You are on page 1of 437

Buku Ajar

Pediatri Gawat Darurat

Penyusun:
Antonius H. Pudjiadi
Abdul Latief
Novik Budiwardhana

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


2011
Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
@ 2011 UKK Pediatri Gawat Darurat
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
dan dalam bentuk apapun tanpa seijin dari penulis dan penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh:


Unit Kerja Pediatri Gawat
Darurat Ikatan Dokter Anak
Indonesia Tahun 2011

Diterbitkan oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

ISBN 978-979-8421-69-3
Sambutan Ketua Umum
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Salam sejahtera dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia


Pertama-tama kami ingin mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Unit Kerja
Koordinasi Pediatri Gawat Darurat (UKK PGD) IDAI atas diterbitkannya Buku Ajar Pediatri
Gawat Darurat. Buku ini sudah ditunggu cukup lama oleh anggota IDAI dan juga tenaga
kesehatan lain yang bekerja di Unit Pediatri Gawat Darurat Anak.
Ilmu tentang gawat darurat anak mempunyai kespesifikan dan sangat perlu diipahami secara
komprihensif oleh semua dokter spesialis anak, karena penanganan gawat darurat merupakan tata
laksana lini pertama untuk kelangsungan hidup seorang anak dan terhindar dari kecacatan
yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya.
Buku ajar PGD diharapkan dapat membekali anggota IDAI dengan ilmu yang harus dimiliki
oleh dokter spesialis anak dalam menangani kasus gawat darurat di semua tahapan pelayanan
kesehatan anak. Dengan demikian, IDAI dapat memberikan kontribusinya secara nyata dalam
menurunkan angka kematian dan kecacatan anak di Indoensia.
Kami berharap buku ini menjadi acuan bagi semua dokter spesialis anak di Indonesia
dalam memberikan pelayanan gawat darurat anak. Selamat bertugas.

Healthy children for healthy Indonesia

Dr. Badriul Hegar, SpA(K), PhD.


Ketua Umum
i Buku Ajar Pediatri Gawat
v Darurat
Sambutan Ketua UKK Pediatri
Gawat Darurat IDAI

Puji syukur ke hadirat Yang Maha Kuasa, buku ajar Pediatri Gawat Darurat edisi pertama dapat
diselesaikan pada KONIKA XV tahun 2011 ini. Sekalipun masih jauh dari sempurna, penerbitan
buku ini kami wujudkan juga mengingat kebutuhannya yang mendesak.
Penyusunan buku ini telah melalui masa waktu yang amat panjang. Perkembangan ilmu
yang demikian pesat memaksa kami melakukan revisi berulang-ulang sebelum penerbitan. Asupan
dari disiplin ilmu yang bersinggungan juga amat kami cermati. Edisi pertama ini tersusun atas
sembilan bagian yang meliputi dua puluh sembilan bab yang tersusun mulai dari konsep Pediatri
Gawat Darurat hingga aplikasi klinis pada berbagai gangguan sistem serta beberapa prosedur
penting di Pediatric Intensive Care Unit.
Kami harapkan buku ini dapat digunakan sebagai salah satu panduan dalam
meningkatkan kemampuan dokter anak Indonesia dalam bidang Pediatri Gawat Darurat,
selain kepustakaan lain serta berbagai pelatihan yang selama ini telah dilaksanakan secara
berkesinambungan.
Kepada seluruh penulis dan berbagai pihak yang telah bekerja keras mendukung
penerbitan ini, atas nama Unit Kerja Koordinasi Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, kami ucapkan banyak terima kasih.

Ketua UKK IDAI Pediatri Gawat Darurat IDAI

Dr. Antonius H. Pudjiadi, SpA(K)


vi Buku Ajar Pediatri Gawat
Darurat
Kata Pengantar

Sejawat Yth,

Kehadiran Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat ini adalah hasil kerja keras dari teman sejawat
yang tergabung dalam Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pediatri Gawat Darurat. Pemilihan topik
pada buku ini diprioritaskan pada kasus-kasus yang sering ditemui dalam praktek sehari-hari di
Pediatric Intensive Care Unit dan beberapa prosedur penting di PICU.
Setelah melalui proses revisi dan penyuntingan yang panjang, buku ini akhirnya berhasil kami
wujudkan. Format berupa newspaper atau 2 kolom pada buku ini berbeda dengan buku ajar
sebelumnya, sengaja kami pilih dengan harapan format ini lebih nyaman dibaca. Demikian juga
dengan Mutiara Bernas, suatu terminologi untuk merangkum hal-hal penting pada setiap bab,
merupakan buah pikir kami yang diharapkan dapat mempermudah pembaca untuk merangkum
intisari dari suatu bab. Satu kekhususan lagi dari Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat ini adalah
tulisan dari almarhumah DR. Dr. Tatty Ermin Setiati, Sp.A(K) mengenai bab Keseimbangan
Asam Basa dan Kristaloid dan Koloid. Dimuatnya tulisan ini memiliki nilai historis karena
ditujukan untuk mengenang karya beliau dan komitmennya yang amat kuat untuk
memajukan Pediatri Gawat Darurat di Indonesia.
Akhirnya saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada
para kontributor yang telah membagi pengalaman dan pengetahuannya sehingga buku ini
dapat diterbitkan. Terlepas dari kekurangan yang ada semoga buku ini bermanfaat bagi kita
semua dan untuk anak-anak Indonesia.

Penyunting
viii Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Daftar Isi

Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia............................iii


Sambutan Ketua UKK Pediatri Gawat Darurat IDAI............................................................. v
Kata Pengantar..................................................................................................................... vii
Editor..................................................................................................................................... xi
Daftar Kontributor................................................................................................................ xi
Ucapan Terima Kasih........................................................................................................... xii
Daftar Tabel......................................................................................................................... xiii
Daftar Gambar..................................................................................................................... xvi

1. Pediatri Gawat Darurat, Menyongsong Masa Depan...................................................... 1


Abdul Latief, Antonius Pudjiadi, Imral Chair, Yogi Prawira
2. Penjaminan Mutu Pelayanan PGD.................................................................................. 8
Chairul Yoel
3. Aspek Medikolegal di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Anak........16
Munar Lubis, Novik Budiwardhana
4. Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak.....................18
Setyabudhy, Irawan Mangunatmadja, Saptadi Yuliarto
5. Kejang............................................................................................................................ 29
Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja
6. Peningkatan Tekanan Intrakranial................................................................................ 37
Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja
7. Pemantauan Susunan Saraf Pusat di Pediatric Intensive Care Unit...........................46
Setyabudhy, Saptadi Yuliarto
8. Terapi Oksigen................................................................................................................ 51
Enny Harliani Alwi
9. Kegawatan Respirasi pada Anak................................................................................... 59
Ririe Fachrina Malisie
10. Ventilasi Mekanik Konvensional pada Anak................................................................. 85
Dadang Hudaya Somasetia, Antonius Pudjiadi
11. Pemantauan Hemodinamik.......................................................................................... 92
Novik Budiwardhana, Ririe Fachrina Malisie
12. Syok............................................................................................................................. 108
Hari Kushartono, Antonius Pudjiadi
x13. Kegawatan pada Penyakit
Buku Ajar Pediatri Gawat Jantung Bawaan (PJB)....................................................... 111
Darurat
Eva Miranda Marwali, Liza Fitria Zaimi
14. Gagal Ginjal Akut......................................................................................................... 124
Antonius Pudjiadi, Irene Yuniar
15. Keseimbangan Asam Basa........................................................................................... 132
Abdul Latief, Tatty Ermin Setiati, Hari Kushartono
16. Kristaloid dan Koloid................................................................................................... 144
Hari Kushartono, Tatty Ermin Setiati
17. Sepsis dan Kegagalan Multi Organ.............................................................................. 152
Rismala Dewi
18. Perdarahan dan Trombosis.......................................................................................... 158
Antonius Pudjiadi
19. Nutrisi pada Anak Sakit Kritis..................................................................................... 162
Nurnaningsih
20. Abdomen Akut............................................................................................................. 175
Novik Budiwardhana
21. Sindrom Kompartemen Abdomen.............................................................................. 180
Guwansyah Dharma Mulyo
22. Enterokolitis Nekrotikans............................................................................................ 187
Guwansyah Dharma Mulyo, Klara Yuliarti
23. Resusitasi Jantung Paru pada Bayi dan Anak............................................................. 193
Dzulfikar Djalil Lukmanul Hakim
24. Prosedur Jalan Napas.................................................................................................. 215
Elisa
25. Akses Vaskular............................................................................................................. 221
Silvia Triratna
26. Sedasi dan Analgesia................................................................................................... 227
Antonius Pudjiadi
27. Terapi Sulih Ginjal Berkesinambungan pada Anak.................................................... 238
Darlan Darwis, Susetyo Harry Purwanto, M. Tatang Poespanjono, Irene Yuniar
28. Tata Laksana Keracunan............................................................................................. 249
Enny Harliani Alwi
29. Tenggelam dan Hampir Tenggelam (Drowning and Near-Drowning)................................262
Idham Jaya Ganda
Editor
Antonius H. Pudjiadi
Abdul Latief
Novik Budiwardhana

Daftar Kontributor
Abdul Latief Dzulfikar Djalil Lukmanul Hakim
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
FK Unpad/RSUP Hasan Sadikin
Jakarta
Bandung
Antonius H. Pudjiadi
Elisa
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Intensive Care Unit
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jogja International Hospital
Jakarta
Yogyakarta
Chairul Yoel
Enny Harliani Alwi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK USU/RSUP Dr. H. Adam Malik
FK Unpad/RSUP Dr. Hasan
Medan
Sadikin Bandung
Dadang Hudaya Somasetia
Eva Miranda Marwali
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Pediatric Cardiac Intensive Care Unit
FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Bandung
Jakarta
Guwansyah Dharma Mulyo
Hari Kushartono
Instalasi Gawat Darurat-Intensive Care
Bagian Ilmu Kesehatan
Unit
Anak FK Unair/RSU Dr.
RS Anak dan Bunda Harapan Kita
Soetomo Surabaya
Jakarta
Idham Jaya Ganda
Darlan Darwis
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Departemen Ilmu Kesehatan
FK Unhas/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Anak FKUI/RSUP Cipto
Makasar
Mangunkusumo Jakarta
Imral Chair Rismala Dewi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta Jakarta
Irene Yuniar Setyabudhy
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan
FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo Anak FK Unibraw/RS Saiful
Jakarta Anwar Malang
Munar Lubis Silvia Triratna
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan
FK USU/RSUP Dr. H. Adam Malik Anak FK Unsri/RSUP Muh.
Medan Hoesin Palembang
Novik Budiwardhana Susetyo Harry Purwanto
Pediatric Cardiac Intensive Care Unit Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta Jakarta
Nurnaningsih (Alm.) Tatty Ermin
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Setiati Bagian Ilmu
FK UGM/RS Dr. Sardjito Kesehatan Anak FK
Yogyakarta Undip/RSU Dr. Kariadi
Semarang
Ririe Fachrina Malisie
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unri/RSUD Arifin Achmad
Riau

Ucapan Terima Kasih


Buku ini dapat terwujud berkat usaha keras tenaga-tenaga muda potensial yang terdiri dari:
1. Klara Yuliarti
2. Liza Fitria Zaimi
3. Saptadi Yuliarto
4. Yogi Prawira
5. M. Tatang Poespanjono
6. M. Hidayatullah (Tata letak)
7. Zakaria (Ilustrator)
Daftar Tabel

Tabel 4.1 Derajat penurunan kesadaran


Tabel 4.2 Penilaian Skala Koma Glasgow pada anak
Tabel 4.3 Penyebab tersering perubahan tekanan darah dan laju nadi anak tidak sadar
Tabel 4.4 Pola pernapasan disertai dengan penurunan fungsi susunan saraf pusat
Tabel 4.5 Gangguan refleks pupil dan gerakan bola mata pada penurunan
kesadaran Tabel 4.6 Manifestasi klinis berdasarkan tingkat gangguan di
susunan saraf pusat Tabel 4.7 Penyebab tersering penurunan kesadaran pada
anak
Tabel 5.1 Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang
Tabel 5.2 Klasifikasi kejang
Tabel 5.3 Etiologi kejang pada anak
Tabel 5.4 Obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang
Tabel 6.1 Berbagai etiologi peningkatan TIK
Tabel 6.2 Manajemen peningkatan tekanan intrakranial
Tabel 8.1 Perkiraan FiO2 dengan mempergunakan alat pemberian oksigen aliran rendah
Tabel 8.2 Petunjuk dosis awal pemberian oksigen
Tabel 8.3 Indikasi pemberian oksigen berdasarkan perlu tidaknya kontrol FiO2
Tabel 9.1 Perbedaan anatomi jalan napas anak dan dewasa
Tabel 9.2 Terapi antibiotik empiris awal untuk pasien HAP dan VAP tanpa faktor risiko
bakteri multiresisten/MDR (awitan awal dengan berbagai derajat beratnya
penyakit)
Tabel 9.3 Terapi antibiotik empiris awal untuk pasien HAP dan VAP awitan lanjut atau
dengan faktor risiko bakteri multiresisten/MDR dan berbagai derajat beratnya
penyakit
Tabel 9.4 Faktor risiko perburukan klinis pada bronkiolitis akut
Tabel 9.5 Lung Injury Score (LIS) atau skor Murray
Tabel 9.6 Konsensus Komite Amerika-Eropa untuk Acute Lung Injury dan Acute Respiratory
Distress Syndrome(1994)
Tabel 9.7 Penyebab tersering ALI dan ARDS
Tabel 10.1 Tipe napas
Tabel 10.2 Rekomendasi pengaturan awal ventilator
Tabel 10.3 Parameter yang berhubungan dengan risiko kegagalan penyapihan
Tabel 11.1 Parameter laju nadi , laju napas, hitung leukosit dan tekanan darah sistolik
menurut golongan umur
Tabel 11.2 Variabel hemodinamik yang dapat menjadi peringatan terjadinya gangguan
hemodinamik
Tabel 13.1 Mekanisme penurunan hantaran oksigen jaringan pada berbagai lesi PJB asianotik
Tabel 13.2 Korelasi perubahan morfometrik vaskular paru pra-operasi dengan variasi aliran
darah (Qp), tekanan (Ppa), dan resistensi (Rp) paru
Tabel 13.3 Contoh disfungsi ventrikel pada PJB asianotik dengan overload volume dan atau
overload tekanan
Tabel 14.1 Kriteria gagal ginjal akut berdasarkan pediatric RIFLE
Tabel 14.2 Penyebab gagal ginjal akut di PICU
Tabel 14.3 Obat nefrotoksik
Tabel 14.4 Beberapa pemeriksaan untuk membedakan gagal ginjal tipe pra-renal dan renal
Tabel 14.5 Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal akut
Tabel 15.1 Hubungan antara ion bikarbonat, PaCO2 dan SBE pada kelainan asam basa
Tabel 15.2 Klasifikasi asidosis metabolik berdasarkan anion gap
Tabel 15.3 Klasifikasi gangguan asam-basa menurut Henderson-Hasselbalch (H-H) dan Stewart
Tabel 15.4 Berat ringan gangguan keseimbangan asam-basa berdasarkan nilai PaCO2 dan
SBE Tabel 15.5 Interpretasi gangguan keseimbangan asam-basa
Tabel 16.1 Efek koloid yang merugikan
Tabel 16.2 Terapi cairan pada beberapa keadaan
Tabel 17.1 Obat inotropik dan vasopresor
Tabel 18.1 Modifikasi sistem penilaian International Society on Thrombosis and Hemostasis untuk
diagnosis DIC
Tabel 18.2 Terapi penunjang
Tabel 19.1 Keadaan yang mempengaruhi kebutuhan energi (faktor stres)
Tabel 19.2 Parameter yang harus dinilai pada pasien yang mendapat nutrisi enteral
Tabel 19.3 Kebutuhan cairan rumatan berdasarkan berat badan
Tabel 19.4 Kebutuhan rumatan elektrolit dan mineral
Tabel 19.5 Komposisi multivitamin injeksi
Tabel 19.6 Kebutuhan trace element per hari
Tabel 19.7 Inisiasi pemberitan nutrisi
parenteral
Tabel 19.8 Pemantauan pemberian nutrisi parenteral
Tabel 20.1 Penyebab abdomen akut
Tabel 20.2 Kegunaan ultrasonografi dan CT scan abdomen pada kegawatan abdomen akut
Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat xv

Tabel 20.3 Obstruksi usus mekanik


Tabel 21.1 Faktor risiko terjadinya hipertensi intra-abdomen dan sindrom kompartemen abdomen
Tabel 22.1 Stadium Bell dengan modifikasi
Tabel 24.1 Panduan ukuran LMA pada anak
Tabel 26.1 Beberapa indikasi penggunaan sedasi dan analgesia di ICU anak
Tabel 26.2 Dosis benzodiazepin
Tabel 26.3 Reseptor opioid
Tabel 26.4 Sistem skoring nyeri dan sedasi
Tabel 26.5 Skor Ramsay
Tabel 26.6 Skala FLACC
Tabel 26.7 Skala CRIES
Tabel 27.1 Perbandingan metode hemofiltrasi terhadap 58 pasien anak di Royal Children’s
Hospital, Melbourne (1986 – 1989)
Tabel 27.2 Perbandingan CRRT dengan HDI
Tabel 27.3 Filter yang sering dipakai pada pasien pediatrik
Tabel 27.4 Pemilihan CRRT pada pasien kritis di PICU
Tabel 27.5 Ukuran dan jenis kateter yang direkomendasikan menurut usia dan berat badan
Tabel 27.6 Koefisien sieving membran berpori besar dan membran berpori konvensional
Tabel 28.1 Manifestasi klinis toxidrome
Tabel 28.2 Antidotum
Tabel 29.1 Epidemiologi kasus tenggelam
Daftar Gambar

Gambar 4.1 Gambaran skematis pola napas


Gambar 4.2 Letak lesi disertai reaksi kedua pupil pada kesadaran menurun
Gambar 4.3 Jaras konjugasi mata
Gambar 4.4 Refleks bola mata pada kesadaran menurun
Gambar 4.5 Algoritme tata laksana awal pasien dengan kesadaran menurun
Gambar 5.1 Algoritme tata laksana kejang pada anak
Gambar 6.1 Kompensasi intrakranial pada desakan
massa. Gambar 6.2 Kurva volume-tekanan
Gambar 6.3 Algoritme tata laksana peningkatan tekanan intrakranial
Gambar 8.1 Kurva disosiasi hemoglobin
Gambar 9.1 Hubungan antara diameter jalan napas, perbedaan tekanan jalan napas dan aliran
udara
Gambar 9.2 Perbedaan anatomi jalan napas anak dan dewasa
Gambar 9.3 Diagram jalur ventilasi dan organ yang rentan terkena penyakit
Gambar 9.4 Model alveoli sesuai dengan rumus Laplace (a) dan model interdependensi
dari alveoli (b)
Gambar 9.5 Komplians dinamik
Gambar 9.6 Alveoli yang ideal (komplians statis dan dinamis seimbang) (a) dan alveoli
yang kaku (fast dan slow alveoli) (b)
Gambar 9.7 Proses penghantaran oksigen dari atmosfir sampai ke sel
Gambar 9.8 Kurva disosiasi oksigen: P50 adalah tekanan parsial oksigen dimana 50%
hemoglobin tersaturasi
Gambar 9.9 Hubungan antara pasokan oksigen (DO2) dan konsumsi oksigen
(VO2) Gambar 9.10 Diagram kaskade penghantaran oksigen (atmosfir ®
mitokondria) Gambar 9.11 Kurva ketidaksesuaian ventilasi perfusi
Gambar 9.12 Perbedaan FEV dan FVC pada paru normal (A), obstruktif (B) dan restriktif (C)
Gambar 9.13 Variasi tekanan sistolik selama inspirasi (pulsus paradoksus)
Gambar 9.14 Hiperinflasi dinamik dan air trapping pada asma
Gambar 9.15 Terapi antibiotika empiris untuk HAP dan VAP
Gambar 9.16 Kurva tekanan volume
Gambar 9.16 Kurva tekanan volume pada alveoli normal dan pada cedera paru
Gambar 9.17 Patofisiologi gagal napas pada gangguan neuromuskular
Gambar 10.1. Rancang bangun ventilator tipe volume generated dan pressure generated
Gambar 10.2. Grafik skalar untuk menilai waktu inspirasi dan ekspirasi
Gambar 10.3. Komplians sistem pernapasan
Gambar 10.4. PIP pada Volume Generated Ventilator
Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat xvii

Gambar 11.1 Orkestrasi hemodinamik. Kondisi ideal pasokan oksigen cukup, ekstraksi oksigen
normal
Gambar 11.2 Gelombang arterial pada berbagai lokasi anatomis
Gambar 11.3 Gelombang tekanan vena sentral dan korelasinya dengan EKG
Gambar 11.4 Lokasi pemasangan jalur vena sentral
Gambar 11.5 Prosedur menentukan titik nol
Gambar 11.6 Pemberian preload akan meningkatkan isi sekuncup sampai batas tertentu
Gambar 11.7 Dampak variasi respirasi terhadap tekanan arteri
Gambar 11.8 Contoh rekaman kurva tekanan arteri sistemik dan tekanan jalan napas pada
seorang pasien dengan variasi tekanan sistolik dan tekanan nadi yang
besar.
Gambar 13.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi vaskular paru dan afterload ventrikel
sistemik
Gambar 14.1 Mekanisme terjadinya nekrosis tubular akut (ATN) pada gagal ginjal akut pra-renal
Gambar 15.1 Diagram senjang anion (anion gap)
Gambar 15.2 Hubungan antara SID, pH, dan ion hidrogen
Gambar 15.3 Gamblegram SID
Gambar 15.4 Gamblegram dengan SIG (SIG = SIDa – SIDe)
Gambar 17.1. Skema perjalanan infeksi
Gambar 17.2. Patofisiologi sepsis dan kegagalan multi organ
Gambar 19.1 Algoritma nutrisi enteral
Gambar 20.1 Tata laksana awal pada anak dengan abdomen akut
Gambar 23.1 Cross finger-finger sweeping
Gambar 23.2 Chest thrust
Gambar 23.3 Manuver Heimlich
Gambar 23.4 Abdominal thrush
Gambar 23.5 Look-listen-feel
Gambar 23.6 Ventilasi tekanan positif
Gambar 23.7 Periksa nadi brakialis
Gambar 23.8 RJP pada bayi
Gambar 23.9 RJP pada anak
Gambar 23.10 Pemasangan oropharyngeal airway
Gambar 23.11 Bag-mask ventilation C-E position
Gambar 23.12 Pulseless Electrocardiography Activity (PEA)
Gambar 23.13 Takikardia ventrikel (ventricle tachycardia, VT)
Gambar 23.14 Fibrilasi ventrikel (ventricle fibrillation, VF)
Gambar 23.15 Algoritme bantuan hidup dasar pada anak
Gambar 23.16 Algoritme bantuan hidup dasar pada anak
Gambar 24.1. A. Cara insersi daun laringoskop lengkung (curved) B. cara insersi daun
laringoskop lurus (straight). Perhatikan posisi ujung daun laringoskop
terhadap epiglotis.
Gambar 24.2. Teknik insersi LMA.
Gambar 24.3. Anatomi luar jalan napas sebelah atas.
xviii Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Gambar 24.4. Teknik krikotirotomi perkutaneus


Gambar 25.1. Pemasangan akses intraosseus
Gambar 25.2 Pemasangan akses vena jugularis
Gambar 26.1. Spektrum obat sedasi dan
analgesia Gambar 26.2. Obat analgesik
Gambar 26.3. Skala Visual Analog
Gambar 26.4. Skala Wong Baker
Gambar 27.1 Pergerakan solut melewati suatu membran berdasarkan konsentrasi sesuai prinsip
difusi
Gambar 27.2 Pergerakan solut selama terapi pembersihan darah sesuai prinsip konveksi.
Gambar 27.3 Absorbsi pada CRRT
Gambar 27.4 Grafik hubungan berat molekul dengan klirens pada CRRT
Gambar 27.5 Skema SCUF
Gambar 27.6 Skema CVVH
Gambar 27.7 Skema CVVHD
Gambar 27.8 Skema CVVHDF
Gambar 27.9 Gambar skema sirkuit CRRT dengan berbagai jenisnya
1 Pediatri Gawat Darurat,
Menyongsong Masa
Depan
Abdul Latief, Antonius Pudjiadi, Imral Chair, Yogi Prawira

DEfINISI PEDIATRI GAwAT DARURAT perawat dan staf lain yang berpengalaman
Pediatri gawat darurat (PGD) adalah dalam pengelolaan kondisi tersebut.
subspesialisasi ilmu kesehatan anak di Indonesia. Tujuan utama pengelolaan pasien di
Subspesialisasi ini mencakup ranah keilmuan PICU adalah untuk menyelamatkan jiwa
dan profesi yang meliputi kedaruratan pediatri pasien yang mengalami sakit kritis, namun
(pediatric emergency), tata laksana intensif masih dapat disembuhkan (recoverable and
(pediatric intensive care), dan transportasi anak reversible). Dengan demikian, apabila penyakit
dengan kegawatan (pediatric transportation dasar pasien tidak mungkin untuk
medicine). Di manca negara, subspesialisasi ini disembuhkan (terminal stage) maka pasien
termasuk dalam ranah pediatric critical care tersebut tidak akan mendapat manfaat dari
medicine. perawatan di PICU. Hal ini perlu menjadi
Ilmu pediatric critical care telah perhatian, karena sumber daya manusia, sarana
mengalami kemajuan dramatis dalam dan prasarana PICU yang sangat terbatas,
beberapa dekade terakhir, khususnya pediatric dengan biaya perawatan yang mahal.
intensive care. Pada tahun 1993, Committee Pada tahun 2004, dilakukan revisi
on Hospital Care and Pediatric Section of the terhadap pedoman awal dengan tetap
Society of Critical Care Medicine menerbitkan membagi PICU menjadi dua level. PICU level
pedoman yang membagi Pediatric Intensive I harus mampu menyediakan layanan definitif
Care Unit (PICU) menjadi level I dan II. bagi pasien anak (kecuali neonatus) yang
Pedoman ini juga mencakup ruang lingkup dan mengalami gangguan medis, bedah ataupun
pelayanan pediatric critical care, struktur trauma yang kompleks, progresif dan dinamis.
organisasi, fasilitas rumah sakit, staf medis, Unit ini sebaiknya berada dalam pusat layanan
obat-obatan dan peralatan, pemantauan, kesehatan besar atau di dalam rumah sakit
pelatihan dan pembelajaran berkelanjutan. khusus anak. Dalam kondisi tertentu, misalnya
keterbatasan tenaga pediatric intensivist,
Pediatric Intensive Care Unit merupakan
kondisi geografis dan keterbatasan
unit dari rumah sakit, dengan staf dan
transportasi, maka PICU level II dapat
perlengkapan khusus, yang ditujukan untuk
menjadi alternatif untuk stabilisasi pasien
observasi, perawatan dan terapi pasien anak
anak sakit kritis sebelum dirujuk ke level I.
berusia 0-18 tahun (selain neonatus) yang
menderita sakit kritis, cedera, atau penyakit-
penyakit yang mengancam jiwa atau
potensial mengancam jiwa dengan prognosis SEjARAh PERKEMbANGAN PEDIATRI
dubia. PICU harus mampu menyediakan sarana GAwAT DARURAT DI DUNIA
dan prasarana serta peralatan khusus untuk
Perawatan optimal guna memenuhi kebutuhan
menunjang fungsi- fungsi vital. PICU harus
khusus pada anak dengan sakit kritis menjadi
memiliki staf medis,
2 Buku Ajar Pediatri Gawat
Darurat

dasar didirikannya unit perawatan intensif Critical Care Medicine Training Programs dilakukan.
khusus anak, terpisah dari pasien dewasa
maupun neonatus. Pediatric Intensive Care
Unit (PICU) pertama kali didirikan di Eropa,
tepatnya di Goteburg Childrens’ Hospital ,
Swedia pada tahun 1950-an. Pada saat itu
PICU terutama diperuntukkan bagi korban
epidemi polio. Epidemi ini juga yang memicu
didirikannya ICU yang pertama kali dikenal
dunia, di Copenhagen, Denmark.
Di Amerika Serikat , ICU dewasa baru
didirikan pada awal 1960-an, diikuti dengan
pembukaan PICU di Children’s Hospital
of Philadelphia, yang digagas oleh Dr.
John Downes pada tahun 1967. Namun
demikian, perkembangan PICU di Amerika
Serikat, bahkan dunia, tidak lepas dari
didirikannya The Johns Hopkins Pediatric
Intensive Care Unit.
The Johns Hopkins Pediatric Intensive
Care Unit didedikasikan bagi perawatan anak-
anak yang mengalami sakit yang mengancam
jiwa serta pasien pascaoperasi. Pada tahun
1977, Mark C. Rogers menjadi asisten profesor
anestesi dan pediatri di The Johns Hopkins
University School of Medicine dan Direktur
Pediatric Intensive Care Unit di Johns Hopkins
Hospital. Saat itu, unit tersebut hanya
berkapasitas delapan tempat tidur, dengan
tenaga perawat yang sangat terbatas. Dalam
perjalanannya, tim ini diperkuat oleh Dr.
Steven Nugent, yang direkrut dari Children’s
Hospital of Philadelphia (CHOP), dan Dr. James
Robotham, yang merupakan anggota tim
paru anak.
Dalam perjalanannya, Johns Hopkins
memelopori program fellowship PGD selama
2-3 tahun, yaitu pendidikan klinis 1 tahun,
dilanjutkan dengan riset selama 1-2 tahun.
Program ini merupakan pembuka jalan
untuk sertifikasi, sehingga pada tahun 1985
American Board of Pediatrics mengakui
subspesialisasi baru dalam bidang Pediatric
Critical Care Medicine, yang selanjutnya juga
diakui oleh The American Boards of Medicine,
Surgery, and Anesthesiology. Namun demikian
baru tahun 1990, akreditasi pertama Pediatric
Pediatri Gawat Darurat, Menyongsong Masa Depan 3
Saat ini The Johns Hopkins PICU memiliki mekanik, inhaled Nitric Oxide (iNO), Extra
22 tempat tidur, dengan proporsi: Corporeal Membrane Oxygenation (ECMO),
sepertiga untuk pasien pascaoperasi implan alat bantu dengar, dialisis,
jantung, sepertiga untuk pasien sakit pemantauan tekanan intrakranial,
kritis dan sepertiga untuk pasien elektroensefalografi (EEG), plasmaferesis, dan
pascaoperasi mayor lainnya. Rumah ultrafiltrasi veno-venous berkelanjutan.
sakit ini merupakan pusat trauma dan Di Amerika Latin, PICU pertama kali
transplantasi pada anak. Penyakit dikembangkan di Peru dan Venezuela pada
kritis yang ditangani meliputi gagal tahun 1972, diikuti oleh Brazil pada tahun
nafas akut, kelainan kongenital 1974. Hingga tahun 2004, di Brazil terdapat
kompleks, gagal jantung, gagal ginjal 107 NICU dan PICU dengan populasi anak
dan hati, syok, infeksi berat, penyakit sebesar 2,6 juta. Pendanaan PICU tersebut
metabolik, asma derajat serangan berasal dari organisasi amal (15%),
berat, kejang, henti jantung, institusi swasta (46%), dan institusi
kegawatan susunan saraf pusat dan pemerintah (46%) dengan kapasitas berkisar
koma diabetikum. Selain itu, unit ini antara 2-20 tempat tidur. Hal menarik di sini
juga menangani pasien anak adalah banyaknya PICU yang dikelola oleh
pascaoperasi bedah saraf, ortopedi, dan ahli neonatologi dibandingkan pediatric
THT. Unit perawatan luka bakar intensivist, serta area geografi dengan populasi
juga tergabung dalam PICU, penduduk sedikit justru memiliki unit dengan
khususnya di negara bagian kapasitas terbesar.
Maryland, Amerika Serikat.
Salah satu PICU pertama di Asia
Hingga kini, The Johns didirikan di Chulalongkorn Medical School ,
Hopkins PICU diperkuat oleh tim Thailand pada tahun 1968. Setelah itu,
multidisiplin yang telah berturut-turut didirikan PICU di Siriraj
berpengalaman dalam menjalankan Medical School (1970), dan Ramathibodi
prosedur mutakhir, antara lain ventilasi Medical School (1973). Saat ini, di
Thailand terdapat 12 fakultas kedokteran Ruang Unit Perawatan Intensif pertama
yang masing-masing memiliki satu PICU. mulai dibangun dengan desain dari
Selain itu, terdapat 21 rumah sakit di bawah Australia. Pada tahun 1975, empat dokter
Kementrian Kesehatan Masyarakat yang yang baru menyelesaikan pendidikan
sebagian besar memiliki fasilitas PICU. spesialisasi Ilmu Kesehatan Anak diminta
untuk memperkuat unit tersebut. Keempat
SEjARAh PERKEMbANGAN PEDIATRI dokter tersebut adalah Dr. Imral Chair, Dr.
GAwAT DARURAT DI INDONESIA Darlan Darwis, Dr. Gusti Rusepno Hasan,
Perkembangan kedokteran PGD terus dan Dr. Adnan S. Wiharta. Namun, karena
berkembang dengan adanya kemajuan yang Dr. Adnan mengundurkan diri, hanya tiga
pesat di bidang farmakologi dan teknologi. dokter yang kemudian dikirim ke
Di Indonesia, perjalanan tersebut bermula Departemen Anestesiologi untuk menjalani
dari impian Profesor Sutedjo, Kepala pelatihan di bidang perawatan intensif selama 6
Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) bulan.
FKUI-RSCM, untuk membangun sebuah Untuk mempersiapkan tenaga perawat,
rumah sakit khusus anak pada tahun 1971. satu orang perawat bagian anak RSCM
Saat itu Profesor Odang, yang juga seorang diberangkatkan ke Australia. Di negeri
dokter spesialis anak, menjabat sebagai kangguru itu, ia mendapat pelatihan khusus
direktur Rumah Sakit Cipto bidang keperawatan intensif. Perawat tersebut
Mangunkusumo. juga mendapatkan amanah untuk mendidik
Untuk memenuhi impian tersebut, teman sejawat perawat di ICU Anak
salah seorang staf departemen IKA, Dr. Yani RSCM. Dengan bantuan dokter serta
A. Kasim, dikirim oleh Profesor Sutedjo ke perawat dari Unit Perawatan Intensif Dewasa
Departemen Anestesiologi FKUI-RSCM dan Departemen IKA sendiri, pelatihan
untuk mempelajari ilmu anestesi anak. diberikan kepada 14 orang perawat dari
Namun, Profesor Kelan, Kepala Departemen berbagai ruang rawat bagian anak selama 1
Anestesiologi saat itu mengatakan bahwa bulan, meliputi teori dan praktik dengan
ilmu anestesi anak belum dikembangkan menggunakan alat-alat boneka latihan yang
secara khusus. Oleh sebab itu, Dr. Y. A. tersedia.
Kasim selanjutnya mempelajari ilmu anestesi Setelah melewati 2 tahun masa
umum. Pada tahun yang sama, dengan pembangunan fisik dan pembentukan tenaga
bantuan biaya dari pemerintah Australia, kerja, pada tahun 1976, unit perawatan
Departemen Anestesiologi mengembangkan intensif anak mulai beroperasi. Namun,
Unit Perawatan Intensif di RSCM. karena tidak mendapat persetujuan dari
Pada tahun 1972, kepemimpinan RSCM Prof. Rukmono selaku direktur RSCM, unit
beralih dari Profesor Odang kepada Profesor ini diberi istilah Unit Perawatan Khusus,
Rukmono, yang ternyata tidak menyetujui yang berada di luar struktur organisasi
rencana pembangunan rumah sakit khusus Rumah Sakit. Dengan demikian, sebagai unit
anak tersebut. Profesor Sutedjo kemudian yang swasembada, upaya pengembangannya
mengalihkan rencana pengembangan anestesi dijalankan dengan dana yang dihimpun
anak menjadi pembangunan Unit Perawatan sendiri. Pengembangan yang dimaksud,
Intensif Anak pada 1973. Satu tahun termasuk mengirimkan anggota staf unit untuk
kemudian, setelah menyelesaikan mendalami ilmu perawatan intensif di luar
pendidikan anestesiologinya, Dr. Y. A. negeri.
Kasim mulai merealisasikan rencana Pada tahun 1980, Dr. Imral
tersebut. mendapatkan kesempatan memperdalam
ilmunya di Ziekenhuis Rijkuniversiteit, Gent,
Belgia selama 6 bulan. Disusul oleh Dr. Rusepno yang diterbangkan
ke Amerika Serikat pada tahun 1981, untuk tersebut menemui hambatan: ijin dari FKUI tidak
menambah pengetahuannya di Pittsburgh keluar
University Children Hospital. Dua tahun
kemudian, Dr. Darlan berkesempatan
mengikuti kegiatan pembelajaran perawatan
intensif anak di Hospital des Enfant Malade,
Paris, Perancis selama 1 tahun. Sedangkan,
Dr. Abdul Latief yang bergabung pada tahun
1982, berangkat ke Perth, Australia untuk
secara khusus mendalami ilmu perawatan
intensif neonatus.
Pada tahun 1983 di Semarang, Dr.
Tatty Ermin Setiati, seorang dokter spesialis
anak lulusan Semarang, yang telah
mendapat pendidikan di Sofia Children
Hospital, Rotterdam, mendirikan Unit
Perawatan Intensif Anak yang kedua di
Indonesia.
Sehubungan dengan maraknya kasus
demam berdarah dengue (DBD), pada tahun
1987, Dr. Rusepno menggagas pembangunan
sebuah clinical research centre dengan
fokus pada DBD sebagai bagian dari Unit
Perawatan Intensif RSCM. Untuk itu beliau
meminta bantuan Project Hope dan
bekerjasama dengan Laboratorium NAMRU.
Pada penilaian awal yang dilakukan oleh
tim Project Hope, dirumuskan dua masalah
dalam penanganan DBD di Jakarta, yaitu
masalah pencegahan infeksi serta kualitas
perawatan dan peralatan rumah sakit yang
kurang. Oleh sebab itu, dikirimlah sebuah
tim dari Amerika Serikat yang terdiri dari dokter,
perawat, respiratory therapist serta biomedical
engineer untuk meninjau serta membagi
ilmunya dengan staf Unit Perawatan
Intensif. Kepala Perawat (Rusli Sidabutar,
AMK) dan wakilnya (Lili Agustina, AMK)
turut diberangkatkan ke Amerika Serikat untuk
menjalani kegiatan magang selama 3 bulan.
Sarana fisik juga diperlengkap dengan bantuan
pengiriman tempat tidur, ventilator, serta
peralatan perawatan intensif lainnya.
Pada tahun yang sama, Dr. Rusepno
meninggal dunia sehingga tanggung jawab
proyek ini dipindahkan ke tangan Dr.
Imral. Sayangnya rencana penelitian DBD
karena melibatkan dokter dari Amerika pertama di RS Ibu dan Anak Harapan Kita.
Serikat yang akan bekerja di Unit Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, saat itu,
Perawatan Intensif selama minimal 1 Neonatal Intensive Care masih bergabung
tahun. Namun, proyek ini menjadi dengan Pediatric Intensive Care Unit. Neonatal
cikal bakal dijadikannya Unit Intensive Care di RS Dr. Cipto
Perawatan Intensif IKA FKUI-RSCM Mangunkusumo selanjutnya mulai berdiri
sebagai pusat pelatihan perawat sendiri pada tahun 1996 setelah Dr. Idham
intensif anak sampai sekarang. Amir dan Dr. Eric Gultom menyelesaikan
Pada tahun 1988, Unit pendidikan neonatal intensivist di Australia.
Perawatan Intensif mendapatkan Pada awalnya perkembangan Neonatal
suntikan dua tenaga baru, Dr. Harry Intensive Care Unit agak tersendat. Dr.
Purwanto dan Dr. Antonius H. Rinawati Rohsiswanto dan Dr. Risma Kerina
Pudjiadi. Keduanya kemudian Kaban, staf muda bagian Ilmu Kesehatan
menjalani pelatihan di Departemen Anak, ikut belajar ke Australia, mendalami ilmu
Anestesiologi RSCM dan Cardiac Neonatal Intensive. Sekembalinya dari
Centre RS Jantung Harapan Kita, Australia, pada tahun 2003, Dr. Rinawati
selama 6 bulan di tiap rumah sakit. Rohsiswatmo bersama Dr. Idham Amir dan
Setelah itu, seperti anggota staf unit staf perinatologi senior lainnya,
sebelumnya, keduanya juga mengembangkan Neonatal Intensive Care Unit
mendapatkan pelatihan perawatan yang modern di RS Cipto Mangunkusumo.
intensif di luar negeri. Kali ini di Cita-cita mereka terwujud pada tahun 2004.
University of Washington, Seattle, Pada tahun 2006, Dr. Risma Kerina Kaban,
Amerika Serikat pada tahun 1989 dan memperkuat tim Neonatal Intensive Care Unit
1990. RS Dr. Cipto Mangunkusumo.
Setelah mendapat pelatihan di Pada tahun 2006, Pediatric Cardiac
ICU Anak RSCM, pada tahun 1986 Intensive Care Unit di RS Jantung Harapan
didirikan Neonatal ICU yang Kita menjadi
satu unit tersendiri dengan dimotori oleh Dr. telah menurunkan mortalitas balita antara 10
Novik Budiwardhana, yang sebelumnya telah hingga 100 kali lipat.
mendalami ilmu perawatan intensif anak
di Royal Children Hospital, Melbourne pada
tahun 2004. Dr. Eva Miranda kemudian ikut
bergabung dan menjalani pendidikan
tambahan di Hospital for Sick Children di
Toronto, Canada pada tahun 2007. Pada
awalnya unit ini merupakan bagian dari Unit
Post Operative Cardiac Care yang dibidani
oleh Dr. Iqbal Mustafa, Dr. Yusuf Rachmat,
dan Dr. Heru Samudro.
Sejak tahun 2000, ICU anak di
Indonesia telah aktif berpartisipasi dalam
World Federation Pediatric Intensive and
Critical Care Society, dengan Dr. Antonius
H. Pudjiadi sebagai national ambassador.
Pertemuan tahunan Pediatric and Neonatal
Intensive Care nasional saat ini menjadi
tolok ukur kemajuan PICU dan NICU di
Indonesia. Pertemuan tahunan ini mulai
diselenggarakan sejak tahun 2007 dengan
dukungan Ikatan Dokter Anak Indonesia dan
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia.

ARAhAN MASA DEPAN PEDIATRI


GAwAT DARURAT DI INDONESIA
Dalam 100 tahun terakhir ini, telah terjadi
penurunan mortalitas anak yang dramatis di
negara maju. Pediatric Intensive Care mempunyai
peranan yang cukup besar dalam pencapaian
prestasi ini. Seiring dengan berkembangnya
teknik ventilasi mekanik, mortalitas balita
menurun dari 29% menjadi 7%. Di
Amerika Serikat, Pediatric Intensive Care
Unit (PICU) berperan penting dalam
penurunan angka mortalitas sebesar 5 kali.
Namun demikian biaya yang dibutuhkan
untuk mencapainya amat besar, tidak
terjangkau sebagian besar negara
berkembang. Di negara miskin dengan
tingkat kematian balita amat tinggi, tindakan
medis sederhana seperti imunisasi,
perbaikan status gizi, penggunaan antibiotik
dan penggunaan obat inotropik ternyata
Karena itu World Federation of Pediatric (CPAP) pada gawat napas.
Intensive Care and Critical Care Societies 3. Negara industri sedang berkembang
menganjurkan agar pelayanan anak sakit Prioritas pelayanan ditingkatkan lagi
gawat dibagi dalam dengan intubasi dan penggunaan
4 tingkat sesuai dengan tingkat kemajuan ventilator mekanik, resusitasi tahap
ekonomi negara dan angka mortalitas balita: lanjut, penggunaan cairan koloid,
1. Bukan negara industri dengan mortalitas penggunaan inotropik, pengembangan
balita > 30/1000 pusat rujukan tersier serta
Prioritas pelayanan hanya meliputi transportasinya, penggunaan parameter
pelayanan kesehatan dasar seperti: saturasi vena sentral sebagai target
pemberian air susu ibu, imunisasi, proses resusitasi, penggunaan antibiotik yang
melahirkan yang bersih, penyediaan air tepat,mengeliminasi fokus infeksi dengan
bersih, suplementasi vitamin A dan zink tindakan operasi, tatalaksana hiperglikemia,
dan penggunaan antibiotik pada kasus penggunaan intravenous immunoglobulin
tertentu. (IVIG), lung protection strategy dan dialisis
2. Bukan negara industri dengan mortalitas untuk sepsis berat.
balita < 30/1000 4. Negara industri maju
Prioritas pelayanan ditingkatkan dengan Prioritas ditingkatkan lagi dengan
penggunaan cairan resusitasi isotonik, kemampuan pemantauan curah jantung
albumin untuk resusitasi malaria berat, invasive, penggunaan teknologi ECMO,
larutan glukosa dan natrium untuk continuous renal replacement therapy
cairan rumat, penggunaan antibiotik dan (CRRT), plasmaferesis, High Frequency
antimalaria dini serta penggunaan Oscillator (HFO) dan iNO.
nasal continuous positive airway pressure
Indonesia berada dalam kelompok negara 6. Pembangunan, setidaknya, satu PICU
industri sedang berkembang, bersama 111 tingkat menengah di setiap provinsi yang
negara lainnya, termasuk India, China, negara- akan menjadi pusat rujukan pelayanan
negara di Amerika Selatan dan Tengah, kesehatan anak di tingkat yang lebih
negara- negara Teluk dan Timur Tengah, Asia rendah.
Tenggara, Pakistan, Rusia, Afrika Tengah
dan Utara. Namun demikian, Indonesia 7. Pembangunan PICU berstandar
memiliki wilayah yang luas dan penduduk internasional sebagai pusat rujukan
yang amat beragam. Berdasarkan kelompok tertinggi, sekaligus berperan dalam upaya
tempat tinggal, tingkat pendidikan dan peningkatan kesehatan global untuk
penghasilan, mortalitas bayi dan balita di memberikan pelayanan maksimal, pada
Indonesia mempunyai variasi yang amat besar. rumah sakit (RS) tipe B dan A
Berdasarkan tempat tinggal, yang dibedakan dimungkinkan untuk mengembangkan
menjadi urban dan rural, mortalitas bayi pelayanan dengan kekhususan. Untuk
bervariasi antara 32-52%, berdasarkan itu terbuka pula kemungkinan untuk
tingkat pendidikan, antara 23-67%, dan pengembangan Neonatal ICU dan PICU
berdasarkan penghasilan 17-61%. Karena yang mempunyai kekhususan seperti
besarnya variasi ini, upaya pengembangan PICU khusus penyakit menular, PICU
PICU nasional harus memiliki strategi khusus bedah, PICU khusus penyakit
yang tepat. Kemajuan di bidang ekonomi saraf dan metabolik dll.
serta mutu dan jumlah tenaga profesional di Demi memudahkan perencanaan
bidang kesehatan mengakibatkan Indonesia pembangunan, maka disusunlah pedoman
pantas pula memandang pasar global sebagai nasional pelayanan PICU yang berisi
peluang bagi industri kesehatan Indonesia. petunjuk tentang sarana dan peralatan medis,
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka kompetensi tenaga medis, fasilitas penunjang,
rencana strategis kebijakan pengembangan hingga indikasi masuk, keluar atau kriteria
pelayanan pediatric intensive nasional rujukan pasien. Pedoman ini tentu saja
adalah sebagai berikut: besar manfaatnya bagi penyelenggara
pendidikan, bahkan juga bagi penyedia
1. Peningkatan mutu dan pelayanan kesehatan tenaga/lowongan kerja.
tingkat terendah, puskesmas hingga
posyandu agar mampu meningkatkan Pada RS tipe C atau tingkat pelayanan
derajat kesehatan, melakukan pendidikan lebih rendah, PICU selayaknya mampu
kesehatan dan memberikan semua memberikan pelayanan suportif yang
pelayanan dasar kesehatan anak. menyelamatkan nyawa, seperti penggunaan
ventilator mekanik, cairan resusitasi dan obat
2. Pengembangan sistem pelayanan kesehatan
vasoaktif, hingga pasien menjadi stabil
terpadu dan berjenjang, termasuk sistem
setidaknya selama 4-12 jam. Pasien yang
pelayanan gawat-darurat khusus anak serta
membutuhkan tindakan diagnosis dan
sistem rujukannya.
terapeutik lebih jauh, atau membutuhkan
3. Meningkatkan ketrampilan dan kemampuan pemantauan yang lebih invasif dan lama,
akademis pemberi jasa pelayanan harus dirujuk ke RS tipe B atau A. Pada RS
kesehatan. tipe B, PICU harus mampu melakukan
4. Pengembangan sistem rewards yang lebih pelayanan paripurna hingga indikasi
baik untuk menjamin kesejahteraan dan perawatan di PICU tidak ada lagi. Di RS tipe
rasa aman pemberi jasa pelayanan A, PICU mampu melayani kasus-kasus
kesehatan. khusus dengan tingkat kesulitan lebih tinggi
5. Pengembangan sistem asuransi kesehatan lagi, seperti pasca bedah jantung terbuka,
nasional. transplantasi, pasien yang membutuhkan
tindakan khusus seperti CRRT, bawaan kompleks, dll.
ECMO, kasus dengan kelainan
DAfTAR PUSTAKA tomorrow. Jakarta: Perdici; 2009. h.19-24.
1. Committee on Hospital Care and Pediatric 4. Pudjiadi AH. Pediatric intensive care di
Section of the Societ y of Critical Care Indonesia: antara mimpi dan kenyataan. Dalam:
Medicine. Guidelines and levels of care for ICU: yesterday, today and tomorrow. Jakarta:
pediatric intensive care unit. Pediatrics. Perdici; 2009. h.92-5.
1993;92:166-75. 5. Rogers MC. The history of pediatric intensive
2. Moss MM. Physical design and personnel care around the world. Dalam: Nichols DG,
organization of the PICU. Dalam: Nichols penyunting. Rogers’ textbook of pediatric
DG, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h.3-17.
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h.46-55. 6. Rosenberg DI, Moss MM. Guidelines and
3. Pudjiadi AH. Sejarah unit perawatan intensif levels of care for pediatric intensive care units.
anak FKUI-RSCM. Dalam: ICU: yesterday, Pediatrics. 2004;114:1114-25.
today and
2 Penjaminan Mutu Pelayanan PGD
Chairul Yoel

Isu kualitas di bidang pelayanan kesehatan


satu juta pasien setiap tahunnya menjadi
(health care quality) bukanlah merupakan korban dari kesalahan medis dan menyebabkan
sesuatu hal yang baru. Isu ini juga selalu kematian lebih dari 100 ribu pasien.
terkait dengan isu keamanan pasien (patient Kematian akibat kesalahan medis disebutkan
safety), bahkan sebagian besar lebih besar dari jumlah total seluruh
berpendapat bahwa keamanan pasien justru kematian akibat kecelakaan lalu lintas,
menjadi dimensi utama dari mutu pelayanan. jatuh, tenggelam dan kecelakaan
Hippocrates berabad-abad lalu telah penerbangan.
mengungkapkan hal tersebut dalam
pernyataannya yang sangat dikenal di dunia Di tengah pesatnya perkembangan
kedokteran: primum non nocere - yang ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran,
pertama ternyata tidak selalu diimbangi dengan
, jangan membahayakan. Walaupun isu tersebut penerapan berbagai kemajuan tersebut
telah dikenal berabad-abad sebelumnya, dalam pelaksanaan praktik pelayanan
namun upaya untuk memfasilitasi kesehatan. Sebagian besar dokter pada
peningkatan mutu pelayanan dan keamanan dasarnya memahami risiko yang mungkin
pasien baru mengalami percepatan dalam timbul pada pasien akibat tidak
dua abad terakhir ini, khususnya sejak diterapkannya prinsip perbaikan mutu dalam
1990-an. Hal ini tidak terlepas dari pelaksanaan pelayanan. Sering mereka
meningkatnya perhatian dan tekanan berpendapat bahwa tanggung jawab ini
masyarakat tentang isu keamanan dan kualitas berada di tangan pihak administratif rumah
pelayanan kesehatan. Tuntutan dari masyarakat sakit. Para dokter lebih terfokus pada
dan berbagai pihak pemangku kepentingan mengidentifikasi, mengetahui dan
semakin tajam terhadap tersedianya pelayanan mengajarkan berbagai praktik- praktik terbaik
kesehatan yang berkualitas serta adanya dari perspektif fisiologis dan efikasi,
keterbukaan informasi mengenai pembiayaan ketimbang menerapkan praktik-praktik
sektor pelayanan kesehatan. tersebut secara efektif dan nyata terhadap
pasien yang berada di lingkungan pelayanan
Di Amerika Serikat, dari laporan yang kesehatan.
dikeluarkan oleh Institute of Medicine
(IOM), Institute for Health Care Di Intensive Care Unit (ICU)
Improvement dan Agency for Healthcare termasuk Pediatric Intensive Care Unit
Research and Quality (AHRQ), menggaris (PICU)/pelayanan pediatrik gawat darurat,
bawahi tentang temuan sejumlah kesalahan masalah mutu pelayanan dan keamanan
medis dan gap yang sering terjadi dalam pasien menjadi masalah yang krusial.
pelaksanaan pelayanan kesehatan serta Pelayanan perawatan anak sakit kritis
keamanan pasien. Pada tahun 1999, IOM memiliki risiko yang tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya kesalahan. Hal ini
mengeluarkan laporan berjudul To Err Is
antara lain disebabkan oleh penggunaan
Human, yang memperkirakan bahwa sekitar
teknologi kedokteran yang semakin banyak
dan kompleks, pelaksanaan perawatan yang
Penjaminan Mutu Pelayanan PGD 9

rumit dan membutuhkan ketelitian, proses permasalahan terjadinya


pengambilan keputusan dan intervensi yang
harus dilakukan secara cepat, perkembangan
pesat dalam pengobatan dan praktik perawatan
anak, dan besarnya anggota tim yang
harus terlibat dalam proses perawatan
(perawat, konsultan, dan lain-lain).

bATASAN PENjAMINAN MUTU


The Institute of Medicine (IOM)
mendefinisikan mutu pelayanan kesehatan
sebagai derajat peningkatan pelayanan
kesehatan mencapai tingkatan luaran
(outcomes) yang diinginkan, serta tetap
sesuai secara profesional dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Keamanan pasien didefinisikan sebagai
kondisi terbebas dari cedera, baik akibat suatu
perawatan ataupun akibat kesalahan medis.
Kissoon, mendefinisikan penjaminan
mutu pelayanan kesehatan sebagai proses yang
terorganisasi dalam menilai/mengevaluasi
kinerja pelayanan untuk memperbaiki
praktik dan mutu pelayanan. Disebutkan
bahwa komponen penjaminan mutu terdiri
dari sistem, struktur, proses dan hasil
(outcome). Sistem merupakan komponen
yang mutlak harus dimiliki. Perbaikan luaran
akan diperoleh apabila perawatan
dilaksanakan oleh unit perawatan kritikal
yang memenuhi standar yang ditetapkan.
Luaran yang lebih baik akan dihasilkan
dari unit dengan level ketelitian yang tinggi,
volume pasien yang besar, dan ketersediaan
sumber daya/fasilitas yang cukup. Komponen
struktur berhubungan dengan tata kelola
pelaksanaan pelayanan. Luaran akan
membaik bila unit dipimpin seorang
direktur purna waktu dan terlatih dibidang
perawatan kritikal, unit yang menganut
format tertutup dan diperkuat staf yang
kredensial. Tersedianya tim perawatan
intensif dan adanya rasio perawat yang
sesuai sehingga dapat mengurangi beban
perawat. Dalam proses pelayanan harus
diidentifikasi sejumlah faktor yang dapat
mempengaruhi dan sering menjadi akar
10 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
berbagai kejadian yang tak diharapkan, dari proses pelayanan, misalnya angka
antara lain masalah komunikasi, kematian ataupun kepuasan pelanggan
profesionalisme/ kompetensi, ketersediaan terhadap pelayanan yang diberikan.
sistem informasi, pembakuan prosedur, Dalam menilai kualitas pelayanan
keamanan pasien dan lingkungan, dan kesehatan, diperlukan sejumlah pengukuran
beberapa faktor lainnya. secara kuantitatif untuk menetapkan luaran
Salah satu model pertama dalam dan kualitas pelayanan. Namun kendala
mengevaluasi kualitas pelayanan kesehatan utama, khususnya di bidang pelayanan
dikembangkan oleh Donabedian kesehatan anak adalah terbatasnya penelitian
mengemukakan 3 elemen yang harus dinilai yang terstruktur dalam menentukan
dari suatu pelayanan kesehatan yakni parameter dari luaran tersebut. Lohr
struktur, proses dan luaran (outcome). mendefinisikan outcome dengan 5D yakni death,
Elemen struktur terkait dengan unit disease, disability, discomfort dan
pelayanan kesehatan/rumah sakit, dissatisfaction. Agar luaran menjadi suatu
kualifikasi provider kesehatan dan ukuran yang valid, parameter tersebut
karakteristik pasien yang dilayani. Misalnya haruslah erat keterkaitannya dengan proses
rumah sakit memiliki kemampuan untuk perawatan. Dengan kata lain perubahan
memberikan pelayanan Magnetic Resonance proses perawatan secara langsung akan
Imaging (MRI), unit memiliki struktur dan mempengaruhi luaran. Kemampuan untuk
ketenagaan yang jelas. Elemen proses mengukur dan mengikuti secara terus
merujuk kepada teknis dan tata cara menerus outcome dari pelayanan menjadi
melaksanakan pelayanan kesehatan, misalnya bagian yang paling kritikal dalam upaya
evaluasi pelayanan yang diberikan memperbaiki suatu sistem pelayanan.
berdasarkan panduan klinik/prosedur yang Berbagai parameter terkait kualitas dan
dibakukan. Elemen outcome (luaran) outcome pelayanan digunakan sebagai tolak
berhubungan dengan hasil akhir (end point) ukur penilaian. Oleh
sebab itu parameter yang digunakan haruslah 6. Menganut kesetaraan
jelas, dapat didefinisikan, relevan dan sesuai
dengan kebutuhan spesifik dari penilaian.
Benchmarking adalah upaya membandingkan
nilai kualitas dan outcome yang dimiliki dengan
nilai yang dimiliki institusi pelayanan sejenis
lainnya.
Mengurangi keberagaman dalam struktur
organisasi dan proses perawatan merupakan
strategi yang penting untuk memperbaiki
outcome dan memacu peningkatan kualitas.
Adanya dokter yang berfungsi sebagai
direktur unit dan keberadaan tenaga
intensivis 24 jam di semua unit akan
mengurangi keberagaman struktur
organisasi berbagai unit perawatan intensif.
Proses perawatan yang menggunaan
panduan klinik dan tahapan kerja yang
jelas akan mengurangi keberagaman
proses.
Untuk melakukan upaya perbaikan
kualitas pelayanan kesehatan ada 3 pertanyaan
penting yang harus dijawab. Pertanyaan
pertama adalah perubahan dalam aspek apa
yang akan dilakukan, pertanyaan kedua:
bagaimana memastikan bahwa perubahan
yang dilakukan akan membawa perbaikan,
dan pertanyaan ketiga : bentuk-bentuk
perubahan apa yang dilakukan sehingga
tercapai perbaikan. Dalam melakukan
perbaikan kualitas pelayanan dapat digunakan
acuan kerangka kerja siklus PDSA (Plan-Do-
Study-Act), yakni merencanakan,
melaksanakan, mengevaluasi dan memperbaiki
kembali suatu kegiatan upaya perbaikan Mutiara bernas
kualitas pelayanan.
primum nonnocere: yang pertama,
The Institute of Medicine (IOM) dalam
jangan membahayakan.
laporannya yang berjudul Crossing the Quality
Chasm, menyebutkan terdapat 6 dimensi dari Penjaminan mutu merupakan proses
kualitas yang menjadi target utama dari yang terorganisasi dalam menilai dan
upaya perbaikan kualitas, yakni: mengevaluasi kinerja pelayanan dalam
1. Aman rangka memperbaiki praktik dan mutu
pelayanan.
2. Efektif dan berkesesuaian
Benchmarking:membandingkan nilai
3. Terpusat pada pasien
kualitasdanluaranyang dimiliki
4. Tepat waktu
dibandingkan dengan pencapaian
5. Efisien, dan institusi pelayanan sejenis
Yang dimaksud dengan aman angka kejadian kesalahan medis dapat
adalah pasien terhindar dari diturunkan hingga separuhnya dengan
kesalahan medis yang mungkin menerapkan sistem teknologi. Kendala
timbul selama menjalani perawatan. utama adalah membengkaknya biaya
Kesalahan medis bisa dalam bentuk investasi yang diperlukan. Perawatan efektif
kesalahan diagnosis, kesalahan menggambarkan bahwa pelayanan yang
terapeutik dan kesalahan diberikan memiliki landasan ilmiah dan
pencegahan. Kejadian infeksi berkesesuaian, tidak substandar ataupun
nosokomial, prosedur tanpa berlebih-lebihan. Pelayanan yang terpusat
pembakuan dan upaya pencegahan kepada pasien diartikan sebagai suatu
komplikasi perawatan yang tidak pelayanan yang respek dan respon terhadap
berjalan menambah panjangnya daftar kebutuhan pasien; proses pengambilan
penyebab ketidak amanan pelayanan. keputusan sejauh mungkin melibatkan
The Institute of Medicine (IOM) pasien dan keluarganya. Tepat waktu
menganjurkan pemanfaatan sistem menggambarkan suatu pelayanan segera
teknologi untuk mengurangi tanpa keterlambatan, baik dalam tindakan
terjadinya berbagai kesalahan dalam ataupun masa tunggu pelayanan pasien.
penanganan pasien. Diperkirakan Efisien adalah pola pelayanan yang
menghindari penggunaan sumber daya
Penjaminan Mutu Pelayanan PGD 11

secara berlebihan tanpa mengorbankan kualitas memprediksi


pelayanan. Pelayanan juga harus menganut
prinsip kesetaraan yakni tidak membedakan
perlakuan atas gender, etnis, geografis dan
status sosioekonomi.

SeveritY SCore DAN PREDIKSI


MORTAlITAS
Salah satu standar yang berhubungan
dengan outcome di suatu unit perawatan
intensif adalah sistem skoring dan prediksi
mortalitas. Disamping digunakan untuk
menilai beratnya penyakit dan prognosis
pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif, sistem ini sangat membantu
pengambilan keputusan klinis, pembakuan
penelitian dan membandingkan kualitas
pelayanan pasien antar unit perawatan
intensif.
Secara umum sistem skoring
menggunakan nilai numerik ataupun skor
beratnya sakit untuk sejumlah variabel klinis.
Dengan perhitungan skor dapat diprediksi
outcome klinis, biasanya prediksi mortalitas
pasien. Hubungan antara skor tingkat
beratnya sakit dengan outcome sudah
diperoleh sebelumnya secara empiris
berdasarkan suatu data besar dari populasi
pasien ICU. Oleh sebab itu sistem skoring
tidak dapat digunakan untuk kelompok
pasien yang nonkritikal. Dua prinsip yang
harus dipertimbangkan dalam penggunaan
sistem skoring prediksi, yaitu pertama sistem
skoring harus dapat mengukur luaran yang
penting (misal mortalitas). Kedua, sistem
harus mudah digunakan dan tidak
menghabiskan waktu serta biaya yang banyak.
Dua karakteristik harus pula dimiliki oleh
sistem skoring ini yakni diskriminasi dan
kalibrasi. Diskriminasi adalah akurasi dari hasil
prediksi terhadap hasil observasi, dianggap
sempurna bila hasil prediksi sesuai dengan
hasil observasi. Kalibrasi menggambarkan
kemampuan sistem skoring melakukan prediksi
(mortalitas) dalam rentang yang luas.
Dengan kata lain akurasi tetap tinggi untuk
12 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
mortalitas pada berbagai tingkatan, baik untuk variabel dengan 23 rentang variabel, dan telah
memprediksi mortalitas pada 90% maupun disempurnakan lebih jauh menjadi PRISM
pada 20 %. III, yang digunakan dalam 12 jam pertama
Penggunaan sistem skoring sudah perawatan. Sistem skoring PIM, yang hampir
dikenal cukup lama dalam setara dengan MPM pada kelompok dewasa,
pelayanan/perawatan kesehatan, baik untuk memiliki 8 variabel yang penilaiannya
menilai beratnya penyakit, prediksi, dilakukan pada saat satu jam pertama
menentukan tindakan, maupun untuk setelah pasien kontak dengan tim ICU.
penelitian dan pembanding kualitas Penggunaan PIM menjadi kurang popular
pelayanan. Beberapa contoh awal dibanding PRISM karena memiliki beberapa
pengembangan bentuk sistem skoring kelemahan. Penilaian hanya dilakukan satu
adalah Apgar score dan skala koma kali pada saat kontak pertama dengan tim
Glasgow. Sistem skoring yang sering ICU sehingga kemungkinan bias menjadi
digunakan di lingkungan ICU, antara lain, besar. Disamping itu pengertian kontak
Acute Physiologic and Chronic Health pertama dengan tim ICU dalam satu jam
Evaluation (APACHE), Simplified Acute pertama kurang cukup tegas antara sewaktu
Physiologic Score (SAPS), Mortality transportasi atau pada saat telah berada di
Prediction Model (MPM), dan Sequential ruang gawat darurat. Pengalaman penggunaan
Organ Failure Assessment score (SOFA). MPM pada kelompok dewasa menunjukkan
Untuk kelompok anak, yang paling sering bahwa pemakaian skoring yang berdasarkan
digunakan adalah skoring PRISM (the parameter fisiologis (misal APACHE)
Pediatric Risk of Mortality) dan PIM (the ternyata memberikan hasil yang lebih baik dan
Pediatric Index of Mortality). Skor PRISM konsisten dibanding pemakaian MPM.
Skoring lain yang juga sering dipakai di PICU
yang merupakan derivat dari PSI (Physiologic
Stability Index), pada awalnya memiliki 14 adalah Paediatric Logistic Organ
Dysfunction (PELOD) score
(http://www.sfar.org/scores2/pelod2.html), yang tempat berkembangnya infeksi nosokomial
digunakan sebagai instrumen yang valid di suatu rumah sakit dan menjadi
untuk menentukan beratnya disfungsi multi penyebab kesakitan dan kematian bermakna
organ pada pasien PICU. terhadap pasien yang dirawat. Infeksi
Harus dipahami bahwa dari sekian nosokomial merupakan salah satu indicator
banyak sistem skoring yang telah digunakan, benchmarking yang penting. Benchmarking
masing-masing tetap memiliki kelebihan tersebut meliputi angka infeksi aliran darah
dan kekurangannya. Sistem skoring terus melalui kateter intra vena (RBSI catheter-
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan related bloodstream infection rate), infeksi
perkembangan intervensi perawatan yang saluran pernafasan/pneumonia akibat
mempengaruhi luaran. Sistem skoring Acute penggunaan ventilator (VAP=ventilator
Physiologic and Chronic Health Evaluation associated pneumonia) dan infeksi saluran
(APACHE), misalnya telah dikembangkan kemih akibat penggunaan kateter urin
mulai dari APACHE II sampai APACHE (CAUTI=catheter-associated urinary tract
IV. Penyempurnaan termasuk pengurangan infection).
variabel penilaian yang digunakan, misalnya
Terdapat beberapa faktor yang
APACHE II mengurangi variabel dari 34
menyebabkan tingginya infeksi nosokomial
pada model awal menjadi 12 variabel pada
di unit perawatan intensif anak, antara
APACHE
lain:
II. Simplified Acute Physiologic Score (SAPS),
sebelumnya banyak menggunakan SAPS-II  Populasi pasien PICU berada di suatu
telah diperbaharui dengan munculnya versi lingkungan yang sarat dengan prosedur
SAPS-III. The Mortality Prediction Model II dan sistem pemantauan yang invasif;
(MPM II) adalah versi yang sering digunakan  Pasien umumnya memiliki daya tahan tubuh
pada sistem skor MPM namun versi baru yang rendah disebabkan: faktor usia
MPM- III telah pula diperkenalkan. (insidens infeksi nosokomial tertinggi
dijumpai pada usia 2 bulan – 1 tahun),
penggunaan kemoterapi, stres kronik
Mutiara bernas dan kurangnya mobilitas;
Skor PRISM III dan PELOD banyak  Penggunaan berbagai jenis antimikrobial
dipakai sebagai instrumen prediksi yang menyebabkan PICU menjadi tempat
mortalitas dan derajat keparahan berkembangnya organisme patogen
penyakit. Kedua sistem skor ini sangat multiresisten yang sangat sulit diatasi
membantu pengambilan keputusan klinis, (pemberian antibiotika lebih dari 10 hari
meningkatkan kemungkinan mendapat
pembakuan penelitian dan membandingkan
infeksi nosokomial 5 kali lipat).
kualitas pelayanan pasien antar unit
perawatan intensif  Pemberian nutrisi parenteral (22 kali lebih
sering mendapat infeksi nosokomial).
Infeksi nosokomial yang paling sering
INfEKSI NOSOKOMIAl DI PICU dijumpai di unit perawatan intensif
adalah:
Infeksi nosokomial adalah infeksi
mikroorganisme invasif yang menimbulkan  Infeksi aliran darah melalui kateter intra
peradangan patogen yang didapatkan pasien vena (CRBSI = catheter-related
sewaktu berada di rumah sakit. Unit bloodstream infection)
perawatan intensif anak (PICU) menjadi  Infeksi saluran pernafasan/pneumonia
salah satu lokasi paling penting akibat penggunaan ventilator (VAP =
ventilator associated pneumonia), dan
 Infeksi saluran kemih akibat penggunaan dan mengi,
kateter urin (CAUTI = catheter-
associated urinary tract infection)
Dari data yang dihimpun oleh National
Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) dan
Pediatric Prevention Network (PPN), antara
tahun 1992-2004 di USA didapatkan angka
kejadian infeksi nosokomial di PICU
sekitar 6-12 %. Kelompok studi di Eropa
bahkan mendapatkan angka kejadian di
PICU mencapai 23.5 %. Data NNIS dan
PPN juga menunjukkan bahwa jenis infeksi
nosokomial yang paling sering adalah
CRBSI, diikuti kemudian oleh VAP dan
CAUTI. Kelompok studi di Eropa mendapatkan
hasil yang agak berbeda, VAP merupakan
jenis terbanyak diikuti CRBSI, CAUTI dan
luka pasca bedah. Sebagai perbandingan,
CAUTI merupakan jenis yang terbanyak
dijumpai pada kelompok usia dewasa.
Jenis mikroorganisme penyebab infeksi
nosokomial di PICU juga terus berubah
dari waktu ke waktu. Yang paling
menyulitkan adalah munculnya strain yang
multiresisten. Di berbagai unit dijumpai
Pseudomonas, Acinetobacter, Klebsiella yang
resisten terhadap beta-laktamase dan
aminoglikosida. Sejak tahun 2004 dijumpai
pula Methiciline Resistant Staphylococcus
Aureus (MRSA), Vancomycine resistant
Enterococcus, dan multidrug resistant
Pseudomonas dan Enterobacter.
Ventilator associated pneumonia (VAP)
didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi
pada seorang pasien setelah penggunaan
ventilasi mekanik selama 48 jam sejak
dirawat di rumah sakit. Adanya VAP harus
dicurigai bila sekurang-kurangnya pada 2
kali serial foto dada dijumpai gambaran
infiltrat baru, progresif dan persisten pada
pasien yang telah dirawat dengan ventilasi
mekanik lebih dari 48 jam. Disamping
temuan radiologis, pasien harus pula
memenuhi kriteria klinis dan laboratoris,
antara lain demam >38oC tanpa sebab yang
jelas, leukopenia atau leukositosis, sputum
purulen, apnea atau takipnea, batuk, ronki,
perburukan pertukaran gas, meningkatnya pemasangan kateter;
kebutuhan O2 dan dukungan ventilator,  Bekerja secara aseptik pada waktu
bradi atau takikardia. Pemeriksaan serial pemasangan kateter;
dari bronchoalveolar lavage (BAL) sangat  Menggunakan sistem tertutup atau port
membantu menegakkan diagnosis
de entrée/penghubung kateter seminimal
mikrobiologis. Catheter- related bloodstream
mungkin;
infection (CRBSI) terjadi setelah adanya
kontaminasi dan kolonisasi pada kateter  Menggunakan kateter khusus (anti
pembuluh darah. Sumber kolonisasi septic/ antimicrobial impregnated
umumnya adalah dari kulit dan pangkal catheter)
(hub) kateter. Mikroorganisme akan  Manipulasi sistem seminimal mungkin
bermigrasi sepanjang permukaan luar selama penggunaan.
kateter sampai akhirnya memasuki aliran Strategi yang tepat dan pelaksanaan
darah. Patogenesis CAUTI mirip dengan konsisten dalam upaya mengendalikan
CRBSI, yaitu sumber kolonisasi dari daerah infeksi nosokomial akan dapat memperbaiki
perineum bermigrasi melalui permukaan outcome PICU, meningkatkan keamanan
luar kateter sampai di kandung kencing. pasien, mengurangi pembiayaan yang tidak
Strategi pencegahan infeksi nosokomial diperlukan dan memperpendek masa
yang disebabkan CRBSI dan CAUTI perawatan. Suatu studi pada kelompok pasien
antara lain adalah : anak menunjukkan bahwa infeksi nosokomial
 Segera mencabut kateter bila tidak lagi melalui aliran darah akan meningkatkan
diperlukan; tambahan biaya perawatan sebesar $ 46,000
dan memperpanjang masa perawatan di
 Mencuci tangan secara benar sebelum
PICU menjadi 14,6 hari.
UPAyA PENINGKATAN EfISIENSI antara LOS yang diobservasi dengan LOS
DI PICU yang diprediksi. Selain dapat mengukur
Dalam proses pengelolaan pelayanan PICU, efisiensi penggunaan sumber daya, LOS rasio
kualitas tak dapat dipisahkan dari keamanan baku juga dapat digunakan sebagai indikator
dan efisiensi. Disamping menurunkan angka pembanding dengan unit lain yang sejenis,
kesakitan dan kematian, intensivist pediatric khususnya dalam penggunaan sumber daya.
juga harus berperan untuk mengurangi atau Bahkan LOS rasio baku saat ini telah menjadi
meniadakan kejadian infeksi nosokomial. standar benchmarking kinerja dan kualitas
Kegagalan pencegahan infeksi nosokomial perawatan ICU.
akan melipat gandakan pembiayaan dan Sejumlah faktor diidentifikasi sebagai
masa perawatan pasien di PICU. faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi
Para ekonom bidang kesehatan selalu suatu unit perawatan intensif, antara lain:
mendorong setiap unit pelayanan untuk  Jumlah tempat tidur
menggunakan sumber daya kesehatan secara  Kriteria masuk dan keluar
cost-effective dan efisien tanpa mengorbankan  Kebijakan transfer
kualitas. Mereka mendefinisikan nilai (value)  Keberadaan intensivis 24 jam
suatu pelayanan dengan kualitas dibagi biaya  Desain ICU dan pola ketenagaan
atau cost (V=Q/C). Nilai perawatan akan  Pola kerja dokter dan perawat
meningkat bila unit mampu menghasilkan luaran  Organisasi pengelola
yang sesuai dengan menggunakan Unit perawatan intensif dengan jumlah
pembiayaan yang minimum. Dengan kata tempat tidur kurang dari 12 dinilai tidak
lain, efisiensi suatu unit perawatan intensif efisien, sebaliknya unit diatas 20 tempat
akan tercapai bila luaran klinik yang optimal tidur akan menyebabkan berbagai kendala
bisa diperoleh dengan penggunaan sumber penyediaan sumber daya sehingga mengurangi
daya yang rendah. efisiensi. Berbagai data menunjukkan bahwa
Oleh sebab itu untuk menentukan keberadaan tenaga intensivis selama 24 jam
efisiensi suatu unit perawatan intensif perlu dapat menurunkan pembiayaan, morbiditas
ditetapkan indikator yang menggambarkan dan mortalitas di suatu unit perawatan intensif.
kinerja kliniknya dan tolak ukur penggunaan Karakteristik organisasi pengelola ICU juga
sumber dayanya. Metode yang banyak sangat mempengaruhi efisiensi, termasuk
digunakan untuk menilai efisiensi konsep tersedianya tim critical care yang solid
penggunaan sumber daya di unit perawatan dan pimpinan (medical directors) yang mampu
intensif adalah berdasarkan pemakaian menggerakkan dan mengarahkan pengelolaan
tindakan (terapi) khusus di lingkungan unit bersangkutan.
ICU seperti ventilator mekanik dan
pemberian zat vasoaktif. Sistem skoring
klinik adalah cara yang umum digunakan Mutiara bernas:
untuk mengendalikan berbagai variabel pasien • Efisiensi suatu unit perawatan intensif
(fisiologis, diagnostik dan lain-lain) sehingga akan tercapai bila outcome klinis
dimungkinkan untuk melakukan perbandingan yang optimum bisa diperoleh dengan
parameter yang standar dengan unit lain penggunaan sumber daya yang rendah.
yang sejenis. Length of stay (LOS)
• Berbagai data menunjukkan bahwa
merupakan cara yang umum dilakukan
untuk mengukur penggunaan sumber keberadaan tenaga intensivis selama 24
dayadisuatu unit perawatan intensif. Biasanya jam dapat menurunkan pembiayaan,
digunakan LOS rasio baku (the standardized morbiditas dan mortalitas di ICU.
LOS ratio), yakni perbandingan
KEPUSTAKAAN Last updated: December 28, 2009, http://www.
1. Cholis TJ, Pollack MM. Scoring system in uptodate.com
critical care. Dalam: Wheeler DS, Wong HR, 8. Marcin JP, Bratton SP. Outcome and qualit y:
Shanley TP, penyunting. Pediatric critical care definitions, assessment, and analysis. Dalam:
medicine Wheeler DS, Wong HR, Shanley TP,
: basic science and clinical evidence. London: penyunting. Pediatric critical care medicine :
Springer-Verlag London Limited; 2007 basic science and clinical evidence. London:
Springer-Verlag London Limited; 2007
2. Harrison AM. Maximizing value in pediatric
ICUs. Dalam: Rowin ME, Spinella PC, 9. Niedner NF. The science and methodology of
penyunting. Current concept in pediatric qualit y improvement and patient safet y.
critical care. Societ y of Critical Care Dalam: Spinella PC, Nakagaw TA, penyunting.
Medicine; January 2010 Current concept in pediatric critical care.
3. Institute of Medicine Committee on Qualit y Societ y of Critical Care Medicine; January
of Health Care in America. To err is human: 2011
building a safer health system. Kohn LT, 10. Pollack MM, Patel KM, Ruttimann UE.
Corrigan JM, Donaldson MS, penyunting. PRISM III – an updated pediatric risk of
Washington DC: National Academy Press; mortalit y score. Crit Care Med. 1996; 24:743-
2000 52
4. Institute of Medicine Committee on Qualit y of 11. Richards MJ, Edwards JR, Culver DH, Gaynes
Health Care in America. Crossing the qualit y RP. The National Nosocomial Infections
chasm: a new health system for the 21st Surveillance System : nosocomial infections in
century. Washington DC: National Academy pediatric intensive care units in the United
Press; 2001 States. Pediatrics. 1999;103 (4)
5. Kelley MA. Predictive scoring systems in the 12. Rowin ME, Vohra A, Christenson JC.
intensive care unit. Dalam: Parsons PE, Wilson Nosocomial infection in intensive care unit.
KC. Last updated: June 7, 2010, http://www. Dalam: Wheeler DS, Wong HR, Shanley TP,
uptodate.com penyunting. Pediatric critical care medicine :
basic science and clinical evidence. London:
6. Kissoon N. Qualit y assurance in ICU. South
African Critical Care Congress, 2010 (http:// Springer-Verlag London Limited; 2007
www.critcare.co.za/Summit/15th%20-%20Fri/ 13. Slonim AD, Pollack MM. Integrating the
Session04/ Qualit y_Assurance.pdf) Institute of Medicine’s six qualit y aims into
7. Marchaim D, Kaye K. Infections in the pediatric critical care: relevance and
intensive care unit. Dalam: Harris AB, Elinor applications. Pediatr Crit Care Med 2005;
L, penyunting. 6:264 –9
Aspek Medikolegal di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Anak 17

3 Aspek Medikolegal di Unit


Perawatan Intensif (Intensive Care
Unit/ICU) Anak
Munar Lubis, Novik Budiwardhana

medikolegal
ETIKA DAN MEDIKOlEGAl
TATA lAKSANA KASUS
KEGAwATAN
Berbagai kasus malpraktik menunjukkan
perlunya perbaikan pendidikan medikolegal
bagi para dokter anak. Proses pelayanan
kegawatan merupakan hal yang sulit.
Dalam situasi gawat darurat, waktu
observasi pasien sangat pendek, ditambah
lagi terjadi perubahan- perubahan klinis
yang tak terduga. Dalam hal proses,
kegawatan pediatrik ini menjadi lebih rumit
dikarenakan berbagai faktor, termasuk
pertimbangan legal yang khusus.
Identifikasiisu-isulegal iniakanmeningkatkan
kemampuan dokter untuk merasa lebih
nyaman dalam lingkungan kerja yang sudah
rumit. Lebih penting lagi, pengetahuan
tentang prinsip- prinsip legal memberikan
waktu tambahan untuk dapat fokus pada
kualitas pengobatan saat krisis daripada
pertimbangan legal sebelum memutuskan
untuk melakukan suatu tindakan. Jika
terdapat pertentangan antara pertanyaan
hukum dengan pengobatan, hal terbaik
adalah melakukan konsultasi dengan otoritas
legal yang kompeten. Jika waktu tidak
memungkinkan akses tersebut, maka tidak
dapat dihindari bahwa pelayanan medis
disesuaikan dengan kemampuan terbaik dari
dokter. Bagaimanapun luaran (outcome)
legal pada satu kasus tertentu, seorang
dokter harus merasa nyaman dalam standar
praktik profesional dan dapat menyesuaikan
diri.
Dalam pelayanan kegawatdaruratan di
bidang pediatrik terdapat beberapa isu
yang meliputi masalah persetujuan pihak yang dapat dimintai persetujuannya,
tindakan medis, penganiayaan anak, maka dokter tetap wajib melakukan tindakan
pengakhiran bantuan penunjang hidup, apapun yang terbaik bagi pasien tersebut.
dan penentuan kematian. Pasien anak sering dibawa berobat ke unit
Persetujuan tindakan medis gawat darurat tanpa disertai oleh pengasuh
untuk anak dibawah umur dilakukan yang legal. Penanganan medis yang tepat
oleh orang tua atau walinya, di pada pasien anak dengan keadaan urgen
Indonesia batas kedewasaan yang atau darurat seharusnya tidak ditunda karena
dianut adalah sudah berusia 20 menunggu memperoleh consent.
tahun. Persetujuan itu diberikan Di ICU anak terdapat beberapa isu
oleh pihak yang berhak setelah khusus yang membutuhkan landasan kuat
memperoleh informasi dari dokter dalam bidang medikolegal. Isu khusus itu
yang menangani pasien. Dalam keadaan antara lain
darurat medis sementara tidak ada
Mutiara bernas:
• Seorang dokter hanya dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum bila terbukti
lalai atau menelantarkan pasien yang
seharusnya ditolong.
• Jika terdapat pertentangan antara
pertanyaan hukum dengan
pengobatan, hal terbaik adalah
melakukan konsultasi dengan otoritas
legal yang berkompeten.
penganiayaan anak dan pengakhiran hanya harus mempertanggungjawabkan
bantuan penunjang hidup. terbatas pada hal-hal yang dapat diduga
Penganiayaan anak merupakan isu sebelumnya saja. Dengan demikian seorang
khusus yang saat ini juga sering dijumpai di dokter hanya dapat diminta
Indonesia. pertanggungjawaban hukum bila terbukti lalai
Sering dijumpai orang tua yang atau menelantarkan pasien yang seharusnya
melakukan penganiayaan terhadap anaknya ditolongnya.
berulangkali membawa anaknya ke unit
gawat darurat, sementara penganiayaan itu
sendiri senantiasa terjadi kembali. Dokter Mutiara bernas:
anak harus selalu mencurigai adanya
Malpraktik adalah suatu keadaan ketika
penganiayaan anak (child abuse) bila
seorang dokter tidak mematuhi standar
menemukan gejala-gejala seperti trauma
perawatan (standard of care), kurangnya
berulang.
pengetahuan atau keterampilan, atau
Pengakhiran bantuan penunjang hidup kelalaian dalam menangani pasien yang
bagi anak yang secara medis tidak dapat
merupakan penyebab langsung dari
lagi diobati merupakan masalah pelik bagi
kecederaan yang diderita pasien.
dokter dan akan dibahas secara tersendiri
dalam tulisan ini.
Isu malpraktik yang saat ini tengah DAfTAR PUSTAKA
merebak perlu disikapi dengan arif oleh profesi 1. American Academi of Pediatrics. Consent for
medis, khususnya mengenai mispersepsi yang emergency medical services for children and
terjadi baik oleh masyarakat maupun dokter adolescents. Pediatrics. 2003:111;703-6
sendiri. Malpraktik medis adalah suatu keadaan 2. Herkutanto. Aspek medikolegal dalam
ketika seorang dokter tidak mematuhi pelayanan kegawatdaruratan pediatrik.
standar perawatan (standard of care), Dipresentasikan pada International Symposium
kurangnya pengetahuan atau keterampilan, Pediatric Challenge 2006, Medan, Mei 1-4,
atau kelalaian dalam menangani pasien 2006
yang merupakan penyebab langsung dari 3. McAbee GN, Deitschel C, Berger. Pediatric
kecederaan yang diderita pasien. Keadaan medicolegal education in the 21st century.
ini harus dibedakan dengan “kejadian tak Pediatrics. 2006:117;1790-2
diharapkan” (untoward result), yaitu terdapat 4. Rice MM. Medicolegal issues in pediatric and
kondisi yang memang tidak dapat diduga adolescent emergencies. Emerg Med Clin North
(unforeseen) oleh dokter. Untuk untoward Am. 1991:9;677-95
result ini dokter tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum, karena dokter
4 Evaluasi Diagnosis dan Tata
laksana Penurunan Kesadaran
pada Anak
Setyabudhy, Irawan Mangunatmadja, Saptadi Yuliarto

Penurunan kesadaran pada anak merupakan obstudansi, letargi, stupor, dan koma (Tabel
kedaruratan yang dapat mengancam jiwa 4.1). Skala Koma Glasgow digunakan sebagai
sehingga membutuhkan diagnosis dan tata parameter untuk menilai tingkat kesadaran
laksana secara cepat dan tepat. Untuk secara kuantitatif. Sadar (kompos mentis)
memberikan tata laksana yang adekuat adalah keadaan tanggap terhadap lingkungan
dibutuhkan pengetahuan yang baik dan diri sendiri di lingkungan tersebut
mengenai manifestasi klinis, pemeriksaan fisis baik saat ada atau tidak ada rangsangan.
neurologis, dan kemungkinan penyebab. Obtundasi (apatis) adalah penurunan
Pemeriksaan penunjang membantu kesadaran ringan yang ditandai dengan
menegakkan diagnosis pasti penyebab berkurangnya perhatian terhadap lingkungan
penurunan kesadaran sehingga dapat dilakukan sekitar dan reaksi yang lambat terhadap
tata laksana spesifik berdasarkan etiologi. rangsangan. Pada kondisi ini, komunikasi
Tujuan utama tata laksana penurunan masih dapat dilangsungkan sebagian. Pada
kesadaran adalah mencegah kerusakan otak keadaan letargi (somnolen), pasien tampak
lebih lanjut. mengantuk atau tidur, akan tetapi masih
dapat dibangunkan dengan rangsangan suara
atau nyeri. Saat sadar pasien dapat
DEfINISI berkomunikasi dengan pemeriksa kemudian
tertidur kembali. Stupor (sopor) adalah
Kesadaran memerlukan fungsi normal dari
gangguan kesadaran yang menyerupai tidur
kedua hemisfer otak dan ascending reticular
dalam dan hanya dapat dibangunkan
activating system (ARAS) mulai dari sebagian dengan rangsang nyeri yang kuat.
midpons sampai hipotalamus anterior. Sadar Komunikasi tidak ada atau minimal. Derajat
(fully allert) adalah keadaan bangun kesadaran terbaik tetap tidak normal dan
(wakefulness) dan tanggap (awareness) tanpa rangsangan kesadaran kembali seperti
terhadap diri sendiri dan lingkungan. Korteks,
saraf otonom, dan stimulus dari batang otak
bertanggung jawab terhadap keadaan Tabel 4.1. Derajat penurunan kesadaran
bangun dan tanggap. Pada keadaan ini anak
dapat melakukan aktivitas kompleks yang Keadaan Definisi
sesuai dengan usianya dan dapat berorientasi Obtundasi Kesulitan dalam mempertahankan keadaan
sadar
baik terhadap orang lain, tempat, waktu, dan
letargi Respons terhadap stimulus selain nyeri
situasi.
Stupor Respons hanya terhadap nyeri
Tingkat kesadaran dapat dinilai secara Koma Tidak respons terhadap nyeri
kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat Dikutip dari: fenichel GM. Clinical pediatric neurology,
kesadaran secara kualitatif dibagi atas sadar, 2005.
Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak 19

sebelumnya. Koma adalah gangguan kesadaran mencari etiologi penurunan kesadaran. Riwayat
yang berat, pasien tampak tidur dalam tanpa trauma, penyakit sebelumnya, atau obat-obatan
dapat dibangunkan dan tidak bereaksi terhadap yang dikonsumsi dapat ditanyakan bila
berbagai rangsangan, baik taktil, verbal, visual, dicurigai adanya intoksikasi obat. Penyakit
maupun rangsangan lainnya. jantung atau neurovaskular perlu
dipertimbangkan sebagai penyebab
penurunan kesadaran akut, sedangkan pada
EvAlUASI DIAGNOSIS penurunan kesadaran subakut perlu
dipertimbangkan kemungkinan adanya
Riwayat klinis kelainan metabolik. Riwayat kesehatan,
Pada saat awal, pemeriksaan dan gangguan neurologis sebelumnya, riwayat tinja
penanganan kedaruratan yang meliputi jalan berdarah, muntah, atau riwayat yang tidak
napas (airway), pernapasan (breathing), dan sesuai dengan cedera yang terlihat
sirkulasi darah (circulation) harus dilakukan (kekerasan pada anak) juga perlu
secara cepat dan cermat. Simultan dengan dievaluasi.
penanganan ini, dapat digali riwayat klinis
yang penting untuk penanganan pasien.
Pemeriksaan fisis
Setelah pasien stabil dapat ditanyakan riwayat
klinis pasien secara lebih detil. Riwayat Pada prinsipnya, pemeriksaan fisis umum
klinis sangat penting untuk tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan
neurologis dan dapat dikerjakan secara
simultan. Pemeriksaan fisis umum dan
neurologis meliputi:

Tabel 4.2. Penilaian Skala Koma Glasgow pada anak

Tanda Skala Koma Glasgow Skala Koma Glasgow-Modifikasi untuk Anak Nilai
buka mata Spontan Spontan 4
Terhadap perintah Terhadap suara 3
Terhadap rangsang nyeri Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak ada Tidak ada 1
Respons verbal Terorientasi Sesuai usia, terorientasi, ikuti obyek, senyum sosial 5
bingung Menangis tetapi dapat dibujuk 4
Disorientasi Rewel, tidak kooperatif, tanggap lingkungan
Kata-kata tidak tepat Rewel, tangis persisten, dapat dibujuk tidak konsisten 3
Suara tidak dimengerti Tangis tak terbujuk, tak tanggap lingkungan, gelisah, 2
agitasi
Tidak ada Tidak ada 1
Respons motorik Mengikuti perintah Mengikuti perintah, gerakan spontan 6
Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri 5
Menghindar nyeri Menghindar nyeri 4
fleksi abnormal terhadap nyeri fleksi abnormal terhadap nyeri 3
Ekstensi abnormal terhadap nyeri Ekstensi abnormal terhadap nyeri 2
Tidak ada Tidak ada 1
Nilai total terbaik 15
Dikutip dari:Teasdale G. lancet.1974;2:81
Tabel 4.3. Penyebab tersering perubahan tekanan darah dan laju nadi anak tidak sadar

Tekanan darah
-Tinggi Laju dan irama nadi/denyut jantung
Peningkatan tekanan intrakranial - Tidak teratur
Perdarahan subarakhnoid Amfetamin
Intoksikasi Antikolinergik
Amfetamin Trisiklik
Antikolinergik Digitalis
Simpatomimetik - lambat
- Rendah Penghambat
Syok spinal beta Narkotik
Kegagalan adrenal - Cepat
Keracunan Alkohol
Narkotika Amfetamin
Sianida Teofilin
Sedatif atau hipnotik
Dikutip dari: Myer EC, dkk. Principles of child neurology,
1996.

Jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi kesadaran ringan jika nilai skala sebesar 12–14,
(ABCs management) sebagai tindakan resusitasi gangguan kesadaran sedang jika nilai skala 9-
awal 11, dan koma jika ≤8 (Tabel 4.2).
1. Pola napas
2. Derajat kesadaran Tanda vital
3. Pemeriksaan saraf kranialis Pemeriksaan tanda vital yang meliputi laju
4. Pemeriksaan motorik, meliputi postur, dan irama nadi/denyut jantung, laju dan pola
aktivitas motorik spontan, dan respons napas, suhu, serta tekanan darah sangat
terhadap rangsang membantu untuk menentukan penyebab
5. Pemeriksaan sistemik lainnya yang penurunan kesadaran. Beberapa penyebab
dilakukan secara sistematik yang perlu dipikirkan berdasarkan kelainan
tanda vital dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Penilaian derajat kesadaran dengan Skala


Koma Glasgow Pola napas
Penentuan tingkat kesadaran agar mudah Pola napas normal membutuhkan interaksi
dinilai secara obyektif ditentukan dengan normal antara batang otak dan korteks
skala numerik. Skala Koma Glasgow yang asli serebri. Batang otak berperan dalam
sebenarnya ditujukan untuk menilai koma mengatur keinginan napas (drive),
pada trauma kepala dan sebagian sedangkan korteks berperan dalam mengatur
bergantung pada respons verbal sehingga pola napas. Kontrol metabolik, oksigenasi, dan
kurang sesuai bila diterapkan pada bayi dan keseimbangan asam basa dikontrol dengan
anak kecil. Oleh karena itu diajukan beberapa menurunkan pusat batang otak antara
modifikasi untuk anak. Penilaian dilakukan medula dan midpons. Gangguan metabolik
dengan penilaian numerik terhadap respons dan hipoksia dapat diatasi dengan perubahan
terbaik buka mata, fungsi motorik, dan pola pernapasan, sehingga pola napas yang
respons lisan atau verbal. Skala berkisar abnormal mencerminkan gangguan
antara 3–15, disebut gangguan neurologis yang berat. Penentuan lokasi
kelainan berdasarkan pola napas
Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak 21

Tabel 4.4. Pola pernapasan disertai dengan penurunan fungsi susunan saraf pusat
Cheyne-stokes Pola napas apnea disertai hiperpnea secara teratur bergantian
Gangguan serebral bilateral atau diensefalon (metabolik atau ancaman
herniasi) hiperventilasi Asidosis metabolik, hipoksia atau keracunan (amfetamin, kokain,
organofosfat)
Gangguan di daerah midpons atau midbrain
Apneuristik berhentinya inspirasi dalam waktu yang lama
Kelainan pons atau medula
Ataksik Pola napas tidak
teratur Kelainan pada
medula
hipoventilasi Alkohol, narkotik atau sedatif (kelainan di
ARAS) Dikutip dari: Myer EC, dkk. Principles of child neurology,
1996.

Pernapasan Cheyne - StoKes

Hiverventilasi sentral
hiperventilasi
neurogenetiK sentral neurogenik

Pernapasan Cluster

Pernapasan AtaKsiK

Gambar 4.1. Gambaran skematis pola napas

tidak selalu pasti. Penting bagi klinisi parasimpatis berasal dari midbrain.
untuk mengenal kelainan pola napas sehingga
mampu memperkirakan derajat kerusakan
yang terjadi. Karakteristik pola napas dapat
dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.1.

Ukuran dan reaktivitas pupil serta


gerak bola mata
Reaksi pupil (konstriksi dan dilatasi) diatur
oleh sistem saraf simpatis (midriasis) dan
parasimpatis (miosis). Serabut simpatis
berasal dari hipotalamus, sedangkan serabut
22 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Ensefalopati metabolik, intoksikasi tidak reaktif. Keterlibatan saraf otak III
glutamat atau barbiturat, dan lesi di menyebabkan dilatasi pupil yang terfiksasi.
daerah diensefalon menyebabkan pupil Pin point pupil ditemukan akibat lesi di
mengecil (konstriksi) tapi tetap daerah pontin (Gambar 4.2).
memberikan respons terhadap cahaya. Lesi di Kelumpuhan asimetri lebih sering
midbrain mempengaruhi serabut simpatis ditemukan bila penurunan kesadaran
dan parasimpatis sehingga pupil terfiksasi di disebabkan kelainan struktural. Jaras yang
tengah dan terjadi konstriksi pupil yang mengatur
Tabel 4.5. Gangguan refleks pupil dan gerakan bola mata pada penurunan kesadaran
Dilatasi pupil
Satu sisi: tumor, ancaman herniasi, pascakejang, atau lesi di saraf otak III
Dua sisi: pascakejang, hipotermia, hipoksia, kerusakan menetap, ensefalitis, atau syok akibat perdarahan
Konstriksi pupil
Menetap: kelainan pons dan gangguan metabolik
Reaktif: kelainan medula oblongata dan gangguan metabolik
Midsized pupil
Menetap: herniasi sentral
Gerakan bola mata
Deviasi ke arah destruksi hemisfer, menjauhi fokus kejang dan menjauhi lesi batang otak
Ke bawah dan keluar (down and out): diabetes neuropati, fraktur kompresi tulang tengkorak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan meningitis di daerah pons

NETABOLIK

Kecil ReaKtif
kecil reaktif

DiensefaliK TeKtal
Kecil
kecil ReaKtif
reaktif pupil besar terfiKsir, hippus

Pons
Nervus III (UnKus) gingoint
dilatasi, terfiKsir

Midrain
midgosition,
terƒiksir

Gambar 4.2. letak lesi disertai reaksi kedua pupil pada kesadaran menurun
KANAN KIR
Korte I
Ks

Midbrai
n
II
I
NL
Pon F
VIs
PPRF

VIII

Labirin
Medula

Gambar 4.3. jaras konjugasi mata


jaras dari korteks frontal kanan menurun, melewati garis tengah, bersinaps di paramedian pontin reticular formation
(PPRf) kiri. Serabutnya merangsang saraf otakvI kiri (mata kanan bergerak ke lateral kiri). Kemudian sinyal
bergerak ke atas melalui medial longitudinal fasciculus (Mlf) menuju saraf otak III kanan (mata kanan bergerak ke
medial kanan).

disebabkan
gerakan bola mata melalui fasikulus
longitudinal medialis, yang berhubungan
dengan saraf otak III, IV, dan VI di batang
otak. Penjelasan di atas dapat lebih dipahami
dengan mempelajari jaras gerakan mata ke
satu arah seperti yang terlihat pada
Gambar 4.3.
Jaras dari korteks frontal kanan menurun,
melewati garis tengah, bersinaps di
paramedian pontin reticular formation
(PPRF) kiri. Serabutnya merangsang saraf
otak VI kiri (mata kanan bergerak ke lateral
kiri). Kemudian sinyal bergerak ke atas
melalui medial longitudinal
Gerakan bola mata abnormal pada
pasien dengan penurunan kesadaran yang
oleh gangguan anatomis yang lokasinya dengan tes kalori (Gambar 4.4). Doll’s eye
sama dengan bagian kaudal ARAS. Beberapa movement dikatakan baik bila bola mata
keadaan yang menyebabkan gangguan refleks bergerak berlawanan dengan arah gerakan
pupil dan gerakan bola mata dapat dilihat kepala. Hal ini berarti batang otak dalam
pada Tabel 4.5. kondisi baik. Pada tes kalori, air es dialirkan
Refleks bola mata pada pasien pada membran timpani yang intak, jika
dengan penurunan kesadaran dinilai batang otak baik maka mata akan bergerak
dengan Doll’s eye movement (DEM) dan ke arah telinga yang dirangsang.
Batang otaK
utuh

H2O dingin H2O dingin H2O dingin H2O panas

NLF
(bilateral)

H2O dingin H2O panas H2O dingin H2O panas

Lesi
Batang otaK
bawah

H2O dingin H2O dingin H2O dingin H2O panas

Gambar 4.4. Refleks bola mata pada kesadaran menurun

Tabel 4.6. Manifestasi klinis berdasarkan tingkat gangguan di susunan saraf pusat

Tingkat gangguan
pernapasan Respons motorik Pupil Gerak bola mata Pernapasan
Kedua korteks Withdrawal Miosis, reaktif Spontan, konjugasi Cheyne-stokes
gerakan
horizontal Cheyne-stokes
Talamus Dekortikasi fiksasi di tengah Spontan, konjugasi
gerakan
horizontal

Midbrain Dekortikasi atau Tidak reaktif Ke lateral (kerusakan N III) Cheyne-stokes


deserebrasi
Pons Deserebrasi Pin point pupil Ke medial (kerusakan NvI) biot
Medula oblongata Hipotonia, fleksi Miosis dan dapat Tidak terdapat gerakan Ataksik
terjadi sindrom bola mata
horner
Dikutip dari: bleck TP. Textbook of clinical neurology, 2003.
Tabel 4.7. Penyebab tersering penurunan kesadaran pada anak
Infeksi atau inflamasi Struktural Metabolik, nutrisi, atau toksin
Infeksi Trauma hipoksik-iskemik
Meningitis bakterialis Kontusio Syok
Ensefalitis Perdarahan intrakranial Gagal jantung atau paru
Riketsia Diffuse axonal injury Tenggelam
Protozoa Neoplasma Keracunan CO, sianida
Infestasi cacing Penyakit vaskular Strangulasi
Inflamasi Infark otak Kelainan metabolik
Ensefalopati sepsis Perdarahan otak Sarkoidosis, hipoglikemia
vaskulitis Kelainan kongenital Gangguan cairan-elektrolit
Demielitis Trauma tulang belakang Kelainan endokrin
Acute demyelinating Infeksi fokal Asidosis
encephalomyelitis Abses hiperamonia
Sklerosis multipel Serebritis Uremia, porfiria
hidrosefalus Penyakit mitokondria
Kejang Nutrisi
Defisiensi tiamin
Defisiensi piridoksin,
asam folat
Toksin eksogen
Obat-obatan
logam berat
Ensefalopati hipertensif
Ensefalopati luka bakar

Respons Motorik Manifestasi klinis berdasarkan tingkat


Fungsi motorik dapat memberikan informasi gangguan
tentang lokasi lesi. Hemiparesis yang disertai Berdasarkan uraian di atas, secara garis
refleks otot yang abnormal memperlihatkan besar manifestasi klinis neurologis berdasarkan
lokasi lesi kontralateral jaras kortikospinal. tingkat gangguan pada susunan saraf pusat
Fenomena kortikal akibat kerusakan pada atau dapat dilihat pada Tabel 4.6. Evaluasi
di atas nukleus tertentu pada batang otak diagnosis tingkat gangguan kesadaran perlu
dapat menyebabkan: ditentukan dengan menilai respons motorik,
besar dan reaksi pupil, gerak bola mata, dan
 Dekortikasi atau posisi fleksi (lengan fleksi pola pernapasan. Dengan memantau tingkat
dan tertarik ke atas dada) disebabkan gangguan kesadaran secara berkala dapat
oleh kerusakan serebral hemisfer bilateral ditentukan prognosis pasien.
(kortikal atau sub-kortikal) atau depresi
toksik-metabolik fungsi otak dengan
fungsi batang otak yang masih baik. Pemeriksaan Penunjang
 Deserebrasi atau posisi ekstensi (lengan Pemeriksaan penujang dilakukan untuk
ekstensi dan rotasi interna) menunjukkan membantu mencari penyebab penurunan
lesi destruktif otak tengah dan pons kesadaran. Umumnya pemeriksaan darah
bagian atas. Ditemukan pula pada yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah
kelainan metabolik berat seperti tepi lengkap, elektrolit termasuk kalsium dan
ensefalopati hepatik dan ensefalopati magnesium, glukosa, pemeriksaan fungsi hati,
hipoksik anoksik. faktor koagulasi, dan uji tapis toksikologi.
Pemeriksaan khusus seperti kadar obat  Kelainan struktur otak
antikonvulsan, kadar laktat, kreatinin kinase,  Metabolik, nutrisi, atau toksin
fungsi tiroid, dan fungsi adrenal dilakukan atas
indikasi. Pemeriksaan elektrokardiografi dan
foto toraks dilakukan jika dicurigai adanya
kelainan jantung atau paru.
Pungsilumbal harus dilakukan bila
terdapat dugaan infeksi susunan saraf pusat.
Pada kasus tertentu, diperlukan
pemeriksaan CT scan kepala sebelum
dilakukan pungsi lumbal. Pada pasien infeksi
susunan saraf pusat dengan ubun- ubun yang
telah menutup, terkadang tekanan
intrakranial yang meningkat perlu
diturunkan lebih dahulu sebelum melakukan
pungsi lumbal.
CT scan kepala dipilih bila dicurigai
terdapat trauma kepala dengan komplikasi
perdarahan intrakranial, tumor atau massa
di daerah supratentorial. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) kepala dipilih
bila dicurigai adanya kelainan di daerah
serebelum, batang otak atau medula
spinalis. Kelainan pada substansia grisea,
lesi demielinisasi, iskemia, kelainan akibat
gangguan metabolik atau ensefalitis lebih
jelas terlihat dengan MRI.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
digunakan untuk mendiagnosis kejang
elektrik. Pola EEG tertentu, seperti
gelombang epileptiform pada daerah
temporal yang berlangsung periodik
menguatkan diagnosis ensefalitis herpes
simpleks. Selain itu EEG bermanfaat dalam
penilaian berkala pasien status epileptikus,
koma persisten atau pasien yang
dilumpuhkan.

