Professional Documents
Culture Documents
Penyusun:
Antonius H. Pudjiadi
Abdul Latief
Novik Budiwardhana
Diterbitkan oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
ISBN 978-979-8421-69-3
Sambutan Ketua Umum
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Puji syukur ke hadirat Yang Maha Kuasa, buku ajar Pediatri Gawat Darurat edisi pertama dapat
diselesaikan pada KONIKA XV tahun 2011 ini. Sekalipun masih jauh dari sempurna, penerbitan
buku ini kami wujudkan juga mengingat kebutuhannya yang mendesak.
Penyusunan buku ini telah melalui masa waktu yang amat panjang. Perkembangan ilmu
yang demikian pesat memaksa kami melakukan revisi berulang-ulang sebelum penerbitan. Asupan
dari disiplin ilmu yang bersinggungan juga amat kami cermati. Edisi pertama ini tersusun atas
sembilan bagian yang meliputi dua puluh sembilan bab yang tersusun mulai dari konsep Pediatri
Gawat Darurat hingga aplikasi klinis pada berbagai gangguan sistem serta beberapa prosedur
penting di Pediatric Intensive Care Unit.
Kami harapkan buku ini dapat digunakan sebagai salah satu panduan dalam
meningkatkan kemampuan dokter anak Indonesia dalam bidang Pediatri Gawat Darurat,
selain kepustakaan lain serta berbagai pelatihan yang selama ini telah dilaksanakan secara
berkesinambungan.
Kepada seluruh penulis dan berbagai pihak yang telah bekerja keras mendukung
penerbitan ini, atas nama Unit Kerja Koordinasi Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, kami ucapkan banyak terima kasih.
Sejawat Yth,
Kehadiran Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat ini adalah hasil kerja keras dari teman sejawat
yang tergabung dalam Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pediatri Gawat Darurat. Pemilihan topik
pada buku ini diprioritaskan pada kasus-kasus yang sering ditemui dalam praktek sehari-hari di
Pediatric Intensive Care Unit dan beberapa prosedur penting di PICU.
Setelah melalui proses revisi dan penyuntingan yang panjang, buku ini akhirnya berhasil kami
wujudkan. Format berupa newspaper atau 2 kolom pada buku ini berbeda dengan buku ajar
sebelumnya, sengaja kami pilih dengan harapan format ini lebih nyaman dibaca. Demikian juga
dengan Mutiara Bernas, suatu terminologi untuk merangkum hal-hal penting pada setiap bab,
merupakan buah pikir kami yang diharapkan dapat mempermudah pembaca untuk merangkum
intisari dari suatu bab. Satu kekhususan lagi dari Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat ini adalah
tulisan dari almarhumah DR. Dr. Tatty Ermin Setiati, Sp.A(K) mengenai bab Keseimbangan
Asam Basa dan Kristaloid dan Koloid. Dimuatnya tulisan ini memiliki nilai historis karena
ditujukan untuk mengenang karya beliau dan komitmennya yang amat kuat untuk
memajukan Pediatri Gawat Darurat di Indonesia.
Akhirnya saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada
para kontributor yang telah membagi pengalaman dan pengetahuannya sehingga buku ini
dapat diterbitkan. Terlepas dari kekurangan yang ada semoga buku ini bermanfaat bagi kita
semua dan untuk anak-anak Indonesia.
Penyunting
viii Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Daftar Isi
Daftar Kontributor
Abdul Latief Dzulfikar Djalil Lukmanul Hakim
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
FK Unpad/RSUP Hasan Sadikin
Jakarta
Bandung
Antonius H. Pudjiadi
Elisa
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Intensive Care Unit
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jogja International Hospital
Jakarta
Yogyakarta
Chairul Yoel
Enny Harliani Alwi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK USU/RSUP Dr. H. Adam Malik
FK Unpad/RSUP Dr. Hasan
Medan
Sadikin Bandung
Dadang Hudaya Somasetia
Eva Miranda Marwali
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Pediatric Cardiac Intensive Care Unit
FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Bandung
Jakarta
Guwansyah Dharma Mulyo
Hari Kushartono
Instalasi Gawat Darurat-Intensive Care
Bagian Ilmu Kesehatan
Unit
Anak FK Unair/RSU Dr.
RS Anak dan Bunda Harapan Kita
Soetomo Surabaya
Jakarta
Idham Jaya Ganda
Darlan Darwis
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Departemen Ilmu Kesehatan
FK Unhas/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Anak FKUI/RSUP Cipto
Makasar
Mangunkusumo Jakarta
Imral Chair Rismala Dewi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta Jakarta
Irene Yuniar Setyabudhy
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo Anak FK Unibraw/RS Saiful
Jakarta Anwar Malang
Munar Lubis Silvia Triratna
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan
FK USU/RSUP Dr. H. Adam Malik Anak FK Unsri/RSUP Muh.
Medan Hoesin Palembang
Novik Budiwardhana Susetyo Harry Purwanto
Pediatric Cardiac Intensive Care Unit Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta Jakarta
Nurnaningsih (Alm.) Tatty Ermin
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Setiati Bagian Ilmu
FK UGM/RS Dr. Sardjito Kesehatan Anak FK
Yogyakarta Undip/RSU Dr. Kariadi
Semarang
Ririe Fachrina Malisie
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unri/RSUD Arifin Achmad
Riau
Gambar 11.1 Orkestrasi hemodinamik. Kondisi ideal pasokan oksigen cukup, ekstraksi oksigen
normal
Gambar 11.2 Gelombang arterial pada berbagai lokasi anatomis
Gambar 11.3 Gelombang tekanan vena sentral dan korelasinya dengan EKG
Gambar 11.4 Lokasi pemasangan jalur vena sentral
Gambar 11.5 Prosedur menentukan titik nol
Gambar 11.6 Pemberian preload akan meningkatkan isi sekuncup sampai batas tertentu
Gambar 11.7 Dampak variasi respirasi terhadap tekanan arteri
Gambar 11.8 Contoh rekaman kurva tekanan arteri sistemik dan tekanan jalan napas pada
seorang pasien dengan variasi tekanan sistolik dan tekanan nadi yang
besar.
Gambar 13.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi vaskular paru dan afterload ventrikel
sistemik
Gambar 14.1 Mekanisme terjadinya nekrosis tubular akut (ATN) pada gagal ginjal akut pra-renal
Gambar 15.1 Diagram senjang anion (anion gap)
Gambar 15.2 Hubungan antara SID, pH, dan ion hidrogen
Gambar 15.3 Gamblegram SID
Gambar 15.4 Gamblegram dengan SIG (SIG = SIDa – SIDe)
Gambar 17.1. Skema perjalanan infeksi
Gambar 17.2. Patofisiologi sepsis dan kegagalan multi organ
Gambar 19.1 Algoritma nutrisi enteral
Gambar 20.1 Tata laksana awal pada anak dengan abdomen akut
Gambar 23.1 Cross finger-finger sweeping
Gambar 23.2 Chest thrust
Gambar 23.3 Manuver Heimlich
Gambar 23.4 Abdominal thrush
Gambar 23.5 Look-listen-feel
Gambar 23.6 Ventilasi tekanan positif
Gambar 23.7 Periksa nadi brakialis
Gambar 23.8 RJP pada bayi
Gambar 23.9 RJP pada anak
Gambar 23.10 Pemasangan oropharyngeal airway
Gambar 23.11 Bag-mask ventilation C-E position
Gambar 23.12 Pulseless Electrocardiography Activity (PEA)
Gambar 23.13 Takikardia ventrikel (ventricle tachycardia, VT)
Gambar 23.14 Fibrilasi ventrikel (ventricle fibrillation, VF)
Gambar 23.15 Algoritme bantuan hidup dasar pada anak
Gambar 23.16 Algoritme bantuan hidup dasar pada anak
Gambar 24.1. A. Cara insersi daun laringoskop lengkung (curved) B. cara insersi daun
laringoskop lurus (straight). Perhatikan posisi ujung daun laringoskop
terhadap epiglotis.
Gambar 24.2. Teknik insersi LMA.
Gambar 24.3. Anatomi luar jalan napas sebelah atas.
xviii Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
DEfINISI PEDIATRI GAwAT DARURAT perawat dan staf lain yang berpengalaman
Pediatri gawat darurat (PGD) adalah dalam pengelolaan kondisi tersebut.
subspesialisasi ilmu kesehatan anak di Indonesia. Tujuan utama pengelolaan pasien di
Subspesialisasi ini mencakup ranah keilmuan PICU adalah untuk menyelamatkan jiwa
dan profesi yang meliputi kedaruratan pediatri pasien yang mengalami sakit kritis, namun
(pediatric emergency), tata laksana intensif masih dapat disembuhkan (recoverable and
(pediatric intensive care), dan transportasi anak reversible). Dengan demikian, apabila penyakit
dengan kegawatan (pediatric transportation dasar pasien tidak mungkin untuk
medicine). Di manca negara, subspesialisasi ini disembuhkan (terminal stage) maka pasien
termasuk dalam ranah pediatric critical care tersebut tidak akan mendapat manfaat dari
medicine. perawatan di PICU. Hal ini perlu menjadi
Ilmu pediatric critical care telah perhatian, karena sumber daya manusia, sarana
mengalami kemajuan dramatis dalam dan prasarana PICU yang sangat terbatas,
beberapa dekade terakhir, khususnya pediatric dengan biaya perawatan yang mahal.
intensive care. Pada tahun 1993, Committee Pada tahun 2004, dilakukan revisi
on Hospital Care and Pediatric Section of the terhadap pedoman awal dengan tetap
Society of Critical Care Medicine menerbitkan membagi PICU menjadi dua level. PICU level
pedoman yang membagi Pediatric Intensive I harus mampu menyediakan layanan definitif
Care Unit (PICU) menjadi level I dan II. bagi pasien anak (kecuali neonatus) yang
Pedoman ini juga mencakup ruang lingkup dan mengalami gangguan medis, bedah ataupun
pelayanan pediatric critical care, struktur trauma yang kompleks, progresif dan dinamis.
organisasi, fasilitas rumah sakit, staf medis, Unit ini sebaiknya berada dalam pusat layanan
obat-obatan dan peralatan, pemantauan, kesehatan besar atau di dalam rumah sakit
pelatihan dan pembelajaran berkelanjutan. khusus anak. Dalam kondisi tertentu, misalnya
keterbatasan tenaga pediatric intensivist,
Pediatric Intensive Care Unit merupakan
kondisi geografis dan keterbatasan
unit dari rumah sakit, dengan staf dan
transportasi, maka PICU level II dapat
perlengkapan khusus, yang ditujukan untuk
menjadi alternatif untuk stabilisasi pasien
observasi, perawatan dan terapi pasien anak
anak sakit kritis sebelum dirujuk ke level I.
berusia 0-18 tahun (selain neonatus) yang
menderita sakit kritis, cedera, atau penyakit-
penyakit yang mengancam jiwa atau
potensial mengancam jiwa dengan prognosis SEjARAh PERKEMbANGAN PEDIATRI
dubia. PICU harus mampu menyediakan sarana GAwAT DARURAT DI DUNIA
dan prasarana serta peralatan khusus untuk
Perawatan optimal guna memenuhi kebutuhan
menunjang fungsi- fungsi vital. PICU harus
khusus pada anak dengan sakit kritis menjadi
memiliki staf medis,
2 Buku Ajar Pediatri Gawat
Darurat
dasar didirikannya unit perawatan intensif Critical Care Medicine Training Programs dilakukan.
khusus anak, terpisah dari pasien dewasa
maupun neonatus. Pediatric Intensive Care
Unit (PICU) pertama kali didirikan di Eropa,
tepatnya di Goteburg Childrens’ Hospital ,
Swedia pada tahun 1950-an. Pada saat itu
PICU terutama diperuntukkan bagi korban
epidemi polio. Epidemi ini juga yang memicu
didirikannya ICU yang pertama kali dikenal
dunia, di Copenhagen, Denmark.
Di Amerika Serikat , ICU dewasa baru
didirikan pada awal 1960-an, diikuti dengan
pembukaan PICU di Children’s Hospital
of Philadelphia, yang digagas oleh Dr.
John Downes pada tahun 1967. Namun
demikian, perkembangan PICU di Amerika
Serikat, bahkan dunia, tidak lepas dari
didirikannya The Johns Hopkins Pediatric
Intensive Care Unit.
The Johns Hopkins Pediatric Intensive
Care Unit didedikasikan bagi perawatan anak-
anak yang mengalami sakit yang mengancam
jiwa serta pasien pascaoperasi. Pada tahun
1977, Mark C. Rogers menjadi asisten profesor
anestesi dan pediatri di The Johns Hopkins
University School of Medicine dan Direktur
Pediatric Intensive Care Unit di Johns Hopkins
Hospital. Saat itu, unit tersebut hanya
berkapasitas delapan tempat tidur, dengan
tenaga perawat yang sangat terbatas. Dalam
perjalanannya, tim ini diperkuat oleh Dr.
Steven Nugent, yang direkrut dari Children’s
Hospital of Philadelphia (CHOP), dan Dr. James
Robotham, yang merupakan anggota tim
paru anak.
Dalam perjalanannya, Johns Hopkins
memelopori program fellowship PGD selama
2-3 tahun, yaitu pendidikan klinis 1 tahun,
dilanjutkan dengan riset selama 1-2 tahun.
Program ini merupakan pembuka jalan
untuk sertifikasi, sehingga pada tahun 1985
American Board of Pediatrics mengakui
subspesialisasi baru dalam bidang Pediatric
Critical Care Medicine, yang selanjutnya juga
diakui oleh The American Boards of Medicine,
Surgery, and Anesthesiology. Namun demikian
baru tahun 1990, akreditasi pertama Pediatric
Pediatri Gawat Darurat, Menyongsong Masa Depan 3
Saat ini The Johns Hopkins PICU memiliki mekanik, inhaled Nitric Oxide (iNO), Extra
22 tempat tidur, dengan proporsi: Corporeal Membrane Oxygenation (ECMO),
sepertiga untuk pasien pascaoperasi implan alat bantu dengar, dialisis,
jantung, sepertiga untuk pasien sakit pemantauan tekanan intrakranial,
kritis dan sepertiga untuk pasien elektroensefalografi (EEG), plasmaferesis, dan
pascaoperasi mayor lainnya. Rumah ultrafiltrasi veno-venous berkelanjutan.
sakit ini merupakan pusat trauma dan Di Amerika Latin, PICU pertama kali
transplantasi pada anak. Penyakit dikembangkan di Peru dan Venezuela pada
kritis yang ditangani meliputi gagal tahun 1972, diikuti oleh Brazil pada tahun
nafas akut, kelainan kongenital 1974. Hingga tahun 2004, di Brazil terdapat
kompleks, gagal jantung, gagal ginjal 107 NICU dan PICU dengan populasi anak
dan hati, syok, infeksi berat, penyakit sebesar 2,6 juta. Pendanaan PICU tersebut
metabolik, asma derajat serangan berasal dari organisasi amal (15%),
berat, kejang, henti jantung, institusi swasta (46%), dan institusi
kegawatan susunan saraf pusat dan pemerintah (46%) dengan kapasitas berkisar
koma diabetikum. Selain itu, unit ini antara 2-20 tempat tidur. Hal menarik di sini
juga menangani pasien anak adalah banyaknya PICU yang dikelola oleh
pascaoperasi bedah saraf, ortopedi, dan ahli neonatologi dibandingkan pediatric
THT. Unit perawatan luka bakar intensivist, serta area geografi dengan populasi
juga tergabung dalam PICU, penduduk sedikit justru memiliki unit dengan
khususnya di negara bagian kapasitas terbesar.
Maryland, Amerika Serikat.
Salah satu PICU pertama di Asia
Hingga kini, The Johns didirikan di Chulalongkorn Medical School ,
Hopkins PICU diperkuat oleh tim Thailand pada tahun 1968. Setelah itu,
multidisiplin yang telah berturut-turut didirikan PICU di Siriraj
berpengalaman dalam menjalankan Medical School (1970), dan Ramathibodi
prosedur mutakhir, antara lain ventilasi Medical School (1973). Saat ini, di
Thailand terdapat 12 fakultas kedokteran Ruang Unit Perawatan Intensif pertama
yang masing-masing memiliki satu PICU. mulai dibangun dengan desain dari
Selain itu, terdapat 21 rumah sakit di bawah Australia. Pada tahun 1975, empat dokter
Kementrian Kesehatan Masyarakat yang yang baru menyelesaikan pendidikan
sebagian besar memiliki fasilitas PICU. spesialisasi Ilmu Kesehatan Anak diminta
untuk memperkuat unit tersebut. Keempat
SEjARAh PERKEMbANGAN PEDIATRI dokter tersebut adalah Dr. Imral Chair, Dr.
GAwAT DARURAT DI INDONESIA Darlan Darwis, Dr. Gusti Rusepno Hasan,
Perkembangan kedokteran PGD terus dan Dr. Adnan S. Wiharta. Namun, karena
berkembang dengan adanya kemajuan yang Dr. Adnan mengundurkan diri, hanya tiga
pesat di bidang farmakologi dan teknologi. dokter yang kemudian dikirim ke
Di Indonesia, perjalanan tersebut bermula Departemen Anestesiologi untuk menjalani
dari impian Profesor Sutedjo, Kepala pelatihan di bidang perawatan intensif selama 6
Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) bulan.
FKUI-RSCM, untuk membangun sebuah Untuk mempersiapkan tenaga perawat,
rumah sakit khusus anak pada tahun 1971. satu orang perawat bagian anak RSCM
Saat itu Profesor Odang, yang juga seorang diberangkatkan ke Australia. Di negeri
dokter spesialis anak, menjabat sebagai kangguru itu, ia mendapat pelatihan khusus
direktur Rumah Sakit Cipto bidang keperawatan intensif. Perawat tersebut
Mangunkusumo. juga mendapatkan amanah untuk mendidik
Untuk memenuhi impian tersebut, teman sejawat perawat di ICU Anak
salah seorang staf departemen IKA, Dr. Yani RSCM. Dengan bantuan dokter serta
A. Kasim, dikirim oleh Profesor Sutedjo ke perawat dari Unit Perawatan Intensif Dewasa
Departemen Anestesiologi FKUI-RSCM dan Departemen IKA sendiri, pelatihan
untuk mempelajari ilmu anestesi anak. diberikan kepada 14 orang perawat dari
Namun, Profesor Kelan, Kepala Departemen berbagai ruang rawat bagian anak selama 1
Anestesiologi saat itu mengatakan bahwa bulan, meliputi teori dan praktik dengan
ilmu anestesi anak belum dikembangkan menggunakan alat-alat boneka latihan yang
secara khusus. Oleh sebab itu, Dr. Y. A. tersedia.
Kasim selanjutnya mempelajari ilmu anestesi Setelah melewati 2 tahun masa
umum. Pada tahun yang sama, dengan pembangunan fisik dan pembentukan tenaga
bantuan biaya dari pemerintah Australia, kerja, pada tahun 1976, unit perawatan
Departemen Anestesiologi mengembangkan intensif anak mulai beroperasi. Namun,
Unit Perawatan Intensif di RSCM. karena tidak mendapat persetujuan dari
Pada tahun 1972, kepemimpinan RSCM Prof. Rukmono selaku direktur RSCM, unit
beralih dari Profesor Odang kepada Profesor ini diberi istilah Unit Perawatan Khusus,
Rukmono, yang ternyata tidak menyetujui yang berada di luar struktur organisasi
rencana pembangunan rumah sakit khusus Rumah Sakit. Dengan demikian, sebagai unit
anak tersebut. Profesor Sutedjo kemudian yang swasembada, upaya pengembangannya
mengalihkan rencana pengembangan anestesi dijalankan dengan dana yang dihimpun
anak menjadi pembangunan Unit Perawatan sendiri. Pengembangan yang dimaksud,
Intensif Anak pada 1973. Satu tahun termasuk mengirimkan anggota staf unit untuk
kemudian, setelah menyelesaikan mendalami ilmu perawatan intensif di luar
pendidikan anestesiologinya, Dr. Y. A. negeri.
Kasim mulai merealisasikan rencana Pada tahun 1980, Dr. Imral
tersebut. mendapatkan kesempatan memperdalam
ilmunya di Ziekenhuis Rijkuniversiteit, Gent,
Belgia selama 6 bulan. Disusul oleh Dr. Rusepno yang diterbangkan
ke Amerika Serikat pada tahun 1981, untuk tersebut menemui hambatan: ijin dari FKUI tidak
menambah pengetahuannya di Pittsburgh keluar
University Children Hospital. Dua tahun
kemudian, Dr. Darlan berkesempatan
mengikuti kegiatan pembelajaran perawatan
intensif anak di Hospital des Enfant Malade,
Paris, Perancis selama 1 tahun. Sedangkan,
Dr. Abdul Latief yang bergabung pada tahun
1982, berangkat ke Perth, Australia untuk
secara khusus mendalami ilmu perawatan
intensif neonatus.
Pada tahun 1983 di Semarang, Dr.
Tatty Ermin Setiati, seorang dokter spesialis
anak lulusan Semarang, yang telah
mendapat pendidikan di Sofia Children
Hospital, Rotterdam, mendirikan Unit
Perawatan Intensif Anak yang kedua di
Indonesia.
Sehubungan dengan maraknya kasus
demam berdarah dengue (DBD), pada tahun
1987, Dr. Rusepno menggagas pembangunan
sebuah clinical research centre dengan
fokus pada DBD sebagai bagian dari Unit
Perawatan Intensif RSCM. Untuk itu beliau
meminta bantuan Project Hope dan
bekerjasama dengan Laboratorium NAMRU.
Pada penilaian awal yang dilakukan oleh
tim Project Hope, dirumuskan dua masalah
dalam penanganan DBD di Jakarta, yaitu
masalah pencegahan infeksi serta kualitas
perawatan dan peralatan rumah sakit yang
kurang. Oleh sebab itu, dikirimlah sebuah
tim dari Amerika Serikat yang terdiri dari dokter,
perawat, respiratory therapist serta biomedical
engineer untuk meninjau serta membagi
ilmunya dengan staf Unit Perawatan
Intensif. Kepala Perawat (Rusli Sidabutar,
AMK) dan wakilnya (Lili Agustina, AMK)
turut diberangkatkan ke Amerika Serikat untuk
menjalani kegiatan magang selama 3 bulan.
Sarana fisik juga diperlengkap dengan bantuan
pengiriman tempat tidur, ventilator, serta
peralatan perawatan intensif lainnya.
Pada tahun yang sama, Dr. Rusepno
meninggal dunia sehingga tanggung jawab
proyek ini dipindahkan ke tangan Dr.
Imral. Sayangnya rencana penelitian DBD
karena melibatkan dokter dari Amerika pertama di RS Ibu dan Anak Harapan Kita.
Serikat yang akan bekerja di Unit Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, saat itu,
Perawatan Intensif selama minimal 1 Neonatal Intensive Care masih bergabung
tahun. Namun, proyek ini menjadi dengan Pediatric Intensive Care Unit. Neonatal
cikal bakal dijadikannya Unit Intensive Care di RS Dr. Cipto
Perawatan Intensif IKA FKUI-RSCM Mangunkusumo selanjutnya mulai berdiri
sebagai pusat pelatihan perawat sendiri pada tahun 1996 setelah Dr. Idham
intensif anak sampai sekarang. Amir dan Dr. Eric Gultom menyelesaikan
Pada tahun 1988, Unit pendidikan neonatal intensivist di Australia.
Perawatan Intensif mendapatkan Pada awalnya perkembangan Neonatal
suntikan dua tenaga baru, Dr. Harry Intensive Care Unit agak tersendat. Dr.
Purwanto dan Dr. Antonius H. Rinawati Rohsiswanto dan Dr. Risma Kerina
Pudjiadi. Keduanya kemudian Kaban, staf muda bagian Ilmu Kesehatan
menjalani pelatihan di Departemen Anak, ikut belajar ke Australia, mendalami ilmu
Anestesiologi RSCM dan Cardiac Neonatal Intensive. Sekembalinya dari
Centre RS Jantung Harapan Kita, Australia, pada tahun 2003, Dr. Rinawati
selama 6 bulan di tiap rumah sakit. Rohsiswatmo bersama Dr. Idham Amir dan
Setelah itu, seperti anggota staf unit staf perinatologi senior lainnya,
sebelumnya, keduanya juga mengembangkan Neonatal Intensive Care Unit
mendapatkan pelatihan perawatan yang modern di RS Cipto Mangunkusumo.
intensif di luar negeri. Kali ini di Cita-cita mereka terwujud pada tahun 2004.
University of Washington, Seattle, Pada tahun 2006, Dr. Risma Kerina Kaban,
Amerika Serikat pada tahun 1989 dan memperkuat tim Neonatal Intensive Care Unit
1990. RS Dr. Cipto Mangunkusumo.
Setelah mendapat pelatihan di Pada tahun 2006, Pediatric Cardiac
ICU Anak RSCM, pada tahun 1986 Intensive Care Unit di RS Jantung Harapan
didirikan Neonatal ICU yang Kita menjadi
satu unit tersendiri dengan dimotori oleh Dr. telah menurunkan mortalitas balita antara 10
Novik Budiwardhana, yang sebelumnya telah hingga 100 kali lipat.
mendalami ilmu perawatan intensif anak
di Royal Children Hospital, Melbourne pada
tahun 2004. Dr. Eva Miranda kemudian ikut
bergabung dan menjalani pendidikan
tambahan di Hospital for Sick Children di
Toronto, Canada pada tahun 2007. Pada
awalnya unit ini merupakan bagian dari Unit
Post Operative Cardiac Care yang dibidani
oleh Dr. Iqbal Mustafa, Dr. Yusuf Rachmat,
dan Dr. Heru Samudro.
Sejak tahun 2000, ICU anak di
Indonesia telah aktif berpartisipasi dalam
World Federation Pediatric Intensive and
Critical Care Society, dengan Dr. Antonius
H. Pudjiadi sebagai national ambassador.
Pertemuan tahunan Pediatric and Neonatal
Intensive Care nasional saat ini menjadi
tolok ukur kemajuan PICU dan NICU di
Indonesia. Pertemuan tahunan ini mulai
diselenggarakan sejak tahun 2007 dengan
dukungan Ikatan Dokter Anak Indonesia dan
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia.
medikolegal
ETIKA DAN MEDIKOlEGAl
TATA lAKSANA KASUS
KEGAwATAN
Berbagai kasus malpraktik menunjukkan
perlunya perbaikan pendidikan medikolegal
bagi para dokter anak. Proses pelayanan
kegawatan merupakan hal yang sulit.
Dalam situasi gawat darurat, waktu
observasi pasien sangat pendek, ditambah
lagi terjadi perubahan- perubahan klinis
yang tak terduga. Dalam hal proses,
kegawatan pediatrik ini menjadi lebih rumit
dikarenakan berbagai faktor, termasuk
pertimbangan legal yang khusus.
Identifikasiisu-isulegal iniakanmeningkatkan
kemampuan dokter untuk merasa lebih
nyaman dalam lingkungan kerja yang sudah
rumit. Lebih penting lagi, pengetahuan
tentang prinsip- prinsip legal memberikan
waktu tambahan untuk dapat fokus pada
kualitas pengobatan saat krisis daripada
pertimbangan legal sebelum memutuskan
untuk melakukan suatu tindakan. Jika
terdapat pertentangan antara pertanyaan
hukum dengan pengobatan, hal terbaik
adalah melakukan konsultasi dengan otoritas
legal yang kompeten. Jika waktu tidak
memungkinkan akses tersebut, maka tidak
dapat dihindari bahwa pelayanan medis
disesuaikan dengan kemampuan terbaik dari
dokter. Bagaimanapun luaran (outcome)
legal pada satu kasus tertentu, seorang
dokter harus merasa nyaman dalam standar
praktik profesional dan dapat menyesuaikan
diri.
Dalam pelayanan kegawatdaruratan di
bidang pediatrik terdapat beberapa isu
yang meliputi masalah persetujuan pihak yang dapat dimintai persetujuannya,
tindakan medis, penganiayaan anak, maka dokter tetap wajib melakukan tindakan
pengakhiran bantuan penunjang hidup, apapun yang terbaik bagi pasien tersebut.
dan penentuan kematian. Pasien anak sering dibawa berobat ke unit
Persetujuan tindakan medis gawat darurat tanpa disertai oleh pengasuh
untuk anak dibawah umur dilakukan yang legal. Penanganan medis yang tepat
oleh orang tua atau walinya, di pada pasien anak dengan keadaan urgen
Indonesia batas kedewasaan yang atau darurat seharusnya tidak ditunda karena
dianut adalah sudah berusia 20 menunggu memperoleh consent.
tahun. Persetujuan itu diberikan Di ICU anak terdapat beberapa isu
oleh pihak yang berhak setelah khusus yang membutuhkan landasan kuat
memperoleh informasi dari dokter dalam bidang medikolegal. Isu khusus itu
yang menangani pasien. Dalam keadaan antara lain
darurat medis sementara tidak ada
Mutiara bernas:
• Seorang dokter hanya dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum bila terbukti
lalai atau menelantarkan pasien yang
seharusnya ditolong.
• Jika terdapat pertentangan antara
pertanyaan hukum dengan
pengobatan, hal terbaik adalah
melakukan konsultasi dengan otoritas
legal yang berkompeten.
penganiayaan anak dan pengakhiran hanya harus mempertanggungjawabkan
bantuan penunjang hidup. terbatas pada hal-hal yang dapat diduga
Penganiayaan anak merupakan isu sebelumnya saja. Dengan demikian seorang
khusus yang saat ini juga sering dijumpai di dokter hanya dapat diminta
Indonesia. pertanggungjawaban hukum bila terbukti lalai
Sering dijumpai orang tua yang atau menelantarkan pasien yang seharusnya
melakukan penganiayaan terhadap anaknya ditolongnya.
berulangkali membawa anaknya ke unit
gawat darurat, sementara penganiayaan itu
sendiri senantiasa terjadi kembali. Dokter Mutiara bernas:
anak harus selalu mencurigai adanya
Malpraktik adalah suatu keadaan ketika
penganiayaan anak (child abuse) bila
seorang dokter tidak mematuhi standar
menemukan gejala-gejala seperti trauma
perawatan (standard of care), kurangnya
berulang.
pengetahuan atau keterampilan, atau
Pengakhiran bantuan penunjang hidup kelalaian dalam menangani pasien yang
bagi anak yang secara medis tidak dapat
merupakan penyebab langsung dari
lagi diobati merupakan masalah pelik bagi
kecederaan yang diderita pasien.
dokter dan akan dibahas secara tersendiri
dalam tulisan ini.
Isu malpraktik yang saat ini tengah DAfTAR PUSTAKA
merebak perlu disikapi dengan arif oleh profesi 1. American Academi of Pediatrics. Consent for
medis, khususnya mengenai mispersepsi yang emergency medical services for children and
terjadi baik oleh masyarakat maupun dokter adolescents. Pediatrics. 2003:111;703-6
sendiri. Malpraktik medis adalah suatu keadaan 2. Herkutanto. Aspek medikolegal dalam
ketika seorang dokter tidak mematuhi pelayanan kegawatdaruratan pediatrik.
standar perawatan (standard of care), Dipresentasikan pada International Symposium
kurangnya pengetahuan atau keterampilan, Pediatric Challenge 2006, Medan, Mei 1-4,
atau kelalaian dalam menangani pasien 2006
yang merupakan penyebab langsung dari 3. McAbee GN, Deitschel C, Berger. Pediatric
kecederaan yang diderita pasien. Keadaan medicolegal education in the 21st century.
ini harus dibedakan dengan “kejadian tak Pediatrics. 2006:117;1790-2
diharapkan” (untoward result), yaitu terdapat 4. Rice MM. Medicolegal issues in pediatric and
kondisi yang memang tidak dapat diduga adolescent emergencies. Emerg Med Clin North
(unforeseen) oleh dokter. Untuk untoward Am. 1991:9;677-95
result ini dokter tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum, karena dokter
4 Evaluasi Diagnosis dan Tata
laksana Penurunan Kesadaran
pada Anak
Setyabudhy, Irawan Mangunatmadja, Saptadi Yuliarto
Penurunan kesadaran pada anak merupakan obstudansi, letargi, stupor, dan koma (Tabel
kedaruratan yang dapat mengancam jiwa 4.1). Skala Koma Glasgow digunakan sebagai
sehingga membutuhkan diagnosis dan tata parameter untuk menilai tingkat kesadaran
laksana secara cepat dan tepat. Untuk secara kuantitatif. Sadar (kompos mentis)
memberikan tata laksana yang adekuat adalah keadaan tanggap terhadap lingkungan
dibutuhkan pengetahuan yang baik dan diri sendiri di lingkungan tersebut
mengenai manifestasi klinis, pemeriksaan fisis baik saat ada atau tidak ada rangsangan.
neurologis, dan kemungkinan penyebab. Obtundasi (apatis) adalah penurunan
Pemeriksaan penunjang membantu kesadaran ringan yang ditandai dengan
menegakkan diagnosis pasti penyebab berkurangnya perhatian terhadap lingkungan
penurunan kesadaran sehingga dapat dilakukan sekitar dan reaksi yang lambat terhadap
tata laksana spesifik berdasarkan etiologi. rangsangan. Pada kondisi ini, komunikasi
Tujuan utama tata laksana penurunan masih dapat dilangsungkan sebagian. Pada
kesadaran adalah mencegah kerusakan otak keadaan letargi (somnolen), pasien tampak
lebih lanjut. mengantuk atau tidur, akan tetapi masih
dapat dibangunkan dengan rangsangan suara
atau nyeri. Saat sadar pasien dapat
DEfINISI berkomunikasi dengan pemeriksa kemudian
tertidur kembali. Stupor (sopor) adalah
Kesadaran memerlukan fungsi normal dari
gangguan kesadaran yang menyerupai tidur
kedua hemisfer otak dan ascending reticular
dalam dan hanya dapat dibangunkan
activating system (ARAS) mulai dari sebagian dengan rangsang nyeri yang kuat.
midpons sampai hipotalamus anterior. Sadar Komunikasi tidak ada atau minimal. Derajat
(fully allert) adalah keadaan bangun kesadaran terbaik tetap tidak normal dan
(wakefulness) dan tanggap (awareness) tanpa rangsangan kesadaran kembali seperti
terhadap diri sendiri dan lingkungan. Korteks,
saraf otonom, dan stimulus dari batang otak
bertanggung jawab terhadap keadaan Tabel 4.1. Derajat penurunan kesadaran
bangun dan tanggap. Pada keadaan ini anak
dapat melakukan aktivitas kompleks yang Keadaan Definisi
sesuai dengan usianya dan dapat berorientasi Obtundasi Kesulitan dalam mempertahankan keadaan
sadar
baik terhadap orang lain, tempat, waktu, dan
letargi Respons terhadap stimulus selain nyeri
situasi.
Stupor Respons hanya terhadap nyeri
Tingkat kesadaran dapat dinilai secara Koma Tidak respons terhadap nyeri
kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat Dikutip dari: fenichel GM. Clinical pediatric neurology,
kesadaran secara kualitatif dibagi atas sadar, 2005.
Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak 19
sebelumnya. Koma adalah gangguan kesadaran mencari etiologi penurunan kesadaran. Riwayat
yang berat, pasien tampak tidur dalam tanpa trauma, penyakit sebelumnya, atau obat-obatan
dapat dibangunkan dan tidak bereaksi terhadap yang dikonsumsi dapat ditanyakan bila
berbagai rangsangan, baik taktil, verbal, visual, dicurigai adanya intoksikasi obat. Penyakit
maupun rangsangan lainnya. jantung atau neurovaskular perlu
dipertimbangkan sebagai penyebab
penurunan kesadaran akut, sedangkan pada
EvAlUASI DIAGNOSIS penurunan kesadaran subakut perlu
dipertimbangkan kemungkinan adanya
Riwayat klinis kelainan metabolik. Riwayat kesehatan,
Pada saat awal, pemeriksaan dan gangguan neurologis sebelumnya, riwayat tinja
penanganan kedaruratan yang meliputi jalan berdarah, muntah, atau riwayat yang tidak
napas (airway), pernapasan (breathing), dan sesuai dengan cedera yang terlihat
sirkulasi darah (circulation) harus dilakukan (kekerasan pada anak) juga perlu
secara cepat dan cermat. Simultan dengan dievaluasi.
penanganan ini, dapat digali riwayat klinis
yang penting untuk penanganan pasien.
Pemeriksaan fisis
Setelah pasien stabil dapat ditanyakan riwayat
klinis pasien secara lebih detil. Riwayat Pada prinsipnya, pemeriksaan fisis umum
klinis sangat penting untuk tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan
neurologis dan dapat dikerjakan secara
simultan. Pemeriksaan fisis umum dan
neurologis meliputi:
Tanda Skala Koma Glasgow Skala Koma Glasgow-Modifikasi untuk Anak Nilai
buka mata Spontan Spontan 4
Terhadap perintah Terhadap suara 3
Terhadap rangsang nyeri Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak ada Tidak ada 1
Respons verbal Terorientasi Sesuai usia, terorientasi, ikuti obyek, senyum sosial 5
bingung Menangis tetapi dapat dibujuk 4
Disorientasi Rewel, tidak kooperatif, tanggap lingkungan
Kata-kata tidak tepat Rewel, tangis persisten, dapat dibujuk tidak konsisten 3
Suara tidak dimengerti Tangis tak terbujuk, tak tanggap lingkungan, gelisah, 2
agitasi
Tidak ada Tidak ada 1
Respons motorik Mengikuti perintah Mengikuti perintah, gerakan spontan 6
Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri 5
Menghindar nyeri Menghindar nyeri 4
fleksi abnormal terhadap nyeri fleksi abnormal terhadap nyeri 3
Ekstensi abnormal terhadap nyeri Ekstensi abnormal terhadap nyeri 2
Tidak ada Tidak ada 1
Nilai total terbaik 15
Dikutip dari:Teasdale G. lancet.1974;2:81
Tabel 4.3. Penyebab tersering perubahan tekanan darah dan laju nadi anak tidak sadar
Tekanan darah
-Tinggi Laju dan irama nadi/denyut jantung
Peningkatan tekanan intrakranial - Tidak teratur
Perdarahan subarakhnoid Amfetamin
Intoksikasi Antikolinergik
Amfetamin Trisiklik
Antikolinergik Digitalis
Simpatomimetik - lambat
- Rendah Penghambat
Syok spinal beta Narkotik
Kegagalan adrenal - Cepat
Keracunan Alkohol
Narkotika Amfetamin
Sianida Teofilin
Sedatif atau hipnotik
Dikutip dari: Myer EC, dkk. Principles of child neurology,
1996.
Jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi kesadaran ringan jika nilai skala sebesar 12–14,
(ABCs management) sebagai tindakan resusitasi gangguan kesadaran sedang jika nilai skala 9-
awal 11, dan koma jika ≤8 (Tabel 4.2).
1. Pola napas
2. Derajat kesadaran Tanda vital
3. Pemeriksaan saraf kranialis Pemeriksaan tanda vital yang meliputi laju
4. Pemeriksaan motorik, meliputi postur, dan irama nadi/denyut jantung, laju dan pola
aktivitas motorik spontan, dan respons napas, suhu, serta tekanan darah sangat
terhadap rangsang membantu untuk menentukan penyebab
5. Pemeriksaan sistemik lainnya yang penurunan kesadaran. Beberapa penyebab
dilakukan secara sistematik yang perlu dipikirkan berdasarkan kelainan
tanda vital dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.4. Pola pernapasan disertai dengan penurunan fungsi susunan saraf pusat
Cheyne-stokes Pola napas apnea disertai hiperpnea secara teratur bergantian
Gangguan serebral bilateral atau diensefalon (metabolik atau ancaman
herniasi) hiperventilasi Asidosis metabolik, hipoksia atau keracunan (amfetamin, kokain,
organofosfat)
Gangguan di daerah midpons atau midbrain
Apneuristik berhentinya inspirasi dalam waktu yang lama
Kelainan pons atau medula
Ataksik Pola napas tidak
teratur Kelainan pada
medula
hipoventilasi Alkohol, narkotik atau sedatif (kelainan di
ARAS) Dikutip dari: Myer EC, dkk. Principles of child neurology,
1996.
Hiverventilasi sentral
hiperventilasi
neurogenetiK sentral neurogenik
Pernapasan Cluster
Pernapasan AtaKsiK
tidak selalu pasti. Penting bagi klinisi parasimpatis berasal dari midbrain.
untuk mengenal kelainan pola napas sehingga
mampu memperkirakan derajat kerusakan
yang terjadi. Karakteristik pola napas dapat
dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.1.
NETABOLIK
Kecil ReaKtif
kecil reaktif
DiensefaliK TeKtal
Kecil
kecil ReaKtif
reaktif pupil besar terfiKsir, hippus
Pons
Nervus III (UnKus) gingoint
dilatasi, terfiKsir
Midrain
midgosition,
terƒiksir
Gambar 4.2. letak lesi disertai reaksi kedua pupil pada kesadaran menurun
KANAN KIR
Korte I
Ks
Midbrai
n
II
I
NL
Pon F
VIs
PPRF
VIII
Labirin
Medula
disebabkan
gerakan bola mata melalui fasikulus
longitudinal medialis, yang berhubungan
dengan saraf otak III, IV, dan VI di batang
otak. Penjelasan di atas dapat lebih dipahami
dengan mempelajari jaras gerakan mata ke
satu arah seperti yang terlihat pada
Gambar 4.3.
Jaras dari korteks frontal kanan menurun,
melewati garis tengah, bersinaps di
paramedian pontin reticular formation
(PPRF) kiri. Serabutnya merangsang saraf
otak VI kiri (mata kanan bergerak ke lateral
kiri). Kemudian sinyal bergerak ke atas
melalui medial longitudinal
Gerakan bola mata abnormal pada
pasien dengan penurunan kesadaran yang
oleh gangguan anatomis yang lokasinya dengan tes kalori (Gambar 4.4). Doll’s eye
sama dengan bagian kaudal ARAS. Beberapa movement dikatakan baik bila bola mata
keadaan yang menyebabkan gangguan refleks bergerak berlawanan dengan arah gerakan
pupil dan gerakan bola mata dapat dilihat kepala. Hal ini berarti batang otak dalam
pada Tabel 4.5. kondisi baik. Pada tes kalori, air es dialirkan
Refleks bola mata pada pasien pada membran timpani yang intak, jika
dengan penurunan kesadaran dinilai batang otak baik maka mata akan bergerak
dengan Doll’s eye movement (DEM) dan ke arah telinga yang dirangsang.
Batang otaK
utuh
NLF
(bilateral)
Lesi
Batang otaK
bawah
Tabel 4.6. Manifestasi klinis berdasarkan tingkat gangguan di susunan saraf pusat
Tingkat gangguan
pernapasan Respons motorik Pupil Gerak bola mata Pernapasan
Kedua korteks Withdrawal Miosis, reaktif Spontan, konjugasi Cheyne-stokes
gerakan
horizontal Cheyne-stokes
Talamus Dekortikasi fiksasi di tengah Spontan, konjugasi
gerakan
horizontal
Penyebab
Berdasarkan pemeriksaan fisis, neurologis, dan
pemeriksaan penunjang, dapat dibuat diagnosis
banding kemungkinan penyebab penurunan
kesadaran. Penyebab penurunan kesadaran
pada anak secara garis besar dibagi atas
(Tabel 4.7):
Infeksi atau inflamasi
Tata laksana adanya gangguan struktur, infeksi, metabolik
atau toksisitas. CT scan kepala harus
Pendekatan tata laksana penurunan dilakukan pada setiap anak dengan
kesadaran pada anak dapat dilakukan penurunan kesadaran akibat trauma kepala
dengan mengikuti algoritme pada tertutup atau penyebab yang tidak dapat
Gambar 4.5. Tata laksana awal ditentukan dengan pasti. Peningkatan tekanan
penurunan kesadaran bertujuan intrakranial diturunkan dengan pemberian
untuk mencegah kerusakan otak manitol 20% intravena per drip dengan dosis
lebih lanjut. 0,5-1,0 gram/ kgBB selama 30 menit setiap 6–
Prinsip utama adalah 8 jam. Nalokson diberikan bila dicurigai
mempertahankan jalan napas yang adanya overdosis narkotika.
adekuat dan mempertahankan fungsi Kejang dan status epileptikus harus
kardiovaskular. Anak dengan diatasi. Perlu dipertimbangkan adanya kejang
penyebab koma yang belum jelas walaupun tidak bermanifestasi secara klinis
penyebabnya harus dilakukan (status epileptikus non-konvulsif subklinis)
pemeriksaan gula darah atau langsung sehingga ketersediaan EEG sangat penting
diberikan cairan dekstrosa 25% untuk pemantauan pasien penurunan
sebanyak 1-4 mL/kgBB, kemudian kesadaran. Bila dicurigai adanya infeksi
dievaluasi responsnya. Bila susunan saraf pusat, harus dilakukan pungsi
didapatkan perbaikan dramatis, lumbal dan diberikan antibiotik atau
maka selanjutnya diberikan infus antivirus yang sesuai.
dekstrosa 10%. Pada kesadaran yang
tidak pulih setelah pemberian infus Gangguan keseimbangan cairan-elektrolit
dekstrosa, maka hipoglikemia sebagai dan keseimbangan asam basa harus dikoreksi.
penyebab dapat disingkirkan. Hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia,
atau hipomagnesemia yang menyertai
Peningkatan tekanan penyakit sistemik jauh lebih sering
intrakranial dapat terjadi akibat menyebabkan
Jalan napas – intubasi bila SKG <8
Pernapasan – pertahankan saturasi O2
>80% Sirkulasi – pertahankan tekanan
arteri >70
Pemeriksaan kadar glukosa, elektrolit, analisis gas darah, fungsi hati, fungsi
ginjal, fungsi tiroid, darah lengkap, skrining toksikologi
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Gambar 4.5. Algoritme tata laksana awal pasien dengan kesadaran menurun
PATOfISIOlOGI
Kejang adalah kedaruratan neurologis yang
sering dijumpai pada praktik sehari-hari. Patofisiologi kejang pada tingkat selular
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun berhubungan dengan terjadinya paroxysmal
minimal pernah mengalami satu kali kejang. depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi
Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi pada potensial pascasinaps yang berlangsung lama
satu tahun pertama kehidupan, sedangkan (50 ms). Paroxysmal depolarization shift
64% dalam lima tahun pertama. merangsang lepas muatan listrik yang
berlebihan pada neuron otak dan
Kejang dapat sederhana, berhenti sendiri, merangsang sel neuron lain untuk
memerlukan pengobatan lanjutan, merupakan melepaskan muatan listrik secara bersama-
gejala awal suatu penyakit berat atau sama sehingga timbul hipereksitabilitas neuron
menjadi status epileptikus. Langkah awal otak.
dalam menghadapi kejang adalah memastikan
bahwa anak memang kejang. Tata laksana Paroxysmal depolarization shift diduga
kejang meliputi stabilisasi pasien, identifikasi disebabkan oleh kemampuan membran sel
etiologi, terapi sesuai dengan etiologi, dan melepaskan muatan listrik yang berlebihan,
pemantauan secara berkesinambungan. Pada berkurangnya inhibisi oleh neurotransmiter asam
makalah ini akan dibahas mengenai kejang gama amino butirat (GABA), atau
sederhana hingga status epileptikus. meningkatnya eksitasi sinaptik oleh
neurotransmiter glutamat dan aspartat melalui
jalur eksitasi yang berulang.
