You are on page 1of 13

DOI: https://doi.org/10.22435/jek.v20i1.

4130

PERMASALAHAN SOSIAL BUDAYA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN


DALAM UPAYA PENANGGULANGAN STUNTING PADA BALITA
DI KABUPATEN SOLOK, PROVINSI SUMATERA BARAT

Social-Cultural, Problems And Policy Alternatives In Effort


To Manage Stunting In Children in Solok Regency, West Sumatera Province

Yulfira Media1 dan Nilda Elfemi2


1
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Barat
2
STKIP PGRI Sumbar
Email: yulfiramedia@gmail.com

Diterima: 10 Desember 2020; Direvisi: 31 Maret 2021; Disetujui: 29 Juni 2021

ABSTRACT

The problem of stunting is still a serious concern in Indonesia, including in West Sumatra Province. Data
from Riskesdas 2018 revealed that the prevalence for short and very short children under five in West
Sumatra is 30%, and was close to the national prevalence (30.8%). This study aims to describe the socio-
cultural problems, local potential, and formulate alternative policies in effort to prevent and control
stunting in children under five in Solok Regency. The research design used qualitative methods. Primary
data collection was carried out by in-depth interviews and observations. The technique of selecting
informants was done purposively. The results of the study revealed that the socio-cultural problems in
efforts to prevent and control stunting in toddlers are still limited public knowledge about the causes and
efforts to prevent stunting, inadequate understanding of the importance of balanced nutritional needs, and
the behavior, parenting patterns, and feeding habits og toddlers who does not support the prevention and
control of stunting in children under five. It is recommended that there should be alternative policies and
action plans for stunting prevention, among others, by increasing knowledge through socialization about
the risk of stunting on children's intelligence, increase participation and community empowerment for
stunting prevention by utilizing the local potential such as curd and bilih fish in Solok Regency, West
Sumatera Province.
Keywords: Socio-culture, stunting, toddlers, policies, local potential

ABSTRAK

Permasalahan stunting masih menjadi perhatian yang serius di Indonesia termasuk di Provinsi Sumatera
Barat. Data hasil Riskesdas tahun 2018 mengungkapkan bahwa data prevalensi pendek dan sangat pendek
pada balita di Sumatera Barat adalah sebesar 30%, dan mendekati prevalensi nasional (30,8%). Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan sosial budaya, potensi lokal, dan merumuskan alternatif
kebijakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan stunting pada balita di Kabupaten Solok. Desain
penelitian menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara
mendalam dan observasi. Teknik pemilihan informan dilakukan secara purposive. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa permasalahan sosial budaya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan stunting
pada balita adalah masih terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang penyebab dan upaya pencegahan
stunting, belum memadainya pemahaman tentang pentingnya kebutuhan gizi yang seimbang, dan adanya
perilaku, pola asuh serta kebiasaan pemberian makanan pada balita yang kurang mendukung upaya
pencegahan serta penanggulangan stunting pada balita. Disarankan perlu adanya alternatif kebijakan dan
rencana aksi penanggulangan stunting antara lain dengan peningkatan pengetahuan melalui sosialisasi
tentang risiko stunting terhadap kecerdasan anak, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat
untuk penanggulangan stunting dengan memanfaatkan potensi lokal seperti dadih dan ikan bilih di
Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat.

Kata kunci: Sosial budaya, stunting, balita, kebijakan, potensi lokal

56
Permasalahan sosial budaya dan alternatif kebijakan...(Yulfira M, Nilda E)

PENDAHULUAN Kabupaten Solok merupakan salah


satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat
Stunting merupakan salah satu
yang persentase balita kategori pendek dan
permasalahan serius yang sedang dihadapi di
sangat pendek berdasarkan TB/U termasuk
Indonesia. Berdasarkan data prevalensi balita
tinggi yaitu sebesar 39,9 persen pada tahun
2017 (peringkat kedua tertinggi), dan di atas
stunting yang dihimpun World Health rata-rata Sumatera Barat (30,9%) serta di atas
Organization (WHO) terungkap bahwa rata-rata Nasional (29,6%) (Dinas Kesehatan
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga Provinsi Sumatera Barat, 2018). Selanjutnya
dengan prevalensi tertinggi di regional Asia berdasarkan data hasil pemantauan Status
Tenggara. Rata-rata prevalensi balita stunting Gizi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Solok diketahui bahwa persentase
di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4
persen (Saputri & Tumangger, 2019). balita sangat pendek dan pendek (stunting)
Selanjutnya berdasarkan hasil Riset di Kabupaten Solok tahun 2018 adalah
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 sebesar 30,5 persen (Dinas Kesehatan
bahwa prevalensi anak balita stunting di Kabupaten Solok, 2018).
Indonesia sebesar 37,2 persen (Badan Permasalahan stunting pada anak
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, balita merupakan konsekuensi dari beberapa
2013), dan data prevalensi anak balita faktor yang sering dikaitkan dengan
stunting di Indonesia dari hasil Riskesdas kemiskinan termasuk gizi, kesehatan, sanitasi
tahun 2018 adalah sebesar 30,8 persen dan lingkungan. Ada lima faktor utama
(Badan Penelitian dan Pengembangan penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial
Kesehatan, 2019). dan budaya, peningkatan paparan terhadap
Permasalahan stunting pada balita penyakit infeksi, kerawanan pangan dan
juga masih menjadi salah satu isu strategis akses masyarakat terhadap pelayanan
pembangunan daerah Provinsi Sumatera. kesehatan (Aridiyah et al., 2015). Faktor
Data prevalensi balita pendek dan sangat sosial dan budaya antara lain meliputi
pendek pada balita di Sumatera Barat pengetahuan masyarakat tentang stunting,
berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 pola asuh, perilaku/praktek dan kebiasaan
adalah sebesar 39,24 persen, yang melebihi pemberian makanan pada balita. Ada
prevalensi nasional (37,21%) (Badan beberapa faktor penyebab masih tingginya
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, kejadian stunting diantaranya adalah
2013). Selanjutnya dari data hasil Riskesdas penyebab langsung karena kurangnya asupan
tahun 2018 diketahui bahwa data prevalensi makanan dan adanya penyakit infeksi. Di
balita pendek dan sangat pendek di Sumatera samping itu, faktor lainnya adalah kurangnya
Barat sebesar 30 persen dan mendekati pengetahuan ibu, adanya kesalahan dalam
prevalensi nasional yang sebesar 30,8 persen pola asuh, sanitasi yang kurang memadai dan
(Badan Penelitian dan Pengembangan belum memadainya pelayanan kesehatan
Kesehatan, 2019). Kriteria prevalensi yang serta masyarakat belum menyadari jika anak
dianggap berat menurut WHO adalah bila pendek merupakan masalah (Mitra, 2015).
prevalensi pendek sebesar 30-39 persen dan Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan
serius bila prevalensi pendek ≥40 persen. di Kabupaten Jember mengungkapkan bahwa
ada beberapa faktor yang mempengaruhi
Kemudian berdasarkan data gambaran status
Gizi Balita di Provinsi Sumatera Barat yang kejadian stunting diantaranya terkait dengan
diperoleh dari pemantauan status gizi tahun tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu
2015-2017 diketahui bahwa persentase balita tentang gizi, pemberian ASI Ekskusif dan
yang masuk kategori pendek dan sangat umur pemberian makanan pendamping ASI
pendek berdasarkan TB/U mengalami (Aridiyah et al., 2015).
peningkatan pada tahun 2017 yaitu sebesar Permasalahan/hambatan dalam upaya
30,6 persen, sedangkan sebelumnya sebesar pencegahan dan penanggulangan stunting
29,0 persen (2015), dan 27,5 persen (2016) tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya
(Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, dan lingkungan dalam masyarakat mereka
2018). berada, yang antara lain meliputi