Penyebab
Berdasarkan pemeriksaan fisis, neurologis, dan
pemeriksaan penunjang, dapat dibuat diagnosis
banding kemungkinan penyebab penurunan
kesadaran. Penyebab penurunan kesadaran
pada anak secara garis besar dibagi atas
(Tabel 4.7):
 Infeksi atau inflamasi
Tata laksana adanya gangguan struktur, infeksi, metabolik
atau toksisitas. CT scan kepala harus
Pendekatan tata laksana penurunan dilakukan pada setiap anak dengan
kesadaran pada anak dapat dilakukan penurunan kesadaran akibat trauma kepala
dengan mengikuti algoritme pada tertutup atau penyebab yang tidak dapat
Gambar 4.5. Tata laksana awal ditentukan dengan pasti. Peningkatan tekanan
penurunan kesadaran bertujuan intrakranial diturunkan dengan pemberian
untuk mencegah kerusakan otak manitol 20% intravena per drip dengan dosis
lebih lanjut. 0,5-1,0 gram/ kgBB selama 30 menit setiap 6–
Prinsip utama adalah 8 jam. Nalokson diberikan bila dicurigai
mempertahankan jalan napas yang adanya overdosis narkotika.
adekuat dan mempertahankan fungsi Kejang dan status epileptikus harus
kardiovaskular. Anak dengan diatasi. Perlu dipertimbangkan adanya kejang
penyebab koma yang belum jelas walaupun tidak bermanifestasi secara klinis
penyebabnya harus dilakukan (status epileptikus non-konvulsif subklinis)
pemeriksaan gula darah atau langsung sehingga ketersediaan EEG sangat penting
diberikan cairan dekstrosa 25% untuk pemantauan pasien penurunan
sebanyak 1-4 mL/kgBB, kemudian kesadaran. Bila dicurigai adanya infeksi
dievaluasi responsnya. Bila susunan saraf pusat, harus dilakukan pungsi
didapatkan perbaikan dramatis, lumbal dan diberikan antibiotik atau
maka selanjutnya diberikan infus antivirus yang sesuai.
dekstrosa 10%. Pada kesadaran yang
tidak pulih setelah pemberian infus Gangguan keseimbangan cairan-elektrolit
dekstrosa, maka hipoglikemia sebagai dan keseimbangan asam basa harus dikoreksi.
penyebab dapat disingkirkan. Hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia,
atau hipomagnesemia yang menyertai
Peningkatan tekanan penyakit sistemik jauh lebih sering
intrakranial dapat terjadi akibat menyebabkan
Jalan napas – intubasi bila SKG <8
Pernapasan – pertahankan saturasi O2
>80% Sirkulasi – pertahankan tekanan
arteri >70
Pemeriksaan kadar glukosa, elektrolit, analisis gas darah, fungsi hati, fungsi
ginjal, fungsi tiroid, darah lengkap, skrining toksikologi

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

- Hiperventilasi, manitol 0,5-1,0 gram/kgBB


- Bila tekanan intrakranial meningkat atau herniasi berikan tiamin (100 mg IV)
diikuti dengan 25 gram glukosa bila serum glukosa <60 mg/dL
- Nalokson diberikan 0,8 mg/kgBB/jam IV jika terdapat overdosis
narkotika
- Bilas lambung dengan activeted charcoal bila dicurigai keracunan obat

CT scan / MRI kepala bila dicurigai adanya kelainan struktur


otak

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis lengkap

Pertimbangkan: EEG, pungsi lumbal

Gambar 4.5. Algoritme tata laksana awal pasien dengan kesadaran menurun

koma. Asidosis atau alkalosis, baik


KESIMPUlAN
metabolik maupun respiratorik juga harus
dikoreksi. Suhu tubuh normal baik untuk Penurunan kesadaran dan koma pada anak
pemulihan dan pencegahan asidosis. merupakan suatu kedaruratan medik yang
Antipiretik yang sesuai harus diberikan untuk membutuhkan intervensi cepat dan
menurunkan demam. Agitasi dapat terencana. Prinsip pendekatan diagnostik
meningkatkan tekanan intrakranial dan penurunan kesadaran pada anak dimulai
menyulitkan bantuan ventilasi mekanik dengan evaluasi tingkat gangguan kesadaran
sehingga dapat dipertimbangkan pemberian berdasarkan besar dan reaksi pupil, gerak bola
sedatif walaupun mungkin akan menyulitkan mata, pola napas, dan respons motorik. Tata
evaluasi neurologik berkala. Pemantauan laksana awal pada penurunan kesadaran
harus dilakukan secara berkala dan adalah sama. Evaluasi riwayat penyakit,
berkesinambungan, meliputi pola pernapasan, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
ukuran pupil dan reaksi terhadap rangsangan, penunjang khusus merupakan langkah
motilitas okular, dan respons motorik selanjutnya dalam menentukan
terhadap rangsangan.
tata laksana khusus berdasarkan etiologi. 3. Cohen BH, Andresfky JC. Altered states of
Pemantauan berkala dapat menentukan consciousness. Dalam: Maria BL, penyunting.
prognosis pasien selanjutnya. Current management in child neurology. Edisi
ke-3. Hamilton: BC Decker Inc.;2005. h. 551-
62.
Mutiara bernas 4. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology. Edisi
• Penurunan kesadaran pada anak ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.
merupakan kedaruratan yang h. 47-75.
mengancam jiwa, membutuhkan 5. Hadjiloizou SM, Riviello JJ. Coma and
diagnosis dan tatalaksana cepat other states of altered awareness in children.
Dalam: David RB, Bodensteiner JR,
• Penyebab penurunan kesadaran pada Mandelbaum DE, Olson B, penyunting.
anak secara garis besar dibagi atas: Clinical pediatric neurology. Edisi ke-3. New
infeksi/ inflamasi, kelainan struktur York: DemosMedical; 2009. h. 495-506.
otak, dan metabolik/nutrisi/toksin 6. Huang LH. Coma and altered mental
• Pemeriksaan terutama ditujukan pada status. Dalam: Kirpalani H, Huang LH,
pemeriksaan tanda vital (meliputi laju penyunting. Manual of pediatric intensive
dan irama denyut jantung serta pola care. Ontario: People’s medical publishing
napas), derajat kesadaran, refleks house; 2009. h. 345- 51.
pupil, dan respons motorik 7. King D, Avner JR. Altered mental status. Clin
Ped Emerg Med. 2003;4:171-8.
• Tata laksana awal penurunan
kesadaran meliputi penanganan jalan 8. Myer EC, Watenberg N. Coma in infants
and children. Dalam: Berg BO, penyunting.
napas (airway), pernapasan (breathing),
Principles of child neurology. New York:
dan sirkulasi (circulation), baru Mc Graw-Hill; 1996. h. 303-15.
kemudian dilakukan pencarian
9. Nelson DS. Coma and altered level of
etiologi
consciousness. Dalam: Fleisher GR, Ludwig
• Tata laksana awal penurunan S, penyunting. Textbook of pediatric
kesadaran bertujuan mencegah emergency medicine. Edisi ke-6.
kerusakan otak lebih lanjut Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2010. h. 176-86.
10. Ropper AH, Samuels MA. Adams and
Victor’s, Principles of neurology. Edisi ke-9.
KEPUSTAKAAN New York: McGraw Hill; 2009. h.339-61.
11. Steven RD, Bhardwaj A. Approach to the
1. Abend NS, Kessler SK, Helfaer MA, Licht
comatose patient. Crit Care Med. 2006;34:31-
DJ. Evaluation of the comatose child. Dalam:
41.
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke 4. 12. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; consciousness and coma. Dalam: Swaiman
2008. h. 846- 61. KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting.
Pediatric neurology: principles & practice.
2. Bleck TP. Level of consciousness and
Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier;
attention. Dalam: Goetz CG, penyunting.
2006. h. 1378- 400.
Textbook of clinical neurology. Edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders; 2003. h. 3-18. 13. Ziai WC, Mirski MA. Evaluation and
management of the unconscious patient.
Dalam: Johnson RT, Griffin JW, McArthur
JC, penyunting. Current therapy in
neurologic disease. Edisi ke 6. St Louis: Mosby;
2002. h. 1-8.
5 Kejang
Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja

PATOfISIOlOGI
Kejang adalah kedaruratan neurologis yang
sering dijumpai pada praktik sehari-hari. Patofisiologi kejang pada tingkat selular
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun berhubungan dengan terjadinya paroxysmal
minimal pernah mengalami satu kali kejang. depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi
Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi pada potensial pascasinaps yang berlangsung lama
satu tahun pertama kehidupan, sedangkan (50 ms). Paroxysmal depolarization shift
64% dalam lima tahun pertama. merangsang lepas muatan listrik yang
berlebihan pada neuron otak dan
Kejang dapat sederhana, berhenti sendiri, merangsang sel neuron lain untuk
memerlukan pengobatan lanjutan, merupakan melepaskan muatan listrik secara bersama-
gejala awal suatu penyakit berat atau sama sehingga timbul hipereksitabilitas neuron
menjadi status epileptikus. Langkah awal otak.
dalam menghadapi kejang adalah memastikan
bahwa anak memang kejang. Tata laksana Paroxysmal depolarization shift diduga
kejang meliputi stabilisasi pasien, identifikasi disebabkan oleh kemampuan membran sel
etiologi, terapi sesuai dengan etiologi, dan melepaskan muatan listrik yang berlebihan,
pemantauan secara berkesinambungan. Pada berkurangnya inhibisi oleh neurotransmiter asam
makalah ini akan dibahas mengenai kejang gama amino butirat (GABA), atau
sederhana hingga status epileptikus. meningkatnya eksitasi sinaptik oleh
neurotransmiter glutamat dan aspartat melalui
jalur eksitasi yang berulang.
DEfINISI Pada pasien dengan epilepsi fokal,
terdapat sekelompok sel neuron yang
Kejang adalah manifestasi klinis yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik di muatan listrik disebut sebagai fokus
neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan
kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, merangsang sel di sekitarnya untuk
sensorik dan atau otonom. melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini
Kejang dapat dibagi atas kejang fokal merupakan transisi fokal interiktal atau
dan kejang umum. Kejang fokal berasal dari gelombang paku iktal pada elektroensefalografi.
fokus lokal di otak, dapat melibatkan sistem Manifestasi klinis bergantung pada luasnya
motorik, sensorik maupun psikomotor. sel neuron yang tereksitasi. Pasien epilepsi
Kejang umum melibatkan kedua hemisfer, umum pembentukan gelombang paku-
dapat berupa kejang non-konvulsif (absans) ombak terjadi pada strukturkorteks. Terdapat
dan konvulsif. penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan
inhibisi (gelombang ombak) pada kedua
hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular
dan talamokortikal. Status
30 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Tabel 5.1. Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang
Keadaan Kejang Menyerupai kejang
Onset Tiba-tiba Mungkin gradual
lama serangan Detik / menit beberapa menit
Kesadaran Sering terganggu jarang terganggu
Sianosis Sering jarang
Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron
Stereotipik serangan Selalu jarang
lidah tergigit atau luka lain Sering Sangat jarang
Gerakan abnormal bola mata Selalu jarang
fleksi pasif ekstremitas Gerakan tetap ada Gerakan hilang
Dapat diprovokasi jarang hampir selalu
Tahanan terhadap gerakan pasif jarang Selalu
Pasca-serangan bingung hampir selalu Tidak pernah
EEG iktal abnormal Selalu hampir tidak pernah
EEG pasca-iktal abnormal Selalu jarang
Dikutip dari: Smith Df. An atlas of epilepsy, 1998.

epileptikus terjadi akibat proses eksitasi yang panjang sangat dipengaruhi oleh jenis kejang
berlebihan berlangsung terus menerus yang pasien. Ada obat diindikasikan untuk jenis kejang
diikuti oleh proses inhibisi yang tidak tertentu, misalnya karbamazepin untuk jenis
sempurna. kejang fokal atau asam valproat untuk
kejang tipe absans. Pemilihan OAE yang
KRITERIA KEjANG salah dapat memperberat jenis kejang
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan tertentu, misalnya penggunaan karbamazepin
anamnesis dan akan lebih mudah bila serangan dan fenitoin dapat memperberat kejang
kejang tersebut terjadi di hadapan kita. Pada umum idiopatik seperti kejang absans,
awal penanganan, sangatlah penting atonik, dan mioklonik.
membedakan berdasarkan anamnesis dan Saat ini klasifikasi kejang yang
pemeriksaan fisis apakah serangan yang terjadi digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi
adalah kejang atau serangan yang menyerupai International League Against Epilepsy of
kejang. Perbedaan di antara keduanya dapat Epileptic Seizures tahun
dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.2. Klasifikasi kejang
Perlu diingat bahwa pada pasien epilepsi dapat
terjadi serangan yang menyerupai kejang, epilepsi (OAE) jangka
seperti aritmia, sinkop atau distonia. Oleh
karenanya, deskripsi akurat dari serangan
saat itu sangat penting.

KlASIfIKASI
Jenis kejang dapat ditentukan berdasarkan
deskripsi serangan yang akurat. Penentuan jenis
kejang ini sangatlah penting untuk
menentukan jenis terapi yang akan diberikan.
Pemilihan obat anti kejang/obat anti
Kejang 31
I. Kejang parsial m Absans
(fokal, lokal) Mioklonik
Kejang fokal Klonik
sederhana Tonik
Kejang parsial Tonik-klonik
kompleks Atonik
Kejang parsial yang menjadi umum III. Tidak dapat diklasifikasi
II. Keja Dikutip dari: The Commission on Classification
ng andTerminology of the International League Against
umu Epilepsy, 1981.
1981 (Tabel 5.2). Jenis kejang harus
yang berhubungan, obat-obatan, trauma,
ditentukan setiap kali pasien mengalami
gejala infeksi, gangguan neurologis baik umum
serangan. Tidak jarang ditemukan bahwa
maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat
jenis kejang saat ini berbeda dengan
kejang.
sebelumnya. Semakin banyak jenis serangan
kejang yang dialami pasien, semakin sulit Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai
penanganan kejang dan pemilihan obat anti tanda vital, mencari tanda trauma akut
kejang. kepala, dan ada tidaknya kelainan
sistemik. Pemeriksaan ditujukan mencari
cedera yang terjadi mendahului atau selama
kejang, adanya penyakit sistemik, paparan zat
ETIOlOGI toksik, infeksi, dan kelainan neurologis fokal.
Penentuan etiologi kejang berperan penting Bila dijumpai kelainan fokal, misalnya
dalam tata laksana kejang selanjutnya. Keadaan paralisis Todd’s, harus dicurigai adanya lesi
ini sangat penting terutama pada kejang intrakranial. Bila terjadi penurunan
yang sulit diatasi atau kejang berulang. kesadaran perlu dilakukan pemeriksaan
Etiologi kejang pada seorang pasien dapat lanjutan untuk mencari faktor penyebab.
lebih dari satu. Etiologi kejang yang Edema papil yang disertai tanda rangsang
tersering pada anak dapat dilihat pada meningeal menunjukkan adanya
Tabel 5.3. peningkatan tekanan intrakranial akibat infeksi
susunan saraf pusat.

Anamnesis dan pemeriksaan fisis


Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang PEMERIKSAAN PENUNjANG
baik diperlukan untuk memilih
pemeriksaan penunjang yang terarah dan Untuk menentukan faktor penyebab dan
tata laksana selanjutnya. Aloanamnesis komplikasi kejang pada anak, diperlukan
dimulai dari riwayat perjalanan penyakit beberapa pemeriksaan penunjang meliputi
sampai terjadinya kejang, dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal,
pertanyaan terarah untuk mencari elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis.
kemungkinan faktor pencetus atau penyebab Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang ini
kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat ditentukan sesuai dengan kebutuhan.
kejang sebelumnya, kondisi medis

Dikutip dari: Schweich Pj, dkk. Oski’s pediatrics,1999.


Tabel 5.3. Etiologi kejang pada anak
Kejang demam sederhana
Infeksi :
- Infeksi intrakranial: meningitis, ensefalitis
- Shigellosis
Keracunan :
- Alkohol
- Teofilin
- Kokain
Lain-lain :
- Ensefalopati hipertensi
- Tumor otak
- Perdarahan intrakranial
- Idiopatik
- Gangguan elektrolit atau dehidrasi
Gangguan metabolik : - Defisiensi piridoksin
- hipoglikemia - Gagal ginjal
- hiponatremia - Gagal hati
- hipoksemia - Kelainan metabolik bawaan
- hipokalsemia Penghentian obat anti
epilepsi Trauma kepala
a. Pemeriksaan laboratorium c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan Pemeriksaan EEG digunakan untuk
kejang berguna untuk mencari etiologi dan mengetahui adanya gelombang epileptiform.
komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan,
yang dilakukan bergantung pada kondisi khususnya interiktal EEG. Beberapa anak
klinis pasien. Pemeriksaan yang tanpa kejang secara klinis ternyata
dianjurkan pada pasien dengan kejang lama memperlihatkan gambaran EEG
adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah epileptiform, sedangkan anak lain dengan
perifer lengkap, dan masa protrombin. epilepsi berat mempunyai gambaran interiktal
Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan EEG yang normal. Sensitivitas EEG
pemeriksaan rutin pada kejang demam. Jika interiktal bervariasi. Hanya sindrom
dicurigai adanya meningitis bakterialis perlu epilepsi saja yang menunjukkan kelainan
dilakukan pemeriksaan kultur darah dan EEG yang khas. Abnormalitas EEG
kultur cairan serebrospinal. Pemeriksaan berhubungan dengan manifestasi klinis kejang,
polymerase chain reaction (PCR) terhadap dapat berupa gelombang paku, tajam
virus herpes simpleks dilakukan pada kasus dengan/atau tanpa gelombang lambat.
dengan kecurigaan ensefalitis. Kelainan dapat bersifat umum, multifokal,
atau fokal pada daerah temporal maupun
b. Pungsi lumbal frontal.
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada Pemeriksaan EEG segera dalam 24-48
pasien kejang disertai penurunan kesadaran jam setelah kejang atau sleep deprivation dapat
atau gangguan status mental, perdarahan kulit, memperlihatkan berbagai macam kelainan.
kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, Beratnya kelainan EEG tidak selalu
peningkatan sel darah putih, atau pada kasus berhubungan dengan beratnya klinis.
yang tidak didapatkan faktor pencetus yang Gambaran EEG yang normal atau
jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan memperlihatkan kelainan minimal
dalam 48 atau 72 jam setelah pungsi lumbal menunjukkan kemungkinan pasien terbebas
yang pertama untuk memastikan adanya infeksi dari kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan.
susunan saraf pusat. Bila didapatkan
kelainan neurologis fokal dan peningkatan d. Pencitraan neurologis
tekanan intrakranial, dianjurkan melakukan
pemeriksaan CT Scan kepala terlebih dahulu Foto polos kepala memiliki nilai diagnostik
untuk mencegah risiko terjadinya herniasi. kecil meskipun dapat menunjukkan adanya
fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan
The American Academy of Pediatrics otak pada trauma kepala dideteksi dengan
merekomendasikan bahwa pemeriksaan pungsi CT scan kepala. Kelainan gambaran CT scan
lumbal sangat dianjurkan pada serangan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang
kejang pertama disertai demam pada anak usia dengan riwayat trauma kepala, pemeriksaan
di bawah neurologis yang abnormal, perubahan pola
12 bulan karena manifestasi klinis meningitis kejang, kejang berulang, riwayat menderita
tidak jelas atau bahkan tidak ada. Pada anak penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal, dan
usia 12-18 bulan dianjurkan melakukan pungsi riwayat keganasan.
lumbal, sedangkan pada usia lebih dari 18
bulan pungsi lumbal dilakukan bila terdapat Magnetic Resonance Imaging (MRI)
kecurigaan adanya infeksi intrakranial lebih superior dibandingkan CT scan
(meningitis). dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau
tumor kecil di daerah temporal atau daerah
yang tertutup struktur tulang misalnya daerah
serebelum atau
batang otak. MRI dipertimbangkan pada kelumpuhan fokal, dan infeksi.
anak dengan kejang yang sulit diatasi,
epilepsi lobus temporalis, perkembangan
terlambat tanpa adanya kelainan pada CT
scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT
scan.

TATA lAKSANA
Umumnya kejang tonik klonik berhenti
spontan dalam 5 menit. Bila kejang tidak
berhenti dalam 5 menit, maka kejang
cenderung berlangsung lama. Status
epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari
30 menit atau kejang berulang tanpa
pulihnya kesadaran di antara kejang.
Terdapat dua jenis status epileptikus, yaitu
SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik
klonik umum) dan SE non-konvulsif (absans
dan parsial kompleks).
Status epileptikus konvulsif pada
anak merupakan kegawatan yang
mengancam jiwa dengan risiko terjadinya
gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung
pada penyebab dan lamanya kejang. Makin
lama kejang berlangsung, makin sulit untuk
menghentikannya. Tujuan tata laksana
kejang tonik klonik umum lebih dari 5 menit
adalah menghentikan kejang dan mencegah
terjadinya status epileptikus.
Langkah-langkah penanganan kejang
terbagi atas tata laksana fase akut dan fase
meliputi:
a. Fase akut: penghentian kejang
0-5 menit :
 Yakinkan bahwa aliran udara
pernapasan
baik.
 Monitor tanda vital, berikan
oksigen, pertahankan perfusi oksigen
ke jaringan.
 Bila keadaan pasien stabil, lakukan
anamnesis terarah, pemeriksaan umum
dan neurologis secara cepat.
 Cari tanda-tanda trauma,
5.10 menit  Jika didapatkan hipoglikemia, berikan
 Pemasangan akses intravena. cairan dekstrosa 25% 2 ml/kgBB.
 Pengambilan darah untuk
pemeriksaan: darah perifer lengkap, 10-15 menit
glukosa, dan elektrolit.  Cenderung menjadi status konvulsivus.
 Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB  Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB
secara intravena (kecepatan 5 mg/ intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
menit), atau dapat diberikan diberikan dengan kecepatan 25-50
diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (untuk mg/ menit.
berat badan
 Dapat diberikan dosis ulangan
<10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan
fenitoin 5-10 mg/kgBB, sampai
>10 kg diberikan 10 mg, dosis
maksimum dosis 30 mg/kgBB.
maksimal 10 mg/kali).
 Atau dapat diberikan lorazepam
0,05- 0,1 mg/kgBB intravena Lebih dari 30 menit
(maksimum 4 mg). Alternatif lain  Pemberian antikonvulsan masa kerja
adalah midazolam 0,05–0,1 mg/kgBB panjang (long acting).
intravena. Pemberian diazepam  Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena
intravena atau rektal dapat diulang bolus perlahan–lahan dengan kecepatan
1-2 kali setelah 5-10 menit, 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis
lorazepam 0,1mg/kgBB dapat diulang tambahan 5-10 mg/kgBB dengan
sekali setelah 10 menit . interval 10-15 menit.
 Pemeriksaan laboratorium sesuai komplikasi penting untuk prognosis pasien.
kebutuhan meliputi analisis gas
darah, elektrolit, gula darah. Koreksi Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia
kelainan yang ada. Awasi tanda- terjadi akibat gangguan ventilasi, sekresi air
tanda depresi pernapasan. liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan,
serta peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia
 Bila kejang masih berlangsung mengakibatkan asidosis, yang selanjutnya
siapkan intubasi dan kirim ke Unit menyebabkan penurunan fungsi ventrikel
Perawatan Intensif. Berikan jantung, penurunan curah jantung, hipotensi,
fenobarbital 5-8 mg/ kgBB secara dan mengganggu fungsi sel dan neuron.
bolus intravena, diikuti rumatan
fenobarbital drip dengan dosis 3–5 Pada SE terjadi pengeluaran
mg/kgBB/jam (Diagram 5.1). katekolamin dan perangsangan saraf
simpatis yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan
Penanganan pasien dengan status venasentral. Edema otak terjadi akibat adanya
konvulsivus/epileptikus tidak hanya bertujuan hipoksia, asidosis, atau hipotensi. Pada
untuk menghentikan kejang, tetapi juga kejang yang tidak dapat teratasi, dapat
mencegah terjadinya komplikasi sistemik yang terjadi hiperpireksia sehingga dapat terjadi
timbul pasca status konvulsivus. Pengenalan mioglobinuria dan peningkatan kreatin
dini, intervensi yang adekuat, dan fosfokinase akibat rabdomiolisis.
pencegahan

Tabel 5.4. Obat obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang

Keterangan Diazepam Lorazepam Fenitoin Fenobarbital Midazolam


Dosis inisial 0,3-0,5 mg/kgbb 0,05-0,1 mg/kgbb 15-20 mg/kgbb 10-20 mg/kgbb 0,05-0,1mg/
kgbb
Maksimum
10 mg 4 mg -- -- --
dosis awal
Dosis ulangan 5-10 menit, 5-10 menit, bila kejang tak 10-15 menit
dapat dapat diulang terkontrol, periksa 5.10 mg/kg
diulang satu-dua satu kali kadar dalam serum
kali setelah 1-2 jam.
Dapat diberikan
setengah dosis
lama kerja 15 menit-4 jam Sampai 24 jam 12 jam 12- 24 jam 1-6 jam
Rute pemberian Iv Iv Iv perlahan, Iv perlahan, Iv bolus
perlahan, kecepatan 50 kecepatan 100 perlahan,
rektal mg/menit, dapat mg/ menit, atau kecepatan
diencerkan dengan IM 0,2 ug/menit
NaCl 0,9% atau drip 0,4-
0,6 ug/kg/menit
Catatan Dilanjutkan hindarkan Monitor tanda vital Monitor tanda
dengan pengulangan vital
fenitoin atau sebelum 48 jam
OAE
Efek samping Somnolen, bingung, depresi hipotensi, depresi hipotensi, depresi hipotensi,
ataksia, napas napas, aritmia napas bradikardi
depresi
napas
Beberapa macam obat yang sering
Pengobatan selalu dimulai dengan satu
digunakan untuk mengatasi status konvulsivus
jenis obat (monoterapi). Dosis dinaikkan
dapat dilihat pada Tabel 5.4.
dengan titrasi sampai tercapai konsentrasi
terapeutik serum atau dosis terapeutik. Jika
Pengobatan jangka panjang dengan dosis maksimal kejang masih tidak
terkontrol, pertimbangkan kombinasi terapi
Pengobatan pada pasien yang mengalami dengan OAE lainnya. Jika kejang terkontrol,
kejang simptomatik akut ditujukan pada faktor pertimbangkan penurunan dosis OAE yang
penyebab. Apabila faktor penyebab dapat pertama kali diberikan. Tidak ada satu
segera diobati, maka tidak diperlukan jenis OAE yang merupakan pilihan utama
pemberian obat anti epilepsi jangka panjang. untuk semua jenis epilepsi. Beberapa OAE
Risiko berulangnya kejang terjadi dalam satu lebih efektif untuk jenis kejang tertentu atau
tahun pertama, khususnya dalam tiga sindrom tertentu. Saat ini pengobatan jangka
bulan pertama. Bila selama tiga bulan panjang yang dianjurkan adalah selama dua
pertama tanpa pengobatan tidak didapatkan atau tiga tahun setelah kejang yang
kejang, maka pasien tidak memerlukan terakhir.
pengobatan jangka panjang.

Sebelum di Diazepam 5 - 10 mg per 0-10 mnt


rumah sakit rektal maksimal 2x
jarak 5 menit
Rumah Jalan Diazepam 0,25 - 0,5mg/kg 10 -20 mnt Monitor:
Sakit / (IV/IO) (kec 2ata
mg/mnt, maks
napas, Tanda vital
Unit
oksigena Midazolam
20 mg) 0,2
u mg/kg (IV
Gawat
EKG
si, bolus)
Lorazepam 0,05-0,1 mg/kg
Darurat Gula darah
sirkulasi (IV) (kec <2 mg/mnt)
ata
u 20 Elektrolit serum
Fenitoin
PICU/ mg/kg (IV) 20 -30 mnt (Na,K,Ca,Mg,Cl)
Kadar obat
Cat: dapat diulang Analisis
darah gas darah
Unit (kec 50
dgn tambahan
gawat mg/mnt) maks Pulse oxymetri
Cat: Jika pemberian darurat
diazepam 5-10 mg/kg, maks
30 mg/kg 1g Koreksi kelainan
rektal sebelum ke RS hanya 1x,
boleh diberikan rektal 1 kali lagi
di RS

Fenobarbital 30 -60 mnt


Cat: dapat diulang 20 mg/kg
dgn tambahan 5-10 (IV)
mg/kg (kec 100 mg/mnt) maks 1
g

PIC Refrak
Midazolam
U 0,2 mg/kg (IV Pentotal
ter - Propofol 3-5
bolus) Dilanjutkan drip Tiopental 5-8 mg/kg (IV drip)
0,02 - 0,4 mg/kg/jam mg/kg (IV)

Gambar 5.1. Algoritme penanganan kejang akut dan status konvulsif


American Academy of Pediatrics’ practice
Mutiara bernas parameters on the evaluation and
 Kejang adalah kedaruratan neurologis treatment of children with febrile seizures.
Pediatr Rev. 1999;20:285-9.
 Kejang dibagi atas kejang fokal dan
kejang umum 6. Fisch BJ. EEG primer basic principles of
digital and analog EEG. Edisi ke-3.
 Anamnesis, pemeriksaan fisis, dan Amsterdam: Elsevier; 1999. h.245-59.
pemeriksaan penunjang ditujukan
7. Glaze DG. Status epilepticus. Dalam:
untuk mencari etiologi intrakranial atau
McMillan JA, DeAngelis CD, Feigen RD,
ekstrakranial
Warshaw JB, penyunting. Oski’s pediatrics.
 Tatalaksana kejang adalah membebaskan Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
jalan napas, memperbaiki oksigenasi dan 1999. h.1947-9.
sirkulasi, serta memberikan obat antikejang 8. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status
 Obat antikejang pilihan pertama epilepticus. Pediatr Clin North Am.
adalah golongan benzodiazepin, 2001;48:683- 94.
dilanjutkan dengan fenitoin bila kejang 9. Lowenstein DH, Alldredge BK. Status
berlanjut sampai 10-15 menit, epilepticus. N Engl J Med. 1998;338:970-6.
fenobarbital bila kejang lebih dari 30 10. MCabee GN, Wark JE. A practical approach to
menit uncomplicated seizures in children. Am Fam
 Kejang lebih dari 30 menit Physician 2000;62:1109-10.
memerlukan perawatan di unit 11. Najm I, Ying Z, Janigro D. Mechanisms of
epileptogenesis. Neurol Clin North Am.
2001;19:237-50.
KEPUSTAKAAN 12. Pellock JM. Treatment of seizures and
1. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips epilepsy in children and adolescents.
B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of Neurology. 1998;51:S8-14.
convulsive status epilepticus in children. 13. Roth HI, Drislane FW. Seizures. Neurol
Arch Dis Child. 2000;83:415-19. Clin. 1998;16:257-84.
2. Bradford JC, Kyriakedes CG. Evidence based 14. Sabo-Graham T, Seay AR. Management of
emergency medicine: Evaluation and diagnostic status epilepticus in children. Pediatr Rev.
testing evaluation of the patient with 1998;19:306-12.
seizures: an evidence based approach. Em 15. Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topics
Med Clin North Am. 1999;17:203-20. in emergency medicine. Dalam: McMillan
3. Camfield PC, Camfield CC. Advances in the JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB,
diagnosis and management of pediatric seizure penyunting. Oski’s pediatrics. Philadelphia:
disorders in the twentieth century. J Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.566-
Pediatr. 2000;136:847-9. 89.
4. Commission on Classification and Terminology 16. Smith DF, Appleton RE, MacKenzie JM,
of the International League Against Chadwick DW. An atlas of epilepsy. Edisi
Epilepsy. Proposal for revised clinical and ke-
electroencephalographic classification of 1. New York: The Parthenon Publising
epileptic seizures. Epilepsia. 1981;22:489-501. Group; 1998. h.15-23.
5. Duffner PK, Baumann RJ. A synopsis of the 17. Westbrook GL. Seizures and epilepsy. Dalam:
Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM,
penyunting. Principles of neural science. New
York: McGraw- Hill; 2000. h. 940-35.
6 Peningkatan Tekanan Intrakranial
Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja

volume total CSS berkurang. Darah juga ikut


PENDAhUlUAN berkompensasi dengan mengalihkan darah
vena ke sinus venosus dura. Jika terdapat
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) massa intrakranial (misalnya tumor otak),
dapat disebabkan berbagai etiologi, yaitu otak dan volume arteri akan tetap statis,
edema serebri akibat trauma kepala, hipoksia- sedangkan CSS dan darah vena akan
iskemia, infeksi, gangguan metabolik, mengalami penurunan volume sampai
hidrosefalus, dan lesi desak ruang. Jika tidak komponen-komponen tersebut tidak mampu
dikenali dan tidak ditata laksana secara dini mengkompensasi lagi, sehingga akan terjadi
dan tepat, peningkatan TIK dapat peningkatan TIK (Gambar 6.1). Bayi dan
mengakibatkan cedera neurologis ireversibel anak dengan ubun-ubun dan sutura yang
bahkan mortalitas. masih membuka (biasanya usia <18 bulan)
dapat mengkompensasi perubahan komposisi
komponen intrakranial yang terjadi secara
PATOfISIOlOGI perlahan dalam jangka waktu lama (perubahan
kronik). Namun, kelompok usia ini tetap rentan
Tekanan intrakranial (TIK) merupakan terhadap peningkatan TIK akut. Pemahaman
jumlah total tekanan dari otak, darah dan terhadap doktrin Monroe-Kellie penting bagi
cairan serebrospinal dalam rongga tata laksana peningkatan TIK pada anak.
intrakranial. Doktrin Monroe-Kellie
menyatakan rongga kranium adalah ruang Konsep penting lain dalam dinamika
tetap yang terdiri atas tiga komponen yaitu intrakranial meliputi autoregulasi, komplians,
darah, otak, dan cairan serebrospinal aliran darah otak, kecepatan metabolisme
(CSS). Darah meliputi 10% volume total serebral dan tekanan perfusi serebral.
rongga kranium, CSS sebesar 10%, dan otak Autoregulasi adalah kemampuan
sebesar 80%. Cairan serebrospinal memiliki mempertahankan aliran darah otak (cerebral
70% kapasitas buffer intrakranial. Saat blood flow, CBF) dengan vasokonstriksi dan
terjadi peningkatan satu atau lebih dari vasodilatasi pembuluh darah otak meskipun
komponen tersebut maka komponen lain terdapat fluktuasi tekanan darah sistemik. Jika
akan turun untuk menjaga volume autoregulasi terganggu, maka aliran darah
intrakranial tetap sama. Darah dan CSS otak akan tergantung pada perubahan tekanan
merupakan komponen yang dapat darah sistemik. Komplians menunjukkan
berkompensasi. Saat terjadi edema otak perubahan tekanan akibat perubahan volume,
karena sebab tertentu, CSS akan berpindah merupakan indikator toleransi otak terhadap
dari ventrikel dan rongga subarakhnoid peningkatan TIK. Tiap pasien memiliki derajat
serebral ke rongga subarakhnoid spinal komplians yang berbeda walaupun mengalami
melalui foramen magnum. Selanjutnya derajat kerusakan yang sama. Faktor-faktor yang
terjadi pengurangan produksi CSS atau berpengaruh pada
terjadi peningkatan absorpsi CSS, sehingga
38 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Nassa TIK

Volume Vena
60

Vena
50

Nassa 40
30
Volume Volume Volume
DeKompensasi
Arteri Arteri TIKArteri
meningKat 20
OtaK
OtaK OtaK I0
Normal TerKompensasi 0
TIK normal

Gambar 6.1. Kompensasi intrakranial pada desakan massa


Keterangan: CSS, cairan serebrospinal; TIK, tekanan intrakranial

kondisi ini masih belum diketahui. Saat adanya iskemia otak dan berkaitan dengan luaran
komplians terganggu, maka terjadi yang buruk pada anak dengan trauma kepala.
peningkatan dramatis pada kurva
tekanan/volume yang selanjutnya
menyebabkan peningkatan TIK secara cepat.
Pada otak tanpa kerusakan, aliran darah
otak diatur untuk memenuhi kebutuhan
otak akan oksigen dan substrat. Secara
fisiologis, faktor yang berpengaruh pada
aliran darah otak adalah tekanan parsial
karbondioksida arteri (PaCO2), oksigenasi
arteri, pH, tekanan perfusi otak, dan laju
metabolisme otak. Tekanan parsial
karbondioksida arteri (PaCO2) berkaitan
secara langsung dengan aliran darah otak, dan
merupakan mediator kimia paling poten dari
aliran darah otak. Peningkatan PaCO2
menyebabkan vasodilatasi yang akan
meningkatkan aliran darah otak dan sangat
berpotensi meningkatkan TIK. Kondisi
asidosis dan hipoksemia juga dapat
meningkatkan aliran darah otak dengan
mekanisme vasodilatasi. Aliran darah otak
pada kondisi kebutuhan jaringan meningkat
akan menyebabkan hiperemia. Aliran darah
otak pada dewasa berkisar 50–70 mL/100
g/menit, sedangkan pada anak sehat dapat
mencapai 108 mL/100 g/menit. Aliran darah
otak <20 mL/100 g/menit menunjukkan
Peningkatan Tekanan Intrakranial 39
Kejang dan demam akan Tekanan perfusi otak atau cerebral
meningkatkan aliran darah otak dan perfusion pressure (CPP) merupakan tekanan
laju metabolisme otak. Prosedur untuk perfusi pada sel dan merupakan indikator
menurunkan laju metabolisme otak penting aliran darah otak. Tekanan perfusi
seperti pemberian barbiturat dan yang cukup akan mencegah kerusakan akibat
hipotermia juga akan menurunkan iskemia otak sekunder. Tekanan perfusi otak
aliran darah otak. Metabolisme otak didapat dari pengukuran tidak langsung
bergantung pada glukosa untuk aliran darah otak dan dihitung dengan
memenuhi kebutuhan energi tubuh, mengukur perbedaan antara mean arterial
dengan adenosin trifosfat (ATP) dan pressure (MAP) dengan intracranial
siklus Krebs untuk mempertahankan pressure (ICP), dengan persamaan berikut:
metabolisme aerob. Saat terjadi CPP = MAP-ICP. Belum terdapat panduan
hipoksia maka terjadi metabolisme nilai normal CPP untuk anak. Namun, dari
anaerob yang menghasilkan laktat persamaan tersebut, nilai minimal CPP yang
dan piruvat serta menurunkan diperlukan untuk mencegah iskemia adalah
produksi ATP dan pasokan energi sebagai berikut: dewasa, CPP >70
untuk metabolisme tubuh.
P Ambang nilai yang lebih rendah dapat
digunakan pada bayi dan anak kecil. Ambang
TeKa
nan nilai untuk memulai terapi pada hipertensi
Nadi
intrakranial bervariasi, tergantung pada
TeKa
nan etiologi. Penggunaan batas atas nilai
Nadi
normal untuk memulai terapi masih
diperdebatkan.
Mutiara bernas
• Tekanan intrakranial (TIK) merupakan
jumlah total tekanan dari otak,
darah, dan cairan serebrospinal dalam
rongga intrakranial
• Dinamika intrakranial dipengaruhi
V eq V D V D
Ve oleh autoregulasi, komplians, aliran
P eq
Gambar 6.2. Kurva volume-tekanan darah otak, laju metabolisme otak, dan
tekanan perfusi otak

ETIOlOGI
mmHg; anak, CPP >50–60 mmHg; bayi/balita, Mekanisme peningkatan TIK dapat
CPP >40–50 mmHg. Penelitian menyatakan disebabkan peningkatan massa jaringan otak,
CPP <40 mmHg merupakan prediktor volume darah, atau cairan serebrospinal
penting mortalitas pada anak dengan (Tabel 6.2). Satu atau lebih faktor tersebut
kerusakan otak akibat trauma. dapat meningkatkan tekanan intrakranial
Rentang normal TIK bervariasi secara tunggal atau simultan. Peningkatan TIK
berdasarkan usia (Tabel 6.1). Hipertensi dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu
intrakranial dinyatakan sebagai peningkatan edema serebri (akibat trauma kepala, kondisi
TIK >20 mmHg selama lebih dari 5 menit. hipoksik-iskemik, infark serebri, infeksi
(meningitis, ensefalitis), ensefalopati

Tabel 6.1. Berbagai etiologi peningkatan TIK


Mekanisme patologi Contoh
Massa hematom (ekstradural, subdural,
intraserebral) Keganasan (glioma,
meningioma, metastasis) Abses
Edema fokal akibat trauma, infark, tumor
Gangguan sirkulasi CSS hidrosefalus obstruktif
hidrosefalus komunikans
Obstruksi sinus venosus mayor fraktur depresi pada lokasi di atas sinus venosus mayor
Trombosis vena serebral
Edema otak difus Ensefalitis, meningitis, cedera kepala luas, perdarahan subarakhnoid,
sindrom Reye, ensefalopati akibat timbal, intoksikasi air, hampir
tenggelam
Idiopatik hipertensi intrakranial
jinak Sumber: Dunn l. j Neurol Neurosurg Psychiatry. 2002;73:i23–7
40 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Tabel 6.2. Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial


Tujuan manajemen Intervensi
Penurunan volume otak Evakuasi massa, mempertahankan euvolemia, terapi
hiperosmolar Penurunan cairan serebrospinal ventrikulostomi, drainase lumbal
Penurunan volume darah otak Elevasi kepala 300, mempertahankan normokarbia, hiperventilasi ringan pada
hipertensi intrakranial refrakter
Penurunan laju metabolisme otak Normotermia, sedasi dan analgesia, pencegahan dan terapi kejang, pada hipertensi
intrakranial refrakter: terapi barbiturat, hipotermia ringan/sedang

metabolik, hidrosefalus, dan proses desak ruang yang bermanifestasi sebagai bradikardi. Pola
(tumor, perdarahan intraparenkimal karena napas abnormal merupakan komponen terakhir
ruptur malformasi arteriovena atau aneurisma). dari trias Cushing, yang terjadi karena
Keterlambatan deteksi dini dan penanganan kompresi batang otak. Sangatlah penting dalam
peningkatan TIK akan mengakibatkan kerusakan mengenali gejala awal peningkatan TIK
neurologis yang ireversibel. karena trias Cushing merupakan gejala yang
timbul amat perlahan pada anak dengan
Mutiara bernas cedera neurologis dan merupakan suatu
petunjuk adanya herniasi.
Peningkatan TIK dapat terjadi akibat
edema serebri, trauma kepala, kondisi
hipoksik- iskemik, infark serebri, infeksi, TATA lAKSANA
gangguan metabolik, ensefalopati,
hidrosefalus, dan proses desak ruang Tujuan utama tatalaksana peningkatan TIK
adalah untuk mencegah dan meminimalkan
kerusakan sekunder otak, tanpa memandang
GEjAlA KlINIS etiologi. Terminologi kerusakan primer dan
sekunder umumnya digunakan pada kasus
Pada peningkatan TIK dapat dijumpai cedera kepala traumatik, namun istilah ini
sakit kepala dengan derajat dan durasi yang juga dapat diterapkan pada anak dengan
bervariasi, muntah, letargi, meningismus, ensefalopati metabolik, lesi hipoksik-
disorientasi, disfungsi neurologis fokal, iskemik, lesi otak nontraumatik, infeksi
kejang, dan koma. Tanda awal pada bayi dan otak, dan perdarahan intrakranial.
anak usia muda dapat berupa ubun-ubun Kerusakan primer menunjukkan kejadian awal
besar membonjol dan refleks pupil yang tanpa memandang mekanisme kerusakan,
lemah. Pada peningkatan TIK yang berat dan sedang kerusakan sekunder menunjukkan
lama dapat terjadi pembesaran pupil proses yang berlangsung dalam hitungan jam
unilateral, kelumpuhan saraf kranial (III, IV, sampai hari setelah kerusakan awal.
VI), edema papil, dan trias Cushing (hipertensi,
Manajemen peningkatan tekanan
bradikardi, dan perubahan pola napas). Kondisi
intrakranial dapat melalui intervensi terhadap
ini menunjukkan tanda herniasi awal atau
faktor-faktor sesuai doktrin Monroe-Kellie
lanjut. Trias Cushing terjadi pada kondisi
(Tabel 6.3), yaitu dengan menurunkan volume
iskemia serebralyang menyebabkan
otak, menurunkan volume cairan serebrospinal,
vasokonstriksi perifer sehingga mengakibatkan
menurunkan laju metabolisme otak, dan/atau
tekanan darah sistolik meningkat untuk
menurunkan aliran darah otak. Tujuan
mempertahankan perfusi otak. Baroreseptor
intervensi tersebut adalah untuk
kardiak akan merespons kondisi ini dengan
mempertahankan tekanan perfusi otak dan TIK
merangsang respons vagal
sesuai usia. Tata laksana peningkatan TIK
Peningkatan Tekanan Intrakranial 41
berdasarkan algoritma pendekatan peningkatan
TIK pada anak dengan kerusakan neurologis dapat tetap harus diberikan sesuai dengan tata
dilihat pada Gambar 6.3. laksana syok. Tidak ada indikasi untuk
melakukan restriksi cairan.

Airway, Breathing, Circulation


Manajemen awal pada anak dengan kecurigaan
peningkatan TIK adalah penilaian patensi
jalan napas (airway), pernapasan (breathing),
dan sirkulasi (circulation), atau ABC.
Intubasi harus dipertimbangkan pada kondisi:
kesulitan mempertahankan patensi jalan
napas, GCS
<8, hasil CT scan menunjukkan edema
serebri difus, kerusakan neurologis dengan
resiko dekompensasi, ketidakstabilan
dinding dada, pola napas abnormal, dan
obstruksi jalan napas atas. Intubasi harus
dilakukan dengan pemberian medikasi untuk
mencegah peningkatan TIK selama prosedur.
Medikasi yang dianjurkan adalah tiopenthal,
lidokain, dan short-acting nondepolarizing
neuromuscular blockage agent (misal
vekuronium, atrakurium).
Kecukupan oksigenasi harus dijaga untuk
mencegah sekuele dari kerusakan sekunder.
Pertahankan tekanan parsial oksigen arteri
(PaO2) >60 mmHg, saturasi oksigen (SpO2)
>90%, dan positive end expiratory pressure
(PEEP)
5 cmH2O. Tekanan darah sesuai umur harus
dipertahankan untuk menjamin kecukupan
tekanan perfusi otak dan mencegah iskemia
berkelanjutan. Pencegahan hipotensi juga
harus dilakukan karena berkaitan dengan
peningkatan mortalitas pada cedera otak
traumatik. Hipotensi pada anak didefinisikan
sebagai tekanan darah sistolik dibawah
persentil 50 sesuai usia atau jika didapatkan
klinis syok. Median (persentil 50) tekanan
darah sistolik pada anak >1 tahun dapat
dihitung dengan rumus: 90 + (2 x usia
dalam tahun). Tanda lain penurunan perfusi
adalah takikardia, penurunan produksi urin (<1
mL/kg/ jam), nadi lemah atau tak teraba,
pemanjangan waktu pengisian kapiler >2
detik, dan penurunan kesadaran. Pada cedera
neurologis dengan hipotensi, resusitasi cairan
Pemberian vasopressor dapat dilakukan pada ventrikulostomi. Penelitian tentang efek
kondisi hipotensi yang menetap meskipun metode drainase cairan serebrospinal terhadap
telah dilakukan resusitasi cairan yang efek TIK, tekanan perfusi otak, aliran darah
adekuat. otak, serta laju metabolisme otak masih
sangat terbatas. Pada kondisi hipertensi
intrakranial yang refrakter, drainase lumbal
Head positioning dapat dipertimbangkan jika sisterna basalis
Kepala pasien diposisikan pada garis terbuka dan tidak ada tanda midline shift,
tengah sumbu tubuh untuk menjaga atau tidak ada massa yang nyata pada hasil
drainase vena jugularis dan kepala pencitraan neurologis.
dielevasikan 15-300. Metode ini sangat efektif
untuk menurunkan tekanan intrakranial dan
mengoptimalkan tekanan perfusi otak. Elevasi Terapi osmotik
kepala di atas 300 atau menurunkan kepala Manitol merupakan agen osmotik yang telah
dibawah 150 berkaitan dengan peningkatan dan digunakan puluhan tahun untuk mengatasi
atau penurunan tekanan perfusi otak. hipertensi intrakranial. Mekanisme kerja
manitol ada dua, yaitu (1) menginduksi
diuresis osmotik, dengan cara menghasilkan
Drainase serebrospinal gradien osmosis sehingga cairan dari
Drainase cairan serebrospinal akan jaringan otak tertarik ke rongga vaskular,
menyebabkan penurunan TIK yang cepat kemudian diekskresikan melalui ginjal,
namun transien. Drainase ini dapat dan (2) efek reologis, yaitu menurunkan
dilakukan secara kontinu ataupun viskositas darah dan hematokrit serta
intermiten. Metode paling optimal untuk meningkatkan aliran darah otak dan pasokan
memonitor TIK dan drainase cairan oksigen otak. Efek reologis
serebrospinal adalah melalui kateter
Head up Sedasi Normokarbi SpO >92% Normovolemi
2
<30O posisi analgesi a PaCO2~ 35 PaO2 >60% a
midline +/- blokade
neuromuskul
ar TIK >20 mmhg

Diversi Stimula Cegah dan Cegah dan


cairan si terapi kejang terapi demam
serebrospin minimal
al

TIK >20 mmhg

Ulangi CT kepala Osmoterapi manitol Monitor


hiperventilasi SjvO2, PbtO2
dan
ringan PaO 30-35
atau salin hipertonis 2
mmhg
hipertensi intrakranial refrakter
TIK >20 mmhg dengan terapi
diatas

Terapi barbiturat hipotermia hiperventilasi Kraniektomi Drainase


moderat PaO2 <30 dekompresi lumbal
32-33OC

Gambar 6.3. Algoritme tata laksana peningkatan tekanan intrakranial


CT, computed tomography; GCS, Glasgow Coma Scale; PaCO2, tekanan parsial karbondioksida arteri; SjvO2, saturasi oksigen
vena jugularis; PbtO2, tekanan parsial oksigen otak
Dikutip dari Marcoux KK. AACN Clinical Issues. 2005;2:212-31
langsung bekerja menurunkan TIK dalam yang bermakna (<30 mmHg) dilakukan pada
hitungan menit setelah pemberian manitol. penderita dengan peningkatan TIK refrakter
Efek diuresis osmotik bekerja lebih lambat, yang tidak berespons
yaitu 15-30 menit setelah pemberian
manitol, dan bertahan sekitar 6-8 jam,
sehingga manitol diberikan dengan frekuensi
tiap 4-6 jam dengan dosis 0,5-1
gram/kgBB/kali.
Pemberian cairan hipertonis dapat
menurunkan TIK dan memperbaiki luaran
pada anak dengan cedera kepala
traumatik. Cairan hipertonis dapat
menurunkan TIK dan volume darah otak
dengan menciptakan gradien osmosis dalam
otak, disamping tetap dapat mengisi volume
intravaskular. Pemberian cairan hipertonis 10
mL/kg bolus mampu memperbaiki tingkat
kesadaran dan skor Skala Koma Glasgow.
Pemberian secara kontinu yang dianjurkan
dimulai dari 0,1 sampai 1,0 mL/kg/ jam.
Pemantauan kadar natrium serum dan status
neurologis perlu dilakukan secara ketat,
mengingat risiko terjadinya osmotic
demyelination syndrome (central pontin
myelinosis) akibat peningkatan kadar natrium
serum yang cepat.

hiperventilasi
Hiperventilasi dianjurkan dilakukan sebagai
intervensi awal peningkatan TIK akut yang
bermakna. Hiperventilasi tidak dianjurkan
sebagai terapi profilaksis karena memiliki potensi
memperburuk iskemia serebral. Lebih lanjut,
hiperventilasi dapat menurunkan kapasitas
buffer bikarbonat pada jaringan interstisial
otak, yang menurunkan kemampuan
vasokonstriksi. Normalnya, alkalosis
menyebabkan konstriksi arteriol, namun
dengan hilangnya kemampuan buffer maka
vasokonstriksi yang dapat menurunkan aliran
darah otak akan terganggu. Hiperventilasi
sedang (PaCO2 30-35 mmHg) dapat diterapkan
pada peningkatan TIK yang berkepanjangan
meskipun sudah dilakukan drainase cairan
serebrospinal, sedasi dan analgesia, head
positioning, dan terapi osmolar. Hiperventilasi
terhadap terapi. Hiperventilasi intermiten hipotensi, menggigil, dan koagulopati. Intervensi
dilakukan pada kondisi peningkatan TIK pengaturan suhu pada anak dengan peningkatan
akut atau bila terdapat tanda awal herniasi. TIK dianjurkan dalam rentang normotermia.
Hipotermia sedang dianjurkan pada anak
dengan peningkatan TIK refrakter yang
Regulasi temperatur tidak berespons terhadap terapi. Penghentian
Mempertahankan temperatur pada rentang terapi hipotermia harus dilakukan perlahan
normal dapat mencegah komplikasi akibat untuk mencegah komplikasi seperti gangguan
hipotermia dan hipertemia. Anak dengan elektrolit, perburukan edema serebri, asidosis,
cedera neurologis dapat mengalami fluktuasi dan hipotensi.
suhu tubuh karena infeksi, sepsis, perdarahan
intrakranial, dan gangguan hipotalamus.
Peningkatan temperatur inti >37,50C Sedasi, analgesia, dan blok
berhubungan dengan terjadinya neuromuskular
peningkatan TIK dan kenaikan kebutuhan Anak dengan cedera otak akut yang
oksigen otak. Pada penelitian dengan hewan
mendapat ventilasi mekanik sebaiknya diberikan
coba, hipotermia dikatakan memiliki efek
sedasi dan analgesia yang cukup untuk
neuroprotektif dengan menurunkan
mencegah nyeri dan kecemasan. Agen yang
metabolisme serebral, pelepasan glutamat
sering digunakan meliputi opiod, benzodiazepin,
ekstraselular, mobilisasi kalsium, produksi
dan barbiturat. Pemberian agen blokade
radikal bebas dan sintesis nitrit oksida. Namun
neuromuskular dapat membantu mengontrol
penelitian yang lain menyebutkan bahwa
PaCO2, mencegah menggigil, dan gerakan
hipotermia (35-35,50C) berpotensi
meningkatkan kejadian pneumonia, pada penderita dengan ventilasi mekanik,
kerusakan kulit, ketidakseimbangan elektrolit, sehingga dapat mencegah peningkatan TIK.
Manajemen dan pencegahan kejang komplians intrakranial penderita dengan hipertensi
intrakranial refrakter.
Anak dengan cedera kepala akut berisiko
lebih besar mengalami kejang dibandingkan
orang dewasa, dikarenakan rendahnya ambang
kejang pada anak. Kejang pada peningkatan
TIK harus segera diatasi, karena kejang akan
meningkatkan laju metabolisme otak, aliran
darah otak, dan volume darah otak, yang
selanjutnya akan memperberat peningkatan
TIK. Kejang pada kondisi ini dapat diatasi
dengan pemberian golongan benzodiazepin
(misalnya lorazepam) atau fenitoin, dan
dilanjutkan dengan obat antiepilepsi dosis
rumatan selama minimal
2 minggu. Pemberian antiepilepsi pada anak
direkomendasikan dalam jangka pendek,
kecuali kondisi klinis dan etiologi kejang
pada penderita menunjukkan perlunya
pemberian obat antiepilepsi dalam jangka
waktu panjang.

Terapi barbiturat
Pemberian barbiturat dosis tinggi dilakukan pada
hipertensi intrakranial refrakter yang tidak
teratasi dengan intervensi yang telah
disebutkan diatas. Barbiturat dapat
menurunkan TIK dengan cara menurunkan
laju metabolisme otak, sehingga mengurangi
pemakaian glukosa dan kebutuhan oksigen.
Penelitian mengenai efektifitas barbiturat
pada peningkatan TIK intraktabel di bidang
pediatrik masih terbatas, namun beberapa
penelitian menunjukkan barbiturat
memperbaiki luaran penderita. Barbiturat dapat
menyebabkan instabilitas hemodinamik berat,
sehingga penggunaannya harus diawasi dengan
ketat, terutama status hemodinamik, tekanan
vena sentral, dan status oksigenasi.

Pembedahan
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan
yaitu evakuasi massa akut (tumor otak,
hematoma epidural) dan pemasangan
monitor TIK dengan ventrikulostomi.
Kraniektomi dekompresif untuk meningkatkan
Steroid enteral, karena diyakini dapat menurunkan
lama rawat inap di ruang intensif dan
Penggunaan kortikosteroid mencegah komplikasi.
diindikasikan untuk mengurangi
pembengkakan dan stabilisasi Anak yang mengalami hipertensi
membran sel pada kasus intrakranial sebaiknya mendapat cairan sesuai
peningkatan TIK karena lesi massa kebutuhan rumatan, kecuali ada indikasi
(tumor otak, abses), inflamasi, dan pemberian cairan bolus pada kondisi hipotensi,
infeksi. Steroid tidak dianjurkan hipovolemia, dan penurunan produksi urin.
pada peningkatan TIK akibat Cairan rumatan sebaiknya berupa salin normal
trauma kepala. dengan penambahan kalium klorida
berdasarkan berat badan. Cairan yang
diberikan hendaknya bersifat isotonis atau
Cairan, elektrolit, dan nutrisi hipertonis. Penggunaan cairan hipotonis
sebaiknya dihindarkan. Hiponatremia
Tujuan terapi cairan adalah
harus dicegah karena akan memperparah
mempertahankan penderita dalam
peningkatan TIK. Jika terjadi hiponatremia,
kondisi euvolemia, normoglikemia,
lakukan koreksi secara perlahan untuk
dan mencegah hiponatremia.
mencegah pontine myelinosis.
Pemberian dektrosa parenteral
dihindari pada
48 jam setelah kerusakan neurologis Perawatan
karena kemungkinan terjadinya
asidosis laktat, kecuali penderita Pemberian lidokain sebelum tindakan
mengalami hipoglikemia. Makanan suctioning dianjurkan untuk mengurangi
enteral mulai diberikan dalam 72 jam peningkatan TIK akibat tindakan. Pemberian
setelah cedera. Selama tidak ada analgesia dan sedasi yang adekuat
kontraindikasi, nutrisi diberikan secara diperlukan sebelum tindakan
Mutiara bernas atau prosedur yang dapat menyebabkan
• Tujuan tatalaksana peningkatan nyeri, kecemasan, atau peningkatan TIK.
TIK adalah untuk mencegah dan Kondisi ruangan yang tenang dapat
meminimalkan kerusakan sekunder mengurangi stimulus visual dan auditori
• Tata laksana awal peningkatan TIK pada penderita. Memberi kesempatan untuk
meliputi penanganan jalan napas (airway), dukungan keluarga pada pasien dengan
pernapasan (breathing), dan sirkulasi peningkatan TIK sangatlah penting, namun
(circulation) tetap dengan memperhatikan tanda vital
• Pertahankan PaO2 >60 mmHg dan pasien.
SpO2 >90% untuk menjaga kecukupan
oksigenasi
• Pertahankan kecukupan perfusi sistemik KEPUSTAKAAN
untuk mencegah hipotensi dan
hipoksia 1. Abend NS, Kessler SK, Helfaer MA, Licht
DJ. Evaluation of the comatose child. Dalam:
• Pertahankan nilai TIK dan tekanan Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of
perfusi otak sesuai usia pediatric intensive care. Edisi ke-4.
• Drainase cairan serebrospinal jika ada Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
indikasi 2008. h. 847-61.
• Posisikan kepala pada garis tengah 2. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J
sumbu tubuh dan elevasi kepala 15- Neurol Neurosurg Psychiatry.
300 2002;73(Supp):i23–7.
3. Keenan HT, Nocera M, Bratton SL. Frequency
• Hiperventilasi hanya dilakukan untuk of intracranial pressure monitoring in infants
peningkatan TIK akut atau bila and young toddlers with traumatic brain
terdapat tanda awal herniasi injury. Pediatr Crit Care Med. 2005; 6:
• Pertahankan normotermia 537–41.
• Manitol diberikan bila TIK > 20 4. Larsen GY, Goldstein B. Increased
mmHg, pertahankan osmolalitas intracranial pressure. Pediatr Rev.
serum <320 mOsm/L 1999;20:234-9.
• Pertahankan euvolemia 5. Marcoux KK. Management of increased
intracranial pressure in the critically ill
• Monitor elektrolit, cegah hiponatremia child with an acute neurological injury.
• Monitor glukosa, cegah hipoglikemia atau AACN Clin Issues. 2005; 2: 212–31.
hiperglikemia 6. Nelson DS. Coma and altered level of
• Pemberian lidokain sebelum tindakan consciousness. Dalam: Fleisher GR, Ludwig
S, penyunting. Textbooks of pediatric
suctioning
emergency medicine. Edisi ke-4.
• Pemberian sedasi dan analgesia yang Philadelphia: Lippincott Williams &
adekuat, pertimbangkan blokade Wilkins; 2010. h. 177-87
neuromuskular 7. Nortje J, Gupta AK. The role of tissue oxygen
• Monitor aktivitas kejang, berikan monitoring in patients with acute brain
antiepilepsi jika ada indikasi injury. Br J Anaesth. 2006;97:95–106.
• Mulai pemberian nutrisi enteral setelah 8. Ranjit S. Management of a comatose patient
72 jam with intracranial hypertension: current
concepts. Indian J Pediatr. 2006;43:409-15.
• Minimalisir stimulus visual dan 9. Sharma A. Raised intracranial pressure and
auditori its management. JK Science. 1999;1:13-21.
10. White H, Venkatesh B. Cerebral perfusion
pressure in neurotrauma: a review. Anesth
Analg. 2008;107:979–88.
7 Pemantauan Susunan Saraf
Pusat di Pediatric Intensive
Care Unit
Setyabudhy, Saptadi Yuliarto

Pemantauan susunan saraf pusat (SSP) SSP yang umum digunakan.


penting dilakukan pada pasien di Pediatric
Intensive Care Unit (PICU) yang mengalami
atau berisiko mengalami gangguan neurologi
untuk mendeteksi secara dini terjadinya
hipoksia/iskemia SSP. Pemantauan SSP yang
ideal harus dapat mendeteksi setiap perubahan
status neurologis sebelum terjadi kerusakan
SSP yang ireversibel. Tekanan intrakranial
(TIK) dan evoked potentials (EP) adalah
parameter yang berkorelasi baik dengan fungsi
serebral dan telah digunakan secara luas. Tata
laksana pasien dengan gangguan neurologi
akut didasarkan pada patofisiologi dari perfusi
serebral, oksigenasi serebral, dan fungsi
serebral.
Tujuan utama pemantauan SSP pada
pasien dengan kondisi neurologis kritis adalah:
(1) deteksi dini perburukan neurologis sebelum
terjadinya kerusakan SSP yang ireversibel; (2)
memberikan tata laksana secara individual; (3)
pemantauan respons terapi; (4) menghindari
kemungkinan terjadinya efek samping yang
tidak dikehendaki; dan (5) meningkatkan
luaran neurologis pada pasien yang sembuh
dari cedera neurologi akut. Pencitraan
neurologis (CT- Scan, MRI) berperan penting
dalam tata laksana pasien, namun
pemeriksaan ini mengharuskan pasien
meninggalkan ruang perawatan intensif.
Pemantauan SSP dapat membantu membuat
keputusan akan perlu tidaknya dilakukan
pencitraan neurologis. Saat ini tersedia
berbagai modalitas untuk memantau fungsi
SSP di ruang perawatan intensif, baik yang
invasif maupun non- invasif. Pada bahasan ini,
akan dibahas beberapa teknik pemantauan
bEbERAPA MODAlITAS PEMANTAUAN (4) memperkirakan prognosis.
NEUROlOGIS DI PICU Sebagai alat bantu diagnostik, EEG
berperan terutama pada pasien yang
Elektroensefalogram (EEG) mengalami ensefalopati atau koma. EEG
Elektroensefalogram merekam dapat membedakan antara koma yang
aktivitas otak berupa sinyal elektrik sesungguhnya, koma psikogenik, atau kondisi
melalui kulit kepala. Sinyal elektrik yang menyerupai koma akibat locked-in
yang terekam dalam EEG tersebut syndrome. Pada dua kondisi terakhir, EEG
berasal dari neuron-neuron otak akan menunjukkan pola normal awake
terutama yang terletak pada korteks, pattern. EEG juga bermanfaat dalam
sehingga EEG mencerminkan menentukan keparahan dan penyebab
gambaran topografi korteks. EEG ensefalopati toksik-metabolik. Pola-pola
sangat sensitif sebagai indikator tertentu dalam EEG mengindikasikan etiologi
disfungsi serebral dan berkaitan spesifik. Pola excessive fast activity merupakan
dengan metabolisme serebral. Terdapat gambaran yang sering disebabkan overdosis
4 manfaat EEG untuk perawatan di obat sedatif- hipnosis, sedangkan gelombang
PICU yaitu: (1) membantu trifasik dapat ditemukan pada disfungsi
menegakkan diagnosis; (2) panduan hepatik, gagal ginjal, dan anoksia. Ensefalitis
terapi; (3) pemantauan kondisi herpes simpleks (EHS) memiliki gambaran
susunan saraf pusat; dan EEG yang khas yaitu periodic
Pemantauan Susunan Saraf Pusat di PICU 47

sharp waves pada lobus temporalis, tahap yang reversibel, sekaligus menentukan
sehingga dapat membantu menegakkan lokasi jejas SSP. Kematian sel terjadi bila aliran
diagnosis pada awal perjalanan penyakit. darah serebral (cerebral blood flow, CBF)
Pemeriksaan EEG harus segera dilakukan turun di bawah 12 mL/100
pada pasien yang diduga menderita EHS.
Pemeriksaan EEG juga sangat bermanfaat
untuk mendeteksi status epileptikus non-
konvulsif, terutama apabila penyebabnya tidak
jelas dan tidak ada tanda klinis yang
menunjukkan aktivitas kejang. Pemantauan
EEG dapat membantu menghindari under
treatment dan over treatment pada status
epileptikus. Under treatment dapat
menyebabkan asidosis metabolik, rabdomiolisis
dan kematian neuron, sedangkan over treatment
lebih sering terjadi dan dapat mengakibatkan
gagal nafas iatrogenik dan kolaps
kardiovaskular. Seringkali pasien yang sakit
kritis menunjukkan gerakan involunter yang
menyerupai kejang, seperti tremor,
mioklonus, spasme dan posturing.
Pemeriksaan EEG membantu membedakan
gerakan-gerakan tersebut dengan status
epileptikus.
Pemantauan terhadap fungsi
kardiovaskular dan respirasi di ICU
dilakukan secara ketat menggunakan
berbagai kateter, transduser, dan monitor
digital. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan deteksi dini terhadap terjadinya
perburukan kondisi. Namun, pemantauan SSP
hanya dilakukan secara berkala dan subyektif,
yang umumnya dikerjakan oleh perawat. Hal
ini seringkali tidak cukup akurat dan cepat.
Sebagai contoh, apabila telah ditemukan
dilatasi pupil unilateral maka upaya intervensi
sudah terlambat. Kesulitan pemantauan klinis
diperberat pada pasien yang mendapatkan
sedasi atau mengalami paralisisis
neuromuskular.
Elektroensefalogram sangat bermanfaat
dalam memonitor SSP pada pasien yang
secara klinis sulit dinilai dan memiliki
kemampuan mendeteksi cedera SSP pada
stadium dini. Pemeriksaan EEG sensitif
untuk mendeteksi iskemia dan hipoksia,
dapat mendeteksi disfungsi neuron pada
48 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
g/min, sedangkan EEG telah menunjukkan subklinis, SE nonkonvulsif persisten,
abnormalitas bila CBF turun menjadi 20-25 ensefalopati metabolik, dan kondisi
mL/100 g/menit. Kemampuan EEG neurologis yang membatasi kemampuan pasien
mendeteksi penurunan CBF sebelum terjadi untuk memberikan respon (misalnya trauma
kematian sel sangat bermanfaat pada batang otak, sindrom neuropati perifer
tindakan tertentu, misalnya operasi bedah berat).
jantung dan karotis. Pada keadaan tersebut, Pemeriksaan EEG kontinu 24 jam dengan
EEG dapat memberikan peringatan kepada rekaman video lebih bermanfaat dibandingkan
dokter bedah atau anestesi akan terjadinya pemeriksaan EEG rutin. Prognosis pasien yang
perubahan perfusi serebral. Penggunaan menderita ensefalopati hipoksik iskemik juga
serupa dapat diterapkan pada pasien yang dapat diperkirakan dengan pemeriksaan tersebut.
dirawat di ICU dengan kondisi iskemia Pemantauan EEG kontinu 24 jam atau serial
intrakranial atau perdarahan intrakranial dapat pula digunakan untuk konfirmasi
dimana CBF rentan mengalami gangguan. kematian otak.
Penggunaan EEG kontinu 24 jam
atau video-EEG monitoring semakin banyak
dipertimbangkan di ICU untuk berbagai Tekanan Intrakranial (TIK)
indikasi klinis, misalnya untuk pemantauan Peningkatan TIK merupakan penyebab kematian
status epileptikus (SE) dan koma akibat terbanyak pada kasus bedah saraf dan trauma
pemberian terapi (therapeutically induced coma) kepala berat. Peningkatan TIK yang menyertai
pada pasien SE refrakter dan cedera otak cedera otak akibat trauma biasanya diikuti
akibat trauma. Demikian juga telah terbukti dengan cedera sekunder akibat penurunan
bahwa EEG kontinu 24 jam sangat perfusi serebral. Intervensi yang ditujukan untuk
bermanfaat dalam pemantauan terhadap mengendalikan kenaikan tekanan intrakranial
pasien yang berisiko mengalami kejang
menghasilkan perbaikan luaran neurologis tekanan perfusi serebral dan aliran darah otak
dan peningkatan angka kesintasan. Tujuan menurun, otak harus mengekstraksi oksigen dalam
utama pemantauan dan manajemen jumlah yang sama dari volume darah yang lebih
peningkatan TIK adalah mencegah cedera sedikit, sehingga menyebabkan
iskemia. Walaupun beberapa ahli masih belum
sependapat mengenai manfaat memasang alat
pemantauan TIK yang invasif, laporan
berbasis bukti terkini menyebutkan bahwa
pada anak dengan cedera otak akibat trauma
pemasangan alat pemantauan TIK sangat
dianjurkan karena bermanfaat dalam
menentukan terapi dan mempengaruhi
luaran.
Metode pemantauan TIK yang paling
banyak dipakai saat ini menggunakan kateter
intraventrikel atau intraparenkim. Kateter
intraventrikel lebih sering dipakai, merupakan
metode yang lebih langsung dibandingkan
kateter intraparenkim, dan memberikan hasil
yang lebih akurat. Selain itu, pemasangan
kateter intraventrikel juga memungkinkan
untuk mengeluarkan sejumlah cairan
serebrospinal (CSS) untuk mengurangi tekanan
intrakranial dan memasukkan sejumlah larutan
garam fisiologis guna menentukan
hubungan tekanan-volume dari otak, yang
bertujuan untuk memperkirakan komplians
serebral. Risiko pemasangan kateter intraventrikel
adalah terjadinya infeksi sehingga harus
dilepas segera setelah kondisi
memungkinkan.

Saturasi oksigen bulbus vena jugularis


(jugular venous bulb oxygen
saturation)
Saturasi oksigen bulbus vena jugularis
(SjvO2) merupakan saturasi oksigen darah di
bulbus vena jugularis yang terletak di basis
cranii. Pemasangan kateter SjvO2
memungkinkan pemantauan SjvO2 secara
kontinu. Saturasi normal berkisar antara
60-80%. Konsep fisiologis dari pengukuran
ini adalah bahwa perbedaan antara saturasi
SjvO2 dan saturasi darah arteri (SaO2)
merupakan parameter tidak langsung dari
aliran darah otak secara global. Ketika
SjvO2 turun. Secara umum, nilai Transcranial doppler (TCD) merupakan alat
SjvO2 <50% merupakan indikator ukur CBF regional yang invasif, portabel dan
iskemia serebral. reliabel. Probe ultrasound dipasang secara
Abnormalitas yang multidireksi dapat menggambarkan TCD
meningkatkan konsumsi oksigen simultan dari arteri serebri media dan atau
(misalnya: demam, kejang) atau yang arteri serebri posterior. Arteri serebri media
menyebabkan penurunan hantaran adalah yang paling banyak dipelajari pada
oksigen (misalnya: peningkatan TIK, anak. Pemeriksaan TCD terhadap arteri serebri
hipotensi, hipoksemia, hipokapnia, media digunakan pada manajemen pascaoperasi
anemia) dapat menurunkan SjvO2. bedah jantung anak, trauma kepala berat,
Cedera sekunder yang terjadi pada ruptur malformasi arteri-vena, status
pasien dengan gangguan neurologi epileptikus dan hidrosefalus akut.
dapat dideteksi dini dengan Keterbatasan teknik TCD diantaranya adalah
monitoring SjvO2. Kesalahan teknis kesulitan menentukan letak probe ultrasound
dapat disebabkan perubahan posisi karena harus membuat lubang pada tulang
kepala atau posisi kateter yang tidak kepala, hanya dapat memberikan gambaran
tepat. Perbedaan substansial antara dari pembuluh darah berukuran sedang
bulbus kanan dan kiri juga dapat hingga besar, variasi pengukuran pada setiap
diukur. Akurasi pengukuran SjvO2 pemeriksaan, dan hanya mengukur secara
tergantung pada kalibrasi in vivo. aktual kecepatan aliran CBF.
Pengukuran SjvO2 dapat mengetahui
adekuat atau tidaknya CPP dan CBF
Laser-doppler flowmetry
tetapi tidak dapat menggambarkan
iskemia regional. Laser-Doppler flowmetry (LDF) mengukur
kecepatan pergantian sinar laser yang
direfleksikan oleh eritrosit untuk mengkalkulasi
Transcranial doppler
laju CBF pada area tertentu di korteks berdifusi dengan cairan ekstraselular otak
serebri. Laser-doppler flowmetry mengukur melalui membran dialisis. Sampel cairan
laju aliran darah dari pembuluh darah mikro dikumpulkan setiap jam dan dianalisis
dari sejumlah kecil jaringan otak dengan cara dengan alat mikrodialisis khusus. Perubahan
menempatkan serabut optik yang dapat kadar glukosa, laktat, piruvat dan berbagai
memancarkan sinar laser pada parenkim asam amino dalam cairan interstisial otak
otak. Keterbatasan teknik ini adalah dapat diukur dengan metode ini. Kadar
reliabilitas pengukuran, artefak akibat gerakan laktat dan glutamat ekstraseluler dilaporkan
pasien, laju aliran yang tidak akurat bila meningkat pada kondisi desaturasi vena
serabut optik diletakkan di dekat jugularis. Kateter untuk anak saat ini telah
pembuluh darah besar, dan penurunan sinyal tersedia, tetapi pengalaman klinis pada anak
LDF jika nilai hematokrit rendah. masih terbatas. Penelitian pada anak dengan
cedera otak akibat trauma menunjukkan bahwa
Mutiara bernas rasio glutamin dibandingkan glutamat
Elektroensefalogram sangat sensitif ekstraseluler memiliki nilai prognostik dan
sebagai indikator disfungsi serebral. berhubungan dengan luaran klinis.
Pemantauan EEG kontinu 24 jam
dengan video bermanfaat untuk
mendeteksi dini hipoksia/iskemia
serebral.
KEPUSTAKAAN
Pemantauan tekanan intrakranial dapat 1. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA,
dilakukan menggunakan kateter Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein
intraventrikel/intraparenkimdan
dianjurkan pada pasien dengan cedera otak B, dkk. Guidelines for the acute medical
akibat trauma. management of severe traumatic brain
• Saturasi oksigen bulbus vena jugularis injury in infants, children, and adolescents.
(SjvO2) merupakan parameter tidak Chapter 6. Threshold for treatment of
langsung aliran darah serebral secara intracranial hypertension. Pediatr Crit Care
global. Nilai SjvO2 <50% merupakan Med 2003;4(Supp):S25-7.
indikator iskemia serebral 2. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA,

Transcranial doppler dan Laser-doppler Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein
flowmetry digunakan untuk mengukur B, dkk. Guidelines for the acute medical
management of severe traumatic brain injury in
• aliran darah serebral
infants, children, and adolescents. Chapter 7.
Mikrodialisis digunakan untuk mengukur Intracranial pressure monitoring technology.
perubahan kadar glukosa, laktat, piruvat, Pediatr Crit Care Med. 2003;4(Supp):S28-
dan berbagai asam amino dalam cairan 30.
ekstraselular otak. Perubahan kadar 3. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA,
asam amino tertentu berkaitan dengan Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein
disfungsi SSP dan luaran klinis B, dkk. Guidelines for the acute medical
management of severe traumatic brain
injury in infants, children, and adolescents.
Mikrodialisis Chapter 8. Cerebral perfusion pressure.
Kateter mikrodialisis dimasukkan ke dalam Pediatr Crit Care Med. 2003;4(Supp):S31-
jaringan otak dan dihubungkan dengan 3.
pompa mikrodialisis yang memompa cairan 4. Goldstein B, Aboy M, Graham A.
dialisis ke dalam otak. Cairan dialisis ini Neurologic monitoring. Dalam: Nichols DG,
akan penyunting. Roger’s textbook of pediatric
intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 862-71.
50 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

5. Gorelick MH, Blackwell CD. Neurologic


with head injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
Emergencies. Dalam: Fleisher; GR, Ludwig S,
1994;57:1382-8
penyunting. Text book of pediatric emergency
medicine. Edisi ke-6. Philadelphia: 9. Nigro MA. Seizures and status epilepticus
Lippincott Williams & Wilkins; 2010. h. in children. Dalam: Tintinalli JE, Kelen
1012-23. GD, penyunting. Emergency medicine: a
comprehensive study guide. Edisi ke-6.
6. Haitsma I, Maas A. Advanced monitoring in
Philadelphia: McGraw-Hill; 2003.
the intensive care unit: Brain tissue oxygen
tension. Curr Opin Crit Care. 2002;8:115- 10. Packer RJ, Bruce DA. Neurologic
20. Emergencies. Dalam: Slonim AD, Pollack
MM, penyunting. Pediatric Critical Care
7. Humphries RM, Bricking KD, Huhn TM.
Medicine. Edisi ke-1. Philadelphia:
Pediatric emergencies. Dalam: Keith C,
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h.
Stone, penyunting. Current emergency
768-72.
diagnosis and treatment. Edisi ke-5.
Philadelphia: McGraw Hill; 2003. 11. Procaccio F, Polo A, Lanteri P.
Electrophysiologic monitoring in
8. Kirkpatrick P, Smielewski P, Czosnyka M.
neurointensive care. Curr Opin Crit Care.
Continuous monitoring of cortical perfusion
2001;7:74-80.
by laser Doppler flowmetry in ventilated
patients 12. Scheuer M. Continuous EEG monitoring in
the intensive care unit. Epilepsia. 2002;43 :
114-27.
8 Terapi Oksigen
Enny Harliani Alwi

PENDAhUlUAN Ventilasi adalah proses keluar masuknya


Oksigen telah digunakan dalam praktek udara antara alveolus dan atmosfir, dan
klinik sejak lebih dari 200 tahun yang lalu, merupakan langkah pertama dari transpor
dan mungkin merupakan obat yang paling oksigen. Pada paru yang sehat, ventilasi alveolar
banyak diberikan oleh tenaga medis dan (VA) merupakan faktor terpenting yang
paramedis, baik di luar maupun di dalam menentukan tekanan oksigen arteri (PaO2)
lingkungan rumah sakit. Apabila digunakan pada setiap tekanan oksigen inspirasi dalam
secara tepat, oksigen bersifat live saving dan trakea (PiO2) dan tingkat kebutuhan
merupakan bagian dari penanganan lini oksigen (Vo2) tertentu. Tekanan partial
pertama pada berbagai keadaan kritis, tetapi oksigen (PO2) akan turun pada setiap tahapan
oksigen sering diberikan tanpa dilakukan yang disebut sebagai kaskade O2. Gas di
evaluasi yang baik akan manfaat dan efek saluran napas mengalami saturasi oleh uap
sampingnya. air sehingga tekanan gas di dalam tubuh
Terapi oksigen adalah pemberian akan turun. Tekanan uap air pada suhu 370C
oksigen dengan konsentrasi lebih besar dari dan saturasi 100% adalah 47 mm Hg.
konsentrasi oksigen di udara (21%) untuk Karena itu pada tekanan barometer normal
mengatasi atau mencegah gejala dan (760 mm Hg) diatas permukaan air laut,
manifestasi hipoksia. maka:
Seperti obat-obatan lain, terdapat indikasi yang PO2 di dalam ruangan = 0,21 x 760 mm hg
jelas dan teknik pemberian yang tepat untuk = 160 mm hg
terapi oksigen. Dosis yang tidak tepat dan PiO2 di dalam saluran napas = 0,21 x (760 – 47) mm hg
kegagalan dalam memantau efek terapi akan = 150 mm hg
mengakibatkan keadaan yang serius. Untuk
memastikan pemberian oksigen yang aman dan Tekanan parsial oksigen di alveolus secara
efektif, instruksi yang diberikan harus klinis sulit diukur, tetapi dapat dihitung
mencakup kecepatan aliran, sistem dengan rumus:
pemberian, lamanya pemberian, dan
pemantauan efek terapi. PAO2 = PiO2 – (PaCO2/R)
fiO2 x (Pb – 47) – (PaCO2/0,8)

Dimana:
OKSIGENASI fiO2 = fraksi oksigen inspirasi
Pb = tekanan parsial uap air (mm
Untuk dapat mempertahankan kehidupan, hg) PaCO2 = tekanan parsial CO2 arteri
jaringan memerlukan oksigen. Faktor yang R = respiratory exchage ratio, besarnya 0,8
berperanan pada hantaran oksigen ke
jaringan yaitu ventilasi yang adekuat,
pertukaran gas/ difusi, dan distribusi
sirkulasi/perfusi.
52 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Setelah masuk ke dalam alveoli, udara DO2 baik pada keadaan sehat maupun sakit.
akan mengalami pertukaran gas (oksigen dan
Pada keadaan normal rasio ventilasi-perfusi
karbon dioksida) dari alveolus ke darah melalui
adalah 0,8. Dalam keadaan ekstrim seperti
dinding alveolus dan dinding pembuluh
perfusi nol (misalnya emboli), maka rasio
darah yang disebut difusi, dan merupakan
ventilasi perfusi menjadi tak terhingga, dan
langkah ke dua dalam transpor oksigen.
sebaliknya apabila ventilasi nol (misalnya
Pertukaran gas secara difusi ditentukan oleh
atelektasis) maka rasio ventilasi-perfusi
tekanan partial gas (oksigen dan karbon
menjadi nol.
dioksida) di alveolus dan darah, luas
permukaan membran difusi, dan ketebalan Oksigen yang telah
membran difusi. Udara akan berpindah dari berdifusikedalamdarah kemudian dialirkan
tekanan partial tinggi ke tekanan partial keseluruh tubuh. Hantaran oksigen ke jaringan
rendah. Disamping itu permukaan alveolus merupakan hasil dari curah jantung (cardiac
yang sangat luas dan ketebalan dinding output) dan kandungan oksigen arteri (oxygen
alveolus dan pembuluh darah yang sangat content). Didalam darah oksigen berada
tipis mempermudah proses difusi. dalam 2 bentuk yaitu terlarut dalam
Dalam keadaan normal, tekanan parsial plasma dan terikat pada hemoglobin. Jumlah
oksigen dalam darah yang melewati oksigen yang larut dalam plasma sebanding
kapiler pulmonalis sama dengan tekanan dengan tekanan partial oksigen, tiap 1 mm
parsial oksigen di alveolus. Apabila terjadi Hg PaO2 akan larut sebesar 0,003 mL
gangguan pada pertukaran gas di paru, oksigen dalam 100 mL plasma. Sedangkan
maka PaO2 di dalam darah akan turun, setiap 1 gram hemoglobin dengan saturasi
disebut sebagai hipoksemia. Selain oksigen penuh akan mengikat 1,34 ml
menyebabkan penurunan PaO2, gangguan oksigen. Karena itu kandungan oksigen adalah
pertukaran gas juga akan menyebabkan penjumlahan dari oksigen yang terikat pada
peningkatan perbedaan antara PO2 alveoli hemoglobin ditambah dengan oksigen yang
dan arteri (A-a DO2). Keadaan yang dapat larut dalam plasma.
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran Kurva disosiasi hemoglobin (Gambar
gas di paru adalah: 1) hipoventilasi, 8.1) menggambarkan proses pengikatan dan
2) gangguan difusi, 3) pirau aliran darah pelepasan oksigen di paru dan jaringan. Titik
paru (shunt), dan 4) ketidak seimbangan A menggambarkan darah yang baru
antara meninggalkan paru dengan saturasi 97%
dan PaO2 98 mm
ventilasi – perfusi (mismatching). Ketidak seimbangan ventilasi – perfusi
Hipoventilasi merupakan satu- merupakan penyebab tersering peningkatan A-a
satunya gangguan pertukaran gas yang tidak
meningkatkan A-a DO2. Pada keadaan ini
hipoksemia terjadi karena peningkatan
PaCO2 akan menurunkan PAO2. Gangguan
difusi terjadi karena ketidak sesuaian antara
tekanan gas di alveoli dan kapiler pulmonalis,
akibatnya penurunan PaO2 disertai dengan
peningkatan A-a DO2. Pirau (shunt) adalah
suatu keadaan ketika darah vena melalui
alveoli yang tanpa ventilasi. Pada pirau
kanan ke kiri, PaO2 akan turun karena darah
kapiler mengalami dilusi oleh darah vena yang
telah mengalami deoksigenasi.
Hg. Titik B menggambarkan darah yang akan Terapi Oksigen 53
menuju paru dengan saturasi 75% dan kanan, artinya terjadi penurunan afinitas
PaO2 40 mm Hg hemoglobin terhadap oksigen (oksigen mudah
Afinitas hemoglobin terhadap dilepaskan). Apabila terjadi penurunan
oksigen dipengaruhi oleh PaCO2, PaCO2, konsentrasi io H+, suhu tubuh dan
konsentrasi ion H+, suhu tubuh dan enzim 2,3 DPG maka kurva akan bergeser
enzim 2.3 difosfogliserat (2,3 DPG). ke kanan, artinya terjadi peningkatan
Peningkatan PaCO2, konsentrasi ion afinitas hemoglobin terhadap oksigen
H+, suhu tubuh dan enzim 2,3 DPG (oksigen sukar dilepaskan). Keadaan-
akan menyebabkan kurva bergeser ke keadaan yang mempengaruhi pergeseran kurva
Sat
100%

A = Titik normal arteri


PaO2 = 97 mm hg
50% SaO2 = 98%

b = Titik normal vena


PaO2 = 40 mm hg
SaO2 = 75%
C = P50, tekanan dimana saturasi hb 50%
Normal = 27 mm hg
C B A
PaO2

Gambar 8.1 Kurva disosiasi hemoglobin


......................... = bergeser ke kanan, disebabkan oleh peningkatan CO2, h+, temperatur dan 2,3 DPG
------------ = bergeser ke kiri, disebabkan oleh penurunan CO2, h+, temperatur dan 2,3 DPG
Dikutip dari: Shapiro bA, Peruzzi wT. Clinical application of blood gases. 1994

disosiasi hemoglobin harus dipertimbangkan kerja miokardium yang diperlukan untuk


dalam terapi oksigen. mempertahankan tekanan oksigen arteri.
Oleh karena itu, tujuan terapi oksigen
adalah:
Mutiara bernas
 Mengatasi hipoksemia
• Faktor yang berperan pada hantaran
Apabila hipoksemia disebabkan oleh
oksigen ke jaringan yaitu ventilasi yang penurunan tekanan oksigen alveolar
adekuat, pertukaran gas/difusi, dan (PAO 2) atau ketidak sesuaian antara
distribusi sirkulasi/perfusi. ventilasi/perfusi, maka peningkatkan
• Ketidakseimbangan ventilasi – perfusi fraksi oksigen inspirasi (FiO2) dapat
merupakan penyebab tersering pening- memperperbaiki keadaan hipoksemia.
katan A-a DO2 baik pada keadaan  Menurunkan usaha nafas
sehat maupun sakit. Usaha nafas biasanya meningkat sebagai
respons terhadap keadaan hipoksemia atau
stimulus hipoksik. Meningkatkan fraksi
oksigen inspirasi akan memungkinkan
Tujuan Terapi Oksigen usaha nafas berkurang dan tetap dapat
mempertahankan oksigenasi yang adekuat.
Efek langsung pemberian oksigen dengan
konsentrasi lebih dari 21% adalah  Mengurangi kerja miokardium
meningkatkan tekanan oksigen alveolar, Sistem kardiovaskular adalah
menurunkan usaha nafas yang diperlukan mekanisme kompensasi utama
untuk mempertahankan tekanan oksigen terhadap keadaan hipoksia atau
alveolar, dan menurunkan hipoksemia. Pemberian
oksigen akan mengurangi atau mencegah sungkup dengan reservoar (sungkup muka
peningkatan kerja miokardium. nonrebreather, sungkup muka partial
Untuk dapat mengenali adanya rebreather). Alat pemberian oksigen aliran
hipoksia jaringan tidak selalu mudah rendah lebih ekonomis dan memberikan
mengingat banyaknya gejala dan tanda kenyamanan kepada pasien, tetapi kurang
yang berbeda. Karena gejala klinisnya yang akurat.
tidak spesifik, maka cara yang terbaik untuk
menilai oksigenasi adalah dengan mengukur
saturasi oksigen arteri perifer (abnormal bila Alat Pemberian Oksigen
SaO2 <95%) dan tekanan partial oksigen  Kanula nasal (nasal prong). Oksigen
darah arteri (PaO2 <80 mm Hg). Hipoksia mengalir dari kanula menuju nasofaring
pada tingkat jaringan mungkin tetap terjadi yang bertindak sebagai reservoar
meskipun SaO2 dan PaO2 berada dalam batas anatomis, dengan kecepatan aliran
normal, misalnya pada keadaan curah antara 0,1-6 L/ menit. Fraksi konsentrasi
jantung yang rendah, anemia atau kegagalan oksigen inspirasi (FiO2) yang dihasilkan
jaringan memakai oksigen seperti pada bervariasi antara 24- 50%, tergantung pada
keracunan sianida. aliran inspirasi pasien. Secara umum,
setiap liter oksigen yang diberikan akan
Sistim Pemberian Oksigen menghasilkan kenaikan FiO2 sebanyak
4%. Frekuensi pernapasan yang cepat,
Sistem pemberian oksigen dibagi menjadi 2 volume tidal yang tinggi, dan waktu
yaitu: sistem aliran rendah (low flow – inspirasi yang pendek akan meningkatkan
variable performance) dan sistem aliran dilusi oleh udara luar sehingga FiO2
tinggi (high flow - fixed performance). Sistem yang dihasilkan akan turun. Keterbatasan
aliran rendah memberikan oksigen dengan FiO 2 alat ini yaitu: perubahan ventilasi semenit
yang berbeda tergantung aliran inspirasi dan aliran inspirasi akan menyebabkan
pasien, sedangkan sistem aliran tinggi akan perubahan FiO2 sehingga FiO2 sukar
memberikan oksigen dengan FiO2 yang diukur, prong sulit dipertahankan pada
tetap (tidak tergantung inspirasi pasien). posisinya terutama pada bayi kecil,
Sistem aliran tinggi umumnya adalah penggunaannya terbatas apabila terdapat
alat venturi yang bekerja berdasarkan prinsip produksi sekret yang berlebihan, edema
Bernoulli, yaitu tekanan gas mengalir paling mukosa atau deviasi septum.
rendah pada kecepatan aliran yang paling Keuntungannya adalah lebih nyaman
tinggi. Alat venturi dapat dipergunakan dengan untuk anak, ringan dan tidak mahal.
sungkup, nebulizer, trakeostomi, tents dan
hoods. Keuntungan sistem aliran tinggi adalah  Kateter nasofaring. Oksigen mengalir
FiO2 yang diberikan akurat dan stabil melalui kateter ke dalam orofaring
tanpa dipengaruhi oleh pola napas pasien,
yang bertindak sebagai reservoar
suhu dan kelembabannya dapat dikontrol, dan
anatomis. FiO2 bervariasi menurut aliran
FiO2 yang diberikan mudah dan dapat diukur.
inspirasi pasien. Alat ini jarang
Kerugiannya adalah mahal karena memakai
dipergunakan karena perawatannya yang
oksigen dalam jumlah banyak dan kurang
sulit. Keterbatasan alat ini antara lain:
nyaman bagi pasien.
FiO2 sukar dikontrol dan diukur,
Sistem aliran rendah dapat menghasilkan pemakaiannya terbatas apabila terdapat
oksigen dengan konsentrasi antara 25-100%. produksi mukus yang berlebihan, edema
Yang termasuk sistem aliran rendah adalah: mukosa dan adanya deviasi septum, untuk
kanula nasal, sungkup muka sederhana, mencegah timbulnya sumbatan maka
kateter harus sering kateter di hidung maka
dibersihkan, dan apabila letak
konsentrasi oksigen yang dihasilkan yang diberikan, maka kita harus
akan lebih rendah. merubah sungkup dan aliran gas.
 Sungkup sederhana. Kecepatan aliran Perubahan pada pola pernapasan tidak
yang diperlukan untuk sungkup sederhana akan mempengaruhi konsentrasi oksigen
berkisar antara 6-10 L/menit. FiO 2 yang yang diberikan. Dengan sungkup venturi,
dihasilkan bervariasi antara 35-55%, dapat dihasilkan oksigen dengan
tergantung pada kecepatan aliran inspirasi konsentrasi antara 24-50%.
dan kapasitas aliran oksigen yang
diberikan dalam mengisi ruang rugi.
 Oxygen hood (Head Box). Merupakan
teknik pemberian oksigen sistem aliran
 Sungkup non-rebreathing. Sungkup tinggi yang dapat diberikan pada bayi
jenis ini dilengkapi dengan kantung yang berusia 0-6 bulan. Karena tidak
reservoar dan sistem pengatur aliran gas menutupi tubuh dan ekstremitas,
dengan 2 buah katup searah, yang maka akses dan pemeriksaan pada
terletak diantara sungkup dan reservoar pasien masih dimungkinkan. Meskipun
dan pada salah satu sisi ekshalasi, oksigen inspirasi masih dapat dikontrol
sehingga udara ekspirasi akan dieliminasi dengan akurat, tetapi terdapat perbedaan
dan setiap inspirasi akan berisi oksigen. konsentrasi oksigen yang bervariasi
Sungkup non-rebreathing dapat sekitar 20% antara bagian atas dan
memberikan oksigen sampai 100%. bawah. Karena itu diperlukan analisis
yang hati-hati dalam menentukan
 Sungkup partial rebreathing. Sungkup ini konsentrasi oksigen. Selain itu untuk
juga dilengkapi dengan kantung menghindari terjadinya kehilangan
reservoar dansistem pengatur aliran gas. panas dari luas permukaan kepala dan
Perbedaannya dengan sungkup non- muka bayi, sumber oksigen juga harus
rebreathing adalah karena tidak dihangatkan.
terdapat katup diantara sungkup dan
reservoar, maka sebagian Tabel 8.1 Perkiraan FiO2 dengan mempergunakan
alat pemberian oksigen aliran rendah

dari udara ekspirasi atau volume udara Kecepatan aliran oksigen fiO2 (%)
dalam ruang rugi anatomis dimungkinkan 100% (liter)
untuk masuk kembali kedalam kantung A. Kanula nasal atau
reservoar. Untuk mencegah agar pada kateter: 1 l 24
saat bernapas tidak menghirup CO2, 2l 28
3l 32
maka aliran gas inspirasi harus
4l 36
dipertahankan pada atau lebih dari 6 5l 40
L/menit. Bahayanya sungkup jenis ini 6l 44
adalah sering dianggap sebagai sungkup b. Sungkup oksigen:
nonrebreathing sehingga dalam keadaan 5-6 l 40
gawat darurat akan sangat merugikan. 6-7 l 50
7-8 l 60
C. Sungkup dengan kantung
 Sungkup Venturi. Sungkup venturi reservoar:
mempunyai katup dengan ukuran dan 6l 60
kode warna yang berbeda, setiap alat 7l 70
memerlukan aliran gas tertentu untuk 8l 80
menghasilkan konsentrasi oksigen yang teta p. Untuk merubah
konsentrasi oksigen 9l ≥80
10 l ≥80
Sebagai patokan untuk mengetahui kadar Tabel 8.3 Indikasi pemberian oksigen berdasarkan perlu
FiO2 yang dihasilkan pada pola pernafasan tidaknya kontrol fiO2
normal bila diberikan oksigen 100% dengan
Tidak memerlukan Asma
alat-alat pemberian oksigen aliran rendah
terapi oksigen Pneumonia
dapat dilihat pada Tabel 8.1. terkontrol bronkiolitis
Distres pernafasan
henti jantung dan nafas
Mutiara bernas Emboli paru
Syok
• Tujuan terapi oksigen adalah untuk Septik
mengatasi hipoksemia, menurunkan hipovolemik
usaha napas dan mengurangi kerja Gagal jantung
Infark miokardium
miokardium Intoksikasi karbon monoksida
• Cara yang terbaik untuk menilai Memerlukan terapi Penyakit paru obstruktif kronis
oksigenasi adalah dengan mengukur oksigen bayi prematur
saturasi oksigen arteri perifer (abnormal terkontrol
bila SaO2 <95%) dan tekanan partial
oksigen darah arteri (PaO2 <80 mm
Hg). Hipoksia pada tingkat jaringan
mungkin tetap terjadi meskipun SaO 2 Untuk memilih jenis alat yang akan
dan PaO2 berada dalam batas normal dipakai dalam terapi oksigen perlu
dipertimbangkan faktor sebagai berikut: (a)
kenyamanan pasien,
(b) FiO2 yang diinginkan, (c) perlu
tidaknya pengontrolan FiO2, dan (d) perlu
Pedoman Klinis Pemberian Terapi tidaknya gas inspirasi dilembabkan.
Oksigen
Pada keadaan sakit akut, oksigen Pemantauan Terapi Oksigen
diberikan sebagai bagian dari usaha untuk Untuk menilai apakah terapi oksigen
mempertahankan bebasnya jalan nafas. Pada sudah adekuat dan efektif diperlukan
keadaan henti jantung, henti nafas, distres pemantauan klinis dan laboratoris yang
pernafasan atau hipotensi, dosis oksigen teliti.
diberikan secara empiris (Tabel 8.2 dan
Tabel 8.3), selanjutnya segera lakukan Pemantauan klinis meliputi pemeriksaan
pemeriksaan analisis gas darah untuk jantung, paru, status neurologis, dan usaha
menilai derajat nafas, yang terdiri dari tingkat kesadaran,
frekuensi jantung, frekuensi napas, tekanan
darah,
hipoksemia, tekanan parsial CO2 (PaCO2), dan sirkulasi perifer (waktu pengisian kapiler normal
status asam basa. 1-2 detik), dan ada atau tidaknya sianosis.
Bila memungkinkan, lakukan pemantauan
variabel fisiologis dengan cara non invasif (pulse
Tabel 8.2 Petunjuk dosis awal pemberian oksigen oxymeter) atau invasif (analisis gas darah). Jika
fiO (%) memungkinkan, lakukan pemeriksaan PaO2
2
henti jantung dan nafas 40
m 100
hipoksemia dengan PaCO2 < 40 40-60
mmhg hipoksemia dengan PaCO2 > m
hg Mulai dari 24
dan saturasi sebelum p riksaan gas darah atau oksimeter harus
pemberian terapi e diulang untuk
oksigen. Setelah m menentukan FiO2 yang akan diberikan untuk
dilakukan terapi oksigen, e mencapai PaO2 >59 mm Hg atau SaO2
>90%. Oksimetri dapat memantau saturasi refleks pengaturan ventilasi dan perfusi. Depresi
oksigen secara berkesinambungan dan ventilasi dapat terjadi pada pasien dengan
sangat bermanfaat apabila analisis gas darah
sukar diperiksa atau tidak tersedia.

Komplikasi Terapi Oksigen


Pemberian oksigen bukan tanpa bahaya.
Meskipun oksigen sangat bermanfaat pada
hipoksemia tetapi pemberiannya dengan
konsentrasi tinggi dan lama dapat
menimbulkan efek samping yang merugikan
baik langsung pada paru maupun di luar
paru. Risiko yang dapat terjadi terdiri dari
risiko fisik yang berhubungan dengan luka
bakar, perubahan fisiologis sebagai respons
terhadap perubahan PaO2, dan toksisitas
seluler akibat hiperoksemia. Pemberian
oksigen dengan FiO2 100%
lebih dari 6 jam akan menimbulkan
gangguan
pada fungsi paru. Gejala yang timbul adalah
nyeri dada dan batuk. Dengan makin
berlanjutnya cedera paru hiperoksik, maka
kapasitas vital paru akan menurun karena
adanya kebocoran kapiler, penurunan
aktivitas surfaktan, dan atelektasis. Terapi
oksigen akan menyebabkan cedera pada sel
endotel dan gangguan integritas endotel
kapiler, sehingga rongga alveoli akan terisi
oleh cairan yang kaya akan protein. Selain
itu, penurunan aktifitas surfaktan akan
menyebabkan komplians paru terganggu.
Atelektasis absorbsi terjadi bila gas alveolar
berdifusi ke dalam sirkulasi pulmonal
lebih cepat dari ventilasi. Nitrogen, yang
berfungsi untuk mempertahankan volume
alveolar, akan digantikan oleh oksigen yang
dengan cepat akan berdifusi, akibatnya
terjadi atelektasis yang progresif. Oksigen
radikal bebas, yang merupakan produk
antara metabolisme normal, merupakan
penyebab utama toksisitas oksigen. Selain
radikal bebas, produk alur siklooksigenase dan
lipoksigenasi mempunyai peranan dalam
cedera paru hiperoksik.
Peningkatan PaO2 akan menstimulasi
penyakit paru kronis yang sangat bergantung
pada stimulus hipoksik untuk bernapas. KEPUSTAKAAN
Hiperoksia akan menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler pulmonal sedangkan 1. Bateman TN, Leach RM. ABC of oxygen.
resistensi vaskuler sistemik meningkat, Acute oxygen therapy. BMJ 1998;317:798-
801.
sehingga akan terjadi penurunan curah
jantung. Selain itu, pemberian oksigen juga 2. Buckley T, dudley J, Eberhart M, Goldstein
dapat menekan eritropoesis dan M, Kallstrom T, Kohorst J, Lewarski J.
menyebabkan kerusakan retina terutama AARC Clinical practice guideline: oxygen
pada bayi prematur (retrolental therapy in the home or alternate site health
care facility – 2007 revision & update. Respir
fibroplasia).
Care 2007;52:1063-8.
3. Cooper N. Acute care: Treatment with oxygen.
Penghentian Terapi Oksigen SudentBMJ (serial di Internet). 2004 (diunduh
21 Agustus 2008);12:56-8. Tersedia dari: http://
Pemberian oksigen harus dihentikan apabila student.bmj.com/search/pdf/04/02/sbmj56.pdf
oksigenasi arteri adekuat tercapai dengan
4. Effros RM. Anatomy, development, and
udara ruangan (PaO2 >60 mmHg, SaO2
physiology of the lungs. (diunduh 21 Agustus
>90%). 2008). Tersedia dari http://www.nature.com/
Pada pasien tanpa hipoksemia yang gimo/contents/pt1/full/ gimo73.html
mempunyai risiko untuk terjadinya hipoksia 5. Law R, Bukwirwa H. The physiology of
jaringan, pemberian oksigen dihentikan oxygen delivery. Update in Anaesthesia
apabila status asam basa dan penilaian (serial di Internet). 1999 (diunduh 21
klinis fungsi organ vital stabil dengan Agustus 2008);10(3):(3 h.). Tersedia dari
membaiknya hipoksia jaringan. http://www. nda.ox. ac.uk/ wfsa/html/u10/
u1003_01.htm
6. Martin LD, Bratton SL, Walker LK. Principles
10. Treacher DF, Leach RM. ABC of oxygen.
and practice of respiratory support and
Oxygen transport – 1. Basic principles.
mechanical ventilation. Dalam: Rogers
BMJ 1998;317:1302-6.
MC, Nichols DG, penyunting. Textbook of
pediatric intensive care. Edisi Ke-3. 11. Varvinski AM. Acute oxygen treatment.
Baltimore: Williams & Wilkins; 1996. h. Update in Anaesthesia (serial di Internet).
265-73. 2000 (diunduh 15 Agustus 2008);12(3):(3
h.). Tersedia dari:http://www.
7. Myers TR. AARC Clinical practice
nda.ox.ac.uk/wfsa / html/ u12/u1203 01.htm
guideline: selection of an oxygen delivery
device for neonatal and pediatric patients – 12. Winter PM, Miller JN. Oxygen toxicity.
2002 revision & update. Respir Care Dalam: Shoemaker WC, Thomson WL,
2002;47:707-16. Holbrook PR, penyunting. Textbook of
critical care. Philadelphia: Saunders Co;
8. Powell FL, Heldt GP, Haddad GG. Respiratory
1984. h. 218-23.
physiology. Dalam: Nichols DG, penyunting.
Roger’s textbook of pediatric intensive 13. Wratney AT, Hamel DS, Cheifetz IM.
care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Inhaled gases. Dalam: Nichols DG,
Williams & Wilkins; 2008. h. 631-61. penyunting. Roger’s textbook of pediatric
intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
9. Shapiro BA, Peruzzi WT. Clinical application
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h.
of blood gases. Edisi ke-5. Chicago: Mosby;
532-44.
1994.
9 Kegawatan Respirasi pada Anak
Ririe Fachrina Malisie

PERbEDAAN PERNAPASAN PADA


Persamaan 9.1.
ANAK DAN DEwASA
Q = (∆P π r4)/(8 n L)
Hampir dua pertiga kasus kegagalan saluran
pernapasan di masa anak akan Q = aliran
bermanifestasi pada tahun pertama
kehidupan, setengahnya terjadi pada ∆P = perbedaan tekanan antara ujung-
neonatus. Tingginya insidens pada masa bayi ujung jalan napas
dikaitkan dengan imaturitas struktur anatomi r = diameter jalan napas
saluran napas. Insidens akan meningkat jika n = viskositas udara dan panjangnya
terdapat gangguan perkembangan kongenital jalan napas diberi simbol L.
dari organ-organ pada jalan napas.
a. Sentral: fungsi pusat pengaturan Peningkatan panjang jalan napas,
pernapasan sangat bergantung pada viskositas udara ataupun pengurangan
imaturitas, koneksi antar serabut saraf dan diameter jalan napas akan mereduksi
reseptornya, baik di perifer atau pusat aliran udara laminar. Perubahan ukuran
kemo-reseptor diameter jalan napas paling berpengaruh
b. Jalan napas: jalan napas bayidan anak sehingga adanya edema ringan saja
sangat berbeda dengan dewasa. Perbedaan akan menyebabkan pengurangan secara
paling dramatis terlihat pada waktu bayi nyata kaliber jalan napas dan akhirnya
dan makin berkurang di masa anak meningkatkan tahanan jalan napas (gambar
seiring dengan pertumbuhan dan 9.1).
perkembangannya. Jalan napas anak Jalan napas anak berbentuk
usia 8 tahun secara karakteristik sudah terowongan seperti corong dengan ujung
menyerupai dewasa. Perbedaan paling yang menyempit/funnel-shape (gambar 9.2
mencolok adalah dalam hal ukuran B), berbeda dengan dewasa yang
diameter karena saluran napas anak jelas berbentuk silinder (gambar 9.2 A).
lebih kecil. Selain lebih sempit, jalan Bagian paling sempit pada jalan napas
napas mulai dari rongga hidung mudah bayi dan anak terletak pada area di
sekali tersumbat oleh sekret, edema, darah bawah level pita suara dan tulang rawan
bahkan tertutup oleh sungkup (face- mask) krikoid, sedangkan pada dewasa
yang menyebabkan peninggian usaha setentang pita suara. Konfigurasi
napas (work of breathing). Mengikuti anatomis inilah yang menjadi dasar
hukum Hagen-Poiseuille, reduksi penggunaan tube trakeal tanpa balon
diameter jalan napas berbanding lurus pengembang (uncuffed tracheal tubes)
dengan peningkatan 4 kali aliran udara, cukup efektif pada bayi dan anak. Jalan
sesuai rumus berikut: napas
60 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Normal Edem Resistensi X-Sect


a I Area
Imm (R radius4

Bayi
I6x 75%

Dewasa 3x 44%

Gambar 9.1. hubungan antara diameter jalan napas, perbedaan tekanan jalan napas dan aliran udara

Gambar 9.2. Perbedaan anatomi jalan napas anak dan dewasa

subglotisbayidan anak tersusun atas jaringan sehingga lebih mudah untuk menutup
ikat longgar (loose connective tissue) yang langit- langit. Lidah juga merupakan
dapat dengan mudah mengalami penyebab paling sering obstruksi jalan
ekstensi akibat inflamasi dan edema napas, terutama pada bayi dan anak yang
(terutama pada infeksi virus mengalami penurunan kesadaran.
laringotrakeobronkitis/ penyakit croup), Dengan melakukan perasat jaw-
yang secara dramatis akan mereduksi
kaliber jalan napas. Hal yang sama juga
dapat terjadi jika ukuran pipa endotrakeal Tabel 9.1. Perbedaan anatomi jalan napas anak
(endotracheal tube/ETT) terlalu besar atau dan dewasa
inflasi berlebihan dari balon DEWASA ANAK
pengembang (cuff). lidah relatif kecil relatif besar
Pada anak, laring berlokasi di setentang laring setinggi C4-C5 setinggi C3-C4,
lebih ke anterior
level vertebra C2-C3 yang relatif lebih Epiglotis lebar, elastis sempit, kaku
cefalad dari leher bila dibandingkan Diameter pita suara rawan krikoid
dewasa yang terletak setinggi C4-C5 terkecil
(tabel 9.1).
Lidah bayi dan anak relatif lebih besar Panjang trakea 10-13 cm bayi: 4-5 cm, 18
dibandingkan ukuran rongga mulutnya bulan: 7 cm
thrust atau menempatkan pipa jalan napas
(oral atau nasal pharyngeal tube) maka
lidah akan terangkat ke atas dan dapat
terhindar dari obstruksi. Oksiput pada
bayi dan anak lebih besar dan menonjol,
sedangkan leher dan bahunya cenderung
pendek, sehingga akan membatasi
visualisasi glotis pada saat laringoskopi.

c. Otot pernapasan: tulang dada bayi


dan anak masih lunak dan cenderung
tidak stabil karena pergerakan iga. Pada
bayi dan anak, tingginya komplians dari
tulang iga menyebabkan posisi tulang iga
cenderung lebih mendatar dan otot-
otot sela iga kurang mengembang
sehingga membatasi pernapasan torakal.
Diafragma merupakan otot pernapasan
paling penting pada masa bayi dan
anak, sehingga mudah terjadi
kegagalan pernapasan apabila fungsi
diafragma terganggu oleh berbagai sebab
diantaranya proses pembedahan, distensi
abdomen ataupun hiperinflasi paru.

d. Parenkim paru: jaringan ikat elastis


yang membatasi dan menjadi sekat antar
alveoli memungkinkan udara masuk dan
keluar dari jalan napas berdasarkan recoil
elasticnya. Pada hari-hari pertama
kehidupan, alveoli gampang sekali
menjadi kolaps. Dengan bertambahnya
usia, jaringan ikat yang menjadi sekat
antar alveoli ini akan bertambah lentur
dan elastis. Faktor imaturitas menjadi
penyebab utama defisiensi surfaktan yang
menyebabkan kurangnya kemampuan
alveoli untuk mengembang/inflasi dan
tidak dapat mempertahankan agar alveoli
tidak mengempis. Konsekuensinya akan
terjadi penurunan elastic recoil, paru
menjadi kolaps dan atelektasis. Jalur
ventilasi kolateral baru terbentuk setelah
usia 3 tahun sehingga bayi dan anak
cenderung mudah mengalami
hipoksemia dan hiperkapnia akibat
obstruksi jalan napas.
Mutiara bernas merupakan akibat dari gangguan afek
primer pada saraf pusat, kardiovaskular
• Porsi paling sempit pada jalan napas atau sistem pernapasan.
bayi dan anak terletak pada area di
bawah level pita suara dan tulang
rawan krikoid, sedangkan pada
dewasa setentang pita suara. PRINSIP fISIOlOGI DAN
Konfigurasi anatomis inilah yang PATOfISIOlOGI GAwAT NAPAS
menjadi dasar penggunaan pipa trakeal
tanpa balon pengembang (uncuffed Mekanika Paru
tracheal tubes) cukup efektif pada bayi Fungsi primer sistem pernapasan adalah
dan anak. menghantarkan oksigen
• Faktor imaturitas menjadi penyebab dariudaraatmosfirsampai ke dalam sel dan
utama defisiensi surfaktan yang berakibat mengeluarkan karbondioksida dari dalam
kurangnya kemampuan alveoli untuk tubuh. Paru merupakan organ ventilasi. Tahap
mengembang/inflasi dan tidak dapat awal penghantaran oksigen adalah proses
ventilasi ke dalam paru. Satu siklus
mempertahankan agar alveoli tidak
pernapasan terdiri atas fase inspirasi (inflasi)
mengempis. Konsekuensinya akan terjadi
dan ekspirasi (deflasi). Gaya elastis (elastic
penurunan elastic recoil, sehingga
recoil), resistensi atau tahanan pada sistim
paru mudah kempes dan menjadi jalan napas, inertansi dan tekanan
Pada diagram di atas terlihat bahwa transpulmonar (perbedaan tekanan antara
mayoritas bayi dan anak kecil yang alveoli dan pleura) dibutuhkan agar aliran udara
mengalami kegagalan pernapasan lancar selama fase inflasi paru. Diperlukan
keseimbangan dinamik untuk mempertahankan dan dinding dada melawan tendensi ini
agar tidak terjadi overinflasi atau dengan mengaplikasikan suatu tekanan yang
sebaliknya. Pengaruh kekuatan tarik-menarik kontinyu pada struktur paru dan
intermolekular dan tegangan permukaan mempertahankan volume paru pada saat
diatur oleh surfaktan, yaitu suatu kompleks akhir ekspirasi. Tekanan di dalam paru
protein fosfolipid. Peran penting surfaktan merupakan resultan dari struktur fibrosa dan
dalam mempertahankan kestabilan volume keseimbangan gas-cairan pada ujung distal
paru dengan mempertahankan tegangan jalan napas dan alveoli. Kekuatan tekanan
permukaan alveoli, dirumuskan oleh Laplace untuk melawan kecenderungan kolapsnya
dalam persamaan berikut (gambar 9.4 A)
alveoli ini disebut dengan elastic recoil. Hal
Persamaan 9.2. ini mencerminkan besarnya tekanan yang
dibutuhkan untuk mencapai volume tertentu
P =2T/r dari paru dan perubahannya selama proses
P = tekanan pernapasan. Kondisi yang berlawanan dari
T = tegangan elastan dinamakan komplians. Komplians paru
permukaan r = radius merupakan perbandingan proporsional antara
alveoli besar perubahan volume paru yang
dihasilkan akibat pemberian sejumlah
Model interdependensi dari alveoli lebih tekanan.
mampu menggambarkan bahwa setiap alveoli
volume tidal
saling berhubungan dalam suatu struktur C dinamik Tekanan puncak inspirasi - tekanan positif
planar dan bukannya berbentuk dinding = akhir ekspirasi
sferikal. Jika terjadi pengurangan volume
suatu alveolus,
akan distabilkan oleh alveoli lain yang berada Secara diagramatis, alveoli dapat
dalam posisi berdampingan (gambar 9.4 B). dikelompokkan menjadi dua yaitu alveoli
Paru mempunyai kecenderungan alami “cepat” dan “lambat”. Pada gambar 9.6a
untuk kempes atau kolaps. Otot pernapasan

Gambar 9.3. Diagram jalur ventilasi dan organ yang rentan terkena
penyakit Struktur mayor Organ yang rentan terkena penyakit
Informasi ventilatori aferen Kemoreseptor sentral dan perifer
Aferen vagal

Pusat pernapasan Serebral, medulla

Saraf motorik ventilatori Eferen vagal
Sistem saraf simpatis
Saraf frenikus dan interkostal

Neuromuscular junctions Neurotransmitter kolinergik

Rongga toraks Diafragma, sela iga dan tulang iga

jalan napas besar laring, trakea dan bronkus utama

Struktur paru jalan napas kecil, pembuluh darah dan aliran limfe
rl r3

r2
A B

Gambar 9.4. Model alveoli sesuai dengan rumus laplace (a) dan model
interdependensi dari alveoli (b)

tampak alveoli yang ideal yaitu komplians statis a. Pasokan oksigen (oxygen delivery)
dan dinamisnya seimbang. Interaksi antara
Pasokan oksigen merupakan proses
resistensi dan komplians menghasilkan
penghantaran oksigen dari atmosfir ke sel suatu
aliran udara yang lebih banyak dihantarkan
organ dan terdiri dari 3 cara (gambar
ke alveoli yang paling komplians tanpa
9.7):
bergantung pada laju inflasinya. Gambar
9.6b memperlihatkan fenomena klasik pada 1. Konveksi: masuknya udara luar ke dalam
sebagian besar pasien dengan gangguan paru-paru, dan hantaran oksigen dari
respirasi. Udara inspirasi yang masuk jantung ke target organ.
cenderung dihantarkan ke alveoli yang lebih 2. Difusi: masuknya oksigen dari alveolar
kaku (stiff) jika laju inflasi dipercepat. Pada ke dalam darah dan keluarnya oksigen
jeda di akhir inspirasi, udara akan dari darah ke jaringan.
mengalami redistribusi dari alveoli yang 3. Reaksi kimia: terikatnya oksigen dengan
“cepat” ke alveoli yang “lambat”. hemoglobin.