DEfINISI Pada pasien dengan epilepsi fokal,
terdapat sekelompok sel neuron yang
Kejang adalah manifestasi klinis yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik di muatan listrik disebut sebagai fokus
neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan
kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, merangsang sel di sekitarnya untuk
sensorik dan atau otonom. melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini
Kejang dapat dibagi atas kejang fokal merupakan transisi fokal interiktal atau
dan kejang umum. Kejang fokal berasal dari gelombang paku iktal pada elektroensefalografi.
fokus lokal di otak, dapat melibatkan sistem Manifestasi klinis bergantung pada luasnya
motorik, sensorik maupun psikomotor. sel neuron yang tereksitasi. Pasien epilepsi
Kejang umum melibatkan kedua hemisfer, umum pembentukan gelombang paku-
dapat berupa kejang non-konvulsif (absans) ombak terjadi pada strukturkorteks. Terdapat
dan konvulsif. penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan
inhibisi (gelombang ombak) pada kedua
hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular
dan talamokortikal. Status
30 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Tabel 5.1. Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang
Keadaan Kejang Menyerupai kejang
Onset Tiba-tiba Mungkin gradual
lama serangan Detik / menit beberapa menit
Kesadaran Sering terganggu jarang terganggu
Sianosis Sering jarang
Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron
Stereotipik serangan Selalu jarang
lidah tergigit atau luka lain Sering Sangat jarang
Gerakan abnormal bola mata Selalu jarang
fleksi pasif ekstremitas Gerakan tetap ada Gerakan hilang
Dapat diprovokasi jarang hampir selalu
Tahanan terhadap gerakan pasif jarang Selalu
Pasca-serangan bingung hampir selalu Tidak pernah
EEG iktal abnormal Selalu hampir tidak pernah
EEG pasca-iktal abnormal Selalu jarang
Dikutip dari: Smith Df. An atlas of epilepsy, 1998.
epileptikus terjadi akibat proses eksitasi yang panjang sangat dipengaruhi oleh jenis kejang
berlebihan berlangsung terus menerus yang pasien. Ada obat diindikasikan untuk jenis kejang
diikuti oleh proses inhibisi yang tidak tertentu, misalnya karbamazepin untuk jenis
sempurna. kejang fokal atau asam valproat untuk
kejang tipe absans. Pemilihan OAE yang
KRITERIA KEjANG salah dapat memperberat jenis kejang
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan tertentu, misalnya penggunaan karbamazepin
anamnesis dan akan lebih mudah bila serangan dan fenitoin dapat memperberat kejang
kejang tersebut terjadi di hadapan kita. Pada umum idiopatik seperti kejang absans,
awal penanganan, sangatlah penting atonik, dan mioklonik.
membedakan berdasarkan anamnesis dan Saat ini klasifikasi kejang yang
pemeriksaan fisis apakah serangan yang terjadi digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi
adalah kejang atau serangan yang menyerupai International League Against Epilepsy of
kejang. Perbedaan di antara keduanya dapat Epileptic Seizures tahun
dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.2. Klasifikasi kejang
Perlu diingat bahwa pada pasien epilepsi dapat
terjadi serangan yang menyerupai kejang, epilepsi (OAE) jangka
seperti aritmia, sinkop atau distonia. Oleh
karenanya, deskripsi akurat dari serangan
saat itu sangat penting.
KlASIfIKASI
Jenis kejang dapat ditentukan berdasarkan
deskripsi serangan yang akurat. Penentuan jenis
kejang ini sangatlah penting untuk
menentukan jenis terapi yang akan diberikan.
Pemilihan obat anti kejang/obat anti
Kejang 31
I. Kejang parsial m Absans
(fokal, lokal) Mioklonik
Kejang fokal Klonik
sederhana Tonik
Kejang parsial Tonik-klonik
kompleks Atonik
Kejang parsial yang menjadi umum III. Tidak dapat diklasifikasi
II. Keja Dikutip dari: The Commission on Classification
ng andTerminology of the International League Against
umu Epilepsy, 1981.
1981 (Tabel 5.2). Jenis kejang harus
yang berhubungan, obat-obatan, trauma,
ditentukan setiap kali pasien mengalami
gejala infeksi, gangguan neurologis baik umum
serangan. Tidak jarang ditemukan bahwa
maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat
jenis kejang saat ini berbeda dengan
kejang.
sebelumnya. Semakin banyak jenis serangan
kejang yang dialami pasien, semakin sulit Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai
penanganan kejang dan pemilihan obat anti tanda vital, mencari tanda trauma akut
kejang. kepala, dan ada tidaknya kelainan
sistemik. Pemeriksaan ditujukan mencari
cedera yang terjadi mendahului atau selama
kejang, adanya penyakit sistemik, paparan zat
ETIOlOGI toksik, infeksi, dan kelainan neurologis fokal.
Penentuan etiologi kejang berperan penting Bila dijumpai kelainan fokal, misalnya
dalam tata laksana kejang selanjutnya. Keadaan paralisis Todd’s, harus dicurigai adanya lesi
ini sangat penting terutama pada kejang intrakranial. Bila terjadi penurunan
yang sulit diatasi atau kejang berulang. kesadaran perlu dilakukan pemeriksaan
Etiologi kejang pada seorang pasien dapat lanjutan untuk mencari faktor penyebab.
lebih dari satu. Etiologi kejang yang Edema papil yang disertai tanda rangsang
tersering pada anak dapat dilihat pada meningeal menunjukkan adanya
Tabel 5.3. peningkatan tekanan intrakranial akibat infeksi
susunan saraf pusat.
TATA lAKSANA
Umumnya kejang tonik klonik berhenti
spontan dalam 5 menit. Bila kejang tidak
berhenti dalam 5 menit, maka kejang
cenderung berlangsung lama. Status
epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari
30 menit atau kejang berulang tanpa
pulihnya kesadaran di antara kejang.
Terdapat dua jenis status epileptikus, yaitu
SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik
klonik umum) dan SE non-konvulsif (absans
dan parsial kompleks).
Status epileptikus konvulsif pada
anak merupakan kegawatan yang
mengancam jiwa dengan risiko terjadinya
gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung
pada penyebab dan lamanya kejang. Makin
lama kejang berlangsung, makin sulit untuk
menghentikannya. Tujuan tata laksana
kejang tonik klonik umum lebih dari 5 menit
adalah menghentikan kejang dan mencegah
terjadinya status epileptikus.
Langkah-langkah penanganan kejang
terbagi atas tata laksana fase akut dan fase
meliputi:
a. Fase akut: penghentian kejang
0-5 menit :
Yakinkan bahwa aliran udara
pernapasan
baik.
Monitor tanda vital, berikan
oksigen, pertahankan perfusi oksigen
ke jaringan.
Bila keadaan pasien stabil, lakukan
anamnesis terarah, pemeriksaan umum
dan neurologis secara cepat.
Cari tanda-tanda trauma,
5.10 menit Jika didapatkan hipoglikemia, berikan
Pemasangan akses intravena. cairan dekstrosa 25% 2 ml/kgBB.
Pengambilan darah untuk
pemeriksaan: darah perifer lengkap, 10-15 menit
glukosa, dan elektrolit. Cenderung menjadi status konvulsivus.
Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB
secara intravena (kecepatan 5 mg/ intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
menit), atau dapat diberikan diberikan dengan kecepatan 25-50
diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (untuk mg/ menit.
berat badan
Dapat diberikan dosis ulangan
<10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan
fenitoin 5-10 mg/kgBB, sampai
>10 kg diberikan 10 mg, dosis
maksimum dosis 30 mg/kgBB.
maksimal 10 mg/kali).
Atau dapat diberikan lorazepam
0,05- 0,1 mg/kgBB intravena Lebih dari 30 menit
(maksimum 4 mg). Alternatif lain Pemberian antikonvulsan masa kerja
adalah midazolam 0,05–0,1 mg/kgBB panjang (long acting).
intravena. Pemberian diazepam Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena
intravena atau rektal dapat diulang bolus perlahan–lahan dengan kecepatan
1-2 kali setelah 5-10 menit, 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis
lorazepam 0,1mg/kgBB dapat diulang tambahan 5-10 mg/kgBB dengan
sekali setelah 10 menit . interval 10-15 menit.
Pemeriksaan laboratorium sesuai komplikasi penting untuk prognosis pasien.
kebutuhan meliputi analisis gas
darah, elektrolit, gula darah. Koreksi Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia
kelainan yang ada. Awasi tanda- terjadi akibat gangguan ventilasi, sekresi air
tanda depresi pernapasan. liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan,
serta peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia
Bila kejang masih berlangsung mengakibatkan asidosis, yang selanjutnya
siapkan intubasi dan kirim ke Unit menyebabkan penurunan fungsi ventrikel
Perawatan Intensif. Berikan jantung, penurunan curah jantung, hipotensi,
fenobarbital 5-8 mg/ kgBB secara dan mengganggu fungsi sel dan neuron.
bolus intravena, diikuti rumatan
fenobarbital drip dengan dosis 3–5 Pada SE terjadi pengeluaran
mg/kgBB/jam (Diagram 5.1). katekolamin dan perangsangan saraf
simpatis yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan
Penanganan pasien dengan status venasentral. Edema otak terjadi akibat adanya
konvulsivus/epileptikus tidak hanya bertujuan hipoksia, asidosis, atau hipotensi. Pada
untuk menghentikan kejang, tetapi juga kejang yang tidak dapat teratasi, dapat
mencegah terjadinya komplikasi sistemik yang terjadi hiperpireksia sehingga dapat terjadi
timbul pasca status konvulsivus. Pengenalan mioglobinuria dan peningkatan kreatin
dini, intervensi yang adekuat, dan fosfokinase akibat rabdomiolisis.
pencegahan
Tabel 5.4. Obat obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang
PIC Refrak
Midazolam
U 0,2 mg/kg (IV Pentotal
ter - Propofol 3-5
bolus) Dilanjutkan drip Tiopental 5-8 mg/kg (IV drip)
0,02 - 0,4 mg/kg/jam mg/kg (IV)
Nassa TIK
Volume Vena
60
Vena
50
Nassa 40
30
Volume Volume Volume
DeKompensasi
Arteri Arteri TIKArteri
meningKat 20
OtaK
OtaK OtaK I0
Normal TerKompensasi 0
TIK normal
kondisi ini masih belum diketahui. Saat adanya iskemia otak dan berkaitan dengan luaran
komplians terganggu, maka terjadi yang buruk pada anak dengan trauma kepala.
peningkatan dramatis pada kurva
tekanan/volume yang selanjutnya
menyebabkan peningkatan TIK secara cepat.
Pada otak tanpa kerusakan, aliran darah
otak diatur untuk memenuhi kebutuhan
otak akan oksigen dan substrat. Secara
fisiologis, faktor yang berpengaruh pada
aliran darah otak adalah tekanan parsial
karbondioksida arteri (PaCO2), oksigenasi
arteri, pH, tekanan perfusi otak, dan laju
metabolisme otak. Tekanan parsial
karbondioksida arteri (PaCO2) berkaitan
secara langsung dengan aliran darah otak, dan
merupakan mediator kimia paling poten dari
aliran darah otak. Peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi yang akan
meningkatkan aliran darah otak dan sangat
berpotensi meningkatkan TIK. Kondisi
asidosis dan hipoksemia juga dapat
meningkatkan aliran darah otak dengan
mekanisme vasodilatasi. Aliran darah otak
pada kondisi kebutuhan jaringan meningkat
akan menyebabkan hiperemia. Aliran darah
otak pada dewasa berkisar 50–70 mL/100
g/menit, sedangkan pada anak sehat dapat
mencapai 108 mL/100 g/menit. Aliran darah
otak <20 mL/100 g/menit menunjukkan
Peningkatan Tekanan Intrakranial 39
Kejang dan demam akan Tekanan perfusi otak atau cerebral
meningkatkan aliran darah otak dan perfusion pressure (CPP) merupakan tekanan
laju metabolisme otak. Prosedur untuk perfusi pada sel dan merupakan indikator
menurunkan laju metabolisme otak penting aliran darah otak. Tekanan perfusi
seperti pemberian barbiturat dan yang cukup akan mencegah kerusakan akibat
hipotermia juga akan menurunkan iskemia otak sekunder. Tekanan perfusi otak
aliran darah otak. Metabolisme otak didapat dari pengukuran tidak langsung
bergantung pada glukosa untuk aliran darah otak dan dihitung dengan
memenuhi kebutuhan energi tubuh, mengukur perbedaan antara mean arterial
dengan adenosin trifosfat (ATP) dan pressure (MAP) dengan intracranial
siklus Krebs untuk mempertahankan pressure (ICP), dengan persamaan berikut:
metabolisme aerob. Saat terjadi CPP = MAP-ICP. Belum terdapat panduan
hipoksia maka terjadi metabolisme nilai normal CPP untuk anak. Namun, dari
anaerob yang menghasilkan laktat persamaan tersebut, nilai minimal CPP yang
dan piruvat serta menurunkan diperlukan untuk mencegah iskemia adalah
produksi ATP dan pasokan energi sebagai berikut: dewasa, CPP >70
untuk metabolisme tubuh.
P Ambang nilai yang lebih rendah dapat
digunakan pada bayi dan anak kecil. Ambang
TeKa
nan nilai untuk memulai terapi pada hipertensi
Nadi
intrakranial bervariasi, tergantung pada
TeKa
nan etiologi. Penggunaan batas atas nilai
Nadi
normal untuk memulai terapi masih
diperdebatkan.
Mutiara bernas
• Tekanan intrakranial (TIK) merupakan
jumlah total tekanan dari otak,
darah, dan cairan serebrospinal dalam
rongga intrakranial
• Dinamika intrakranial dipengaruhi
V eq V D V D
Ve oleh autoregulasi, komplians, aliran
P eq
Gambar 6.2. Kurva volume-tekanan darah otak, laju metabolisme otak, dan
tekanan perfusi otak
ETIOlOGI
mmHg; anak, CPP >50–60 mmHg; bayi/balita, Mekanisme peningkatan TIK dapat
CPP >40–50 mmHg. Penelitian menyatakan disebabkan peningkatan massa jaringan otak,
CPP <40 mmHg merupakan prediktor volume darah, atau cairan serebrospinal
penting mortalitas pada anak dengan (Tabel 6.2). Satu atau lebih faktor tersebut
kerusakan otak akibat trauma. dapat meningkatkan tekanan intrakranial
Rentang normal TIK bervariasi secara tunggal atau simultan. Peningkatan TIK
berdasarkan usia (Tabel 6.1). Hipertensi dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu
intrakranial dinyatakan sebagai peningkatan edema serebri (akibat trauma kepala, kondisi
TIK >20 mmHg selama lebih dari 5 menit. hipoksik-iskemik, infark serebri, infeksi
(meningitis, ensefalitis), ensefalopati
metabolik, hidrosefalus, dan proses desak ruang yang bermanifestasi sebagai bradikardi. Pola
(tumor, perdarahan intraparenkimal karena napas abnormal merupakan komponen terakhir
ruptur malformasi arteriovena atau aneurisma). dari trias Cushing, yang terjadi karena
Keterlambatan deteksi dini dan penanganan kompresi batang otak. Sangatlah penting dalam
peningkatan TIK akan mengakibatkan kerusakan mengenali gejala awal peningkatan TIK
neurologis yang ireversibel. karena trias Cushing merupakan gejala yang
timbul amat perlahan pada anak dengan
Mutiara bernas cedera neurologis dan merupakan suatu
petunjuk adanya herniasi.
Peningkatan TIK dapat terjadi akibat
edema serebri, trauma kepala, kondisi
hipoksik- iskemik, infark serebri, infeksi, TATA lAKSANA
gangguan metabolik, ensefalopati,
hidrosefalus, dan proses desak ruang Tujuan utama tatalaksana peningkatan TIK
adalah untuk mencegah dan meminimalkan
kerusakan sekunder otak, tanpa memandang
GEjAlA KlINIS etiologi. Terminologi kerusakan primer dan
sekunder umumnya digunakan pada kasus
Pada peningkatan TIK dapat dijumpai cedera kepala traumatik, namun istilah ini
sakit kepala dengan derajat dan durasi yang juga dapat diterapkan pada anak dengan
bervariasi, muntah, letargi, meningismus, ensefalopati metabolik, lesi hipoksik-
disorientasi, disfungsi neurologis fokal, iskemik, lesi otak nontraumatik, infeksi
kejang, dan koma. Tanda awal pada bayi dan otak, dan perdarahan intrakranial.
anak usia muda dapat berupa ubun-ubun Kerusakan primer menunjukkan kejadian awal
besar membonjol dan refleks pupil yang tanpa memandang mekanisme kerusakan,
lemah. Pada peningkatan TIK yang berat dan sedang kerusakan sekunder menunjukkan
lama dapat terjadi pembesaran pupil proses yang berlangsung dalam hitungan jam
unilateral, kelumpuhan saraf kranial (III, IV, sampai hari setelah kerusakan awal.
VI), edema papil, dan trias Cushing (hipertensi,
Manajemen peningkatan tekanan
bradikardi, dan perubahan pola napas). Kondisi
intrakranial dapat melalui intervensi terhadap
ini menunjukkan tanda herniasi awal atau
faktor-faktor sesuai doktrin Monroe-Kellie
lanjut. Trias Cushing terjadi pada kondisi
(Tabel 6.3), yaitu dengan menurunkan volume
iskemia serebralyang menyebabkan
otak, menurunkan volume cairan serebrospinal,
vasokonstriksi perifer sehingga mengakibatkan
menurunkan laju metabolisme otak, dan/atau
tekanan darah sistolik meningkat untuk
menurunkan aliran darah otak. Tujuan
mempertahankan perfusi otak. Baroreseptor
intervensi tersebut adalah untuk
kardiak akan merespons kondisi ini dengan
mempertahankan tekanan perfusi otak dan TIK
merangsang respons vagal
sesuai usia. Tata laksana peningkatan TIK
Peningkatan Tekanan Intrakranial 41
berdasarkan algoritma pendekatan peningkatan
TIK pada anak dengan kerusakan neurologis dapat tetap harus diberikan sesuai dengan tata
dilihat pada Gambar 6.3. laksana syok. Tidak ada indikasi untuk
melakukan restriksi cairan.
hiperventilasi
Hiperventilasi dianjurkan dilakukan sebagai
intervensi awal peningkatan TIK akut yang
bermakna. Hiperventilasi tidak dianjurkan
sebagai terapi profilaksis karena memiliki potensi
memperburuk iskemia serebral. Lebih lanjut,
hiperventilasi dapat menurunkan kapasitas
buffer bikarbonat pada jaringan interstisial
otak, yang menurunkan kemampuan
vasokonstriksi. Normalnya, alkalosis
menyebabkan konstriksi arteriol, namun
dengan hilangnya kemampuan buffer maka
vasokonstriksi yang dapat menurunkan aliran
darah otak akan terganggu. Hiperventilasi
sedang (PaCO2 30-35 mmHg) dapat diterapkan
pada peningkatan TIK yang berkepanjangan
meskipun sudah dilakukan drainase cairan
serebrospinal, sedasi dan analgesia, head
positioning, dan terapi osmolar. Hiperventilasi
terhadap terapi. Hiperventilasi intermiten hipotensi, menggigil, dan koagulopati. Intervensi
dilakukan pada kondisi peningkatan TIK pengaturan suhu pada anak dengan peningkatan
akut atau bila terdapat tanda awal herniasi. TIK dianjurkan dalam rentang normotermia.
Hipotermia sedang dianjurkan pada anak
dengan peningkatan TIK refrakter yang
Regulasi temperatur tidak berespons terhadap terapi. Penghentian
Mempertahankan temperatur pada rentang terapi hipotermia harus dilakukan perlahan
normal dapat mencegah komplikasi akibat untuk mencegah komplikasi seperti gangguan
hipotermia dan hipertemia. Anak dengan elektrolit, perburukan edema serebri, asidosis,
cedera neurologis dapat mengalami fluktuasi dan hipotensi.
suhu tubuh karena infeksi, sepsis, perdarahan
intrakranial, dan gangguan hipotalamus.
Peningkatan temperatur inti >37,50C Sedasi, analgesia, dan blok
berhubungan dengan terjadinya neuromuskular
peningkatan TIK dan kenaikan kebutuhan Anak dengan cedera otak akut yang
oksigen otak. Pada penelitian dengan hewan
mendapat ventilasi mekanik sebaiknya diberikan
coba, hipotermia dikatakan memiliki efek
sedasi dan analgesia yang cukup untuk
neuroprotektif dengan menurunkan
mencegah nyeri dan kecemasan. Agen yang
metabolisme serebral, pelepasan glutamat
sering digunakan meliputi opiod, benzodiazepin,
ekstraselular, mobilisasi kalsium, produksi
dan barbiturat. Pemberian agen blokade
radikal bebas dan sintesis nitrit oksida. Namun
neuromuskular dapat membantu mengontrol
penelitian yang lain menyebutkan bahwa
PaCO2, mencegah menggigil, dan gerakan
hipotermia (35-35,50C) berpotensi
meningkatkan kejadian pneumonia, pada penderita dengan ventilasi mekanik,
kerusakan kulit, ketidakseimbangan elektrolit, sehingga dapat mencegah peningkatan TIK.
Manajemen dan pencegahan kejang komplians intrakranial penderita dengan hipertensi
intrakranial refrakter.
Anak dengan cedera kepala akut berisiko
lebih besar mengalami kejang dibandingkan
orang dewasa, dikarenakan rendahnya ambang
kejang pada anak. Kejang pada peningkatan
TIK harus segera diatasi, karena kejang akan
meningkatkan laju metabolisme otak, aliran
darah otak, dan volume darah otak, yang
selanjutnya akan memperberat peningkatan
TIK. Kejang pada kondisi ini dapat diatasi
dengan pemberian golongan benzodiazepin
(misalnya lorazepam) atau fenitoin, dan
dilanjutkan dengan obat antiepilepsi dosis
rumatan selama minimal
2 minggu. Pemberian antiepilepsi pada anak
direkomendasikan dalam jangka pendek,
kecuali kondisi klinis dan etiologi kejang
pada penderita menunjukkan perlunya
pemberian obat antiepilepsi dalam jangka
waktu panjang.
Terapi barbiturat
Pemberian barbiturat dosis tinggi dilakukan pada
hipertensi intrakranial refrakter yang tidak
teratasi dengan intervensi yang telah
disebutkan diatas. Barbiturat dapat
menurunkan TIK dengan cara menurunkan
laju metabolisme otak, sehingga mengurangi
pemakaian glukosa dan kebutuhan oksigen.
Penelitian mengenai efektifitas barbiturat
pada peningkatan TIK intraktabel di bidang
pediatrik masih terbatas, namun beberapa
penelitian menunjukkan barbiturat
memperbaiki luaran penderita. Barbiturat dapat
menyebabkan instabilitas hemodinamik berat,
sehingga penggunaannya harus diawasi dengan
ketat, terutama status hemodinamik, tekanan
vena sentral, dan status oksigenasi.
Pembedahan
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan
yaitu evakuasi massa akut (tumor otak,
hematoma epidural) dan pemasangan
monitor TIK dengan ventrikulostomi.
Kraniektomi dekompresif untuk meningkatkan
Steroid enteral, karena diyakini dapat menurunkan
lama rawat inap di ruang intensif dan
Penggunaan kortikosteroid mencegah komplikasi.
diindikasikan untuk mengurangi
pembengkakan dan stabilisasi Anak yang mengalami hipertensi
membran sel pada kasus intrakranial sebaiknya mendapat cairan sesuai
peningkatan TIK karena lesi massa kebutuhan rumatan, kecuali ada indikasi
(tumor otak, abses), inflamasi, dan pemberian cairan bolus pada kondisi hipotensi,
infeksi. Steroid tidak dianjurkan hipovolemia, dan penurunan produksi urin.
pada peningkatan TIK akibat Cairan rumatan sebaiknya berupa salin normal
trauma kepala. dengan penambahan kalium klorida
berdasarkan berat badan. Cairan yang
diberikan hendaknya bersifat isotonis atau
Cairan, elektrolit, dan nutrisi hipertonis. Penggunaan cairan hipotonis
sebaiknya dihindarkan. Hiponatremia
Tujuan terapi cairan adalah
harus dicegah karena akan memperparah
mempertahankan penderita dalam
peningkatan TIK. Jika terjadi hiponatremia,
kondisi euvolemia, normoglikemia,
lakukan koreksi secara perlahan untuk
dan mencegah hiponatremia.
mencegah pontine myelinosis.
Pemberian dektrosa parenteral
dihindari pada
48 jam setelah kerusakan neurologis Perawatan
karena kemungkinan terjadinya
asidosis laktat, kecuali penderita Pemberian lidokain sebelum tindakan
mengalami hipoglikemia. Makanan suctioning dianjurkan untuk mengurangi
enteral mulai diberikan dalam 72 jam peningkatan TIK akibat tindakan. Pemberian
setelah cedera. Selama tidak ada analgesia dan sedasi yang adekuat
kontraindikasi, nutrisi diberikan secara diperlukan sebelum tindakan
Mutiara bernas atau prosedur yang dapat menyebabkan
• Tujuan tatalaksana peningkatan nyeri, kecemasan, atau peningkatan TIK.
TIK adalah untuk mencegah dan Kondisi ruangan yang tenang dapat
meminimalkan kerusakan sekunder mengurangi stimulus visual dan auditori
• Tata laksana awal peningkatan TIK pada penderita. Memberi kesempatan untuk
meliputi penanganan jalan napas (airway), dukungan keluarga pada pasien dengan
pernapasan (breathing), dan sirkulasi peningkatan TIK sangatlah penting, namun
(circulation) tetap dengan memperhatikan tanda vital
• Pertahankan PaO2 >60 mmHg dan pasien.
SpO2 >90% untuk menjaga kecukupan
oksigenasi
• Pertahankan kecukupan perfusi sistemik KEPUSTAKAAN
untuk mencegah hipotensi dan
hipoksia 1. Abend NS, Kessler SK, Helfaer MA, Licht
DJ. Evaluation of the comatose child. Dalam:
• Pertahankan nilai TIK dan tekanan Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of
perfusi otak sesuai usia pediatric intensive care. Edisi ke-4.
• Drainase cairan serebrospinal jika ada Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
indikasi 2008. h. 847-61.
• Posisikan kepala pada garis tengah 2. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J
sumbu tubuh dan elevasi kepala 15- Neurol Neurosurg Psychiatry.
300 2002;73(Supp):i23–7.
3. Keenan HT, Nocera M, Bratton SL. Frequency
• Hiperventilasi hanya dilakukan untuk of intracranial pressure monitoring in infants
peningkatan TIK akut atau bila and young toddlers with traumatic brain
terdapat tanda awal herniasi injury. Pediatr Crit Care Med. 2005; 6:
• Pertahankan normotermia 537–41.
• Manitol diberikan bila TIK > 20 4. Larsen GY, Goldstein B. Increased
mmHg, pertahankan osmolalitas intracranial pressure. Pediatr Rev.
serum <320 mOsm/L 1999;20:234-9.
• Pertahankan euvolemia 5. Marcoux KK. Management of increased
intracranial pressure in the critically ill
• Monitor elektrolit, cegah hiponatremia child with an acute neurological injury.
• Monitor glukosa, cegah hipoglikemia atau AACN Clin Issues. 2005; 2: 212–31.
hiperglikemia 6. Nelson DS. Coma and altered level of
• Pemberian lidokain sebelum tindakan consciousness. Dalam: Fleisher GR, Ludwig
S, penyunting. Textbooks of pediatric
suctioning
emergency medicine. Edisi ke-4.
• Pemberian sedasi dan analgesia yang Philadelphia: Lippincott Williams &
adekuat, pertimbangkan blokade Wilkins; 2010. h. 177-87
neuromuskular 7. Nortje J, Gupta AK. The role of tissue oxygen
• Monitor aktivitas kejang, berikan monitoring in patients with acute brain
antiepilepsi jika ada indikasi injury. Br J Anaesth. 2006;97:95–106.
• Mulai pemberian nutrisi enteral setelah 8. Ranjit S. Management of a comatose patient
72 jam with intracranial hypertension: current
concepts. Indian J Pediatr. 2006;43:409-15.
• Minimalisir stimulus visual dan 9. Sharma A. Raised intracranial pressure and
auditori its management. JK Science. 1999;1:13-21.
10. White H, Venkatesh B. Cerebral perfusion
pressure in neurotrauma: a review. Anesth
Analg. 2008;107:979–88.
7 Pemantauan Susunan Saraf
Pusat di Pediatric Intensive
Care Unit
Setyabudhy, Saptadi Yuliarto
sharp waves pada lobus temporalis, tahap yang reversibel, sekaligus menentukan
sehingga dapat membantu menegakkan lokasi jejas SSP. Kematian sel terjadi bila aliran
diagnosis pada awal perjalanan penyakit. darah serebral (cerebral blood flow, CBF)
Pemeriksaan EEG harus segera dilakukan turun di bawah 12 mL/100
pada pasien yang diduga menderita EHS.
Pemeriksaan EEG juga sangat bermanfaat
untuk mendeteksi status epileptikus non-
konvulsif, terutama apabila penyebabnya tidak
jelas dan tidak ada tanda klinis yang
menunjukkan aktivitas kejang. Pemantauan
EEG dapat membantu menghindari under
treatment dan over treatment pada status
epileptikus. Under treatment dapat
menyebabkan asidosis metabolik, rabdomiolisis
dan kematian neuron, sedangkan over treatment
lebih sering terjadi dan dapat mengakibatkan
gagal nafas iatrogenik dan kolaps
kardiovaskular. Seringkali pasien yang sakit
kritis menunjukkan gerakan involunter yang
menyerupai kejang, seperti tremor,
mioklonus, spasme dan posturing.
Pemeriksaan EEG membantu membedakan
gerakan-gerakan tersebut dengan status
epileptikus.
Pemantauan terhadap fungsi
kardiovaskular dan respirasi di ICU
dilakukan secara ketat menggunakan
berbagai kateter, transduser, dan monitor
digital. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan deteksi dini terhadap terjadinya
perburukan kondisi. Namun, pemantauan SSP
hanya dilakukan secara berkala dan subyektif,
yang umumnya dikerjakan oleh perawat. Hal
ini seringkali tidak cukup akurat dan cepat.
Sebagai contoh, apabila telah ditemukan
dilatasi pupil unilateral maka upaya intervensi
sudah terlambat. Kesulitan pemantauan klinis
diperberat pada pasien yang mendapatkan
sedasi atau mengalami paralisisis
neuromuskular.
Elektroensefalogram sangat bermanfaat
dalam memonitor SSP pada pasien yang
secara klinis sulit dinilai dan memiliki
kemampuan mendeteksi cedera SSP pada
stadium dini. Pemeriksaan EEG sensitif
untuk mendeteksi iskemia dan hipoksia,
dapat mendeteksi disfungsi neuron pada
48 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
g/min, sedangkan EEG telah menunjukkan subklinis, SE nonkonvulsif persisten,
abnormalitas bila CBF turun menjadi 20-25 ensefalopati metabolik, dan kondisi
mL/100 g/menit. Kemampuan EEG neurologis yang membatasi kemampuan pasien
mendeteksi penurunan CBF sebelum terjadi untuk memberikan respon (misalnya trauma
kematian sel sangat bermanfaat pada batang otak, sindrom neuropati perifer
tindakan tertentu, misalnya operasi bedah berat).
jantung dan karotis. Pada keadaan tersebut, Pemeriksaan EEG kontinu 24 jam dengan
EEG dapat memberikan peringatan kepada rekaman video lebih bermanfaat dibandingkan
dokter bedah atau anestesi akan terjadinya pemeriksaan EEG rutin. Prognosis pasien yang
perubahan perfusi serebral. Penggunaan menderita ensefalopati hipoksik iskemik juga
serupa dapat diterapkan pada pasien yang dapat diperkirakan dengan pemeriksaan tersebut.
dirawat di ICU dengan kondisi iskemia Pemantauan EEG kontinu 24 jam atau serial
intrakranial atau perdarahan intrakranial dapat pula digunakan untuk konfirmasi
dimana CBF rentan mengalami gangguan. kematian otak.
Penggunaan EEG kontinu 24 jam
atau video-EEG monitoring semakin banyak
dipertimbangkan di ICU untuk berbagai Tekanan Intrakranial (TIK)
indikasi klinis, misalnya untuk pemantauan Peningkatan TIK merupakan penyebab kematian
status epileptikus (SE) dan koma akibat terbanyak pada kasus bedah saraf dan trauma
pemberian terapi (therapeutically induced coma) kepala berat. Peningkatan TIK yang menyertai
pada pasien SE refrakter dan cedera otak cedera otak akibat trauma biasanya diikuti
akibat trauma. Demikian juga telah terbukti dengan cedera sekunder akibat penurunan
bahwa EEG kontinu 24 jam sangat perfusi serebral. Intervensi yang ditujukan untuk
bermanfaat dalam pemantauan terhadap mengendalikan kenaikan tekanan intrakranial
pasien yang berisiko mengalami kejang
menghasilkan perbaikan luaran neurologis tekanan perfusi serebral dan aliran darah otak
dan peningkatan angka kesintasan. Tujuan menurun, otak harus mengekstraksi oksigen dalam
utama pemantauan dan manajemen jumlah yang sama dari volume darah yang lebih
peningkatan TIK adalah mencegah cedera sedikit, sehingga menyebabkan
iskemia. Walaupun beberapa ahli masih belum
sependapat mengenai manfaat memasang alat
pemantauan TIK yang invasif, laporan
berbasis bukti terkini menyebutkan bahwa
pada anak dengan cedera otak akibat trauma
pemasangan alat pemantauan TIK sangat
dianjurkan karena bermanfaat dalam
menentukan terapi dan mempengaruhi
luaran.
Metode pemantauan TIK yang paling
banyak dipakai saat ini menggunakan kateter
intraventrikel atau intraparenkim. Kateter
intraventrikel lebih sering dipakai, merupakan
metode yang lebih langsung dibandingkan
kateter intraparenkim, dan memberikan hasil
yang lebih akurat. Selain itu, pemasangan
kateter intraventrikel juga memungkinkan
untuk mengeluarkan sejumlah cairan
serebrospinal (CSS) untuk mengurangi tekanan
intrakranial dan memasukkan sejumlah larutan
garam fisiologis guna menentukan
hubungan tekanan-volume dari otak, yang
bertujuan untuk memperkirakan komplians
serebral. Risiko pemasangan kateter intraventrikel
adalah terjadinya infeksi sehingga harus
dilepas segera setelah kondisi
memungkinkan.
Dimana:
OKSIGENASI fiO2 = fraksi oksigen inspirasi
Pb = tekanan parsial uap air (mm
Untuk dapat mempertahankan kehidupan, hg) PaCO2 = tekanan parsial CO2 arteri
jaringan memerlukan oksigen. Faktor yang R = respiratory exchage ratio, besarnya 0,8
berperanan pada hantaran oksigen ke
jaringan yaitu ventilasi yang adekuat,
pertukaran gas/ difusi, dan distribusi
sirkulasi/perfusi.
52 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Setelah masuk ke dalam alveoli, udara DO2 baik pada keadaan sehat maupun sakit.
akan mengalami pertukaran gas (oksigen dan
Pada keadaan normal rasio ventilasi-perfusi
karbon dioksida) dari alveolus ke darah melalui
adalah 0,8. Dalam keadaan ekstrim seperti
dinding alveolus dan dinding pembuluh
perfusi nol (misalnya emboli), maka rasio
darah yang disebut difusi, dan merupakan
ventilasi perfusi menjadi tak terhingga, dan
langkah ke dua dalam transpor oksigen.
sebaliknya apabila ventilasi nol (misalnya
Pertukaran gas secara difusi ditentukan oleh
atelektasis) maka rasio ventilasi-perfusi
tekanan partial gas (oksigen dan karbon
menjadi nol.
dioksida) di alveolus dan darah, luas
permukaan membran difusi, dan ketebalan Oksigen yang telah
membran difusi. Udara akan berpindah dari berdifusikedalamdarah kemudian dialirkan
tekanan partial tinggi ke tekanan partial keseluruh tubuh. Hantaran oksigen ke jaringan
rendah. Disamping itu permukaan alveolus merupakan hasil dari curah jantung (cardiac
yang sangat luas dan ketebalan dinding output) dan kandungan oksigen arteri (oxygen
alveolus dan pembuluh darah yang sangat content). Didalam darah oksigen berada
tipis mempermudah proses difusi. dalam 2 bentuk yaitu terlarut dalam
Dalam keadaan normal, tekanan parsial plasma dan terikat pada hemoglobin. Jumlah
oksigen dalam darah yang melewati oksigen yang larut dalam plasma sebanding
kapiler pulmonalis sama dengan tekanan dengan tekanan partial oksigen, tiap 1 mm
parsial oksigen di alveolus. Apabila terjadi Hg PaO2 akan larut sebesar 0,003 mL
gangguan pada pertukaran gas di paru, oksigen dalam 100 mL plasma. Sedangkan
maka PaO2 di dalam darah akan turun, setiap 1 gram hemoglobin dengan saturasi
disebut sebagai hipoksemia. Selain oksigen penuh akan mengikat 1,34 ml
menyebabkan penurunan PaO2, gangguan oksigen. Karena itu kandungan oksigen adalah
pertukaran gas juga akan menyebabkan penjumlahan dari oksigen yang terikat pada
peningkatan perbedaan antara PO2 alveoli hemoglobin ditambah dengan oksigen yang
dan arteri (A-a DO2). Keadaan yang dapat larut dalam plasma.
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran Kurva disosiasi hemoglobin (Gambar
gas di paru adalah: 1) hipoventilasi, 8.1) menggambarkan proses pengikatan dan
2) gangguan difusi, 3) pirau aliran darah pelepasan oksigen di paru dan jaringan. Titik
paru (shunt), dan 4) ketidak seimbangan A menggambarkan darah yang baru
antara meninggalkan paru dengan saturasi 97%
dan PaO2 98 mm
ventilasi – perfusi (mismatching). Ketidak seimbangan ventilasi – perfusi
Hipoventilasi merupakan satu- merupakan penyebab tersering peningkatan A-a
satunya gangguan pertukaran gas yang tidak
meningkatkan A-a DO2. Pada keadaan ini
hipoksemia terjadi karena peningkatan
PaCO2 akan menurunkan PAO2. Gangguan
difusi terjadi karena ketidak sesuaian antara
tekanan gas di alveoli dan kapiler pulmonalis,
akibatnya penurunan PaO2 disertai dengan
peningkatan A-a DO2. Pirau (shunt) adalah
suatu keadaan ketika darah vena melalui
alveoli yang tanpa ventilasi. Pada pirau
kanan ke kiri, PaO2 akan turun karena darah
kapiler mengalami dilusi oleh darah vena yang
telah mengalami deoksigenasi.
Hg. Titik B menggambarkan darah yang akan Terapi Oksigen 53
menuju paru dengan saturasi 75% dan kanan, artinya terjadi penurunan afinitas
PaO2 40 mm Hg hemoglobin terhadap oksigen (oksigen mudah
Afinitas hemoglobin terhadap dilepaskan). Apabila terjadi penurunan
oksigen dipengaruhi oleh PaCO2, PaCO2, konsentrasi io H+, suhu tubuh dan
konsentrasi ion H+, suhu tubuh dan enzim 2,3 DPG maka kurva akan bergeser
enzim 2.3 difosfogliserat (2,3 DPG). ke kanan, artinya terjadi peningkatan
Peningkatan PaCO2, konsentrasi ion afinitas hemoglobin terhadap oksigen
H+, suhu tubuh dan enzim 2,3 DPG (oksigen sukar dilepaskan). Keadaan-
akan menyebabkan kurva bergeser ke keadaan yang mempengaruhi pergeseran kurva
Sat
100%
dari udara ekspirasi atau volume udara Kecepatan aliran oksigen fiO2 (%)
dalam ruang rugi anatomis dimungkinkan 100% (liter)
untuk masuk kembali kedalam kantung A. Kanula nasal atau
reservoar. Untuk mencegah agar pada kateter: 1 l 24
saat bernapas tidak menghirup CO2, 2l 28
3l 32
maka aliran gas inspirasi harus
4l 36
dipertahankan pada atau lebih dari 6 5l 40
L/menit. Bahayanya sungkup jenis ini 6l 44
adalah sering dianggap sebagai sungkup b. Sungkup oksigen:
nonrebreathing sehingga dalam keadaan 5-6 l 40
gawat darurat akan sangat merugikan. 6-7 l 50
7-8 l 60
C. Sungkup dengan kantung
Sungkup Venturi. Sungkup venturi reservoar:
mempunyai katup dengan ukuran dan 6l 60
kode warna yang berbeda, setiap alat 7l 70
memerlukan aliran gas tertentu untuk 8l 80
menghasilkan konsentrasi oksigen yang teta p. Untuk merubah
konsentrasi oksigen 9l ≥80
10 l ≥80
Sebagai patokan untuk mengetahui kadar Tabel 8.3 Indikasi pemberian oksigen berdasarkan perlu
FiO2 yang dihasilkan pada pola pernafasan tidaknya kontrol fiO2
normal bila diberikan oksigen 100% dengan
Tidak memerlukan Asma
alat-alat pemberian oksigen aliran rendah
terapi oksigen Pneumonia
dapat dilihat pada Tabel 8.1. terkontrol bronkiolitis
Distres pernafasan
henti jantung dan nafas
Mutiara bernas Emboli paru
Syok
• Tujuan terapi oksigen adalah untuk Septik
mengatasi hipoksemia, menurunkan hipovolemik
usaha napas dan mengurangi kerja Gagal jantung
Infark miokardium
miokardium Intoksikasi karbon monoksida
• Cara yang terbaik untuk menilai Memerlukan terapi Penyakit paru obstruktif kronis
oksigenasi adalah dengan mengukur oksigen bayi prematur
saturasi oksigen arteri perifer (abnormal terkontrol
bila SaO2 <95%) dan tekanan partial
oksigen darah arteri (PaO2 <80 mm
Hg). Hipoksia pada tingkat jaringan
mungkin tetap terjadi meskipun SaO 2 Untuk memilih jenis alat yang akan
dan PaO2 berada dalam batas normal dipakai dalam terapi oksigen perlu
dipertimbangkan faktor sebagai berikut: (a)
kenyamanan pasien,
(b) FiO2 yang diinginkan, (c) perlu
tidaknya pengontrolan FiO2, dan (d) perlu
Pedoman Klinis Pemberian Terapi tidaknya gas inspirasi dilembabkan.
Oksigen
Pada keadaan sakit akut, oksigen Pemantauan Terapi Oksigen
diberikan sebagai bagian dari usaha untuk Untuk menilai apakah terapi oksigen
mempertahankan bebasnya jalan nafas. Pada sudah adekuat dan efektif diperlukan
keadaan henti jantung, henti nafas, distres pemantauan klinis dan laboratoris yang
pernafasan atau hipotensi, dosis oksigen teliti.
diberikan secara empiris (Tabel 8.2 dan
Tabel 8.3), selanjutnya segera lakukan Pemantauan klinis meliputi pemeriksaan
pemeriksaan analisis gas darah untuk jantung, paru, status neurologis, dan usaha
menilai derajat nafas, yang terdiri dari tingkat kesadaran,
frekuensi jantung, frekuensi napas, tekanan
darah,
hipoksemia, tekanan parsial CO2 (PaCO2), dan sirkulasi perifer (waktu pengisian kapiler normal
status asam basa. 1-2 detik), dan ada atau tidaknya sianosis.
Bila memungkinkan, lakukan pemantauan
variabel fisiologis dengan cara non invasif (pulse
Tabel 8.2 Petunjuk dosis awal pemberian oksigen oxymeter) atau invasif (analisis gas darah). Jika
fiO (%) memungkinkan, lakukan pemeriksaan PaO2
2
henti jantung dan nafas 40
m 100
hipoksemia dengan PaCO2 < 40 40-60
mmhg hipoksemia dengan PaCO2 > m
hg Mulai dari 24
dan saturasi sebelum p riksaan gas darah atau oksimeter harus
pemberian terapi e diulang untuk
oksigen. Setelah m menentukan FiO2 yang akan diberikan untuk
dilakukan terapi oksigen, e mencapai PaO2 >59 mm Hg atau SaO2
>90%. Oksimetri dapat memantau saturasi refleks pengaturan ventilasi dan perfusi. Depresi
oksigen secara berkesinambungan dan ventilasi dapat terjadi pada pasien dengan
sangat bermanfaat apabila analisis gas darah
sukar diperiksa atau tidak tersedia.