57
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 20 No 1, Juni 2021: 56-68

pengetahuan budaya dari masyarakat Solok, pimpinan Puskesmas, pemegang


tertentu, adanya kebiasaan dan ketidaktahuan program/tenaga pengelola gizi, dan keluarga
masyarakat yang bisa berdampak terhadap yang memiliki kasus balita stunting di lokasi
status gizi anak balita. Sehubungan dengan penelitian. Adapun jumlah informan ibu yang
hal ini tujuan penulisan adalah untuk memiliki anak stunting sebanyak 15 orang.
mendeskrispsikan permasalahan sosial Total jumlah informan yang telah dilakukan
budaya, potensi lokal dan merumuskan wawancara mendalam adalah sebanyak 18
alternatif kebijakan dalam upaya pencegahan orang. Wawancara mendalam dengan
dan penanggulangan stunting pada balita di keluarga kasus stunting dilakukan di rumah
Kabupaten Solok. Artikel ini didasarkan keluarga kasus. Pada waktu wawancara
pada hasil penelitian yang dilakukan penulis mandalam juga dilakukan observasi terhadap
dengan judul “Permasalahan Sosial Budaya kondisi rumah, sumber air minum/cuci dan
Dalam Upaya Penanggulangan Stunting Pada mandi serta fasilitas jamban.
Balita”.
Data yang sudah dikumpulkan
kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan kaidah kualitatif dengan
BAHAN DAN CARA
metode content analysis. Ada beberapa
Lokasi penelitian dilaksanakan di tahapan dalam pengolahan data, pertama
Kabupaten Solok pada tahun 2019. Alasan yaitu membuat transkrip hasil wawancara
pemilihan lokasi dengan pertimbangan mendalam. Setelah itu dilaksanakan
bahwa Kabupaten Solok merupakan salah pemilihan data dengan mengurutkan data
satu kabupaten dengan persentase balita berdasarkan kelompok pertanyaan, yang
kategori pendek dan sangat pendek balita mana terkait dengan permasalahan sosial
(stunting) yang termasuk tinggi (30,5% pada budaya dalam upaya pencegahan dan
tahun 2018) di Sumatera Barat. Selanjutnya penanggunggulangan stunting pada balita,
secara purposive dipilih lokasi penelitian di antara lain pengetahuan masyarakat tentang
wilayah kerja Puskesmas Alahan Panjang stunting dan upaya pencegahannya, perilaku
dan Puskesmas Paninggahan. Desain dan kebiasaan masyarakat dalam pencegahan
penelitian menggunakan metode kualitatif. dan penangulangan stunting, potensi lokal
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data untuk pencegahan dan penanggulangan
primer dan data sekunder. Data sekunder stunting. Selanjutnya data yang dihasilkan
diperoleh melalui studi kepustakaan, disajikan dalam bentuk matriks hasil
dokumen dari Dinas Kesehatan dan instansi wawancara mendalam guna mempermudah
terkait, maupun sumber-sumber lain yang dalam menganalisis data. Proses analisis data
sesuai dengan standar keilmiahan sumber dimulai dengan menelaah seluruh data yang
data. Data sekunder yang dikumpulkan antara tersedia dari berbagai sumber. Berikutnya
lain data status gizi balita di Sumatera Barat untuk analisis data, mulanya dilakukan
dari Dinas Kesehatan Provinsi koding terhadap penggunaan kata dan
SumateraBarat, persentase balita sangat kalimat yang relevan dan paling sering
pendek dan pendek (stunting) di Kabupaten muncul dalam media komukasi. Kemudian
Solok, dan data terkait stunting (anak dilakukan pengkategorian data dengan
pendek) yang diperoleh dari laporan dan melihat sejauh mana satuan makna yang
jurnal ilmiah. berkaitan dengan tujuan penelitian.
Pengumpulan data primer dilakukan Selanjutnya satuan makna dan kategori
dengan wawancara mendalam (indepth dianalisis dan dicari hubungan satu dengan
interview) dan observasi. Teknik pemilihan yang lainnya untuk menemukan makna dari
informan dilakukan secara purposive dengan dan tujuan isi komukasi (Bungin, 2010).
cara menetapkan kriteria-kriteria tertentu
yang mesti dipenuhi oleh orang yang akan
HASIL
dijadikan sumber informasi. Informan
penelitian adalah Kepala Bidang kesehatan Permasalahan/hambatan Sosial
Masyarakat, Kepala Seksi, pemegang Budaya Dalam Upaya Pencegahan dan
program gizi di Dinas Kesehatan Kabupaten Penanggulangan Stunting

