You are on page 1of 21

Agar Hati Tidak Terkunci Mati

Agar Hati Tidak Terkunci


Mati

‫علَى قُلُو ِب ِه ْم َما‬َ ‫ان‬ َ ‫َكالَّ بَ ْل َر‬


َ ُ‫َكانُوا يَ ْك ِسب‬
‫ون‬
“Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya
apa yang selalu mereka
usahakan itu menutup hati
mereka.”
(QS al-Muthaffifin: 14)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu
Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, “Jika
seorang mukmin berbuat dosa, maka akan
meninggalkan bercak hitam di hatinya. Jika
ia bertaubat, meninggalkan perbuatan itu
dan beristighfar kepada Allah, maka hatinya
akan kembali bersih. Jika ia terus melakukan
dosa, maka bertambah pula bercak hitam di
hatinya, sehingga bercak hitam itu menutupi
hatinya. Itulah ’rona’ hati yang Allah
sebutkan dalam firman-Nya,
“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa
yang selalu mereka usahakan itu menutupi
hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14)

Bermula Dari Satu Bercak Dosa

Pengaruh dosa bagi hati, tak ubahnya


penyakit yang menggerogoti jasad. Jika
penyakit terus bertambah, stamina semakin
turun dan kematian segera datang.
Begitupun matinya hati, dosa demi dosa
akan mengatarkan hati menuju kematiannya.
Seperti banjir, yang diawali oleh satu tetes
hujan, kemudian disusul dengan tetesan lain
yang terus menerus, itu pula pula yang terjadi
dengan bencana yang menimpa hati. Setiap
dosa menyumbang satu bercak hitam yang
menutupi kejernihan hati. Makin banyak
bilangan dosa yang dilakukan, makin dominan
pula bercak hitam yang menutupi hati.
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan ayat ini,
”Jika dosa dilakukan terus menerus, maka ia akan
menutupi hati, jika hati sudah tertutup, maka
Allah akan mengunci mati hati, sehingga tidak ada
lagi jalan bagi iman untuk memasukinya. Dan
kekufuran tidak bisa keluar dari dalamnya. Itulah
penutup dan kunci yang Allah sebutkan dalam
firman-Nya, “Allah Telah mengunci-mati hati dan
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
(QS. Al-Baqarah: 7)
Sekarang kita lihat diri kita masing-masing.
Bayangkan jika satu hari kita melakukan sepuluh
dosa misalnya. Maka, betapa singkat waktu yang
dibutuhkan untuk membuat hati menjadi mati
terkunci. Karenanya, sebagai bentuk waspada
terhadap dosa, Mujahid bin Jabr memberikan
gambaran yang mengerikan. Beliau berkata, “Hati
itu, seperti ini…(beliau memperagakan telapak
tangannya yang dibuka). Jika ia berbuat dosa,
maka akan seperti ini… (beliau kemudian melipat
salah satu jarinya hingga menutup sebagian
telapak tangan).
Jika dia berbuat dosa lagi, maka seperti
ini..(beliau melipat jari yang kedua),
demikian juga untuk yang ketiga dan
keempat).” Kemudian pada bilangan ke lima
beliau menggenggamkan ibu jari hingga
telapak tangan menjadi tertutup, beliau
berkata, “Lalu Allah mengunci mati hatinya.
Lalu siapakah di antara kalian yang masih
yakin bahwa hatinya belum tertutup?”
Sungguh mengerikan penggambaran ini.
Karena betapa kita sering melakukan dosa,
lalu kita merasa aman. Tidak kita ingat, tidak
kita hitung, apalagi berusaha untuk
dibersihkan. Sehingga potensi tertutupnya hati
begitu cepat. Bila hati telah tertutup, maka
sulit bagi cahaya iman menerobos masuk
menerangi hati, lantaran rapatnya penutup
hati dan bercak dosa yang menyelimutinya.
Maka jangan heran jika di antara manusia ada
yang sulit menerima kebenaran, meski telah jelas
bukti-buktinya.
Karena hati telah mati. Ia tak lagi
mampu menjalankan fungsi yang
semestinya. Fungsi untuk mendeteksi,
memilih serta mengomando jasad untuk
menjalani kebenaran, dan menjauh dari
keburukan. Nasihat tidak pula berfaedah
baginya. Sebagaimana karakter orang
kafir yang difirmankan Allah,
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi
mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri
peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah
telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka,
dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka
siksa yang amat berat.” (QS. al-Baqarah 6-7)
Agar Hati
Tidak Mati