Pertukaran gas paru EKspirasi


Pertukaran gas paru menggambarkan D C
proses ambilan (uptake) oksigen dan eliminasi
karbondioksida oleh paru, untuk memasok
Volume Tidal

kebutuhan metabolisme tubuh. Sel


Kurva
memerlukan oksigen untuk metabolisme Komplians
aerob agar dapat mempertahankan fungsi sel Respirasi
secara normal. Karena oksigen tidak dapat B
disimpan di dalam sel, diperlukan suplai Inspirasi
A
oksigen yang tetap dan dapat memenuhi
kebutuhan metabolisme.

Kegagalan menyediakan suplai oksigen yang 0 I0 20 30 40


TeKanan (cm H2O)
cukup bagi jaringan akan menyebabkan
kegagalan organ seperti pada pasien syok
yang tidak diresusitasi dengan baik. Gambar 9.5. Komplians dinamik
Resistensi
Resistensi rendah
Tinggi

Komplians
(a) tinggi
Komplians
rendah (KaKu)

Resistensi
Resistensi tinggi
rendah

Komplians “FAST” “SLOW”


rendah (KaKu) ALVEOLUS ALVEOLUS
Komplians
(b) tinggi

Gambar 9.6. Alveoli yang ideal (komplians statis dan


dinamis seimbang) (a) dan alveoli yang kaku (fast dan slow
alveoli) (b)

dengan rumus: 1,34 x hb x SaO2 + 0,003 x PaO2;1,34


Difusi oksigen dari alveolar ke darah = jumlah oksigen dalam ml yang dapat diikat oleh 1
gram hemoglobin).
dan dari darah ke jaringan mengikuti hukum CO (cardiac output) = curah jantung (hasil perkalian
Fick, yang menyatakan bahwa difusi oksigen laju nadi dan isi sekuncup). Pada anak, nilai normal
berbanding lurus dengan luas area difusi, DO2 berkisar 500 ml/min, didapat dari perkiraan CO 3-4
konstanta difusi medium, perbedaan tekanan l/min, hemoglobin 12 gr/100ml dan SaO2 100%.
parsial antara kedua medium dan
berbanding terbalik dengan jarak difusi. Di Penghantaran oksigen dari kapiler
paru-paru yang bertindak sebagai barier difusi darah ke jaringan tergantung pada:
adalah membran alveolar-kapiler. Oksigen 1. Faktor yang mempengaruhi difusi
merupakan gas dengan kelarutan yang rendah
dalam air dan plasma, akan cepat berikatan 2. Jumlah oksigen yang sampai ke kapiler
dengan hemoglobin. Afinitas hemoglobin (DO2)
terhadap oksigen digambarkan pada kurva 3. Posisi kurva disosiasi oksigen (P50)
disosiasi oksigen (gambar 9.8). 4. Jumlah oksigen yang dikonsumsi (VO2)
Jumlah oksigen yang dihantarkan ke
Upaya paling efisien untuk meningkatkan
jaringan dapat dihitung dengan rumus
pasokan oksigen ke jaringan adalah
Fick berikut:
dengan meningkatkan konsentrasi
Persamaan 9.3.
hemoglobin dan curah jantung. Peningkatan
DO (ml/min) = 10 x CO (l/min) x CaO kadar hemoglobin
2 2
dapat dicapai dengan memberikan transfusi sel
darah merah meskipun sampai saat ini
belum
DO2 = jumlah oksigen yang sampai ke kapiler ada kesepakatan mengenai kadar hemoglobin
CaO2 = kandungan oksigen di darah arteri (dihitung
Udara atau air Dif Dif
usi usiNitoK
ondri
a

KonveKsi KonveKsi Oxygen sink


Sistem KardiovasKular
ProduKsi energi
Kulit Paru
TerbuKa Tertutup
Gambar 9.7. Proses penghantaran oksigen dari atmosfir sampai ke sel

yang ideal pada pasien kritis. Curah


jantung dapat ditingkatkan dengan c. Rasio Ekstraksi Oksigen
pemberian volume cairan dan atau pemberian Oxygen extraction ratio (O2ER) adalah
obat-obat inotropik dan vasoaktif. perbandingan konsumsi oksigen terhadap
pasokan oksigen, dihitung dengan rumus
berikut:
b. Konsumsi Oksigen Persamaan 9.5.
Konsumsi oksigen (VO2) adalah jumlah total O2ER = vO2 / DO2
oksigen yang dipakai oleh jaringan setiap
menit. Ada 2 cara untuk menghitung VO2: O2ER = perbandingan konsumsi oksigen terhadap
pasokan oksigen
1. Pengukuran langsung dengan vO2 = jumlah oksigen yang dikonsumsi
menggunakan analisis gas darah dan DO2 = jumlah oksigen yang sampai ke kapiler
grafik metabolisme, yang lebih sulit dari
pengukuran tidak langsung. Hubungan antara DO2 dan VO2
2. Pengukuran dengan cara tidak langsung, merupakan hubungan bi-fasik (gambar 9.9).
memakai turunan persamaan Fick yaitu: Pada keadaan penurunan pasokan oksigen/DO2
(misalnya pada perdarahan atau hipoksia),
Persamaan 9.4. tubuh berupaya agar konsumsi oksigen/VO 2
vO2 (ml/min) = 10 x CO (l/min) x (CaO2 – CvO2) tetap dipertahankan dalam nilai normal.
Pada fase ini, O2ER meningkat untuk
vO2 = jumlah oksigen yang dikonsumsi
memenuhi kebutuhan oksigen. Pada titik
CvO2 = kandungan oksigen darah mixed venous
tertentu ketika O2ER tidak dapat lagi
(1.34xhbx SvO2 + 0.003 x PvO2)
PvO2 = tekanan parsial oksigen mixed venous. ditingkatkan secara proporsional, akan
terjadi penurunan VO2 yang linier dengan
penurunan DO2. Nilai batas penurunan VO2
linier dengan penurunan DO2 disebut
sebagai titik kritis pasokan oksigen
(critical value of DO2).
Hiport
I00 ermia Hiper
alKalo termi
sis a 2,
75 curah 3-
jantu DPG
ng
SaO2 (%)
Asido
50 sis
Hiper
Karbi
25 a

0
25 50 75 I00
PO2 (mmHg)

Gambar 9.8. Kurva disosiasi oksigen: P50 adalah tekanan parsial oksigen
ketika 50% hemoglobin tersaturasi

F
Konsumsi OKsigen (VO2)(ml/min)

B E C
AD
200

I00

400 800 I200


PasoKan OKsigen (DO2)(ml/min)

Gambar 9.9. hubungan antara pasokan oksigen (DO2) dan konsumsi oksigen (vO2)

d. limitasi pertukaran gas paru hipoventilasi


Terhambatnya pertukaran gas paru akan Definisi hipoventilasi adalah keadaan
mereduksi tekanan parsial oksigen melalui tekanan parsial karbondioksida lebih tinggi
kaskade oksigen, seperti terlihat pada dari normal. Hipoventilasi yang murni
diagram kaskade penghantaran oksigen mulai disebabkan oleh hipoksemia akan
dari udara atmosfir sampai ke mitokondria meningkatkan PaO2 tanpa menimbulkan
(gambar 9.10). perbedaan antara tekanan parsial oksigen
Limitasi pertukaran gas paru dapat arterial-alveolar. Hipoventilasi akan
dikelompokkan dalam 4 kondisi: meningkatkan tekanan karbondioksida pada
1. Hipoventilasi alveoli, berlawanan dengan aliran alveoli dan
2. Keterbatasan difusi (diffusion limitation) PaCO2 pada alveolar.
3. Pirau (shunt) Hipoventilasi paling sering disebabkan
oleh 2 hal, yaitu keterbatasan/limitasi mekanik
4. Ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (ventilation-
dan kontrol pernapasan yang abnormal.
perfusion mismatching)
Limitasi mekanik disebabkan oleh abnormalitas
PaO2(l3) – (P50) SaO2(97)(CaO2(200)
DO2
Hb (l50)Q, (5) (l000
)
Difusi O2 di
LV LA jaringan
Udara
Inspirasi Kapiler arteri
(Kering) ven (l3) VO2
PIO2(2l) a (250)
(5, Interstisial
3) 5,3 - 2,7)
Vi/e (5) Par Pira
u n
Udara Intraselula
EKspirasi r (2,7-l,3)
(Kering)
PECO2(4,2) RV RA NitoKondri
PAO al (l,3- VOC2
2 0,7) (200
(l4) )
Ql O2R
Hb (l50) Q,(5)
(75
PvO2 (5,3) - SvO2 CvO2 0)
(P50) (75) (l50)
Gambar 9.10. Diagram kaskade penghantaran oksigen (atmosfir →mitokondria)

mekanika pernapasan seperti peningkatan


tahanan jalan napas atau penurunan komplians sirkulasi arterial tanpa melewati ventilasi
akibat penyakit paru, yang akan alveoli pada sirkulasi paru, disebut juga
menghambat efektifitas otot pernapasan. pirau dari kanan-ke-kiri (right-to-left-shunt).
Pada limitasi mekanik, kontrol sistem PaO2 akan menurun karena dilusi darah
pernapasan masih berfungsi baik dalam deoksigenasi pada ujung kapiler. Hipoksemia
mendeteksi perubahan PaO2 dan PaCO2. persisten walaupun sudah diberikan 100%
O2 mengindikasikan suatu pirau, jika seluruh
alveoli
Mutiaraefektif diventilasi
bernas
Keterbatasan difusi (diffusion limitation)
Keterbatasan difusi paru didefinisikan sebagai • Pada keadaan terjadi penurunan
suatu keseimbangan (equilibrium) antara pasokan oksigen/DO2 (misalnya pada
tekanan parsial gas di alveoli dan kapiler perdarahan atau hipoksia), tubuh tetap
paru. Keterbatasan difusi akan menurunkan berupaya agar konsumsi oksigen/VO2 tetap
PaO2dengan meningkatkan perbedaan PaO2 dipertahankan dalam nilai normal.
alveolar-arterial. Hipoksemia arterial yang Pada fase ini O2ER meningkat untuk
diakibatkan keterbatasan difusi dapat diatasi memenuhi kebutuhan oksigen.
secara singkat dengan meningkatkan Sampai pada titik tertentu ketika
kandungan oksigen inspirasi (dengan O2ER tidak dapat lagi ditingkatkan
mempercepat laju napas) yang akan secara proporsional maka akan terjadi
menaikkan driving pressure oksigen dari penurunan VO2 yang linear dengan
alveoli ke dalam darah. penurunan DO2.
• Upaya paling efisien untuk meningkatkan
Pirau (shunt) pasokan oksigen ke jaringan adalah
dengan meningkatkan konsentrasi
Definisi pirau (shunt) adalah aliran darah hemoglobin dan curah jantung.
yang mengalami deoksigenasi, yang memasuki
dengan 100% O2. Pirau jenis ini harus Persamaan 9.6.
dibedakan dari pirau kiri-ke-kanan (left-to-
right-shunt), yaitu terjadinya pirau darah
VCO2 = Q (CaCO2 - CvCO2)
arterial sistemik ke aliran arteri pulmonalis,
yang sering dijumpai pada defek jantung Nilai normal vCO2 = 240 ml
kongenital. CO2/menit Q = 6 l/menit
Perbedaan konsentrasi CO2
KETIDAKSESUAIAN vENTIlASI-PERfUSI arterial-venous = 4 ml/dl
(VeNtilAtioN-PeRFusioN MisMAtch)
Hipoventilasi merupakan kondisi paling
Kesesuaian ventilasi dan perfusi bergantung umum yang berefek sama pada pengurangan
pada gravitasi. Baik ventilasi maupun perfusi hantaran oksigen dan karbondioksida.
akan meningkat pada jarak yang semakin
jauh dari basal paru. Regio apeks paru
biasanya kurang diperfusi (shunt) PENyAKIT-PENyAKIT KEGAwATAN
sedangkan bagian basal cenderung kurang RESPIRASI PADA ANAK
diventilasi (dead space). Ketidaksesuaian
ventilasi dan aliran darah pada bagian paru
Status asmatikus
yang berbeda, merupakan penyebab terbanyak Definisi status asmatikus
kesenjangan PO2 alveolar dan arterial
Status asmatikus adalah kondisi yang
(gambar 9.11).
ditandai oleh bronkospasme berat dan
disfungsi pernapasan yang progresif pada
penderita asma, yang tidak responsif dengan
Pertukaran karbondioksida terapi standar konvensional, potensial
Penghantaran karbondioksida berjalan dengan untuk mengalami kegagalan pernapasan
prinsip yang sama seperti penghantaran dan memerlukan tunjangan ventilasi
oksigen. Sesuai dengan rumus Fick, perbedaan mekanik.
konsentrasi karbondioksida antara arterial-
venous normal dihitung sebagai berikut:

Pisau
VA Alveolus normal
= VA
= 0,8
0 O
50 O

Ruang rugi
Pco2 (mmHg)

VA
=
O 8
25

0
0 50 I00 I50
PO2 (mmHg)

Gambar 9.11. Kurva ketidaksesuaian ventilasi perfusi


Mekanika paru dan abnormalitas bronkus akan mengakibatkan kerja ekspirasi
pertukaran gas pada asma menjadi suatu proses yang aktif, memerlukan
Disfungsi mekanika paru pada asma terjadi asupan energi tinggi (high energy expenditure)
akibat perubahan patologi pada otot polos dan peningkatan usaha napas (work of breathing/
bronkus sehingga terjadi konstriksi, WOB). Implikasinya akan mengakibatkan
ditambah pula oleh adanya edema mukosa pengurangan volume paksa ekpirasi (FEV)
dan peningkatan produksi mukus yang dan volume kapasitas vital paru (FVC)
semuanya akan menyebabkan pengurangan sebagai konsekuensi dari tingginya resistensi
diameter jalan napas dan peninggian tahanan jalan napas yang terjadi (gambar 9.12 B).
aliran udara. Pada kondisi fisiologis normal, Pertukaran gas yang abnormal pada status
sepanjang fase inspirasi terdapat tekanan asmatikus disebabkan ketidaksesuaian
negatif pleura karena dilatasi dari jalan napas ventilasi- perfusi (ventilation-perfusion
intratorakal. Sedangkan pada fase ekspirasi, mismatch) akibat peninggian pirau
tekanan pleura menjadi nol (zero) karena intrapulmonar/atelektasis, peningkatan
jalan napas mengecil atau menyempit. ruang rugi (dead space) dan overdistensi
Pada status asmatikus, secara patologis jalan napas karena mukus kental, edema dan
terjadi penyempitan diameter dan obstruksi bronkokonstriksi. Manifestasi klinis dini
jalan napas, sehingga akan timbul perbedaan dari abnormalitas pertukaran gas pada status
mencolok antara inspirasi dan ekspirasi. Aliran asmatikus berupa hipoksemia dan
udara dengan lancar masuk selama fase hipokarbia. Jika kondisi ini berlanjut terus
inspirasi akan tetapi mengalami hambatan saat maka jalan napas distal akan mengalami
ekspirasi, hal ini menyebabkan tertahannya obstruksi sehingga alveoli menjadi distensi
udara yang terjebak di alveoli (airtrapping) dan volume ruang rugi(Vd) meningkat.
sehingga paru mengalami hiperinflasi. Tubuh akan berupaya melakukan
Volume paru menjadi meningkat di akhir kompensasi dengan meninggikan laju
ekspirasi (end-expiratory lung volume/EELV). napas. Hipokarbia menjadi persisten karena
Bronkus yang menyempit dan mengalami meningkatnya ventilasi semenit (minute
spasme akan meninggikan tahanan jalan ventilation), yang merupakan perkalian
napas serta mereduksi aliran udara ekspirasi. laju napas dan volume tidal (Vt). Upaya
Kombinasi antara peningkatan EELV dan peningkatan ventilasi semenit tetap tidak
spasme mampu mengkompensasi peningkatan rasio
ruang rugi dan volume tidal (Vd/Vt ratio).
Pada
iK
det
I

V
FE

FEVFVC
iK
det
I

FEV

I detiK
FVC

FVC

A. NORNAL B. OBSTRUKTIF C. RESTRIKTIF


FEV = 4,0 % = 80 FEV = I,3 FVC = 3,I
FVC = 5,0
r
% = 42 V = 2,8
F FVC = 3,I
E % = 90

Gambar 9.12. Perbedaan fEv dan fvC pada paru normal (A), obstruktif (b) dan restriktif (C)
70 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

akhirnya otot diafragma dan otot pernapasan seksama karena hal-hal tersebut merupakan
lainnya mengalami kelelahan/fatigue. tanda dini dari kelelahan otot pernapasan.
Hipokalemia dapat terjadi karena pergeseran
Gambaran klinis status asmatikus kalium intrasel akibat paparan dengan
obat agonis beta.
Anak dengan status asmatikus memperlihatkan
variasi derajat gejala distress pernapasan dan
abnormalitas pertukaran gas. Mengi yang Interaksi kardiopulmonal pada
merupakan petanda khas (hallmark) asma status asmatikus
menjadi petunjuk klinis utama.
Kemungkinan mengi yang terjadi akibat Hiperinflasi dinamik pada asma berat
pneumonia, aspirasi benda asing dan gagal dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular
jantung kongestif harus disingkirkan dulu. karena volume paru yang meningkat akan
Pemeriksaan fisik diagnostik cepat (rapid mengakibatkan regangan (streching) pembuluh
darah paru, peninggian tahanan vaskular
assessment) harus terfokus pada penilaian
derajat keparahan obstruksi jalan napas paru dan afterload ventrikel kanan.
yang berlangsung. Fluktuasi tekanan pleura juga mempengaruhi
aliran balik vena (venous return). Selama fase
Observasi dilakukan terhadap keadaan inspirasi, afterload ventrikel kiri meningkat
umum, patensi jalan napas, efektifitas usaha dan tekanan darah sistolilk menurun. Variasi
napas dan sirkulasi yang adekuat. Anak tekanan darah sistolik dengan tekanan
dengan status asmatikus terlihat letargis dan intratorakal selama fase inspirasi dinamakan
diaforetik, tidak mampu bersuara dan pulsus paradoksus (gambar 9.13). Penurunan
memperlihatkan retraksi berat pada dinding tekanan darah sistolik >10- 15 torr
dada dengan pernapasan torakoabdominal berasosiasi dengan penurunan fungsi
yang paradoks. Mengi yang terdengar pernapasan pada anak dengan status
biasanya simetris pada kedua hemitoraks kiri asmatikus.
dan kanan. Jika terdengar mengi yang asimetris,
pikirkan terjadinya atelektasis unilateral,
pneumotoraks atau benda asing.
Manajemen klinis
The silent chest merupakan indikasi adanya
pneumotoraks, sumbatan total aliran udara a. Manajemen di ruang gawat darurat
akibat obstruksi jalan napas yang parah (emergency room)
dan ancaman gagal napas. Hipoksemia yang Pengenalan tanda dini ancaman gagal napas
dipantau dengan pulse oxymetri dapat pada anak asma berat dan status asmatikus
menggambarkan derajat keparahan klinis. akan menghambat progesifitas air trapping,
Analisis gas darah pada awal gejala distres kekurangan oksigen dan kelelahan otot
napas memperlihatkan kondisi hipoksemia dan pernapasan sehingga dapat mencegah
hipokarbia. Jika distres napas menjadi semakin kegagalan pernapasan yang membutuhkan
berat, PaCO2 dapat menjadi normal bahkan tunjangan ventilasi mekanik. Manajemen
meningkat. Asidosis laktat kerap dijumpai pada anak dengan status asmatikus di ruang
karena peningkatan produksi laktat akibat emergensi harus bertumpu pada
dehidrasi dan penggunaan otot pernapasan pemeriksaan atau penilaian ancaman gagal
yang berlebihan. Pada penderita status napas yang segera diikuti dengan
asmatikus dengan sesak napas hebat, nilai intervensi terapeutik, yaitu pemasangan
PaCO2 normal dan hiperventilasi harus jalur intravena, pemberian oksigen dan
dipantau dengan inhalasi kontinu agonis beta serta
kortikosteroid intravena.
b. Manajemen di ruang rawat Agonis beta inhalasi
intensif pediatri (PICU)
Agonis beta merupakan agen
Perawatan umum simpatomimetik yang dapat menyebabkan
Indikasi rawat di PICU pada anak dengan relaksasi otot polos bronkus secara langsung,
status asmatikus adalah penurunan kesadaran, merupakan komponen kunci dalam terapi
henti napas dan peningkatan PaCO2 yang asma. Albuterol dan terbutalin paling umum
sejalan dipakai karena tersedia luas, awitan kerja
pendek, agonis ß2 selektif dan
dengan gejala kelelahan otot pernapasan. diberikan secara inhalasi. Inhalasi albuterol
Penderita yang dirawat di PICU membutuhkan
tersedia dalam dua bentuk: salbutamol atau
oksigen, akses vaskular (vena dan arterial),
levalbuterol. Pemberian nebulisasi kontinu
pemantauan kardiorespirasi dan pulse
lebih memperlihatkan perbaikan klinis
oximetry kontinu. Pemberian cairan dibandingkan dosis intermiten. Dosis
resusitasi dan rumatan bergantung pada albuterol untuk nebulisasi kontinu adalah
kondisi hemodinamik. Hindari overhidrasi 0,15-0,5 mg/kg BB/ jam atau 10-20 mg/jam.
karena pasien status asmatikus berisiko Jika akan disapih, dapat diberikan albuterol
mengalami edema paru akibat peningkatan
intermiten dengan Metered Dose Inhaler/MDI
permeabilitas mikrovaskular paru, peninggian
dengan dosis 4-8 puffs tiap dosisnya (tiap
afterload ventrikel kiri dan migrasi cairan
puff berisi 90 mcg).
alveoli akibat proses inflamasi paru pada
asma.
Agonis beta intravena dan subkutan
Paling baik dalam memberikan perbaikan
farmakoterapi klinis. Terbutalin terbukti efektif, dapat
diberikan baik secara intravena atau
Kortikosteroid
subkutan jika akses vaskular tidak tersedia.
Pemberian kortikosteroid sistemik mampu Dosis intravena dimulai dengan loading dose
mengurangi lama rawat di rumah sakit. 10 mcg/kgBB selama
Inhalasi kortikosteroid tidak terbukti efektif 10 menit diikuti infus kontinu 0,1-10 mcg/
secara klinis begitu juga pemberian secara kgBB/menit. Dosis subkutan 0,01 mg/kgBB/
enteral. Metilprednisolon merupakan kali dengan dosis maksimal 0,3 mg/kali,
steroid yang paling umum digunakan, dosis dapat diulang tiap 15-20 menit hingga 3
inisial 2 mg/kg BB diikuti 0,5-1 mg/kg BB/kali kali.
diberikan setiap 6 jam. Deksametason dan
hidrokortison juga dapat digunakan. Durasi
pemberian bergantung pada derajat Methylxanthine
keparahan asma. Penggunaan methylxanthine pada anak sakit
kritis dengan status asmatikus sudah mulai

TeKanan t
darah o EKspirasi
sistoliK
r
I00 r Inspirasi

80

60
EK spirasi

Gambar 9.13. variasi tekanan sistolik selama inspirasi (pulsus paradoksus)


ditinggalkan sejak agonis beta selektif memberikan data keunggulan NIPPV dibanding
tersedia luas. Berbagai uji klinis ventilator konvensional pada anak dengan
membuktikan bahwa tidak terdapat status asmatikus sehingga penggunaannya
perbedaan perbaikan klinis dan lama rawat di belum direkomendasikan.
PICU pada pasien status asmatikus yang
diberikan terapi teofilin dibandingkan
farmakoterapi lainnya. Teofilin mungkin dapat Ventilasi Mekanik
membantu perbaikan klinis pada kasus Intubasi endotrakeal diindikasikan pada
status asmatikus yang tidak responsif terhadap kondisi hipoksemia refrakter, pasca henti
steroid, inhalasi dan intravena agonis beta jantung-paru atau asidosis respiratorik yang
dan terapi oksigen. Teofilin diberikan dengan tidak responsif dengan farmakoterapi.
loading dose bolus intravena 5-7 mg/kgBB Tunjangan ventilasi mekanik pada status
selama 20 menit, dilanjutkan infus kontinu asmatikus bertujuan untuk memenuhi
dengan laju 0,5-0,9 mg/kgBB/jam. Kadar kecukupan oksigenasi, permisif hiperkarbia
teofilin serum sebaiknya diperiksa berkala, dan penyesuaian ventilasi semenit (tekanan
untuk menghindari timbulnya efek samping. puncak, volume tidal dan laju napas) guna
mempertahankan keasaman darah arteri (pH >
Antikolinergik 7,2). Strategi manajemen ventilasi mekanik
yang diterapkan harus dapat mereduksi
Ipratropium bromida merupakan agen yang hiperinflasi dinamik dan air trapping, diantaranya
umum dipakai untuk menimbulkan efek dengan mengurangi laju napas, memanjangkan
antikolinergik pada penderita asma. Pemberian waktu ekspirasi atau mempersingkat waktu
ipratropium bromida di ruang emergensi dapat inspirasi dan meminimal tekanan akhir
mengurangi kebutuhan rawat inap di rumah ekspirasi (gambar 9.14).
sakit. Inhalasi ipratropium bromida tidak
efektif untuk asma sedang-berat dan status
asmatikus. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada terbukti tidak mempunyai
Magnesium sulfat keuntungan perbaikan klinis dan bahkan
menambah rangsangan iritatif sehingga
Magnesium merupakan agen penghambat fisioterapi dada tidak direkomendasikan
kanal kalsium (calcium channel blocker). Cara sebagai tata laksana rutin pada anak
kerja magnesium adalah dengan menghambat dengan status asmatikus.
kontraksi otot polos bronkus dan menyebabkan
bronkodilatasi. Pemakaian magnesium sulfat
dalam tata laksana status asmatikus masih
kontroversial. Dosis yang biasa dipakai 25-50 PNEUMONIA
mg/kgBB/kali selama 30 menit, diberikan tiap Definisi pneumonia adalah infeksi atau
4 jam. Dapat diberikan dengan infus kontinu inflamasi pada saluran napas bagian bawah,
10-20 mg/kgBB/jam. Kadar magnesium serum yang dihubungkan dengan adanya gambaran
harus selalu dipantau. perselubungan/opacity pada foto dada.
Terdapat 3 klasifikasi pneumonia di PICU:
Ventilasi Mekanik Non-Invasif 1. Pneumonia yang diperoleh selama
Non-Invasive Positive-Pressure Ventilation perawatan di rumah sakit: Hospital-
(NIPPV) merupakan alternatif pilihan selain Acquired Pneumonia (HAP) dan
ventilator konvensional yang telah biasa Ventilator-Acquired Pneumonia (VAP)
dikenal. Masih sedikit penelitian klinis yang
Pasien normal
Inspirasi
Pasien asma

Aliran (Limit)
WaKtu (detiK)

EKshalasi
Air
Tragging

Gambar 9.14. Hiperinflasi dinamik dan air trapping pada asma

2. Pneumonia berat yang berasal dari dan VAP biasanya disebabkan oleh basil
komunitas (Community-Acquired Gram negatif aerobik (seperti: Pseudomonas
Pneumonia/CAP). aeruginosa, Klebsiella pneumoniae dan
3. Pneumonia pada anak dengan status Acinetobacter sp.) atau kokus Gram positif
imunitas rendah (pneumonia in (seperti: Staphylococcus aureus dan sebagian
immunocompromised children) besar Methicillin Resistant Staphylococcus
Aureus/MRSA). Pada pasien yang diduga
menderita HAP, sampel sekret saluran napas
bawah harus diambil untuk diperiksa
hosPitAl-AcQuiReD PNeuMoNiA (hAP)
sebelum dilakukan penggantian antibiotika.
DANVeNtilAtoR-AssociAteD PNeuMoNiA (VAP) Pada semua pasien yang dicurigai menderita
Hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah VAP harus dilakukan pemeriksaan kultur
pneumonia yang timbul dalam waktu 48 darah dan kultur sekret saluran napas bagian
jam setelah rawat inap, tidak dalam masa bawah. Jika pengambilan sekret saluran
inkubasi pada saat pasien masuk. Hospital- napas bawah secara bronkoskopik tidak
acquired pneumonia (HAP) merupakan infeksi tersedia maka pengambilan sekret secara
nosokomial yang menyumbang 25% dari semua non-bronkoskopik untuk kultur kuantitatif
infeksi di ICU, hampir 90% diantaranya muncul dapat digunakan sebagai petunjuk terapi
pada saat penggunaan ventilasi mekanik. antibiotika.
Ventilator-associated pneumonia (VAP) Infeksi ekstrapulmonar harus
adalah pneumonia yang timbul dalam waktu disingkirkan sebelum memberikan terapi
24-48 jam setelah intubasi endotrakeal, dialami antibiotika. Apabila diduga pneumonia atau
oleh 9-27% dari semua pasien yang menunjukkan tanda sepsis, pemberian
diintubasi. Mikroorganisme patogen terapi antibiotika segera diberikan tanpa
penyebab HAP dan VAP berasal dari alat-alat memperdulikan pemeriksaan sekret saluran
perawatan kesehatan, lingkungan dan transfer napas bawah dapat menemukan bakteri atau
mikroorganisme antara pasien dan staf medis tidak (gambar 9.15). Terapi dini antibiotika
atau antar pasien. Bakteri merupakan harus diberikan dengan cepat karena
penyebab tersering HAP dan VAP, biasanya penundaan akan meningkatkan mortalitas VAP.
bersifat polimikroba terutama pada pasien Terapi dini antibiotika yang tepat dan
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). adekuat diupayakan mengikuti suatu
Hospital-acquired pneumonia (HAP) protokol pemilihan antibiotika yang
disesuaikan dengan pola resistensi rekomendasi. Diharapkan setiap PICU
antibiotika setempat atau berdasarkan mempunyai data lokal tersendiri dan
Tabel 9.2. Terapi antibiotika empiris awal untuk pasien HAP dan VAP tanpa faktor risiko bakteri
multiresisten/MDR (awitan awal dengan berbagai derajat beratnya penyakit)
Patogen potensial Antibiotika yang direkomendasikan
streptococcus pnemoniae Seftriakson
Haemophilus influenzae Atau
Methicillin sensitive Ampisilin/Sulbaktam
staphylococcus aureus
basil Gram negatif enterik sensitif terhadap antibiotika
escherichia coli
Klebsiella pneumoniae
enterobacter spp
Proteus spp
serratia marcesens

Tabel 9.3. Terapi antibiotika empiris awal untuk pasien HAP dan VAP awitan lanjut atau dengan faktor
risiko bakteri multiresisten/MDR dan berbagai derajat beratnya penyakit
Patogen potensial Kombinasi antibiotika yang direkomendasikan
Pseudomonas aeruginosa Sefalosporin antipseudomonal
Klebsiella pneumoniae (extended spectrum Beta- (sefepim, seftazidim)
lactamase/ esBl)
Acinetobacter sp Atau
Karbapenem antipseudomonal
(Imipenem atau Meropenem)
Atau
beta-laktam / inhibitor beta-laktamase
(piperasilin- tazobaktam)
plus
Aminoglikosida (amikasin, gentamisin atau
tobramisin) plus
Methicillin Resistant staphylococcus Aureus (MRsA) Salah satu obat diatas ditambah linezolid, vankomisin atau
teikoplanin

pengobatan VAP yang disebabkan oleh MRSA


menggunakannya pada saat memutuskan terapi (tabel 9.3).
empiris awal. Penilaian serial parameter klinis harus
Apabila pneumonia disebabkan oleh digunakan untuk mengevaluasi respons
Pseudomonas aeruginosa hendaknya terhadap terapi antibiotika empiris dini.
antibiotika yang diberikan merupakan terapi Modifikasi terapi empiris juga harus dibuat
kombinasi, dengan asumsi tingginya berdasar informasi tersebut, yang didukung
frekuensi resistensi pada monoterapi. Bila oleh hasil kultur. Ketiadaan respons terapi
ditemukan spesies Acinetobacter, obat biasanya terlihat pada hari ketiga, berdasarkan
yang paling aktif adalah karbapenem, penilaian klinis. Perbaikan klinis biasanya
sulbaktam, kolistin dan polimiksin. Jika yang membutuhkan waktu 48-72 jam, oleh karena
terjadi adalah infeksi oleh ESBL, yang paling itu tidak direkomendasikan untuk mengganti
efektif adalah golongan karbapenem terapi dalam rentang waktu tersebut kecuali
sedangkan monoterapi dengan sefalosporin terjadi
generasi ketiga harus dihindari. Linezolid
merupakan alternatif dari vankomisin untuk
Dugaan HAP dan VAP (untuk semua derajat
penyakit)

Awitan lambat (> 5 hari) atau adanya faktor risiko untuk patogen
bakteri Multi Drug Resistance/MDR

Tida Y
k a

Terapi antibiotika Terapi antibiotika spektrum


dengan spektrum luas untuk patogen bakteri
terbatas MDR
Gambar 9.15. Terapi antibiotika empiris untuk hAP danvAP

perburukan klinis secara cepat. Pada pasien Pada populasi anak dan remaja, CAP
yang memperlihatkan respons terapi, harus umumnya disebabkan Mycoplasma
dilakukan de-eskalasi antibiotika, dengan pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae.
mempersempit terapi yang mengacu pada
rejimen sesuai hasil kultur. Pasien yang tidak American Thoracic Society (ATS)
menunjukkan respons hendaknya dicari membuat panduan indikasi rawat di ruang
faktor non-infeksi, infeksi ekstrapulmonal intensif pada pasien dengan CAP. Skor
serta komplikasi lainnya. Pneumonia Severity Index (PSI) pada
dewasa dapat menjadi perangkat untuk
deteksi risiko komplikasi dan kematian.
Untuk populasi anak, belum ada panduan
coMMuNitY-AcQuiReD PNeuMoNiA serupa yang dapat dijadikan pedoman.
(cAP)
Indikasi perawatan di ruang rawat intensif
Pasien anak yang dirawat di ruang rawat pada pasien CAP adalah jika ditemukan:
intensif pediatri sebagian besar mengalami 1. Satu atau dua kriteria
infeksi bakteri. Streptococcus pneumoniae mayor Kriteria mayor:
adalah kuman tersering yang diidentifikasi
sebagai penyebab CAP. Pneumonia karena  membutuhkan tunjangan ventilasi
Haemophilus influenzae sekarang sudah jarang mekanik untuk menjaga kecukupan
ditemukan setelah adanya program imunisasi oksigen dan ventilasi
Haemophilus influenzae tipe B yang ekstensif.  syok septik
Virus Respiratory Syncytial (RSV) merupakan 2. Dua atau tiga kriteria
virus penyebab CAP terbanyak pada balita. minor Kriteria minor :
Virus lain yang sering menyerang di masa
 Tekanan darah sistolik rendah (< 2 SD
bayi adalah adenovirus, virus influenza, virus
sesuai umur)
parainfluenza dan human metapneumovirus.
 penyakit infeksi paru infeksi yang paling umum ditemukan.
multilobar Pemberian dosis rendah trimetoprim-
 rasio PaO /FiO < 250
sulfametoksazol atau
2 2
agen profilasis alternatif lain seperti pentamidine
efektif untuk mencegah PCP.
PNEUMONIA PADA ANAK DENGAN karena Pneumonitis carinii (PCP) merupakan
STATUS IMUNITAS RENDAh
(iMMuNocoMPRoMiseD chilDReN)
Penderita gangguan sistem imun
(Immunocompromised) adalah anak dengan
defisiensi mekanisme sistem imun karena
bawaan lahir/kongenital, gangguan imunologis
didapat atau karena terpapar dengan pajanan
kemoterapi sitotoksik dan steroid. Pasien
transplantasi solid organ atau stem sel
hematopoetik (Hematopoietic Stem Cell
Transplantation/HSCT) yang menerima obat
dan agen penekan sistem imun seumur hidup
akan berisiko lebih tinggi untuk menderita
pneumonia. Begitu juga pasien yang
mengalami netropenia berat (jumlah
netropenia absolut < 500/mL) atau limfopenia
yang berkepanjangan, sangat rentan terhadap
infeksi oportunistik seperti pneumonia.
Paru merupakan organ predominan yang
paling sering mengalami infeksi oportunistik.
Penderita yang mengalami penekanan sistim
imun memiliki faktor predisposisi untuk
mengalami infeksi oleh kuman atau organisme
yang tidak umum menyerang individu
normal yang sehat. Anak dengan gangguan
imun juga rentan untuk terkena
pneumonia oleh organisme yang biasa
mengenai populasi pediatri. Bakteri
penyebab infeksi nosokomial merupakan
penyebab pneumonia terbanyak pada anak
pasca transplantasi,didominasi oleh
Staphylococcus aureus dan patogen Gram negatif.
Infeksi jamur oleh spesies seperti Candida
dan Aspergillus akan menyerang dalam
awitan lebih lambat (sebulan sampai 6
bulan pasca transplantasi).
Kemoprofilaksis untuk mengatasi infeksi
oportunistik merupakan komponen penting
dalam manajemen pasca transplantasi pada
pasien dengan depresi sistem imun. Pneumonia
bRONKIOlITIS AKUT dengan peningkatan morbiditas pada
populasi bayi dan anak sehat.
Bronkiolitis akut merupakan penyakit
tersering dan penyebab sindrom gawat
napas akut pada bayi dan anak umur MANIfESTASI KlINIS DAN TATA
kurang dari 2 tahun, dengan insidens
lAKSANA bROKIOlITIS AKUT
puncak pada tahun pertama
kehidupan. Di negara dengan 4 musim, Pada awal awitannya, bayi dan anak penderita
penyakit ini memiliki pola bronkiolitis akut akan mengalami demam, pilek
epidemiologi khas yaitu prevalensnya dengan sekret yang banyak, batuk keras dan
meningkat pada musim gugur dan kesulitan untuk makan dan minum.
musim dingin. Selanjutnya anak akan terlihat sesak dengan
Bronkiolitis akut sejatinya adalah laju napas cepat, hipoksia dan gejala distres
penyakit yang dapat sembuh sendiri pernapasan seperti napas cuping hidung dan
(self-limited) dengan mortalitas retraksi otot napas tambahan. Pada
rendah (< 1%). Mortalitas dapat pemeriksaan fisis akan ditemukan mengi yang
meningkat sampai 30% jika infeksi dominan, disertai ronki dan pemanjangan
terjadi pada bayi dan anak dengan waktu ekspirasi. Abdomen dapat mengalami
risiko tinggi seperti prematuritas, distensi karena hiperinflasi paru.
defisiensi atau penekanan sistem imun Hipoksia dapat dideteksi dengan alat
atau defek jantung kongenital (tabel pulse oximetry atau pemeriksaan analisis gas
9.4). Walaupun mortalitasnya rendah, darah. Pada kasus yang berat, akan terjadi
bronkiolitis akut berhubungan retensi
CO2. Pemeriksaan foto toraks biasanya tidak efek terapi yang terbatas. Hidrasi yang
menunjukkan gambaran spesifik, umumnya
adekuat dengan suplementasi oksigen
paru akan terlihat hiperinflasi, terdapat infiltrat
adalah dasar utama terapi bronkiolitis akut.
dan peribronchial filling.
Saturasi arterial dipertahankan diatas 92%.
Penilaian klinis masih merupakan baku Penggunaan agonis ß2 masih belum
emas kriteria indikasi rawat inap. Saturasi direkomendasikan karena kurangnya bukti
oksigen arterial (SaO2) merupakan prediktor ilmiah, begitu pula dengan steroid inhalasi
klinis yang paling konsisten sebagai patokan dan sistemik yang masih kontroversial.
penilaian perburukan kondisi klinis, dengan Inhalasi albuterol/fenoterol dan epinefrin
cut offpoint/titik potong pada 90-95%. lebih dipilih karena efektif. Racemic
Kriteria indikasi rawat di PICU adalah epinephrine 2,25% dan L-epinephrine 0,1%
sebagai berikut: dengan dosis 0,1 mg/kgBB dan 0,05 mg/
 laju napas >80 x/menit kgBB setiap 4 jam memberikan hasil yang
baik. Perawatan yang seksama terhadap
 hipoksia dengan SaO2<85%
risiko terjadinya perburukan klinis dan
 terjadi perburukan klinis akibat distres ancaman gagal napas dapat menghindarkan
napas progresif yang mengancam kebutuhan akan terapi invasif. Bantuan
terjadinya gagal napas dan kelelahan otot ventilasi mekanik yang agresif dianjurkan
pernapasan/ fatigue jika diperlukan, untuk mencegah
 ada episode apnea komplikasi selanjutnya.
 gejala diagnostik gagal napas
(PaO <60mmHg, PaCO >50mmHg)
Acute luNG iNJuRY (AlI) DAN Acute
2 2
ResPiRAtoRY DistRess sYNDRoMe (ARDS)
Definisi
Manajemen dan tata laksana
bronkiolitis akut pada bayi dan anak Cedera paru akut merupakan kumpulan
mengalami perubahan sesuai perkembangan gejala akibat inflamasi dan peningkatan
ilmu kedokteran dan masih tetap permeabilitas, onsetnya akut, dengan
kontroversial dengan pembuktian spektrum klinis sesuai

Tabel 9.4. Faktor risiko perburukan klinis pada bronkiolitis akut


Faktor risiko Kondisi yang meningkatkan risiko perburukan
Gejala awal Takipnea dengan atau tanpa
retraksi hipoksia
Kesulitan makan dan minum
Dehidrasi
Usia Dibawah12 bulan (makin muda risiko semakin tinggi)
Komorbiditas Displasia bronkopulmonar
Penyakit jantung kongenital
fibrosis kistik
Defisiensi imun
Prematuritas Masa gestasi < 36 minggu
Lain-lain Malnutrisi
Kemiskinan
Kontak dengan perokok
Predisposisi genetik
derajat cedera/kerusakan paru, yang 2. Kriteria sesuai Konsensus Komite Amerika-
memenuhi kriteria fisiologis dan radiologis,
Eropa untuk Acute Lung Injury dan
tidak disertai dengan hipertensi pulmonal,
Acute Respiratory Distress Syndrome
mempunyai karakteristik progresifitas
tahun1994 (tabel 9.6).
tinggi sehingga menyebabkan kegagalan
pernapasan akut (Acute Hypoxemic Rasio tekanan oksigen parsial (PaO 2)
Respiratory Failure). dengan fraksi inspirasi oksigen (FiO2)
merupakan manifestasi efisiensi oksigenasi
Kriteria klinis cedera paru arterial, pada ALI nilainya < 300 mmHg
Terdapat 2 kriteria umum yang dipakai untuk sedangkan pada ARDS < 200 mmHg
klasifikasi cedera paru: (PaO2/FiO2). Nilai rasio ini tidak dapat
1. Lung Injury Score (LIS) atau skor memprediksi kesintasan (survival) tetapi
dapat memperkirakan fraksi pirau
Murray (tabel 9.5)
intrapulmonal.

Tabel 9.5. Lung Injury Score (LIS) atau skor


Murray
Parameter Skor Mutiara bernas
Radiografi dada • Bronkiolitis akut merupakan penyakit
Tidak ada konsolidasi 0 tersering dan penyebab sindrom gawat
1 kuadran 1 napas akut pada bayi dan anak umur
2 kuadran 2
kurang dari 2 tahun, dengan insiden
3 kuadran 3
puncak pada tahun pertama kehidupan.
4 kuadran 4
hipoksemia (PaO /fiO ) • Sepsis sering menyebabkan kegawatan
2 2
napas seperti ARDS. Rasio tekanan
> 300 0
225-229 1
oksigen parsial (PaO2) dengan fraksi
175-224 2 inspirasi oksigen (FiO2) dipakai
100-174 3 sebagai patokan terjadinya ARDS.
< 100 4 Pada ARDS PaO2/FiO2 lebih kecil
200 mmHg.
PEEP (cmh2O)
<5 0
6-8 1
9-11 2
12-14 3
> 15 4
Komplians (ml/cmh2O)
> 80 0
60-69 1
40-59 2
30-39 3
< 29 4

Nilai akhir diperoleh dari jumlah skor


dibagi 4. Nilai 0 = tidak ada cedera,
Nilai 0,1-2,5 = cedera ringan-sedang
Nilai > 2,5 = cedera parah (Acute Respiratory
Distress syndrome)
faktor risiko dan keluaran
Beberapa faktor risiko terjadinya ALI dan
ARDS pada dewasa sudah dapat
Penyebab AlI dan ARDS diidentifikasi dengan jelas. Pada populasi
bayi dan anak, sangat sedikit rujukan
Cedera paru akut (acute lung literatur dan penelitian klinis yang dapat
injury/ALI) dan ARDS dapat timbul memberikan rincian yang memuaskan
pada berbagai kondisi (tabel 9.7). mengenai faktor risiko ini, oleh karena
keterbatasan akan jumlah sampel,
Tabel 9.6. Konsensus Komite Amerika-Eropa untuk Acute Lung Injury dan Acute Respiratory Distress
Syndrome(1994)
waktu Oksigenasi Radiografi dada Tekanan baji
AlI onset akut PaO2/fiO2 rasio Infiltrat bilateral < 18 mmhg atau tidak terdapat
< bukti klinis hipertensi atrium kiri
300 mmhg
Infiltrat bilateral < 18 mmhg atau tidak terdapat
ARDS onset akut PaO2/fiO2 rasio bukti klinis hipertensi atrium kiri
<
200 mmhg

Tabel 9.7. Penyebab tersering ALI dan ARDS


Pulmonar (direk) Ekstrapulmonar (indirek)
Pneumonia Sepsis
Aspirasi Pankreatitis
Aspirasi hidrokarbon Trauma
Cedera inhalasi Transfusi
Kontusio paru Nyaris tenggelam

kriteria ekslusi yang sangat bervariasi, hipoksemia refrakter yang


pemeriksaan dan tata laksananya seringkali
bersifat individual serta variasi dari definisi
konsensus yang dipergunakan. Hal-hal tersebut
menyebabkan sulitnya memperbandingkan
antara satu penelitian dengan lainnya.
Tingginya insidens sepsis, syok septik
dan disfungsi multiorgan berhububungan
jelas dengan terjadinya ALI/ARDS, baik pada
anak maupun dewasa. Rerata mortalitas
yang dilaporkan oleh para peneliti berkisar
22-54% dan secara signifikan tidak
berkorelasi dengan rasio PaO2/FiO2 yang
menjadi dasar kriteria ALI/ARDS (berbeda
dengan dewasa).

Mekanisme patofisiologi edema paru


pada AlI dan ARDS
Petanda khas ARDS adalah terjadinya edema
paru dan ruang alveoli tergenang oleh cairan
yang akan menyebabkan kolaps alveoli.
Hal ini berdampak pada ketidaksesuaian
ventilasi dan perfusi karena unit alveoli tidak
mampu melakukan ventilasi. Hipoksemia
yang terjadi menggambarkan pirau
intrapulmonar dan sebagian besar adalah
tidak respons dengan suplementasi oksigen. edema paru tipikal akibat akumulasi cairan
Faktor-faktor yang berkontribusi yang berlebihan pada ruang interstitial, yang
menyebabkan edema paru dirangkum dalam melebihi kapasitas absorpsi sistem limfatik paru.
persamaan Starling, yang memprediksi Hipoksia merupakan gambaran esensial ALI
aliran keluar masuknya cairan dalam sistem dan ARDS karena rusaknya pertahanan/barier
kapiler. Peninggian tekanan hidrostatis kapiler alveolar- kapiler. Komplians paru menurun
(sering pada sepsis karena terjadi penurunan (karena volume paru berkurang) dan sebagai
komplians miokard) dan atau perubahan akibatnya penderita akan berusaha
permeabilitas kapiler memegang peran mempertahankan ventilasi semenit dengan
penting dalam terjadinya edema paru. mempercepat laju napas (takipnea).
Peningkatan permeabilitas kapiler paru
menyebabkan rembesan/leakage cairan yang
Manifestasi klinis kaya protein ke dalam ruang alveoli. Endotel
Gambaran klinis ALI dan ARDS adalah dan epitel alveoli mengalami remodelling
sehingga
80 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

terjadi disfungsi dan delesi surfaktan. potensial kerusakan paru lebih lanjut. Tujuan
Selanjutnya akan terjadi atelektasis regional pemberian
dan penurunan EELV. Hal-hal tersebut di
atas menyebabkan hipoksemia yang
refrakter karena tidak akan membaik hanya
dengan pemberian oksigen saja.
Pada awalnya terlihat hipokarbia tetapi
sejalan dengan peningkatan usaha napas,
PaCO2 akan meninggi karena otot pernapasan
sudah mulai lelah. Pada auskultasi dada,
terdengar ronki karena kongesti alveoli. Mengi
kadangkala bisa terdengar jika jalan napas
kecil juga mengalami sumbatan. Air entry
akan berkurang jika terdapat area
konsolidasi. Kesemuanya merupakan gejala
ancaman gagal napas dan pasien memerlukan
tunjangan ventilasi mekanik untuk
menghindarkan henti napas. Pemberian
ventilasi tekanan positif akan membuka unit-
unit paru yang mengalami atelektasis agar
dapat mempertahankan pertukaran gas yang
adekuat.

Manajemen umum
Tata laksana ARDS secara umum adalah
mengatasi penyebab dasarnya seperti sepsis,
pneumonia atau pankreatitis dan memberikan
terapi suportif lain seperti kecukupan
nutrisi, mengatasi gangguan metabolik dan
ketidakseimbangan elektrolit. Strategi yang
diterapkan dalam manajemen ALI dan ARDS
meliputi tata laksana cairan, mempertahankan
saturasi oksigen yang adekuat dan penggunaan
obat-obat inotropik dan vasopresor untuk
mempertahankan curah jantung. Sebagian
besar penderita ARDS meninggal bukan karena
kegagalan pernapasan akan tetapi sebagai
akibat sepsis atau gagal multiorgan yang
terjadi.

Terapi konvensional
ventilasi Tekanan Positif
Prinsip utama tunjangan ventilasi mekanik
pada ALI dan ARDS adalah mencapai
target oksigenasi dengan meminimalkan
Kegawatan Respirasi pada Anak 81
ventilasi tekanan positif dalam bertahap) sampai FiO2 dapat direduksi
manajemen ALI dan ARDS adalah menjadi < 0,6 dengan target saturasi oksigen
untuk mempertahankan pertukaran dipertahankan > 90%. Level PEEP diatur
gas yang adekuat, juga agar pada atau di atas lower inflection point
terpenuhinya kecukupan pasokan (LIP). Kurva tekanan-volume dipakai
oksigen dan tercapainya tekanan gas sebagai tuntunan untuk pengaturan setting
darah normal, dengan pemberian ventilator yang optimal (gambar 9.16).
sejumlah tekanan tertentu.
Meningkatkan tekanan rerata alveolar
(mPalv) merupakan faktor penting KEGAGAlAN PERNAPASAN AKIbAT
dalam pengaturan teknik ventilasi GANGGUAN NEUROMUSKUlAR AKUT
mekanik. Peningkatan mPalv
diperlukan untuk merekrut alveoli Anak dengan gangguan neuromuskular akut
yang kolaps dan mengurangi memerlukan bantuan pernapasan dan
kebutuhan oksigen sehingga perawatan untuk menjaga patensi jalan napas,
mengurangi kemungkinan toksisitasnya pulmonary toilet, terapi oksigen dengan atau
(FiO2< 0,6 dianggap cukup aman dari tanpa ventilasi, intubasi trakeal, tunjangan
efek toksik). Dari berbagai upaya untuk ventilasi ataupun keduanya. Klasifikasi
meningkatkan mPalv, tekanan positif gangguan neuromuskular akut pada anak
di akhir ekspirasi (Positive End- sesuai gangguan primer lokasi patologi yang
Expiratory Pressure/PEEP) terkena: otak (hipoventilasi sentral),
merupakan cara paling efektif untuk tulang belakang (trauma), kornu
mempertahankan mekanika paru dan anterior/anterior horn cells (poliomyelitis), saraf
menghindarkan ventilatory-induced tepi (sindrom Guillain-Barre), penghubung
lung injury (VILI). Level PEEP neuromuskular (botulism, miastenia gravis)
ditingkatkan incrementally (menanjak dan sistem otot rangka (distrofi muskular).
MEKANIKA DAN REGUlASI Penyakit pada otak dan batang otak
PERNAPASAN PADA GANGGUAN menyebabkan depresi pernapasan dengan
NEUROMUSKUlAR AKUT karakteristik pola respirasi sentral: hiperventilasi,
Regulasi pernapasan dijalankan bersamaan ireguler, pernapasan ataxic atau cluster,
oleh mekanisme persarafan yang volunter dan hiccups, hipopnea dan apnea. Gangguan pada
bulbar dapat menyebabkan kegagalan
involunter. Kontrol volunter diatur oleh
pengeluaran sekret dan aspirasi. Bayi dan
korteks serebri sedangkan kontrol involunter
anak yang tidak mampu untuk
diatur oleh batang otak terutama medula
mengeluarkan sekret akan lebih mudah
oblongata, dengan dibantu oleh pons dan vagus.
terkena infeksi paru, yang dapat
Pernapasan spontan merupakan hasil dari
memperburuk kondisi klinisnya. Malfungsi
pelepasan ritmis inervasi motor neuron pada
dari unit motor neuron (kornu anterior,
otot pernapasan dibawah kontrol regulasi
penghubung neuromuskular) mengakibatkan
oleh batang otak ataupun perubahan pada ketidakmampuan untuk menjaga jalan napas
PaO2, PaCO2 dan keasaman darah (pH). dan disfungsi otot pernapasan.
Bagian aferen dari mekanisme umpan balik
adalah input dari jaringan, jalan napas dan Inspirasi adalah suatu proses aktif karena
badan karotis yang mengirim sinyal ke sistem ekspansi dinding dada dan paru serta
saraf pusat. Sedangkan bagian eferen merespons penekanan sekat diafragma sehingga volume
sinyal aferen tersebut, mengirimkannya dari intratorakal bertambah, sedangkan ekspirasi
sistem saraf pusat melalui saraf kranial dan adalah proses pasif akibat elastic recoil paru
saraf tepi ke otot pernapasan, dengan keluaran dan relaksasi
berupa peningkatan atau pengurangan VT EKspirasi C
aktifitas
pernapasan. Mekanisme umpan balik ini
berfungsi untuk mempertahankan dan Volume
menjaga patensi jalan napas, usaha bernapas Inspirasi
dan pertukaran gas. A B
Pada proses pernapasan, kedua paru
dan otot dinding dada berlaku sebagai
pompa.
TeKanan TIP (TeKanan
Dalam mempertahankan proses pernapasan inpirasi puncaK)
normal, sangat penting untuk menjaga
integritas
hubungan antara pusat pengaturan pernapasan Gambar 9.16. Kurva tekanan volume pada alveoli normal
dan pada lung injury
dan paru.

Normal
Volume (ml)l600
4
Volume (ml)l600 l l l
0
l400 0
LIP
l200 2
(Lower
l000 0
insflexi
0
800 on
0 point)
600 0
400 0
200 8
0
0
0
6
0
4
0
0

Cedera Paru 2
0 l0 20 30 40 50 60 0 l0 20 30 40 0 50 60
TeKanan TraKea (cm H2O) 0 (cm H2O)
TeKanan TraKea
0
Gambar 9.17. Patofisiologi gagal napas pada gangguan neuromuskular
PATOFISIOLOGI GAGAL NAPAS PADA GANGGUAN NEUROMUSKULAR

Gambar 9.18

diafragma (gambar 9.16). Ketidakmampuan


EvAlUASI DISfUNGSI PERNAPASAN
usaha inspirasi yang normal akibat
kelemahan neuromuskular akan menyebabkan PADA ANAK DENGAN GANGGUAN
menurunnya volume tidal, disertai NEUROMUSKUlAR
peningkatan laju napas sebagai upaya Anak dengan kelemahan nyata pada otot
kompensasi untuk meninggikan ventilasi orofaring sering tersedak, bicara tidak jelas,
semenit (gambar 9.17). Pola napas cepat, disfonia, kesulitan mengeluarkan sekret dan
shallow breathing, penurunan komplians paru berisiko tinggi untuk mengalami aspirasi
dan peningkatan usaha napas (work of pneumonia. Kelemahan otot diafragma
breathing/WOB) akan menyebabkan hipoksemia berakibat ketergantungan pada otot napas
dan hiperkapnia. Refleks batuk yang tidak tambahan sehingga di malam hari akan
efektif dapat mengakibatkan retensi dan terjadi hipoventilasi saat tidur karena
aspirasi sekret sehingga terjadi hipotonia otot sela iga. Kegagalan
mikroatelektasis. Penurunan tonus otot pernapasan dapat terjadi dengan atau tanpa
pernapasan juga berdampak pada penurunan peningkatan laju napas.
kapasitas fungsional residual (FRC) dan
Sebagian besar penderita kelemahan
akhirnya gangguan pertukaran gas.
neuromuskular memperlihatkan gejala
pernapasan paradoks (paradoxical breathing).
Napas paradoks berupa gerakan kontras infeksi paru dapat muncul lebih cepat
antara dada dan abdomen. Pada saat daripada
inspirasi, dinding dada tertarik ke dalam
akibat kelemahan otot sela iga sedangkan
abdomen ekspansi ke arah luar akibat
kontraksi diafrgma. Pola ini sangat berbeda
dengan normal yaitu pada saat inspirasi
diafragma berkontraksi yang mengakibatkan
ekspansi abdomen dan kontraksi sela iga
sehingga dada mengembang dalam gerakan yang
sinkron.
Abnormalitas laboratorium seperti
analisis gas darah dipergunakan untuk
memantau kemungkinan gagal napas.
Temuan pada foto toraks tidak spesifik.
Gambaran peninggian hemidiafragma pada
fase inspirasi dan ekspirasi mengindikasikan
paralisis diafragma. Pemeriksaan spirometri
yang dikerjakan bed- side dapat membantu
menilai keparahan dan progresifitas
gangguan pernapasan.

MANAjEMEN ANAK DENGAN


KEGAGAlAN PERNAPASAN PADA
GANGGUAN NEUROMUSKUlAR AKUT
DI PICU
a. Manajemen umum
Manajemen suportif dan perawatan umum
bertujuan untuk menghindarkan komplikasi
sebagai dampak kelemahan otot general dan
imobilisasi dalam waktu lama. Tata laksana
meliputi fisioterapi, mobilisasi terbatas
untuk upaya pencegahan kontraktur dan
dekubitus, pencegahan deep vein thrombosis
dan pemberian nutrisi enteral yang memadai
untuk mencegah atrofi mukosa lambung dan
usaha mencegah infeksi nosokomial.

b. Manajemen perawatan
dan pemantauan
pernapasan
Fungsi pernapasan harus selalu dipantau dan
dievaluasi, karena kegagalan pernapasan akibat
perburukan status neurologisnya. Insufisiensi ventilation (NIV) terbatas kegunaannya
otot ventilasi dan kelemahan diafragma pada populasi pediatri.
tidak berkorelasi dengan kelemahan
neuromuskular umum. Manifestasi klinis
dari kelemahan otot pernapasan berupa sesak KEPUSTAKAAN
napas dan peningkatan laju napas,
penurunan volume tidal, gerakan paradoks 1. Bigham MT, Brilli RJ. Status asthmaticus.
Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’
dada saat inspirasi dan perubahan pola
textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-
pernapasan. Hiperkapnia dapat muncul
4. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;
terlambat. Bedside spirometry (jika 2008. H. 686-751.
tersedia) sangat dianjurkan. FVC kurang
2. Chiumello D, Barbas CSV, Pelosi P.
dari 15-20 mL/kg BB akan berarti risiko
Pathophysiology of ARDS. Dalam: Lucangelo
tinggi terjadinya gagal napas. Indikasi
U, Pelosi P, Zin WA, Aliverti A, penyunting.
intubasi dan tunjangan ventilasi mekanik jika Respiratory System and Artificial Ventilation.
terjadi insufisensi fungsi pernapasan. London: Springer-Verlag; 2008. h. 101-14.
Ventilasi mekanik segera diberikan 3. De Carvalho WB, Johnston C, Fonseca
untuk menjamin kecukupan ventilasi MCM. Bronchiolitis and pneumonia. Dalam:
semenit. Jika anak masih mampu Nichols DG, penyunting. Rogers’ textbook of
memperlihatkan usaha napas, synchronize pediatric intensive care. Edisi ke-4.
intermittent mechanical ventilation (SIMV), Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;
pressure-support ventilation (PSV) atau 2008. h. 716-28.
kombinasi keduanya lebih 4. Guill MF, Shanley TP. Neuromuscular
direkomendasikan. Pada kasus yang berat, respiratory failure. Dalam: Wheeler DS, Wong
lakukan intubasi dan ventilasi dengan HR, Shanley
modus kontrol. Penggunaan non-invasive
TP, penyunting. The respiratory tract in
13. Nunn JF. Applied respiratory physiology.
pediatric critical ilness and injury. London:
Edisi ke-3. London: Butterworths; 1987. h
Springer- Verlag; 2009. h. 219-26.
30-3.
5. Haddad IY, Cornfield DN. Pneumonia and
14. Powell FL, Heldt GP, Haddad GG. Respiratory
empyema. Dalam: Wheeler DS, Wong HR,
physiology. Dalam: Nichols DG, penyunting.
Shanley TP, penyunting. The respiratory tract
Rogers’ textbook of pediatric intensive
in pediatric critical ilness and injury. London:
care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincot
Springer-Verlag; 2009. h. 203-10.
Williams & Wilkins; 2008. h. 631-83.
6. Hameed SM, Aird WC, Cohn SM. Oxygen
15. Shanley TP. The developmental of pulmonary
delivery. Crit Care Med. 31;2003:S658-67.
edema in acute respiratory distress
7. Jain M, Sznajder I. Peripheral airways injury syndrome. Dalam: Kooy NW, Conway EE,
in acute lung injury / acute respiratory peyunting. Pediatric multiprofessional critical
distress syndrome. Dalam: Vincent JL, care review. Society of Critical Care Medicine;
penyunting. Respiratory system. Current 2005. h. 3-11.
opinion in critical care 2008;14:37-41.
16. Singhi S, Khadwal A, Bansal A. Acute
8. Jeffries HE, Martin LD. Respiratory physiology. neuromuscular disease. Dalam: Nichols DG,
Dalam: Wheeler DS, Wong HR, Shanley TP, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric
penyunting. The respiratory tract in pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
critical ilness and injury. London: Lippincot Williams & Wilkins; 2008. h. 778-
Springer- Verlag; 2009. h. 1-12. 98.
9. Leach RM, Treacher DF. The pulmonary 17. Ventre KM, Arnold JH. Acute lung injury
physician in critical care 2: oxygen delivery and acute respiratory distress syndrome.
and consumption in the critically ill. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogers’
Thorax. 2002;57:170-7 textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4.
10. LeVine AM. Bronchiolitis. Dalam: Wheeler Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;
DS, Wong HR, Shanley TP, penyunting. The 2008. h. 731-51.
respiratory tract in pediatric critical ilness 18. Vish M, Shanley TP. Acute lung injury and
and injury. London: Springer-Verlag; 2009. h. acute respiratory distress syndrome. Dalam:
195-9. Wheeler DS, Wong HR, Shanley TP,
11. Newth CJL. Developmental physiology of the penyunting. The respiratory tract in
respiratory system. Dalam: Kooy NW, Conway pediatric critical ilness and injury. London:
EE, peyunting. Pediatric multiprofessional Springer-Verlag; 2009. h. 49-61.
critical care review. Society of Critical Care 19. Wheeler DS, Page K, Shanley TP. Status
Medicine; 2005. h. 1-2. asthmaticus. Dalam: Wheeler DS, Wong
12. Newth CJL. Pulmonary mechanics and HR, Shanley TP, penyunting. The respiratory
monitoring of respiratory function. Dalam: tract in pediatric critical ilness and injury.
Kooy NW, Conway EE, peyunting. Pediatric London: Springer-Verlag; 2009. h. 169-83.
multiprofessional critical care review. Society of 20. Wheeler DS. The pediatric airway. Dalam:
Critical Care Medicine; 2005. h. 3-11. Kooy NW, Conway EE, peyunting. Pediatric
multiprofessional critical care review. Society of
Critical Care Medicine; 2005. h. 19-21.
21. Yuh-Chin TH. Monitoring oxygen delivery
in the critically ill. Chest. 2005;128:554S-
60S
10 ventilasi Mekanik
Konvensional pada Anak
Dadang Hudaya Somasetia, Antonius Pudjiadi

PENDAhUlUAN atrofi otot napas, disrupsi sambungan otot


dan rawan serta abrasi epitel saluran
Ventilator mekanik adalah alat bantu napas.
pernapasan yang digunakan untuk
menunjang fungsi pernapasan. Ventilasi
tekanan positif adalah alat bantu Mutiara bernas
pernapasan yang menghasilkan tekanan
Bayi dan anak secara anatomik dan fisiologis
positif untuk mengalirkan gas ke dalam paru.
berbeda dari dewasa, karena itu banyak
Pada awal berkembangnya perangkat ini,
penelitian yang dilakukan pada dewasa tidak
rancang bangun ventilator mekanik
mengalirkan udara ke dalam paru dengan dapat diterapkan pada anak.
menggunakan piston (volume generated) atau
berdasar perbedaan tekanan (pressure generated)
(Gambar 10.1). Volume generated ventilators Tipe Napas
dapat menjamin jumlah gas yang masuk namun
mudah mengakibatkan barotrauma. Pressure Berdasarkan pemicu napas (breath initiation),
generated ventilators membatasi tekanan yang pengaturan gas selama fase inspirasi dan
diterima sistem pernapasan, namun volume perubahan fase inspirasi ke ekspirasi, maka tipe
tidal yang dihasilkan berubah-ubah. Ventilator pernapasan dapat dibagi menjadi controlled,
generasi baru menggunakan mikroprosesor assist-controlled, assisted-spontaneous dan
untuk mengatur aliran udara. Teknologi spontaneous (Tabel 10.1).
mikroprosesor memungkinkan ventilator
menghasilkan berbagai bentuk gelombang
sesuai dengan kehendak operatornya. MODUS DASAR vENTIlATOR
Bayi dan anak secara anatomik dan
fisiologis berbeda dari dewasa, karena itu Modus Kontrol
banyak penelitian yang dilakukan pada Modus ini digunakan bila pasien tidak
dewasa tidak dapat diterapkan pada anak. dapat bernapas sama sekali, misalnya pada
Anak mempunyai tahanan sistem kelumpuhan atau pasien dalam pengaruh
pernapasan yang tinggi, menurun sejalan anestesi. Modus kontrol dapat juga
dengan pertumbuhan tinggi badan. digunakan untuk tujuan lain seperti
Pertumbuhan jaringan paru bayi lebih cepat pengaturan kadar CO2 dan O2 pada cedera
daripada saluran napasnya, karena itu bayi otak atau hipertensi pulmonal. Pada modus
pada umumnya rentan terhadap air trapping. ini, seluruh pernapasan di atur oleh ventilator,
Ventilator juga berpengaruh terhadap baik trigger, aliran udara inspirasi maupun
deformitas saluran napas seperti penipisan perubahan fase inspirasi
jaringan rawan,
86 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Uda
Direct linear gear drive Ru ra2
O
Flo 50
w an
Ru 50
PSI
PSI
katup
inspi
cont gA
an
rator eksha
rolpress g bke
High pressure pneumatic drive y lasi
(meure
line pas
ter)
gaug ien
e
High tension spring drive

Rotary drive

Indirect drive

Gambar 10.1. Rancang bangun ventilator tipe volume generated dan pressure generated

Tabel 10.1.Tipe Napas


Tipe Napas Pemicu napas Inspirasi Siklus ke ekspirasi
Controlled Mesin Flow/volume control atau Mesin
Pengaturan frekuensi Pressure control Pengaturan waktu inspirasi
napas Flow/volume control atau Mesin
Assist-controlled Pasien Pressure control Pengaturan waktu inspirasi
Inspiratory trigger
Mesin
Pengaturan frekuensi
napas
Assisted- Pasien Pressure control Pasien
spontaneous Inspiratory Pengaturan Pressure Trigger ekspirasi
trigger support
Spontaneous Pasien Pressure control Pasien
Inspiratory Pengaturan PEEP/CPAP Trigger ekspirasi
trigger

ke ekspirasi. Berdasar aliran udara inspirasi, masing- masing modus tersebut, ventilator
modus kontrol dapat dibagi menjadi modus modern
volume control dan pressure control. Pada modus
volume control, ventilator mengalirkan volume
tidal yang ditentukan operator, sedang pada
pressure control operator menentukan target
tekanan maksimal pada sistem pernapasan.
Bila komplians sistem pernapasan berubah,
modus volume control dapat mengakibatkan
barotrauma, sedangkan modus pressure
control menghasilkan volume tidal yang tidak
adekuat. Untuk menghindari kelemahan dari
Ventilasi Mekanik Konvensional pada Anak 87
menggunakan mikroprosesor yang namun menghindari barotrauma. Assist
mengontrol volume dan pressure sambil control adalah modus kontrol yang
mengukur komplians sistem memberikan kemungkinan pada pasien untuk
pernapasan. Berbagai mode ventilator memicu napas tambahan yang seluruhnya tetap
baru yang didasarkan atas modus dikontrol oleh ventilator. Untuk tujuan ini,
kontrol antara lain adalah modus ventilator memiliki penggaturan ‘trigger’ yang
pressure regulated volume control, dapat diatur sesuai kemampuan pasien.
yang memberi jaminan volume tidal Pengaturan trigger yang
terlalu peka mengakibatkan frekuensi napas paru pada gangguan yang bersifat restriktif.
meningkat, dapat berakibat penurunan tekanan
parsial karbondioksida darah arteri (PaCO2)
dan mengganggu fungsi hemodinamik.
Modus Intermittent Mandatory
Ventilation
Modus ini digunakan bila pasien dapat
bernapas namun belum cukup efektif. Pada
modus ini sebagian napas dilakukan oleh
pasien, sebagian lain oleh mesin. Modus
yang telah disempurnakan dikenal dengan
sychronized intermittent mandatory
ventilation (SIMV) yang menyelaraskan
napas pasien dan mesin hingga tidak terjadi
benturan napas (ventilator mendorong gas
masuk saat fase ekspirasi napas pasien atau
sebaliknya). Seringkali modus ini
dikombinasikan dengan pressure support yaitu
pemberian bantuan aliran gas oleh ventilator
sampai tekanan yang ditentukan oleh
operator (pressure targeted ventilation) pada
setiap upaya napas pasien.

Modus Pressure Support dan Volume


Support
Pada modus ini, setiap upaya inspirasi pasien
akan memicu ventilator untuk memberikan
tekanan positif sampai target yang ditetapkan
operator. Pressure support mengurangi work of
breathing. Pada ventilator tertentu
dimungkinkan juga modus volume support
yang pada dasarnya memberikan volume
sampai target yang ditetapkan operator saat
pasien melakukan upaya inspirasi.

Modus Continuous Positive Airway Pressure


(CPAP)
Pada modus CPAP, seluruh napas dikontrol
oleh pasien. Ventilator memberikan aliran
gas bertekanan positif sepanjang siklus
napas. CPAP meningkatkan mean airway
pressure, karena itu meningkatkan kadar
oksigen darah. CPAP mempertahankan
tekanan agar dapat memperbaiki komplians
T-piece trials pernapasan memenuhi fungsi pertukaran gas
yang diharapkan. Beberapa kondisi yang
T-piece trials bukan suatu modus menyebabkan dibutuhkannya penggunaan
ventilator. Pada T-piece trials, pasien ventilator mekanik antara lain adalah
bernapas melalui pipa endotrakeal yang keterbatasan mekanik misalnya pada
dialiri udara dengan volume kira-kira 2,5 kali kelumpuhan otot napas, obstruksi jalan
lebihbesardari minute ventilation. Teknik ini napas misalnya pada asma bronkial, dan
digunakan pada penyapihan. Apabila dalam gangguan paru misalnya edema paru dan
waktu 1-2 jam pernapasan normal dengan T- pnemonia.
piece trials dapat dipertahankan, umumnya
pasien siap diekstubasi.
Pengaturan variabel ventilator
Setelah modus ventilator ditentukan,
PENGGUNAAN vENTIlATOR MEKANIK pengaturan selanjutnya meliputi:
Indikasi
volume tidal
Indikasi penggunaan ventilator mekanik
sangat luas, meliputi penyebab primer Ruang rugi sangat bervariasi pada setiap orang,
gangguan sistem pernapasan hingga namun pada umumnya digunakan nilai 2,2 mL/
indikasi lain di luar gangguan saluran kg berat badan ideal. Bila volume tidal
pernapasan. Keputusan untuk kurang dari volume ruang rugi, maka
menggunakannya merupakan kombinasi praktis tidak akan terjadi pertukaran gas.
dari pertimbangan klinis yang terdiri dari Untuk penggunaan praktis biasanya
kondisi fisik dan data penunjang yang digunakan nilai minimal volume tidal dua
menunjukkan ketidakmampuan fungsi kali volume ruang rugi yaitu
4,4 mL/kg berat badan ideal. Sebaliknya constant, maka target volume tidal tidak
penggunaan volume tidal yang terlalu besar akan tercapai. Faktor yang juga mempengaruhi
atau tekanan yang terlalu tinggi dapat berakibat waktu inspirasi maupun ekspirasi adalah
trauma tekanan (pnemotoraks) dan biologis rasio waktu inspirasi terhadap ekspirasi
(pelepasan mediator inflamasi). Tekanan (I:E ratio).
yang berlebihan juga mempengaruhi kinerja
jantung hingga mempengaruhi hemodinamik Rasio Inspirasi:Ekspirasi (I:E ratio)
secara keseluruhan. Pada anak volume tidal Beberapa produk ventilator menggunakan
awal yang dianjurkan adalah 6 mL/kg berat frekuensi napas dan I:E ratio untuk
badan ideal, pada neonatus 5 mL/kg berat mengatur waktu inspirasi dan ekspirasi
badan. ventilator. Produk lainnya menggunakan
frekuensi dan waktu inspirasi. Bila waktu
inspirasi tidak cukup, maka volume tidal
Mutiara bernas yang ditargetkan tidak akan tercapai. Bila
Bila volume tidal kurang dari volume waktu ekspirasi tidak cukup, maka sebelum
ruang rugi, maka praktis tidak akan terjadi volume dalam sistem pernapasan keluar semua
pertukaran gas. Untuk penggunaan (ekspirasi), ventilator memberi aliran gas
praktis biasanya digunakan nilai minimal baru (inspirasi). Keadaan ini menyebabkan
volume tidal dua kali volume ruang rugi peningkatan tekanan intratoraks yang dapat
yaitu 4,4 mL/ kg berat badan ideal. berakibat barotrauma dan/atau gangguan pada
sistem hemodinamik. Pada ventilator
modern ketidakcukupan waktu inspirasi atau
frekuensi napas ekspirasi dapat tergambar pada grafik skalar
(gelombang aliran gas, tekanan dan volume
Untuk pengaturan awal, sebelum diketahui terhadap waktu) yang tampak pada layar
komplians dan resistensi sistem pernapasan, monitor (Gambar 10.2). Waktu inspirasi
dapat digunakan pedoman frekuensi napas awal yang dianjurkan sesuai usia adalah:
sesuai usia seperti berikut:
 Neonatus 0,35-0,6 detik
 Neonatus 30-60/menit  Anak >2 tahun 0,85-1,0 detik
 Bayi 25-30/menit
 1-5 tahun 20-25/menit Mutiara bernas
 5-12 tahun 15-20/menit Ketidakcukupan waktu inspirasi atau
 >12 tahun 12-15/menit ekspirasi dapat tergambar pada grafik skalar

Limitasi frekuensi napas terdapat pada


komplians dan resistensi sistem pernapasan
pasien, karena frekuensi napas menentukan
panjang satu siklus napas (60 detik dibagi
frekuensi napas). Kombinasi resistensi dan
komplians menentukan waktu yang dibutuhkan
untuk masuk dan keluarnya gas ke dalam
sistem pernapasan. Perkalian komplians dan
resistensi dikenal dengan istilah time constant.
Bila waktu inspirasi atau ekspirasi lebih
pendek dari time
Aliran

cukup
waktu ekspirasi tidak
Gambar 10.2. Grafik skalar untuk menilai waktu inspirasi
dan
ekspi
rasi

u
Wakt
Tekanan (cm H2O)

PIP P
= P
Pplt Ra =
w CL
T

PEEP

Waktu (detik)

Gambar 10.3. Komplians sistem pernapasan


Keterangan :
PEEP = Pos¡t¡ve End Exp¡atory Pressure
PIP = Peak Insp¡ratory Pressure
Positive End Espiratory Pressure (PEEP)
Gambar 10.4. PIP pada Volume Generated Ventilator
Bila pada akhir ekspirasi tekanan tetap PIP: Peak Inspiratory Pressure;vT: volume tidal; ClT:
komplians paru; RAw: resistensi jalan napas;v:
dipertahankan diatas tekanan atmosfir, maka
aliran
pengaturan ini disebut dengan PEEP. Pengaturan
PEEP bertujuan agar sistem pernapasan
berada dalam komplians terbaik (perubahan pengaturan awal modus pressure control, PIP
tekanan yang terkecil untuk menghasilkan dapat ditargetkan pada 15 cmH2O.
perubahan volume terbesar) (Gambar 10.3).
PEEP juga memperbaiki pertukaran oksigen Trigger Sensitivity
paru. Pemberian PEEP yang tinggi dapat
Pengaturan ini ditujukan agar pasien dapat
mempengaruhi kinerja jantung. Pada
memicu pernapasan ventilator. Pengaturan
gangguan napas yang bersifat obstruktif,
trigger sensitivity amat bergantung kepada
PEEP juga dapat mengganggu komplians
kondisi pasien. Pada ventilator generasi awal,
sistem pernapasan. Untuk pengaturan awal
picu napas terjadi akibat tekanan negatif yang
umumnya PEEP ditetapkan pada 5 cmH2O.
terjadi saat pasien melakukan inspirasi. Pada
modus yang menggunakan PEEP, tekanan
Peak Inspiratory Pressure (PIP) negatif baru dapat terjadi bila pasien dapat
Pada pressure generated ventilators atau modus membuat tekanan negatif lebih besar dari
pressure control pada ventilator modern, PIP PEEP yang diberikan. Pada ventilator
ditentukan oleh operator. PIP ditetapkan untuk modern, picu napas dapat terjadi akibat
memperoleh volume tidal yang ditargetkan. perubahan aliran gas yang terjadi di dalam
Pada volume generated ventilators atau modus selang ventilator. Dengan teknik ini, bayi
volume control pada ventilator modern, PIP prematur sekalipun dapat dengan mudah
merupakan akibat interaksi antara volume memicu napas ventilator.
yang diberikan dan sistem pernapasan
(Gambar 10.4). Beberapa produk
ventilator menggunakan parameter delta P PENGATURAN CO2 DARAh
yang merupakan selisih nilai PIP dan PEEP.
Pada ventilator semacam ini PIP ditentukan Kadar CO2 darah ditentukan oleh produksi
pula oleh nilai PEEP. Pada dan eliminasi berdasar rumus:
90 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

VCO2 x 0,863 Kadar oksigen darah dipengaruhi oleh fraksi


PaCO2 = inspirasi oksigen (FiO2) dan mean airway
VA
VCO2 Produksi CO pressure (MAP). MAP terutama dipengaruhi
2
VA VE-VD oleh positive end expiratory pressure (PEEP), waktu
inspirasi, peak inspiratory pressure (PIP) dan
VE Ventilasi semenit
frekuensi napas. Karena parameter ventilator
VD Ventilasi ruang rugi untuk mengubah MAP sama dengan
0,863 Unit konversi menjadi mmHg parameter untuk mengubah volume tidal,
maka berbagai perubahan yang dilakukan
untuk mengubah
Tekanan partial CO2 darah arteri kadar CO2 akan berpengaruh pula pada kadar
(PaCO2) O2. Untuk itu, setiap perubahan yang
dilakukan
berkorelasi terbalik dengan ventilasi semenit selalu harus mempertimbangkan pengaruh
(minute ventilation). Ventilasi semenit merupakan pada oksigen dan karbondioksida.
produk volume tidal (tidal volume) dan
frekuensi semenit. Karena itu perubahan Karena bahaya penggunaan oksigen,
selalu gunakan FiO2 terendah untuk
PaCO2 yang diharapkan dapat tercapai
mencapai kadar oksigen darah yang
dengan merubah ventilasi semenit,
memadai.
menggunakan rumus:
PaCO2 saat ini
ventilasi semenit yang harus x ventilasi semenit saat
dicapai = PaCO2 yang akan ini
dicapai

Pada modus volume control, perubahan PENyAPIhAN


dapatdilakukan dengan merubah frekuensi
napas atau volume tidal. Pada modus pressure Penyapihan dilakukan segera bila indikasi
control volume tidal dipengaruhi oleh selisih penggunaan ventilator tidak ada lagi. Penilaian
antara PIP dan PEEP, karena itu perubahan kemampuan pasien untuk bernapas tanpa
volume tidal dapat dilakukan dengan ventilator perlu dipertimbangkan. Pada
meningkatkan PIP atau menurunkan PEEP. umumnya penyapihan dapat dipertimbangkan
Pilihan untuk menaikkan frekuensi napas bila kebutuhan PEEP < 8 cmH2O dan FiO2<
atau volume tidal, menaikkan PIP atau 0,4, tanpa peningkatan work of breathing dan
menurunkan PEEP, amat tergantung pada sistem kardiovaskular stabil. Parameter lain
keadaan pasien saat itu. yang sering pula digunakan antara lain adalah
PaO2/FiO2 > 150-300, kadar hemoglobin > 8
-10 g/dL, tidak ada asidosis respiratorik, kadar
PENGATURAN OKSIGEN DARAh elektrolit normal, tidak ada gangguan asam-
basa, tidak ada demam

Tabel 10.2. Rekomendasi Pengaturan Awal Ventilator


FiO2 dapat dimulai dari 1,0 atau bila diketahui, sesuai fiO 2 sebelumnya, segera diturunkan untuk mencapai saturasi 92-
94%
Volume tidal 5-6 ml/kg. Upayakan PIP tidak melebihi 30 cmh2O.
Frekuensi napas sesuai usia
Waktu inspirasi untuk neonatus 0,35-0,8 detik, pada anak >2 tahun 0,85-1,0 detik
Ventilasi Mekanik Konvensional pada Anak 91
PEEP 5cm h2O
Trigger sensitivity diatur agar dapat dipicu oleh upaya pasien yang minimal namun tidak menimbulkan autocycling
Tabel 10.3. Parameter yang berhubungan dengan risiko kegagalan penyapihan.
Variabel Risiko rendah (<10%) Risiko tinggi (>25%)
vTspont (ml/kg) >6,5 <3,5
fiO2 <0,30 >0,40
Paw (cmh2O) <5 >8,5
OI <1,4 >4,5
frve (%) <20 >30
PIP (cm h2O) <25 >30
Cdyn (ml/kg/cm h2O) >0,9 <0,4
vt/Ti (ml/kg/detik) >14 <8
vTspont, indeks volume tidal spontan terhadap tinggi badan; fiO2, fraksi oksigen inspirasi; Paw, mean airway pressure; OI,
indeks oksigenasi; frve, fraksi ventilasi semenit pada ventilator; PIP, tekanan inspirasi puncak; Cdyn, komplians
dinamis;vt/Ti, rerata aliran inspirasi.
Konversi unit SI: 1 cm h2O = 0,098 kPa.

(suhu <38oC), penggunaan obat penunjang Mutiara bernas


hemodinamik minimal dan kemampuan batuk
yang adekuat. Teknik penyapihan dilakukan Kadar oksigen darah dipengaruhi oleh
dengan mengurangi bantuan ventilator fraksi inspirasi oksigen (FiO2) dan mean
secara bertahap sampai pasien mampu airway pressure (MAP). MAP terutama
bernapas sendiri. Bila dengan tunjangan dipengaruhi oleh positive end expiratory
yang minimal pasien dapat mempertahankan pressure (PEEP), waktu inspirasi, peak
pernapasan normal untuk jangka waktu inspiratory pressure (PIP) dan frekuensi
tertentu (1-2 jam), umumnya pasien telah napas.
siap di ekstubasi.
Modus ventilator yang sering digunakan
pada penyapihan antara lain adalah DAfTAR PUSTAKA
 SIMV
 SIMV + Pressure support 1. Deoras KS, Wolfson MR, Bhutani VK, et al.
 Pressure support Structural changes in the tracheae of preterm
 Volume support lambs induced by ventilation. Pediatr
Research 1989;26:434-7.
 T-piece trials
2. Kurachek SD, Newth CJ, Quasney MW, et
Beberapa parameter yang menentukan al. Extubation failure in pediatric intensive
risiko kegagalan penyapihan dapat dilihat pada care: a multiple-center study of risk factors
Tabel 10.3. and outcomes. Crit Care Med 2003;31:2657–
64.
3. Lanteri CJ, Sly PD. Changes in respiratory
mechanics with age. J Appl Physiol
1993;74:369- 78.
4. MacIntyre NR. Evidence-based guidelines
Mutiara bernas for weaning and discontinuing ventilatory
Tekanan parsial CO2 darah arteri support: a collective task force facilitated
(PaCO2) berkorelasi terbalik dengan by the American College of Chest Physicians;
the American Association for Respiratory Care;
ventilasi semenit (minute ventilation).
and the American College of Critical Care
Medicine. Chest 2001;129:375S–96S.
11 Pemantauan hemodinamik
novik Budiwardhana, ririe Fachrina Malisie

Oksigenasi jaringan yang adekuat ditandai dan oksigen yang terikat dengan hemoglobin
dengan tercapainya keseimbangan antara dihitung per 100 ml darah.
pasokan dan kebutuhan oksigen di
tingkat seluler. Pada keadaan syok, terjadi
gangguan hemodinamik yang menyebabkan
ketidakseimbangan tersebut, kondisi ini disebut KONSUMSI OKSIGEN (Oxygen
disoksia. Jantung dan sirkulasi sistemik memasok COnsuMptiOn/vO2)
oksigen ke jaringan, sementara pertukaran
Laju metabolik tubuh akan menentukan
gas dengan udara terjadi melalui sirkulasi
banyaknya kebutuhan jaringan akan oksigen.
pulmonal. Pemantauan hemodinamik adalah
Konsumsi oksigen di jaringan diukur
suatu cara untuk melakukan penilaian sistem
secara tidak langsung sebagai selisih antara
sirkulasi sehingga dapat dilakukan intervensi
jumlah oksigen dalam darah arteri dengan
yang tepat untuk mengoptimalkan oksigenasi
jumlah oksigen mixed vein.
jaringan.

Konsumsi O2 (vO2) = indeks jantung x 10 x hb x 1,36


PASOKAN OKSIGEN (Oxygen x (SaO2 – SvO2)

Delivery/DO2)
Pasokan oksigen adalah jumlah oksigen yang
disuplai untuk pemenuhan kebutuhan RASIO EKSTRAKSI OKSIGEN (O2ER)
metabolik tubuh dan mempertahankan Rasio ekstraksi oksigen adalah fraksi oksigen
respirasi jaringan aerob. Pasokan oksigen kapiler yang dikonsumsi oleh jaringan.
dipengaruhi oleh curah jantung dan Normalnya hanya sejumlah 25% dari
kandungan oksigen dalam darah arteri. suplai oksigen yang diambil oleh jaringan.
Dalam perhitungan, biasanya digunakan nilai Tujuh puluh lima persen sisanya akan kembali
indeks jantung yaitu curah jantung dibagi ke sirkulasi paru.
luas permukaan tubuh (m2). Kandungan
oksigen dalam darah terdiri dari oksigen yang
terlarut

Kandungan oksigen arterial (CaO2) = (oksigen yang terikat )+ (oksigen yang terlarut)
= (1,34 x hemoglobin x saturasi oksigen arterial) + (tekanan parsial oksigen
darah
arteri x 0,003)
Pasokan O2 (DO2) = curah jantung x CaO2 x 10
= liter/menit/m2
pemantauan Hemodinamik 93

Hb 13−15 gƒdl x 1.34 ml O2ƒg


x 10

SvO£ 65%−80%
SaO 95%−98%

Ven
£
CI
a
VO2 Hgb Arter
(I) i
SaO
SvO2 2
+−
VO2(I) = (SaO2 − SvO2) x CI x Hgb x 13.4
Organ−organ Vital

VO£(l) 120−230
mlƒminƒm2 DO£(l) 425−750
mlƒminƒm2 C 3−4.5
Lƒminƒm2

Kulit dll
l

Gambar 11.1. Orkestrasi hemodinamik. Kondisi ideal Pasokan oksigen cukup, ekstraksi oksigen normal

PARAMETER DAN PERANGKAT urin perkilogram berat badan per jam.


PEMANTAU hEMODINAMIK Tabel berikut menunjukkan parameter yang
Pemantauan hemodinamik selalu dimulai harus dipantau dengan seksama.
dengan pemeriksaan fisis yang baku. Perasat Pada pemeriksaan selisih suhu sentral
pemeriksaan fisis yang menggambar orkestrasi perifer (core to toe temparature) nilai
hemodinamik terdiri dari pemeriksaan normal 3°C, sementara itu waktu pengisian
kesadaran, laju dan kualitas nadi , EKG kapiler yang ditargetkan kurang dari 2 detik.
secara kontinyu, pemeriksaan tekanan vena Dengan mempelajari gambar 11.1 dapat
jugular, laju napas, selisih suhu sentral dan dipahami bahwa dalam menjaga orkestrasi
perifer serta waktu pengisian kapiler. hemodinamik pemeriksaan klinis perlu
Parameter klinis lain terdiri dari adanya diperkuat dengan beberapa pemeriksaan
pembesaran hati dan jumlah laboratorium berupa pemeriksaan
hemoglobin, saturasi vena sentral

Tabel 11.1 Parameter laju nadi , laju napas, hitung leukosit dan tekanan darah sistolik menurut golongan
umur
Golongan umur laju jantung laju napas hitung leukosit
Tekanan darah
(x 1000/ml)
sistolik
Takikardia bradikardia
0-1 mgg >180 <100 >50 >34 <65
1mgg- 1bln >180 <100 >40 >19,5 atau <5 <75
1 bln -1 th >180 <90 >34 >17,5 atau <5 <100
2 th – 5 th >140 NA >22 >15,5 atau <6 <94
6th – 12 th >130 NA >18 >13,5 atau <4,5 <105
13 th- 18 th >110 NA >14 >11 atau <4,5 <117
Dikutip dari: Goldstein b, dkk. Pediatr Crit Care Med 2005; 6:2-8
(ScvO2) dan pengukuran curah jantung (atau ekstremitas).
indeks jantung, bila dibagi luas permukaan
tubuh).
Parameter hemodinamik yang
diperoleh dari perangkat pemantau invasif
dikalkulasi berdasarkan variabel yang
diukur secara langsung sesuai luas
permukaan tubuh. Nilai- nilai tersebut
meliputi indeks jantung (cardiac index/CI),
indeks sekuncup (stroke index/SI), indeks
resistensi vaskular sistemik (systemic
vascular resistance index/SVRI), indeks kerja
sekuncup ventrikel kiri (left ventricle stroke
work index/LVSWI), indeks kerja sekuncup
ventrikel kanan (right ventricle stroke work
index/RVSWI), kandungan oksigen arteri
(CaO2), pasokan oksigen (DO2), konsumsi
oksigen sesuai prinsip Fick (VO2) dan rasio
ekstraksi oksigen (O2ER). Kombinasi
kemampuan penilaian klinis, interpretasi
nilai pengukuran langsung, dan perhitungan
berdasarkan data pengukuran invasif akan
membantu evaluasi hemodinamik real time.

PERANGKAT PEMANTAU
hEMODINAMIK NON
INvASIf
Perangkat pemantau hemodinamik non invasif
terdiri dari elektrokardiogram dan pemeriksaan
tekanan darah non invasif. Metode pemantauan
non invasif dilakukan dengan mengukur
tekanan darah berdasarkan prinsip oklusi arteri
(Riva-Rocci) yang mendeteksi perubahan suara
auskultasi Korotkof atau amplifikasi suara
dari Doppler. Deteksi pergerakan dinding
pembuluh darah dengan osilasi disebut
Dinamap. Metode pengukuran non invasif ini
sangat bergantung pada deteksi aliran darah
yang tertahan oleh manset.
Walaupun pemantauan non invasif
dianggap paling aman, tidak menyakitkan,
sederhana, murah dan mudah digunakan,
tetapi teknik ini akan sukar diaplikasi pada
pasien yang terlalu kecil, tidak kooperatif, dan
sulit dipasang manset (misal luka bakar pada
Hasil pengukuran tidak akurat jika kompartemen, yaitu elektronik dan pengisian
ukuran manset tidak sesuai, cairan (fluid-filled). Parameter hemodinamik
stetoskop terlalu panjang, deflasi dipantau secara invasif sesuai asas dinamika
tekanan terlalu cepat, pendengaran sistem pengisian cairan. Pergerakan cairan
petugas kurang sensitif ataupun yang mengalami suatu tahanan akan
terdapat kesalahan kalibrasi menyebabkan perubahan tekanan dalam
manometer. Komplikasi yang mungkin pembuluh darah yang selanjutnya menstimulasi
terjadi sangat minimal, berupa rasa diafragma pada transduser. Perubahan ini
nyeri akibat bendungan aliran direkam dan diamplifikasi sehingga dapat
darah. dilihat pada layar monitor.
Pengukuran tekanan dalam pembuluh
darah dapat dilakukan dengan beberapa
PERANGKAT cara:
PEMANTAU  Manometer air. Kateter vena sentral
hEMODINAMIK dihubungkan dengan selang yang terisi
INvASIf penuh dengan cairan, terhubung dengan
manometer air yang sudah dikalibrasi.
Pemantauan parameter hemodinamik Teknik ini sangat sederhana, awalnya
invasif dapat dilakukan pada arteri, dibuat untuk mengukur tekanan vena
vena sentral ataupun arteri sentral.
pulmonalis. Metode pemeriksaan
 Sistem serat fiber. Probe dengan
tekanan darah langsung intraarterial
transduser di ujungnya dimasukkan ke
mengukur secara aktual tekanan
sistem sirkulasi (misalnya ventrikel).
dalam arteri yang dikanulasi,
Sinyal akan dikirim ke layar monitor
hasilnya tidak dipengaruhi oleh isi
melalui serat optik. Sistem ini tidak
atau kuantitas aliran darah.
bergantung pada dinamika cairan.
Sistem pemantauan Dibandingkan dengan manometer air,
hemodinamik terdiri dari 2
pengoperasiannya lebih mudah, namun dikontrol oleh baroreseptor di sinus karotis dan
harganya mahal. aorta yang mengatur tekanan arteri dengan
 Manometer air yang dihubungkan ke cara menyesuaikan laju jantung terhadap
transduser. Tekanan pulsatil pada ujung ukuran arteriol. Tekanan rerata arteri juga
kateter ditransmisikan melalui selang menjadi acuan autoregulasi yang merupakan
penghubung ke diafragma pada transduser. adaptasi organ untuk mempertahankan
Sinyal ini akan diamplifikasi dan pada aliran darah yang konstan guna
layar monitor. mempertahankan fungsinya. Nilai tekanan
rerata arteri dapat diperoleh dari hasil
pengukuran langsung ataupun dengan
PEMANTAUAN hEMODINAMIK penghitungan:
NON INvASIf DAN INvASIf
Pemantauan tekanan arteri (arterial MAP = tekanan sistolik + (tekanan diastolik x
2) 3
pressure monitoring) non invasif MAP = resistensi vaskular sistemik x curah jantung
Tekanan darah arteri merupakan hasil
gabungan dari tekanan hemodinamik,
kinetik, dan hidrostatik akibat tekanan ke Pemantauan tekanan arteri secara invasif
dinding pembuluh darah. Tekanan arteri Pemantauan tekanan intraarterial secara invasif
yang diukur pada nilai puncak disebut dilakukan dengan kanulasi arteri. Sinyal
tekanan sistolik, sedangkan sebaliknya tekanan dikonversi oleh transduser,
adalah tekanan diastolik. Tekanan sistolik diamplifikasi, dan ditampilkan secara kontinu
dihasilkan oleh volume sekuncup, pada layar monitor dalam bentuk gelombang
kecepatan ejeksi ventrikel kiri, resistensi dan format digital. Pemantauan kontinu
arterial sistemik, distensibilitas aorta dan tekanan intraarterial merupakan metode
dinding arteri, kekentalan darah dan volume yang paling dapat diandalkan dalam memantau
preload ventrikel kiri (end-diastolic volume). tekanan sistolik, diastolik, dan tekanan rerata
Dalam aplikasi klinis sehari-hari, tekanan arteri. Gelombang tekanan dan aliran darah
sistolik merupakan indikator afterload arteri merupakan gambaran ejeksi dari
(besarnya usaha yang diperlukan untuk ventrikel kiri. Terdapat dua komponen yang
memompa darah keluar dari ventrikel kiri). membentuk gelombang pulsasi arteri yaitu
Sementara itu, tekanan diastolik dipengaruhi transmisi gelombang tekanan (pressure wave)
kekentalan darah, distensibilitas arteri, dan pulsasi volume sekuncup yang dipindahkan
resistensi sistemik, dan lamanya siklus ke sirkulasi arteri (stroke volume
jantung. Tekanan nadi adalah perbedaan displacement). Anacrotic rise adalah tekanan
tekanan sistolik dan diastolik. Peningkatan puncak sistolik dan merupakan indikator
tekanan nadi dapat disebabkan peningkatan kontraktilitas ventrikel kiri. Bagian yang
volume sekuncup ataupun kecepatan ejeksi, cembung menggambarkan volume darah
yang sering ditemukan pada kondisi demam, yang dipindahkan dan distensi dinding arteri.
aktifitas, anemia, dan hipertiroid. Penurunan Dicrotic notch adalah gelombang yang
tekanan nadi mengindikasikan peningkatan melandai turun, yang dihubungkan dengan laju
resistensi vaskular, penurunan volume volume darah arteri yang masuk ke sirkulasi
sekuncup, ataupun volume intravaskular. perifer. Perubahan bentuk dan kelandaian
Tekanan rerata arteri sistemik (mean arterial gelombang terutama bagian sistolik,
pressure/MAP) adalah rata-rata tekanan bergantung pada perbedaan tekanan yang
perfusi sepanjang siklus jantung. Tekanan sesuai dengan lokasi anatomisnya.
rerata arteri
Anacrot¡c I¡mb D¡crot¡c I¡mb
Sistolik = 115 mm Aorta
sentralis
Hg
120
Tekanan nadi Brakialis
97 = 35 mm Hg
80
Diastolik = 80 mm
Hg

AREA D¡crot¡c notch


40 MAP = Area + Radialis
Basal
= 97 mm Hg
0 Femoralis
BASAL
Dorsalis
pedis

Gambar 11.2. Gelombang arterial pada berbagai lokasi anatomis

Indikasi dan indikasi kontra kanulasi  Pasien dengan penyakit vaskular perifer
arteri  Pasien dengan gangguan perdarahan
Indikasi:
1. Semua pasien dengan kondisi kritis atau
yang dilakukan prosedur bedah mayor,
yang membutuhkan pemantauan
hemodinamik dan analisis pulsasi arterial
secara kontinu
 Prosedur pembedahan yang
memerlukan pintasan kardiopulmonal
 Prosedur vaskular, toraks,
abdominal ataupun neurologik
 Semua pasien dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil
 Pasien dengan terapi inotropik atau
vasodilator intravena
 Pasien yang ditopang dengan pompa
balon intraaorta (intra aortic balloon
pump/IABP)
 Pasien yang memerlukan pemantauan
tekanan intrakranial
2. Pemeriksaan gas darah berulang
 Pasien dengan gagal napas
 Pasien dalam ventilasi mekanik
ataupun yang sedang disapih
 Pasien dengan gangguan asam basa
Indikasi kontra relatif:
 Pasien yang sedang mendapat ventrikel kanan). Gelombang c terjadi akibat
terapi antikoagulan atau trombolitik peningkatan tekanan yang disebabkan
 Adanya infeksi di daerah kulit terangkatnya katup trikuspid ke arah atrium
tempat kanul akan diinsersi kanan selama awal masa kontraksi ventrikel,
terjadi sebelum gelombang QRS pada EKG.
Gelombang x terjadi saat kontraksi sistolik
Pemantauan tekanan vena sentral ventrikel, terjadi sebelum gelombang T pada
(central venous pressure/Cvp EKG. Gelombang v terjadi akibat darah
monitoring) mengisi atrium kanan, terjadi pada akhir
Gambaran gelombang tekanan vena gelombang T. Gelombang y terjadi saat katup
sentral yang normal terdiri dari trikuspid membuka, terjadi sebelum gelombang
gelombang a (kontraksi atrium), c P. Pada umumnya pemantauan tekanan vena
(penutupan katup trikuspid), x sentral digunakan untuk menilai preload. Basal
(relaksasi atrium), v (kontraksi gelombang c direkomendasikan sebagai nilai
ventrikel), dan y (pengisian pasif preload karena menunjukkan tekanan ventrikel
sebelum fase sistolik.
Tekanan vena sentral adalah beda
R tekanan intravaskular di vena besar dalam
P T rongga toraks terhadap tekanan atmosfer.
EK
G
Dengan segala keterbatasannya, tekanan
Sistoli vena sentral sering digunakan sebagai
Diastol
A k
ik
pedoman volume cairan intravaskular. Bila
C V volume intravaskular kecil, perubahan kecil
CV tekanan vena sentral menggambarkan
X Y
P perubahan besar volume intravaskular. Bila
volume intravaskular besar, maka
Gambar 11.3. Gelombang tekanan vena sentral dan
korelasinya dengan EKG penambahan volume kecil akan menyebabkan
peningkatan tekanan vena sentral yang besar.
Kanulasi vena sentral biasanya
dilakukan pada vena jugularis interna, vena Keterbatasan pemantauan tekanan vena
subklavia, dan venafemoralisdengankelebihan sentral
dankekurangan masing-masing. Posisi kanul
yang tepat sangat penting untuk mencegah Hal-hal yang dapat mempengaruhi pengukuran
komplikasi. Ujung CVC (central venous tekanan vena sentral:
canulation) harus terletak pada vena kava Faktor yang berhubungan dengan pasien:
superior atau di perbatasan antara vena  Venokonstriksi sistemik
kava superior dan atrium kanan.

Gambar 11.4. lokasi pemasangan jalur vena sentral


 Penurunan compliance ventrikel kanan menunjukkan angka nol pada saat diafragma
 Patensi sistem vena transduser terhubung dengan atmosfer.
 Kelainan katup trikuspid Setiap inci transduser terletak di bawah
Faktor yang diinduksi oleh ujung kateter, tekanan puncak hidrostatik
ventilasi mekanik: akan meningkat
2 mmHg dari tekanan fisiologis sebenarnya.
 Siklus napas pada ventilasi tekanan
Sebaliknya, setiap inci transduser terletak di
positif dapat meninggikan nilai
atas ujung kateter maka tekanan akan
tekanan vena sentral
berkurang 2 mmHg dari tekanan fisiologis.
 Tekanan positif akhir ekspirasi/PEEP dapat
Kalibrasi dapat mengeliminasi efek
menimbulkan artefak
tekanan atmosfer dan tekanan hidrostatik
pada waktu prosedur pembacaan. Kesalahan
Komplikasi pemantauan tekanan vena dalam melakukan pedoman titik nol ini dapat
sentral menyebabkan interpretasi klinis yang
berbeda bermakna karena rentang nilai
Komplikasi pemantauan tekanan vena normalnya sangat sempit. Prosedur kalibrasi
sentral meliputi perdarahan, erosi vaskular, sangat penting sehingga harus selalu
gangguan irama jantung, tromboemboli, dikerjakan pada setiap pergantian jaga
emboli udara, perforasi ruang jantung, petugas atau pada saat pasien berubah
pneumotoraks, dan mikrosyok elektrikal. posisi.
Prosedur menentukan titik nol:
Kalibrasi / penentuan titik nol (Zeroing)  Siapkan sistem pemantauan dan monitor
Sistem pemantauan dengan transduser harus  Periksa apakah ada udara bebas dalam
dikalibrasi dahulu. Titik nol merupakan cairan
pedoman level netral dalam melakukan seluruh  Pada saat kalibrasi, aliran cairan ke
pengukuran tekanan. Tekanan fisiologis arah pasien ditutup, sehingga cairan
nilainya dianggap nol, sedangkan tekanan pada transduser akan terhubung dengan
atmosfer nilainya setara dengan 760 mmHg atmosfer (layar monitor menunjukkan
(torr) pada permukaan laut. Dinyatakan angka nol mmHg). Jika tidak
pembacaan nol (zeroing) jika tampilan di menunjukkan angka nol, prosedur harus
layar monitor diulang kembali (kesalahan pada
transduser, kabel, ataupun konsol
monitor).

Transduser
terbuka ke posisi
udara capped off
Gambar 11.5. Prosedur menentukan titik nol
 Jika pembacaan sudah menunjukkan fisiologik tubuh, yang berkonotasi langsung
titik nol, aliran cairan ke pasien dibuka dengan terapi yang diberikan. Seringkali kita
kembali (hati-hati adanya udara bebas
dalam saluran ke arah pasien).

Penentuan level referensi (leveling)


Pengukuran kardiovaskular pada umumnya
memakai referensi titik nol di posisi mid-
chest atau lebih tepatnya di garis mid-
aksila yang disebut juga aksis flebostatik
(kira-kira setengah diameter anteroposterior
pasien) yang terletak di bawah angulus
sternum. Posisi ini dipilih karena ventrikel
kiri dan aorta biasanya terletak di tengah-
tengah antara sternum dan permukaan
tempat tidur, yang terlihat jelas pada
fluoroskopi. Biasanya ujung kanul atau
kateter pengukur tekanan terletak di sekitar
level ini.
Ada dua cara menentukan level tekanan
pada pengukuran hemodinamik:
1. Stopcock transduser yang terhubung dengan
extension tubing terletak setinggi mid-chest,
pada waktu jalur ke pasien ditutup dan
jalur ke diafragma dibuka ke arah
atmosfer. Kemudian dilihat tampilan
pada layar monitor yang menunjukkan
angka nol.
2. Transduser dapat terletak dimana saja di
level yang relatif vertikal dengan dada
pasien. Stopcock yang terletak antara posisi
kateter dan transduser, yang ke arah
pasien ditutup sedangkan yang ke arah
atmosfer dibuka. Tampilan pada layar
monitor akan menyesuaikan sampai
pembacaan menunjukkan angka nol.
Setiap perbedaan tekanan hidrostatik
antara diafragma transduser dan
stopcock akan dikompensasi secara
elektrik.

