Professional Documents
Culture Documents
Hazewinkel Suringa Strafrecht in deze objectieve zin, ook wel aangeduid als jus
poenale, omvat dan dus :
1. De geboden en verboden, aan wier overtrading door de daartoe wettelike
bevoegde organen straf is verboden, de normen, waaraan een ieder heeft te
gehoorzamen.
2. De voorschriften, die aangeven met welke middelen op overtreding dezer normen
mag worden gereageerd, het penintentaire recht of ruimer het recht der sacties.
3. De regelen, die tijdelijk en ruimtelijk de werkingssfeer der normen bepalen
(Hukum pidana objektif disebut juga jus poenale terdiri dari :
4. Perintah dan larangan yang pelanggaran terhadap larangan dan norma tersebut
diancam pidana oleh badan yang berhak.
5. Ketentuan-ketentuan mengenai upaya-upaya yang dapat digunakan jika norma itu
dilanggar disebut hukum penitentiaire tentang hukum dan sanksi.
6. Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma tersebut.)
• hukum pidana yang subjektif atau jus puniendi adalah hak negara untuk menuntut
pidana, hak untuk menjatuhkan pidana dan hak untuk melaksanakan pidana X
• Vos Men kan het woord strafrecht bezigen in objectieve zin (jus
poenale) en in subjectieve zin (jus puniendi). Het jus poenale omvat de
objectieve rechtsregelen, die het strafrecht beheersen. Men kan dit jus
poenale weder onderverdelen in materieel en formeel strafrecht. Het
materiele strafrecht regelt de voorwaarden voor het ontstaan en te niet
gaan van het recht tot strafvordering, benevens de straffen (het z.g.
penitentiair recht) m.a.w. het regelt wanneer, wie en hoe gestraft wordt
(Hukum pidana terdiri dari objektif (jus poenale) dan subjektif (jus
puniendi). Jus poenale adalah aturan-aturan hukum objektif, yakni aturan
hukum pidana. Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang timbul
dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (hukum
penintentiair) aturan mengenai kapan, siapa dan bagaiman pidana
dijatuhkan.)
• Sedangkan hukum pidana subjektif atau jus puniendi adalah hak subjektif
penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana,
menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana. Secara tegas dinyatakan
oleh Vos, ”Het jus puniendi is het subjectieve recht van de overheid om te
straffen, omvattend, dus het recht om straf te bedreigen, straf op te
leggen en straf te voltrekken”
Atas Dasar Pada Siapa Berlakunya Hukum Pidana
Van Hattum & van Bemmelen “….. strafwet heeft men te verstaan, niet het
strafwetboek alleen, doch het geheel van Nederlandse strafrechtelijke
voorschriften, algemene of bijzondere, zoals die in de gecodificeerde en niet
gecodificeerde wetgeving worden aangetroffen. En wet is dan niet op te vatten
in de formele doch in de materiele zin “
(…..” pengertian undang-undang pidana, tidak hanya kitab undang-undang
pidana, tetapi juga seluruh undang-undang pidana Belanda yang tertulis, umum
maupun khusus, baik perundang-undangan yang dikodifikasi ataupun tidak
dikodifikasi. Undang-undang di sini tidak hanya dalam pengertian formal tetapi
juga dalam pengertain materiil “
Atas dasar Wilayah Berlakunya
Hukum Pidana
(KANT mengatakan pidana adalah etik ; praktisnya adalah suatu ketidak adilan, oleh karena
itu kejahatan harus dipidana.
HEGEL : kejahatan adalah pengingkaran terhadap hukum ; kejahatan tidak nyata
keberadaannya, dengan penjatuhan pidana kejahatnnya dihapus........
HERBART : Kejahatan yang tidak dibalas tidak disenangi. Tuntutan yang harus dipenuhi bahwa
pelaku mengalami beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita. Di sini
rupanya pembalasan objektif memegang peranan penting
STAHL menyatakan pidana adalah keadilan tuhan. Penguasa sebagai wakil tuhan di dunia
harus memberlakukan keadilan tuhan di dunia. Dasar teori ini menurut pendapat saya,
pikiran pembalasan subjektif. Kita menjatuhkan pidana terhadap pelaku karena kesalahan
pelaku berdasarkan kesopanan) X
Teori Tujuan
• Relatieve theorieen. Deze zoeken de rechtsgrond van de straf in de handhaving der
maatschappelijke orde en bijgevolg is het doel der straf preventie der misdaad......
• De generale-preventie-gedachte wil de straf doen dienen om in het algemeen ieder
van het begaan van delicten terug te houden.........
• Een nieuwe gedachte van generale preventie is die van Von Feuerbach (+ 1800),
wel genoemd de theorie van de ”psychologische Zwang”.........
