You are on page 1of 16

Dilarang mengutip dan atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari Penerbit sebagian

atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotoprint, mikrofilm dan sebagainya.

Cetakan pertama – 2017

Penerbit :
Pustaka Bangsa Press
Medan

Design Cover : Dessy R. Emril


Dicetak di Medan, Indonesia

Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Nyeri Leher / Editor Thomas Eko Purwata, Dessy Rakhmawati Emril, Yudiyanta. --Medan :
Pustaka Bangsa Press, 2017
188 hlm.; 27,5cm

ISBN 978-602-1183-44-1
1. Nyeri Leher. I. Thomas Eko Purwata. II. Dessy Rakhmawati Emril. III. Yudiyanta
!
!
!
!
0KA.K%!&-&!
!
Y+%+!7/,-+,%+'!!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! $!
Y+%+!R+.20%+,!Y/%0+!^.0.!7"F)XRRG!706+%!!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! $$!
Y+%+!R+.20%+,!Y/%0+!7&4#$!H3/'$!7"F)XRRG!706+%!!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! $$$!
Y&,%'$20%&'!!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! $E!
)+;%+'!G6$!!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! E$!
)+;%+'!K+2/*!!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! E$$$!
)+;%+'!e+.2+'!!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! $f!
!
$,&0$+&*'*L&!"#$%&!'$($%!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! A!
>*<(*4+?%'-(@('-+
!
K"K.*+&!0K"!A&-&*'*L&!'$($%!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! T!
A4%&+!"#6(<-+
!
K--$-+$".!"#$%&!'$($%!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! ??!
7B"#"&-(+0%*'%@"*"+
!
,K.*+$)K"&-+$!"#$%&!'$($%!+/-)/'*-)$'$.K'!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! UO!
C%*"/<-+A*@(#+
!
,K.*+$)K"&-+$!"#$%&!%K0&)/'$%!0K"!%K0&)/'*,K.&!-$%V&)K'!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! VV!
5(#@-*+A6-#+<(*+0"&'%+D%&(*'-+
!
,K.*+$)K"&-+$!"#$%&!K'&(!-$%V&)K'!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! QS!
D%&-+A%/-*(+
!
"#$%&!'$($%!"$/%*+/-)/'K%!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! TS!
D%#.'.+
!
.%K/+K!-$%V&)K'!<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<!! O@!
DB(B<";-+,(*<(#+3%#*-(@(*+<(*+E-<.<.+?(#<-+D(*'.&.!

vi
NYERI LEHER DISKOGENIK.................................................................................................. 95
Henny Anggraini Sadeli dan Yusuf Wibisono

NYERI LEHER SPONDILOGENIK........................................................................................... 112


Dani Rahmawati

NYERI MIOFASIAL SERVIKAL .............................................................................................. 123


I Putu Eka Widyadharma dan Thomas Eko Purwata

PATOGENESIS NYERI DISFUNGSIONAL .............................................................................. 134


Yudiyanta

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA NYERI SERVIKAL ........................................................ 145


M. Kurniawan, Jimmy Barus, Fitri Octaviana dan Ridwan Rahman

PERAN TINDAKAN INTERVENSI PADA NYERI LEHER ......................................................... 158


Dessy Rakhmawati Emril

PERAN REHABILITASI MEDIK PADA NYERI LEHER ............................................................. 176


Isti Suharjanti dan Hanik B. Hidayati

vii
11
NYERI MIOFASIAL SERVIKAL
I Putu Eka Widyadharma dan Thomas Eko Purwata

Pendahuluan Gejala Klinis


Definisi Diagnosis
Epidemiologi Penatalaksanaan
Etiologi Prognosis
Patofisiologi Ringkasan