Pemantauan fungsi hemodinamik


Pemantauan hemodinamik merupakan alat
fungsional yang dapat digunakan untuk
membuat estimasi dari kondisi dan cadangan
sudah harus mampu mengidentifikasi insufisiensi dan kemampuan klinisi untuk
kardiovaskular yang terjadi sebelum gambaran menginterpretasi dan mempergunakan
klinis hipoperfusi muncul. Pemantauan hasilnya dalam tatalaksana pasien.
hemodinamik untuk menilai efek terapi Bagaimanapun juga, tidak ada satupun
yang telah dilakukan, juga dapat berfungsi perangkat pemantauan, apakah non-invasif
sebagai perangkat pemantau itu sendiri. atau invasif, presisi kurang atau yang sangat
Perubahan hemodinamik yang cepat dapat akurat, sederhana atau yang canggih sekalipun,
direspon dengan aplikasi terapi yang akan dapat memperbaiki keluaran kecuali
berdasarkan pada pemantauan sebelumnya. bila digabungkan dengan terapi, yang akan
Pemantauan fungsi hemodinamik haruslah membuat perbaikan kondisi pasien.
selalu berpegang pada prinsip untuk Pemantauan hemodinamik harus selalu berada
memberikan perbaikan terapi dan dalam konteks kebutuhan pasien,
merupakan komponen sentral dari patofisiologi, waktu dan proses penyakit,
perawatan pasien sakit kritis di unit rawat serta sistim pelayanan medis yang berlaku
intensif. Pemantauan fungsi hemodinamik di unit perawatan itu sendiri.
merupakan implikasi dari aplikasi terapi
yang dilakukan. Contohnya pada fluid
challenge yang dikerjakan untuk menilai Pemantauan fungsi hemodinamik secara
respon preload. Pola variasi hemodinamik statik
dapat memberi gambaran penyebab Parameter hemodinamik statik umumnya
insufisiensi kardiovaskular yang terjadi apakah dapat dilihat dan dinilai langsung pada
merupakan suatu kondisi hipovolemik, pasien (bedside), seringkali pula hasil
kardiogenik, obstruksi atau distributif. pemantauannya dapat digunakan pada saat
Efektifitas pemantauan hemodinamik itu juga, sebagai acuan dalam pengambilan
tergantung dari teknologi yang tersedia keputusan klinis.
100 Buku Ajar pediatri gawat Darurat

Tekanan darah arterial ventrikel kanan


Tekanan darah arterial adalah rentang nilai
antara tekanan sistolik dan diastolik, jadi
bukanlah merupakan suatu nilai mutlak.
Oleh karena itu, tekanan darah yang dianggap
normal tidak serta-merta mencerminkan
stabilitas hemodinamik. Nilai ambang
tekanan darah untuk menjamin perfusi
yang adekuat sulit untuk ditentukan, karena
akan berbeda untuk tiap pasien, kondisi
dan waktunya. Masing- masing sistem
organ dalam tubuh cenderung untuk
mengatur aliran darahnya sendiri
(autoregulation). Sepanjang laju metabolik
sistemik tidak mengganggu laju metabolik
organ, aliran darah ke sistem organ relatif
konstan. Laju aliran darah regional tersebut
bervariasi antara satu organ dengan lainnya,
bergantung pada tekanan rerata arterial,
status sirkulasi, aktivitas metabolik, penyakit
dasarnya dan terapi obat vasoaktif yang
diberikan. Tekanan darah arterial sangat
tergantung pada aliran darah dari organ
sehingga keadaan hipotensi (tekanan rerata
arterial/MAP <65 mmHg) selalu
bermakna patologis.

Tekanan vena sentral


Tekanan vena sentral adalah tekanan di akhir
aliran balik vena sistemik. Nilai tekanan vena
sentral biasanya rendah. Pada pasien yang
diberikan ventilasi mekanis, nilai ambang
tekanan vena sentral dapat dipakai untuk
memprediksi ketidakstabilan hemodinamik
dalam menilai respon akibat peningkatan
tekanan jalan nafas karena pemberian PEEP
(tekanan positif akhir ekspirasi). Jellinek dkk
menemukan bahwa pada pasien dengan ALI
(acute lung injury), nilai tekanan vena
sentral sejalan dengan penurunan curah
jantung jika PEEP ditingkatkan. Pada pasien
yang bernafas spontan, aliran balik vena
meningkat pada waktu inspirasi karena
penurunan tekanan dalam rongga dada dan
meningginya tekanan di intra-abdomen akibat
pergerakan diafragma.
Perubahan tekanan vena sentral juga
dapat digunakan untuk menilai respon
pemantauan Hemodinamik 101
terhadap pemberian volume. mempunyai nilai prediksi akan volume darah
Tekanan vena sentral sering digunakan yang adekuat atau efektif. Bila kontraktilitas,
untuk memperkirakan tekanan afterload, dan frekuensi jantung konstan,
pengisian ventrikel kanan, yang untuk curah jantung sebesar 5 L/ menit,
bertujuan untuk analisis fungsi ventrikel perubahan tekanan vena sentral tiap 1 mmHg
kanan. Berdasarkan statistik terdapat sama dengan perubahan sebesar 500 mL/
korelasi antara tekanan pengisian menit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa
ventrikel kanan dan kiri, oleh karena perubahan tekanan vena sentral seringkali
itu tekanan vena sentral dapat juga tidak menggambarkan nilai preload karena
digunakan untuk menilai fungsi banyak faktor yang mempengaruhi tekanan
ventrikel kiri. Dengan sendirinya vena sentral. Bafaqeeh dan Magder
penilaian fungsi ventrikel kiri kurang mendapatkan 35% kasus dengan tekanan vena
akurat bila hanya mengandalkan sentral <10 mmHg tidak menunjukkan
pengukuran tekanan vena sentral respons dengan fluid challenge, sedangkan
saja. beberapa kasus dengan tekanan vena sentral
Tidak ada nilai ambang >12 mmHg memberikan respons.
tekanan vena sentral yang dapat Efektifitas penggunaan tekanan vena
dijadikan petanda kenaikan curah sentral sebagai pedoman diagnosis atau
jantung untuk menilai respons resusitasi terapi belum banyak terbukti. Penilaian
cairan. Pada umumnya perubahan tekanan vena sentral secara dinamis saat ini
curah jantung terjadi pada tekanan dianggap lebih berguna untuk kepentingan
0-10 mmHg. Curah jantung akan klinis.
menurun konsisten dengan
berkurangnya tekanan vena sentral
jika nilainya kurang 10 mmHg, akan Tekanan arteri pulmonal
tetapi jika nilai tekanan vena sentral Kateterisasi arteri pulmonalis dipergunakan
lebih dari 10 mmHg tidak untuk mengukur tekanan vaskular
intrapulmonal, curah jantung, fraksi ejeksi oklusi arteri pulmonal. Inflasi balon akan
ventrikel kanan dan saturasi oksigen di membuat oklusi
mixed vein. Selain itu, dapat pula diukur dan
dikalkulasi parameter hemodinamik lainnya
seperti jumlah total pasokan dan konsumsi
oksigen, resistensi vaskular paru dan sistemik,
indeks kerja volume sekuncup ventrikel
kanan dan kiri.
Sampai saat ini, masih terdapat
kontroversi penggunaan kateter arteri
pulmonal dalam manajemen pasien sakit
kritis. Kateterisasi arteri pulmonal
mempunyai peran terbatas pada pasien anak,
terutama dengan kelainan jantung bawaan. Hal
ini disebabkan karena sulit mencari ukuran
kateter yang sesuai dan kesukaran
mengarahkan kateter ke arteri pulmonalis
akibat pirau intrakardiak. Beberapa penelitian
yang terakhir membuktikan bahwa penggunaan
kateter arteri pulmonal mulai ditinggalkan
karena estimasi saturasi oksigen mixed vein
sudah dapat diwakili oleh saturasi oksigen
vena sentral. Tingginya potensial risiko
untuk terjadinya emboli paru juga
mempengaruhi sedikitnya frekuensi
pemakaian prosedur ini.

Mutiara bernas
• Harus diingat bahwa terjadinya hipotensi
pada anak menujukkan bahwa anak
sudah jatuh ke dalam kondisi syok yang
lanjut.
• Kateterisasi arteri pulmonal mempunyai
peran terbatas pada pasien anak,
terutama dengan kelainan jantung
bawaan.
• penggunaan kateter arteri pulmonal
mulai ditinggalkan karena estimasi
saturasi oksigen mixed vein sudah
dapat diwakili oleh saturasi oksigen vena

Tekanan oklusi arteri pulmonal


Penggunaan balon di ujung kateter yang
dapat dikembangkan (kateter Swan-Ganz)
merupakan metode untuk mengukur tekanan
aliran ke distal arteri pulmonal berlawanan kapiler pulmonal lebih besar dari 18 mmHg.
arah dengan vena pulmonal sampai kira-kira Edema paru sekunder diakibatkan oleh
1,5 cm dari atrium kiri. Tekanan distal peninggian tekanan kapiler paru. Pasien
kateter pada ujungnya setara dengan sepsis pada kondisi status hiperdinamik akan
tekanan dan aliran darah dari vaskular mengalami edema hidrostatik dengan resistensi
paru di balik balon. Hal ini mencerminkan vena pulmonal yang meningkat sedangkan
komponen dinamik yaitu kapasitas aliran pasien dengan penyakit paru terutama acute
proksimal arteri pulmonal ke vena pulmonal respiratory distress syndrome (ARDS), resistensi
yang melintasi resistensi sistim arteri-vena. vena pulmonal meningkat tetapi tekanan oklusi
Tekanan akhirnya merupakan nilai tekanan arteri pulmonalnya rendah.
oklusi arteri pulmonal (PAOP). Dahulu Pengukuran tekanan oklusi arteri pulmonal
pengukuran ini dikenal dengan istilah dapat juga digunakan untuk menilai preload
wedge pressure (P wedge). dari ventrikel kiri, yang direfleksikan dengan
Umumnya pengukuran tekanan oklusi tekanan pengisian ventrikel kiri dan volume
arteri pulmonal digunakan untuk menentukan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Nilai
penyebab edema paru. Nilai tekanan tekanan oklusi arteri pulmonal <10 mmHg
oklusi arteri pulmonal kurang dari 18 – menggambarkan LVEDV yang kecil
20 mmHg mengarahkan kemungkinan sedangkan jika >18 mmHg diasumsikan
edema non- hidrostatik sedangkan jika dengan distensi ventrikel kiri. Saat ini sudah
nilainya > 18 – 20 mmHg penyebabnya dikaji bukti ketidakakuratan korelasi tekanan
adalah edema hidrostatik. Edema hidrostatik oklusi arteri pulmonal dengan LVEDV
karena peningkatan permeabilitas kapiler sehingga tidak direkomendasikan untuk menilai
atau alveoli disebut edema paru primer. respons resusitasi cairan (preload responsiveness)
Edema hidrostatik terjadi jika tekanan pada pasien sakit kritis.
Curah jantung mempengaruhinya adalah kapasitas vena,
komplians ruang
Curah jantung adalah volume darah yang
diejeksikan setiap menit oleh ventrikel kiri
ke sirkulasi sistemik. Pada populasi pediatri
lebih umum jika dinyatakan dengan indeks
curah jantung (sesuai luas permukaan
tubuh). Nilai rerata indeks curah jantung
yang sering dijadikan rujukan: 3,5-5,5
L/menit/m2 . Nilai curah jantung diperoleh
dari pengukuran invasif dan semi-invasif,
baik dengan pemantauan fungsi
hemodinamik statik ataupun dinamik.
Denyut jantung, preload, fungsi diastolik,
kontraktilitas dan afterload adalah
komponen yang mempengaruhi curah
jantung :

Denyut jantung
Pemeriksaan denyut jantung adalah hal rutin
yang dilakukan dalam perawatan pasien.
Peningkatan denyut jantung yang signifikan
tanpa sebab yang jelas (setelah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan lainnya yaitu peningkatan
usaha nafas, pengisian kapiler melambat,
penurunan kesadaran) menggambarkan perfusi
yang tidak adekuat.

preload
Preload merupakan jumlah volume saat
ventrikel meregang pada waktu akhir
pengisiannya (fase akhir diastolik).
Preload dipengaruhi oleh banyak faktor
dan cukup sulit untuk melakukan
pengukuran preload secara bedside.
Pengukuran preload diperoleh dengan cara
statik atau dinamik. Dua prosedur pengukuran
preload secara statik yang sering dilakukan
adalah berdasarkan tekanan (pressure-based)
yaitu tekanan vena sentral (central vein pressure/
CVP, disebut juga tekanan atrium kanan) dan
tekanan oklusi arteri pulmonal (pulmonary
artery occlusion pressure/PAOP, disebut juga
tekanan atrium kiri). Kedua jenis pengukuran
ini sangat tidak akurat untuk menjadi
petanda status volume. Faktor-faktor yang
jantung, kompetensi katup jantung, kecepatan dan peregangan otot
tekanan arteri pulmonal, dan miokardium pada waktu preload dan
kemampuan paru berfungsi sebagai afterload. Perubahan kontraktilitas ventrikel
resistor sesuai hukum Starling. CVP sangat berpengaruh pada kondisi perfusi
lebih dapat diandalkan untuk mengukur dan fungsi ventrikel. Kontraktilitas tidak
preload dibandingkan PAOP, dapat diukur secara bedside. Baku emas
sedangkan pengukuran berdasarkan pengukuran kontraktilitas adalah mengukur
volume merupakan pengukuran dengan memakai impedans intrakardiak.
dinamik.
Afterload
fungsi diastolik Afterload adalah jumlah volume yang
Definisi diastolik adalah periode mulai diandaikan sebagai beban, yang dilawan oleh
dari akhir ejeksi aorta sampai saat ventrikel pada waktu mengejeksi darah ke
awal ventrikel akan berkontraksi sirkulasi arteri. Afterload tidak dapat diukur
untuk ejeksi berikutnya. Fungsi secara langsung. Resistensi vaskular sistemik
diastolik sangat penting untuk (systemic vascular resistance, SVR) dan
mempertahankan curah jantung yang resistensi pulmonal paru (pulmonary
adekuat. Pengukuran fungsi diastolik vascular resistance, PVR) dapat dijadikan
pada anak sangat terbatas. acuan untuk membedakan afterload ventrikel
kanan dan kiri. SVR menggambarkan rerata
resistensi pada aliran darah sistemik. Secara
Kontraktilitas klinis, SVR dikalkulasi dari tekanan rerata
Kontraktilitas adalah status inotropik arterial (MAP) dikurangi tekanan atrium
jantung yang dikaitkan dengan kanan (CVP) dibagi jumlah curah jantung.
Penurunan nilai SVR merupakan implikasi dari
general vasodilatasi yang terjadi. Pengukuran <50%
SVR mempunyai nilai diagnostik yang
penting dan menjadi tuntunan dalam
penggunaan obat vasodilator ataupun
vasopresor. Faktor yang dapat menurunkan
SVR dan afterload ventrikel kiri adalah obat
vasodilator, status hiperdinamik pada syok
septik, sirosis, regurgitasi aorta yang
terkompensasi, anemia, syok anafilaktik dan
neurogenik. Peninggian SVR dan afterload
ventrikel kiri dapat ditemukan pada kondisi
hipovolemia, hipotermia, LCOS (low cardiac
output syndrome) dan akibat pemberian
katekolamin yang berlebihan. PVR merupakan
rerata resistensi aliran darah pada
sirkulasi pulmonal. Nilai PVR dikalkulasi
dari selisih MAP dan PAOP dibagi dengan
nilai curah jantung. Nilai PVR biasanya
lebih rendah dari SVR karena sirkulasi paru
pada keadaan normal resistensinya rendah
dan compliant tinggi. Faktor yang dapat
meningkatkan PVR dan afterload ventrikel
kanan adalah edema paru kardiogenik dan
non-kardiogenik, sepsis, asidemia,
hipoksemia, idiopatik hipertensi pulmonal
primer, kelainan katup jantung dan emboli
paru masif. Obat vasodilator pulmonal
seperti epoprostenol dapat menurunkan PVR
dan afterload ventrikel kanan.

Saturasi oksigen mixed vein


Saturasi oksigen di mixed vein merefleksikan
muatan saturasi oksigen di semua sumber
aliran balik vena (vena kava superior, vena
kava inferior dan sinus koronarius) yang
bermuara ke atrium kanan dan arteri
pulmonal. Saturasi mixed vein menjadi
parameter penentu dalam menilai kecukupan
pasokan oksigen. Walaupun Rivers dkk
memopulerkan pengukuran saturasi oksigen di
vena kava superior sebagai pengganti mixed
vein untuk indikator pasokan oksigen, baku
emas tetaplah saturasi mixed vein. Nilai
normal dari saturasi oksigen mixed vein adalah
65 – 70%. Kadar saturasi oksigen mixed vein
<60 % merupakan indikasi adanya kegagalan
oksigenasi jaringan, jika saturasinya
menjadi petanda terjadinya metabolisme meningkatkan curah jantung. Hal ini
anaerob. Kadar saturasi oksigen mixed vein mencerminkan bahwa ekspansi sejumlah cairan
yang rendah dan persisten <30 % tersebut mampu menginduksi peningkatan
dihubungkan dengan iskemia jaringan. nyata dari LVEDV, yang akan meninggikan
Rentang perbedaan saturasi arteri-vena tekanan transmural dan pada akhirnya
sebesar 20-30% dianggap normal. meningkatkan isi sekuncup ventrikel kiri dan
curah jantung. Fluid challenge hanya
diberikan pada kondisi dimana terdapat
Pemantauan fungsi hemodinamik secara kemungkinan terjadinya hipoperfusi jaringan.
dinamik Volume challenge sebagai pendekatan
Pemantauan fungsi hemodinamik secara diagnostik primer pada pasien dengan
dinamik merupakan suatu uji terapi karena hemodinamik tidak stabil mempunyai
efek pemantauan berfungsi perangkat dampak klinis yang sangat penting. Pada uji
pemantau untuk dasar pemberian terapi volume challenge, estimasi hasilnya
selanjutnya. didasarkan pada perbaikan status sirkulasi
(misal: peningkatan tekanan darah dan
penurunan denyut jantung) yang menjadi
volume challenge responnya. Masih belum ada kesepakatan
Volume challenge bukanlah resusitasi berapa volume cairan dan kecepatan infus
cairan melainkan suatu uji belaka, untuk yang diberikan pada fluid challenge. Baku emas
mengidentifikasi apakah preload masih responsif uji dinamik adalah dengan melakukan
terhadap pemberian cairan. Fluid responsiveness fluid challenge untuk menilai kurva Starling.
diartikan sebagai pemberian sejumlah Uji ini dilakukan dengan memberikan cairan
cairan yang secara nyata dapat secara cepat hingga meningkatkan tekanan
vena
Pemberian Preload
I50 60
C D

Isi seKuncup
I00 40 B PembentuKan
TeKanan ventriKel Kiri

SVD
Edema
SVC A
50
SVB 20 Efusi
D
SVA C pleura
0 A B 0
0 20 40 60 80 0 I0 20 30
Volume ventriKel TeKanan atrium Kiri
Kiri
Gambar 11.6. Pemberian preload akan meningkatkan isi sekuncup sampai batas
tertentu Dikutip dari: Sagawa K, Circulation 1981;63:1223

sentral sedikitnya 2 mmHg untuk menilai curah


jantung. Bila fungsi jantung masih terletak passive leg raising
pada bagian yang curam pada kurva, maka
pemberian cairan ini akan meningkatkan Peninggian tungkai sampai 300 secara transien
curah jantung. Pada Gambar 11.6 dapat dapat meningkatkan aliran balik vena
dijelaskan bahwa pada kurva tekanan-volume dengan cepat, pada pasien yang responsif
pemberian volume akan menyebabkan preload. Peningkatan aliran balik vena ini
peningkatan tekanan atrium kiri dan pada saat hanya bersifat sementara untuk
yg sama akan meningkatkan isi sekuncup meningkatkan curah jantung dan bukan
(dari titik A ke B). Pemberian volume yang merupakan terapi untuk kondisi
lebih banyak lagi tidak akan meningkatkan isi hipovolemia. Keuntungan dari perasat ini yaitu
sekuncup (B ke C kemudian D), bahkan pada mudah dilakukan, efeknya pada volume challenge
titik ini dapat terjadi edema. hanya sementara dan reversibel, sesuai dengan
ukuran tubuh individual, dapat diulang
Pada yang masih respon terhadap sesuai kebutuhan untuk menguji preload
penambahan volume, cairan resusitasi dapat responsiveness. Keterbatasan dari prosedur ini
diberikan dengan risiko minimal yang mungkin adalah volume darah yang dimobilisasi
akan memperburuk kor pulmonale atau dengan meninggikan tungkai sangat
menginduksi edema paru. Volume challenge pada bergantung pada total jumlah aliran darah,
pasien yang tidak responsif akan memperburuk sehingga pada pasien dengan hipovolemia
hemodinamik dan mempresipitasi edema paru. berat mungkin kurang efektif.
Teboul dkk menemukan ternyata hanya 50%
pasien dengan hemodinamik tidak stabil
yang masih responsif terhadap preload. Perubahan tekanan vena sentral selama
Penundaan terapi berupa keterlambatan pernafasan
pemberian cairan berakibat penurunan
Uji dinamik lainnya adalah dengan
kesintasan.
mengamati perubahan tekanan vena sentral saat
inspirasi dan ekspirasi pada pernafasan
spontan. Penurunan tekanan pleura jantung relatif lebih negatif terhadap
mengakibatkan tekanan dalam ruang
Baseline
mmHg (”apnea”)
50
I50 I50 I5 0
dDown dUP
S PV

75

PAP
CVP
0
EI Insp Insp Insp
Gambar 11.7. Dampak variasi respirasi terhadap tekanan arteri
Dikutip dari: Magder s. Clinical commentary: Clinical usefulness of respiratory variation in arterial pressure. Am j
Respir Crit Care Med 2004; 169: 151-5

45 cm H2O
TeKanan jalan napas

PPmaxSPmaxPPmin

TeKanan Nadi (PP)=


5 PPmax-PPmin
I20 m m
Hg
TeKanan Arterial

SP TeKanan SistoliK
mi (SP)= SPmax-SPmin
40 n
2 detiK

Gambar 11.8. Contoh rekaman kurva tekanan arteri sistemik dan tekanan jalan napas pada seorang
pasien dengan variasi tekanan sistolik dan tekanan nadi yang besar.
Dikutip dari: Pinsky MR. hemodynamic monitoring in the intensive care unit. Clin Chest med 2003; 24: 549-60
Tabel 11.2.Variabel hemodinamik yang dapat menjadi peringatan terjadinya gangguan
hemodinamik Jenis variabel Parameter Komentar
Tunggal Tekanan darah hipotensi
Tekanan vena sentral (CvP) CvP hanya meningkat penyakit tertentu
Tekanan baji arteri pulmonalis (PAwP) PAwP merupakan tekanan balik kearah aliran vena
pulmonalis
Curah jantung Tidak ada nilai normal.yang dinilai adalah curah
jantung adekuat atau tidak
Saturasi oksigen mixed-venous (SvO2) Penurunan SvO2 cukup sensitif tapi kurang spesifik
sebagai penanda stress kardiovaskular
Dinamik volume chalenge Respons positif ditandai dg peningkatan tekanan
darah, CvP, PAwP, curah jantung dan SvO2. Selain
itu ditandai dengan penurunan laju nadi
Terjadinya kolaps vena kava saat Kolaps total vena kava
ventilasi tekanan positif pada analisis inferior 36% kolaps vena
ekokardiografi menunjukkan CvP < 10 kava superior
Menentukan respons pengisian preload ≥13% variasi tekanan nadi saat dalam ventilasi tekanan
positif
>1 mmhg penurunan CvP selama dalam inspirasi
spontan

Beberapa parameter yang dapat digunakan


tekanan atmosfer, sementara kurva aliran
balik vena tidak terpengaruh, karena sebagian
besar vena terletak di luar rongga toraks.
Bila kurva jantung (kurva Starling) terletak
pada bagian yang curam, perubahan tekanan
atrium kanan relatif akan meningkatkan
aliran balik vena hingga akan meningkatkan
curah jantung. Bila kurva terletak pada bagian
yang mendatar, maka pernapasan tidak akan
mengubah curah jantung.
Penelitian Magder dkk memakai
patokan penurunan CVP >1 mmHg pada
pasien yang bernapas spontan secara
adekuat. Penurunan CVP >1 mmHg
menandakan penurunan tekanan
intratorakal >-2 mmHg dan secara klinis
dapat menjadi patokan bahwa pasien
masih responsif terhadap pemberian preload.
Pada pasien yang mendapat bantuan
ventilasi mekanik, tekanan positif
intratorakal mengurangi aliran balik vena
sebesar 20%. Pada keadaan hipovolemik,
reduksi aliran balik vena dapat sampai
70%. Oleh karena itu, penggunaan
ventilator mengakibatkan perubahan dan
fluktuasi isi sekuncup ventrikel kiri, yang
dapat terbaca pada gelombang arteri.
untuk menilai respons kardiovaskular terhadap perubahan tekanan di jalan napas
terhadap pemberian cairan antara lain (delta PP) dihitung sebagai selisih PPmax dan
systolic pressure variation (SPV), pulse PP min dibagi dengan rerata dari kedua nilai
pressure variation (PPV) dan stroke itu dan dinyatakan dalam persen. Michard
volume variation (SVV). dkk menemukan bahwa nilai ambang terbaik
Pada gambar 11.3 Tekanan pasien masih respons terhadap pemberian
sistolik dan diastolik diukur secara preload adalah 13%.
invasif, sementara itu tekanan nadi
dihitung sebagai selisih tekanan
sistolik dan diastolik. Nilai KepustaKaan
maksimum dan minimum dari
tekanan sistolik dan diastolik (PPmax 1. Carcillo JA, Fields AI. Critical practice for
dan PPmin) ditentukan pada setiap hemodynamic support of pediatric and neonatal
patients in septic shock. Crit Care Med
siklus napas. Perubahan tekanan nadi
2002:30;1365-70.
2. Charron C, Caille V, Jardin F dan Vieillard-
10. McGhee BH, Bridges MEJ. Monitoring
Baron A. Echocardiographic measurement of
arterial blood pressure: what you may not
fluid responsiveness. Current Opinion in
know. Crit Care Nurse 2002:22; 60-79.
Critical Care 2000:12;249-54.
11. Michard F, Boussard S, Chemla D. Relation
3. Darovic GO. Hemodynamic monitoring:
between respiratory changes in arterial pulse
invasive and non-invasive. Clinical application.
pressure and fluid responsivenessin septic
Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders,2002. h.113-
patientwith acute circulatory failure. Am J
90.
respire Crit Care Med 2000:162(1): 134-8
4. Evans JM, Harry ED, Schenkman KA. Principles
12. Michard F, Teboul JL. Predicting fluid
of invasive monitoring. Dalam: Fuhrman BP,
responsiveness in ICU patients, a critical
Zimmerman J, penyunting. Pediatric critical
analysis of the evidence. Chest
care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby-
2002;121:2000-8.
Elsevier,2006. h.251-64.
13. Pinsky MR, Payen D. Functional
5. Fawcett JAD. Hemodynamic monitoring
hemodynamic monitoring. Critical Care
made easy. Philadelphia: Elsevier,2006. h.53- 2005,9:566-72.
130.
14. Pinsky MR. Hemodynamic monitoring in
6. Hall JB. Mixed venous oxygenation the intensive care unit. Clin Chest Med
saturation (SvO2). Dalam: Pinsky MR, Payen D, 2003;24:549-60.
penyunting.
15. Reinhart K, Blos F. Central venous oxygen
Functional hemodynamic monitoring: update in
saturation (ScvO2). Dalam: Pinsky MR, Payen
intensive care medicine. Brussel:
D, penyunting. Functional hemodynamic
Springer,2006. h.233-40.
monitoring: update in intensive care
7. Halley GC, Tibby S. Hemodynamic medicine. Brussel: Springer,2006. h.241-
monitoring. Dalam: Nichols DG, 50.
penyunting. Roger’s textbook of pediatric
16. Tsai AG, Kerger H, Intaglietta M. Oxygen
intensivecare. Philadelphia: Lippincott William
distribution and consumption by the
& Wilkins,2008. h.1039-63.
microcirculation and the determinants of tissue
8. Marini JJ, Wheeler AP. Critical care medicine: survival. Dalam: Sibbald WJ, Messmer K,
the essentials. Edisi ke-3. Philadelphia: Fink MP, penyunting. Tissue oxygenation in
Lippincott William & Wilkins,2006. h.20-45. acute medicine. Brussel: Springer,2002.
9. Marino PL. The ICU book. Edisi ke-3. h.53-62.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 17. Vincent JL. DO2/VO2 relationships. Dalam:
2007. h.151-207. Pinsky MR, Payen D, penyunting. Functional
hemodynamic monitoring: update in
intensive care medicine. Brussel:
Springer,2006. h.251-8.
12 Syok
Hari Kushartono, Antonius Pudjiadi

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan gagal ginjal akut. Depresi miokardium juga
sistem sirkulasi dengan akibat ketidakcukupan sering terjadi, sementara hipotensi yang lama
pasokan oksigen dan substrat metabolik lain dapat pula menyebabkan gangguan hati.
ke jaringan serta kegagalan pembuangan sisa
metabolisme. Berdasarkan komponen sistem
sirkulasi, terdapat 3 jenis syok yaitu syok
hipovolemik, kardiogenik, dan distributif. SyOK KARDIOGENIK
Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan pompa
jantung yang dapat disebabkan oleh preload,
SyOK hIPOvOlEMIK afterload atau kontraktilitas miokardium. Curah
jantung juga menurun pada disritmia.
Syok hipovolemik merupakan syok yang paling
Gangguan preload dapat terjadi akibat
sering dijumpai pada anak, terjadi akibat
pneumotoraks, efusi perikardium,
kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.
hemoperikardium atau pneumoperikardium.
Penyebab tersering syok hipovolemik pada
Gangguan afterload dapat terjadi akibat
anak adalah muntah, diare, glikosuria,
kelainan obstruktif kongenital, emboli,
kebocoran plasma (misalnya pada demam
peningkatan resistensi vaskular sistemik
berdarah dengue), sepsis, trauma, luka bakar,
(misalnya pada feokromositoma). Gangguan
perdarahan saluran cerna, dan perdarahan
intrakranial. kontraktilitas miokardium dapat diakibatkan
oleh infeksi virus, gangguan metabolik (seperti
Akibat kehilangan cairan, terjadi asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia), penyakit
penurunan preload. Sesuai dengan hukum kolagen, dan lain-lain. Disritmia, misalnya
Starling, penurunan preload mengakibatkan blok arterioventrikular atau takikardia atrial
penurunan isi sekuncup dan selanjutnya paroksismal dapat mengakibatkan syok
penurunan curah jantung. Baroreseptor akan kardiogenik. Respons neurohumoral seperti
merangsang saraf simpatis untuk pada syok hipovolemik, dapat juga terjadi pada
meningkatkan denyut jantung dan syok kardiogenik. Peningkatan resistensi vaskular
vasokonstriksi untuk mempertahankan curah sistemik akan meningkatkan afterload yang lebih
jantung dan tekanan darah. Syok hipovolemik lanjut akan berakibat penurunan curah jantung.
yang lama dapat mengakibatkan gangguan
fungsi berbagai organ. Dalam keadaan normal,
ginjal menerima 25% curah jantung. Pada syok
hipovolemik akan terjadi redistribusi aliran
SyOK DISTRIbUTIf
darah dari korteks ke medula. Bila keadaan ini Syok distributif dapat terjadi akibat berbagai
berlangsung lama, akan terjadi tubular nekrosis sebab, seperti blok saraf otonom pada anestesia
akut serta gangguan glomerulus dengan akibat (syok neurogenik), anafilaksis, dan sepsis.
Syok 109

Penurunan resistensi vaskular sistemik


secara mendadak akan berakibat pembesaran hati pada kegagalan ventrikel
penumpukan darah dalam pembuluh darah kanan, ronki basah halus tidak nyaring,
perifer dan penurunan tekanan vena sentral. takipnea sampai pink frothy sputum dapat
Pada syok septik, keadaan ini diperberat dijumpai pada kegagalan ventrikel kiri. Irama
dengan adanya peningkatan permeabilitas derap dapat dijumpai pada kegagalan ventrikel
kapiler sehingga volume intravaskular kanan maupun kiri.
berkurang. Syok distributif memberikan gambaran
gangguan perfusi seperti pada syok lainnya
seperti oliguria dan gangguan kesadaran.
Mutiara bernas Warm shock yang umumnya dijumpai pada
awal syok septik terjadi akibat vasodilatasi
• Syok hipovolemik merupakan syok
vaskular, ditandai dengan perabaan kulit yang
yang paling sering dijumpai pada anak, hangat, kemerahan (flushed skin), peningkatan
terjadi akibat kehilangan cairan tubuh tekanan nadi, takikardi, dan takipnu. Bila
yang berlebihan. penyebabnya sepsis, maka akan dijumpai pula
• Kecukupan cairan intravaskular sangat gejala sepsis lain, misalnya gejala koagulasi
penting dalam tata laksana syok pada intravaskular diseminata dan sindrom distress
anak. pernapasan akut.

MANIfESTASI KlINIS TATA lAKSANA SyOK

Manifestasi klinis syok hipovolemik Untuk mencegah komplikasi lanjut berupa


dipengaruhi oleh besarnya kehilangan cairan kerusakan organ, tata laksana syok harus
tubuh dan mekanisme kompensasi. Kehilangan dilakukan dengan cepat. Dalam 1 jam
5-10% berat badan umumnya masih dapat pertama harus dicapai waktu pengisian
dikompensasi. Selain tanda kehilangan cairan, kapiler kurang dari 2 detik, denyut nadi
yang normal tanpa perbedaan kualitas nadi
mekanisme kompensasi dapat dikenali dengan
perifer dan sentral, produksi urin lebih dari
dijumpainya produksi urin yang menurun,
1 mL/kgBB/jam, kesadaran normal, tekanan
ujung ekstremitas dingin, dan waktu pengisian
darah normal sesuai usia, dan saturasi
kapiler yang sedikit memanjang. Mekanisme
oksigen lebih dari 95%.
kompensasi tidak akan memadai pada
kehilangan 15% berat badan atau lebih.
Kesadaran akan menurun, produksi urin
minimal atau tidak ada, ujung ekstremitas SyOK hIPOvOlEMIK
dingin dan mottled, nadi perifer sangat lemah Pemberian cairan kristaloid 10-20 mL/kgBB
atau tidak teraba, takikardia, tekanan darah secara bolus dalam 10-30 menit dapat
menurun atau tidak terukur. Hipoksia jaringan dilakukan sambil menilai respons tubuh. Pada
akan mengakibatkan asidosis dan takipnea. syok hipovolemik, peningkatan volume
Dalam keadaan lanjut akan terjadi pernapasan intravaskular akan meningkatkan isi sekuncup
periodik atau apnu yang selanjutnya disusul disertai penurunan frekuensi jantung. Pada
dengan henti jantung. kasus yang berat, pemberian cairan dapat
Gangguan perfusi pada syok kardiogenik diulangi 10 mL/kgBB sambil menilai respons
menyebabkan gejala yang serupa dengan syok tubuh. Pada umumnya anak dengan syok
hipovolemik. Tanda bendungan dapat dijumpai, hipovolemik mempunyai nilai tekanan vena
seperti peningkatan tekanan vena jugularis dan sentral kurang dari 5 mmHg. Pemberian
110 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
cairan harus diteruskan hingga mencapai normovolemik. Kebutuhan cairan
untuk mengisi ruang intravaskuler umumnya fungsi kardiovaskular yang optimal, dengan
dapat dikurangi bila digunakan cairan pengaturan preload, penggunaan obat
koloid. inotropik dan vasodilator (seperti sodium
nitroprusid, nitrogliserin), dibutuhkan
pemantauan tekanan darah, curah jantung, dan
SyOK KARDIOGENIK resistensi vaskular sistemik.
Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup
dan frekuensi jantung. Bayi mempunyai
ventrikel yang relatif noncompliant dengan SyOK DISTRIbUTIf DAN SyOK SEPTIK
kemampuan meningkatkan isi sekuncup yang Tata laksana syok distributif adalah pengisian
amat terbatas. Karena itu curah jantung bayi volume intravaskular dan mengatasi penyebab
amat bergantung pada frekuensi. Syok primernya. Syok septik merupakan suatu
kardiogenik pada penyakit jantung bawaan keadaan khusus dengan patofisiologi yang
tidak dibahas di sini. kompleks. Pada syok septik, warm shock,
Isi sekuncup dipengaruhi oleh preload, suatu syok distributif, terjadi pada fase awal.
afterload, dan kontraktilitas miokardium. Penggunaan stimulator alfa (seperti
Sesuai dengan hukum Starling, peningkatan noradrenalin) dilaporkan tidak banyak
preload akan berkorelasi positif terhadap memperbaiki keadaan, bahkan menurunkan
curah jantung hingga tercapai plateau. Karena produksi urin dan mengakibatkan asidosis
itu, sekalipun terdapat gangguan fungsi laktat. Pada fase lanjut, terjadi penurunan curah
jantung, mempertahankan preload yang jantung dan peningkatan resistensi vaskular
optimal tetap harus dilakukan. Penurunan sistemik akibat hipoksemia dan asidosis.
curah jantung pasca bolus cairan menunjukkan Karena itu tata laksana syok septik lanjut
bahwa volume loading harus dihentikan. Upaya mengikuti kaidah syok kardiogenik. Sekalipun
menurunkan afterload terindikasi pada masih kontroversial, steroid terkadang
keadaan gagal jantung dengan peningkatan digunakan pada syok septik yang resisten
resistensi vaskular sistemik yang berlebihan. terhadap katekolamin dengan risiko insufisiensi
Untuk tujuan ini dapat digunakan vasodilator. adrenal.
Diuretik digunakan pada kasus dengan
tanda kongestif paru maupun sistemik. Untuk
KEPUSTAKAAN
tujuan ini dapat digunakan loop diuretic, atau
kombinasi dengan bumetanid, tiazid atau 1. Carcillo JA, Fields AI. American College of
metolazon. Critical Care Medicine Task Force Committee
Members. Clinical practice parameters for
Berbagai kondisi yang memperburuk
hemodynamic support of pediatric and neonatal
fungsi kontraktilitas miokardium harus segera
patients in septic shock. Crit Care Med
diatasi, seperti hipoksemia, hipoglikemia, 2002:30;1365-78.
dan asidosis. Untuk memperbaiki fungsi
2. Zingarelli B. Shock and reperfusion.
kontraktilitas ini, selanjutnya dapat digunakan
Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger’s
obat inotropik (seperti dopamin, dobutamin, textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4.
adrenalin, amrinon, milrinon). Untuk mencapai Philadelphia: Lippincott Williams
&Wilkins,2008. h. 252-65.
13 Kegawatan pada Penyakit
jantung bawaan (Pjb)
Eva Miranda Marwali, Liza Fitria Zaimi

berdasarkan kelainan yang ditemukan. Operasi


Kegawatan pada PJB mencakup tata laksana dilakukan bila kondisi jantung, paru, ginjal, dan
kegawatan pra-operasi dan pasca operasi. susunan syaraf pusat sudah optimal.
Tata laksana pra-operasi maupun pasca
operasi PJB pada bayi dan anak
membutuhkan koordinasi yang baik dari tim PRINSIP UMUM ANATOMI DAN
yang melibatkan dokter kardiologi anak, fISIOlOGI KElAINAN Pjb yANG
dokter bedah jantung anak, intensivist
MEMPENGARUhI MANAjEMEN PRA
jantung anak, ahli anestesi kardiovaskular,
perfusionis, perawat anak, fisioterapis, dan OPERASI DAN PASCA OPERASI
tentu saja anggota keluarga pasien sendiri. Pjb Asianotik
Setiap anggota tim memiliki peran yang
unik sesuai disiplin ilmunya sehingga tata Anak anak dengan kelainan jantung asianotik
laksana yang berkelanjutan dari PJB dapat dapat memiliki satu atau lebih defek di
dilakukan secara optimal. Pada bahasan ini bawah ini, yaitu:
ruang lingkup dibatasi pada manajemen pra- 1. Pirau jantung kiri ke kanan seperti defek
operasi. septum atrium (atrial septal defect/ASD)
Kebanyakan bayi dan anak dengan atau defek septum ventrikel (ventricular
PJB dapat menjalani pengobatan rawat jalan septal defect/VSD)
sampai tiba waktunya untuk dilakukan operasi, 2. Defek aliran masuk (inflow) dan aliran
namun kelompok bayi dan anak tertentu keluar (outflow) pada ventrikel, seperti
dapat mengalami kegawatan akibat gangguan stenosis mitral, penyakit katup aorta,
fisiologi jantung dan membutuhkan koarktasio aorta, dan lain-lain
perawatan di rumah sakit untuk stabilisasi 3. Disfungsi miokard primer seperti
sebelum dilakukan operasi. Prinsip tata kardiomiopati
laksana kegawatan pra- operasi meliputi (a)
stabilisasi awal, manajemen jalan napas, dan Ketiga jenis lesi di atas dapat
akses vaskular; (b) evaluasi secara cermat menurunkan hantaran oksigen jaringan
dan menyeluruh dengan alat non-invasif melalui 3 mekanisme (tabel 13.1), yaitu (1)
untuk mendiagnosis defek anatomi; maldistribusi aliran darah karena terdapat
(c) resusitasi dengan evaluasi dan tata aliran darah paru (Qp) yang berlebihandan
laksana untuk disfungsi organ sekunder, menurunnya aliran darahsistemik (Qs)
khususnya otak, ginjal dan hati; (d) (Qp:Qs>1); (2) terganggunya oksigenisasi
kateterisasi jantung bila dibutuhkan untuk darah dalam paru karena peningkatan
diagnostik, atau prosedur intervensi seperti total cairan intra dan ekstravaskular paru
yang disebut juga edema paru; (3)
ballon atrial septostomy atau valvolotomy;
menurunnya
(e) perencanaan jenis dan waktu operasi
jantung yang akan dilakukan
112 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Tabel 13.1. Mekanisme penurunan hantaran oksigen jaringan pada berbagai lesi PJB asianotik
Mekanisme Katagori lesi asianotik
Pirau kiri ke kanan Obstruksi inflow dan outflow Disfungsi miokard
Kontraktilitas yang menurun + +
Edema paru dan ventilasi perfusi + + +
mismatch
Maldistribusi aliran darah paru +
dan
sistemik (Qp:Qs > 1)
Diikutip dari Ibsen l, Shen I, Ungerleider RM. Perioperative management of patients with congenital heart disease: a
multidisciplinary approach. Dalam: Nichols DG, penyunting. Critical heart disease in infants and children.
Philadephia: Elsevier; 2006. h. 561-78

Tabel 13.2. Korelasi perubahan morfometrik vaskular paru pra-operasi dengan variasi aliran darah (Qp),
tekanan (Ppa), dan resistensi (Rp) paru.
Derajat Morfometrik Data Kateterisasi
A dan b (ringan) Neomuskularisasi  Qp
 tebal tunika media: Ppa normal saat istirahat
< 1.5 x normal (A)
1.5 – 2 x normal (b-
ringan)  Qp
b (berat) Neomuskularisasi  Ppa (≈ ½ sistemik)
 tebal tunika media: Rp normal
> 2 x normal  Ppa
C Sama dengan b (berat)  Rp ( > 3.5 U/m2)
 jumlah arteri
(relatif terhadap alveoli)
Dan biasanya  ukuran arteri
Dikutip dari Rabinovitch M, haworth SG, Castenada AR, dkk. lung biopsy in congenital heart disease: a
morphometric approach to pulmoanry vascular disease. Circulation 1978;58:1107-22

volume darah yang dipompa oleh ventrikel


Seiring dengan berjalannya waktu, peningkatan
kiri ke dalam aliran sistemik.
Qp menimbulkan perubahan mikrovaskular
paru, awalnya berupa vasokonstriksi paru yang
Maldistribusi aliran: (Qp:Qs >1) reversibel dan akhirnya menjadi penyakit
vaskular paru yang menetap. Perlahan-lahan
Pada bayi dengan pirau jantung kiri ke dengan meningkatnya Rp, Qp akan menurun
kanan, aliran darah paru (Qp) meningkat (tabel 13.2).
karena menurunnya resistensi paru (Rp)
yang cenderung tinggi saat lahir. Bila Qp Penentu utama aliran darah paru (Qp)
meningkat secara bermakna, tekanan arteri adalah resistensi paru (Rp). Pada pasien
pulmonal juga meningkat, terutama bila peningkatan Rp dan masih reaktif oksigen,
pirau jantung kiri ke kanan berada setelah fungsi ventrikel kiri mungkin normal tetapi
katup trikuspid, seperti VSD besar atau hantaran oksigen jaringan dapat terbatas karena
aortopulmonary window. Dengan penurunan curah jantung kanan atau
peningkatan aliran darah paru, terjadi timbulnya pirau jantung kanan ke kiri. Bila
overload pada ventrikel kiri yang dapat tekanan paru melampaui tekanan sistemik,
menimbulkan gagal jantung, penurunan aliran terjadi pirau jantung kanan ke kiri dan
darah sistemik, kongesti paru dan edema. pasien menjadi biru. Tergantung pada tipe dan
Kegawatan pada Penyakit Jantung Bawaan 113
ukuran dari lesi jantung, sirkulasi yang berlebihan ke paru
yang tidak dikoreksi dapat menimbulkan penyakit
Disfungsi miokard
vaskular paru obstruktif, paling dini terjadi
pada usia 6 bulan. Peningkatan Rp Pada pasien dengan kardiomiopati, penurunan
umumnya lebih sering timbul bila pirau hantaran oksigen lebih banyak disebabkan oleh
jantung terdapat pada tingkat ventrikel (VSD) disfungsi diastolik ventrikel dibanding disfungsi
atau pembuluh besar (Trunkus arteriosus) sistolik. Disfungsi diastolik meningkatkan
dibandingkan dengan pirau pada tingkat tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
atrium (ASD). tekanan vena pulmonalis yang akhirnya
Aliran paru berlebihan dapat menimbulkan edema paru. Disfungsi sistolik
menimbulkan penyakit jantung kongesti menurunkan fraksi ejeksi dan curah jantung.
melalui berbagai cara. Peningkatan Qp Kardiomiopati merupakan lesi primer jantung
menimbulkan beban volume yang berlebihan yang bersifat diturunkan dan dapat merupakan
pada ventrikel kiri (sistemik), peningkatan proses inflamasi. Pada PJB perubahan miopati
berturut-turut tekanan diastolik akhir pada otot ventrikel dapat terjadi. Kardiomiopati
ventrikel kiri, tekanan di atrium kiri dan vena dapat timbul oleh karena adanya overload
pulmonalis. Peningkatan tekanan di arteri dan volume dan tekanan pada jantung dan ini
vena pulmonalis meningkatkan gradien tergantung lesi jantung pada PJB tertentu
tekanan hidrostatik paru yang kemudian (tabel 13.3). Deteksi perubahan miopati ini
menimbulkan transudasi cairan ke jaringan penting dilakukan untuk menentukan
interstitial paru dan akhirnya menimbulkan strategi penanangan pra maupun pasca
kongesti alveolar. Volume ventrikel kanan operasi.
(dari pirau tingkat atrial atau ventrikel),
tekanan akhir diastolik, dan akhirnya Pjb Sianotik
tekanan atrium kanan serta tekanan vena
sentral juga ikut meningkat. Aliran darah Pada PJB sianotik terdapat pirau kanan ke
balik vena sentral menurun. Tekanan vena kiri, sehingga pasien tampak biru karena
sentral yang tinggi dapat menimbulkan terjadi desaturasi darah arteri. Seperti PJB
edema interstitial dan menurunkan perfusi asianotik, pada PJB sianotik juga terdapat
organ. Adanya maldistribusi aliran darah kombinasi pirau jantung, obstruksi dan
dengan aliran darah sistemik (Qs) yang perubahan miopati yang secara keseluruhan
menurun menyebabkan penurunan aliran harus dipertimbangkan dalam evaluasi
darah ke ginjal dan merangsang sistem renin anatomi dan fisiologi kelainan ini. Bayi dengan
angiotensin. Akumulasi cairan meningkat PJB sianotik dapat dikelompokkan secara
dengan adanya retensi sodium dan air oleh fisiologi dalam 2 kelompok besar yaitu
ginjal. kelompok aliran darah paru kurang dan
Edema paru menurunkan kandungan kelompok aliran darah paru berlebihan.
oksigen arteri (CaO2) melalui mekanisme
peningkatan pirau di paru (ventilation- Aliran darah paru yang tergantung duktus/
perfusion mismatch). Selain aliran darah paru PDA ( Aliran darah paru kurang)
berlebihan, penyebab edema paru pada PJB
asianotik adalah obstruksi inflow atau outflow Kelompok pasien ini mengalami penurunan
ventrikel kiri dan gangguan fungsi aliran darah paru yang dapat disebabkan
diastolik ventrikel kiri. Kelompok anak ini oleh adanya obstruksi pada jalan keluar
menunjukkan peningkatan frekuensi napas, ventrikel paru (contohnya pada tetralogy of
ronki paru yang difus dan peningkatan kerja Fallot/TOF, atresia pulmonal) atau adanya
napas. Foto toraks menunjukkan infiltrat obstruksi pada jalan masuk ventrikel
paru interstitial dan alveolar yang difus. kanan/paru (contohnya pada atresia
trikuspid). Manifestasi klinis adalah biru yang
semakin memburuk, hipoksemia berat
Tabel 13.3. Contoh disfungsi ventrikel pada PJB asianotik dengan overload volume dan atau overload
tekanan.
Defek ventrikel kiri pra-operasi ventrikel kanan pra-operasi Perkiraan fungsi jangka panjang
pasca operasi
Overload volume
vSD besar Dilatasi  Dilatasi  Normal bila operasi
Hipertrofi sebelum usia 2 thn
Kontraktilitas 
ASD besar volume (rendah) normal Dilatasi  Normal bila operasi sebelum usia
5 tahun
Massa & Komplains 
kontraksi Normal Kontraksi normal
Overload tekanan
Stenosis aorta bayi Normal Normal kecuali
volume , N,  hipoplasia lv
Hipertrofi (-) (< 50% vol.normal)
Kontraktilitas  Terdapat AS atau
AI

Anak
volume normal ()
Hipertrofi
Kontraktilitas N

Koarktasio Ao volume N atau  volume  Normal


Hipertrofi bervariasi Kontraksi  atau N
Kontraktilitas 
Diikutip dari Ibsen l, Shen I, Ungerleider RM. Perioperative management of patients with congenital heart disease: a
multidisciplinary approach. DAlam: Nichols DG, penyunting. Critical heart disease in infants and children. Philadephia:
Elsevier; 2006. h. 561-78

dan asidosis akibat menutupnya pembuluh normal, namun dengan hantaran oksigen
darah duktus/PDA, yang biasanya timbul yang tetap tidak adekuat, terjadi
dalam waktu beberapa jam sampai metabolisme anaerob dan disfungsi
beberapa hari setelah lahir. Penurunan aliran miokardium yang akan lebih memperburuk
darah paru (Qp) dan ditemukannya lesi lain hantaran oksigen jaringan. Akhir dari proses
seperti defek septum atrium dan ventrikel, patologis ini adalah hipoksemia berat dan
menyebabkan terjadinya dekompresi aliran asidosis. Pasien dengan penurunan Qp
darah yang berasal dari aliran balik vena membutuhkan sumber aliran darah paru
sentral ke sisi sirkulasi sistemik. Darah yang stabil dan mempertahankan kadar
yang berada dalam sirkulasi sistemik adalah hemoglobin yang lebih tinggi ( > 14 mg/ dl)
darah yang mengalami desaturasi, berasal dari untuk memaksimalisasi kandungan oksigen
aliran darah vena sentral (melalui pirau (CaO2) dan hantaran oksigen (DO2).
atrial) dan sedikit darah yang tersaturasi dari
paru-paru (Qp:Qs < 1). Dengan menurunnya
Qp, ambilan oksigen paru menurun sehingga Aliran darah sistemik yang tergantung
menurunkan hantaran oksigen ke jaringan. duktus/PDA (Aliran darah paru meningkat)
Pada awalnya aliran darah sistemik (Qs)
masih Pasien dengan aliran sistemik yang tergantung
duktus mengalami peningkatan aliran darah terdapat penurunan hantaran okisgen oleh
paru, namun aliran darah sistemiknya karena penurunan aliran darah sistemik.
berkurang karena terdapat obstruksi pada Manifestasi klinis dapat berupa syok yang berat
aliran keluar darah dari jantung ke sirkulasi akibat perburukan perfusi sistemik dan
sistemik yang dapat terjadi pada berbagai hantaran oksigen jaringan dengan menutupnya
lokasi. Obstruksi aliran sistemik dapat duktus/ PDA sebagai pembuluh utama yang
timbul pada hypoplastic left heart syndrome, mensuplai aliran darah ke sirkulasi sistemik.
interrupted aortic arch, dan koarktasio aorta Pada pasien dengan obstruksi ventrikel
neonatal. Kelompok pasien ini memiliki sistemik, PDA adalah pembuluh yang
saturasi yang cukup baik namun mengalirkan darah dari paru ke sistemik
melalui bagian distal aorta yang mengalami
Mutiara bernas obstruksi.
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) sebenarnya
sulit untuk dikelompokkan mengingat
kelainan ini kompleks. Sebaiknya tata STAbIlISASI PRA OPERASI PADA PENyAKIT
laksana PJB tidak hanya ditentukan jANTUNG bAwAAN
berdasarkan defek anatomi secara
individu, melainkan melihat kelainan ini Keberhasilan tata laksana pasien dengan PJB
melalui pendekatan fisiologis. Beberapa tergantung dari penilaian yang menyeluruh dan
pertanyaan yang perlu dijawab adalah: akurat untuk diagnosis kelainan yang ada,
dan persiapan/stabilisasi pasien sebelum
• Bagaimana aliran darah balik vena ke
operasi. Hal ini meliputi anamnesis,
jantung mencapai sirkulasi arteri pemeriksaan fisis, pemeriksaan radiologis
sistemik untuk mempertahankan curah paru, laboratorium, pemeriksaan jantung
jantung? Adakah percampuran seperti EKG, ekokardiografi dan Doppler,
(mixing), pirau (shunting) atau kateterisasi jantung serta MRI dan CT-
obstruksi jalan keluar? angiografi bila dibutuhkan. Selain diagnosis
• Apakah sirkulasi serial atau paralel? kelainan pada jantung, perlu dilakukan evaluasi
Sirkulasi serial adalah aliran darah kelainan organ lain yang mempengaruhi tata
dari sistemik  jantung  paru  laksana pra maupun pasca operasi. Kelainan
jantung lain seperti kelainan jalan napas atas atau
 sistemik. Sirkulasi paralel bawah terutama pada pasien dengan
ditemukan pada TGA (Transposition sindrom Down, abnormalitas kalsium dan
of Great Arteries) yaitu dua aliran defisiensi imunologis pada pasien dengan
sirkulasi darah yang paralel yaitu dari kelainan arkus aorta (sindrom Di george),
sistemik  jantung kelainan ginjal pada pasien dengan atresia
esofagus, dan PJB dan kelainan organ
 sistemik; dan paru  jantung 
lainnya. Infeksi berulang saluran napas lazim
paru, yang membutuhkan mixing
ditemukan pada PJB dengan lesi aliran darah
(campuran) darah di tingkat arium.
berlebihan ke paru. Adanya sianosis, derajat
• Apakah defek akan menuju tata dan lamanya hipoksemia merupakan data
laksana ventrikel tunggal atau dua yang penting. Bila tidak terdapat defisiensi
ventrikel? besi, biasanya hematokrit kelompok pasien
• Apakah aliran darah paru meningkat atau ini meningkat dengan beratnya sianosis.
Analisis gas dan gangguan elektrolit harus
dikoreksi.
Masalah kegawatan PJB yang utama
adalah kondisi sianosis dan atau gagal kegawatan pra operasi
jantung. Secara garis besar, tata laksana
ditujukan pada masalah hipoksemia berat, untuk
aliran darah paru berlebihan, obstruksi
aliran darah dari jantung kiri atau fungsi
ventrikel yang memburuk.

hipoksemia berat
Kebanyakan pasien dengan PJBsianotik masuk
ke ICU dengan kondisi hipoksemia berat
(PaO2< 50 mmHg) pada saat usia dini yaitu
beberapa hari setelah lahir, namun tanpa gejala
gangguan pernapasan yang jelas. Infus
Prostaglandin E1 (PGE1) mencegah
penutupan PDA (Patent Ductus
Arteriosus) sehingga aliran darah melalui
pembuluh ini dapat dipertahankan. PGE1
diindikasikan pada kasus PJB sianotik
dengan aliran darah paru yang kurang sehingga
aliran darah dari aorta ke paru dapat tetap
dipertahankan melalui PDA, contohnya pada
kasus atresia pulmonal atau stenosis pulmonal
kritikal. Kasus lain dengan hipoksemia berat
yang membutuhkan PGE1 adalah kelainan
TGA karena aliran darah melalui PDA
dapat meningkatkan percampuran (mixing)
darah arteri dan vena di tingkat arterial.
PGE1 dapat membuka kembali PDA yang
menutup dan efek ini dapat dipertahankan
untuk beberapa hari. Efek samping infus
PGE1 umumnya adalah apnea, hipotensi,
demam dan eksitasi susunan saraf pusat,
namun dapat dikendalikan bila dosis yang
diberikan masih berada dalam rentang dosis
normal yaitu 0,01–0,05 µg/kg/menit. Cara
pembuatan PGE1 yaitu 30 µg/kgBB
dilarutkan dalam 50 mL dekstrosa 5% atau
dekstrosa 10% diberikan 1 mL/jam setara
dengan 0,010 µg/kg/ min. PGE1 adalah
vasodilator poten sehingga volume
intravaskular harus ditambah dengan
pemberian loading cairan sebelum dan selama
pemberian infus PGE1. Apnea yang timbul
akibat efek samping PGE1 dapat diatasi
dengan intubasi dan ventilasi mekanik.
Selama stabilisasi pra-operasi dengan
PGE1, penilaian fungsi neurologis dan
pemeriksaan kimia darah untuk fungsi ginjal,
hati dan hematologi harus dilakukan
mengevaluasi dampak hipoksemia Septostomy) yang telah dikembangkan sejak
berat pada saat dan setelah lahir 40 tahun yang lalu. Tindakan BAS biasanya
terhadap gangguan fungsi organ tubuh. dilakukan bed-side dengan bantuan alat
Hidrasi yang adekuat dibutuhkan pada ekokardiografi dan jarang dilakukan di ruang
pasien dengan PJB sianotik untuk kateterisasi. Pembuatan defek septum atrium juga
mencegah trombosis karena kadar dibutuhkan pada kasus HLHS (hypoplastic left
hematokrit yang tinggi. Kelainan heart syndrome) dengan septum atrium yang
koagulasi juga sering ditemukan, intak. Untuk kelompok pasien ini dibutuhkan
sehingga dibutuhkan tata laksana fenestrasi septum atrium dengan intra- atrial
terhadap kelainan ini sebelum dan stent untuk mempertahankan patensi defek
setelah operasi. septum atrium.
Neonatus dengan TGA Setelah dilakukan stabilisasi pra-operasi
memperoleh percampuran (mixing) dengan infus PGE1, pasien direncanakan
darah bersih dan kotor yang adekuat di untuk operasi BT (Blalock Tausiq) shunt
tingkat atrial sehingga hantaran oksigen yang menghubungkan aorta atau
ke jaringan menjadi adekuat. Untuk percabangannya (arteri inominata atau arteri
memperoleh mixing yang adekuat subklavia) ke arteri pulmonalis dengan gorteks,
pada beberapa kasus dibutuhkan untuk mendapatkan aliran darah yang stabil ke
tindakan memperlebar defek septum paru. Bila pasien bukan
atrial dengan BAS (Ballon Atrial
Mutiara bernas
PGE1 diindikasikan untuk kondisi
hipoksemia pada lesi jantung dengan
aliran darah paru yang tergantung PDA.
Hipoksemia pada kasus TGA
membutuhkan BAS untuk meningkatkan
mixing di tingkat atrial. Pasca stabilisasi
neonatus, biasanya PGE1 tidak diberikan lagi yang menetap
namun langsung dilakukan operasi BT shunt cito.
Serangan biru mendadak pada
penderita TOF (tetralogy of Fallot) disebut
cyanotic spell. Serangan ini timbul bila
penderita TOF mengalami dehidrasi, asidosis
atau gelisah. Halini disebabkan oleh spasme
infundibulum sehingga aliran darah ke paru
menurun dan aliran darah ke sistemik
cenderung meningkat. Tata laksana meliputi
knee chest position yang bertujuan
meningkatkan resistensi sistemik sehingga
preferensi aliran ke paru meningkat. Hidrasi
yang adekuat dengan pemberian loading cairan
kristaloid/koloid 10 mL/kgBB dan peningkatan
cairan rumatan sesuai tingkat dehidrasi. Tata
laksana asidosis dengan pemberian sodium
bikarbonat diindikasikan pada keadaan pH <
7,2 dan kondisi hiperkalemia. Dapat
diberikan analgesia-sedasi morfin 0,05-0,1
mg/kgBB bolus IV, dan penghambat beta untuk
relaksasi spasme infundibulum. Penghambat
beta yang sering diberikan adalah
propranolol oral 0,2-0,5 mg/ kgBB tiap 6-12
jam, dapat ditingkatkan perlahan hingga dosis
maksimal 1,5 mg/kgBB (maksimal 80 mg) tiap
6-12 jam bila dibutuhkan.

Mutiara bernas
Cyanotic spell sering timbul pada pasien
TOF yang mengalami dehidrasi dan asidosis.
Tata laksana cyanotic spell adalah knee
chest position, hidrasi dan mengatasi
asidosis, pemberian analgesia dan
penghambat beta.

Aliran darah paru yang berlebihan


Aliran darah paru yang berlebihan seringkali
merupakan masalah utama pada PJB. Dokter
intensivist yang menangani kasus ini harus
secara cermat mengevaluasi hemodinamik dan
dampak respirasi akibat pirau kiri ke kanan.
Lesi ini sering bersamaan dengan
manifestasi infeksi saluran napas berulang
dan kronis, disertai keadaan kongesti paru
sehingga menyulitkan penentuan waktu organ vital dengan peningkatan denyut
yang tepat untuk dilakukan operasi koreksi. jantung dan penurunan perfusi ektremitas.
Hal ini bukan merupakan faktor yang Pada kasus yang berat, terdapat berat badan
menghalangi untuk dilakukan operasi, karena yang kurang dari persentil 3 sesuai umur.
bila kondisi pra operasi sudah optimal maka Takipnea, takikardia, retraksi substernal dan
operasi tidak dapat ditunda lagi. Infeksi RSV intekostal, ektremitas yang dingin dan
(Respiratory Syncytial Virus) dan pemanjangan waktu pengisian kapiler sering
pneumonia virus lainnya sering ditemukan ditemukan. Pada pemeriksaan fisis selalu
pada kelompok pasien ini, namun tata terdengar wheezing ekspirasi dan terkadang salah
laksana di ICU yang baik saat ini mengubah diintepretasikan sebagai serangan asma
prognosis penyakit ini. bronkial.
Disamping gangguan pernapasan karena Tata laksana medikamentosa seperti
aliran darah paru berlebihan, jantung kiri digoksin, vasodilator dan diuretik dapat
harus mengalami dilatasi untuk menerima memperbaiki kondisi pasien, namun perlu
aliran darah balik dari vena pulmonalis yang diingat bahwa pemberian diuretik dapat
berlebihan. Tubuh membutuhkan aliran menimbulkan gangguan elektrolit seperti
darah ke sistemik, namun jantung deplesi kalium dan alkalosis hipokloremik
berespons secara tidak efisien karena darah yang dapat menetap hingga setelah operasi.
yang seharusnya dipompa ke seluruh tubuh Digoksin dapat diberikan 2 kali sehari dengan
mengalami resirkulasi ke paru di tingkat dosis 5 µg/kg/kali untuk mengontrol ritme
pirau atrial maupun ventrikel. jantung. Vasodilator yang biasa diberikan
Pada anak dengan gagal jantung adalah kaptopril dimulai dari dosis 0,3
terdapat peningkatan produksi katekolamin mg/kgBB/kali dapat ditingkatkan sampai 1
endogen dan redistribusi curah jantung ke mg/kgBB/kali, 3 kali sehari. Diuretik yang
diberikan adalah golongan furosemid 0,5-
1 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari. Furosemid dapat aliran darah paru meningkat dan resistensi
dikombinasi dengan aldakton untuk K paru yang rendah - ditandai dengan adanya
sparing diuretik. Bila kondisi gagal jantung gejala infeksi saluran napas berulang, foto paru
memburuk dibutuhkan pemberian masih pletora dan aliran pirau VSD, ASD
inotropik seperti dopamin dan dobutamin, atau PDA masih kiri ke kanan atau
dan hati-hati bila melakukan fluid challenge. bidireksional, dan kateterisasi menunjukkan
Dukungan respirasi dibutuhkan dengan oksigen reaktif - maka operasi penutupan
penggunaan ventilasi non- invasif seperti defek dapat dilakukan. Bila aliran darah ke
nasal CPAP dan bila perlu pasien diintubasi paru sudah menurun karena resitensi paru
untuk mendapat dukungan ventilasi mekanik. yang meningkat maka derajat hipertensi
Strategi ventilasi meliputi manuver untuk pulmonal sudah berat, yang disebut PVOD
mencegah terjadinya aliran darah (pulmonary vascular occlusive disease) dan
berlebihan ke paru-paru dengan penggunaan pada kasus ini tindakan operasi koreksi
fraksi oksigen tidak berlebihan namun optimal, penutupan defek merupakan kontrainidikasi.
dengan target saturasi lebih dari 92% pada
PJB asianotik dan 80-85% pada PJB sianotik;
target PCO2 40 – 45 mmHg, cegah Obstruksi aliran darah keluar ventrikel
hiperventilasi; dan cegah alkalosis dengan sistemik/kiri
mempertahankan pH darah normal 7.30-
7.40. Kelompok pasien dengan kelainan obstruksi
aliran darah keluar ventrikel kiri merupakan
Aliran darah berlebihan ke paru
kelompok PJB yang paling kritis untuk
menimbulkan peningkatan tekanan darah paru
ditangani oleh intensivist. Kelainan dalam
sehingga terjadi hipertensi pulmonal. Evaluasi
kelompok ini termasuk koarktasio aorta,
derajat hipertensi pulmonal yang dilakukan
interrupted aortic arch, atresia mitral,
melalui anamnesis, pemeriksaan klinis dan
stenosis aorta, atau atresia sebagai bagian
radiologis, ekokardiografi dan kateterisasi
dari kelainan hypoplastic left heart
sangat berperan untuk menentukan strategi
syndrome. Neonatus dengan kelainan ini
tata laksana pasien ini. Bila masih terdapat
biasanya datang dengan manifestasi klinis
gejala
gangguan perfusi perifer dan asidosis metabolik
berat. Nilai pH kurang dari 7.0 walaupun
dengan PaCO2 yang rendah. Aliran darah
Mutiara bernas
sistemik secara keseluruhan tergantung pada
Tata laksana lesi jantung dengan aliran aliran darah melalui duktus arteriosus.
darah berlebihan meliputi restriksi cairan, Kegawatan pada kelompok PJB ini
pemberian diuretik, kaptopril, dan digoksin. akan timbul bila terjadi penutupan duktus
Pada kondisi gagal jantung dibutuhkan arteriosus. Infus PGE1 dibutuhkan untuk
inotropik dan dukungan ventilasi (CPAP tetap mempertahankan patensi duktus
atau ventilator). Strategi ventilasi meliputi sehingga aliran darah dari arteri
manuver mencegah terjadinya aliran pulmonalis ke aorta dapat dipertahankan
darah berlebihan ke paru-paru dengan melalui PDA. Pada sistem sirkulasi ini
penggunaan fraksi oksigen tidak ventrikel kanan berfungsi sebagai ventrikel
berlebihan namun optimal dengan target yang memompa darah ke seluruh tubuh
saturasi lebih dari 92% pada PJB asianotik melalui arteri pulmonalis, ke PDA dan aorta,
dan 80-85% pada PJB sianotik; target lalu kemudian ke seluruh tubuh. Bila
PCO2 40 – 45 mmHg, cegah perfusi sistemik menurun timbul asidosis
hiperventilasi; dan cegah alkalosis dengan dan gangguan fungsi organ seperti kegagalan
mempertahankan pH darah normal 7.30- ginjal. Infus PGE1 dapat memperbaiki perfusi
7.40.
sistemik sehingga operasi dapat ditunda sampai keadaan
fungsi organ lebih optimal. Selain infus PGE1 fungsi ventrikel memburuk akibat overload
dibutuhkan pula tata laksana suportif lain volume kronis pada kondisi kelainan regurgitasi
seperti dukungan ventilator, inotropik, koreksi mitral atau aorta berat. Pemberian obat
asidosis metabolik, hipoglikemia,
untuk menurunkan afterload ventrikel seperti
hipokalsemia dan gangguan elektrolit lainnya.
kaptopril dibutuhkan. Bila jantung mengalami
Periode stabilisasi memberi kesempatan
dilatasi dan volume overload, fibrilasi ventrikel
untuk menilai dampak gangguan fungsi organ
mudah terjadi terutama saat sedasi anestesi
akibat gangguan perfusi dan memberikan
and atau intubasi jalan napas.
kesempatan untuk proses penyembuhan.
Resusitasi awal yang adekuat ternyata lebih Fungsi sistolik juga dapat menurun karena
menentukan keberhasilan operasi dibanding pemberian obat seperti adriamisin, defisiensi
derajat beratnya manifestasi klinis saat awal enzim bawaan, inflamasi, maupun penyakit
diagnosis. infeksi. Pasien dengan kardiomiopati dilatasi
membutuhkan optimalisasi fungsi jantung
dengan pemberian obat–obatan inotropik
Mutiara bernas (seperti dopamin dan dobutamin) dan penurun
afterload (seperti milrinone dan kaptopril).
PGE1 dibutuhkan pada kasus neonatus Beberapa pusat perawatan di luar negeri
dengan kelainan obstruksi keluar aliran melakukan optimalisasi fungsi jantung dengan
darah dari ventrikel sistemik, untuk pemberian obat inotropik di ICU sebelum
mempertahankan perfusi sistemik dari dilakukan operasi, namun hal ini tidak
pembuluh PDA. didukung oleh bukti ilmiah yang cukup.

Disfungsi ventrikel Manajemen pra-operasi pasien dengan


fisiologi ventrikel tunggal
Seperti telah diterangkan sebelumnya,
disfungsi ventrikel sering ditemukan pada Berbagai PJB dapat memiliki variasi lesi
PJB dan hal ini harus dapat diantisipasi oleh sebagai ventrikel tunggal, yaitu adanya sirkulasi
intensivist saat penanganan pra maupun sistemik dan paru yang paralel dengan
pasca operasi. Walaupun pasien dengan pirau ditemukan hanya satu ventrikel yang efektif
yang besar mempunyai percampuran yang memompa darah ke kedua sirkulasi utama
cukup antara darah bersih dan darah kotor, tersebut (seperti pada hypoplastic left heart
dan hanya mengalami hipoksemia yang syndrome, atresia pulmonal, atresia mitral, dan
ringan sampai sedang karena aliran darah ke lain-lain). Stabilisasi pra- operasi seperti
paru berlebihan, namun masalah yang timbul yang telah diterangkan di atas bertujuan
adalah dilatasi dan disfungsi ventrikel dan untuk mendapatkan hantaran oksigen yang
juga PVOD (pulmonary adekuat dengan manipulasi curah jantung
vascularobstructivedisease).Akhirnyadibutuhkan total. Konsep ini sangat penting terutama
intervensi untuk mengurangi pirau ke paru pada fisiologi ventrikel tunggal, karena
yang berlebihan seperti melakukan PA manipulasi aliran darah paru (Qp) dan
(pulmonary – arterial) banding dengan sistemik (Qs) dibutuhkan untuk
pengikatan pembuluh arteri pulmonalis, atau keseimbangan Qp dan Qs. Manipulasi
langsung dilakukan penutupan defek atrial dilakukan terhadap preload, afterload dan status
maupun ventrikel. Perencanaan operasi inotropik ventrikel kiri dan kanan (gambar
bertahap untuk menuju fisiologi ventrikel 1). Resistensi paru dipengaruhi oleh pH,
tunggal atau biventrikel perlu direncanakan. paO2 alveolar, volume paru (atelektasis
Pada pasien PJB yang usianya lebih tua, atau overdistensi), rangsang sakit, hematokrit dan
obat-obatan. Pada pasien dengan aliran
darah
120 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Faktor yang meningkatkan resistensi vaskular


Faktor yang meningkatkan afterload
paru
ventrikel sistemik
PaCO2 yang meningkat
Peningkatan SvR (systemic vascular resistance)
ph yang menurun
Dopamin dosis tinggi
frekuensi ventilator 
Epinefrin
volume tidal 
Norepinefrin
Tambahkan CO2 atau dead
Rasa sakit
space PEEP yang meningkat
Agitasi
(overdistensi) Atelektasis
Tekanan intratorakal yang negatif, pada
Nyeri
pernapasan spontan
Agitasi
Dopamin
Epinefrin

Faktor yang menurunkan resistensi vaskular Faktor yang menurunkan afterload


paru ventrikel sistemik
PaCO2 yang menurun SvR yang menurun
ph yang meningkat Milrinone
frekuensi ventilator 
Dobutamin (meningkatkan denyut jantung)
volume tidal 
Captopril, enalapril
fraksi oksigen inspirasi  Nitroprusid (efek yang tidak terprediksi)
volume paru yang optimal (tidak overdistensi Analgesia adekuat
maupun atelektasis) Sedasi adekuat
Inhalasi nitrit oksida ventilasi tekanan positif dengan CPAP
Analgesi yang adekuat maupun ventilator mekanik
Sedasi adekuat
Pelemas otot
Milrinone
Prostaglandin E1(untuk kasus aliran darah paru
tergantung duktus)
Prostasiklin Iv dan inhalasi
Sildenafil

Gambar 13.1. faktor –faktor yang mempengaruhi resistensi vaskular paru dan afterload ventrikel sistemik.
Dikutip dari Ibsen l, Shen I, Ungerleider RM. Perioperative management of patients with congenital heart disease: a
multidisciplinary approach. Dalam: Nichols DG, penyunting. Critical heart disease in infants and children.
Philadephia: Elsevier; 2006. h. 561-78

paru berlebihan, aliran darah sistemik biasanya dan Qs. Manipulasi dapat dilakukan terhadap
tidak adekuat, sehingga dibutuhkan manuver resistensi paru maupun sistemik bila
untuk meningkatkan resistensi paru, agar Qp dibutuhkan.
menurun dan Qs meningkat. Pasien
dengan lesi jantung yang tergantung Pada ventrikel tunggal, saturasi arteri
duktus (PDA) untuk aliran darah sistemik pulmonalis dan aorta adalah sama, karena
maupun paru juga memerlukan manuver darah kembali lagi ke jantung dan terjadi
untuk keseimbangan Qp percampuran di dalam “common atrium”.
Dengan asumsi adanya percampuran yang
cukup dengan curah
jantung normal dan saturasi oksigen di vena ini dapat timbul karena menurunnya aliran
pulmonalis normal, keseimbangan Qp dan darah paru melalui PDA, resistensi paru
Qs (Qp/Qs ≈ 1) dapat tercapai bila diperoleh yang meningkat misalnya pada kelainan paru
target saturasi arteri 80-85% dan saturasi vena (atelektasis, infeksi paru) atau meningkatnya
sentral 60-65%. Walaupun aliran paru dan tekanan vena pulmonalis pada lesi TAPVD
sistemik seimbang, yang terpenting adalah (total anomaly of pulmonary drainage)
ventrikel tunggal harus dapat menerima dan atau adanya ASD yang restriktif. Sedasi,
memompa darah hingga sebanyak dua kali paralisis, dan manipulasi ventilator untuk
volume darah, satu bagian dipompa ke paru menimbulkan alkalosis dibutuhkan untuk
dan lainnya ke sistemik. menurunkan resistensi paru. Gas seperti NO
Bila ditemukan saturasi arteri > 90% (nitric oxide) terkadang dibutuhkan sebagai
menandakan adanya aliran darah paru vasodilator pulmonal. Hantaran oksigen
berlebihan (Qp/Qs >1). Resistensi paru harus dipertahankan dengan meningkatkan curah
ditingkatkan dengan intubasi dan pemberian jantung dengan cairan dan obat vasopresor
hipoventilasi pada ventilasi mekanik untuk (seperti dopamin, dobutamin, epinefrin, dan
menimbulkan asidosis respiratorik, dibutuhkan norepinefrin) dan mempertahankan
sedasi dan pelemas otot, diberikan fraksi hematokrit > 40%. Milrinone dapat digunakan
oksigen (FiO2) yang rendah untuk mencapai untuk meningkatkan kontraksi jantung,
saturasi arteri 80-85%. Terkadang hanya menurunkan afterload ventrikel sistemik
dibutuhkan oksigen kamar atau campuran serta dapat bersifat sebagai vasodilator
gas hipoksik dan ditambahkan nitrogen pulmonal. Prostaglandin E1 dibutuhkan
pada campuran gas tersebut untuk untuk mempertahankan patensi PDA.
memperoleh FiO2 17- 19%. Walaupun Terkadang dibutuhkan tindakan segera seperti
manuver ini efektif untuk meningkatkan melebarkan ASD dengan tindakan BAS
resistensi paru namun perlu diingat pasien (Ballon atrial septectomy) atau dilatasi
dengan oksigen rendah sehingga kemungkinan (pemasangan stent) ASD pada kasus atresia
dapat timbul desaturasi berat. Cara lain mitral dengan HLHS dan kasus mixing yang
adalah dengan memberikan CO2 pada gas kurang pada TGA. ASD dibutuhkan pada
inspirasi sehingga meningkatkan PaCO2 dan kasus atresia mitral dengan HLHS oleh
akhirnya juga meningkatkan resistensi paru. karena aliran balik dari vena pulmonalis ke
Pada cara ini gas yang diberikan bukan jantung akan terbendung bila ASD tidak
campuran gas hipoksik sehingga hantaran dilebarkan. Operasi BT shunt untuk
oksigen sistemik dapat adekuat dipertahankan. meningkatkan aliran darah paru merupakan
Pasien yang tetap menunjukkan saturasi arteri indikasi bila terapi konservatif tidak dapat
yang tinggi dengan aliran darah sistemik yang mengatasi masalah.
kurang walaupun berbagai manuver ventilasi
sudah dilakukan, hal ini merupakan
petunjuk adanya indikasi bedah yang harus Mutiara bernas
dilakukan sesegera mungkin. Prosedur banding
pada arteri pulmonalis dapat dilakukan untuk Manipulasi aliran darah paru (Qp) dan
mengurangi aliran darah paru. sistemik (Qs) dibutuhkan pada fisiologi
ventrikel tunggal. Keseimbangan Qp dan
Bila terjadi hipoksemia dengan saturasi
Qs (Qp/Qs ≈ 1) dapat tercapai bila
arteri < 75% pada fisiologi ventrikel
diperoleh target saturasi arteri 80-85%
tunggal menunjukkan aliran darah paru
yang kurang (Qp/Qs <1). Pada kondisi dan saturasi vena sentral 60-65%
pra-operasi hal
KEPUSTAKAAN associated with extracardiac anomalies
1. Atz AM, Feinstein JA, Jonas RA. Preoperative and malformation syndromes. Clin Ped.
management of pulmonary venous 1984;23:145–51.
hypertension in hypoplastic left heart 12. Hammon J Jr, Lupinetti F, Maples M. Predictors
syndrome with restrictive atrial septal of operative mortality in critical valvular
defect. Am J Cardiol. 1999;83(8):1224–8 aortic stenosis presenting in infancy. Ann
2. Buchhorn R, Ross R, Bartmus D. Activity Thorac Surg. 1988; 45:537-540
of the reninangiotensin aldosterone and 13. Hansen D, Hickey P. Anasthesia for
sympathetic nervous system and their hypoplastic left heart syndrome: use of high
relation to hemodynamic and clinical dose fentanyl in 30 neonates. Anesth Analg.
abnormalities in infants with left to right 1986; 65:127-132
shunts. Int J Cardiol. 2001;78:225-230 14. Ibsen L, Shen I, Ungerleider RM.
3. Cordell D, Graham TP Jr, Atwood GF. Left Perioperative management of patients with
heart volume characteristics following congenital heart disease: a multidisciplinary
ventricular septal defect closure in infancy. approach. Dalam: Nichols DG, penyunting.
Circulation. 1976; 54:294-298, Critical heart disease in infants and children.
4. Donahoo JS, Roland JM, Ken J. Philadephia: Elsevier; 2006. h. 561-78
Prostaglandin E1 as an adjunct to emergency 15. Jarmakani J, Graham T Jr, Canent R Jr, Capp
cardiac operation in neonates. J Thorac M. The effect of corrective surgery on left
Cardiovasc Surg. 1981;81:227 heart volume and mass in children with
5. Drummond W, Gregory G, Heymannn M, ventricular septal defect. Am J Cardiol. 1971;
Phibbs 27:254-258
R. The independent effects of 16. Jonas RA, Hansen DD, Cook N. Anatomic
hyperventilation, tolazoline, and dopamine subtype and survival after reconstructive
on infants with persistent pulmonary operation for hypoplastic left heart syndrome. J
hypertension. J Pediatr. 1981;98:603-611. Thorac Cardiovasc Surg. 1994;107:1121–7
6. Freed MD, Heymann MA, Lewis AB. 17. Jonas RA, Lang P, Mayer JE. The importance
Prostaglandin E1 in infants with ductus of prostaglandin E1 in resuscitation of the
arteriosus-dependent congenital heart disease. neonate with critical aortic stenosis. J Thorac
Circulation. 1981;64:889–905. Cardiovasc Surg. 1985;89:314–5
7. Gossett JG, Rocchini AP, Lloyd TR, et al. 18. Katz A. Cardiomyopathy of overload: a major
Catheter-based decompression of the left determinant of prognosis in congestive heart
atrium in patients with hypoplastic left heart failure. N Engl J Med. 1990; 322:100-10
syndrome and restrictive atrial septum is safe 19. Lewis AB, Freed MD, Heymann MA. Side
and effective. Catheter Cardiovasc Interv. effects of therapy with prostaglandin E1 in
2006;67:619–24 infants with critical congenital heart disease.
8. Graham T Jr. Ventricular performance Circulation. 1981;64:893–8
in congenital heart disease. Circulation. 20. Moler FW, Khan AS, Meliones JN.
1991;84:2259-2274 Respiratory syncytial virus morbidity and
9. Graham TP. Ventricular function in congenital mortality estimates in congenital heart
heart disease. Lancaster, England: MTP disease patients: a recent experience. Crit
Press, 1986 Care Med. 1992;20:1406–13
10. Greenwood RD, Rosenthal A, Parisi L. 21. Nicholson S, Jobes D. Pediatric cardiac
Extracardiac abnormalities in infants anesthesia. Dalam: Lake C, penyunting.
with congenital heart disease. Pediatrics. Hypoplastic left heart syndrome. San Mateo:
1975;55:485–92 Appleton and Lange; 1988. h. 243-52
11. Greenwood RD. Cardiovascular malformations 22. Norwood W. Surgery of the chest. Dalam:
Sabiston D, Spencer F, penyunting.
Hypoplastic
left heart syndrome. San Mateo: Appleton
infants with hypoplastic left heart syndrome
and Lange; 1988. h. 243-52
during controlled ventilation. Circulation.
23. Norwood WI, Lang P, Hansen DD. Physiologic 2001;104(12 Suppl 1):I159–64.
repair of aortic atresia-hypoplastic left heart
29. Talner NS. Heart Failure. Dalam: Adams
syndrome. N Engl J Med. 1983;308:23–6
FH, Emmanouilides GC, penyunting. Moss’
24. Rabinovitch M, Haworth SG, Castenada heart diseases in infants, children and
AR. Lung biopsy in congenital heart adolescents. Baltimore: Williams & Wilkins;
disease: a morphometric approach to 1983. h.708
pulmoanry vascular disease. Circulation.
30. Vlahos AP, Lock JE, McElhinney DB.
1978;58:1107-22
Hypoplastic left heart syndrome with intact
25. Ramamoorthy C, Tabbutt S, Kurth CD. Effects or highly restrictive atrial septum: outcome
of inspired hypoxic and hypercapnic gas after neonatal transcatheter atrial
mixtures on cerebral oxygen saturation in septostomy. Circulation. 2004;109:2326–
neonates with univentricular heart defects. 30
Anesthesiology. 2002;96(2):283–8.
31. Wessel LD, Fraisse A. Pre operative care of
26. Rashkind WJ, Miller WW. Creation of an pediatric cardiac surgical patient. Dalam:
atrial septal defect without thoracotomy. A Nichols DG, penyunting. Rogers’ textbook of
palliative approach to complete transposition pediatric intensive care). Philadelphia:
of the great arteries. JAMA. 1966;196:991– Lippincot William and Wilkins; 2008. h.
2 1150-8
27. Rudolph A, Yuan S. Response of the 32. Yokota M, Muraoka R, Aoshima M.
pulmonary vasculature to hypoxia and H+ Modified Blalock-Taussig shunt following
ionconcentration changes, J Clin Invest. long-term administration of prostaglandin
1966;45:399-411 E1 for ductus- dependent neonates with
28. Tabbutt S, Ramamoorthy C, Montenegro LM. cyanotic congenital heart disease. J Thorac
Impact of inspired gas mixtures on preoperative Cardiovasc Surg. 1985;90(3):399–403
14 Gagal Ginjal Akut
Antonius Pudjiadi, Irene Yuniar

RIFLE (pRIFLE). Kriteria pRIFLE


PENDAhUlUAN didasarkan atas perubahan kadar kreatinin
serum, perkiraan klirens kreatinin (estimated
Gagal ginjal akut adalah disfungsi creatinine clearance, eCCl) dan produksi
ginjal mendadak yang mengakibatkan urine (Tabel 14.1). Bila digunakan kriteria
ketidakmampuan pengaturan asam, elektrolit, ini, angka kejadian gagal ginjal akut di PICU
pembuangan sisa metabolisme dan air. mencapai 82%
Angka kejadian gagal ginjal akut pada anak
tidak banyak dilaporkan. Bila digunakan
kriteria kebutuhan renal replacement therapy ETIOlOGI
(RRT), angka kejadian gagal ginjal akut di
Unit Perawatan Intensif Pediatri (Pediatric Penelitian epidemiologi retrospektif
Intensive Care Unit, PICU) kurang dari 1-2%, memperlihatkan bahwa penyebab utama gagal
bila digunakan kriteria kenaikan kreatinin ginjal akut di rumah sakit rujukan adalah
serum dua kali lipat, maka angka iskemia, penggunaan obat nefrotoksik dan
kejadiannya 1-21%. Pada bayi yang sepsis. Berbagai penyebab tersebut
menjalani operasi pintas kardiopulmonar, mengakibatkan gagal ginjal melalui
angka kejadian gagal ginjal akut adalah 10- berbagai mekanisme, namun pada akhirnya
25%. Pada tahun 2004, Acute Dialysis terjadi nekrosis tubular akut (acute tubular
Quality Initiative membuat batasan gagal necrosis, ATN). Penyebab gagal ginjal akut
ginjal akut berdasar kriteria RIFLE (risk, dapat diklasifikasikan menjadi pra-renal, renal
injury, failure, loss, and end stage renal (penyakit ginjal intrinsik) dan pasca-renal
disease). Kriteria yang dibuat untuk populasi (Tabel 14.2).
dewasa tersebut telah dimodifikasi dan
divalidasi untuk anak, dikenal dengan
pediatric

Tabel 14.1. Kriteria gagal ginjal akut berdasarkan pediatric RIFLE


Kriteria pediatric RIFLE
eCCI Produksi urine
Risk Penurunan eCCI 25% <0,5 ml/kg/jam selama 8 jam
Injury Penurunan eCCI 50% <0,5 ml/kg/jam selama 16 jam
Failure Penurunan eCCI 75% atau <0,3 ml/kg/jam selama 24
eCCI <35 ml/menit/1,73 m2 jam atau anuria 12 jam
Loss Kegagalan menetap >4 minggu
End stage Penyakit ginjal terminal
(gagal ginjal menetap >3 bulan)
Gagal Ginjal Akut 125

Tabel 14.2. Penyebab gagal ginjal akut di PICU


Pra-renal
Penurunan volume intravaskular
Perdarahan
Dehidrasi
Kehilangan melalui perpindahan cairan ke ruang interstitial: sepsis, luka bakar,
hipoalbuminemia Penurunan volume sirkulasi
Gagal jantung, tamponade jantung
Obstruksi arteri renal
vasodilatasi pada sepsis
Renal Glomerulus
Glomerulonefritis
Penyakit autoimun: lupus, nefropati IgA pasca-
infeksi vaskular
Sindrom hemolitik uremik
Trombosis arteri/vena renalis
Koagulasi intravaskular diseminata
Interstitial
Nekrosis interstitial akut: akibat obat, pasca-infeksi, reaksi imun
Infeksi: pielonefritis
Tubular
Nekrosis tubular akut
Sindrom lisis tumor
Pasca-renal
Obstruksi uretra: batu, massa yang menyumbat

arteriol aferen. Mekanisme ini bertujuan untuk


GAGAl GINjAl AKUT PRA-RENAl meningkatkan LFG. Bila hipoperfusi terjadi
berkepanjangan, maka dapat terjadi nekrosis
Gagal ginjal akut pra-renal terjadi akibat tubular akut (Gambar 14.1).
hipoperfusi mendadak. Mekanisme adaptasi Bila penyebab hipoperfusi ginjal adalah
tubuh untuk mempertahankan volume kebocoran plasma, mekanisme kompensasi
intravaskular dan laju filtrasi glomerulus tidak efektif untuk memperbaiki perfusi.
(LFG) meliputi peningkatan aktivitas Pemberian cairan harus dilakukan dengan
adrenergik, stimulasi aksis renin-angiotensin- hati-hati untuk mencegah kelebihan cairan.
aldosteron (RAA) dan pelepasan hormon Tatalaksana gagal ginjal akut tipe pra-renal
antidiuretik.. Peningkatan aktivitas adrenergik harus ditujukan untuk mengatasi penyebab
mengakibatkan vasokonstriksi, hingga hipoperfusi ginjal sambil menghindari
terjadi peningkatan tekanan darah. Aktivitasi terjadinya kelebihan cairan.
aksis RAA mengakibatkan reabsorbsi
garam dan air di tubulus proksimal (oleh
angiotensin II) dan tubulus distal (oleh
aldosteron). Hormon antidiuretik (ADH) Mutiara bernas:
mengakibatkan retensi air di tubulus koligentes Tatalaksana gagal ginjal akut tipe pra-renal
(collecting tubule). Angiotensin II juga harus ditujukan untuk mengatasi
mengakibatkan vasokonstriksi arteriol penyebab hipoperfusi ginjal sambil
eferen, sementara prostaglandin dan nitrit menghindari terjadinya kelebihan
oksida (NO) menyebabkan vasodilatasi cairan.
Hipoperfusi ginjal

Aktivasi sistim neurohumoral


RAA
Simpatis
ADh
Prostaglandin

Efek sistemik Efek ginjal


vasokonstriksi vasokontriksi arteriol eferen
Tekanan darahs\ meningkat vasodilatasi arteriol aferen
Perbaaikan perfusi ginjal Tekanan kapiler glomerulus dipertahankan
Retensi garam dan air

Perfusi ginjal kembali normal Atau Iskemia ginjal berkepanjangan

Proses terjadinya ATN


vasokonstriktor intrarenal (endothelin, angiotensin II)
Kerusakan endotel
Inflamasi intrarenal
Fungsi ginjal kembali normal Deplesi ATP sel
tubulus Radikal
bebas
Acute tubular necrosis
vasokonstriktor intrarenal (endothelin, angiotensin II)
Kerusakan endotel
Inflamasi intrarenal
Deplesi ATP sel
tubulus Radikal
bebas
Gambar 14.1. Mekanisme terjadinya nekrosis tubular akut (acute tubular necrosis,ATN) pada gagal ginjal akut pra-renal

GAMbARAN KlINIS
Penyakit ginjal intrinsik
Penyebab hipoperfusi perlu dicari, misalnya
Keadaan ini didasari oleh kerusakan jaringan perdarahan, gagal jantung, kebocoran
ginjal, baik vaskular, tubulus, interstisial, plasma seperti pada infeksi dengue dan
maupun glomerular. Nekrosis tubular akut sepsis, kehilangan cairan berlebih seperti
merupakan penyebab utama gagal ginjal akut pada luka bakar, diare, muntah, dan lain-lain.
tipe renal, dapat terjadi akibat Anamnesis tentang penggunaan obat-obatan
hipoksia/iskemia (tersering) atau toksin penting untuk mencari kemungkinan adanya
(nephrotoxin injury). Sepsis dapat obat yang bersifat nefrotoksik.
mengakibatkan gagal ginjal akut tipe renal Temuan dari pemeriksaan fisis
melalui berbagai mekanisme. Beberapa obat seringkali dapat mendeteksi etiologi gagal
yang bersifat nefrotoksik dapat dilihat pada ginjal. Sebagai contoh, bila ditemukan
Tabel 14.3. petanda vaskulitis, tekanan darah yang
rendah, atau penyakit hati berat, maka
Gagal ginjal akut pasca-renal penyebab gagal ginjal adalah sindrom
hepatorenal. Pemeriksaan fisis juga penting
Gagal ginjal akut tipe pasca-renal relatif untuk mendeteksi adanya kebocoran plasma,
jarang terjadi di PICU. Uropati obstruktif krisis hipertensi, dan kelebihan cairan
kongenital dapat ditemukan pada
neonatus.
Tabel 14.3. Obat nefrotoksik
Nefrotoksin yang menyebabkan disfungsi tubulus
Aminoglikosida
Antibiotik beta-laktam (sefalosporin, karbapenem)
Zat kontras
Cisplatin
Ifosfamide
Obat anti-inflamasi nonsteroid
Asetaminophen
Amfoterisin b
Asiklovir
foscarnet
Cidofovir
Inhibitor kalsineurin
Nefrotoksin yang menurunkan laju filtrasi glomerulus
Amfoterisin b
Angiotensin-converting enzyme inhibitor
Obat anti-inflamasi nonsteroid
foscarnet
Inhibitor kalsineurin
vasokonstriktor/vasopresor
Nefrotoksin yang mengakibatkan nefritis interstisial
Antibiotik beta-laktam (metisilin, penisilin, sefalosporin)
Tetrasiklin

yang terkadang mengakibatkan ancaman gagal positif. Bila tidak ditemukan eritrosit secara
napas. mikroskopis, namun uji dipstik menunjukan
adanya darah, perlu dipikirkan terjadi
hemolisis atau rabdomiolisis. Proteinuria
PEMERIKSAAN PENUNjANG merupakan petanda yang tidak spesifik.
Silinder granular yang dijumpai pada pasien
Berbagai pemeriksaan penunjang untuk
dengan hipovolemia seringkali merupakan
mencari etiologi gagal ginjal akut dapat
petanda ATN sebelum terjadi peningkatan
dilihat pada Tabel 14.5.
kreatinin serum.

Urinalisis fraksi ekskresi sodium (fENa)


Berat jenis urine tinggi pada pasien
Fraksi ekskresi sodium dapat dihitung
dengan deplesi volume
dengan formula berikut:
intravaskular, namun bila
telah terjadi ATN, berat jenis umumnya
rendah karena telah terjadi disfungsi FENa = × )/(SNa × ) × 100
tubulus. Glukosuria dapat merupakan petanda (UNa SCr UCr
disfungsi
tubulus atau diuresis osmotik akibat diabetes nitrit
mellitus. Infeksi saluran kemih patut
dicurigai bila ditemukan peningkatan jumlah
leukosit atau uji dipstik yang menunjukkan
Pada ATN, didapatkan nilai FENa >1%, <1% (nilai normal FENa pada neonatus <3%)
sedangkan pada gagal ginjal akut tipe pra-renal (Tabel 14.4).
Tabel 14.4. Beberapa pemeriksaan untuk membedakan gagal ginjal tipe pra-renal dan renal
Pemeriksaan Gagal ginjal
akut Gagal ginjal akut Nilai diskriminasi
fungsional parenkimal
Konservasi natrium
Konsentrasi natrium urin (UNa) <20 mEq/l >40 mEq/l jelek
fraksi ekskresi natrium (fENa) <1 >1 baik
fENa = (UNa x SCr)/(SNa x UCr) x 100
Konservasi air
Osmolalitas urin (UOsm) >500 mOsm/l >350 mOsm/l jelek
Rasio osmolalitas urin-serum (UOsm/SOsm) >2 <1,1 Sedang
Respons terhadap challenge diagnostik Peningkatan produksi Tidak ada perubahan baik
dengan manitol dan furosemid intravena urin
U, urin; Na, natrium; Cr, kreatinin; S, serum
*Anak dengan ATN nonoliguria dapat memiliki fraksi ekskresi natrium <1%. Uji fENa hanya membantu untuk ATN dengan
oliguria.Ambang batas fENa pada neonatus adalah 3%, bukan 1%
Dikutip dengan modifikasi dari Lamire N, dkk. Lancet 2005; 365:417-30

Dengan prinsip yang sama, dapat dengan kadar >6,5 mEq/L mengancam
pula dihitung fraksi ekskresi urea berdasar nyawa. Hipokalemia dapat terjadi pada
pengukuran urea nitrogen dan kreatinin gagal ginjal akut tipe poliuria, yang sering
urine dan serum. Nilai normal fraksi disebabkan oleh amfoterisin B dan
ekskresi urea aminoglikosida. Asidosis metabolik,
<35%, sedangkan pada disfungsi tubular >35%. hipokalsemia, dan hiperfosfatemia juga umum
Fraksi ekskresi urea kurang dipengaruhi oleh dijumpai pada gagal ginjal akut. Pada kondisi
diuretik dibandingkan dengan fraksi ekskresi hipovolemia, kadar nitrogen urea dapat
sodium. meningkat jauh melebihi peningkatan kreatinin
serum, demikian juga kadar hematokrit dan
trombosit meningkat dari nilai sebelumnya.
Mutiara bernas
Pada ATN, didapatkan nilai FENa >1%,
sedangkan pada gagal ginjal akut tipe pra- Pencitraan
renal <1% (nilai normal FENa pada Beberapa kelainan anatomi seperti obstruksi
neonatus kongenital dapat terdiagnosis melalui
<3%) pencitraan saluran kemih. Gangguan vaskular
dapat pula dideteksi melalui pencitraan
Pemeriksaan darah melalui teknik doppler, computed
tomography, atau magnetic resonance.
Pemeriksaan yang rutin dilakukan meliputi
kreatinin, nitrogen urea, elektrolit, natrium,
kalium, bikarbonat, fosfor, kalsium, glukosa, Tata laksana
albumin, hemoglobin, dan trombosit.
Tata laksana suportif dibutuhkan untuk
Hiponatremia sering disebabkan oleh efek
mencegah dan mengatasi ancaman nyawa,
dilusi akibat pelepasan hormon antidiuretik
misalnya akibat gangguan elektrolit. Mengatasi
yang tidak adekuat. Hiperkalemia dapat
gangguan perfusi dan menghindari penggunaan
terjadi akibat gangguan ekskresi. Hiperkalemia
senyawa yang bersifat nefrotoksik dilakukan
Tabel 14.5. Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal akut
Pemeriksaan Kelainan Temuan positif
Urin Dipstick urine Infeksi Nitrit, leukosit esterase
Diabetes melitus Glukosa, keton
Defek konsentrasi (ATN, Berat jenis ≤,01
nefritis interstisial)
Nefritis hematuria
Sindrom nefrotik Proteinuria
Mikroskopik Nefritis Eritrosit, silinder leukosit
ATN Silinder granular
Nefritis interstisial akut Eosinofilia
FENa Gagal ginjal akut pra-renal fENa <1%
ATN, penyakit tubulus fENa >2%
FEUr Gagal ginjal akut pra-renal fEUr <35%
ATN fEUr >35%

Serum SCr Gagal ginjal akut Meningkat


dibandingkan
sebelumnya
BUN Gagal ginjal akut pra-renal Meningkat jauh di
atas peningkatan SCr
Elektrolit Dehidrasi hiperkalemia, hipokalsemia,
hperfosfatemia, hiponatremia,
hipernatremia
Disfungsi tubulus/sindrom fanconi hipokalemia, hipofosfatemia
Gas darah Gagal ginjal akut Asidosis metabolik
Hemoglobin dan Sindrom hemolitik uremik, Rendah
trombosit mikroangiopati lain
Penurunan volume intravaskular Meningkat
Albumin Sindrom nefrotik, gangguan fungsi Rendah
hati, sindrom hepatorenal
Enzim hati Penyakit hati berat Meningkat
Profil koagulasi Koagulasi intravaskular diseminata Tidak
normal Kreatinin kinase Rabdomiolisis Meningkat
Autoimun (ANA, Glomerulonefritis
antinuclear cytoplasmic
antibody, komplemen
C3, C4)

Ultrasonografi ginjal dan saluran kemih ATN Peningkatan ekogenisitas, hilangnya


diferensiasi korteks-medula
Glomerulonefritis Glomerulomegali
Obstruksi Dilatasi ureter
Doppler vaskular ATN, trombosis Gangguan aliran darah
CT, MRI Kelainan vaskular Penilaian vaskular ginjal
Radionucleotide scan Uropati obstruktif kongenital Penurunan aliran pada
pada neonatus nekrosis korteks
Voiding cystourethrogram Katup uretra posterior Menegakkan diagnosis
Biopsi ginjal Glomerulonefritis, nefritis interstisial Menegakkan diagnosis
akut
130 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut. children. A preliminary study. J Ann Pediatr.
Tunjangan nutrisi dengan pembatasan cairan 2004;61:509-14.
membutuhkan ketelitian tersendiri. Salah satu
4. Akcan-Arikan A, Zappitlli M, Loftis LL.
formula yang dapat digunakan untuk menilai
Modified RIFLE criteria in critically ill
kelebihan cairan (dalam persen) adalah children with acute kidney injury. Kidney
selisih total cairan masuk dan keluar selama Int. 2007;71:1028-35.
perawatan PICU dibagi berat badan kering
5. Williams DM, Sreedhar SS, Michkell JJ.
dikali seratus persen, sesuai formula:
Acute kidney failure: a pediatric experience
over 20 years. Arc Pediatr Adolsc Med.
Total cairan masuk (l) - Total cairan keluar (l) 2002;156:893- 900.
x100
berat badan kering (kg) 6. Chan KL, Ip P, Chiu CS. Peritoneal dialysis
after surgery for congenital heart disease in
infants and young children. Am Thorac Surg.
Penggunaan furosemid dan dopamin 2003;76:1443-9.
dosis renal (1-5µg/kg/menit) tidak 7. Mishra J, Dent C, Tarabishi R. Neurophil
memperbaiki mortalitas. gelatinase-associated lipocalin (NGAL) as a
biomarker for acute renal injury after cardiac
surgery. Lancet. 2005;365:1231-8.
Prognosis
8. Skippen PW, Krahn GE. Acute renal failure
Studi multisenter atas anak dengan continuous in children undergoing cardiopulmonary
renal replacement therapy menunjukan bahwa bypass. Crit Care Rescuc. 2005;7:286-91.
pasien dengan penyebab non-renal atau 9. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA. Acute
multiple organ system dysfunction syndrome renal failure - definition, outcome measures,
(MODS) mempunyai mortalitas >50%. animal models, fluid therapy, and
Pengamatan selama 3-5 tahun terhadap information technology needs: the Second
pasien di PICU yang mengalami gagal ginjal International Consensus Conference of the
akut menunjukan kesintasan sebesar 80%, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)
namun sebanyak 60% mengalami gangguan Group. Crit Care. 2004;8:R204-12.
ginjal (penurunan laju filtrasiglomerulus, 10. Hui-Stickle S, Brewer ED, Goldstein SL.
hipertensi, mikroalbuminuria, atau hematuria). Pediatric ARF epidemiology at a tertiary care
center from 1999 to 2001. Am J Kidney
Dis. 2004;45:96-101.
KEPUSTAKAAN 11. Devarajan P. Cellular and molecular
dearrangements in acute tubular necrosis. Curr
1. Adreoli S. Clinical evaluation and management. Opin Pediatr. 2005;17:193-9.
Dalam: Avner E, Harmon W, Niaudet P,
12. Acure renal failure. Textbook of pediatric
penyunting. Pediatric Nephrology. Edisi ke-5.
care. Diunduh dari:
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
www.pediatriccareonline.org
2004. h. 1233-50.
13. Lamire N, Van Biesen W, Vanholder R.
2. Bailey D, Phan V, Litalien C. Risk factors of
Acute renal failure. Lancet. 2005; 365:417-
acute renal failure in critically ill children:
30.
a prospective descriptive epidemiological
study. Pediatr Crit Care. 2007;8:29-35. 14. Michael M, Kuhnle I, Goldstein SL. Fluid
overload and acute renal failure in
3. Medina Villaneuva A, Lopez-Herce Cid J,
pediatric stem cell transplant patients.
Lopez Fernandez Y. Acute renal failure in
Pediatr Nephrol. 2004;19:91-5.
critically-ill
15. Lassnigg A, Donner E, Grubhover G et al.
Lack of renoprotective effects of dopamine
Gagal Ginjal Akut 131
and
furosemide during cardiac surgery. J Am Soc
18. Symons JM, Chua A, Somers MJ.
Nephrol. 2000;11:97-104.
Demographic characteristics of pediatric
16. Shilliday JR, Quinn KJ, Allison ME. Loop continuous renal replacement therapy: a report
diuretics in the management of acute renal of the prospective pediatric continuous renal
failure: a prospective double-blind placebo- replacement therapy registry. CJASN.
controlled, randomized study. Nephrol Dial 2007;2:732-8.
Transplant. 1997;12:2592-6.
19. Askenazi DJ, Feig DI, Grahan NM. 3-5 year
17. Uchino S, Doig GS, Bellomo R. Diuretics longitudinal follow-up of pediatric patients after
and motality in acute renal failure. Crit Care acute renal failure. Kidney Int. 2006;69:185-
Med. 2004;32:1660-77. 9.
15 Keseimbangan Asam basa
Abdul Latief,Tatty Ermin Setiati, Hari Kushartono

Sel manusia akan berfungsi dengan baik


PENDAhUlUAN di lingkungan pH normal (pH 7,35-7,45)
yaitu pada kadar ion hidrogen (H+) sekitar 40
Gangguan keseimbangan asam basa nmol/L. Kadar ion hidrogen yang sangat kecil
merupakan masalah yang sering dihadapi pada tersebut diatur dengan ketat melalui proses
kegawatan pediatrik. Meskipun sebagian besar yang sangat kompleks. Untuk
gangguan keseimbangan asam basa bersifat mempertahankan pH (ion hidrogen), tubuh
ringan dan dapat pulih sendiri, tidak jarang mempunyai sistem pengatur keseimbangan
dijumpai gangguan keseimbangan asam basa asam basa, yaitu sistem dapar (buffer),
berat yang dapat mengancam nyawa, seperti sistem pernapasan (paru), dan sistem ginjal
pH<7,0 atau pH>7,7. Gangguan keseimbangan yang difasilitasi oleh hati. Peran utama
asam basa yang terjadi dengan sangat cepat pengaturan keseimbangan asam basa
merupakan kegawatan yang harus ditata dijalankan oleh paru dan ginjal, sedangkan
laksana dengan cepat dan tepat. sistem dapar lebih berfungsi untuk
Gangguan keseimbangan asam basa meminimalkan perubahan pH. Pengaturan
adalah akibat dari proses perjalanan keseimbangan asam basa oleh paru berjalan
penyakit primer, oleh karena itu tata laksana dengan cepat, dalam hitungan menit melalui
ditujukan terutama pada penyakit primer. pengaturan PaCO2. Pengaturan oleh ginjal
Mekanisme kompensasi dapat berjalan lebih lambat, ginjal mengatur
memperburuk keadaan pasien, misalnya kelebihan asam/basa melalui
hiperventilasi yang terjadi akibat proses sekresi/reabsorbsi klor dalam bentuk
kompensasi asidosis metabolik dapat amonium klorida yang difasilitasi oleh hati
menyebabkan kelelahan napas yang melalui sekresi/produksi glutamine (Stewart
berisiko menimbulkan gagal napas. approach) dan atau sekresi/ reabsorbsi
bikarbonat (traditional approach). Bila
mekanisme homeostasis tersebut tidak berjalan
KESEIMbANGAN ASAM bASA dengan baik maka akan terjadi gangguan
keseimbangan asam basa.
Dalam keadaan normal asam terbentuk dari
hasil metabolisme protein, karbohidrat, dan
lemak dalam bentuk asam volatile (asam
karbonat) dan nonvolatile (asam ANAlISIS KESEIMbANGAN ASAM bASA
metabolik, laktat, keton, sulfat, fosfat). Secara klinis gangguan keseimbangan asam
Untuk mempertahankan keseimbangan basa yang disebabkan karena asam volatile
asam basa, kelebihan asam karbonat akan disebut respiratorik (asidosis/alkalosis
dikeluarkan melalui paru dalam bentuk respiratorik) dan asam nonvolatile disebut
karbondioksida, sedangkan kelebihan asam metabolik (asidosis/alkalosis metabolik).
nonvolatile akan dinetralisir oleh sistem dapar Penilaian terhadap gangguan asam basa
(buffer). respiratorik
Keseimbangan Asam Basa 133

didasarkan pada kadar karbondioksida Kadar ion bikarbonat normal antara 22–
(PaCO2), sedangkan untuk gangguan asam basa 26 mEq/L. Sebenarnya penggunaan ion
metabolik dengan menilai [HCO -], SBE bikarbonat (HCO -) sebagai petanda
(standardized base excess),
3
dan SID (strong 3
asidosis/alkalosis tidaklah tepat karena ion
ions difference). bikarbonat tidak hanya dipengaruhi oleh
asam metabolik tetapi juga oleh asam volatile
Karbondioksida (PaCO2) (PaCO2) atau respiratorik. Meskipun
demikian, hubungan antara kadar ion
Dalam keadaan normal tubuh bikarbonat dan PaCO2 dapat dipakai untuk
mempertahankan kadar karbondioksida darah memperkirakan besarnya kompensasi tubuh.
antara 35-45mmHg (sekitar 40mmHg) yaitu Perhitungan didasari atas asumsi sistem
dengan mengatur ventilasi alveolar. Bila buffer bikarbonat akan menetralkan
peningkatan atau penurunan ventilasi kelebihan asam nonvolatile (asam metabolik).
alveolar tidak sebanding dengan produksi Satu ion bikarbonat akan mengikat satu ion
karbondioksida, maka akan terjadi hidrogen asam nonvolatile, ion bikarbonat akan
gangguan keseimbangan asam basa menurun sebanding dengan ion hidrogen,
respiratorik. Di dalam darah, karbondioksida jumlah total kelebihan asam nonvolatile
akan bereaksi dengan molekul air sama dengan jumlah penurunan ion
membentuk H2CO3 yang kemudian berdisosiasi 3 bikarbonat dari nilai normal. Kelainan asam
menjadi ion hidrogen (H+) dan ion basa yang terjadi dapat disimpulkan
bikarbonat (HCO -) yang dikatalisasi oleh berdasarkan perbandingan bikarbonat atau
enzim karbonat anhidrase (Persamaan PaCO2 yang terukur dengan yang diharapkan
15.1) dari proses kompensasi (Tabel

CO ka rbon
 H O   
a tan h  H  15.1).
idr ase
2 2H CO HCO
2 3 3

Persamaan 15.1

Berdasarkan persamaan di atas,


peningkatan PaCO2 akan menaikkan kadar
ion hidrogen dengan demikian menurunkan
pH (asidosis). Sebaliknya bila terjadi
penurunan PaCO2 akan menurunkan ion
hidrogen sehingga pH naik dan terjadi
alkalosis.