Bayi
I6x 75%
Dewasa 3x 44%
Gambar 9.1. hubungan antara diameter jalan napas, perbedaan tekanan jalan napas dan aliran udara
subglotisbayidan anak tersusun atas jaringan sehingga lebih mudah untuk menutup
ikat longgar (loose connective tissue) yang langit- langit. Lidah juga merupakan
dapat dengan mudah mengalami penyebab paling sering obstruksi jalan
ekstensi akibat inflamasi dan edema napas, terutama pada bayi dan anak yang
(terutama pada infeksi virus mengalami penurunan kesadaran.
laringotrakeobronkitis/ penyakit croup), Dengan melakukan perasat jaw-
yang secara dramatis akan mereduksi
kaliber jalan napas. Hal yang sama juga
dapat terjadi jika ukuran pipa endotrakeal Tabel 9.1. Perbedaan anatomi jalan napas anak
(endotracheal tube/ETT) terlalu besar atau dan dewasa
inflasi berlebihan dari balon DEWASA ANAK
pengembang (cuff). lidah relatif kecil relatif besar
Pada anak, laring berlokasi di setentang laring setinggi C4-C5 setinggi C3-C4,
lebih ke anterior
level vertebra C2-C3 yang relatif lebih Epiglotis lebar, elastis sempit, kaku
cefalad dari leher bila dibandingkan Diameter pita suara rawan krikoid
dewasa yang terletak setinggi C4-C5 terkecil
(tabel 9.1).
Lidah bayi dan anak relatif lebih besar Panjang trakea 10-13 cm bayi: 4-5 cm, 18
dibandingkan ukuran rongga mulutnya bulan: 7 cm
thrust atau menempatkan pipa jalan napas
(oral atau nasal pharyngeal tube) maka
lidah akan terangkat ke atas dan dapat
terhindar dari obstruksi. Oksiput pada
bayi dan anak lebih besar dan menonjol,
sedangkan leher dan bahunya cenderung
pendek, sehingga akan membatasi
visualisasi glotis pada saat laringoskopi.
Gambar 9.3. Diagram jalur ventilasi dan organ yang rentan terkena
penyakit Struktur mayor Organ yang rentan terkena penyakit
Informasi ventilatori aferen Kemoreseptor sentral dan perifer
Aferen vagal
Pusat pernapasan Serebral, medulla
Saraf motorik ventilatori Eferen vagal
Sistem saraf simpatis
Saraf frenikus dan interkostal
Neuromuscular junctions Neurotransmitter kolinergik
Rongga toraks Diafragma, sela iga dan tulang iga
jalan napas besar laring, trakea dan bronkus utama
Struktur paru jalan napas kecil, pembuluh darah dan aliran limfe
rl r3
r2
A B
Gambar 9.4. Model alveoli sesuai dengan rumus laplace (a) dan model
interdependensi dari alveoli (b)
tampak alveoli yang ideal yaitu komplians statis a. Pasokan oksigen (oxygen delivery)
dan dinamisnya seimbang. Interaksi antara
Pasokan oksigen merupakan proses
resistensi dan komplians menghasilkan
penghantaran oksigen dari atmosfir ke sel suatu
aliran udara yang lebih banyak dihantarkan
organ dan terdiri dari 3 cara (gambar
ke alveoli yang paling komplians tanpa
9.7):
bergantung pada laju inflasinya. Gambar
9.6b memperlihatkan fenomena klasik pada 1. Konveksi: masuknya udara luar ke dalam
sebagian besar pasien dengan gangguan paru-paru, dan hantaran oksigen dari
respirasi. Udara inspirasi yang masuk jantung ke target organ.
cenderung dihantarkan ke alveoli yang lebih 2. Difusi: masuknya oksigen dari alveolar
kaku (stiff) jika laju inflasi dipercepat. Pada ke dalam darah dan keluarnya oksigen
jeda di akhir inspirasi, udara akan dari darah ke jaringan.
mengalami redistribusi dari alveoli yang 3. Reaksi kimia: terikatnya oksigen dengan
“cepat” ke alveoli yang “lambat”. hemoglobin.
Komplians
(a) tinggi
Komplians
rendah (KaKu)
Resistensi
Resistensi tinggi
rendah
0
25 50 75 I00
PO2 (mmHg)
Gambar 9.8. Kurva disosiasi oksigen: P50 adalah tekanan parsial oksigen
ketika 50% hemoglobin tersaturasi
F
Konsumsi OKsigen (VO2)(ml/min)
B E C
AD
200
I00
Gambar 9.9. hubungan antara pasokan oksigen (DO2) dan konsumsi oksigen (vO2)
Pisau
VA Alveolus normal
= VA
= 0,8
0 O
50 O
Ruang rugi
Pco2 (mmHg)
VA
=
O 8
25
0
0 50 I00 I50
PO2 (mmHg)
V
FE
FEVFVC
iK
det
I
FEV
I detiK
FVC
FVC
Gambar 9.12. Perbedaan fEv dan fvC pada paru normal (A), obstruktif (b) dan restriktif (C)
70 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
akhirnya otot diafragma dan otot pernapasan seksama karena hal-hal tersebut merupakan
lainnya mengalami kelelahan/fatigue. tanda dini dari kelelahan otot pernapasan.
Hipokalemia dapat terjadi karena pergeseran
Gambaran klinis status asmatikus kalium intrasel akibat paparan dengan
obat agonis beta.
Anak dengan status asmatikus memperlihatkan
variasi derajat gejala distress pernapasan dan
abnormalitas pertukaran gas. Mengi yang Interaksi kardiopulmonal pada
merupakan petanda khas (hallmark) asma status asmatikus
menjadi petunjuk klinis utama.
Kemungkinan mengi yang terjadi akibat Hiperinflasi dinamik pada asma berat
pneumonia, aspirasi benda asing dan gagal dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular
jantung kongestif harus disingkirkan dulu. karena volume paru yang meningkat akan
Pemeriksaan fisik diagnostik cepat (rapid mengakibatkan regangan (streching) pembuluh
darah paru, peninggian tahanan vaskular
assessment) harus terfokus pada penilaian
derajat keparahan obstruksi jalan napas paru dan afterload ventrikel kanan.
yang berlangsung. Fluktuasi tekanan pleura juga mempengaruhi
aliran balik vena (venous return). Selama fase
Observasi dilakukan terhadap keadaan inspirasi, afterload ventrikel kiri meningkat
umum, patensi jalan napas, efektifitas usaha dan tekanan darah sistolilk menurun. Variasi
napas dan sirkulasi yang adekuat. Anak tekanan darah sistolik dengan tekanan
dengan status asmatikus terlihat letargis dan intratorakal selama fase inspirasi dinamakan
diaforetik, tidak mampu bersuara dan pulsus paradoksus (gambar 9.13). Penurunan
memperlihatkan retraksi berat pada dinding tekanan darah sistolik >10- 15 torr
dada dengan pernapasan torakoabdominal berasosiasi dengan penurunan fungsi
yang paradoks. Mengi yang terdengar pernapasan pada anak dengan status
biasanya simetris pada kedua hemitoraks kiri asmatikus.
dan kanan. Jika terdengar mengi yang asimetris,
pikirkan terjadinya atelektasis unilateral,
pneumotoraks atau benda asing.
Manajemen klinis
The silent chest merupakan indikasi adanya
pneumotoraks, sumbatan total aliran udara a. Manajemen di ruang gawat darurat
akibat obstruksi jalan napas yang parah (emergency room)
dan ancaman gagal napas. Hipoksemia yang Pengenalan tanda dini ancaman gagal napas
dipantau dengan pulse oxymetri dapat pada anak asma berat dan status asmatikus
menggambarkan derajat keparahan klinis. akan menghambat progesifitas air trapping,
Analisis gas darah pada awal gejala distres kekurangan oksigen dan kelelahan otot
napas memperlihatkan kondisi hipoksemia dan pernapasan sehingga dapat mencegah
hipokarbia. Jika distres napas menjadi semakin kegagalan pernapasan yang membutuhkan
berat, PaCO2 dapat menjadi normal bahkan tunjangan ventilasi mekanik. Manajemen
meningkat. Asidosis laktat kerap dijumpai pada anak dengan status asmatikus di ruang
karena peningkatan produksi laktat akibat emergensi harus bertumpu pada
dehidrasi dan penggunaan otot pernapasan pemeriksaan atau penilaian ancaman gagal
yang berlebihan. Pada penderita status napas yang segera diikuti dengan
asmatikus dengan sesak napas hebat, nilai intervensi terapeutik, yaitu pemasangan
PaCO2 normal dan hiperventilasi harus jalur intravena, pemberian oksigen dan
dipantau dengan inhalasi kontinu agonis beta serta
kortikosteroid intravena.
b. Manajemen di ruang rawat Agonis beta inhalasi
intensif pediatri (PICU)
Agonis beta merupakan agen
Perawatan umum simpatomimetik yang dapat menyebabkan
Indikasi rawat di PICU pada anak dengan relaksasi otot polos bronkus secara langsung,
status asmatikus adalah penurunan kesadaran, merupakan komponen kunci dalam terapi
henti napas dan peningkatan PaCO2 yang asma. Albuterol dan terbutalin paling umum
sejalan dipakai karena tersedia luas, awitan kerja
pendek, agonis ß2 selektif dan
dengan gejala kelelahan otot pernapasan. diberikan secara inhalasi. Inhalasi albuterol
Penderita yang dirawat di PICU membutuhkan
tersedia dalam dua bentuk: salbutamol atau
oksigen, akses vaskular (vena dan arterial),
levalbuterol. Pemberian nebulisasi kontinu
pemantauan kardiorespirasi dan pulse
lebih memperlihatkan perbaikan klinis
oximetry kontinu. Pemberian cairan dibandingkan dosis intermiten. Dosis
resusitasi dan rumatan bergantung pada albuterol untuk nebulisasi kontinu adalah
kondisi hemodinamik. Hindari overhidrasi 0,15-0,5 mg/kg BB/ jam atau 10-20 mg/jam.
karena pasien status asmatikus berisiko Jika akan disapih, dapat diberikan albuterol
mengalami edema paru akibat peningkatan
intermiten dengan Metered Dose Inhaler/MDI
permeabilitas mikrovaskular paru, peninggian
dengan dosis 4-8 puffs tiap dosisnya (tiap
afterload ventrikel kiri dan migrasi cairan
puff berisi 90 mcg).
alveoli akibat proses inflamasi paru pada
asma.
Agonis beta intravena dan subkutan
Paling baik dalam memberikan perbaikan
farmakoterapi klinis. Terbutalin terbukti efektif, dapat
diberikan baik secara intravena atau
Kortikosteroid
subkutan jika akses vaskular tidak tersedia.
Pemberian kortikosteroid sistemik mampu Dosis intravena dimulai dengan loading dose
mengurangi lama rawat di rumah sakit. 10 mcg/kgBB selama
Inhalasi kortikosteroid tidak terbukti efektif 10 menit diikuti infus kontinu 0,1-10 mcg/
secara klinis begitu juga pemberian secara kgBB/menit. Dosis subkutan 0,01 mg/kgBB/
enteral. Metilprednisolon merupakan kali dengan dosis maksimal 0,3 mg/kali,
steroid yang paling umum digunakan, dosis dapat diulang tiap 15-20 menit hingga 3
inisial 2 mg/kg BB diikuti 0,5-1 mg/kg BB/kali kali.
diberikan setiap 6 jam. Deksametason dan
hidrokortison juga dapat digunakan. Durasi
pemberian bergantung pada derajat Methylxanthine
keparahan asma. Penggunaan methylxanthine pada anak sakit
kritis dengan status asmatikus sudah mulai
TeKanan t
darah o EKspirasi
sistoliK
r
I00 r Inspirasi
80
60
EK spirasi
Aliran (Limit)
WaKtu (detiK)
EKshalasi
Air
Tragging
2. Pneumonia berat yang berasal dari dan VAP biasanya disebabkan oleh basil
komunitas (Community-Acquired Gram negatif aerobik (seperti: Pseudomonas
Pneumonia/CAP). aeruginosa, Klebsiella pneumoniae dan
3. Pneumonia pada anak dengan status Acinetobacter sp.) atau kokus Gram positif
imunitas rendah (pneumonia in (seperti: Staphylococcus aureus dan sebagian
immunocompromised children) besar Methicillin Resistant Staphylococcus
Aureus/MRSA). Pada pasien yang diduga
menderita HAP, sampel sekret saluran napas
bawah harus diambil untuk diperiksa
hosPitAl-AcQuiReD PNeuMoNiA (hAP)
sebelum dilakukan penggantian antibiotika.
DANVeNtilAtoR-AssociAteD PNeuMoNiA (VAP) Pada semua pasien yang dicurigai menderita
Hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah VAP harus dilakukan pemeriksaan kultur
pneumonia yang timbul dalam waktu 48 darah dan kultur sekret saluran napas bagian
jam setelah rawat inap, tidak dalam masa bawah. Jika pengambilan sekret saluran
inkubasi pada saat pasien masuk. Hospital- napas bawah secara bronkoskopik tidak
acquired pneumonia (HAP) merupakan infeksi tersedia maka pengambilan sekret secara
nosokomial yang menyumbang 25% dari semua non-bronkoskopik untuk kultur kuantitatif
infeksi di ICU, hampir 90% diantaranya muncul dapat digunakan sebagai petunjuk terapi
pada saat penggunaan ventilasi mekanik. antibiotika.
Ventilator-associated pneumonia (VAP) Infeksi ekstrapulmonar harus
adalah pneumonia yang timbul dalam waktu disingkirkan sebelum memberikan terapi
24-48 jam setelah intubasi endotrakeal, dialami antibiotika. Apabila diduga pneumonia atau
oleh 9-27% dari semua pasien yang menunjukkan tanda sepsis, pemberian
diintubasi. Mikroorganisme patogen terapi antibiotika segera diberikan tanpa
penyebab HAP dan VAP berasal dari alat-alat memperdulikan pemeriksaan sekret saluran
perawatan kesehatan, lingkungan dan transfer napas bawah dapat menemukan bakteri atau
mikroorganisme antara pasien dan staf medis tidak (gambar 9.15). Terapi dini antibiotika
atau antar pasien. Bakteri merupakan harus diberikan dengan cepat karena
penyebab tersering HAP dan VAP, biasanya penundaan akan meningkatkan mortalitas VAP.
bersifat polimikroba terutama pada pasien Terapi dini antibiotika yang tepat dan
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). adekuat diupayakan mengikuti suatu
Hospital-acquired pneumonia (HAP) protokol pemilihan antibiotika yang
disesuaikan dengan pola resistensi rekomendasi. Diharapkan setiap PICU
antibiotika setempat atau berdasarkan mempunyai data lokal tersendiri dan
Tabel 9.2. Terapi antibiotika empiris awal untuk pasien HAP dan VAP tanpa faktor risiko bakteri
multiresisten/MDR (awitan awal dengan berbagai derajat beratnya penyakit)
Patogen potensial Antibiotika yang direkomendasikan
streptococcus pnemoniae Seftriakson
Haemophilus influenzae Atau
Methicillin sensitive Ampisilin/Sulbaktam
staphylococcus aureus
basil Gram negatif enterik sensitif terhadap antibiotika
escherichia coli
Klebsiella pneumoniae
enterobacter spp
Proteus spp
serratia marcesens
Tabel 9.3. Terapi antibiotika empiris awal untuk pasien HAP dan VAP awitan lanjut atau dengan faktor
risiko bakteri multiresisten/MDR dan berbagai derajat beratnya penyakit
Patogen potensial Kombinasi antibiotika yang direkomendasikan
Pseudomonas aeruginosa Sefalosporin antipseudomonal
Klebsiella pneumoniae (extended spectrum Beta- (sefepim, seftazidim)
lactamase/ esBl)
Acinetobacter sp Atau
Karbapenem antipseudomonal
(Imipenem atau Meropenem)
Atau
beta-laktam / inhibitor beta-laktamase
(piperasilin- tazobaktam)
plus
Aminoglikosida (amikasin, gentamisin atau
tobramisin) plus
Methicillin Resistant staphylococcus Aureus (MRsA) Salah satu obat diatas ditambah linezolid, vankomisin atau
teikoplanin
Awitan lambat (> 5 hari) atau adanya faktor risiko untuk patogen
bakteri Multi Drug Resistance/MDR
Tida Y
k a
perburukan klinis secara cepat. Pada pasien Pada populasi anak dan remaja, CAP
yang memperlihatkan respons terapi, harus umumnya disebabkan Mycoplasma
dilakukan de-eskalasi antibiotika, dengan pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae.
mempersempit terapi yang mengacu pada
rejimen sesuai hasil kultur. Pasien yang tidak American Thoracic Society (ATS)
menunjukkan respons hendaknya dicari membuat panduan indikasi rawat di ruang
faktor non-infeksi, infeksi ekstrapulmonal intensif pada pasien dengan CAP. Skor
serta komplikasi lainnya. Pneumonia Severity Index (PSI) pada
dewasa dapat menjadi perangkat untuk
deteksi risiko komplikasi dan kematian.
Untuk populasi anak, belum ada panduan
coMMuNitY-AcQuiReD PNeuMoNiA serupa yang dapat dijadikan pedoman.
(cAP)
Indikasi perawatan di ruang rawat intensif
Pasien anak yang dirawat di ruang rawat pada pasien CAP adalah jika ditemukan:
intensif pediatri sebagian besar mengalami 1. Satu atau dua kriteria
infeksi bakteri. Streptococcus pneumoniae mayor Kriteria mayor:
adalah kuman tersering yang diidentifikasi
sebagai penyebab CAP. Pneumonia karena membutuhkan tunjangan ventilasi
Haemophilus influenzae sekarang sudah jarang mekanik untuk menjaga kecukupan
ditemukan setelah adanya program imunisasi oksigen dan ventilasi
Haemophilus influenzae tipe B yang ekstensif. syok septik
Virus Respiratory Syncytial (RSV) merupakan 2. Dua atau tiga kriteria
virus penyebab CAP terbanyak pada balita. minor Kriteria minor :
Virus lain yang sering menyerang di masa
Tekanan darah sistolik rendah (< 2 SD
bayi adalah adenovirus, virus influenza, virus
sesuai umur)
parainfluenza dan human metapneumovirus.
penyakit infeksi paru infeksi yang paling umum ditemukan.
multilobar Pemberian dosis rendah trimetoprim-
rasio PaO /FiO < 250
sulfametoksazol atau
2 2
agen profilasis alternatif lain seperti pentamidine
efektif untuk mencegah PCP.
PNEUMONIA PADA ANAK DENGAN karena Pneumonitis carinii (PCP) merupakan
STATUS IMUNITAS RENDAh
(iMMuNocoMPRoMiseD chilDReN)
Penderita gangguan sistem imun
(Immunocompromised) adalah anak dengan
defisiensi mekanisme sistem imun karena
bawaan lahir/kongenital, gangguan imunologis
didapat atau karena terpapar dengan pajanan
kemoterapi sitotoksik dan steroid. Pasien
transplantasi solid organ atau stem sel
hematopoetik (Hematopoietic Stem Cell
Transplantation/HSCT) yang menerima obat
dan agen penekan sistem imun seumur hidup
akan berisiko lebih tinggi untuk menderita
pneumonia. Begitu juga pasien yang
mengalami netropenia berat (jumlah
netropenia absolut < 500/mL) atau limfopenia
yang berkepanjangan, sangat rentan terhadap
infeksi oportunistik seperti pneumonia.
Paru merupakan organ predominan yang
paling sering mengalami infeksi oportunistik.
Penderita yang mengalami penekanan sistim
imun memiliki faktor predisposisi untuk
mengalami infeksi oleh kuman atau organisme
yang tidak umum menyerang individu
normal yang sehat. Anak dengan gangguan
imun juga rentan untuk terkena
pneumonia oleh organisme yang biasa
mengenai populasi pediatri. Bakteri
penyebab infeksi nosokomial merupakan
penyebab pneumonia terbanyak pada anak
pasca transplantasi,didominasi oleh
Staphylococcus aureus dan patogen Gram negatif.
Infeksi jamur oleh spesies seperti Candida
dan Aspergillus akan menyerang dalam
awitan lebih lambat (sebulan sampai 6
bulan pasca transplantasi).
Kemoprofilaksis untuk mengatasi infeksi
oportunistik merupakan komponen penting
dalam manajemen pasca transplantasi pada
pasien dengan depresi sistem imun. Pneumonia
bRONKIOlITIS AKUT dengan peningkatan morbiditas pada
populasi bayi dan anak sehat.
Bronkiolitis akut merupakan penyakit
tersering dan penyebab sindrom gawat
napas akut pada bayi dan anak umur MANIfESTASI KlINIS DAN TATA
kurang dari 2 tahun, dengan insidens
lAKSANA bROKIOlITIS AKUT
puncak pada tahun pertama
kehidupan. Di negara dengan 4 musim, Pada awal awitannya, bayi dan anak penderita
penyakit ini memiliki pola bronkiolitis akut akan mengalami demam, pilek
epidemiologi khas yaitu prevalensnya dengan sekret yang banyak, batuk keras dan
meningkat pada musim gugur dan kesulitan untuk makan dan minum.
musim dingin. Selanjutnya anak akan terlihat sesak dengan
Bronkiolitis akut sejatinya adalah laju napas cepat, hipoksia dan gejala distres
penyakit yang dapat sembuh sendiri pernapasan seperti napas cuping hidung dan
(self-limited) dengan mortalitas retraksi otot napas tambahan. Pada
rendah (< 1%). Mortalitas dapat pemeriksaan fisis akan ditemukan mengi yang
meningkat sampai 30% jika infeksi dominan, disertai ronki dan pemanjangan
terjadi pada bayi dan anak dengan waktu ekspirasi. Abdomen dapat mengalami
risiko tinggi seperti prematuritas, distensi karena hiperinflasi paru.
defisiensi atau penekanan sistem imun Hipoksia dapat dideteksi dengan alat
atau defek jantung kongenital (tabel pulse oximetry atau pemeriksaan analisis gas
9.4). Walaupun mortalitasnya rendah, darah. Pada kasus yang berat, akan terjadi
bronkiolitis akut berhubungan retensi
CO2. Pemeriksaan foto toraks biasanya tidak efek terapi yang terbatas. Hidrasi yang
menunjukkan gambaran spesifik, umumnya
adekuat dengan suplementasi oksigen
paru akan terlihat hiperinflasi, terdapat infiltrat
adalah dasar utama terapi bronkiolitis akut.
dan peribronchial filling.
Saturasi arterial dipertahankan diatas 92%.
Penilaian klinis masih merupakan baku Penggunaan agonis ß2 masih belum
emas kriteria indikasi rawat inap. Saturasi direkomendasikan karena kurangnya bukti
oksigen arterial (SaO2) merupakan prediktor ilmiah, begitu pula dengan steroid inhalasi
klinis yang paling konsisten sebagai patokan dan sistemik yang masih kontroversial.
penilaian perburukan kondisi klinis, dengan Inhalasi albuterol/fenoterol dan epinefrin
cut offpoint/titik potong pada 90-95%. lebih dipilih karena efektif. Racemic
Kriteria indikasi rawat di PICU adalah epinephrine 2,25% dan L-epinephrine 0,1%
sebagai berikut: dengan dosis 0,1 mg/kgBB dan 0,05 mg/
laju napas >80 x/menit kgBB setiap 4 jam memberikan hasil yang
baik. Perawatan yang seksama terhadap
hipoksia dengan SaO2<85%
risiko terjadinya perburukan klinis dan
terjadi perburukan klinis akibat distres ancaman gagal napas dapat menghindarkan
napas progresif yang mengancam kebutuhan akan terapi invasif. Bantuan
terjadinya gagal napas dan kelelahan otot ventilasi mekanik yang agresif dianjurkan
pernapasan/ fatigue jika diperlukan, untuk mencegah
ada episode apnea komplikasi selanjutnya.
gejala diagnostik gagal napas
(PaO <60mmHg, PaCO >50mmHg)
Acute luNG iNJuRY (AlI) DAN Acute
2 2
ResPiRAtoRY DistRess sYNDRoMe (ARDS)
Definisi
Manajemen dan tata laksana
bronkiolitis akut pada bayi dan anak Cedera paru akut merupakan kumpulan
mengalami perubahan sesuai perkembangan gejala akibat inflamasi dan peningkatan
ilmu kedokteran dan masih tetap permeabilitas, onsetnya akut, dengan
kontroversial dengan pembuktian spektrum klinis sesuai
terjadi disfungsi dan delesi surfaktan. potensial kerusakan paru lebih lanjut. Tujuan
Selanjutnya akan terjadi atelektasis regional pemberian
dan penurunan EELV. Hal-hal tersebut di
atas menyebabkan hipoksemia yang
refrakter karena tidak akan membaik hanya
dengan pemberian oksigen saja.
Pada awalnya terlihat hipokarbia tetapi
sejalan dengan peningkatan usaha napas,
PaCO2 akan meninggi karena otot pernapasan
sudah mulai lelah. Pada auskultasi dada,
terdengar ronki karena kongesti alveoli. Mengi
kadangkala bisa terdengar jika jalan napas
kecil juga mengalami sumbatan. Air entry
akan berkurang jika terdapat area
konsolidasi. Kesemuanya merupakan gejala
ancaman gagal napas dan pasien memerlukan
tunjangan ventilasi mekanik untuk
menghindarkan henti napas. Pemberian
ventilasi tekanan positif akan membuka unit-
unit paru yang mengalami atelektasis agar
dapat mempertahankan pertukaran gas yang
adekuat.
Manajemen umum
Tata laksana ARDS secara umum adalah
mengatasi penyebab dasarnya seperti sepsis,
pneumonia atau pankreatitis dan memberikan
terapi suportif lain seperti kecukupan
nutrisi, mengatasi gangguan metabolik dan
ketidakseimbangan elektrolit. Strategi yang
diterapkan dalam manajemen ALI dan ARDS
meliputi tata laksana cairan, mempertahankan
saturasi oksigen yang adekuat dan penggunaan
obat-obat inotropik dan vasopresor untuk
mempertahankan curah jantung. Sebagian
besar penderita ARDS meninggal bukan karena
kegagalan pernapasan akan tetapi sebagai
akibat sepsis atau gagal multiorgan yang
terjadi.
Terapi konvensional
ventilasi Tekanan Positif
Prinsip utama tunjangan ventilasi mekanik
pada ALI dan ARDS adalah mencapai
target oksigenasi dengan meminimalkan
Kegawatan Respirasi pada Anak 81
ventilasi tekanan positif dalam bertahap) sampai FiO2 dapat direduksi
manajemen ALI dan ARDS adalah menjadi < 0,6 dengan target saturasi oksigen
untuk mempertahankan pertukaran dipertahankan > 90%. Level PEEP diatur
gas yang adekuat, juga agar pada atau di atas lower inflection point
terpenuhinya kecukupan pasokan (LIP). Kurva tekanan-volume dipakai
oksigen dan tercapainya tekanan gas sebagai tuntunan untuk pengaturan setting
darah normal, dengan pemberian ventilator yang optimal (gambar 9.16).
sejumlah tekanan tertentu.
Meningkatkan tekanan rerata alveolar
(mPalv) merupakan faktor penting KEGAGAlAN PERNAPASAN AKIbAT
dalam pengaturan teknik ventilasi GANGGUAN NEUROMUSKUlAR AKUT
mekanik. Peningkatan mPalv
diperlukan untuk merekrut alveoli Anak dengan gangguan neuromuskular akut
yang kolaps dan mengurangi memerlukan bantuan pernapasan dan
kebutuhan oksigen sehingga perawatan untuk menjaga patensi jalan napas,
mengurangi kemungkinan toksisitasnya pulmonary toilet, terapi oksigen dengan atau
(FiO2< 0,6 dianggap cukup aman dari tanpa ventilasi, intubasi trakeal, tunjangan
efek toksik). Dari berbagai upaya untuk ventilasi ataupun keduanya. Klasifikasi
meningkatkan mPalv, tekanan positif gangguan neuromuskular akut pada anak
di akhir ekspirasi (Positive End- sesuai gangguan primer lokasi patologi yang
Expiratory Pressure/PEEP) terkena: otak (hipoventilasi sentral),
merupakan cara paling efektif untuk tulang belakang (trauma), kornu
mempertahankan mekanika paru dan anterior/anterior horn cells (poliomyelitis), saraf
menghindarkan ventilatory-induced tepi (sindrom Guillain-Barre), penghubung
lung injury (VILI). Level PEEP neuromuskular (botulism, miastenia gravis)
ditingkatkan incrementally (menanjak dan sistem otot rangka (distrofi muskular).
MEKANIKA DAN REGUlASI Penyakit pada otak dan batang otak
PERNAPASAN PADA GANGGUAN menyebabkan depresi pernapasan dengan
NEUROMUSKUlAR AKUT karakteristik pola respirasi sentral: hiperventilasi,
Regulasi pernapasan dijalankan bersamaan ireguler, pernapasan ataxic atau cluster,
oleh mekanisme persarafan yang volunter dan hiccups, hipopnea dan apnea. Gangguan pada
bulbar dapat menyebabkan kegagalan
involunter. Kontrol volunter diatur oleh
pengeluaran sekret dan aspirasi. Bayi dan
korteks serebri sedangkan kontrol involunter
anak yang tidak mampu untuk
diatur oleh batang otak terutama medula
mengeluarkan sekret akan lebih mudah
oblongata, dengan dibantu oleh pons dan vagus.
terkena infeksi paru, yang dapat
Pernapasan spontan merupakan hasil dari
memperburuk kondisi klinisnya. Malfungsi
pelepasan ritmis inervasi motor neuron pada
dari unit motor neuron (kornu anterior,
otot pernapasan dibawah kontrol regulasi
penghubung neuromuskular) mengakibatkan
oleh batang otak ataupun perubahan pada ketidakmampuan untuk menjaga jalan napas
PaO2, PaCO2 dan keasaman darah (pH). dan disfungsi otot pernapasan.
Bagian aferen dari mekanisme umpan balik
adalah input dari jaringan, jalan napas dan Inspirasi adalah suatu proses aktif karena
badan karotis yang mengirim sinyal ke sistem ekspansi dinding dada dan paru serta
saraf pusat. Sedangkan bagian eferen merespons penekanan sekat diafragma sehingga volume
sinyal aferen tersebut, mengirimkannya dari intratorakal bertambah, sedangkan ekspirasi
sistem saraf pusat melalui saraf kranial dan adalah proses pasif akibat elastic recoil paru
saraf tepi ke otot pernapasan, dengan keluaran dan relaksasi
berupa peningkatan atau pengurangan VT EKspirasi C
aktifitas
pernapasan. Mekanisme umpan balik ini
berfungsi untuk mempertahankan dan Volume
menjaga patensi jalan napas, usaha bernapas Inspirasi
dan pertukaran gas. A B
Pada proses pernapasan, kedua paru
dan otot dinding dada berlaku sebagai
pompa.
TeKanan TIP (TeKanan
Dalam mempertahankan proses pernapasan inpirasi puncaK)
normal, sangat penting untuk menjaga
integritas
hubungan antara pusat pengaturan pernapasan Gambar 9.16. Kurva tekanan volume pada alveoli normal
dan pada lung injury
dan paru.
Normal
Volume (ml)l600
4
Volume (ml)l600 l l l
0
l400 0
LIP
l200 2
(Lower
l000 0
insflexi
0
800 on
0 point)
600 0
400 0
200 8
0
0
0
6
0
4
0
0
Cedera Paru 2
0 l0 20 30 40 50 60 0 l0 20 30 40 0 50 60
TeKanan TraKea (cm H2O) 0 (cm H2O)
TeKanan TraKea
0
Gambar 9.17. Patofisiologi gagal napas pada gangguan neuromuskular
PATOFISIOLOGI GAGAL NAPAS PADA GANGGUAN NEUROMUSKULAR
Gambar 9.18
b. Manajemen perawatan
dan pemantauan
pernapasan
Fungsi pernapasan harus selalu dipantau dan
dievaluasi, karena kegagalan pernapasan akibat
perburukan status neurologisnya. Insufisiensi ventilation (NIV) terbatas kegunaannya
otot ventilasi dan kelemahan diafragma pada populasi pediatri.
tidak berkorelasi dengan kelemahan
neuromuskular umum. Manifestasi klinis
dari kelemahan otot pernapasan berupa sesak KEPUSTAKAAN
napas dan peningkatan laju napas,
penurunan volume tidal, gerakan paradoks 1. Bigham MT, Brilli RJ. Status asthmaticus.
Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’
dada saat inspirasi dan perubahan pola
textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-
pernapasan. Hiperkapnia dapat muncul
4. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;
terlambat. Bedside spirometry (jika 2008. H. 686-751.
tersedia) sangat dianjurkan. FVC kurang
2. Chiumello D, Barbas CSV, Pelosi P.
dari 15-20 mL/kg BB akan berarti risiko
Pathophysiology of ARDS. Dalam: Lucangelo
tinggi terjadinya gagal napas. Indikasi
U, Pelosi P, Zin WA, Aliverti A, penyunting.
intubasi dan tunjangan ventilasi mekanik jika Respiratory System and Artificial Ventilation.
terjadi insufisensi fungsi pernapasan. London: Springer-Verlag; 2008. h. 101-14.
Ventilasi mekanik segera diberikan 3. De Carvalho WB, Johnston C, Fonseca
untuk menjamin kecukupan ventilasi MCM. Bronchiolitis and pneumonia. Dalam:
semenit. Jika anak masih mampu Nichols DG, penyunting. Rogers’ textbook of
memperlihatkan usaha napas, synchronize pediatric intensive care. Edisi ke-4.
intermittent mechanical ventilation (SIMV), Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;
pressure-support ventilation (PSV) atau 2008. h. 716-28.
kombinasi keduanya lebih 4. Guill MF, Shanley TP. Neuromuscular
direkomendasikan. Pada kasus yang berat, respiratory failure. Dalam: Wheeler DS, Wong
lakukan intubasi dan ventilasi dengan HR, Shanley
modus kontrol. Penggunaan non-invasive
TP, penyunting. The respiratory tract in
13. Nunn JF. Applied respiratory physiology.
pediatric critical ilness and injury. London:
Edisi ke-3. London: Butterworths; 1987. h
Springer- Verlag; 2009. h. 219-26.
30-3.
5. Haddad IY, Cornfield DN. Pneumonia and
14. Powell FL, Heldt GP, Haddad GG. Respiratory
empyema. Dalam: Wheeler DS, Wong HR,
physiology. Dalam: Nichols DG, penyunting.
Shanley TP, penyunting. The respiratory tract
Rogers’ textbook of pediatric intensive
in pediatric critical ilness and injury. London:
care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincot
Springer-Verlag; 2009. h. 203-10.
Williams & Wilkins; 2008. h. 631-83.
6. Hameed SM, Aird WC, Cohn SM. Oxygen
15. Shanley TP. The developmental of pulmonary
delivery. Crit Care Med. 31;2003:S658-67.
edema in acute respiratory distress
7. Jain M, Sznajder I. Peripheral airways injury syndrome. Dalam: Kooy NW, Conway EE,
in acute lung injury / acute respiratory peyunting. Pediatric multiprofessional critical
distress syndrome. Dalam: Vincent JL, care review. Society of Critical Care Medicine;
penyunting. Respiratory system. Current 2005. h. 3-11.
opinion in critical care 2008;14:37-41.
16. Singhi S, Khadwal A, Bansal A. Acute
8. Jeffries HE, Martin LD. Respiratory physiology. neuromuscular disease. Dalam: Nichols DG,
Dalam: Wheeler DS, Wong HR, Shanley TP, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric
penyunting. The respiratory tract in pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
critical ilness and injury. London: Lippincot Williams & Wilkins; 2008. h. 778-
Springer- Verlag; 2009. h. 1-12. 98.
9. Leach RM, Treacher DF. The pulmonary 17. Ventre KM, Arnold JH. Acute lung injury
physician in critical care 2: oxygen delivery and acute respiratory distress syndrome.
and consumption in the critically ill. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’
Thorax. 2002;57:170-7 textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4.
10. LeVine AM. Bronchiolitis. Dalam: Wheeler Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;
DS, Wong HR, Shanley TP, penyunting. The 2008. h. 731-51.
respiratory tract in pediatric critical ilness 18. Vish M, Shanley TP. Acute lung injury and
and injury. London: Springer-Verlag; 2009. h. acute respiratory distress syndrome. Dalam:
195-9. Wheeler DS, Wong HR, Shanley TP,
11. Newth CJL. Developmental physiology of the penyunting. The respiratory tract in
respiratory system. Dalam: Kooy NW, Conway pediatric critical ilness and injury. London:
EE, peyunting. Pediatric multiprofessional Springer-Verlag; 2009. h. 49-61.
critical care review. Society of Critical Care 19. Wheeler DS, Page K, Shanley TP. Status
Medicine; 2005. h. 1-2. asthmaticus. Dalam: Wheeler DS, Wong
12. Newth CJL. Pulmonary mechanics and HR, Shanley TP, penyunting. The respiratory
monitoring of respiratory function. Dalam: tract in pediatric critical ilness and injury.
Kooy NW, Conway EE, peyunting. Pediatric London: Springer-Verlag; 2009. h. 169-83.
multiprofessional critical care review. Society of 20. Wheeler DS. The pediatric airway. Dalam:
Critical Care Medicine; 2005. h. 3-11. Kooy NW, Conway EE, peyunting. Pediatric
multiprofessional critical care review. Society of
Critical Care Medicine; 2005. h. 19-21.
21. Yuh-Chin TH. Monitoring oxygen delivery
in the critically ill. Chest. 2005;128:554S-
60S
10 ventilasi Mekanik
Konvensional pada Anak
Dadang Hudaya Somasetia, Antonius Pudjiadi
Uda
Direct linear gear drive Ru ra2
O
Flo 50
w an
Ru 50
PSI
PSI
katup
inspi
cont gA
an
rator eksha
rolpress g bke
High pressure pneumatic drive y lasi
(meure
line pas
ter)
gaug ien
e
High tension spring drive
Rotary drive
Indirect drive
Gambar 10.1. Rancang bangun ventilator tipe volume generated dan pressure generated
ke ekspirasi. Berdasar aliran udara inspirasi, masing- masing modus tersebut, ventilator
modus kontrol dapat dibagi menjadi modus modern
volume control dan pressure control. Pada modus
volume control, ventilator mengalirkan volume
tidal yang ditentukan operator, sedang pada
pressure control operator menentukan target
tekanan maksimal pada sistem pernapasan.
Bila komplians sistem pernapasan berubah,
modus volume control dapat mengakibatkan
barotrauma, sedangkan modus pressure
control menghasilkan volume tidal yang tidak
adekuat. Untuk menghindari kelemahan dari
Ventilasi Mekanik Konvensional pada Anak 87
menggunakan mikroprosesor yang namun menghindari barotrauma. Assist
mengontrol volume dan pressure sambil control adalah modus kontrol yang
mengukur komplians sistem memberikan kemungkinan pada pasien untuk
pernapasan. Berbagai mode ventilator memicu napas tambahan yang seluruhnya tetap
baru yang didasarkan atas modus dikontrol oleh ventilator. Untuk tujuan ini,
kontrol antara lain adalah modus ventilator memiliki penggaturan ‘trigger’ yang
pressure regulated volume control, dapat diatur sesuai kemampuan pasien.
yang memberi jaminan volume tidal Pengaturan trigger yang
terlalu peka mengakibatkan frekuensi napas paru pada gangguan yang bersifat restriktif.
meningkat, dapat berakibat penurunan tekanan
parsial karbondioksida darah arteri (PaCO2)
dan mengganggu fungsi hemodinamik.
Modus Intermittent Mandatory
Ventilation
Modus ini digunakan bila pasien dapat
bernapas namun belum cukup efektif. Pada
modus ini sebagian napas dilakukan oleh
pasien, sebagian lain oleh mesin. Modus
yang telah disempurnakan dikenal dengan
sychronized intermittent mandatory
ventilation (SIMV) yang menyelaraskan
napas pasien dan mesin hingga tidak terjadi
benturan napas (ventilator mendorong gas
masuk saat fase ekspirasi napas pasien atau
sebaliknya). Seringkali modus ini
dikombinasikan dengan pressure support yaitu
pemberian bantuan aliran gas oleh ventilator
sampai tekanan yang ditentukan oleh
operator (pressure targeted ventilation) pada
setiap upaya napas pasien.
cukup
waktu ekspirasi tidak
Gambar 10.2. Grafik skalar untuk menilai waktu inspirasi
dan
ekspi
rasi
u
Wakt
Tekanan (cm H2O)
PIP P
= P
Pplt Ra =
w CL
T
PEEP
Waktu (detik)
Oksigenasi jaringan yang adekuat ditandai dan oksigen yang terikat dengan hemoglobin
dengan tercapainya keseimbangan antara dihitung per 100 ml darah.
pasokan dan kebutuhan oksigen di
tingkat seluler. Pada keadaan syok, terjadi
gangguan hemodinamik yang menyebabkan
ketidakseimbangan tersebut, kondisi ini disebut KONSUMSI OKSIGEN (Oxygen
disoksia. Jantung dan sirkulasi sistemik memasok COnsuMptiOn/vO2)
oksigen ke jaringan, sementara pertukaran
Laju metabolik tubuh akan menentukan
gas dengan udara terjadi melalui sirkulasi
banyaknya kebutuhan jaringan akan oksigen.
pulmonal. Pemantauan hemodinamik adalah
Konsumsi oksigen di jaringan diukur
suatu cara untuk melakukan penilaian sistem
secara tidak langsung sebagai selisih antara
sirkulasi sehingga dapat dilakukan intervensi
jumlah oksigen dalam darah arteri dengan
yang tepat untuk mengoptimalkan oksigenasi
jumlah oksigen mixed vein.
jaringan.
Delivery/DO2)
Pasokan oksigen adalah jumlah oksigen yang
disuplai untuk pemenuhan kebutuhan RASIO EKSTRAKSI OKSIGEN (O2ER)
metabolik tubuh dan mempertahankan Rasio ekstraksi oksigen adalah fraksi oksigen
respirasi jaringan aerob. Pasokan oksigen kapiler yang dikonsumsi oleh jaringan.
dipengaruhi oleh curah jantung dan Normalnya hanya sejumlah 25% dari
kandungan oksigen dalam darah arteri. suplai oksigen yang diambil oleh jaringan.
Dalam perhitungan, biasanya digunakan nilai Tujuh puluh lima persen sisanya akan kembali
indeks jantung yaitu curah jantung dibagi ke sirkulasi paru.
luas permukaan tubuh (m2). Kandungan
oksigen dalam darah terdiri dari oksigen yang
terlarut
Kandungan oksigen arterial (CaO2) = (oksigen yang terikat )+ (oksigen yang terlarut)
= (1,34 x hemoglobin x saturasi oksigen arterial) + (tekanan parsial oksigen
darah
arteri x 0,003)
Pasokan O2 (DO2) = curah jantung x CaO2 x 10
= liter/menit/m2
pemantauan Hemodinamik 93
SvO£ 65%−80%
SaO 95%−98%
Ven
£
CI
a
VO2 Hgb Arter
(I) i
SaO
SvO2 2
+−
VO2(I) = (SaO2 − SvO2) x CI x Hgb x 13.4
Organ−organ Vital
VO£(l) 120−230
mlƒminƒm2 DO£(l) 425−750
mlƒminƒm2 C 3−4.5
Lƒminƒm2
Kulit dll
l
Gambar 11.1. Orkestrasi hemodinamik. Kondisi ideal Pasokan oksigen cukup, ekstraksi oksigen normal
Tabel 11.1 Parameter laju nadi , laju napas, hitung leukosit dan tekanan darah sistolik menurut golongan
umur
Golongan umur laju jantung laju napas hitung leukosit
Tekanan darah
(x 1000/ml)
sistolik
Takikardia bradikardia
0-1 mgg >180 <100 >50 >34 <65
1mgg- 1bln >180 <100 >40 >19,5 atau <5 <75
1 bln -1 th >180 <90 >34 >17,5 atau <5 <100
2 th – 5 th >140 NA >22 >15,5 atau <6 <94
6th – 12 th >130 NA >18 >13,5 atau <4,5 <105
13 th- 18 th >110 NA >14 >11 atau <4,5 <117
Dikutip dari: Goldstein b, dkk. Pediatr Crit Care Med 2005; 6:2-8
(ScvO2) dan pengukuran curah jantung (atau ekstremitas).
indeks jantung, bila dibagi luas permukaan
tubuh).
Parameter hemodinamik yang
diperoleh dari perangkat pemantau invasif
dikalkulasi berdasarkan variabel yang
diukur secara langsung sesuai luas
permukaan tubuh. Nilai- nilai tersebut
meliputi indeks jantung (cardiac index/CI),
indeks sekuncup (stroke index/SI), indeks
resistensi vaskular sistemik (systemic
vascular resistance index/SVRI), indeks kerja
sekuncup ventrikel kiri (left ventricle stroke
work index/LVSWI), indeks kerja sekuncup
ventrikel kanan (right ventricle stroke work
index/RVSWI), kandungan oksigen arteri
(CaO2), pasokan oksigen (DO2), konsumsi
oksigen sesuai prinsip Fick (VO2) dan rasio
ekstraksi oksigen (O2ER). Kombinasi
kemampuan penilaian klinis, interpretasi
nilai pengukuran langsung, dan perhitungan
berdasarkan data pengukuran invasif akan
membantu evaluasi hemodinamik real time.
PERANGKAT PEMANTAU
hEMODINAMIK NON
INvASIf
Perangkat pemantau hemodinamik non invasif
terdiri dari elektrokardiogram dan pemeriksaan
tekanan darah non invasif. Metode pemantauan
non invasif dilakukan dengan mengukur
tekanan darah berdasarkan prinsip oklusi arteri
(Riva-Rocci) yang mendeteksi perubahan suara
auskultasi Korotkof atau amplifikasi suara
dari Doppler. Deteksi pergerakan dinding
pembuluh darah dengan osilasi disebut
Dinamap. Metode pengukuran non invasif ini
sangat bergantung pada deteksi aliran darah
yang tertahan oleh manset.