Pendahuluan
Nyeri leher atau dikenal juga sebagai nyeri servikal merupakan salah satu keluhan
yang sering menyebabkan seseorang datang berobat ke fasilitas kesehatan. Setiap tahunnya,
diperkirakan sekitar 16,6% populasi dewasa mengeluh rasa tidak enak di leher, bahkan 0,6%
akan berlanjut menjadi nyeri leher yang berat. Insiden nyeri servikal semakin meningkat
dengan bertambahnya usia. Pada populasi berusia diatas 50 tahun, sekitar 10% mengalami
nyeri leher. Salah satu penyebab nyeri leher adalah nyeri miofasial (Kornelis & Mark, 2007;
Turana, dkk., 2006).
Nyeri miofasial servikal disebabkan oleh karena adanya titik nyeri atau disebut
myofascial trigger points (MTrPs). Palpasi pada MTrPs ini dapat menimbulkan nyeri alih atau
referred pain. MTrPs merupakan daerah hipersensitif yang terletak pada taut band otot-otot
skeletal, tepatnya pada endplate zone (Lowe, 2004). Nyeri miofasial dapat menyebabkan
spasme otot, kontraktur kolagen, adhesi, cross-link abnormal antara aktin dan myosin, serta
penurunan sirkulasi darah pada daerah tersebut (Yap, 2007). Apabila tidak segera ditangani
dengan tepat, taut band akan dapat meluas ke seluruh otot yang disebut dengan myosis
(Daniel dkk., 2003).
Diagnosis serta edukasi terhadap pasien sangat vital pada penatalaksanaan nyeri
miofasial servikal. Hal ini dapat mencegah nyeri miofasial servikal menjadi nyeri kronis.

123
NYERI LEHER 124

Definisi
Secara tradisional, nyeri miofasial dapat didefinisikan sebagai nyeri yang berasal dari
MTrPs pada otot. MTrPs merupakan daerah kecil dan sensitif pada otot yang secara spontan
atau pada palpasi akan menimbulkan nyeri alih atau referred pain (Hong, 2006).

Epidemiologi
Nyeri miofasial merupakan penyebab tersering nyeri punggung dan leher. Pada sebuah
penelitian terhadap 164 pasien yang dirujuk ke pusat kesehatan dengan nyeri kronis kepala
dan leher setidaknya selama 6 bulan, 55% di antaranya didiagnosis sebagai nyeri miofasial
primer (Duyur, 2009).
Nyeri miofasial servikal (yang pada tulisan ini disingkat NMS) dapat terjadi pada wanita
maupun laki-laki, dengan insiden yang lebih tinggi pada wanita. Perbandingan antara wanita
dan laki-laki didapatkan sebesar 1,67:1 (Kornelis & Mark, 2007). Selain itu, insiden NMS juga
semakin meningkat seiring bertambahnya usia hingga usia 50 tahun dan selanjutnya menurun
secara bertahap (Phillips, 2012).
Penelitian yang dilakukan pada klinik khusus nyeri mendapatkan bahwa dari 283 pasien
yang datang berobat, 85% diantaranya disebabkan oleh nyeri miofasial. Sebuah penelitian
lain terhadap 96 pasien mendapatkan nyeri miofasial sebagai diagnosis primer pada 74%
kasus dan berperan terhadap keluhan pada 93% kasus yang diteliti (Yap, 2007).

Etiologi
NMS dianggap terjadi akibat penggunaan secara berlebihan ataupun trauma terhadap
otot-otot daerah bahu dan leher (Duyur, 2009). Secara umum, penyebab NMS dibagi dua,
yaitu mekanik dan ergonomik. Penyebab mekanik adalah akibat trauma akut atau
mikrotrauma berulang. Sementara penyebab ergonomik adalah akibat posisi tidur yang
kurang baik ataupun posisi kerja yang buruk (Yap, 2007). Pasien dengan NMS biasanya
memiliki riwayat kecelakaan lalu lintas atau riwayat aktivitas berat yang menggunakan
ekstremitas atas (Phillips, 2012).
Pada tulang belakang servikal, otot-otot yang sering terlibat dalam nyeri miofasial
servikal adalah otot trapezius, levator skapula, rhomboid, supraspinatus, dan infraspinatus.
NYERI LEHER 125

Nyeri miofasial trapezius biasanya terjadi pada orang-orang yang bekerja di depan meja
komputer tanpa menggunakan armrests (Phillips, 2012).
Selain itu, ada beberapa hal yang juga berperan terhadap insiden NMS seperti disfungsi
endokrin, infeksi kronis, defisiensi nutrisi, postur tubuh yang kurang baik, dan stres psikologis
(Yap, 2007; Phillips, 2012). Lesi neuromuskular patologis, seperti strain, sprain, enthesophaty,
artritis, dan lesi diskus vertebralis ditengarai juga mampu mereaktivasi MTrPs dalam fase
laten (Hong, 2006).