Ion bikarbonat (hCO3 -)


Secara tradisional, berdasarkan persamaan
Henderson-Hasselbalch (Persamaan 15.2),
ion bikarbonat dapat dipakai sebagai
penafsir asidosis atau alkalosis metabolik. Bila
kadar ion bikarbonat menurun menandakan
asidosis dan jika kadar ion bikarbonat
meningkat berarti alkalosis.

pH = pK x log [HCO -/(0,03 x PaCO )]


134 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
Standardized Base Excess (SbE) bikarbonat dan ion nonvolatile buffer, terutama
albumin, fosfat, dan hemoglobin. Buffer base
Persamaan Henderson-Hasselbalch tidak secara tidak langsung dihitung dari selisih
dapat menentukan derajat gangguan jumlah seluruh kation dan anion kuat di
keseimbangan asam-basa. Untuk menghitung dalam darah. Selisih jumlah kation dan
derajat gangguan asam-basa tersebut dapat anion kuat adalah sama dengan jumlah
dilakukan dengan menghitung buffer base anion lemah (bikarbonat, protein, fosfat).
(Singer dan Hasting), base excess/deficit Peningkatan BB terjadi pada alkalosis
(Siggard-Anderson), dan standardized metabolik, sedangkan penurunan BB terjadi
base excess/defisit (SBE). pada asidosis metabolik. Kadar BB normal
Buffer base (BB) adalah jumlah ion secara cepat dapat diperkirakan sama
3 2
Persamaan 15.2 dengan rumus (Na+ + K+) - Cl-.
Tabel 15.1. Hubungan antara ion bikarbonat, PaCO2 dan SBE pada kelainan asam basa

Kelainan asam basa HCO3- (mEq/L) PaCO2 (mmHg) SBE (mEq/L)


(1,5 x hCO ) + 8
3
-

Asidosis metabolik < 22 atau < -5


40 + SbE
(0,7 x hCO 3-) + 21
Alkalosis metabolik >26 atau >+5
40 + (0,6 x SbE)
Asidosis respiratorik akut [(PaCO2 - 40)/10]+24 > 45 0
Asidosis respiratorik kronis [(PaCO2 - 40)/3]+24 > 45 0,4 x (PaCO2 – 40)

Alkalosis respiratorik akut 24 -[(40 - PaCO2/5] < 35 0


Alkalosis respiratorik kronis 24 -[(40 - PaCO2/2] < 35 0,4 x (PaCO2 – 40)
Dikutip dari: Kellum jA. Crit Care. 2005;21:329-46

Base excess/deficit (BE/BD) adalah cara penyebab asidosis metabolik sehingga perlu
praktis untuk mengetahui berapa besar derajat dilakukan pemeriksaan kesenjangan anion
kelainan asam basa metabolik, yaitu dengan (anion gap, AG) yang diperkenalkan oleh
melakukan titrasi invitro pada sediaan darah Emmett dan Narin pada tahun 1975. Pada
dengan asam/basa kuat menjadi normal (pH saat itu tidak semua elektrolit diperiksa
7,4) dengan syarat faktor respiratorik secara rutin, oleh karena itu bila
ditiadakan (PCO2 sampel darah dibuat dipadankan maka hasil pemeriksaan kation
menjadi 40 mmHg dengan suhu 37oC). akan berbeda dengan anion, perbedaan yang
Definisi BE/BD adalah jumlah asam atau terjadi itu disebut AG (Gambar 15.1).
basa kuat yang dibutuhkan untuk
Anion gap dapat dihitung dengan rumus
menaikkan atau menurunkan pH menjadi
AG = (Na+ + K+) – (Cl- + HCO -) mEq/L,
7,4 pada PaCO2 40 mmHg dan suhu 37oC. 3
atau bila kalium diabaikan karena nilainya
Dengan perkataan lain BE/BD adalah
kecil, menjadi AG = Na+ - (Cl- + HCO 3-)
besarnya penyimpangan kadar BB dari nilai
mEq/L. Nilai normal AG adalah 8–16
normal. Kadar normal BE antara -2 sampai 2
mEq/L. Berdasarkan AG, asidosis
mEq/L. Asidosis terjadi pada BE <-2 mEq/L
metabolik dibagi menjadi asidosis metabolik
dan alkalosis jika BE >2 mEq/L. dengan peningkatan AG dan tanpa
Perhitungan BE/BD menggunakan darah peningkatan AG (Tabel 15.2)
lengkap sehingga kurang menggambarkan Meningkatnya AG menandakan adanya
cairan ekstraselular/interstisial. Oleh karena anion tidak terukur sebagai penyebab
itu, perlu dilakukan standarisasi BE/BD yang metabolik asidosis.
sesuai dengan cairan ekstrasel/interstisial,
yaitu pada kadar Hb 5 g/dL. Base excess/deficit
yang sudah distandarisasi ini disebut SBE dan
dapat dihitung dengan persamaan Van Slyke.
Perubahan SBE pada gangguan keseimbangan Mutiara bernas
asam basa primer dapat dilihat pada Tabel Base excess/deficit (BE/BD) adalah cara
15.1. praktis untuk mengetahui berapa besar
Kombinasi hasil pemeriksaan PaCO2, derajat kelainan asam basa metabolik
bikarbonat, dan SBE belum dapat menentukan
Gambar 15.1. Diagram senjang anion (anion gap)

Tabel 15.2. Klasifikasi asidosis metabolik berdasarkan anion gap


AG meningkat AG normal
Asidosis laktat Diare
Ketoasidosis Gagal ginjal
Uremia Asidosis tubulus ginjal
Toksin(metanol, lisilat, glikol etilen dan propilen Keracunan toluen
glikon)
hiperalimentasi

Strong Ions Difference (SID) Sebagian besar cairan


Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari
air. Oleh karena itu sifat fisik dan kimiawi
air berperan penting dalam
mempertahankan homeostasis normal. Air
murni pada suhu 25°C bersifat netral karena
mempunyai kandungan ion hidrogen (H+)
dan ion hidroksida (OH-
) sama besar yaitu 1 x 10-7 mmol/L (pH
7,0). Suatu larutan disebut asam bila
kandungan ion hidrogen melebihi 1 x 10 -7
mmol/L, dan ion hidroksida kurang dari 1
x 10-7 mmol/L (pH <7,0), dan jika
sebaliknya disebut basa. Beberapa keadaan
seperti suhu dan kandungan elektrolit dapat
mempengaruhi proses disosiasi air yang akan
merubah kandungan ion hidrogen maupun
hidroksida.
Cairan ekstrasel merupakan suatu
“ionic soup” yang berisi sel, partikel, gas
terlarut seperti karbondioksida dan oksigen,
ion kuat, serta ion lemah (asam lemah).
ekstrasel ini akan mempengaruhi disosiasi menerapkan kaidah- kaidah kimia fisik,
air, sehingga perubahan pada salah satu yaitu hukum kenetralan listrik (electrical
kadar cairan ekstrasel ini dapat neutrality), reaksi keseimbangan disosiasi
mempengaruhi kadar ion hidrogen. Cairan (dissociation equilibria) dan hukum konservasi
ekstrasel memiliki pH normal sebesar masa (mass conservation). Pendekatan kuantitatif
7,35 – 7,45, artinya pH < 7,35 disebut ini disebut pendekatan Stewart atau
asam dan pH > 7,45 disebut basa. pendekatan “modern”.
Kadar ion hidrogen cairan ekstrasel Ada tiga faktor determinan yang
dapat dihitung secara kuantitatif, dengan menentukan konsentrasi ion hidrogen dalam
menghitung semua komponen yang mengisi cairan tubuh yaitu PaCO2, SID, dan asam
cairan ekstrasel melalui reaksi keseimbangan lemah
kimiawi masing- masing komponen dan
Gambar 15.2. Hubungan antara SID, pH, dan ion hidrogen
Keterangan: ph; : ion hidrogen.
Kadar asam lemah dan karbondioksida dipertahankan tetap, masing-masing 18 mEq/l dan 40mmhg
Dikutip dari: Kellum jA. Crit Care Clin, 2005

total (ATOT, terutama protein), ketiga Strong ions difference mempunyai


determinan itu disebut faktor independen, pengaruh besar terhadap disosiasi molekul air
sedangkan ion hidrogen, ion bikarbonat, dan yaitu untuk mempertahankan larutan dalam
ion asam lemah lainnya merupakan faktor keadaan netral. Bila nilai SID melebar atau
dependen. Perubahan pada faktor independen positif akan menyebabkan penurunan kadar
akan mempengaruhi faktor dependen, ion hidrogen sehingga akan terjadi alkalosis,
sedangkan perubahan pada faktor dependen jika nilai SID menyempit maka akan terjadi
tidak akan mempengaruhi faktor asidosis (Gambar 15.2). Dalam keadaan
independen. normal, nilai SID adalah 40–42 mEq/L. Di
Cairan ekstrasel dan intrasel mengandung dalam tubuh, SID adalah jumlah
bermacam-macam ion yang berdasarkan karbondioksida (HCO3-) dan ion asam lemah
muatan listrik dibedakan menjadi kation jika (protein, fosfat) serta ion hidroksida dalam
muatannya positif dan anion jika negatif. jumlah yang sangat kecil (Gambar 15.3). Bila
Didalam larutan, ion mempunyai kadar protein dan fosfat normal maka
kecenderungan untuk berdisosiasi. Ion yang penyimpangan nilai SID dari normal (D
berdisosiasi sempurna dalam air disebut SID) menggambarkan SBE. Konsep analisis SID
sebagai ion kuat (strong ions), misalnya adalah sama dengan konsep BB dari Singer dan
Na+,K+,Ca++,Mg++, dan Cl-, sedangkan ion Hasting.
yang berdisosiasi tidak sempurna disebut ion Strong ion difference yang dihitung dari
lemah, misalnya albumin, fosfat, karbonat, hasil analisis elektrolit disebut SID apparent
hidrogen, dan hidroksida. Selisih jumlah (SIDa), sedangkan SID yang dihitung dari
seluruh kation kuat dengan jumlah seluruh bikarbonat dan protein disebut SID effective
anion kuat disebut strong ions difference (SIDe). SIDe dapat dihitung dari persamaan
(SID). Stewart-Fencl dengan rumus sebagai
berikut:

SIDefektif = (1000x2,46x10-11xPCO2/10-ph) + [(albumin g/l) x (0,123xph – 0,631)]


+[fosfat mmol x (0,309 x ph - 0,469)]
…Persamaan 15.3
Gambar 15.3. Gamblegram SID
Keterangan: kation kuat termasuk K,Ca,Mg; anion kuat termasuk laktat

Mutiara bernas
Bila nilai SID melebar atau positif akan
menyebabkan penurunan kadar ion
hidrogen sehingga akan terjadi alkalosis,
jika nilai SID menyempit maka akan
terjadi asidosis

Secara teoritis dalam keadaan normal


nilai SIDa sama dengan SIDe sehingga
tidak terdapat kesenjangan (gap) antara
SIDa dan SIDe atau dirumuskan sebagai
strong ion gap (SIG) = SIDa – SIDe = 0.
Bila terdapat SIG maka terdapat
anion/kation lain yang tidak diperiksa
(unmeasured anion) sebagai penyebab
asidosis/alkalosis (Gambar 15.4). Meskipun
penilaian SIG akurat tetapi menyulitkan karena
memerlukan pemeriksaan ion lengkap dengan
kalkulasi yang rumit. Cara yang lebih mudah
untuk mengetahui adanya asam nonvolatile
(asam metabolik) maupun asam anorganik
sebagai penyebab gangguan keseimbangan
asam basa metabolik adalah dengan
menghitung calculated base excess (CBE)
yang didapat dengan menghitung pengaruh
alkalinisasi/
asidifikasi SID dan protein (albumin) terhadap (independen) dalam sistem asam basa tubuh,
perubahan BE/SBE. Selisih antara CBE berbeda dengan cara Henderson-Hasselbalch
dengan BE/SBE disebut base excess gap yang menggunakan bikarbonat sebagai titik
(BEG), yang merupakan indikator adanya sentral analisis (Tabel 15.3).
anion penyebab asidosis/alkalosis
(unmeasured anion). Base excess gap dapat
dihitung dengan rumus Story berikut: APlIKASI KlINIS
bEG = SbE – [(Na-Cl) – 38] - [0,25 x (42 –

albumin(g/dl)] Persamaan 15.4


Penilaian umum
Sebagaimana telah diuraikan di atas tentang
cara analisis hasil pemeriksaan asam basa.
Gangguan keseimbangan asam basa
Secara cepat gangguan keseimbangan asam-
metabolik menurut Stewart dapat terjadi
basa dapat
pada setiap gangguan faktor determinan
Gambar 15.4. Gamblegram dengan SIG (SIG = SIDa – SIDe)

Tabel 15.3. Klasifikasi gangguan asam-basa menurut Henderson-Hasselbalch (H-H) dan Stewart
Cara
Parameter yg diukur Gangguan Parameter Asidosis Alkalosis
Penilaian
asam-basa abnormal
h-h ph, PCO2, hCO -, bE Respiratorik PCO PCO naik PCO turun
3 2 2 2
Metabolik hCO 3
-
hCO turun
-
3
hCO -3 naik
atau bE bE turun bE naik

Stewart ph, PCO2, Respiratorik PCO2 PCO2 naik PCO2 turun


SID (Na+,K+,Cl-, laktat-),
ATOT (albumin, fosfat)
Metabolik SID SID turun SID naik
ATOT Albumin naik Albumin turun
fosfat naik fosfat turun

diketahui bila: 1. Langkah pertama: lihat pH. Bila


1. pH darah arteri tidak normal, pH<7,35 pH<7,35 disebut asidemia (asidosis),
disebut asidemia, pH>7,45 disebut alkalemia. sedangkan pH>7,45 alkalemia
2. PaCO tidak normal (35-45mmHg).
(alkalosis).
2. Langkah kedua: lihat PaCO2. Tentukan
2
3. Konsentrasi bikarbonat tidak normal Grogono berdasarkan kombinasi pH, PaCO2, dan
(22-26mEq/L). SBE sebagai berikut:
4. SBE tidak di antara 3 sampai -3.
Untuk mengetahui apakah kelainan itu
murni atau campuran, maka diperlukan
analisis korelasi antara pH, PaCO2,
bikarbonat, SBE, dan SID seperti telah
diuraikan sebelumnya. Cara paling mudah
untuk analisis asam basa dibuat oleh
apakah perubahan PaCO2 sesuai PaCO2 asam (meningkat) dan pH asam
pH, bila sesuai merupakan maka merupakan asidosis respiratorik,
penyebab respiratorik. Kecuali demikian sebaliknya.
ada faktor metabolik yang 3. Langkah ketiga: lihat SBE, tentukan
menyebabkan perubahan pada apakah nilai SBE sesuai pH. Bila
PaCO2 akibat mekanisme
sesuai,
kompensasi. Sebagai contoh, bila
maka penyebabnya adalah faktor 6. Langkah keenam: padankan dengan
metabolik, kecuali ada faktor respiratorik keadaan klinis pasien.
yang menyebabkan perubahan SBE
akibat mekanisme kompensasi. Contoh, Berikut ini diberikan contoh kasus
bila SBE negatif dan pH turun gangguan keseimbangan asam basa dan
merupakan asidosis metabolik, langkah analisisnya. Kasus adalah pasien
demikian juga sebaliknya. dengan pH 7,15, PaCO2 60 mmHg, SBE -6
4. Langkah keempat: lihat berat ringan mEq/L.
kelainan dengan melihat kadar PaCO2 Analisisnya adalah:
dan SBE (Tabel 15.4). 1. pH 7,15: asam, asidemia/asidosis.
5. Langkah kelima: lihat kompensasi. Untuk 2. PaCO2 60 mmHg: asam, asidosis
kompensasi penuh (complete compensation), respiratorik.
gunakan rumus bahwa setiap 3 mEq/L 3. SBE -6mEq/L: asam.
SBE setara dengan 5 mmHg PaCO2 4. Kompensasi: keduanya asam (respiratorik
(Tabel 15.5).

Tabel 15.4. Berat ringan gangguan keseimbangan asam-basa berdasarkan nilai PaCO 2 dan SBE
Kelainan Derajat PCO2 (mmhg) SbE (mEq/l)
Alkalosis Sangat berat <18 <13
berat 18-25 13-9
Sedang 25-30 9-6
Ringan 30-34 6-4
Minimal 34-37 4-2
Normal Normal 37-43 2 sampai -2
Asidosis Minimal 43-46 -2 sampai -4
Ringan 46-50 -4 sampai -6
Sedang 50-55 -6 sampai -9
berat 55-62 -9 sampai -13
Sangat berat >62 <-13

Tabel 15.5. Interpretasi gangguan keseimbangan asam-basa


ph PCO2 SbE Interpretasi Kompensasi
Asam Asam Alkali Asidosis respiratorik kompensasi SbE tidak penuh, kompensasi metabolik
normal
Asam Asam Normal Asidosis respiratorik murni SbE normal, tidak ada kompensasi
Asam Asam Asam Asidosis campuran Tidak bisa dihitung
Asam Alkali Asam Asidosis metabolik kompensasi PaCO2 tidak penuh, kompensasi
normal
respiratorik
Asam Normal Asam Asidosis metabolik murni PaCO2 normal, tidak ada kompensasi
respiratorik
Alkali Alkali Asam Alkalosis respiratorik kompensasi SbE tidak penuh, kompensasi metabolik
normal
Alkali Alkali Normal Alkalosis respiratorik murni SbE normal, tidak ada kompensasi
Alkali Asam Alkali Alkalosis metabolik kompensasi PaCO2 tidak penuh, kompensasi
normal
respiratorik
Alkali Alkali Alkali Alkalosis campuran Tidak bisa dihitung
Alkali Normal Alkali Alkalosis metabolik murni PaCO2 normal, tidak ada kompensasi
respiratorik
140 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

dan metabolik) jadi tidak ada proses Penilaian pada kasus dengan
kompensasi. hipoalbuminemia berat lebih tepat diperiksa
5. Kesimpulan: kelainan campuran asidosis dengan menggunakan AG corrected
respiratorik berat dan asidosis metabolik dan/atau BEG, karena pada perhitungan AG,
ringan. albumin termasuk komponen yang tidak
dihitung (unmeasured).
Penilaian khusus asidosis metabolik
Untuk mengetahui adanya penyebab asidosis Rumus untuk AG corrected adalah:
metabolik, dapat dilakukan pemeriksaan AG
dan atau BEG. AG corrected = AG + 2,5 x [42 – kadar albumin sekarang
1. Langkah pertama: ikuti cara Grogono. (g/dl)] Persamaan 15.5
2. Langkah kedua:
Hitung AG untuk menentukan apakah Tata laksana Gangguan
asidosis disebabkan oleh anion terukur Keseimbangan Asam basa
atau tidak terukur (unmeasured anion) .
Interpretasi nilai AG adalah: Gangguan keseimbangan asam basa
bukanlah penyakit, melainkan kelainan
a. Normal, berarti pemberian cairan
akibat penyakit primer, maka tata laksana
yang mengandung klor berlebihan
ditujukan kepada penyakit primer tersebut.
(asidosis metabolik hiperkloremik),
Bila gangguan asam basa berat maka perlu
kehilangan natrium lebih banyak dari
dipertimbangkan koreksi terhadap gangguan
klor (diare, ileostomi), dan asidosis
asam basa yang terjadi.
tubulus ginjal.
b. Meningkat (>16 mEq/L), berarti
anion metabolik lain sebagai penyebab Gangguan Respiratorik
(laktat, keton, dll). Kelainan yang mengancam nyawa pada asidosis
Periksa laktat, jika lebih dari 2 mEq/L respiratorik bukan karena asidosisnya tetapi
maka terjadi asidosis laktat, dapat disebabkan: karena hipoksemia, oleh karena itu terapi
0. Gangguan sirkulasi (syok, hipovolemia, utama adalah terapi oksigen sambil mengatasi
keracunan CO, kejang), atau penyebab primer pernapasan (hipoventilasi).
a. Tidak ada gangguan sirkulasi (keracunan Atasi faktor penyebab seperti kelainan paru,
biguanida, etilen glikol). Periksa keracunan narkotika, atau keracunan
produksi urin dan kreatinin: untuk salisilat. Ventilasi paru dapat diperbaiki
mengetahui adanya gagal ginjal akut dengan menggunakan ventilasi mekanik.
(renal acids).
Periksa gula darah dan keton urin: Gangguan Metabolik
b. Hiperglikemia dan ketosis 1. Asidosis Metabolik
menunjukkan ketoasidosis Meskipun sebagian besar asidosis
diabetikum. metabolik dapat diatasi oleh tubuh
c. Normoglikemia dan ketosis mengindi- setelah penyakit primernya
kasikan kemungkinan keracunan ditanggulangi, namun bila penurunan
alkohol atau kelaparan. pH (<7,2) dan BE/SBE sangat rendah (<
3. Langkah ketiga, bila semua uji -10 mEq/L) maka pemberian alkali
laboratorium normal, pertimbangkan (natrium bikarbonat) perlu
keracunan sebagai penyebab. dipertimbangkan.
Koreksi alkali terutama ditujukan pada dan terapi lainnya. Pada asidosis metabolik
asidosis metabolik yang disebabkan oleh kronik, pemberian alkali harus dilakukan
anion non-organik, sedangkan asidosis meskipun pH <7,35 untuk mencegah
yang disebabkan oleh anion organik katabolisme protein dan demineralisasi
(laktat, keton) yang dapat dimetabolisme tulang, agar tidak terjadi gangguan
kembali oleh tubuh maka tata pertumbuhan pada anak.
laksananya ditujukan pada penyakit
primer bukan pemberian alkali (Tabel
15.6). Asidosis metabolik karena gagal 2. Alkalosis Metabolik
ginjal (anion non- organik) Terdapat dua jenis alkalosis metabolik yaitu
ditanggulangi dengan dialisis (renal sensitif klorida dan resisten klorida.
replacement therapy), namun bila Disebut sensitif klorida karena
asidosis sangat berat maka pemberian pemberian klorida (NaCl fisiologis, KCl,
alkali dapat dipertimbangkan sementara atau HCl) akan memberikan respons
menunggu dialisis. Pemberian alkali yang baik. Alkalosis metabolik sensitif
pada asidosis metabolik karena anion klorida disebabkan karena kehilangan
organik masih kontroversial. Tata klorida dari cairan lambung atau
laksana asidosis metabolik karena anion muntah sedangkan fungsi ginjal normal.
organik ditujukan pada penyakit primer Resisten klorida adalah alkalosis
dan pemberian alkali dipertimbangkan metabolik yang tidak responsif dengan
bila pH < 7,0. Obat untuk mengatasi pemberian klorida karena ginjal terus-
asidosis metabolik seperti carbicarb, menerus mensekresi klorida, biasanya
tromethamine (THAM), dan trobat tidak terdapat peningkatan kadar klorida
tersedia di Indonesia. urin >20 mEq/L. Tata laksana alkalosis
Terdapat empat penyebab utama metabolik resisten klorida ditujukan
asidosis metabolik di Unit Perawatan pada penyakit primer (misalnya
Intensif, yaitu asidosis laktat karena syok aldosteronisme dan sindrom Cushing).
dan hipoksemia, ketoasidosis karena
diabetes melitus, asidosis tubulus ginjal,
dan asidosis karena dehidrasi akibat diare. Pemberian alkali (natrium bikarbonat)
Dari keempat keadaan tersebut, alkali
Natrium bikarbonat diberikan pada asidosis
diberikan pada asidosis tubulus ginjal
metabolik berat terutama pada asidosis
dan diare, sedangkan pada syok,
metabolik yang disebabkan karena anion
hipoksemia dan diabetes pengobatan
non- organik (Tabel 15.6). Dosis optimal
ditujukan pada penyakit primer, yaitu
natrium bikarbonat diberikan berdasarkan
dengan resusitasi cairan, oksigenisasi, dan
nilai SBE atau delta SID dengan perhitungan :
pemberian insulin. Pemberian alkali
0,3 X BB(kg) X SBE (delta SID) mEq,
dipertimbangkan bila pH plasma < 7,0
diberikan separuh dosis dengan
setelah dilakukan resusitasi
pertimbangan:
Mutiara bernas
1. Natrium bikarbonat diberikan langsung
Empat penyebab utama asidosis metabolik intravena, sehingga dosis yang diberikan
di Unit Perawatan Intensif, yaitu asidosis jauh lebih besar dari target
laktat karena syok dan hipoksemia, perhitungan (volume intravaskular lebih
ketoasidosis karena diabetes melitus, kecil dari total volume ekstraselular).
asidosis tubulus ginjal, dan asidosis
karena dehidrasi akibat diare 2. Natrium bikarbonat akan segera
menghasilkan karbondioksida yang tinggi
(1 mEq natrium bikarbonat = 22 mL dari proses patofisiologi dari suatu penyakit
karbondioksida).
yang terjadi terganggunya homeostasis
3. Karbondioksida mudah berdifusi melalui tubuh. Asam diproduksi oleh tubuh dalam
membran sel, sehingga dapat menembus bentuk asam volatile dan nonvolatile. Untuk
sawar darah otak dan menyebabkan menjaga keseimbangan asam basa, tubuh
asidosis di otak. mempunyai tiga sistem pengatur yaitu sistem
Natrium bikarbonat terdapat dalam dapar, paru-paru, dan ginjal. Sistem dapar
dua sediaan yaitu larutan 8,4% (1 mEq/ menetralisir kelebihan asam dengan segera,
mL) dan 4,2% (0,5 mEq/L). Larutan 8,4% paru-paru mengeluarkan kelebihan asam dalam
sangat hiperosmolar (2000 mOsm/L) sehingga bentuk karbondioksida, sedangkan ginjal
pemberian bikarbonat dapat menyebabkan mengatur sekresi ion klorida untuk
hipernatremia, hiperosmolalitas, vasodilatasi, mengatur SID dan/atau pengaturan
dan hipotensi ringan. Bila terjadi bikarbonat. Gangguan yang disebabkan oleh
ektravasasi dapat menyebabkan sklerosis asam volatile disebut respiratorik, sedangkan
vena kecil dan nekrosis jaringan. Larutan gangguan akibat asam nonvolatile disebut
4,2% digunakan untuk bayi baru lahir untuk metabolik. Menurut Stewart, PaCO2, SID,
mengurangi bahaya hiperosmolaritas serta dan asam lemah (ATOT) merupakan faktor
perdarahan periventrikular dan determinan terhadap perubahan kadar ion
intraventrikular.Natrium bikarbonat dapat H+ (pH) cairan tubuh.
diberikan melalui intravena maupun intraoseus, Penilaian klinis gangguan asam basa dinilai
dengan menilai pH, PaCO , HCO -, base
tetapi tidak melalui endotrakeal. Natrium excess, 2 3

bikarbonat harus diberikan dengan kecepatan merupakan suatu penyakit, tetapi bagian
yang lambat yaitu 1 mEq/menit.
Ada dua pendapat tentang cara kerja
natrium bikarbonat. Pertama, natrium
bikarbonat menyebabkan peningkatkan pH
plasma melalui pendaparan ion H+ oleh
bikarbonat dengan reaksi H+ +3 HCO -
menjadi H2CO3 dan berdisosiasi menjadi
H2O + CO2. Kedua, melalui peningkatan
ion natrium yang menyebabkan
peningkatan SID dan menyebabkan
peningkatan pH (penurunan ion H+). Kedua
pendapat tersebut memberikan hasil akhir
yang sama yaitu peningkatan pH dan
peningkatan CO2. Karbondioksida yang
terbentuk akan dikeluarkan melalui paru
sehingga sebelum ventilasi membaik
(terkendali) pemberikan natrium bikarbonat
ditunda.

KESIMPUlAN
Gangguan keseimbangan asam basa bukan
standardized base excess (SBE), anion kecepatan 1 mEq/menit.
gap (AG), strong ion difference (SID),
dan base excess gap. Gangguan
keseimbangan asam basa secara dapat KEPUSTAKAAN
dianalisis dengan cara Grogono, khusus
asidosis metabolik dibantu dengan 1. Chiasson JL, Jilwan NA, Belanger R,
pemeriksaan anion gap dan analisis Bertrand S, Beauregard H, Ekoe JM, dkk.
Stewart-Fencl. Tata laksana gangguan Diagnosis and treatment of diabetic
keseimbangan asam basa ditujukan ketoacidosis and the hyperglycemic
pada pengobatan penyakit primer, hyperosmolar state. Can Med Assoc J.
pemberian natrium bikarbonat 2003;168:859- 66.
terutama pada asidosis metabolik 2. Fencle V, Jabour A, Kazda A, Figge J.
berat karena anion non organik, dan Diagnosis of metabolic acid base distrurbances
natrium bikarbonat diberikan setelah in critically ill patients. Am J Respir Crit
ventilasi baik (terkendali) dengan Care Med. 2000;162:2246-51.
3. Gauthier PM, Szerlip HM. Metabolic Acidosis
acidosis. Curr Opin Crit Care. 2003;9:260-5.
in the intensive care unit. Crit Care Clin.
2002;18:289–308. 8. Martin L. All you really need to know to
interpret arterial blood gases. Edisi ke-2.
4. Gehlbach BK, Schmidt GA. Bench to
Philadelphia: Lippincott Williams &
bedside review: treating acid base
Wilkins, 1999.
abnormalities in the intensive care unit – the
role of buffers. Critical Care. 2004 8;259-65. 9. Preston RA. Acid-base, fluids, and
electrolytes made ridiculously simple. Miami:
5. Grogono AW. Acid base tutorial [Diakses
McGraw Hill; 2000.
tanggal 11 Mei 2008]. Diunduh dari:
http:// www.acid-base.com. 10. Soriano R. Renal tubular acidosis: the clinical
entity. J Am Soc Nephrol. 2002;13:2160-
6. Kellum JA. Determinants of plasma acid base
70.
balance. Crit Care. 2005;21:329-46.
11. Story DA, Morimatsu H, Bellomo R. Strong
7. Levraut J, Grimaud D. Treatment of
ions, weak acids, and base excess: a
metabolic
simplified Fencl- Stewart approach to clinical
acid base disorders. Br J Anaesth.
2004;92:54-60.
16 Kristaloid dan Koloid
Hari Kushartono,Tatty Ermin Setiati

Anak sakit kritis seringkali mengalami tekanan osmotik koloid plasma belum
hipovolemia. Berbeda dengan respons pernah dibuktikan dapat menaikkan angka
hemodinamik yang terjadi pada orang kelangsungan hidup. Para ahli yang memilih
dewasa, syok pada anak dengan inflamasi kristaloid mencela biaya dan risiko terapi koloid
sistemik umumnya disertai dengan curah karena koloid albumin yang diberikan
jantung yang rendah. Resusitasi volume pada keadaan peningkatan permeabilitas
agresif yang diterapkan pada anak dengan syok vaskular perifer dan pulmonar akan keluar ke
septik, sejak 1998, telah berhasil interstisial dan terperangkap dalam
memperbaiki prognosis secara bermakna. ruangan tersebut sehingga pada akhirnya
Untuk mempertahankan varia bel menimbulkan edema.
hemodinamik normal, ruang intravaskular
harus diisi hingga adekuat. Pemberian Hauser dkk membandingkan pasien
cairan yang berlebihan akan mengakibatkan sakit kritis yang mendapat koloid dengan
peningkatan tekanan hidrostatik yang tidak yang mendapat kristaloid untuk resusitasi
seimbang dengan tekanan onkotik hingga cairan. Mereka menemukan bahwa kelompok
terjadi perpindahan cairan ke ruang interstisial. koloid mengalami perbaikan lebih nyata pada
Karena itu pemberian cairan dalam jumlah variabel hemodinamik tanpa ada bukti
besar dapat menyebabkan edema paru. peningkatan air paru atau terperangkapnya
Kondisi ini disebut edema paru tekanan albumin. Pada kelompok kristaloid dijumpai
rendah. pertukaran gas paru yang lebih buruk,
penurunan VO2, dan perbaikan variabel
hemodinamik sedang. Appel dan Shoemaker
juga menunjukkan bahwa penggunaan
KONTROvERSI KOlOID DAN
koloid pada pasien sakit kritis
KRISTAlOID SEbAGAI CAIRAN menyebabkan perbaikan nyata pada semua
RESUSITASI variabel hemodinamik dan DO2, tetapi
Kontroversi timbul dalam hal pemilihan koloid pada penggunaan kristaloid hanya dijumpai
ataukristaloiduntukekspansiruangintravaskular. sedikit perbaikan.
Ahli yang memilih koloid mengatakan bahwa Pada pasien sakit kritis mekanisme
koloid dapat mempertahankan tekanan kompensasi terhadap kelebihan cairan
osmotik koloid plasma dan meminimalkan sangat menurun, sehingga edema interstisial
akumulasi cairan interstisial. Selain itu dapat mengakibatkan gagal organ. Koloid
kristaloid menurunkan tekanan osmotik lebih baik untuk menangani kasus-kasus
koloid plasma dan cenderung menimbulkan dengan hipovolemia. Koloid lebih cepat
edema paru. Telah dibuktikan bahwa mengembalikan variabel hemodinamik ke
penurunan tekanan osmotik koloid plasma nilai normal dibandingkan kristaloid
pada pasien sakit kritis disertai peningkatan sehingga membantu mempertahankan tekanan
mortalitas, meskipun peningkatan osmotik
Kristaloid dan Koloid 145

koloid plasma. Kristaloid dapat syok dengue (SSD) oleh Setiati menyimpulkan
menyebabkan edema paru pada pasien luka
bakar. Edema paru pada pasien luka bakar
dapat disebabkan karena kombinasi
beberapa faktor yaitu hipoproteinemia,
cedera inhalasi, dan perubahan permeabilitas
kapiler paru akibat luka bakar atau sepsis.
Ahli lain berpendapat bahwa kristaloid
diperlukan untuk ekspansi ruang
intravaskular dan interstisial, dan pada
keadaan terjadi sindrom kebocoran
kapiler/alveolar sebaiknya dihindarkan
pemakaian koloid karena kemungkinan
terjadi sekuestrasi dalam ruang
ekstravaskular. Koloid membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk keluar dari tubuh dan
dapat menimbulkan akumulasi cairan paru
ketika cairan edema diserap kembali dari
luka bakar.
Bila parameter yang digunakan untuk
membandingkan efektivitas koloid dan
kristaloid adalah mortalitas, maka sampai
sekarang dan mungkin sampai kapanpun
tidak akan pernah tercapai kesimpulan yang
memenangkan koloid atau kristaloid.
Kesulitan menilai cairan mana yang lebih
unggul dikarenakan begitu banyak variabel
yang ada sehingga untuk mendapatkan hasil
yang konklusif diperlukan jumlah subjek
penelitian yang besar.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa
larutan koloid lebih superior dari larutan
kristaloid pada pasien syok, tetapi pada
kebanyakan situasi, kombinasi kedua cairan
lebih logis. Rady menyarankan bahwa
volume plasma pasca-resusitasi, curah jantung,
kinerja mekanis ventrikel kiri, dan penyediaan
oksigen global dan sirkulasi mikro lebih baik
dengan terapi koloid. Sebaliknya kristaloid
dapat berpengaruh tidak baik pada aliran
sirkulasi mikro, penyediaan oksigen, dan
pemakaian oksigen oleh jaringan iskemik
pada syok. Pada pasien kritis, sesudah
resusitasi dengan kristaloid dapat terus terjadi
hipoksia regional dan global karena perbaikan
yang dihasilkan oleh kristaloid hanya sedikit.
Penelitian pada anak dengan sindrom
146 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
bahwa mortalitas pada pasien yang perbedaan mortalitas yang bermakna antar
mendapat koloid kanji hidroksietil 6% (HES kedua kelompok. Penelitian ini
6%) dengan berat molekul 200 kD secara merekomendasikan koloid sebagai cairan
bermakna lebih rendah daripada yang resusitasi awal pada syok berat.
mendapat RL. Kesimpulan ini didukung oleh Metaanalisis mortalitas oleh Velanovich
penelitian Chifra yang menyatakan bahwa menyimpulkan bahwa resusitasi dengan
koloid kanji hidroksietil 6% dapat koloid memberi efek menguntungkan dalam
mempertahankan stabilitas hemodinamik aspek mortalitas pada pasien non-trauma
lebih lama dan menghasilkan mortalitas dibandingkan kristaloid. Namun, Schierhout
lebih rendah dibandingkan RL. Penelitian di menyimpulkan bahwa resusitasi dengan koloid
Vietnam terhadap 230 pasien dengan SSD berhubungan dengan peningkatan absolut
yang diberikan empat cairan yang berbeda risiko mortalitas sebesar 4%. Keterbatasan
sebagai cairan resusitasi awal yaitu dengan penelitian Schierhout ini adalah intervensi
kristaloid (RL, NaCl 0,9%), dan koloid dan karakteristik pasien tidak sebanding,
(Dextran 70, Gelatin 3%) menunjukkan begitu pula dengan rejimen resusitasi yang
bahwa semua pasien hidup, akan tetapi waktu digunakan sehingga hasilnya diragukan.
yang dibutuhkan untuk mengatasi syok lebih
Tiga metaanalisis lain tidak mendapatkan
lama pada kelompok kristaloid. Penelitian
bukti adanya hubungan antara pilihan cairan
ini juga menunjukkan bahwa koloid
resusitasidenganrisikomortalitaskarenaterdapat
mempunyai beberapa keuntungan pada pasien
variasi dalam derajat keparahan penyakit,
dengan tekanan nadi yang rendah. Wills
terapi secara keseluruhan, dan pendekatan tata
dkk membandingkan anak dengan SSD
laksana cairan. Pada metaanalisis ini hanya
yang diberikan koloid HES 6% dengan yang
sedikit uji klinis acak terkontrol yang
diberi RL sebagai cairan resusitasi awal dan
meneliti
menyimpulkan bahwa tidak terdapat
efektivitas cairan resusitasi koloid Mutiara bernas
dibandingkan dengan kristaloid. Hasil dari
metaanalisis tersebut tidak mendukung Penting bagi dokter adalah memahami
kesimpulan bahwa pilihan cairan resusitasi dengan baik sifat cairan kristaloid dan koloid
merupakan penentu mortalitas pada pasien serta patofisiologi penyakit
sakit kritis sehingga pilihan cairan resusitasi
hendaknya didasarkan pada pertimbangan
apakah cairan tersebut memungkinkan KRISTAlOID vERSUS KOlOID
dokter memberikan penanganan yang lebih AREA PERSETUjUAN
baik kepada pasien.
Berikut ini adalah hal-hal yang telah
Shih FJ mengemukakan bahwa tata disepakati dalam resusitasi cairan:
laksana volume cairan yang tidak tepat
1. Resusitasi dengan cairan selain darah
akan menurunkan kinerja organ vital dan
secara praktis sangat bermanfaat.
potensial fatal. Pasien sakit kritis dan atau
darurat sering mendapatkan terapi lain dan 2. Kelebihan cairan dengan kedua macam
membutuhkan pemantauan ketat yang larutan merupakan peristiwa yang tidak
berdampak pada angka kesintasan dan hasil diinginkan.
akhir yang sama atau lebih besar daripada 3. Mempertahankan tekanan onkotik plasma
dampak jenis cairan itu sendiri. Variabel- dipostulasikan sebagai tujuan terapi cairan
variabel tersebut menyebabkan perbandingan yang diinginkan (larutan koloid lebih
antara resusitasi koloid dengan kristaloid efektif dalam mempertahankan tekanan
menjadi sulit. osmotik).
Gan dkk mendapatkan perbedaan klinis 4. Larutan koloid merupakan bentuk
yang bermakna pada profil pemulihan pasca penggantian volume darah yang lebih
bedah antara pasien yang mendapat larutan efisien daripada larutan kristaloid. Untuk
koloid Hextend atau Hespan dan kristaloid RL. mencapai titik akhir tertentu diperlukan
Pasien yang mendapatkan koloid lebih sedikit larutan koloid dibandingkan
intraoperatif menunjukkan kejadian nausea, larutan kristaloid.
nyeri pasca- bedah, dan penglihatan ganda 5. Larutan koloid lebih mahal daripada
akibat edema periorbital lebih rendah kristaloid. Larutan kristaloid tidak
dibandingkan kelompok kristaloid. menyebabkan reaksi anafilaktoid yang
Hipotensi intraoperatif akibat hipovolemia dapat terjadi pada koloid, meskipun
dianggap sebagai penyebab utama morbiditas reaksi seperti ini jarang terjadi pada
dan mortalitas pasca-bedah. Penanganan syok.
resusitasi cairan agresif terbukti mengurangi 6. Hemodilusi sebelum transfusi dengan
morbiditas dan mortalitas serta lama rawat kristaloid atau koloid bermanfaat pada
inap. restorasi volume darah.
Sampai saat ini kontroversi pemilihan
cairan resusitasi masih terus berlangsung
dan yang terpenting bagi dokter adalah
Area debat
memahami dengan baik sifat cairan Hal-hal yang masih menjadi kontroversi dalam
kristaloid dan koloid serta patogenesis dan pemilihan cairan kristaloid versus koloid adalah:
patofisiologi penyakit primer dengan tujuan 1. Efek koagulasi
meningkatkan kualitas pelayanan serta 2. Fungsi ginjal
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
3. Air di ruang interstisial paru
4. Lama rawat di ruang rawat intensif menurunkan daya adesif leukosit.
dan rumah sakit
5. Angka kelangsungan hidup
6. Kekerapan acute respiratory distress syndrome
(ARDS)

Koloid versus kristaloid untuk


ekspansi ruang intravaskular
1. Pendapat pro-koloid didasarkan pada bukti
bahwa koloid mempertahankan tekanan
onkotik dan meminimalkan akumulasi
cairan interstisial, sedangkan kristaloid
menurunkan tekanan onkotik sehingga
dapat menyebabkan edema paru dan
meningkatkan mortalitas.
2. Pendapat pro-kristaloid menyatakan
bahwa biaya dan risiko terapi koloid
lebih tinggi. Selain itu, koloid dapat
keluar dan terperangkap di ruang
interstisial sehingga menyebabkan
edema

SIfAT-SIfAT CAIRAN
Kristaloid hanya berada sebentar di dalam
ruang intravaskular dan ¼ bagian cairan
intravaskular akan mengisi ruang interstisial.
Kristaloid yang diberikan berlebihan dapat
menyebabkan edema otak, menurunkan kinerja
jantung, mengurangi oksigenasi paru,
menyebabkan translokasi bakteri pada
saluran cerna, dan menghambat
penyembuhan luka.
Koloid akan mengisi ruang
intravaskular dan mempertahankan volume
intravaskular lebih lama dibandingkan
kristaloid. Koloid menaikkan tekanan onkotik
plasma, menaikkan volume darah,
mempunyai efek menyumpal (sealing effect)
yaitu kanji hidroksietil dengan BM 100-300
kD, mengembalikan aliran darah regional
pada hipovolemia, memperbaiki sirkulasi
makro dan mikro, menurunkan viskositas,
mengganggu formasi Rouleaux, dan
Kristaloid Tonometri gastrik merupakan prediktor
penting parameter perfusi organ. Penelitian
a. NaCI 0,9% (salin normal) oleh McFarlane dan Scheingraber
Cairan ini sedikit hipertonik karena membuktikan bahwa pemberian NaCI 0,9%
mengandung Natrium 154 mmol/L dalam jumlah besar menyebabkan asidosis
(natrium plasma 135- 147 mmol/L) dan metabolik. Penelitian-penelitian tersebut
klorida 154 mmol/L (klorida plasma 94-111 membuktikan bahwa asidosis hiperkloremik
mmol/L) yang tidak fisiologis. Pemberian dapat mengganggu perfusi organ akhir dan
infus dalam jumlah besar dapat berpengaruh pada mekanisme pertukaran selular.
menyebabkan risiko asidosis metabolik. Uji Jenis kristaloid yang dikombinasikan
klinis acak terkontrol yang membandingkan dengan koloid juga berpengaruh pada hasil
efek larutan koloid dan kristaloid seimbang akhir apabila diberikan dalam jumlah besar.
dengan larutan NaCl pada hiperkloremia Suatu penelitian oleh Gan membuktikan bahwa
menyatakan bahwa asidosis metabolik profil koagulasi pasien yang mendapatkan
hiperkloremia pasca bedah lebih sering cairan koloid (Hextend yaitu hetastarch 6%
terjadi pada kelompok yang mendapatkan dengan kombinasi kristaloid seimbang yaitu
NaCI 0,9% daripada yang mendapatkan Na+, K+, Ca++, Mg++, dan Cl ) bufer laktat,
cairan kristaloid seimbang (67% vs 0%). dan glukosa kadar fisiologis (90 mg/dl)
Uji klinis acak terkontrol oleh Mythen mempunyai profil koagulasi lebih baik dan
menunjukkan manfaat klinis pemberian cenderung mengalami kehilangan darah
cairan intravena dengan komposisi elektrolit lebih sedikit daripada koloid yang
seimbang. Cairan ini menurunkan risiko dikombinasikan dengan NaCI 0,9% (Hespan)
asidosis metabolik, ketidakseimbangan dan sama efektifnya untuk penatalaksanaan
elektrolit, dan memperbaiki perfusi organ. hipovolemia.
b. Ringer laktat Penelitian prospektif acak multisenter
Ringer laktat memiliki efek prokoagulan dan masih dibutuhkan untuk menghilangkan
meningkatkan risiko efek samping trombosis kontroversi. Untuk mendapatkan hasil yang
vena dalam dan emboli paru. Efek bermakna secara statistik maka penelitian
prokoagulan kristaloid dibuktikan secara in mengenai kristaloid versus koloid
vitro oleh Rutmann dkk (1996) dan Egli membutuhkan
dkk (1997) dan secara in vivo oleh Yanvrin 159.000 penderita untuk masing-masing
dkk (1980) dan Ng KF dkk (1996). kelompok dengan asumsi angka mortalitas 20%
dan risk ratio (RR) 1,02.
Koloid
Efek koloid yang menguntungkan
Sifat-sifat koloid ideal adalah sebagai
berikut: Efek pada tekanan onkotik
1. Tidak menyebabkan koagulopati, Pada pasien sakit kritis terdapat
hemolisis, aglutinasi sel darah merah, penurunan kadar albumin dan tekanan
atau gangguan cross-match. onkotik koloid. Bila permeabilitas membran
2. Mengganti kehilangan volume darah berubah, tekanan onkotik yang rendah dapat
dengan cepat. enyebabkan edema paru dan edema perifer.
3. Mengembalikan keseimbangan Albumin atau koloid sintetik dapat digunakan
hemodinamik. untuk mengembalikan tekanan onkotik koloid.
Mena dkk melaporkan bahwa HES 6% (BM
4. Menormalkan aliran sirkulasi mikro.
200 kD, derajat substitusi 0,6) menaikkan
5. Memperbaiki hemoreologi. tekanan onkotik koloid (dari 20,7 menjadi
6. Memperbaiki penyediaan oksigen dan 22,5), sedangkan dengan larutan albumin
fungsi organ. manusia 4% tekanan onkotik koloid tetap
7. Cepat dimetabolisme, diekskresi, tidak berubah.
dan ditoleransi dengan baik.
Efek pada volume darah
Metaanalisis dari Cochrane melaporkan Penelitian prospektif pada pasien sakit kritis
peningkatan risiko kematian pada pasien oleh Beards dkk menunjukkan bahwa gelatin
yang mendapat albumin dibandingkan dengan dan hetastarch sama-sama meningkatkan
yang mendapat kristaloid sebagai cairan
transpor dan pemakaian oksigen (DO2 dan
resusitasi. Namun, penelitian ini memiliki
V02). Van der Linden mengamati bahwa
keterbatasan karena adanya bias seleksi.
ekstraksi oksigen kritis pada pemakaian
Ketika metaanalisis ini dilakukan lagi dengan
gelatin dan HES adalah sama. Infus HES 10%
menggunakan kriteria seleksi yang berbeda,
200/0,5 pada pasien sakit kritis dengan
tidak terdapat perbedaan rerata kesintasan
hipovolemia dan syok akibat trauma,
sehingga efek albumin terhadap luaran akhir
operasi berat, sepsis atau kombustio untuk
masih dianggap kontroversial. Metanaalisis
memperoleh tekanan baji arteri paru 15- 18
yang dilakukan oleh De Backer pada pasien
mmHg memperbaiki hemodinamik (Cl, DO2,
kritis menyimpulkan bahwa risiko mortalitas
dan V02) menuju nilai normal atau
antara kelompok yang mendapat albumin
supranormal.
maupun kristaloid adalah sama. Kriteria
seleksi pada metaanalisis De Backer berbeda
dengan metaanalisis Cochrane.
Efek menutup kebocoran (sealing effect)
HES 200/0,5 lebih baik daripada dengan BM<50.000 Dalton,
albumin 5%, ringer laktat, HES
HES dengan BM >300.000 Dalton. Sealing HES 130/0,4 mempunyai efek baik terhadap
effect HES 200/0,5 pada binatang percobaan sirkulasi mikro. Asfar dkk melaporkan bahwa
telah dibuktikan oleh Webb pada kasus gelatin meningkatkan pH mukosa lambung
peritonitis, Schell pada iskemia serebral, pada pasien sepsis, sedangkan penggunaan
Tanaka pada cedera paru akut, Traber pada kanji hidroksietil pH lambung tetap stabil.
sepsis, dan Yeh pada pintasan jantung-paru
neonatal. Efek menutup kebocoran
menyebabkan kebocoran vaskular menurun, Efek koloid yang merugikan
edema berkurang, dan kebutuhan cairan Efek koloid yang merugikan terangkum dalam
berkurang. Tabel 16.1.

Efek pada aliran darah regional Terapi cairan rasional


Hipovolemia berhubungan dengan penurunan Langkah pertama terapi cairan rasional
aliran darah splanknik dan renal. Pemberian adalah menghitung perkiraan defisit air tiap
koloid alami maupun sintetis pada kondisi kompartemen cairan fisiologis. Langkah
hipovolemia dapat mengembalikan aliran selanjutnya adalah menentukan apakah cairan
darah regional. Namun bila hipovolemia resusitasi yang dibutuhkan berupa kristaloid
telah dikoreksi, pemberian koloid sintetis atau koloid, sesuai dengan kompartemen
lebih lanjut gagal untuk meningkatkan aliran yang memerlukan (Tabel 16.2). Pengurangan
darah splanknik. ruang intravaskular ditandai dengan
meningkatnya laju jantung, penurunan
tekanan diastolik, penurunan tekanan vena
Efek pada sirkulasi mikro
sentral, dan berkurangnya jumlah diuresis.
Berbagai koloid menghasilkan efek yang Pemilihan jenis cairan kristaloid atau
berbeda pada sirkulasi mikro. Kristaloid koloid harus mengikuti prinsip dasar
tidak memegang peranan penting pada fisiologis yang mantap, bukan karena
sirkulasi mikro karena kristaloid tidak dokter lebih sering memakai cairan
menghalangi perubahan sirkulasi mikro kristaloid atau koloid tertentu. Pemilihan
yang disebabkan oleh perdarahan. Larutan cairan ditentukan secara individual sesuai
dekstran 40 memiliki pengaruh baik pada kondisi klinis pasien, dengan
sirkulasi mikro sehubungan dengan mempertimbangkan optimalisasi preload
kemampuannya menurunkan viskositas, terhadap volume intravaskular. Dimulai
mengganggu formasi rouleaux, dan dengan pemberian secara bolus, lalu menilai
menurunkan daya adhesi leukosit. Efek HES efek terhadap preload dan curah jantung,
terhadap sirkulasi mikro berbeda tergantung serta mempertimbangkan sifat masing-masing
derajat substitusi. cairan.

Tabel 16.1. Efek koloid yang merugikan


Gelatin Kanji HES Dekstran
Reaksi anafilaksis Tidak biasa Tidak biasa Parah
Efek koagulasi (von Willebrand factor) Tidak ya (tergantung dosis/bM) ya
Toksik pada ginjal Tidak ya (tergantung bM/dosis) Dosis tinggi
Keracunan hati Tidak Mungkin Tidak
Akumulasi jaringan Tidak ya Tidak
Pembatasan penggunaan pada gagal ginjal Tidak ya (kecuali hES 130 kD) Tidak
bM = berat molekul
150 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Tabel 16.2.Terapi cairan pada beberapa keadaan


ion klorida yang rendah, dan memiliki pH
Defek primer Pilihan cairan fisiologis. Gelatin mampu memperbaiki
Dehidrasi ECv If Rl/RA keadaan hipovolemia dengan beberapa
Dehidrasi ICv ICv D5
keuntungan, yaitu lebih aman dibandingkan
Perdarahan baru Ivv Koloid
dekstran dengan rasio cost-efficiency yang
Perdarahan lama Ivv + If Koloid + Rl baik. Gelatin yang tersuksinilasi memiliki
risiko terjadinya reaksi anafilaksis yang lebih
Keterangan:
ECv, extracellular volume; ICv, intracellular volume;
tinggi karena menurunkan kualitas bentukan
Ifv, interstitial fluid; Ivv, intravascular volume;, Rl, ringer bekuan darah. Gelatin dapat diberikan pada
laktat; RA, ringer asetat keadaan hipovolemia, stabilisasi perioperatif
sirkulasi ekstrakorporeal (hemodialisis, mesin
jantung-paru). Kontra indikasi penggunaan
Mutiara bernas gelatin adalah overhidrasi, gagal jantung
kongestif, syok normovolemik,
Terapi cairan rasional dilakukan dengan oliguria/anuria, serta pasien yang hipersensitif
menghitung perkiraan gangguan terhadap gelatin
keseimbangan cairan di tingkat
kompartemen dan menentukan jenis
cairan resusitasi Kanji hidroksietil
Kanji hidroksietil terdapat dalam beberapa
bentuk, tergantung dan berat molekul dan
KOlOID SINTETIK derajat substitusi:
1. Berat molekul kecil: expafusin 6% (BM
Dekstran 40.000 Dalton /0,5-0,55) dalam pelarut
Komposisi dekstran terdiri dan campuran polimer seimbang, voluven 6% (BM 130.000 Dalton
glukosa dengan BM rata-rata 40 kD /0,4) dalam NaCI 0,9%
(dekstran 40), 60kD (dekstran 60), 70kD 2. Berat molekul sedang: Haes-steril 6%,
(dekstran 70). Viskositas dan waktu paruh 10% (BM 200.000 Dalton/0,5) dalam
meningkat dengan meningkatnya BM (untuk NaCl 0,9%, Hemohes 6% (BM 200.000
dekstran 40 waktu paruh 2 jam, sedangkan dan Dalton
dekstran 70 waktu paruhnya 24 jam). Dekstran /0,5) dalam NaCI 0,9%
40 merupakan jenis dekstran yang paling 3. Berat molekul besar: HES (BM 450.000
sering dipakai dan menyebabkan Dalton /0,7)
peningkatan nyata volume plasma sebesar 130-
200%. Dekstran 40 memiliki viskositas yang
rendah sehingga menguntungkan bagi sirkulasi Ekspansi volume dan lama efek
mikro. Dekstran dapat mempengaruhi fungsi intravaskular tergantung dari:
koagulasi sehingga menyebabkan perdarahan. 1. Konsentrasi. Pada koloid hiperonkotik
Oleh karena itu, dekstran jarang digunakan untuk (Haes-steril 10%) lebih cepat terjadi
pasien sakit kritis. Dekstran juga sering restitusi volume intravaskular, lebih
memicu reaksi anafilaksis. cepat meningkatkan tekanan darah, dan
mobilisasi cairan.
Gelatin 2. Derajat substitusi molar. Pada Haes
200.000/0,5, lima dan 10 molekul glukosa
Gelatin merupakan koloid dengan inti disubstitusi oleh gugus hidroksietil yang
poligelin, bersifat iso-onkotik, mengandung melindungi HES dari degradasi cepat
oleh enzim amilase.
3. Letak substitusi dari hidroksietilasi. Gugus colloid and
hidroksietil yang terletak pada posisi C2
dari molekul glukosa mampu menghambat
degradasi oleh amilase.
Indikasi penggunaan haes-steril 10%
dan haes-steril 6% adalah:
 Mengobati keadaan hipovolemia dan syok.
 Resusitasi volume pada hipovolemia dan
syok karena perdarahan, trauma, sepsis, dan
luka bakar.
 Normalisasi dan/atau optimalisasi volume
darah/volume plasma, tekanan darah, curah
jantung, sirkulasi mikro, transpor oksigen
(DO2), konsumsi oksigen (VO2), fungsi
organ, dan prognosis klinis.
Kontra indikasi penggunaan haes-seteril
10% dan haes steril 6% adalah:
 Gagal jantung kongestif
 Gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL
dan ureum >177 mmol/L)
 Gangguan koagulasi berat
 Hiperhidrasi dan dehidrasi
 Perdarahan otak

KEPUSTAKAAN
1. Boldt J, Kling D, Weidler B, Zickmann B,
Herold C, Dapper F, Hempelmann G. Acute
preoperative hemodilution in cardiac
surgery: volume replacement with a
hypertonic saline- hydroxyethyl starch
solution. J Cardiothorac Vasc Anesth.
1991;5:23-8.
2. Chifra HL, Velasco JN. A comparative study
of the efficacy of 6% HES-steril and ringer
lactate in the management of dengue shock
syndrome. Crit Care and Shock. 2003;6:95-
100.
3. Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers.
Human albumin administration in critically
ill patients: systematic review of randomized
controlled trials. Br Med J. 1998;317:235-40.
4. Hauser CJ, Shoemaker WC, Turpin I,
Goldberg SJ. Oxygen transport responses to
crystalloid in critically ill surgical patients. 2002.
Surgery. 1980:150:811-6. 11. Vermeulen LC Jr, Ratko TA, Erstad BL,
5. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen Brecher ME, Matuszewski KA. A paradigm for
VM, Nguyen TQ, dkk. Acute management of consensus. The University Hospital Consortium
dengue shock syndrome: a randomized guidelines for the use of albumin, nonprotein
double-blind comparison of 4 intravenous colloid, and crystalloid solutions. Arch Intern
fluid regimens in the first hour. Clin Infect Med. 1995;155:373-9.
Dis. 2001;32:204-13. 12. Webb AR. The appropriate role of colloids
6. Rady M. An argument for colloid in managing fluid imbalance: a critical
resuscitation for shock. Acad Emerg Med. review of recent meta-analysis findings.
1994; 1: 572-9. Crit Care. 2000;4:S26-32.
7. Rosenthal MH. Physiologic approach to 13. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH,
the management of shock. Sem Anaesthes. Tran TN, Le TT, dkk. Comparison of three
1982;1:285-92. fluid solutions for resuscitation in dengue
8. Schierhout G, Roberts I. Fluid shock syndrome. N Engl J Med.
resuscitation with colloid or crystalloids 2005;353:877-89.
solutions in critically ill patients: a systematic 14. Zikria BA, Subbarao C, Oz MC, Popilkis SJ,
review of randomized trials. Br Med J. Sachdev R, Chauhan P, dkk. Hydroxyethyl
1998;316:961-4. starch macromolecules reduce myocardial
9. Setiati TE. Use of HES 6% in children with reperfusion injury. Arch Surg. 1990;125:930-
dengue shock syndrome. Crit Care and 4.
Shock. 2000;34. 15. Zikria BA, Subbarao C, Oz MC, Shih ST,
10. Sunatrio. Kristaloid versus koloid pada McLeod PF, Sachdev R, dkk. Macromolecules
periode perioperatif. Course & Workshop reduce abnormal microvascular permeability in
on IV Fluid Therapy. Jakarta, 2-4 Agustus rat limb ischemia-reperfusion injury. Crit
Care Med. 1989;17:1306-9.
17 Sepsis dan Kegagalan Multi Organ
Rismala Dewi

DEfINISI yang abnormal. Sepsis yang disertai


International pediatric sepsis consensus conference kegagalan organ atau hipoperfusi
pada tahun 2005 mendefinisikan sepsis sebagai didefinisikan sebagai sepsis berat, sedangkan
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) syok septik adalah sepsis yang disertai
yang berhubungan dengan infeksi. Systemic kegagalan organ kardiovaskular. Definisi
inflammatory response syndrome dapat kegagalan multi organ adalah kegagalan pada 2
ditegakkan jika memenuhi dua dari empat atau lebih organ akibat berbagai sebab, salah
kriteria berikut: satunya sepsis.
 Suhu tubuh > 38,50C atau < 360C
 Takikardia, yang didefinisikan sebagai EPIDEMIOlOGI
rata- rata frekuensi denyut jantung > 2
standar deviasi (SD) atau di atas nilai Di Amerika Serikat, angka kejadian sepsis berat
normal menurut umur pada anak sekitar 42.000 kasus per tahun (0,56
 Frekuensi pernafasan > 2SD menurut kasus per 1000 populasi per tahun). Insidens
umur tertinggi terjadi pada kelompok bayi (5,16 kasus
 Leukositosis atau leukopenia berdasarkan per 1000 populasi per tahun) dan
umur atau ditemukannya > 10% menurun dengan tajam pada kelompok usia
neutrofil imatur. 10-14 tahun (0,2 kasus per 1000 populasi per
tahun). Lebih dari 4.400 kasus (10,3%)
Kriteria SIRS tersebut mengharuskan kematian pada anak disebabkan oleh sepsis
adanya instabilitas suhu atau jumlah leukosit berat, dengan rata-

Renjat
Infek SI Seps Sepsis an
si RS is berat septik

Gambar 17.1. Skema perjalanan infeksi


Sepsis dan Kegagalan Multi Organ 153

rata lama rawat yang lebih lama (±31 hari)


PATOfISIOlOGI
dan menghabiskan biaya yang cukup besar.
Sepsis termasuk ke dalam sepuluh penyebab Patogenesis sepsis memperlihatkan adanya
utama kematian di Amerika Serikat, dengan proses aktivasi selular yang kompleks, yaitu
peningkatan insidens sekitar 9% per tahun, dan terjadinya pelepasan mediator inflamasi seperti
menghabiskan biaya antara USD 22.000- produksi sitokin, aktivasi neutrofil, aktivasi
60.000 per episode. Angka mortalitas akibat komplemen, kaskade koagulasi dan sistem
syok septik pada anak lebih kecil (10%) fibrinolisis. Pada sepsis terjadi kerusakan sel
dibandingkan dewasa (35-40%), tetapi endotelial mikrovaskular serta pelepasan
angka morbiditas lebih tinggi pada anak. mediator inflamasi oleh sel endotel.
Jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, dan Disfungsi endotel menyeluruh mempunyai
keadaan imunodefisiensi merupakan faktor peran penting dalam patogenesis syok septik,
risiko untuk terjadinya sepsis berat dan syok dengan akibat terjadinya peningkatan
septik. Jenis kelamin laki-laki lebih sering permeabilitas sehingga timbul edema dan
mengalami syok septik dibandingkan kehilangan cairan yang cukup banyak ke
perempuan dengan perbandingan 1,5:1, namun jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan
mekanisme secara pasti tidak diketahui. Ras efek hipotensi yang diperberat oleh
tertentu (kulit hitam) lebih sering mengalami vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya
syok septik dibandingkan kulit putih tetapi kinin, histamin, dan peptida vasoaktif
belum diketahui alasannya. lainnya selama aktivasi kaskade inflamasi.

Koagulopa
ti

Gambar 17.2. Patofisiologi sepsis dan kegagalan multi organ


KEGAGAlAN ORGAN perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu

Apa pun mekanisme terganggunya


metabolisme selularyang terlihat pada sepsis,
hasil keseluruhan adalah disfungsi sistem organ
secara menyeluruh. Mekanisme bagaimana
proses inflamasi dapat mempengaruhi organ
secara multipel dengan berbagai derajat
keparahan, belum diketahui. Kegagalan
multi organ ini bervariasi pada setiap
individu dan biasanya organ yang sering
terkena adalah gastrointestinal, paru, hati,
ginjal dan jantung. Kegagalan organ ini dapat
dideteksi secara klinis, sehingga dapat
dilakukan pengobatan segera.

MANIfESTASI KlINIS
Sepsis merupakan suatu kesatuan penyakit
yang bersifat sistemik sehingga manifestasi
klinis sepsis pada fase awal dapat
memperlihatkan gejala seperti demam atau
hipotermia, takikardia dan takipnea,
leukositosis atau leukopenia serta perubahan
status mental. Hipotensi tidak selalu
didapatkan pada trias klasik sepsis pada
anak, karena mekanisme kompensasi
hemodinamik yang berbeda dengan dewasa.
Syok merupakan proses progresif yang
ditandai dengan 3 stadium berbeda. Pada
fase dini (stadium kompensasi) terdapat
mekanisme neurohormonal yang bersifat
kompensatorik dan fisiologis yang bekerja
untuk mempertahankan tekanan darah dan
memelihara kecukupan perfusi jaringan.
Apabila mekanisme kompensasi ini
terlampaui maka akan terjadi keadaan
hipoksia jaringan dan iskemia sehingga
memacu terjadinya penimbunan asam laktat,
asidosis metabolik dan kerusakan jaringan.
Stadium dekompensasi ini dapat berlanjut
menjadi ireversibel yang menyebabkan
gangguan multi organ yang berat dan
berujung pada kematian.
Pada syok septik dapat ditemukan tanda
gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran,
penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis,
pengisian kapiler serta oliguria. kapiler lambat, dan ekstremitas dingin.
Selain itu dijumpai pula gangguan
respirasi seperti takipnea, asidosis
metabolik serta edema paru. Manifestasi TATA lAKSANA
perdarahan dapat ditemukan juga
pada kulit berupa petekie, ekimosis, Sepsis dan kegagalan multi organ merupakan
dan purpura. keadaan serius yang harus segera ditatalaksana
Selain gejala umum di atas dengan optimal sehingga prognosis akan
terdapat istilah lain yang dapat lebih baik, menurunkan angka kematian dan
ditemukan pada 20% kasus anak mencegah sekuele di kemudian hari.
dengan syok septik, yaitu syok Terdapat enam hal utama yang perlu
septik hangat (warm shock), yang diperhatikan dalam menatalaksana pasien
ditandai dengan gejala demam, dengan sepsis dan kegagalan multi organ
penurunan kesadaran, takikardia, yaitu: 1. Resusitasi cairan, 2. Terapi
perabaan nadi kuat, tekanan nadi antimikroba, 3. Inotropik dan vasopresor, 4.
melebar (tekanan diastolik Monitoring invasif dan non invasif, 5. Terapi
menurun), perfusi menurun, spesifik dan 6. Terapi suportif.
produksi urin menurun, pengisian
kapiler melambat, ekstremitas hangat Resusitasi cairan
(predominan vasodilatasi). Sedangkan
pada syok septik dingin (cold shock) Terjadinya syok pada pasien dengan sepsis
predominan adalah vasokonstriksi menyebabkan adanya gangguan perfusi yang
dengan gejala demam atau hipotermia, terjadi secara menyeluruh dan regional,
takikardia dengan nadi lemah, sehingga tujuan akhir penatalaksanaan
penurunan kesadaran, tekanan nadi pasien menjadi lebih kompleks dibandingkan
sempit, perfusi menurun, pengisian syok jenis lain. Tata laksana terkini untuk
sepsis
bertujuan mengoptimalkan hemodinamik
Mutiara bernas
dalam 6 jam pertama dikenal sebagai early
goal directed therapy dengan target Hipotensi tidak selalu didapatkan pada
mempertahankan central venous pressure trias klasik syok septik pada anak,
(CVP) 8-12 mmHg, mean arterial pressure karena mekanisme kompensasi
(MAP)>65 mmHg dan saturasi vena kava hemodinamik berbeda dengan dewasa
superior (ScvO2) > 70%, dan hal ini Tanda syok septik hangat (warm shock):
memperlihatkan keuntungan yang cukup
demam, penurunan kesadaran,
bermakna. Harus diingat bahwa batasan Rivers
takikardia, perabaan nadi kuat,
dan kawan kawan ini merupakan parameter
MAP pada pasien dewasa. Parameter MAP tekanan nadi melebar (tekanan
bayi dan anak dapat dilihat pada bab diastolik menurun), perfusi menurun,
pemantauan hemodinamik pada buku ini. produksi urin menurun, pengisian
Sementara itu nilai CVP dan ScvO2 yang kapiler melambat, ekstremitas hangat
ditargetkan sama. (predominan
• Tanda vasodilatasi)
syokseptikdingin(cold
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan shock predomina vasokonstriksi,
untuk mengoptimalkan pemberian cairan demam/hipotermia,
): n takikardia dengan
resusitasi yaitu jenis cairan yang digunakan nadi lemah, penurunan kesadaran,
yaitu kristaloid atau koloid, kecepatan tekanan nadi sempit, perfusi menurun,
pemberian cairan harus kurang dari 30 pengisian kapiler lambat, dan
menit dan jumlah cairan yang diberikan ekstremitas dingin
(20-60 mL/kg berat badan).

Terapi antimikroba optimalisasi perfusi di organ penting dan


jaringan, sehingga jenis obat dan dosis sangat
Pasien sepsis dan syok septik memperlihatkan individual dan dinamis. Obat inotropik
karakteristik yang berbeda dengan pasien infeksi berfungsi meningkatkan kontraktilitas
lain sehingga diperlukan pemberian segera
antimikroba empiris walaupun data kuman
dan sensitivitasnya belum diketahui.
Antibiotika empiris harus mempunyai
spektrum luas mencakup berbagai
mikroorganisme termasuk kuman anaerob,
dan diberikan secara intravena dengan dosis
yang cukup untuk memperoleh level
terapeutik optimal. Kombinasi terapi
antibiotika biasanya diperlukan pada saat awal
sampai didapatkan jenis kuman sehingga
dapat diganti dengan spektrum yang lebih
sempit dalam 48-72 jam setelah pemberian
antibiotika empiris.

Inotropik dan vasopresor


Pemilihan obat-obatan inotropik dan
vasopresor harus didasarkan pada
3-5 ug/kg/menit akan mengaktivasi 80-
jantung dan cardiac output. Inotropik yang 100% reseptor dopaminergik dan 5-20%
sering digunakan adalah dopamin dan adrenergik beta, dosis 5-10 ug/kg/menit
dobutamin. mengaktivasi reseptor adrenergik beta
secara dominan dengan sedikit aktivasi
Dopamin adalah prekursor reseptor adrenergik alfa sedangkan dosis di
norepinefrin yang dapat merangsang atas 10 ug/kg/menit akan mengaktivasi
sistem simpatik sedangkan dobutamin reseptor adrenergik alfa secara dominan.
merupakan derivat sintetik yang mirip Dopamin dan norepinefrin merupakan
dengan isoprenalin. Dopamin pilihan pertama terapi sebagai vasopresor
memperlihatkan efek hemodinamik sistemik apabila terdapat hipotensi dan hipoperfusi
yang bersifat dose-dependent misalnya pada yang persisten setelah pemberian resusitasi
dosis 3 ug/kg/menit akan mengaktivasi cairan yang adekuat. Penggunaan
reseptor dopaminergik secara primer, dosis
dopamin dosis rendah untuk mempertahankan jantung. Untuk validasi
aliran darah ginjal dan splanknik saat ini
tidak direkomendasikan lagi.
Dobutamin merupakan agonis sintetis yang
mampu merangsang reseptor adrenergik beta-
1, beta-2, alfa-1, dan alfa-2 secara kompleks
baik melalui efek langsung ataupun melalui
metabolitnya. Dobutamin meningkatkan
kontraktilitas miokardium dan laju jantung
dengan menurunkan tahanan sistemik.
Dobutamin meningkatkan perfusi/oksigenasi
mukosa pada endotoksemia dan iskemia
mesenterik. Dopamin dan dobutamin
mempunyai efek yang berbeda terhadap usia
tertentu, yaitu pada dewasa lebih berfungsi
baik dibandingkan anak. Milrinon merupakan
pilihan alternatif bila respons terhadap
dobutamin kurang optimal.

Tabel 17.1. Obat inotropik dan vasopresor


Obat -1 -2 
Dobutamin +++ + +
Dopamin ++ + variasi
Epinefrin ++ ++ +
Norepinefrin ++ 0 +++
Isoproterenol +++ +++ 0

Pemantauan non invasif dan invasif


Metode pemantauan bisa dilakukan melalui
perawat terlatih, peralatan non invasif
yang rutin digunakan seperti
sphigmomanometer, elektrokardiografi,
ekokardiografi, pulse- oksimetri, USCOM
(ultrasonic cardiac output monitor) sampai
peralatan invasif seperti pemasangan
kateter CVP (central venous pressure), PAC
(pulmonary artery catheter) maupun PiCCO
(pulse contour cardiac output).
USCOM adalah alat pemantau
hemodinamik noninvasif yang memakai
metode 2 dimensi gelombang doppler
ultrasonik yang bekerja secara kontinu. Alat
ini bekerja dengan cara mengukur kecepatan
aliran darah yang melalui katup aorta dan
pulmonal saat darah tersebut meninggalkan
pengukuran diameter katup aorta dan Terapi spesifik
pulmonal dengan cara perhitungan
berdasarkan berat dan tinggi pasien. Dengan berkembangnya patogenesis sepsis dan
Pemantauan yang dapat dilakukan syok septik maka beberapa dekade terakhir
dengan USCOM adalah CO (cardiac ini mulai dikembangkan terapi yang bersifat
output), CI (cardiac index), SV imun spesifik. Recombinant human activated
(stroke volume), SVR (systemic protein-C direkomendasikan untuk pasien
vascular resistence) dan DO2 (delivery sepsis dengan disfungsi organ.
oxygen). SV merupakan hasil antara Imunoglobulin intravena sebaiknya
CSA (cross sectional area) x vti dipertimbangkan pada pasien dengan
(velocity time integral). CSA dari streptococcal toxic shock syndrome.
pembuluh darah ditentukan Pemberian kortikosteroid pada syok septik
berdasarkan normogram berdasarkan merupakan hal yang kontroversi. Alasan
tinggi badan yang terdapat pada penggunaan kortikosteroid adalah karena
software USCOM. pada syok septik terjadi insufisiensi adrenal
relatif yang
PiCCO merupakan metode menyebabkanterjadinyasensitivitaskatekolamin
pengukuran hemodinamik terganggu. Dosis yang direkomendasikan
menggunakan teknik indikator termal adalah
tunggal untuk menentukan CO 2 mg/kgBB untuk hidrokortison dan 30 mg/
(cardiac output), CI (cardiac index), SVR kgBB untuk metilprednisolon. Terapi lain
(systemic vascular resistence), EVLW seperti antikoagulasi, terapi anti apoptosis,
(extravascular lung water), terapi anti faktor transkripsi sampai saat ini
mempergunakan kateter yang masih dalam penelitian yang intensif.
diletakkan di aorta desenden melalui
arteri femoralis dengan teknik
Seldinger. Terapi suportif
Pada keadaan syok septik, tata laksana suportif
memegang peran penting sebagai penunjang 5. Goldstein B, Giroir Brett, Randolph A. The
terapi utama (resusitasi cairan). Terapi suportif Members of the International Consensus
yang diberikan termasuk strategi ventilasi Conference on Pediatric Sepsis. International
mekanik dengan volume tidal dan juga pediatric sepsis consensus conference:
tekanan yang terbatas, intensive renal definitions for sepsis and organ dysfunction in
replacement therapy/dialisis, kontrol pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005;6:2-
7.
terhadap hiperglikemia dan insufisiensi adrenal
relatif serta nutrisi yang adekuat. Terapi 6. Han YY, Shanley TP. Multiple organ
dysfunction syndrome. Dalam: Nichols DG,
suportif lain berupa koreksi terhadap penyunting. Roger’s textbook of pediatric
gangguan asam basa dan elektrolit intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
tergantung dari kelainan yang terjadi. Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h.283-7.
7. Kumar A, Kumar A. Sepsis and septic
shock. Dalam: Gabrielli A, Layon AJ, Yu M,
Mutiara bernas penyunting. Civetta, Taylor, & Kirby’s, Critical
Care. Edisi ke-
• Terdapat enam hal utama yang perlu 4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
diperhatikan dalam menatalaksana 2009. h.855-92.
pasien dengan sepsis dan kegagalan 8. Nguyen HB, Rivers EP. The clinical practice of
multi organ yaitu: 1. Resusitasi cairan, early goal-directed therapy in severe sepsis
2. Terapi antimikroba, 3. Inotropik dan and septic shock. Adv Sepsis. 2005;4:126-
vasopresor, 33.
4. Monitoring invasif dan non invasif, 5. 9. O’Brien JM, Ali NA, Aberegg SA, Abraham
Terapi spesifik dan 6. Terapi suportif MD. Sepsis. The Am J of Med.
2007;120:1012-22.
• Kombinasi terapi antibiotika biasanya 10. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J,
diperlukan pada saat awal sampai Muzzin A, Knoblich B, et al. Early goal
didapatkan jenis kuman sehingga dapat directed therapy in the treatment of severe
diganti dengan spektrum yang lebih sepsis and septic shock. N Engl J Med.
sempit dalam 48-72 jam setelah 2001;345:1368-77.
11. Rivers EP, Kruse JA, Jacobsen G, Shah K,
Loomba M, Otero R, et all. The influence of
early hemodynamic optimization on biomarker
DAfTAR PUSTAKA patterns of severe sepsis and septic shock.
1. Abraham E, Singer M. Mechanism of sepsis- Crit Care Med. 2007;35:2016-24.
induced organ dysfunction. Crit Care Med. 12. Setiati TE, Soemantri AG. Sepsis dan
2007;35:2408-16. disfungsi organ multiple pada anak,
2. Aird WC. The role of the endothelium in patofisiologi dan penatalaksanaan. Edisi ke-
severe sepsis and multiple organ dysfunction. 1. Semarang: Pelita Insani; 2009.
Blood. 2003;101:3765-77. 13. Shanley PT, Halstrom C, Wong HR. Sepsis.
3. Carcillo JA, Fields AI, Members TFC. Clinical Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman J,
practice parameters for hemodynamic support penyunting. Pediatric Critical Care. Edisi ke-3.
of pediatric and neonatal patients in septic Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h.1474-
shock. Crit Care Med. 2002;30:1365-78. 93.
4. Cohen J. The immunopathogenesis of sepsis. 14. Wang H, Ma S. The cytokine storm and
Nature. 2002:420;885-91. factors determining the sequence and severity
of organ dysfunction in multiple organ
dysfunction syndrome. Am J Emerg Med.
2008;26:711-5.
15. Watson RS, Carcillo J. Scope and
epidemiology of pediatric sepsis. Pediatr Crit
Care. Med 2005;6:S3-5.
18 Perdarahan dan Trombosis
Antonius Pudjiadi

faktor VII. Proses ini pada akhirnya akan


PENDAhUlUAN mengakibatkan konversi protrombin menjadi
trombin yang merubah fibrinogen menjadi
Perdarahan dan trombosis dapat terjadi akibat fibrin untuk menutup luka pembuluh darah.
gangguan primer sistem pembekuan darah, Tubuh memiliki berbagai perangkat untuk
misalnya pada hemofilia. Namun demikian, menjaga agar proses ini selalu berada dalam
di Pediatric Intensive Care Unit (PICU), lebih keseimbangan. Prostasiklin mencegah
sering dijumpai perdarahan dan trombosis agregasi trombosit. Trombomodulin
sebagai komplikasi dari penyakit primer mengaktivasi protein C yang bersama
tertentu seperti sepsis atau trauma. protein S mencegah konversi protrombin
Dalam keadaan normal mekanisme menjadi trombin. Antitrombin III (AT III)
hemostatik tubuh berada dalam keadaan juga mencegah konversi protrombin menjadi
dormant. Ketika terjadi aktivasi, dibutuhkan trombin. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
keseimbangan dinamis antara faktor menetralisir TF, pemicu proses koagulasi.
pembekuan darah dan fibrinolisis. Endotel juga memproduksi tissue plasminogen
Gangguan dalam keseimbangan ini, akibat activator yang melisiskan fibrin.
berbagai faktor, dapat berakibat perdarahan Pada saat terjadi perlukaan pembuluh
dan/atau trombosis. darah, endotel akan mengurangi ekspresi
trombomodulin hingga aktivitas protein C
menurun. Di samping itu juga terjadi pelepasan
PROSES PEMbEKUAN DARAh plasminogen activator inhibitor dari endotel
(PAI-
Secara alamiah tubuh membutuhkan proses 1) dan trombosit (PAI-2).
pembekuan darah untuk dapat bertahan
hidup. Saat terjadi perlukaan pembuluh darah,
terjadi vasokonstriksi yang mengakibatkan
TATAlAKSANA UMUM
perubahan aliran darah (shear stress).
Akibat perubahan aliran darah, faktor von Sebelum tatalaksana spesifik, tatalaksana awal
Willebrand akan diproduksi sehingga perdarahan masif dimulai dengan langkah-
endotel vaskular meregang, selanjutnya langkah resusitasi (lihat bab 23). Hipotermia
menangkap trombosit untuk membentuk (<34oC), bila ada, harus segera diatasi.
thrombus trombosit. Di dalam darah, juga Hipotermia mengganggu aktivitas enzim
beredar von Willebrand cleaving protein, hingga mengakibatkan pemanjangan protrombin
yang dapat memotong faktor von Willebrand time (PT) dan partial thromboplastin time
sehingga proses pembentukan thrombus (PTT), mengganggu aktivitas trombosit dan
mencapai keseimbangan. mengaktifkan fibrinolisis. Asidosis mengganggu
Aktivasi sistem koagulasi dimulai dengan
ekspresi tissue factor (TF) yang memicu
aktivasi
Perdarahan dan Thrombosis 159

aktivitas kompleks faktor VIIa dan kompleks dipicu oleh aktivasi sistem koagulasi akibat
Faktor Xa/Va, menghambat pembentukan suatu proses patologis tertentu dalam
trombin dan menurunkan kadar fibrinogen dan tubuh. DIC dimulai akibat aktifasi tissue
jumlah trombosit. factor (TF) yang akhirnya mengakibatkan
Selain pemeriksaan penunjang yang perlu pembentukan trombin. Keadaan
untuk proses stabilisasi, seperti analisis gas hiperkoagulasi mengakibatkan
darah dan kadar laktat, diperlukan juga pembentukan thrombus yang dapat
pemeriksaan darah rutin, koagulasi dan berakibat gagal organ. Proses yang
kimia darah. Cross matching untuk tranfusi berlangsung terus, menghabiskan faktor
komponen darah dilakukan sejak dini bila koagulasi, hingga dapat mengakibatkan
fasilitas memungkinkan. perdarahan.
Selama fase stabilisasi atau setelah
kondisi anak stabil, harus ada upaya untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan dan/ Patogenesis DIC
atau penyebabnya. Perdarahan dapat bersifat DIC terjadi bila pemicu aktivasi koagulasi
lokal atau difus. Perdarahan lokal perlu tidak dapat segera dihilangkan, misalnya pada
segera dihentikan, bila perlu dengan eksplorasi tumor padat, hemangioma besar (sindrom
bedah. Anamnesis penyakit dahulu dan obat- Kassabach Merritt), rejeksi jaringan
obat yang pernah digunakan penting untuk transplantasi, sepsis dan lain-lain.
mengetahui gangguan primer trombosit dan
sistem koagulasi.
Diagnosis
Berdasarkan kriteria International Society on
Mutiara bernas Thrombosis and Hemostasis (ISTH) tahun
• Pada perawatan di PICU, lebih sering 2001, DIC dapat dibagi menjadi 2 kategori
dijumpai perdarahan dan trombosis yaitu overt (decompensated) dan nonovert
sebagai komplikasi dari penyakit (compensated). Diagnosis overt DIC dapat
primer tertentu seperti sepsis atau ditegakkan bila secara klinis diketahui
adanya faktor pencetus DIC dan panel uji
trauma
koagulasi mencapai nilai 5 (tabel 18.1).
• Hipotermia mengganggu aktivitas enzim Nonovert DIC adalah gangguan koagulasi yang
hingga mengakibatkan pemanjangan belum mencapai tingkat decompensated.
prothrombin time (PT) dan partial Intervensi terapetik pada tingkat ini jauh
thromboplastin time (PTT), mengganggu lebih efektif dibandingkan dengan intervensi
aktivitas trombosit dan mengaktifkan saat telah terjadi overt DIC.
fibrinolisis. Asidosis mengganggu
aktivitas kompleks faktor VIIa dan
kompleks Faktor Xa/Va, menghambat
Tatalaksana DIC
pembentukan trombin dan Mengatasi pencetus merupakan bagian penting
menurunkan kadar fibrinogen dan dalam tatalaksana DIC. Namun demikian
seringkali hal ini tidak dapat segera dilakukan.
Tindakan suportif dilakukan terhadap kekurangan
DISSEMINATED INTRAVASCULAR trombosit dan faktor koagulasi (tabel 18.2).
COAGULATION Penggunaan antikoagulan pada DIC
diharapkan dapat menghentikan konsumsi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) faktor koagulasi. Penggunaan heparin masih
adalah gangguan koagulasi menyeluruh yang menjadi kontroversi. Heparin dapat
mengakibatkan perdarahan, karena itu pemantauan PTT harus
160 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Tabel 18.1. Modifikasi Sistem Penilaian International Society on Thrombosis and Hemostasis untuk Diagnosis DIC
Uji laboratorium Hasil Nilai
hitung thrombosit (/mm3) > 100.000 0
51.000-100.000 1
< 50.000 2
fibrinogen (mg/dl) >100 0
< 100 1
fDP* (mg/ml) <5 0
6-40 2
>40 3
Pemanjangan PTT** (detik) <3 0
3-5,9 1
<6 2
* bila digunakan D-Dimer, maka: nilai 0 bila kadar <2; 2 bila 2-8; 3 bila >8 mg/l
** Nilai PTT dikurangi ambang tertinggi PTT sesuai usia

Tabel 18.2.Terapi Penunjang


Terapi Komponen Darah Dosis yang dianjurkan Indikasi
Fresh Frozen Plasma 15-20 ml/kg Perdarahan simtomatis dengan kadar
fibrinogen < 100 mg/dL
Fibrinogen Concentrate 2-3 g Perdarahan simtomatis dengan kadar
fibrinogen < 100 mg/dL
Cryoprecipitate 1 U/10 kg Perdarahan simtomatis dengan kadar
fibrinogen < 80-100 mg/dL
Thrombosit 1-2 U/10 kg jumlah thrombosit <20.000 atau
jumlah thrombosit <50.000 dengan
perdarahan

deficiency in infancy, adalah perdarahan yang


dilakukan dengan ketat. Beberapa penelitian terjadi pada bayi usia muda akibat defisiensi
pada manusia menunjukan penggunaan vitamin K. Bayi usia muda dengan ASI
AT III dapat bermanfaat, namun demikian, eksklusif rentan terhadap defisiensi vitamin K,
tidak ditemukan penurunan mortalitas pada disebabkan kandungan vitamin K dalam ASI
penelitian acak multisenter pada kasus yang rendah. Oleh karena itu, pemberian
sepsis. vitamin K pada bayi baru lahir penting untuk
Beberapa obat lain yang digunakan mencegah perdarahan.
untuk mencegah atau mengatasi Perdarahan intrakranial terjadi pada
mikrotrombus antara lain adalah protein C, 80- 90% kasus APCD. Biasanya bayi tiba-tiba
tissue plasminogen activator (TPA), tampak pucat, kesadaran menurun dengan
urokinase, streptokinase dan prostasiklin. ubun-ubun membonjol. Kelainan neurologis
dapat berupa kejang fokal, hemiparesis dan
paresis nervus kranial. Pemeriksaan
ACQUIRED PROTROMbIN COMPlEX ultrasonografi kepala atau CT scan dapat
digunakan untuk mendeteksi perdarahan
DEfICIENCy
intrakranial.
Aquired protrombin complex deficiency (APCD), Diagnosis dapat ditegakkan dengan
dahulu dikenal dengan idiopathic vitamin K adanya pemanjangan masa pembekuan
Perdarahan dan Thrombosis 161

darah vena (>15 menit), pemanjangan PT,


DAfTAR PUSTAKA
pemanjangan PTT, thrombin time (TT) normal,
penurunan aktivitas faktor II, VII, IX, X 1. Feinstein DI. Diagnosis and management
dan jumlah trombosit yang normal. Karena of disseminated intravascular coagulation: the
faktor VII, mempunyai waktu paruh paling role of heparin therapy. Blood.
pendek, maka pemeriksaan PT merupakan 1982;60:284-7.
indikator yang sensitif pada defisiensi 2. Franchini M, Lippi G, Manzato F. Recent
vitamin K. acquisitions in the pathophysiology,
Tatalaksana APCD meliputi tatalaksana diagnosis and treatment of disseminated
untuk mengatasi peningkatan tekanan intravascular coagulation. Trombosis J.
intrakranial, mengatasi kejang, serta 2006;4:4-9.
tatalaksana perdarahan dengan pemberian 3. Hoots WK. Non-overt disseminated
vitamin K1, tranfusi fresh frozen plasma dan intravascular coagulation: definition and
packed red cells sesuai kebutuhan. pathophysiological implications. Blood Rev.
2002;16(Suppl 1):S3–9.
4. Mammen EF. Disseminated intravascular
coagulation (DIC). Clin Lab Sci. 2000;13:239-45.
5. Saba HI, Morelli GA. The pathogenesis and
Mutiara bernas management of disseminated intravascular
• Mengatasi pencetus merupakan bagian coagulation. Clin Adv Hematol Oncol.
2006;4:919-26.
penting dalam tatalaksana DIC. Namun
6. Taylor FB Jr, Kinasewitz GT. The diagnosis
demikian seringkali hal ini tidak dapat
and management of disseminated
segera dilakukan. Tindakan suportif
intravascular coagulation. Current Hematol Rep.
dilakukan terhadap kekurangan 2002;1:34–40.
trombosit dan faktor koagulasi.
7. Taylor FB Jr, Toh CH, Hoots WK, et al.
• Bayi usia muda dengan ASI eksklusif Towards definition, clinical and laboratory
rentan terhadap defisiensi vitamin K, criteria, and a scoring system for disseminated
disebabkan kandungan vitamin K intravascular coagulation. Thromb Haemost.
dalam ASI yang rendah 2001;86:1327–30.
• Pemberian vitamin K pada bayi baru lahir 8. Warren BL, Eid A, Sainger P, et al. Caring for
penting untuk mencegah perdarahan the critically ill patient: high-dose
antitrombin III in severe sepsis: a
randomized controlled trial. JAMA.
2001;286:1869-78.
19 Nutrisi pada Anak Sakit Kritis
Nurnaningsih

insensible energy loss sebesar sepertiga dari


PENDAhUlUAN kebutuhan energi. Pada anak sakit gawat terjadi
peningkatan kebutuhan energi yang
Masalah nutrisi pada anak sakit berkaitan dengan adanya faktor stres.
kritis
Tujuan pemberian nutrisi pada anak sakit Metabolisme Karbohidrat
kritis adalah mempertahankan fungsi organ
Glukosa merupakan bahan bakar primer untuk
dan mencegah disfungsi sistem kardiovaskular,
otak, sumsum tulang, sel darah merah, dan
sistem respirasi, dan sistem imun,
jaringan yang mengalami cedera. Dalam
meminimalisir efek puasa, mencegah
keadaan stres, cadangan glikogen hati
defisiensi nutrisi, dan sebagai dukungan
dipecah menjadi glukosa dan dilepaskan ke
nutrisi sampai respons inflamasi fase akut
dalam pembuluh darah sehingga kadar
berakhir. Terdapat tiga hal yang
glukosa darah meningkat. Selama stres terjadi
mempengaruhi kebutuhan nutrisi anak sakit
resistensi insulin sehingga transpor glukosa
kritis. Pertama, trauma akut memicu
ke dalam sel terganggu. Glikogen otot
respons katabolik yang besarnya tergantung
merupakan sumber glukosa untuk energi
berat dan lamanya trauma. Selama respons
tubuh. Bila cadangan glikogen berkurang
stres metabolisme terjadi peningkatan
maka asam amino akan digunakan. Protein
konsentrasi hormon counter regulatory yang
otot akan dipecah dan asam amino akan
akan memicu resistensi insulin dan hormon
dilepaskan kedalam pembuluh darah dan
pertumbuhan, menyebabkan katabolisme
diangkut ke hati untuk digunakan dalam proses
cadangan protein serta metabolisme
glukoneogenesis. Pada waktu yang bersamaan,
karbohidrat dan lemak endogen untuk
trigliserida dari jaringan adiposa dipecah
sumber energi. Pada keadaan ini tidak terjadi
menjadi asam lemak dan gliserol, sementara
proses pertumbuhan, sehingga energi untuk
gliserol dikonversi menjadi glukosa di hati.
proses tumbuh tidak dibutuhkan. Kedua,
Semuanya dipakai sebagai energi dalam bentuk
anak yang dirawat di unit perawatan intensif
glukosa. Dalam keadaan hipermetabolisme,
biasanya dalam keadaan tersedasi dan
produksi glukosa endogen tidak dapat
tingkat aktivitasnya rendah sehingga
ditekan dengan pemberian glukosa dari
kebutuhan energi berkurang. Ketiga, suhu
luar tubuh. Komplikasi pemberian glukosa
lingkungan di ruang perawatan intensif
yang berlebihan dari luar tubuh meliputi
dalam keadaan terkontrol dan insensible hiperglikemia, glikolisasi protein, keadaan
energy loss sangat menurun. Pada pasien hiperosmolar, imunosupresi, produksi
yang mendapatkan ventilasi mekanik, karbondioksida yang berlebihan, dan
kebutuhan energi sangat kecil karena tidak perlemakan hati.
diperlukan energi untuk otot pernapasan dan
mendapatkan ventilasi dengan udara lembab.
Keadaan ini dapat menurunkan
Nutrisi pada Anak Sakit Kritis 163

Metabolisme protein epinephrine-induced ß2-


Stres memicu hiperkatabolisme, yang
mengakibatkan kehilangan protein dan
otot menjadi kurus. Sejumlah katekolamin
dilepaskan sehingga kebutuhan protein
meningkat. Interleukin dan sitokin lain
merangsang proteolisis otot dan sintesis
protein fase akut di hati. Pada saat yang
sama tubuh melepaskan glukagon dan
mediator lain yang menghambat kerja
insulin dan membatasi penyediaan glukosa
untuk jaringan sehingga otot dan sel lain
harus menggunakan asam amino sebagai
alternatif sumber energi. Katabolisme otot
rangka diperlukan untuk kebutuhan fungsi
imun, memperbaiki jaringan dan inflamasi.
Sebagai akibat dari proteolisis otot akan
terjadi peningkatan ureagenesis,
peningkatan sintesis protein fase akut oleh hati,
peningkatan pengeluaran nitrogen urin, dan
peningkatan pemakaian asam amino sebagai
substrat oksidatif untuk pembentukan
energi. Mediator penting dalam proteolisis
otot skelet adalah glukokortikoid dan sitokin
proinflamasi, yaitu IL-1 dan TNF. Regulasi
proteolisis otot bersifat multifaktorial,
namun glukokortikoid memegang peranan
paling penting. Peningkatan laju katabolisme
protein tidak dapat dihilangkan dengan
pemberian glukosa, lipid, dan protein, namun
laju sintesis protein dapat ditingkatkan dengan
pemberian asam amino dari luar.
Balans nitrogen dapat digunakan untuk
menentukan kebutuhan protein individu.
Balans nitrogen dihitung dengan rumus
berikut: balans nitrogen = asupan nitrogen –
keluaran nitrogen. Pada anak sakit kritis,
umumnya balans nitrogen negatif.

Metabolisme lemak
Pada anak sakit kritis, terjadi peningkatan
oksidasi asam lemak. Asam linoleat dan
asam arakidonat plasma menurun,
sedangkan asam oleat meningkat. Hal ini
terjadi akibat peningkatan lipolisis yang
berhubungan dengan perangsangan
164 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
adrenergic. Asam lemak bebas dilepaskan kebutuhan nutrisi dapat dilakukan dengan
ke dalam plasma. Asam lemak yang mengukur kebutuhanenergi/kalori (measurement
berlebih menyebabkan reesterifikasi di hati energy expenditure, MEE) atau dengan cara
yang akan mengakibatkan pembentukan menghitung kebutuhan energi/kalori
trigliserida hepar secara berlebihan dan (predicted energy expenditure, PEE).
terjadi deplesi asam lemak essensial. Pengukuran kebutuhan kalori (MEE) dengan
Hiperglikemia sering terjadi, menyebabkan menggunakan kalorimetri indirek merupakan
peningkatan kadar insulin yang berdampak alat yang paling tepat untuk mengukur
pada berkurangnya mobilisasi lemak dari kebutuhan energi pada anak. Menghitung
cadangan lemak tubuh. Bila asupan lemak kebutuhan kalori berdasarkan rumus
tidak diberikan, akan terjadi defisiensi asam standar kurang akurat.
lemak esensial yang dapat berkembang lebih Metode sederhana untuk memperkirakan
cepat dibandingkan keadaan puasa. kebutuhan energi anak sakit kritis adalah
kebutuhan energi basal dikalikan faktor

Mutiara bernas
Penentuan kebutuhan nutrisi Pada anak sakit gawat terjadi perubahan
metabolisme karbohidrat, protein, dan
Kebutuhan nutrisi dipengaruhi oleh lemak yang mempengaruhi kebutuhan
beberapa faktor antara lain status nutrisi, nutrisinya
umur, keadaan klinis dan beratnya stres. Faktor stres bervariasi tergantung
penyakit. Nutrisi yang tidak adekuat dapat beratnya penyakit (Tabel 19.1). Berdasarkan
menyebabkan kekurangan makanan formula White kebutuhan energi untuk
sedangkan hipermetabolisme dapat memberi anak sakit kritis adalah sebagai berikut :
efek yang membahayakan. Penentuan kebutuhan energi
(kkal) = [(17 x usia dalam bulan) + (48 x
berat badan) + (292 x suhu dalam 0C) –
Pemberian nutrisi pada anak sakit kritis
9677] x 0,239. Secara praktis, kebutuhan Nutrisi enteral
energi basal pada neonatus dan bayi berkisar
antara 50 – 55 kkal/kg/hari dan menurun Nutrisi enteral lebih diutamakan karena
pada adolesens sampai 25 kkal/kg/hari. pemberiannya mudah, harganya murah,
risiko infeksi kecil, tidak memerlukan
akses vena sentral, dan memperbaiki fungsi
Tabel 19.1. Keadaan yang mempengaruhi saluran cerna. Pemberian nutrisi enteral
kebutuhan energi (faktor stres)
pada anak sakit gawat dapat mencegah
Keadaan Faktor stres
atrofi usus dan mengurangi komplikasi
infeksi dibandingkan
Kelaparan (ringan) dengan nutrisi parenteral. Nutrisi enteral
0,85 –
Pasca-operasi terindikasi pada anak yang berisiko
1,00
Keganasan
Peritonitis dan sepsis
1,00 – malnutrisi maupun yang sudah mengalami
1,05 malnutrisi bila pemberian lewat oral tidak
1,10 – cukup untuk
1,45
1,05 –
1,25
Trauma multipel, luka bakar 1,2 – 1,55 mencegah terjadinya penurunan berat badan
Dikutip dengan modifikasi dari : Chowdary KVR, walaupun saluran cerna berfungsi baik. Pada
Reddy PN. Parenteral nutrition: Revisited. Indian j pasien dengan fungsi gastrointestinal yang baik
Anaesth. 2010;54:95-103 pemberian nutrisi enteral dapat dimulai dalam
24-48 jam pertama perawatan. Parameter
fungsi gastrointestinal baik adalah adanya
Pemberian kalori berlebih harus suara usus, tidak didapatkan distensi perut
dicegah untuk mempertahankan homeostasis atau muntah, dan residu lambung sedikit.
metabolik terhadap respons trauma. Tanda perfusi usus yang adekuat termasuk
Pemberian kalori berlebih (overfeeding) tanda vital stabil, tidak memerlukan
mempunyai konsekuensi yang berbahaya, yaitu pemberian volume cairan dan obat vasoaktif
meningkatnya produksi CO2, yang secara kontinu, dan keseimbangan asam basa
selanjutnya meningkatkan kerja ventilator. serta laktat serum normal. Pemberian nutrisi
Hal ini dapat menyebabkan pemakaian enteral tidak dianjurkan pada pasien yang
ventilator lebih lama, mengganggu fungsi menggunakan obat -adrenergik dan
hati akibat terjadinya steatosis dan penghambat neuromuskular.
kolestasis, dan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sekunder akibat hiperglikemia. Mutiara bernas
Pemberian nutrisi yang tidak cukup dapat
• Nutrisi enteral lebih diutamakan
mengakibatkan malnutrisi, sementara status
karena pemberiannya mudah, biayanya
hipermetabolisme dari penyakit kritis sendiri
juga dapat menyebabkan malnutrisi. Pasien murah, risiko infeksi kecil, tidak
dengan malnutrisi berat berisiko sampai 20 memerlukan akses vena sentral, dan
kali lebih besar untuk mengalami komplikasi memperbaiki fungsi saluran cerna.
dibandingkan pasien yang mempunyai status Pemberian nutrisi enteral pada anak
nutrisi baik, selain membutuhkan masa sakit kritis dapat mencegah atrofi usus
rawat lebih lama dan menunjukkan angka dan mengurangi komplikasi infeksi
kematian lebih tinggi. dibandingkan dengan nutrisi parenteral
• Bila fungsi gastrointestinal dan
hemodinamik baik, pemberian nutrisi
Pemberian nutrisi enteral memiliki tahun terakhir. Yang termasuk imunonutrisi
keuntungan, yaitu menurunkan risiko infeksi adalah arginin, glutamin, aminopeptida,
pada anak sakit kritis. Pemberian nutrisi secara asam lemak omega-3, dan antioksidan.
enteral akan mempertahankan integritas dan
Berdasarkan ASPEN Clinical Guidelines,
fungsi mukosa saluran cerna. Nutrisi enteral
Pediatric Critical Care pemberian
juga menurunkan translokasi bakteri di mukosa
imunonutrisi pada anak sakit kritis tidak
usus. Keuntungan lain nutrisi enteral adalah
direkomendasikan.
membantu penyembuhan luka lebih baik
sesudah pembedahan abdomen.
Pemberian nutrisi enteral pada kondisi Metode pemberian nutrisi enteral
tertentu memerlukan perhatian khusus. Kondisi Metode pemberian nutrisi enteral adalah
tersebut adalah: sebagai berikut:
1. Sepsis, trauma, dan luka bakar. Stres a. Pemberian makanan secara bolus
akibat sepsis, trauma, maupun luka
Keuntungan cara ini adalah tidak
bakar menyebabkan pelepasan berbagai
membutuhkan waktu lama serta
jenis hormon tubuh yang akan
mengurangi risiko kontaminasi.
mengakibatkan proteolisis otot skelet
Kekurangannya adalah lebih mudah terjadi
dan hidrolisis asam amino rantai cabang
aspirasi. Pasien dengan usus pendek atau
(branched-chain amino acid, BCAA),
malabsorbsi tidak dianjurkan memakai
sehingga pada keadaan tersebut perlu
metode ini.
diberikan formula yang kaya BCAA.
2. Kelainan paru. Peningkatan asupan b. Pemberian makanan secara intermiten
karbohidrat akan menyebabkan Makanan diberikan 2 mL/kg setiap 4-6 jam
peningkatan produksi CO2 dan selama 20-45 menit. Pemberian cara ini
konsumsi oksigen, yang dapat biasanya mempunyai toleransi yang baik.
mengakibatkan komplikasi dan c. Pemberian makanan secara tetesan
menunda penyapihan ventilator. Pada kontinu
pasien dengan kelainan paru dapat Keuntungan dari pemberian makanan
diberikan formula rendah karbohidrat. secara kontinu adalah volume residu
3. Gagal hati. Pemberian BCAA dengan yang lebih sedikit dan risiko aspirasi,
konsentrasi tinggi dan asam amino kembung, serta diare yang lebih kecil.
aromatik konsentrasi rendah dapat Teknik ini membutuhkan pemantauan
membantu menormalkan perubahan yang ketat dan dapat menyebabkan
asam amino pada pasien dengan pertumbuhan bakteri yang berlebih.
ensefalopati hepatikum. Pemberian harus dimulai dengan
4. Gagal ginjal. Diet pada penderita volume kecil, yaitu setengah kebutuhan
gagal ginjal harus mengandung asam kalori dengan kecepatan 1 mL/ kg/jam.
amino esensial konsentrasi tinggi dan Bila toleransi baik dalam 24 jam, dapat
dikombinasikan dengan kalori yang ditingkatkan 0,5 mL/kg/jam sampai
tinggi terhadap rasio nitrogen. tercapai volume yang diharapkan.

Imunonutrisi Inisiasi pemberian nutrisi enteral


Penggunaan imunonutrisi yang bertujuan Sebelum memulai pemberian nutrisi
untuk memodulasi respon inflamasis atau enteral harus ditentukan dulu perkiraan
respons kekebalan banyak dilaporkan dalam kebutuhan cairan, kalori, dan elektrolit.
beberapa Protokol pemantauan harus disiapkan
sebelum memulai pemberian nutrisi
enteral. Pemberian formula dimulai dengan dapat digunakan agen prokinetik lambung,
seperempat hingga setengah dari kebutuhan misalnya metoklopramid, eritromisin, atau
total kalori selama 24 jam, kemudian dapat cisaprid.
ditingkatkan secara bertahap.
2. Diare, dapat disebabkan oleh
Pemantauan pasien dengan nutrisi penggunaan formula hiperosmolar,
enteral pemberian makanan dengan volume yang
Frekuensi pemantauan tergantung nutrisi banyak dalam waktu cepat, kontaminasi
yang diberikan dan keadaan klinis. Tabel makanan, kadar albumin serum yang
19.2 memuat parameter yang harus dinilai rendah, pemberian antibiotik yang
dalam pemantauan pasien yang mendapat bersamaan atau pemberian formula yang
nutrisi enteral. mengandung laktosa pada pasien
dengan intoleransi laktosa.
3. Efek samping lain pada saluran cerna,
Tabel 19.2. Parameter yang harus dinilai pada
pasien yang mendapat nutrisi enteral meliputi mual, muntah, kram, dan nyeri
perut akibat pemberian makanan
Toleransi Mual hipertonik secara cepat atau penggunaan
Muntah formula yang tidak tepat. Untuk
Diare menghindari hal ini, volume dan
Konstipasi
Distensi perut
kecepatan pemberian harus
ditingkatkan secara bertahap.
4. Defisiensi atau kelebihan berbagai
nutrien dan elektrolit. Untuk mencegah
hal ini,
Nutrisi berat badan harus dilakukan pencatatan yang ketat
dan Na, K, Mg, Ca, PO4, dan osmolalitas dan akurat tentang cairan, elektrolit, dan
metabolik serum Keseimbangan asam basa
Glukosa darah, ureum, dan nitrogen nutrien.
Pemeriksaan urin 5. Problem mekanik. Oklusi dan pergeseran
fungsi hati letak selang kateter dapat dicegah
dengan
Mekanik Pastikan lokasi dan patensi selang stres dan nyeri, serta pemakaian dopamin
kateter sebelum digunakan dan katekolamin. Untuk mempercepat
Irigasi selang kateter untuk pemberian
pengosongan lambung
makanan intermiten

Komplikasi nutrisi enteral


Pemberiannutrisienteralberisikomengakibatkan
beberapa komplikasi sebagai berikut:
1. Aspirasi paru dari isi lambung,
umumnya terjadi pada pemanjangan
waktu pengosongan lambung,
menyebabkan muntah yang dapat
mengakibatkan aspirasi. Penyebab
pengosongan lambung yang lambat pada
anak sakit kritis adalah perfusi lambung
yang jelek, sebagai respons terhadap
pemantauan seperti yang disebutkan pada ekstubasi dalam 4 jam, hemodinamik tidak
Tabel 19.2. stabil yang membutuhkan peningkatan
terapi, pasca-operasi ileus, perdarahan
gastrointestinal, berisiko mengalami
Kontra indikasi nutrisi enteral enterokolitis nekrotikans / iskemia usus, dan
Pemberian nutrisi enteral obstruksi usus.
dikontraindikasikan pada keadaan
berikut: berpotensi intubasi atau
Mutiara bernas
Bila fungsi gastrointestinal dan
hemodinamik baik, pemberian nutrisi
dilakukan secara enteral.
Nutrisi pada Anak Sakit 167
Kritis

Algoritma Nutrisi Enteral PICU


Bila tidak ada kontraindikasi nutrisi enteral diberikan dalam 24 jam pertama perawatan di PICU

1. Tentukan rute 2. Tentukan tujuan 3. Pemilihan formula 4. Tentukan langkah selanjutnya

Makanan per oral Makanan bolus Kalori penuh Boks 1 Tentukan jadwal pemberian
Sadar, tidak terintubasi, A. Clear, bila dapat makanan
refleks muntah dan mempertahankan jalan
batuk baik nafas

B. ½ formula penuh bila


puasa >2 minggu,
malnutrisi, berisiko iskemia
lambung (Formula penuh
diberikan setelah 24 jam).