58
Permasalahan sosial budaya dan alternatif kebijakan...(Yulfira M, Nilda E)

Berdasarkan hasil penelitian Sebagian masyarakat belum


diketahui bahwa masih ditemukan adanya memahami jika anak yang bertubuh pendek
permasalahan/hambatan sosial budaya dalam disebabkan oleh adanya gangguan dalam
upaya pencegahan stunting pada balita, yaitu tumbuh kembang anak balita, sehingga
1). masih terbatasnya pengetahuan mereka meresponnya dengan hal yang biasa
masyarakat terkait stunting dan upaya saja ketika anaknya pendek dan tidak begitu
pencegahannya, dan 2) adanya perilaku dan khawatir terhadap pertumbuhan tinggi
kebiasaan masyarakat yang kurang badan. Apalagi hal ini dikaitkan dengan
mendukung upaya pencegahan dan adanya pemahaman jika anak bertumbuh
penanggulangan stunting pada Balita. pendek disebabkan oleh faktor keturunan,
maka kepedulian terhadap tumbuh kembang
Pengetahuan Masyarakat Terkait
anak dianggap relatif kurang. Hal ini
Stunting dan Upaya Pencegahannya Pada
sebagaimana yang diungkapkan informan
Balita
berikut:
Berdasarkan hasil penelitian
“......Anak yag pendek adalah hal
diketahui bahwa pengetahuan dan
biasa, tidak usah dikhawatirkan karena ini
pemahaman masyarakat tentang stunting dan
sulit untuk dirubah dan sudah dari
upaya pencegahannya masih belum
keturunanya seperti itu”.
memadai. Sebagian masyarakat belum
mengetahui istilah stunting atau apa yang Berdasarkan hasil penelitian juga
dimaksud dengan stunting, dan masyarakat diketahui bahwa pengetahuan sebagian
setempat lebih mengenal sebutan atau istilah masyarakat dalam upaya pencegahan stunting
lokal anak pendek atau “urang pendek” pada balita belum memadai. Bebeberapa
terhadap orang yang bertubuh pendek. permasalahan kasus stunting pada balita tidak
Namun demikian, sebagian masyarakat terlepas dari persoalan masih terbatasnya
menyatakan bahwa mereka baru mengetahui pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang stunting ketika anak mereka terhadap pentingnya untuk menjaga
dinyatakan balita stunting oleh tenaga kesehatan ibu dan janin yang di kandung,
kesehatan. terutama pada periode 1000 hari pertama
kehidupan. Sebagian masyarakat belum
Persepsi sebagian masyarakat
memahami pentingnya untuk memenuhi
terhadap penyebab anak balita bertumbuh
kebutuhan gizi anak yang berada dalam
pendek beragam. Sebagian masyarakat
kandungan, sehingga kepedulian masyarakat
berpendapat bahwa kejadian stunting pada
untuk memenuhi kebutuhan makanan yang
balita disebabkan karena anak susah makan,
sehat dan bergizi selama kehamilan juga
sehingga mengakibatkan pertumbuhan tinggi
relatif kurang. Sebagian masyarakat masih
badannya menjadi terganggu. Sedangkan
beranggapan bahwa kebutuhan makan masih
sebagian masyarakat lainnya berpendapat
terbatas untuk memenuhi rasa lapar, dan
bahwa penyebab stunting adalah karena
belum memahami tentang makanan yang
adanya faktor keturunan atau berasal dari
sesuai dengan kebutuhan gizi untuk ibu hamil
keturunan yang pendek. Jika ada anak balita
dan anak yang di dalam kandungnya. Di
di keluarga mereka bertubuh pendek diakui
samping itu, sebagian ibu hamil masih
karena bapak dan ibunya juga pendek, dan
beranggapan kebutuhan asupan makanan
hal ini menurut persepsi mereka tidak bisa
pada periode kehamilan tidak jauh berbeda
diperbaiki lagi karena memang sudah
dengan sebelum hamil, dan ketika ada ibu
merupakan takdir yang harus diterima serta
hamil yang mengalami susah makan selama
mereka tidak bisa untuk menolaknya. Hal ini
kehamilan dianggap hal yang biasa dan tidak
sebagaimana yang diungkapkan informan
perlu dikuatirkan. Hal ini sebagaimana yang
berikut:
diungkapkan informan berikut:
“…….anak balita pendek karena
“..... kebutuhan makan ketika hamil
kedua orang tuanya juga pendek, dan tidak
dan sebelum hamil rasanya tidak jauh
mungkin bisa dirubah karena sudah
berbeda, dan ketika hamil muda susah
merupakan takdir yang harus diterima dan
makan adalah hal biasa dan tidak perlu
kami tidak mampu untuk menolaknya.”
dicemaskan”
59
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 20 No 1, Juni 2021: 56-68

Adanya anggapan yang keliru dari relatif baik. Hal ini sebagaimana yang
masyarakat bisa berdampak pada diungkapkan informan berikut:
pertumbuhan berat/tinggi badan balita.
“…anak cenderung susah makan,
Pemahaman masyarakat terhadap dan mau makan nasi dengan kentang balado,
pentingnya pemberian makanan pendamping dan jika ditambahkan ikan atau ayam anak
ASI yang baik belum memadai. Pemberian tidak menyukainya. Yang penting anak sudah
kadar protein pada menu harian untuk balita mau makan”.
usia di atas 6 bulan sesuai dengan usianya
Pemahaman sebagian masyarakat
juga belum dipahami sebagian masyarakat,
terhadap pentingnya melakukan
dan masih ada pemahaman yang keliru
penimbangan untuk mengukur berat badan
bahwa pemberian makanan tambahan untuk
dan tinggi badan balita setiap bulan ke
anak umur 6 (enam) bulan sampai 1 (satu)
posyandu (pelayanan kesehatan) belum
tahun secara rutin setiap hari belum begitu
memadai. Hal ini antara lain disebabkan
menjadi keharusan. Jika anak tidak mau atau
adanya rasa khawatir membawa anak keluar
susah untuk makan bubur atau nasi lembek,
rumah karena adanya kepercayaan
mereka beranggapan bahwa anak masih
masyarakat terhadap gangguan makluk ghaib
terbantu dengan ASI. Hal ini sebagaimana
(palasik) yang bisa berpengaruh terhadap
yang disampaikan informan berikut:
kondisi kesehatan anak. Hal ini sebagaimana
“…kalau anak susah makan dan diungkapkan informan berikut:
tidak mau akan bubur atau nasi lembek tidak
“….Ada rasa khawatir untuk
harus dpaksakan karena anak masih bisa
membawa anak keluar rumah karena di luar
terbantu dengan ASI.”
ada “palasik” yang dipercaya bisa
Pengetahuan sebagian masyarakat menyebabkan anak sakit dan bahkan
tentang asupan makanan balita masih belum meninggal.”
memadai. Pemberian makanan untuk balita
Di samping itu, sebagian masyarakat
baru sebatas agar anak kenyang dan anak
belum memahami bahwa pengukuran berat
cepat besar. Pemahaman masyarakat
badan dan tinggi badan setiap bulan
mengenai kebutuhan gizi yang seimbang
merupakan upaya untuk mencegah gizi
untuk balita, jenis makanan, pengolahan
kurang dan stunting pada balita.
makanan hingga pengaturan ragam makanan
masih belum memadai, yang mana dalam hal Terbatasnya pengetahuan dan
ini pemahaman masyarakat terkait kesehatan pemahaman masyarakat tentang pentingnya
dan gizi balita masih terbatas. Sebagaimana kebutuhan gizi pada balita juga terkait
yang diungkapkan informan berikut: dengan belum optimalnya pelaksanaan
sosialisasi atau promosi kesehatan dan
“......Anak diberikan makan agar bisa
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
kenyang dan cepat besar, dan belum tahu
oleh tenaga kesehatan. Hal ini antara lain
makanan yang bergizi, cara mengolah
terkait dengan keterbatasan tenaga gizi dan
makanan, dan jenis makanan yang diberikan
promosi kesehatan, beratnya beban kerja
pada balita”
bidan serta anggran yang terbatas. Hal ini
Selanjutnya persepsi ibu atau sebagaimana yang diungkapkan informan
pengasuh anak terhadap pemberian makanan (tenaga kesehatan) sebagai berikut:
cenderung berdasarkan kesukaan anak,
“…..pelaksanaan promosi kesehatan
kurang memperhatikan keberagamanan
dan pemberdayaan masyarakat untuk
makanan dan kebutuhan gizi yang tepat.
meningkatkan pengetahuan masyarakat
Sebagian mereka masih beranggapan bahwa
tentang pentingnya kebutuhan gizi balita
makan nasi dengan kentang goreng balado
belum bisa dilaksanakan secara merata
saja sudah cukup, tanpa harus dilengkapi
karena terbatasnya tenaga, beban kerja serta
kebutuhan protein hewani dan nabati serta
anggaran.”
buah dan sayur. Pada hal jika dilihat dari
latar belakang pendidikan dan kondisi
ekonomi sebagian keluarga balita stunting