Hati adalah sesuatu yang paling


berharga bagi manusia.
Kerusakannya pertanda kesengsaraan
pemiliknya sepanjang masa, di dunia, di
alam barzakh hingga kekal tinggal di
neraka. Hanya hati yang salim, bersih dan
lurus yang bisa menyelamatkan manusia,
hingga ia menghadap Rabbnya.
Karenanya, penjagaan hati dari segala
unsur yang merusaknya, lebih
diperhatikan dari penjagaan terhadap
apapun yang kita miliki di dunia.
Jika di antara ulama mengibaratkan
hati dengan rumah, maka hati orang
mukmin seperti rumah yang dipenuhi
oleh kekayaan iman. Sedangkan setan
layaknya pencuri yang mengincarnya.
Tentunya, dia tidak akan membiarkan
pencuri untuk mengambil sedikitpun
kekayaan yang ada di dalamnya.
Di antara salaf mengatakan,
“Hati itu ibarat rumah yang
memiliki enam pintu, maka
jagalah semua pintu, jangan
sampai pencuri masuk melalui
salah satu pintu itu, karena ia
akan merusak rumahmu.

Hati adalah rumah, sedangkan pintu-pintu


itu adalah mata, lisan, pendengaran, penglihatan, kedua
tangan, dan kedua kaki. Siapa yang membuka salah satu
pintu ini untuk setan maka hilanglah isi rumahnya.”
Pun begitu, keterbatasan manusia yang memang
tidak maksum dari dosa, sesekali akan kecolongan
juga. Karena setan tak pernah tidur, sedang kita
tidur. Setan terus menggoda, sementara kita
tak selalu siap dengan perisai yang menghalanginya.
Kadang penjagaan lengah, hingga setan mencuri
sebagaian kekayaan imannya. Kadang seseorang
tergelincir dalam dosa, hingga hal itu meninggalkan
bercak dalam hatinya. Manusia yang takwa takkan
menyerah begitu saja. Dia segera mengusir setan
dari dalam hatinya, dia akan membersihkan bercak
yang menempel di hatinya, sebagaimana yang
difirmankan Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa
bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat
kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-
kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201)
Orang yang bertakwa ialah dia yang peka
terhadap dosa, lalu segera
membersihkannya, menyesal, bertaubat
nasuha dan bertekad untuk tidak
mengulanginya. Dia juga memohon
perlindungan kepada Allah dari segala
godaan setan yang menghasutnya.
Selayaknya, kita banyak berdoa kepada
Allah, seperti ’curhat’ Umar bin Abdul Aziz
yang sering berdoa kepada Rabbnya
dengan doa,
“Rabbi, Engkau telah menguasakan musuh atas
diriku. Engkau jadikan dadaku sebagai tempat
tinggalnya. Engkau jadikan aliran darahku sebagai
jalannya. Jika aku ingin berbuat maksiat, dia
menyemangatiku. Jika aku ingin berbuat taat, ia
memperlambat langkahku. Dia tidak lalai saat aku
lalai. Dia tidak lupa saat aku lupa. Dia memasang
jerat syahwat dan menyuguhkan syubhat.
Rabbi, jika Engkau tidak menjauhkan
tipudayanya dariku, maka ia akan
menggelincirkanku. Ya Allah,
tundukkanlah kekuatannya untukku
dengan kekuasaan-Mu atas dirinya,
sehingga ia menyingkir dengan
banyaknya dzikirku kepada-Mu,
sehingga aku termasuk orang-orang
yang terjaga dari kejahatan setan.”
Amien.

You might also like