You are on page 1of 120

Pengantar Hukum Pidana

AHMAD FIRMAN TARTA


ReFeReNsI
1. G.A. van Hamel, 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche Strafrecht,
Derde Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante ’s-Gravenhage.
2. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Zesde
Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia.
3. D. Simons, 1937, Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht, Tweede Deel, Zesde
Druk, P. Noordhoof, N.V. – Groningen – Batavia.
4. J.E. Jonkers, 1946, Handboek Van Het Nederlansch – Indische Strafrecht, E.J. Brill,
Leiden.
5. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk, Eerste
Deel Inleiding Boek I, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De
Grabbe – Arnhem.
6. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk,
Tweede Deel Inleiding Boek II, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het
Huis De Grabbe – Arnhem.
7. T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk, Derde
Deel Inleiding Boek III, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De
Grabbe – Arnhem.
8. H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk,
H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
9. D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse
Strafrecht, H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
10. J.M. van Bemmelen En W.F.C. van Hattum, 1953, Hand En Leerboek Van Het
Nederlandse Strafrecht, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Arnhem.
11. J.M. van Bemmelen En H. Burgersdijk, 1955, Arresten Over Strafrecht, Vijfde
Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
12. W.P.J Pompe, 1959, Hanboek Van Het Nederlandse Strafrecht, Vijfde Herziene
Druk, N.V. Uitgevers – Maatschappij W.E.J.Tjeenk Willink, Zwolle.
13. Ch.J. Enschede, 2002, Beginselen van Strafrecht, 10e druk, Kluwer Deventer.
14. Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka.
15. Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawab Dalam Hukum
Pidana, Pidato Diesnatalis Ke IV Universitas Gadjah Mada, Sitihinggil.
16. Moeljatno, 1985, Percobaan dan Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta.
17. Moeljatno, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.
18. Adam Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
19. Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
20. D.Schaffmeister, N.Keijzer, E.P.H. Sutorius, 1995, Hukum Pidana, diterjemahkan
oleh J.E. Sahetapy Liberty, Yogyakarta.
21. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Matrial Dalam
Hukum Pidana Di Indonesia, Alumni Bandung.
22. E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid I Penerbitan Universitas, Bandung.
23. E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana, Jilid II Penerbitan Universitas, Bandung.
24. Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting
Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
25. Ruslan Saleh,1981, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab Pidana, Penerbit
Aksara Baru, Jakarta.
26. Fraser Sampson, 2001, Blackstone’s Ploice Manual Crime, Blackstone Press
Limited.
27. Machteld Boot, 2001, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter
Jurisdiction of the International Criminal Court : Genocide, Crimes Against
Humanity, War Crimes, Intersentia, Antwerpen – Oxford – New York
28. Paul Bergman & Sara J. Berman – Barret, 2003, The Crimnal Law Handbook, 5th
edition, Nolo Law for All
Ilmu Hukum Pidana
1. Dalam artian sempit  bagian dari ilmu hukum
yang pada dasarnya mempelajari dan menjelaskan
perihal hukum pidana yang berlaku di suatu negara
(ius constitutum).X
2. Dalam arti luas  tidak terfokus pada norma yang
dilanggar saja tetapi juga membahas mengapa
terjadi pelanggaran atas norma-norma tersebut,
bagaimana upaya agar norma itu tidak dilanggar
dan mengkaji serta membentuk hukum pidana
yang dicita-citakan (ius constituendum)
Pengertian Hukum Pidana
• Bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur
ketentuan tentang :
1. Perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang disertai
ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan.
2. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana.
3. Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan.
Pembagian Hukum Pidana
1. Hukum Pidana Materiil & Hukum Pidana
Formil
2. Hukum Pidana Objektif & Hukum Pidana
Subjektif
3. Atas Dasar Pada Siapa Berlakunya Hukum
Pidana
4. Atas Dasar Sumber Hukum Pidana
5. Atas dasar Wilayah Berlakunya Hukum
Pidana
Hukum Pidana Materiil & Hukum Pidana
Formil
• Hukum pidana materiil  aturan hukum yang
bersifat melarang atau memerintahkan sesuatu
disertai dengan ancaman pidana  Hukum pidana
dalam keadaan diam
• Hukum pidana formil  aturan hukum untuk
menegakkan hukum pidana materiil  hukum acara
pidana atau hukum pidana dalam keadaan bergerak
Van Hamel  “…. Strafrecht omvat naar de
gangbare ondersheiding twee deelen, een materieel
en een formeel…”
Hukum Pidana Objektif & Hukum Pidana Subjektif

Hazewinkel Suringa  Strafrecht in deze objectieve zin, ook wel aangeduid als jus
poenale, omvat dan dus :
1. De geboden en verboden, aan wier overtrading door de daartoe wettelike
bevoegde organen straf is verboden, de normen, waaraan een ieder heeft te
gehoorzamen.
2. De voorschriften, die aangeven met welke middelen op overtreding dezer normen
mag worden gereageerd, het penintentaire recht of ruimer het recht der sacties.
3. De regelen, die tijdelijk en ruimtelijk de werkingssfeer der normen bepalen
(Hukum pidana objektif disebut juga jus poenale terdiri dari :
4. Perintah dan larangan yang pelanggaran terhadap larangan dan norma tersebut
diancam pidana oleh badan yang berhak.
5. Ketentuan-ketentuan mengenai upaya-upaya yang dapat digunakan jika norma itu
dilanggar disebut hukum penitentiaire tentang hukum dan sanksi.
6. Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma tersebut.)
• hukum pidana yang subjektif atau jus puniendi adalah hak negara untuk menuntut
pidana, hak untuk menjatuhkan pidana dan hak untuk melaksanakan pidana X
• Vos  Men kan het woord strafrecht bezigen in objectieve zin (jus
poenale) en in subjectieve zin (jus puniendi). Het jus poenale omvat de
objectieve rechtsregelen, die het strafrecht beheersen. Men kan dit jus
poenale weder onderverdelen in materieel en formeel strafrecht. Het
materiele strafrecht regelt de voorwaarden voor het ontstaan en te niet
gaan van het recht tot strafvordering, benevens de straffen (het z.g.
penitentiair recht) m.a.w. het regelt wanneer, wie en hoe gestraft wordt
(Hukum pidana terdiri dari objektif (jus poenale) dan subjektif (jus
puniendi). Jus poenale adalah aturan-aturan hukum objektif, yakni aturan
hukum pidana. Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang timbul
dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (hukum
penintentiair) aturan mengenai kapan, siapa dan bagaiman pidana
dijatuhkan.)
• Sedangkan hukum pidana subjektif atau jus puniendi adalah hak subjektif
penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana,
menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana. Secara tegas dinyatakan
oleh Vos, ”Het jus puniendi is het subjectieve recht van de overheid om te
straffen, omvattend, dus het recht om straf te bedreigen, straf op te
leggen en straf te voltrekken”
Atas Dasar Pada Siapa Berlakunya Hukum Pidana

1. Hukum pidana umum  hukum pidana yang


ditujukan dan berlaku untuk semua warga
negara dan tidak membeda-bedakan kualitas
pribadi tertentu.
2. Hukum pidana khusus  hukum pidana
yang dibentuk oleh negara dan dikhususkan
berlaku bagi subjek hukum tertentu saja.
Atas Dasar Sumber Hukum Pidana
1. Hukum pidana umum atau hukum pidana kodifikasi  terdapat dalam KUHP
2. Hukum pidana khusus  aturan pidana di luar KUHP yang masih dibagi lagi
menjadi :
1) Kelompk peraturan perundang-undangan hukum pidana
2) Kelompok peraturan perundang-undangn bukan hukum pidanaX

Van Hattum & van Bemmelen  “….. strafwet heeft men te verstaan, niet het
strafwetboek alleen, doch het geheel van Nederlandse strafrechtelijke
voorschriften, algemene of bijzondere, zoals die in de gecodificeerde en niet
gecodificeerde wetgeving worden aangetroffen. En wet is dan niet op te vatten
in de formele doch in de materiele zin “
(…..” pengertian undang-undang pidana, tidak hanya kitab undang-undang
pidana, tetapi juga seluruh undang-undang pidana Belanda yang tertulis, umum
maupun khusus, baik perundang-undangan yang dikodifikasi ataupun tidak
dikodifikasi. Undang-undang di sini tidak hanya dalam pengertian formal tetapi
juga dalam pengertain materiil “
Atas dasar Wilayah Berlakunya
Hukum Pidana

