You are on page 1of 4

Name : Atifah Khoiriyah

Reg. Number : 1910732012


Course : Translation Project-Literary Text

Malin Kundang: A Disobedient child

Batang Arau, is a flowing river in the area of West Sumatra. In the dry season, there was not much
water. But in the rainy season, the overflowing river was unbearable.

A long time ago, in its estuary, there was a large fishing village. Most of the population was the fishing
families. Their life depended on the fishery products. They were not used to going to the rice fields or
farming.

One of them was a poor fishing family. Their income was just enough for fulfilling their food needs. They
had a son named Malin Kundang.

His parents loved their only child very much. Sometimes it’s too much. But, Malin Kundang was a
naughty child. His deed saddened his parents.

One morning, his mother sat weaving cloth in the living room. Malin Kundang secretly approached her
from behind and quickly grabbed her piston (a small tubular loom containing a skein of yarn), then
carried it away. But unfortunately, he tripped and then fell. The sharp piston pierced his forehead. He
returned to his mother while weeping. She immediately bandaged the wound on her son’s head. It
didn’t take long for the wound to heal, but the large scar still remained.

One day, the fisherman said to his son: “Hey Malin, there is a ship anchored at the estuary. The captain
of the ship is looking for crew members. Do you wanna join to learn?”

Yes, Malin Kundang agreed! Finally, his wish came true. How happy he was to see other people’s land.
Mingled with various nations and knew their customs.

Malin Kundang was accepted as the crew of the ship. Shortly thereafter, he learned. His parents
released him in tears; they were sad to part with their child.

It’s just two of them now. After Malin was gone, his parents never heard about him anymore. They were
very sad, but they were not hopeless.

Shortly after that, his father died. His wife lived alone in poverty. She was getting thinner and weaker,
she could barely work anymore. No one helped her make a living. She wanted to meet her son before
she died.

One day, Malin Kundang wanted to see his hometown he had left long time ago. Then what about his
parents? Were they still alive?

He sailed to Batang Arau. After getting there, the ship was anchored at the estuary. The villagers came
out of their house. They wanted to see the luxury foreign ship. That kind of ship rarely stopped there.
Who owned it?
They saw the captain of the ship. The old people there whispered?: “That’s Malin Kundang.” We
recognize the mark on his forehead. How dashing and handsome he is now. Look at the clothes! Only
wealthy people can wear it.

An elderly man walked fast to Malin Kundang’s mother’s house, “Ma’am.” He said breathlessly. “Your
son has returned home. Now he is rich. He has a very luxury ship. Go see your son!”

The woman wept with joy. Carrying a basket filled with rice, she went to the port. His son, who she had
been waiting for all the time, had now come. How would their meeting be?

To the crowd that surrounded the ship, she asked who the captain was. An old man pointed at her son.
Even though her vision had been blurry, she still could recognize her son. The mother got into the ship
and when she saw his son, she immediately hugged him.

However, Malin Kundang was ashamed to admit the old woman as his mother, because she was poor
and her clothes were dirty. Malin, a dashing and rich skipper, did not deserve to have a mother like her.
He didn’t want her to know him. He instructed one of his crews: “Get rid of that old woman! Why did
she come here? Tell her, her son is not here.”

His mother didn’t give up. The next day, she’s back again. She hoped her son would be conscious. Maybe
Malin Kundang was mistaken, that is why he didn’t recognize her. But, she was expelled again.

For the third time she tried again. This time, Malin Kundang himself kicked her out. “Go away from here”
he exclaimed. “What do you want from me? I don’t know you.

The old woman looked desperately at Malin Kundang and said: “Oh God, punish this disobedient child!”

Malin Kundang sailed back. Near Air Manis, slightly off the estuary of Batang Arau, a hurricane blew.
Malin Kundang was standing on the deck. He saw big and extreme waves rolling towards his ship. The
wind was blowing hard, as if getting angry because of Malin Kundang’s deed.

Now he just remembered his mother. At that moment, he realized how cruel he was in treating his
mother. God would punish him. With fear Malin Kundang knelt down and said: Mother, mother, forgive
me. I have sinned!” But the mother was far away. She did not hear her son’s moans.

The wind blew fiercely. The waves broke violently against the ship’s walls. The ship shook and rattled as
if about to break apart. The mast was broken, and then detached, until the ship was out of control again.
The ship that was once dashing now seems to be being toyed with by a big wave. For a moment it was
thrown to the left, and soon it was to the right.

The wave started to get into the ship, more and more. People on the ship screamed for help. Each of
them was trying to save himself. But in vain, soon the ship sank and all people in it sank as well. Big
waves threw the ship to the land. Here, he turned to stone. To this day, the stone is still there. That is
God’s reprisal.
Original Text (Bahasa Indonesia)

Batang Arau, sebuah sungai mengalir di daerah Sumatra-Barat. Dimusim kemarau airnya tak banyak.
Tetepi di musim hudjan berlimpah-limpah tak tertahan datangnya.

Dahulu dimuaranya ada sebuah kampung nelayan yang besar. Penduduknya sebagian besar terdiri dari
keluarga nelayan. Hidup mereka tergantung dari hasil penangkapan ikan. Ke sawah atau berladang
mereka tak biasa.

Diantaranya ada sebuah keluarga nelajan yang miskin. Penghasilannya cukup buat makan saja. Mereka
punya seorang anak laki2 namanya Malin Kundang.

Orang tuanya sangat sayang pada anak tunggalnya itu. Kadang- kadang berlebihan. Tetapi Malin
Kundang anak nakal. Kelakuannya sangat menjedihkan hati orang tuanya.