C. Formula penuh

Nasogastrik Seperti boks A. Awal :


Hitung ½ volume yang di
Makanan bolus

1 perlukan untuk memenuhi


kecukupan kalori dan bagi
dalam beberapa kali per
hari. Lazimnya, 8x/hr bila
umur <6 bln dan 6x/hr bila
>6 bln. Bila tidak toleran,
berikan bolus dengan
volume lebih sedikit tetapi
Kalori penuh

lebih sering atau berikan


secara kontinu.
B. Selanjutnya :
Bila toleran, tingkatkan 25%
setiap kali pemberian

Trophic A. Clear bila dapat


mempertahankan
5-20 mL/kg/hari
feeding jalan napas (Formula di bagi dalam
penuh diberikan
setelah 24 jam). beberapa dosis
B. Formula penuh

Kalori penuh A. ½ formula penuh bila A. Awal :


puasa >2 minggu, 1- 2 mL/kg/jam (0,5
Nasoyeyunum malnutrisi, berisiko iskemi ml/kg/jam bila ada resiko
lambung (tingkatkan iskemia lambung)
formula penuh setelah 24 B. Selanjutnya:
Risiko tinggi terjadi
aspirasi (menekan refleks jam). <1thn: 1-5 mL/jam dalam
muntah, pengosongan B. Formula penuh 3-4 jam
lambung yang lambat, >1thn: 5-20 ml / jam dalam
refluks gastrosofagus, 3-4 jam
bronkospasme)
Continuous feeding

Formula penuh 5-20 ml/kg/hari (volume lebih


kecil pada pasien-pasien yang
lebih besar.
Trophic feeding

Gambar 19.1.Algoritma nutrisi enteral


Keterangan:
Clear: cairan jernih ( air putih atau larutan dekstrosa 5%), ½ formula penuh: formula yang diencerkan sehingga
konsentrasi
larutan menjadi setengah dari konsentrasi formula penuh.
168 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Nutrisi parenteral Sedangkan kontra indikasi pemberian


Nutrisi parenteral diberikan bila traktus nutrisi parenteral meliputi:
gastrointestinal tidak dapat menyerap cairan 1. Saluran cerna berfungsi baik
dan nutrien yang diperlukan. Target pemberian 2. Hiperglikemia berat
nutrisi parenteral total adalah balans kalori dan
balans nitrogen positif, kontrol homeostasis 3. Gangguan elektrolit berat
cairan, balans elektrolit, mempertahankan 4. Penyakit dengan prognosis yang buruk
fungsi metabolik, atau menyimpan protein Langkah-langkah pemberian nutrisi
somatik dan viseral. parenteral :
Pada anak sakit kritis, nutrisi parenteral 1. Menentukan kebutuhan cairan
dapat mulai diberikan dalam 24-48 jam 2. Menentukan kebutuhan kalori
pertama perawatan dengan perhitungan
kebutuhan cairan, kalori, protein, dan 3. Menentukan kebutuhan makronutrien
lemak serta pemantauan status metabolisme (karbohidrat, protein, dan lemak)
secara tepat. Pemberian nutrisi parenteral bisa 4. Menentukan kebutuhan elektrolit
melalui infus vena perifer maupun vena 5. Pemberian vitamin & trace element
sentral. Pemberian cairan dengan 6. Pemantauan
osmolaritas yang tinggi harus menggunakan
infus vena sentral.
Indikasi pemberian nutrisi parenteral Menentukan kebutuhan cairan
adalah: Perhitungan cairan dapat berdasarkan berat
1. Prematuritas badan, luas permukaan tubuh, atau
2. Kelainan kongenital : gastroskisis, fistula kebutuhan kalori. Syarat perhitungan
trakeoesofagus pembedahan abdomen kebutuhan cairan rumatan berdasarkan luas
permukaan tubuh adalah kebutuhan kalori
3. Perdarahan gastrointestinal masif
proporsional dengan permukaan tubuh,
4. Pseudo-obstruksi usus kronik digunakan rumus 1500 mL/ m2/hari.
5. Fistula usus Perhitungan kebutuhan cairan per hari pada
6. Enteropati autoimun, diare berat, atau anak dengan obesitas lebih akurat dengan
atrofi mikrovilli usus menggunakan rumus berdasarkan kebutuhan
7. Sindrom usus pendek (short bowel kalori atau luas permukaan tubuh.
syndrome)
8. Pankreatitis Kebutuhan protein
9. Sindrom distres respirasi Penyakit kritis dan pemulihan dari trauma
10. Komplikasi pasca-kemoterapi, misalnya atau pembedahan ditandai dengan
inflamasi permukaan membran mukosa peningkatan

Tabel 19.3. Kebutuhan cairan rumatan berdasarkan berat


badan Berat badan Kebutuhan cairan per hari
0-10 kg 100 ml/kg
11-20 kg 100 ml/kg untuk 10 kg pertama + 50 ml/kg untuk 10 kg berikutnya
>20 kg 100 ml/kg untuk 10 kg pertama + 50 ml/kg untuk 10 kg berikutnya + 20 ml/kg untuk
setiap kg di atas 20 kg
Dikutip dengan modifikasi dari : Steinhorn DM, Russo LT.Textbook of critical care, 2005.
katabolisme dan pergantian protein, termasuk bentuk cairan mengandung kalori sebesar 3,4
redistribusi asam amino dari otot skelet ke kkal/g, sedangkan dalam bentuk glukosa enteral
hati, tempat luka, dan jaringan lain yang terlibat memberikan kalori sebesar 4 kkal/gram.
dalam respon inflamasi. Manifestasinya
Glucose oxidation rate pada anak berkisar 5-
adalah balans nitrogen negatif, ditandai
8 mg/kg/ menit. Pemberian infus dimulai
dengan menurunnya berat badan, mengecilnya
secara perlahan dengan tujuan memberi
otot skelet, dan disfungsi imun. Selanjutnya,
kesempatan terjadinya respons insulin endogen
pemecahan massa otot yang progresif dari
untuk meminimalisir terjadinya
organ-organ kritis mengakibatkan menurunnya
hiperglikemia dan glukosuria. Selama fase
massa otot interkostal dan diafragma, yang
awal sakit kritis, kecepatan infus glukosa
menyebabkan gangguan sistem respirasi, dan
(glucose infusion rate, GIR) tidak boleh
berkurangnya massa otot jantung. Pemberian
melebihi 4-6 mg/kg/menit dan harus dilakukan
protein akan mengoptimalkan sintesis protein
titrasi dengan kadar glukosa darah. Bila
serta memperbaiki penyembuhan luka dan
perlu, dapat diberikan insulin dari luar tubuh
respons inflamasi. Pemberian protein yang
untuk mengatur kenaikan kadar glukosa.
berlebihan harus dihindari, terutama pada
Pemantauan ketat perlu dilakukan untuk
pasien dengan fungsi renal atau fungsi hati
mengetahui terjadinya hiperglikemia. Bila
yang terbatas. Pemberian protein 4-6
kadar glukosa darah melebihi 200 mg/dL,
gram/kg/hari berhubungan dengan efek
konsentrasi infus dekstrosa harus diturunkan
samping azotemia, asidosis metabolik, dan
secara titrasi. Bila kadar glukosa darah di
kelainan perkembangan saraf.
atas 250 mg/dL perlu diberikan infus insulin
Perkiraan pemberian protein pada anak 0,05-0,1 IU/kg/jam. Pada pemberian nutrisi
sakit kritis adalah: anak usia 0-2 tahun: 2-3 parenteral melalui vena perifer dapat
g/ kg/hari, 2-13 tahun: 1,5-2 g/kg/hari, dan diberikan dekstrosa sampai konsentrasi
13-18 tahun: 1,5 g/kg/hari. Untuk diet yang 12,5% sedangkan pemberian dekstrosa dengan
seimbang dibutuhkan rasio protein, konsentrasi lebih tinggi harus melalui vena
karbohidrat, dan lemak dengan komposisi sentral untuk mencegah inflamasi vena
15:50:35. Untuk utilisasi protein yang perifer dan trombosis. Cara menghitung GIR
optimal, harus dipenuhi rasio minimal adalah sebagai berikut:
150:1, yaitu 150 kalori non- protein per
gram nitrogen yang dibutuhkan.
infus (ml/jam) x konsentrasi dekstrosa (g/dl)x 1000 (mg/g)
Pemberian protein dimulai dengan jumlah kecil GIR berat badan (kg) x 60 (min/jam)x 100 (ml/dl)
dan dinaikkan bertahap sampai kebutuhan =
terpenuhi. Pada neonatus dimulai dengan
pemberian 0,5-1 g/kg/hari dan dinaikkan dalam
bertahap 0,5 g/kg/hari, sedangkan pada bayi
di atas 1 bulan dan anak pemberian
protein dimulai dengan 1 g/kg/hari, dinaikkan
bertahap 0,5-1 g/kg/hari.

Kebutuhan karbohidrat
Karbohidrat pada nutrisi parenteral berbentuk
dekstrosa dan merupakan sumber kalori
non- protein terbesar. Kalori yang berasal
dari karbohidrat biasanya sebesar 50-60%
dari total kalori yang dibutuhkan. Dekstrosa
Kebutuhan lemak karena emulsi lemak 10% akan meningkatkan
risiko hipertrigliseridemia dan
Lemak diberikan sebanyak 15-30% dari total hiperkolesterolemia karena kandungan
kalori yang dibutuhkan. Pada nutrisi fosfolipidnya lebih banyak dan fosfolipid
parenteral, dapat diberikan asam lemak yang berlebihan akan dikonversi ke dalam
esensial sebesar 3-5% untuk mencegah liposom. Tiap 1 mL emulsi lemak 20%
defisiensi. Emulsi lemak 20% lebih toleran memberikan
dibandingkan dengan emulsi lemak 10%,
170 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

energi 2 kkal. Pemberian emulsi lemak neuromuskular, dan keseimbangan asam basa.
dimulai dengan dosis 0,5 gram/kg/hari dan Konsentrasi kalium serum yang berfluktuasi
dinaikkan 0,5 gram/kg/hari secara bertahap
sampai maksimal
4 gram/kg/hari. Perlu dilakukan
pemantauan ketat terhadap profil lemak.
Efek samping pemberian lemak adalah
mikroemboli lemak, trombositopenia, dan
penurunan fungsi leukosit. Trigliserida rantai
panjang berpotensi menyebabkan
imunosupresi sehingga lebih sering
digunakan trigliserida rantai medium
(medium chain triglycerida, MCT) dan asam
lemak omega-3. Pada pasien hipermetabolik,
toleransi pemberian lemak harus dipantau,
terutama bila pemberian
>30% karena dapat menyebabkan
komplikasi metabolik seperti hiperlipidemia,
gangguan koagulopati, kegagalan fungsi
imun, dan hipoksemia sebagai akibat dari
kegagalan difusi dan gangguan
perfusi/ventilasi. Komplikasi juga dapat
terjadi akibat pemberian lemak yang terlalu
cepat. Oleh karena itu, kecepatan pemberian
lemak tidak boleh melebihi 0,1 gram/ kg/jam.
Risiko komplikasi dapat diminimalisir dengan
pemberian infus secara perlahan, yaitu dalam
18-24 jam sambil memantau kadar
trigliserida serum dan tes fungsi hati .

Kebutuhan elektrolit
Anak mempunyai kebutuhan minimal per
hari
untukelektrolitdanmineral.Natriummerupakan
kation terbesar pada ruang ekstraselular
yang mempunyai fungsi primer sebagai
regulator osmotik dan kontrol keseimbangan
air. Bersama dengan klorida dan bikarbonat,
natrium berperan penting bagi keseimbangan
asam basa. Natrium dapat diberikan dalam
bentuk garam dari klorida, asetat, atau
fosfat, tergantung penyakit yang mendasari
dan keadaan klinis. Kalium merupakan
kation terbesar di ruang intraselular yang
berfungsi dalam metabolisme sel, sintesis
protein, fungsi jantung, transmisi
Nutrisi pada Anak Sakit Kritis 171
tidak harus mencerminkan kadar parenteral bergantung pada kebutuhan pasien
kalium tubuh karena kalium tubuh dan konsentrasi asam amino. Magnesium
mudah bergerak bebas antara merupakan kation terbanyak dalam cairan
intraselular dan ekstraselular. Kalium intraselular yang berperan penting dalam
juga dapat diberikan dalam bentuk mempertahankan kadar kalium dan kalsium
garam dari klorida, asetat, atau fosfat. serum agar tetap normal. Kebutuhan
Klorida merupakan anion terbesar rumatan elektrolit dan mineral pada anak
ekstraselular, penting untuk tercantum pada Tabel 19.4.
pertumbuhan dan perkembangan.
Kalsium adalah mineral yang berlimpah Tabel 19.4. Kebutuhan rumatan elektrolit dan
di dalam tubuh, dengan konsentrasi mineral
yang lebih tinggi dalam cairan
ekstraselular, sangat berperan untuk Elektrolit Kebutuhan rumatan
kontraksi otot, neurotransmiter, proses Na 2-4 mEq/kg/hari
enzim, permeabilitas membran sel, K 2-3 mEq/kg/hari
stabilisasi hormon, dan proses Cl 2-4 mEq/kg/hari
koagulasi. Fosfor, dijumpai dalam Ca 1-3 mEq/kg/hari
tulang, merupakan regulator Mg 30-60 mg/kg/hari
kalsium dan berperan dalam PO4 1-2 mmol/kg/hari
mineralisasi tulang serta sintesis Dikutip dari : Irving Sy, Simone SD, hicks fw, verger jT.
protein, lemak, dan karbohidrat. AACN Clin Issues. 2000;11:541-58
Kebutuhan kalsium dan fosfor
meningkat pada anak sakit kritis dan
anak yang sedang tumbuh dari masa Pemberian vitamin
bayi ke adolesens. Penambahan
Berbagai sediaan multivitamin injeksi dapat
kalsium dan fosfor pada nutrisi
dilihat pada Tabel 19.5.
Pemberian trace element Diagnosis anak tersebut adalah apendisitis
Trace element adalah mineral yang dibutuhkan akut dengan perforasi. Telah dilakukan
dalam jumlah sangat sedikit oleh tubuh. operasi reseksi usus halus sepanjang 30 cm.
Kebutuhan trace element per hari dapat Saat tiba di ruang rawat intensif anak
terangkum pada Tabel 19.6. dalam keadaan tersedasi, frekuensi nadi
Teknik pemberian nutrisi parenteral 120x/menit, frekuensi napas 34x/menit, suhu
dirangkum pada Tabel 19.7, sedangkan 37,50C, tekanan darah 90/60 mmHg. Berat
pemantauan yang perlu dilakukan pada badan anak 14 kg.
pemberian nutrisi parenteral dapat dilihat pada
Tabel 19.8.
Mutiara bernas
Contoh kasus : Pemberian nutrisi parenteral dimulai dengan
Seorang anak laki-laki usia 3 tahun dibawa dekstrosa 10%, asam amino 0,5-1 g/kg,
dari kamar operasi ke ruang rawat intensif lipid 20% 0,5 g/kg, kemudian dinaikkan
anak. secara bertahap sampai mencapai target.

Tabel 19.5. Komposisi multivitamin injeksi


Unit Multi-12/K1 MvI-hSC MvI-12 atau Multi-12
Pediatrik 5ml 6 ml 10 ml
vitamin A RE 690 1201 990
vitamin D mg 10 10 5
vitamin E mg 4,7 2,7 6,7
vitamin K mg 0,2 0,2 -
Tiamin (b1) mg 1,2 18 3
Riboflavin (B2) mg 1,4 4 3,6
Niasin (b3) mg 17 40 40
Asam pantotenat (b5) mg 5 10,4 15
Piridoksin (b6) mg 1 4,8 4
Sianokobalamin (b12) μg 1 2 5
Asam folat μg 140 160 400
biotin μg 20 24 60
Asam askorbat mg 80 400 100
Dikutip dengan modifikasi dari: Guidelines for the administration of enteral and parenteral nutrition in paediatrics,
2007

Tabel 19.6. Kebutuhan trace element per hari


Trace Element Preterm <3 kg Term (3-10 kg) Anak (10-40 kg) Adolesens (>40 kg)
(μg/kg/hari) (μg/kg/hari) (μg/kg/hari) perhari
Zink 400 50-250 400 50-250 50-125 2-5 mg
50-125
Tembaga 20 20 5-20 200-500 μg
Mangan 1 1 1 40-100 μg
Kromium 0,05-0,2 0,2 0,14 - 0,2 5-15 μg
Selenium 1,5-2 2 1-2 40-60 μg
Dikutip dengan modifikasi dari: Mirtallo J, Canada T, Johnson D, Kumpf V, Petersen C, Sacks G, dkk. Safe practices for
parenteral nutrition. j Parenter Enteral Nutr. 2004; 28:S39-40.
Tabel 19.7. Inisiasi pemberian nutrisi parenteral
Hari I Peningkatan Maksimal
Dekstrosa 10-12,5 % 2,5%-5%, dinaikkan tiap 30%
Protein 1.1 ,5 hari 0,5 g/kg/hari 3,5 g/kg/hari
lemak g/kg/hari 0,5 g/kg/hari 3 g/kg/hari
0,5 g/kg/hari
Dikutip dengan modifikasi dari : Buchman AL. Practical Nutritional Support Techniques, 2004

Tabel 19.8. Pemantauan pemberian nutrisi parenteral


Parameter Jadwal pemantauan
Awal Tiap hari Tiap minggu
Laboratorium: V V
Darah lengkap V V
PT,APTT V Tiap hari sampai stabil
bUN, kreatinin V Tiap hari sampai stabil
Elektrolit v Tiap 4 jam, bila stabil 1x
Glukosa darah v sehari V
Trigliserida serum v V
Tes fungsi hati & - bila perlu
bilirubin Prealbumin - bila perlu
CRP

Lain-lain: v
berat badan v V
balans cairan bila V
balans nitrogen perlu Bila perlu

Dikutip dengan modifikasi dari : Malone A,Charney.American Dietic Association, 2007

Sebutkan tatalaksana awal pada anak Berdasarkan rumus White :


ini! Kebutuhan kalori (kkal) = [(17 x usia
Hari I : Stabilisasi : A = Airway
B = Breathing
C = Circulation

bagaimana pemberian nutrisi pada pasien


ini?
Hari II : Anak dipuasakan, mulai diberikan
total parenteral nutrisi dengan langkah-
langkah :
1. Menghitung kebutuhan cairan:
menggunakan penghitungan berdasarkan
Holliday-Segar = 1200 mL
2. Menghitung kebutuhan kalori :
dalam bulan) + (48 x berat  Kebutuhan kalori dari protein = 20% x
badan) + (292 x suhu dalam 0C) 620 kkal = 124 kkal ( 1 gram ≈ 4 kkal)
– 9677] x 0,239. = [(17 x 36) + = 31 gram = 310 mL asam amino 10%
(48 x 14) + (292 x 37,5 - 9677)  Kebutuhan kalori dari lemak = 30%
x 0,239 = 611 ≈ 620 (± 45 kkal/kg/hari). x 620 kkal = 186 kkal ≈ lipid emulsi
Perbandingan karbohidrat : protein : lemak 18,6 gram = lipid 20% 93 mL ( 1 mL
= 50 : 20 : 30 lipid 20% ≈ 2 kkal, atau 1 gram lipid
 Kebutuhan kalori dari emulsi
karbohidrat = 50% x 620 kkal ≈ 10 kkal)
= 310 kkal = 92 gram
3. Menghitung kebutuhan elektrolit.
KEPUSTAKAAN
 Kebutuhan Na (2 mEq/kgBB/hari) =
28 mEq ≈ 56 mL NaCl 3% (1 mEq 1. Collier S, Lo C. Advances in parenteral
Na ≈ 2 mL NaCl 3%) nutrition. Pediatrics. 1996;8:476-82.
 Kebutuhan K (2 mEq/kgBB/hari) = 2. De Carvalho WB, Leite HP. Nutritional
28 mL KCl support in the critically ill child. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook
 Kebutuhan Ca (1 mEq/kg/hari) = 14 of pediatric intensive care. Edisi ke-4.
mL Ca glukonas Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
 Cairan dekstrosa = [ Kebutuhan 2008. h. 1500- 15.
cairan/ hari – ( cairan protein + 3. Falcao MC, Tannuri U. Nutrition for the
lipid + Na Cl 3% + KCl + Ca pediatric surgical patient: approach in the
glukonas)] mL = [1200 peri- operative period. Rev Hosp Clin.
– (310 + 93 + 56 + 28 + 14)] mL= 2002;57:
699 mL ≈ 700 mL. 4. Guidelines for the administration of enteral and
 Untuk mendapatkan 92 gram dekstrosa parenteral nutrition in paediatrics. Edisi ke-
dari 700 mL maka cairan dekstrosa 3. Canada: Penerbit; 2007.
yang digunakan adalah 13% ( antara 5. Haber BA, Deutschman CS. Nutrition and
12,5- 15%) metabolism in the critically ill child.
4. Target pemberian nutrisi : Dalam: Rogers MC, penyunting. Textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-3.
 Dekstrose 15% 700 mL + NaCl 3% 56 Baltimore: William and Wilkins, 1996; 1141
mL + KCl 28 mL + Ca glukonas 14 mL – 62.
 Asam amino 10% 310 mL 6. Horn V. Hospital Pharmacist. (2003). February.
 Lipid 20% 93 mL Vol. 10: 58 – 62.
Pemberian nutrisi parenteral total 7. Irving SY, Simone SD, Hicks FW, Verger JT.
diberikan secara bertahap : Nutrition for the critically ill child: enteral
and parenteral support. AACN Clinical Issues.
Hari pertama :
2000;11:541-58.
 Asam amino 10% 1 g/kg = 14 g ∞ 8. Kim PK, Deutschman CS. Inflammatory
140 responses and mediators. Surg Clin North
mL = 56 kkal Am. 2000;80:885-94.
 Lipid 20% 0,5 g/kg  7 g = 35 mL = 9. Lowry SF, Perez JM. The hypercatabolic state.
70 kkal Dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC,
 Dekstrosa 10% = [1200-(140 + 35 Caballero B, Cousins RJ, penyunting. Modern
+ nutrition in health and disease. Edisi ke-10.
56 +28 + 14)] mL = 927 mL ∞ 930 Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
mL = 316 kkal 2006. h. 1381- 400.
 Dekstrosa 10% 930 mL + NaCl 3% 10. Martindale RG, Shikora SA, Nishikawa R,
Siepler JK. The metabolic response to
56 mL + KCl 28 mL + Ca glukonas
stress and alterations in nutrient metabolism.
14 mL
Dalam: Shikora SA, Martindale RG,
Hari kedua dievaluasi, bila toleransi baik Schwaitzberd SD. Nutritional considerations
maka dekstrosa, asam amino, dan lipid in the intensive care unit. Kendall/Hunt
dinaikkan secara bertahap sampai target Publishing Company Book Team; 2002. h.
terpenuhi. 11-19.
11. Martinez JLV, Martinez-Romillo PD,
14. Parrish CR. The Hitchiker’s guide to
Sebastian JD, Tarrio FR. Predicted versus
parenteral nutrition management. Dalam:
measured energy expenditure by continuous,
Practical gastroenterology. Nutritional
online indirect calorimetry in ventilated,
issues in gastroenterology, 2006. h. 46-68.
critically ill children during the early
postinjury period. Pediatr Crit Care Med. 15. Raju CU, Choudhary SLCS, Harjai LCM.
2004;5:19-27. Nutritional Support In The Critically Ill Child.
MJAFI. 2005; 61:45-50
12. Mehta N, Castillo L. Nutrition in the
critically ill child. Dalam: Fuhrman BP, 16. Steinhorn DM, Russo LT. Nutrition issues
Zimmerman J, penyunting. Pediatric critical in critically ill children. Dalam: Fink MP,
care. Edisi ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM,
2006. h. 1068- 84. penyunting. Textbook of critical care. Edisi
ke-5. Elsevier Science Health Science;
13. Mehta NM, Compher C, ASPEN Board
2005. h. 951-9.
of Directors. ASPEN Clinical Guidelines:
Nutrition support of the critically ill child. 17. Visser J, Labadarios D. Metabolic and
J Parenter Enteral Nutr. 2009;33:260-76. nutritional consequences of the acute phase
response. SAJCN. 2002;15:75-93.
20 Abdomen Akut
Novik Budiwardhana

Dalam praktek sehari hari sering didapatkan Tabel 20.1 Penyebab abdomen akut
kasus-kasus kegawatan traktus gastrointestinal
Patologi abdomen primer
yang memerlukan evaluasi dan tata
Obstruksi mekanik
laksana segera. Terminologi abdomen akut Iskemia usus halus akut
digunakan untuk menggambarkan sindrom Infeksi/peradangan
klinis berupa gejala dan tanda penyakit Perforasi visera
intraabdomen yang seringkali membutuhkan Trauma abdomen
terapi operatif. Nyeri perut hebat yang Patologi abdomen sekunder akibat penyakit kritis
berlangsung lebih dari 6 jam merupakan salah Perdarahan gastrointestinal
satu dasar diagnosis abdomen akut. Penyebab Ileus
abdomen akut tersering pada anak adalah Pankreatitis akut
Kolesistitis akut
appendisitis akut, sedangkan pada neonatus, Enteritis: kolitis pseudomembranosa
nyeri abdomen yang disertai distensi abdomen Megakolon toksik
dan muntah seringkali disebabkan oleh Sindrom kompartemen abdomen (SKA)
suatu abnormalitas kongenital atau sepsis. Abdomen akut sebagai manifestasi penyakit sistemik
Abdomen akut pada neonatus tidak Ketoasidosis diabetikum
didiskusikan pada buku ini. Evaluasi klinis Porfiria intermiten akut
yang akurat terhadap abdomen akut penting Purpura henoch-Schoenlein
untuk mendiagnosis etiologi dan Penyakit Kawasaki
Krisis sickle cell
memberikan tata laksana yang benar dan
cepat.

TATA lAKSANA AwAl PADA ANAK


PENIlAIAN KlINIS DENGAN AbDOMEN AKUT
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti Aspek krusial dalam tata laksana abdomen akut
sangat penting dalam penegakan diagnosis. adalah keputusan apakah pasien harus
Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan segera menjalani laparatomi atau laparaskopi
sangat membantu penegakan diagnosis dan sebagai upaya untuk penegakan diagnosis dan
memandu tatalaksana awal yang tepat. sekaligus terapi. Pada anak dengan kecurigaan
Secara umum terdapat 3 klasifikasi diagnosis kegawatan intra-abdomen yang secara klinis
abdomen akut, yaitu (1) penyakit dengan tidak stabil, prioritas tata laksana selalu
patologi primer terdapat pada traktus dimulai dengan mengamankan jalan napas
gastrointestinal, (2) penyakit abdomen akut serta mengamankan pertukaran gas dan
sekunder akibat penyakit kritis yang diderita sirkulasi yang adekuat (algoritma airway,
anak, dan (3) abdomen akut sebagai breathing, circulation).
manifestasi penyakit sistemik.
176 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Distensi abdomen hebat, syok, dan Bila dipikirkan sepsis, maka antibiotik
dehidrasi merupakan tanda kegawatan yang intravena harus segera diberikan. Algoritma
memandu dokter untuk segera melakukan tata laksana awal anak dengan abdomen akut
stabilisasi (resusitasi) awal dan menentukan dapat dilihat pada Gambar 20.1.
kebutuhan pembedahan segera. Perawatan
di Pediatric Intensive Care Unit merupakan
keharusan. Pasien dimonitor secara ketat Mutiara bernas
dengan pemantauan oksimetri, laju nadi,
EKG kontinu, dan pengukuran tekanan Aspek krusial dalam tata laksana abdomen
darah noninvasif. Akses vaskular perifer akut adalah keputusan apakah pasien
dipasang setidaknya 2 jalur. Pada kasus harus segera menjalani laparatomi atau
obstruksi usus, tata laksana awal tergantung laparaskopi sebagai upaya penegakan
pada penyebab dan ada tidaknya tanda iskemia diagnosis dan sekaligus terapi.
usus. Pemasangan pipa nasogastrik wajib
dilakukan pada kasus obstruksi usus. Sampel
darah dan urin harus segera diambil untuk
pemeriksaan darah tepi lengkap, profil PEMERIKSAAN PENCITRAAN
koagulasi, kimia darah, dan persiapan transfusi
Foto polos abdomen seringkali bermanfaat
sel darah merah serta komponen darah lain.
untuk diagnosis obstruksi usus, batu saluran
Pemeriksaan kultur darah dan urin
kemih, pneumoperitonium dan pneumatosis
diperlukan sebagai upaya menentukan
intestinalis. Selain pemeriksaan sinar X,
pemberian antibiotik secara definitif. Bolus
pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan
cairan (fluid challenge) harus segera diberikan
sampai perfusi adekuat.

Nyeri abdomen akut

Anamnesis, pemeriksaan fisis, bantuan hidup


dasar

Tdk stabil dan /atau terdapat kegawatan Stabil dan terdapat kemungkinan kegawatan
abdomen abdomen

A,B,C Akses vaskuler, resusitasi cairan, lab, Ileus? Nyeri terlokalisir? Infeksi abdomen? Penyakit sistemik?
kultur Trauma?
Efek samping obat?
konsultasi bedah.
Ro Abdomen 2 posisi, USG La
abdomen b

Diagnosis Diagnosis belum


jelas Pencitraa
jelas
n

Operas CT scan
i
Konsultasi bedah atau
pemberian
Operasi
medikamentosa
?

Gambar 20.1 Tata laksana awal pada anak dengan abdomen akut
Dikutip dengan dimodifikasi dari: Nichols DG. Roger’s textbook of pediatric intensive care, 2008
sekarang memegang peranan penting dalam dan mengistirahatkan usus untuk sementara.
penegakan diagnosis abdomen akut. Opsi Berbagai penyebab obstruksi usus mekanik
terbaik tergantung dari diagnosis banding yang terangkum pada Tabel 20.3.
dipikirkan. Sebagai gambaran, Tabel 20.2 bisa
menjadi pertimbangan pemilihan pemeriksaan
pencitraan yang sesuai. Tabel 20.3 Obstruksi usus mekanik
Adhesi
Intususepsi
hernia inkarserata
DIAGNOSIS AbDOMEN AKUT Tumor
Penyakit Crohn
Obstruksi usus hematoma duodenum
Obstruksi usus didefinisikan sebagai hambatan Obstruksi karena
cacing Malrotasi usus
mekanis pasase usus yang terjadi secara Divertikulum Meckel
intrinsik (intraluminal atau dari dinding Duplikasi intestinal
usus) atau diakibatkan oleh kompresi Pankreas annulare
ekstrinsik. Penyebab tersering obstruksi usus Atresia ileum atau duodenum
adalah kasus adhesi yang didapat. Tata Penyakit hirschprung
laksananya meliputi dekompresi Megakolon toksik
Pseudo-obstruksi intestinal kronik
Anus imperforata
Atresia kolon
Mutiara bernas
Dikutip dari: Nichols DG. Roger’s textbook of
• Kasus abdomen akut tersering pada pediatric intensive care, 2008
anak adalah appendisitis akut.
• Pada neonatus, abdomen akut yang Intususepsi (Invaginasi)
disertai distensi abdomen dan
muntah seringkali disebabkan oleh Penyakit ini ditandai dengan episode nyeri
abnormalitas kongenital atau sepsis. perut yang mendadak. Usia penderita biasanya
kurang dari 2 tahun. Nyeri perut ini
• Penyebab tersering obstruksi usus adalah datangnya relatif teratur dan anak tampak
adhesi yang didapat. Tata laksana cukup tenang di antara dua episode. Sebelum
meliputi dekompresi dan masuk rumah sakit biasanya terdapat diare,
mengistirahatkan usus untuk diikuti muntah yang terjadi setelah timbul
sementara. nyeri perut. Anak akan

Tabel 20.2 Kegunaan ultrasonografi dan CT Scan abdomen pada kegawatan abdomen akut
USG CT Scan
Sensitivitas Spesifisitas Sensitivitas Spesifisitas
Apendisitis 80 -92% 86-98% 87-100% 83-97%
Intususepsi 98-100% 88-100% - -
Pankreatitis akut 25-50% 35% 90% 78%
Kolesistitis akut 81-92% 60-96% Tinggi Tinggi
Obstruksi usus halus akut - - 87,5% 100%
Iskemia usus - - 82% Tidak diketahui
Abses intra abdomen Moderat-tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Dikutip dari: Nichols DG. Roger’s textbook of pediatric intensive care, 2008
sangat rewel saat terjadi serangan nyeri petanda sepsis, yaitu hemoglobin, hematokrit,
perut yang hebat. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan tanda dehidrasi. Perut teraba
seperti papan dan nyeri biasanya terjadi pada
saat serangan saja. Pada feses dapat dijumpai
red currant jelly, yang merupakan tanda
kegawatan dan harus segera ditindaklanjuti
dengan pencitraan abdomen. Ultrasonografi
cukup sensitif dan spesifik untuk
mendiagnosis kelainan ini.

Appendisitis akut
Manifestasi klinis seringkali dimulai dengan
nyeri paraumbilikal yang kemudian diikuti
muntah. Dalam beberapa jam, nyeri terlokalisir
di sekitar fossa iliaka kanan. Gejala
tersebut biasanya disertai demam (suhu
sekitar 39°C). Pada kasus lanjut dimana
terjadi peritonitis akibat perforasi, gejala
peritonitis umum akan jelas terlihat disertai
dengan meningkatnya laju nadi dan leukosit
di atas 12000/mm3.

TATA lAKSANA MEDIS DI PeDiATriC


iNTeNSive CAre UNiT
Dehidrasi harus diatasi dulu dengan
memberikan cairan sesuai dengan derajat
dehidrasi. Anak yang menderita dehidrasi
sedang atau berat harus segera mendapatkan
cairan intravena. ASI dapat dilanjutkan,
terutama bila satu- satunya gejala adalah
diare ringan. Pada sebagian kasus dengan
enteritis bakterial akan membaik spontan,
sedangkan untuk kasus yang lebih berat,
antibiotik sesuai kultur harus diberikan.
Masalah praoperatif juga meliputi
keputusan mengenai apakah tindakan bedah
harus segera dilakukan. Keputusan ini biasanya
harus diambil dalam 6 jam pertama
perawatan di PICU. Tata laksana pada kasus
ileus paralitik dengan penyakit dasar sepsis
tentunya berbeda dengan kasus ileus obstruktif
yang dapat diatasi dengan terapi bedah.
Persiapan praoperatif meliputi penapisan
jumlah dan hitung jenis leukosit, 1. Sindrom usus pendek (short-bowel syndrome)
trombosit, C-reactive protein (CRP), 2. Adanya ileostomi atau kolostomi
rasio neutrofi imatur dibanding
3. Adanya gangguan metabolik atau gangguan
neutrofil total (rasio IT), dan
keseimbangan elektrolit
prokalsitonin. Adanya gejala dan
tanda klinis infeksi disertai 4. Sepsis
penunjang laboratorium memandu
klinisi untuk memberikan atau tidak Sindrom usus pendek
memberikan antibiotik.
Sesampainya pasien dari kamar Sindrom ini harus diantisipasi pada pasien
bedah, evaluasi yang harus dengan riwayat reseksi usus saat
dilakukan adalah serah terima yang pembedahan. Penting untuk mengetahui
rinci tentang kejadian di kamar lokasi reseksi bagi dokter yang melakukan tata
bedah, apakah pasien dilakukan laksana pascabedah di PICU. Reseksi usus yang
reseksi usus, bagian mana yang melibatkan yeyunum dan ileum akan
direseksi dan komplikasi lain seperti menyebabkan gangguan penyerapan
perdarahan yang sulit diatasi atau makanan yang signifikan. Masalah yang akan
gangguan metabolik serta elektrolit. timbul pada sindrom usus pendek adalah
Semua data yang diperoleh dari serah gangguan keseimbangan cairan dan
terima pasien akan memandu klinisi elektrolit serta gangguan penyerapan saat
di PICU untuk membuat rencana realimentasi secara enteral. Ketergantungan
tindak lanjut yang sesuai dengan pada nutrisi parenteral pada pasien ini dapat
masalah yang akan dihadapi. meningkatkan risiko sepsis, kolestasis, dan
Masalah yang mempengaruhi tata mortalitas.
laksana pascabedah pada kasus Tata laksana sindrom usus pendek
abdomen akut adalah: meliputi pemberian nutrisi parenteral yang
adekuat,
baik jumlah maupun komposisinya. Kecukupan dengan cermat dan benar serta melibatkan
mikronutrien, terutama vitamin A,D, E dan keluarga pasien. Selain tata laksana pascabedah
K, perlu diperhatikan. Introduksi nutrisi yang cukup kompleks, adanya stoma juga
enteral perlu dilakukan secara gradual akan merubah gaya hidup pasien walau
sehingga transisi dari nutrisi parenteral ke hanya sementara.
nutrisi enteral dapat berhasil dengan baik.
Bakteri tumbuh lampau dapat diatasi dengan
pemberian antibiotik secara berotasi. Hal ini KEPUSTAKAAN
penting untuk mengurangi risiko 1. Schitzler E, Lolster T, Russo RD. The Acute
terjadinya sepsis. Abdomen. Dalam: Nichols DG, penyunting.
Roger’s textbook of pediatric intensive
Ileostomi atau kolostomi care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008. h.1516-34.
Kasus dengan ileostomi atau kolostomi 2. Reynolds SL. Missed appendicitis in pediatric
membutuhkan perawatan pascabedah yang emergency department. Ped Emerg Care.
cermat. Ileostomi atau kolostomi asendens 1993;9:1-3.
akan menyebabkan kehilangan cairan >500 3. Macnab AJ. Gastrointestinal illness. Dalam:
mL per hari yang juga mengandung enzim Macnab AJ, Macrrae DJ, Henning R. Care
pencernaan. Pada kolostomi, ekskresi saluran of critically ill chid. Philadelphia: Elsevier
cerna lebih banyak berupa feses dan hanya Science; 2002. h. 328-37.
sedikit enzim pencernaan yang dikeluarkan. 4. Kapadia F. Role of ICU in the management of
Masalah lain yang dapat terjadi adalah infeksi acute abdomen. Indian J Surg. 2004;66:203-8.
pada stoma sehingga teknik pemeliharaan
stoma harus dilakukan
21 Sindrom Kompartemen Abdomen
Guwansyah Dharma Mulyo

PENDAhUlUAN
Sindrom kompartemen abdomen (SKA) adalah
disfungsi organ terminal (jantung, paru, ginjal,
gastrointestinal dan susunan saraf pusat)
akibat penekanan saraf, pembuluh darah
dan otot di dalam rongga abdomen.
Diagnosis SKA ditegakkan bila ditemukan
kombinasi ketiga hal berikut: (1) kenaikan
akut tekanan intra- abdomen (TIA) ≥
17mmHg, (2) disfungsi organ terminal, dan
(3) dekompresi abdomen memberikan efek
positif.
Frekuensi kejadian di pelbagai ICU
trauma berkisar 5-15% dan merupakan 1%
dari kasus trauma umum. Kejadian SKA pada
anak sangat sedikit (0,6 – 4,7%), mungkin
karena tidak dikenali dan atau tidak
dilaporkan.

DEfINISI ISTIlAh
Tekanan intra-abdomen (TIA) adalah tekanan
yang terperangkap di dalam rongga
abdomen. Nilai TIA bervariasi, meningkat
saat inspirasi dan menurun saat ekspirasi
akibat kontraksi dan relaksasi diafragma.
Nilai TIA juga bervariasi dengan posisi tubuh,
posisi vertikal lebih tinggi dari pada horizontal
dan posisi tengkurap lebih tinggi
dibandingkan telentang. Nilai TIA juga
dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen.
Tekanan perfusi abdomen (TPA) dihasilkan
dari perhitungan tekanan arteri rerata
(mean arterial pressure) dikurangi tekanan
intra- abdomen. Tekanan perfusi abdomen
dianggap sebagai indeks akurat perfusi
viseral dan
merupakan tujuan akhir resusitasi (target TPA dapat mengganggu homeostasis
minimal adalah 60 mmHg). kardiovaskular, pernapasan, ginjal,
Hipertensi intra-abdomen gastrointestinal, hepar, dan susunan saraf
didefinisikan sebagai adalah pusat. Selain itu, harus diingat bahwa pada
peningkatan TIA ≥12mmHg yang pasien sakit kritis banyak faktor yang dapat
menetap atau berulang setelah berkontribusi terhadap kegagalan organ
beberapa kali pengukuran. multipel dan pada beberapa kasus, dampak
SKA/hipertensi intra- abdomen terhadap
Sindrom kompartemen abdomen adalah
organ akhir tidak dapat dibedakan dari
disfungsi organ akibat progresivitas
manifestasi klinis penyakit primer.
peningkatan tekanan intra-abdomen.
Hipertensi intra-abdomen yang tidak Dampak peningkatan TIA terhadap sistem
dikenali dan tidak ditata laksana kardiovaskular dan respirasi adalah:
dengan baik akan berkembang 1. Reduksi komplians dinding rongga dada,
menjadi SKA. mengakibatkan tekanan puncak inspirasi
dan plateau meningkat, selanjutnya
menyebabkan pelepasan mediator
PATOfISIOlOGI inflamasi.
Peningkatan TIA berdampak buruk 2. Peningkatan miss-match ventilasi-perfusi
terhadap fungsi organ akhir dan dan ruang mati paru (pulmonary dead
space).
Sindrom Kompartemen Abdomen 181

3. Vasokonstriksi intratoraks, yang akan


2. Aliran darah arteri hepatika dan vena
menyebabkan hipertensi paru.
porta menurun pada TIA 10 mmHg.
4. Penekanan langsung terhadap vena kava, 3. Penurunan aliran darah mesenterikus pada
menyebabkan venous return menurun,
TIA 20 mmHg.
selanjutnya terjadi stasis vena, yang
meningkatkan risiko trombo-emboli. 4. Iskemia mukosa usus akibat peningkatan
TIA, mengakibatkan translokasi bakteri,
5. Kompresi pembuluh darah abdomen,
sepsis, dan kegagalan multi organ.
menyebabkan peningkatan tahanan
vaskular sistemik. 5. Penurunan aliran darah dinding
abdomen mengganggu penyembuhan
6. Kompresi jantung, menurunkan end-
luka dan menimbulkan infeksi.
diastolic volume.
7. Kombinasi faktor-faktor di atas
Hipertensi intra-abdomen menyebabkan
menyebabkan penurunan isi sekuncup.
penurunan venous return akibat peningkatan
8. Meningkatnya tekanan atrium kanan tekanan intratorakal. Penurunan venous
dan kiri, akibatnya CVP (central venous return akan menebabkan peningkatan tekanan
pressure) dan pulmonary artery occlusion intrakranial. Tekanan perfusi serebral dapat
pressure bukan lagi parameter akurat menurun akibat gangguan hemodinamik sehingga
untuk menilai pengisian jantung. Oleh mengakibatkan disfungsi susunan saraf pusat.
karena itu, untuk evaluasi preload
Sindrom kompartemen abdomen akibat
dibutuhkan right ventricular end-diastolic
luka bakar terjadi melalui beberapa
volume index melalui ekokardiografi
mekanisme, yaitu:
jantung.
1. Jaringan parut dan edema dinding
Peningkatan TIA dapat mengakibatkan abdomen menyebabkan kompresi abdomen
disfungsi renal sekunder melalui mekanisme dari luar.
berikut: 2. Peningkatan resistensi vaskular
1. Penurunan curah jantung, menyebabkan mesenterikus, ditambah pelepasan
peningkatan sekresi katekolamin, mediator vasoaktif (angiotensin II dan
angiotensin II, dan aldosteron, selanjutnya vasopressin) serta mediator-mediator
terjadi vasokonstriksi renal sehingga aliran inflamasi dari jaringan yang terbakar akan
darah ginjal (TIA >15-20mmHg) dan menyebabkan enterokolitis iskemia.
rasio filtrasi glomerulus menurun. Hasil 3. Asites dan edema usus sekunder dari
akhirnya adalah oliguria dan anuria. resusitasi cairan masif, diperhebat oleh
2. Kompresi langsung terhadap pembuluh peningkatan permeabilitas kapiler secara
darah dan parenkim ginjal. umum.
3. Peningkatan tahanan vaskular ginjal.
4. Redistribusi aliran darah ginjal dari
ETIOlOGI DAN KlASIfIKASI
korteks ke medula.
Berdasarkan penyebab dan lamanya, SKA dibagi
Disfungsi organ gastrointestinal akibat menjadi:
peningkatan TIA terjadi melalui mekanisme 1. Sindrom kompartemen abdomen primer,
berikut: adalah peningkatan tekanan intra-
1. Penurunan perfusi splanknik dan hepar abdomen yang terjadi secara akut atau
disertai hipoksia jaringan. subakut yang penyebabnya berasal dari
dalam abdomen
(trauma abdomen atau pasca-bedah
abdomen)
Diagnosis
2. Sindrom kompartemen abdomen sekunder, Penemuan diagnosis SKA sangat bergantung
adalah peningkatan tekanan intra- kepada kecurigaan dan pengukuran TIA
abdomen yang terjadi secara subakut secara berkala pada pasien yang berisiko.
atau kronik, yang bukan disebabkan SKA harus dicurigai bila dijumpai:
kerusakan intra- abdominal, melainkan 1. Pasien dengan ventilator yang
karena peningkatan volume cairan di menunjukkan tekanan inspirasi dan
dalam abdomen akibat resusitasi cairan tekanan plateau yang tinggi dan sulit
masif/berlebihan, seperti pada syok sepsis untuk diventilasi.
dan luka bakar tingkat III. 2. Pasien dengan perdarahan abdomen akibat
3. Sindrom kompartemen abdomen tersier pankreatitis dan tidak menunjukkan
(rekuren), adalah SKA yang terjadi perbaikan setelah pemberian cairan,
berulang setelah resolusi dari episode produk darah, dan vasopressor.
sebelumnya. 3. Pasien luka bakar berat atau sepsis
dengan penurunan produksi urin dan tidak
Tanda dan gejala respons terhadap pemberian cairan dan
vasopresor.
Tanda dan gejala SKA atau hipertensi intra- 4. Setiap pasien yang menunjukkan
abdomen adalah: kontradiksi pada pembacaan Swan-Ganz.
1. Peningkatan lingkar perut
2. Perut membuncit tegang dan sakit
Pemeriksaan penunjang
3. Melena, diare, dan muntah
a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
4. Mengi, ronki, peningkatan laju napas,
sianosis 1. Panel metabolik komprehensif,
meliputi glukosa, elektrolit (natrium,
kalium,

Tabel 21.1. Faktor risiko terjadinya hipertensi intra-abdomen dan sindrom kompartemen abdomen
bedah Medis
Pascaoperasi Edema atau asites sekunder terhadap resusitasi cairan masif
Perdarahan (misalnya, syok septik)
Edema setelah diseksi ekstensif Peritonitis (fekal atau empedu, peritonitis bakterial
Reduksi hernia diafragmatika spontan) Abses intra-abdominal
Pembedahan abdomen, terutama dengan penutupan Pankreatitis akut
fasia secara ketat Tumor intra-abdominal atau retroperitoneal
Penutupan primer defek dinding abdomen Pneumoperitoneum, hemoperitoneum,
(omfalokel, gastroskisis) hemoretroperitoneum
Laparoskopi dengan insuflasi udara intra-abdomen Ileus (paralitik, obstruksi intestinal,
Ileus volvulus) Gastroparesis, dilatasi gaster
Peritonitis atau abses intra-abdominal Sirosis dekompensasi akibat asites
Pasca-trauma Indeks massa tubuh yang tinggi (>30 kg/m2)
Trauma atau luka bakar multipel Gagal napas akut dengan peningkatan tekanan intratorakal
Perdarahan intra- atau retroperitoneal ventilasi mekanik, dengan positive end expiratory pressure >10
Asidosis (ph <7,2), hipotermia (suhu inti cmh2O
<33°C), koagulopati Posisi tengkurap
Politransfusi Dialisis peritoneal
Edema viseral pasca-resusitasi cairan
Dikutip dari: Carlotti,A, Carvalho,wb. Ped Crit Care Med. 2009;10:115-20
CO2/bikarbonat, klorida, kalsium),
neurogenic bladder, atau dengan hematom
albumin, protein total, alkalin daerah pelvis yang menekan kandung
fosfatase (ALP), SGOT, SGPT, kemih maka pengukuran TIA harus
bilirubin, ureum, kreatinin. menggunakan teknik lain.
2. Darah perifer lengkap, mencakup
hitung jenis
Mutiara bernas
3. Amilase dan lipase
4. PT dan aPTT • Peningkatan tekanan intra abdomen
berdampak buruk terhadap fungsi
5. Petanda jantung untuk sindrom
koroner akut (CK, CK-MB, troponin) organ akhir dan dapat mengganggu
homeostasis kardiovaskular,
6. Urinalisis lengkap dan kultur urin
pernapasan, ginjal, gastrointestinal,
7. Analisis gas darah dan asam laktat hepar, dan susunan saraf pusat.
• Teknik pengukuran TIA secara
b. Pencitraan intravesika dianggap baku emas karena
Ultrasonografi abdomen pada anak sederhana dan murah.
menunjukkan penyempitan vena cava
inferior, kompresi atau pergeseran letak
ginjal, penebalan dan penyangatan Tata laksana
dinding usus, pengecilan kaliber aorta,
dan peningkatan diameter antero- Penyebab SKA sangat bervariasi sehingga
posterior abdomen dibandingkan diameter tidak mungkin membuat panduan terapi
transversal. standar bagi tiap pasien. Meski demikian,
terdapat beberapa prinsip dasar yang bisa
Pada CT scan abdomen dapat ditemukan
dilakukan dalam manajemen SKA, yaitu:
round belly sign, yaitu distensi abdomen
disertai peningkatan rasio diameter 1. Pemantauan TIA secara berkala.
anteroposterior terhadap diameter 2. Optimalisasi perfusi sistemik dan fungsi
transversal (rasio >0,80; P <0,001), vena organ pada pasien dengan TIA yang
kava yang kolaps, penebalan dinding meningkat.
usus dengan penyangatan, dan herniasi 3. Lakukan strategi medis nonoperatif
inguinal bilateral. terlebih dulu untuk menurunkan TIA.
4. Segera lakukan dekompresi secara bedah
c. Pengukuran tekanan intra-abdominal pada SKA refrakter.
Pemeriksaan fisis hanya mampu
mendeteksi 40-60% peningkatan TIA, Terapi non-bedah
sedangkan penemuan diagnosis Saat ini, strategi nonoperatif lebih
SKA/hipertensi intra- abdomen berperan dalam terapi disfungsi organ
bergantung pada pemantauan TIA akibat SKA/ hipertensi intra-abdomen.
terhadap pasien yang berisiko. Metoda Pasien yang memerlukan dekompresi secara
indirek mengukur TIA adalah laparatomi tetapi berisiko mengalami
pengukuran tekanan intravesika, gastrik, perdarahan karena adanya koagulopati atau
rektal, uterus, vena kava inferior, dan antikoagulan sistemik, seperti pasien yang
tekanan jalan napas. Teknik pengukuran sedang mendapatkan tunjangan hidup
TIA secara intravesika dianggap baku ekstrakorporeal, maka tata laksana non-
emas karena sederhana dan murah. bedah merupakan pilihan.
Namun, pada pasien trauma vesika,
Terapi non-bedah yang dapat dilakukan dan timbulnya SKA/hipertensi intra-
meliputi: abdomen, volume cairan resusitasi harus
1. Posisi tubuh
Elevasi bagian kepala tempat tidur akan
meningkatkan TIA dibandingkan bila
pengukuran dilakukan dalam posisi
telentang. Hasil pengukuran TIA akan
meningkat ≥2 mm Hg bila elevasi
kepala tempat tidur melebihi 20°. Posisi
telungkup juga meningkatkan TIA. Oleh
karena itu, pada pasien dengan
SKA/hipertensi intra- abdomen sedang-
berat, posisi tubuh harus diperhatikan
karena dapat mempengaruhi hasil
pengukuran TIA.
2. Agen prokinetik, drainase nasogastrik,
dan dekompresi kolon
Pada kasus hipertensi intra-abdomen
ringan sedang, drainase nasogastrik dan
rektal, enema, serta dekompresi
endoskopik dapat berguna. Pemberian
prokinetik untuk mengurangi isi
intralumen dan ketebalan visera juga
bermanfaat.
3. Resusitasi cairan adekuat
Pada pasien dengan SKA/hipertensi
intra- abdomen, resusitasi cairan
adekuat untuk koreksi hipovolemia
merupakan hal esensial untuk
meminimalisasi peningkatan TIA.
Resusitasi cairan secara berlebihan akan
meningkatkan TIA dan merupakan
prediktor independen untuk terjadinya
SKA/hipertensi intra-abdomen dan
merupakan etiologi mayor untuk SKA
sekunder, maka resusitasi cairan berlebihan
harus dihindari.
Pada pasien trauma, resusitasi cairan
supranormal berisiko menyebabkan
SKA/hipertensi intra-abdomen dan
meningkatkan mortalitas, sedangkan pada
syok septik yang mengalami balans
cairan negatif dalam 3 hari pertama
pengobatan, kemungkinan sembuh
lebih besar.
Untuk mencegah resusitasi cairan berlebih
disesuaikan sesuai kebutuhan setiap 2 mg/kg/kali, tidak melebihi 6 mg/kg/kali
pasien dan dipantau secara ketat. atau spironolakton 1,5- 3,5 mg/kg/hari per
Masih terdapat kontroversi oral dalam dosis terbagi tiap 6-24 jam)
apakah koloid atau kristaloid yang dikombinasi dengan albumin untuk
lebih unggul untuk resusitasi memobilisasi edema ruang ketiga. Pada
inisial hipovolemia. Menurut pasien dengan oliguria atau anuria,
Surviving Sepsis Campaigne continuous vena-venous hemofiltration (CVVH)
2008, resusitasi pada pediatrik dan ultrafiltrasi atau hemodialisis intermiten
dimulai dengan kristaloid. dapat membantu mengurangi cairan dan
Pada pasien luka bakar berat, dengan demikian menurunkan TIA.
resusitasi dengan NaCl
hipertonik menghasilkan beban
cairan yang lebih rendah dan TERAPI bEDAh
mengurangi risiko SKA
sekunder. Berdasarkan bukti Dekompresi secara laparoskopi:
tersebut, konsensus mengusulkan Cara ini dikerjakan pada SKA akibat
resusitasi menggunakan kristaloid trauma tumpul abdomen yang mempunyai
hipertonik dan koloid pada pasien tekanan intra-abdomen 25-35 cmH2O.
hipertensi intra-abdomen dengan
tujuan mencegah timbulnya SKA
sekunder. Dekompresi abdomen dengan
4. Diuretik dan continuous renal kateter perkutan
replacement therapies (CRRT) Dekompresi ini terindikasi pada kasus SKA/
Pada pasien dengan hemodinamik peningkatan tekanan intra-abdomen yang
stabil, dapat diberikan furosemid (1- disebabkan cairan bebas intraabdomen, udara,
abses, atau darah. Dekompresi cara ini dan anak sakit kritis dilaporkan mortalitas yang
akan menurunkan TIA dan mencegah tinggi, yaitu 50-60%, sekalipun dekompresi
disfungsi organ. Teknik ini menggunakan dilakukan secara dini. Pada anak dengan luka
kateter angio atau kateter dialisis peritoneal bakar besar, tekanan intra-abdomen ≥30 mm
yang dimasukkan secara perkutan. Hg berhubungan dengan peningkatan kejadian
Dekompresi dengan kateter merupakan sepsis dan mortalitas.
prosedur yang kurang invasif.

Pencegahan
Dekompresi abdomen secara bedah
Pencegahan SKA dianjurkan karena lebih
Prosedur ini adalah prosedur penyelamatan efektif dibandingkan upaya pengobatan. Cara
yang dikerjakan sesegera mungkin, untuk mencegah terjadinya SKA adalah:
mencegah terjadinya disfungsi organ pada
pasien. Cara ini terindikasi pada SKA yang 1. Pemantauan ketat TIA pada pasien yang
tidak respons terhadap terapi medis. Bila perlu, dicurigai atau mempunyai faktor risiko.
dapat dilakukan di ruang rawat intensif secara 2. Pada keadaan syok, resusitasi cairan
bedside. harus adekuat dan optimal, artinya
mampu memperbaiki perfusi jaringan,
tetapi juga tidak berlebihan untuk
Dekompresi pencegahan mencegah timbulnya SKA.
Pada pasien yang mempunyai banyak faktor 3. Pada kasus syok perdarahan akibat trauma,
risiko untuk mengalami SKA atau penting untuk menghentikan perdarahan
peningkatan tekanan intra-abdominal, maka untuk mencegah resusitasi yang tidak
dekompresi pencegahan (sebelum terjadi terkontrol.
SKA) dapat dilakukan. Membiarkan perut
terbuka pada pasien yang menjalani
laparatomi dengan risiko SKA termasuk upaya
dekompresi pencegahan.

Komplikasi akibat dekompresi Mutiara bernas


Segera setelah dekompresi, dapat terjadi efek • Pada pasien sakit kritis harus dilakukan
sekunder dari SKA, yaitu hipotensi dan identifikasi pasien berisiko mengalami
bahkan asistol. Hal ini disebabkan sindrom
SKA.
reperfusi dan penurunan mendadak tahanan
vaskular sistemik. Oleh karena itu, harus • Pemantauan tekanan intra-abdomen
dilakukan resusitasi volume sesaat sebelum berkala merupakan upaya deteksi dini.
dekompresi. Kejadian ini dapat dikurangi • Implementasikan strategi pencegahan
dengan memberikan tambahan manitol dan secara dini dapat mencegah progresivitas
natrium karbonat (NaCO3) secara bolus dari hipertensi intraabdomen menjadi
intravena. SKA.

Prognosis diobati. Sebagian besar kematian pada


SKAdihubungkan dengan sepsis dan gagal multi
Tekanan intra-abdomen >25mmHg organ. Pada dewasa
meningkatkan morbiditas baik pada dewasa
maupun pediatrik. Mortalitas SKA mencapai
80-100% bila tidak dikenali dan tidak
KEPUSTAKAAN 2. Carlotti, A, Carvalho, WB. Abdominal
compartment syndrome: a review. Ped Crit
1. Bailey J, Shapiro M. Abdominal compartment Care Med. 2009;10:115-20.
syndrome. Crit Care. 2000;4:23-9.
3. Cheatham M, Malbrain M, Kirkpatrick A.
compartment syndrome, Part I, Introduction.
Results from the international conference
Intensive Care Med. 2006;32:1722-32.
of experts on intra-abdominal hypertension
and abdominal compartment syndrome, Part 8. Malbrain M, Chiumello D, Pelosi P. Incidence
II, Recommendations. Intensive Care Med. and prognosis of intraabdominal hypertension
2007;33:951-62. in a mixed population of critically ill patients:
A multiple-center epidemiological study. Crit
4. Cheatham M, White M, Sagraves S.
Care Med. 2005;33:315-22.
Abdominal perfusion pressure: a superior
parameter in the assessment of intra-abdominal 9. Malbrain M. Intra-abdominal pressure in the
hypertension. J Trauma. 2000;49:621-6. intensive care unit: clinical tool or toy?
Dalam: Vincent JL, editor. Yearbook of
5. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion
intensive care and emergency medicine.
J, Margaret M, Jaeschke R, dkk. Surviving
Berlin: Springer; 2001. h. 547-85
Sepsis Campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septic 10. Okhuysen-Cawley R, Prodhan P, Imamura
shock: 2008. Crit Care Med. 2008;36:296- M. Management of abdominal compartment
327 syndrome during extracorporeal life support.
Pediatr Crit Care Med. 2007;8:177-9.
6. Kimball E, Rollins M, Mone M. Survey of
intensive care physicians on the recognition and 11. Rivers E, Nguyen B, Havstad S. Early goal-
management of intra-abdominal hypertension directed therapy in the treatment of severe sepsis
and abdominal compartment syndrome. Crit and septic shock. N Engl J Med.
Care Med. 2006; 34:2340-8. 2001;345:1368-77.
7. Malbrain M, Cheatham M, Kirkpatrick A. 12. Vasquez DG, Berg-Copas GM, Wetta-Hall R.
Results from the international conference of Influence of semi-recumbent position on
experts on intra-abdominal hypertension and intra- abdominal pressure as measured by
abdominal bladder pressure. J Surg Reseach. 2007;
139:280-5.
22 Enterokolitis Nekrotikans
Guwansyah Dharma Mulyo, Klara Yuliarti

fAKTOR RISIKO
PENDAhUlUAN
Faktor risiko terjadinya enterokolitis
Enterokolitis nekrotikans (EN) adalah sindrom nekrotikans adalah:
nekrosis intestinal akut pada neonatus yang 1. Prematuritas. Terdapat hubungan terbalik
ditandai oleh kerusakan intestinal berat antara kejadian EN dan usia gestasi.
akibat gabungan jejas vaskular, mukosa, dan Semakin rendah usia gestasi, semakin
metabolik (dan faktor lain yang belum tinggi risiko karena imaturitas sirkulasi,
diketahui) pada usus yang imatur. gastrointestinal, dan sistim imun.
Enterokolitis nekrotikans hampir selalu Enterokolitis nekrotikans tersering
terjadi pada bayi prematur. Insidens pada dijumpai pada usia gestasi 30-32
bayi dengan berat <1,5 kg sebesar 6-10%. minggu.
Insidens meningkat dengan semakin 2. Pemberian makan enteral. EN jarang
rendahnya usia gestasi. Sebanyak 70-90% ditemukan pada bayi yang belum pernah
kasus terjadi pada bayi berat lahir rendah diberi minum. Sekitar 90-95% bayi dengan
berisiko tinggi, sedangkan 10- 25% terjadi EN telah mendapat sekurangnya satu
pada neonatus cukup bulan. kali pemberian minum.
a. Formula hiperosmolar dapat
mengubah permeabilitas mokosa dan
PATOfISIOlOGI mengakibatkan kerusakan mukosa.
Patogenesis EN masih belum sepenuhnya b. Pemberian ASI terbukti dapat
dimengerti dan diduga multifaktorial. Imaturitas menurunkan kejadian EN.
saluran cerna merupakan faktor predisposisi 3. Mikroorganisme patogen enteral.
terjadinya jejas intestinal dan respons yang tidak Patogen bakteri dan virus yang diduga
adekuat terhadap jejas tersebut. Patofisiologi berperan adalah E. coli, Klebsiella, S.
yang diterima saat ini adalah adanya epidermidis, Clostridium sp. Enteritis
iskemia yang berakibat pada kerusakan virus yang disebabkan oleh koronavirus
integritas usus. Pemberian minum secara dan rotavirus dapat merusak barier
enteral akan menjadi substrat untuk mukosa dan mengakibatkan sepsis
proliferasi bakteri, diikuti oleh invasi mukosa akibat kuman enterik. Rotavirus
usus yang telah rusak oleh bakteri yang dilaporkan bertanggung jawab atas 30%
memproduksi gas. Hal ini mengakibatkan kejadian EN di suatu senter.
terbentuknya gas usus intramural yang 4. Kejadian hipoksia/iskemia, misalnya asfiksia
dikenal sebagai pneumatosis intestinalis. dan penyakit jantung bawaan. Pada
Kejadian ini dapat mengalami progresivitas keadaan ini dapat terjadi hipoperfusi
menjadi nekrosis transmural atau gangren usus sehingga sirkulasi mesenterikus
sehingga pada akhirnya mengakibatkan dikorbankan
perforasi dan peritonitis.
188 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

dan mengakibatkan iskemia intestinal.


 Residu lambung
Ketidakseimbangan antara mediator
vasodilator dan vasokonstriktor pada  Muntah (bilier, darah, atau keduanya)
neonatus mengakibatkan defek  Ileus (berkurangnya atau hilangnya
autoregulasi splanknik yang berisiko bising usus)
mengakibatkan iskemia intestinal.  Massa abdominal terlokalisir yang
5. Bayi dengan polisitemia, transfusi tukar, persisten
dan pertumbuhan janin terhambat berisiko  Asites
mengalami iskemia intestinal. Derajat keparahan EN berdasarkan
6. Volume pemberian minum, waktu manifestasi klinis dan gambaran radiologis
pemberian minum, dan peningkatan dapat dilihat pada Tabel 22.1.
minum enteral yang cepat. Bukti
tentang hal ini masih kontroversial.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
DIAGNOSIS adalah:
- Darah perifer lengkap. Leukosit bisa
Manifestasi klinis normal, meningkat (dengan pergeseran ke
Diagnosis dini EN penting karena sangat kiri), atau menurun dan dijumpai
mempengaruhi luaran. Spektrum klinis EN tombositopenia.
bervariasi dan nonspesifik. Manifestasi awal - Kultur darah untuk bakteri aerob,
mungkin menyerupai sepsis neonatorum. anaerob, dan jamur.
Perjalanan penyakit dapat progresif maupun - Tes darah samar.
perlahan-lahan. Kemungkinan EN harus selalu
diwaspadai pada setiap bayi yang memiliki - Analisis gas darah. Dapat dijumpai asidosis
faktor risiko dan menunjukkan manifestasi metabolik atau campuran.
berikut: - Elektrolit darah. Dapat dijumpai
1. Manifestasi sistemik ketidakseimbangan elektrolit, terutama
hipo/hipernatremia dan hiperkalemia.
 Distres pernapasan
 Apnu dan atau bradikardia - Kultur tinja.
 Letargi atau iritabilitas - Foto polos abdomen 2 posisi serial:
 Instabilitas suhu 1. Foto polos abdomen posisi supine.
 Toleransi minum buruk Dijumpai distribusi usus abnormal,
 Hipotensi/syok, hipoperfusi edema dinding usus, posisi loop usus
 Asidosis persisten pada foto serial, massa,
 Oliguria pneumatosis intestinalis (tanda khas
 Manifestasi perdarahan EN), atau gas pada vena porta
2. Manifestasi pada abdomen 2. Foto polos abdomen posisi lateral
 Distensi abdomen dekubitus atau lateral untuk mencari
pneumoperitoneum. Perforasi
 Eritema dinding abdomen atau indurasi
umumnya terjadi 48-72 jam setelah
 Tinja berdarah, baik samar maupun pneumatosis atau gas pada vena
perdarahan saluran cerna masif porta. Bila didapatkan pneumatosis
(hematokesia) intestinalis, lakukan foto serial tiap
8 jam untuk untuk mengevaluasi
terjadinya pneumoperitoneum, yang
menandakan perforasi usus. Foto Diagnosis banding
serial dapat dihentikan bila Beberapa diagnosis banding EN yang perlu
didapatkan perbaikan klinis. dipikirkan adalah:
- Pneumonia, sepsis
Mutiara bernas - Kelainan bedah seperti malrotasi dengan
• Patofisiologi enterokolitis nekrotikans obstruksi, intususepsi, ulkus, perforasi
yang diterima saat ini adalah adanya gaster, trombosis vena mesenterika
iskemia yang berakibat pada kerusakan - Enterokolitis infektif. Penyakit ini jarang
integritas usus. pada bayi, namun perlu dipikirkan bila
dijumpai diare. Pada kasus ini, tidak
• Pemberian minum secara enteral
terdapat tanda sistemik maupun enterik
akan menjadi substrat untuk proliferasi yang mengarah pada EN.
bakteri, diikuti oleh invasi mukosa usus
- Kelainan metabolik bawaan
yang telah rusak oleh bakteri yang
memproduksi gas. - Kolitis alergik berat

Tabel 22.1. Stadium Bell dengan modifikasi


Stadium Manifestasi sistemik Manifestasi intestinal Radiologis Terapi
Tersangka
Instabilitas suhu, apnea, Peningkatan residu Normal atau NPO, antibiotik 3 hari
bradikardia lambung, distensi ileus ringan
abdomen ringan,
darah samar di tinja
Sama dengan IA Sama dengan IA, Sama dengan IA Sama dengan IA
ditambah darah
masif pada tinja
Definitif
Sakit ringan Sama dengan IA Sama dengan I, Ileus, NPO, antibiotik 7-10
ditambah pneumatosis hari
hilangnya bising usus, intestinalis
nyeri tekan abdomen
Sakit sedang Sama dengan I, Sama dengan I, Sama dengan IIA, NPO, antibiotik
ditambah ditambah hilangnya ditambah gas vena selama 14 hari
asidosis metabolik bising usus, nyeri porta, dengan
ringan, trombositopenia tekan abdomen, atau tanpa asites
ringan selulitis, massa kuadran
kanan bawah
lanjut
Sakit berat, Sama dengan IIb, Sama dengan I Sama dengan NPO, antibiotik
usus utuh ditambah hipotensi, dan II, ditambah IIb, ditambah selama 14 hari,
bradikardia, asidosis tanda asites definitif resusitasi cairan,
respiratorik dan peritonitis umum, inotropik, ventilator,
metabolik, koagulasi nyeri dan distensi parasintesis
intravaskular diseminata, abdomen hebat
neutropenia
Sakit berat, Sama dengan IIIA Sama dengan IIIA Sama dengan Sama dengan IIA,
perforasi usus IIb, ditambah ditambah terapi
pneumoperitoneum bedah
NPO, Nothing per Oral. Dikutip dari:walsh MC, Kliegman RM, fanaroff AA. Pediatr Rev. 1988;9:219-26
190 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

- Intoleransi minum. Sulit untuk 8. Periksa darah tepi lengkap dan elektrolit
membedakan intoleransi minum dengan setiap 24 jam sampai stabil.
EN, karena banyak bayi prematur
mengalami intoleransi minum saat 9. Foto polos abdomen serial setiap 8-12 jam.
volume/ frekuensi minum ditingkatkan. 10. Konsultasi ke Departemen Bedah
Bila dicurigai EN, bayi harus dimonitor Anak, terutama diperlukan bila
ketat, dipuasakan, diberikan nutrisi didapatkan hal- hal berikut:
parenteral dan antibiotik selama 72 jam  Selulitis dinding abdomen
sampai EN dapat disingkirkan.  Foto polos abdomen menunjukkan
dilatasi segmen intestinal yang menetap
 Massa abdomen yang nyeri
TATA lAKSANA
 Perburukan klinis yang refrakter
Tata laksana EN adalah sesuai dengan tata terhadap terapi medis, yaitu asidosis
laksana abdomen akut dengan ancaman metabolik, trombositopenia,
peritonitis. Tujuan tata laksana adalah peningkatan bantuan napas,
mencegah progresivitas penyakit, perforasi peningkatan kehilangan cairan ruang
usus, dan syok. ketiga, hipovolemia, oliguria,
leukopenia, leukositosis, hiperkalemia

Tata laksana umum


Tata laksana khusus bergantung pada
Tata laksana umum untuk semua pasien
EN adalah: stadium
1. Puasa dan pemberian nutrisi parenteral 1. Enterokolitis nekrotikans stadium I
total.  Tata laksana umum.
2. Pasang sonde nasogastrik untuk  Pemberian minum dapat dimulai setelah
dekompresi lambung. 3 hari dipuasakan
3. Pemantauan ketat:  Antibiotik dapat dihentikan setelah
 Tanda vital 3 hari pemberian dengan syarat
 Lingkar perut (ukur setiap 12-24 jam), kultur negatif dan terdapat perbaikan
diskolorasi abdomen klinis.
4. Lepas kateter umbilikal (bila ada). 2. Enterokolitis nekrotikans stadium II
5. Kombinasi antibiotik ampisilin, gentamisin  Tata laksana umum.
atau amikasin, dan metronidazol. Dosis  Puasa dan pemberian antibiotik
ampisilin adalah 50-100 mg/kg/hari dibagi selama 10-14 hari.
4 dosis, gentamisin 5 mg/kg/dosis setiap 3. Enterokolitis nekrotikans stadium III
24- 48 jam, amikasin 10-15 mg/kg/dosis  Tata laksana umum
setiap 24 jam, dan metronidazol 7,5
 Puasa dan pemberian antibiotik
mg/kg/dosis setiap 8 jam.
selama minimal 14 hari.
6. Tes darah samar tiap 24 jam untuk
 Ventilasi mekanik bila dibutuhkan.
memonitor perdarahan gastrointestinal.
Distensi abdomen progresif dapat
7. Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit. mengganggu pengembangan paru.
Pertahankan diuresis 1-3 mL/kg/hari.
 Jaga keseimbangan hemodinamik,
berikan inotropik bila perlu. Pada EN
stadium III sering dijumpai hipotensi
Enterokolitis Nekrotikans 191
refrakter.
 Terapi bedah, dapat berupa:  Induksi maturasi gastrointestinal. Insidens
a. Drainase peritoneal, umumnya EN berkurang setelah pemberian steroid
dilakukan pada bayi dengan berat pranatal (Number needed to treat/NNT =
<1000 g dan kondisi tidak 32)
stabil.  Bayi dengan duktus arteriosus persisten
b. Laparatomi eksplorasi dengan dianjurkan menggunakan ibuprofen
reseksi segmen yang nekrosis dan dibandingkan indometasin untuk penutupan
enterostomi atau anastomosis duktus.
primer.
 Peningkatan volume minum enteral secara
perlahan, namun bukti mengenai efektivitas
Mutiara bernas strategi ini masih kurang. Selain itu,
PenetapanstadiumEN akan berapa kecepatan peningkatan volume
minum yang terbaik masih membutuhkan
mempengaruhi lamanya periode puas
penelitian lebih lanjut.
yang harus dijalani. a
 Pemberian probiotik pada bayi dengan berat
Kerjasama dengan departemen beda
lahir <1500 g terbukti mengurangi
harus dilakukan secara intens mengingat
h kejadian EN. Namun, bukti untuk
kemungkinan terdapatnya perburukan mendukung pemberian probiotik pada bayi
klinis dengan berat lahir <1000 g masih belum
cukup.
 Pemberian antibiotik enteral dapat
mengurangi insidens EN (RR 0,47 [IK
PROGNOSIS 95% 0,28;0,78], NNT 10).
- Angka kematian secara keseluruhan 9-
28%, sedangkan EN dengan perforasi
memiliki angka kematian lebih tinggi, KEPUSTAKAAN
berkisar 20- 40%
1. AlFaleh KM, Bassler D. Probiotics for
- Sekuele yang dapat terjadi: prevention of necrotizing enterocolitis in
 Gagal tumbuh, gangguan perkembangan preterm infants. Cochrane Database of
 Striktur (25-35% pasien dengan Systematic Reviews 2008, Issue 1. Art.
atau tanpa bedah) No.: CD005496. DOI:
10.1002/14651858.CD005496.pub2.
 Fistula
2. Bury RG, Tudehope D. Enteral antibiotics
 Short bowel syndrome (terjadi pada 10- for preventing necrotizing enterocolitis in
20% pasien yang menjalani low birthweight or preterm infants. Cochrane
pembedahan) Database of Systematic Reviews 2001, Issue 1.
- Kolestasis akibat nutrisi parenteral Art. No.: CD000405. DOI:
jangka panjang 10.1002/14651858.CD000405.
3. Cincinnati Children’s Hospital Medical
Center. Evidence-Based Clinical Care
Pencegahan Guideline For Infants with Necrotizing
 Pencegahan terbaik kejadian EN adalah Enterocolitis. Revised Publication Date:
dengan mencegah kelahiran prematur. October 7, 2010. Diunduh dari
http://www.cincinnatichildrens.org/svc/
 Pemberian ASI telah terbukti menurunkan alpha/h/health-policy/ev-based/default.htm
risiko dan insidens EN.
4. Gomella TL, Cunningham D, Eyal FG.
Neonatology: management, procedures, on-call New York: McGraw-Hill; 2009.
problems, disease, and drugs. Edisi ke-6.
5. McAlmon KR. Necrotizing enterocolitis.
KG, Brown RL, Powell DM, et al.
Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark
Laparotomy versus Peritoneal Drainage for
AR, penyunting. Manual of neonatal care.
Necrotizing Enterocolitis and Perforation.
Edisi ke-
N Engl J Med 2006;354:2225-34.
6. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins; 2008. 8. Sonntag J, Grimmer I, Scholz T, Metze B,
Wit J, Obladen M. Growth and
6. McGuireW,Bombell S. Slow advancement
neurodevelopmental outcome of very low
of enteral feed volumes to prevent
birthweight infants with necrotizing
necrotizing enterocolitis in very low birth
enterocolitis. Acta Pediatr. 2000;89:528-
weight infants. Cochrane Database of
32.
Systematic Reviews 2008, Issue 2. Art.
No.: CD001241. DOI: 9. Walsh MC, Kliegman RM, Fanaroff AA.
10.1002/14651858.CD001241.pub2. Necrotizing enterocolitis: a practitioner’s
perspective. Pediatr Rev, 1988;9:219-26.
7. Moss RL, Dimmitt RA, Barnhart DC,
Sylvester
23 Resusitasi jantung Paru pada
bayi dan Anak
Dzulfikar Djalil Lukmanul Hakim

PENDAhUlUAN Saat jantung berhenti, oksigenasi akan


Resusitasi merupakan upaya yang dilakukan berhenti pula dan menyebabkan gangguan otak
terhadap penderita atau korban yang berada yang tidak dapat diperbaiki walaupun terjadi
dalam keadaan gawat atau kritis untuk dalam hitungan detik sampai beberapa
mencegah terjadinya kematian. Gawat menit. Apabila henti sirkulasi mendadak
adalah keadaan yang berkenaan dengan suatu terjadi, gejala yang muncul dalam waktu
penyakit atau kondisi lainnya yang singkat adalah tak terabanya nadi, 10-20
mengancam jiwa, sedangkan darurat adalah detik tidak sadar, 15-30 detik henti nafas, 60-
keadaan yang terjadi tiba-tiba dan tidak 90 detik dilatasi pupil dan tidak reaktif.
diperkirakan sebelumnya, suatu kecelakaan, Kematian dapat terjadi dalam 8 hingga 10
kebutuhan yang segera atau mendesak. menit, sehingga waktu merupakan hal yang
sangat penting saat kita menolong korban.
Untuk mencapai keberhasilan resusitasi
diperlukan kerjasama yang baik dalam Tindakan resusitasi ini dibedakan
satu tim, mengingat banyaknya langkah berdasarkan usia bayi kurang dari satu tahun
yang harus dilaksanakan dalam tindakan di luar neonatus atau lebih dari satu tahun,
tersebut. Keberhasilan tidak semata-mata merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
dipengaruhi keterampilan dalam tindakan menyelamatkan jiwa yang sangat berguna pada
resusitasi, namun juga dipengaruhi oleh keadaan emergensi, termasuk henti napas
kelancaran komunikasi dan dinamika dan henti jantung.
kelompok. Resusitasi Jantung Paru bertujuan
Resusitasi jantung paru (RJP) terdiri atas untuk mempertahankan pernapasan dan
Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan sirkulasi agar oksigenasi dan darah dapat
Hidup Lanjutan (BHL). Bantuan hidup dasar mengalir ke jantung, otak, dan organ vital
adalah suatu tindakan resusitasi tanpa lainnya.
menggunakan alat atau dengan alat yang
terbatas seperti bag- mask ventilation, Mutiara bernas
sedangkan pada bantuan hidup lanjut RJP terdiri dari Bantuan Hidup Dasar
menggunakan alat dan obat resusitasi (tanpa/ alat yang terbatas) dan Bantuan
sehingga penanganan lebih optimal. Hidup Lanjut (dengan alat dan obat
Resusitasi Jantung Paru segera dan efektif resusitasi)
berhubungan dengan kembalinya sirkulasi
spontan dan kesempurnaan pemulihan Penyebab terjadinya henti napas dan
neurologi. Beberapa penelitian menunjukkan henti jantung berbeda-beda tergantung usia,
angka survival dan keluaran neurologi lebih pada bayi baru lahir penyebab terbanyak
baik bila RJP dilakukan sedini mungkin. adalah gagal napas, sedangkan pada masa bayi
penyebabnya antara lain:
194 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

 Sindroma bayi mati mendadak Jika harus membalikkan posisi, maka


(SIDS/Sudden infant death syndrome) lakukan seminimal mungkin gerakan pada
 Penyakit pernapasan leher dan kepala (posisi stabil miring).
 Sumbatan saluran napas (termasuk aspirasi
benda asing) 3. Evaluasi jalan napas
 Tenggelam Pada penderita yang tidak sadar sering
 Sepsis terjadi obstruksi akibat lidah jatuh ke
 Penyakit Neurologis belakang. Oleh karena itu penolong
Pada anak usia >1 tahun penyebab harus segera membebaskan jalan napas
terbanyak adalah cedera seperti kecelakaan dengan beberapa teknik berikut:
lalulintas, kecelakaan sepeda, terbakar,  Bila korban tidak sadar dan tidak
cedera senjata api dan tenggelam. dicurigai adanya trauma, buka jalan
Berdasarkan American Heart Association napas dengan teknik Head Tilt–Chin
tahun 2005, langkah-langkah resusitasi jantung Lift Maneuver akan tetapi jangan
paru adalah sebagai berikut: menekan jaringan lunak dibawah
dagu karena akan menyebabkan
sumbatan.
bantuan hidup Dasar Caranya adalah satu tangan
Yakinkan bahwa penolong dan korban diletakkan pada bagian dahi untuk
telah berada pada tempat yang aman, menengadahkan kepala, dan secara
dipindahkan hanya jika tempat tersebut simultan jari-jari tangan lainnya
membahayakan korban. diletakkan pada tulang dagu sehingga
1. Periksa Kesadaran jalan napas terbuka.
Panggil korban dengan suara keras dan  korban yang dicurigai mengalami
jelas atau panggil nama korban, lihat trauma leher gunakan teknik Jaw-
apakah korban bergerak atau memberikan Thrust Maneuver untuk membuka jalan
respons. jika tidak bergerak berikan napas, yaitu dengan cara meletakkan
stimulasi dengan menggerakkan bahu 2 atau 3 jari di bawah angulus
korban. Pada korban yang sadar, dia mandibula kemudian angkat dan
akan menjawab dan bergerak. arahkan keluar, jika terdapat dua
Selanjutnya cepat lakukan pemeriksaan penolong maka yang satu harus
untuk mencari kemungkinan cedera dan melakukan imobilisasi tulang servikal.
pengobatan yang diperlukan, namun
jika tidak ada respons, artinya korban
Mengeluarkan benda asing
tidak sadar, maka segera panggil bantuan
(aktifkan Emergency Medical Services). Obstruksi karena aspirasi benda asing
dapat menyebabkan sumbatan ringan
atau berat, jika sumbatannya ringan
2. Posisi Korban maka korban masih dapat bersuara dan
Pada penderita yang tidak sadar batuk, sedangkan jika sumbatannya
Tempatkan korban pada tempat yang sangat berat maka korban tidak dapat
datar dan keras dengan posisi terlentang, bersuara ataupun batuk. Jika terdapat
pada tanah, lantai atau meja yang sumbatan karena benda asing maka
keras. pada bayi <1 tahun dapat dilakukan
teknik 5 kali back blows (back slaps) di
interskapula, namun jika tidak berhasil
Resusitasi Jantung Paru pada Bayi dan Anak195
dengan teknik tersebut
Gambar 23.1. Cross finger-finger sweeping Gambar 23.2. Chest thrust

dapat dilakukan teknik 5 kali chest obstruksi dan finger sweeps maneuver
thrust di sternum, 1 jari di bawah garis untuk mengeluarkan benda asing yang
imajiner intermamae (seperti melakukan tampak pada mulut korban, namun
kompresi jantung luar untuk bayi usia jangan melakukan teknik tersebut pada
<1 tahun). Pada anak > 1 tahun yang anak yang sadar karena dapat merangsang
masih sadar dapat dilakukan teknik “gag reflex” dan menyebabkan muntah.
Heimlich maneuver yaitu korban di
depan penolong kemudian lakukan
hentakan sebanyak 5 kali dengan 4. Periksa napas
menggunakan 2 kepalan tangan di Jika obstruksi telah dikeluarkan maka
antara prosesus xifoideus dan umbilikus periksa apakah korban bernapas atau tidak,
hingga benda yang menyumbat dapat lakukan dalam waktu < 10 detik,
dikeluarkan, sedangkan pada anak yang dengan cara :
tidak sadar dilakukan teknik Abdominal  Lihat gerakan dinding dada dan perut
thrusts dengan posisi korban terlentang (Look)
lakukan 5 kali hentakan dengan
menggunakan 2 tangan di tempat seperti  Dengarkan suara napas pada hidung
melakukan teknik Heimlich maneuver . dan mulut korban (Listen)
Kemudian buka mulut korban, lakukan  Rasakan hembusan udara pada pipi
cross finger maneuver untuk melihat adanya (Feel)
Gambar 23.3. Heimlich maneuver Gambar 23.4 Abdominal thrush

Korban yang mengalami gasping (megap- mendapatkan 2 kali napas efektif. Hal itu
megap/napas yang agonal atau napas tidak dapat dilihat dengan adanya
efektif), maka anggap korban tersebut pengembangan dinding dada. Bila dada
tidak bernapas. tidak mengembang reposisi kepala
korban agar jalan napas dalam
5. Berikan Bantuan Napas keadaan terbuka.
Lakukan 5 kali bantuan napas untuk Teknik bantuan napas pada bayi dan
anak berbeda, hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan bag valve mask
ventilation atau tanpa alat yaitu: pada bayi
dilakukan teknik: mouth-to-mouth-and-
nose, sedangkan pada anak menggunakan
teknik mouth-to-mouth.

6. Periksa Nadi
Selanjutnya periksa nadi, pada bayi
pemeriksaan dilakukan pada arteri
brakhialis sedangkan pada anak dapat
dilakukan pada arteri karotis ataupun
femoralis. Pemeriksaan nadi ini ≤ 10
detik. Jika nadi >60 kali/menit namun
tidak ada napas spontan atau napas
tidak efektif, maka lakukan pemberian
Gambar 23.5. Look-Listen-Feel dengan manuver Head-
napas sebanyak 12-20 kali napas/menit,
Tilt Chin-Lift
sekali napas buatan 3-5 detik hingga
korban bernapas dengan spontan, napas
yang efektif akan tampak dada korban
akan mengembang.
Gambar 23.6. ventilasi Tekanan Positif

7. Kompresi Jantung chest compression technique) Satu jari di


luar
Jika nadi < 60 kali/menit dan tidak ada
napas atau napas tidak adekuat, maka
lakukan kompresi jantung luar. Pada bayi
dan anak terdapat perbedaan teknik
yaitu pada bayi dapat dilakukan teknik
kompresi di sternum dengan dua jari
(two-finger
bawah garis imajiner intermamae atau
two thumb-encircling hands technique yang
direkomendasikan jika didapatkan dua
penolong.
Pada anak kompresi jantung luar dilakukan
dengan teknik kompresi pada setengah
bagian bawah sternum dengan satu atau
kedua telapak tangan tapi tidak menekan
prosesus xypoid ataupun sela iga.
Kompresi dilakukan harus dengan baik
yaitu:
 “Pushhard”:Kedalamankompresiberkisar
1/3 - 1/2 diameter anteroposterior
dada
Gambar 23.7. Periksa nadi brachialis
 “Push fast”: Kecepatan kompresi 100
kali/menit
 ”Release completely”: Lepaskan tekanan
hingga dada dapat mengembang
penuh
 Minimalisasi interupsi pada saat
melakukan kompresi dada
Resusitasi jantung paru pada anak
yang dilakukan oleh satu penolong
dilakukan 5 siklus selama 2 menit,
setiap siklusnya
terdiri dari 30 kali kompresi jantung luar hanya terdapat satu penolong. Kesulitan
dan 2 kali bantuan napas, sedangkan jika yang biasa didapatkan adalah keterlambatan
terdapat dua penolong maka kompresi dalam melakukan resusitasi jantung paru
jantung luar dilakukan 15 kali dan 2 dikarenakan terlalu lama dalam menilai
kali bantuan napas. kesadaran dan
Kemudian evaluasi tindakan setelah dua
menit atau 5 siklus resusitasi jantung
Mutiara bernas
paru, Nilai kembali kondisi korban.
Evaluasi nadi, jika nadi tidak ada atau < Langkah-langkah BHD berdasarkan AHA,
60 x/menit, maka resusitasi jantung 2005:
paru dilanjutkan. Jika nadi > 60 • Tentukan kesadaran
x/menit, evaluasi napas, jika napas tidak
ada atau tidak adekuat lakukan napas • Minta pertolongan (aktifkan Emergency
buatan lanjutan sebanyak 12-20 x/ Medical Service)
menit. Selain itu evaluasi juga kesadaran, • Posisi korban telentang, menggunakan
warna kulit, dan pupil. Lakukan alas keras dan datar
resusitasi jantung paru tersebut hingga • Bebaskan jalan napas
bantuan hidup lanjut diberikan.
• Evaluasi napas dengan Look, Listen,
and Feel. Bila megap-megap atau tidak
Pada bulan November tahun 2010, AHA napas, beri napas buatan 5 kali untuk
mempublikasikan petunjuk terbaru mengenai mendapatkan 2 kali napas efektif
resusitasi dan kegawatan kardiovaskular dalam
American Heart Association (AHA) guidelines • Evaluasi nadi, bila tidak ada nadi
2010. Bantuan hidup dasar merupakan atau < 60 kali/menit, lakukan resusitasi
tindakan yang dilakukan dengan asumsi saat jantung paru
kejadian

Gambar 23.8. RjP pada bayi


A B C

Gambar 23.9. RjP pada anak

pernapasan penderita. Oleh karena itu langkah


BHD mengalami perubahan sebagai berikut: dan menghindari pemberian ventilasi
ketika melihat korban megap-megap atau berlebihan.
tampak tidak bernapas, lakukan evaluasi 3. Saat satu penolong melakukan kompresi
nadi. Bila nadi tidak teraba atau < 60 dada dan penolong kedua melakukan
x/menit, lakukan resusitasi jantung paru ventilasi, penolong yang lain menyiapkan
selama 5 siklus atau 2 menit. Namun monitor/defibrillator, mencari akses perifer
demikian evaluasi setelah melakukan RJP dan menyiapkan obat-obatan.
sama seperti AHA, 2005. Untuk mencapai 4. Perbaikan sirkulasi setelah tindakan
keberhasilan tindakan resusitasi tersebut resusitasi dapat dipantau menggunakan
diperlukan hal-hal di bawah ini:
Tekanan end-tidal CO2 (PETCO2). Alat ini
1. Kompresi dada harus segera dilakukan oleh juga dapat digunakan untuk
satu penolong, sementara penolong mengevaluasi kualitas kompresi dada.
kedua menyiapkan peralatan untuk
ventilasi. Ventilasi sangat penting untuk
pasien anak- anak karena pada anak-anak
mudah terjadi henti napas, tetapi untuk
Mutiara bernas
memberikan ventilasi memerlukan Perbedaan Bantuan Hidup Dasar
waktu untuk menyiapkan alat, sehingga Berdasarkan AHA, 2005:
kompresi dada harus segera dilakukan
• Airway
tanpa menunggu pemberian ventilasi.
2. Efektivitas Resusitasi Jantung Paru • Breathing
(RJP) yang baik, yaitu: jumlah • Circulation
kompresi dada yang mencukupi (paling Berdasarkan AHA, 2010:
sedikit 100x/m), kedalaman kompresi • Circulation
yang adekuat ≥ 1/3 diameter
Anteroposterior dada atau sekitar 4 cm • Airway
pada bayi dan 5 cm pada anak, • Breathing
memberikan recoil komplit dada setelah
kompresi, interupsi minimal saat kompresi
200 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

bANTUAN hIDUP lANjUT


Laryngeal Mask Airways (LMA)
jAlAN NAPAS
Terdapat tidak cukup bukti untuk
Oropharyngeal dan merekomendasikan penggunaan LMA secara
Nasopharyngeal Airways rutin selama henti jantung. Ketika intubasi
Alat oropharyngeal dan nasopharyngeal adalah endotrakea tidak mungkin, LMA adalah satu
tambahan untuk memelihara saluran udara tambahan berarti yang bisa dilakukan oleh
yang terbuka. Oropharyngeal digunakan pada petugas berpengalaman.
korban tak sadar (dengan kata lain tanpa
refleks muntah). Pilihlah ukuran yang sesuai
Pernapasan: Oksigenasi dan ventilasi
dengan cara mengukur dari bibir sampai
angulus mandibularis. Ukuran yang terlalu buatan
kecil akan mendorong lidah ke belakang, Oksigen
sedangkan bila terlalu besar akan menutup
epiglotis sehingga dapat menghalangi jalan Gunakan 100% oksigen selama resusitasi.
napas. Nasopharyngeal akan lebih baik Monitor kadar oksigen penderita. Ketika
ditoleransi untuk korban yang masih sadar. penderita sudah stabil, menghentikan
secara bertahap jika saturasi oksigen dapat
dipertahankan baik.

Gambar 23.10. Pemasangan oropharyngeal airway


Pulse Oximetry Sementara jika korban sirkulasinya baik
tetapi tidak ada atau
Jika penderita mempunyai satu irama
perfusi, memonitor oksigen saturasi secara
kontinyu dengan pulse oxymeter karena
pengenalan klinis dari hipoksemia tidak
reliable. Pulse oximetry mungkin saja tidak
dapat diandalkan pada seorang penderita
dengan periferal lemah.
Bag-Mask Ventilation
Bag-mask ventilation sama efektifnya dengan
ventilasi melalui tabung endotrakea untuk
waktu yang singkat dan dapat lebih aman.
Dapat dilakukan pada prehospital setting,
terutama waktu transportasi yang
pendek/singkat. Ventilasi bag- mask
memerlukan pelatihan periodik tentang
bagaimana memilih ukuran mask yang
benar, membuka jalan napas, membuat segel
ketat antara masker dan wajah, ventilasi
udara dan mengkaji efektivitas ventilasi.

Tindakan pencegahan
Korban henti jantung sering mengalami
overventilated selama resusitasi. Ventilasi yang
berlebihan meningkatkan tekanan intratorakal
dan menghalangi pengembalian aliran darah,
mengurangi output jantung, aliran darah serebral,
dan gangguan perfusi jantung. Ventilasi yang
berlebihan juga menyebabkan barotrauma,
meningkatkan risiko inflasi perut, regurgitasi, dan
aspirasi. Ventilasi semenit ditentukan oleh volume
tidal dan laju ventilasi. Gunakan kekuatan
dan volume tidal yang diperlukan untuk
membuat dada mengembang dengan nyata
selama RJP. Ventilasi ditentukan oleh
perbandingan compression ventilation,
berhenti setelah 30 kompresi (1 penolong)
atau setelah 15 kompresi (2 penolong) dengan
memberikan 2 ventilasi melalui mulut ke
mulut, mulut ke masker, atau kantung masker.
Berikan setiap napas lebih dari 1 detik.
Jika sudah terpasang alat endotrakhea,
maka selama RJP lakukan ventilasi udara
dengan kecepatan dari 8 - 10 kali/menit
tanpa berhenti kompresi dada (asinkron).
kali/menit.

Dua orang penolong menggunakan


Bag- Mask Ventilation
Teknik 2 orang lebih efektif dibandingkan
ventilasi oleh satu penolong. Satu orang
menggunakan kedua tangannya untuk
membuka jalan napas dengan satu daya
dorong rahang dan masker ke wajah secara
ketat menyegel, sementara yang lain
memompa kantong ventilasi. Kedua
penolong harus mengamati dada korban
untuk memastikan dada naik.

Inflasi lambung
Inflasi lambung dapat mengganggu ventilasi
efektif dan menyebabkan regurgitasi. Untuk
Gambar 23.11. Bag-Mask Ventilation C-E position mengurangi kejadian tersebut dapat dilakukan
cara sebagai berikut:
- Hindari berlebihan memompa untuk
tidak cukup usaha pernapasannya, mencapai puncak inspirasi. Berikan
diberikan ventilasi dengan kecepatan 12-20
sesuai volume yang diperlukan untuk +3
menghasilkan pengembangan dada.
- Lakukan tekanan membrana cricoid
(sellick maneuver) pada korban yang tidak
sadar. Teknik ini dapat memerlukan satu
tambahan penolong jika tekanan cricoid
tidak bisa diterapkan oleh penolong yang
melakukan bantuan ventilasi. Hindari
tekanan berlebihan sehingga tidak merusak
trakea.
- Jika melakukan intubasi, pasang
nasogastrik atau orogastrik setelah intubasi
terpasang, untuk menghindari
terganggunya gastroesophageal
sphincter yang berisiko mengakibatkan
regurgitasi.

ventilasi melalui tabung Endotrakea


(ETT)
Endotracheal intubation pada bayi dan anak-anak
memerlukan pelatihan khusus karena anatomi
saluran napasnya berbeda dengan saluran
napas dewasa.

Ukuran Tabung Endotrakea


Diameter internal (ID) ETT untuk anak
secara kasar sama dengan ukuran kelingking
anak itu, tetapi penilaian ini mungkin saja
sulit. Rumus di bawah ini memungkinkan
penilaian tabung endotrakea tanpa balon
sesuai ukuran (ID) untuk anak-anak 1-10
tahun, sesuai dengan umur anak:

Ukuran ETT (mm ID) = [umur (tahun)/4] + 4

Penolong harus mempunyai perkirakan


ukuran tabung yang disediakan, demikian pula
ETT tanpa balon yang harus tersedia ukuran
0.5 mm lebih kecil dan 0.5 mm lebih besar
dari ukuran yang diperkirakan.
Rumus untuk penilaian ukuran ETT
dengan balon adalah sebagai sebagai berikut:

Ukuran ETT dengan balon (mm ID) = [umur (tahun)/4]


Namun demikian ukuran ETT konfirmasi ulang posisi tabung dengan cara
lebih dapat dipercaya bila berdasarkan yang benar sementara tetap melakukan
panjang badan anak. Pita resusitasi ventilasi tekanan positif:
(Broselow tape) yang berdasarkan - Perhatikan gerakan dada, apakah
panjang sangat menolong untuk simetris atau tidak. Dengarkan suara
anak-anak sampai dengan berat napas yang sama dikedua lapang paru-
kira-kira 35 kg paru, terutama bagian atas pada aksila
- Dengarkan suara insufflation lambung di
perut (seharusnya jika tabung pada
Verifikasi dari pemasangan tabung posisi yang tepat tidak akan terdengar)
Endotrakea
- Gunakan suatu alat untuk mengevaluasi
Terdapat satu risiko tinggi bahwa penempatan. Lihat udara CO2 yang
ETT salah diletakkan (ditempatkan di dihembuskan
kerongkongan atau dalam pharynx - Periksa saturasi oksigen dengan pulse
diatas pita suara), terutama ketika oxymeter
penderita bergerak. tidak ada teknik
- Jika masih tidak pasti, lakukan laryngoscopy
tunggal sebagai acuan, termasuk
langsung dan perhatikan apakah tabung
tanda klinis atau adanya uap air di
masuk antara pita suara
tabung, sehingga penolong harus
menggunakan kajian klinis dan - Di rumah sakit lakukan radiografi dada
konfirmasi untuk memverifikasi untuk memverifikasi bahwa tabung berada
penempatan yang sesuai, segera setelah di posisi yang benar
intubasi, selama transportasi dan ketika Setelah mengamankan tabung,
bergerak. pertahankan posisi kepala dalam satu
Segera setelah intubasi, kedudukan netral; posisi fleksi mendorong
tabung lebih jauh dari saluran udara, dan posisi diberikan untuk mendapatkan RJP dengan
terlalu ekstensi akan mendorong tabung ke luar kualitas yang baik.
dari saluran udara. Jika satu kondisi
penderita yang diintubasi memburuk, Ketika RJP diberikan, tentukan
pertimbangkan kemungkinan berikut irama jantung anak melalui EKG atau jika
(DOPE): menggunakan AED, alat tersebut akan
memberitahu apakah iramanya shockable
- D: Dislodge, salah posisi tabung dari trakea (Ventrikel Fibrilasi (VF)/Ventrikel Takikardia
- O: Obstruction dari tabung oleh karena (VT) tanpa nadi) atau non-shockable
banyak sekret (asistol/ Pulseless Electrocardiography
- P: Pneumotoraks Activity=PEA). Terkadang diperlukan
- E: Equipment failure, kegagalan peralatan penghentian kompresi dada sementara
misalnya tabung endotrakea terlipat untuk menentukan irama jantung anak
yang terlihat di EKG. Asistol dan bradikardia
dengan pelebaran komplek QRS sering
Pemantauan End-tidal CO2 terlihat pada henti asfiksia.
Untuk mengkonfirmasi posisi ETT pada
neonatus, bayi dan anak di semua tempat Irama jantung non-shockable (Asistol/PEA)
dan selama pemindahan pasien baik itu di
dalam rumah sakit atau diantara rumah PEA adalah aktivitas elektrik terorganisasi,
sakit, AHA merekomendasikan pemakaian biasanya lambat, dengan pelebaran komplek
kapnografi untuk mendeteksi CO2 yang QRS, tanpa teraba nadi. Meskipun PEA
dikeluarkan. Bila terdapat perubahan warna jarang terjadi, tetapi dapat ditemukan
atau timbulnya gelombang pada kapnografi, gangguan curah jantung mendadak dengan
berarti posisi ETT sudah berada pada jalur irama yang awalnya normal tetapi nadi tidak
nafas. Penggunaan kapnografi tidak dapat teraba dan perfusi yang buruk.
menyingkirkan kesalahan posisi ETT yang Langkah algoritme untuk asistol dan PEA:
terletak pada bronkus.  Lanjutkan RJP dengan sesedikit
mungkin interupsi saat kompresi.
Nadi tak teraba (pulseless arrest) Penolong kedua mencari akses vaskuler
dan memberikan epinefrin 0,01mg/kg
Jika anak didapatkan tidak berespon dan (0,1mL/kg larutan 1:10.000) maksimum
tidak bernafas, segera minta pertolongan 1 mg (10 mL larutan 1:10.000),
untuk mendapatkan defibrilator dan mulai sementara RJP dilanjutkan. Epinefrin
melakukan RJP (sambil diberikan oksigen, dengan dosis yang sama diulang tiap 3
bila tersedia). Pasang monitor EKG atau sampai 5 menit. Tidak ada manfaat
Automated External Defibrillator (AED) pads pemberian epinefrin dosis tinggi dan
segera setelah tersedia. Sambil melakukan mungkin berbahaya terutama
resusitasi, tekanan harus
Gambar 23.12. Pulseless Electrocardiography Activity (PEA)
pada asfiksia. Dosis tinggi epinefrin
dapat dipertimbangkan pada keadaan
khusus seperti overdosis beta bloker
 Bila telah diberikan bantuan jalan nafas
lanjut, satu penolong harus memberikan
kompresi dada dengan kecepatan minimal
100x per menit tanpa terhenti untuk
ventilasi. Penolong kedua memberikan
ventilasi dengan kecepatan 1x nafas tiap
6 sampai 8 detik (sekitar 8 sampai 10x
nafas per menit). Penolong yang
memberikan kompresi berganti setiap 2
menit untuk mencegah kelelahan dan
perburukan kualitas dan kecepatan Gambar 23.13. ventrikel takikardia (vT)
kompresi dada. Periksa irama jantung
tiap 2 menit dengan meminimalisasi
interupsi kompresi dada. Bila irama
nonshockable lanjutkan siklus RJP dan
pemberian epinefrin sampai terbukti
terjadi ROSC atau kita memutuskan
menghentikan resusitasi. Bila irama Gambar 23.14. Ventrikel fibrilasi (VF)
jantung berubah menjadi shockable
berikan 1x defibrilasi dan segera kompresi Penggabungan antara defibrilasi dengan
dada ulang selama 2 menit sebelum rangkaian resusitasi:
memeriksa kembali irama jantung  Lakukan RJP sampai defibrilator siap
 Mencari penyebab terjadinya gangguan untuk dilakukan defibrilasi. Setelah
irama jantung dilakukan defibrilasi, ulangi RJP, dimulai
dengan kompresi dada. Kompresi dada
hanya boleh diinterupsi untuk
Irama jantung shockable (vf/vT tanpa nadi)
melakukan ventilasi, periksa irama
Defibrilasi merupakan terapi definitif untuk jantung, dan berikan defibrilasi. Bila
VF dengan angka keberhasilan 17-20%. masih terdapat irama defibrilasi,
Kemungkinan bertahan hidup lebih baik lanjutkan kompresi dada setelah
pada keadaan VF primer daripada sekunder. memeriksa irama jantung, sambil
Kemungkinan bertahan hidup akan lebih defibrillator tetap terhubung dengan listrik
baik bila dilakukan lebih dini, RJP kualitas  Berikan satu kali defibrilasi (2 J/kg)
baik dengan interupsi minimal. secepatnya dan segera melakukan RJP,
Outcome pemberian defibrilasi akan lebih dimulai dengan kompresi dada. Bila 1x
baik jika penolong meminimalisir waktu antara defibrilasi gagal untuk mengeliminasi VF,
kompresi terakhir dan pemberian defibrilasi, pemberian defibrilasi ulang dosis rendah
jadi penolong harus siap untuk mengkoordinasi tidak akan memberikan manfaat, sehingga
dalam mengurangi interupsi antara kompresi tindakan RJP lanjutan akan memberikan
dada dengan pemberian defibrilasi dan harus hasil yang lebih baik daripada pengulangan
kembali kompresi dada secepatnya setelah defibrilasi . RJP dapat memperbaiki perfusi
pemberian defibrilasi. koroner, meningkatkan kemungkinan
defibrilasi dengan defibrilasi selanjutnya.
Dosis energi
Sangat penting untuk mengurangi jarak
waktu antara kompresi dada dengan Pada anak dengan VF dosis inisial monofasik 2
pemberian defibrilasi dan antara defibrilasi J/kg hanya efektif menghentikan VF 18-50%,
dengan kompresi dada selanjutnya dengan dosis yang sama menggunakan defibrilasi
 Lanjutkan RJP selama 2 menit. Setelah listrik bifasik efektif menghentikan VF 48%.
RJP selama 2 menit, periksa kembali irama Anak-anak dengan henti jantung VF yang
jantung, isi ulang defibrilator dengan dosis berada di luar rumah sakit sering mendapat
yang lebih tinggi (4 J/kg) lebih dari 2 J/kg, oleh karena itu dilakukan di
rumah sakit untuk anak-anak dengan VF
 Jika timbul irama shockable berikan satu
memperlihatkan ROSC pada pemberian dosis
kali defibrilasi lagi (4 J/kg). Jika timbul
energi antara 2,5 dan 3,2 J/kg. Dosis energi >
irama nonshockable, lanjutkan dengan
4 J/kg (maks 9 J/kg) efektif dalam
algoritme asistol/PEA
mendefibrilasi VF.
 Segera lakukan kompresi dada ulang.
Inisial dosis 2-4 J/kg dapat diberikan,
Lanjutkan RJP selama 2 menit. Selama
tetapi untuk memudahkan pengajaran dosis
RJP berikan epinefrin 0,01 mg/kg (0,1
inisial lebih dari 2 J/kg dapat dipertimbangkan.
ml/kg larutan 1:10.000), maksimal 1 mg
Untuk VF refrakter, sangat dianjurkan untuk
setiap 3 sampai 5 menit
meningkatkan dosis sampai 4 J/kg dan kadar
 Periksa irama jantung. Bila timbul irama energi yang tinggi dapat dipertimbangkan,
jantung shockable, lakukan defibrilasi lagi tetapi tidak boleh lebih dari 10 J/kg atau
(4 J/kg atau dosis maksimum 10 J/kg) melebihi dosis maksimal dewasa.
dan segera lakukan RJP
 Saat melakukan RJP, berikan amiodaron
atau lidokain bila amiodarone tidak bradikardia
tersedia Terapi emergensi bradikardia dapat dilakukan
 Jika timbul irama nonshockable, lanjutkan ke bila masih terdapat kompromi hemodinamik:
algoritme pulseless arrest  Pertahankan jalan nafas, berikan nafas dan
 Setelah jalur nafas lanjutan terpasang, 2 sirkulasi. Berikan oksigen, pasang monitor
penolong tidak lagi memerlukan siklus RJP. EKG/defibrilator dan cari akses vaskuler
Sebagai gantinya, penolong yang  Nilai ulang pasien untuk menentukan
melakukan kompresi memberikan apakah pasien masih bradikardia dan
kompresi dada terus menerus dengan masih terjadi gangguan kardiopulmonal
kecepatan 100x per menit tanpa interupsi setelah pemberian ventilasi dan
ventilasi. Penolong yang memberikan oksigenasi yang adekuat
ventilasi memberikan 1x nafas setiap 6-8  Jika nadi, perfusi, dan respirasi adekuat,
detik (8-10x nafas per menit). Dua atau tidak diperlukan tindakan emergensi.
lebih penolong harus melakukan rotasi Pasien tetap diobservasi
kompresi setiap 2 menit untuk
 Bila nadi < 60 kali permenit dengan
mencegah kualitas kompresi yang buruk
perfusi yang buruk setelah ventilasi
dan mencegah kelelahan
efektif dengan oksigen, mulai RJP
 Jika timbul ROSC, periksa nadi anak
 Setelah 2 menit evaluasi ulang pasien
untuk menentukan apakah sudah timbul
untuk menentukan apakah bradikardia
perfusi yang baik. Bila nadi timbul,
dan tanda kompromi hemodinamik masih
dilanjutkan dengan perawatan post
ada. Pastikan pendukung resusitasi lain
resusitasi
tetap adekuat
 Lanjutkan untuk mempertahankan jalan kestabilan hemodinamik pasien.
nafas, ventilasi, oksigenasi dan kompresi
dada. Jika bradikardia menetap atau
respons hanya sementara, berikan
epinefrin IV 0,01 mg/kg (0,1ml/kg larutan
1:10000) atau jika tidak terdapat akses
vena, berikan secara endotrakeal 0,1
mg/kg (0,1 ml/kg larutan 1:1000)
 Bila bradikardia terjadi karena
peningkatan tonus vagal atau primer
blok konduksi AV, berikan IV atropine
0,02 mg/kg atau jika tidak terdapat
akses vena melalui endotrakeal dengan
dosis 0,04 – 0,06 mg/kg
 Pacing transkutaneus dapat menyelamatkan
hidup jika bradikardia disebabkan blok
jantung komplit atau disfungsi sinus node
yang tidak responsif terhadap ventilasi,
oksigenasi, kompresi dada dan obat-obatan,
terutama jika berhubungan dengan penyakit
jantung kongenital atau didapat. Pacing
tidak bermanfaat untuk asistol atau
bradikardia yang disebabkan
hipoksia/iskemia jantung atau karena
gagal nafas

Takikardia
 Jika terdapat tanda perfusi yang buruk
dan nadi tidak teraba, lanjutkan
dengan algoritme pulseless arrest
 Jika nadi teraba dan pasien memiliki
perfusi yang adekuat:4
- Nilai dan pertahankan jalan nafas, berikan
nafas dan sirkulasi
- Berikan oksigen
- Pasang monitor/defibrillator
- Cari akses vaskuler
- Evaluasi EKG 12 lead dan nilai durasi
QRS

Takikardia supraventrikuler (SvT)


 Monitor irama jantung selama terapi untuk
mengevaluasi efek dari intervensi.
Pilihan terapi ditentukan oleh derajat
 Lakukan stimulasi vagal, kecuali J/kg. Jika kardioversi kedua tidak
bila keadaan hemodinamik berhasil atau takikardia semakin cepat,
tidak stabil atau prosedur akan pertimbangkan pemberian amiodaron
memperlambat tindakan atau prokainamid sebelum diberikan
kardioversi. Pada bayi dan anak, kardioversi ketiga
dapat diberikan es ke wajah tanpa  Berikan amiodaron 5 mg/kg IV atau
mengganggu jalan nafas. prokainamid 15 mg/kg IV untuk pasien
 Pada anak yang lebih besar, dapat dengan SVT yang tidak responsif terhadap
dilakukan pemijatan sinus karotis manuver vagal dan adenosine
atau manufer valsava. ataukardioversi elektrik. Untuk pasien
 Kardioversi farmakologi dengan dengan hemodinamik stabil, sangat
adenosine sangat efektif dengan direkomendasikan untuk konsultasi ke
efek samping minimal dan ahli jantung. Amiodaron dan prokainamid
sementara. Jika akses intravena dapat diberikan secara infus perlahan
tersedia, adenosine merupakan (amiodaron selama 20-60 menit dan
obat pilihan, efek samping biasanya prokainamid selama 30-60 menit),
sementara. Pemberian adenosine tergantung kedaruratannya, sementara EKG
0,1 mg/kg diberikan dengan bolus dan tekanan darah tetapi diobservasi. Jika
0,5ml normal salin. tidak ada efek dan tidak ada tanda-
tanda toksisitas berikan dosis tambahan
 Jika pasien secara hemodinamik
tidak stabil atau jika adenosine
tidak efektif, berikan sinkronisasi Takikardia dengan komplek QRS melebar
kardioversi. Gunakan sedasi jika
Takikardia dengan komplek QRS melebar sering
memungkinkan. Mulai dengan
berasal dari ventrikel (ventrikuler takikardia)
dosis 0,5 sampai 1 J/kg. Jika tidak
tetapi dapat juga berasal dari supraventrikuler.
berhasil, dosis ditambah menjadi 2
 Adenosin harus dipertimbangkan hanya kapnografi atau kapnometri yang terus
jika irama jantung regular dan komplek menerus, jika tersedia, memberikan
QRS monomorfik. Jangan gunakan keuntungan selama resusitasi jantung paru
adenosine pada pasien dengan takikardia (RJP) terutama untuk melihat efektivitas
komplek QRS melebar kompresi dada.
 Pertimbangkan kardioversi setelah sedasi
menggunakan dosis energi mulai 0,5
sampai
1 J/kg. Jika tidak berhasil, naikkan dosis
menjadi 2 J/kg
 Pertimbangkan konversi farmakologi dengan
amiodaron (5 mg/kg selama 20 sampai 60
menit) atau prokainamid (15 mg/kg
selama
30 sampai 60 menit) sambil dilakukan
pemantauan EKG dan tekanan darah.
Hentikan atau perlambat kecepatan infus
bila terdapat penurunan tekanan darah
atau komplek QRS semakin melebar. Pada
pasien dengan keadaan hemodinamik
tidak stabil berikan kardioversi energi mulai
0,5 sampai 1 J/kg. Jika gagal, naikkan dosis
menjadi 2 J/kg

Takikardia dengan kompleks QRS


sempit:
Evaluasi 12 lead EKG dan presentasi klinis
pasien, bedakan antara sinus takikardia dengan
supraventrikular takikardia.