1. Hukum pidana nasional  hukum pidana


yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku
di seluruh wilayah hukum negara
2. Hukum pidana lokal  hukum pidana yang
dibentuk oleh pemerintah daerah dan
berlaku di wilayah hukum pemerintah
daerah tersebut
Fungsi Hukum Pidana
• Vos  ”..... het starfrecht zich richt tegen min of meer
abnormale gedragingen
• Secara Umum Mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpeliharanya
ketertiban umum.X
• Secara khusus :
1. Melindungi kepentingan hukum
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka
menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam
menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum.
Tujuan Hukum Pidana
1. Klasik  Melindungi anggota masyarakat
dari tindakan yang sewenang-wenang
Markies van Becaria  “Dei delitte edelle
pene” Kasus Jean Calas te Toulouse
terhadap anaknya Mauriac Antonie Calas
2. Modern Melindungi masyarakat dari
kejahatan.
Dasar Pijakan
• Aliran Klasik :
1. Asas legalitas
2. Asas kesalahan
3. Pidana sebagai pembalasan
• Aliran Modern
1. Memerangi kejahatan
2. Memperhatikan disiplin ilmu lain
3. Ultimum remidiumX
Tujuan Pidana

1. Teori Pembalasan  Teori


Absolut
2. Teori Tujuan  Teori Relatif
3. Teori Gabungan
Teori Pembalasan
• ”Subjectieve vergilding is vergelding van de schuld
van de dader, vergelding naar mate van het
verwijt, .......; objectieve vergelding is vergelding naar
mate van dat, wat de dader door zijn toedoen....”
• (”Pembalasan subjektif adalah pembalasan
kesalahan pelaku, pembalasan terhadap pelaku yang
tercela, .......; pembalasan objektif adalah
pembalasan terhadap perbuatan, perbuatan apa
yang telah dilakukan oleh pelaku.....”)
• KANT stelt de straf als eis van ethiek ; de practische rede eist onvoorwaardelijk, dat op het
misdrijf de straf volgt........
• HEGEL : de misdaad is een negatie van het recht, dat wezenlijk is ; de misdaad heeft dus slecht
een schijnbestaan, dat dan weer door de straf wordt opgeheven.......
• HERBART : de overgolden misdaad mishaagt. Het is dus een eis van aesthetische
noodwendigheid, dat de dader een gelijk quantum leed ondervindt als hij heeft doen lijden.
Hier speelt vermoedelijk de objectieve vergelding een belangrijke rol .
• STAHL stelt de straf als eis van goddelijke gerechtigheid : de overheid als vertegenwoordigster
van God op aarde heeft die goddelijke gerechtigheid tot gelding te brengen. Aan deze theorie
ligt m.i. de idee der subjectieve vergelding ten grondslag : men straft de dader om zijn
zedelijke schuld

(KANT mengatakan pidana adalah etik ; praktisnya adalah suatu ketidak adilan, oleh karena
itu kejahatan harus dipidana.
HEGEL : kejahatan adalah pengingkaran terhadap hukum ; kejahatan tidak nyata
keberadaannya, dengan penjatuhan pidana kejahatnnya dihapus........
HERBART : Kejahatan yang tidak dibalas tidak disenangi. Tuntutan yang harus dipenuhi bahwa
pelaku mengalami beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita. Di sini
rupanya pembalasan objektif memegang peranan penting
STAHL menyatakan pidana adalah keadilan tuhan. Penguasa sebagai wakil tuhan di dunia
harus memberlakukan keadilan tuhan di dunia. Dasar teori ini menurut pendapat saya,
pikiran pembalasan subjektif. Kita menjatuhkan pidana terhadap pelaku karena kesalahan
pelaku berdasarkan kesopanan) X
Teori Tujuan
• Relatieve theorieen. Deze zoeken de rechtsgrond van de straf in de handhaving der
maatschappelijke orde en bijgevolg is het doel der straf preventie der misdaad......
• De generale-preventie-gedachte wil de straf doen dienen om in het algemeen ieder
van het begaan van delicten terug te houden.........
• Een nieuwe gedachte van generale preventie is die van Von Feuerbach (+ 1800),
wel genoemd de theorie van de ”psychologische Zwang”.........

Teori relatif. Mencari dasar hukum pemidanaan dalam penegakan ketertiban


masyarakat dan tujuan pidana untuk mencegah kejahatan......
Prevensi umum, pidana ditujukan kepada umum agar setiap orang tidak lagi
melakukan kembali kejahatan-kejahatan.......
Suatu hal baru dari prevensi umum oleh Von Feuerbach dikenal dengan istilah
teori psychologische Zwang........
• In de theorieen der speciale preventie dient de straf
om de dader zelf voortaan van het begaan van
delicten terug te houden. Dit doel kan worden bereikt
door afschrikking, hetzij door verbetering hetzij door
onschadelijkmaking

(Dalam teori prevensi khusus, pidana terhadap


pelaku agar yang bersangkutan tidak lagi mengulangi
kembali kejahatan yang ia lakukan. Pidana bertujuan
untuk menakutkan atau memperbaiki atau
melenyapkan jika tidak bisa lagi diperbaiki)
Teori Gabungan
• ”.....de derde groep, de verenigingstheorieen. Hier vindt men een
combinatie van de gedachten der vergelding en der bescherming van de
maatschappelijke orde

(”..... kelompok ketiga adalah teori gabungan. Di sini terdapat suatu


kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat)

• Men kan als uitgangspunt de vergelding nemen en deze dan beperken in


die zin, dat niet verder mag worden gegaan dan voor de handhaving der
rechtsorde nodig is

(Mengambil titik berat pada pembalasan dan maksud sifat pembalasan itu
dibutuhkan untuk melindungi ketertiban hukum)
• Ook Zevenbergen’s theorie is meer een verenigingstheorie dan een zuivere vergeldingsleer :
hij zegt, dat het wezen der straf vergelding is, maar het doel bescherming der rechtsorde,
omdat namelijk door de straf het respect voor recht en overheid hersteld en behouden wordt.
Hij eist dan ook niet per se straf; zij is slechts ultimum remedium
(Teori Zevenbergens juga adalah teori gabungan dengan ajaran pembalasan : Ia mengatakan
sifat pidana adalah pembalasan, tetapi bertujuan melindungi tertib hukum, karena respek
terhadap hukum dan penguasa. Pada hakekatnya pidana adalah suatu ultimum remedium)

• Men gaat uit van de bescherming der maatschappij als doel........


Simons. Hij stelt voorop de generale preventie, in de strafbedreiging gelegen, en subsidiair –
waar de strafbedreiging blijkbaar voor de dader niet voldoende was – speciale preventie,
bestaande in afschrikking, verbetering en onschadelijkmaking

(Menitikberatkan pada perlindungan masyarakat sebagai tujuan.....


Simons. Ia menyatakan prevensi umum terletak pada pidana yang diancamkan, dan subsider
– sifat dari pidana terhadap pelaku – prevensi khusus, menakutkan, memperbaikin dan
melenyapkan.)

• ”..... dat de straf tegelijk voldoet en aan de eis van vergelding en aan die der
maatschappelijke bescherming
”..... Pidana menitikberatkan sama pada pembalasan dan perlindungan masyarakat.
Tiga masalah
Pokok
Hukum pidana

kesalahan/
PERBUATAN PERTANGGUNG PIDANA
JAWABAN
• Prof. Moeljatno, S.H.
– perbuatan pidana dan pertanggungan jawab
dalam hukum pidana adalah laksana dua
mercusuar yang memancarkan sinarnya di
atas samudra yang gelap dan berbahaya.
Jika ada bahtera akan berlayar menuju
pangkalannya, dan mengharapkan sampai di
situ dengan selamat dan bahagia, maka dua
pangkal sinar tersebut harus selalu diawasi
dan diikuti, sebab jika tidak, bukan
kebahagiaan yang akan dialami, bahkan
kesengsaraan dan kesewenang-wenangan"
(1969: 32-33).
Kesalahan/ Pertanggungjawaban Pidana

Dipidananya seseorg tidaklah cukup apabila org telah


melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum/
bersifat melawan hukum. Untuk pemidanaan masih perlu
adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan, dengan kata lain orang tersebut harus
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Pasal 36 RUU KUHP (2012)
Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada
seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena
perbuatannya itu.
 Dalam Hukum Pidana berlaku asas “Tiada
Pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder
schuld/ Keine Strafe Ohne Schuld)  Asas ini
blm tercantum dlm pertrn per-UU-an HP Ind., ttp
tlh dirmskan dlm konsep RUU KUHP).
 Asas Geen straf zonder schuld memp
sejarahnya sendiri:
Pertama hukum pidana hanya melihat pada
perbuatan dan akibatnya saja  Tatstrafrecht
Perkembangan berikutnya mulai memperhatikan
pada orangnya/ pembuat  Taterstrafrecht tanpa
meninggalkan Tatstrafrecht.
Hukum pidana pada saat ini berorientasi pada
perbuatan, akibat dan pembuatnya/ orang  Tat-
Taterstrafrecht / Dad-Daderstrafrecht
Kesalahan dalam tradisi Common Law system

 Unsur kslhn sbg syarat penjthn pid di negara


Anglo Saxon  common law system tampak dlm
makzim (asas) “Actus non facit reum, nisi
mens sit rea” atau  suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika
pikiran orang itu jahat, disingkat “Mens rea” (evil
mind, evil will, guilty mind).