Walaupun pemantauan non invasif
dianggap paling aman, tidak menyakitkan,
sederhana, murah dan mudah digunakan,
tetapi teknik ini akan sukar diaplikasi pada
pasien yang terlalu kecil, tidak kooperatif, dan
sulit dipasang manset (misal luka bakar pada
Hasil pengukuran tidak akurat jika kompartemen, yaitu elektronik dan pengisian
ukuran manset tidak sesuai, cairan (fluid-filled). Parameter hemodinamik
stetoskop terlalu panjang, deflasi dipantau secara invasif sesuai asas dinamika
tekanan terlalu cepat, pendengaran sistem pengisian cairan. Pergerakan cairan
petugas kurang sensitif ataupun yang mengalami suatu tahanan akan
terdapat kesalahan kalibrasi menyebabkan perubahan tekanan dalam
manometer. Komplikasi yang mungkin pembuluh darah yang selanjutnya menstimulasi
terjadi sangat minimal, berupa rasa diafragma pada transduser. Perubahan ini
nyeri akibat bendungan aliran direkam dan diamplifikasi sehingga dapat
darah. dilihat pada layar monitor.
Pengukuran tekanan dalam pembuluh
darah dapat dilakukan dengan beberapa
PERANGKAT cara:
PEMANTAU Manometer air. Kateter vena sentral
hEMODINAMIK dihubungkan dengan selang yang terisi
INvASIf penuh dengan cairan, terhubung dengan
manometer air yang sudah dikalibrasi.
Pemantauan parameter hemodinamik Teknik ini sangat sederhana, awalnya
invasif dapat dilakukan pada arteri, dibuat untuk mengukur tekanan vena
vena sentral ataupun arteri sentral.
pulmonalis. Metode pemeriksaan
Sistem serat fiber. Probe dengan
tekanan darah langsung intraarterial
transduser di ujungnya dimasukkan ke
mengukur secara aktual tekanan
sistem sirkulasi (misalnya ventrikel).
dalam arteri yang dikanulasi,
Sinyal akan dikirim ke layar monitor
hasilnya tidak dipengaruhi oleh isi
melalui serat optik. Sistem ini tidak
atau kuantitas aliran darah.
bergantung pada dinamika cairan.
Sistem pemantauan Dibandingkan dengan manometer air,
hemodinamik terdiri dari 2
pengoperasiannya lebih mudah, namun dikontrol oleh baroreseptor di sinus karotis dan
harganya mahal. aorta yang mengatur tekanan arteri dengan
Manometer air yang dihubungkan ke cara menyesuaikan laju jantung terhadap
transduser. Tekanan pulsatil pada ujung ukuran arteriol. Tekanan rerata arteri juga
kateter ditransmisikan melalui selang menjadi acuan autoregulasi yang merupakan
penghubung ke diafragma pada transduser. adaptasi organ untuk mempertahankan
Sinyal ini akan diamplifikasi dan pada aliran darah yang konstan guna
layar monitor. mempertahankan fungsinya. Nilai tekanan
rerata arteri dapat diperoleh dari hasil
pengukuran langsung ataupun dengan
PEMANTAUAN hEMODINAMIK penghitungan:
NON INvASIf DAN INvASIf
Pemantauan tekanan arteri (arterial MAP = tekanan sistolik + (tekanan diastolik x
2) 3
pressure monitoring) non invasif MAP = resistensi vaskular sistemik x curah jantung
Tekanan darah arteri merupakan hasil
gabungan dari tekanan hemodinamik,
kinetik, dan hidrostatik akibat tekanan ke Pemantauan tekanan arteri secara invasif
dinding pembuluh darah. Tekanan arteri Pemantauan tekanan intraarterial secara invasif
yang diukur pada nilai puncak disebut dilakukan dengan kanulasi arteri. Sinyal
tekanan sistolik, sedangkan sebaliknya tekanan dikonversi oleh transduser,
adalah tekanan diastolik. Tekanan sistolik diamplifikasi, dan ditampilkan secara kontinu
dihasilkan oleh volume sekuncup, pada layar monitor dalam bentuk gelombang
kecepatan ejeksi ventrikel kiri, resistensi dan format digital. Pemantauan kontinu
arterial sistemik, distensibilitas aorta dan tekanan intraarterial merupakan metode
dinding arteri, kekentalan darah dan volume yang paling dapat diandalkan dalam memantau
preload ventrikel kiri (end-diastolic volume). tekanan sistolik, diastolik, dan tekanan rerata
Dalam aplikasi klinis sehari-hari, tekanan arteri. Gelombang tekanan dan aliran darah
sistolik merupakan indikator afterload arteri merupakan gambaran ejeksi dari
(besarnya usaha yang diperlukan untuk ventrikel kiri. Terdapat dua komponen yang
memompa darah keluar dari ventrikel kiri). membentuk gelombang pulsasi arteri yaitu
Sementara itu, tekanan diastolik dipengaruhi transmisi gelombang tekanan (pressure wave)
kekentalan darah, distensibilitas arteri, dan pulsasi volume sekuncup yang dipindahkan
resistensi sistemik, dan lamanya siklus ke sirkulasi arteri (stroke volume
jantung. Tekanan nadi adalah perbedaan displacement). Anacrotic rise adalah tekanan
tekanan sistolik dan diastolik. Peningkatan puncak sistolik dan merupakan indikator
tekanan nadi dapat disebabkan peningkatan kontraktilitas ventrikel kiri. Bagian yang
volume sekuncup ataupun kecepatan ejeksi, cembung menggambarkan volume darah
yang sering ditemukan pada kondisi demam, yang dipindahkan dan distensi dinding arteri.
aktifitas, anemia, dan hipertiroid. Penurunan Dicrotic notch adalah gelombang yang
tekanan nadi mengindikasikan peningkatan melandai turun, yang dihubungkan dengan laju
resistensi vaskular, penurunan volume volume darah arteri yang masuk ke sirkulasi
sekuncup, ataupun volume intravaskular. perifer. Perubahan bentuk dan kelandaian
Tekanan rerata arteri sistemik (mean arterial gelombang terutama bagian sistolik,
pressure/MAP) adalah rata-rata tekanan bergantung pada perbedaan tekanan yang
perfusi sepanjang siklus jantung. Tekanan sesuai dengan lokasi anatomisnya.
rerata arteri
Anacrot¡c I¡mb D¡crot¡c I¡mb
Sistolik = 115 mm Aorta
sentralis
Hg
120
Tekanan nadi Brakialis
97 = 35 mm Hg
80
Diastolik = 80 mm
Hg
Indikasi dan indikasi kontra kanulasi Pasien dengan penyakit vaskular perifer
arteri Pasien dengan gangguan perdarahan
Indikasi:
1. Semua pasien dengan kondisi kritis atau
yang dilakukan prosedur bedah mayor,
yang membutuhkan pemantauan
hemodinamik dan analisis pulsasi arterial
secara kontinu
Prosedur pembedahan yang
memerlukan pintasan kardiopulmonal
Prosedur vaskular, toraks,
abdominal ataupun neurologik
Semua pasien dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil
Pasien dengan terapi inotropik atau
vasodilator intravena
Pasien yang ditopang dengan pompa
balon intraaorta (intra aortic balloon
pump/IABP)
Pasien yang memerlukan pemantauan
tekanan intrakranial
2. Pemeriksaan gas darah berulang
Pasien dengan gagal napas
Pasien dalam ventilasi mekanik
ataupun yang sedang disapih
Pasien dengan gangguan asam basa
Indikasi kontra relatif:
Pasien yang sedang mendapat ventrikel kanan). Gelombang c terjadi akibat
terapi antikoagulan atau trombolitik peningkatan tekanan yang disebabkan
Adanya infeksi di daerah kulit terangkatnya katup trikuspid ke arah atrium
tempat kanul akan diinsersi kanan selama awal masa kontraksi ventrikel,
terjadi sebelum gelombang QRS pada EKG.
Gelombang x terjadi saat kontraksi sistolik
Pemantauan tekanan vena sentral ventrikel, terjadi sebelum gelombang T pada
(central venous pressure/Cvp EKG. Gelombang v terjadi akibat darah
monitoring) mengisi atrium kanan, terjadi pada akhir
Gambaran gelombang tekanan vena gelombang T. Gelombang y terjadi saat katup
sentral yang normal terdiri dari trikuspid membuka, terjadi sebelum gelombang
gelombang a (kontraksi atrium), c P. Pada umumnya pemantauan tekanan vena
(penutupan katup trikuspid), x sentral digunakan untuk menilai preload. Basal
(relaksasi atrium), v (kontraksi gelombang c direkomendasikan sebagai nilai
ventrikel), dan y (pengisian pasif preload karena menunjukkan tekanan ventrikel
sebelum fase sistolik.
Tekanan vena sentral adalah beda
R tekanan intravaskular di vena besar dalam
P T rongga toraks terhadap tekanan atmosfer.
EK
G
Dengan segala keterbatasannya, tekanan
Sistoli vena sentral sering digunakan sebagai
Diastol
A k
ik
pedoman volume cairan intravaskular. Bila
C V volume intravaskular kecil, perubahan kecil
CV tekanan vena sentral menggambarkan
X Y
P perubahan besar volume intravaskular. Bila
volume intravaskular besar, maka
Gambar 11.3. Gelombang tekanan vena sentral dan
korelasinya dengan EKG penambahan volume kecil akan menyebabkan
peningkatan tekanan vena sentral yang besar.
Kanulasi vena sentral biasanya
dilakukan pada vena jugularis interna, vena Keterbatasan pemantauan tekanan vena
subklavia, dan venafemoralisdengankelebihan sentral
dankekurangan masing-masing. Posisi kanul
yang tepat sangat penting untuk mencegah Hal-hal yang dapat mempengaruhi pengukuran
komplikasi. Ujung CVC (central venous tekanan vena sentral:
canulation) harus terletak pada vena kava Faktor yang berhubungan dengan pasien:
superior atau di perbatasan antara vena Venokonstriksi sistemik
kava superior dan atrium kanan.
Transduser
terbuka ke posisi
udara capped off
Gambar 11.5. Prosedur menentukan titik nol
Jika pembacaan sudah menunjukkan fisiologik tubuh, yang berkonotasi langsung
titik nol, aliran cairan ke pasien dibuka dengan terapi yang diberikan. Seringkali kita
kembali (hati-hati adanya udara bebas
dalam saluran ke arah pasien).
Mutiara bernas
• Harus diingat bahwa terjadinya hipotensi
pada anak menujukkan bahwa anak
sudah jatuh ke dalam kondisi syok yang
lanjut.
• Kateterisasi arteri pulmonal mempunyai
peran terbatas pada pasien anak,
terutama dengan kelainan jantung
bawaan.
• penggunaan kateter arteri pulmonal
mulai ditinggalkan karena estimasi
saturasi oksigen mixed vein sudah
dapat diwakili oleh saturasi oksigen vena
Denyut jantung
Pemeriksaan denyut jantung adalah hal rutin
yang dilakukan dalam perawatan pasien.
Peningkatan denyut jantung yang signifikan
tanpa sebab yang jelas (setelah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan lainnya yaitu peningkatan
usaha nafas, pengisian kapiler melambat,
penurunan kesadaran) menggambarkan perfusi
yang tidak adekuat.
preload
Preload merupakan jumlah volume saat
ventrikel meregang pada waktu akhir
pengisiannya (fase akhir diastolik).
Preload dipengaruhi oleh banyak faktor
dan cukup sulit untuk melakukan
pengukuran preload secara bedside.
Pengukuran preload diperoleh dengan cara
statik atau dinamik. Dua prosedur pengukuran
preload secara statik yang sering dilakukan
adalah berdasarkan tekanan (pressure-based)
yaitu tekanan vena sentral (central vein pressure/
CVP, disebut juga tekanan atrium kanan) dan
tekanan oklusi arteri pulmonal (pulmonary
artery occlusion pressure/PAOP, disebut juga
tekanan atrium kiri). Kedua jenis pengukuran
ini sangat tidak akurat untuk menjadi
petanda status volume. Faktor-faktor yang
jantung, kompetensi katup jantung, kecepatan dan peregangan otot
tekanan arteri pulmonal, dan miokardium pada waktu preload dan
kemampuan paru berfungsi sebagai afterload. Perubahan kontraktilitas ventrikel
resistor sesuai hukum Starling. CVP sangat berpengaruh pada kondisi perfusi
lebih dapat diandalkan untuk mengukur dan fungsi ventrikel. Kontraktilitas tidak
preload dibandingkan PAOP, dapat diukur secara bedside. Baku emas
sedangkan pengukuran berdasarkan pengukuran kontraktilitas adalah mengukur
volume merupakan pengukuran dengan memakai impedans intrakardiak.
dinamik.
Afterload
fungsi diastolik Afterload adalah jumlah volume yang
Definisi diastolik adalah periode mulai diandaikan sebagai beban, yang dilawan oleh
dari akhir ejeksi aorta sampai saat ventrikel pada waktu mengejeksi darah ke
awal ventrikel akan berkontraksi sirkulasi arteri. Afterload tidak dapat diukur
untuk ejeksi berikutnya. Fungsi secara langsung. Resistensi vaskular sistemik
diastolik sangat penting untuk (systemic vascular resistance, SVR) dan
mempertahankan curah jantung yang resistensi pulmonal paru (pulmonary
adekuat. Pengukuran fungsi diastolik vascular resistance, PVR) dapat dijadikan
pada anak sangat terbatas. acuan untuk membedakan afterload ventrikel
kanan dan kiri. SVR menggambarkan rerata
resistensi pada aliran darah sistemik. Secara
Kontraktilitas klinis, SVR dikalkulasi dari tekanan rerata
Kontraktilitas adalah status inotropik arterial (MAP) dikurangi tekanan atrium
jantung yang dikaitkan dengan kanan (CVP) dibagi jumlah curah jantung.
Penurunan nilai SVR merupakan implikasi dari
general vasodilatasi yang terjadi. Pengukuran <50%
SVR mempunyai nilai diagnostik yang
penting dan menjadi tuntunan dalam
penggunaan obat vasodilator ataupun
vasopresor. Faktor yang dapat menurunkan
SVR dan afterload ventrikel kiri adalah obat
vasodilator, status hiperdinamik pada syok
septik, sirosis, regurgitasi aorta yang
terkompensasi, anemia, syok anafilaktik dan
neurogenik. Peninggian SVR dan afterload
ventrikel kiri dapat ditemukan pada kondisi
hipovolemia, hipotermia, LCOS (low cardiac
output syndrome) dan akibat pemberian
katekolamin yang berlebihan. PVR merupakan
rerata resistensi aliran darah pada
sirkulasi pulmonal. Nilai PVR dikalkulasi
dari selisih MAP dan PAOP dibagi dengan
nilai curah jantung. Nilai PVR biasanya
lebih rendah dari SVR karena sirkulasi paru
pada keadaan normal resistensinya rendah
dan compliant tinggi. Faktor yang dapat
meningkatkan PVR dan afterload ventrikel
kanan adalah edema paru kardiogenik dan
non-kardiogenik, sepsis, asidemia,
hipoksemia, idiopatik hipertensi pulmonal
primer, kelainan katup jantung dan emboli
paru masif. Obat vasodilator pulmonal
seperti epoprostenol dapat menurunkan PVR
dan afterload ventrikel kanan.
Isi seKuncup
I00 40 B PembentuKan
TeKanan ventriKel Kiri
SVD
Edema
SVC A
50
SVB 20 Efusi
D
SVA C pleura
0 A B 0
0 20 40 60 80 0 I0 20 30
Volume ventriKel TeKanan atrium Kiri
Kiri
Gambar 11.6. Pemberian preload akan meningkatkan isi sekuncup sampai batas
tertentu Dikutip dari: Sagawa K, Circulation 1981;63:1223
75
PAP
CVP
0
EI Insp Insp Insp
Gambar 11.7. Dampak variasi respirasi terhadap tekanan arteri
Dikutip dari: Magder s. Clinical commentary: Clinical usefulness of respiratory variation in arterial pressure. Am j
Respir Crit Care Med 2004; 169: 151-5
45 cm H2O
TeKanan jalan napas
PPmaxSPmaxPPmin
SP TeKanan SistoliK
mi (SP)= SPmax-SPmin
40 n
2 detiK
Gambar 11.8. Contoh rekaman kurva tekanan arteri sistemik dan tekanan jalan napas pada seorang
pasien dengan variasi tekanan sistolik dan tekanan nadi yang besar.
Dikutip dari: Pinsky MR. hemodynamic monitoring in the intensive care unit. Clin Chest med 2003; 24: 549-60
Tabel 11.2.Variabel hemodinamik yang dapat menjadi peringatan terjadinya gangguan
hemodinamik Jenis variabel Parameter Komentar
Tunggal Tekanan darah hipotensi
Tekanan vena sentral (CvP) CvP hanya meningkat penyakit tertentu
Tekanan baji arteri pulmonalis (PAwP) PAwP merupakan tekanan balik kearah aliran vena
pulmonalis
Curah jantung Tidak ada nilai normal.yang dinilai adalah curah
jantung adekuat atau tidak
Saturasi oksigen mixed-venous (SvO2) Penurunan SvO2 cukup sensitif tapi kurang spesifik
sebagai penanda stress kardiovaskular
Dinamik volume chalenge Respons positif ditandai dg peningkatan tekanan
darah, CvP, PAwP, curah jantung dan SvO2. Selain
itu ditandai dengan penurunan laju nadi
Terjadinya kolaps vena kava saat Kolaps total vena kava
ventilasi tekanan positif pada analisis inferior 36% kolaps vena
ekokardiografi menunjukkan CvP < 10 kava superior
Menentukan respons pengisian preload ≥13% variasi tekanan nadi saat dalam ventilasi tekanan
positif
>1 mmhg penurunan CvP selama dalam inspirasi
spontan
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan gagal ginjal akut. Depresi miokardium juga
sistem sirkulasi dengan akibat ketidakcukupan sering terjadi, sementara hipotensi yang lama
pasokan oksigen dan substrat metabolik lain dapat pula menyebabkan gangguan hati.
ke jaringan serta kegagalan pembuangan sisa
metabolisme. Berdasarkan komponen sistem
sirkulasi, terdapat 3 jenis syok yaitu syok
hipovolemik, kardiogenik, dan distributif. SyOK KARDIOGENIK
Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan pompa
jantung yang dapat disebabkan oleh preload,
SyOK hIPOvOlEMIK afterload atau kontraktilitas miokardium. Curah
jantung juga menurun pada disritmia.
Syok hipovolemik merupakan syok yang paling
Gangguan preload dapat terjadi akibat
sering dijumpai pada anak, terjadi akibat
pneumotoraks, efusi perikardium,
kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.
hemoperikardium atau pneumoperikardium.
Penyebab tersering syok hipovolemik pada
Gangguan afterload dapat terjadi akibat
anak adalah muntah, diare, glikosuria,
kelainan obstruktif kongenital, emboli,
kebocoran plasma (misalnya pada demam
peningkatan resistensi vaskular sistemik
berdarah dengue), sepsis, trauma, luka bakar,
(misalnya pada feokromositoma). Gangguan
perdarahan saluran cerna, dan perdarahan
intrakranial. kontraktilitas miokardium dapat diakibatkan
oleh infeksi virus, gangguan metabolik (seperti
Akibat kehilangan cairan, terjadi asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia), penyakit
penurunan preload. Sesuai dengan hukum kolagen, dan lain-lain. Disritmia, misalnya
Starling, penurunan preload mengakibatkan blok arterioventrikular atau takikardia atrial
penurunan isi sekuncup dan selanjutnya paroksismal dapat mengakibatkan syok
penurunan curah jantung. Baroreseptor akan kardiogenik. Respons neurohumoral seperti
merangsang saraf simpatis untuk pada syok hipovolemik, dapat juga terjadi pada
meningkatkan denyut jantung dan syok kardiogenik. Peningkatan resistensi vaskular
vasokonstriksi untuk mempertahankan curah sistemik akan meningkatkan afterload yang lebih
jantung dan tekanan darah. Syok hipovolemik lanjut akan berakibat penurunan curah jantung.
yang lama dapat mengakibatkan gangguan
fungsi berbagai organ. Dalam keadaan normal,
ginjal menerima 25% curah jantung. Pada syok
hipovolemik akan terjadi redistribusi aliran
SyOK DISTRIbUTIf
darah dari korteks ke medula. Bila keadaan ini Syok distributif dapat terjadi akibat berbagai
berlangsung lama, akan terjadi tubular nekrosis sebab, seperti blok saraf otonom pada anestesia
akut serta gangguan glomerulus dengan akibat (syok neurogenik), anafilaksis, dan sepsis.
Syok 109
Tabel 13.1. Mekanisme penurunan hantaran oksigen jaringan pada berbagai lesi PJB asianotik
Mekanisme Katagori lesi asianotik
Pirau kiri ke kanan Obstruksi inflow dan outflow Disfungsi miokard
Kontraktilitas yang menurun + +
Edema paru dan ventilasi perfusi + + +
mismatch
Maldistribusi aliran darah paru +
dan
sistemik (Qp:Qs > 1)
Diikutip dari Ibsen l, Shen I, Ungerleider RM. Perioperative management of patients with congenital heart disease: a
multidisciplinary approach. Dalam: Nichols DG, penyunting. Critical heart disease in infants and children.
Philadephia: Elsevier; 2006. h. 561-78
Tabel 13.2. Korelasi perubahan morfometrik vaskular paru pra-operasi dengan variasi aliran darah (Qp),
tekanan (Ppa), dan resistensi (Rp) paru.
Derajat Morfometrik Data Kateterisasi
A dan b (ringan) Neomuskularisasi Qp
tebal tunika media: Ppa normal saat istirahat
< 1.5 x normal (A)
1.5 – 2 x normal (b-
ringan) Qp
b (berat) Neomuskularisasi Ppa (≈ ½ sistemik)
tebal tunika media: Rp normal
> 2 x normal Ppa
C Sama dengan b (berat) Rp ( > 3.5 U/m2)
jumlah arteri
(relatif terhadap alveoli)
Dan biasanya ukuran arteri
Dikutip dari Rabinovitch M, haworth SG, Castenada AR, dkk. lung biopsy in congenital heart disease: a
morphometric approach to pulmoanry vascular disease. Circulation 1978;58:1107-22
Anak
volume normal ()
Hipertrofi
Kontraktilitas N
dan asidosis akibat menutupnya pembuluh normal, namun dengan hantaran oksigen
darah duktus/PDA, yang biasanya timbul yang tetap tidak adekuat, terjadi
dalam waktu beberapa jam sampai metabolisme anaerob dan disfungsi
beberapa hari setelah lahir. Penurunan aliran miokardium yang akan lebih memperburuk
darah paru (Qp) dan ditemukannya lesi lain hantaran oksigen jaringan. Akhir dari proses
seperti defek septum atrium dan ventrikel, patologis ini adalah hipoksemia berat dan
menyebabkan terjadinya dekompresi aliran asidosis. Pasien dengan penurunan Qp
darah yang berasal dari aliran balik vena membutuhkan sumber aliran darah paru
sentral ke sisi sirkulasi sistemik. Darah yang stabil dan mempertahankan kadar
yang berada dalam sirkulasi sistemik adalah hemoglobin yang lebih tinggi ( > 14 mg/ dl)
darah yang mengalami desaturasi, berasal dari untuk memaksimalisasi kandungan oksigen
aliran darah vena sentral (melalui pirau (CaO2) dan hantaran oksigen (DO2).
atrial) dan sedikit darah yang tersaturasi dari
paru-paru (Qp:Qs < 1). Dengan menurunnya
Qp, ambilan oksigen paru menurun sehingga Aliran darah sistemik yang tergantung
menurunkan hantaran oksigen ke jaringan. duktus/PDA (Aliran darah paru meningkat)
Pada awalnya aliran darah sistemik (Qs)
masih Pasien dengan aliran sistemik yang tergantung
duktus mengalami peningkatan aliran darah terdapat penurunan hantaran okisgen oleh
paru, namun aliran darah sistemiknya karena penurunan aliran darah sistemik.
berkurang karena terdapat obstruksi pada Manifestasi klinis dapat berupa syok yang berat
aliran keluar darah dari jantung ke sirkulasi akibat perburukan perfusi sistemik dan
sistemik yang dapat terjadi pada berbagai hantaran oksigen jaringan dengan menutupnya
lokasi. Obstruksi aliran sistemik dapat duktus/ PDA sebagai pembuluh utama yang
timbul pada hypoplastic left heart syndrome, mensuplai aliran darah ke sirkulasi sistemik.
interrupted aortic arch, dan koarktasio aorta Pada pasien dengan obstruksi ventrikel
neonatal. Kelompok pasien ini memiliki sistemik, PDA adalah pembuluh yang
saturasi yang cukup baik namun mengalirkan darah dari paru ke sistemik
melalui bagian distal aorta yang mengalami
Mutiara bernas obstruksi.
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) sebenarnya
sulit untuk dikelompokkan mengingat
kelainan ini kompleks. Sebaiknya tata STAbIlISASI PRA OPERASI PADA PENyAKIT
laksana PJB tidak hanya ditentukan jANTUNG bAwAAN
berdasarkan defek anatomi secara
individu, melainkan melihat kelainan ini Keberhasilan tata laksana pasien dengan PJB
melalui pendekatan fisiologis. Beberapa tergantung dari penilaian yang menyeluruh dan
pertanyaan yang perlu dijawab adalah: akurat untuk diagnosis kelainan yang ada,
dan persiapan/stabilisasi pasien sebelum
• Bagaimana aliran darah balik vena ke
operasi. Hal ini meliputi anamnesis,
jantung mencapai sirkulasi arteri pemeriksaan fisis, pemeriksaan radiologis
sistemik untuk mempertahankan curah paru, laboratorium, pemeriksaan jantung
jantung? Adakah percampuran seperti EKG, ekokardiografi dan Doppler,
(mixing), pirau (shunting) atau kateterisasi jantung serta MRI dan CT-
obstruksi jalan keluar? angiografi bila dibutuhkan. Selain diagnosis
• Apakah sirkulasi serial atau paralel? kelainan pada jantung, perlu dilakukan evaluasi
Sirkulasi serial adalah aliran darah kelainan organ lain yang mempengaruhi tata
dari sistemik jantung paru laksana pra maupun pasca operasi. Kelainan
jantung lain seperti kelainan jalan napas atas atau
sistemik. Sirkulasi paralel bawah terutama pada pasien dengan
ditemukan pada TGA (Transposition sindrom Down, abnormalitas kalsium dan
of Great Arteries) yaitu dua aliran defisiensi imunologis pada pasien dengan
sirkulasi darah yang paralel yaitu dari kelainan arkus aorta (sindrom Di george),
sistemik jantung kelainan ginjal pada pasien dengan atresia
esofagus, dan PJB dan kelainan organ
sistemik; dan paru jantung
lainnya. Infeksi berulang saluran napas lazim
paru, yang membutuhkan mixing
ditemukan pada PJB dengan lesi aliran darah
(campuran) darah di tingkat arium.
berlebihan ke paru. Adanya sianosis, derajat
• Apakah defek akan menuju tata dan lamanya hipoksemia merupakan data
laksana ventrikel tunggal atau dua yang penting. Bila tidak terdapat defisiensi
ventrikel? besi, biasanya hematokrit kelompok pasien
• Apakah aliran darah paru meningkat atau ini meningkat dengan beratnya sianosis.
Analisis gas dan gangguan elektrolit harus
dikoreksi.
Masalah kegawatan PJB yang utama
adalah kondisi sianosis dan atau gagal kegawatan pra operasi
jantung. Secara garis besar, tata laksana
ditujukan pada masalah hipoksemia berat, untuk
aliran darah paru berlebihan, obstruksi
aliran darah dari jantung kiri atau fungsi
ventrikel yang memburuk.
hipoksemia berat
Kebanyakan pasien dengan PJBsianotik masuk
ke ICU dengan kondisi hipoksemia berat
(PaO2< 50 mmHg) pada saat usia dini yaitu
beberapa hari setelah lahir, namun tanpa gejala
gangguan pernapasan yang jelas. Infus
Prostaglandin E1 (PGE1) mencegah
penutupan PDA (Patent Ductus
Arteriosus) sehingga aliran darah melalui
pembuluh ini dapat dipertahankan. PGE1
diindikasikan pada kasus PJB sianotik
dengan aliran darah paru yang kurang sehingga
aliran darah dari aorta ke paru dapat tetap
dipertahankan melalui PDA, contohnya pada
kasus atresia pulmonal atau stenosis pulmonal
kritikal. Kasus lain dengan hipoksemia berat
yang membutuhkan PGE1 adalah kelainan
TGA karena aliran darah melalui PDA
dapat meningkatkan percampuran (mixing)
darah arteri dan vena di tingkat arterial.
PGE1 dapat membuka kembali PDA yang
menutup dan efek ini dapat dipertahankan
untuk beberapa hari. Efek samping infus
PGE1 umumnya adalah apnea, hipotensi,
demam dan eksitasi susunan saraf pusat,
namun dapat dikendalikan bila dosis yang
diberikan masih berada dalam rentang dosis
normal yaitu 0,01–0,05 µg/kg/menit. Cara
pembuatan PGE1 yaitu 30 µg/kgBB
dilarutkan dalam 50 mL dekstrosa 5% atau
dekstrosa 10% diberikan 1 mL/jam setara
dengan 0,010 µg/kg/ min. PGE1 adalah
vasodilator poten sehingga volume
intravaskular harus ditambah dengan
pemberian loading cairan sebelum dan selama
pemberian infus PGE1. Apnea yang timbul
akibat efek samping PGE1 dapat diatasi
dengan intubasi dan ventilasi mekanik.
Selama stabilisasi pra-operasi dengan
PGE1, penilaian fungsi neurologis dan
pemeriksaan kimia darah untuk fungsi ginjal,
hati dan hematologi harus dilakukan
mengevaluasi dampak hipoksemia Septostomy) yang telah dikembangkan sejak
berat pada saat dan setelah lahir 40 tahun yang lalu. Tindakan BAS biasanya
terhadap gangguan fungsi organ tubuh. dilakukan bed-side dengan bantuan alat
Hidrasi yang adekuat dibutuhkan pada ekokardiografi dan jarang dilakukan di ruang
pasien dengan PJB sianotik untuk kateterisasi. Pembuatan defek septum atrium juga
mencegah trombosis karena kadar dibutuhkan pada kasus HLHS (hypoplastic left
hematokrit yang tinggi. Kelainan heart syndrome) dengan septum atrium yang
koagulasi juga sering ditemukan, intak. Untuk kelompok pasien ini dibutuhkan
sehingga dibutuhkan tata laksana fenestrasi septum atrium dengan intra- atrial
terhadap kelainan ini sebelum dan stent untuk mempertahankan patensi defek
setelah operasi. septum atrium.
Neonatus dengan TGA Setelah dilakukan stabilisasi pra-operasi
memperoleh percampuran (mixing) dengan infus PGE1, pasien direncanakan
darah bersih dan kotor yang adekuat di untuk operasi BT (Blalock Tausiq) shunt
tingkat atrial sehingga hantaran oksigen yang menghubungkan aorta atau
ke jaringan menjadi adekuat. Untuk percabangannya (arteri inominata atau arteri
memperoleh mixing yang adekuat subklavia) ke arteri pulmonalis dengan gorteks,
pada beberapa kasus dibutuhkan untuk mendapatkan aliran darah yang stabil ke
tindakan memperlebar defek septum paru. Bila pasien bukan
atrial dengan BAS (Ballon Atrial
Mutiara bernas
PGE1 diindikasikan untuk kondisi
hipoksemia pada lesi jantung dengan
aliran darah paru yang tergantung PDA.
Hipoksemia pada kasus TGA
membutuhkan BAS untuk meningkatkan
mixing di tingkat atrial. Pasca stabilisasi
neonatus, biasanya PGE1 tidak diberikan lagi yang menetap
namun langsung dilakukan operasi BT shunt cito.
Serangan biru mendadak pada
penderita TOF (tetralogy of Fallot) disebut
cyanotic spell. Serangan ini timbul bila
penderita TOF mengalami dehidrasi, asidosis
atau gelisah. Halini disebabkan oleh spasme
infundibulum sehingga aliran darah ke paru
menurun dan aliran darah ke sistemik
cenderung meningkat. Tata laksana meliputi
knee chest position yang bertujuan
meningkatkan resistensi sistemik sehingga
preferensi aliran ke paru meningkat. Hidrasi
yang adekuat dengan pemberian loading cairan
kristaloid/koloid 10 mL/kgBB dan peningkatan
cairan rumatan sesuai tingkat dehidrasi. Tata
laksana asidosis dengan pemberian sodium
bikarbonat diindikasikan pada keadaan pH <
7,2 dan kondisi hiperkalemia. Dapat
diberikan analgesia-sedasi morfin 0,05-0,1
mg/kgBB bolus IV, dan penghambat beta untuk
relaksasi spasme infundibulum. Penghambat
beta yang sering diberikan adalah
propranolol oral 0,2-0,5 mg/ kgBB tiap 6-12
jam, dapat ditingkatkan perlahan hingga dosis
maksimal 1,5 mg/kgBB (maksimal 80 mg) tiap
6-12 jam bila dibutuhkan.
Mutiara bernas
Cyanotic spell sering timbul pada pasien
TOF yang mengalami dehidrasi dan asidosis.
Tata laksana cyanotic spell adalah knee
chest position, hidrasi dan mengatasi
asidosis, pemberian analgesia dan
penghambat beta.
Gambar 13.1. faktor –faktor yang mempengaruhi resistensi vaskular paru dan afterload ventrikel sistemik.
Dikutip dari Ibsen l, Shen I, Ungerleider RM. Perioperative management of patients with congenital heart disease: a
multidisciplinary approach. Dalam: Nichols DG, penyunting. Critical heart disease in infants and children.
Philadephia: Elsevier; 2006. h. 561-78
paru berlebihan, aliran darah sistemik biasanya dan Qs. Manipulasi dapat dilakukan terhadap
tidak adekuat, sehingga dibutuhkan manuver resistensi paru maupun sistemik bila
untuk meningkatkan resistensi paru, agar Qp dibutuhkan.
menurun dan Qs meningkat. Pasien
dengan lesi jantung yang tergantung Pada ventrikel tunggal, saturasi arteri
duktus (PDA) untuk aliran darah sistemik pulmonalis dan aorta adalah sama, karena
maupun paru juga memerlukan manuver darah kembali lagi ke jantung dan terjadi
untuk keseimbangan Qp percampuran di dalam “common atrium”.
Dengan asumsi adanya percampuran yang
cukup dengan curah
jantung normal dan saturasi oksigen di vena ini dapat timbul karena menurunnya aliran
pulmonalis normal, keseimbangan Qp dan darah paru melalui PDA, resistensi paru
Qs (Qp/Qs ≈ 1) dapat tercapai bila diperoleh yang meningkat misalnya pada kelainan paru
target saturasi arteri 80-85% dan saturasi vena (atelektasis, infeksi paru) atau meningkatnya
sentral 60-65%. Walaupun aliran paru dan tekanan vena pulmonalis pada lesi TAPVD
sistemik seimbang, yang terpenting adalah (total anomaly of pulmonary drainage)
ventrikel tunggal harus dapat menerima dan atau adanya ASD yang restriktif. Sedasi,
memompa darah hingga sebanyak dua kali paralisis, dan manipulasi ventilator untuk
volume darah, satu bagian dipompa ke paru menimbulkan alkalosis dibutuhkan untuk
dan lainnya ke sistemik. menurunkan resistensi paru. Gas seperti NO
Bila ditemukan saturasi arteri > 90% (nitric oxide) terkadang dibutuhkan sebagai
menandakan adanya aliran darah paru vasodilator pulmonal. Hantaran oksigen
berlebihan (Qp/Qs >1). Resistensi paru harus dipertahankan dengan meningkatkan curah
ditingkatkan dengan intubasi dan pemberian jantung dengan cairan dan obat vasopresor
hipoventilasi pada ventilasi mekanik untuk (seperti dopamin, dobutamin, epinefrin, dan
menimbulkan asidosis respiratorik, dibutuhkan norepinefrin) dan mempertahankan
sedasi dan pelemas otot, diberikan fraksi hematokrit > 40%. Milrinone dapat digunakan
oksigen (FiO2) yang rendah untuk mencapai untuk meningkatkan kontraksi jantung,
saturasi arteri 80-85%. Terkadang hanya menurunkan afterload ventrikel sistemik
dibutuhkan oksigen kamar atau campuran serta dapat bersifat sebagai vasodilator
gas hipoksik dan ditambahkan nitrogen pulmonal. Prostaglandin E1 dibutuhkan
pada campuran gas tersebut untuk untuk mempertahankan patensi PDA.
memperoleh FiO2 17- 19%. Walaupun Terkadang dibutuhkan tindakan segera seperti
manuver ini efektif untuk meningkatkan melebarkan ASD dengan tindakan BAS
resistensi paru namun perlu diingat pasien (Ballon atrial septectomy) atau dilatasi
dengan oksigen rendah sehingga kemungkinan (pemasangan stent) ASD pada kasus atresia
dapat timbul desaturasi berat. Cara lain mitral dengan HLHS dan kasus mixing yang
adalah dengan memberikan CO2 pada gas kurang pada TGA. ASD dibutuhkan pada
inspirasi sehingga meningkatkan PaCO2 dan kasus atresia mitral dengan HLHS oleh
akhirnya juga meningkatkan resistensi paru. karena aliran balik dari vena pulmonalis ke
Pada cara ini gas yang diberikan bukan jantung akan terbendung bila ASD tidak
campuran gas hipoksik sehingga hantaran dilebarkan. Operasi BT shunt untuk
oksigen sistemik dapat adekuat dipertahankan. meningkatkan aliran darah paru merupakan
Pasien yang tetap menunjukkan saturasi arteri indikasi bila terapi konservatif tidak dapat
yang tinggi dengan aliran darah sistemik yang mengatasi masalah.
kurang walaupun berbagai manuver ventilasi
sudah dilakukan, hal ini merupakan
petunjuk adanya indikasi bedah yang harus Mutiara bernas
dilakukan sesegera mungkin. Prosedur banding
pada arteri pulmonalis dapat dilakukan untuk Manipulasi aliran darah paru (Qp) dan
mengurangi aliran darah paru. sistemik (Qs) dibutuhkan pada fisiologi
ventrikel tunggal. Keseimbangan Qp dan
Bila terjadi hipoksemia dengan saturasi
Qs (Qp/Qs ≈ 1) dapat tercapai bila
arteri < 75% pada fisiologi ventrikel
diperoleh target saturasi arteri 80-85%
tunggal menunjukkan aliran darah paru
yang kurang (Qp/Qs <1). Pada kondisi dan saturasi vena sentral 60-65%
pra-operasi hal
KEPUSTAKAAN associated with extracardiac anomalies
1. Atz AM, Feinstein JA, Jonas RA. Preoperative and malformation syndromes. Clin Ped.
management of pulmonary venous 1984;23:145–51.
hypertension in hypoplastic left heart 12. Hammon J Jr, Lupinetti F, Maples M. Predictors
syndrome with restrictive atrial septal of operative mortality in critical valvular
defect. Am J Cardiol. 1999;83(8):1224–8 aortic stenosis presenting in infancy. Ann
2. Buchhorn R, Ross R, Bartmus D. Activity Thorac Surg. 1988; 45:537-540
of the reninangiotensin aldosterone and 13. Hansen D, Hickey P. Anasthesia for
sympathetic nervous system and their hypoplastic left heart syndrome: use of high
relation to hemodynamic and clinical dose fentanyl in 30 neonates. Anesth Analg.
abnormalities in infants with left to right 1986; 65:127-132
shunts. Int J Cardiol. 2001;78:225-230 14. Ibsen L, Shen I, Ungerleider RM.
3. Cordell D, Graham TP Jr, Atwood GF. Left Perioperative management of patients with
heart volume characteristics following congenital heart disease: a multidisciplinary
ventricular septal defect closure in infancy. approach. Dalam: Nichols DG, penyunting.
Circulation. 1976; 54:294-298, Critical heart disease in infants and children.
4. Donahoo JS, Roland JM, Ken J. Philadephia: Elsevier; 2006. h. 561-78
Prostaglandin E1 as an adjunct to emergency 15. Jarmakani J, Graham T Jr, Canent R Jr, Capp
cardiac operation in neonates. J Thorac M. The effect of corrective surgery on left
Cardiovasc Surg. 1981;81:227 heart volume and mass in children with
5. Drummond W, Gregory G, Heymannn M, ventricular septal defect. Am J Cardiol. 1971;
Phibbs 27:254-258
R. The independent effects of 16. Jonas RA, Hansen DD, Cook N. Anatomic
hyperventilation, tolazoline, and dopamine subtype and survival after reconstructive
on infants with persistent pulmonary operation for hypoplastic left heart syndrome. J
hypertension. J Pediatr. 1981;98:603-611. Thorac Cardiovasc Surg. 1994;107:1121–7
6. Freed MD, Heymann MA, Lewis AB. 17. Jonas RA, Lang P, Mayer JE. The importance
Prostaglandin E1 in infants with ductus of prostaglandin E1 in resuscitation of the
arteriosus-dependent congenital heart disease. neonate with critical aortic stenosis. J Thorac
Circulation. 1981;64:889–905. Cardiovasc Surg. 1985;89:314–5
7. Gossett JG, Rocchini AP, Lloyd TR, et al. 18. Katz A. Cardiomyopathy of overload: a major
Catheter-based decompression of the left determinant of prognosis in congestive heart
atrium in patients with hypoplastic left heart failure. N Engl J Med. 1990; 322:100-10
syndrome and restrictive atrial septum is safe 19. Lewis AB, Freed MD, Heymann MA. Side
and effective. Catheter Cardiovasc Interv. effects of therapy with prostaglandin E1 in
2006;67:619–24 infants with critical congenital heart disease.
8. Graham T Jr. Ventricular performance Circulation. 1981;64:893–8
in congenital heart disease. Circulation. 20. Moler FW, Khan AS, Meliones JN.
1991;84:2259-2274 Respiratory syncytial virus morbidity and
9. Graham TP. Ventricular function in congenital mortality estimates in congenital heart
heart disease. Lancaster, England: MTP disease patients: a recent experience. Crit
Press, 1986 Care Med. 1992;20:1406–13
10. Greenwood RD, Rosenthal A, Parisi L. 21. Nicholson S, Jobes D. Pediatric cardiac
Extracardiac abnormalities in infants anesthesia. Dalam: Lake C, penyunting.
with congenital heart disease. Pediatrics. Hypoplastic left heart syndrome. San Mateo:
1975;55:485–92 Appleton and Lange; 1988. h. 243-52
11. Greenwood RD. Cardiovascular malformations 22. Norwood W. Surgery of the chest. Dalam:
Sabiston D, Spencer F, penyunting.
Hypoplastic
left heart syndrome. San Mateo: Appleton
infants with hypoplastic left heart syndrome
and Lange; 1988. h. 243-52
during controlled ventilation. Circulation.
23. Norwood WI, Lang P, Hansen DD. Physiologic 2001;104(12 Suppl 1):I159–64.
repair of aortic atresia-hypoplastic left heart
29. Talner NS. Heart Failure. Dalam: Adams
syndrome. N Engl J Med. 1983;308:23–6
FH, Emmanouilides GC, penyunting. Moss’
24. Rabinovitch M, Haworth SG, Castenada heart diseases in infants, children and
AR. Lung biopsy in congenital heart adolescents. Baltimore: Williams & Wilkins;
disease: a morphometric approach to 1983. h.708
pulmoanry vascular disease. Circulation.
30. Vlahos AP, Lock JE, McElhinney DB.
1978;58:1107-22
Hypoplastic left heart syndrome with intact
25. Ramamoorthy C, Tabbutt S, Kurth CD. Effects or highly restrictive atrial septum: outcome
of inspired hypoxic and hypercapnic gas after neonatal transcatheter atrial
mixtures on cerebral oxygen saturation in septostomy. Circulation. 2004;109:2326–
neonates with univentricular heart defects. 30
Anesthesiology. 2002;96(2):283–8.
31. Wessel LD, Fraisse A. Pre operative care of
26. Rashkind WJ, Miller WW. Creation of an pediatric cardiac surgical patient. Dalam:
atrial septal defect without thoracotomy. A Nichols DG, penyunting. Rogers’ textbook of
palliative approach to complete transposition pediatric intensive care). Philadelphia:
of the great arteries. JAMA. 1966;196:991– Lippincot William and Wilkins; 2008. h.
2 1150-8
27. Rudolph A, Yuan S. Response of the 32. Yokota M, Muraoka R, Aoshima M.
pulmonary vasculature to hypoxia and H+ Modified Blalock-Taussig shunt following
ionconcentration changes, J Clin Invest. long-term administration of prostaglandin
1966;45:399-411 E1 for ductus- dependent neonates with
28. Tabbutt S, Ramamoorthy C, Montenegro LM. cyanotic congenital heart disease. J Thorac
Impact of inspired gas mixtures on preoperative Cardiovasc Surg. 1985;90(3):399–403
14 Gagal Ginjal Akut
Antonius Pudjiadi, Irene Yuniar
GAMbARAN KlINIS
Penyakit ginjal intrinsik
Penyebab hipoperfusi perlu dicari, misalnya
Keadaan ini didasari oleh kerusakan jaringan perdarahan, gagal jantung, kebocoran
ginjal, baik vaskular, tubulus, interstisial, plasma seperti pada infeksi dengue dan
maupun glomerular. Nekrosis tubular akut sepsis, kehilangan cairan berlebih seperti
merupakan penyebab utama gagal ginjal akut pada luka bakar, diare, muntah, dan lain-lain.
tipe renal, dapat terjadi akibat Anamnesis tentang penggunaan obat-obatan
hipoksia/iskemia (tersering) atau toksin penting untuk mencari kemungkinan adanya
(nephrotoxin injury). Sepsis dapat obat yang bersifat nefrotoksik.
mengakibatkan gagal ginjal akut tipe renal Temuan dari pemeriksaan fisis
melalui berbagai mekanisme. Beberapa obat seringkali dapat mendeteksi etiologi gagal
yang bersifat nefrotoksik dapat dilihat pada ginjal. Sebagai contoh, bila ditemukan
Tabel 14.3. petanda vaskulitis, tekanan darah yang
rendah, atau penyakit hati berat, maka
Gagal ginjal akut pasca-renal penyebab gagal ginjal adalah sindrom
hepatorenal. Pemeriksaan fisis juga penting
Gagal ginjal akut tipe pasca-renal relatif untuk mendeteksi adanya kebocoran plasma,
jarang terjadi di PICU. Uropati obstruktif krisis hipertensi, dan kelebihan cairan
kongenital dapat ditemukan pada
neonatus.
