tidak heran jika
polemik ini tak kunjung selesai sebagaimana media memberitakannya. Sektor keamanan
Indonesia akan dinilai cacat permanen oleh masyarakat jika ulasan psikologi manusia ini tepat
sasar. Besar harapan agar tulisan ini tidak dilihat sebagai cambukan yang menyakitkan pihak-
pihak tertentu, justru penulis mengkonstruksikan tradisi yang sudah diulang-ulang oleh
kebanyakan orang mengenai kemajuan Indonesia oleh kebijaksanaan kolektif.

You might also like