 Mens rea mrpkn subjective guilt yg mlkt pd


pembuat.  tetapi di Inggris mengenal “strict
liability” yg berarti bhw pada bbrp tindak pidana
ttt, atau mengenai unsur ttt pada suatu delik tak
diperlukan adanya mens rea.
Beberapa Pendapat Tentang Kesalahan.

• Mezger :Kslhn adlh kslrhn syarat yg mbr dasar


u/ adanya pencelaan pribadi thd si pembuat.
• Simons : Sbg dasar u/ pertgjwbn dlm HP ia
berupa keadaan psychis dari si pembuat dan
hub-nya thd perbuatannya dan dlm arti bhw
berdsrkan keadaa psychis (jiwa) itu perbutnnya
dpt dicelakan kpd si pembuat.
• Van Hamel: Kesalahan dlm suatu delik mrpkan
pengertian psychologis, perhubungannya antara
keadaa jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-
unsur delik krn perbtn-nya. Kesalahan adlh
pertgg-jwban dlm hkm.
• Van Hattum: Pengertian kesalahan yg paling
luas memuat semua unsur dlm mana seseorg
dipertg-jwbkan mnrt HP thd perbtn yg mlwn hkm,
meliputi semua hal, yg bersifat psychis yg terdpt
dlm keseluruhan berupa strafbaar feit termasuk
si pembuatnya.
• Pompe: tidak merumuskan kesalahan, tetapi
menjelaskan bhw pada pelanggaran norma yg
dilkkn krn kesalahannya, biasanya sifat mlwn
hkm itu mrpkn segi luarnya. Yg bersifat mlwn
hkm itu adlh perbtn-nya. Segi dlmnya yg
bertalian dgn kehendak si pembuat adlh
kesalahan.
Apa yang terkandung dalam kesalahan ?

• Vos:
– Kemampuan bertanggungjawab
– Hubungan bathin pembuat terhadap perbuatan dalam
bentuk kesengajaan atau kealpaan;
– Tidak terdapat alasan yang menghapus
pertanggujngjawaban pembuat;
• Mezger:
– Kemampuan bertanggungjawab;
– Adanya bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan;
– Tak ada alasan penghapus kesalahan.
• Pompe
– Menambah adanya unsur pencelaan
Macam-macam Alasan Penghapus Pidana

Alsn
KUHP Di Luar UU Penghapus Pid
Putatief

Hak org tua/ guru


Hak yg timbul dari pekerjaan
Zaakwarneming
Alsn Penghapusan
Tdk ada sifat mlwn hk materiil
Penuntutan
1. Tidak mampu bertanggungjawab
2. Daya Paksa (overmacht)
3. Pembelaan Terpaksa
1. Tdk penuhi Pasal 2-8
4. Menjalankan UU 2. Ps 61,63  penerbit
5. Melaksanakan Perintah Jabatan 3. Tdk ada pengaduan
pd delik aduan;
Org mengira tlh berbuat sesuatu dlm daya paksa/ 4. a.Terdakwa meninggal
Pembelaan darurat/ menjalankan UU/ perintah jbtn b. Ne bis in idem
c. Daluwarsa
padahal setelah pemeriksaan diketahui tdk ada
d. shicking
alasan tsb.
Masalah kesalahan dapat-tidaknya pembuat
dipertanggungjawabkan berhubungan dangan kebebasan kehendak

• Aliran indeterminis (penganut indeterminisme).: manusia memp.


kehendak bebas dan ini merupakan sebab dr segala keputusan
kehendak; tanpa ada kebebasan kehendak, maka tidak ada
kesalahan; apbl tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan,
shg tidak ada pemidanaan.

• Aliran determinis (penganut determinisme): manusia tdk memp.


kehendak bebas. Keputusan berbuat sesuat di dasarkan pada
watak / nafsu yang datang dari luar. Namun meskipun tdk memp.
kehendak bebas, tak berarti org yg melkkn perbtn pid. tdk dpt
dipertg-jwbkan. Justru karena tidak adanya kehendak bebas
maka ada pertg-jwbn dari seseorg atas perbtn-nya, hanya saja
reaksi thd perbt-nya berupa tindakan u/ ketertiban, dan bukannya
pidana dlm arti “penderitaan sbg buah hasil dari kesalahan
pembuat”

• Adanya kesalahan tidak perlu dihubungkan dengan ada / tidak


adanya kehendak bebas. Hubungan itu tidak relevan.
Kemampuan Bertanggungjawab

Di dlm KUHP tdk ada satu pasal pun yg mbrkan


pengertian mampu bertgjwb. Oki pengertian ini
banyak tergantung pd ilmu pengethn.
• Pasal 44
– Barang siapa melakukan perbtn yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu jiwanya karena penyakit, tidak
dipidana
– Perlu konstatasi keadaan jiwa cacat/ tdk dapt
dipertanggungjawabkan oleh psychiater;
– Perlu ada hubungan kausal antara perbuatan dengan
keadaan jiwa cacat  ditetapkan oleh hakim
Mampu Bertanggungjawab
• Van Hamel:
1. Bhw org mampu menginsyafi arti perbtnnya (makna dan
akibatnya).
2. Org mampu menginsyafi perbtn-nya itu berttgn dgn kttbn masyrkt.
3. Bhw or mampu menentukan kehendaknya thd perbtn itu.
• Simons:
1. Orng mampu menginsyafi perbtnnya yg bersifatmlwn hkm;
2. Sesuai dg penginsyafan itu dpt menentukan kehendaknya
• MvT (menentukan scr negatip):
Tdk mampu bertanggung jawab adlh :
1. Dlm hal org tdk diberi kebebasan memilih antara berbuat/ tdk
berbuat u/ apa yg o/ UU dilarang/ diperintahkan.
2. Dlm hal org ada dlm keadaan ttt shg tdk dpt menginsyafi perbtn-
nya bertentangan dgn hkm, dan tidak mengerti akibat perbtn-nya.
• Van Hamel:
1. Bhw org mampu menginsyafi arti perbtnnya (makna dan
akibatnya).
2. Org mampu menginsyafi perbtn-nya itu berttgn dgn kttbn
masyrkt.
3. Bhw or mampu menentukan kehendaknya thd perbtn itu.
• Simons:
1. Orng mampu menginsyafi perbtnnya yg bersifatmlwn hkm;
2. Sesuai dg penginsyafan itu dpt menentukan kehendaknya
• MvT (menentukan scr negatip):
Tdk mampu bertanggung jawab adlh :
1. Dlm hal org tdk diberi kebebasan memilih antara berbuat/ tdk
berbuat u/ apa yg o/ UU dilarang/ diperintahkan.
2. Dlm hal org ada dlm keadaan ttt shg tdk dpt menginsyafi perbtn-
nya bertentangan dgn hkm, dan tidak mengerti akibat perbtn-nya.
Metode Menentukan Tidak Mampu Bertanggung Jawab

1. Metode biologis:
apbl psikiater tlh menyatakan seseorg sakit jiwa, mk
ia tdk dpt dipidana.
2. Metode psikologis:
menunjukkan hub antara keadaan jiwa yg abnormal
dgn perbuatnnya. Metode ini mementingkan akibat
jiwa thd perbtn-nya shg dpt dikatakan tdk mampu
bertg-jwb dan tdk dpt dipidana.
3. Metode biologis-psikologis:
di samping memperhatikan keadaan jiwanya, kmdn
keadaan jiwa ini dipernilai dgn perbuatannya u/
dinyatakan tdk mampu bertg jwb.
KUHP menganut metode gabungan (biologis-
psikologis)
Tidak mampu bertanggung jawab sebagian
• Ada penyakit jiwa yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan untuk sebagian;
– Keleptomania
penyakit jiwa yang berujud dorongan yang kuat dan
tak tertahan untuk mengmbil barang milik orang lain
– Pyromania
penyakit jiwa berupa kesukaan membakar sesuatu
tanpa alasan;
– Clausthropobie
penyakit jiwa berupa ketakutan berada di ruang yang
sempit;
– Waham Kebesaran
penyakit jiwa merasa dirinya sebagai orang yang
besar/ mempunyai kedudukan tinggi
Keragu-raguan menentukan mampu
bertanggung jawab
Ada dua Pendapat:
• Terdakwa tetap dipidana .
– Kemampuan bertanggungjawab harus selalu
dianggap ada pada setiap orang, kecuali
terbukti sebaliknya (pendirian Pompe)
• Terdakwa tidak dipidana
– Dalam hal ada keragu-raguan,harus diambil
keputusan yang menguntungkan terdakwa
(asas in dubio proreo).
Kesengajaan dan Kealpaan

