Professional Documents
Culture Documents
Fungsi pengawasan adalah upaya yang dilakukan organisasi agar segala perencanaan berjalan sesuai dengan prosedur yang
telah ditetapkan sehingga tujuan organisasi tercapai. Dalam fungsi pengawasan sendiri terbagi dalam beberapa fungsi,
beberapa diantaranya adalah fungsi pengawasan kuantitas dan fungsi pengawasan kualitas.
Pegawasan kuantitas ini merupakan segala kegiatan evaluasi, pembandingan dengan standar, serta perbaikan suatu
aliran atau sistem seperti input, proses, dan output berdasarkan informasi feedback yang di peroleh pada sesuatu yang
dapat dihitung dan terukur, seperti bahan mentah, produk atau jasa yang dihasilkan, dan dokumen dari berbagai
sumber. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh, mengolah, dan mendistribusikan barang yang dimaksud dengan cara
tepat sesuai perencanaan sehingga dapat membantu manajer dalam mengidentifikasi mana hasil produksi yang sudah
sesuai rencana maupun tidak sesuai.
Fungsi pengawasan kuantitas dan fungsi pengawasan kualitas dengan fungsi pengawasan lainnya harus dilakukan guna
memastikan kegiatan operasional organisasi berjalan sesuai rencana, aturan, dan standar yang berlaku. Maka, perlu
partisipasi aktif dari semua pihak dalam organisasi untuk menjalankan peran pengawasan tersebut.
Demikian tanggapan yang dapat saya sampaikan pada diskusi kali ini, terima kasih.
Sumber :
BMP ISIP4111
https://articles.greatnusa.com/fungsi-pengawasan-kuantitas-dan-kualitas-dalam-manajemen/
https://ruangbimbel.co.id/pengertian-pengawasan/
Mohon izin untuk memberikan tanggapan pada diskusi kali ini,
Teori komunikasi yang lebih sering digunakan dalam praktik humas adalah teori agenda setting, karena dalam teori agenda
setting, media mengacu pada kemampuan media massa dengan liputan berulang untuk mengangkat pentingnya sebuah isu
dalam kesadaran dan pengetahuan khalayak. Selain itu teori ini menganggap khalayak dianggap mudah diarahkan
komunikator dengan penekanan pemberitaan melalui media massa dengan fokus pada tujuan komunikator yaitu
meningkatkan nilai penting suatu topik yang diblowup, melalui media massa akan meningkatkan topik tersebut pada
khalayak. Asumsi yang mendasari adanya teori ini adalah sebagian besar isu yang muncul di masyarakat sebenarnya sudah
dirancang dan direncanakan oleh media massa, sehingga ada hubungan kausalitas antara isu-isu yang dikembangkan media
dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat.
Dalam teori ini, media massa dapat memengaruhi kognisi khalayak dengan cara:
Menurut Manhein, ada tiga agenda yang meliputi agenda setting dengan beberapa dimensinya antara lain :
1. Agenda media.
a. Visibility, tingkat menonjolnya suatu berita dengan dilihat dari berapa kali berita dimuat serta jumlah dan
luas kolom yang disediakan.
b. Audience silent, relevansu isi berita dengan kebutuhan khalayak.
c. Valence, menyenangkan atau tidaknya cara pemberitaan peristiwa tersebut.
2. Agenda khalayak.
a. Familiarity, derajat kesadaran khalayak terhadap sebuah topik.
b. Personal silence, relevansi kepentingan dengan ciri pribadi.
c. Favoribility, pertimbangn senang atau tidaknya terhadap topik berita.
3. Agenda kebijakan.
a. Support, kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita.
b. Likehood of action, kemunkinan pemerintah melaksanakan yang diibaratkan.
c. Feedom of action, nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah.