Tabel 14.3. Obat nefrotoksik
Nefrotoksin yang menyebabkan disfungsi tubulus
Aminoglikosida
Antibiotik beta-laktam (sefalosporin, karbapenem)
Zat kontras
Cisplatin
Ifosfamide
Obat anti-inflamasi nonsteroid
Asetaminophen
Amfoterisin b
Asiklovir
foscarnet
Cidofovir
Inhibitor kalsineurin
Nefrotoksin yang menurunkan laju filtrasi glomerulus
Amfoterisin b
Angiotensin-converting enzyme inhibitor
Obat anti-inflamasi nonsteroid
foscarnet
Inhibitor kalsineurin
vasokonstriktor/vasopresor
Nefrotoksin yang mengakibatkan nefritis interstisial
Antibiotik beta-laktam (metisilin, penisilin, sefalosporin)
Tetrasiklin
yang terkadang mengakibatkan ancaman gagal positif. Bila tidak ditemukan eritrosit secara
napas. mikroskopis, namun uji dipstik menunjukan
adanya darah, perlu dipikirkan terjadi
hemolisis atau rabdomiolisis. Proteinuria
PEMERIKSAAN PENUNjANG merupakan petanda yang tidak spesifik.
Silinder granular yang dijumpai pada pasien
Berbagai pemeriksaan penunjang untuk
dengan hipovolemia seringkali merupakan
mencari etiologi gagal ginjal akut dapat
petanda ATN sebelum terjadi peningkatan
dilihat pada Tabel 14.5.
kreatinin serum.
Dengan prinsip yang sama, dapat dengan kadar >6,5 mEq/L mengancam
pula dihitung fraksi ekskresi urea berdasar nyawa. Hipokalemia dapat terjadi pada
pengukuran urea nitrogen dan kreatinin gagal ginjal akut tipe poliuria, yang sering
urine dan serum. Nilai normal fraksi disebabkan oleh amfoterisin B dan
ekskresi urea aminoglikosida. Asidosis metabolik,
<35%, sedangkan pada disfungsi tubular >35%. hipokalsemia, dan hiperfosfatemia juga umum
Fraksi ekskresi urea kurang dipengaruhi oleh dijumpai pada gagal ginjal akut. Pada kondisi
diuretik dibandingkan dengan fraksi ekskresi hipovolemia, kadar nitrogen urea dapat
sodium. meningkat jauh melebihi peningkatan kreatinin
serum, demikian juga kadar hematokrit dan
trombosit meningkat dari nilai sebelumnya.
Mutiara bernas
Pada ATN, didapatkan nilai FENa >1%,
sedangkan pada gagal ginjal akut tipe pra- Pencitraan
renal <1% (nilai normal FENa pada Beberapa kelainan anatomi seperti obstruksi
neonatus kongenital dapat terdiagnosis melalui
<3%) pencitraan saluran kemih. Gangguan vaskular
dapat pula dideteksi melalui pencitraan
Pemeriksaan darah melalui teknik doppler, computed
tomography, atau magnetic resonance.
Pemeriksaan yang rutin dilakukan meliputi
kreatinin, nitrogen urea, elektrolit, natrium,
kalium, bikarbonat, fosfor, kalsium, glukosa, Tata laksana
albumin, hemoglobin, dan trombosit.
Tata laksana suportif dibutuhkan untuk
Hiponatremia sering disebabkan oleh efek
mencegah dan mengatasi ancaman nyawa,
dilusi akibat pelepasan hormon antidiuretik
misalnya akibat gangguan elektrolit. Mengatasi
yang tidak adekuat. Hiperkalemia dapat
gangguan perfusi dan menghindari penggunaan
terjadi akibat gangguan ekskresi. Hiperkalemia
senyawa yang bersifat nefrotoksik dilakukan
Tabel 14.5. Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal akut
Pemeriksaan Kelainan Temuan positif
Urin Dipstick urine Infeksi Nitrit, leukosit esterase
Diabetes melitus Glukosa, keton
Defek konsentrasi (ATN, Berat jenis ≤,01
nefritis interstisial)
Nefritis hematuria
Sindrom nefrotik Proteinuria
Mikroskopik Nefritis Eritrosit, silinder leukosit
ATN Silinder granular
Nefritis interstisial akut Eosinofilia
FENa Gagal ginjal akut pra-renal fENa <1%
ATN, penyakit tubulus fENa >2%
FEUr Gagal ginjal akut pra-renal fEUr <35%
ATN fEUr >35%
untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut. children. A preliminary study. J Ann Pediatr.
Tunjangan nutrisi dengan pembatasan cairan 2004;61:509-14.
membutuhkan ketelitian tersendiri. Salah satu
4. Akcan-Arikan A, Zappitlli M, Loftis LL.
formula yang dapat digunakan untuk menilai
Modified RIFLE criteria in critically ill
kelebihan cairan (dalam persen) adalah children with acute kidney injury. Kidney
selisih total cairan masuk dan keluar selama Int. 2007;71:1028-35.
perawatan PICU dibagi berat badan kering
5. Williams DM, Sreedhar SS, Michkell JJ.
dikali seratus persen, sesuai formula:
Acute kidney failure: a pediatric experience
over 20 years. Arc Pediatr Adolsc Med.
Total cairan masuk (l) - Total cairan keluar (l) 2002;156:893- 900.
x100
berat badan kering (kg) 6. Chan KL, Ip P, Chiu CS. Peritoneal dialysis
after surgery for congenital heart disease in
infants and young children. Am Thorac Surg.
Penggunaan furosemid dan dopamin 2003;76:1443-9.
dosis renal (1-5µg/kg/menit) tidak 7. Mishra J, Dent C, Tarabishi R. Neurophil
memperbaiki mortalitas. gelatinase-associated lipocalin (NGAL) as a
biomarker for acute renal injury after cardiac
surgery. Lancet. 2005;365:1231-8.
Prognosis
8. Skippen PW, Krahn GE. Acute renal failure
Studi multisenter atas anak dengan continuous in children undergoing cardiopulmonary
renal replacement therapy menunjukan bahwa bypass. Crit Care Rescuc. 2005;7:286-91.
pasien dengan penyebab non-renal atau 9. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA. Acute
multiple organ system dysfunction syndrome renal failure - definition, outcome measures,
(MODS) mempunyai mortalitas >50%. animal models, fluid therapy, and
Pengamatan selama 3-5 tahun terhadap information technology needs: the Second
pasien di PICU yang mengalami gagal ginjal International Consensus Conference of the
akut menunjukan kesintasan sebesar 80%, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)
namun sebanyak 60% mengalami gangguan Group. Crit Care. 2004;8:R204-12.
ginjal (penurunan laju filtrasiglomerulus, 10. Hui-Stickle S, Brewer ED, Goldstein SL.
hipertensi, mikroalbuminuria, atau hematuria). Pediatric ARF epidemiology at a tertiary care
center from 1999 to 2001. Am J Kidney
Dis. 2004;45:96-101.
KEPUSTAKAAN 11. Devarajan P. Cellular and molecular
dearrangements in acute tubular necrosis. Curr
1. Adreoli S. Clinical evaluation and management. Opin Pediatr. 2005;17:193-9.
Dalam: Avner E, Harmon W, Niaudet P,
12. Acure renal failure. Textbook of pediatric
penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi ke-5.
care. Diunduh dari:
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
www.pediatriccareonline.org
2004. h. 1233-50.
13. Lamire N, Van Biesen W, Vanholder R.
2. Bailey D, Phan V, Litalien C. Risk factors of
Acute renal failure. Lancet. 2005; 365:417-
acute renal failure in critically ill children:
30.
a prospective descriptive epidemiological
study. Pediatr Crit Care. 2007;8:29-35. 14. Michael M, Kuhnle I, Goldstein SL. Fluid
overload and acute renal failure in
3. Medina Villaneuva A, Lopez-Herce Cid J,
pediatric stem cell transplant patients.
Lopez Fernandez Y. Acute renal failure in
Pediatr Nephrol. 2004;19:91-5.
critically-ill
15. Lassnigg A, Donner E, Grubhover G et al.
Lack of renoprotective effects of dopamine
Gagal Ginjal Akut 131
and
furosemide during cardiac surgery. J Am Soc
18. Symons JM, Chua A, Somers MJ.
Nephrol. 2000;11:97-104.
Demographic characteristics of pediatric
16. Shilliday JR, Quinn KJ, Allison ME. Loop continuous renal replacement therapy: a report
diuretics in the management of acute renal of the prospective pediatric continuous renal
failure: a prospective double-blind placebo- replacement therapy registry. CJASN.
controlled, randomized study. Nephrol Dial 2007;2:732-8.
Transplant. 1997;12:2592-6.
19. Askenazi DJ, Feig DI, Grahan NM. 3-5 year
17. Uchino S, Doig GS, Bellomo R. Diuretics longitudinal follow-up of pediatric patients after
and motality in acute renal failure. Crit Care acute renal failure. Kidney Int. 2006;69:185-
Med. 2004;32:1660-77. 9.
15 Keseimbangan Asam basa
Abdul Latief,Tatty Ermin Setiati, Hari Kushartono
didasarkan pada kadar karbondioksida Kadar ion bikarbonat normal antara 22–
(PaCO2), sedangkan untuk gangguan asam basa 26 mEq/L. Sebenarnya penggunaan ion
metabolik dengan menilai [HCO -], SBE bikarbonat (HCO -) sebagai petanda
(standardized base excess),
3
dan SID (strong 3
asidosis/alkalosis tidaklah tepat karena ion
ions difference). bikarbonat tidak hanya dipengaruhi oleh
asam metabolik tetapi juga oleh asam volatile
Karbondioksida (PaCO2) (PaCO2) atau respiratorik. Meskipun
demikian, hubungan antara kadar ion
Dalam keadaan normal tubuh bikarbonat dan PaCO2 dapat dipakai untuk
mempertahankan kadar karbondioksida darah memperkirakan besarnya kompensasi tubuh.
antara 35-45mmHg (sekitar 40mmHg) yaitu Perhitungan didasari atas asumsi sistem
dengan mengatur ventilasi alveolar. Bila buffer bikarbonat akan menetralkan
peningkatan atau penurunan ventilasi kelebihan asam nonvolatile (asam metabolik).
alveolar tidak sebanding dengan produksi Satu ion bikarbonat akan mengikat satu ion
karbondioksida, maka akan terjadi hidrogen asam nonvolatile, ion bikarbonat akan
gangguan keseimbangan asam basa menurun sebanding dengan ion hidrogen,
respiratorik. Di dalam darah, karbondioksida jumlah total kelebihan asam nonvolatile
akan bereaksi dengan molekul air sama dengan jumlah penurunan ion
membentuk H2CO3 yang kemudian berdisosiasi 3 bikarbonat dari nilai normal. Kelainan asam
menjadi ion hidrogen (H+) dan ion basa yang terjadi dapat disimpulkan
bikarbonat (HCO -) yang dikatalisasi oleh berdasarkan perbandingan bikarbonat atau
enzim karbonat anhidrase (Persamaan PaCO2 yang terukur dengan yang diharapkan
15.1) dari proses kompensasi (Tabel
CO ka rbon
H O
a tan h H 15.1).
idr ase
2 2H CO HCO
2 3 3
Persamaan 15.1
Base excess/deficit (BE/BD) adalah cara penyebab asidosis metabolik sehingga perlu
praktis untuk mengetahui berapa besar derajat dilakukan pemeriksaan kesenjangan anion
kelainan asam basa metabolik, yaitu dengan (anion gap, AG) yang diperkenalkan oleh
melakukan titrasi invitro pada sediaan darah Emmett dan Narin pada tahun 1975. Pada
dengan asam/basa kuat menjadi normal (pH saat itu tidak semua elektrolit diperiksa
7,4) dengan syarat faktor respiratorik secara rutin, oleh karena itu bila
ditiadakan (PCO2 sampel darah dibuat dipadankan maka hasil pemeriksaan kation
menjadi 40 mmHg dengan suhu 37oC). akan berbeda dengan anion, perbedaan yang
Definisi BE/BD adalah jumlah asam atau terjadi itu disebut AG (Gambar 15.1).
basa kuat yang dibutuhkan untuk
Anion gap dapat dihitung dengan rumus
menaikkan atau menurunkan pH menjadi
AG = (Na+ + K+) – (Cl- + HCO -) mEq/L,
7,4 pada PaCO2 40 mmHg dan suhu 37oC. 3
atau bila kalium diabaikan karena nilainya
Dengan perkataan lain BE/BD adalah
kecil, menjadi AG = Na+ - (Cl- + HCO 3-)
besarnya penyimpangan kadar BB dari nilai
mEq/L. Nilai normal AG adalah 8–16
normal. Kadar normal BE antara -2 sampai 2
mEq/L. Berdasarkan AG, asidosis
mEq/L. Asidosis terjadi pada BE <-2 mEq/L
metabolik dibagi menjadi asidosis metabolik
dan alkalosis jika BE >2 mEq/L. dengan peningkatan AG dan tanpa
Perhitungan BE/BD menggunakan darah peningkatan AG (Tabel 15.2)
lengkap sehingga kurang menggambarkan Meningkatnya AG menandakan adanya
cairan ekstraselular/interstisial. Oleh karena anion tidak terukur sebagai penyebab
itu, perlu dilakukan standarisasi BE/BD yang metabolik asidosis.
sesuai dengan cairan ekstrasel/interstisial,
yaitu pada kadar Hb 5 g/dL. Base excess/deficit
yang sudah distandarisasi ini disebut SBE dan
dapat dihitung dengan persamaan Van Slyke.
Perubahan SBE pada gangguan keseimbangan Mutiara bernas
asam basa primer dapat dilihat pada Tabel Base excess/deficit (BE/BD) adalah cara
15.1. praktis untuk mengetahui berapa besar
Kombinasi hasil pemeriksaan PaCO2, derajat kelainan asam basa metabolik
bikarbonat, dan SBE belum dapat menentukan
Gambar 15.1. Diagram senjang anion (anion gap)
Mutiara bernas
Bila nilai SID melebar atau positif akan
menyebabkan penurunan kadar ion
hidrogen sehingga akan terjadi alkalosis,
jika nilai SID menyempit maka akan
terjadi asidosis
Tabel 15.3. Klasifikasi gangguan asam-basa menurut Henderson-Hasselbalch (H-H) dan Stewart
Cara
Parameter yg diukur Gangguan Parameter Asidosis Alkalosis
Penilaian
asam-basa abnormal
h-h ph, PCO2, hCO -, bE Respiratorik PCO PCO naik PCO turun
3 2 2 2
Metabolik hCO 3
-
hCO turun
-
3
hCO -3 naik
atau bE bE turun bE naik
Tabel 15.4. Berat ringan gangguan keseimbangan asam-basa berdasarkan nilai PaCO 2 dan SBE
Kelainan Derajat PCO2 (mmhg) SbE (mEq/l)
Alkalosis Sangat berat <18 <13
berat 18-25 13-9
Sedang 25-30 9-6
Ringan 30-34 6-4
Minimal 34-37 4-2
Normal Normal 37-43 2 sampai -2
Asidosis Minimal 43-46 -2 sampai -4
Ringan 46-50 -4 sampai -6
Sedang 50-55 -6 sampai -9
berat 55-62 -9 sampai -13
Sangat berat >62 <-13
dan metabolik) jadi tidak ada proses Penilaian pada kasus dengan
kompensasi. hipoalbuminemia berat lebih tepat diperiksa
5. Kesimpulan: kelainan campuran asidosis dengan menggunakan AG corrected
respiratorik berat dan asidosis metabolik dan/atau BEG, karena pada perhitungan AG,
ringan. albumin termasuk komponen yang tidak
dihitung (unmeasured).
Penilaian khusus asidosis metabolik
Untuk mengetahui adanya penyebab asidosis Rumus untuk AG corrected adalah:
metabolik, dapat dilakukan pemeriksaan AG
dan atau BEG. AG corrected = AG + 2,5 x [42 – kadar albumin sekarang
1. Langkah pertama: ikuti cara Grogono. (g/dl)] Persamaan 15.5
2. Langkah kedua:
Hitung AG untuk menentukan apakah Tata laksana Gangguan
asidosis disebabkan oleh anion terukur Keseimbangan Asam basa
atau tidak terukur (unmeasured anion) .
Interpretasi nilai AG adalah: Gangguan keseimbangan asam basa
bukanlah penyakit, melainkan kelainan
a. Normal, berarti pemberian cairan
akibat penyakit primer, maka tata laksana
yang mengandung klor berlebihan
ditujukan kepada penyakit primer tersebut.
(asidosis metabolik hiperkloremik),
Bila gangguan asam basa berat maka perlu
kehilangan natrium lebih banyak dari
dipertimbangkan koreksi terhadap gangguan
klor (diare, ileostomi), dan asidosis
asam basa yang terjadi.
tubulus ginjal.
b. Meningkat (>16 mEq/L), berarti
anion metabolik lain sebagai penyebab Gangguan Respiratorik
(laktat, keton, dll). Kelainan yang mengancam nyawa pada asidosis
Periksa laktat, jika lebih dari 2 mEq/L respiratorik bukan karena asidosisnya tetapi
maka terjadi asidosis laktat, dapat disebabkan: karena hipoksemia, oleh karena itu terapi
0. Gangguan sirkulasi (syok, hipovolemia, utama adalah terapi oksigen sambil mengatasi
keracunan CO, kejang), atau penyebab primer pernapasan (hipoventilasi).
a. Tidak ada gangguan sirkulasi (keracunan Atasi faktor penyebab seperti kelainan paru,
biguanida, etilen glikol). Periksa keracunan narkotika, atau keracunan
produksi urin dan kreatinin: untuk salisilat. Ventilasi paru dapat diperbaiki
mengetahui adanya gagal ginjal akut dengan menggunakan ventilasi mekanik.
(renal acids).
Periksa gula darah dan keton urin: Gangguan Metabolik
b. Hiperglikemia dan ketosis 1. Asidosis Metabolik
menunjukkan ketoasidosis Meskipun sebagian besar asidosis
diabetikum. metabolik dapat diatasi oleh tubuh
c. Normoglikemia dan ketosis mengindi- setelah penyakit primernya
kasikan kemungkinan keracunan ditanggulangi, namun bila penurunan
alkohol atau kelaparan. pH (<7,2) dan BE/SBE sangat rendah (<
3. Langkah ketiga, bila semua uji -10 mEq/L) maka pemberian alkali
laboratorium normal, pertimbangkan (natrium bikarbonat) perlu
keracunan sebagai penyebab. dipertimbangkan.
Koreksi alkali terutama ditujukan pada dan terapi lainnya. Pada asidosis metabolik
asidosis metabolik yang disebabkan oleh kronik, pemberian alkali harus dilakukan
anion non-organik, sedangkan asidosis meskipun pH <7,35 untuk mencegah
yang disebabkan oleh anion organik katabolisme protein dan demineralisasi
(laktat, keton) yang dapat dimetabolisme tulang, agar tidak terjadi gangguan
kembali oleh tubuh maka tata pertumbuhan pada anak.
laksananya ditujukan pada penyakit
primer bukan pemberian alkali (Tabel
15.6). Asidosis metabolik karena gagal 2. Alkalosis Metabolik
ginjal (anion non- organik) Terdapat dua jenis alkalosis metabolik yaitu
ditanggulangi dengan dialisis (renal sensitif klorida dan resisten klorida.
replacement therapy), namun bila Disebut sensitif klorida karena
asidosis sangat berat maka pemberian pemberian klorida (NaCl fisiologis, KCl,
alkali dapat dipertimbangkan sementara atau HCl) akan memberikan respons
menunggu dialisis. Pemberian alkali yang baik. Alkalosis metabolik sensitif
pada asidosis metabolik karena anion klorida disebabkan karena kehilangan
organik masih kontroversial. Tata klorida dari cairan lambung atau
laksana asidosis metabolik karena anion muntah sedangkan fungsi ginjal normal.
organik ditujukan pada penyakit primer Resisten klorida adalah alkalosis
dan pemberian alkali dipertimbangkan metabolik yang tidak responsif dengan
bila pH < 7,0. Obat untuk mengatasi pemberian klorida karena ginjal terus-
asidosis metabolik seperti carbicarb, menerus mensekresi klorida, biasanya
tromethamine (THAM), dan trobat tidak terdapat peningkatan kadar klorida
tersedia di Indonesia. urin >20 mEq/L. Tata laksana alkalosis
Terdapat empat penyebab utama metabolik resisten klorida ditujukan
asidosis metabolik di Unit Perawatan pada penyakit primer (misalnya
Intensif, yaitu asidosis laktat karena syok aldosteronisme dan sindrom Cushing).
dan hipoksemia, ketoasidosis karena
diabetes melitus, asidosis tubulus ginjal,
dan asidosis karena dehidrasi akibat diare. Pemberian alkali (natrium bikarbonat)
Dari keempat keadaan tersebut, alkali
Natrium bikarbonat diberikan pada asidosis
diberikan pada asidosis tubulus ginjal
metabolik berat terutama pada asidosis
dan diare, sedangkan pada syok,
metabolik yang disebabkan karena anion
hipoksemia dan diabetes pengobatan
non- organik (Tabel 15.6). Dosis optimal
ditujukan pada penyakit primer, yaitu
natrium bikarbonat diberikan berdasarkan
dengan resusitasi cairan, oksigenisasi, dan
nilai SBE atau delta SID dengan perhitungan :
pemberian insulin. Pemberian alkali
0,3 X BB(kg) X SBE (delta SID) mEq,
dipertimbangkan bila pH plasma < 7,0
diberikan separuh dosis dengan
setelah dilakukan resusitasi
pertimbangan:
Mutiara bernas
1. Natrium bikarbonat diberikan langsung
Empat penyebab utama asidosis metabolik intravena, sehingga dosis yang diberikan
di Unit Perawatan Intensif, yaitu asidosis jauh lebih besar dari target
laktat karena syok dan hipoksemia, perhitungan (volume intravaskular lebih
ketoasidosis karena diabetes melitus, kecil dari total volume ekstraselular).
asidosis tubulus ginjal, dan asidosis
karena dehidrasi akibat diare 2. Natrium bikarbonat akan segera
menghasilkan karbondioksida yang tinggi
(1 mEq natrium bikarbonat = 22 mL dari proses patofisiologi dari suatu penyakit
karbondioksida).
yang terjadi terganggunya homeostasis
3. Karbondioksida mudah berdifusi melalui tubuh. Asam diproduksi oleh tubuh dalam
membran sel, sehingga dapat menembus bentuk asam volatile dan nonvolatile. Untuk
sawar darah otak dan menyebabkan menjaga keseimbangan asam basa, tubuh
asidosis di otak. mempunyai tiga sistem pengatur yaitu sistem
Natrium bikarbonat terdapat dalam dapar, paru-paru, dan ginjal. Sistem dapar
dua sediaan yaitu larutan 8,4% (1 mEq/ menetralisir kelebihan asam dengan segera,
mL) dan 4,2% (0,5 mEq/L). Larutan 8,4% paru-paru mengeluarkan kelebihan asam dalam
sangat hiperosmolar (2000 mOsm/L) sehingga bentuk karbondioksida, sedangkan ginjal
pemberian bikarbonat dapat menyebabkan mengatur sekresi ion klorida untuk
hipernatremia, hiperosmolalitas, vasodilatasi, mengatur SID dan/atau pengaturan
dan hipotensi ringan. Bila terjadi bikarbonat. Gangguan yang disebabkan oleh
ektravasasi dapat menyebabkan sklerosis asam volatile disebut respiratorik, sedangkan
vena kecil dan nekrosis jaringan. Larutan gangguan akibat asam nonvolatile disebut
4,2% digunakan untuk bayi baru lahir untuk metabolik. Menurut Stewart, PaCO2, SID,
mengurangi bahaya hiperosmolaritas serta dan asam lemah (ATOT) merupakan faktor
perdarahan periventrikular dan determinan terhadap perubahan kadar ion
intraventrikular.Natrium bikarbonat dapat H+ (pH) cairan tubuh.
diberikan melalui intravena maupun intraoseus, Penilaian klinis gangguan asam basa dinilai
dengan menilai pH, PaCO , HCO -, base
tetapi tidak melalui endotrakeal. Natrium excess, 2 3
bikarbonat harus diberikan dengan kecepatan merupakan suatu penyakit, tetapi bagian
yang lambat yaitu 1 mEq/menit.
Ada dua pendapat tentang cara kerja
natrium bikarbonat. Pertama, natrium
bikarbonat menyebabkan peningkatkan pH
plasma melalui pendaparan ion H+ oleh
bikarbonat dengan reaksi H+ +3 HCO -
menjadi H2CO3 dan berdisosiasi menjadi
H2O + CO2. Kedua, melalui peningkatan
ion natrium yang menyebabkan
peningkatan SID dan menyebabkan
peningkatan pH (penurunan ion H+). Kedua
pendapat tersebut memberikan hasil akhir
yang sama yaitu peningkatan pH dan
peningkatan CO2. Karbondioksida yang
terbentuk akan dikeluarkan melalui paru
sehingga sebelum ventilasi membaik
(terkendali) pemberikan natrium bikarbonat
ditunda.
KESIMPUlAN
Gangguan keseimbangan asam basa bukan
standardized base excess (SBE), anion kecepatan 1 mEq/menit.
gap (AG), strong ion difference (SID),
dan base excess gap. Gangguan
keseimbangan asam basa secara dapat KEPUSTAKAAN
dianalisis dengan cara Grogono, khusus
asidosis metabolik dibantu dengan 1. Chiasson JL, Jilwan NA, Belanger R,
pemeriksaan anion gap dan analisis Bertrand S, Beauregard H, Ekoe JM, dkk.
Stewart-Fencl. Tata laksana gangguan Diagnosis and treatment of diabetic
keseimbangan asam basa ditujukan ketoacidosis and the hyperglycemic
pada pengobatan penyakit primer, hyperosmolar state. Can Med Assoc J.
pemberian natrium bikarbonat 2003;168:859- 66.
terutama pada asidosis metabolik 2. Fencle V, Jabour A, Kazda A, Figge J.
berat karena anion non organik, dan Diagnosis of metabolic acid base distrurbances
natrium bikarbonat diberikan setelah in critically ill patients. Am J Respir Crit
ventilasi baik (terkendali) dengan Care Med. 2000;162:2246-51.
3. Gauthier PM, Szerlip HM. Metabolic Acidosis
acidosis. Curr Opin Crit Care. 2003;9:260-5.
in the intensive care unit. Crit Care Clin.
2002;18:289–308. 8. Martin L. All you really need to know to
interpret arterial blood gases. Edisi ke-2.
4. Gehlbach BK, Schmidt GA. Bench to
Philadelphia: Lippincott Williams &
bedside review: treating acid base
Wilkins, 1999.
abnormalities in the intensive care unit – the
role of buffers. Critical Care. 2004 8;259-65. 9. Preston RA. Acid-base, fluids, and
electrolytes made ridiculously simple. Miami:
5. Grogono AW. Acid base tutorial [Diakses
McGraw Hill; 2000.
tanggal 11 Mei 2008]. Diunduh dari:
http:// www.acid-base.com. 10. Soriano R. Renal tubular acidosis: the clinical
entity. J Am Soc Nephrol. 2002;13:2160-
6. Kellum JA. Determinants of plasma acid base
70.
balance. Crit Care. 2005;21:329-46.
11. Story DA, Morimatsu H, Bellomo R. Strong
7. Levraut J, Grimaud D. Treatment of
ions, weak acids, and base excess: a
metabolic
simplified Fencl- Stewart approach to clinical
acid base disorders. Br J Anaesth.
2004;92:54-60.
16 Kristaloid dan Koloid
Hari Kushartono,Tatty Ermin Setiati
Anak sakit kritis seringkali mengalami tekanan osmotik koloid plasma belum
hipovolemia. Berbeda dengan respons pernah dibuktikan dapat menaikkan angka
hemodinamik yang terjadi pada orang kelangsungan hidup. Para ahli yang memilih
dewasa, syok pada anak dengan inflamasi kristaloid mencela biaya dan risiko terapi koloid
sistemik umumnya disertai dengan curah karena koloid albumin yang diberikan
jantung yang rendah. Resusitasi volume pada keadaan peningkatan permeabilitas
agresif yang diterapkan pada anak dengan syok vaskular perifer dan pulmonar akan keluar ke
septik, sejak 1998, telah berhasil interstisial dan terperangkap dalam
memperbaiki prognosis secara bermakna. ruangan tersebut sehingga pada akhirnya
Untuk mempertahankan varia bel menimbulkan edema.
hemodinamik normal, ruang intravaskular
harus diisi hingga adekuat. Pemberian Hauser dkk membandingkan pasien
cairan yang berlebihan akan mengakibatkan sakit kritis yang mendapat koloid dengan
peningkatan tekanan hidrostatik yang tidak yang mendapat kristaloid untuk resusitasi
seimbang dengan tekanan onkotik hingga cairan. Mereka menemukan bahwa kelompok
terjadi perpindahan cairan ke ruang interstisial. koloid mengalami perbaikan lebih nyata pada
Karena itu pemberian cairan dalam jumlah variabel hemodinamik tanpa ada bukti
besar dapat menyebabkan edema paru. peningkatan air paru atau terperangkapnya
Kondisi ini disebut edema paru tekanan albumin. Pada kelompok kristaloid dijumpai
rendah. pertukaran gas paru yang lebih buruk,
penurunan VO2, dan perbaikan variabel
hemodinamik sedang. Appel dan Shoemaker
juga menunjukkan bahwa penggunaan
KONTROvERSI KOlOID DAN
koloid pada pasien sakit kritis
KRISTAlOID SEbAGAI CAIRAN menyebabkan perbaikan nyata pada semua
RESUSITASI variabel hemodinamik dan DO2, tetapi
Kontroversi timbul dalam hal pemilihan koloid pada penggunaan kristaloid hanya dijumpai
ataukristaloiduntukekspansiruangintravaskular. sedikit perbaikan.
Ahli yang memilih koloid mengatakan bahwa Pada pasien sakit kritis mekanisme
koloid dapat mempertahankan tekanan kompensasi terhadap kelebihan cairan
osmotik koloid plasma dan meminimalkan sangat menurun, sehingga edema interstisial
akumulasi cairan interstisial. Selain itu dapat mengakibatkan gagal organ. Koloid
kristaloid menurunkan tekanan osmotik lebih baik untuk menangani kasus-kasus
koloid plasma dan cenderung menimbulkan dengan hipovolemia. Koloid lebih cepat
edema paru. Telah dibuktikan bahwa mengembalikan variabel hemodinamik ke
penurunan tekanan osmotik koloid plasma nilai normal dibandingkan kristaloid
pada pasien sakit kritis disertai peningkatan sehingga membantu mempertahankan tekanan
mortalitas, meskipun peningkatan osmotik
Kristaloid dan Koloid 145
koloid plasma. Kristaloid dapat syok dengue (SSD) oleh Setiati menyimpulkan
menyebabkan edema paru pada pasien luka
bakar. Edema paru pada pasien luka bakar
dapat disebabkan karena kombinasi
beberapa faktor yaitu hipoproteinemia,
cedera inhalasi, dan perubahan permeabilitas
kapiler paru akibat luka bakar atau sepsis.
Ahli lain berpendapat bahwa kristaloid
diperlukan untuk ekspansi ruang
intravaskular dan interstisial, dan pada
keadaan terjadi sindrom kebocoran
kapiler/alveolar sebaiknya dihindarkan
pemakaian koloid karena kemungkinan
terjadi sekuestrasi dalam ruang
ekstravaskular. Koloid membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk keluar dari tubuh dan
dapat menimbulkan akumulasi cairan paru
ketika cairan edema diserap kembali dari
luka bakar.
Bila parameter yang digunakan untuk
membandingkan efektivitas koloid dan
kristaloid adalah mortalitas, maka sampai
sekarang dan mungkin sampai kapanpun
tidak akan pernah tercapai kesimpulan yang
memenangkan koloid atau kristaloid.
Kesulitan menilai cairan mana yang lebih
unggul dikarenakan begitu banyak variabel
yang ada sehingga untuk mendapatkan hasil
yang konklusif diperlukan jumlah subjek
penelitian yang besar.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa
larutan koloid lebih superior dari larutan
kristaloid pada pasien syok, tetapi pada
kebanyakan situasi, kombinasi kedua cairan
lebih logis. Rady menyarankan bahwa
volume plasma pasca-resusitasi, curah jantung,
kinerja mekanis ventrikel kiri, dan penyediaan
oksigen global dan sirkulasi mikro lebih baik
dengan terapi koloid. Sebaliknya kristaloid
dapat berpengaruh tidak baik pada aliran
sirkulasi mikro, penyediaan oksigen, dan
pemakaian oksigen oleh jaringan iskemik
pada syok. Pada pasien kritis, sesudah
resusitasi dengan kristaloid dapat terus terjadi
hipoksia regional dan global karena perbaikan
yang dihasilkan oleh kristaloid hanya sedikit.
Penelitian pada anak dengan sindrom
146 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
bahwa mortalitas pada pasien yang perbedaan mortalitas yang bermakna antar
mendapat koloid kanji hidroksietil 6% (HES kedua kelompok. Penelitian ini
6%) dengan berat molekul 200 kD secara merekomendasikan koloid sebagai cairan
bermakna lebih rendah daripada yang resusitasi awal pada syok berat.
mendapat RL. Kesimpulan ini didukung oleh Metaanalisis mortalitas oleh Velanovich
penelitian Chifra yang menyatakan bahwa menyimpulkan bahwa resusitasi dengan
koloid kanji hidroksietil 6% dapat koloid memberi efek menguntungkan dalam
mempertahankan stabilitas hemodinamik aspek mortalitas pada pasien non-trauma
lebih lama dan menghasilkan mortalitas dibandingkan kristaloid. Namun, Schierhout
lebih rendah dibandingkan RL. Penelitian di menyimpulkan bahwa resusitasi dengan koloid
Vietnam terhadap 230 pasien dengan SSD berhubungan dengan peningkatan absolut
yang diberikan empat cairan yang berbeda risiko mortalitas sebesar 4%. Keterbatasan
sebagai cairan resusitasi awal yaitu dengan penelitian Schierhout ini adalah intervensi
kristaloid (RL, NaCl 0,9%), dan koloid dan karakteristik pasien tidak sebanding,
(Dextran 70, Gelatin 3%) menunjukkan begitu pula dengan rejimen resusitasi yang
bahwa semua pasien hidup, akan tetapi waktu digunakan sehingga hasilnya diragukan.
yang dibutuhkan untuk mengatasi syok lebih
Tiga metaanalisis lain tidak mendapatkan
lama pada kelompok kristaloid. Penelitian
bukti adanya hubungan antara pilihan cairan
ini juga menunjukkan bahwa koloid
resusitasidenganrisikomortalitaskarenaterdapat
mempunyai beberapa keuntungan pada pasien
variasi dalam derajat keparahan penyakit,
dengan tekanan nadi yang rendah. Wills
terapi secara keseluruhan, dan pendekatan tata
dkk membandingkan anak dengan SSD
laksana cairan. Pada metaanalisis ini hanya
yang diberikan koloid HES 6% dengan yang
sedikit uji klinis acak terkontrol yang
diberi RL sebagai cairan resusitasi awal dan
meneliti
menyimpulkan bahwa tidak terdapat
efektivitas cairan resusitasi koloid Mutiara bernas
dibandingkan dengan kristaloid. Hasil dari
metaanalisis tersebut tidak mendukung Penting bagi dokter adalah memahami
kesimpulan bahwa pilihan cairan resusitasi dengan baik sifat cairan kristaloid dan koloid
merupakan penentu mortalitas pada pasien serta patofisiologi penyakit
sakit kritis sehingga pilihan cairan resusitasi
hendaknya didasarkan pada pertimbangan
apakah cairan tersebut memungkinkan KRISTAlOID vERSUS KOlOID
dokter memberikan penanganan yang lebih AREA PERSETUjUAN
baik kepada pasien.
Berikut ini adalah hal-hal yang telah
Shih FJ mengemukakan bahwa tata disepakati dalam resusitasi cairan:
laksana volume cairan yang tidak tepat
1. Resusitasi dengan cairan selain darah
akan menurunkan kinerja organ vital dan
secara praktis sangat bermanfaat.
potensial fatal. Pasien sakit kritis dan atau
darurat sering mendapatkan terapi lain dan 2. Kelebihan cairan dengan kedua macam
membutuhkan pemantauan ketat yang larutan merupakan peristiwa yang tidak
berdampak pada angka kesintasan dan hasil diinginkan.
akhir yang sama atau lebih besar daripada 3. Mempertahankan tekanan onkotik plasma
dampak jenis cairan itu sendiri. Variabel- dipostulasikan sebagai tujuan terapi cairan
variabel tersebut menyebabkan perbandingan yang diinginkan (larutan koloid lebih
antara resusitasi koloid dengan kristaloid efektif dalam mempertahankan tekanan
menjadi sulit. osmotik).
Gan dkk mendapatkan perbedaan klinis 4. Larutan koloid merupakan bentuk
yang bermakna pada profil pemulihan pasca penggantian volume darah yang lebih
bedah antara pasien yang mendapat larutan efisien daripada larutan kristaloid. Untuk
koloid Hextend atau Hespan dan kristaloid RL. mencapai titik akhir tertentu diperlukan
Pasien yang mendapatkan koloid lebih sedikit larutan koloid dibandingkan
intraoperatif menunjukkan kejadian nausea, larutan kristaloid.
nyeri pasca- bedah, dan penglihatan ganda 5. Larutan koloid lebih mahal daripada
akibat edema periorbital lebih rendah kristaloid. Larutan kristaloid tidak
dibandingkan kelompok kristaloid. menyebabkan reaksi anafilaktoid yang
Hipotensi intraoperatif akibat hipovolemia dapat terjadi pada koloid, meskipun
dianggap sebagai penyebab utama morbiditas reaksi seperti ini jarang terjadi pada
dan mortalitas pasca-bedah. Penanganan syok.
resusitasi cairan agresif terbukti mengurangi 6. Hemodilusi sebelum transfusi dengan
morbiditas dan mortalitas serta lama rawat kristaloid atau koloid bermanfaat pada
inap. restorasi volume darah.
Sampai saat ini kontroversi pemilihan
cairan resusitasi masih terus berlangsung
dan yang terpenting bagi dokter adalah
Area debat
memahami dengan baik sifat cairan Hal-hal yang masih menjadi kontroversi dalam
kristaloid dan koloid serta patogenesis dan pemilihan cairan kristaloid versus koloid adalah:
patofisiologi penyakit primer dengan tujuan 1. Efek koagulasi
meningkatkan kualitas pelayanan serta 2. Fungsi ginjal
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
3. Air di ruang interstisial paru
4. Lama rawat di ruang rawat intensif menurunkan daya adesif leukosit.
dan rumah sakit
5. Angka kelangsungan hidup
6. Kekerapan acute respiratory distress syndrome
(ARDS)
SIfAT-SIfAT CAIRAN
Kristaloid hanya berada sebentar di dalam
ruang intravaskular dan ¼ bagian cairan
intravaskular akan mengisi ruang interstisial.
Kristaloid yang diberikan berlebihan dapat
menyebabkan edema otak, menurunkan kinerja
jantung, mengurangi oksigenasi paru,
menyebabkan translokasi bakteri pada
saluran cerna, dan menghambat
penyembuhan luka.
Koloid akan mengisi ruang
intravaskular dan mempertahankan volume
intravaskular lebih lama dibandingkan
kristaloid. Koloid menaikkan tekanan onkotik
plasma, menaikkan volume darah,
mempunyai efek menyumpal (sealing effect)
yaitu kanji hidroksietil dengan BM 100-300
kD, mengembalikan aliran darah regional
pada hipovolemia, memperbaiki sirkulasi
makro dan mikro, menurunkan viskositas,
mengganggu formasi Rouleaux, dan
Kristaloid Tonometri gastrik merupakan prediktor
penting parameter perfusi organ. Penelitian
a. NaCI 0,9% (salin normal) oleh McFarlane dan Scheingraber
Cairan ini sedikit hipertonik karena membuktikan bahwa pemberian NaCI 0,9%
mengandung Natrium 154 mmol/L dalam jumlah besar menyebabkan asidosis
(natrium plasma 135- 147 mmol/L) dan metabolik. Penelitian-penelitian tersebut
klorida 154 mmol/L (klorida plasma 94-111 membuktikan bahwa asidosis hiperkloremik
mmol/L) yang tidak fisiologis. Pemberian dapat mengganggu perfusi organ akhir dan
infus dalam jumlah besar dapat berpengaruh pada mekanisme pertukaran selular.
menyebabkan risiko asidosis metabolik. Uji Jenis kristaloid yang dikombinasikan
klinis acak terkontrol yang membandingkan dengan koloid juga berpengaruh pada hasil
efek larutan koloid dan kristaloid seimbang akhir apabila diberikan dalam jumlah besar.
dengan larutan NaCl pada hiperkloremia Suatu penelitian oleh Gan membuktikan bahwa
menyatakan bahwa asidosis metabolik profil koagulasi pasien yang mendapatkan
hiperkloremia pasca bedah lebih sering cairan koloid (Hextend yaitu hetastarch 6%
terjadi pada kelompok yang mendapatkan dengan kombinasi kristaloid seimbang yaitu
NaCI 0,9% daripada yang mendapatkan Na+, K+, Ca++, Mg++, dan Cl ) bufer laktat,
cairan kristaloid seimbang (67% vs 0%). dan glukosa kadar fisiologis (90 mg/dl)
Uji klinis acak terkontrol oleh Mythen mempunyai profil koagulasi lebih baik dan
menunjukkan manfaat klinis pemberian cenderung mengalami kehilangan darah
cairan intravena dengan komposisi elektrolit lebih sedikit daripada koloid yang
seimbang. Cairan ini menurunkan risiko dikombinasikan dengan NaCI 0,9% (Hespan)
asidosis metabolik, ketidakseimbangan dan sama efektifnya untuk penatalaksanaan
elektrolit, dan memperbaiki perfusi organ. hipovolemia.
b. Ringer laktat Penelitian prospektif acak multisenter
Ringer laktat memiliki efek prokoagulan dan masih dibutuhkan untuk menghilangkan
meningkatkan risiko efek samping trombosis kontroversi. Untuk mendapatkan hasil yang
vena dalam dan emboli paru. Efek bermakna secara statistik maka penelitian
prokoagulan kristaloid dibuktikan secara in mengenai kristaloid versus koloid
vitro oleh Rutmann dkk (1996) dan Egli membutuhkan
dkk (1997) dan secara in vivo oleh Yanvrin 159.000 penderita untuk masing-masing
dkk (1980) dan Ng KF dkk (1996). kelompok dengan asumsi angka mortalitas 20%
dan risk ratio (RR) 1,02.
Koloid
Efek koloid yang menguntungkan
Sifat-sifat koloid ideal adalah sebagai
berikut: Efek pada tekanan onkotik
1. Tidak menyebabkan koagulopati, Pada pasien sakit kritis terdapat
hemolisis, aglutinasi sel darah merah, penurunan kadar albumin dan tekanan
atau gangguan cross-match. onkotik koloid. Bila permeabilitas membran
2. Mengganti kehilangan volume darah berubah, tekanan onkotik yang rendah dapat
dengan cepat. enyebabkan edema paru dan edema perifer.
3. Mengembalikan keseimbangan Albumin atau koloid sintetik dapat digunakan
hemodinamik. untuk mengembalikan tekanan onkotik koloid.
Mena dkk melaporkan bahwa HES 6% (BM
4. Menormalkan aliran sirkulasi mikro.
200 kD, derajat substitusi 0,6) menaikkan
5. Memperbaiki hemoreologi. tekanan onkotik koloid (dari 20,7 menjadi
6. Memperbaiki penyediaan oksigen dan 22,5), sedangkan dengan larutan albumin
fungsi organ. manusia 4% tekanan onkotik koloid tetap
7. Cepat dimetabolisme, diekskresi, tidak berubah.
dan ditoleransi dengan baik.
Efek pada volume darah
Metaanalisis dari Cochrane melaporkan Penelitian prospektif pada pasien sakit kritis
peningkatan risiko kematian pada pasien oleh Beards dkk menunjukkan bahwa gelatin
yang mendapat albumin dibandingkan dengan dan hetastarch sama-sama meningkatkan
yang mendapat kristaloid sebagai cairan
transpor dan pemakaian oksigen (DO2 dan
resusitasi. Namun, penelitian ini memiliki
V02). Van der Linden mengamati bahwa
keterbatasan karena adanya bias seleksi.
ekstraksi oksigen kritis pada pemakaian
Ketika metaanalisis ini dilakukan lagi dengan
gelatin dan HES adalah sama. Infus HES 10%
menggunakan kriteria seleksi yang berbeda,
200/0,5 pada pasien sakit kritis dengan
tidak terdapat perbedaan rerata kesintasan
hipovolemia dan syok akibat trauma,
sehingga efek albumin terhadap luaran akhir
operasi berat, sepsis atau kombustio untuk
masih dianggap kontroversial. Metanaalisis
memperoleh tekanan baji arteri paru 15- 18
yang dilakukan oleh De Backer pada pasien
mmHg memperbaiki hemodinamik (Cl, DO2,
kritis menyimpulkan bahwa risiko mortalitas
dan V02) menuju nilai normal atau
antara kelompok yang mendapat albumin
supranormal.
maupun kristaloid adalah sama. Kriteria
seleksi pada metaanalisis De Backer berbeda
dengan metaanalisis Cochrane.