Patofisiologi
NMS merupakan nyeri myogenous regional yang ditandai dengan jaringan otot
hipersensitif dan area lokal keras yang disebut titik nyeri atau MTrPs (Yap, 2007; Hong, 2006;
Duyur, 2009). Jaringan otot dan perlekatan tendon pada area ini seringkali dirasakan sebagai
taut band, yang ketika dipalpasi akan menghasilkan nyeri (Yap, 2007). Asal dari MTrPs masih
belum diketahui dengan pasti, diperkirakan karena adanya ujung serat otot yang tersensitisasi
oleh substansi alogenik yang akan menghasilkan zona hipersensitif (Phillips, 2012).
Karakteristik unik dari NMS adalah adanya MTrPs yang merupakan sumber nyeri
konstan dan dapat menghasilkan efek eksitatori sentral (Yap, 2007). Jika MTrPs mengeksitasi
kelompok interneuron aferen, maka akan muncul nyeri alih dengan pola yang khas sesuai
dengan lokasi MTrPs yang terlibat (Phillips, 2012).
Perubahan morfologis berupa peningkatan kekauan yang signifikan pada taut band dari
MTrPs. Pada MTrPs ditemukan kadar neuropeptida (substansi P atau calcitonin gene-related
peptide), katekolamin (norepinephrine), dan sitokin proinflamasi (tumor necrosis factor alpha,
interleukin 1-beta, interleukin 6, dan interleukin 8) yang lebih tinggi dibandingkan jaringan
sekitarnya (Fernandez dkk., 2007).
Fitur neurosensoris meliputi adanya nyeri alih, hipersensitif terhadap stimulus
nosiseptif (hiperalgesia) dan stimulus non-nosiseptif (allodynia), dan perubahan respon aliran
darah lokal. Dari segi elektrofisiologi, beberapa penelitian menemukan adanya aktivitas listrik
spontan yang berasosiasi dengan meningkatnya endplate potentials dan pelepasan asetilkolin
yang berlebihan pada MTrPs. Selain itu, MTrPs juga dapat menginduksi perubahan pola
aktivasi otot normal sehingga menyebabkan disfungsi motorik (Vernon & Schneider, 2009).
NYERI LEHER 126

Jika NMS tidak ditangani segera, maka MTrPs dapat menjadi sebuah fokus iritatif dan
akan mengirim impuls nyeri secara persisten dan berlebihan melalui neuron-neuron
sensorisnya ke medula spinalis. Stimulus nyeri yang berlebihan dapat memfasilitasi pelepasan
neurotransmiter nosiseptif disertai dengan penurunan ambang terhadap aktivasi sinaptik,
amplifikasi, dan persepsi nyeri. Keadaan ini disebut dengan spinal segemental sensitisation.
Kondisi ini akan mempengaruhi komponen sensoris, motorik, dan sklerotomal dari segmen
medula spinalis yang hiperaktif tersebut (Daniel dkk., 2003).
NMS juga ditengarai akibat peningkatan kadar asetilkolin. Stres pada otot baik pada
trauma akut ataupun penggunaan otot yang berlebihan akan menyebabkan iskemia dan
hipoksia. Hal ini berakibat pada kerusakan fiber otot, peningkatan pelepasan kalsium, deplesi
energi, dan pelepasan sitokin yang menyebabkan nosisepsi otot dan menimbulkan referred
pain. Iskemia dan hipoksia juga meningkatkan kadar asam dan menghambat aktivitas
asetilkolinesterase. Kadar asam merangsang pelepasan dari calcitonin gene related peptide
(CGRP). Keadaan ini meningkatkan kadar asetilkolin yang berakibat pada meningkatnya
miniature end plate potential (MEPP) yang berakibat pada kontraksi sarkomer dan
menimbulkan taut band. Definisi dari taut band adalah daerah di dalam otot skeletal yang
konsistensinya bertambah keras dan menjalar di sepanjang otot tersebut paralel terhadap
arah dari serat otot. Nyeri terlokalisir di dalam taut band dikenal sebagai MTrPs (Hong, 2006).