(Mengambil titik berat pada pembalasan dan maksud sifat pembalasan itu
dibutuhkan untuk melindungi ketertiban hukum)
• Ook Zevenbergen’s theorie is meer een verenigingstheorie dan een zuivere vergeldingsleer :
hij zegt, dat het wezen der straf vergelding is, maar het doel bescherming der rechtsorde,
omdat namelijk door de straf het respect voor recht en overheid hersteld en behouden wordt.
Hij eist dan ook niet per se straf; zij is slechts ultimum remedium
(Teori Zevenbergens juga adalah teori gabungan dengan ajaran pembalasan : Ia mengatakan
sifat pidana adalah pembalasan, tetapi bertujuan melindungi tertib hukum, karena respek
terhadap hukum dan penguasa. Pada hakekatnya pidana adalah suatu ultimum remedium)
• ”..... dat de straf tegelijk voldoet en aan de eis van vergelding en aan die der
maatschappelijke bescherming
”..... Pidana menitikberatkan sama pada pembalasan dan perlindungan masyarakat.
Tiga masalah
Pokok
Hukum pidana
kesalahan/
PERBUATAN PERTANGGUNG PIDANA
JAWABAN
• Prof. Moeljatno, S.H.
– perbuatan pidana dan pertanggungan jawab
dalam hukum pidana adalah laksana dua
mercusuar yang memancarkan sinarnya di
atas samudra yang gelap dan berbahaya.
Jika ada bahtera akan berlayar menuju
pangkalannya, dan mengharapkan sampai di
situ dengan selamat dan bahagia, maka dua
pangkal sinar tersebut harus selalu diawasi
dan diikuti, sebab jika tidak, bukan
kebahagiaan yang akan dialami, bahkan
kesengsaraan dan kesewenang-wenangan"
(1969: 32-33).
Kesalahan/ Pertanggungjawaban Pidana
• Vos:
– Kemampuan bertanggungjawab
– Hubungan bathin pembuat terhadap perbuatan dalam
bentuk kesengajaan atau kealpaan;
– Tidak terdapat alasan yang menghapus
pertanggujngjawaban pembuat;
• Mezger:
– Kemampuan bertanggungjawab;
– Adanya bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan;
– Tak ada alasan penghapus kesalahan.
• Pompe
– Menambah adanya unsur pencelaan
Macam-macam Alasan Penghapus Pidana
Alsn
KUHP Di Luar UU Penghapus Pid
Putatief
1. Metode biologis:
apbl psikiater tlh menyatakan seseorg sakit jiwa, mk
ia tdk dpt dipidana.
2. Metode psikologis:
menunjukkan hub antara keadaan jiwa yg abnormal
dgn perbuatnnya. Metode ini mementingkan akibat
jiwa thd perbtn-nya shg dpt dikatakan tdk mampu
bertg-jwb dan tdk dpt dipidana.
3. Metode biologis-psikologis:
di samping memperhatikan keadaan jiwanya, kmdn
keadaan jiwa ini dipernilai dgn perbuatannya u/
dinyatakan tdk mampu bertg jwb.
KUHP menganut metode gabungan (biologis-
psikologis)
Tidak mampu bertanggung jawab sebagian
• Ada penyakit jiwa yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan untuk sebagian;
– Keleptomania
penyakit jiwa yang berujud dorongan yang kuat dan
tak tertahan untuk mengmbil barang milik orang lain
– Pyromania
penyakit jiwa berupa kesukaan membakar sesuatu
tanpa alasan;
– Clausthropobie
penyakit jiwa berupa ketakutan berada di ruang yang
sempit;
– Waham Kebesaran
penyakit jiwa merasa dirinya sebagai orang yang
besar/ mempunyai kedudukan tinggi
Keragu-raguan menentukan mampu
bertanggung jawab
Ada dua Pendapat:
• Terdakwa tetap dipidana .
– Kemampuan bertanggungjawab harus selalu
dianggap ada pada setiap orang, kecuali
terbukti sebaliknya (pendirian Pompe)
• Terdakwa tidak dipidana
– Dalam hal ada keragu-raguan,harus diambil
keputusan yang menguntungkan terdakwa
(asas in dubio proreo).
Kesengajaan dan Kealpaan
Maksud :
Orang menghendaki perbuatan beserta akibatnya.
contoh: menempeleng seseorang agar orang itu sakit
sehingga tidak berbohong.
• Kepastian:
dhi. perbuatan mempunyai 2 akibat yi. akibat yg memang
dituju oleh si pembuat dan akibat yg tidak diinginkan ttp
mrpkn suatu keharusan u/ mencapai tujuan no. 1 (akibat ini
pasti terjadi)
Contoh: kasus Thomas Alexander Keith mengirim barang melalui
kapal dari Bremerhaven ke New York yang dipasang Bom
Waktu dengan harapan memperoleh asuransi.