Efek menutup kebocoran (sealing effect)
HES 200/0,5 lebih baik daripada dengan BM<50.000 Dalton,
albumin 5%, ringer laktat, HES
HES dengan BM >300.000 Dalton. Sealing HES 130/0,4 mempunyai efek baik terhadap
effect HES 200/0,5 pada binatang percobaan sirkulasi mikro. Asfar dkk melaporkan bahwa
telah dibuktikan oleh Webb pada kasus gelatin meningkatkan pH mukosa lambung
peritonitis, Schell pada iskemia serebral, pada pasien sepsis, sedangkan penggunaan
Tanaka pada cedera paru akut, Traber pada kanji hidroksietil pH lambung tetap stabil.
sepsis, dan Yeh pada pintasan jantung-paru
neonatal. Efek menutup kebocoran
menyebabkan kebocoran vaskular menurun, Efek koloid yang merugikan
edema berkurang, dan kebutuhan cairan Efek koloid yang merugikan terangkum dalam
berkurang. Tabel 16.1.
KEPUSTAKAAN
1. Boldt J, Kling D, Weidler B, Zickmann B,
Herold C, Dapper F, Hempelmann G. Acute
preoperative hemodilution in cardiac
surgery: volume replacement with a
hypertonic saline- hydroxyethyl starch
solution. J Cardiothorac Vasc Anesth.
1991;5:23-8.
2. Chifra HL, Velasco JN. A comparative study
of the efficacy of 6% HES-steril and ringer
lactate in the management of dengue shock
syndrome. Crit Care and Shock. 2003;6:95-
100.
3. Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers.
Human albumin administration in critically
ill patients: systematic review of randomized
controlled trials. Br Med J. 1998;317:235-40.
4. Hauser CJ, Shoemaker WC, Turpin I,
Goldberg SJ. Oxygen transport responses to
crystalloid in critically ill surgical patients. 2002.
Surgery. 1980:150:811-6. 11. Vermeulen LC Jr, Ratko TA, Erstad BL,
5. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen Brecher ME, Matuszewski KA. A paradigm for
VM, Nguyen TQ, dkk. Acute management of consensus. The University Hospital Consortium
dengue shock syndrome: a randomized guidelines for the use of albumin, nonprotein
double-blind comparison of 4 intravenous colloid, and crystalloid solutions. Arch Intern
fluid regimens in the first hour. Clin Infect Med. 1995;155:373-9.
Dis. 2001;32:204-13. 12. Webb AR. The appropriate role of colloids
6. Rady M. An argument for colloid in managing fluid imbalance: a critical
resuscitation for shock. Acad Emerg Med. review of recent meta-analysis findings.
1994; 1: 572-9. Crit Care. 2000;4:S26-32.
7. Rosenthal MH. Physiologic approach to 13. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH,
the management of shock. Sem Anaesthes. Tran TN, Le TT, dkk. Comparison of three
1982;1:285-92. fluid solutions for resuscitation in dengue
8. Schierhout G, Roberts I. Fluid shock syndrome. N Engl J Med.
resuscitation with colloid or crystalloids 2005;353:877-89.
solutions in critically ill patients: a systematic 14. Zikria BA, Subbarao C, Oz MC, Popilkis SJ,
review of randomized trials. Br Med J. Sachdev R, Chauhan P, dkk. Hydroxyethyl
1998;316:961-4. starch macromolecules reduce myocardial
9. Setiati TE. Use of HES 6% in children with reperfusion injury. Arch Surg. 1990;125:930-
dengue shock syndrome. Crit Care and 4.
Shock. 2000;34. 15. Zikria BA, Subbarao C, Oz MC, Shih ST,
10. Sunatrio. Kristaloid versus koloid pada McLeod PF, Sachdev R, dkk. Macromolecules
periode perioperatif. Course & Workshop reduce abnormal microvascular permeability in
on IV Fluid Therapy. Jakarta, 2-4 Agustus rat limb ischemia-reperfusion injury. Crit
Care Med. 1989;17:1306-9.
17 Sepsis dan Kegagalan Multi Organ
Rismala Dewi
Renjat
Infek SI Seps Sepsis an
si RS is berat septik
Koagulopa
ti
MANIfESTASI KlINIS
Sepsis merupakan suatu kesatuan penyakit
yang bersifat sistemik sehingga manifestasi
klinis sepsis pada fase awal dapat
memperlihatkan gejala seperti demam atau
hipotermia, takikardia dan takipnea,
leukositosis atau leukopenia serta perubahan
status mental. Hipotensi tidak selalu
didapatkan pada trias klasik sepsis pada
anak, karena mekanisme kompensasi
hemodinamik yang berbeda dengan dewasa.
Syok merupakan proses progresif yang
ditandai dengan 3 stadium berbeda. Pada
fase dini (stadium kompensasi) terdapat
mekanisme neurohormonal yang bersifat
kompensatorik dan fisiologis yang bekerja
untuk mempertahankan tekanan darah dan
memelihara kecukupan perfusi jaringan.
Apabila mekanisme kompensasi ini
terlampaui maka akan terjadi keadaan
hipoksia jaringan dan iskemia sehingga
memacu terjadinya penimbunan asam laktat,
asidosis metabolik dan kerusakan jaringan.
Stadium dekompensasi ini dapat berlanjut
menjadi ireversibel yang menyebabkan
gangguan multi organ yang berat dan
berujung pada kematian.
Pada syok septik dapat ditemukan tanda
gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran,
penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis,
pengisian kapiler serta oliguria. kapiler lambat, dan ekstremitas dingin.
Selain itu dijumpai pula gangguan
respirasi seperti takipnea, asidosis
metabolik serta edema paru. Manifestasi TATA lAKSANA
perdarahan dapat ditemukan juga
pada kulit berupa petekie, ekimosis, Sepsis dan kegagalan multi organ merupakan
dan purpura. keadaan serius yang harus segera ditatalaksana
Selain gejala umum di atas dengan optimal sehingga prognosis akan
terdapat istilah lain yang dapat lebih baik, menurunkan angka kematian dan
ditemukan pada 20% kasus anak mencegah sekuele di kemudian hari.
dengan syok septik, yaitu syok Terdapat enam hal utama yang perlu
septik hangat (warm shock), yang diperhatikan dalam menatalaksana pasien
ditandai dengan gejala demam, dengan sepsis dan kegagalan multi organ
penurunan kesadaran, takikardia, yaitu: 1. Resusitasi cairan, 2. Terapi
perabaan nadi kuat, tekanan nadi antimikroba, 3. Inotropik dan vasopresor, 4.
melebar (tekanan diastolik Monitoring invasif dan non invasif, 5. Terapi
menurun), perfusi menurun, spesifik dan 6. Terapi suportif.
produksi urin menurun, pengisian
kapiler melambat, ekstremitas hangat Resusitasi cairan
(predominan vasodilatasi). Sedangkan
pada syok septik dingin (cold shock) Terjadinya syok pada pasien dengan sepsis
predominan adalah vasokonstriksi menyebabkan adanya gangguan perfusi yang
dengan gejala demam atau hipotermia, terjadi secara menyeluruh dan regional,
takikardia dengan nadi lemah, sehingga tujuan akhir penatalaksanaan
penurunan kesadaran, tekanan nadi pasien menjadi lebih kompleks dibandingkan
sempit, perfusi menurun, pengisian syok jenis lain. Tata laksana terkini untuk
sepsis
bertujuan mengoptimalkan hemodinamik
Mutiara bernas
dalam 6 jam pertama dikenal sebagai early
goal directed therapy dengan target Hipotensi tidak selalu didapatkan pada
mempertahankan central venous pressure trias klasik syok septik pada anak,
(CVP) 8-12 mmHg, mean arterial pressure karena mekanisme kompensasi
(MAP)>65 mmHg dan saturasi vena kava hemodinamik berbeda dengan dewasa
superior (ScvO2) > 70%, dan hal ini Tanda syok septik hangat (warm shock):
memperlihatkan keuntungan yang cukup
demam, penurunan kesadaran,
bermakna. Harus diingat bahwa batasan Rivers
takikardia, perabaan nadi kuat,
dan kawan kawan ini merupakan parameter
MAP pada pasien dewasa. Parameter MAP tekanan nadi melebar (tekanan
bayi dan anak dapat dilihat pada bab diastolik menurun), perfusi menurun,
pemantauan hemodinamik pada buku ini. produksi urin menurun, pengisian
Sementara itu nilai CVP dan ScvO2 yang kapiler melambat, ekstremitas hangat
ditargetkan sama. (predominan
• Tanda vasodilatasi)
syokseptikdingin(cold
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan shock predomina vasokonstriksi,
untuk mengoptimalkan pemberian cairan demam/hipotermia,
): n takikardia dengan
resusitasi yaitu jenis cairan yang digunakan nadi lemah, penurunan kesadaran,
yaitu kristaloid atau koloid, kecepatan tekanan nadi sempit, perfusi menurun,
pemberian cairan harus kurang dari 30 pengisian kapiler lambat, dan
menit dan jumlah cairan yang diberikan ekstremitas dingin
(20-60 mL/kg berat badan).
aktivitas kompleks faktor VIIa dan kompleks dipicu oleh aktivasi sistem koagulasi akibat
Faktor Xa/Va, menghambat pembentukan suatu proses patologis tertentu dalam
trombin dan menurunkan kadar fibrinogen dan tubuh. DIC dimulai akibat aktifasi tissue
jumlah trombosit. factor (TF) yang akhirnya mengakibatkan
Selain pemeriksaan penunjang yang perlu pembentukan trombin. Keadaan
untuk proses stabilisasi, seperti analisis gas hiperkoagulasi mengakibatkan
darah dan kadar laktat, diperlukan juga pembentukan thrombus yang dapat
pemeriksaan darah rutin, koagulasi dan berakibat gagal organ. Proses yang
kimia darah. Cross matching untuk tranfusi berlangsung terus, menghabiskan faktor
komponen darah dilakukan sejak dini bila koagulasi, hingga dapat mengakibatkan
fasilitas memungkinkan. perdarahan.
Selama fase stabilisasi atau setelah
kondisi anak stabil, harus ada upaya untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan dan/ Patogenesis DIC
atau penyebabnya. Perdarahan dapat bersifat DIC terjadi bila pemicu aktivasi koagulasi
lokal atau difus. Perdarahan lokal perlu tidak dapat segera dihilangkan, misalnya pada
segera dihentikan, bila perlu dengan eksplorasi tumor padat, hemangioma besar (sindrom
bedah. Anamnesis penyakit dahulu dan obat- Kassabach Merritt), rejeksi jaringan
obat yang pernah digunakan penting untuk transplantasi, sepsis dan lain-lain.
mengetahui gangguan primer trombosit dan
sistem koagulasi.
Diagnosis
Berdasarkan kriteria International Society on
Mutiara bernas Thrombosis and Hemostasis (ISTH) tahun
• Pada perawatan di PICU, lebih sering 2001, DIC dapat dibagi menjadi 2 kategori
dijumpai perdarahan dan trombosis yaitu overt (decompensated) dan nonovert
sebagai komplikasi dari penyakit (compensated). Diagnosis overt DIC dapat
primer tertentu seperti sepsis atau ditegakkan bila secara klinis diketahui
adanya faktor pencetus DIC dan panel uji
trauma
koagulasi mencapai nilai 5 (tabel 18.1).
• Hipotermia mengganggu aktivitas enzim Nonovert DIC adalah gangguan koagulasi yang
hingga mengakibatkan pemanjangan belum mencapai tingkat decompensated.
prothrombin time (PT) dan partial Intervensi terapetik pada tingkat ini jauh
thromboplastin time (PTT), mengganggu lebih efektif dibandingkan dengan intervensi
aktivitas trombosit dan mengaktifkan saat telah terjadi overt DIC.
fibrinolisis. Asidosis mengganggu
aktivitas kompleks faktor VIIa dan
kompleks Faktor Xa/Va, menghambat
Tatalaksana DIC
pembentukan trombin dan Mengatasi pencetus merupakan bagian penting
menurunkan kadar fibrinogen dan dalam tatalaksana DIC. Namun demikian
seringkali hal ini tidak dapat segera dilakukan.
Tindakan suportif dilakukan terhadap kekurangan
DISSEMINATED INTRAVASCULAR trombosit dan faktor koagulasi (tabel 18.2).
COAGULATION Penggunaan antikoagulan pada DIC
diharapkan dapat menghentikan konsumsi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) faktor koagulasi. Penggunaan heparin masih
adalah gangguan koagulasi menyeluruh yang menjadi kontroversi. Heparin dapat
mengakibatkan perdarahan, karena itu pemantauan PTT harus
160 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Tabel 18.1. Modifikasi Sistem Penilaian International Society on Thrombosis and Hemostasis untuk Diagnosis DIC
Uji laboratorium Hasil Nilai
hitung thrombosit (/mm3) > 100.000 0
51.000-100.000 1
< 50.000 2
fibrinogen (mg/dl) >100 0
< 100 1
fDP* (mg/ml) <5 0
6-40 2
>40 3
Pemanjangan PTT** (detik) <3 0
3-5,9 1
<6 2
* bila digunakan D-Dimer, maka: nilai 0 bila kadar <2; 2 bila 2-8; 3 bila >8 mg/l
** Nilai PTT dikurangi ambang tertinggi PTT sesuai usia
Metabolisme lemak
Pada anak sakit kritis, terjadi peningkatan
oksidasi asam lemak. Asam linoleat dan
asam arakidonat plasma menurun,
sedangkan asam oleat meningkat. Hal ini
terjadi akibat peningkatan lipolisis yang
berhubungan dengan perangsangan
164 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
adrenergic. Asam lemak bebas dilepaskan kebutuhan nutrisi dapat dilakukan dengan
ke dalam plasma. Asam lemak yang mengukur kebutuhanenergi/kalori (measurement
berlebih menyebabkan reesterifikasi di hati energy expenditure, MEE) atau dengan cara
yang akan mengakibatkan pembentukan menghitung kebutuhan energi/kalori
trigliserida hepar secara berlebihan dan (predicted energy expenditure, PEE).
terjadi deplesi asam lemak essensial. Pengukuran kebutuhan kalori (MEE) dengan
Hiperglikemia sering terjadi, menyebabkan menggunakan kalorimetri indirek merupakan
peningkatan kadar insulin yang berdampak alat yang paling tepat untuk mengukur
pada berkurangnya mobilisasi lemak dari kebutuhan energi pada anak. Menghitung
cadangan lemak tubuh. Bila asupan lemak kebutuhan kalori berdasarkan rumus
tidak diberikan, akan terjadi defisiensi asam standar kurang akurat.
lemak esensial yang dapat berkembang lebih Metode sederhana untuk memperkirakan
cepat dibandingkan keadaan puasa. kebutuhan energi anak sakit kritis adalah
kebutuhan energi basal dikalikan faktor
Mutiara bernas
Penentuan kebutuhan nutrisi Pada anak sakit gawat terjadi perubahan
metabolisme karbohidrat, protein, dan
Kebutuhan nutrisi dipengaruhi oleh lemak yang mempengaruhi kebutuhan
beberapa faktor antara lain status nutrisi, nutrisinya
umur, keadaan klinis dan beratnya stres. Faktor stres bervariasi tergantung
penyakit. Nutrisi yang tidak adekuat dapat beratnya penyakit (Tabel 19.1). Berdasarkan
menyebabkan kekurangan makanan formula White kebutuhan energi untuk
sedangkan hipermetabolisme dapat memberi anak sakit kritis adalah sebagai berikut :
efek yang membahayakan. Penentuan kebutuhan energi
(kkal) = [(17 x usia dalam bulan) + (48 x
berat badan) + (292 x suhu dalam 0C) –
Pemberian nutrisi pada anak sakit kritis
9677] x 0,239. Secara praktis, kebutuhan Nutrisi enteral
energi basal pada neonatus dan bayi berkisar
antara 50 – 55 kkal/kg/hari dan menurun Nutrisi enteral lebih diutamakan karena
pada adolesens sampai 25 kkal/kg/hari. pemberiannya mudah, harganya murah,
risiko infeksi kecil, tidak memerlukan
akses vena sentral, dan memperbaiki fungsi
Tabel 19.1. Keadaan yang mempengaruhi saluran cerna. Pemberian nutrisi enteral
kebutuhan energi (faktor stres)
pada anak sakit gawat dapat mencegah
Keadaan Faktor stres
atrofi usus dan mengurangi komplikasi
infeksi dibandingkan
Kelaparan (ringan) dengan nutrisi parenteral. Nutrisi enteral
0,85 –
Pasca-operasi terindikasi pada anak yang berisiko
1,00
Keganasan
Peritonitis dan sepsis
1,00 – malnutrisi maupun yang sudah mengalami
1,05 malnutrisi bila pemberian lewat oral tidak
1,10 – cukup untuk
1,45
1,05 –
1,25
Trauma multipel, luka bakar 1,2 – 1,55 mencegah terjadinya penurunan berat badan
Dikutip dengan modifikasi dari : Chowdary KVR, walaupun saluran cerna berfungsi baik. Pada
Reddy PN. Parenteral nutrition: Revisited. Indian j pasien dengan fungsi gastrointestinal yang baik
Anaesth. 2010;54:95-103 pemberian nutrisi enteral dapat dimulai dalam
24-48 jam pertama perawatan. Parameter
fungsi gastrointestinal baik adalah adanya
Pemberian kalori berlebih harus suara usus, tidak didapatkan distensi perut
dicegah untuk mempertahankan homeostasis atau muntah, dan residu lambung sedikit.
metabolik terhadap respons trauma. Tanda perfusi usus yang adekuat termasuk
Pemberian kalori berlebih (overfeeding) tanda vital stabil, tidak memerlukan
mempunyai konsekuensi yang berbahaya, yaitu pemberian volume cairan dan obat vasoaktif
meningkatnya produksi CO2, yang secara kontinu, dan keseimbangan asam basa
selanjutnya meningkatkan kerja ventilator. serta laktat serum normal. Pemberian nutrisi
Hal ini dapat menyebabkan pemakaian enteral tidak dianjurkan pada pasien yang
ventilator lebih lama, mengganggu fungsi menggunakan obat -adrenergik dan
hati akibat terjadinya steatosis dan penghambat neuromuskular.
kolestasis, dan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sekunder akibat hiperglikemia. Mutiara bernas
Pemberian nutrisi yang tidak cukup dapat
• Nutrisi enteral lebih diutamakan
mengakibatkan malnutrisi, sementara status
karena pemberiannya mudah, biayanya
hipermetabolisme dari penyakit kritis sendiri
juga dapat menyebabkan malnutrisi. Pasien murah, risiko infeksi kecil, tidak
dengan malnutrisi berat berisiko sampai 20 memerlukan akses vena sentral, dan
kali lebih besar untuk mengalami komplikasi memperbaiki fungsi saluran cerna.
dibandingkan pasien yang mempunyai status Pemberian nutrisi enteral pada anak
nutrisi baik, selain membutuhkan masa sakit kritis dapat mencegah atrofi usus
rawat lebih lama dan menunjukkan angka dan mengurangi komplikasi infeksi
kematian lebih tinggi. dibandingkan dengan nutrisi parenteral
• Bila fungsi gastrointestinal dan
hemodinamik baik, pemberian nutrisi
Pemberian nutrisi enteral memiliki tahun terakhir. Yang termasuk imunonutrisi
keuntungan, yaitu menurunkan risiko infeksi adalah arginin, glutamin, aminopeptida,
pada anak sakit kritis. Pemberian nutrisi secara asam lemak omega-3, dan antioksidan.
enteral akan mempertahankan integritas dan
Berdasarkan ASPEN Clinical Guidelines,
fungsi mukosa saluran cerna. Nutrisi enteral
Pediatric Critical Care pemberian
juga menurunkan translokasi bakteri di mukosa
imunonutrisi pada anak sakit kritis tidak
usus. Keuntungan lain nutrisi enteral adalah
direkomendasikan.
membantu penyembuhan luka lebih baik
sesudah pembedahan abdomen.
Pemberian nutrisi enteral pada kondisi Metode pemberian nutrisi enteral
tertentu memerlukan perhatian khusus. Kondisi Metode pemberian nutrisi enteral adalah
tersebut adalah: sebagai berikut:
1. Sepsis, trauma, dan luka bakar. Stres a. Pemberian makanan secara bolus
akibat sepsis, trauma, maupun luka
Keuntungan cara ini adalah tidak
bakar menyebabkan pelepasan berbagai
membutuhkan waktu lama serta
jenis hormon tubuh yang akan
mengurangi risiko kontaminasi.
mengakibatkan proteolisis otot skelet
Kekurangannya adalah lebih mudah terjadi
dan hidrolisis asam amino rantai cabang
aspirasi. Pasien dengan usus pendek atau
(branched-chain amino acid, BCAA),
malabsorbsi tidak dianjurkan memakai
sehingga pada keadaan tersebut perlu
metode ini.
diberikan formula yang kaya BCAA.
2. Kelainan paru. Peningkatan asupan b. Pemberian makanan secara intermiten
karbohidrat akan menyebabkan Makanan diberikan 2 mL/kg setiap 4-6 jam
peningkatan produksi CO2 dan selama 20-45 menit. Pemberian cara ini
konsumsi oksigen, yang dapat biasanya mempunyai toleransi yang baik.
mengakibatkan komplikasi dan c. Pemberian makanan secara tetesan
menunda penyapihan ventilator. Pada kontinu
pasien dengan kelainan paru dapat Keuntungan dari pemberian makanan
diberikan formula rendah karbohidrat. secara kontinu adalah volume residu
3. Gagal hati. Pemberian BCAA dengan yang lebih sedikit dan risiko aspirasi,
konsentrasi tinggi dan asam amino kembung, serta diare yang lebih kecil.
aromatik konsentrasi rendah dapat Teknik ini membutuhkan pemantauan
membantu menormalkan perubahan yang ketat dan dapat menyebabkan
asam amino pada pasien dengan pertumbuhan bakteri yang berlebih.
ensefalopati hepatikum. Pemberian harus dimulai dengan
4. Gagal ginjal. Diet pada penderita volume kecil, yaitu setengah kebutuhan
gagal ginjal harus mengandung asam kalori dengan kecepatan 1 mL/ kg/jam.
amino esensial konsentrasi tinggi dan Bila toleransi baik dalam 24 jam, dapat
dikombinasikan dengan kalori yang ditingkatkan 0,5 mL/kg/jam sampai
tinggi terhadap rasio nitrogen. tercapai volume yang diharapkan.
Makanan per oral Makanan bolus Kalori penuh Boks 1 Tentukan jadwal pemberian
Sadar, tidak terintubasi, A. Clear, bila dapat makanan
refleks muntah dan mempertahankan jalan
batuk baik nafas
C. Formula penuh
Kebutuhan karbohidrat
Karbohidrat pada nutrisi parenteral berbentuk
dekstrosa dan merupakan sumber kalori
non- protein terbesar. Kalori yang berasal
dari karbohidrat biasanya sebesar 50-60%
dari total kalori yang dibutuhkan. Dekstrosa
Kebutuhan lemak karena emulsi lemak 10% akan meningkatkan
risiko hipertrigliseridemia dan
Lemak diberikan sebanyak 15-30% dari total hiperkolesterolemia karena kandungan
kalori yang dibutuhkan. Pada nutrisi fosfolipidnya lebih banyak dan fosfolipid
parenteral, dapat diberikan asam lemak yang berlebihan akan dikonversi ke dalam
esensial sebesar 3-5% untuk mencegah liposom. Tiap 1 mL emulsi lemak 20%
defisiensi. Emulsi lemak 20% lebih toleran memberikan
dibandingkan dengan emulsi lemak 10%,
170 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
energi 2 kkal. Pemberian emulsi lemak neuromuskular, dan keseimbangan asam basa.
dimulai dengan dosis 0,5 gram/kg/hari dan Konsentrasi kalium serum yang berfluktuasi
dinaikkan 0,5 gram/kg/hari secara bertahap
sampai maksimal
4 gram/kg/hari. Perlu dilakukan
pemantauan ketat terhadap profil lemak.
Efek samping pemberian lemak adalah
mikroemboli lemak, trombositopenia, dan
penurunan fungsi leukosit. Trigliserida rantai
panjang berpotensi menyebabkan
imunosupresi sehingga lebih sering
digunakan trigliserida rantai medium
(medium chain triglycerida, MCT) dan asam
lemak omega-3. Pada pasien hipermetabolik,
toleransi pemberian lemak harus dipantau,
terutama bila pemberian
>30% karena dapat menyebabkan
komplikasi metabolik seperti hiperlipidemia,
gangguan koagulopati, kegagalan fungsi
imun, dan hipoksemia sebagai akibat dari
kegagalan difusi dan gangguan
perfusi/ventilasi. Komplikasi juga dapat
terjadi akibat pemberian lemak yang terlalu
cepat. Oleh karena itu, kecepatan pemberian
lemak tidak boleh melebihi 0,1 gram/ kg/jam.
Risiko komplikasi dapat diminimalisir dengan
pemberian infus secara perlahan, yaitu dalam
18-24 jam sambil memantau kadar
trigliserida serum dan tes fungsi hati .
Kebutuhan elektrolit
Anak mempunyai kebutuhan minimal per
hari
untukelektrolitdanmineral.Natriummerupakan
kation terbesar pada ruang ekstraselular
yang mempunyai fungsi primer sebagai
regulator osmotik dan kontrol keseimbangan
air. Bersama dengan klorida dan bikarbonat,
natrium berperan penting bagi keseimbangan
asam basa. Natrium dapat diberikan dalam
bentuk garam dari klorida, asetat, atau
fosfat, tergantung penyakit yang mendasari
dan keadaan klinis. Kalium merupakan
kation terbesar di ruang intraselular yang
berfungsi dalam metabolisme sel, sintesis
protein, fungsi jantung, transmisi
Nutrisi pada Anak Sakit Kritis 171
tidak harus mencerminkan kadar parenteral bergantung pada kebutuhan pasien
kalium tubuh karena kalium tubuh dan konsentrasi asam amino. Magnesium
mudah bergerak bebas antara merupakan kation terbanyak dalam cairan
intraselular dan ekstraselular. Kalium intraselular yang berperan penting dalam
juga dapat diberikan dalam bentuk mempertahankan kadar kalium dan kalsium
garam dari klorida, asetat, atau fosfat. serum agar tetap normal. Kebutuhan
Klorida merupakan anion terbesar rumatan elektrolit dan mineral pada anak
ekstraselular, penting untuk tercantum pada Tabel 19.4.
pertumbuhan dan perkembangan.
Kalsium adalah mineral yang berlimpah Tabel 19.4. Kebutuhan rumatan elektrolit dan
di dalam tubuh, dengan konsentrasi mineral
yang lebih tinggi dalam cairan
ekstraselular, sangat berperan untuk Elektrolit Kebutuhan rumatan
kontraksi otot, neurotransmiter, proses Na 2-4 mEq/kg/hari
enzim, permeabilitas membran sel, K 2-3 mEq/kg/hari
stabilisasi hormon, dan proses Cl 2-4 mEq/kg/hari
koagulasi. Fosfor, dijumpai dalam Ca 1-3 mEq/kg/hari
tulang, merupakan regulator Mg 30-60 mg/kg/hari
kalsium dan berperan dalam PO4 1-2 mmol/kg/hari
mineralisasi tulang serta sintesis Dikutip dari : Irving Sy, Simone SD, hicks fw, verger jT.
protein, lemak, dan karbohidrat. AACN Clin Issues. 2000;11:541-58
Kebutuhan kalsium dan fosfor
meningkat pada anak sakit kritis dan
anak yang sedang tumbuh dari masa Pemberian vitamin
bayi ke adolesens. Penambahan
Berbagai sediaan multivitamin injeksi dapat
kalsium dan fosfor pada nutrisi
dilihat pada Tabel 19.5.
Pemberian trace element Diagnosis anak tersebut adalah apendisitis
Trace element adalah mineral yang dibutuhkan akut dengan perforasi. Telah dilakukan
dalam jumlah sangat sedikit oleh tubuh. operasi reseksi usus halus sepanjang 30 cm.
Kebutuhan trace element per hari dapat Saat tiba di ruang rawat intensif anak
terangkum pada Tabel 19.6. dalam keadaan tersedasi, frekuensi nadi
Teknik pemberian nutrisi parenteral 120x/menit, frekuensi napas 34x/menit, suhu
dirangkum pada Tabel 19.7, sedangkan 37,50C, tekanan darah 90/60 mmHg. Berat
pemantauan yang perlu dilakukan pada badan anak 14 kg.
pemberian nutrisi parenteral dapat dilihat pada
Tabel 19.8.
Mutiara bernas
Contoh kasus : Pemberian nutrisi parenteral dimulai dengan
Seorang anak laki-laki usia 3 tahun dibawa dekstrosa 10%, asam amino 0,5-1 g/kg,
dari kamar operasi ke ruang rawat intensif lipid 20% 0,5 g/kg, kemudian dinaikkan
anak. secara bertahap sampai mencapai target.
Lain-lain: v
berat badan v V
balans cairan bila V
balans nitrogen perlu Bila perlu
Dalam praktek sehari hari sering didapatkan Tabel 20.1 Penyebab abdomen akut
kasus-kasus kegawatan traktus gastrointestinal
Patologi abdomen primer
yang memerlukan evaluasi dan tata
Obstruksi mekanik
laksana segera. Terminologi abdomen akut Iskemia usus halus akut
digunakan untuk menggambarkan sindrom Infeksi/peradangan
klinis berupa gejala dan tanda penyakit Perforasi visera
intraabdomen yang seringkali membutuhkan Trauma abdomen
terapi operatif. Nyeri perut hebat yang Patologi abdomen sekunder akibat penyakit kritis
berlangsung lebih dari 6 jam merupakan salah Perdarahan gastrointestinal
satu dasar diagnosis abdomen akut. Penyebab Ileus
abdomen akut tersering pada anak adalah Pankreatitis akut
Kolesistitis akut
appendisitis akut, sedangkan pada neonatus, Enteritis: kolitis pseudomembranosa
nyeri abdomen yang disertai distensi abdomen Megakolon toksik
dan muntah seringkali disebabkan oleh Sindrom kompartemen abdomen (SKA)
suatu abnormalitas kongenital atau sepsis. Abdomen akut sebagai manifestasi penyakit sistemik
Abdomen akut pada neonatus tidak Ketoasidosis diabetikum
didiskusikan pada buku ini. Evaluasi klinis Porfiria intermiten akut
yang akurat terhadap abdomen akut penting Purpura henoch-Schoenlein
untuk mendiagnosis etiologi dan Penyakit Kawasaki
Krisis sickle cell
memberikan tata laksana yang benar dan
cepat.
Distensi abdomen hebat, syok, dan Bila dipikirkan sepsis, maka antibiotik
dehidrasi merupakan tanda kegawatan yang intravena harus segera diberikan. Algoritma
memandu dokter untuk segera melakukan tata laksana awal anak dengan abdomen akut
stabilisasi (resusitasi) awal dan menentukan dapat dilihat pada Gambar 20.1.
kebutuhan pembedahan segera. Perawatan
di Pediatric Intensive Care Unit merupakan
keharusan. Pasien dimonitor secara ketat Mutiara bernas
dengan pemantauan oksimetri, laju nadi,
EKG kontinu, dan pengukuran tekanan Aspek krusial dalam tata laksana abdomen
darah noninvasif. Akses vaskular perifer akut adalah keputusan apakah pasien
dipasang setidaknya 2 jalur. Pada kasus harus segera menjalani laparatomi atau
obstruksi usus, tata laksana awal tergantung laparaskopi sebagai upaya penegakan
pada penyebab dan ada tidaknya tanda iskemia diagnosis dan sekaligus terapi.
usus. Pemasangan pipa nasogastrik wajib
dilakukan pada kasus obstruksi usus. Sampel
darah dan urin harus segera diambil untuk
pemeriksaan darah tepi lengkap, profil PEMERIKSAAN PENCITRAAN
koagulasi, kimia darah, dan persiapan transfusi
Foto polos abdomen seringkali bermanfaat
sel darah merah serta komponen darah lain.
untuk diagnosis obstruksi usus, batu saluran
Pemeriksaan kultur darah dan urin
kemih, pneumoperitonium dan pneumatosis
diperlukan sebagai upaya menentukan
intestinalis. Selain pemeriksaan sinar X,
pemberian antibiotik secara definitif. Bolus
pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan
cairan (fluid challenge) harus segera diberikan
sampai perfusi adekuat.
Tdk stabil dan /atau terdapat kegawatan Stabil dan terdapat kemungkinan kegawatan
abdomen abdomen
A,B,C Akses vaskuler, resusitasi cairan, lab, Ileus? Nyeri terlokalisir? Infeksi abdomen? Penyakit sistemik?
kultur Trauma?
Efek samping obat?
konsultasi bedah.
Ro Abdomen 2 posisi, USG La
abdomen b
Operas CT scan
i
Konsultasi bedah atau
pemberian
Operasi
medikamentosa
?
Gambar 20.1 Tata laksana awal pada anak dengan abdomen akut
Dikutip dengan dimodifikasi dari: Nichols DG. Roger’s textbook of pediatric intensive care, 2008
sekarang memegang peranan penting dalam dan mengistirahatkan usus untuk sementara.
penegakan diagnosis abdomen akut. Opsi Berbagai penyebab obstruksi usus mekanik
terbaik tergantung dari diagnosis banding yang terangkum pada Tabel 20.3.
dipikirkan. Sebagai gambaran, Tabel 20.2 bisa
menjadi pertimbangan pemilihan pemeriksaan
pencitraan yang sesuai. Tabel 20.3 Obstruksi usus mekanik
Adhesi
Intususepsi
hernia inkarserata
DIAGNOSIS AbDOMEN AKUT Tumor
Penyakit Crohn
Obstruksi usus hematoma duodenum
Obstruksi usus didefinisikan sebagai hambatan Obstruksi karena
cacing Malrotasi usus
mekanis pasase usus yang terjadi secara Divertikulum Meckel
intrinsik (intraluminal atau dari dinding Duplikasi intestinal
usus) atau diakibatkan oleh kompresi Pankreas annulare
ekstrinsik. Penyebab tersering obstruksi usus Atresia ileum atau duodenum
adalah kasus adhesi yang didapat. Tata Penyakit hirschprung
laksananya meliputi dekompresi Megakolon toksik
Pseudo-obstruksi intestinal kronik
Anus imperforata
Atresia kolon
Mutiara bernas
Dikutip dari: Nichols DG. Roger’s textbook of
• Kasus abdomen akut tersering pada pediatric intensive care, 2008
anak adalah appendisitis akut.
• Pada neonatus, abdomen akut yang Intususepsi (Invaginasi)
disertai distensi abdomen dan
muntah seringkali disebabkan oleh Penyakit ini ditandai dengan episode nyeri
abnormalitas kongenital atau sepsis. perut yang mendadak. Usia penderita biasanya
kurang dari 2 tahun. Nyeri perut ini
• Penyebab tersering obstruksi usus adalah datangnya relatif teratur dan anak tampak
adhesi yang didapat. Tata laksana cukup tenang di antara dua episode. Sebelum
meliputi dekompresi dan masuk rumah sakit biasanya terdapat diare,
mengistirahatkan usus untuk diikuti muntah yang terjadi setelah timbul
sementara. nyeri perut. Anak akan
Tabel 20.2 Kegunaan ultrasonografi dan CT Scan abdomen pada kegawatan abdomen akut
USG CT Scan
Sensitivitas Spesifisitas Sensitivitas Spesifisitas
Apendisitis 80 -92% 86-98% 87-100% 83-97%
Intususepsi 98-100% 88-100% - -
Pankreatitis akut 25-50% 35% 90% 78%
Kolesistitis akut 81-92% 60-96% Tinggi Tinggi
Obstruksi usus halus akut - - 87,5% 100%
Iskemia usus - - 82% Tidak diketahui
Abses intra abdomen Moderat-tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Dikutip dari: Nichols DG. Roger’s textbook of pediatric intensive care, 2008
sangat rewel saat terjadi serangan nyeri petanda sepsis, yaitu hemoglobin, hematokrit,
perut yang hebat. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan tanda dehidrasi. Perut teraba
seperti papan dan nyeri biasanya terjadi pada
saat serangan saja. Pada feses dapat dijumpai
red currant jelly, yang merupakan tanda
kegawatan dan harus segera ditindaklanjuti
dengan pencitraan abdomen. Ultrasonografi
cukup sensitif dan spesifik untuk
mendiagnosis kelainan ini.
Appendisitis akut
Manifestasi klinis seringkali dimulai dengan
nyeri paraumbilikal yang kemudian diikuti
muntah. Dalam beberapa jam, nyeri terlokalisir
di sekitar fossa iliaka kanan. Gejala
tersebut biasanya disertai demam (suhu
sekitar 39°C). Pada kasus lanjut dimana
terjadi peritonitis akibat perforasi, gejala
peritonitis umum akan jelas terlihat disertai
dengan meningkatnya laju nadi dan leukosit
di atas 12000/mm3.
PENDAhUlUAN
Sindrom kompartemen abdomen (SKA) adalah
disfungsi organ terminal (jantung, paru, ginjal,
gastrointestinal dan susunan saraf pusat)
akibat penekanan saraf, pembuluh darah
dan otot di dalam rongga abdomen.
Diagnosis SKA ditegakkan bila ditemukan
kombinasi ketiga hal berikut: (1) kenaikan
akut tekanan intra- abdomen (TIA) ≥
17mmHg, (2) disfungsi organ terminal, dan
(3) dekompresi abdomen memberikan efek
positif.
Frekuensi kejadian di pelbagai ICU
trauma berkisar 5-15% dan merupakan 1%
dari kasus trauma umum. Kejadian SKA pada
anak sangat sedikit (0,6 – 4,7%), mungkin
karena tidak dikenali dan atau tidak
dilaporkan.
DEfINISI ISTIlAh
Tekanan intra-abdomen (TIA) adalah tekanan
yang terperangkap di dalam rongga
abdomen. Nilai TIA bervariasi, meningkat
saat inspirasi dan menurun saat ekspirasi
akibat kontraksi dan relaksasi diafragma.
Nilai TIA juga bervariasi dengan posisi tubuh,
posisi vertikal lebih tinggi dari pada horizontal
dan posisi tengkurap lebih tinggi
dibandingkan telentang. Nilai TIA juga
dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen.
Tekanan perfusi abdomen (TPA) dihasilkan
dari perhitungan tekanan arteri rerata
(mean arterial pressure) dikurangi tekanan
intra- abdomen. Tekanan perfusi abdomen
dianggap sebagai indeks akurat perfusi
viseral dan
merupakan tujuan akhir resusitasi (target TPA dapat mengganggu homeostasis
minimal adalah 60 mmHg). kardiovaskular, pernapasan, ginjal,
Hipertensi intra-abdomen gastrointestinal, hepar, dan susunan saraf
didefinisikan sebagai adalah pusat. Selain itu, harus diingat bahwa pada
peningkatan TIA ≥12mmHg yang pasien sakit kritis banyak faktor yang dapat
menetap atau berulang setelah berkontribusi terhadap kegagalan organ
beberapa kali pengukuran. multipel dan pada beberapa kasus, dampak
SKA/hipertensi intra- abdomen terhadap
Sindrom kompartemen abdomen adalah
organ akhir tidak dapat dibedakan dari
disfungsi organ akibat progresivitas
manifestasi klinis penyakit primer.
peningkatan tekanan intra-abdomen.
Hipertensi intra-abdomen yang tidak Dampak peningkatan TIA terhadap sistem
dikenali dan tidak ditata laksana kardiovaskular dan respirasi adalah:
dengan baik akan berkembang 1. Reduksi komplians dinding rongga dada,
menjadi SKA. mengakibatkan tekanan puncak inspirasi
dan plateau meningkat, selanjutnya
menyebabkan pelepasan mediator
PATOfISIOlOGI inflamasi.
Peningkatan TIA berdampak buruk 2. Peningkatan miss-match ventilasi-perfusi
terhadap fungsi organ akhir dan dan ruang mati paru (pulmonary dead
space).
Sindrom Kompartemen Abdomen 181
Tabel 21.1. Faktor risiko terjadinya hipertensi intra-abdomen dan sindrom kompartemen abdomen
bedah Medis
Pascaoperasi Edema atau asites sekunder terhadap resusitasi cairan masif
Perdarahan (misalnya, syok septik)
Edema setelah diseksi ekstensif Peritonitis (fekal atau empedu, peritonitis bakterial
Reduksi hernia diafragmatika spontan) Abses intra-abdominal
Pembedahan abdomen, terutama dengan penutupan Pankreatitis akut
fasia secara ketat Tumor intra-abdominal atau retroperitoneal
Penutupan primer defek dinding abdomen Pneumoperitoneum, hemoperitoneum,
(omfalokel, gastroskisis) hemoretroperitoneum
Laparoskopi dengan insuflasi udara intra-abdomen Ileus (paralitik, obstruksi intestinal,
Ileus volvulus) Gastroparesis, dilatasi gaster
Peritonitis atau abses intra-abdominal Sirosis dekompensasi akibat asites
Pasca-trauma Indeks massa tubuh yang tinggi (>30 kg/m2)
Trauma atau luka bakar multipel Gagal napas akut dengan peningkatan tekanan intratorakal
Perdarahan intra- atau retroperitoneal ventilasi mekanik, dengan positive end expiratory pressure >10
Asidosis (ph <7,2), hipotermia (suhu inti cmh2O
<33°C), koagulopati Posisi tengkurap
Politransfusi Dialisis peritoneal
Edema viseral pasca-resusitasi cairan
Dikutip dari: Carlotti,A, Carvalho,wb. Ped Crit Care Med. 2009;10:115-20
CO2/bikarbonat, klorida, kalsium),
neurogenic bladder, atau dengan hematom
albumin, protein total, alkalin daerah pelvis yang menekan kandung
fosfatase (ALP), SGOT, SGPT, kemih maka pengukuran TIA harus
bilirubin, ureum, kreatinin. menggunakan teknik lain.
2. Darah perifer lengkap, mencakup
hitung jenis
Mutiara bernas
3. Amilase dan lipase
4. PT dan aPTT • Peningkatan tekanan intra abdomen
berdampak buruk terhadap fungsi
5. Petanda jantung untuk sindrom
koroner akut (CK, CK-MB, troponin) organ akhir dan dapat mengganggu
homeostasis kardiovaskular,
6. Urinalisis lengkap dan kultur urin
pernapasan, ginjal, gastrointestinal,
7. Analisis gas darah dan asam laktat hepar, dan susunan saraf pusat.
• Teknik pengukuran TIA secara
b. Pencitraan intravesika dianggap baku emas karena
Ultrasonografi abdomen pada anak sederhana dan murah.
menunjukkan penyempitan vena cava
inferior, kompresi atau pergeseran letak
ginjal, penebalan dan penyangatan Tata laksana
dinding usus, pengecilan kaliber aorta,
dan peningkatan diameter antero- Penyebab SKA sangat bervariasi sehingga
posterior abdomen dibandingkan diameter tidak mungkin membuat panduan terapi
transversal. standar bagi tiap pasien. Meski demikian,
terdapat beberapa prinsip dasar yang bisa
Pada CT scan abdomen dapat ditemukan
dilakukan dalam manajemen SKA, yaitu:
round belly sign, yaitu distensi abdomen
disertai peningkatan rasio diameter 1. Pemantauan TIA secara berkala.
anteroposterior terhadap diameter 2. Optimalisasi perfusi sistemik dan fungsi
transversal (rasio >0,80; P <0,001), vena organ pada pasien dengan TIA yang
kava yang kolaps, penebalan dinding meningkat.
usus dengan penyangatan, dan herniasi 3. Lakukan strategi medis nonoperatif
inguinal bilateral. terlebih dulu untuk menurunkan TIA.
4. Segera lakukan dekompresi secara bedah
c. Pengukuran tekanan intra-abdominal pada SKA refrakter.
Pemeriksaan fisis hanya mampu
mendeteksi 40-60% peningkatan TIA, Terapi non-bedah
sedangkan penemuan diagnosis Saat ini, strategi nonoperatif lebih
SKA/hipertensi intra- abdomen berperan dalam terapi disfungsi organ
bergantung pada pemantauan TIA akibat SKA/ hipertensi intra-abdomen.
terhadap pasien yang berisiko. Metoda Pasien yang memerlukan dekompresi secara
indirek mengukur TIA adalah laparatomi tetapi berisiko mengalami
pengukuran tekanan intravesika, gastrik, perdarahan karena adanya koagulopati atau
rektal, uterus, vena kava inferior, dan antikoagulan sistemik, seperti pasien yang
tekanan jalan napas. Teknik pengukuran sedang mendapatkan tunjangan hidup
TIA secara intravesika dianggap baku ekstrakorporeal, maka tata laksana non-
emas karena sederhana dan murah. bedah merupakan pilihan.
Namun, pada pasien trauma vesika,
Terapi non-bedah yang dapat dilakukan dan timbulnya SKA/hipertensi intra-
meliputi: abdomen, volume cairan resusitasi harus
1. Posisi tubuh
Elevasi bagian kepala tempat tidur akan
meningkatkan TIA dibandingkan bila
pengukuran dilakukan dalam posisi
telentang. Hasil pengukuran TIA akan
meningkat ≥2 mm Hg bila elevasi
kepala tempat tidur melebihi 20°. Posisi
telungkup juga meningkatkan TIA. Oleh
karena itu, pada pasien dengan
SKA/hipertensi intra- abdomen sedang-
berat, posisi tubuh harus diperhatikan
karena dapat mempengaruhi hasil
pengukuran TIA.
2. Agen prokinetik, drainase nasogastrik,
dan dekompresi kolon
Pada kasus hipertensi intra-abdomen
ringan sedang, drainase nasogastrik dan
rektal, enema, serta dekompresi
endoskopik dapat berguna. Pemberian
prokinetik untuk mengurangi isi
intralumen dan ketebalan visera juga
bermanfaat.