Gejala Klinis
Gambaran utama dari sindrom nyeri miofasial adalah adanya nyeri atau nyeri tekan
yang terlokalisir pada satu otot atau regio tertentu, dengan pola nyeri menjalar yang unik dan
stereotipik (Lowe, 2004). Palpasi dari otot tersebut menunjukkan fokus yang hiperiritatif,
yang menyebar dan berada dalam struktur yang dikenal dengan taut band (Hong, 2006).
Sejalan dengan referred pain, efek eksitatori sentral juga dapat dirasakan oleh pasien
(Phillips, 2012). Ketika hiperalgesia sekunder muncul, biasanya akan terjadi peningkatan
sensitivitas ketika kulit kepala disentuh. Beberapa pasien akan mengatakan rambutnya terasa
nyeri atau terasa sakit saat menyisir rambutnya (Yap, 2007). Ko-kontraksi merupakan kondisi
lain yang berhubungan dengan nyeri miofasial. Titik nyeri pada bahu atau otot servikal dapat
menghasilkan ko-kontraksi pada otot mastikasi (Daniel dkk., 2003). Jika hal ini berlanjut, nyeri
pada otot mastikatori dapat muncul. Penatalaksanaan pada otot mastikatori tidak akan
NYERI LEHER 127

menghilangkan keluhan karena MTrPs berasal dari servikospinal dan otot bahu (Yap, 2007;
Daniel dkk., 2003).
Efek autonomik juga dapat muncul (Phillips, 2012). Hal ini dapat menyebabkan gejala
klinis seperti mata kering dan perubahan vaskular. Terkadang konjungtiva dapat menjadi
merah, bahkan mungkin terjadi perubahan mukosa yang memproduksi sekret nasal yang
mirip dengan alergi (Phillips, 2012). Kunci untuk menentukan apakah efek autonomik
berhubungan dengan efek eksitatori sentral atau reaksi lokal adalah unilateral atau bilateral
(Hong, 2006). Efek eksitatori sentral pada area trigeminal jarang melewati garis tengah. Maka
efek autonomik akan bersifat unilateral dan berada pada sisi yang sama dengan nyeri (Phillips,
2012).
Oleh karena itu, gejala klinis nyeri miofasial umumnya berhubungan dengan efek
eksitatori sentral yang dihasilkan oleh MTrPs dan MTrPs tersebut sendiri (Phillips, 2012). Otot
dengan MTrPs biasanya didapatkan disfungsi struktural yang disebut dengan stiff neck (Hong,
2006).
Beberapa studi juga mendapatkan bahwa adanya MTrPs berhubungan dengan
beberapa kondisi nyeri lainnya, seperti migrain, tension-type headache, kelainan
temporomandibula, nyeri leher dan bahu, epicondylalgia, carpal tunnel syndrome, low back
pain, nyeri pelvis, dan sindrom whiplash (Fernandez dkk, 2007; Vernon & Schneider, 2009).

Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk MTrPs masih diperdebatkan. Namun, menurut Fernandez, dkk
(2007), setidaknya ada tiga kriteria diagnostik minimum (1-3) dan 6 kriteria konfirmatif (4-9)
dari MTrPs, yaitu (Fernandez dkk., 2007):
1. Adanya taut band dalam otot rangka saat palpasi.
2. Adanya daerah hipersensitif di dalam taut band.
3. Reproduksi sensasi nyeri alih dengan stimulasi daerah tersebut.
4. Adanya local twitch response (LTR) dengan palpasi cepat dari taut band.
5. Terdapatnya jump sign.
6. Pengakuan pasien terhadap elicited pain.
7. Pola referred pain yang terprediksi.
8. Kelemahan otot atau kekakuan otot.
NYERI LEHER 128