• Unsur kedua dari kesalahan adalah hubungan


batin antara si pembuat terhadap perbuatan
yang dapat berupa sengaja atau alpa.
Kesengajaan
• Apa yg dimaksud dgn sengaja KUHP tidak
memberi definisi. MvT mengartikan
kesengajaan (opzet) sbg “menghendaki
dan mengetahui (willens en wetens)
• Berhubung dgn keadaan batin org yg
berbuat dgn sengaja berisi menghendaki
dan mengetahui itu, dlm ilmu pengthn.
timbul dua teori:
1.Teori Kehendak (wilstheorie) kesengajaan adalah kehendak
u/ mewujudkan unsur-unsur delik dlm rumusan UU
2.Teori Pengetahuan/ membayangkan (voorstellings-theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan menimbulkan akbt dari
perbutnnya; org tak bisa menghendaki akbt, melainkan hanya
dpt membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yg
dibayangkan o/ pembuat.
• Terhadap perbtn yg dilakukan pembuat kedua teori ini tak ada
perbedaan, keduanya mengakui bahwa dlm kesengajaan hrs
ada kehendak u/ berbuat.
Corak kesengajaan.

Maksud :
Orang menghendaki perbuatan beserta akibatnya.
contoh: menempeleng seseorang agar orang itu sakit
sehingga tidak berbohong.
• Kepastian:
dhi. perbuatan mempunyai 2 akibat yi. akibat yg memang
dituju oleh si pembuat dan akibat yg tidak diinginkan ttp
mrpkn suatu keharusan u/ mencapai tujuan no. 1 (akibat ini
pasti terjadi)
Contoh: kasus Thomas Alexander Keith mengirim barang melalui
kapal dari Bremerhaven ke New York yang dipasang Bom
Waktu dengan harapan memperoleh asuransi.
• Kemungkinan:
dlm hal ada keadaan ttt yg semula mungkin akan terjadi,
kmdn ternyata benar-benar terjadi.
Contoh : mengirim kue taart yang diberi racun, tetapi yang
memakan bukan orang yang dituju.
Kesengajaan yang diobjektipkan

• Dlm keadaan konkrit sangat sulit bagi hakim u/ menentukan


sikap batin terdakwa berupa kesengajaan/ kealpaan ada pada
pembuat. Apbl org menerangkan dgn jujur sikap batinnya, mk
tdk akan menemui kesulitan, ttp apbl terdakwa tidak jujur, mk
sikap batinnya hrs disimpulkan dari keadaan lahir yg tampak
dari luar. Jadi dlm banyak hal hakim hrs mengobjektipkan
adanya kesengajaan itu.
• Contoh: menembakkan pistol dalam jarak 2 meter. Tidak
mungkin penembak menyatakan hanya ingin melukai . Disini
perbuatan diobyektifkan berupa kesengajaan untuk
membunuh.
Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna
(kleurloos).
Persoalan:
• Apakah u/ adanya kesengajaan itu si pembuat hrs menyadari bhw
perbtnnya itu bersifat melawan hukum ?
• Mengenai hal ini ada dua pendapat:
1. sifat kesengajaan itu berwarna: adanya kesengajaan diperlukan sya-rat
bahwa pembuat menyadari perbtn-nya itu dilarang kesengajaan senantiasa
berhub. dgn dolus malus (dlm kesengajaan ter-simpul adanya kesadaran
mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan)
• Keberatan terhdp pendirian kesengajaan itu berwarna ialah
memberikan beban yg berat bagi PU u/ membuktikan
adanya kesengajaan.
2. tidak berwarna: U/ kesengajaan cukup bhw si pembuat menghendaki
perbuatan itu. Di sini tidak diperlukan apakah ia tahu bhw perbtn itu
dilarang.
Rumusan kesengajaan dlm KUHP
Dirumuskan dengan istilah bermacam-macam:
“dengan sengaja”  Ps. 245, 247, 333, 338,
“ padahal mengetahui ” / diketahui  204, 279,
“ yang ia ketahui ”  480
“ dengan maksud ”  362
“ dengan tujuan yg ia ketahui ”  310
Jenis kesengajaan

• Dolus generalis kesengajaan yg ditujukan kepada org banyak,


mis. melempar bom ditengah kerumunan
• Dolus indirectus mlkkn perbuatn yg dilarang, ttp muncul
akibat lain yg tidak dikehendaki
• Dolus determinatus kesengajaan yg ditujukan pada tujuan ttt
(perbt/ akibat)
• Dolus indeterminatus kesengajaan yg ditujukan kpd
sembarang org
• Dolus alternativus kesengajaan yg dilkkn seseorang dgn
menghendaki akibat yang muncul adalah salah satu dari
beberapa kemungkinan.
• Dolus premiditatus kesengajaan yg tlh dipertimbangkan
dengan sungguh-sungguh
• Dolus repentinus kesengajaan dgn sekonyong-konyong.
Dwaling

• Suatu kesengajaan dapat terjadi karena salah faham atau kekeliruan (melakukan perbuatan
pidana dengan sengaja karena kekeliruan). Bentuk dari kekeliruan ini ada beberapa macam:

• Feitelijke-dwling:
– Suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur
perbuatan pidana. Ex. Seseorang membeli brg, dikira brg itu sudah menjadi miliknya,
kmdn brng itu dipretheli, shg sudah tidak seperti aslinya, padahal beralihnya brg itu
masih hrs diikuti dgn pembayaran lainnya. Dhi tidak dpt dikenai Psl 406 KUHP.
• Rechts-dwaling:
– Melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang o/ UU. Dhi
dibedakan menjadi 2, yi kekeliruan yg dpt dimengerti, dan kekeliruan yg tdk dpt
dimengerti
• Eror in persona:
– kekeliruan mengenai org yg hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
• Eror in objecto:
– kekeliruan mengenai objek yg hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
• Aberratio ictus:
– Kekeliruan yang timbul disebabkan karena berbagai sebab, sehingga akibat yang timbul
berbeda/ berlainan dari yang dikehendaki
KEALPAAN
(CULPA, RECKLESSNESS, NEGLIGENCE)
Tiga masalah
Pokok
Hukum pidana

kesalahan/
PERBUATAN PERTANGGUNG PIDANA
JAWABAN

Hub bathin dalam


Kemampuan bertang- Tidak ada alasan peng
bentuk kesengajaan
gung jawab hapus kesalahan
dan Kealpaan

Bhw org mampu menginsyafi arti


perbtnnya (makna dan akibatnya).
Org mampu menginsyafi perbtn-nya
itu berttgn dgn kttbn masyrkt.
Bhw or mampu menentukan
kehendaknya thd perbtn itu.
• Di samping sikap batin berupa
kesengajaan ada pula sikap batin yang
berupa kealpaan.
• Akibat ini timbul karena ia alpa, ia
sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati­
hati atau kurang penduga-duga.
• Perbedaannya dengan kesengajaan ialah
bahwa ancaman pidana pada delik-delik
kesengajaan lebih berat.
• Kealpaan merupakan bentuk kesalahan
yang lebih ringan dari pada kesengajaan,
tetapi bukan kesengajaan yang ringan.
Dalam KU.H.P. terdapat beberapa Ps. yang
memuat unsur kealpaan a.l:
• Ps. 188: karena kealpaannya menimbulkan
peletusan, kebakaran dst.
• Ps. 231 (4): karena kealpaannya si-penyimpan
menyebabkan hilangnya dan sebagainya barang
yang di sita.
• Ps. 359: karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang.
• Ps. 360: karena kealpaannya menyebabkan orang
luka berat dsb.
• Ps. 409: karena kealpaannya menyebabkan alat-
alat perlengkapan (jalan kereta api dsb.) hancur
dsb.
Apakah alasan pembentuk Undang-undang
mengancam pidana perbuatan yang mengandung
unsur kealpaan di samping unsur kesengajaan ?

Menurut M.v.T. adalah sebagai berikut :


"ada keadaan, yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian
besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga
Undang-undang juga bertindak terhadap
kekurangan penghati-hati, sikap sembrono
(teledor).
Pengertian Kealpaan.
Hazewinkel - Suringa.
• IImu pengeth hk dan jurisprudensi mengartikan 'schuld' (kealpaan), sbg:
1. kekurangan penduga-duga atau
2. kekurangan penghati-hati.

Van Hamel
• Kealpaan mengandung dua syarat :
1. tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Simons :
Pada umumnya "schuld" (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1. tidak adanya penghati-hati, di samping
2. dapat diduganya akibat.