Perbedaan AhA 2010 dengan AhA


2005
Pemantauan CO2
AHA 2010 merekomendasikan untuk
mendeteksi CO2 yang dikeluarkan
(kapnografi atau kalorimetri) sebagai
penilaian klinis untuk mengkonfirmasi posisi
Endotracheal tube (ETT) pada neonatus,
bayi dan anak-anak dengan perfusi irama
jantung disemua tempat baik itu di
pelayanan primer, emergensi, ruang
perawatan intensif ataupun ruang operasi
dan selama pemindahan pasien diantara
tempat- tempat tersebut. Pemantauan
Pemantauan CO2 yang dikeluarkan dosis inisial 2 J/kg masih dapat digunakan.
(kapnografi atau kalorimetri) secara umum Untuk VFyangrefrakter, sangat dianjurkan
mengkonfirmasi posisi penempatan ETT di untuk meningkatkan dosis, kadar energi
saluran pernafasan dan lebih cepat untuk lanjutan yang diberikan setidaknya 4 J/kg atau
mengetahui adanya kesalahan posisi ETT lebih, tapi tidak boleh lebih dari 10J/ kg atau
yang terpasang daripada pemantauan saturasi dapat dipertimbangkan dosis maksimum
oksihemoglobin. Karena perpindahan dewasa.
pasien sering menyebabkan perpindahan Data yang lebih banyak diperlukan
posisi ETT maka pemantauan CO2 yang untuk menentukan dosis energi optimal
dikeluarkan sangat penting untuk untuk defibrilasi anak-anak. Beberapa
menghindari keadaan ini. Pada percobaan sumber yang terbatas memperlihatkan energi
yang dilakukan terhadap binatang dan orang efektif atau maksimum untuk defibrilasi pada
dewasa didapatkan korelasi kuat antara anak-anak, selain itu beberapa data
konsentrasi CO2 dengan intervensi selama memperlihatkan dosis yang lebih tinggi
RJP. PCO2 kurang dari 10-15 mmHg lebih aman dan berpotensi lebih efektif.
memperlihatkan kompresi dada kurang
optimal dan harus lebih fokus untuk
memastikan kompresi tersebut efektif. Membatasi oksigen ke kadar normal
setelah resusitasi
Dosis energi defibrilasi Ketika sirkulasi berhasil kembali normal,
kadar oksigen yang diberikan diturunkan
AHA 2010 memperbolehkan dosis secara bertahap dan dipertahankan di atas
defibrilasi inisial 2 sampai 4 j/kg, tapi untuk 94%. Setelah sirkulasi kembali normal dan
mempermudah dalam memberikan pelajaran,
saturasi diturunkan bertahap, konsentrasi fiO 2 jantung. Gunakan tekanan manual atau pompa infus
juga diturunkan bertahap untuk pada pemberian obat-obatan
menghindari hiperoksia. Kadar saturasi
oksigen 100% menunjukkan saturasi oksigen
berada di kisaran antara 80 dan 500 mmHg.
Jadi sebaiknya saturasi oksigen dipertahankan
diantara 95-100mmHg.
Hiperoksia dan risiko cedera
reperfusi dibahas secara umum di AHA
2005, tetapi tidak ada rekomendasi untuk
mempertahankan saturasi antara 95-100%
untuk mencegah cedera akibat reperfusi.

Tatalaksana takikardia
AHA 2010 menetapkan durasi QRS
memanjang bila >0,09 detik untuk anak usia
kurang dari
4 tahun dan > 0,1 detik dipertimbangkan
memanjang untuk anak usia 4 tahun dan 16
tahun, sedangkan pada AHA 2005, QRS
komplek dipertimbangkan memanjang bila >
0,08 detik.

Akses vaskular
Akses vaskular merupakan tindakan yang
penting dalam mengelola pengobatan dan
pengambilan sampeldarah. Pada
keadaandarurat akses pembuluh darah
mungkin sulit pada bayi dan anak-anak,
sedangkan intraosseous (IO) mungkin mudah
dilakukan. Batasi waktu untuk akses pembuluh
darah perifer dan jika tidak bisa dilakukan
selama 90 detik atau 3 kali berturut- turut,
lakukan akses IO.

Akses Intraosseus
Akses IO adalah satu cara cepat, aman, dan
rute efektif untuk pemberian obat dan cairan
serta mungkin digunakan untuk memperoleh
contoh darah selama resusitasi. Melalui akses
ini bisa dengan aman memberikan epinefrin,
adenosin, cairan, produk darah, dan
katekolamin. Bisa juga untuk memperoleh
spesimen darah, jenis dan crossmatch, kimia
serta analisa gas darah walaupun selama henti
kental atau bolus cepat, dan berikan
NaCl fisiologis bolus mengikuti setiap
pemberian obat untuk mencapai Cairan dan Obat Resusitasi
sirkulasi sentral. Menaksir berat badan
Di luar rumah sakit menentukan berat badan
Pemberian obat melalui ETT anak secara akurat adalah sulit. Broselow
Akses vaskular (IV atau IO) adalah Tapes dengan precalculated dose sesuai
lebih baik, tetapi jika tidak bisa panjang badannya sangat menolong dan
mendapatkan akses vaskular, maka secara klinis tervalidasi.
untuk obat yang lipid- soluble seperti
lidokain, epinefrin, atropin, dan Cairan resusitasi
nalokson (LEAN) dapat diberikan
melalui ETT, walaupun dosis optimal Gunakan cairan kristaloid isotonik
lewat ETT belum diketahui pasti. (misalnya, Ringer laktat atau NaCl
Bolus dengan 3-5 mL NaCl fisiologis fisiologis) untuk menanggulangi syok.
diikuti 5 kali ventilasi tekanan positif. Terapi bolus dengan glukosa digunakan
Jika RJP sedang berlangsung, hentikan untuk manangani hipoglikemi.
kompresi dada dengan singkat selama
pemberian obat. Pemberian obat Obat-obatan resusitasi
melalui endotrakea memberikan hasil
konsentrasi dalam darah lebih amiodaron
rendah dibandingkan dosis sama Obat ini digunakan untuk kasus supraventrikular
yang diberikan intravaskular. takikardia, fibrilasi ventrikel, atau takikardia
ventrikel tanpa nadi. Amiodaron memperlambat
konduksi AV, memperpanjang periode perlahan-lahan.
refrakter AV dan interval QT, dan
memperlambat konduksi ventrikular
(melebarkan QRS). Monitor tekanan darah
dan berikan secara pelan- pelan untuk
penderita dengan denyut nadi tetapi mungkin
saja diberikan cepat kepada penderita dengan
henti jantung atau ventricular fibrillasi (VF).
Amiodaron menyebabkan hipotensi.
Monitor EKG karena komplikasi dapat
meliputi bradikardi, blok hati jantung, dan
torsades de pointes. Berikan perhatian terutama
bila diberikan bersama dengan obat lain yang
menyebabkan perpanjangan QT seperti
procainamid. Efek kurang baik mungkin
saja berkepanjangan karena waktu-paruhnya
sampai dengan 40 hari. Dosis pemberian 5
mg/kgBB iv/io.

Atropin
Atropin sulfat adalah satu obat parasimpatolitik
yang mengakselerasi pacu jantung sinus atau
atrial dan meningkatkan konduksi AV. Obat
ini dapat digunakan untuk bradikardi
simtomatik, keracunan organofosfat atau
karbamat, atau digunakan pada saat
melakukan tindakan rapid sequence
intubation. Dosis pemberian 0,02 mg/ kgBB
iv/io, dosis minimal 0,1 mg, dosis maksimal 0,5
mg. Dosis yang lebih besar direkomendasikan
dalam keadaan khusus (misalnya keracunan
organofosfat atau terpapar gas yang
meracuni saraf).

Kalsium
Obat ini digunakan untuk hipokalsemia,
hiperkalemia, hipermagnesemia, atau overdosis
calcium channel blocker. Pemberian rutin kalsium
tidak memperbaiki hasil pada henti jantung.
Pada anak-anak sakit kritis, kalsium klorida
memiliki bioavailabilitas lebih baik
dibandingkan kalsium glukonat. Pemberian
kalsium klorida melalui kateter vena sentral
lebih disukai karena adanya risiko sklerosis
atau infiltrasi pada pemberian melalui vena
perifer. Dosis pemberian 0,2 mL/ kgBB iv/io
Epinefrin Norepinefrin
Obat ini diberikan pada keadaan henti Obat ini ditujukan untuk meningkatkan
jantung, bradikardia simtomatik yang tidak tekanan darah pada hipotensi yang tidak
berespons terhadap bantuan ventilasi, berespons terhadap resusitasi cairan,
pemberian O2, dan hipotensi yang tidak mempunyai efek  dan  adrenergik
berhubungan dengan deplesi volume (dominan 1 adrenergik). Dosis 0,05
cairan. Efek Vasokontriksi epinefrin melalui µg/kgBB/menit ditingkatkan bertahap tiap
– adrenergik meningkatkan tekanan diastol 15 menit sampai 0,15 µg/kgBB/ menit iv
dan selanjutnya tekanan perfusi koroner. kontinu.
Efek -adrenergik meningkatkan
kontraktilitas miokardium dan denyut jantung.
Dopamin
Pemberian lebih disukai melalui sirkulasi
sentral, sehubungan dengan kemungkinan Berfungsi sebagai obat inotropik untuk
dapat terjadi iskemik lokal, tauma jaringan, mengatasi curah jantung rendah persisten
dan ulserasi akibat infiltrasi ke jaringan. yang refrakter terhadap terapi cairan. Dapat
Jangan dicampur dengan natrium bikarbonat digunakan untuk hipotensi dengan perfusi
karena larutan alkali dapat menyebabkan perifer yang buruk, atau syok. Efek samping
inaktivasi. Epinefrin dapat menyebabkan yang mungkin timbul adalah takiaritmia.
takikardi, ektopi ventrikuler, takiaritmia, Dosis pemberian 2-20 µg/ kgBB/menit iv
hipertensi dan vasokontriksi. Dosis/ kgBB (0,1 kontinu.
mL/kgBB larutan 1:10.000) iv/io. Bila
diberikan melalui ETT 0,1 mg/kgBB (0,1 Dobutamin
mL/ kgBB larutan 1:1.000).
Merupakan obat inotropik dengan efek minimal
210 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

terhadap denyut jantung dan vasokonstriksi anak.


perifer. Obat ini juga dapat menyebabkan
takiaritmia. Dosis pemberian 5-20 µg/kgBB/
menit iv kontinu.

Glukosa
Bayi mempunyai kebutuhan glukosa yang tinggi
dan penyimpanan glukosa yang rendah,
sehingga dapat berkembang menjadi
hipoglikemia ketika kebutuhan energi
meningkat. Pemantauan kadar gula darah
selama dan setelah henti jantung dan
mengatasi hipoglikemi dengan segera. Dosis
pemberian 0,5 g/kgBB Dekstrose 25% (D25%
2 mL/kgBB) atau 5 mL/kgBB Dektrose 10%
iv/io.

lidokain 2%
Obat ini berguna untuk fibrilasi/takikardia
ventrikel simtomatik. Lidokain mengurangi
dan mensupresi aritmia ventrikel. Toksisitas
lidokain termasuk depresi miokard dan
sirkulasi, mengantuk, disorientasi, kontraksi
otot, dan kejang terutama penderita dengan
cardiac output yang buruk dan gagal hati atau
gagal ginjal, sehingga perlu penggunaan yang
hati-hati. Dosis 1 mg/kgBB iv/io.

Natrium bikarbonat
Pemberian rutin natrium bikarbonat tidak
terbukti meningkatkan keluaran resusitasi.
Setelah melakukan ventilasi efektif dan
kompresi dada serta memberikan epinefrin,
dapat dipertimbangkan pemberian natrium
bikarbonat untuk henti jantung yang lama.
Pemberian natrium bikarbonat dapat
digunakan untuk penanganan beberapa kasus
keracunan atau pada situasi resusitasi
khusus.
Pemberian natrium bikarbonat berlebihan
dapat menghambat penyampaian oksigen
jaringan, menyebabkan hipokalsemia,
hipernatremia dan hiperosmolaritas, dan
memperburuk fungsi jantung. Dosis 0,5 mEq/
kgBB iv pada bayi dan 1 mEq/kgBB iv pada
Resusitasi Jantung Paru pada Bayi dan Anak211
Resusitasi pada Kondisi Khusus dengan jaw trush, dan jangan
memiringkan kepala. Oleh karena
Trauma disproporsional ukuran kepala bayi dan
Beberapa aspek resusitasi pada anak-anak, posisi optimal oksiput atau
trauma memerlukan perhatian khusus mengangkat batang tubuh untuk
karena tindakan resusitasi yang tidak menghindari backboard-induced fleksi servikal
benar dan adekuat menjadi penyebab - Pada kasus trauma kepala, Intentional
keadaan fatal. Kesalahan umum pada brief hyperventilation dapat digunakan
resusitasi trauma pediatrik adalah sebagai tindakan sementara mengamati
kegagalan untuk membuka dan tanda herniasi otak (misalnya, kenaikan
memelihara jalan napas, kegagalan tiba-tiba tekanan intrakranial, dilatasi
untuk melakukan resusitasi cairan, pupil tanpa reaksi cahaya, bradikardi,
dan kegagalan untuk mengenali serta hipertensi)
mengatasi perdarahan internal. - Kecurigaan trauma dada pada semua
Libatkan dokter bedah trauma torakoabdominal, meskipun tidak
berpengalaman sejak awal, dan jika ada luka luar. Tension pneumotoraks,
mungkin, mengangkut anak dengan hemotoraks, atau memar berkenaan
trauma multisistem ke suatu pusat dengan paru-paru dapat mengganggu
trauma dengan keahlian pediatrik. pernapasan.
Berikut adalah aspek khusus - Jika penderita mempunyai trauma
resusitasi trauma: maksilofasial atau jika mencurigai
- Ketika mekanisme trauma fraktur basal tengkorak, pasang
melibatkan tulang belakang, orogastric tube dibandingkan
batasi gerakan servikal tulang nasogastric tube.
belakang dan hindari traksi atau - Terapi syok dengan bolus 20 mL/kgBB
gerakan kepala dan leher. Buka cairan kristaloid isotonik (misalnya, NaCl
dan pertahankan jalan napas fisiologis
atau ringer laktat). Berikan bolus Tapi jika kehadiran anggota keluarga
tambahan (20 mL/kgBB) jika perfusi merugikan proses resusitasi, mereka harus
sistemik tidak meningkat. Jika syok diminta meninggalkan tempat resusitasi.
berlangsung setelah pemberian 40 - 60
mL/kg kristaloid, berikan
10 -15 mL/kgBB darah. Jika mungkin,
hangatkan darah sebelum pemberian.
- Pertimbangkan trauma intraabdominal,
tension pneumotoraks, tamponade
perikardial, cedera sumsum tulang pada
bayi dan anak-anak, dan perdarahan
intrakranial pada bayi dengan tanda
syok.

Stabilisasi Pasca Resusitasi


Tujuan dari perawatan pasca resusitasi
adalah memelihara fungsi otak, menghindari
kerusakan sekunder dari organ lain,
mendiagnosis dan mengobati penyebab
penyakit, serta memungkinkan penderita
untuk tiba di tempat pelayanan kesehatan
anak dalam keadaan fisiologis yang optimal.
Perlu dilakukan penilaian kembali fungsi
kardiorespirasi karena keadaan dapat
memburuk.

Kehadiran Keluarga Selama Resusitasi


Sebagian besar anggota keluarga ingin hadir
selama resusitasi. Orangtua dan perawat
anak- anak dengan penyakit kronis sering
mengetahui dan merasa nyaman dengan
peralatan medis dan prosedur di ruang gawat
darurat. Anggota Keluarga dengan tanpa
latar belakang medis mengatakan bahwa
berada di sisi orang yang dicintai dan
mengatakan selamat jalan pada akhir
hidupnya memberi rasa nyaman.
Standar pengujian psikologis meyakinkan
bahwa, dibandingkan dengan tidak hadir,
anggota keluarga yang hadir saat resusitasi
lebih sedikit mengalami kecemasan dan
depresi dan lebih tenang. Keluarga atau
anggota keluarga sering tidak bertanya,
sehingga pelayanan kesehatan harus
menawarkan kesempatan jika memungkinkan.
Anggota tim resusitasi harus sensitif pada dasar terutama jika sirkulasi tidak dapat
kehadiran anggota keluarga, dan satu orang kembali normal.
harus ditugaskan untuk memberi
kenyamanan, menjawab pertanyaan, dan
mendiskusikan kebutuhan keluarga. KESIMPUlAN
Resusitasi Jantung Paru dilakukan untuk
Penghentian Upaya Resusitasi mempertahankan pernafasan dan sirkulasi
Sayangnya belum ada prediktor yang baik serta agar oksigenasi dan darah dapat mengalir
untuk menentukan kapan saatnya ke jantung, otak, dan organ vital lainnya.
menghentikan upaya resusitasi. Pada kasus Tindakan RJP harus dilakukan pada korban
terjadi anak yang tidak sadarkan diri dan yang tidak sadar, tidak bernafas dan tidak
dilakukan resusitasi kardiopulmonal maka ada nadi. Tindakan ini dapat dilakukan tanpa
waktu antara kejadian dan kedatangan atau dengan alat dan obat resusitasi.
bantuan yang profesional meningkatkan Tindakan ini merupakan tindakan
keberhasilan resusitasi. yang sangat emergensi dalam membantu
Resusitasi jantung paru dapat menyelamatkan jiwa, terdapat beberapa teknik
diakhiri jika sirkulasi telah kembali normal, yang berbeda pada bayi dan anak, begitu pula
dan korban dapat bernapas secara rekomendasi mengenai tatalaksana resusitasi
spontan, atau jika sirkulasi tidak dapat jantung paru, namun pada dasarnya semuanya
kembali dengan kegagalan terhadap tindakan bertujuan untuk mengembalikan pernafasan
bantuan hidup dasar dan bantuan hidup dan sirkulasi korban, hingga mengurangi
lanjut. Usaha resusitasi dapat dihentikan gangguan organ vital dan kematian yang
setelah 30 menit tindakan bantuan hidup mungkin terjadi.
DAfTAR PUSTAKA arrest. Dalam: Levin DL, Morris FC, Moore
1. American Heart Association Guideline GC, penyunting. A practical guide to pediatric
Resuscitation (CPR) and Emergency intensive care. Edisi ke-2. Toronto: Mosby
Cardiovascular Care (ECC) of Pediatric and Company; 1984. h. 17-34
Neonatal Patients: Pediatric Basic and 7. Nadkarni V, Berg RA. Cardiopulmonary
Advanced Life Support. Circulation. 2005. resuscitation. Dalam: Slonim AD, Pollack
2. American Heart Association Guideline MM, penyunting. Pediatric critical care
Resuscitation (CPR) and Emergency medicine. Philadelphia: Lippincott Williams
Cardiovascular Care (ECC) of Pediatric and & Wilkins; 2006. h. 235-41.
Neonatal Patients: Pediatric Basic and 8. Primm PA, Reamy RR. Cardiopulmonary
Advanced Life Support. Circulation. 2010. Resuscitation. Dalam: Strange GR, Ahrens
3. Biarent D, Bingham R, Richmond S, WR, Lelyveld S, Schafermeyer RW,
Maconochie I, Wyllie J, Simpson S, et al. penyunting. Pediatric emergency medicine.
European Resuscitation Council Guidelines for Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill; 2002.
Resuscitation 2005. Section 6. Paediatric life h. 18-27.
support. Resuscitation (2005) 67S1, S97—133 9. Schlein CL, Kulusz JW, Shaffner DH, Roger
4. Kuluz JW, Shaffner DH. Cardiopulmonary MC. Cardiopulmonary resuscitation. Dalam:
resuscitation. Dalam: Nichols DG, Yaster Rogers MC, Helfaer MA. Penyunting.
M, Lappe DG, Haller JA, penyunting. Golden Handbook of pediatric intensive care. Edisi ke-
Hour The Handbook of Advanced Pediatric 2. Philadelphia: Lippincott Williams &
Life Support. Edisi ke-2. United States of Wilkins; 1999. h. 1-42.
America: Mosby-Year Book; 1999. h. 89-121. 10. The International Liaison Committee on
5. Mathers LW, Frankel LR. Pediatric emergencies Resuscitation (ILCOR) Consensus on Science
and resuscitation. Dalam: Behrman RE, With Treatment Recommendations for
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Pediatric and Neonatal Patients: Pediatric
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Basic and Advanced Life Support. Pediatrics.
Philadelphia: WB Saunders; 2007. h. 387- 2006;117:955-77.
405. 11. Trinkaus P, Schlein CL. Physiologic Foundations
6. Morriss FC, Mast CP, Cook JD. Resuscitation of cardiopulmonary resuscitation. Dalam:
of vital organ system following Fuhrman BP, Zimmerman J, penyunting.
cardiopulmonary Pediatric critical care. Edisi ke-3.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h.
1795-818.
Tidak ada gerakan atau respon
Hubungi EMS
Siapkan AED

Satu Penolong: KOLAPS MENDADAK,


Hubungi EMS, siapkan AED

Buka JALAN NAPAS, cek


PERNAPASAN

Bila tidak bernapas, beri 5 kali napas untuk


mendapatkan 2 kali NAPAS efektif

Bila tidak ada respon, periksa nadi: PASTIKAN


nadi dengan menghitung selama 10 detik?

Beri satu kali pernapasan tiap 3 detik


Ada Nadi
Periksa ulang nadi tiap dua menit
Nadi (-)

Satu penolong: Mulai sikulus 30 KOMPRESI DADA dan 2 NAPAS.


Dorongan kuat dan cepat (100x/menit) dan lepaskan
Minimalisasi interupsi selama kompresi dada

Dua penolong: Mulai siklus 15 KOMPRESI DADA dan 2


NAPAS

Bila tidak selesai, hubungi EMS, untuk anak siapkan


AED/defibrilator Bayi (< 1 thn): lanjutkan RJP sampai petugas ALS
datang atau korban mulai bergerak Anak (> 1 thn): Lanjutkan RJP,
gunakan AED/defibrilator setelah 5 siklus RJP. Gunakan AED
begitu tersedia untuk kolaps mendadak dengan saksi

Periksa ritme jantung Dapat


diberikan defibrilasi?

Tidak dapat
diberikan
Dapat defibrilasi
diberikan
Lanjutkan RJP sesegera mungkin untuk 5
Berikan 1 kali renjatan siklus. Periksa ritme jantung tiap 5 siklus,
Lanjutkan RJP untuk 5 lanjutkan hingga petugas ALS mengambil
alih atau korban mulai bergerak

Gambar 23.15. Algoritma bantuan hidup Dasar pada Anak


dikutip dari:AHA, 2005 (dengan modifikasi)
Tidak berespon
Tidak bernapas atau megap-megap Panggil
seseorang untuk mengaktifkan
sistem emergensi, siapkan AED/defibrilator

Satu Penolong: KOLAPS MENDADAK,


aktifkan sistem emergensi, siapkan
AED/defibrilator

Ada
Periksa nadi: PASTIKAN nadi dengan Nadi Beri satu kali pernapasan
menghitung selama 10 detik? tiap 3 detik
Kompresi dada bila nadi
< 60 kali/menit dengan
perfusi buruk disertai dengan
oksigenasi dan ventilasi
Nadi (-) adekuat
Periksa ulang nadi tiap dua
menit

Satu penolong: Mulai siklus 30 KOMPRESI DADA dan 2 NAPAS


Dua penolong: Mulai siklus 15 KOMPRESI DADA dan 2 NAPAS

Setelah 2 menit, aktivasi sistem respon


emergensi dan siapkan AED/defibrilator (bila
belum disiapkan) Gunakan AED sesegera mungkin
setelah tersedia

Periksa ritme jantung Dapat


diberikan defibrilasi?

Tidak dapat
Dapat diberikan diberikan
defibrilasi
defibrilasi

Berikan 1 kali renjatan Lanjutkan RJP sesegera mungkin Periksa


Lanjutkan RJP selama 2 ritme jantung tiap 2 menit,
lanjutkan hingga petugas ALS mengambil
menit alih atau korban mulai bergerak

Catatan: Kotak dengan tepi terputus-putus diperuntukkan dilakukan oleh petugas kesehatan,
bUKAN oleh penolong ditempat.

Gambar 23.16. Algoritma bantuan hidup Dasar pada Anak


Dikutip dari:AHA, 2010 (dengan modifikasi)
24 Prosedur jalan Napas
Elisa

dalam hal survival (30% vs 26%) atau


INTUbASI ENDOTRAKEA dalam hal keluaran neurologis (23% vs 20%)
di antara kedua kelompok penelitian.
Indikasi
Indikasi intubasi endotrakea yang paling Panduan ukuran ETT
jelas adalah keadaan apnea, namun ada
beberapa indikasi lain yang perlu Ada banyak panduan yang bisa digunakan
diperhatikan, yaitu: untuk memastikan ukuran ETT yang akan
dipasang. Panduan yang umum dipakai adalah
 Kontrol sistem saraf pusat terhadap berdasarkan umur pasien:
pernapasan yang tidak adekuat
 Obstruksi jalan napas, baik fungsional
ETT (diameter dalam) (mm)= (16+umur dalam
maupun anatomis tahun)/4
 Keadaan yang berpotensi kuat menimbulkan Beberapa panduan lain yang juga dapat
obstruksi jalan napas (misalnya inhalasi asap digunakan:
kebakaran, hematoma pada jalan napas yang Rumus Cole:
meluas)
 Hilangnya refleks protektif jalan napas ETT uncuffed (diameter dalam) (mm)= (umur dalam tahun/4) +
 Usaha napas yang berlebihan, yang bisa 4
Rumus Motoyama:
menyebabkan kelelahan insufisiensi
pernapasan
ETT cuffed (diameter dalam) (mm)= (umur dalam tahun/4) +
 Perlunya pemberian udara bertekanan tinggi 3,5
untuk mempertahankan pertukaran gas
Rumus Khine:
alveolar
 Perlunya pemakaian ventilasi mekanik
ETT cuffed (diameter dalam) (mm)= (umur dalam tahun/4)
 Kemungkinan terjadinya hal-hal yang +3
tersebut di atas selama pasien dalam Panduan yang paling sederhana adalah
transportasi jari kelingking pasien. Hasil penelitian
Di berbagai institusi, pemberian ventilasi menunjukkan bahwa ukuran jari kelingking
dengan menggunakan bag-mask dibanding anak kurang lebih sama dengan ukuran
bag- endotracheal tube (ETT) sama efektif. Hal diameter luar ETT yang cocok untuk anak
tersebut tentu saja tergantung keterampilan tersebut.
penolong. Suatu studi prospektif
membandingkan pemberian kedua macam
cara ventilasi tersebut pada 830 kasus anak
dengan arrest di luar rumah sakit, dengan hasil
tidak didapatkan perbedaan
216 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Kebanyakan dokter yang bekerja di unit harus menghentikan upaya intubasi dan segera
rawat darurat lebih senang menggunakan
melakukan oksigenasi dengan bag-mask
ETT uncuffed untuk pasien anak berumur apabila terjadi perburukan laju jantung,
kurang dari 10 tahun, karena pada pasien oksigenasi, dan penampilan klinis pasien.
tersebut penyempitan anatomis di daerah
tulang rawan krikoid menjadi cuff alamiah Setelah dilakukan premedikasi (bila
sebagai pengunci. Namun dalam perawatan diperlukan), ventilasi bag-mask segera dihentikan
di rumah sakit, penggunaan ETT cuffed pada sementara untuk pemasangan ETT dengan
anak sama amannya dibanding dengan visualisasi langsung ke trakea. Dilakukan
ETT uncuffed (kecuali neonatus). Pada penekanan lidah dan pengangkatan struktur
keadaan tertentu (komplians paru yang di daerah supraglotis, dengan menggunakan
buruk, resistensi jalan napas yang tinggi, laringoskop, untuk melihat glotis. ETT dipasang
atau kebocoran yang besar di area glotis), melalui pita suara.
maka lebih disarankan pemakaian ETT Laringoskop berdaun lengkung (curved,
cuffed. Macintosch) biasanya dipakai untuk anak
berumur lebih dari 2 tahun, sedangkan
Hasil review yang dilakukan oleh
laringoskop berdaun lurus (straight, Miller)
kelompok Best Bet menunjukkan bahwa:
dipakai untuk anak yang lebih muda atau
 Pemakaian cuffed ETT volume besar jalan
dengan tekanan rendah tidak
berhubungan dengan peningkatan kejadian
stridor pasca ekstubasi (grade C)
 Belum ada penelitian yang bisa menilai
kerugian jangka panjang yang mungkin
terjadi pasca ekstubasi (misalnya stenosis
subglotis) (grade D)
 Pada kasus tertentu yaitu resistensi jalan
napas diduga akan menjadi amat tinggi pada
saat pasien dirawat, maka pemakaian cuffed
ETT berguna untuk menghindari perlunya
re-intubasi karena kebocoran di sela-sela
ETT (grade C)

Prosedur Intubasi Endotrakea


Intubasi endotrakea memerlukan persiapan
peralatan dan personel, penilaian terhadap
pasien dan pengaturan posisi pasien,
penyediaan alat pemantauan, oksigenasi,
dan ventilasi. Intubasi orotrakea biasanya
merupakan pilihan pertama karena bisa
dilakukan lebih cepat dan lebih sedikit
komplikasinya. Selama upaya intubasi
Gambar 24.1. A. Cara insersi daun laringoskop
endotrakea perlu dilakukan pemantauan lengkung (curved) b. cara insersi daun laringoskop lurus
laju jantung, tekanan darah, saturasi (straight). Perhatikan posisi ujung daun laringoskop
oksigen, dan, bila memungkinkan, terhadap epiglotis. Dikutip dari: The American heart
kapnometri end-tidal. Tenaga medis (intubator) Association, 2006 (dengan modifikasi)
napas yang sulit. Penolong intubator harus Berikan oksigen aliran bebas 100%
melakukan manipulasi terhadap larings dari
Hindari ventilasi bag-mask
luar yang dikenal sebagai (BURP) guna
Pasang alat pemantau pada pasien
membantu intubator memvisualisasi glotis.
Membuat kalkulasi dosis obat
Kedalaman pemasangan ETT bisa Mempersiapkan peralatan jalan
diperkirakan dengan menggunakan rumus: napas
3 menit Premedikasi (tergantung kebutuhan)
Kedalaman insersi ETT (cm)= (umur dalam tahun/2) + 1 menit Berikan obat sedatif dan paralitik
12
Lakukan penekanan daerah krikoid
atau
0 menit Melakukan intubasi
Kedalaman insersi ETT (cm)= (Diameter dalam ETT) +1 menit Konfirmasi letak ETT
x3 Melakukan fiksasi ETT
Cara memastikan ETT telah dipasang Lepaskan penekanan krikoid
dengan benar:
 Periksa kedalaman ETT dengan melihat Mutiara bernas
angka penunjuk di ETT sesuai
perhitungan rumus di atas ( tepat di gigi seri • RSI hanya dilakukan pada keadaan
tengah pasien) jalan napas pasien diyakini normal.
 Adanya pergerakan dinding dada yang • RSI tidak boleh dilakukan apabila
simetris terdapat kemungkinan terjadinya
kesulitan dalam proses intubasi.
 Lakukan auskultasi untuk mendengarkan
bunyi napas yang simetris
 Amati adanya distensi daerah abdomen
untuk mendeteksi pemasangan ETT yang
salah LARYNGEAL MASK AIRWAY (lMA)
 Ukur kadar end-tidal CO2 dengan Spesifikasi dan Indikasi pemasangan
menggunakan detektor kolorimetrik
lMA
 Konfirmasi letak ETT dengan foto
toraks. Laryngeal mask airway (LMA) dirancang untuk
diletakkan di daerah orofaring dengan ujung
sungkupnya (mask) di hipofaring dan dasar
RAPID SEQUENCE INTUBATION sungkupnya di epiglotis. Apabila sungkup
dikembangkan dengan memompakan udara ke
Rapid sequence intubation (RSI) adalah suatu dalamnya, maka alat ini akan dapat dilalui
teknik intubasi yang dipakai guna udara langsung ke trakea.
mengamankan jalan napas pasien dengan Laryngeal mask airway dapat digunakan
abdomen yang terisi (diduga terisi) makanan, untuk memberikan ventilasi tekanan positif
karena preoksigenasi dengan ventilasi bag- pada pasien yang bernapas spontan, atau
mask bisa menyebabkan distensi lambung, sebagai pemandu untuk pemasangan alat
muntah, dan aspirasi. yang lain seperti ETT, stilet berlampu, atau
bronkoskopi serat optik fleksibel.
Alur waktu RSI: Pemakaian LMA pada pasien yang sadar
harus disertai sedasi untuk menghilangkan
5 menit Anamnesis dan pemeriksaan fisik refleks jalan napas.
pasien
Tabel 24.1. Panduan ukuran LMA pada anak
Ukuran Berat badan (kg) Usia Volume cuff (mL)
1 <6,5 <4 – 5 bulan 2-4
2 6,5 – 20 5 bulan – 5/6 tahun 10
2,5 20 – 30 6 – 10 tahun 15
3 30 – 50 >10 tahun 20
4 50 – 80 - 30
5 >80 - 40

Gambar 24.2. Teknik insersi lMA.


Dikutip dari: brain AIj:The Intavent laryngeal Mask Instruction Manual, berkshire, UK, brain Medical, 1992
(dengan modifikasi)

Laryngeal mask airway relatif mudah Hingga saat ini belum ada data klinis
dipasang dan komplikasinya sedikit, yang pasti mengenai efikasi dan keamanan
sehingga alat ini bisa dipakai pada keadaan penggunaan LMA pada anak dengan henti
jalan napas yang sulit. Namun karena jantung. Mungkin LMA bisa menjadi
letaknya di daerah supraglotis, maka alat alternatif pertama, apabila penolong cukup
ini tidak efektif bila dipakai pada pasien kompeten memasangnya, sebelum intubasi
dengan kelainan daerah glotis atau subglotis. endotrakea bisa dilakukan.
Pemasangan pada anak yang lebih muda
sering mengalami malposisi yang justru
menyebabkan obstruksi jalan napas dan
Prosedur pemasangan lMA
biasanya pemasangannya lebih sulit. Trauma  Sungkup dikempiskan total atau sebagian
jalan napas dan gangguan hemodinamik  Oleskan lubrikasi larut air di permukaan
lebih jarang terjadi pada pemasangan LMA belakang sungkup dan pipanya
dibanding pada intubasi endotrakea.
 Posisikan pasien pada sniffing position  Tidak dapat mencegah aspirasi akibat refluks
 Pergunakan jempol atau jari telunjuk isi lambung
untuk menyisirkan sungkup sepanjang  Tidak dapat dipakai untuk memberikan
alur palatofaringeal menuju hipofaring obat- obat resusitasi
dan menutup glotis
 Lebih sulit difiksasi dibanding ETT.
 Lanjutkan sisiran hingga ke hipofaring Perlu kecermatan untuk memastikan
hingga terasa ada tahanan posisi LMA pada tempatnya.
 Kembangkan sungkup sepenuhnya.
Laryngeal mask airway agak terdorong
keluar saat sungkup mengembang KRIKOTIROTOMI
penuh
Indikasi Krikotirotomi
Keterbatasan pemakaian lMA Krikotirotomi dilakukan pada pasien dengan
 Pemasangan LMA merupakan luka yang meluas di wajah atau jalan napas
kontraindikasi pada pasien dengan refleks atas, atau pada keadaan ketika usaha
protektif jalan napas intubasi orotrakhea gagal. Tidak
direkomendasikan

PliKa B C
voKalis

Tulang
hyoid Arteri tiroid superior
A Tulang hyoid Arteri dan
Nembran vena KriKotiroid
Prominensia loring KriKotiroid
Kartilago tiroid
Nembran KriKotiroid
Kartilago Tulang rawan Kelenjar tiroid
KriKoid KriKoid
Vena colli
Nembran
KriKotiroid Cincin media Vena
traKea infratiroid

Gambar 24.3. Anatomi luar jalan napas sebelah atas.


Dikutip dari: King C, henretig fM. Pocket Atlas of Pediatric Emergency Procedures. lippincott williams & wilkins,
Philadelphia, 2000. h. 50-52 (dengan modifikasi)

Suction sampai tampak


gelembung udara masuk ke
Kateter
dalam syringe yang berisi suplai oksigen
30-45 didekatkan jarum suntik Cabut jarum/
larutan garam fisiologis, sambungkan ke pipa
derajat ke hub statis Tahan kateter syringe
untuk mengkonfirmasi posisi tekanan tinggi
Stabilisasi trakea dengan kuat
trakea

Gambar 24.4. Teknik krikotirotomi perkutaneus.


Dikutip dari: King C, henretig fM. Pocket Atlas of Pediatric Emergency Procedures. lippincott williams
& wilkins, Philadelphia, 2000. h. 50-52
220 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

untuk anak di bawah umur 10 tahun. 4. De Caen A, Duff J, Coovadia AH, Luten R,
Komplikasi dari tindakan ini cukup tinggi. Thompson AE. Airway Management. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4.
Prosedur tindakan krikotirotomi
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
Pada keadaan yang ekstrim, krikotirotomi 2008. h.310-3.
dapat dilakukan dengan 2 cara: perkutaneus 5. Gausche M, Lewis RJ, Stratton SJ, et al. Effect
dan dengan pembedahan. Krikotirotomi of out of hospital pediatric endotracheal
perkutaneus dilakukan dengan memposisikan intubation on survival and neurological
leher pasien menjadi hiperekstensi, outcome: A controlled clinical trial. JAMA.
kemudian dilakukan penentuan lokasi 2000;283:783-90.
membran krikotiroid yang terletak di antara 6. Gerardi MJ, McQuillen KK, Strange GR.
tulang rawan tiroid dan krikoid secara Evaluation and management of the
palpasi. Dilakukan desinfeksi di daerah multiple trauma patient. Dalam: Strange
tersebut dan penusukan membran dengan GR, Ahrens WR, McQuillen KK, Dobiesz
kateter intravena ke dalam trakea. Tindakan VA, Lee P, Prendergast HM, penyunting.
berhasil apabila terasa adanya aliran aspirasi Pediatric emergency medicine: Just the facts.
udara melalui kateter. Jarum ditarik keluar Singapore: McGraw Hill; 2004. h.3.
dan kateter dimasukkan lebih dalam untuk 7. Hsiao AL, Baker MD. Childhood
kemudian disambungkan pada oksigen resuscitation. Dalam: Selbst SM, Cronan K,
bertekanan tinggi. penyunting. Pediatric emergency medicine
secrets. Edisi ke-
2. Philadelphia: Mosby; 2008. h.13.
DAfTAR PUSTAKA 8. King C, Henretig FM. Pocket atlas of pediatric
emergency procedures. Philadelphia: Lippincott
1. American Heart Association. 2005 guidelines Williams & Wilkins; 2000. h.50-2.
for cardiopulmonary resuscitation and
9. Morse RB, Artega G, Ahrens WR, Dobiesz
emergency cardiovascular care - part 12:
VA. Rapid sequence intubation. Dalam:
pediatric advanced life support. Circulation.
Strange GR, Ahrens WR, McQuillen KK,
2005;112:167-87.
Dobiesz VA, Lee P, Prendergast HM,
2. Ashtekar CS, Wardaugh A. Do cuffed penyunting. Pediatric Emergency Medicine:
endotracheal tubes increase the risk of airway Just the facts. Singapore: McGraw Hill; 2004.
mucosal injury and post-extubation stridor in h.15.
children? Best Bets. 2005;10: #01088.
10. Sharieff GQ, Joseph MM, Wylie TW, Barkin
3. Chong NK, Hwee CY. Updates in pediatric R, Mullin J, penyunting. Pediatric emergency
resuscitation. Peer reviewed. JPOG. 2010;2:6-15. medicine quick glance. USA: McGraw-Hill;
2005. h.354-5.
25 Akses vaskular
Silvia Triratna

INfUS INTRAOSSEUS Prosedur:


Tujuan: 1. Persiapan pasien
Jelaskan kepada pasien atau keluarganya
Sebagai teknik alternatif akses intravena (IV)
mengenai risiko dan keuntungan teknik
pada anak, bila kesulitan untuk
ini saat melakukan informed consent.
mendapatkan akses vena perifer secara
cepat. 2. Persiapan alat dan obat-obatan
 Jarum intraosseous, sebagai alternatif
dapat digunakan jarum suntik ukuran
Indikasi:
gauge 15 atau 18.
1. Situasi darurat ketika cairan atau obat-  Syringe 5-10 mL dan jarum suntik
obatan yang menyelamatkan jiwa perlu steril untuk infiltrasi.
diberikan segera, sementara kanulasi IV  Kassa steril, plester.
terlalu sulit dilakukan atau memerlukan  Lidokain 1% untuk anestesi lokal.
waktu yang lama.  Sarung tangan steril.
2. Pertolongan pertama pra-rumah sakit pada  Larutan povidon iodin.
pasien anak yang mengalami henti jantung  Syringe 50 mL, set infus, threeway stop
atau syok dengan penurunan kesadaran, cock, konektor, dan cairan
dalam situasi yang tidak memungkinkan resusitasi(misalnya: larutan garam
untuk melakukan kanulasi vena perifer. fisiologis).
3. Pemilihan
Kontra Indikasi: lokasi Bayi dan
1. Adanya selulitis, abses atau luka bakar balita:
pada lokasi pemasangan akses  Pada neonatus: tibia proksimal, tepat
intraosseous. di bawah lempeng pertumbuhan, distal
2. Adanya fraktur tulang ipsilateral, dari tuberositas tibia.
karena akan meningkatkan resiko  Bayi 6-12 bulan: 1 cm distal dari
ekstravasasi sehingga dapat terjadi sindrom tuberositas tibia.
kompartemen dan nonunion pada lokasi  Anak > 1 tahun: 2 cm distal dari
fraktur. tuberositas tibia.
3. Kegagalan pemasangan intraosseous pada Anak besar:
tulang yang sama merupakan kontraindikasi  Tibia proksimal sebagai pilihan utama.
relatif.  Humerus proksimal.
 Tibia distal, di atas malleolus medial.
222 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

 Radius distal dan ulna distal


 Jika tidak ditemukan aliran balik
 Femur maupun ekstravasasi, sambungkan set
distal. infus dengan threeway stopcock pada
Alternatif lain: jarum intraosseus yang telah terpasang,
 Spina iliaka anterior superior (SIAS). lakukan fiksasi jarum dengan
bantalan kassa dan plester. Meskipun
4. Teknik pemasangan
drainase gravitasi cukup, infus
 Posisikan tungkai dengan meletakkan bertekanan dengan menggunakan
bantal pasir kecil/botol infus di pompa darah atau syringe mungkin
belakang lutut. diperlukan selama resusitasi.
 Bersihkan permukaan lokasi dengan  Bila diperlukan, challenge cairan dapat
larutan povidon iodin, kemudian dilakukan dengan menggunakan threeway
keringkan dengan kassa steril. stopcock dan syringe 50 mL.
 Anestesi lokal dengan teknik infiltrasi.  Pencarian akses IV terus dilakukan.
 Pegang jarum intraosseous dengan tangan  Lepas akses intraosseous jika sudah
yang dominan. didapatkan akses IV (maksimal 1-2
 Masukkan jarum pada titik yang telah jam).
ditandai pada tibia proksimal, 1-3 cm  Tekan lokasi pemasangan jarum intraosseus
di bawah tuberositas tibia. selama 5 menit.
 Arahkan jarum dengan sudut 60-90°,  Tutup dengan kassa steril.
sedikit ke arah kaudal, menjauh dari
sendi lutut guna menghindari kerusakan
plat epifisis pertumbuhan. Perhatian/Komplikasi:
 Cara penusukan dengan memutar seperti 1. Gagal memasang akses intraosseus (±20%
gerakan bor, untuk mencegah jarum kasus).
menjadi bengkok.
2. Ekstravasasi, dengan kompresi regio
 Jarum harus menembus kulit dan jaringan poplitea atau saraf tibialis, terutama jika
subkutan, kemudian didorong menembus
korteks tulang, sampai terasa hilangnya
tahanan. Mutiara bernas
 Keluarkan stilet, lakukan aspirasi Dalam semua kasus kritis, prosedur
sumsum tulang. Jika sumsum mengalir mempertahankan jalan napas harus
lambat, lakukan aspirasi menggunakan menjadi prioritas, mengingat beberapa
spuit 5 mL. (Catatan: sumsum tulang
obat- penyelamatjiwa dapa
dapat digunakan untuk cross-match dan
obatan melalui ruteendotrakealt
pemeriksaan kadar gula darah)
(nalokson, atropin, epinefrin, lidokain)
diberikan
 Jika sumsum tulang tidak dapat diaspirasi,
dorong larutan garam fisiologis steril Pemasangan akses intraosseus jangan
sebanyak 5 – 10 mL dengan sampai memperlambat transportasi ke
menggunakan syringe. Tahanan harus tempat rujukan
terasa minimal. Raba dan amati Maksimal hanya dua kali percobaan
daerah betis, awasi kemungkinan pemasangan infus intraosseus
terjadi ekstravasasi. Jika ya, maka Obat-obatan yang diberikan secara
upaya lebih lanjut di lokasi tersebut intravena (IV), dapat pula diberikan
harus dihindari. secara intraosseus dengan dosis yang
sama.
Gambar 25.1. Pemasangan akses intraosseus
Dikutip dari: Rogers MC. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Philadelphia: lippincott williams & wilkins; 2008.
h.360. (dengan modifikasi)

terdapat tulang yang retak atau


berlubang pada korteksnya akibat prosedur Indikasi:
intraosseus sebelumnya. 1. Pemantauan tekanan vena sentral.
3. Infeksi, berupa osteomielitis (0,6%) dan 2. Pemberian cairan vena dalam jumlah besar.
selulitis. 3. Pemberian cairan hipertonik intravena.
4. Kerusakan plat epifisis pertumbuhan, hal 4. Pemberianzatvasoaktif atau
ini dapat dihindari dengan menjaga kemoterapeutik kuat.
jarum tegak lurus ke tulang.
5. Pemberian nutrisi parenteral.
5. Emboli lemak, walaupun secara teori
6. Penempatan alat pacu jantung sementara.
mungkin terjadi, namun jarang dilaporkan.
7. Kurangnya akses intravena perifer.

KANUlASI vENA jUGUlARIS


PROSEDUR
Tujuan:
Persiapan Alat:
Menyediakan akses pembuluh darah vena yang 1. Set kateter ukuran sesuai dengan
cukup besar ke sirkulasi sentral untuk umur, pisau skalpel, dan syringe 5 mL
keperluan pemantauan hemodinamik, (kateter dengan lumen multipel dapat
pemberian cairan, dan pengambilan contoh digunakan jika cairan perlu dimasukkan
darah vena. secara terus menerus berulang kali,
kateter ini tersedia dengan dua atau tiga
lumen).
2. Xylocaine 1% (tanpa epinefrin) dengan cara seperti di bawah ini:
syringe berukuran sesuai dan jarum untuk
anestesi lokal.
3. Benang ukuran 2-0, jarum, needle holder,
pinset cirurgis, gunting steril.
4. Cairan intravena yang sesuai kebutuhan.
5. Set infus dengan stopcock dan set pemanjang
(extention tube).
6. Pompa infus volumetrik (jika ada)
7. Larutan povidon iodin
8. Kassa steril
9. Manometer tekanan vena sentral atau
sistem pemantauan bertekanan (jika
ada)
10. Penutup luka untuk tempat kanulasi
11. Kain steril
12. Sarung tangan steril
13. Topi dan masker bedah
14. Bilasan heparin (kateter lumen multipel)

Teknik:
1. Siapkan set cairan intravena dan tabung.
Tuliskan tanggal, jam, larutan, dan
tambahan pada kantong cairan tersebut.
Tuliskan tanggal, jam, dan inisial perawat
pada tabung.
2. Hadapkan kepala pasien berlawanan
arah dengan tempat insersi.
3. Semua petugas di tempat harus mengenakan
topi dan masker.
4. Kenakan sarung tangan steril
5. Basuh tempat insersi dengan larutan
povidon iodin dan biarkan selama 3
menit. Tempat ini dibatasi oleh linea
aurikularis posterior, bagian bawah
telinga, 3 cm di bawah klavikula, dan
di sebelah medial trakea. Biarkan
larutan kering.
6. Pasien pada posisi Trendelenburg. Hal ini
membantu terjadinya distensi vena dan
mencegah terjadinya emboli udara.
7. Kateter dimasukkan oleh dokter dengan
a. Kenakan sarung tangan steril Namun cara memasukkan dari
b. Wajah, dada, dan bahu tengah secara teknis merupakan
tertutup kain bolong steril. cara yang paling mudah dan akan
Leher dibiarkan terbuka. dibahas disini.
c. Kulit sekitar tempat yang akan f. Kenali segitiga yang dibatasi oleh klavikula,
dilakukan kanulasi disuntik muskulus sternokleidomastoideus ramus
dengan xylocaine. klavikula, dan ramus sternalis.
d. Dokter berdiri pada bagian g. Jika pulsasi arteri karotis teraba di
kepala tempat tidur. dalam segitiga ini, lakukanlah retraksi
e. Kanulasi untuk vena jugularis ke arah medial untuk mencegah
interna kanan lebih dipilih tidak sengaja tertusuk, dengan
karena merupakan pembuluh menempatkan dua jari sepanjang
darah yang paling besar dan arteri. Vena jugularis interna terletak
langsung masuk ke atrium lateral dari arteri.
kanan. Sebagai tambahan, h. Tusukkan jarum yang terpasang pada
risiko pneumotoraks lebih syringe 5 mL pada apeks segitiga.
kecil karena paru- paru kanan Jarum diarahkan dengan sudut 30
terletak lebih rendah di sampai 60 derajat searah kaudal
dalam rongga dada daripada puting susu sisi ipsilateral.
paru-paru kiri. Ada tiga cara: i. Jarum dimasukkan beberapa sentimeter
tengah, anterior, dan sementara mempertahankan tekanan
posterior. Cara memasukkan negatif pada syringe. Jika jarum sudah
dari posterior lebih dipilih masuk ke dalam vena, darah akan
untuk mengurangi risiko mengalir dan teraspirasi ke dalam
tertusuknya arteri karotis atau syringe.
terjadinya pneumotoraks. j. Jika jarum tidak masuk ke dalam vena,
A. Rute anterior b. Rute medial C. Rute posterior

Gambar 25.2. Pemasangan akses vena jugularis


Dikutip dari: Rogers MC. Rogers’ textbook of pediatric intensive care. Philadelphia: lippincott williams & wilkins; 2008.
h.358. (dengan modifikasi)

q. Masukkan kateter melalui kawat


tarik jarum perlahan-lahan sementara penuntun dan ke dalam vena
mempertahankan tekanan negatif r. Keluarkan kawat penuntun jika kateter
pada syringe. Jika belum terdapat aliran sudah mantap posisinya.
darah yang lancar, jarum dapat
s. Sambungkan syringe 5 ml dengan
diarahkan kembali 5 sampai 10
kateter dan lakukan aspirasi untuk
derajat ke arah medial; namun
melihat adanya darah sehingga
tetap diperlukan kewaspadaan
penempatan dan kelancaran kateter
tinggi untuk mencegah tertusuknya
dapat dipastikan.
arteri karotis.
t. Bilas kateter dengan larutan garam
k. Setelah darah vena teraspirasi,
fisiologis steril dan hubungkan dengan
segera lepaskan syringe dari jarum,
cairan intravena terpilih.
dan tutuplah mulut jarum dengan jari
yang mengenakan sarung tangan u. Jika menggunakan kateter lumen
steril. Hal ini mengurangi risiko multipel, lumen proksimal dan atau
terjadinya emboli udara. tengah dapat ditutup dengan
heparin kecuali diperlukan segera.
l. Masukkan kawat penuntun melalui
jarum kira-kira sepanjang 10-15 cm. v. Jahit kateter pada tempatnya.
Kawat harus dapat dimasukkan dan 8. Berikan penutup luka yang steril pada
ditarik dengan mudah. tempat kanulasi.
m. Tarik jarum ketika kawat penuntun 9. Kembalikan pasien ke posisi yang diinginkan.
telah berada pada posisi yang 10. Periksa bunyi nafas pada kedua sisi.
mantap.
11. Lakukan foto toraks untuk
n. Buatlah irisan kecil pada tempat memastikan penempatan kateter dan
insersi dengan pisau skalpel #11. menyingkirkan adanya
o. Masukan dilator vena melalui kawat pneumotoraks/hemotoraks. Foto toraks
penuntun dan ke dalam vena dengan harus menunjukkan ujung kateter di
gerakan memutar. dalam vena kava superior, di luar atrium
p. Keluarkan dilator. kanan.
Komplikasi: DAfTAR PUSTAKA
1. Nyeri pada saat prosedur dilakukan, pasien
1. American Heart Association. 2005 Guidelines
merasa tidak nyaman akibat for cardiopulmonary resucitation and
pemasangan kateter terutama saat emergency cardiovascular care: pediatric
dimasukkan. advanced life support. Circulation.
2. Collapsed paru, pneumotoraks. Hal ini 2005;112:IV167-87.
dapat terjadi karena paru sangat dekat 2. Fiser HD. Intraosseus infusion. N Engl J
dengan pembuluh darah leher atau dada. Med. 1990;322:1579-81.
Jika jarum melewati pembuluh darah, bisa 3. Fiorito BA, Mirza F, Doran TM, et al.
menembus paru-paru . Intraosseus access in the setting of pediatric
3. Infeksi. Setiap kali kateter masuk ke critical care transport. Pediatr Crit Care Med.
dalam tubuh, dapat mempermudah bakteri 2005;6:50-3.
untuk masuk dan menginfeksi pasien. 4. Rogers MC. The history of pediatric intensive
Semakin lama kateter berada dalam care around the world. Dalam: Nichols DG,
tubuh, semakin besar kemungkinan penyunting. Rogers’ textbook of pediatric
untuk menjadi terinfeksi. intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
4. Pendarahan. Perdarahan di sekitar lubang Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h.358-60.
dalam vena biasanya ringan dan akan 5. The International Liason Committee on
berhenti sendiri. Resuscitation (ILCOR) consensus on science
with treatment recommendations for pediatric
5. Pembekuan di sekitar kateter. Gumpalan and neonatal patients. Pediatric basic and
darah biasanya dapat terbentuk di dalam advanced life support. Pediatrics.
dan di sekitar kateter, namun biasanya 2006;117:e955-77.
tidak menimbulkan masalah.
6. Emboli paru, akibat adanya bekuan atau
udara.
26 Sedasi dan Analgesia
Antonius Pudjiadi

PIlIhAN UNTUK MElAKUKAN SEDASI


PENDAhUlUAN
Aspek kemanusiaan
Sedasi berasal dari bahas Latin, sedare yang
artinya menenangkan. Penggunaan obat- Saat ini, amatlah mudah bagi seorang dokter
obat golongan ini pada bidang pediatri gawat untuk melakukan sedasi. Berbagai pilihan obat
darurat mempunyai tujuan yang beragam. kini tersedia. Terlepas dari segala kemudahan
Karena adanya risiko dan efek samping yang ini, dibutuhkan suatu pertimbangan yang lebih
berbahaya, penggunaan obat sedasi harus mendasar akan aspek kemanusiaan. Sedasi
didasarkan atas indikasi yang jelas (tabel harus dipandang sebagai alat untuk melengkapi
26.1). proses perawatan pasien yang didasarkan
atas aspek kemanusiaan, bukan untuk
kenyamanan tenaga medis dalam merawat
Tabel 26.1. Beberapa indikasi penggunaan sedasi pasien.
dan analgesia di ICU anak
Menghilangkan nyeri
Menghilangkan takut dan kecemasan Mutiara bernas
Menimbulkan amnesia
Meningkatkan kenyamanan pasien (contoh: tidur tenang) Sedasi harus dipandang sebagai alat untuk
Memfasilitasi kooperasi pasien (contoh: ventilasi melengkapi proses perawatan pasien yang
mekanik)
didasarkan atas aspek kemanusiaan,
Meningkatkan keamanan pasien
bukan untuk kenyamanan tenaga medis

Seorang manusia normal akan


Berdasarkan indikasi penggunaannya, ada
membutuhkan hal-hal berikut:
7 kelompok obat sedasi dan analgesia dengan
spektrum yang berbeda (gambar 26.1). Propofol  Lingkungan yang ceria yang menerimanya
dan thiopentone mempunyai efek sedasi dan dengan hati yang ramah
hipnotik. Benzodiazepin mempunyai efek  Kata-kata yang lembut
sedasi, hipnotik dan amnesia. Agonis alfa-2  Komunikasi yang jujur menerangkan
mempunyai efek sedasi, hipnotik, amnesia keadaannya dari hari ke hari
dan analgesia. Non steroid anti
 Tidak mendengar diskusi yang belum
Inflammatory Drugs (italic) (NSID) atau tentu benar yang dapat meningkatkan
obat anti inflamasi non steroid (OAINS) kecemasan
hanya mempunyai efek analgesia,
sedangkan opioid dan ketamin mempunyai efek  Mendapat perlakuan yang wajar akan
sedasi, hipnotik dan analgesia. kebutuhan biologis, misalnya berkemih,
mengatasi gatal dll.
228 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

Gambar 26.2. Spektrum obat sedasi dan analgesia

 Mendapat penjelasan terlebih dahulu akan  Kebutuhan tindakan bedah


tindakan yang akan dilakukan kepadanya
 Perubahan pola tunjangan ventilasi
 Pada masa penyembuhan, secara
bertahap, pasien harus diberikan  Terjadinya toleransi terhadap obat sedasi
kesempatan untuk kembali mengontrol  Gangguan fungsi hati dan/atau ginjal hingga
diri dan lingkungan sekitarnya metabolisme obat berubah
 Toksisitas atau efek samping obat maupun
pelarut nya
Kebijakan
 Kebutuhan tindakan lain (misalnya CT scan)
Kebijakan untuk melakukan sedasi di ICU
Langkah yang perlu dipertimbangkan
dapat berbeda antara rumah sakit dan dapat
sebelum dokter memilih obat adalah sebagai
berubah dari waktu ke waktu. Karena itu
berikut:
amat dianjurkan agar setiap ICU mempunyai
baku melakukan sedasi yang jelas. Adanya  Indikasi pemberian
baku yang jelas mempunyai beberapa  Lama efek yang diharapkan
keunggulan, antara lain:  Farmakodinamik
 Indikasi kontra
 Indikasi yang jelas
Indikasi penggunaan obat sedasi dan
 Mengurangi tindakan sedasi yang tidak
analgesi antara lain:
adekuat atau berlebihan
 Potensial mengurangi biaya
Namun demikian baku yang disusun perlu Penghilang nyeri
memberikan peluang untuk penyesuaian pada Penghilang nyeri merupakan salah satu indikasi
kebutuhan individual. Beberapa pertimbangan sering yang dijumpai, misalnya akibat
individual yang seringkali mengakibatkan trauma, tindakan bedah atau inflamasi.
keragaman tindakan sedasi antara lain Penggunaan obat golongan hipnotik tidak
adalah: boleh menggantikan obat analgesia, karena
 Perjalanan penyakit yang berbeda setiap kali sadar pasien akan menderita
kesakitan.
ventilasi mekanik PEMIlIhAN ObAT
Seringkali pasien bernapas melawan ventilator.
Penggunaan sedasi, terutama pada fase awal Di samping indikasi yang jelas, hal lain
pemasangan ventilator, dapat membantu yang perlu mendapat perhatian dalam
agar upaya napas sejalan dengan bantuan pemilihan obat sedasi di ICU adalah
ventilator. Kadang-kadang dibutuhkan juga kondisi pasien. Metabolisme obat pada
antitusif agar refleks batuk yang dapat pasien sakit kritis berbeda dengan orang
terangsang oleh penggunaan pipa sehat, misalnya pada pasien yang akan
endotrakeal dapat ditekan. menjalani operasi terencana. Karena itu
pemilihan obat harus didasarkan atas
kekhususan masing-masing obat.
Kecemasan
Banyak hal dapat menyebabkan kecemasan 1.Obat hipnotik
bagi pasien PICU. Remaja umumnya
belum mempunyai persepsi terhadap sakit 1.1. Golongan benzodiazepin
yang sama dengan orang dewasa. Pada Golongan ini mempunyai efek mengatasi
kelompok usia ini sering terjadi kecemasan kecemasan, menimbulkan amnesia dan
yang berlebihan. Kecemasan dapat juga terjadi hipnotik. Mekanisme kerjanya melalui
akibat berbagai hal, misalnya karena kesulitan penekanan sistem limbik dengan mengikat
berkomunikasi pada pasien yang reseptor gama aminobutyric acid (GABA)-
menggunakan pipa endotrakeal. benzodiazepine. Benzodiazepin menurunkan
CMRO2, Cerebral Blood Flow dan tekanan
Kebutuhan akan tidur yang cukup intrakranial. Golongan obat ini juga bersifat
relaksan otot ringan yang terjadi melalui
Berbagai aktivitas ruang ICU, terutama suara reseptor glycine di daerah spinal dan
monitor dan alarm dapat mengurangi waktu supraspinal. Efek samping yang dapat
tidur pasien. Kebutuhan akan tidur dijumpai adalah depresi sistem kardiovaskular
penting untuk proses penyembuhan. dan pusat napas. Dalam kelompok ini antara
lain termasuk diazepam, midazolam dan
Amnesia lorazepam. Dosis ketiga obat ini dapat dilihat
pada tabel 26.2.
Amnesia merupakan efek yang sering timbul
pada penggunaan hipnotik. Pada masa lalu efek
ini kadang-kadang justru diharapkan. Saat Diazepam
ini, amnesia dianggap berpotensi Diazepam larut dalam lemak, karena itu
menimbulkan gangguan psikologis jangka penggunaannya membutuhkan pelarut khusus
panjang.

Tabel 26.2. Dosis Benzodiazepin


Diazepam Midazolam Lorazepam
bolus intermiten 0,1-0,4 mg/kg 0,1-0,2 mg/kg 0,05-0,2 mg/kg diberikan dalam
2 menit
Infus kontinu - 1-4 g/kg/menit 0,01-0,1 mg/kg/jam
(terikat pada PvC)
Rektal 0,04-0,2 mg/kg/dose
230 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

seperti propylene glycol, yang bersifat iritatif atau


Antagonis benzodiazepin
ekstrak soya. Seperti pada umumnya obat
yang membutuhkan pelarut khusus, Flumazenil
penggunaan jangka panjang, terutama pada Flumazenil berikatan kuat dengan reseptor
kasus dengan gangguan fungsi hati atau ginjal, benzodiazepin, namun tidak menimbulkan
potensial dapat mengakibatkan akumulasi efek benzodiazepin. Waktu paruhnya lebih
pelarut dengan risiko toksisitas meningkat. pendek dari midazolam dan lorazepam,
Hasil metabolisme diazepam, nor desmethyl karena itu netralisasi dengan flumazenil akan
diazepam, mempunyai masa paruh lebih mengakibatkan hilangnya efek sedasi yang
panjang dari obat asalnya. Efek ini kurang dapat bersifat sementara. Untuk itu
disukai, antara lain karena dapat pemberiannya perlu diulang atau diberikan
memperpanjang waktu penyapihan ventilator secara infus kontinu. Dosis intravena
hingga memperpanjang masa rawat PICU. dimulai dengan 5 g/ kg tiap 60 detik,
Metabolisme diazepam terjadi di hati, terutama maksimum 40 g, kemudian 2-10 g/kg/jam
dengan proses oksidasi, melalui sistem atau dititrasi terhadap respon pasien.
sitokrom P450. Karena itu disfungsi hati Flumazenil dapat mengakibatkan reaksi
berpengaruh besar terhadap farmakokinetik penarikan obat (withdrawal) hingga kejang.
diazepam.
1.2. Propofol
Midazolam Propofol adalah obat anestesi intravena.
Golongan ini larut dalam air pada pH 4 Seperti golongan benzodiazepin, propofol
dan dalam lemak pada pH 7. Seperti juga bekerja pada reseptor GABA. Obat ini
diazepam, metabolismenya terutama bersifat cardiorespiratory depressant, hingga
terjadi melalui proses oksidasi di hati. Hasil dapat menimbulkan hipotensi pada pasien
metabolit utama adalah 1- sepsis atau hipovolemik. Metabolisme utama
hidroksimidazolam (mempunyai kekuatan terjadi di hati, dengan hasil metabolisme
seperempatpuluh obat asalnya), 4 tidak aktif. Propofol larut dalam ekstrak soya.
hidroksimidazolam dan 1,4 hidroksimidazolam. Penggunaan lama dapat mengakibatkan sindroma
Pada pasien kritis, 1-hidroksi metabolite fat overload (demam, takikardia, sakit kepala,
dapat terakumulasi. Masa paruh normal adalah jaundice, peningkatan transaminase serum,
2 jam, pada pasien kritis dapat memanjang peningkatan bilirubin serum, iritabilitas,
hingga 24 jam. hiperlipidemia, hepatosplenomegali,
pemanjangan PT, fibrin degradation product
dan infiltrasi lemak pada organ). Dosis
lorazepam maksimum 4 mg/kg/jam, diberikan secara
Waktu paruh lorazepam 14 jam. infus kontinu.
Lorazepam dimetabolisme di hati melalui
proses glukoronisasi. Hasil metabolismenya 1.3. Ketamin
tidak aktif. Proses glukoronisasi biasanya
tidak banyak terganggu pada disfungsi Ketamin juga tergolong obat anestesi.
hati. Karena itu lorazepam masih dapat Strukturnya menyerupai phencyclidine. Efek
digunakan pada disfungsi hati. Namun timbul akibat stimulasi reseptor N-methyl-D-
demikian, karena lorazepam tidak larut dalam aspartate (NMDA). Ketamin menyebabkan
air, akumulasi propylene glycol, pelarut pelepasan katekolamin, sehingga dapat
lorazepam, berpotensi toksik. meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah pasien. Selain itu, ketamin juga
mempunyai efek bronkodilator. Efek samping
2.haloperidol
utama ketamin adalah timbulnya nightmares.
Karena itu penggunaannya umum disertai Haloperidol digunakan sebagai neuroleptik.
dengan benzodiazepin untuk menimbulkan Dapat juga digunakan sebagai sedatif pasien
amnesia (ketamin: midazolam 10:1). Dosis yang mengalami agitasi dengan risiko depresi
ketamin 2-4 mg/kg IM atau 4 kardiorespirasi yang minimal. Dosis 0,01
g/kg/menit. Penggunaan sebagai agen mg/kg (maksimum 0,5 mg)/hari, dapat
anestetik 5-10 mg/kg/ IM. ditingkatkan hingga 0,1 mg/kg/dosis IV tiap 12
jam atau 2 mg/ kg/dosis oral (maksimum 100
mg). Pemberian IM 0,1-0,2 mg/kg. Haloperidol
1.4. Tiopental dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal dan
Merupakan golongan anestetik yang bekerja pemanjangan interval Q-T pada EKG.
pendek karena terdistribusi ke jaringan
lemak. Tiopental bekerja pada reseptor
3.Obat Analgesik
GABA pada barbiturate binding site.
Metabolismenya terjadi di hati. Pemberian 3.1. Opioid
secara infus jangka panjang mengakibatkan
Pada mulanya obat kelompok ini berasal dari
akumulasi, terutama pada pasien dengan
analgetik alam yaitu opiat. Morfin adalah
gangguan fungsi hati. Penggunaannya di ICU
baku emas kelompok ini, sehingga kekuatan
terbatas untuk pasien yang sulit disedasi oleh
obat golongan ini selalu dibandingkan
obat lain, kejang yang sulit diatasi, menekan
dengan kekuatan morfin. Karena semakin
metabolisme otak dan pada peningkatan
banyaknya obat sintetik, kelompoknya
tekanan intrakranial. Pemberian secara bolus
disebut opioid. Pembagian obat golongan ini
dapat mengakibatkan hipotensi. Dosis 2-5 mg/
dapat di lihat pada gambar 26.2.
kg, perlahan-lahan, dilanjutkan dengan 1-5 mg/
kg/jam. Pengukuran kadar obat dalam Dalam tubuh terdapat beberapa jenis
plasma dapat menyesatkan, karena reseptor opioid. Reseptor m mempunyai peran
konsentrasi obat yang berikatan dengan penting untuk efek analgesia (tabel 26.3).
reseptor dapat berbeda. Namun demikian, Untuk menimbulkan efek analgesia,
kadar obat yang tinggi mencerminkan telah opioid harus mencapai susunan saraf pusat.
terpenuhinya dosis obat untuk mencapai Opioid dapat masuk melalui aliran darah
efek yang diinginkan. atau langsung ke cairan serebrospinal
melalui pemberian intratekal. Bila masuk
1.5. Alpha-2 agonis melalui aliran darah, obat harus melalui
sawar otak yang merupakan lapisan lemak
Dexmedetomidine adalah obat selektif agonis antara sel endotel vaskular dan cairan
alfa-2, sedang klonidin hanya partial agonis ekstrasel otak. Opioid yang mudah larut
alfa-2 dan mempunyai efek alpha-1 yang dalam lemak, seperti fentanil, akan mudah
nyata. Dexmedetomidine delapan kali lebih menembus sawar otak, sementara yang larut
poten daripada klonidin. Pasien yang dalam air, seperti morfin, mempunyai
mengalami sedasi dengan dexmedetomidin keterbatasan untuk mencapai reseptor dalam
mudah dibangunkan. Obat ini juga susunan saraf pusat. Pada bayi baru lahir, sawar
mempunyai efek anti-ansietas, analgesia dan darah otak masih imatur. Penelitian oleh Way
tidak menimbulkan depresi napas. Kombinasi dkk memperlihatkan bahwa konsentrasi morfin
dengan analgesik pada pembedahan dapat
mengurangi dosis analgesik.
Gambar 26.2. Obat Analgesik

Tabel 26.3. Reseptor opioid


Reseptor Efek Agonis Antagonis
OP3 () Analgesia supra- Morfin Nalokson
spinal Depresi napas  Endorfin Pentazocine
Euforia
Ketergantungan fisik
OP1 () Modulasi aktifitas  leu-enkefalin Nalokson
Analgesia supra-spinal  Endorfin Metenkefalin
Pentazocine
OP2 () Analgesia Dinorfin Nalokson
spinal Depresi Morfin
napas Miosis Pentazocine
Nalbuphine
butophanol

dalam otak tikus muda 2-4 kali lebih tinggi dibutuhkan. Selanjutnya opioid akan diserap
dari tikus yang lebih tua pada konsentrasi vena epidural dan kembali ke sirkulasi sistemik
morfin yang sama dalam darah. Pengaruh untuk selanjutnya mengalami metabolisme dan
usia tidak banyak pengaruhnya pada opioid pembuangan. Opioid yang sifatnya hidrofilik,
yang larut dalam lemak, seperti fentanil. seperti morfin, akan melewati duramater
Pemberian melalui jalur spinal akan lebih lambat dari opioid yang larut dalam
menghilangkan hambatan sawar otak, hingga lemak hingga efeknya lebih panjang.
mengurangi dosis per kilogram berat badan
yang
Morfin Sufentanil, alfentanil dan mempunyai
Diisolasi dari ekstrak poppy oleh Friedrich struktur yang mirip fentanil, bersifat lipofilik
Wilhelm Sertuner tahun 1806. Morfin dan dapat menembus sawar otak dengan
berasal dari kata Morpheus, dewa mimpi cepat. Karena larut dalam lemak, segera
bangsa Yunani. Morfin dimetabolisme dalam setelah pemberian secara bolus, fentanil
hati oleh sistem enzim uridinosine difosfat dan obat- obat dalam kelompok ini kadarnya
(UDP) glukuronil- transferase. Metabolit menurun akibat diserap ke jaringan tubuh.
utama adalah morfin-3- glucuronide (M-3G) Dalam plasma fentanil berikatan dengan -1
dan morfin-6-glucuronide (M-6-G). M-6-G asam glikoprotein. Karena kadar -1 asam
bersifat analgesik poten, empatpuluh kali glikoprotein rendah pada neonatus, kadar
lebih kuat dari morfin, sedang M-3-G bersifat obat bebas pada bayi di bawah 1 tahun lebih
anti-analgesik. Kedua metabolit ini tinggi daripada anak dan orang dewasa.
terakumulasi pada gagal ginjal. Farmakokinetik fentanil berbeda antara
Morfin menimbulkan efek vasodilatasi bayi, anak dan orang dewasa. Klirens fentanil
perifer dan pooling vena akibat pelepasan lebih tinggi pada bayi usia 3-12 bulan
histamin. Efek pelepasan histamin dapat dibandingkan anak dan orang dewasa
dikurangi dengan membatasi dosis dan mengisi (berturut-turut 18,1±1,4, 11,5±4,2 dan
volume intravaskular. Dosis analgesik yang 10,0±1,7mL/kg/menit), dan masa paruh
umum digunakan, untuk neonatus 0,1 mg/ eliminasinya lebih panjang (berturut-turut
kg, untuk anak 0,2 mg/kg. Penggunaan 233±137, 244±79 dan 129±42 menit).
untuk pasien dalam ventilator, neonatus 10-30 Klirens yang tinggi mengakibatkan bayi usia
g/kg/ jam, anak 20-60 g/kg/jam. 3-12 bulan dapat mentoleransi dosis yang tinggi
tanpa depresi napas, tetapi karena masa paruh
eliminasi yang panjang, penggunaan obat
Pethidine (Meperidine)
berulang berpotensi menimbulkan akumulasi
Pethidine adalah opioid sintetik pertama serta efek depresi napas.
yang digunakan dalam klinik. Obat ini Alfentanil dimetabolisme di hati. Obat
menghasilkan metabolit aktif, norpethidine. ini mempunyai masa paruh eliminasi dan
Pada gagal ginjal metabolit ini dapat redistribusi lebih pendek dari fentanil
terakumulasi dan mengakibatkan kejang. maupun morfin. Masa kerjanya hanya sekitar
Dosis pethidine adalah 0,5-1 mg/kg/dosis IV. 15 menit. Depresi napas jarang dijumpai,
Dosis pada pemberian kontinu adalah 0,1- sekalipun pada bayi.Remifentanil adalah
0,4 mg/kg/jam. opioid dengan efek yang sangat pendek.
Efeknya sudah hilang 5-10 menit setelah
fentanil penghentian infus. Metabolisme remifentanil
terjadi melalui enzim esterase yang terdapat di
Karena mudah menembus sawar otak, obat semua jaringan tubuh. Karena itu, sekalipun
ini mempunyai efek yang cepat. Potensinya pada masa ahepatik transplantasi hati,
75- 200 kali morfin. Fentanil tidak farmakokinetiknya tidak banyak berubah.
mengakibatkan pelepasan histamin, karena Pemberian bolus remifentanil dapat
itu sangat baik digunakan pada pasien mengakibatkan bradikardia hipotensi dan henti
dengan hemodinamik labil. Karena mudah napas. Karena itu pemberian secara bolus tidak
larut dalam lemak, penggunaan jangka dianjurkan.
panjang mengakibatkan akumulasi hingga
Dosis fentanil untuk prosedur singkat
proses pemulihan menjadi panjang.
1-3g/kg/dosis IM atau IV. Kombinasi
dengan obat sedatif, misalnya midazolam
mengakibatkan potensiasi depresi napas,
karena itu dosisnya
harus dikurangi. Untuk pasien dalam
ventilasi mekanik dapat diberikan dosis awal 5- 3.3. Non-steroidal anti-inflammatory drugs
10 g/kg , dilanjutkan 2-10 g/kg/kg/jam. (NSID)
Obat golongan ini mempunyai efek samping,
Tramadol antara lain:
Tramadol adalah opioid atipik yang bekerja  Antikoagulan, karena efeknya pada trombosit
melalui reseptor . Obat ini dapat  Perdarahan lambung
diberikan secara oral maupun intravena.  Spasme bronchus
Biasanya digunakan untuk analgesi pasca  Gagal ginjal
bedah. Dosis oral 1-2 mg/kg/dosis, tiap 4-6
jam (maksimum 400 mg/hari). Dosis intravena
(perlahan dalam Ketorolak
3 menit) atau intramuskular 1-2 mg/kg/dosis Farmakokinetik ketorolak pada anak berbeda
tiap 4-6 jam (maksimum 600 mg/hari), atau 2- dengan dewasa. Volume distribusi dapat
8 mencapai 2 kali dewasa, klirens plasma juga
g/kg/menit, secara intravena. lebih tinggi pada anak. Waktu paruh
eliminasinya sama dengan orang dewasa.
3.2. Antagonis Opioid Karena itu anak membutuhkan dosis yang
lebih besar, namun interval pemberiannya
Ada 2 obat antagonis opioid, dengan sama.
mekanisme kerja yang berbeda, yaitu
Untuk penggunaan pasca bedah umumnya
nalokson dan doksapram.
diberikan secara intravena. Dosis ketorolak 0,5
mg/kg, dilanjutkan dengan pemberian bolus
Nalokson intravena 1,0 mg/kg tiap 6 jam atau 0,17
mg/kg/ jam secara kontinu. Dosis maksimum
Nalokson berikatan dengan receptor 
90 mg dan maksimum pemberian 48 jam.
hingga menghilangkan efek opioid. Dosis
Dosis oral 0,25 mg/kg, maksimum 1,0
nalokson harus dititrasi perlahan, 0,1 mg/kg
mg/kg/hari. Ketorolak tidak dianjurkan
(maksimum 2 mg) intravena tiap 3-4 menit.
untuk anak kurang dari 1 tahun. Berbeda
Untuk menghentikan efek sedasi pasca bedah,
dengan opioid, ketorolak tidak menimbulkan
dapat diberikan 0,002 mg/kg/dosis, diulangi
depresi napas, muntah, retensi urine atau
2 menit kemudian, lalu 0,2 g/kg/menit. sedasi. Kombinasi dengan opioid dapat
Pemberian yang terlalu cepat dapat berakibat mengurangi efek samping opioid. Karena risiko
sindroma lepas obat, terutama bagi pecandu perdarahan, terdapat perbedaan pendapat
narkotik. untuk penggunaannya pada pasca tonsilektomi.

Doxapram Paracetamol (acetaminophen)


Doxapram adalah stimulan pernapasan yang Volume distribusi pada anak dan dewasa kurang
bekerja pada kemoreseptor perifer. Obat lebih sama. Pemberian setiap empat jam
ini digunakan untuk mengatasi depresi napas tidak mengakibatkan akumulasi. Eliminasi
akibat opioid. Dosis 5 mg/kg secara intravena pada neonatus sedikit lebih lambat.
diberikan dalam 1 jam, dilanjutkan dengan Penyerapan dalam bentuk sirup lebih baik
0,5-1 mg/kg/ jam untuk 1 jam (dosis pada anak. Dosis oral 20 mg/kg awal,
maksimum 400 mg). dilanjutkan 15 mg/kg/kali tiap 4 jam. Dosis
rektal 40 mg/kg awal, selanjutnya 30
mg/kg/kali tiap 6 jam. Maksimum 4
g/hari.
PEMANTAUAN expression, sleepless) (tabel 26.7). Nyeri ringan
Banyak hal yang harus dipertimbangkan mempunyai nilai 0-3, sedang 4-6 dan berat 7-
pada penggunaan obat sedasi dan analgesik, 10. Nyeri ringan umumnya dapat diatasi
seperti hilangnya rasa nyeri, kecemasan, dengan analgesik ringan seperti
kebutuhan agar pasien dapat tidur, depresi asetaminophen. Nyeri dengan skor >6
napas, toleransi terhadap pipa endotrakeal biasanya membutuhkan opioid.
dll. Dalam menghadapi nyeri, kepribadian
seseorang juga mempengaruhi persepsi Tabel 26.4. Sistem Skoring Nyeri dan Sedasi
terhadap nyeri yang dideritanya. Di sisi lain, Subjective observer rating
bahaya efek samping obat juga perlu menjadi Visual analog scales
pertimbangan. Sedasi yang berlebihan lebih Steward
sering terjadi, karena kekurangan sedasi Ramsay
lebih mudah terlihat. harris
Modified Glasgow Coma Scale
Ada berbagai cara dalam melakukan Observer’s Assessment of alertness/Sedation Scale (OAA/S)
penilaian farmakodinamik obat sedasi dan Cambridge
analgesik (tabel 26.4). Di ICU dewasa, bloomsbury
sering digunakan skala Ramsay (tabel 26.5). Cook/Newcastle
Untuk memantau efek analgesi di PICU, Neurobehavioral Assessment Scale (NAS)
bergantung usia anak, digunakan beberapa Sedation-Agitation Scale (SAS)
Patient task performance
skala penilaian. Untuk anak di atas usia 7
Digital symbol substitution test (DSST)
tahun dapat digunakan skala VAS (visual Choice reaction time (CRT)
analog scale) (gambar 26.3). Untuk usia 3-7 Memory tests
tahun skala Wong-Baker (gambar 26.4) dan Visual analog scales
untuk usia di bawah 3 tahun atau anak dengan Physiologic measures included
gangguan perkembangan digunakan skala COMfORT
FLACC (face, legs, activity crying, Nisbet and Norris
consolability) (tabel 26.6). Untuk bayi < 6 Heart rate variability
Esophageal sphincter contractility
bulan digunakan skala CRIES (crying, requires PRST (Pressure, rate, sweat, tearing)
O2, increased vitlas,

Gambar 26.3. Skala visual


Analog
Gambar 26.4. Skala wong
baker
Tabel 26.5. Skor Ramsay
Skor Ramsay merupakan pengukuran
1 Pasien cemas dan agitasi atau gelisah kasar sedasi. Skalanya merupakan data ordinal,
atau keduanya
2 Pasien kooperatif, orientasi baik dan tenang
tidak berkorelasi dengan dosis obat. Biasanya
3 Pasien hanya memberi respon pada perintah
dilakukan perawat setiap jam, seperti
4 Respon cepat pada ketukan ringan glabela pencatatan tanda vital lainnya. Ketika pasien
atau suara keras mulai sadar, pencatatan dapat dilakukan
5 Respon lambat pada ketukan ringan glabela dengan interval yang lebih panjang.
atau suara keras
Akumulasi pelarut obat dan metabolit
6 Tidak ada respon pada ketukan ringan
glabela aktif dapat menimbulkan masalah dalam
atau suara keras penggunaan sedasi jangka panjang. Propofol,

Tabel 26.6. Skala FLACC


Kategori Nilai
0 1 2
Face Tidak ada ekspresi khusus Kadang menyeringai; menghindar, Sering menyeringai atau
atau dapat tersenyum tidak ada minat mengertak gigi
Legs Posisi normal atau relaksasi Posisi tidak nyaman, gelisah, Menendang-nendang
tegang
Activity berbaring tenang, Menggeliat, berbolak balik, Melengkung, kaku atau
bergerak bebas tegang menyentak-nyentak
Cry Tidak menangis (bangun Merengek, mengerang Menangis, berteriak-teriak
atau tidur)
Consolability Relax Dapat tenang kembali Sulit dibujuk
dengan sentuhan atau
pelukan atau
dengan diajak bicara

Tabel 26.7. Skala CRIES


Crying – Karakteristik tangisan karena nyeri adalah ‘high
pitched’ 0 – Tidak menangis atau menangis tapi tidak ‘high
pitched’
1 – Menangis ‘high pitched’ namun mudah
ditenangkan 2 – Menangis ‘high pitched’ dan tidak
dapat ditenangkan
Requires O2 for SaO2 <95% - bayi yang merasa nyeri akan mengalami perburukan oksigenasi. Pikirkan penyebab
hipoksemia lainnya, misalnya oversedasi, atelektasis, pneumotoraks
0 – Tidak butuh suplementasi
oksigen 1 – butuh oksigen dengan
fiO2 <30% 2 – butuh oksigen
dengan fiO2 >30%
Increased vital signs (Tekanan darah dan frekuensi nadi) – Pengukuran tekanan darah harus paling akhir dilakukan, karena
membuat bayi terbangun sehingga menyulitkan pemeriksaan lain
0 – baik frekuensi nadi maupun tekanan darah tidak berubah atau dalam batas
normal 1 – frekuensi nadi atau tekanan darah meningkat <20% dari nilai awal
(baseline)
2 – frekuensi nadi atau tekanan darah meningkat >20% melampaui nilai awal (baseline)
Expression – ekspresi wajah yang dihubungkan dengan rasa nyeri adalah meringis (grimace), yaitu alis menurun, mata
menutup dan mengerenyit, garis nasolabial semakin dalam atau bibir dan mulut terbuka
0 – Tidak
meringis 1 –
hanya meringis
2 – Meringis dan mengeluarkan suara rintihan/geraman (tapi bukan menangis)
Slepless – penilaian berdasarkan pemantauan kondisi bayi selama satu jam sebelum skor
dicatat 0 – Anak tidur terus-menerus
1 – Anak terbangun dengan interval yang sering
2 – Anak terbangun terus-menerus
yang dilarutkan dalam ekstrak soya, depression:effects of age. Anesthesiology.
berupa lemak, dapat mengakibatkan fat 1989;70:213-8.
overload syndrome, dengan gejala demam,
6. Koehntop DE, Rodman JH, Brundage DM,
takikardi, sakit kepala, peningkatan Hegland MG, Buckley JJ. Pharmacokinetics
transaminase serum, peningkatan serum of fentanil in neonates. Anesth analg.
bilirubin, hiperlipidemia, pembesaran hati 1986;65:227- 32.
dan limpa, risiko perdarahan akibat
7. Malviya S, Voepel-Lewis T, Tait AR. Adverse
pemanjangan masa protrombin dan event and risk factors associated with the
infiltrasi lemak pada organ-organ. Kematian sedation of children by nonanesthesiologists.
pada anak akibat intoksikasi lemak pada Anesth Analg. 1997;85:1207-13.
penggunaan propofol pernah dilaporkan.
8. McClain DA, Hug CC Jr. Intravenous
Pada pasien sakit kritis, eliminasi fentanil kinetics. Clin Pharmacol Ther.
obat dapat menurun akibat penurunan kerja 1980;28:106-14.
enzim. Gangguan metabolisme juga dapat 9. Murphy MR, Hug CC Jr, McClain DA.
terjadi akibat interaksi obat. Midazolam Dose- independent pharmacokinetics of
dimetabolisme oleh enzim cytochrome, P450 fentanil. Anesthesiology. 1983;59:537-40.
3A4 yang juga digunakan oleh banyak obat 10. Peterson RG, Rumack BH. Pharmacokinetics
lain. Erythromycin adalah salah satu of acetaminophen in children. Pediatrics.
inhibitor kuat enzim ini. 1978;62:877-9.
11. Sabbe MB, Yaksh TL. Pharmacology of spinal
opioids. J Pain Symptom Manage.
DAfTAR PUSTAKA
1990;5:191- 203.
1. Bragg P, Zwass MS, Lau M, Fisher DM. 12. Singleton MA, Rosen JI, Fisher DM. Plasma
Opioid pharmacodynamics in neonatal dogs: concentrations of fentanil in infants, children
differences between morfin and fentanil. J and adults. Can J Anesth. 1987;34:152-5.
Appl Physiol. 1995;79:1519-24. 13. Way WL, Costley EC, Way EL. Respiratory
2. Cote CJ, Notterman DA, Karl HW, sensitivity of the newborn infant to
Weinberg JA, McCloskey C. Adverse meperidine and morfin. Clin Pharmacol Ther.
sedation events in pediatrics: a critical 1965;6:454- 61.
incident analysis of contributing factors. 14. Wilson AS, Stiller RL, Davis PJ, Fedel G,
Pediatrics. 2000;105:805- 14. Chakravorti S, Israel BA, et al. Fentanil and
3. Cousins MJ, Mather LE. Intrathecal and alfentanil plasma protein binding in preterm
epidural administration of opioids. and term neonates. Anesth Analg.
Anesthesiology. 1984;61:276-310. 1997;84:315-8.
4. Gronert BJ, Davis PJ, Cook DR. 15. Wood M. Plasma drug binding: implications
Continuous infusions of alfentanil in infants for anesthesiologists. Anesth Analg.
undergoing inguinal herniorrhaphy. Pediatr 1986;65:786- 804.
Anaesth. 1992;2:105-9. 16. Yaksh TL. The spinal pharmacology of acutely
5. Hertzka RE, Gauntlett IS, Fisher DM, and chronically administered opioids. J Pain
Spellman MJ. Fentanil-induced ventilatory Symptom Manage. 1992;7:356-61.
27 Terapi Sulih Ginjal
berkesinambungan pada Anak
Darlan Darwis, Susetyo Harry Purwanto, M.Tatang Poespanjono, Irene Yuniar

PENDAhUlUAN Teknik ini kemudian dikenal dengan nama


Terapi sulih ginjal berkesinambungan atau continuous veno-venous hemofiltration (CVVH).
continuous renal replacement therapy (CRRT) Suatu penelitian di Royal Children’s
diperuntukkan untuk membuang cairan dan Hospital, terhadap 58 subjek anak berusia 2
zat-zat toksik berlebihan dari tubuh hari
penderita sakit kritis. Efikasi CRRT hampir – 16 tahun dengan kisaran berat badan 2,4 –
ekuivalen dengan hemodialisis intermiten 86 kg menyimpulkan bahwa perbaikan laju
namun memiliki keuntungan stabilitas filtrasi dan daya tahan filter lebih baik pada
hemodinamik. Pada anak yang lebih besar metoda CVVH dibandingkan CAVH.
penggunaan CRRT lebih superior Secara epidemiologi angka kejadian AKI
dibandingkan dengan pemakaian teknik pada anak masih sulit ditentukan secara akurat.
dialysis peritoneal. Kepustakaan tahun 1990 kebanyakan
Kramer dan teman-teman mengawali menulis kejadian gagal ginjal akut pada
suatu pendekatan baru berupa terapi sulih kasus-kasus dengan entitas diagnosis gagal
ginjal berkesinambungan atau continuous ginjal akut, atau pada kasus-kasus yang
renal replacement therapy CRRT pada kasus memerlukan terapi sulih ginjal
penderita cedera ginjal akut (Acute Kidney berkesinambungan. Pada kepustakaan
Injury-AKI) pada tahun 1977. Pada saat itu tersebut banyak disebut bahwa kasus gagal
Kramer memulai langkah awal dilakukannya ginjal akut sering terjadi pada kasus luka
continuous arterio- venous hemofiltration bakar dan sindrom hemolitik uremik.
(CAVH). Pada tahun 1980, metoda ini Stickle dan kawan kawan mendapatkan
dikembangkan dengan menggunakan kateter bahwa sebagian kasus gagal ginjal akut
berlumen ganda pada vena besar. Untuk terjadi sekunder akibat iskemia renal,
menciptakan tekanan pendorong pada diikuti oleh pemberian obat obat
sirkuit, digunakan pompa seperti pada nefrotoksik dan sepsis. Sementara kasus
hemodialisis. yang primer terjadi pada ginjal hanya
meliputi

Tabel 27.1 Filtrasi pada 58 kasus di PICU Royal Children’s Hospital Melbourne (1986 -1989)
AV (n=17) dlm median VV (n=41) dlm median
Lama filtrasi (jam) 40 (14 – 120) 49 (3 – 220)
Umur filter (jam) 27 (4 – 47) 53 (3 – 126)
Laju ultrafiltrasi (mL/menit/m 2) 6 (1.7 – 18) 19 (5 – 43)
Kecepatan aliran darah (ml/menit) 30 (15 – 30) 65 (25 – 100)
Fraksi filtrasi (%) 17 (10 – 25) 13 (5 – 30)

Dikutip dari: Keeley S, Butt W. Continuous filtration techniques in children:A description. Pediatric Critical Care
Colloquium, Santa Monica, California, Oct 1989.
Terapi Sulih Ginjal Berkesinambungan pada Anak 239

7% dari keseluruhan kasus yang ditemukan


TUjUAN DARI CRRT PADA ANAK
di sebuah fasilitas kesehatan tersier. Pada
kasus sakit kritis kejadian AKI meningkat Tujuan dilakukannya CRRT bagi intesivist
sampai 35% dari keseluruhan pasien sakit kritis meliputi :
yang dirawat.  Memperbaiki keseimbangan cairan dan
Dari epidemiologi di atas dapatlah elektrolit,
dimengerti bila kasus AKI banyak terjadi di unit  Memperbaiki fungsi paru dengan cara
perawatan intensif. Oleh karena itu mengurangi cairan paru dan permeabilitas
kolaborasi antara intensivisist dengan ahli kapiler paru,
nefrologi anak sangat diperlukan untuk  Memperbaiki hemodinamik dengan cara
dapat mengatasi ini secara paripurna. membuang mediator-mediator inflamasi
CRRTadalah sebuah proses ataupun toksin dari bakteri,
ekstrakorporeal ketika darah dipindahkan dari  Manajemen gagal ginjal akut dengan
kateter lumen arteri atau vena besar. Darah cara membuang produksi sampah
didorong melalui sebuah membran nitrogen dan perbaikan keseimbangan
semipermeabel sebelum dipompakan asam basa,
kembali ke pasien melalui kateter lumen vena.  Mempertahankan keseimbangan cairan
Kateter tersebut ditempatkan pada vena sehingga memungkinkan pemberian nutrisi
subklavia, vena jugular interna, atau vena maupun produk darah secara aman,
femoralis. Ketika darah melewati membran  Memurnikan (purifikasi darah) pada
(hemofilter atau dializer), elektrolit dan kasus sepsis atau gangguan metabolik
molekul- molekul berukuran kecil dan sedang (hiperammonemia), dan
dikeluarkan dari darah dengan cara  Membersihkan obat-obat atau racun.
konveksi dan difusi. Pengeluaran cairan
dicapai dengan ultrafiltrasi pada laju yang
tetap setiap jamnya.
Pengalaman awal dengan CRRT dinilai Mutiara bernas
cukup berhasil, dimana ultrafiltrasi cairan
dan pembuangan zat-zat dapat dicapai dengan Pemindahan cairan pada CRRT lebih
baik. Volume kelebihan cairan pada saat awal lambat bila dibandingkan hemodialisis
CRRT berhubungan dengan efektifitasnya, intermiten (HDI), maka CRRT merupakan
karena itu disarankan penggunaan lebih dini terapi ideal bagi pasien-pasien kritis dengan
CRRT akan memperbaiki luaran. hemodinamik yang tidak stabil.

Tabel 27.2. Perbandingan CRRT dengan


HDI CRRT HDI
(Hemodialisa
Intermiten)
Kontinu ya Tidak
Perubahan elektrolit, ph dan keseimbangan cairan cepat Tidak ya
Perlu pengurangan dosis obat yang mengalami klirens Tergantung pada jenis ya
melalui ginjal terapi
Perlu penyesuaian waktu pemberian obat yang Tidak ya
mengalami klirens melalui ginjal
Perlu membatasi protein, kalium dan asupan cairan Tidak ya
Pergeseran ph dan elektrolit setelah terapi Tidak ya
Dikutip dari: butt w, Skippen P, jouvet P. Renal replacement therapies. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger’s
240 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: lippincott williams & wilkins; 2008.
PRINSIP DASAR CRRT Proses ini diperoleh dari persamaan berikut
Untuk memahami CRRT perlu memahami : Qf = Km x TMP
prinsip dari bersihan darah melalui sebuah Qf = Kecepatan ultrafiltrasi (ml/menit)
membran semi permeabel. Mekanisme transport Km = Koefisien membran ultrafiltrasi(QfTMP)
cairan dan solute (zat terlarut) dilakukan melalui
membran dengan cara difusi, konveksi dan TMP = Perbedaan tekanan transmembran
ultrafiltrasi.,
Tekanan hidrostatik pada kompartemen
darah tergantung pada aliran darah. Makin
Difusi, Konveksi dan Ultrafiltrasi besar laju aliran darah, tekanan
Difusi, adalah pergerakan solute melewati suatu transmembran akan makin besar. Upaya
membran berdasarkan perbedaan konsentrasi, untuk menaikkan tekanan negatif pada
untuk mecapai konsentrasi yang sama di kompartemen ultrafiltrat dari membran,
ruang distribusi yang tersedia pada tiap sisi. juga akan meningkatkan ultrafiltrasi.
Hasilnya adalah aliran solute dari konsentrasi Peningkatan filtrasi juga terjadi pada
tinggi ke konsentrasi rendah (Gambar setiap upaya yang menurunkan tekanan
27.1). onkotik plasma (misalnya predilusi,
Konveksi merupakan pergerakan pemberian cairan pengganti sebelum filter).
solute melalui membran semipermeabel yang Ketika ultrafiltrasi berlangsung, tekanan
berhubungan dengan ultrafiltrasi dan air hidrostatik akan hilang dan tekanan onkotik
yang melewati membran. Pori-pori membran akan naik.
merupakan faktor penentu dari pergerakan Hubungan antara tekanan transmembran
solute selama terapi pembersihan darah (blood dan tekanan onkotik menentukan fraksi filtrasi,
purification). (Gambar 27.2). yaitu fraksi plasma yang dikeluarkan dari darah
Ultrafiltrasi adalah suatu proses plasma selama hemofiltrasi. Filtrasi filtrat optimal
dan kristaloid dipisahkan dari darah melalui pasien dengan hematokrit rata-rata 30% adalah
suatu membran semipermeabel sebagai respons dalam interval 20-25%. Hal ini untuk mencegah
terhadap perbedaan tekanan transmembran. hemokonsentrasi yang berlebihan pada
outlet filter.

C
s
Js = - Pm, C
s

Gambar 27.1. Pergerakan solute melewati suatu membran berdasarkan konsentrasi sesuai ilustrasi prinsip difusi,
maka aliran difusi solute (js) akan sebanding dengan permeabilitas membran disuse (Pm) dan perbedaan konsentrasi
(deltaCs) Keterangan: gambar ini mendeskripsikan adsorpsi yang terjadi pada CRRT. beberapa molekul dapat melekat pada
permukaan membran. Sementara beberapa molekul dapat menembus membran, namun dapat dihambat oleh
membran. Sehingga CRRT dapat digunakan untuk menyaring mediator inflamasi secara efektif melalui adsorpsi .
Terapi Sulih Ginjal Berkesinambungan pada Anak 241

TMP SOLVEN FLUX=QP=UFC (TMP-TT)

SOLUTE FLUX=CS.QP.SC

Gambar 27.2. Mekanisme difusi dan konveksi pada CRRT

membran dengan dinding yang tebal antara


Darah masuk 40 dan 100 mikron dengan suatu struktur
Potongan melintang asimetrik terdiri dari lapisan bagian dalam
dan suatu lapisan yang dikelilingi sponge
(busa), membran ini mempunyai pori besar
(10.000-30.000 Dalton) dan bersifat
Serabut
hidrofobik.

Diluar serabut
Diluar serabut(effluent) KEUNTUNGAN CRRT
Di dalam serabut
(effluent)
Di dalam serabut
(darah)  CRRT mengeluarkan cairan dengan
Darah keluar (darah)
kecepatan rendah sehingga menyebabkan
Gambar 27.3. filter CRRT. keseimbangan cairan menetap walaupun
dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
Penggunaan alat ini dimungkinkan untuk
Membran filter
dipakai pada pasien-pasien kritis yang
Terdapat 2 tipe membran yang digunakan berkaitan dengan kondisi penyakitnya,
yaitu membran selulosa, yaitu membran misalnya infark miokard, ARDS, septikemia,
dengan low flux dan sangat tipis, atau kelainan darah.
mempunyai sturktur simetris dengan pori-  CRRT dapat menjaga kontrol terhadap
pori yang uniform dan bersifat hidrofilik; azotemia, elektrolit dan keseimbangan asam
membran sintetik, yaitu

Tabel 27.3. Filter yang sering dipakai pada pasien pediatrik


Filter Material Luas permukaan (m2) Volume priming(mL)
Renaflo®II hf-400 Polisulfon 0,3 28
Multiflow 60 AN-69 0,6 48
fresenius f3 Polisulfon 0,4 30
Amikon®Minifilter Polisulfon 0,08 15
AquamaxTM Polisulfon 0,3 32
Dikutip dari:Am j Kid Dis, 2003;18. h.833-37
Saturasi filter
Adsorpsi

Gambar 27.4. Adsorpsi pada CRRT.

basa. Pada pasien-pasien katabolik, CRRT


 Antikoagulan harus diberikan secara kontinyu.
mengeluarkan urea secara efektif untuk
mengendalikan azotemia.  Pasien harus diimobilisasi.
 CRRT secara efektif mengeluarkan cairan  Lebih mahal dari hemodialisis intermiten.
pada kondisi tertentu seperti edema paru
pasca bedah, ARDS dan lainnya.
 CRRT membantu pemberian nutrisi KOMPlIKASI CRRT
parenteral dan obat-obat intravena seperti a. Teknis: malfungsi akses vaskular; sirkuit
vasopresor atau inotropik. tersumbat, sirkuit pecah, kateter dan
 Hemofiltrasi efektif menurunkan tekanan sirkuit terlipat, insufisiensi aliran
intrakranial bila dibandingkan dengan darah, jalur kateter tidak tersambung,
hemodialisis intermiten. emboli udara, ketidakseimbangan cairan
 Pengeluaran mediator proinflamasi seperti dan elektrolit.
IL-1,IL-6, IL-8, TNF-. b. Klinis: perdarahan, hematoma, trombosis,
infeksi dan sepsis, reaksi alergi, hipotermia,
KERUGIAN CRRT kehilangan nutrien, insufisiensi blood
purification, dan aritmia, gangguan
 Membutuhkan pemantauan hemodinamik elektrolit, ketidakseimbangan tekanan
dan keseimbangan cairan. darah, semakin kecil usia anak
 Infus dialisat reguler. semakin kecil kateter yang dipergunakan
sehingga membatasi kecepatan aliran
darah, penurunan hematokrit dan
hemoglobin.
TIPE DAN jENIS-jENIS CRRT
CVVH
CRRT terdiri dari berbagai jenis sesuai
dengan akses vaskuler yang dimiliki,
peralatan yang diperlukan teknik tersebut,
jenis mekanisme bersihan air atau zat
terlarutnya, dan serta kebutuhan untuk Darah Darah
100-150
mengganti cairan. Filter Darah
ml/menit

Slow Continuous Ultrafiltration


Slow continuous ultrafiltration (SCUF) Substitusi Ultra Filtrasi

adalah terapi hemofiltrasi yang digunakan


khusus untuk mengeluarkan cairan dan pasien
tidak azotemia serta refrakter terhadap diuretik
seperti edema paru, sepsis, gagal jantung dan Gambar 27.6. Skema Cvvh
ARDS.Terapi ini tidak menggunakan dan ultrafiltrasi digunakan untuk mengeluarkan
dialisat atau cairan pengganti. sisa pembuangan.

SCUF Continuous Venovenous Hemodialysa


(CvvhD)
Pada teknik continuous veno-venous hemodialysa
(CVVHD), difusi dan ultrafiltrasi digunakan
Darah Darah
100
untuk mengeluarkan sisa metabolisme. Cairan
Filter Darah
ml/menit yang digunakan dikenal sebagai cairan dialisat,
yaitu cairan kristaloid yang berisi
5-10
elektrolit, glukosa, dan buffer. CVVHD
ml/menit serupa dengan hemodialisis dan efektif
Ultra Filtrasi mengeluarkan substansi dengan berat molekul
berukuran kecil sampai sedang.