9. Nyeri dengan peregangan atau kontraksi dari otot bersangkutan.


Umumnya tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis
NMS, diagnosis dapat ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan radiologis sering hanya
menunjukkan perubahan yang tidak spesifik dan biasanya tidak membantu dalam
menegakkan diagnosis NMS (Phillips, 2012; Travel & Simons, 1992).
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membantu dalam mengevaluasi kelainan
yang signifikan dalam struktur tulang leher atau kanal spinalis. Diskus servikal juga dapat
dievaluasi. Jika ada rasa nyeri di bahu atau dinding dada, harus disadari bahwa nyeri viseral
dapat menghasilkan nyeri pada daerah-daerah ini dan perlu dievaluasi lebih lanjut (Travel &
Simons, 1992).
Pemanfaatan elektromiogram pada NMS masih kontroversial. Beberapa penelitian
menemukan manfaat yang berarti, namun beberapa penelitian lainnya menemukan aktivitas
listrik yang non spesifik (Phillips, 2012). Studi yang dilakukan oleh Simons mendapatkan
adanya potensial aksi amplitudo rendah yang tercatat pada MTrPs. Aktivitas listrik spontan
ternyata dapat dideteksi dengan menggunakan rekaman bersensitivitas tinggi pada lokasi
MTrPs tersebut. Aktivitas listrik spontan ini dianggap merupakan suatu jenis endplate (Travel
& Simons, 1992).

Gambar 47. Skematik dari taut bands, myofascial trigger points, dan local twich response
(Phillips, 2012).
NYERI LEHER 129

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan NMS meliputi terapi fisik, injeksi MTrPs, terapi stretch-and-spray, dan
kompresi iskemik. Injeksi toksin botulinum juga telah digunakan, namun manfaatnya masih
diteliti lebih lanjut (Phillips, 2012; Travel & Simons, 1992).
Terapi fisik bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan otot yang bekerja sebagai
unit fungsional. Terapi fisik ini akan mengurangi rasa sakit pada NMS. Pendekatan berbasis
modalitas digunakan dalam terapi fisik yang dilakukan bersamaan dengan teknik miofasial
release dan pemijatan. Peregangan servikal dan stabilisasi leher merupakan bagian integral
dari pendekatan berbasis modalitas ini. Pelatihan postural secara berulang sangat penting
dalam NMS, mengingat postur yang buruk merupakan salah satu penyebab nyeri myofascia
ini. Evaluasi ergonomis dapat dipertimbangkan apabila pengaruh lingkungan kerja besar
terhadap kejadian NMS tersebut (Phillips, 2012).
Selain terapi fisik dan olahraga, injeksi dari MTrPs merupakan salah satu cara yang
sudah banyak digunakan dalam terapi NMS(Gambar 2) [Phillips, 2012]. Injeksi MTrPs
umumnya dilakukan dengan pemberian anestesi lokal, namun tusukan jarum kering juga
dilaporkan memiliki efektivitas yang sama (Phillips, 2012; Lee dkk., 2008).

Gambar 48. Injeksi MTrPs.

Palpasi datar untuk melokalisasi dan menahan trigger point untuk dilakukan injeksi.
(A) dan (B) menunjukkan menekan 2 jari secara bergantian untuk mengkonfirmasi lokasi dari
modul trigger point yang dapat teraba. (C) menunjukkan trigger point diposisikan di tengah
antara ujung jari agar tidak geser ke sisi lain selama injeksi (Phillips, 2012).
NYERI LEHER 130