Pompe :
• Ada 3 macam yang masuk kealpaan (onachtzaamheid) :
1. dapat mengirakan (kunnen verwachten) timbulnya akibat.
2. mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid).
3. dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid).
Bagaimanakah menetapkan adanya kealpaan pada seseorang sehingga ia dapat dinyatakan bersalah atau dicela ?

– Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara
fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin
seseorang yang sesungguh­ sungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar
bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap batin orang
pada umumnya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pembuat itu.
– "Orang pada umumnya" ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat,
paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya. Ia harus orang biasa/ seorang ahli
biasa. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang
cukup besar, jadi harus ada culpa lata dan bukannya culpa levis (kealpaan
yang sangat ringan).
– Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari si-pembuat dapat digunakan
ukuran apakah ia "ada kewajiban untuk berbuat lain".
– Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-undang atau dari luar
Undang­undang, ialah dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang
seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang seharusnya
ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia
alpa. Undang-undang mewajibkan seorang untuk melakukan sesuatu atau
untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada
ketentuan bahwa "di persimpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu,
maka kendaraan dari kiri harus didahulukan".
Bagaimanakah apabila yang dilakukan oleh seorang
terdakwa dapat diterima oleh masyarakat, bahkan
mungkin sesuai dengan hukum ? apakah di sini ada
culpa atau tidak ?
• Tidak menjadi persoalan. Dhi perbuatannya tidak bersifat
melawan hukum.
• VOS: dalam delik culpa sifat melawan hukum telah
tersimpul di dalam culpa itu sendiri. "Memang culpa tidak
mesti meliputi dapat dicelanya si-pembuat, namun culpa
menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan
jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka
tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang
abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa. Dalam delik
culpoos tidak mungkin diajukan alasan pembenar 
rechtvaardigingsgrond
• Suatu kapal motor sungai diberi muatan terlalu penuh. Krani yg bertugas
mengurus dan mengawasi semua pengangkutan brng dan penumpang itu
dianggap bertanggung-jawab. Ia tlh mendpt tegoran dari pengawas kapal/
polisi yg bertugas, namun la tdk memperdulikannya, setidak-tidaknya tdk
mengambil tindakan yg tepat utk menghindarkan kesukaran-kesukaran yg
mungkin terjadi krn derasnya arus sungai.
• Stlh kapal berangkat, lalu miring, kemasukkan air dan tenggelam. Akibatnya 7
orang meninggal. Pengadilan negeri Pontianak menjatuhkan pidana 6 bulan
penjara atas diri Krani tersebut, "karena melakukan kjhtn krn kesalahannya
bbrp orang menjadi mati".
• Dlm tingkat banding, PT Jakarta menjatuhkan pidana 9 bulan penjara,
dgmemperbaiki dictumnya, shg berbunyi : "karena kealpaannya dlm mlkkn
pekerjaannya tlh mengakibatkan kematian bbrp orang".
• Wirjono Prodjodikoro: "bahwa juragan kapal itu dpt di ptgjwbkn atas
tenggelamnya kapal dan matinya orang-orang itu, sebab juragan itu juga tahu
hal terlalu berat muatannya, bahkan turut memperingatkan si Krani, ttp tidak
mencegahnya.
• A mengendarai sepeda motor pada waktu di atas jembatan yang
lebarnya 4 m ia menyusul orang yang berjalan kaki dengan arah yang
sama. Ketika hendak di­lampaui, orang ini justru menyimpang kekanan
sehingga terlanggar dan meninggal dunia. Apakah di sini terdakwa telah
berlaku sembrono dan kurang hati-hati.
• Berbeda dengan pendapat officier van Justitie, Politierechter
berpendirian bahwa dalam hal ini tidak ada kesembronoan atau
kekurangan hati-hati, dengan pertimbangan antara lain sbb.
1. lalu-lintas di jalan umum tidak menghendaki pengendara sepeda motor yang
hendak menyusul orang pejalan kaki yang berjalan kearah yang sama di sebelah
kiri, kira-kira 1 1/2 meter dari pagar jembatan yang lebarnya 4 meter itu, untuk
membunyikan klakson atau mengurangi kecepatan dalam hal ini tidak tinggi,
karena masih ada ruang cukup untuk di lalui sepeda motor itu ;
2. lalu-lintas di jalanan itu disesuaikan dengan pemakai jalan yang normal;
3. dari pengendara sepeda motor itu menurut akal sehat tidak dapat diharapkan
untuk bisa menduga, bahwa pejalan kaki itu tiba-tiba ber-reaksi secara keliru,
ialah ketika dilalui ia minggir kekanan jalan yang diperuntukkan bagi sepeda
motor itu.
R.v.J. memberi keputusan lepas dari segala tuntutan (onstslagvan
alle rechtsvervolging).

Hooggerechtshof yang memutuskan perkara itu dalam


tingkat banding berpendapat antara lain :
1. bahwa terlanggarnya pejalan kaki hingga mati itu bukanlah akibat dari
perbuatan terdakwa.
2. bahwa sebab dari terlanggarnya pejalan kaki itu dalam pemeriksaan di
sidang tidak jelas.

Oleh karena itu putusan Hooggerechtshof (H.G.H.)


berbunyi:
3. membatalkan keputusan Politierechter;
4. menyatakan kesalahan terdakwa atas apa yang dituduhkan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
5. oleh karena itu membebaskan terdakwa (vrijspraak).
• Ibu jari A luka sehingga perlu dipotong. Sebelum dipotong ibu jari harus
disuntik agar tidak merasa sakit. Tetapi pembantu dokter yang disuruh
dokter untuk mengisi mangkok dengan obat suntik (tutocaine) keliru
mengisinya dengan hydrochloras cocaine 0,5%. Akibat suntikan dengan
obat yang keliru ini, sang pasien meninggal dunia.
• Raad van Justitie berpendapat antara lain, bahwa perbuatan terdakwa
mengandung kealpaan, dokter tersebut seharusnya meneliti obat yang
akan disuntikkan; kalau tidak, maka ia berbuat atas risiko sendiri dan tidak
dapat melemparkan tanggung-jawabnya kepada orang yang
membantunya.
• Putusan : pidana bersyarat 3 bulan kurungan.
"pro parte dolus, pro parte culpa".

Contoh:
– Ps. 480 (penadahan)
– Ps. 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan penerbit).
– Ps. 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
• Istilah yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah
"diketahui" atau "mengerti" untuk kesengajaan dan
"sepatutnya harus di-duga" atau "seharusnya menduga"
untuk kealpaan.
• Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju
kepada salah satu unsur dari delik itu.
• Pada delik penadahan ditujukan kepada hal "bahwa barang
yang bersangkutan di­peroleh dari kejahatan".
Apakah kealpaan orang lain dapat meniadakan
kealpaan dari terdakwa ?
• Jawaban : tidak dapat
• putusan Politierechter Medan (LT.v.R. 149 halaman : 707). Terdakwa
sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari
menabrak grobag yang tidak memakai lampu. Pengendara grobag alpa,
tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
• Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar 4 orang
sekaligus yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak
boleh dilihat "kealpaan orang lain", akan tetapi tetap harus ditinjau ada
dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil. Apakah ia kurang hati-
hati dan kurang penduga-duga ? Bagaimana keadaan mobilnya ? Kalau
lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya.
Apabila lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang
yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan.
Persoalan kesalahan pada tindak pidana
pelanggaran.
• Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada
penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah
perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara
pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak
perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan.
• Apakah pada pelanggaran yang dirumuskan sedemikian itu, orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik berupa pelanggaran itu mesti dipidana ?
Apakah pada pelanggaran sama sekali tidak dihiraukan sikap batin si­pembuat ?
Kalau hal ini terjadi, maka berlakulah ajaran "fait materiel" (de leer van het
materiele feit - ajaran perbuatan materiil).
• Mengenai hal ini baik dikutip apa yang terdapat dalam M.v.T. (Smidt III halaman
175 - dikutip dari Hazewinkel-Suringa cetakan ke 51973, halaman 150), yang
kurang lebih berbunyi demikian :
– Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang
adanya kesengajaan, bahkan tentang adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu
memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/ tidak
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak?
• Pasal 2 Undang-undang Tindak Pidana
Ekonomi (Undang-undang No. 1 Drt. tahun
1955).
• Dalam hukum positif kita ada ketentuan yang
unik yang terdapat dalam Undang­undang
Tindak Pidana Ekonomi. Di sini sikap batin
pembuat dijadikan ukuran untuk menentukan
apakah sesuatu tindak pidana yang
dilakukannya itu berupa kejahatan atau
pelanggaran.
Alasan penghapus pidana

MVT KUHP Ilmu


Pengeth

Tidak dpt dipertggng


jwabkan berdsrkan
alsan yg terletak pda Alsn yg umum
diri orang itu  psl 44, (Pasal 44, 48-51) Alasan pembenar
masih terlalu muda.