60
Permasalahan sosial budaya dan alternatif kebijakan...(Yulfira M, Nilda E)

Perilaku dan Kebiasaan Masyarakat Yang dianggap lebih praktis. Namun demikian,
Terkait Dengan Upaya Pencegahan dan karena sebagian anak cenderung susah
Penanggulangan Stunting makan, maka jumlah bubur yang dikosumsi
anak relatif sedikit. Sementara itu, pemberian
Hasil penelitian mengungkapkan
bubur lunak yang diolah sendiri jarang
bahwa pola makan sebagian ibu yang
dilakukan dengan alasan anak tidak
mempunyai anak stunting pada waktu hamil
menyukainya. Di samping itu, pengetahuan
cenderung belum sesuai dengan pemenuhan
ibu dalam mengolah dan menyiapkan
gizi seimbang. Sebagian ibu yang mengalami
makanan yang beragam serta sesuai dengan
keluhan pada waktu hamil cenderung malas
gizi seimbang juga belum memadai. Hal ini
untuk makan nasi dan cenderung memilih
sebagaimana yang diungkapkan informan
makanan seperti bakso, mie instan, dan lain-
berikut:
lain.
“…..anak lebih menyukai bubur
Berdasarkan hasil penelitian
kemasan. Mau masak bubur yang sehat
diketahui bahwa sebagian ibu telah
bergizi dengan berbagai rasa, tidak tahu
melaksanakan pemberian ASI ekslusif
cara mengolah dan memasaknya.”
selama 6 (enam) bulan. Mereka sudah
mengetahui bahwa ASI eksklusif baik untuk Pola dan kebiasaan makan pada anak
pertumbuhan bayi. Namun, sebagian lainnya yang berumur di atas 1 (satu) tahun juga
tidak memberikan ASI secara eklusif selama cenderung belum sesuai dengan anjuran
6 (enam) bulan dan memberikan susu kesehatan. Sebagian besar anak stunting
formula dengan alasan ibu bekerja dan ASI pada waktu berusia 1 (satu) sampai 2 (dua)
saja dianggap tidak cukup. Di samping itu, tahun cenderung mengalami kesulitan
juga ada sebagian masyarakat yang makan. Pemberian makanan pendamping
memberikan makan tambahan madu, ASI cenderung tidak bisa diberikan
pisang/biskuit pada bayi yang berumur 1 sebagaimana mestinya, dan anak lebih
(satu) bulan dengan alasan bayi menangis banyak mengandalkan ASI saja, yang secara
terus karena dengan ASI saja belum kenyang. kuantitas dan kualitas tidak memadai untuk
kebutuhan makanan anak pada periode
“…… pemberian ASI ekslusif yang 6
tersebut. Begitu juga perhatian dan kesadaran
(enam) bulan tidak bisa dilaksanakan karena
ibu terhadap kebutuhan serta kecukupan gizi
ASI kurang, anak masih menangis dan belum
anak belum memadai.
kenyang, sehingga anak diberikan madu,
pisang atau biskuit agar naik tidak menangis Hasil penelitian mengungkapkan
lagi.” bahwa kurangnya kesadaran dan kepedulian
keluarga terhadap pemberian makan pada
Pola pengasuhan anak balita stunting
balita dengan gizi seimbang tidak hanya
cenderung dilakukan oleh orang tua atau
terjadi karena persoalan keterbatasan
nenek balita terutama bagi ibu yang bekerja.
ekonomi keluarga dalam pemenuhan
Kondisi masih terbatasnya pengetahuan dari
konsumsi pangan keluarga, namun keluarga
pengasuh (nenek) balita tentang gizi
yang ekonominya relatif baik pun juga
seimbang untuk balita, maka praktek dan
kurang peduli terhadap kebutuhan makan
kebiasaan makan anak yang sesuai dengan
balita. Dari hasil observasi diketahui bahwa
kebutuhan gizi seimbang relatif sulit
sebagian anak stunting berasal dari keluarga
diterapkan. Apalagi nenek cenderung
yang memiliki kemampuan ekonomi yang
memberikan makanan yang disukai anak saja
cukup memadai, ibu cenderung bekerja di
tanpa memperhatikan asupan makanan yang
luar rumah dan pola asuh serta pemberian
sesuai dengan kebutuhan gizi balita.
makan cenderung dilakukan oleh nenek dari
Berdasarkan hasil penelitian balita tersebut. Dari hasil wawancara
diketahui bahwa makanan pendamping ASI mendalam dengan pengasuh (nenek balita)
yang cenderung diberikan periode usia 6 diketahui bahwa praktek dan kebiasaan
(enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun makan nasi dengan lauk pauk seperti ikan
adalah makanan bubur bayi kemasan seperti dan ayam dianggap jarang dilakukan karena
bubur ‘promina” dan sun”. Alasan mereka anak kurang menyukai ikan dan ayam.
memberikan bubur dalam kemasan karena Makan nasi dengan kentang goreng balado
61
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 20 No 1, Juni 2021: 56-68