Kompresi iskemik juga dapat dilakukan dengan melibatkan aplikasi tekanan


berkelanjutan pada MTrPs. Kompresi dilakukan dengan sebelumnya menempatkan otot
dengan MTrPs pada posisi yang teregang sepenuhnya. Tekan dengan kuat daerah dengan
MTrPs dengan ibu jari. Kemudian secara bertahap tekanan ditingkatkan sehingga rasa sakit
berkurang (Phillips, 2012).
Stretch and spray adalah metode lain yang digunakan untuk mengobati rasa nyeri pada
NMS. Teknik ini dilakukan dengan dengan menggunakan semprotan vapocoolant yang
disemprotkan pada otot yang terkena setelah ditempatkan dalam keadaan peregangan pasif.
Peregangan pada taut band dapat mengurangi tegangan otot dan meningkatkan sirkulasi
lokal. Semprotkan vapocoolant ke daerah sekitar MTrPs dan area yang mengalami nyeri alih
ditekan secara paralel ke arah yang sama. Beberapa penulis merekomendasikan melakukan
penyemprotan vapocoolant terlebih dahulu, kemudian peregangan pasif otot dengan MTrPs,
dan kemudian mengulangi penyemprotan pada otot yang sudah diregangkan (Phillips, 2012).
Terapi injeksi toksin botulinum telah menuai pendapat yang beragam dalam literatur.
Injeksi langsung botulinum toksin ke titik pemicu dilaporkan menghasilkan hasil yang tidak
konsisten. Penggunaan terbaik dari botulinum toksin mungkin untuk memperbaiki
biomekanik abnormal yang memicu munculnya respon myofascia (Harden, 2008; Jabbari,
2008; Jeynes, 2008).
Berbagai analgetik juga dapat digunakan dalam pengobatan, seperti obat anti-inflamasi
nonsteroids (OAINs), antidepresan trisiklik, relaksan otot, analgesik non-narkotik dan
antikonvulsan. Jika gambaran klinis berupa nyeri kronis disertai gangguan tidur,
pertimbangkan penggunaan antidepresan trisiklik (TCA). Relaksan otot, meskipun biasanya
diberikan untuk mengobati nyeri otot, harus digunakan dengan hati-hati karena efek
penenangnya dan dalam beberapa kasus terjadi potensiasi adiktif (Phillips, 2012).
Analgesik opioid seperti tramadol juga dapat digunakan untuk nyeri myofascia servikal.
Tramadol adalah opioid lemah dan penghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di cornu
dorsalis. Penelitian menunjukkan efektifitas tramadol ketika digunakan untuk mengobati
fibromyalgia, meskipun penelitian spesifik manfaatnya untuk nyeri miofasial servikal belum
ada. Tramadol dikenal dalam membantu mengatasi nyeri punggung dan nyeri osteoartritis
kronis, yang keduanya sering dikaitkan dengan nyeri miofasial (Phillips, 2012).
NYERI LEHER 131

Antikonvulsan dapat digunakan sebagai analgesik neuropatik, karena nyeri miofasial


mungkin diakibatkan oleh kelainan tulang belakang yang dimediasi disfungsi neuropatik.
Gabapentin telah terbukti efektif dalam mengobati nyeri myofascia dan neuropatik.
Gabapentin merupakan membrane stabilizer. Gabapentin adalah analog struktural dari
neruotransmiter inhibisi, gamma-aminobutyric acid (GABA). Gabapentin tidak memiliki efek
pada reseptor GABA, namun melalui subunit α2δ1 dan α2δ2 pada kanal kalsium. Hal ini akan
bermanfaat untuk mengatasi rasa nyeri dan memberikan efek sedasi pada nyeri neuropatik
(Phillips, 2012).
Pasien yang mengalami nyeri miofasial servikal perlu diedukasi dengan baik mengenai
faktor-faktor yang mendasarinya atau masalah yang dapat menyebabkan nyeri dan
mengganggu mobilitasnya. Ahli terapi fisik dapat memberikan edukasi pada pasien tentang
kebiasaan latihan yang tepat dan memerintahkan mereka untuk melakukan program latihan
di rumah untuk peregangan dan rekondisi. Pasien juga dapat mengambil manfaat dari latihan
dan strategi khusus untuk meningkatkan kesadaran postural dan mekanika tubuh dengan
aktivitas sehari-hari. Jika ergonomi tempat kerja yang buruk berkontribusi pada kondisi
pasien, berikan instruksi tentang cara yang tepat untuk memodifikasi dan merubah keadaan
tempat kerja. Nyeri miofasial servikal adalah suatu kondisi yang dapat diobati jika pasien
diberikan edukasi tentang kondisi dan mengambil peran aktif dalam proses pemulihan
(Duyur, 2009; Phillips, 2012).

Prognosis
Pasien dengan NMS jika mendapatkan penatalaksanaan yang tepat (misalnya melalui
terapi fisik, terapi pijat, teknik strecth and spray, atau injeksi pada MTrPs), maka prognosisnya
umumnya baik (Phillips, 2012). Namun, kekambuhan masih dapat terjadi. Hal ini disebabkan
karena MTrPs tidak menghilang setelah pengobatan, namun hanya tidak aktif. Keadaan
patologis tertentu dapat mereaktivasi MTrPs sehingga gejala NMS muncul kembali (Hong,
2006).