Tidak dpt dipertggng


jwabkan berdsrkan
alsan yg terletak di Alsn yg khusus
luarv org itu  Pasl Alasan pemaaf
(Pasal 166, 221 ayat 2)
48 - 51

Alasan Pembenar: menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan  meskipun memenuhi


rumusan delik tidak dipidana  pembelaan terpaksan, melaksanakan perintah jabatan,
melaksanakan UU;
Alasan pemaaf: menghapus kesalahan si pembuat karena orang ini tidak dapat dicela  Psl
44, dengan etikad baik melaks perintah jabatan yang idak sah.
Definisi Alasan/Dasar Penghapus Pidana
(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)
 Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan
yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan
yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi
tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat
menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana
diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat
melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan
pembuat hapus karena adanya ketentuan undang undang
dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang
memaafkan pembuat. Jadi, dalam hal ini hak melakukan
penuntutan dari jaksa tetap ada, tidak hilang, namun
terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim.
• Dengan kata lain, undang-undang tidak melarang Jaksa
Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak
pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan
penghapus pidana. Oleh karena Hakimlah yang menentukan
apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada
tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya. Sementara
itu, dalam alasan penghapus penuntutan, undang-undang
melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke
sidang pengadilan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya
pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya
perbuatan pidana tersebut (Hakim tidak perlu memeriksa
tentang pokok perkaranya). Oleh karena dalam putusan
bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya sudah diperiksa
oleh hakim maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76
• Pasal 76 KUHPidana berbunyi:
(1) Kecuali dalam hal keputusan hakim masih boleh diubah lagi maka orang tidak
boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh
hakim negara Indonesia, dengan keputusan yang tidak boleh diubah lagi. Hal yang
dimaksudkan dengan hakim negara Indonesia ialah hakim dalam negeri yang
rajanya atau penduduk Indonesianya berhak memerintah sendiri; demikian juga di
negeri yang penduduk Indonesianya, dibiarkan memakai ketentuan pidana sendiri.
(2) Jika putusan itu berasal dari hakim lain maka penuntutan tidak boleh dijalankan
terhadap orang itu, oleh sebab perbuatan itu juga dalam hal:
1. Pembebasan atau pelepasan dari penuntutan hukuman.
2. Putusan hukuman dan hukumannya itu habis dijalankannya, atau mendapat
ampun atau hukuman itu gugur (tidak dapat dijalankan lagi karena lewat
waktunya).”
• Dengan adanya Pasal 76 KUHPidana ini maka setelah putusan itu
mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap perbuatan itu tidak dapat lagi
diajukan penuntutan untuk kedua kalinya. Berbeda halnya pada penetapan
hakim yang berisikan “penuntut umum tidak berwenang melakukan
penuntutan”, yang berarti bukan mengenai hal tindak pidana yang
didakwakan maka penetapan pengadilan ini tidak tunduk pada ketentuan
Pasal 76 KUHPidana. Dengan kata lain, masih dapat diajukan lagi tuntutan
untuk kedua kalinya dalam perkara tersebut.
• Di samping perbedaan yang disebutkan di atas, juga terdapat perbedaan
dalam hal melakukan perlawanan terhadap kedua putusan itu. Dalam hal
Jaksa Penuntut Umum tidak menerima putusan bebas atau putusan lepas
maka dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Sementara
itu, apabila Jaksa Penuntut Umum tidak menerima penetapan pengadilan
tentang jaksa tidak berwenang melakukan penuntutan maka dapat diajukan
perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi, tanpa mempermasalahkan
tentang pokok perkaranya.
• Dalam Alasan penghapus pidana kita
mengenal ada jenis yaitu
1. Alasan pembenar
2. Alasan pemaaf
3. Alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang yang
terletak pada diri orang tersebut.
4. Alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang yang
terletak di luar dari diri orang tersebut.
Alasan Pembenar
• Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan sehingga hal yang dilakukan
oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan
benar.
• Alasan pembenar dikenal juga: rechtvaardigingsgrond, fait
justificatif, rechtfertigungsgrund.
• Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya
tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada
pemidanaan
Contoh Alasan Pembenar
• Pasal 166
“Ketentuan Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika
pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya jika
pemberitahuan itu akan medatangkan bahaya penuntutan bagi
dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau
keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus
atau derajat kedua atau ketiga dari keturunan menyimpang bagi
suaminya (isterinya) atau bekas suaminya (isterinya) atau bagi
orang lain, yang kalau dituntut, boleh ia meminta supaya tidak
usah memberi keterangan sebagai saksi, berhubung dengan
jabatan atau pekerjaanya.”
• Pasal 166 KUHP ini berkaitan dengan Pasal 164 dan Pasal 165
yang memberikan ancaman pidana kepada seseorang yang
meskipun mengetahui akan terjadinya beberapa kejahatan
tertentu yang sangat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada
pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu
masih dapat di hindarkan atau dicegah. Sanksi pidana ini baru
dapat di jatuhkan apabila kemudian ternyata tidak pidana
yang bersangkutan benar-benar terjadi.
• Jadi menurut Pasal 166 KUHP, kedua pasal tersebut (Pasal 164
dan 165) tidak berlaku apabila si pelaku melakukan tindak-
tindak pidana itu untuk menghindarkan dari penuntutan
pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak keluarga
dalam keturunan lurus dan ke samping sampai derajat ketiga,
atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang
yang dalam perkaranya ia dapat dibebaskan dari kewajiban
memberi kesaksian di muka sidang pengadilan
Contoh Lain
• Pasal 186 ayat (1)
“Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu
tidak dapat di hukum”
• Pasal 314 ayat (1)
“Kalau orang yang dihinakan, dengan keputusan hakim yang sudah
tetap, telah di persalahkan melakukan perbuatan yang dituduhkan
itu maka tidak boleh dijatuhkan hukuman karena memfitnah.”
• Pasal 352 ayat (2) KUHP
“ Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum” Pasal
ini berkaitan dengan tindak pidana “penganiayaan ringan” Pasal
352 ayat (1), yang pelaku diancam dengan pidana. Akan tetapi,
dengan adanya ayat (2) pasal ini, maka percobaan melakukan
penganiayaan ringan tidak dapat di pidana; merupakan alasan
penghapus pidana.
Alasan Pemaaf
• Aasan Pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa.
• Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan
hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak
dipidana karena tidak ada kesalahan.
• Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan dikenal juga
dengan schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse,
entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund.
• Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa
orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan
lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan,
meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum.
• Jadi, ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat
sehingga tidak mungkin pemidanaan.
Contoh Alasan Pemaaf

• Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP


ialah Pasal 44 (tidak mampu bertanggung
jawab), Pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik
melaksanakan perintah jabatan yang tidak
sah).
• Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya/tidak mampu
bertanggung jawab ) Pasal 44 KUHPidana berbunyi :
a. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
b. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit
berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah
sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
c. Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
• Dalam Pasal 44 KUHPidana pembentuk undang-undang
membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya karena sakit jiwa atau
kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan.
• kewenangan untuk tidak menghukum pelaku
berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada hakim
(kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa
penuntut umum). Akan tetapi, dalam menentukan
apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah
akal, hakim harus menggunakan saksi ahli dalam bidang
ilmu kejiwaan (psikiatri).
• Psikiatrilah yang menentukan apakah pelaku memang
menderita sakit jiwa yang memang mempunyai
hubungan kausal/keterkaitan dengan hal yang telah
dilakukanya itu.
• Tetapi hal itu akan dikembalikan lagi ke hakim dalam
pengambilan ketupusan apakah menerima keterangan
psikiatrik atau tidak.
• Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa)
berbunyi : “Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh
sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak boleh di hukum”
• Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan yang dimaksudkan dengan
“paksaan” tersebut. Akan tetapi, menurut Memorie van Toelechting, maka
yang dimaksud dengan paksaan itu adalah (suatu kekuatan, suatu
dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan tidak dapat ditahan)
• Dengan demikian, tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan alasan
penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benar-benar tidak
dapat di lawan atau dielakkan lagi oleh pelaku sehingga oleh sebab adanya
paksaan itulah ia melakuakan tindak pidana. Dalam MvT dilukiskan
sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat
ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi
sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya
paksaan bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si
pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan”
menunjukkan bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si
pembuat untuk mengadakan perlawanan.
• Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam
dua hal :
1. vis absoluta (paksaan yang absolut).
2. vis compulsive (paksaan yang relatif).
• Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh
kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut
sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang
dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca sehingga
kaca pecah. Maka, orang yang pertama tadi tak dapat
dikatakan telah melakukan perusakan benda (Pasal 406 KUHP).
• Hal yang dimaksud dengan paksaan/daya paksa dalam Pasal 48
ialah daya paksa relatif (vis complusiva). Istilah “gedrongen”
(didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat
diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan.
(Moeljatno hanya menyebut “karena pengaruh daya paksa”).
• Contoh : A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan
pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh
B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan
kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada
paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk
mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya
untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan
menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak
menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap
paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi
sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan hal
yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk
akal, dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di
satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si
pembuat di lain pihak harus ada keseimbangan
Keadaan Darurat – Noodtoestand (Pasal 48 KUHP).
• Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum:
Contoh klasik : “papan dari carneades”
Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri
dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat
menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan
pada papan itu maka kedua-duanya akan tenggelam. Untuk
menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga
yang didorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut
(cerita ini berasal dari CICERO).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam
keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu
bertentangan dengan norma kesusilaan, namun menurut hukum
perbuatan ini karena dapat dipahami bahwa naluri setiap orang untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan
kewajiban hukum.
a. Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk
atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.
b. Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan
kacamatanya. Padahal pada saat itu menurut peraturan penutupan toko
sudah jam tutup toko sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan.
Namun, sipembeli itu ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat sehingga
betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan maka penjual
kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan
khususnya dalam keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap
putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa (opticien) tak dapat
dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima
oleh H.R (putusan tanggal 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan
darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk
menolong sesama (Arrest ini disebut Arrest optician).
3. Pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum :

a. Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan


atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang
bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) terjangkit
penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan,
sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar
sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua
penyakit dari para pasiennya. Disini dihadapkan pada dua kewajiban
hukum :
1. Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)
2. Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter

Ia memberatkan salah satu di sini, ia memilih tetap merahasiakan penyakit


pasiennya, jadi, ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan
tentara, ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding,
dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya karena ia ada dalam
keadaan darurat (putusan tanggal 26 November 1916).
b. Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang
bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua tempat,
VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya
memaksa dengan noodtoestand sebagai berikut :
Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat
berbuat atau tidak berbuat disebabkan satu tekanan
psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak
ada penentuan kehendak secara bebas. Ia dorong oleh
paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya,
sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak
ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada
dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau
mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran
terhadap undang-undang
c. Pasal 49 ayat 1 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan untuk membela diri ) berbunyi:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan
dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau
kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan
segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum” Dari bunyi pasal ini maka penghapusan
pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela/tubuh, kehormatan atau harta benda
sendiri atau pun orang lain.
2) Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat
itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan
mengacam, bukan perbuatan yang ditujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya
atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir.
3) Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benarbenar terpaksa atau
dalam kedaan darurat ; tidak ada pilihan lain(perlawanan itu memang suatu
keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut. Dengan
kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan adalah untuk membela hak
terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional /seimbang.
Dengan demikian, tidaklah dapat dibenarkan untuk melakukan perlawanan dengan
menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang hanya menggunakan
tangan kosong.
• Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tetapi hal ini tidak perlu asal
saja memenuhi -syarat seperti tersebut di atas. Contoh serangan yang tidak
merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju menyerbu seseorang,
mengambil catatan untuk difotokopi guna kepentingan majikannya tapi tidak
untuk dimiliki sendiri. Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah
ada serangan dan kapankah serangan itu berakhir?
• Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah maka perbuatan A tersebut,
yakni menunggu belum dapat dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada
dan kapan serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa, ialah: jika
dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah mengancam seketika dan langsung
berarti bahwa serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya
serangannya. Sebagai contoh: pembunuh dengan pisau terhunus menyerbu
korbannya.
• Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan akan
menembak lagi, tetapi B lalu membalas maka perbuatan b itu bukanlah
perbuatan pembelaan karena terpaksa karena terjadi serangan balasan.
Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan yang menyertai
perbuatan itu. Serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada
pembelaan darurat.
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ?