tanpa ada protein dianggap sudah menjadi Palasik ini dipercayai masyarakat
makanan yang disukai dan biasa dikosumsi sebagai seseorang yang mempunyai
oleh sebagian anak balita. Jika ditambahkan kemampuan ilmu ghaib dan diperoleh secara
dengan telor atau lauk lainnya anak turun temurun dan mampu menghisab ubun-
cenderung tidak mau makan. Kebiasaan ubun bayi, sehingga anak cenderung sering
makan keluarga dengan kentang balado sakit dan kurus. Untuk pencaharian
cukup sering dilakukan, apalagi kentang pengobatan, biasanya di samping
termasuk bahan pangan lokal. Sedangkan memanfaatkan pelayananan kesehatan,
pola makan keluarga dengan tambahan masyarakat juga akan mencari pengobatan
protein seperti ikan, ayam/telor jarang tradisional (dukun) yang dianggap
dikosumsi setiap hari. Hal ini terkait dengan mempunyai kekuatan ghaib tersebut.
kesibukan ibu yang bekerja dan jadwal Selanjutnya dalam upaya pencarian
belanja untuk kebutuhan kosumsi keluarga pengobatan untuk penyakit pneumonia atau
cenderung dilakukan pada waktu hari pasar istilah lokal disebut parang (sesak nafas),
(satu kali/minggu). Sebagaimana sebagian masyarakat juga memilih
diungkapkan informan berikut: pengobatan tradisional melalui dukun
kampung.
“.…..untuk menyediakan lauk yang
lengkap setiap hari sulit dilaksanakan karena Kebiasaan masyarakat untuk
kesibukan bekerja dan waktu untuk belanja melakukan perilaku hidup bersih dan sehat
cenderung pada hari pasar yang hanya 2 kali dari hasil observasi relatif belum memadai.
seminggu.” Sebagian masyarakat masih memanfaatkan
air dari sumber air selokan (parik) yang
Berdasarkan hasil penelitian
dialirkan ke rumah menggunakan pipa atau
diketahui bahwa kemampuan ibu dalam
paralon untuk kebutuhan minum dan masak,
menyediakan makanan yang beragam dan
mencuci pakaian serta peralatan rumah
bergizi pada balita juga masih terbatas, dan
tangga. Perilaku dan kebiasaan masyarakat
ini antara lain terkait dengan belum
yang masih memanfaatkan air dari selokan
memadainya pengetahuan dan keterampilan
ini disebabkan karena keterbatasan sumber
ibu tentang pengolahan makanan. Sebagian
dan sarana air bersih yang terdapat di
besar balita kasus stunting kurang
lingkungan setempat. Kondisi air yang
mendapatkan asupan makanan yang bergizi
digunakan untuk kebutuhan minum dan
dan berat badan cenderung tidak naik serta
masak terlihat tidak memenuhi syarat
mudah sakit. Dari beberapa kasus stunting
kesehatan karena sumber air berasal air
terungkap bahwa beberapa penyakit yang
selokan yang kualitasnya tidak memadai.
cenderung dialami balita stunting adalah
Selanjutnya sebagian masyarakat belum
diare dan pneumonia. Selanjutnya dalam
memiliki jamban keluarga, dan biasanya
upaya penyembuhan penyakit atau perawatan
mereka buang air besar di kebun atau di
kesehatan ketika anak sakit, sebagian ibu
belakang rumah. Perilaku dan kebiasaan
juga mencari bantuan melalui pengobatan
keluarga yang kurang baik tersebut tersebut
tradisional. Alasan pilihan pengobatan
bisa berisiko terhadap kesehatan balita atau
tradisional ini karena adanya anggapan dan
anak menjadi rentan terhadap penyakit
kepercayaan bahwa anak yang badannya
terutama penyakit menular seperti diare dan
kurus dan cenderung sakit seperti badan
infeksi saluran pernafasan, dan akhirnya
panas dan diare atau sering buang air besar
dapat mempengaruhi berat badan/tinggi
(berbau) disebabkan oleh adanya pengaruh
badan serta perkembangan kesehatan balita.
palasik (kekuatan ghaib). Hal ini
Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa
sebagaimana yang diungkapkan informan
sebagian keluarga stunting mempunyai
berikut:
riwayat penyakit pneumonia, yang mana
“…..Anak yang kena “palasik” keluarganya mempunyai kebiasaan merokok
badannya akan menjadi kurus dan cenderung di dalam rumah.
sakit seperti badan panas dan sering buang
air yang berbau.”

62
Permasalahan sosial budaya dan alternatif kebijakan...(Yulfira M, Nilda E)

Potensi Lokal Yang Bisa Dimanfaatkan Alternatif Arah Kebijakan Dalam Upaya
Dalam Upaya Pencegahan dan Pencegahan dan Penanggulangan Stunting
Penanggulangan Stunting Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian Permasalahan stunting tidak hanya
terungkap bahwa ada beberapa potensi lokal menjadi tanggung jawab dari pemerintah
yang dapat dimanfaatkan dalam upaya saja, namun juga harus mendapat perhatian
pencegahan dan penanggulangan stunting, khusus dari semua pihak. Beberapa alternatif
diantaranya adalah dadih (dadiah). Dadih arah kebijakan dan rencana aksi dalam upaya
merupakan pangan tradisional produk hasil pencegahan stunting pada balita adalah
fermentasi susu kerbau (seperti yoghurt), dan sebagai berikut:
dapat dikonsumsi secara langsung atau
1) Optimalisasi peningkatan pengetahuan
sebagai pengganti lauk pendamping nasi.
tentang pencegahan dan penanggulangan
Berdasarkan hasil wawancara dengan
stunting
informan diketahui bahwa dadih yang diolah
secara tradisional oleh masyarakat di lokasi Dengan ditingkatkannya
penelitian di pasarkan dan dikosumsi oleh pengetahuan masyarakat tentang stunting,
masyarakat di Sumatera Barat yang diharapkan masyarakat lebih memahami dan
bermanfaat untuk kesehatan anak balita. menyadari pentingnya untuk melakukan
Walaupun beberapa keluarga kasus stunting pencegahan dan penanggulangan stunting
melakukan usaha dalam memproduksi dadih, pada balita. Beberapa alternatif kegiatan yang
namun dadih tersebut jarang dikosumsi oleh diusulkan adalah:
keluarga dan lebih cenderung untuk dijual a. Peningkatan sosialisasi untuk
karena nilai ekonomis yang cukup tinggi. pencegahan stunting melalui edukasi dan
Sebagian keluarga terutama anak balita penyuluhan kepada masyarakat oleh
kurang menyukai dadih karena bau dadih tenaga kesehatan seperti pendidikan
yang sedikit amis dan asam. Di samping itu, pengasuhan anak, pemilihan gizi dan
masyarakat juga belum banyak mengetahui nutrisi yang baik, edukasi gerakan hidup
cara membuat produk olahan dadih agar bersih dan sehat melalui pelaksanaan
disukai anak-anak dan dapat dijadikan kegiatan posyandu.
sebagai makanan pendamping ASI.
b. Optimalisasi penyuluhan tentang stunting
Ketersediaan bahan pangan potensial secara langsung kepada masyarakat
yang lainya adalah ikan bilih yang berasal dengan melibatkan Kepala Desa (Wali
dari kawasan perairan Danau Singkarak, dan Nagari), tokoh masyarakat dan kader
mempunyai kandungan gizi yang tinggi serta kesehatan
bermanfaat untuk kesehatan terutama anak
balita. Namun, sebagian masyarakat c. Peningkatan sosialisasi tentang risiko
mengalami kesulitan untuk mendapatkan anak stunting terhadap kecerdasan
ketersediaan ikan bilih karena harganya yang kepada masyarakat melalui kegiatan aksi
relatif mahal. mahasiswa dalam edukasi gizi cegah
stunting
Keberadaan pemimpin dan sumber
daya local juga bisa dimanfaatkan dalam 2) Peningkatan partisipasi dan
upaya pencegahan dan penanggulangan pemberdayaan masyarakat serta
stunting diantaranya Wali Nagari dan Kader. pemanfaatan potensi sosial budaya lokal
Selanjutnya kader posyandu juga berperan yang mendukung perilaku sadar gizi
dalam melakukan sosialisasi dan penyuluhan Peningkatan partipasi masyarakat
kepada ibu hamil dan ibu yang mempunyai dan pemberdayaan masyarakat dengan
balita. Keberadaan kader sudah dikenal dan memanfaatkan potensi sosial budaya lokal
dekat dengan warga masyarakat, sehingga yang mendukung perilaku sadar gizi sangat
dapat menjadi ujung tombak untuk diperlukan dalam upaya pencegahan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat yang penanggulangan stunting. Hal ini mengingat
relatif masih rendah dalam kegiatan bahwa penyebab permasalahan stunting
posyandu terutama upaya pencegahan dan antara lain disebabkan oleh faktor praktek
penanggulangan stunting.
63
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 20 No 1, Juni 2021: 56-68

