You are on page 1of 7

Topik 10

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

Berdasarkan KUHPerdata yang berlaku sebagai dasar hukum perjanjian di

Indonesia, pada dasarnya para pihak diberi kebebasan untuk menentukan isi

perjanjian yang disepakati. Namun, kebebasan tersebut tidak menghilangkan

kewajiban para pihak untuk tetap mematuhi ketentuan yang berlaku.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat sahnya

perjanjian yang harus dipenuhi ketika membuat surat perjanjian, antara lain:

1. Kesepakatan Para Pihak

Dalam membuat suatu surat perjanjian, harus mencapai kesepakatan para

pihak atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan yang dimaksud di sini adalah

kesepakatan tersebut lahir dari kehendak para pihak tanpa ada unsur kekhilafan,

paksaan, ataupun penipuan. Sebagai contoh, jika seorang pembeli

menyepakati perjanjian jual-beli rumah atas dasar paksaan oleh pihak penjual

atau pihak lain, maka adanya unsur paksaan tersebut dapat dijadikan argumen

bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan pembatalan atas perjanjian jual beli

tersebut.

Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya

(toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Pernyataan

pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang

menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Misalnya, sepakat untuk

melakukan jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian

sengketanya, dsb.
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat

dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu:

a. Paksaan (dwang),

Yaitu setiap perbuatan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi

kebebasan kehendak para pihak yang terlibat di dalam kontrak termasuk

dalam tindakan pemaksaan. Paksaan tersebut dibuat dengan tujuan agar

pada akhirnya pihak lain memberikan haknya. Ancaman tersebut adalah

setiap tindakan intimidasi mental. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan

oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang

mempunyai kelainan mental.

b. Penipuan (bedrog)

Penipuan adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata

dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan

perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan

pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena

adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan

kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan

tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja

ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi, elemen

penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada

serangkain kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkain cerita

yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.


c. Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling).

Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang

salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua)

macam kekeliruan.

1) Pertama, error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah

perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian

tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia

mempunyai nama yang sama.

2) Kedua, error in substantial yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan

kerakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Basuki

Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan

yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah.

d. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden)

Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu

perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan

penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat

mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat dilakukan

karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan

yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence).

2. Kecakapan Para Pihak

Istilah kecakapan yang dimaksud dalam hal ini berarti wewenang para pihak

untuk membuat perjanjian. KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang

dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika menurut undang-undang

dinyatakan tidak cakap. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang-orang yang

dinyatakan tidak cakap adalah mereka yang:


a. Belum dewasa, berarti mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun

atau belum menikah. Sebagai contoh, seorang anak yang baru berusia 8 tahun

tidak dapat membuat perjanjian untuk dirinya sendiri.

b. Berada di bawah pengampuan, seseorang dianggap berada di bawah

pengampuan apabila ia sudah dewasa, namun karena keadaan mental atau

pikirannya yang dianggap kurang sempurna, maka dipersamakan dengan

orang yang belum dewasa. Berdasarkan Pasal 433 KUHPerdata, seseorang

dianggap berada di bawah pengampuan apabila orang tersebut dalam

keadaan sakit jiwa, memiliki daya pikir yang rendah, serta orang yang tidak

mampu mengatur keuangannya sehingga menyebabkan keborosan yang

berlebih.

c. Orang-orang perempuan dalam pernikahan, (setelah dikeluarkannya Surat

Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan diundangkannya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (2) maka perempuan dalam

perkawinan dianggap cakap hukum).

Lalu bagaimana jika melakukan transaksi dengan PT atau badan hukum.

Kecakapan yang dimaksud tidak terbatas pada individu, melainkan juga meliputi

wewenang seseorang dalam menandatangani perjanjian. Misalnya jika A

melakukan transaksi dengan PT, maka orang yang berwenang untuk

menandatangani perjanjian untuk dan atas nama PT adalah direktur dari PT

tersebut, sesuai dengan anggaran dasarnya. Apabila direktur berhalangan untuk

menandatangani perjanjian, maka direktur dapat memberikan kuasa kepada

manajer atau salah satu timnya untuk menandatangani perjanjian tersebut.


3. Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah dalam membuat perjanjian, apa

yang diperjanjikan (objek perikatannya) harus jelas. Pasal 1333 KUHPerdata ayat

(1) menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda

(zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus

memiliki suatu pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya

berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. Suatu perjanjian haruslah mengenai

suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan,

yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.

KUHPerdata menyebutkan bahwa barang/benda yang dimaksud tidak harus

disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai

perjanjian “panen padi dari lahan sawah sebesar 1 hektar dalam tahun

berikutnya”adalah sah.

Suatu perjanjian harus memiliki objek yang jelas. Objek tersebut tidak

hanya berupa barang dalam bentuk fisik, namun juga dapat berupa jasa yang

dapat ditentukan jenisnya. Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli, A

berniat untuk menjual mobil Toyota Avanza berwarna hitam yang diproduksi tahun

2012 kepada B dengan harga Rp120.000.000. Dalam perjanjian, A secara jelas

menyatakan barang apa yang akan dijual beserta jenis, harga, hingga ciri-ciri

barang tersebut.

4. Sebab yang Halal

Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa

(Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian,

tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam

perjajian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu
menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki

uang.

Sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian itu sendiri, dimana

perjanjian tersebut dibuat berdasarkan tujuan yang tidak bertentangan dengan

hukum yang berlaku. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang tidak benar

atau dilarang membuat perjanjian tersebut menjadi tidak sah.

Sebab yang tidak halal adalah sebab dilarang oleh Undang-Undang,

berlawanan dengan norma kesusilaan, atau ketertiban umum. Nilai-nilai

kesusilaan dan ketertiban umum sendiri ditentukan berdasarkan nilai-nilai yang

dianut oleh masyarakat di mana perjanjian tersebut dibuat. Contoh dari perjanjian

yang sebabnya tidak halal adalah ketika seseorang melakukan perjanjian untuk

membunuh orang lain. Hal ini dikarenakan membunuh orang lain dilarang oleh

Undang-Undang, sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak sah.

Keempat syarat sah perjanjian yang telah dijabarkan di atas memiliki 2 (dua)

kategori, yakni:

1. Syarat subjektif; dan

2. Syarat objektif.

Dari keempat syarat sah perjanjian, yang termasuk ke dalam syarat subjektif

adalah kesepakatan dan kecakapan para pihak. Sedangkan adanya objek

perjanjian dan sebab yang halal merupakan syarat objektif. Tidak dipenuhinya

syarat sah perjanjian akan berujung pada pembatalan perjanjian. Namun,

pembatalan perjanjian ini dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan kategori syarat sah

perjanjian.

Apabila para pihak tidak memenuhi syarat subjektif, maka konsekuensinya

adalah perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan atau voidable. Artinya, salah
satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan

kepada hakim. Namun, perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak sampai

adanya keputusan dari hakim mengenai pembatalan tersebut. Lain halnya jika para

pihak tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut akan dianggap batal

demi hukum atau null and void. Artinya, perjanjian ini dianggap tidak pernah ada

sehingga tidak akan mengikat para pihak.

You might also like