Ringkasan
NMS diperkirakan terjadi akibat penggunaan berlebihan atau trauma pada otot-otot
bahu dan leher. NMS disebabkan oleh adanya MTrPs pada otot-otot tulang belakang servikal
NYERI LEHER 132

yang menimbulkan nyeri alih. Secara umum penyebab dari NMS dibagi dua yaitu mekanik dan
ergonomik.
Pasien dengan NMS biasanya datang dengan nyeri yang difus pada daerah otot dan
sendi. Beberapa diantaranya juga mengeluhkan gangguan sensoris seperti rasa tebal dengan
distribusi yang khas. Tipe nyeri yang dirasakan umumnya tergantung dari jenis otot yang
terlibat. Pengobatan untuk NMS disamping dengan analgetik juga dengan melakukan terapi
fisik, injeksi trigger point, terapi stretch-and-spray, dan kompresi iskemik. Injeksi toksin
botulinum meskipun prosedur ini masih kontroversial. Prognosis nyeri miofasial servikal
umumnya baik dengan terapi yang tepat.

Daftar Pustaka
Daniels, JM, Ishmael T, Wesley RM, 2003, Managing Miofascial Pain Syndrome, Phys Sport
Med 31(10), pp. 39-45.

Duyur CB, Genc H, Altuntas V, dkk., 2009, Disability and Related Factors in Patients with
Chronic Cervical Miofascial Pain, Clin Rheumatol, 18(2), pp. 1-15.

Fernandez PC, Cuadrado ML, Arendt-Nielsen L, Simons DG, Pareja, JA, 2007, Myofascial
trigger points and sensitisation: an updated pain model for tension type headache,
Cephalgia, 27, pp. 383-93.

Harden RN, Cottrill J, Gagnon CM, dkk, 2008, Botulinum toxin A in the treatment of chronic
tension-type headache With cervical myofascial trigger points: a randomized, double-
blind, placebo-controlled pilot study, Headache, 10(1), pp. 1-13.

Hong CZ, 2006, Treatment of Myofascial Pain Syndrome, Curr Pain Headache Re, (10), pp.
345-349.

Jabbari B, 2008, Botulinum neurotoxins in the treatment of refractory pain, Nat Clin Pract
Neurol, 4(12), pp. 676-85.

Jeynes LC, Gauci CA, 2008, Evidence for the use of botulinum toxin in the chronic pain
setting--a review of the literature, Pain Pract, 8(4), pp. 269-76.

Kornelis AP, Mark FK, 2007, Managing Neck Pain: Evaluation and Treatment
Recommendations, Medical Progress, 34(4), pp. 1-13.

Lee SH, Chen CC, Lee CS, dkk, 2008, Effects of needle electrical intramuscular stimulation
on shoulder and cervical myofascial pain syndrome and microcirculation, J Chin Med Assoc,
71(4), pp. 200-6.
NYERI LEHER 133

Lowe JC, 2004, Miofascial Pain Syndrome (MPS). Tersedia pada URL:
http://www.clearpassage.com/what-we-treat/chronic-pain/miofascial-pain/ [Akses: 16 Februari
204].

Phillips D, 2012, Cervical Miofascial Pain. Tersedia pada: Medscape Reference. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/305937 [Akses: 16 Februari 2014]

Travell JG, Simons DG, 1992, Myofascial Pain and Dysfunction, vol 2. Baltimore, Md:
Lippincott Williams & Wilkins.

Turana Y, Gorge D, Wita JS, 2006 Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana pada Nyeri
Servikal, Majalah Kedokteran Daminnus, (2), pp. 23-29.

Vernon H, Schneider M, 2009, Chiropractic management of myofascial trigger points and


myofascial pain syndrome: a systematic review of the literatur, J Manipulative Physiol Ther,
32, pp. 14-24.
Yap EC, 2007, Miofascial Pain – an Overview, Annals Academy of Medicine 36(1), pp. 43-
48.
9 7 8 6 0 2 1 1 8 3 4 4 1
PUSTAKA BANGSA PRESS

You might also like