• Kemungkinan:
dlm hal ada keadaan ttt yg semula mungkin akan terjadi,
kmdn ternyata benar-benar terjadi.
Contoh : mengirim kue taart yang diberi racun, tetapi yang
memakan bukan orang yang dituju.
Kesengajaan yang diobjektipkan
• Suatu kesengajaan dapat terjadi karena salah faham atau kekeliruan (melakukan perbuatan
pidana dengan sengaja karena kekeliruan). Bentuk dari kekeliruan ini ada beberapa macam:
• Feitelijke-dwling:
– Suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur
perbuatan pidana. Ex. Seseorang membeli brg, dikira brg itu sudah menjadi miliknya,
kmdn brng itu dipretheli, shg sudah tidak seperti aslinya, padahal beralihnya brg itu
masih hrs diikuti dgn pembayaran lainnya. Dhi tidak dpt dikenai Psl 406 KUHP.
• Rechts-dwaling:
– Melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang o/ UU. Dhi
dibedakan menjadi 2, yi kekeliruan yg dpt dimengerti, dan kekeliruan yg tdk dpt
dimengerti
• Eror in persona:
– kekeliruan mengenai org yg hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
• Eror in objecto:
– kekeliruan mengenai objek yg hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
• Aberratio ictus:
– Kekeliruan yang timbul disebabkan karena berbagai sebab, sehingga akibat yang timbul
berbeda/ berlainan dari yang dikehendaki
KEALPAAN
(CULPA, RECKLESSNESS, NEGLIGENCE)
Tiga masalah
Pokok
Hukum pidana
kesalahan/
PERBUATAN PERTANGGUNG PIDANA
JAWABAN
Van Hamel
• Kealpaan mengandung dua syarat :
1. tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Simons :
Pada umumnya "schuld" (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1. tidak adanya penghati-hati, di samping
2. dapat diduganya akibat.
Pompe :
• Ada 3 macam yang masuk kealpaan (onachtzaamheid) :
1. dapat mengirakan (kunnen verwachten) timbulnya akibat.
2. mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid).
3. dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid).
Bagaimanakah menetapkan adanya kealpaan pada seseorang sehingga ia dapat dinyatakan bersalah atau dicela ?
– Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara
fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin
seseorang yang sesungguh sungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar
bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap batin orang
pada umumnya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pembuat itu.
– "Orang pada umumnya" ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat,
paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya. Ia harus orang biasa/ seorang ahli
biasa. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang
cukup besar, jadi harus ada culpa lata dan bukannya culpa levis (kealpaan
yang sangat ringan).
– Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari si-pembuat dapat digunakan
ukuran apakah ia "ada kewajiban untuk berbuat lain".
– Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-undang atau dari luar
Undangundang, ialah dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang
seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang seharusnya
ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia
alpa. Undang-undang mewajibkan seorang untuk melakukan sesuatu atau
untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada
ketentuan bahwa "di persimpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu,
maka kendaraan dari kiri harus didahulukan".
Bagaimanakah apabila yang dilakukan oleh seorang
terdakwa dapat diterima oleh masyarakat, bahkan
mungkin sesuai dengan hukum ? apakah di sini ada
culpa atau tidak ?
• Tidak menjadi persoalan. Dhi perbuatannya tidak bersifat
melawan hukum.
• VOS: dalam delik culpa sifat melawan hukum telah
tersimpul di dalam culpa itu sendiri. "Memang culpa tidak
mesti meliputi dapat dicelanya si-pembuat, namun culpa
menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan
jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka
tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang
abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa. Dalam delik
culpoos tidak mungkin diajukan alasan pembenar
rechtvaardigingsgrond
• Suatu kapal motor sungai diberi muatan terlalu penuh. Krani yg bertugas
mengurus dan mengawasi semua pengangkutan brng dan penumpang itu
dianggap bertanggung-jawab. Ia tlh mendpt tegoran dari pengawas kapal/
polisi yg bertugas, namun la tdk memperdulikannya, setidak-tidaknya tdk
mengambil tindakan yg tepat utk menghindarkan kesukaran-kesukaran yg
mungkin terjadi krn derasnya arus sungai.
• Stlh kapal berangkat, lalu miring, kemasukkan air dan tenggelam. Akibatnya 7
orang meninggal. Pengadilan negeri Pontianak menjatuhkan pidana 6 bulan
penjara atas diri Krani tersebut, "karena melakukan kjhtn krn kesalahannya
bbrp orang menjadi mati".