Suatu pagi ibunya duduk menenun kain diruang tengah rumah. Diam? Malin Kundang mendekatinya
dari belakang dan cepat-cepat ia ambil torak tenunan ibunja. Setelah dapat lalu dilarikannya. Tetapi
malang baginya, ia tertarung lalu jatuh. Torak yang tajam melukai keningnya. Sambil menangis ia
kembali pada ibunya. Segera dibalutnya luka dikepala anaknya. Tak lama luka itu sembuh, tetapi
bekasnya yang besar masih tertinggal.

Suatu hari berkatalah nelayan itu pada anaknya: “Hai Malin, ada sebuah kapal sedang berlabuh dimuara
sungai. Nakoda kapalnya mencari awak kapal. Kamu ingin ikut berlajar?”

Ya, itu yang disenangi Malin Kundang! Cita-citanya terkabul juga. Alangkah senangnya ia melihat-lihat
negeri orang. Bergaul dengan berbagai- bagai bangsa, mengetahui adat istiadanya.

Malin Kundang diterima sebagai awak kapal itu Tak lama kemudian berlajarlah ia. Orang tuanya melepas
dia dengan air mata bercucuran; mereka sedih berpisah dengan anak kesajangannya itu.

Pada suatu hari timbul keinginannya hendak melihat kampung halaman yang telah sekian lama
ditinggalkannya. Bagaimanakah dengan kedua orang tuanya? Masih hidupkah?

Ia berlayar menuju Batang Arau. Setelah sempai, kapalnya berlabuh dimuara sungai itu. Orang kampung
keluar dari rumahnya. Mereka ingin melihat kapal asing yang bagus itu. Jarang sekali kapal sebagus itu
singgah disana. Siapakah yang empunya?

Mereka melihat nahkoda kapalnya. Orang-orang tua yang ada disitu berbisik?: “Itu si Malin Kundang.”
Kita kenal akan tanda dikeningnya. Alangkah gagah dan tampannya ia sekarang. Lihatlah pakaianya!
Orang jang betharta saja dapat memakainya.

Seorang bapak yang telah landjut usianya berjalan cepat? Menuju rumah ibu si Malin Kundang, “Ibu.”
Katanya dengan terengah-engah. “Anakmu telah kembali pulang. Sekarang ia sudah kaya. Punya kapal
bagus sekali. Pergilah kau lihat anakmu!”

Perempuan itu menangis kegirangan. Dengan membawa bakul berisikan nasi bergegas ia berangkat
menuju ke pelabuhan. Anaknya yang selama ini diharapkannya sekarang datang. Bagaimanakah
pertemuan mereka itu kelak?
Kepada orang jang banyak yang mengelilingi kapal itu ia bertanyakan nahkodanya. Salah seorang tua
menunjuk anaknja. Si ibu meskipun matanya sudah rabun masih mengenali anaknya. Orang tua itu naik
ke kapal dan ketika ia melihat anaknya segera dipeluknya.

Tetapi Malin Kundang malu mengakui perempuan tua itu ibunya, karena miskin dan pakaiannya kotor.
Ia, nakoda gagah dan kaya, tak patut beribukan perempuan tua itu. Tak mau ia mengenalnya. Ia
perintahkan salah seorang awak kapalnya: “Usir perempuan tua itu! Mengapa ia datang kemari.
Katakan, anaknya tak ada disini.”

Ibunya tak lekas putus asa. Keesokan harinya ia kembali lagi. Ia mengharap anaknya sadar. Mungkin juga
Malin Kundang salah lihat, maka lupa padanja. Tetapi ia diusir lagi.

Untuk ketiga kalinya ibu tua itu mencoba pula. Sekali ini Malin Kundang sendiri mengusirnya. “Pergi dari
sini!” serunya. “Apa yang kau inginkan dari aku? Aku tak kenal kamu.

Perempuan tua itu melihat berputus asa pada Malin Kundang dan berkata: “Ya Tuhan, hukumlah anak
yang durhaka ini!”

Si Malin Kundang berlayar kembali. Dekat Air Manis, lepas sedikit dari muara Batang Arau bertiup angin
topan. Malin Kundang sedang berdiri diatas geladak. Ia melihat ombak besar dan dahsyat bergulung-
gulung menuju kapalnya. Angin bertiup dergan kencangaya, seakan-akan marah karena kelakuan si
Malin Kundang.

Sekarang baru ia ingat ibunya, Pada saat itu ia insyaf bagaimana jahatnya, ia memperlakukan ibunya.
Tuhan akan menghukumnya. Dengan ketakutan Malin Kundang berlutut dan berkata: Ibu, ibu,
ampunilah aku. Akn telah berdosa!” Tetapi ibunya jauh. La tak mendengar rintihan anaknja.

Angin bertiup kencang sekali. Ombak memecah dengan kerasnya pada dinding kapal. Kapal itu
bergojang dan berderak-derak seakan-akan hendak pecah. Tiang kapal patah, kemudian terlepas, hingga
kapal itu tak terkendalikan lagi. Kapal yang tadinya gagah, sekarang seakan-akan sabut dipermainkan
oleh gelombang besar. Sebentar dihempaskan kekiri,

Gelombang mulai masuk ke dalam kapal, semakin lama semakin banyak. Orang-orang di kapal berteriak
minta pertolongan. Masing-masing dari mereka mencoba menyelamatkan diri. Namun, sia-sia, segera
kapal itu tenggelam dan semua yang berada di dalamnya ikut tenggelam. Gelombang besar
melemparkan kapal ke daratan. Di sini, kapal itu berubah menjadi batu. Sampai saat ini, batu itu masih
ada. Itu adalah pembalasan dari Tuhan.

You might also like