pola asuh, pola dan kebiasaan makan. sebagian kecil ibu yang memiliki
Alternatif kegiatan yang diusulkan adalah: pengetahuan yang baik (25,4%), sedangkan
ibu yang memiliki tingkat pengetahuan
a) Peningkatan partisipasi dan
cukup sebesar 48,7% dan tingkat
pemberdayaan masyarakat terutama
pengetahuan kurang sebesar 25,9%. (Olsa et
terkait peningkatan pola asuh keluarga
al., 2018).
terhadap anak dalam 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) dalam bentuk Hasil penelitian mengungkapkan
pelatihan pembuatan makanan bahwa masyarakat masih cenderung
pendamping ASI yang berkualitas baik mempunyai persepsi bahwa penyebab anak
melalui kegiatan posyandu dan PKK. pendek adalah karena adanya faktor
keturunan dari orang tua dan merupakan
b) Penerapan model intervensi pencegahan
takdir yang harus diterima. Hasil penelitian
dan penangulangan stunting melalui
di Kabupaten Tawah Bumbu juga
praktek pembuatan produk dan
mengungkapkan sebagian besar ibu yang
penerapan PMT balita dengan
mempunyai anak balita stunting berpendapat
memanfaatkan bahan pangan lokal
bahwa pendek disebabkan karena adanya
seperti dadih dan ikan bilih.
faktor keturunan, anak tumbuh pendek
c) Optimalisasi pemanfaatan dana desa karena orangtua juga memiliki tinggi badan
melalui rehabilitasi Poskesdes, Polindes yang pendek (Indriyati et al., 2020).
dan Posyandu, konseling dan penyediaan Selanjutnya hasil penelitian di Kabupaten
makan sehat untuk peningkatan gizi Tangerang juga mengungkapkan bahwa
balita, perawatan kesehatan untuk ibu balita pendek disebabkan oleh faktor
hamil dan menyusui, penyediaan sumber keturunan, atau memang terlahir dengan
air bersih dan MCK. perawakan kecil (Liem et al., 2019). Adanya
d) Peningkatan peran kader kesehatan dan persepsi dari masyarakat bahwa stunting
masyarakat melalui pelatihan dan adalah karena faktor keturunan dan dianggap
pembinaan kader kesehatan tentang sebagai sesuatu hal yang biasa merupakan
pemantauan status gizi balita melalui salah satu hambatan dalam upaya
pelatihan tentang pengukuran status gizi, pencegahan dan penanggulangan stunting
praktek pengukuran berat badan dan (Saputri & Tumangger, 2019).
panjang/tinggi badan. Kurangnya pemahaman masyarakat
mengenai pentingnya untuk memenuhi
kebutuhan gizi anak selama periode
PEMBAHASAN kehamilan, dan ketika ada ibu hamil yang
Gambaran hasil penelitian di atas mengalami susah makan selama kehamilan
menunjukkan bahwa masih terdapat dianggap hal yang biasa dan tidak perlu
permasalahan/hambatan sosial budaya dalam dikuatirkan. Kondisi ini bisa menyebabkan
upaya pencegahan dan penanggulangan ibu hamil berisiko mengalami kekurangan
stunting pada balita di lokasi penelitian, yaitu energi kronik dan berdampak pada berat
masih terbatasnya pengetahuan masyarakat badan anak yang dilahirkan serta berisiko
terkait stunting dan upaya pencegahannya. terhadap kejadian stunting. Berdasarkan data
Masyarakat belum mengetahui dan pemantauan status gizi Direktorat Jenderal
memahami apa yang dimaksud dengan Kesehatan Masyarakat tahun 2017 diketahui
stunting, dan masyarakat lebih cenderung bahwa persentase ibu hamil yang bersiko
mengenal istilah anak pendek. Hasil kekurangan energi kronik di Provinsi
penelitian di Kabupaten Tangerang juga Sumatera Barat adalah sebesar 14,5%. Hal ini
mengungkapkan bahwa masyarakat awam disebabkan oleh asupan energi dan protein
belum banyak yang mengenal istilah yang tidak mencukupi untuk kebutuhan ibu
stunting, dan istilah stunting menurut mereka hamil, dan jika kondisi ini tidak diperbaiki
adalah anak lebih pendek dibandingkan anak bisa berdampak pada peningkatan prevalensi
lainnya yang seusianya (Liem et al., 2019). stunting pada balita (Kementerian Kesehatan,
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan 2018).
di Kota Padang menunjukkan bahwa baru
64
Permasalahan sosial budaya dan alternatif kebijakan...(Yulfira M, Nilda E)