• Dlm tingkat banding, PT Jakarta menjatuhkan pidana 9 bulan penjara,
dgmemperbaiki dictumnya, shg berbunyi : "karena kealpaannya dlm mlkkn
pekerjaannya tlh mengakibatkan kematian bbrp orang".
• Wirjono Prodjodikoro: "bahwa juragan kapal itu dpt di ptgjwbkn atas
tenggelamnya kapal dan matinya orang-orang itu, sebab juragan itu juga tahu
hal terlalu berat muatannya, bahkan turut memperingatkan si Krani, ttp tidak
mencegahnya.
• A mengendarai sepeda motor pada waktu di atas jembatan yang
lebarnya 4 m ia menyusul orang yang berjalan kaki dengan arah yang
sama. Ketika hendak dilampaui, orang ini justru menyimpang kekanan
sehingga terlanggar dan meninggal dunia. Apakah di sini terdakwa telah
berlaku sembrono dan kurang hati-hati.
• Berbeda dengan pendapat officier van Justitie, Politierechter
berpendirian bahwa dalam hal ini tidak ada kesembronoan atau
kekurangan hati-hati, dengan pertimbangan antara lain sbb.
1. lalu-lintas di jalan umum tidak menghendaki pengendara sepeda motor yang
hendak menyusul orang pejalan kaki yang berjalan kearah yang sama di sebelah
kiri, kira-kira 1 1/2 meter dari pagar jembatan yang lebarnya 4 meter itu, untuk
membunyikan klakson atau mengurangi kecepatan dalam hal ini tidak tinggi,
karena masih ada ruang cukup untuk di lalui sepeda motor itu ;
2. lalu-lintas di jalanan itu disesuaikan dengan pemakai jalan yang normal;
3. dari pengendara sepeda motor itu menurut akal sehat tidak dapat diharapkan
untuk bisa menduga, bahwa pejalan kaki itu tiba-tiba ber-reaksi secara keliru,
ialah ketika dilalui ia minggir kekanan jalan yang diperuntukkan bagi sepeda
motor itu.
R.v.J. memberi keputusan lepas dari segala tuntutan (onstslagvan
alle rechtsvervolging).
Contoh:
– Ps. 480 (penadahan)
– Ps. 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan penerbit).
– Ps. 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
• Istilah yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah
"diketahui" atau "mengerti" untuk kesengajaan dan
"sepatutnya harus di-duga" atau "seharusnya menduga"
untuk kealpaan.
• Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju
kepada salah satu unsur dari delik itu.
• Pada delik penadahan ditujukan kepada hal "bahwa barang
yang bersangkutan diperoleh dari kejahatan".
Apakah kealpaan orang lain dapat meniadakan
kealpaan dari terdakwa ?
• Jawaban : tidak dapat
• putusan Politierechter Medan (LT.v.R. 149 halaman : 707). Terdakwa
sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari
menabrak grobag yang tidak memakai lampu. Pengendara grobag alpa,
tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
• Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar 4 orang
sekaligus yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak
boleh dilihat "kealpaan orang lain", akan tetapi tetap harus ditinjau ada
dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil. Apakah ia kurang hati-
hati dan kurang penduga-duga ? Bagaimana keadaan mobilnya ? Kalau
lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya.
Apabila lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang
yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan.
Persoalan kesalahan pada tindak pidana
pelanggaran.
• Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada
penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah
perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara
pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak
perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan.
• Apakah pada pelanggaran yang dirumuskan sedemikian itu, orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik berupa pelanggaran itu mesti dipidana ?
Apakah pada pelanggaran sama sekali tidak dihiraukan sikap batin sipembuat ?
Kalau hal ini terjadi, maka berlakulah ajaran "fait materiel" (de leer van het
materiele feit - ajaran perbuatan materiil).
• Mengenai hal ini baik dikutip apa yang terdapat dalam M.v.T. (Smidt III halaman
175 - dikutip dari Hazewinkel-Suringa cetakan ke 51973, halaman 150), yang
kurang lebih berbunyi demikian :
– Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang
adanya kesengajaan, bahkan tentang adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu
memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/ tidak
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak?
• Pasal 2 Undang-undang Tindak Pidana
Ekonomi (Undang-undang No. 1 Drt. tahun
1955).
• Dalam hukum positif kita ada ketentuan yang
unik yang terdapat dalam Undangundang
Tindak Pidana Ekonomi. Di sini sikap batin
pembuat dijadikan ukuran untuk menentukan
apakah sesuatu tindak pidana yang
dilakukannya itu berupa kejahatan atau
pelanggaran.
Alasan penghapus pidana