3. Resusitasi cairan adekuat
Pada pasien dengan SKA/hipertensi
intra- abdomen, resusitasi cairan
adekuat untuk koreksi hipovolemia
merupakan hal esensial untuk
meminimalisasi peningkatan TIA.
Resusitasi cairan secara berlebihan akan
meningkatkan TIA dan merupakan
prediktor independen untuk terjadinya
SKA/hipertensi intra-abdomen dan
merupakan etiologi mayor untuk SKA
sekunder, maka resusitasi cairan berlebihan
harus dihindari.
Pada pasien trauma, resusitasi cairan
supranormal berisiko menyebabkan
SKA/hipertensi intra-abdomen dan
meningkatkan mortalitas, sedangkan pada
syok septik yang mengalami balans
cairan negatif dalam 3 hari pertama
pengobatan, kemungkinan sembuh
lebih besar.
Untuk mencegah resusitasi cairan berlebih
disesuaikan sesuai kebutuhan setiap 2 mg/kg/kali, tidak melebihi 6 mg/kg/kali
pasien dan dipantau secara ketat. atau spironolakton 1,5- 3,5 mg/kg/hari per
Masih terdapat kontroversi oral dalam dosis terbagi tiap 6-24 jam)
apakah koloid atau kristaloid yang dikombinasi dengan albumin untuk
lebih unggul untuk resusitasi memobilisasi edema ruang ketiga. Pada
inisial hipovolemia. Menurut pasien dengan oliguria atau anuria,
Surviving Sepsis Campaigne continuous vena-venous hemofiltration (CVVH)
2008, resusitasi pada pediatrik dan ultrafiltrasi atau hemodialisis intermiten
dimulai dengan kristaloid. dapat membantu mengurangi cairan dan
Pada pasien luka bakar berat, dengan demikian menurunkan TIA.
resusitasi dengan NaCl
hipertonik menghasilkan beban
cairan yang lebih rendah dan TERAPI bEDAh
mengurangi risiko SKA
sekunder. Berdasarkan bukti Dekompresi secara laparoskopi:
tersebut, konsensus mengusulkan Cara ini dikerjakan pada SKA akibat
resusitasi menggunakan kristaloid trauma tumpul abdomen yang mempunyai
hipertonik dan koloid pada pasien tekanan intra-abdomen 25-35 cmH2O.
hipertensi intra-abdomen dengan
tujuan mencegah timbulnya SKA
sekunder. Dekompresi abdomen dengan
4. Diuretik dan continuous renal kateter perkutan
replacement therapies (CRRT) Dekompresi ini terindikasi pada kasus SKA/
Pada pasien dengan hemodinamik peningkatan tekanan intra-abdomen yang
stabil, dapat diberikan furosemid (1- disebabkan cairan bebas intraabdomen, udara,
abses, atau darah. Dekompresi cara ini dan anak sakit kritis dilaporkan mortalitas yang
akan menurunkan TIA dan mencegah tinggi, yaitu 50-60%, sekalipun dekompresi
disfungsi organ. Teknik ini menggunakan dilakukan secara dini. Pada anak dengan luka
kateter angio atau kateter dialisis peritoneal bakar besar, tekanan intra-abdomen ≥30 mm
yang dimasukkan secara perkutan. Hg berhubungan dengan peningkatan kejadian
Dekompresi dengan kateter merupakan sepsis dan mortalitas.
prosedur yang kurang invasif.
Pencegahan
Dekompresi abdomen secara bedah
Pencegahan SKA dianjurkan karena lebih
Prosedur ini adalah prosedur penyelamatan efektif dibandingkan upaya pengobatan. Cara
yang dikerjakan sesegera mungkin, untuk mencegah terjadinya SKA adalah:
mencegah terjadinya disfungsi organ pada
pasien. Cara ini terindikasi pada SKA yang 1. Pemantauan ketat TIA pada pasien yang
tidak respons terhadap terapi medis. Bila perlu, dicurigai atau mempunyai faktor risiko.
dapat dilakukan di ruang rawat intensif secara 2. Pada keadaan syok, resusitasi cairan
bedside. harus adekuat dan optimal, artinya
mampu memperbaiki perfusi jaringan,
tetapi juga tidak berlebihan untuk
Dekompresi pencegahan mencegah timbulnya SKA.
Pada pasien yang mempunyai banyak faktor 3. Pada kasus syok perdarahan akibat trauma,
risiko untuk mengalami SKA atau penting untuk menghentikan perdarahan
peningkatan tekanan intra-abdominal, maka untuk mencegah resusitasi yang tidak
dekompresi pencegahan (sebelum terjadi terkontrol.
SKA) dapat dilakukan. Membiarkan perut
terbuka pada pasien yang menjalani
laparatomi dengan risiko SKA termasuk upaya
dekompresi pencegahan.
fAKTOR RISIKO
PENDAhUlUAN
Faktor risiko terjadinya enterokolitis
Enterokolitis nekrotikans (EN) adalah sindrom nekrotikans adalah:
nekrosis intestinal akut pada neonatus yang 1. Prematuritas. Terdapat hubungan terbalik
ditandai oleh kerusakan intestinal berat antara kejadian EN dan usia gestasi.
akibat gabungan jejas vaskular, mukosa, dan Semakin rendah usia gestasi, semakin
metabolik (dan faktor lain yang belum tinggi risiko karena imaturitas sirkulasi,
diketahui) pada usus yang imatur. gastrointestinal, dan sistim imun.
Enterokolitis nekrotikans hampir selalu Enterokolitis nekrotikans tersering
terjadi pada bayi prematur. Insidens pada dijumpai pada usia gestasi 30-32
bayi dengan berat <1,5 kg sebesar 6-10%. minggu.
Insidens meningkat dengan semakin 2. Pemberian makan enteral. EN jarang
rendahnya usia gestasi. Sebanyak 70-90% ditemukan pada bayi yang belum pernah
kasus terjadi pada bayi berat lahir rendah diberi minum. Sekitar 90-95% bayi dengan
berisiko tinggi, sedangkan 10- 25% terjadi EN telah mendapat sekurangnya satu
pada neonatus cukup bulan. kali pemberian minum.
a. Formula hiperosmolar dapat
mengubah permeabilitas mokosa dan
PATOfISIOlOGI mengakibatkan kerusakan mukosa.
Patogenesis EN masih belum sepenuhnya b. Pemberian ASI terbukti dapat
dimengerti dan diduga multifaktorial. Imaturitas menurunkan kejadian EN.
saluran cerna merupakan faktor predisposisi 3. Mikroorganisme patogen enteral.
terjadinya jejas intestinal dan respons yang tidak Patogen bakteri dan virus yang diduga
adekuat terhadap jejas tersebut. Patofisiologi berperan adalah E. coli, Klebsiella, S.
yang diterima saat ini adalah adanya epidermidis, Clostridium sp. Enteritis
iskemia yang berakibat pada kerusakan virus yang disebabkan oleh koronavirus
integritas usus. Pemberian minum secara dan rotavirus dapat merusak barier
enteral akan menjadi substrat untuk mukosa dan mengakibatkan sepsis
proliferasi bakteri, diikuti oleh invasi mukosa akibat kuman enterik. Rotavirus
usus yang telah rusak oleh bakteri yang dilaporkan bertanggung jawab atas 30%
memproduksi gas. Hal ini mengakibatkan kejadian EN di suatu senter.
terbentuknya gas usus intramural yang 4. Kejadian hipoksia/iskemia, misalnya asfiksia
dikenal sebagai pneumatosis intestinalis. dan penyakit jantung bawaan. Pada
Kejadian ini dapat mengalami progresivitas keadaan ini dapat terjadi hipoperfusi
menjadi nekrosis transmural atau gangren usus sehingga sirkulasi mesenterikus
sehingga pada akhirnya mengakibatkan dikorbankan
perforasi dan peritonitis.
188 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
- Intoleransi minum. Sulit untuk 8. Periksa darah tepi lengkap dan elektrolit
membedakan intoleransi minum dengan setiap 24 jam sampai stabil.
EN, karena banyak bayi prematur
mengalami intoleransi minum saat 9. Foto polos abdomen serial setiap 8-12 jam.
volume/ frekuensi minum ditingkatkan. 10. Konsultasi ke Departemen Bedah
Bila dicurigai EN, bayi harus dimonitor Anak, terutama diperlukan bila
ketat, dipuasakan, diberikan nutrisi didapatkan hal- hal berikut:
parenteral dan antibiotik selama 72 jam Selulitis dinding abdomen
sampai EN dapat disingkirkan. Foto polos abdomen menunjukkan
dilatasi segmen intestinal yang menetap
Massa abdomen yang nyeri
TATA lAKSANA
Perburukan klinis yang refrakter
Tata laksana EN adalah sesuai dengan tata terhadap terapi medis, yaitu asidosis
laksana abdomen akut dengan ancaman metabolik, trombositopenia,
peritonitis. Tujuan tata laksana adalah peningkatan bantuan napas,
mencegah progresivitas penyakit, perforasi peningkatan kehilangan cairan ruang
usus, dan syok. ketiga, hipovolemia, oliguria,
leukopenia, leukositosis, hiperkalemia
dapat dilakukan teknik 5 kali chest obstruksi dan finger sweeps maneuver
thrust di sternum, 1 jari di bawah garis untuk mengeluarkan benda asing yang
imajiner intermamae (seperti melakukan tampak pada mulut korban, namun
kompresi jantung luar untuk bayi usia jangan melakukan teknik tersebut pada
<1 tahun). Pada anak > 1 tahun yang anak yang sadar karena dapat merangsang
masih sadar dapat dilakukan teknik “gag reflex” dan menyebabkan muntah.
Heimlich maneuver yaitu korban di
depan penolong kemudian lakukan
hentakan sebanyak 5 kali dengan 4. Periksa napas
menggunakan 2 kepalan tangan di Jika obstruksi telah dikeluarkan maka
antara prosesus xifoideus dan umbilikus periksa apakah korban bernapas atau tidak,
hingga benda yang menyumbat dapat lakukan dalam waktu < 10 detik,
dikeluarkan, sedangkan pada anak yang dengan cara :
tidak sadar dilakukan teknik Abdominal Lihat gerakan dinding dada dan perut
thrusts dengan posisi korban terlentang (Look)
lakukan 5 kali hentakan dengan
menggunakan 2 tangan di tempat seperti Dengarkan suara napas pada hidung
melakukan teknik Heimlich maneuver . dan mulut korban (Listen)
Kemudian buka mulut korban, lakukan Rasakan hembusan udara pada pipi
cross finger maneuver untuk melihat adanya (Feel)
Gambar 23.3. Heimlich maneuver Gambar 23.4 Abdominal thrush
Korban yang mengalami gasping (megap- mendapatkan 2 kali napas efektif. Hal itu
megap/napas yang agonal atau napas tidak dapat dilihat dengan adanya
efektif), maka anggap korban tersebut pengembangan dinding dada. Bila dada
tidak bernapas. tidak mengembang reposisi kepala
korban agar jalan napas dalam
5. Berikan Bantuan Napas keadaan terbuka.
Lakukan 5 kali bantuan napas untuk Teknik bantuan napas pada bayi dan
anak berbeda, hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan bag valve mask
ventilation atau tanpa alat yaitu: pada bayi
dilakukan teknik: mouth-to-mouth-and-
nose, sedangkan pada anak menggunakan
teknik mouth-to-mouth.
6. Periksa Nadi
Selanjutnya periksa nadi, pada bayi
pemeriksaan dilakukan pada arteri
brakhialis sedangkan pada anak dapat
dilakukan pada arteri karotis ataupun
femoralis. Pemeriksaan nadi ini ≤ 10
detik. Jika nadi >60 kali/menit namun
tidak ada napas spontan atau napas
tidak efektif, maka lakukan pemberian
Gambar 23.5. Look-Listen-Feel dengan manuver Head-
napas sebanyak 12-20 kali napas/menit,
Tilt Chin-Lift
sekali napas buatan 3-5 detik hingga
korban bernapas dengan spontan, napas
yang efektif akan tampak dada korban
akan mengembang.
Gambar 23.6. ventilasi Tekanan Positif
Tindakan pencegahan
Korban henti jantung sering mengalami
overventilated selama resusitasi. Ventilasi yang
berlebihan meningkatkan tekanan intratorakal
dan menghalangi pengembalian aliran darah,
mengurangi output jantung, aliran darah serebral,
dan gangguan perfusi jantung. Ventilasi yang
berlebihan juga menyebabkan barotrauma,
meningkatkan risiko inflasi perut, regurgitasi, dan
aspirasi. Ventilasi semenit ditentukan oleh volume
tidal dan laju ventilasi. Gunakan kekuatan
dan volume tidal yang diperlukan untuk
membuat dada mengembang dengan nyata
selama RJP. Ventilasi ditentukan oleh
perbandingan compression ventilation,
berhenti setelah 30 kompresi (1 penolong)
atau setelah 15 kompresi (2 penolong) dengan
memberikan 2 ventilasi melalui mulut ke
mulut, mulut ke masker, atau kantung masker.
Berikan setiap napas lebih dari 1 detik.
Jika sudah terpasang alat endotrakhea,
maka selama RJP lakukan ventilasi udara
dengan kecepatan dari 8 - 10 kali/menit
tanpa berhenti kompresi dada (asinkron).
kali/menit.
Inflasi lambung
Inflasi lambung dapat mengganggu ventilasi
efektif dan menyebabkan regurgitasi. Untuk
Gambar 23.11. Bag-Mask Ventilation C-E position mengurangi kejadian tersebut dapat dilakukan
cara sebagai berikut:
- Hindari berlebihan memompa untuk
tidak cukup usaha pernapasannya, mencapai puncak inspirasi. Berikan
diberikan ventilasi dengan kecepatan 12-20
sesuai volume yang diperlukan untuk +3
menghasilkan pengembangan dada.
- Lakukan tekanan membrana cricoid
(sellick maneuver) pada korban yang tidak
sadar. Teknik ini dapat memerlukan satu
tambahan penolong jika tekanan cricoid
tidak bisa diterapkan oleh penolong yang
melakukan bantuan ventilasi. Hindari
tekanan berlebihan sehingga tidak merusak
trakea.
- Jika melakukan intubasi, pasang
nasogastrik atau orogastrik setelah intubasi
terpasang, untuk menghindari
terganggunya gastroesophageal
sphincter yang berisiko mengakibatkan
regurgitasi.
Takikardia
Jika terdapat tanda perfusi yang buruk
dan nadi tidak teraba, lanjutkan
dengan algoritme pulseless arrest
Jika nadi teraba dan pasien memiliki
perfusi yang adekuat:4
- Nilai dan pertahankan jalan nafas, berikan
nafas dan sirkulasi
- Berikan oksigen
- Pasang monitor/defibrillator
- Cari akses vaskuler
- Evaluasi EKG 12 lead dan nilai durasi
QRS
Tatalaksana takikardia
AHA 2010 menetapkan durasi QRS
memanjang bila >0,09 detik untuk anak usia
kurang dari
4 tahun dan > 0,1 detik dipertimbangkan
memanjang untuk anak usia 4 tahun dan 16
tahun, sedangkan pada AHA 2005, QRS
komplek dipertimbangkan memanjang bila >
0,08 detik.
Akses vaskular
Akses vaskular merupakan tindakan yang
penting dalam mengelola pengobatan dan
pengambilan sampeldarah. Pada
keadaandarurat akses pembuluh darah
mungkin sulit pada bayi dan anak-anak,
sedangkan intraosseous (IO) mungkin mudah
dilakukan. Batasi waktu untuk akses pembuluh
darah perifer dan jika tidak bisa dilakukan
selama 90 detik atau 3 kali berturut- turut,
lakukan akses IO.
Akses Intraosseus
Akses IO adalah satu cara cepat, aman, dan
rute efektif untuk pemberian obat dan cairan
serta mungkin digunakan untuk memperoleh
contoh darah selama resusitasi. Melalui akses
ini bisa dengan aman memberikan epinefrin,
adenosin, cairan, produk darah, dan
katekolamin. Bisa juga untuk memperoleh
spesimen darah, jenis dan crossmatch, kimia
serta analisa gas darah walaupun selama henti
kental atau bolus cepat, dan berikan
NaCl fisiologis bolus mengikuti setiap
pemberian obat untuk mencapai Cairan dan Obat Resusitasi
sirkulasi sentral. Menaksir berat badan
Di luar rumah sakit menentukan berat badan
Pemberian obat melalui ETT anak secara akurat adalah sulit. Broselow
Akses vaskular (IV atau IO) adalah Tapes dengan precalculated dose sesuai
lebih baik, tetapi jika tidak bisa panjang badannya sangat menolong dan
mendapatkan akses vaskular, maka secara klinis tervalidasi.
untuk obat yang lipid- soluble seperti
lidokain, epinefrin, atropin, dan Cairan resusitasi
nalokson (LEAN) dapat diberikan
melalui ETT, walaupun dosis optimal Gunakan cairan kristaloid isotonik
lewat ETT belum diketahui pasti. (misalnya, Ringer laktat atau NaCl
Bolus dengan 3-5 mL NaCl fisiologis fisiologis) untuk menanggulangi syok.
diikuti 5 kali ventilasi tekanan positif. Terapi bolus dengan glukosa digunakan
Jika RJP sedang berlangsung, hentikan untuk manangani hipoglikemi.
kompresi dada dengan singkat selama
pemberian obat. Pemberian obat Obat-obatan resusitasi
melalui endotrakea memberikan hasil
konsentrasi dalam darah lebih amiodaron
rendah dibandingkan dosis sama Obat ini digunakan untuk kasus supraventrikular
yang diberikan intravaskular. takikardia, fibrilasi ventrikel, atau takikardia
ventrikel tanpa nadi. Amiodaron memperlambat
konduksi AV, memperpanjang periode perlahan-lahan.
refrakter AV dan interval QT, dan
memperlambat konduksi ventrikular
(melebarkan QRS). Monitor tekanan darah
dan berikan secara pelan- pelan untuk
penderita dengan denyut nadi tetapi mungkin
saja diberikan cepat kepada penderita dengan
henti jantung atau ventricular fibrillasi (VF).
Amiodaron menyebabkan hipotensi.
Monitor EKG karena komplikasi dapat
meliputi bradikardi, blok hati jantung, dan
torsades de pointes. Berikan perhatian terutama
bila diberikan bersama dengan obat lain yang
menyebabkan perpanjangan QT seperti
procainamid. Efek kurang baik mungkin
saja berkepanjangan karena waktu-paruhnya
sampai dengan 40 hari. Dosis pemberian 5
mg/kgBB iv/io.
Atropin
Atropin sulfat adalah satu obat parasimpatolitik
yang mengakselerasi pacu jantung sinus atau
atrial dan meningkatkan konduksi AV. Obat
ini dapat digunakan untuk bradikardi
simtomatik, keracunan organofosfat atau
karbamat, atau digunakan pada saat
melakukan tindakan rapid sequence
intubation. Dosis pemberian 0,02 mg/ kgBB
iv/io, dosis minimal 0,1 mg, dosis maksimal 0,5
mg. Dosis yang lebih besar direkomendasikan
dalam keadaan khusus (misalnya keracunan
organofosfat atau terpapar gas yang
meracuni saraf).
Kalsium
Obat ini digunakan untuk hipokalsemia,
hiperkalemia, hipermagnesemia, atau overdosis
calcium channel blocker. Pemberian rutin kalsium
tidak memperbaiki hasil pada henti jantung.
Pada anak-anak sakit kritis, kalsium klorida
memiliki bioavailabilitas lebih baik
dibandingkan kalsium glukonat. Pemberian
kalsium klorida melalui kateter vena sentral
lebih disukai karena adanya risiko sklerosis
atau infiltrasi pada pemberian melalui vena
perifer. Dosis pemberian 0,2 mL/ kgBB iv/io
Epinefrin Norepinefrin
Obat ini diberikan pada keadaan henti Obat ini ditujukan untuk meningkatkan
jantung, bradikardia simtomatik yang tidak tekanan darah pada hipotensi yang tidak
berespons terhadap bantuan ventilasi, berespons terhadap resusitasi cairan,
pemberian O2, dan hipotensi yang tidak mempunyai efek dan adrenergik
berhubungan dengan deplesi volume (dominan 1 adrenergik). Dosis 0,05
cairan. Efek Vasokontriksi epinefrin melalui µg/kgBB/menit ditingkatkan bertahap tiap
– adrenergik meningkatkan tekanan diastol 15 menit sampai 0,15 µg/kgBB/ menit iv
dan selanjutnya tekanan perfusi koroner. kontinu.
Efek -adrenergik meningkatkan
kontraktilitas miokardium dan denyut jantung.
Dopamin
Pemberian lebih disukai melalui sirkulasi
sentral, sehubungan dengan kemungkinan Berfungsi sebagai obat inotropik untuk
dapat terjadi iskemik lokal, tauma jaringan, mengatasi curah jantung rendah persisten
dan ulserasi akibat infiltrasi ke jaringan. yang refrakter terhadap terapi cairan. Dapat
Jangan dicampur dengan natrium bikarbonat digunakan untuk hipotensi dengan perfusi
karena larutan alkali dapat menyebabkan perifer yang buruk, atau syok. Efek samping
inaktivasi. Epinefrin dapat menyebabkan yang mungkin timbul adalah takiaritmia.
takikardi, ektopi ventrikuler, takiaritmia, Dosis pemberian 2-20 µg/ kgBB/menit iv
hipertensi dan vasokontriksi. Dosis/ kgBB (0,1 kontinu.
mL/kgBB larutan 1:10.000) iv/io. Bila
diberikan melalui ETT 0,1 mg/kgBB (0,1 Dobutamin
mL/ kgBB larutan 1:1.000).
Merupakan obat inotropik dengan efek minimal
210 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Glukosa
Bayi mempunyai kebutuhan glukosa yang tinggi
dan penyimpanan glukosa yang rendah,
sehingga dapat berkembang menjadi
hipoglikemia ketika kebutuhan energi
meningkat. Pemantauan kadar gula darah
selama dan setelah henti jantung dan
mengatasi hipoglikemi dengan segera. Dosis
pemberian 0,5 g/kgBB Dekstrose 25% (D25%
2 mL/kgBB) atau 5 mL/kgBB Dektrose 10%
iv/io.
lidokain 2%
Obat ini berguna untuk fibrilasi/takikardia
ventrikel simtomatik. Lidokain mengurangi
dan mensupresi aritmia ventrikel. Toksisitas
lidokain termasuk depresi miokard dan
sirkulasi, mengantuk, disorientasi, kontraksi
otot, dan kejang terutama penderita dengan
cardiac output yang buruk dan gagal hati atau
gagal ginjal, sehingga perlu penggunaan yang
hati-hati. Dosis 1 mg/kgBB iv/io.
Natrium bikarbonat
Pemberian rutin natrium bikarbonat tidak
terbukti meningkatkan keluaran resusitasi.
Setelah melakukan ventilasi efektif dan
kompresi dada serta memberikan epinefrin,
dapat dipertimbangkan pemberian natrium
bikarbonat untuk henti jantung yang lama.
Pemberian natrium bikarbonat dapat
digunakan untuk penanganan beberapa kasus
keracunan atau pada situasi resusitasi
khusus.
Pemberian natrium bikarbonat berlebihan
dapat menghambat penyampaian oksigen
jaringan, menyebabkan hipokalsemia,
hipernatremia dan hiperosmolaritas, dan
memperburuk fungsi jantung. Dosis 0,5 mEq/
kgBB iv pada bayi dan 1 mEq/kgBB iv pada
Resusitasi Jantung Paru pada Bayi dan Anak211
Resusitasi pada Kondisi Khusus dengan jaw trush, dan jangan
memiringkan kepala. Oleh karena
Trauma disproporsional ukuran kepala bayi dan
Beberapa aspek resusitasi pada anak-anak, posisi optimal oksiput atau
trauma memerlukan perhatian khusus mengangkat batang tubuh untuk
karena tindakan resusitasi yang tidak menghindari backboard-induced fleksi servikal
benar dan adekuat menjadi penyebab - Pada kasus trauma kepala, Intentional
keadaan fatal. Kesalahan umum pada brief hyperventilation dapat digunakan
resusitasi trauma pediatrik adalah sebagai tindakan sementara mengamati
kegagalan untuk membuka dan tanda herniasi otak (misalnya, kenaikan
memelihara jalan napas, kegagalan tiba-tiba tekanan intrakranial, dilatasi
untuk melakukan resusitasi cairan, pupil tanpa reaksi cahaya, bradikardi,
dan kegagalan untuk mengenali serta hipertensi)
mengatasi perdarahan internal. - Kecurigaan trauma dada pada semua
Libatkan dokter bedah trauma torakoabdominal, meskipun tidak
berpengalaman sejak awal, dan jika ada luka luar. Tension pneumotoraks,
mungkin, mengangkut anak dengan hemotoraks, atau memar berkenaan
trauma multisistem ke suatu pusat dengan paru-paru dapat mengganggu
trauma dengan keahlian pediatrik. pernapasan.
Berikut adalah aspek khusus - Jika penderita mempunyai trauma
resusitasi trauma: maksilofasial atau jika mencurigai
- Ketika mekanisme trauma fraktur basal tengkorak, pasang
melibatkan tulang belakang, orogastric tube dibandingkan
batasi gerakan servikal tulang nasogastric tube.
belakang dan hindari traksi atau - Terapi syok dengan bolus 20 mL/kgBB
gerakan kepala dan leher. Buka cairan kristaloid isotonik (misalnya, NaCl
dan pertahankan jalan napas fisiologis
atau ringer laktat). Berikan bolus Tapi jika kehadiran anggota keluarga
tambahan (20 mL/kgBB) jika perfusi merugikan proses resusitasi, mereka harus
sistemik tidak meningkat. Jika syok diminta meninggalkan tempat resusitasi.
berlangsung setelah pemberian 40 - 60
mL/kg kristaloid, berikan
10 -15 mL/kgBB darah. Jika mungkin,
hangatkan darah sebelum pemberian.
- Pertimbangkan trauma intraabdominal,
tension pneumotoraks, tamponade
perikardial, cedera sumsum tulang pada
bayi dan anak-anak, dan perdarahan
intrakranial pada bayi dengan tanda
syok.
Tidak dapat
diberikan
Dapat defibrilasi
diberikan
Lanjutkan RJP sesegera mungkin untuk 5
Berikan 1 kali renjatan siklus. Periksa ritme jantung tiap 5 siklus,
Lanjutkan RJP untuk 5 lanjutkan hingga petugas ALS mengambil
alih atau korban mulai bergerak
Ada
Periksa nadi: PASTIKAN nadi dengan Nadi Beri satu kali pernapasan
menghitung selama 10 detik? tiap 3 detik
Kompresi dada bila nadi
< 60 kali/menit dengan
perfusi buruk disertai dengan
oksigenasi dan ventilasi
Nadi (-) adekuat
Periksa ulang nadi tiap dua
menit
Tidak dapat
Dapat diberikan diberikan
defibrilasi
defibrilasi
Catatan: Kotak dengan tepi terputus-putus diperuntukkan dilakukan oleh petugas kesehatan,
bUKAN oleh penolong ditempat.
Kebanyakan dokter yang bekerja di unit harus menghentikan upaya intubasi dan segera
rawat darurat lebih senang menggunakan
melakukan oksigenasi dengan bag-mask
ETT uncuffed untuk pasien anak berumur apabila terjadi perburukan laju jantung,
kurang dari 10 tahun, karena pada pasien oksigenasi, dan penampilan klinis pasien.
tersebut penyempitan anatomis di daerah
tulang rawan krikoid menjadi cuff alamiah Setelah dilakukan premedikasi (bila
sebagai pengunci. Namun dalam perawatan diperlukan), ventilasi bag-mask segera dihentikan
di rumah sakit, penggunaan ETT cuffed pada sementara untuk pemasangan ETT dengan
anak sama amannya dibanding dengan visualisasi langsung ke trakea. Dilakukan
ETT uncuffed (kecuali neonatus). Pada penekanan lidah dan pengangkatan struktur
keadaan tertentu (komplians paru yang di daerah supraglotis, dengan menggunakan
buruk, resistensi jalan napas yang tinggi, laringoskop, untuk melihat glotis. ETT dipasang
atau kebocoran yang besar di area glotis), melalui pita suara.
maka lebih disarankan pemakaian ETT Laringoskop berdaun lengkung (curved,
cuffed. Macintosch) biasanya dipakai untuk anak
berumur lebih dari 2 tahun, sedangkan
Hasil review yang dilakukan oleh
laringoskop berdaun lurus (straight, Miller)
kelompok Best Bet menunjukkan bahwa:
dipakai untuk anak yang lebih muda atau
Pemakaian cuffed ETT volume besar jalan
dengan tekanan rendah tidak
berhubungan dengan peningkatan kejadian
stridor pasca ekstubasi (grade C)
Belum ada penelitian yang bisa menilai
kerugian jangka panjang yang mungkin
terjadi pasca ekstubasi (misalnya stenosis
subglotis) (grade D)
Pada kasus tertentu yaitu resistensi jalan
napas diduga akan menjadi amat tinggi pada
saat pasien dirawat, maka pemakaian cuffed
ETT berguna untuk menghindari perlunya
re-intubasi karena kebocoran di sela-sela
ETT (grade C)
Laryngeal mask airway relatif mudah Hingga saat ini belum ada data klinis
dipasang dan komplikasinya sedikit, yang pasti mengenai efikasi dan keamanan
sehingga alat ini bisa dipakai pada keadaan penggunaan LMA pada anak dengan henti
jalan napas yang sulit. Namun karena jantung. Mungkin LMA bisa menjadi
letaknya di daerah supraglotis, maka alat alternatif pertama, apabila penolong cukup
ini tidak efektif bila dipakai pada pasien kompeten memasangnya, sebelum intubasi
dengan kelainan daerah glotis atau subglotis. endotrakea bisa dilakukan.
Pemasangan pada anak yang lebih muda
sering mengalami malposisi yang justru
menyebabkan obstruksi jalan napas dan
Prosedur pemasangan lMA
biasanya pemasangannya lebih sulit. Trauma Sungkup dikempiskan total atau sebagian
jalan napas dan gangguan hemodinamik Oleskan lubrikasi larut air di permukaan
lebih jarang terjadi pada pemasangan LMA belakang sungkup dan pipanya
dibanding pada intubasi endotrakea.
Posisikan pasien pada sniffing position Tidak dapat mencegah aspirasi akibat refluks
Pergunakan jempol atau jari telunjuk isi lambung
untuk menyisirkan sungkup sepanjang Tidak dapat dipakai untuk memberikan
alur palatofaringeal menuju hipofaring obat- obat resusitasi
dan menutup glotis
Lebih sulit difiksasi dibanding ETT.
Lanjutkan sisiran hingga ke hipofaring Perlu kecermatan untuk memastikan
hingga terasa ada tahanan posisi LMA pada tempatnya.
Kembangkan sungkup sepenuhnya.
Laryngeal mask airway agak terdorong
keluar saat sungkup mengembang KRIKOTIROTOMI
penuh
Indikasi Krikotirotomi
Keterbatasan pemakaian lMA Krikotirotomi dilakukan pada pasien dengan
Pemasangan LMA merupakan luka yang meluas di wajah atau jalan napas
kontraindikasi pada pasien dengan refleks atas, atau pada keadaan ketika usaha
protektif jalan napas intubasi orotrakhea gagal. Tidak
direkomendasikan
PliKa B C
voKalis
Tulang
hyoid Arteri tiroid superior
A Tulang hyoid Arteri dan
Nembran vena KriKotiroid
Prominensia loring KriKotiroid
Kartilago tiroid
Nembran KriKotiroid
Kartilago Tulang rawan Kelenjar tiroid
KriKoid KriKoid
Vena colli
Nembran
KriKotiroid Cincin media Vena
traKea infratiroid
untuk anak di bawah umur 10 tahun. 4. De Caen A, Duff J, Coovadia AH, Luten R,
Komplikasi dari tindakan ini cukup tinggi. Thompson AE. Airway Management. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4.
Prosedur tindakan krikotirotomi
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
Pada keadaan yang ekstrim, krikotirotomi 2008. h.310-3.
dapat dilakukan dengan 2 cara: perkutaneus 5. Gausche M, Lewis RJ, Stratton SJ, et al. Effect
dan dengan pembedahan. Krikotirotomi of out of hospital pediatric endotracheal
perkutaneus dilakukan dengan memposisikan intubation on survival and neurological
leher pasien menjadi hiperekstensi, outcome: A controlled clinical trial. JAMA.
kemudian dilakukan penentuan lokasi 2000;283:783-90.
membran krikotiroid yang terletak di antara 6. Gerardi MJ, McQuillen KK, Strange GR.
tulang rawan tiroid dan krikoid secara Evaluation and management of the
palpasi. Dilakukan desinfeksi di daerah multiple trauma patient. Dalam: Strange
tersebut dan penusukan membran dengan GR, Ahrens WR, McQuillen KK, Dobiesz
kateter intravena ke dalam trakea. Tindakan VA, Lee P, Prendergast HM, penyunting.
berhasil apabila terasa adanya aliran aspirasi Pediatric emergency medicine: Just the facts.
udara melalui kateter. Jarum ditarik keluar Singapore: McGraw Hill; 2004. h.3.
dan kateter dimasukkan lebih dalam untuk 7. Hsiao AL, Baker MD. Childhood
kemudian disambungkan pada oksigen resuscitation. Dalam: Selbst SM, Cronan K,
bertekanan tinggi. penyunting. Pediatric emergency medicine
secrets. Edisi ke-
2. Philadelphia: Mosby; 2008. h.13.
DAfTAR PUSTAKA 8. King C, Henretig FM. Pocket atlas of pediatric
emergency procedures. Philadelphia: Lippincott
1. American Heart Association. 2005 guidelines Williams & Wilkins; 2000. h.50-2.
for cardiopulmonary resuscitation and
9. Morse RB, Artega G, Ahrens WR, Dobiesz
emergency cardiovascular care - part 12:
VA. Rapid sequence intubation. Dalam:
pediatric advanced life support. Circulation.
Strange GR, Ahrens WR, McQuillen KK,
2005;112:167-87.
Dobiesz VA, Lee P, Prendergast HM,
2. Ashtekar CS, Wardaugh A. Do cuffed penyunting. Pediatric Emergency Medicine:
endotracheal tubes increase the risk of airway Just the facts. Singapore: McGraw Hill; 2004.
mucosal injury and post-extubation stridor in h.15.
children? Best Bets. 2005;10: #01088.
10. Sharieff GQ, Joseph MM, Wylie TW, Barkin
3. Chong NK, Hwee CY. Updates in pediatric R, Mullin J, penyunting. Pediatric emergency
resuscitation. Peer reviewed. JPOG. 2010;2:6-15. medicine quick glance. USA: McGraw-Hill;
2005. h.354-5.
25 Akses vaskular
Silvia Triratna
Teknik:
1. Siapkan set cairan intravena dan tabung.
Tuliskan tanggal, jam, larutan, dan
tambahan pada kantong cairan tersebut.
Tuliskan tanggal, jam, dan inisial perawat
pada tabung.
2. Hadapkan kepala pasien berlawanan
arah dengan tempat insersi.
3. Semua petugas di tempat harus mengenakan
topi dan masker.
4. Kenakan sarung tangan steril
5. Basuh tempat insersi dengan larutan
povidon iodin dan biarkan selama 3
menit. Tempat ini dibatasi oleh linea
aurikularis posterior, bagian bawah
telinga, 3 cm di bawah klavikula, dan
di sebelah medial trakea. Biarkan
larutan kering.
6. Pasien pada posisi Trendelenburg. Hal ini
membantu terjadinya distensi vena dan
mencegah terjadinya emboli udara.
7. Kateter dimasukkan oleh dokter dengan
a. Kenakan sarung tangan steril Namun cara memasukkan dari
b. Wajah, dada, dan bahu tengah secara teknis merupakan
tertutup kain bolong steril. cara yang paling mudah dan akan
Leher dibiarkan terbuka. dibahas disini.
c. Kulit sekitar tempat yang akan f. Kenali segitiga yang dibatasi oleh klavikula,
dilakukan kanulasi disuntik muskulus sternokleidomastoideus ramus
dengan xylocaine. klavikula, dan ramus sternalis.
d. Dokter berdiri pada bagian g. Jika pulsasi arteri karotis teraba di
kepala tempat tidur. dalam segitiga ini, lakukanlah retraksi
e. Kanulasi untuk vena jugularis ke arah medial untuk mencegah
interna kanan lebih dipilih tidak sengaja tertusuk, dengan
karena merupakan pembuluh menempatkan dua jari sepanjang
darah yang paling besar dan arteri. Vena jugularis interna terletak
langsung masuk ke atrium lateral dari arteri.
kanan. Sebagai tambahan, h. Tusukkan jarum yang terpasang pada
risiko pneumotoraks lebih syringe 5 mL pada apeks segitiga.
kecil karena paru- paru kanan Jarum diarahkan dengan sudut 30
terletak lebih rendah di sampai 60 derajat searah kaudal
dalam rongga dada daripada puting susu sisi ipsilateral.
paru-paru kiri. Ada tiga cara: i. Jarum dimasukkan beberapa sentimeter
tengah, anterior, dan sementara mempertahankan tekanan
posterior. Cara memasukkan negatif pada syringe. Jika jarum sudah
dari posterior lebih dipilih masuk ke dalam vena, darah akan
untuk mengurangi risiko mengalir dan teraspirasi ke dalam
tertusuknya arteri karotis atau syringe.
terjadinya pneumotoraks. j. Jika jarum tidak masuk ke dalam vena,
A. Rute anterior b. Rute medial C. Rute posterior
dalam otak tikus muda 2-4 kali lebih tinggi dibutuhkan. Selanjutnya opioid akan diserap
dari tikus yang lebih tua pada konsentrasi vena epidural dan kembali ke sirkulasi sistemik
morfin yang sama dalam darah. Pengaruh untuk selanjutnya mengalami metabolisme dan
usia tidak banyak pengaruhnya pada opioid pembuangan. Opioid yang sifatnya hidrofilik,
yang larut dalam lemak, seperti fentanil. seperti morfin, akan melewati duramater
Pemberian melalui jalur spinal akan lebih lambat dari opioid yang larut dalam
menghilangkan hambatan sawar otak, hingga lemak hingga efeknya lebih panjang.
mengurangi dosis per kilogram berat badan
yang
Morfin Sufentanil, alfentanil dan mempunyai
Diisolasi dari ekstrak poppy oleh Friedrich struktur yang mirip fentanil, bersifat lipofilik
Wilhelm Sertuner tahun 1806. Morfin dan dapat menembus sawar otak dengan
berasal dari kata Morpheus, dewa mimpi cepat. Karena larut dalam lemak, segera
bangsa Yunani. Morfin dimetabolisme dalam setelah pemberian secara bolus, fentanil
hati oleh sistem enzim uridinosine difosfat dan obat- obat dalam kelompok ini kadarnya
(UDP) glukuronil- transferase. Metabolit menurun akibat diserap ke jaringan tubuh.
utama adalah morfin-3- glucuronide (M-3G) Dalam plasma fentanil berikatan dengan -1
dan morfin-6-glucuronide (M-6-G). M-6-G asam glikoprotein. Karena kadar -1 asam
bersifat analgesik poten, empatpuluh kali glikoprotein rendah pada neonatus, kadar
lebih kuat dari morfin, sedang M-3-G bersifat obat bebas pada bayi di bawah 1 tahun lebih
anti-analgesik. Kedua metabolit ini tinggi daripada anak dan orang dewasa.
terakumulasi pada gagal ginjal. Farmakokinetik fentanil berbeda antara
Morfin menimbulkan efek vasodilatasi bayi, anak dan orang dewasa. Klirens fentanil
perifer dan pooling vena akibat pelepasan lebih tinggi pada bayi usia 3-12 bulan
histamin. Efek pelepasan histamin dapat dibandingkan anak dan orang dewasa
dikurangi dengan membatasi dosis dan mengisi (berturut-turut 18,1±1,4, 11,5±4,2 dan
volume intravaskular. Dosis analgesik yang 10,0±1,7mL/kg/menit), dan masa paruh
umum digunakan, untuk neonatus 0,1 mg/ eliminasinya lebih panjang (berturut-turut
kg, untuk anak 0,2 mg/kg. Penggunaan 233±137, 244±79 dan 129±42 menit).
untuk pasien dalam ventilator, neonatus 10-30 Klirens yang tinggi mengakibatkan bayi usia
g/kg/ jam, anak 20-60 g/kg/jam. 3-12 bulan dapat mentoleransi dosis yang tinggi
tanpa depresi napas, tetapi karena masa paruh
eliminasi yang panjang, penggunaan obat
Pethidine (Meperidine)
berulang berpotensi menimbulkan akumulasi
Pethidine adalah opioid sintetik pertama serta efek depresi napas.
yang digunakan dalam klinik. Obat ini Alfentanil dimetabolisme di hati. Obat
menghasilkan metabolit aktif, norpethidine. ini mempunyai masa paruh eliminasi dan
Pada gagal ginjal metabolit ini dapat redistribusi lebih pendek dari fentanil
terakumulasi dan mengakibatkan kejang. maupun morfin. Masa kerjanya hanya sekitar
Dosis pethidine adalah 0,5-1 mg/kg/dosis IV. 15 menit. Depresi napas jarang dijumpai,
Dosis pada pemberian kontinu adalah 0,1- sekalipun pada bayi.Remifentanil adalah
0,4 mg/kg/jam. opioid dengan efek yang sangat pendek.
Efeknya sudah hilang 5-10 menit setelah
fentanil penghentian infus. Metabolisme remifentanil
terjadi melalui enzim esterase yang terdapat di
Karena mudah menembus sawar otak, obat semua jaringan tubuh. Karena itu, sekalipun
ini mempunyai efek yang cepat. Potensinya pada masa ahepatik transplantasi hati,
75- 200 kali morfin. Fentanil tidak farmakokinetiknya tidak banyak berubah.
mengakibatkan pelepasan histamin, karena Pemberian bolus remifentanil dapat
itu sangat baik digunakan pada pasien mengakibatkan bradikardia hipotensi dan henti
dengan hemodinamik labil. Karena mudah napas. Karena itu pemberian secara bolus tidak
larut dalam lemak, penggunaan jangka dianjurkan.
panjang mengakibatkan akumulasi hingga
Dosis fentanil untuk prosedur singkat
proses pemulihan menjadi panjang.
1-3g/kg/dosis IM atau IV. Kombinasi
dengan obat sedatif, misalnya midazolam
mengakibatkan potensiasi depresi napas,
karena itu dosisnya
harus dikurangi. Untuk pasien dalam
ventilasi mekanik dapat diberikan dosis awal 5- 3.3. Non-steroidal anti-inflammatory drugs
10 g/kg , dilanjutkan 2-10 g/kg/kg/jam. (NSID)
Obat golongan ini mempunyai efek samping,
Tramadol antara lain:
Tramadol adalah opioid atipik yang bekerja Antikoagulan, karena efeknya pada trombosit
melalui reseptor . Obat ini dapat Perdarahan lambung
diberikan secara oral maupun intravena. Spasme bronchus
Biasanya digunakan untuk analgesi pasca Gagal ginjal
bedah. Dosis oral 1-2 mg/kg/dosis, tiap 4-6
jam (maksimum 400 mg/hari). Dosis intravena
(perlahan dalam Ketorolak
3 menit) atau intramuskular 1-2 mg/kg/dosis Farmakokinetik ketorolak pada anak berbeda
tiap 4-6 jam (maksimum 600 mg/hari), atau 2- dengan dewasa. Volume distribusi dapat
8 mencapai 2 kali dewasa, klirens plasma juga
g/kg/menit, secara intravena. lebih tinggi pada anak. Waktu paruh
eliminasinya sama dengan orang dewasa.
3.2. Antagonis Opioid Karena itu anak membutuhkan dosis yang
lebih besar, namun interval pemberiannya
Ada 2 obat antagonis opioid, dengan sama.
mekanisme kerja yang berbeda, yaitu
Untuk penggunaan pasca bedah umumnya
nalokson dan doksapram.
diberikan secara intravena. Dosis ketorolak 0,5
mg/kg, dilanjutkan dengan pemberian bolus
Nalokson intravena 1,0 mg/kg tiap 6 jam atau 0,17
mg/kg/ jam secara kontinu. Dosis maksimum
Nalokson berikatan dengan receptor
90 mg dan maksimum pemberian 48 jam.
hingga menghilangkan efek opioid. Dosis
Dosis oral 0,25 mg/kg, maksimum 1,0
nalokson harus dititrasi perlahan, 0,1 mg/kg
mg/kg/hari. Ketorolak tidak dianjurkan
(maksimum 2 mg) intravena tiap 3-4 menit.
untuk anak kurang dari 1 tahun. Berbeda
Untuk menghentikan efek sedasi pasca bedah,
dengan opioid, ketorolak tidak menimbulkan
dapat diberikan 0,002 mg/kg/dosis, diulangi
depresi napas, muntah, retensi urine atau
2 menit kemudian, lalu 0,2 g/kg/menit. sedasi. Kombinasi dengan opioid dapat
Pemberian yang terlalu cepat dapat berakibat mengurangi efek samping opioid. Karena risiko
sindroma lepas obat, terutama bagi pecandu perdarahan, terdapat perbedaan pendapat
narkotik. untuk penggunaannya pada pasca tonsilektomi.
Tabel 27.1 Filtrasi pada 58 kasus di PICU Royal Children’s Hospital Melbourne (1986 -1989)
AV (n=17) dlm median VV (n=41) dlm median
Lama filtrasi (jam) 40 (14 – 120) 49 (3 – 220)
Umur filter (jam) 27 (4 – 47) 53 (3 – 126)
Laju ultrafiltrasi (mL/menit/m 2) 6 (1.7 – 18) 19 (5 – 43)
Kecepatan aliran darah (ml/menit) 30 (15 – 30) 65 (25 – 100)
Fraksi filtrasi (%) 17 (10 – 25) 13 (5 – 30)
Dikutip dari: Keeley S, Butt W. Continuous filtration techniques in children:A description. Pediatric Critical Care
Colloquium, Santa Monica, California, Oct 1989.