Pemahaman masyarakat mengenai yang sesuai dengan kebutuhan gizi seimbang,


kebutuhan gizi yang seimbang, jenis sehingga ibu berisiko terhadap kekurangan
makanan, pengolahan makanan hingga darah (anemia) dan perkembangan berat
pengaturan ragam makanan untuk balita badan anak juga bisa terhambat. Hasil
masih belum memadai. Hasil penelitian yang penelitian di Kabupaten Klaten juga
dilakukan di Kabupaten Jember juga mengungkapkan bahwa faktor terbesar yang
mengungkapkan bahwa sebagian besar langsung terkait dengan terjadinya stunting
tingkat pengetahuan ibu tentang gizi pada antara lain adalah ibu hamil mengalami
anak balita stunting di desa adalah kurang kekurangan energi kronis (KEK) dan juga
(64,5%), dan terdapat ada hubungan antara kekurangan sel darah yang mengandung
pengetahuan ibu tentang gizi terhadap hemoglobin (anemia) (Ningrum, 2019).
kejadian stunting pada anak balita di desa
Sebagian ibu tidak memberikan ASI
dan di kota (Aridiyah et al., 2015).
secara eklusif selama 6 (enam) bulan dengan
Pemahaman dan respon masyarakat alasan ibu bekerja dan ASI saja dianggap
dalam menanggapi penyakit berbeda dengan tidak cukup. Hasil penelitian di Kabupaten
konsep kesehatan. Adanya pemahaman Jember juga mengungkapkan bahwa salah
masyarakat tentang anak diare disebabkan satu yang menjadi pendorong kejadian
oleh adanya gangguan roh halus atau yang stunting pada balita adalah karena rendahnya
disebut dengan palasik. Terkait dengan hal pemberian ASI ekslusif, yang diakibatkan
ini, hasil penelitian yang dilakukan Sudarti adanya peristiwa masa lalu dan akan
Kresno di Jakarta juga mengungkapkan berpengaruh terhadap masa depan balita.
bahwa konsep masyarakat tentang penyakit (Aridiyah et al., 2015). Hasil penelitian yang
berbeda dengan konsep medis. Ada persepsi dilakukan di Kabupaten Pasaman juga
masyarakat yang menyatakan penyakit terungkap sebanyak 70,7 persen responden
disebabkan oleh guna-guna, gangguan ruh tidak memberikan ASI ekslusif, dan ada
halus atau dosa manusia (Notoatmodjo, hubungan yang signifikan antara ASI ekslusif
2010). dengan kejadian stunting di wilayah kerja
Puskesmas Padang Gelugur, Pasaman
Belum memadainya pengetahuan
(Sulung et al., 2020).
masyarakat tentang stunting dan gizi
seimbang pada balita yang terkait dengan Pola pengasuhan anak pada kasus
latar belakang pendidikan keluarga yang stunting cenderung dilakukan oleh orang
relatif rendah dan belum optimalnya tua/nenek balita terutama bagi ibu yang
pelaksanaan sosialisasi atau promosi bekerja. Dengan kondisi keterbatasan
kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. pengetahuan tentang makanan bergizi
Dari beberapa hasil penelitian di Indonesia seimbang dan pola asuh yang kurang baik
juga ditemukan bahwa kaum ibu masih akan berpengaruh terhadap kejadian stunting
banyak yang belum memahami stunting. pada balita. Hasil penelitian di Kota Padang
Kondisi ini dilatarbelakangi oleh kurangnya juga mengungkapkan ada hubungan yang
sosialisasi (secara massif) yang disampaikan bermakna antara pola asuh dengan status
kepada ibu-ibu tentang stunting, gizi balita. Pola asuh ibu terhadap anak yang
penyebabnya, dampak yang ditimbulkan dan kurang baik masih banyak ditemukan, dan
bagaimana penanggulangannya (Saputri & secara tidak langsung berpengaruh terhadap
Tumangger, 2019). status gizi balita (Gusrianti et al., 2020).
Permasalahan lainnya terkait dengan Pemberian makanan pendamping
perilaku masyarakat yang kurang ASI selama periode usia 6 (enam) bulan
mendukung upaya pencegahan dan sampai dengan 1 (satu) tahun pada anak
penanggulangan stunting pada balita. Dari balita kasus stunting cenderung berupa
hasil penelitian terungkap bahwa perilaku bubur/makanan kemasan yang dianggap lebih
sebagian ibu yang memiliki anak stunting praktis. Begitu juga pemberian makanan
selama kehamilan belum mendukung upaya pendamping ASI untuk anak di atas satu
pencegahan stunting pada balita. Selama tahun lebih cenderung berdasarkan kesukaan
periode kehamilan sebagian ibu cenderung anak, mengandalkan makanan instan, dan
kurang memperhatian kebutuhan makanan kurang memperhatikan keberagaman dan
65
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 20 No 1, Juni 2021: 56-68

kebutuhan makanan yang bergizi pada balita. dialami oleh keluarga yang kurang
Hasil penelitian yang dilakukan di Kota mampu/miskin saja, tetapi stunting juga
Kupang juga mengungkapkan bahwa salah dialami oleh keluarga yang tidak miskin atau
satu faktor terbesar yang terkait langsung berada di atas 40% tingkat kesejahteraan
dengan kejadian stunting adalah asupan social dan ekonomi (Saputri & Tumangger,
makanan hanya mengandalkan pada makanan 2019).
yang disukai oleh balita, sehingga nutrisi
Beberapa potensi pangan lokal yang
diberikan kurang bervariasi atau gizi
bisa dimanfaatkan untuk pencegahan dan
berimbang. Selanjutnya ketelatenan
penanggulangan stunting, diantaranya adalah
penyediaan makanan beragam ibu untuk
dadih (dadiah). Protein dadih termasuk
balitanya masih kurang. Sebagian besar ibu
protein lengkap yang memiliki kandungan
hanya mengandalkan makanan tambahan
hampir semua jenis asam amino esensial.
yang diberikan oleh posyandu atau membeli
Kandungan gizi dadih yang tinggi, sangat
makanan bayi instan (Ningrum, 2019). Hasil
baik dimanfaatkan dalam penanggulangan
penelitian yang tidak jauh berbeda di
masalah gizi buruk bagi anak balita, yang
Kabupaten Pasaman juga mengungkapkan
antara lain dengan memanfaatkan dadih
bahwa sebesar 54,0 persen responden
sebagai formula makanan (Thamrin et al.,
memberikan makanan yang tidak beragam
2018).
pada balita, dan ada hubungan yang
bermakna antara keanekaragaman makanan Bilih juga merupakan potensi pangan
dengan kejadian stunting (Sulung et al., lokal yang bisa dimanfaatkan untuk
2020). pencegahan dan penanggulangan stunting
pada balita. Ditinjau dari aspek sosio
Kebiasaan masyarakat untuk
ekonomi dan gizi-kesehatan, Ikan bilih yang
melakukan perilaku hidup bersih dan sehat
terdapat di daerah perairan Singkarak dan
yang kurang baik, hal ini antara lain terlihat
dekat dengan lokasi penelitian memiliki
dari kebiasaan masyarakat menggunakan
keunggulan karena kadar zink yang sangat
sumber air untuk kebutuhan minum dan
tinggi jika dibandingkan dengan bahan
masak yang tidak memenuhi syarat kesehatan
pangan lainnya, dan sangat potensial
dan adanya kebiasaan merokok di dalam
digunakan sebagai suplementasi untuk
rumah keluarga. Perilaku dan kebiasaan
mengatasi defisiensi zink pada anak pendek
keluarga yang kurang baik tersebut bisa
(Yuniritha et al., 2015).
berisiko terhadap kesehatan balita atau anak
menjadi rentan terhadap penyakit seperti
diare dan infeksi saluran pernafasan yang
KESIMPULAN DAN SARAN
dapat mempengaruhi berat badan/tinggi
badan serta perkembangan kesehatan balita. Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan di Kota Kupang Permasalahan sosial budaya dalam
juga mengungkapkan hasil yang tidak jauh upaya pencegahan dan penanggulangan
berbeda bahwa kondisi lingkungan dan stunting adalah masih terbatasnya
praktik kebersihan mempunyai hubungan pengetahuan masyarakat tentang penyebab
yang bermakna dengan kejadian stunting, dan dan pencegahan stunting, belum memadainya
berpengaruh pada pertumbuhan anak dengan pemahaman tentang pentingnya kebutuhan
meningkatnya kerawanan terhadap penyakit gizi pada balita, dan adanya perilaku dan
infeksi (Niga & Purnomo, 2016). kebiasaan pemberian makanan pada balita
Kejadian stunting pada balita tidak yang kurang mendukung upaya pencegahan
hanya dialami oleh keluarga yang tidak serta penanggulangan stunting pada balita.
mampu/miskin, tetapi juga terjadi pada Alternatif kebijakan untuk
sebagian keluarga yang kondisi ekonominya pencegahan dan penanggulangan stunting
dianggap mampu untuk menyediakan akses yang diusulkan dengan memanfaatkan
makanan yang bergizi. Kondisi ini juga potensi lokal adalah optimalisasi peningkatan
terungkap dari data tim nasional percepatan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan
penanggulangan kemiskinan bahwa kejadian dan penanggulangan stunting antara lain
anak stunting di Indonesia tidak hanya melalui peningkatan sosialisasi tentang
66
Permasalahan sosial budaya dan alternatif kebijakan...(Yulfira M, Nilda E)