Dalam praktik humas, praktisi humas harus menguasai teori ini karena mendukung dalam kegiatan komunikasi baik secara
internal maupun media massa karena berkaitann dengan penentuan opini positif publik. Pemahaman teori ini juga penting
untuk menyadarkan bahwa media memiiki peranan penting dalam menyusun agenda media, sehingga isu yang ada menjadi
perhatian publik. Karena pemilihan tema dan isu dalam media sangat menentukan sikap khalayak.
Demikian yang dapat saya sampaikan dalam diskusi kali ini, terima kasih.
Sumber :
http://blog.ub.ac.id/reinardusreski/2015/03/19/teori-agenda-setting-uses-and-gratification-kultivasi/
https://www.youtube.com/watch?v=s_BSCT0nkxc
Mohon izin untuk memberikan tanggapan pada diskusi kali ini,
Diagram Circular flow for economy adalah diagram yang menggambarkan hubungan timbal balik atau interaksi antar pelaku
ekonomi. Pelaku ekonomi adalah subjek yang melakukan atau menjalankan kegiatan ekonomi yang terdiri dari produksi,
konsumsi, dan distribusi sehingga akan muncul arus melingkar yang membentuk suatu sistem tertentu. Dalam diagram
Circular flow for economydibagi kedalam beberapa sektor yaitu, dua sektor, tiga sektor, dan empat sektor. Berdasar contoh
diatas termasuk kedalam diagram Circular flow for economy dua sektor.
Dalam diagram Circular flow for economy dua sektor, kegiatan ekonominya melibatkan dua pelaku ekonomi yaitu rumah
tangga produsen (RTP) dan rumah tangga konsumen (RTK). RTP berperan sebagai penjual dan sebagai pembeli faktor
produksi dan RTK sebagai pembeli. Harga ditentukan oleh penawaran RTK dan permintaan RTP, yang transaksinya dilakukan
dalam pasar barang produksi. Adapula pasar input (pasar faktor produksi), dan pasar output (pasar barang atau jasa setelah
diproduksi.
Dalam diagram tersebut RTK berperan menyerahkan faktor produksi kepada pasar input seperti tanah, bangunan, bahan
baku, tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan kemudian diteruskan kepada RTP. Kemudian alur berikutnya dalam diagram
tersebut adalah balas jasa RTP kepada pasar input berupa sewa, pembelian, upah, bunga modal, dan keuntungan yang
nantinya menjadi pendapatan RTK. Selanjutnya RTP memberikan barang atau jasa kepada pasar output untuk dijual kepada
RTK. Alur yang terakhir adalah balas jasa RTK berupa pembelanjaan di pasar output yang nantinya pendapatan itu sampai di
RTP.
Dalam diagram Circular flow for economy pemerintah adalah pelaku ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pemerintah memiliki beberapa peran diantaranya :
1. Peran regulator atau mengatur diaman pemerintah bertugas untuk menjamin proses kegiatan ekonomi agar
berjalan dengan baik atau lancar.
2. Peran sebagai konsumen sebagai contoh pemerintah akan menyediakan fasilitas umum, sehingga pemerintah akan
mengkonsumsi barang atau jasa untuk membangun fasilitas umum tersebut.
3. Peran sebagai produsen dengan memproduksi barang atau jasa dalam rangka memenuhi kepentingan publik yang
dilakukan oleh lembaga pemerintah, di Indonesia disebut BUMN, contohnya PT PLN, PT PINDAD
4. Peran sebagai agen Pembangunan karna menjadi kewajiban pemerintah dalam membangun perekonomian
negaranya.
Demikian tanggapan yang saya berikan pada diskusi kali ini, terima kasih.
Sumber :
Demikian yang dapat saya sampaikan pada diskusi kali ini, terima kasih.
Sumber :
BMP SKOM 4101 Modul 7
Materi sesi 6
Mohon izin untuk memberikan tanggapan pada diskusi kali ini,
Asas legalitas dalam konstitusi Indonesia masuk dalam Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 281 Ayat (1) yang menyebutkan
bahwa : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Dalam Pasal 28J Ayat (2) menyatakan bahwa : "Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atau hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis". Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa :“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.