Terapi Sulih Ginjal Berkesinambungan pada Anak 239
C
s
Js = - Pm, C
s
Gambar 27.1. Pergerakan solute melewati suatu membran berdasarkan konsentrasi sesuai ilustrasi prinsip difusi,
maka aliran difusi solute (js) akan sebanding dengan permeabilitas membran disuse (Pm) dan perbedaan konsentrasi
(deltaCs) Keterangan: gambar ini mendeskripsikan adsorpsi yang terjadi pada CRRT. beberapa molekul dapat melekat pada
permukaan membran. Sementara beberapa molekul dapat menembus membran, namun dapat dihambat oleh
membran. Sehingga CRRT dapat digunakan untuk menyaring mediator inflamasi secara efektif melalui adsorpsi .
Terapi Sulih Ginjal Berkesinambungan pada Anak 241
SOLUTE FLUX=CS.QP.SC
Diluar serabut
Diluar serabut(effluent) KEUNTUNGAN CRRT
Di dalam serabut
(effluent)
Di dalam serabut
(darah) CRRT mengeluarkan cairan dengan
Darah keluar (darah)
kecepatan rendah sehingga menyebabkan
Gambar 27.3. filter CRRT. keseimbangan cairan menetap walaupun
dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
Penggunaan alat ini dimungkinkan untuk
Membran filter
dipakai pada pasien-pasien kritis yang
Terdapat 2 tipe membran yang digunakan berkaitan dengan kondisi penyakitnya,
yaitu membran selulosa, yaitu membran misalnya infark miokard, ARDS, septikemia,
dengan low flux dan sangat tipis, atau kelainan darah.
mempunyai sturktur simetris dengan pori- CRRT dapat menjaga kontrol terhadap
pori yang uniform dan bersifat hidrofilik; azotemia, elektrolit dan keseimbangan asam
membran sintetik, yaitu
Tabel 27.5 Ukuran dan jenis kateter yang direkomendasikan pada berbagai usia dan berat
badan Jenis dan ukuran kateter Pabrik pembuat Peruntukan
lumen tunggal, 5 fr Cook Neonatus atau bayi kecil
lumen ganda, 7 fr Cook, Medcomp 3 – 6 Kg
lumen tripel 7fr Medcomp 3 – 6 kg
lumen ganda , 8 fr Kendall 6 – 30 kg
Arrow
Tabel 27.6. Koefisien sieving membran berpori besar dan membran berpori konvensional
Sitokin
Membran Karakteristik Il-8 TNfa Il-1 Il-10 Il-6 Albumin (bM=69
operatif (bM=8 kDa) (bM=17 kDa) (bM=17 (bM=17 (bM=26 kDa) kDa)
kDa) kDa)
100 kDa 1 l/h 0,31 0,27 0,81 0,56 0,73 0,06
polyamid [20]
6 l/h 0,19 0,09 0,75 0,56 0,32 0,0
Polyamid *[21] bervariasi 0,25 0 0,18 0
Polysulton *[22] 0,12 0,22 0,42 0 0,04
AN69** [23] 0,08 0,16 0,22 0 0,18
TNfa=tumor necrosis factor alpha, bM=berat molekul, *=Mean molecular weight cut-off (MwCO) 30 kDa,
**=MwCO 50 kDa. Membran AN69 dapat menimbulkan bradykinin release syndrome.
pada konsentrasi
Mutiara bernas
Langkah-langkah CRRT di PICU
• Pemilihan dan pemasangan akses
vaskular yang sesuai
• Menentukan pompa aliran darah
• Menentukan ukuran membran filter
• Priming
• Menentukan modus CRRT sesuai
tujuan terapi
• Menentukan dosis
• Menentukan laju ultrafiltrasi
AKSESvASKUlAR DAN
ANTIKOAGUlAN UNTUK CRRT
PADA ANAK
Prinsip akses vaskular CRRT pada anak
harus dapat dilalui aliran darah yang
adekuat, akses harus pendek dan cukup
besar, diameter akses, biasanya dikerjakan
di: vena jugular interna, subklavia atau
femoral ,dan ukuran lumen yang dipakai:
single lumen 5 Fr (pada 2 vena besar)
, double lumen 7 Fr, dan pada anak remaja
dipakai triple lumen 12 Fr. Antikoagulan yang
dipakai untuk mencegah terjadinya pembekuan
darah adalah berupa heparin ataupun
natrium sitrat atau bahkan tidak digunakan
antikoagulan sama sekali.
keracunan yang terjadi. Benda yang ada di alergi obat, keluarga, dan sosial). Kecurigaan
dekat pasien, seperti obat-obatan atau bahan adanya child abuse harus dipertimbangkan
kimia tertentu, sangat penting untuk apabila anamnesis yang diperoleh dari orangtua
identifikasi zat yang termakan, jumlah dan tidak konsisten.
lamanya terpapar, serta pertolongan pertama
yang sudah diberikan.
Informasi yang perlu ditanyakan dalam Pemeriksaan fisis
anamnesis adalah hal-hal yang berhubungan Perhatian utama pemeriksaan fisis dimulai
dengan racun seperti jenis, jumlah, dosis, pada tanda vital termasuk suhu tubuh.
dan saat terjadinya keracunan; kecelakaan Selanjutnya sistem saraf pusat dan otonom,
atau disengaja (misalnya percobaan bunuh mata, perubahan pada kulit dan/atau mukosa
diri), riwayat medis saat ini (gejala-gejala mulut dan saluran cerna, serta bau napas
dan pengobatan yang sedang diterima), serta atau pakaian korban. Tanda dan gejala
riwayat medis masa lalu (riwayat percobaan yang dapat mengarahkan kecurigaan pada
bunuh diri, golongan racun spesifik tertentu secara umum
dikelompokkan kedalam sindroma yang disebut
sebagai toxidromes. Pengelompokan ini penting
Mutiara bernas dalam menentukan pola keracunan.
• Kejadian keracunan pada anak harus Toxidromes klasik dikelompokkan ke dalam
4 kategori, yaitu: sindroma simpatomimetik,
dicurigai apabila didapatkan awitan
kolinergik, antikolinergik, dan opiat-sedatif-
penyakit yang akut, usia antara 1-5
etanol.
tahun atau remaja, riwayat pika atau
diketahui pernah terpapar dengan zat
toksik. Kardiopulmonal. Racun dapat menyebabkan
• Presentasi klinis yang membingungkan berbagai penyimpangan pada sistem
kardiovaskular seperti hipertensi atau hipotensi
ditambah dengan keterlibatan
yang disebabkan oleh efek langsung racun pada
beberapa organ sekaligus juga
otot polos pembuluh darah, efek neurogenik
memperkuat dugaan terjadinya
Pemberian Antidotum
Setelah dilakukan evaluasi awal dan
stabilisasi pasien, langkah selanjutnya adalah
mempertimbangkan perlu tidaknya terapi
spesifik atau antidotum. Apabila antidotum
spesifik tersedia, maka harus diberikan
sesegera mungkin dengan dosis yang
sesuai.
Tidaksemuazat toksik memiliki
antidotum. Meskipun antidotum tersedia, tidak
mengurangi pentingnya pemberian terapi
suportif atau terapi lainnya. Terapi suportif
• Opioid • Nalokson Pemantauan
Dikutip dari: Erickson,APlS The pediatric
emergency medicine resource. 2004 Setelah semua tahap tata laksana terhadap
kasus keracunan dilakukan, sebaiknya pasien
organ vital sampai racun dikeluarkan dari dirawat atau diobservasi di ruang perawatan
tubuh dan fisiologi tubuh kembali normal. intensif.
Pemantauan pasien dapat dilakukan
Mutiara
bernas laksan
Tata keracunan didasarka
pada empat a prinsip umum yang terdiri
n dari:
Perawatan suportif, mencegah atau
mengurangi absorpsi, meningkatkan
ekskresi, dan pemberian antidotum.
Tidak semua zat toksik memiliki antidotum.
Meskipun antidotum tersedia, tidak
mengurangi pentingnya pemberian terapi
suportif atau terapi lainnya.
secara multidisiplin tergantung kerusakan tersering
organ tubuh yang tejadi, misalnya oleh
psikiater bila merupakan percobaan bunuh
diri, ahli bedah, ahli mata bila terjadi
kerusakan mata, dan dokter ahli lainnya.
Pencegahan
Tata laksana keracunan bukan hal yang
sederhana, tetapi cukup kompleks dan hanya
sedikit zat yang telah diketahui
antidotumnya dengan segala
konsekuensinya. Pencegahan merupakan
hal yang relatif lebih sederhana dan
mudah dilakukan, oleh karena itu perlu
disosialisasikan kepada masyarakat luas
mengenai bahaya keracunan dan pencegahan
yang dapat dilakukan di rumah.
Beberapa hal penting yang harus
diperhatikan antara lain obat-obatan dan zat
pembersih rumah tangga harus disimpan
dalam lemari terkunci, penyimpanan obat
harus dalam tempat yang seharusnya, tidak
membuang etiket atau label pada botol obat
dan membaca petunjuk pemakaian sebelum
menggunakannya, gunakan tempat
penyimpanan yang tidak dapat dibuka oleh
anak, nyalakan lampu saat akan
memberikan obat, tidak mengkonsumsi obat
di depan anak karena mereka akan
menirunya, tidak menyebut obat dengan
sebutan permen karena itu akan
membingungkan anak, ajarkan pada anak
untuk tidak makan atau minum apa pun
kecuali telah diizinkan oleh orang dewasa,
setiap 6 bulan bersihkan lemari dari obat-
obatan yang sudah kadaluwarsa, dan jauhkan
anak- anak dari tanaman beracun.
Insektisida
Insektisida digolongan menjadi: chlorinated
hydrocarbons (aldrin, DDT, dieldrin, endrin,
lindane), organofosfat (klorotion, DFP,
diazinon, malation, paration, phosdrin, thio-
Chlorinated hydrocarbons inhalasi, saluran cerna, dan penetrasi
Absorpsi terjadi melalui kulit, saluran kulit. Organofosfat bekerja dengan cara
napas, dan saluran cerna. Gejala mengikat dan menginaktivasi asetilkolin
keracunan hidrokarbon adalah salivasi, esterase, akibatnya terjadi akumulasi
iritabilitas saluran cerna, nyeri perut, asetilkolin pada cholinergic junctions di
muntah, diare, depresi SSP, dan kejang. efektor otonom (menimbulkan efek
Paparan inhalasi menyebabkan iritasi muskarinik), otot skelet atau ganglia
mata, hidung, dan tenggorokan, otonom (menimbulkan efek nikotinik),
pandangan kabur, batuk, dan edema dan di SSP yang bersifat ireversibel.
paru. Gejala yang timbul tergantung pada rute,
Tata laksana keracunan hidrokarbon lama paparan, dan jumlah zat yang
terdiri dari dekontaminasi kulit dengan diabsorpsi. Toksisitas organofosfat
sabun dan pengosongan isi lambung. terjadi dalam 12 jam setelah paparan.
Semua pakaian yang terkontaminasi Gejala klinis yang berhubungan dengan
harus dilepaskan. Pemberian susu atau SSP adalah pusing, nyeri kepala,
produk-produk yang mengandung lemak ataksia, kejang dan koma; tanda
harus dihindari karena dapat nikotinik terdiri dari berkeringat,
mempercepat absorpsi racun. Bila fasikulasi, tremor, kelemahan dan paralisis
terdapat kejang, berikan diazepam 0,1- otot; dan gejala muskarinik ditandai
0,3 mg/kg iv. Jangan gunakan epinefrin dengan SLUDGE (salivasi, lakrimasi,
karena dapat menimbulkan aritmia. urinasi, defekasi, gastrointestinal kram,
dan emesis). Selain itu bisa didapatkan
juga miosis, bradikardia, bronkorea, dan
Organofosfat wheezing; pada kasus berat dapat terjadi
Absorpsi dapat terjadi melalui edema paru.
Tata laksana keracunan organofosfat organofosfat, karbamat hanya
harus selalu menyertakan perlindungan bagi
penolong. Apabila paparan terjadi melalui
kulit, maka pada saat datang pasien
harus dibasuh dengan cairan sabun.
Seluruh pakaian yang terkontaminasi harus
dilepaskan dan disimpan dalam kantung
plastik.
Setelah dekontaminasi, berikan
antidotum mulai dari sulfas atropin
dengan dosis 0,05-0,1 mg/kg untuk anak
dan 2-5 mg untuk remaja, intravena.
Dosis diulang tiap 10-30 menit sampai
tercapai atropinisasi, yang ditandai
terutama dengan menghilangnya
hipersekresi. Setelah pemberian atropin,
pada kasus yang berat dapat diberikan
pralidoksim. Obat ini berguna pada
keracunan yang ditandai dengan
kelemahan otot yang berat dan
fasikulasi. Pralidoksim diberikan dengan
dosis 25-50 mg/kg dalam 100 mL NaCl
fisiologis yang diberikan selama 30
menit. Dalam keadaan yang mengancam
jiwa, 50% dosis inisial pralidoksim
diberikan dalam waktu 2 menit, dan
sisanya dalam waktu 30 menit. Setelah
dosis inisial, dilanjutkan dengan infus
kontinyu larutan 1% 10 mg/ kg per jam
pada anak atau 500 mg per jam pada
remaja sampai efek yang diinginkan
tercapai. Pralidoksim sangat berguna
dalam
48 jam setelah paparan, namun masih
bermanfaat hingga 2-6 hari kemudian.
Karbamat
Karbamat mempunyai mekanisme kerjayang
sama dengan organofosfat, tetapi ikatannya
dengan asetilkolinesterase bersifat reversibel
sehingga akan terjadi hidrolisis spontan
dan aktivitas kolinesterase akan kembali
dalam beberapa jam. Manifestasi klinis
keracunan karbamat tidak dapat
dibedakan dengan organofosfat, namun
gejala yang timbul lebih ringan dan
durasinya lebih pendek. Tidak seperti
sedikit menimbulkan efek pada tertentu.
susunan saraf pusat. Toksisitas hidrokarbon bervariasi, tetapi
Pemberian pralidoksim pada zat ini mempunyai viskositas dan tegangan
intoksikasi karbamat secara umum permukaan yang rendah, sehingga mudah
tidak diperlukan karena gejala berpenetrasi ke saluran napas yang lebih dalam
yang timbul dapat sembuh dan menyebar di area paru yang luas.
spontan. Jumlah hidrokarbon yang tertelan oleh
anak biasanya sukar ditentukan, tetapi
adanya aspirasi akan menimbulkan tanda
Hidrokarbon berupa batuk, tersedak, atau takipnea.
Hidrokarbon adalah senyawa Aspirasi kurang dari 1 mL hidrokarbon
karbon yang pada suhu kamar langsung ke dalam trakea akan
berbentuk cair. Hidrokarbon dibagi menyebabkan pneumonitis berat, bahkan
menjadi tiga kategori, yaitu: kematian. Apabila tertelan, absorpsinya melalui
hidrokarbon alifatik, aromatik, dan saluran cerna kurang baik.
toksik. Hidrokarbon alifatik Hidrokarbon menyebabkan iritasi saluran
merupakan destilat minyak bumi, cerna, sehingga akan timbul mual dan
banyak dijumpai dalam produk rumah muntah berdarah. Gejala SSP bervariasi
tangga seperti minyak tanah dan mulai dari keadaan mabuk sampai koma.
cairan pemantik. Hidrokarbon Gejala lain yaitu hemolisis, hemoglobinuria,
aromatik merupakan struktur siklik demam dan leukositosis.
yang dijumpai pada pelarut, lem, cat, Tata laksana keracunan hidrokarbon
dan cat kuku, sedangkan hidrokarbon adalah dengan menahan zat di dalam usus
toksik terdiri dari bermacam zat yang bila memungkinkan dan mencegah
tidak mempunyai bentuk toksisitas terjadinya
muntah atau refluks. Pengosongan lambung pada kadar asam sianida dan cara
umumnya hanya dilakukan pada zat yang pengolahan sebelum dikonsumsi.
mempunyai potensi untuk menimbulkan Merendam singkong terlebih dahulu di
efek toksik sistemik, seperti halogenated dalam air dalam jangka waktu tertentu dapat
hydrocarbon (trichloroethane, carbon terachloride), menurunkan kadar asam sianida karena akan
hidrokarbon aromatik (toluene, xylene, benzene), larut dalam air.
dan mengandung zat aditif seperti logam
berat dan insektisida. Asam sianida adalah suatu racun kuat
yang dapat menyebabkan asfiksia. Sianida
Bila pasien datang dengan batuk atau menghambat pemakaian oksigen dengan
gejala respirasi, segera lakukan foto dada.
cara menginaktivasi sitokrom oksidase
Apabila pada rontgen awal tidak didapatkan
mitokondria, akibatnya terjadi hipoksia
kelainan, ulangi 4-6 jam setelah tertelan
jaringan karena O2 tidak dapat digunakan
hidrokarbon. Semua pasien dengan kelainan
dan terjadi kegagalan produksi adenosin
radiologis atau gejala respirasi yang menetap
trifosfat (ATP). Manifestasi klinis keracunan
setelah diobservasi selama 4-6 jam,
sianida akut sering tidak spesifik, dan terutama
memerlukan pemantauan lebih lanjut,
menggambarkan kekurangan oksigen di otak dan
sedangkan pasien yang tetap asimtomatik
jantung.
setelah periode observasi ini boleh
dipulangkan. Gejala awal keracunan ringan terdiri
dari kelemahan, malaise, kebingungan, nyeri
Pada pasien dengan pneumonitis
kepala, pusing, dan napas pendek. Pada
hidrokarbon yang mengalami penurunan
keadaan lanjut akan timbul gejala mual dan
kesadaran, patensi jalan napas harus
muntah, hipotensi, kejang, koma, apnea,
diperhatikan, dan bila ventilasinya terganggu
aritmia, dan kematian akibat henti jantung
harus dipasang ventilasi mekanik. Pemberian
paru. Pada pemeriksaan fisis bisa ditemukan
antibiotika profilaksis tidak dianjurkan, hanya
warna merah cherry pada kulit dan warna
diberikan bila terdapat infeksi. Pemberian
merah pada arteri serta vena retina yang
kortikosteroid juga tidak direkomendasikan
disebabkan oleh ketidakmampuan sel
karena akan meningkatkan morbiditas.
mengekstraksi oksigen dari darah. Kadang-
Pada keadaan hipotensi atau bronkospasme,
kadang dapat tercium bau seperti almond pahit
pemberian epinefrin merupakan kontraindikasi
pada napas pasien. Pada keracunan berat,
karena hidrokarbon dapat menimbulkan
kematian biasanya terjadi dalam waktu 1-
iritabilitas ventrikel yang merupakan predisposisi
15 menit.
untuk terjadinya fibrilasi. Katekolamin juga
dapat membangkitkan efek ini. Diagnosis keracunan singkong ditegakkan
berdasarkan anamnesis makanan, gejala klinis,
laboratorium (AGD, elektrolit dan kadar
Singkong (Manihot utilissima) laktat serum), serta pemeriksaan contoh
Singkong atau cassava mengandung glikosida muntahan dan bahan makanan yang
yang akan dihidrolisis menjadi glukosa, tersisa.
hidrogen sianida, dan aseton oleh beta Penanganan harus dilakukan secepatnya.
glukosidase usus atau beta glukosidase yang Bila makanan diperkirakan masih ada di dalam
dikeluarkan oleh tanaman itu sendiri. Selain lambung, lakukan dekontaminasi isi
dalam singkong, sianida juga terdapat di lambung dengan bilas lambung dan berikan
dalam biji tumbuhan (apel, cherry, peach, arang aktif. Selanjutnya berikan perawatan
dan pir) dan hasil pembakaran plastik. suportif yang terdiri dari pemberian oksigen
Keracunan dapat terjadi tergantung 100%, bila perlu lakukan resusitasi
kardiopulmonal, dan berikan antidotum (amil
nitrit, Na-nitrit dan Na- tiosulfat). Sambil inhalasi. Setelah akses vena
menunggu akses vena, berikan amil nitrit per
260 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Patofisiologi
Pada saat anak tenggelam, dapat terjadi
tahanan napas ataupun laringospasme. Kondisi
ini kemudian diikuti oleh hipoksia,
kehilangan kesadaran dalam waktu 2-3
menit dan kolaps kardiovaskular yang dapat
terjadi walaupun tidak ada aspirasi cairan.
Kerusakan otak dapat terjadi
264 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
dalam waktu 5 menit. Selain itu, tenggelam surfaktan dan stabilitas alveoli, merusak
dan keadaan panik dapat menyebabkan membran alveolar diikuti masuknya cairan
terhirupnya air yang mengakibatkan aspirasi. ke dalam alveoli sehingga terjadi edema
Hampir semua organ terlibat pada saat pulmonal.
tenggelam, akan tetapi morbiditas tersering Pada kasus terendam di air laut,
melibatkan organ yang paling sering terkena peningkatan berat badan terjadi hanya
yaitu saluran pernapasan dan susunan saraf sebanyak 6% dengan hemokonsentrasi dan
pusat (SSP). volume intravaskular yang berkurang,
Pada kasus terendam di air tawar disamping terjadi pula hipernatremia. Pada
(fresh water), air akan masuk secara cepat saat terendam di air laut terjadi peningkatan
ke dalam paru kemudian sirkulasi, yang tekanan osmotik paru sehingga terjadi
mengakibatkan hemodilusi dan akumulasi cairan ke dalam paru. Seperti juga
meningkatkan berat badan sekitar 16,5 %. pada proses terendam di air tawar, pada jenis
Disamping itu terjadi pula hemolisis yang kasus terendam di air laut juga terjadi
dapat mengakibatkan hiperkalemia, gangguan fungsi surfaktan. Umumnya air yang
hiponatremia, hemoglobinemia dan teraspirasi pada saat terendam sedikitnya 5 ml/
peningkatan sirkulasi volume darah. kgBB, baik di air tawar maupun air laut,
Walaupun volume air yang teraspirasi keduanya
kecil, akan tetapi dapat mengganggu
dapat menurunkan komplians (compliance) paru, yaitu pneumonia, barotrauma, acute
meningkatkan resistensi saluran pernapasan respiratory distress syndrome (ARDS) dan
dan tekanan arteri pulmonalis sehingga terjadi aspirasi benda asing.
gangguan aliran paru. Perfusi alveolar non
ventilasi akan menyebabkan pirau (shunt) intra
pulmonal, lalu terjadi penurunan drastis dari
tekanan oksigen arteri sehingga tata laksana
Efek Kardiovaskular
untuk kedua kasus ini adalah sama. Dapat terjadi iskemia, bradikardia, penurunan
Pada kasus hampir-tenggelam terjadi kontraktilitas miokard. Kadang-kadang dapat
syok hipovolemik sebagai akibat sekunder juga terjadi fibrilasi ventrikel dan syok
dari kerusakan endotel karena hipoksia dan kardiogenik. Gangguan fungsi kardiovaskular
meningkatnya permeabilitas kapiler, serta terjadi akibat perubahan tekanan oksigen dan
masuknya cairan ke dalam rongga ketiga. karbondioksida arterial, pH, volume darah
Metabolisme glukosa juga meningkat pada dan keseimbangan elektrolit.
kasus hampir-tenggelam yaitu > 250 mg/dL,
akibat sekunder dari peningkatan katekolamin. Efek Ginjal, hepar dan Gastrointestinal
Hiperglikemia dapat menyebabkan gangguan
neurologis dan iskemia otak. Disfungsi renal yang terjadi akibat hampir-
tenggelam ditandai oleh albuminuria,
hemoglobinuria, oliguria dan anuria. Hal ini
Mutiara bernas terjadi akibat hemolisis dan hemoglobinemia
pada saat hampir-tenggelam di air tawar.
• Hampir semua organ terlibat pada Pada kasus anoksia ginjal juga dapat terjadi
saat tenggelam, akan tetapi morbiditas tubular nekrosis akut.
tersering melibatkan organ yang paling
Hepar dapat juga mengalami anoksia
sering terkena yaitu saluran
yang bermanifestasi sebagai peningkatan
pernapasan dan SSP. kadar bilirubin, peningkatan transaminase
• Pada kasus hampir-tenggelam terjadi dan gangguan sistem koagulasi. Gangguan
syok hipovolemik sebagai akibat gastrointestinal akibat hipoksia dan iskemia
sekunder dari kerusakan endotel akibat meimbulkan gejala berupa perdarahan
hipoksia dan meningkatnya gastrointestinal, feses yang busuk dan
permeabilitas kapiler, serta masuknya adanya mukus di feses. Pasien berisiko untuk
cairan ke dalam rongga ketiga. mengalami translokasi bakteri dan pada
kasus berat dapat terjadi perforasi
gastrointestinal.
Efek Pulmonal
Pada kondisi hampir-tenggelam, kapasitas
fungsional residual paru merupakan sumber
Efek Neurologik
pertukaran gas oleh kapiler pulmonal. Penurunan Cadangan energi di otak jumlahnya sedikit
ambilan (uptake) oksigen dan dan otak memiliki keterbatasan untuk
eliminasikarbondioksida mengakibatkan hipoksia menggu- nakan metabolisme anaerob
dan hiperkarbia yang kemudian berkembang dengan sehingga gangguan metabolisme aerob akan
cepat menjadi asidosis metabolik dan asidosis sangat mempengaruhi aktivitas otak.
respiratorik.
Penurunansurfaktanparumengakibatkan atelektasis Asidosis dan hiperkarbia tidak diragukan lagi
dan peningkatan pirau intrapulmonal. Efek memiliki peran penting dalam cedera otak
sekunder lainnya selain kehilangan surfaktan (cerebral injury) dan bersifat ireversibel.
paru
Pada hipoksia dan iskemia sedikitnya 2 risiko terjadinya infeksi.
menit, terjadi deplesi ATP (Adenosine
Triphosphate). Tanpa adanya ATP membran Hipotermia akhirnya akan menurunkan
sel akan hilang, komunikasi antar sel akan produksi insulin dan berakibat pada
hilang dan komunikasi makromolekul meningkatnya cadangan glukosa sehingga
akan berhenti dan mengakibatkan asfiksia. terjadi hiperglikemia.
Dalam waktu 24-72 jam dapat terjadi edema Refleks menyelam terdapat pada mamalia
serebri, kehilangan autoregulasi dan laut sebagai adaptasi terhadap konsumsi
reperfusi dari aliran darah. oksigen pada saat tenggelam. Refleks ini
dipicu pada saat ada tahanan pernapasan
dan stimulasi dingin. Terdapat beberapa
Hipotermia dan Refleks Tenggelam perubahan kardiovaskular pada saat
Beberapa laporan menyebutkan bahwa ada hipoksia yaitu penurunan curah jantung
kasus anak yang bertahan tanpa gejala sisa yang berakibat hipoksia dan bradikardia;
setelah lama terendam. Biasanya anak ini serta vasokonstriksi perifer dan
terendam dalam air dingin dan tiba di RS mesenterikal sehingga aliran darah ke
dalam keadaan hipotermia. Dua teori yang sistem skeletal, kulit, usus dan ginjal
dapat menjelaskan fenomena ini adalah berkurang tetapi sistem aliran darah ke
hipotermia dan respons tenggelam. otak dan konsumsi oksigennya
Hipotermia yang terjadi setelah tenggelam dipertahankan.
dalam air dingin menyebabkan kehilangan Masih menjadi kontroversi mengenai ada
panas. Dibandingkan orang dewasa, anak tidaknya refleks menyelam (diving reflex)
memiliki luas permukaan tubuh yang lebih pada manusia.
besar dan lapisan lemak dibawah kulitnya lebih
tebal sehingga kehilangan panas juga terjadi
lebih cepat. Manifestasi klinis pada kasus tenggelam
Beberapa kasus yang dilaporkan Pada kasus terendam, korban dapat
sembuh secara ajaib, konsumsi normal diklasifikasikan menjadi 4 kelompok berikut
oksigen terjadi 50% pada suhu 28OC, 25% berdasarkan gejala yang ada, yaitu:
pada suhu 28OC, 25% pada suhu 20OC. Asimtomatik
Penurunan suhu sebesar 1OC akan Gejala ringan
menurunkan aliran darah sebesar 6-7
%. Jika konsumsi aliran darah otak Perubahan tanda-tanda vital
berkurang (misalnya hipotermia, takikardia,
bradikardia)
maka otak akan mengalami hipoksia.
Penampilan cemas
Pada suhu tubuh 32OC pasien akan
mengalami disorientasi, tidak terkoordinasi Takipnea, dispnea atau hipoksia.
dan biasanya kehilangan kesadaran. Pupil Asidosis metabolik
mengalami dilatasi pada suhu kurang dari Perubahan tingkat kesadaran, defisit
30OC dan memiliki respons minimal. neurologis
Pada suhu 28OC akan terjadi aritmia Gejala Kardiovaskular
jantung terutama fibrilasi ventrikel.
Apnea
Peningkatan viskositas darah akibat
Tidak ada detak jantung (55 %),
hemokonsentrasi dan pergeseran kurva
takikardia, fibrilasi ventrikel (29%),
disosiasi oksigen ke kiri.
bradikardia (16%)
Hipotermia juga berakibat menurunnya
Jelas mati
fungsi sel darah putih yang meningkatkan
Normotermia dengan tidak adanya detak jantung
Apnea 5. Hipotermia berat (suhu < 30OC)
Rigor mortis
Airway/Breathing
Jika terdapat gangguan jalan napas segera
berikan suplementasi oksigen. Indikasi
untuk melakukan intubasi endotrakea
adalah:
1. Hilangnya proteksi jalan napas akibat
kehilangan kesadaran
2. Adanya gangguan neurologis
3. Distress pernapasan berat dan hipoksia
berat
4. Gangguan kardiorespirasi
Segera pasang alat pemantau adalah pemanjangan waktu pengisian kapiler
saturasi oksigen setelah tiba di RS, (capillary refill time), permukaaan kulit yang
target saturasi harus >90%. Aspirasi dingin, denyut nadi lemah, ekstremitas
cairan menyebabkan pirau dingin, output urin yang rendah dan kehilangan
intrapulmonal sehingga terjadi kesadaran. Jika perfusi yang jelek berlangsung
obstruksi aliran napas bagian distal lama dapat dipertimbangkan pemberian
dan kolaps alveolar yang meningkatkan agen inotropik. Dapat pula dilakukan force
FiO2. Positive End Expiratory Pressure diuretic jika terjadi hemoglobinuria.
(PEEP) penting untuk meningkatkan
oksigenasi dan ventilasi dengan
meningkatkan kapasitas residual Neurologis
paru. Target utama tata laksana
Manajemen awal neurologis terdiri dari
jalan napas adalah meningkatkan
kombinasi oksigenasi yang adekuat dan sirkulasi
oksigenasi ke jaringan terutama SSP.
yang stabil. Jika dalam waktu 24 jam, skala koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS) seorang
Sirkulasi darah anak tidak mengalami perbaikan maka akan
terjadi defisit neurologis yang berat bahkan
Tujuan awal tata laksana sirkulasi kematian.
adalah stabilisasi kardiovaskular
untuk menjamin perfusi organ. Pada Adanyadilatasipupilunilateralmengindikasikan
kasus tenggelam di air hangat dapat peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure/
terjadi bradikardia dan asistol, ICP) dengan herniasi transtentorial akibat
sementara fibrilasi ventrikel lebih sering kompresi dari suplai darah pada batang otak.
terjadi pada kasus tenggelam di air Dilatasi pupil bilateral menunjukkan adanya
dingin. Indikator buruknya perfusi disfungsi serebri akibat hipoksik-iskemik atau
herniasi bilateral.
Pemeriksaan laboratorium Saturasi oksigen > 95%
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit dan
gula darah
Pemeriksaan analisis gas darah untuk
menilai derajat asidosis dan hipoksia serta
efektivitas ventilasi
Pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal
Pemeriksaan foto dada dilakukan pada
semua kasus yang diintubasi untuk
mengecek lokasi pipa endotrakeal
(endotracheal tube/ETT), menilai derajat
edema paru dan mengevaluasi
kemungkinan barotrauma.
hipotermia
Pakaian basah harus segera disingkirkan untuk
menghindari hilangnya panas secara konduksi.
Active external (surface) rewarming dapat
diberikan dengan target suhu tubuh pasien >
30OC. Metode ini meliputi penggunaan
peralatan pemanas elektrik, botol panas,
memanaskan tempat tidur dan sumber panas
radian. Hindari rewarming secara perifer
karena dapat meningkatkan risiko kolaps
kardiovaskuler.
Hipotermia jantung dapat
menyebabkan fibrilasi ventrikel yang
resisten terhadap defibrilasi dan agen
kardiotonik. Jika hal ini terjadi, lakukan
resusitasi (cardiopulmonary
resuscitation/CPR), rewarmed kemudian
defibrilasi. Hipotermia juga menyebabkan
eksresi obat ke renal dan hepar terganggu,
sehingga penggunaan epinefrin, lidokain dan
prokainamid tidak dianjurkan. Untuk kasus
ini, direkomendasikan pemberian lidokain
dosis tunggal atau bretilium pada kasus
hipotermia dengan fibrilasi ventrikel.
Korban tenggelam dapat pulang ke rumah
setelah dilakukan obeservasi di Unit Gawat
Darurat (UGD) bila didapatkan :
GCS > 13
Pemeriksaan fisis normal dan tidak ada
gangguan pernapasan
TATAlAKSANA hAMPIR-TENGGElAM jika PaO2 < 60 mmHg pada pemberian oksigen
DI PeDIATrIc INTeNsIve cAre UNIT 50% dan saturasi oksigen < 90% atau hiperkapnia
(PICU) yang semakin berat.Regenerasi surfaktan dan
penurunan kebocoran paru akan terjadi pada
Hampir-tenggelam secara global dapat hari ketiga dan keempat. Pemakaian
menyebabkan hipoksia-iskemia dengan disfungsi kortikosteroid pada kasus hampir-tenggelam
multi-organ. Tujuan utama manajemen masih kontroversial. Penggunaan agonis-ß2
PICU adalah meminimalisir kerusakan pada kasus bronkospasme dan tindakan
neurologis akibat hipoksia, iskemia, bronkoskopi menjadi pilihan jika diduga
asidosis, kejang dan abnormalitas cairan terdapat aspirasi benda asing.
atau elektrolit.
Semua kasus hampir-tenggelam di
PICU memerlukan elektrokardiografi (EKG) Manajemen Kardiovaskular
kontinu dan pulse oximetry. Untuk kasus Tujuan utama manajemen kardiovaskular
unstable near- drowing, pemeriksaan tekanan adalah menjaga curah jantung dan perfusi
arteri dan vena sentral menggunakan kateter organ yang adekuat. Gambaran EKG dapat
arteri pulmonalis secara langsung dilakukan menunjukkan nilai ST nonspesifik dan
untuk memberikan informasi adanya perubahan gelombang
gangguan kardiak berat atau disfungsi paru. T. Dapat pula terjadi peningkatan kadar
Output urin harus dimonitor untuk menilai enzim jantung.
perfusi end-organ.
Manajemen Neurologis
Manajemen Respirasi
Terapi yang direkomendasikan untuk tata laksana
Indikasi pemakaian ventilator mekanik adalah
neurologis adalah hiperventilasi ringan, sedasi, sebesar 5 %.
posisi kepala saat tidur lebih tinggi (elevasi 20-
30O), hindari penggunaan cairan berlebihan dan
hindari penggunaan bahan berbahaya (noxius)
karena dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Beberapa obat yang dapat
digunakan untuk mencegah hipoksia dan
iskemia serebral adalah Ca-channel blocker,
penghambat neurotransmitter, lazaroids (lipid
peroxidation inhibitors). Dapat juga diberikan
diuretik seperti furosemid dan manitol. Fungsi
neurologis dapat dinilai dengan :
Computed Tomography (CT) scan, hasil
yang abnormal dalam waktu 36 jam pasca
tenggelam menunjukkan nilai buruk
Elektroensefalografi (EEG), dapat digunakan
untuk menunjukkan adanya kerusakan otak
Tampilan klinis setelah pemberian obat
sedasi dihentikan
Prognosis
Korban hampir tenggelam memiliki
prognosis yang buruk jika :
1. Terendam di dalam air > 10 menit
2. Mendapat pertolongan pertama (basic life
support) > 10 menit
3. Suhu tubuh kurang < 33OC
4. Nilai GCS < 5
5. Adanya apnea persisten
6. pH darah < 7,1
7. Suhu air saat tenggelam lebih dari
10OC Orlowski menentukan skoring
prognosis
dengan menggunakan 5 kriteria :
1. Umur kurang dari 3 tahun
2. Tenggelam > 5 menit
3. Tidak diresusitasi > 10 menit
4. Adanya koma
5. pH arteri < 7,1
Masing-masing skor nilainya 1. Bila
jumlah skor 0-1 maka kesempatan untuk
sembuh sebesar 90 %, sedangkan bila skor
≥ 3 maka kesempatan untuk sembuh
Mutiara bernas diri misalnya berada di alas yang keras
pada saat melakukan pertolongan kasus
• Tujuan utama manajemen PICU adalah terendam di air es, siapkan tali panjang
meminimalisir kerusakan neurologis untuk menjangkau korban, segera minta
akibat hipoksia, iskemia, asidosis, kejang bantuan pada orang lain
dan abnormalitas dari cairan/elektrolit 2. Jangan lakukan perasat Heimlich untuk
• Pada tata laksana respirasi di PICU, kasus tenggelam
pemakaian kortikosteroid pada kasus 3. Jangan membiarkan pakaian basah dipakai
hampir tenggelam masih kontroversial. korban tenggelam
Pada kasus dengan bronkospasme
4. Hindari rewarming secara perifer karena
dan tindakan bronkoskopi, meningkatkan risiko kolaps kardiovaskular
penggunaan agonis-ß2 menjadi
5. Pada keadaan hipotermia dengan
pilihan jika diduga terdapat aspirasi
fibrilasi ventrikel yang resisten terhadap
benda asing.
defibrilasi dan agen kardiotonik,
Hal-hal yang harus gunakanlah lidokain atau bretilium dosis
diperhatikan tunggal. Lakukan CPR, rewarmed
kemudian defibrilasi
pada kasus tenggelam adalah : 6. Pemakaian kortikosteroid pada kasus near-
1. Pastikan diri mampu menolong drowning masih kontroversial
korban tenggelam sebelum 7. Penggunaan antibiotika dapat dipertimbangkan
melakukan pertolongan, dalam hal jika terendam di lingkungan yang kotor
ini penolong harus pandai atau adanya aspirasi benda asing
berenang, tidak membahayakan 8. Hindari prosedur drainase
Tips Mencegah Tenggelam mengkonsumsi obat-obatan atau alkohol
Untuk semua umur:
Hindari berenang setelah gelap
Jangan berlari, mendorong atau melompat
di
sekitar air
Ajari anak berenang terutama jika
umurnya
> 4 tahun
E
early goal directed therapy
F
155 ECMO 2 faktor stres 162, 163, 164
edema 37, 39, 40, 41, 43, 54, 59, 60, 69, 71, FENa 127, 128, 129
79, 84, 87, 101, 103, 104, 111, 112, 113, fentanil 231, 232, 233, 237, 250
144, 145, 146, 147, 148, 149, 153, 154, FEUr 129
181, 184, 188, 242, 243, 251, 254, 256,
Fibrinogen 160 hemodinamik 44, 71, 87, 88, 91, 92, 93, 94,
FiO2 51, 53, 54, 55, 56, 57, 76, 78, 79, 80, 95, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 106,
90, 117, 144, 145, 148, 154, 155, 156, 164,
91, 121, 236, 266 166, 181, 184, 190, 205, 206, 207, 218,
Fistula 168, 191 223, 233, 238, 239, 241, 242, 266
Fluid challenge 103
Flumazenil 230, 255
Fungsi ginjal 126, 146
Fungsi hati 166
fungsi tiroid 26
Haloperidol 231
Head Tilt 194
Heimlich maneuver 195, 196
hemodialisis 150, 184, 238, 239, 242, 243,
255,
257, 260
hemoglobin 52, 53, 63, 64, 66, 67, 90, 92, 93, hipoproteinemia 145
114, 128, 133, 178, 242 hipotermia 22, 38, 40, 43, 103, 154, 155, 182,
hemoreologi 148 242, 250, 251, 265, 267
henti jantung 2, 56, 72, 109, 193, 200, 201, hipoventilasi 52, 66, 80, 82, 121, 140, 252
205, 208, 209, 210, 218, 221, 256, 259 hipovolemia 44, 103, 104, 127, 128, 140, 144,
Hernia inkarserata 177 146, 147, 148, 149, 150, 151, 184, 190
HFO 5 homeostasis 132, 135, 142, 164, 168, 180, 183
high flow 54 hormon antidiuretik 125, 128
Hiperalimentasi 135 hormon counter regulatory 162
Hiperglikemia 140, 163, 168, 264 Hospital-Acquired Pneumonia 72
hiperkalemia 188 hukum kenetralan listrik 135
hipernatremia 26, 129, 142, 188, 210, 263
Hipertensi intra-abdomen 180, 181
hiperventilasi 40, 43, 70, 81, 118, 132, 268 I
hipnotik 20, 227, 228, 229, 250, 251 ileostomi 140, 178, 179
hipoglikemia 25, 26, 33, 44, 45, 108, 110, 119, ileus 166, 178, 189, 254
210, 256 Imunonutrisi 165
Hipokalemia 70, 128, 129 infeksi 2, 4, 5, 10, 12, 13, 14, 26, 28, 31, 32,
hipokalsemia 26, 108, 119, 128, 129, 209, 210 33, 37, 39, 40, 43, 44, 48, 60, 72, 73, 74,
Hipoksia 34, 54, 56, 76, 77, 79, 109 75, 76, 81, 83, 96, 108, 117, 118, 119,
hipomagnesemia 26 121, 125, 126, 152, 155, 164, 165, 178,
Hiponatremia 26, 31, 44, 128
179, 181, 242, 259, 265 Katartik 253
INFUS INTRAOSSEUS 221 kateterisasi jantung 111, 115
inotropik 5, 65, 80, 96, 102, 110, 118, 119, Kegagalan Multi Organ 152
155, 156, 189, 190, 209, 242, 266
insufisiensi adrenal 110, 156, 157
insufisiensi adrenal relatif 156, 157
insulin 141, 162, 163, 169, 265
intensivis 10, 14
Intraosseus 208, 226
intubasi 5, 34, 73, 80, 83, 116, 119, 121,
166,
200, 202, 215, 216, 217, 218, 219, 266
intubasi endotrakea 200, 215, 216, 218, 266
Intususepsi 177
invasif 6, 12, 46, 48, 56, 77, 94, 95, 99, 102,
106, 111, 118, 154, 156, 157, 185, 254
ion bikarbonat 133, 134, 136
ion hidrogen 132, 133, 135, 136, 137
ion kuat 135, 136
ion lemah 135, 136
ipekak 252
Irigasi usus 254
iskemia 26, 37, 38, 40, 41, 43, 46, 47, 48, 49,
103, 124, 126, 149, 154, 156, 166, 176,
181, 187, 188, 189, 206, 238, 264, 265,
267, 268
jaw-thrust 60
O
119, 120, 121, 135, 140, 145, 148, 151, Penyakit ginjal terminal 124
165, 200, 201, 202, 203, 205, 206, 207, perfusi 33, 37, 38, 39, 40, 41, 45, 46, 47, 48,
208, 210, 216, 217, 219, 220, 236 51, 52, 53, 57, 66, 68, 69, 79, 95, 100,
oliguria 128, 150, 154, 181, 184, 190 102, 109, 112, 113, 115, 117, 118, 119,
Opioid 231, 232, 234, 237 125, 126, 128, 147, 154, 155, 156, 164,
overfeeding 164 166, 170, 176, 180, 181, 183, 185, 201,
203, 204, 205, 206, 207, 209, 211, 266,
267
P permeabilitas vaskular 144
Pacing 206 persamaan Van Slyke 134
PaCO2 118, 120, 121, 132, 133, 134, 135, 138, perubahan permeabilitas kapiler paru 145
139, 142 PGE1 (Prostaglandine E1) 145
PaO2 116 PiCCO 156
partial thromboplastin time 158, 159 pirau (shunt) 67, 264
pascaoperasi 2, 48 plasminogen activator inhibitor 158
PDA (Patent Ductus Arteriosus) pneumatosis intestinalis 176, 187, 188, 189
116 Peak Inspiratory Pressure Pneumonia 56, 72, 73, 75, 76, 79, 84, 189
(PIP) 89 pediatric assessment pneumoperitoneum 188, 189
triangle 252 pelepasan mediator Pneumotoraks 203
inflamasi 88, 153, 180 Pola napas 20, 21, 40, 82
Pemeriksaan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 266
neurologis 251 predicted energy expenditure 163
preload 95, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 104,
106, 108, 110, 119, 149, 181 salisilat 140, 251, 254, 255, 256, 257
pressure control 86, 89, 90 saturasi oksigen 41, 42, 48, 52, 54, 56, 57,
prokalsitonin 178 80,
Propofol 227, 230, 236 92, 101, 103, 109, 121, 200, 202, 208,
propranolol 117
Prosedur 38, 44, 96, 98, 121, 185, 215, 216,
218, 220, 221, 223, 254
Prostasiklin 120, 158
prothrombin time 159
protrombin 32, 158, 160, 237
Pulseless Electrocardiography Activity (PEA)
203
Pulse oxymetry 159
pulse pressure variation (PPV) 106
R
Rapid sequence intubation (RSI) 217
RBSI 12
reaksi keseimbangan disosiasi 135
Recombinant human activated protein-C 156
remifentanil 233
reseptor gama aminobutyric acid (GABA)
229 reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA)
230 Resusitasi Jantung Paru 193, 199, 211
RIFLE 124, 130
Ringer Laktat 148
Rouleaux 147
round belly sign
183
ruang rugi 55, 69, 87, 88, 90