risiko anak stunting terhadap kecerdasan Badan Penelitian dan Pengembangan


kepada masyarakat, dan peningkatan Kesehatan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
partisipasi masyarakat serta pemanfaatan (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018.
potensi sosial budaya lokal yang mendukung Bungin, B. (2010). Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
perilaku sadar gizi antara lain dengan Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial
pelatihan pembuatan makanan pendamping Lainnya. Kencana.
Dinas Kesehatan Kabupaten Solok. (2018). Laporan
ASI yang berbasis pangan lokal seperti dadih Tahunan Kesehatan Keluarga.
dan ikan bilih. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. (2018).
Laporan Tahunan Kesehatan Keluarga.
Gusrianti, G., Azkha, N., & Bachtiar, H. (2020).
Saran Analisis Faktor yang Berhubungan dengan
Status Gizi Balita di Kelurahan Limau Manis
Kepada Dinas Kesehatan Provinsi Selatan Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Kota
dan Kabupaten Solok disarankan untuk dapat Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(4),
109–114.
melaksanakan beberapa alternatif https://doi.org/10.25077/jka.v8i4.1126
kebijakan/kegiatan dalam upaya pencegahan Indriyati, L., Juhairiyah, Hairani, B., & Fakhrizal, D.
dan penanggulangan stunting pada balita (2020). Gambaran Kasus Stunting Pada 10
yaitu: 1). optimalisasi peningkatan Desa Di Kabupaten Tanah Bumbu Tahun
2018. Jurnal Kebijakan Pembangunan, 15(1
pengetahuan tentang pencegahan dan
Juni), 77–90.
penanggulangan stunting antara lain https://doi.org/10.47441/jkp.v15i1.57
peningkatan sosialisasi untuk pencegahan Kementerian Kesehatan. (2018). Situasi Balita Pendek
stunting melalui edukasi dan penyuluhan (Stunting) di Indonesia. Buletin Jendela Data
kepada masyarakat, 2) peningkatan Dan Informasi Kesehatan, 301(5), 1163–
1178.
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat Liem, Panggabean, & Farady. (2019). Persepsi Sosial
serta pemanfaatan potensi sosial budaya Tentang Stunting Di Kabupaten Tangerang.
lokal yang mendukung perilaku sadar gizi, Jurnal Ekologi Kesehatan, 18(1), 37–47.
antara lain melalui kegiatan pelatihan https://doi.org/10.22435/jek.18.1.167.37-47
Mitra, M. (2015). Permasalahan Anak Pendek
pembuatan makanan pendamping ASI yang (Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah
berkualitas. Terjadinya Stunting (Suatu Kajian
Kepustakaan). Jurnal Kesehatan Komunitas,
Perlu adanya alternatif kebijakan 2(6), 254–261.
dan rencana aksi dalam upaya pencegahan https://doi.org/10.25311/keskom.vol2.iss6.85
dan penangulangan stunting dengan Niga, D. M., & Purnomo, W. (2016). Hubungan Antara
memanfaatkan potensi sosial budaya lokal Praktik Pemberian Makan, Perawatan
seperti dadih dan ikan bilih. Kesehatan, Dan Kebersihan Anak Dengan
Kejadian Stunting Pada Anak Usia 1-2 Tahun
Di Wilayah Kerja Puskesmas Oebobo Kota
Kupang. Wijaya, 3(2), 151–155.
UCAPAN TERIMA KASIH Ningrum, V. (2019). Akses pangan dan kejadian balita
stunting: kasus pedesaan pertanian di klaten.
Penulis mengucapkan terima kasih Pangan, 28(1), 73–82.
kepada Balitbang Provinsi Sumatera Barat, Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan: Teori dan
yang telah memberikan kesempatan dan Aplikasi. PT Rineka Cipta.
Olsa, E. D., Sulastri, D., & Anas, E. (2018). Hubungan
dukungan kepada penulis dalam Sikap dan Pengetahuan Ibu Terhadap
melaksanakan penelitian ini. Selanjutnya Kejadian Stunting pada Anak Baru Masuk
juga ucapan terima kasih kepada semua pihak Sekolah Dasar di Kecamanatan Nanggalo.
yang telah membantu hingga selesainya Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 523.
penelitian ini. https://doi.org/10.25077/jka.v6i3.733
Saputri, R. A., & Tumangger, J. (2019). Hulu Hilir
Penanggulangan Stunting di Indonesia.
Journal of Political Issues, 1(1 Juli), 1–9.
DAFTAR PUSTAKA https://doi.org/https://doi.org/10.33019/jpi.v1
i1.2
Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2015). Sulung, N., Maiyanti, H., & Nurhayati. (2020). Faktor
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Penyebab Stunting pada Anak Usia 24-59
Stunting pada Balita di Wilayah Pedesaan Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang
dan Perkotaan. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, Gelugur, Kabupaten Pasaman. Jurnal
3(1). Pembangunan Nagari, 5(1 Juni), 1–10.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Thamrin, M. H., Ismanilda, & Handayani, M. (2018).
(2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. Pemanfaatan Dadih Susu Kerbau Untuk
67
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 20 No 1, Juni 2021: 56-68

Pemberian Makanan Tambahan (PMT)


Fungsional Anak Balita. Jurnal Sehat
Mandiri, 13(1 Juni), 18–26.
Yuniritha, E., Juffrie, M., Ismail, D., & Pramono, S.
(2015). Pengembangan Formula Siruf Zink
Dari Ekstrak Ikan Bilih (Mystacoleucus-
padangensis) Sebagai Alternatif
Suplementasi Zink Organik Pada Anak
Pendek (Stunted) Usia 12-36 Bulan. Gizi
Indonesia, 38(1), 49.
https://doi.org/10.36457/gizindo.v38i1.167

68

You might also like