Gambar 27.5. Skema SCUf CVVHD


Single pass atau
resirkulasi

Continuous Venovenous Hemofiltration


Continuous veno-venous hemofiltration (CVVH) Darah Permeabilitas Darah
merupakan teknik veno venous, ultrafiltrat rendah 100-150
ml/menit
Mesin Dialisis
yang dihasilkan selama melintasi membran
digantikan sebagian atau seluruhnya dengan 50-150
ml/menit
cairan pengganti yang tepat untuk mencapai
bersihan darah dan mengendalikan volume. Dialisat (Baru) Dialisat
Terapi ini diindikasikan untuk uremia atau (terpakai)
asidosis berat atau ketidakseimbangan
elektrolit dengan atau tanpa kelebihan cairan. Gambar 27.7. Skema CvvhD
Konveksi
Continuous Venovenous Hemodiafiltration INDIKASI CRRT PADA ANAK
Pada continuous venovenous hemodiafiltration
(CVVHDF) digunakan difusi, konveksi  Gagal ginjal akut yang mengalami oligo
dan ultrafiltrasi untuk mengeluarkan sisa atau anuria atau telah terjadi
metabolisme dan air. Tujuan terapi konveksi hipervolemia
untuk berat molekul berukuran sedang  Gagal organ multipel
dan terapi difusi untuk mengeluarkan  Sindroma sepsis
substansi dengan berat molekul kecil.  Hiperammonemia
Cairan pengganti dapat diberikan pre-  Kelainan metabolik bawaan
dilusi atau pre-filter yang akan
mengurangi bekuan filter dan dapat diberikan  Hipervolemia yang tidak beresponsi pada
pada laju yang lebih cepat dari cairan pengganti diuretik
yang diberikan post-filter. Laju cairan  Keracunan
pengganti adalah 1.000-  Kombinasi terapi pada ECMO dan terapi
2.000 mL/jam. Laju yang lambat tidak akan sulih hati
efektif untuk pengeluaran solute secara
konveksi.
TATAlAKSANA MElAKUKAN CRRT DI
PICU
Secara skematis dapat digambarkan sirkuit
CVVHD sebagaimana gambar 27.9
Single pass atau
resirkulasi
Tahap pertama adalah pemilihan dan
pemasangan akses vaskuler yang sesuai
Darah Permeabilitas Darah
rendah 100-150 Akses vaskuler merupakan hal yang krusial
Mesin Dialisis
ml/menit pada tindakan CRRT terutama pada bayi dan
50-150
anak kecil. Tabel 27.4 menggambarkan
ml/menit pemilihan ukuran kateter untuk akses CRRT.
Pada CVVH akses terpilih terdiri dari v
Dialisat (Baru) Dialisat
(terpakai)
jugularis interna, v femoralis, v subklavia
(pada anak besar atau v umbilikalis pd
neonates atau melalui sirkuit ECMO.)
Gambar 27.8. Skema CvvhDf

Tahap kedua adalah menentukan pompa


Pemilihan CRRT untuk tatalaksana aliran darah
pasien dengan penyakit kritis dapat dilihat Pompa Aliran Darah
pada tabel 27.4. Patensi sirkuit ekstrakorporeal
membutuhkan penggunan antikoagulan secara  Laju aliran darah disesuaikan dengan usia
kontinu, yang akan menambahkan risiko dan berat badan pasien
komplikasi perdarahan dan membutuhkan  Laju aliran darah bervariasi setiap pasien
pemantauan.  Rata-rata 5 ml/mnt/kg
Tabel 27.4. Pemilihan CRRT pada pasien kritis di PICU
Indikasi Kondisi Klinis Terapi Pilihan
GGA tanpa komplikasi Nefrotoksisitas karena obat hDI dan PD
Kelebihan cairan Syok kardiogenik SCUf dan CAvh
Uremia GGA fase lanjut CAvhDf, CvvhDf, hDI
Tekanan tinggi intrakranial Perdarahan subarachnoid CvvhD, CAvhD
Syok Sepsis,ARDS Cvvh, CvvhDf, CAvhDf
Nutrisi luka bakar CAvhDf, CvvhDf, Cvvh
Overdosis obat Teofilin, barbiturat hemoperfusi, CvvhDf, hDI
Gangguan elektrolit hiperkalemi hDI, CvvhDf
Dikutip dari: Mandang j.Terapi sulih ginjal berkesinambungan.Majalah Perdici.vol1 no1 jan 2011

Tabel 27.5 Ukuran dan jenis kateter yang direkomendasikan pada berbagai usia dan berat
badan Jenis dan ukuran kateter Pabrik pembuat Peruntukan
lumen tunggal, 5 fr Cook Neonatus atau bayi kecil
lumen ganda, 7 fr Cook, Medcomp 3 – 6 Kg
lumen tripel 7fr Medcomp 3 – 6 kg
lumen ganda , 8 fr Kendall 6 – 30 kg
Arrow

Tahap ketiga: menentukan membran ukuran


 Klirens pada molekul yang sedang dan
filter
besar ditingkatkan dengan konveksi
Tidak ada rekomendasi khusus, diharapkan
memilih membran yang kompatibel.
Tahap keenam: menentukan dosis
 Laju aliran darah 3-5 ml/kg/mnt
Tahap keempat: priming
 Penggatian cairan 2000 ml/jam/1.72 m2 BSA
 Dilakukan heparinisasi dengan
 Dialisat 2000 ml/jam/1.73 m2 BSA
menggunakan heparin 5000 unit/L.
Pilihan antikoagulan dapat terdiri dari  Kecepatan pembuangan cairan 0.5-2.0
heparin, sitrat. Kerugian CRRT karena ml/kg/ jam
Antikoagulan harus diberikan kontinu.
Beberapa pasien membutuhkan priming Tahap ketujuh: menentukan laju ultrafiltrasi
darah untuk mencegah hipotensi/hemodilusi
 Dibatasi oleh jenis hemofilter yang dipakai
 Volume priming > 10-15% volume darah dan aliran darah yang tercapai masuk ke
pasien sirkuit.
 Darah yang sering digunakan adalah PRC  untuk menghindari pembentukan
bekuan filtrasi maka laju ultrafiltrasi /
Tahap kelima: menentukan modus laju aliran plasma harus <0.35-0.4
CRRT sesuai dengan tujuan terapi  Bila dipakai jenis CVVHD, laju aliran
dialisat yang adekuat berkisar antara 20-
 Dengan mengetahui tujuan terapi dapat 30 ml/ mnt/m2 (~2000ml/1.72m2/jam)
ditentukan jenis CRRT (penelitian konsisten pada data pasien
dewasa)
Gambar 27.9. Gambar skema sirkuit CRRT dengan berbagai jenisnya

Tabel 27.6. Koefisien sieving membran berpori besar dan membran berpori konvensional
Sitokin
Membran Karakteristik Il-8 TNfa Il-1 Il-10 Il-6 Albumin (bM=69
operatif (bM=8 kDa) (bM=17 kDa) (bM=17 (bM=17 (bM=26 kDa) kDa)
kDa) kDa)
100 kDa 1 l/h 0,31 0,27 0,81 0,56 0,73 0,06
polyamid [20]
6 l/h 0,19 0,09 0,75 0,56 0,32 0,0
Polyamid *[21] bervariasi 0,25 0 0,18 0
Polysulton *[22] 0,12 0,22 0,42 0 0,04
AN69** [23] 0,08 0,16 0,22 0 0,18

TNfa=tumor necrosis factor alpha, bM=berat molekul, *=Mean molecular weight cut-off (MwCO) 30 kDa,
**=MwCO 50 kDa. Membran AN69 dapat menimbulkan bradykinin release syndrome.
pada konsentrasi
Mutiara bernas
Langkah-langkah CRRT di PICU
• Pemilihan dan pemasangan akses
vaskular yang sesuai
• Menentukan pompa aliran darah
• Menentukan ukuran membran filter
• Priming
• Menentukan modus CRRT sesuai
tujuan terapi
• Menentukan dosis
• Menentukan laju ultrafiltrasi

AKSESvASKUlAR DAN
ANTIKOAGUlAN UNTUK CRRT
PADA ANAK
Prinsip akses vaskular CRRT pada anak
harus dapat dilalui aliran darah yang
adekuat, akses harus pendek dan cukup
besar, diameter akses, biasanya dikerjakan
di: vena jugular interna, subklavia atau
femoral ,dan ukuran lumen yang dipakai:
single lumen 5 Fr (pada 2 vena besar)
, double lumen 7 Fr, dan pada anak remaja
dipakai triple lumen 12 Fr. Antikoagulan yang
dipakai untuk mencegah terjadinya pembekuan
darah adalah berupa heparin ataupun
natrium sitrat atau bahkan tidak digunakan
antikoagulan sama sekali.

CRRT PADA ANAK SEPSIS


Sitokin pada sintesis nitric oxide yang terjadi
pada sepsis akan menurunkan resistensi
vaskuler secara sistemik. Vasodilatasi
arterial pada pasien sepsis merupakan
predisposisi terhadap AKI, kebutuhan akan
ventilasi mekanik, dan meningkatkan
mortalitas.
Sepsis dan SIRS membentuk suatu
mozaik kompleks yang saling terkait dengan
melibatkan mediator pleiotropik dengan
berat molekul 5000 hingga 70000 KD
rendah. Melalui CRRT, mediator-mediator tubular akut, nekrosis hati, pneumonia.
inflamasi yang berlebihan dapat dikeluarkan Beberapa penelitian lain juga menunjukkan
dengan melalui sebuah paradigm yang efektifitas CRRT pada kasus-kasus sakit kritis
dikenal dengan “the peak pada anak.
concentrationhypothesis” yang memberikan
prognosis lebih baikpada beberapa situasi
klinis. DAfTAR PUSTAKA
1. Andreoli S Acute renal failure Curr Opin
luaran tindakan medik CRRT Pediatr 2002;14(2):183-8
Pada kasus AKI dengan sebab sekunder 2. Bellomo R, Ronco C. Continuous
prenal biasanya CVVH akan sangat efektif haemofiltration in the intensive care unit.
mengatasi gangguan keseimbangan cairan Crit Care. 2000; 4:339-45
dan elektrolit serta sangat efektif mencegah 3. Bellomo R, Ronco C. Renal replacement therapy
azotemia. Pada suatu penelitian in the intensive care unit. Crit Care Resus.
retrospektif di unit PICU rumah sakit 1999;1 : 13-24.
anak Texas dari bulan Februari 1996- 4. Bunchman T et al Pediatric hemofiltration:
September 1998 (32 bulan), dari seluruh Normocarb dialysate solution with citrate
anak (22 anak) yang dilakukan CVVHD anticoagulation. Pediatr Nephrol 2002;17:150-4
didapatkan: angka kesintasan 5. Butt W, Skippen P, Jouvet P. Renal
keseluruhan sebesar 41% (9/22). Khusus Replacement Therapies. Dalam : Nichols D,
pada sepsis angka kesintasannya mencapai Ackerman A, Argent A, Biagas K, Carcillo J,
45%. Kasus-kasus yang dilakukan CVVHD Dalton H. Roger’s Textbook of Pediatric
pada penelitian ini meliputi sepsis, syok Intensive Care,
kardiogenik, syok hipovolemik, nekrosis
4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins,
patients: convection versus diffusion. Crit
Baltimore 2008.
Care. 2006;10:R67
6. Chaturvedi M. Continuous renal
15. Ronco C, Inguaggiato P, D’Intini’ V, Cole L,
replacement therapy (CRRT). The Indian
Bellomo R, Poulin’ S, Bordoni V, Crepaldi C,
Anaesthetists’Forum. Oktober 2004.
Gastaldon F, Brendolan A, Trairak P, Khajohn
7. Dirkes S, Hodge K. Continuous renal T. The role of extracoporeal therapies in
replacement therapy in adult intensive care sepsis. J Nephrol. 2003;16: S34-41
unit. Crit Care Nurs. 2007; 27: 61-80.
16. Self-learning Pocket. Principles of continuous
8. Goldstein S et al Outcome in children renal replacement therapy. Orlando Regonal
receiving CVVH. Pediatrics Healthcare, Education and Development, 2005.
2001;107(6):1309-12
17. Smoyer W et al Determinants of survival in
9. Joy MS, Matzke GR, Armstrong DK, Marx pediatric continuous hemofiltration JAm Soc
MA, Zarowitz BJ. A primer on continous Nephrol 1995;6:1401-9
renal replacement therapy for critically ill
18. Stickle SH, Brewer ED, Goldstein SL.
patients. Ann Pharmacother. 1998; 32:362-
Pediatric epidemiology at a tertiary care
75.
center from 1999 to 2001. Am J Kidney Dis
10. Lowrie L Renal replacement therapies in 2004;45h. 96-101
pediatric multi-organ dysfunction syndrome
19. Symons J et al Continuous renal replacement
Pediatr Nephrol 2000;14:6-12
therapy in children up to 10 kg Am J Kidney
11. Mandang J. Terapi Dis 2003;41(5):984-9
sulihginjalberkesinambungan. Majalah
20. Van J, Koster-Kamphius L. Continuous
Perdici. Vol1 no1 jan 2011
renal replacement therapy the basic. UMC
12. Mogal N et al A review of acute renal University Children’s Hospital Nijmegen The
failure in children: incidence, etiology and Netherlands.
outcome Clin Nephrol 1998;49:91-95
21. Vanholder R, Van Biesen W, Lamiere N.
13. Puspanjono M, Pudjiadi A, Latief A, Chair What Is the renal replacement method of
I, Darwis D, Dewi R,et.al. Pediatric first choice for intensive care patients. J Am
Continuous renal replacement therapy. Soc Nephrol. 2001;12:S40-3.
Suplemen 3rd PICU NICU Update, 2010.
22. Vankataraman R, Subramanian S, Kellum JA.
Indonesia.
Extracorporeal blood purification in severe
14. Ricci Z, Ronco C, Bachetonia A, D’amico sepsis. Crit Care. 2003;7:139-45.
G, Rossi S. Solute removal during
continous renal replecement therapy in
critically ill
28 Tata laksana Keracunan
Enny Harliani Alwi

transplasenta. Keracunan dapat bersifat akut


PENDAhUlUAN atau kronis. Keracunan terbanyak yang ditangani
di unit gawat darurat adalah keracunan
Keracunan adalah terpaparnya korban oleh akut.
suatu zat toksik yang menimbulkan gejala
dan tanda disfungsi organ serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian. PENDEKATAN KlINIS KERACUNAN
Sebagian besar paparan dengan zat racun tidak
atau hanya menimbulkan efek minimal Anamnesis
sehingga morbiditas dan mortalitas akibat
paparan ini jarang terjadi. Insidens puncak Anamnesis singkat dan terfokus harus
keracunan terjadi pada anak usia kurang dari dilakukan segera setelah perawatan suportif
2 tahun, dan kebanyakan kasus terjadi diberikan. Tujuan utamanya adalah untuk
pada anak berusia kurang dari 5-6 tahun. menentukan beratnya paparan. Seringkali
Menurut American Association of Poison anak dibawa ke unit gawat darurat dengan
Control Center’s National Poison Data System, riwayat paparan yang tidak jelas, karena
sekitar 85% - 90% kasus keracunan pada anak itu bila mengobati seorang anak, petugas
terjadi pada usia kurang dari 5 tahun, dan medis harus selalu mempertimbangkan
sisanya sekitar 10% - 15 % terjadi pada anak kemungkinan keracunan.
usia lebih dari 5 tahun. Keracunan pada Kejadian keracunan pada anak harus
anak usia kurang dari 5 tahun umumnya dicurigai apabila didapatkan awitan penyakit
terjadi karena kecelakaan (tidak sengaja), yang akut, usia antara 1-5 tahun atau remaja,
sedangkan keracunan pada anak usia lebih riwayat pika atau diketahui pernah terpapar
dari 5 tahun terjadi akibat kesengajaan. dengan zat toksik, adanya stres lingkungan
Anak mempunyai risiko keracunan karena baik akut (baru mendapat bayi, orang tua
karakteristik perkembangan dan sakit berat), maupun kronis (konflik
lingkungannya. Anak memiliki rasa ingin tahu rumah tangga, parental disability), mengenai
yang besar, tidak bisa diam, sering sistem multiorgan, perubahan tingkat
memasukkan segala sesuatu ke mulut, kesadaran yang signifikan, serta adanya
meniru tingkah laku, serta tidak dapat gambaran klinis yang membingungkan.
membedakan zat toksik dan non toksik. Anamnesis yang lengkap dapat
Sedangkan faktor lingkungan antara lain zat diperoleh dari anggota keluarga, orang yang
toksik diletakkan pada tempat yang mudah menyaksikan kejadian, teman, atau
dijangkau oleh anak dan kurangnya penolong. Sering kali pada saat kejadian
pengawasan dari pengasuh. pasien tidak didampingi oleh siapapun
Zat toksik dapat masuk melalui sehingga sulit untuk mendapatkan informasi
saluran cerna (tertelan), mata, mengenai jenis racun. Keadaan saat pasien
topikal/dermal, gigitan binatang berbisa ditemukan dapat memberi gambaran
(envenomasi), inhalasi, dan
250 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

keracunan yang terjadi. Benda yang ada di alergi obat, keluarga, dan sosial). Kecurigaan
dekat pasien, seperti obat-obatan atau bahan adanya child abuse harus dipertimbangkan
kimia tertentu, sangat penting untuk apabila anamnesis yang diperoleh dari orangtua
identifikasi zat yang termakan, jumlah dan tidak konsisten.
lamanya terpapar, serta pertolongan pertama
yang sudah diberikan.
Informasi yang perlu ditanyakan dalam Pemeriksaan fisis
anamnesis adalah hal-hal yang berhubungan Perhatian utama pemeriksaan fisis dimulai
dengan racun seperti jenis, jumlah, dosis, pada tanda vital termasuk suhu tubuh.
dan saat terjadinya keracunan; kecelakaan Selanjutnya sistem saraf pusat dan otonom,
atau disengaja (misalnya percobaan bunuh mata, perubahan pada kulit dan/atau mukosa
diri), riwayat medis saat ini (gejala-gejala mulut dan saluran cerna, serta bau napas
dan pengobatan yang sedang diterima), serta atau pakaian korban. Tanda dan gejala
riwayat medis masa lalu (riwayat percobaan yang dapat mengarahkan kecurigaan pada
bunuh diri, golongan racun spesifik tertentu secara umum
dikelompokkan kedalam sindroma yang disebut
sebagai toxidromes. Pengelompokan ini penting
Mutiara bernas dalam menentukan pola keracunan.
• Kejadian keracunan pada anak harus Toxidromes klasik dikelompokkan ke dalam
4 kategori, yaitu: sindroma simpatomimetik,
dicurigai apabila didapatkan awitan
kolinergik, antikolinergik, dan opiat-sedatif-
penyakit yang akut, usia antara 1-5
etanol.
tahun atau remaja, riwayat pika atau
diketahui pernah terpapar dengan zat
toksik. Kardiopulmonal. Racun dapat menyebabkan
• Presentasi klinis yang membingungkan berbagai penyimpangan pada sistem
kardiovaskular seperti hipertensi atau hipotensi
ditambah dengan keterlibatan
yang disebabkan oleh efek langsung racun pada
beberapa organ sekaligus juga
otot polos pembuluh darah, efek neurogenik
memperkuat dugaan terjadinya

Tabel 27.1. Manifestasi klinis toxidrome


Sindroma Gejala/tanda Etiologi
Antikolinergik Agitasi,takipnea, takikardia, hipertermi, penglihatan kabur, Atropin, difenhidramin,
pupil dilatasi, retensi urin, bising usus menurun, kulit merah skopolamin
dan kering
Organofosfat, karbamat, jamur
Kolinergik Perubahan status mental, takipnea, bronkospasme, bradikardia
atau takikardia, salivasi, miosis, poliuri, defekasi, emesis,
lakrimasi, kejang, diaforesis
Kodein, fentanil, heroin,metadon,
Opioid Perubahan status mental, bradikardia atau apnea, dekstrometorfan
bradikardia, hipotensi, pupil pintpoint, hipotermia
Sedatif/ bicara cadel, bingung, hipotensi, takikardia, pupil Etanol, antikonvulsan, barbiturat,
hipnotik dilatasi/ konstriksi, mulut kering, depresi pernapasan, benzodiazepin
hipotermia, delirium, halusinasi, koma, parestesia, penglihatan
kabur, ataksia, nistagmus
Simpatomimetik Agitasi, takipnea, takikardia, hipertensi, bicara dan Albuterol, amfetamin (ectasy),
aktifitas motorik berlebihan, tremor, pupil dilatasi, kafein, kokain, epinefrin, efedrin,
disorientasi, insomnia, psikosis, kejang, diaforesis metamfetamin, pseudoefedrin
pada pusat saraf otonom, dan efek
putih untuk keracunan arsenik, organofosfat,
langsung pada jantung dan ginjal. Hipertensi
dan fosfor; bau aseton untuk keracunan
terjadi pada overdosis kokain, amfetamin,
aseton, isopropanolol, dan salisilat.
simpatomimetik, atau withdrawal sedatif
atau narkotika; obat- obatan ini juga dapat
menyebabkan takikardia. Hipotensi Evaluasi laboratoris
berhubungan dengan obat- obatan
penghambat beta, hipnotik-sedatif, narkotika, Sebagian besar keracunan dapat ditangani
digitalis, calcium channel antagonists atau dengan adekuat tanpa memerlukan
klonidin; obat-obatan ini juga dapat pemeriksaan laboratorium yang berlebihan.
menyebabkan terjadinya hipotermia. Depresi Pemeriksaan toksikologi jarang bermanfaat
pernapasan terjadi pada overdosis hipnotik- pada penanganan keracunan akut. Investigasi
sedatif dan narkotika, meningkat pada keadaan dapat dilakukan melalui pemeriksaan
aspirasi pulmonal (hidrokarbon), edema laboratorium (darah, urin, cairan lambung);
pulmonal (inhalasi asap, narkotika, salisilat), radiologis (foto dada); elektrokardiografi
dan asidosis metabolik (etilen glikol, (EKG), dan elektro- ensefalografi (EEG).
metanol, salisilat). Semua pemeriksaan yang dilakukan harus
berdasarkan indikasi, bukan secara rutin.
Pasien dengan gangguan pada susunan
Neurologis. Pemeriksaan neurologis sangat saraf pusat (SSP) atau kardiopulmonal
penting, karena banyak racun yang menekan memerlukan pemantauan irama jantung.
tingkat kesadaran dapat dengan langsung Jika terdapat gangguan irama jantung, atau
mempengaruhi usaha napas atau menyebabkan diketahui pasien menelan racun kardiotoksik
hipoksia karena hilangnya refleks proteksi jalan (antidepresan trisiklik atau digitalis), pasang
napas. EKG dan pantau tekanan darah. Jika
Pupil merupakan tanda neurologis yang terdapat gangguan kesadaran atau pernapasan,
sangat berguna. Perubahan pupil yang simetris lakukan foto dada. Beberapa obat seperti zat
khas pada paparan dengan racun, sedangkan besi, logam berat dan kapsul enteric-coated,
pupil yang asimetris tersering dijumpai pada dapat dilihat dengan foto abdomen.
kelainan neurologik struktural atau fokal. Elektrolit dan analisis gas darah
Pada pemeriksaan neurologis sering (AGD) memberikan informasi yang berguna
dijumpai nistagmus, tinitus, dan gangguan mengenai proses metabolik atau toksik. Jika
penglihatan. gambaran AGD menunjukkan asidosis metabolik,
perhitungan kesenjangan anion (anion gap/
AG) akan memberikan informasi yang
Manifestasi dermatologis dan bau berharga.
Pemeriksaan dermatologis dapat mengidentifikasi Warna urin merah muda menandakan
berbagai toksin. Abuse dengan cara inhalasi keracunan fenotiazin, hemoglobinuria atau
akan menimbulkan kemerahan disekitar mulut mioglobinuria. Darah yang berwarna coklat
dan hidung. Adanya tusukan jarum atau tato menandakan methemoglobinemia. Adanya kristal
mengarah kepada pemakaian obat intravena. oksalat pada urin merupakan petunjuk khas
Pemeriksaan kulit harus difokuskan pada keracunan etilenglikol. Ketonuria disertai
tempat akses intravena, termasuk lipatan perubahan metabolik terjadi pada keracunan
paha, leher, daerah supraklavikula, dorsum alkohol dan aseton; sedangkan ketonuria tanpa
pedis, dan lidah. disertai perubahan metabolik dapat merupakan
Bau yang khas dapat merupakan gejala keracunan salisilat.
tanda dari berbagai toksin, misalnya bau
bawang
Tata laksana  Keracunan zat inhalasi: segera pindahkan
Tata laksana keracunan didasarkan pada empat korban ke area terbuka yang mengandung
prinsip umum berikut ini: banyak oksigen bebas
 Perawatan suportif, dengan penilaian  Dekontaminasi saluran cerna: tidak ada
menggunakan PAT (pediatric assessment pendekatan dekontaminasi khusus yang
triangle) dan ABC (airway, breathing, optimal untuk kasus keracunan. Faktor
circulation). yang harus dipertimbangkan adalah
 Mencegah atau mengurangi absorpsi tingkat toksisitas dan fisik zat toksik,
lokasi zat toksik di dalam tubuh, dan
 Meningkatkan ekskresi adanya kontraindikasi atau alternatif
 Pemberian antidotum tindakan.

 Pengosongan lambung. Tujuan pengosongan


Penilaian Awal lambung adalah membersihkan lambung
Lakukan penilaian dengan cepat untuk dari sisa racun untuk mencegah efek
menentukan adanya gagal napas atau syok lokal atau penyerapan sistemik lebih
dengan menggunakan PAT, dan memutuskan lanjut. Manfaat pengosongan lambung
perlu atau tidaknya dilakukan langkah berkurang seiring dengan berjalannya
ABC resusitasi. Mengingat bahaya utama waktu, paling efektif bila dikerjakan dini
keracunan adalah aspirasi, hipoventilasi, setelah tertelan racun, pada saat
hipoksia, hipotensi dan aritmia jantung, obat yang belum diabsorpsi masih
maka aspek terpenting pada tata laksana berada di dalam lambung (30 menit
keracunan adalah mempertahankan jalan sampai 1 jam pertama).
napas, ventilasi dan sirkulasi. Apabila Emesis (muntah) merupakan salah
didapatkan gangguan, beri oksigen, dukungan satu cara pengosongan lambung namun
ventilasi, terapi spesifik dan resusitasi cairan. tindakan ini sudah jarang dilakukan.
American Academy of Pediatrics (AAP)
Mencegah/mengurangi absorpsi tidak merekomendasikan pemakaiannya
secara rutin pada pasien keracunan baik
(dekontaminasi) di rumah maupun fasilitas kesehatan.
Tindakan dekontaminasi dilakukan secara Apabila pasien sadar, muntah dapat
individual, tergantung pada jenis dan rute diinduksi dengan cara stimulasi faring
paparan serta lamanya zat racun tertelan. mempergunakan pipa nasogastrik atau
 Dekontaminasi kulit: lepaskan pakaian dan pemberian sirup ipekak.
letakkan dalam kantung plastik. Aliri Ipekak mengandung dua emetik
bagian tubuh yang terpapar dengan air, alkaloid yang bekerja pada sistem
cegah jangan sampai bagian tubuh yang saraf pusat dan secara lokal pada
lain terkontaminasi. Cuci bagian tubuh yang saluran cerna untuk menimbulkan
yang terpapar dengan air dan sabun muntah. Cara ini hanya efektif apabila
selama 10-15 menit diberikan dalam menit-menit pertama
 Dekontaminasi mata: aliri mata yang setelah zat racun tertelan, dan
terpapar racun dengan menggunakan manfaatnya sangat dibatasi oleh
NaCl fisiologis atau air bersih hangat waktu. Sirup ipekak diberikan secara
selama 20 menit, kecuali pada paparan per oral dengan dosis 10 mL untuk bayi
dengan alkali diperlukan waktu 30-60 6-12 bulan, 15 mL untuk anak 1 – 12
menit tahun, dan 30 mL untuk anak yang
lebih besar; tidak boleh diberikan lain desaturasi oksigen, pneumonia
pada bayi < 6 bulan karena risiko aspirasi, trauma mekanik pada
aspirasi. Bila perlu, pemberiannya orofaring dan
dapat diulang tiap 20 menit. Awitan
muntah biasanya terjadi dalam
waktu 20 – 30 menit.
Kontraindikasi induksi muntah
adalah menelan zat racun dengan
kadar toksik yang minimal (misalnya
antibiotika, vitamin, zat besi,
asetaminofen
<100 mg/kg), telah memuntahkan
racun, usia kurang dari 6 bulan,
koma, kejang, hilangnya gag reflex, dan
tertelan zat korosif (asam atau basa
kuat) atau hidrokarbon. Untuk kasus
keracunan hidrokarbon, induksi
muntah hanya dilakukan apabila
tertelan >1 mL/kgBB atau
mengandung logam berat.
Bilas lambung biasanya dilakukan
pada pasien yang menelan racun
dalam jumlah yang potensial
mengancam jiwa. Tindakan ini telah
dilakukan sejak lebih dari dua abad
lalu namun sampai saat ini masih
kontroversial. Banyak ahli lebih
menganjurkan pemberian arang aktif
untuk dekontaminasi, sehingga
tindakan ini tidak boleh dilakukan
secara rutin, harus
mempertimbangkan untung ruginya.
Efektivitas bilas lambung tergantung
lama dan jenis racun yang tetelan.
Agar bilas lambung efektif, posisi
pasien yang terbaik adalah left lateral
head down (20O dari permukaan
meja) dengan pipa nasogastrik ukuran
terbesar yang dapat masuk. Isi
lambung harus diaspirasi terlebih
dahulu sebelum cairan pembilas
dimasukkan. Gunakan larutan garam
fisiologis hangat 10-20 mL/kg, atau
50-100 mL pada anak kecil dan 150-
200 mL pada remaja, dapat diulang
sampai cairan yang keluar bersih.
Komplikasi bilas lambung antara
esofagus, serta gangguan keseimbangan hidrokarbon). Arang aktif biasanya
elektrolit. Kontra-indikasinya adalah diberikan setelah dilakukan bilas
hilangnya proteksi saluran napas, lambung.
terdapat risiko perdarahan atau
perforasi saluran cerna, tertelan zat  Katartik. Terdapat 2 jenis katartik
korosif (asam atau basa) atau osmotik yang paling sering digunakan
hidrokarbon, aritmia jantung. dalam penanganan keracunan, yaitu
katartik sakarida (sorbitol, dosis
 Arang aktif. Arang aktif merupakan maksimum 1g/kg) dan katartik garam
terapi yang efektif karena dapat (magnesium sulfat, dosis maksimum
menurunkan absorpsi zat toksik. 250 mg/kg; dan magnesium sitrat, dosis
Pemberian arang aktif menjadi maksimum 250 mL/kg). Pemakaian
pilihan strategi dekontaminasi pada rutin katartik bersamaan dengan
anak dan paling efektif bila diberikan arang aktif tidak direkomendasikan.
dalam jam pertama. Dosis arang Katartik harus digunakan secara hati-
aktif adalah 1 – hati karena risiko terjadinya dehidrasi,
2 g/kg (maksimum 100 g) per gangguan keseimbangan elektrolit,
dosis. Kontraindikasi pemakaian dan obstruksi intestinal. Mengingat
yaitu pada pasien dengan jalan risiko tersebut, saat ini penggunanan
napas yang tidak terlindungi, katartik tidak dianjurkan lagi, di
saluran cerna yang tidak intak samping hasilnya yang tidak terbukti
(setelah keracunan kaustik yang menguntungkan pasien.
berat), atau apabila pemberiannya akan Kontraindikasi pemberian katartik
meningkatkan risikodanberatnya aspirasi adalah tertelan zat korosif, diare berat,
(misalnya pada keracunan
ileus, gangguan elektrolit berat, dan bikarbonat 1-2 mEq/kg iv dalam waktu 1-2
adanya riwayat pembedahan. jam sambil memantau kemungkinan
hipokalemia akibat perpindahan kalium
 Irigasi usus (Whole Bowel Irrigation/ intraselular. Pemantauan juga harus
WBI) dilakukan terhadap jumlah cairan dan
Merupakan salah satu teknik natrium yang diberikan, terutama pada
dekontaminasi saluran cerna dengan pasien yang mempunyai risiko gagal jantung
menggunakan cairan nonabsorbable kongestif dan edema paru. Kecepatan infus
hypertonic solution (polyethylen glycol- bikarbonat disesuaikan untuk
balanced electrolyte solution/PEG-ES) mempertahankan pH urin antara 7,5 -
dalam jumlah besar dan aliran 8,5. Asidifikasi urin tidak pernah
cepat. Dosis yang dianjurkan adalah diindikasikan karena dapat menyebabkan
500 mL/ jam untuk anak usia 9 bulan efek samping yang serius seperti asidosis
– 6 tahun, 1000 mL/jam pada anak dan eksaserbasi rabdomiolisis.
usia 6-12 tahun, dan 1500-2000
mL/jam pada remaja dan dewasa.  Dialisis. Dialisis diindikasikan pada kasus
Metode ini masih kontroversial, karena keracunan berat tertentu atau bila
belum ada penelitian yang terdapat gagal ginjal, dan dilakukan bila
membuktikan efektivitasnya. Teknik ini pasien memenuhi salah satu kriteria klinis
direkomendasikan pada kasus berikut:
keracunan logam berat, zat besi, tablet a. Keracunan sangat mengancam kehidupan
lepas lambat (sustained-release) atau yang disebabkan oleh obat yang bisa
enteric-coated, dan kokain. didialisis dan tidak dapat diterapi
Kontraindikasi relatif tindakan ini secara konservatif,
adalah adanya kelainan usus dan
obstruksi usus. b. Hipotensi mengancam fungsi ginjal atau
hati yang tidak bisa dikoreksi
dengan penambahan cairan biasa,
c. Gangguan asam basa, elektrolit,
Meningkatkan Ekskresi (mempercepat
atau hiperosmolalitas berat yang
eliminasi racun) tidak berespons terhadap terapi,
Prosedur untuk meningkatkan eliminasi racun atau
yang diserap terdiri dari arang aktif dosis d. Hipotermia atau hipertermia berat yang
multipel, alkalinisasi diuresis/urin, dialisis tidak berespons terhadap terapi.
dan hemoperfusi. Mengingat risikonya, maka
tindakan ini hanya dilakukan pada kasus Hemodialisis bermanfaat untuk
yang tidak ada perbaikan atau diharapkan penanganan keracunan zat yang
adanya manfaat tertentu. mempunyai berat molekul rendah
dengan volume distribusi dan ikatan
 Alkalinisasi diuresis/urin. Alkalinisasi terhadap protein yang rendah sehingga
urin membantu pengeluaran salisilat dan dapat menyebabkan efek klinis yang
asam jengkolat. Selain itu, alkalinisasi berat atau mengancam jiwa (seperti
juga meningkatkan pengeluaran aspirin, teofilin, litium, dan alkohol),
fenobarbital, klorpropamid dan herbisida dan apabila tidak didapatkan terapi
klorofenoksi, tetapi bukan merupakan terapi alternatif yang kurang invasif. Hemodialisis
utama. Alkalinisasi urin dilakukan dengan merupakan cara dialisis yang paling efektif
memberikan natrium tetapi memerlukan kemampuan teknik
yang tinggi, sehingga tidak selalu tersedia.
 Hemoperfusi. Indikasi hemoperfusi sama Tabel 27.2.Antidotum
dengan hemodialisis, tetapi teknik ini jarang jenis Racun Antidotum
diperlukan. Pada keracunan obat tertentu, • Asetaminofen • N-Asetil-l-Sistein
hemoperfusi mempunyai keuntungan • Antikolinergik • Physostigmine
yang lebih besar dibandingkan • Antikolinesterase • Atropin, pralidoksim
(insektisida)
hemodialisis, misalnya pada keracunan • benzodiazepin • flumazenil
teofilin, namun keracunan teofilin saat • Penghambat  • Glukagon
ini sudah jarang dijumpai. • Karbon monoksida • Oksigen
 Arang aktif dosis multipel (Multiple- • Sianida • Amyl nitrit, sodium
nitrit, sodium tiosulfat
Dose Activated Charcoal/GastroIntestinal • Antidepresan trisiklik • Natrium bikarbonat
Dialysis). Beberapa hasil penelitian • Digoksin • Digoksin spesifik Fab
memperlihatkan adanya peningkatan • Etilen glikol • Etanol
signifikan pengeluaran beberapa jenis racun • Zat besi • Desferoksamin
dengan pemberian berulang arang aktif. • Isoniazid • Piridoksin
Dosis yang dianjurkan 0,5-1 g/kg, diulang • Timah hitam • bAl, kalsium EDTA
• Merkuri • bAl, DMSA
setiap 4-6 jam. Dengan cara ini, obat
• Metanol • Etanol, 4-MP
bebas yang berdifusi dari kapiler • Methemoglobinemia • Methylene blue
periluminar ke
lumen usus akan diikat oleh arang aktif harus segera diberikan sambil menunggu
yang selalu ada di dalam lumen. Selain pemberian antidotum. Tujuan terapi suportif
itu resirkulasi enterohepatik dari beberapa adalah mempertahankan fungsi
jenis obat dapat dihentikan karena
reabsorpsinya melalui empedu dicegah.
Agar tindakan ini dapat dilakukan dengan
aman dan efektif, syaratnya adalah
peristaltik aktif, gag reflex intak, atau jalan
napas terlindungi. Pemberian arang aktif
dosis multipel dipertimbangkan pada
keracunan fenobarbital, karbamazepin,
fenitoin, digoksin, salisilat dan teofilin.
Untuk mencegah terjadinya obstipasi, maka
setiap tiga siklus diberikan katartik seperti
sorbitol.

Pemberian Antidotum
Setelah dilakukan evaluasi awal dan
stabilisasi pasien, langkah selanjutnya adalah
mempertimbangkan perlu tidaknya terapi
spesifik atau antidotum. Apabila antidotum
spesifik tersedia, maka harus diberikan
sesegera mungkin dengan dosis yang
sesuai.
Tidaksemuazat toksik memiliki
antidotum. Meskipun antidotum tersedia, tidak
mengurangi pentingnya pemberian terapi
suportif atau terapi lainnya. Terapi suportif
• Opioid • Nalokson Pemantauan
Dikutip dari: Erickson,APlS The pediatric
emergency medicine resource. 2004 Setelah semua tahap tata laksana terhadap
kasus keracunan dilakukan, sebaiknya pasien
organ vital sampai racun dikeluarkan dari dirawat atau diobservasi di ruang perawatan
tubuh dan fisiologi tubuh kembali normal. intensif.
Pemantauan pasien dapat dilakukan

Mutiara
bernas laksan
Tata keracunan didasarka
pada empat a prinsip umum yang terdiri
n dari:
Perawatan suportif, mencegah atau
mengurangi absorpsi, meningkatkan
ekskresi, dan pemberian antidotum.
Tidak semua zat toksik memiliki antidotum.
Meskipun antidotum tersedia, tidak
mengurangi pentingnya pemberian terapi
suportif atau terapi lainnya.
secara multidisiplin tergantung kerusakan tersering
organ tubuh yang tejadi, misalnya oleh
psikiater bila merupakan percobaan bunuh
diri, ahli bedah, ahli mata bila terjadi
kerusakan mata, dan dokter ahli lainnya.

Pencegahan
Tata laksana keracunan bukan hal yang
sederhana, tetapi cukup kompleks dan hanya
sedikit zat yang telah diketahui
antidotumnya dengan segala
konsekuensinya. Pencegahan merupakan
hal yang relatif lebih sederhana dan
mudah dilakukan, oleh karena itu perlu
disosialisasikan kepada masyarakat luas
mengenai bahaya keracunan dan pencegahan
yang dapat dilakukan di rumah.
Beberapa hal penting yang harus
diperhatikan antara lain obat-obatan dan zat
pembersih rumah tangga harus disimpan
dalam lemari terkunci, penyimpanan obat
harus dalam tempat yang seharusnya, tidak
membuang etiket atau label pada botol obat
dan membaca petunjuk pemakaian sebelum
menggunakannya, gunakan tempat
penyimpanan yang tidak dapat dibuka oleh
anak, nyalakan lampu saat akan
memberikan obat, tidak mengkonsumsi obat
di depan anak karena mereka akan
menirunya, tidak menyebut obat dengan
sebutan permen karena itu akan
membingungkan anak, ajarkan pada anak
untuk tidak makan atau minum apa pun
kecuali telah diizinkan oleh orang dewasa,
setiap 6 bulan bersihkan lemari dari obat-
obatan yang sudah kadaluwarsa, dan jauhkan
anak- anak dari tanaman beracun.

Keracunan Zat Spesifik


Jenis-jenis bahan atau zat yang dapat
menyebabkan keracunan pada anak sangat
beraneka ragam. Selain obat-obatan, produk
rumah tangga merupakan penyebab
tersering keracunan pada anak terutama
yang mengandung minyak tanah. Minyak
tanah merupakan penyebab keracunan
karena produk tersebut banyak salisilat. Salisilat juga mempengaruhi
digunakan oleh kalangan sosioekonomi metabolisme glukosa dan dapat
rendah dan sering disimpan di tempat menyebabkan hipoglikemia atau
yang mudah diraih oleh anak. hiperglikemia.
Gejala dan tanda keracunan salisilat
Salisilat tergantung pada cara dan beratnya
keracunan. Menelan 150-300 mg/kg
Salisilat adalah kelompok bahan- menimbulkan gejala keracunan ringan, 300-
bahan kimia dari asam salisilat yang 500 mg/kg menimbulkan keracunan sedang,
telah lama diketahui sebagai asam dan lebih dari 500 mg/ kg dapat
asetilsalisilat (aspirin). Setelah menyebabkan kematian. Keracunan ringan
tertelan, aspirin akan dimetabolisme menimbulkan gejala gangguan saluran cerna,
menjadi asam salisilat (salisilat). tinitus dan takipnea. Keracunan sedang
Keracunan aspirin sering terjadi menimbulkan gejala demam, diaforesis, dan
namun jarang tercatat karena sering agitasi, sedangkan pada keracunan berat
tidak dikenal gejala-gejalanya. Dalam akan timbul gejala neurologis berupa disartria,
beberapa tahun terakhir ini frekuensi koma dan kejang. Pada keracunan berat juga
keracunan salisilat kembali dapat terjadi edema paru. Kematian terjadi
meningkat. akibat toksisitas pada SSP yang berat dengan
Efek langsung salisilat pada hilangnya fungsi pusat kardiorespirasi,
metabolisme beragam. Salisilat akan akibatnya terjadi gagal napas dan/atau henti
merangsang pusat pernapasan di jantung.
medula yang akan menyebabkan Penilaian pasien keracunan salisilat
takipnea dan alkalosis respiratorik. dimulai dengan anamnesis yang akurat
Kombinasi alkalosis respiratotik dan untuk menentukan keracunan terjadi
asidosis metabolik merupakan gejala secara akut atau kronis. Pemeriksaan
patognomonik untuk keracunan laboratorium meliputi
kadar salisilat serum, elektrolit, analisis gas TEPP), dan karbamat (carbaryl, sevin,
darah, tes fungsi hati, darah rutin, aPTT, zectran).
PT, urinalisis dan EKG.
Perawatan suportif terdiri dari
penilaian fungsi ventilasi, pemantauan
jantung, dan pemasangan akses vaskular.
Keracunan salisilat menyebabkan pengosongan
lambung menjadi lambat, maka dekontaminasi
saluran cerna harus dipertimbangkan dengan
hati-hati pada pasien yang datang 4-6 jam
setelah tertelan salisilat. Apabila pasien
datang setelah 6 jam, berikan arang aktif
untuk meningkatkan pengeluaran salisilat
(GI diayisis).
Tujuan spesifik terapi keracunan
salisilat adalah mengkoreksi gangguan
cairan dan elektrolit, serta meningkatkan
pengeluaran salisilat. Terapi cairan ditujukan
untuk memperbaiki hidrasi dan keseimbangan
elektrolit, mencegah penyebaran salisilat ke
otak, dan mendukung ekskresi salisilat oleh
ginjal. Kadar pH darah harus dipertahankan
antara 7,45-7,5 dengan pemberian natrium
bikarbonat. Alkalinisasi urin akan
meningkatkan eliminasi salisilat melalui
ionisasi salisilat. Salisilat yang terionisasi tidak
dapat direabsorpsi di tubulus ginjal (ion
trapping), sehingga eliminasinya melalui urin
meningkat dan konsentrasi salisilat di SSP
berkurang. Hipokalemia akan mengurangi
kemampuan ginjal membuat urin alkali,
maka ke dalam cairan intravena harus
ditambahkan kalium.
Hemodialisis harus dipertimbangkan pada
keracunan berat. Indikasi khusus hemodialisis
yaitu bila didapatkan asidosis berat atau
gangguan elektrolit, gagal ginjal, disfungsi
neurologis persisten (kejang), edema paru,
atau keadaan klinis memburuk dengan
terapi standar.

Insektisida
Insektisida digolongan menjadi: chlorinated
hydrocarbons (aldrin, DDT, dieldrin, endrin,
lindane), organofosfat (klorotion, DFP,
diazinon, malation, paration, phosdrin, thio-
 Chlorinated hydrocarbons inhalasi, saluran cerna, dan penetrasi
Absorpsi terjadi melalui kulit, saluran kulit. Organofosfat bekerja dengan cara
napas, dan saluran cerna. Gejala mengikat dan menginaktivasi asetilkolin
keracunan hidrokarbon adalah salivasi, esterase, akibatnya terjadi akumulasi
iritabilitas saluran cerna, nyeri perut, asetilkolin pada cholinergic junctions di
muntah, diare, depresi SSP, dan kejang. efektor otonom (menimbulkan efek
Paparan inhalasi menyebabkan iritasi muskarinik), otot skelet atau ganglia
mata, hidung, dan tenggorokan, otonom (menimbulkan efek nikotinik),
pandangan kabur, batuk, dan edema dan di SSP yang bersifat ireversibel.
paru. Gejala yang timbul tergantung pada rute,
Tata laksana keracunan hidrokarbon lama paparan, dan jumlah zat yang
terdiri dari dekontaminasi kulit dengan diabsorpsi. Toksisitas organofosfat
sabun dan pengosongan isi lambung. terjadi dalam 12 jam setelah paparan.
Semua pakaian yang terkontaminasi Gejala klinis yang berhubungan dengan
harus dilepaskan. Pemberian susu atau SSP adalah pusing, nyeri kepala,
produk-produk yang mengandung lemak ataksia, kejang dan koma; tanda
harus dihindari karena dapat nikotinik terdiri dari berkeringat,
mempercepat absorpsi racun. Bila fasikulasi, tremor, kelemahan dan paralisis
terdapat kejang, berikan diazepam 0,1- otot; dan gejala muskarinik ditandai
0,3 mg/kg iv. Jangan gunakan epinefrin dengan SLUDGE (salivasi, lakrimasi,
karena dapat menimbulkan aritmia. urinasi, defekasi, gastrointestinal kram,
dan emesis). Selain itu bisa didapatkan
juga miosis, bradikardia, bronkorea, dan
 Organofosfat wheezing; pada kasus berat dapat terjadi
Absorpsi dapat terjadi melalui edema paru.
Tata laksana keracunan organofosfat organofosfat, karbamat hanya
harus selalu menyertakan perlindungan bagi
penolong. Apabila paparan terjadi melalui
kulit, maka pada saat datang pasien
harus dibasuh dengan cairan sabun.
Seluruh pakaian yang terkontaminasi harus
dilepaskan dan disimpan dalam kantung
plastik.
Setelah dekontaminasi, berikan
antidotum mulai dari sulfas atropin
dengan dosis 0,05-0,1 mg/kg untuk anak
dan 2-5 mg untuk remaja, intravena.
Dosis diulang tiap 10-30 menit sampai
tercapai atropinisasi, yang ditandai
terutama dengan menghilangnya
hipersekresi. Setelah pemberian atropin,
pada kasus yang berat dapat diberikan
pralidoksim. Obat ini berguna pada
keracunan yang ditandai dengan
kelemahan otot yang berat dan
fasikulasi. Pralidoksim diberikan dengan
dosis 25-50 mg/kg dalam 100 mL NaCl
fisiologis yang diberikan selama 30
menit. Dalam keadaan yang mengancam
jiwa, 50% dosis inisial pralidoksim
diberikan dalam waktu 2 menit, dan
sisanya dalam waktu 30 menit. Setelah
dosis inisial, dilanjutkan dengan infus
kontinyu larutan 1% 10 mg/ kg per jam
pada anak atau 500 mg per jam pada
remaja sampai efek yang diinginkan
tercapai. Pralidoksim sangat berguna
dalam
48 jam setelah paparan, namun masih
bermanfaat hingga 2-6 hari kemudian.

 Karbamat
Karbamat mempunyai mekanisme kerjayang
sama dengan organofosfat, tetapi ikatannya
dengan asetilkolinesterase bersifat reversibel
sehingga akan terjadi hidrolisis spontan
dan aktivitas kolinesterase akan kembali
dalam beberapa jam. Manifestasi klinis
keracunan karbamat tidak dapat
dibedakan dengan organofosfat, namun
gejala yang timbul lebih ringan dan
durasinya lebih pendek. Tidak seperti
sedikit menimbulkan efek pada tertentu.
susunan saraf pusat. Toksisitas hidrokarbon bervariasi, tetapi
Pemberian pralidoksim pada zat ini mempunyai viskositas dan tegangan
intoksikasi karbamat secara umum permukaan yang rendah, sehingga mudah
tidak diperlukan karena gejala berpenetrasi ke saluran napas yang lebih dalam
yang timbul dapat sembuh dan menyebar di area paru yang luas.
spontan. Jumlah hidrokarbon yang tertelan oleh
anak biasanya sukar ditentukan, tetapi
adanya aspirasi akan menimbulkan tanda
Hidrokarbon berupa batuk, tersedak, atau takipnea.
Hidrokarbon adalah senyawa Aspirasi kurang dari 1 mL hidrokarbon
karbon yang pada suhu kamar langsung ke dalam trakea akan
berbentuk cair. Hidrokarbon dibagi menyebabkan pneumonitis berat, bahkan
menjadi tiga kategori, yaitu: kematian. Apabila tertelan, absorpsinya melalui
hidrokarbon alifatik, aromatik, dan saluran cerna kurang baik.
toksik. Hidrokarbon alifatik Hidrokarbon menyebabkan iritasi saluran
merupakan destilat minyak bumi, cerna, sehingga akan timbul mual dan
banyak dijumpai dalam produk rumah muntah berdarah. Gejala SSP bervariasi
tangga seperti minyak tanah dan mulai dari keadaan mabuk sampai koma.
cairan pemantik. Hidrokarbon Gejala lain yaitu hemolisis, hemoglobinuria,
aromatik merupakan struktur siklik demam dan leukositosis.
yang dijumpai pada pelarut, lem, cat, Tata laksana keracunan hidrokarbon
dan cat kuku, sedangkan hidrokarbon adalah dengan menahan zat di dalam usus
toksik terdiri dari bermacam zat yang bila memungkinkan dan mencegah
tidak mempunyai bentuk toksisitas terjadinya
muntah atau refluks. Pengosongan lambung pada kadar asam sianida dan cara
umumnya hanya dilakukan pada zat yang pengolahan sebelum dikonsumsi.
mempunyai potensi untuk menimbulkan Merendam singkong terlebih dahulu di
efek toksik sistemik, seperti halogenated dalam air dalam jangka waktu tertentu dapat
hydrocarbon (trichloroethane, carbon terachloride), menurunkan kadar asam sianida karena akan
hidrokarbon aromatik (toluene, xylene, benzene), larut dalam air.
dan mengandung zat aditif seperti logam
berat dan insektisida. Asam sianida adalah suatu racun kuat
yang dapat menyebabkan asfiksia. Sianida
Bila pasien datang dengan batuk atau menghambat pemakaian oksigen dengan
gejala respirasi, segera lakukan foto dada.
cara menginaktivasi sitokrom oksidase
Apabila pada rontgen awal tidak didapatkan
mitokondria, akibatnya terjadi hipoksia
kelainan, ulangi 4-6 jam setelah tertelan
jaringan karena O2 tidak dapat digunakan
hidrokarbon. Semua pasien dengan kelainan
dan terjadi kegagalan produksi adenosin
radiologis atau gejala respirasi yang menetap
trifosfat (ATP). Manifestasi klinis keracunan
setelah diobservasi selama 4-6 jam,
sianida akut sering tidak spesifik, dan terutama
memerlukan pemantauan lebih lanjut,
menggambarkan kekurangan oksigen di otak dan
sedangkan pasien yang tetap asimtomatik
jantung.
setelah periode observasi ini boleh
dipulangkan. Gejala awal keracunan ringan terdiri
dari kelemahan, malaise, kebingungan, nyeri
Pada pasien dengan pneumonitis
kepala, pusing, dan napas pendek. Pada
hidrokarbon yang mengalami penurunan
keadaan lanjut akan timbul gejala mual dan
kesadaran, patensi jalan napas harus
muntah, hipotensi, kejang, koma, apnea,
diperhatikan, dan bila ventilasinya terganggu
aritmia, dan kematian akibat henti jantung
harus dipasang ventilasi mekanik. Pemberian
paru. Pada pemeriksaan fisis bisa ditemukan
antibiotika profilaksis tidak dianjurkan, hanya
warna merah cherry pada kulit dan warna
diberikan bila terdapat infeksi. Pemberian
merah pada arteri serta vena retina yang
kortikosteroid juga tidak direkomendasikan
disebabkan oleh ketidakmampuan sel
karena akan meningkatkan morbiditas.
mengekstraksi oksigen dari darah. Kadang-
Pada keadaan hipotensi atau bronkospasme,
kadang dapat tercium bau seperti almond pahit
pemberian epinefrin merupakan kontraindikasi
pada napas pasien. Pada keracunan berat,
karena hidrokarbon dapat menimbulkan
kematian biasanya terjadi dalam waktu 1-
iritabilitas ventrikel yang merupakan predisposisi
15 menit.
untuk terjadinya fibrilasi. Katekolamin juga
dapat membangkitkan efek ini. Diagnosis keracunan singkong ditegakkan
berdasarkan anamnesis makanan, gejala klinis,
laboratorium (AGD, elektrolit dan kadar
Singkong (Manihot utilissima) laktat serum), serta pemeriksaan contoh
Singkong atau cassava mengandung glikosida muntahan dan bahan makanan yang
yang akan dihidrolisis menjadi glukosa, tersisa.
hidrogen sianida, dan aseton oleh beta Penanganan harus dilakukan secepatnya.
glukosidase usus atau beta glukosidase yang Bila makanan diperkirakan masih ada di dalam
dikeluarkan oleh tanaman itu sendiri. Selain lambung, lakukan dekontaminasi isi
dalam singkong, sianida juga terdapat di lambung dengan bilas lambung dan berikan
dalam biji tumbuhan (apel, cherry, peach, arang aktif. Selanjutnya berikan perawatan
dan pir) dan hasil pembakaran plastik. suportif yang terdiri dari pemberian oksigen
Keracunan dapat terjadi tergantung 100%, bila perlu lakukan resusitasi
kardiopulmonal, dan berikan antidotum (amil
nitrit, Na-nitrit dan Na- tiosulfat). Sambil inhalasi. Setelah akses vena
menunggu akses vena, berikan amil nitrit per
260 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat

terpasang, berikan Na-nitrit 10 mg/kg atau


0,33 mL/kg larutan Na-nitrit 3%, untuk
Tempe bongkrek
menghasilkan 20% methemoglobin. Bongkrek adalah sejenis tempe yangdalam
Selanjutnya berikan Na- tiosulfat 25% proses pembuatannya dicampur dengan ampas
sebanyak 1,6 mL/kg (400 mg/ kelapa dan kacang tanah. Pada proses
kg) sampai 50 mL (12,5 g), intravena dalam pembuatan ini sering terjadi kontaminasi
10 menit. Mengingat nitrit adalah vasodilator dengan Clostridium botalinum, yaitu suatu
kuat, maka pemberiannya harus dilakukan kuman anaerob yang membentuk spora, dan
dengan hati-hati karena dapat menyebabkan Bacterium cocovenenans yang mengubah
hipotensi. gliserinum menjadi racun toksoflavin.
Gejala keracunan timbul setelah 12-
48 jam, dengan manifestasi serupa dengan
Jengkol (Pithecolobium lobatum) gejala yang ditumbulkan oleh kurare yaitu
Jengkol sering menimbulkan gejala keracunan pusing, diplopia, anoreksia, merasa lemah,
yang disebabkan oleh asam jengkol, yaitu ptosis, strabismus, kesukaran bernapas,
suatu asam amino yang mengandung belerang. menelan atau berbicara. Kematian bisa timbul
Timbulnya keracunan tidak tergantung pada dalam 1-8 hari, dan biasanya mengenai
jumlah biji jengkol yang dimakan, dimasak atau beberapa anggota dalam satu keluarga
tidaknya sebelum dimakan, dan muda atau sekaligus.
tuanya biji jengkol, tetapi tergantung pada Tata laksana keracunan tempe bongkrek
kerentanan seseorang terhadap asam terdiri dari dekontaminasi lambung dengan
jengkol. bilas lambung dan pemberian katartik.
Gejala keracunan disebabkan oleh hablur Karena antidotumnya belum ada, dapat
(kristal) asam jengkol yang menyumbat traktus diberikan atropin sulfat beserta larutan
urinarius. Keluhan pada umumnya timbul glukosa intravena. Pemberian glukosa
dalam waktu 5-12 jam setelah memakan intravena ini sebaiknya disertai dengan
jengkol berupa nyeri perut, kadang-kadang pemberian larutan garam fisiologis dan
disertai muntah dan adanya serangan kolik plasma, dan harus diberikan secepatnya.
pada waktu berkemih. Volume urin juga
berkurang bahkan sampai terjadi anuria.
Kadang-kadang terdapat hematuria. Napas KEPUSTAKAAN
dan urin berbau jengkol. Pada
pemeriksaan urin dengan mikroskop dapat 1. Aardema HMJ, Ligtenberg JJM, Peters-Polman
ditemukan hablur asam jengkol berupa OM, Tulleken JE, Zijlstra JG.
jarum runcing yang kadang-kadang bergumpal Organophosphorus pesticide poisoning: cases
menjadi ikatan atau berupa roset. and developments. Netherl J Med.
2008;66:149-53.
Tata laksana keracunan jengkol yang
2. Aehlert B. Mosby’s Comprehensive pediatric
ringan (muntah, sakit perut pinggang
emergency care. Edisi revisi. Texas: Elsevier
saja), cukup dengan menasihati pasien untuk
Mosby Jems; 2007.
banyak minum dan diberikan natrium
bikarbonat saja. Bila gejala penyakit berat 3. Cantwell GP, Weisman RS. Poisoning. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Rogers’ textbook of
(oliguria, hematuria, anuria dan tidak dapat
pediatric intensive care. Edisi ke-4.
minum) penderita perlu dirawat dan diberi
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
infus natrium bikarbonat dalam larutan
2008. h. 441-65.
glukosa 5%. Bila terjadi gagal ginjal, dapat
dilakukan hemodialisis/peritoneal dialisis. 4. Chyka PA, Christianson G, Wax PM, Booze
LL, Manoguerra AS, Caravati EM, dkk.
Salicylate poisoning: an evidence-based
Tata Laksana Keracunan 261
consensus
guideline for out-of-hospital management. Clin
of pediatric emergency medicine. Philadelphia:
Toxicol. 2007;45:95-131.
Lippincott William & Wilkins; 2010. h.
5. DepKes RI. Pedoman pengobatan dasar di 1171- 223.
Puskesmas. Jakarta; 2007.
12. Riordan M, Rylance G, Berry K. Poisoning
6. Erickson TB. Toxicology: ingestions and in children 1: General management. Arch
smoke inhalation. Dalam: Gausche-Hill M Dis Child. 2002;87:392-96.
FS, Yamamoto L, penyunting. APLS The
13. Rodgers GC, Matyunas NJ. Poisonings:
pediatric emergency medicine resource.
drugs, chemicals, and plants. Dalam:
Edisi ke-4. Boston: Jones and Bartlett Pub.;
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
2004. h. 234-63
penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
7. Geller RJ, Barthold J, Saiers JA, Hall AH. Edisi ke-17. Philadelpia: Saunders; 2004. h.
Pediatric cyanide poisoning: causes, 2362-75.
manifestations, management, and unmet.
14. Rumack BH, Dart RC. Posioning. Dalam: Hay
Pediatrics. 2006;118: 2146-58.
WW, Levin MJ, Soundheimer JM,
8. Manik M. Keracunan Makanan. (diunduh Deterding RR, penyunting. Current pediatric
tanggal 21 Agustus 2010). Tersedia dari diagnosis & treatment. Edisi ke-19.
http:// repository.usu. International Edition: McGraw-Hill; 2009.
ac.id/handle/123456789/3522. h. 313-38.
9. O’Malley GF. Emergency department 15. Simpson WM SS. Recognition and management
management of the salicylate-poisoned patient. of acute pesticide poisoning. Am Fam Physician.
Emerg Med Clin N Am. 2007;25:333-46. 2002;65:1599-604.
10. Oen L. Peranan asam jengkol pada 16. Worthley L. Clinical toxicology: part 1. Diagnosis
keracunan jengkol. Cermin Dunia Kedokteran. and management of common drug
1982;28:59- 60. overdosage. Critical care and resuscitation.
11. Osterhoudt KC, Ewald MB, Shannon M, 2002;4:192-215.
Henretig FM. Toxicologic emergencies. 17. Worthley L. Clinical toxicology: Part II.
Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Diagnosis and management of uncommon
Textbook poisonings. Critical Care and Resuscitation.
2002;4:216-30.
29 Tenggelam dan hampir Tenggelam
(Drowning and Near-Drowning)
Idham Jaya Ganda

PENDAhUlUAN fAKTOR RISIKO TENGGElAM


Tenggelam adalah kematian karena asfiksia 1. Umur
akibat terisinya paru oleh cairan sehingga paru
tidak bisa mengabsorpsi oksigen. Asfiksia Umur merupakan faktor risiko utama
mengakibatkan hipoksia serebri dan infark terjadinya tenggelam. Hal ini berhubungan
miokard. dengan adanya pengawasan. Pada
umumnya, anak berumur kurang dari
Hampir tenggelam adalah keadaan 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
dimana korban yang telah terendam dapat untuk tenggelam karena sebab ini. Data
bertahan hidup walaupun kemudian terdapat statistik di berbagai negara
komplikasi sekunder atau bahkan kematian. menunjukkan angka insiden terjadinya
Menurut World Health Organization (WHO), tenggelam yang berbeda- beda :
tenggelam merupakan penyebab ketiga dari
kematian yang tidak disengaja. Pada kebanyakan a. Australia: tenggelam terbanyak terjadi
negara, tenggelam merupakan salah satu di usia 1-3 tahun
penyebab kematian pada anak berumur kurang b. Bangladesh: kasus yang tercatat 1-4
dari 12 tahun. Sebagai contoh, di Amerika tahun dan 20 % diantaranya meninggal
Serikat (AS), tenggelam merupakan penyebab c. Cina: terjadi pada usia 1-14 tahun
kematian terbanyak kedua setelah kecelakaan d. Amerika Serikat: tenggelam merupakan
kendaraan bermotor pada anak berusia kurang kasus kecelakaan akibat keteledoran
dari 12 tahun. Rata-rata populasi tenggelam di terbanyak kedua yang terjadi pada
dunia bervariasi tergantung dari akses ke air, usia 1-14 tahun.
cuaca dan budayanya.
Tenggelam di air hangat terjadi pada air
Lokasi tenggelam juga berbeda sesuai
bersuhu
umur, diperkirakan 40% balita tenggelam di
≥ 20oC dan tenggelam di air dingin terjadi pada
bathtub sedangkan pada anak pra-sekolah
air bersuhu < 20OC. Beberapa literatur
umur 0 – 4 tahun 50-90% kasus
memasukkan tenggelam pada air sangat dingin
tenggelam terjadi di kolam renang
bila tenggelam terjadi pada air bersuhu≤ 5OC.
(tabel 29.1).
Ada dua tipe tenggelam yaitu dry lung
dan wet lung. Pada dry lung, hanya sedikit
air yang diaspirasi, yang lebih dominan Jenis Kelamin
terjadi adalah spasme laring. Wet lung terjadi Laki-laki memiliki risiko tenggelam dua
pada 85 % kasus tenggelam. Berbeda dengan kali lipat lebih besar dibanding perempuan.
dry lung, pada kasus wet lung sejumlah besar Hal ini berkaitan dengan kebiasaan laki-
air masuk ke dalam paru sehingga dapat laki
terjadi imbalans cairan dan elektrolit.
Tenggelam dan Hampir Tenggelam (Drowning and Near-Drowning)
263

Tabel 29.1. Epidemiologi kasus tenggelam

Kelompok umur Lokasi Keterangan


Infant Bathtub berhubungan dengan longgarnya pengawasan orang tua
Toddler Kolam renang berhubungan dengan longgarnya pengawasan orang tua.
Bathtub Tidak takut pada air dan tidak mampu
Selokan berenang laki-laki > perempuan
Anak pra sekolah Kolam renang dan bathtub laki-laki > perempuan
Ras kulit hitam > kulit putih
Remaja Tergantung dengan berhubungan dengan penggunaan obat-obatan
kedalaman air laki –laki > perempuan
Sering berkaitan dengan kasus kecelakaan

untuk terpapar dengan air sendirian seperti


berenang sendirian ataupun berlayar.
2. Akses ke air
Pekerjaan seseorang seperti memancing
dan anak-anak yang tinggal dekat
sumber air yang terbuka seperti kolam
ataupun saluran irigasi berisiko lebih tinggi
untuk tenggelam.
3. Faktor risiko lain yang meningkatkan
terjadinya tenggelam, antara lain:
 Pendidikan yang rendah dan
penduduk yang sering berpindah-
pindah, terutama di negara dengan
tingkat sosial ekonomi yang rendah
 Anak tanpa pengawasan yang baik,
sendirian ataupun bersama anak lain
 Transportasi air yang terlalu padat tanpa
dilengkapi peralatan penyelamatan diri
 Penderita epilepsi
 Turis yang tidak terbiasa dengan
lingkungan air
 Pada saat terjadi bencana seperti
banjir atau tsunami

Patofisiologi
Pada saat anak tenggelam, dapat terjadi
tahanan napas ataupun laringospasme. Kondisi
ini kemudian diikuti oleh hipoksia,
kehilangan kesadaran dalam waktu 2-3
menit dan kolaps kardiovaskular yang dapat
terjadi walaupun tidak ada aspirasi cairan.
Kerusakan otak dapat terjadi
264 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
dalam waktu 5 menit. Selain itu, tenggelam surfaktan dan stabilitas alveoli, merusak
dan keadaan panik dapat menyebabkan membran alveolar diikuti masuknya cairan
terhirupnya air yang mengakibatkan aspirasi. ke dalam alveoli sehingga terjadi edema
Hampir semua organ terlibat pada saat pulmonal.
tenggelam, akan tetapi morbiditas tersering Pada kasus terendam di air laut,
melibatkan organ yang paling sering terkena peningkatan berat badan terjadi hanya
yaitu saluran pernapasan dan susunan saraf sebanyak 6% dengan hemokonsentrasi dan
pusat (SSP). volume intravaskular yang berkurang,
Pada kasus terendam di air tawar disamping terjadi pula hipernatremia. Pada
(fresh water), air akan masuk secara cepat saat terendam di air laut terjadi peningkatan
ke dalam paru kemudian sirkulasi, yang tekanan osmotik paru sehingga terjadi
mengakibatkan hemodilusi dan akumulasi cairan ke dalam paru. Seperti juga
meningkatkan berat badan sekitar 16,5 %. pada proses terendam di air tawar, pada jenis
Disamping itu terjadi pula hemolisis yang kasus terendam di air laut juga terjadi
dapat mengakibatkan hiperkalemia, gangguan fungsi surfaktan. Umumnya air yang
hiponatremia, hemoglobinemia dan teraspirasi pada saat terendam sedikitnya 5 ml/
peningkatan sirkulasi volume darah. kgBB, baik di air tawar maupun air laut,
Walaupun volume air yang teraspirasi keduanya
kecil, akan tetapi dapat mengganggu
dapat menurunkan komplians (compliance) paru, yaitu pneumonia, barotrauma, acute
meningkatkan resistensi saluran pernapasan respiratory distress syndrome (ARDS) dan
dan tekanan arteri pulmonalis sehingga terjadi aspirasi benda asing.
gangguan aliran paru. Perfusi alveolar non
ventilasi akan menyebabkan pirau (shunt) intra
pulmonal, lalu terjadi penurunan drastis dari
tekanan oksigen arteri sehingga tata laksana
Efek Kardiovaskular
untuk kedua kasus ini adalah sama. Dapat terjadi iskemia, bradikardia, penurunan
Pada kasus hampir-tenggelam terjadi kontraktilitas miokard. Kadang-kadang dapat
syok hipovolemik sebagai akibat sekunder juga terjadi fibrilasi ventrikel dan syok
dari kerusakan endotel karena hipoksia dan kardiogenik. Gangguan fungsi kardiovaskular
meningkatnya permeabilitas kapiler, serta terjadi akibat perubahan tekanan oksigen dan
masuknya cairan ke dalam rongga ketiga. karbondioksida arterial, pH, volume darah
Metabolisme glukosa juga meningkat pada dan keseimbangan elektrolit.
kasus hampir-tenggelam yaitu > 250 mg/dL,
akibat sekunder dari peningkatan katekolamin. Efek Ginjal, hepar dan Gastrointestinal
Hiperglikemia dapat menyebabkan gangguan
neurologis dan iskemia otak. Disfungsi renal yang terjadi akibat hampir-
tenggelam ditandai oleh albuminuria,
hemoglobinuria, oliguria dan anuria. Hal ini
Mutiara bernas terjadi akibat hemolisis dan hemoglobinemia
pada saat hampir-tenggelam di air tawar.
• Hampir semua organ terlibat pada Pada kasus anoksia ginjal juga dapat terjadi
saat tenggelam, akan tetapi morbiditas tubular nekrosis akut.
tersering melibatkan organ yang paling
Hepar dapat juga mengalami anoksia
sering terkena yaitu saluran
yang bermanifestasi sebagai peningkatan
pernapasan dan SSP. kadar bilirubin, peningkatan transaminase
• Pada kasus hampir-tenggelam terjadi dan gangguan sistem koagulasi. Gangguan
syok hipovolemik sebagai akibat gastrointestinal akibat hipoksia dan iskemia
sekunder dari kerusakan endotel akibat meimbulkan gejala berupa perdarahan
hipoksia dan meningkatnya gastrointestinal, feses yang busuk dan
permeabilitas kapiler, serta masuknya adanya mukus di feses. Pasien berisiko untuk
cairan ke dalam rongga ketiga. mengalami translokasi bakteri dan pada
kasus berat dapat terjadi perforasi
gastrointestinal.
Efek Pulmonal
Pada kondisi hampir-tenggelam, kapasitas
fungsional residual paru merupakan sumber
Efek Neurologik
pertukaran gas oleh kapiler pulmonal. Penurunan Cadangan energi di otak jumlahnya sedikit
ambilan (uptake) oksigen dan dan otak memiliki keterbatasan untuk
eliminasikarbondioksida mengakibatkan hipoksia menggu- nakan metabolisme anaerob
dan hiperkarbia yang kemudian berkembang dengan sehingga gangguan metabolisme aerob akan
cepat menjadi asidosis metabolik dan asidosis sangat mempengaruhi aktivitas otak.
respiratorik.
Penurunansurfaktanparumengakibatkan atelektasis  Asidosis dan hiperkarbia tidak diragukan lagi
dan peningkatan pirau intrapulmonal. Efek memiliki peran penting dalam cedera otak
sekunder lainnya selain kehilangan surfaktan (cerebral injury) dan bersifat ireversibel.
paru
 Pada hipoksia dan iskemia sedikitnya 2 risiko terjadinya infeksi.
menit, terjadi deplesi ATP (Adenosine
Triphosphate). Tanpa adanya ATP membran  Hipotermia akhirnya akan menurunkan
sel akan hilang, komunikasi antar sel akan produksi insulin dan berakibat pada
hilang dan komunikasi makromolekul meningkatnya cadangan glukosa sehingga
akan berhenti dan mengakibatkan asfiksia. terjadi hiperglikemia.
Dalam waktu 24-72 jam dapat terjadi edema  Refleks menyelam terdapat pada mamalia
serebri, kehilangan autoregulasi dan laut sebagai adaptasi terhadap konsumsi
reperfusi dari aliran darah. oksigen pada saat tenggelam. Refleks ini
dipicu pada saat ada tahanan pernapasan
dan stimulasi dingin. Terdapat beberapa
Hipotermia dan Refleks Tenggelam perubahan kardiovaskular pada saat
Beberapa laporan menyebutkan bahwa ada hipoksia yaitu penurunan curah jantung
kasus anak yang bertahan tanpa gejala sisa yang berakibat hipoksia dan bradikardia;
setelah lama terendam. Biasanya anak ini serta vasokonstriksi perifer dan
terendam dalam air dingin dan tiba di RS mesenterikal sehingga aliran darah ke
dalam keadaan hipotermia. Dua teori yang sistem skeletal, kulit, usus dan ginjal
dapat menjelaskan fenomena ini adalah berkurang tetapi sistem aliran darah ke
hipotermia dan respons tenggelam. otak dan konsumsi oksigennya
Hipotermia yang terjadi setelah tenggelam dipertahankan.
dalam air dingin menyebabkan kehilangan  Masih menjadi kontroversi mengenai ada
panas. Dibandingkan orang dewasa, anak tidaknya refleks menyelam (diving reflex)
memiliki luas permukaan tubuh yang lebih pada manusia.
besar dan lapisan lemak dibawah kulitnya lebih
tebal sehingga kehilangan panas juga terjadi
lebih cepat. Manifestasi klinis pada kasus tenggelam
Beberapa kasus yang dilaporkan Pada kasus terendam, korban dapat
sembuh secara ajaib, konsumsi normal diklasifikasikan menjadi 4 kelompok berikut
oksigen terjadi 50% pada suhu 28OC, 25% berdasarkan gejala yang ada, yaitu:
pada suhu 28OC, 25% pada suhu 20OC.  Asimtomatik
Penurunan suhu sebesar 1OC akan  Gejala ringan
menurunkan aliran darah sebesar 6-7
%. Jika konsumsi aliran darah otak  Perubahan tanda-tanda vital
berkurang (misalnya hipotermia, takikardia,
bradikardia)
maka otak akan mengalami hipoksia.
 Penampilan cemas
 Pada suhu tubuh 32OC pasien akan
mengalami disorientasi, tidak terkoordinasi  Takipnea, dispnea atau hipoksia.
dan biasanya kehilangan kesadaran. Pupil  Asidosis metabolik
mengalami dilatasi pada suhu kurang dari  Perubahan tingkat kesadaran, defisit
30OC dan memiliki respons minimal. neurologis
 Pada suhu 28OC akan terjadi aritmia  Gejala Kardiovaskular
jantung terutama fibrilasi ventrikel.
 Apnea
 Peningkatan viskositas darah akibat
 Tidak ada detak jantung (55 %),
hemokonsentrasi dan pergeseran kurva
takikardia, fibrilasi ventrikel (29%),
disosiasi oksigen ke kiri.
bradikardia (16%)
 Hipotermia juga berakibat menurunnya
 Jelas mati
fungsi sel darah putih yang meningkatkan
 Normotermia dengan tidak adanya detak jantung
 Apnea 5. Hipotermia berat (suhu < 30OC)
 Rigor mortis

Penanganan Awal dan Resusitasi


Tujuan utama dari tata laksana awal adalah
meningkatkan aliran oksigen ke jaringan untuk
meminimalkan terjadinya kerusakan otak.
 Saat tiba di lokasi kejadian segera lakukan
resusitasi mulut ke mulut ketika korban
sudah berada di permukaan air. Pada saat
ventilasi udara akan mudah memasuki
lambung. Distensi lambung akan
meningkatkan risiko terjadinya regurgitasi
dan aspirasi. Lakukan finger swab jika
ditemukan adanya sumbatan yang terlihat
di jalan napas (airway)
 Hindari penggunaan perasat Heimlich
karena pada kasus tenggelam terjadi
obstruksi aliran napdiaas akibat cairan yang
dapat mencegah ventilasi. Disamping itu,
perasat Heimlich dapat meningkatkan
risiko aspirasi isi lambung.
 Evaluasi status hemodinamik segera setelah
korban keluar dari air. Jika tidak teraba
denyut nadi (pulseless), segera lakukan
kompresi dada. Kompresi dada tidak
efektif jika dilakukan di dalam air, segera
lakukan jika telah mencapai permukaan
yang keras.
 Segera persiapkan fasilitas untuk
transportasi korban ke RS.

Airway/Breathing
Jika terdapat gangguan jalan napas segera
berikan suplementasi oksigen. Indikasi
untuk melakukan intubasi endotrakea
adalah:
1. Hilangnya proteksi jalan napas akibat
kehilangan kesadaran
2. Adanya gangguan neurologis
3. Distress pernapasan berat dan hipoksia
berat
4. Gangguan kardiorespirasi
Segera pasang alat pemantau adalah pemanjangan waktu pengisian kapiler
saturasi oksigen setelah tiba di RS, (capillary refill time), permukaaan kulit yang
target saturasi harus >90%. Aspirasi dingin, denyut nadi lemah, ekstremitas
cairan menyebabkan pirau dingin, output urin yang rendah dan kehilangan
intrapulmonal sehingga terjadi kesadaran. Jika perfusi yang jelek berlangsung
obstruksi aliran napas bagian distal lama dapat dipertimbangkan pemberian
dan kolaps alveolar yang meningkatkan agen inotropik. Dapat pula dilakukan force
FiO2. Positive End Expiratory Pressure diuretic jika terjadi hemoglobinuria.
(PEEP) penting untuk meningkatkan
oksigenasi dan ventilasi dengan
meningkatkan kapasitas residual Neurologis
paru. Target utama tata laksana
Manajemen awal neurologis terdiri dari
jalan napas adalah meningkatkan
kombinasi oksigenasi yang adekuat dan sirkulasi
oksigenasi ke jaringan terutama SSP.
yang stabil. Jika dalam waktu 24 jam, skala koma
Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS) seorang
Sirkulasi darah anak tidak mengalami perbaikan maka akan
terjadi defisit neurologis yang berat bahkan
Tujuan awal tata laksana sirkulasi kematian.
adalah stabilisasi kardiovaskular
untuk menjamin perfusi organ. Pada Adanyadilatasipupilunilateralmengindikasikan
kasus tenggelam di air hangat dapat peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure/
terjadi bradikardia dan asistol, ICP) dengan herniasi transtentorial akibat
sementara fibrilasi ventrikel lebih sering kompresi dari suplai darah pada batang otak.
terjadi pada kasus tenggelam di air Dilatasi pupil bilateral menunjukkan adanya
dingin. Indikator buruknya perfusi disfungsi serebri akibat hipoksik-iskemik atau
herniasi bilateral.
Pemeriksaan laboratorium  Saturasi oksigen > 95%
 Pemeriksaan darah rutin, elektrolit dan
gula darah
 Pemeriksaan analisis gas darah untuk
menilai derajat asidosis dan hipoksia serta
efektivitas ventilasi
 Pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal
 Pemeriksaan foto dada dilakukan pada
semua kasus yang diintubasi untuk
mengecek lokasi pipa endotrakeal
(endotracheal tube/ETT), menilai derajat
edema paru dan mengevaluasi
kemungkinan barotrauma.

hipotermia
Pakaian basah harus segera disingkirkan untuk
menghindari hilangnya panas secara konduksi.
Active external (surface) rewarming dapat
diberikan dengan target suhu tubuh pasien >
30OC. Metode ini meliputi penggunaan
peralatan pemanas elektrik, botol panas,
memanaskan tempat tidur dan sumber panas
radian. Hindari rewarming secara perifer
karena dapat meningkatkan risiko kolaps
kardiovaskuler.
Hipotermia jantung dapat
menyebabkan fibrilasi ventrikel yang
resisten terhadap defibrilasi dan agen
kardiotonik. Jika hal ini terjadi, lakukan
resusitasi (cardiopulmonary
resuscitation/CPR), rewarmed kemudian
defibrilasi. Hipotermia juga menyebabkan
eksresi obat ke renal dan hepar terganggu,
sehingga penggunaan epinefrin, lidokain dan
prokainamid tidak dianjurkan. Untuk kasus
ini, direkomendasikan pemberian lidokain
dosis tunggal atau bretilium pada kasus
hipotermia dengan fibrilasi ventrikel.
Korban tenggelam dapat pulang ke rumah
setelah dilakukan obeservasi di Unit Gawat
Darurat (UGD) bila didapatkan :
 GCS > 13
 Pemeriksaan fisis normal dan tidak ada
gangguan pernapasan
TATAlAKSANA hAMPIR-TENGGElAM jika PaO2 < 60 mmHg pada pemberian oksigen
DI PeDIATrIc INTeNsIve cAre UNIT 50% dan saturasi oksigen < 90% atau hiperkapnia
(PICU) yang semakin berat.Regenerasi surfaktan dan
penurunan kebocoran paru akan terjadi pada
Hampir-tenggelam secara global dapat hari ketiga dan keempat. Pemakaian
menyebabkan hipoksia-iskemia dengan disfungsi kortikosteroid pada kasus hampir-tenggelam
multi-organ. Tujuan utama manajemen masih kontroversial. Penggunaan agonis-ß2
PICU adalah meminimalisir kerusakan pada kasus bronkospasme dan tindakan
neurologis akibat hipoksia, iskemia, bronkoskopi menjadi pilihan jika diduga
asidosis, kejang dan abnormalitas cairan terdapat aspirasi benda asing.
atau elektrolit.
Semua kasus hampir-tenggelam di
PICU memerlukan elektrokardiografi (EKG) Manajemen Kardiovaskular
kontinu dan pulse oximetry. Untuk kasus Tujuan utama manajemen kardiovaskular
unstable near- drowing, pemeriksaan tekanan adalah menjaga curah jantung dan perfusi
arteri dan vena sentral menggunakan kateter organ yang adekuat. Gambaran EKG dapat
arteri pulmonalis secara langsung dilakukan menunjukkan nilai ST nonspesifik dan
untuk memberikan informasi adanya perubahan gelombang
gangguan kardiak berat atau disfungsi paru. T. Dapat pula terjadi peningkatan kadar
Output urin harus dimonitor untuk menilai enzim jantung.
perfusi end-organ.

Manajemen Neurologis
Manajemen Respirasi
Terapi yang direkomendasikan untuk tata laksana
Indikasi pemakaian ventilator mekanik adalah
neurologis adalah hiperventilasi ringan, sedasi, sebesar 5 %.
posisi kepala saat tidur lebih tinggi (elevasi 20-
30O), hindari penggunaan cairan berlebihan dan
hindari penggunaan bahan berbahaya (noxius)
karena dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Beberapa obat yang dapat
digunakan untuk mencegah hipoksia dan
iskemia serebral adalah Ca-channel blocker,
penghambat neurotransmitter, lazaroids (lipid
peroxidation inhibitors). Dapat juga diberikan
diuretik seperti furosemid dan manitol. Fungsi
neurologis dapat dinilai dengan :
 Computed Tomography (CT) scan, hasil
yang abnormal dalam waktu 36 jam pasca
tenggelam menunjukkan nilai buruk
 Elektroensefalografi (EEG), dapat digunakan
untuk menunjukkan adanya kerusakan otak
 Tampilan klinis setelah pemberian obat
sedasi dihentikan

Prognosis
Korban hampir tenggelam memiliki
prognosis yang buruk jika :
1. Terendam di dalam air > 10 menit
2. Mendapat pertolongan pertama (basic life
support) > 10 menit
3. Suhu tubuh kurang < 33OC
4. Nilai GCS < 5
5. Adanya apnea persisten
6. pH darah < 7,1
7. Suhu air saat tenggelam lebih dari
10OC Orlowski menentukan skoring
prognosis
dengan menggunakan 5 kriteria :
1. Umur kurang dari 3 tahun
2. Tenggelam > 5 menit
3. Tidak diresusitasi > 10 menit
4. Adanya koma
5. pH arteri < 7,1
Masing-masing skor nilainya 1. Bila
jumlah skor 0-1 maka kesempatan untuk
sembuh sebesar 90 %, sedangkan bila skor
≥ 3 maka kesempatan untuk sembuh
Mutiara bernas diri misalnya berada di alas yang keras
pada saat melakukan pertolongan kasus
• Tujuan utama manajemen PICU adalah terendam di air es, siapkan tali panjang
meminimalisir kerusakan neurologis untuk menjangkau korban, segera minta
akibat hipoksia, iskemia, asidosis, kejang bantuan pada orang lain
dan abnormalitas dari cairan/elektrolit 2. Jangan lakukan perasat Heimlich untuk
• Pada tata laksana respirasi di PICU, kasus tenggelam
pemakaian kortikosteroid pada kasus 3. Jangan membiarkan pakaian basah dipakai
hampir tenggelam masih kontroversial. korban tenggelam
Pada kasus dengan bronkospasme
4. Hindari rewarming secara perifer karena
dan tindakan bronkoskopi, meningkatkan risiko kolaps kardiovaskular
penggunaan agonis-ß2 menjadi
5. Pada keadaan hipotermia dengan
pilihan jika diduga terdapat aspirasi
fibrilasi ventrikel yang resisten terhadap
benda asing.
defibrilasi dan agen kardiotonik,
Hal-hal yang harus gunakanlah lidokain atau bretilium dosis
diperhatikan tunggal. Lakukan CPR, rewarmed
kemudian defibrilasi
pada kasus tenggelam adalah : 6. Pemakaian kortikosteroid pada kasus near-
1. Pastikan diri mampu menolong drowning masih kontroversial
korban tenggelam sebelum 7. Penggunaan antibiotika dapat dipertimbangkan
melakukan pertolongan, dalam hal jika terendam di lingkungan yang kotor
ini penolong harus pandai atau adanya aspirasi benda asing
berenang, tidak membahayakan 8. Hindari prosedur drainase
Tips Mencegah Tenggelam mengkonsumsi obat-obatan atau alkohol
Untuk semua umur:
 Hindari berenang setelah gelap
 Jangan berlari, mendorong atau melompat
di
sekitar air
 Ajari anak berenang terutama jika
umurnya
> 4 tahun

Untuk anak usia ≤ 4 tahun


 Jangan pernah meninggalkan anak di
dekat kolam renang tanpa pengawasan
walaupan hanya sebentar. Jangan biarkan
anak berada di bawah pengawasan anak
lainnya yang berusia muda
 Pada saat mengawasi anak yang berenang
jangan bercakap-cakap atau melakukan
aktivitas lainnya, selalu perhatikan mereka
setiap waktu
 Siapapun yang mengawasi anak pada saat
berenang seharusnya mengetahui cara
berenang, cara melakuan CPR,
mengetahui letak telepon terdekat dan
resusitasi pada kasus gawat darurat
 Jika anak mengikuti program berenang,
ketahuilah aktivitas yang akan dilakukan,
rasio anak dengan supervisornya dan apakah
pelatihnya telah mengikuti pelatihan CPR.
 Jika membawa anak berenang di tempat
terbuka, pilihlah tempat yang memiliki
petugas pengawas yang terlatih.

Untuk umur 5-12 tahun


 Ajari mereka cara berenang
 Jangan biarkan mereka berenang sendirian,
usahakan agar selalu diawasi oleh orang
dewasa
 Ajari mereka untuk mengetahui
kedalaman air sebelum mereka melakukan
terjun bebas

Untuk umur 13-19 tahun


Sama dengan umur 5-12 tahun, ditambah :
 Ajarkan mereka bahayanya berenang sambil
 Ingatlah bahwa anak laki-laki lebih “Utstein Style”. Circulation. 2003; 108: 255-
berisiko untuk tenggelam dibanding 74
perempuan, jadi beri perhatian ekstra 5. Kallas HJ. Drowning and Submersion Injury.
pada anak laki-laki Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
 Ajari mereka CPR dan ikutkanlah penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007.
pelatihan CPR
6. Leroy, Smisman and Seute. Invasive pulmonary
and central nervous system aspergillosis after
near-drowning of a child : case report and
KEPUSTAKAAN review of the literature. Pediatrics. 2006;118
(2): e509- 13
1. Baum C. Drowning and near-drowning. 7. Rawin, Christensen, Allen. Pediatric drowning
Dalam: Gary RF, Stephen L, penyunting. and near-drowning. Dalam: Nichols DG,
Textbook of pediatric emergency medicine, penyunting. Rogers’ textbook of pediatric
edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott, Williams intensive care. Philadelphia: Lippincott, William
and Wilkins; 2003. h.678-81 and Wilkins; 2000. h. 875-91.
2. Chandy D. Drowning and near-drowning: 8. Sondheimer J. Drowning. Dalam: Current
prevention and treatment. Medicine. June 2002 essentials pediatrics. Mc-Graw Hill; 2008. h.
3. Ganong WF. Drowning. Dalam: Review of 397.
medical physiology, edisi ke-21. Mc Graw- 9. Stack C, Dobbs P. Drowning. Dalam:
Hill; 2003. h. 1494. Essentials of paediatric intensive care.
4. Idris, Berg, Bierens, Bossaert, Branche, Gabrielli. Cambridge University Press; 2003. h. 163-6
Recommended guidelines for uniform 10. WHO. Drowning in WHO media centre,
reporting of data from drowning the November 2010
Appendisitis akut xv, 178
Indeks Aquired prothrombin complex deficiency
xv Arteri pulmonalis xiii
Asam amino rantai cabang
xiii Asam lemah total xiii
A Asam nonvolatile xiii
Asam volatile xiii
Asidemia xiii
Acute Lung Injury 78, 79 asidosis xiv
Acute Respiratory Distress Syndrome xiii Asidosis campuran xiv,
afterload xvii, 70, 71, 95, 100, 102, 103, 139 Asidosis
119, hiperkloremik xiv
120, 121 Asidosis laktat xiv
agonis beta 70, 71, 72 Asidosis metabolik xiv
akses vaskular 71, 111, 208, 257 Asidosis respiratorik xiv
Albumin 138 Asidosis tubulus ginjal xiv
alfentanil 233, 237 Asistol xiv
Algoritma 167, 213, 214 atelektasis 52, 57
alkalinisasi 137, 254 Atresia pulmonal 52, 57
alkalosis 117, 118, 121, 132, 133, 134, 136, Atresia trikuspid 52, 57
137, 138, 141, 256 Atrial Septal Defect xiii
Alkalosis campuran 139 Automated external defibrillator 52, 57
Alkalosis metabolik 134, 139, 141
Alkalosis respiratorik 134, 139
amnesia 227, 229, 231 B
analgesia 117, 227, 228, 231 Back blow 52, 57
analisis gas darah 65, 76, 83, 159, 251, 257 Back slaps 52, 57
anemia 95, 103 Backward, upward, and rightward push 52,
anion gap xiv, xvii, 134, 135, 142, 57 Bag-mask ventilation xvii
251 Anion non-organik xiv, xvii bantuan hidup dasar xvii
Anion organik xiv, xvii Bantuan hidup lanjut xvii
antibiotik xiii, 5, 26, 166, 176, 178, 179, Baroreseptor xvii
189, Barotrauma xvii
190, 191 Base deficit 4
Antidepresan trisiklik 5, 255 Batang otak 4
Anti-diuretik xiii, 5 Benchmark 4
antidotum 252, 255, 258, 259 benzodiazepin xv
Antidotum xv, 255 Bikarbonate xv
Antikolinergik xv, 20, 72, 250, 255 Bilas lambung 253
Antitrombin 158 bradikardia 188, 189, 203, 205, 206, 209, 233,
Antitrombin III xv 250, 257, 265
Antivirus xv Bronkiolitis 56, 76, 78
Aorta xv
Apnea xv, 116, 265, 266
Apoptosis xv
Indeks 271

Broselow tape 202 diazepam 33, 229, 230, 257


BT shunt 116, 117, 121 Digitalis 20

cairan serebrospinal 32, 37, 38, 39, 40, 41,


42,
43, 45, 48, 231
CaO2 64, 65, 92, 94, 113, 114
cardiac index 94, 156
CAUTI 12, 13
Cedera inhalasi 79
Cerebral Blood Flow 229
Chin Lift Maneuver 194
CI (cardiac index) 156
cold shock 154, 155
continuous arterio-venous hemofiltration 238
continuous veno-venous hemofiltration 238
CPAP 5, 86, 87, 118, 120
cross finger maneuver 195
CRRT 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244,
245,
246, 247, 248
curah jantung (cardiac output) 52
CVC (central venous canulation) 97
CVP (central venous pressure 156, 181
CVP (Central Venous Pressure/tekanan vena
sentral) 97
cyanotic spell 117

defibrilasi 204, 205, 207, 267, 268


defisiensi vitamin K 160, 161
dekompresi abdomen 180
dekontaminasi 252, 253, 254, 257, 258,
259,
260
dekstran 70 150
dekstrosa 26, 33, 116, 167, 169, 171, 173
Dexmedetomidine 231
dialisis 2, 5, 49, 141, 157, 185, 254, 260
272 Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat
digoksin 117, 118, 255 257, 265, 267
Disseminated Intravascular Coagulation 159 EEG 2, 26, 32, 36, 46, 47, 49, 50, 251, 268
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) ekstubasi 91, 166, 216
159 Elektrolit 129, 170, 172, 188, 251
Diuretik 110, 117, 184 endotracheal tube 60, 215, 267
DO2 52, 53, 64, 65, 66, 67, 92, 94, 107, 114, ensefalopati 25, 39, 40, 46, 47, 165
144, 148, 151, 156 Enterokolitis infektif 189
Dobutamin 120, 156, 209 Enterokolitis nekrotikans 187, 190
dopamine 122, 130 epinefrin 77, 121, 203, 204, 205, 206, 208,
Doxapram 234 209, 210, 222, 224, 250, 257, 259, 267
Drainase peritoneal 191 ETT 60, 202, 203, 207, 208, 209, 215, 216,
dry lung 262 217, 219, 267
EVLW 156

E
early goal directed therapy
F
155 ECMO 2 faktor stres 162, 163, 164
edema 37, 39, 40, 41, 43, 54, 59, 60, 69, 71, FENa 127, 128, 129
79, 84, 87, 101, 103, 104, 111, 112, 113, fentanil 231, 232, 233, 237, 250
144, 145, 146, 147, 148, 149, 153, 154, FEUr 129
181, 184, 188, 242, 243, 251, 254, 256,
Fibrinogen 160 hemodinamik 44, 71, 87, 88, 91, 92, 93, 94,
FiO2 51, 53, 54, 55, 56, 57, 76, 78, 79, 80, 95, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 106,
90, 117, 144, 145, 148, 154, 155, 156, 164,
91, 121, 236, 266 166, 181, 184, 190, 205, 206, 207, 218,
Fistula 168, 191 223, 233, 238, 239, 241, 242, 266
Fluid challenge 103
Flumazenil 230, 255
Fungsi ginjal 126, 146
Fungsi hati 166
fungsi tiroid 26

GABA 29, 229


gagal ginjal akut 108, 124, 125, 126, 127,
128,
129, 130, 140, 238, 239
gagal hati 210
gagal jantung 2, 70, 110, 112, 115, 117, 118,
126, 150, 243, 254
gagal napas 70, 77, 80, 81, 83, 96, 127, 132,
193, 256
gangguan keseimbangan asam basa 132, 133,
134, 137, 139, 142
gelatin 148, 149, 150
Glomerulonefritis 125, 129
glucose infusion rate 169
Glucose oxidation rate 169
glukosa 5, 25, 32, 33, 38, 44, 45, 49, 128,
147,
150, 151, 162, 163, 169, 182, 208, 210,
243, 256, 259, 260, 264, 265
Grogono 138, 140, 142, 143

Haloperidol 231
Head Tilt 194
Heimlich maneuver 195, 196
hemodialisis 150, 184, 238, 239, 242, 243,
255,
257, 260
hemoglobin 52, 53, 63, 64, 66, 67, 90, 92, 93, hipoproteinemia 145
114, 128, 133, 178, 242 hipotermia 22, 38, 40, 43, 103, 154, 155, 182,
hemoreologi 148 242, 250, 251, 265, 267
henti jantung 2, 56, 72, 109, 193, 200, 201, hipoventilasi 52, 66, 80, 82, 121, 140, 252
205, 208, 209, 210, 218, 221, 256, 259 hipovolemia 44, 103, 104, 127, 128, 140, 144,
Hernia inkarserata 177 146, 147, 148, 149, 150, 151, 184, 190
HFO 5 homeostasis 132, 135, 142, 164, 168, 180, 183
high flow 54 hormon antidiuretik 125, 128
Hiperalimentasi 135 hormon counter regulatory 162
Hiperglikemia 140, 163, 168, 264 Hospital-Acquired Pneumonia 72
hiperkalemia 188 hukum kenetralan listrik 135
hipernatremia 26, 129, 142, 188, 210, 263
Hipertensi intra-abdomen 180, 181
hiperventilasi 40, 43, 70, 81, 118, 132, 268 I
hipnotik 20, 227, 228, 229, 250, 251 ileostomi 140, 178, 179
hipoglikemia 25, 26, 33, 44, 45, 108, 110, 119, ileus 166, 178, 189, 254
210, 256 Imunonutrisi 165
Hipokalemia 70, 128, 129 infeksi 2, 4, 5, 10, 12, 13, 14, 26, 28, 31, 32,
hipokalsemia 26, 108, 119, 128, 129, 209, 210 33, 37, 39, 40, 43, 44, 48, 60, 72, 73, 74,
Hipoksia 34, 54, 56, 76, 77, 79, 109 75, 76, 81, 83, 96, 108, 117, 118, 119,
hipomagnesemia 26 121, 125, 126, 152, 155, 164, 165, 178,
Hiponatremia 26, 31, 44, 128
179, 181, 242, 259, 265 Katartik 253
INFUS INTRAOSSEUS 221 kateterisasi jantung 111, 115
inotropik 5, 65, 80, 96, 102, 110, 118, 119, Kegagalan Multi Organ 152
155, 156, 189, 190, 209, 242, 266
insufisiensi adrenal 110, 156, 157
insufisiensi adrenal relatif 156, 157
insulin 141, 162, 163, 169, 265
intensivis 10, 14
Intraosseus 208, 226
intubasi 5, 34, 73, 80, 83, 116, 119, 121,
166,
200, 202, 215, 216, 217, 218, 219, 266
intubasi endotrakea 200, 215, 216, 218, 266
Intususepsi 177
invasif 6, 12, 46, 48, 56, 77, 94, 95, 99, 102,
106, 111, 118, 154, 156, 157, 185, 254
ion bikarbonat 133, 134, 136
ion hidrogen 132, 133, 135, 136, 137
ion kuat 135, 136
ion lemah 135, 136
ipekak 252
Irigasi usus 254
iskemia 26, 37, 38, 40, 41, 43, 46, 47, 48, 49,
103, 124, 126, 149, 154, 156, 166, 176,
181, 187, 188, 189, 206, 238, 264, 265,
267, 268

jaw-thrust 60

kalorimetri indirek 163


KANULASI VENA JUGULARIS 223
kaptopril 117, 118, 119
kardiotoksik 251
kardiovaskular 26, 47, 53, 61, 70, 90, 99,
106,
110, 111, 152, 162, 180, 183, 198, 229,
250, 263, 264, 265, 266, 267, 268
katabolisme 141, 162, 163, 169
kejang 2, 22, 26, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, komplians 37, 38, 39, 44, 48, 57, 61, 62, 63,
36, 40, 42, 44, 45, 47, 48, 140, 160, 161, 64, 67, 79, 82, 86, 87, 88, 89, 91, 180,
210, 230, 231, 233, 250, 253, 256, 257, 216, 264
267, 268 konsumsi oksigen 48, 65, 66, 67, 94, 101, 151,
Keracunan 20, 25, 31, 135, 149, 244, 249, 252, 165, 265
254, 256, 259, 261 kontaminasi 13, 165, 166, 260
Keracunan toluen 135 kontraktilitas miokardium 108, 110, 156, 209
kesadaran 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, kortikosteroid 44, 70, 71, 156, 259, 267, 268
27, 28, 29, 31, 32, 33, 41, 43, 56, 60, 71, KRIKOTIROTOMI 219
93, 102, 109, 154, 155, 160, 198, 221, kristaloid 109, 117, 144, 145, 146, 147, 148,
249, 251, 259, 263, 265, 266 149, 155, 184, 208, 210, 211, 240, 243
keseimbangan asam basa 20, 26, 132, 133, 134,
137, 139, 140, 142, 164, 170, 239, 241 L
ketamin 227, 230, 231
ketoasidosis 140, 141 laju filtrasi glomerulus 125, 127, 130
Ketorolak 234 laparatomi 175, 176, 183, 185
koagulopati 43, 148, 170, 182, 183 laparoskopi 184
kolinergik 62, 250 Laringoskop berdaun lengkung 216
koloid 5, 110, 117, 144, 145, 146, 147, 148, laringoskop berdaun lurus 216
149, 150, 151, 155, 184 LARYNGEAL MASK AIRWAY 217
kolonisasi 13 Look-Listen-Feel 196
kolostomi 178, 179 lorazepam 229, 230
M obat vasoaktif 164 Obstruksi jalan
napas 215
obstruksi usus 166, 168, 176, 177
oksigen 111, 112, 113, 114, 115, 116, 118,
manitol 128, 185
mean arterial pressure 155, 180
mekanisme kompensasi 125, 138, 139, 144,
154, 155
mesin jantung-paru 150
metabolik 118, 119, 128, 129, 132, 133, 134,
135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 147,
154, 164, 166, 168, 169, 170, 178, 182,
187, 188, 189, 190, 239, 244
midazolam 229, 230, 231, 233
mikroorganisme 155
morfin 117, 231, 232, 233, 237
muntah 126, 141, 164, 166, 175, 177, 178,
182, 195, 200, 217, 234
muskulus sternokleidomastoideus 224

nalokson 208, 222, 234


Nefritis interstisial akut 129
Nefrotoksin 127
Nefrotoksisitas 245
nekrosis tubular akut 124, 125, 126, 247
neonatus 117, 119, 126, 127, 128, 129, 164,
169, 175, 177, 187, 188, 193, 203, 207,
216, 221, 233, 234
norepinefrin 121, 155
Nothing per Oral 189
nutrisi 130, 157, 162, 163, 164, 165, 166,
167,
168, 169, 170, 171, 172, 173, 178, 179,
190, 191, 223, 239, 242
nutrisi enteral 164, 165, 166, 167, 179
nutrisi parenteral 164, 168, 169, 170, 171,
172,
173, 178, 179, 190, 191, 223, 242

O
119, 120, 121, 135, 140, 145, 148, 151, Penyakit ginjal terminal 124
165, 200, 201, 202, 203, 205, 206, 207, perfusi 33, 37, 38, 39, 40, 41, 45, 46, 47, 48,
208, 210, 216, 217, 219, 220, 236 51, 52, 53, 57, 66, 68, 69, 79, 95, 100,
oliguria 128, 150, 154, 181, 184, 190 102, 109, 112, 113, 115, 117, 118, 119,
Opioid 231, 232, 234, 237 125, 126, 128, 147, 154, 155, 156, 164,
overfeeding 164 166, 170, 176, 180, 181, 183, 185, 201,
203, 204, 205, 206, 207, 209, 211, 266,
267
P permeabilitas vaskular 144
Pacing 206 persamaan Van Slyke 134
PaCO2 118, 120, 121, 132, 133, 134, 135, 138, perubahan permeabilitas kapiler paru 145
139, 142 PGE1 (Prostaglandine E1) 145
PaO2 116 PiCCO 156
partial thromboplastin time 158, 159 pirau (shunt) 67, 264
pascaoperasi 2, 48 plasminogen activator inhibitor 158
PDA (Patent Ductus Arteriosus) pneumatosis intestinalis 176, 187, 188, 189
116 Peak Inspiratory Pressure Pneumonia 56, 72, 73, 75, 76, 79, 84, 189
(PIP) 89 pediatric assessment pneumoperitoneum 188, 189
triangle 252 pelepasan mediator Pneumotoraks 203
inflamasi 88, 153, 180 Pola napas 20, 21, 40, 82
Pemeriksaan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 266
neurologis 251 predicted energy expenditure 163
preload 95, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 104,
106, 108, 110, 119, 149, 181 salisilat 140, 251, 254, 255, 256, 257
pressure control 86, 89, 90 saturasi oksigen 41, 42, 48, 52, 54, 56, 57,
prokalsitonin 178 80,
Propofol 227, 230, 236 92, 101, 103, 109, 121, 200, 202, 208,
propranolol 117
Prosedur 38, 44, 96, 98, 121, 185, 215, 216,
218, 220, 221, 223, 254
Prostasiklin 120, 158
prothrombin time 159
protrombin 32, 158, 160, 237
Pulseless Electrocardiography Activity (PEA)
203
Pulse oxymetry 159
pulse pressure variation (PPV) 106

R
Rapid sequence intubation (RSI) 217
RBSI 12
reaksi keseimbangan disosiasi 135
Recombinant human activated protein-C 156
remifentanil 233
reseptor gama aminobutyric acid (GABA)
229 reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA)
230 Resusitasi Jantung Paru 193, 199, 211
RIFLE 124, 130
Ringer Laktat 148
Rouleaux 147
round belly sign
183
ruang rugi 55, 69, 87, 88, 90

sakit kritis 1, 2, 8, 47, 71, 99, 101, 144, 146,


148, 150, 162, 163, 164, 165, 166, 168,
169, 170, 180, 185, 209, 229, 237, 238,
239, 247
216, 266, 267 Sindrom kompartemen abdomen 175, 180,
Saturasi oksigen mixed-venous 106 181, 182
saturasi vena sentral 5 sindrom syok dengue 145
saturasi vena sentral (ScvO2) Sindrom usus pendek 168, 178
93 sealing effect 147, 148 sirkulasi ekstrakorporeal 150
sedasi 40, 43, 44, 45, 47, 117, 119, 121, 206, sirkulasi mikro 145, 148, 149, 150, 151
207, 217, 227, 228, 229, 230, 231, 234, sistem dapar 132, 142
235, 236, 268 SI (stroke index) 94
senjang anion 135 Skoring 11, 235
sepsis 5, 25, 43, 101, 103, 108, 109, 124, 125, Skor Ramsay 236
126, 145, 148, 149, 151, 152, 153, 154, Slow Continuous Ultrafiltration
155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 164, 243 Stadium Bell 189
165, 175, 176, 177, 178, 179, 181, 182, Standardized Base Excess (SBE) 133
185, 186, 187, 188, 189, 230, 238, 239, Status asmatikus 68
242, 243, 244, 247, 248 status epileptikus 26, 29, 33, 47, 48
Short bowel syndrom (lihat sindrom usus status konvulsivus 33, 34, 35
pendek) 145 Steroid 44
Siggard-Anderson 133 Stewart approach 132, 143
simpatis 21, 34, 62, 108 streptococcal toxic shock syndrome 156
SIMV 83, 87, 91 streptokinase 160
sindrom Fanconi 129 stroke volume 95, 106, 156
sindrom Kassabach Merritt 159 strong ions difference 133, 136
suctioning 44, 45 115 Tiopental 231
Sudden infant death syndrome 194
Sufentanil 233
surfaktan 57, 61, 62, 80, 263, 264, 267
susunan saraf pusat 2, 21, 24, 25, 26, 31,
32,
46, 116, 180, 181, 183, 231, 251, 258,
263
SVRI (systemic vascular resistance index/
indeks resistensi vaskular sistemik) 94
SVV (Stroke Volume Variation) 106
syok 2, 22, 41, 63, 75, 79, 92, 101, 103, 108,
109, 110, 115, 140, 141, 144, 145, 146,
148, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156,
176, 182, 184, 185, 188, 190, 208, 209,
210, 211, 221, 247, 252, 264
Syok distributif 108, 109, 110
Syok hipovolemik 108, 109
syok kardiogenik 108, 109, 110, 247, 264
syok normovolemik 150
syok septik 75, 79, 103, 109, 110, 144, 152,
153, 154, 155, 156, 182, 184
systemic inflammatory response syndrome 152
systolic pressure variation 106

TAPVD (Total Anomaly of Pulmonary


Drainage) 121
tekanan baji arteri paru 148
tekanan diastolik 95, 113, 149, 154, 155
tekanan intra-abdomen 180, 181, 182, 184,
185
tekanan intrakranial 2, 20, 22, 26, 27, 31,
32,
37, 38, 39, 40, 41, 42, 47, 48, 49, 96,
161, 181, 229, 231, 242, 266, 268
tekanan onkotik 144, 146, 147, 148, 240
tekanan osmotik koloid plasma 144
Tekanan perfusi abdomen 180
tekanan sistolik 71, 95, 100, 105, 106
teknik Seldinger 156
Terapi Sulih Ginjal Berkesinambungan 238
TGA (Transposition of Great Arteries)
tissue factor 158, 159 technique 197 two thumb-encircling hands
Tissue factor pathway technique 197
inhibitor 158 tissue
plasminogen activator 158,
160 TOF (tetralogy of U
Fallot) 117 Tonometri unmeasured anion 137, 140
gastrik 147 Uremia 25, 135, 245
Toxidromes klasik 250 urokinase 160
T-piece 87, 91 USCOM 156
trace element 168, 171
traditional approach 132
Tramadol 234 V
transduser 47, 94, 95, 98, 99
VAP (ventilator-Associated Pneumonia) 12,
translokasi bakteri pada saluran cerna
13, 72, 73, 74, 75
147 trauma 1, 2, 17, 19, 20, 26, 31, 32, 33,
vasoaktif 6, 14, 65, 100, 153, 164, 181, 223
37, 38,
vasodilatasi 37, 38, 103, 109, 125, 142, 153,
39, 40, 44, 47, 48, 49, 80, 88, 108, 145,
154, 155, 233
148, 151, 158, 159, 162, 164, 165, 168,
vasokonstriksi 37, 40, 43, 108, 112, 125, 154,
180, 182, 183, 184, 185, 194, 210, 211,
155, 158, 181, 210, 265
220, 228, 253
ventilasi 2, 5, 13, 27, 34, 43, 51, 52, 53, 54, 57,
trigger 85, 86, 89
61, 62, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 75, 77,
trombin 158, 159
79, 80, 82, 83, 90, 91, 96, 98, 100, 106,
Trombomodulin 158
112, 116, 118, 121, 133, 140, 142, 157,
two-finger chest compression
162, 170, 180, 199, 201, 202, 204, 205, Ventrikel Fibrilasi 203
206, 208, 209, 210, 215, 216, 217, 227, Ventrikel Takikardia 203
228, 234, 247, 252, 257, 259, 264, 266, viskositas 41, 59, 147, 149, 150, 258, 265
267 Volume challenge 103, 104
ventilasi alveolar 51, 133 Volume tidal 62, 87, 90, 120
ventilasi mekanik 2, 5, 13, 27, 43, 68, 70, von Willebrand factor 149
72,
VSD (Ventricular Septal Defect) 111, 112,
73, 75, 77, 80, 83, 96, 98, 106, 116,
113, 114, 118
118,
121, 140, 157, 162, 215, 227, 234, 247,
259 W
ventilator 4, 5, 6, 12, 13, 14, 72, 80, 85, 86,
87, warm shock 110, 154, 155
88, 89, 90, 91, 106, 118, 119, 120, 121, wet lung 262
164, 165, 182, 189, 229, 230, 233,
267
Ventilator 13

You might also like