Berdasar konteks diatas, perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara jelas dalam bentuk tertulis, perundang-
undangan hukum pidana tidak boleh berlaku surut, dalam hukum pidana tidak dibenarkan untuk menerapkan analogi.
Namun realita asas legalitas di Indonesia tidak dianut secara mutlak dengan melihat fakta - fakta sebagai berikut :
1. Perundang-undangan pidana harus dirumuskan secara tertulis. Namun di Indonesia hukum yang berlaku
(hukum positif) meliputi hukum yang dibuat penguasa, hukum adat dan hukum Islam (terutama dalam hukum
perdata). Dilapangan hukum pidana selain atas dasar KUHP dan Kitab Undang-Undang di luar KUHP sebagai
dasar legalitas perbuatan yang dapat dihukum, dalam masyarakat adat juga diakui keberlakuan hukum adat
pidana yang pada umumnya tidak tertulis tapi merupakan kaidah-kaidah yang tetap hidup, tumbuh dan
dipertahankan oleh masyarakat adat sebagai hukum yang hidup. Dan sebagai peletak dasar pengecualian
berlakuanya hukum yang tidak tertulis melalui hukum pidana adat maka ditetapkanlah Undang-Undang
Darurat No.1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (3) sub b Jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1961
Tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat Dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Janusri 1961 Menjadi Undang-Undang.
2. Peraturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Untuk menjamin kepastian hukum harus ditetapkan
terlebih dahulu ketentuan pidana tentang suatu perbuatan tindak pidana baru kemudian pelanggaran tersebut
dapat dikenakan sanksi pidana sebagai konsekuensi logis pilihan bebas subyek hukum untuk berbuat suatu
perbuatan yang dilarang. Hal ini sejalan pula dengan prinsip umum bahwa setiap orang terikat pada suatu
undang-undang sejak undang-undang tersebut dinyatakan berlaku dan telah diundangkan dalam Lembaran
Negara. Pada kenyataannya hukum pidana tidak menganut prinsip asas tidak berlaku surut secara mutlak, hal
ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP bahwa jikalau undang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan
maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Ini membuktikan bahwa undang-
undang dapat diberlakukan surut selama ketentuan undang-undang yang lama atau terdahulu lebih
menguntungkan terdakwa.
3. Dalam penerapan hukum pidana tidak boleh menggunakan analogi. Namun terkadang dalam penerapan
hukum pidana terhadap kasus konkrit, hakim harus melakukan penemuan hukum melalui sumber hukum
dengan menggunakan metode penafsiran dalam hukum pidana. Penafsiran dibutuhkan dalam hukum pidana
untuk mencari makna yang terkandung di dalam suatu istilah atau cakupan suatu tindak pidana. Asas legalitas
membatasi secara rinci dan cermat perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Asas legalitas melandasi
pembatasan makna tindak pidana dalam rumusannya yang meliputi subyek atau pelaku tindak pidana,
perbuatan atau akibat, objek atau korban tindak pidana dan unsur tambahan lainnya yang menjadi sifat tindak
pidananya di muka umum. Salah satu prinsip asas legalitas yakni bahwa dalam penerapan hukum pidana tidak
boleh menggunakan analogi. Analogi adalah menerapkan suatu ketentuan hukum pidana (yang mempunyai
kemiripan atau bentuk yang sama) terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukan tidak ada ketentuan
hukum pidana yang mengaturnya. Penerapan analogi menunjukkan ketertinggalan hukum terhadap apa yang
seharusnya diaturnya.
Demikian tanggapan yang dapat saya sampaikan pada diskusi kali ini, terima kasih.
Sumber :
https://core.ac.uk/download/pdf/83871315.pdf
https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-asas-legalitas-hanya-berlaku-di-hukum-pidana-cl6993
https://jdih.jogjakota.go.id/index.php/articles/read/48