1) 1) Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara


kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan
kewajiban hukum. Dalam pembelaan darurat situasi darurat ini
ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi
secara sah, dengan perkataan lain dalamkeadaan darurat hak berhadapan
dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan
bukan hak.
2) dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam
pembelaan darurat harus ada serangan.
3) Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai
kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu
syarat-syarat sudah ditentukan secara limitatif (Pasal 49 ayat (1)). 4) Sifat
keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari para penulis yakni
ada yang berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan
pembenar, sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang
sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum.
HAL-HAL YG MENGGUGURKAN
PENUNTUTAN PIDANA
• Secara teori seseorang yg telah melakukan perbuatan
pidana pada dasarnya dapat dituntut dimuka
pengadilan.
• Dalam praktek, terdapat hal-hal menurut hukum hak
untuk melakukan penuntutan pidana menjadi gugur.
• Dalam KUHP terdapat 4 hal yg dapat menggugurkan
penuntutan pidana, ne bis in idem, terdakwa
meninggal dunia, daluarsa, dan penyelesaian perkara
diluar pengadilan.
Ne Bis In Idem
• Pasal 76 KUHP
• Bahwa tidak boleh suatu perkara dituntut 2 kali atas
perbuatan yg oleh hakim telah diadili dengan
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
• Putusan yg telah berkekuatan hukum tetap berupa :
putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala
tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging),
putusan pemidanaan (veroordeling).
• Tujuan dari dasar ini :
1. Memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat (jangan sampai pemerintah
berulang2 membicarakan peristiwa yg
sama, yg dapat mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap hukum)
2. Memberi kepastian hukum kepada
individu atau pelaku (pelaku di beri
ketenangan hati)
• Hakim yang dimaksud dalam pasal ini adalah
hakim di Indonesia, termaksud pula hakim
adatnya, maupun hakum dalam pengadilan
internasional
Terdakwa meninggal dunia
• Ketika terdakwa meninggal dunia, maka hal itu
dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan
penuntutan pidana.
• Penjatuhan pidana harus dijatuhkan kepada
pribadi orang yg melakukan perbuatan pidana.
• Jika orang meninggal dunia, maka penuntutan
pidana kepadanya menjadi gugur
• Pasal 77 KUHP
Daluarsa
• Latar belakang : adalah dikaitkan kemampuan
daya ingat manusia dan keadaan alam yg
memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau
tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian
• Atas dasar itulah para pembentuk UU memilih
1 kebijakan yakni kewenangan untuk
melakukan penuntutan pidana menjadi gugur
karena alasan daluarsa dengan tenggang waktu
tertentu.
• Daluarsa, berdasarkan Pasal 78 (1) KUHP ada 4
macam daluarsa yg didasarkan pada sifat perbuatan
pidana, antara lain :
1. Tenggang waktu bg kejahatan ataw pelanggaran
yg dilakuakn dgn percetakan adalah 1 tahun
2. Bg kejahatan yg diancam denda, kurungan atau
penjara paling lama 3 tahun adalah 6 tahun
3. Diancam pidana lebih 3 tahun adalah 12 tahun
4. Diancam pidana penjara seumur hidup atau mati
adalah 18 tahun
Penyelesaian perkara diluar pengadilan
• Ketentuan mengenai penyelesaian perkara di luar
pengadilan sebagai alasan yg menggugurkan penuntutan
pidana di atur dalam KUHP Pasal 82 ayat (1).
• Ketentuan dalam Pasal 82 ayat (1) sebagai alasan yg
menggugurkan penuntutan pidana hanya dimungkinkan
pada perkara tertentu, yaitu perkara pelanggaran yg hanya
diancam dengan pidana denda secara tunggal.
• Pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman
pidana denda beserta biaya lain yg harus di keluarkan
HAL-HAL YG DAPAT MENGGUGURKAN
PELAKSANAAN PIDANA
• Terdapat 3 hal yg dapat menggugurkan
pelaksanaan pidana yg diatur dalam KUHP.
• Terpidana meninggal dunia
• Daluarsa
• Grasi
1. Terpidana meninggal dunia, Pasal 83 KUHP menyatakan
bahwa kewenangan menjalankan atau melaksanakan
pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
2. Daluarsa, di atur dalam Pasal 84 KUHP :
1) Kewenangan menjalankan pidana hapus karena
daluarsa
2) Tenggang daluarsa mengenai semua pelanggaran
lamanya 2 tahun, mengenai kejahatan yg dilakukan
dengan sarana percetakan lamanya 5 tahun, dan
mengenai kejahatan2 lainnya lamanya = tenggang
daluarsa bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.
3) Wewenang menjalankan pidana mati tidak mungkin
daluarsa.
• Grasi, adalah wewenang kepala negara untuk
menghapuskan seluruh pidana yg telah
dijatuhkan hakim atau mengurangi pidana,
atau menukar hukum pokok yg berat dengan
suatu pidana yg lebih ringan.
• Ketentuan mengenai grasi di atur dalam UUD
45 Pasal 14
• Ketentuan Khusus diatur dalam UU No. 22
Tahun 2002
• Secara historis grasi merupakan hak raja,
sehingga dianggap sebagai anugrah yg dimiliki
raja.
• Saat ini grasi merupakan suatu alat untuk
menghapuskan sesuatu yg dirasakan tidak
adil, jika hukum yg berlaku mengakibatkan
timbulnya ketidakadilan
PIDANA DAN PEMIDANAAN
PIDANA :
 Pidana pada hakekatnya merupakan
pengenaan penderitaan, nestapa, atau akibat
akibat lain yg tidak menyenangkan.
 Pidana itu dikenakan dengan sengaja oleh
orang atau badan yg mempunyai kekuasaan
(lembaga yg berwenang)
 Pidana dikenakan terhadap orang yg telah
melakukan perbuatan pidana menurut UU
Jenis Pidana
• Pasal 10 KUHP terdiri pidana pokok dan pidana
tambahan.
• Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana
pokok di jatuhkan.
• Berlaku juga bagi delik yg tercantum di luar
KUHP, kecuali ketentuan UU itu menyimpang.
Pidana Mati
• Pidana yg paling tua.
• Bentuk pidana yg paling menarik untuk dikaji, krn memiliki nilai
kontradiksi yg paling tinggi.
• Di beberapa negara telah banyak menghapus pidana mati, sebaliknya
dengan indonesia. Semakin banyak delik yg diancam pidana mati.
• Pasal 271 KUHAP : pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum.
• UU No. 2 /PNPS/1964 : Pasal 1 pelaksanaan pidana mati dilakukan
dengan cara ditembak sampai mati. Pasal 10 ayat (1) di tembak oleh
regu brimob, 1 bintara, 12 tamtama dan 1 perwira. Pasal 7 : terpidana
hamil, eksekusi di tunda sampai 40 hari setelah melahirkan.
• RUU KUHP ; pidana mati bersifat istimewa, pidana mati bersyarat,
dapat di ubah.
• Pidana mati dalam KUHP ada 9 buah :
1. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wapres)
2. Pasal 111 ayat (2) : membujuk negara asing untk
bermusuhan/berperang, jika permusuhan itu
dilakukan atau berperang
3. Pasal 124 ayat (1) : membantu musuh waktu
perang
4. Pasal 124 bis KUHP : menyebabkan atau
memudahkan atau menganjurkan huru hara
5. Pasal 140 ayat (3) ; makar trhadap raja/presiden /
kepala negara sahabat yg direncanakan atau
berakibat mau
6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)
7. Pasal 365 ayat (4) : pencurian dengan
kekerasan yg menyebabkan luka berat atau
mati
8. Pasal 444 : pembajakan di laut yg
mengakibatkan kematian
9. Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2) :
kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana dan prasarana penerbangan.
Pidana Penjara
• Pidana penjara dikenal juga dengan istilah pidana
pidana pencabutan kemerdekaan, pidana
kehilangan kemerdekaan, pidana pemasyarakatan.
• Pidana penjara merupakan pembatasan kebebasan
bergerak dr seorang terpidana yg dilakukan dengan
menempatkan orang tersebut di sebuah LP, yg
menyebabkan orang tersebut harus menaati
semua tata tertib bagi mereka yg telah melanggar.
• Pidana penjara dewasa ini merupakan pidana
yg paling laris, dan jenis utama dari pidana
kehingan kemerdekaan.
• Dahulu kala : dalam sistem hukum indonesia
(hukum adat) penjara tidak begitu di kenal, yg
dikenal adalah pidana pembuangan, cambuk,
potong anggota badan, denda, ganti rugi.
• Penjara minimal 1 hari, maks 15 tahun, dan 20
tahun jika pemberatan serta seumur hidup.
Pidana Kurungan
• Salah satu tujuan pidana kurungan adalah
sebagai custodia simplex yaitu suatu
perampasan kemerdekaan untuk delik
pelanggaran. Custodia hunesta untuk delik yg
tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.
• Pidana kurungan tidak dijatuhkan kepada delik
dolus, kecuali pasal 483, 484 KUHP.
• Pidana kurungan pada hakikatnya lebih ringan dari
pada pidana penjara.
• Hal tersebut sesuai dengan stelsel pidana dalam Pasal
10 KUHP. Uruttan tertinggi memiliki hukuman yg lebih
berat.
• Terdapat 2 perbedaan antara kurungan dan penjara :
pertama : dalam hal pelaksanaan pidana. Terpidana yg
jatuhi pidana kurungan tidak dapat dipindahkan ke
tmpat lain diluar tmpat ia berdiam waktu
melaksanakan pidana kecuali atas permintaan
terpidana dan di setujui oleh Menkumham.
• Kedua : pekerjaan yg dibebankan dalam menjalani
pidana.
Pidana Denda
• Pidana denda merupakan pidana yg paling
dikenal didunia, sudah dikenal saat zaman
majapahit dikenal sebagai pidana ganti
kerugian.
• Pidana denda dijatuhkan terhadap delik2
ringan berupa pelanggaran atau kejahatan
ringan.
• Dalam KUHP pidana denda di atur dalam Pasal 30 dan
Pasal 31.
• Pasal 30 KUHP menyatakan :
1. Denda paling sedikit adalah 25 sen
2. Jika denda tidak di bayar, maka di ganti dengan
kurungan
3. Lamanya kurungan pengganti adalah paling singkat 1
hari dan paling lama 6 bulan
4. Jika terdapat pemberatan, kurungan pengganti
paling lama 8 bulan
5. Kurungan pengganti sekali kali tidak boleh melebihi
8 bulan.
• Pasal 31 KUHP
1. Orang yg dijatuhi denda, boleh segera menjalani
kurungan pengganti dengan tidak usah
menunggu sampai harus membayar denda itu.
2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan
pengganti jika membayar dendanya.
3. Pembayaran sebagian denda, baik sebelum
maupun sesudah menjalani kurungan
pengganti, membebaskan terpidana dari
sebagian kurungan bagian denda yg telah di
bayar
Pidana Tutupan
• Pidana tutupan merupakan jenis pidana yg
tercantum dalam KUHP berdasarkan UU 20
tahun 1946
• Pasal 2: dalam mengadili orang yg melakukan
kejahatan yg diancam dgn penjara, karena
terdorong oleh maksud yg patut di hormati,
hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
• Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yg
melakukan kejahatan yg disebabkan oleh
ideologi yg dianutnya.
• Namun demikian, dewasa ini dalam praktek
pidana tutupan tidak pernah diterapkan.
• Karena, hakim terikat oleh ketentuan hukum
yg ada, dimana ketentuan hukum yg ada tidak
mengatur ttg pelanggaran yg dilakukan
seseorang tidak menyebutkan sanksi yg
dikenakan adalah sanksi tutupan.
Pidana Tambahan
Pencabutan hak-hak tertentu
 Tidak berarti hak-hak terpiadana dapat
dicabut.
 Pencabutan tsb tidak meliputi pencabutan
hak2 kehidupan, hak2 sipil, dan hak2
ketatanegaraan.
 Pencabutan hak2 tertentu adalah suatu
pidana dibidang kehormatan.
• Dilakukan melalui dua cara
1. Tidak bersifat otomatis, tetapi harus
ditetapkan dengan putusan hakim.
2. Tidak berlaku selama hidup, tetapi
menurut jangka waktu menurut UU dgn
suatu putusan hakim.
Pasal 35 KUHP menyatakan Hak-Hak Tertentu yang
dapat dicabut

• Hak untuk memegang jabatan pada umumnya atau jabatan


tertentu
• Hak untuk memasuki angkatan bersenjata
• Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yg diadakan
berdasarkan aturan umum
• Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak
menjadi pengawas, pengampuh atas orang2 yg bukan anak
sendiri
• Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian
atau pengampuan atas anak sendiri
• Hak menjalankan pencaharian tertentu
Perampasan barang-barang tertentu
Ada 2 macam barang yg dapat di rampas :
1. Barang-barang yg didapat karena kejahatan
2. Barang-barang yg sengaja digunakan untuk
melakukan kejahatan.
Dalam hal ini berlaku ketentuan umum, yaitu
haruslah kepunyaan terpidana.

Dasar : Pasal 39 KUHP


Pengumuman Putusan Hakim
Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa apabila hakim
memeritahkan supaya diumumkan berdasarkan
kitab UU ini, maka harus ditetapkan pula
bagaimana cara melaksanakannya atas biaya
terpidana.
Sebenarnya semua putusan hakim sudah harus
diucapkan dalam sidang yg terbuka untuk
umum, tetapi sebagai hukuman tambahan,
putusan itu dengan istimewa disiarkan melalui
media.

You might also like