You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Petani selama ini tergantung pada pengendalian secara kimiawi untuk


mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Aplikasi insektisida kimia sintetik
yang kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) dapat memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi
hama, resurjensi, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan
sasaran, adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan,
dan bahaya pada pemakai.
Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan, petani
semakin dituntut memak-simalkan potensi lahannya dengan meningkatkan
penggunaan input usaha tani. Salah satu input penting adalah pestisida kimia
sintetis untuk menekan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia berkembang sangat pesat. Pada tahun
2002 tercatat ada 813 nama dagang pestisida yang terdaftar untuk dipasarkan,
namun pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2.810 nama dagang (Direktorat
Pupuk dan Pestisida 2002; 2013). Intensifikasi penggunaan pestisida kimia sintetis
pada kenyataannya mengakibatkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, antara
lain terjadinya kerusakan ekosistem lahan pertanian akibat terganggunya populasi
flora dan fauna (Regnault-Roger 2005). Penggunaan pestisida sintetis dilaporkan
meninggalkan residu dalam tanah hingga bertahun-tahun setelah pemakaian,
sehingga mengurangi daya dukung lahan akibat menurunnya populasi
mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di dalam tanah. Kondisi ini
diperparah dengan meningkatnya resistensi hama tanaman akibat penggunaan
insektisida yang berlebihan. Dengan demikian, petani terpaksa menambah dosis
insektisida yang diaplikasikan sehingga meningkatkan paparan residu insektisida
pada tubuh petani maupun konsumen. Kasus keracunan insektisida di Indonesia
pada tahun 2001–2005 cukup tinggi. Dari 4.867 kasus keracunan, 3.789 orang
dilaporkan meninggal dunia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu
dilakukan pembenahan terhadap cara penggunaan pestisida yang aman bagi

1
tanaman dan lingkungan dengan memerhatikan dan memanfaatkan sumber daya
hayati yang melimpah di alam.
Seperti penggunaan pestisida hayati sekarang mulai dikembangkan
penggunaan bahan tumbuhan untuk dijadikan biopestisida nabati. Biopestisida
nabati kembali mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik
karena relatif aman, murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak
mencemari lingkungan, residunya relatif pendek, aman terhadap hewan bukan
sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak menimbulkan pengaruh
samping.
Pestisida nabati diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan, karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini mudah
terurai di alam sehingga residunya mudah hilang, maka relatif aman bagi manusia.
Pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain: repelant, yaitu menolak
kehadiran serangga, misaknya dengan bau yang menyengat, antifidant: mencegah
serangga makan tanaman yang disemprot, merusak perkembangan telur, larva,
pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan sistem
syaraf di dalam tubuh serangga. Atraktan, yaitu pemikat serangga, yang dapat
dipakai sebagai perangkap serangga, mengendalian jamur atau bakteri. Dengan
demikian pengunaan biopestisida nabati maka secara perlahan akan tercipta
keseimbangan ekologi yang berkesinambungan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang menjadi bahasan dalam paper ini sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan formulasi biopestisida berbasis ekstrak
tumbuhan ?
2. Bagaimanakah cara ekstraksi bahan aktif biopestisida berbasis ekstrak
tumbuhan ?
3. Bagaimana contoh formulasi dan aplikasi biopestisida berbasis ekstrak
tumbuhan ?
4. Bagaimana strategi pemanfaatan biopestisida berbasis ekstrak patogen?

2
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan paper ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami formulasi biopestisida berbasis ekstrak
tumbuhan.
2. Untuk mengetahui dan memahami cara ekstraksi bahan aktif biopestisida
berbasis ekstrak tumbuhan.
3. Untuk mengetahui dan memahami contoh formulasi dan aplikasi
biopestisida berbasis ekstrak tumbuhan.
4. Untuk mengetahui dan memahami strategi pemanfaatan biopestisida
berbasis ekstrak patogen.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dalam pembuatan paper ini sebagai berikut :
Agar penulis serta pembaca dapat mengetahui dan memahami formulasi dan
aplikasi biopestisida berbasis ekstrak tumbuhan yang selama ini telah diterapkan.

3
BAB II

FORMULASI DAN APLIKASI BIOPESTISIDA BERBASIS EKSTRAK


TUMBUHAN

2.1 Formulasi Biopestisida Berbasis Ekstrak Tumbuhan


Biopestisida berbasis ekstrak tumbuhan merupakan pestisida yang
memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki fungsi sebagai
pengendalian hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Biopestisida berbasis
ekstrak tumbuhan dapat menjadi alternatif untuk mengurangi penggunaan
pestisida sintetis. Biopestisida berbasis ekstrak tumbuhan juga merupakan
pestisida yang ramah lingkungan serta tanaman-tanaman penghasilnya mudah
dibudidayakan salah satunya seperti sereh dapur, sereh wangi dan nimba yang
dapat dibuat menjadi bentuk minyak tanaman (Adnyana, dkk, 2012). Biopestisida
berbasis ekstrak tumbuhan ini biasanya mengunakan organ tanaman seperti daun,
akar, biji dan buah tanaman yang menghasilkan suatu senyawa tertentu yang dapat
menghalau serangga untuk memakan atau bahkan mematikan serangga tersebut.
Formulasi adalah komponen yang terdiri dari bahan aktif dan bahan
tambahan (adjuvant) dengan kadar dan bentuk tertentu. Pembuatan formulasi
pestisida bertujuan agar lebih praktis dalam aplikasi, aman dalam proses
transportasi, penyimpanan, penanganan, penggunaan, dan tanaman, dapat
menambah efektivitas dan efisiensi (Hendartini 2003). Bahan tambahan (adjuvant)
adalah bahan yang ditambahkan pada bahan aktif yang diharapkan dapat
menambah keefektifan pestisida. Fungsi bahan tambahan di antaranya adalah
sebagai emulsifier, pelarut, pembasah, antibusa, perata, perekat, anti gumpal,
pembawa, pewarna, dan pembau (Tarumingkeng 1992).

Jenis formulasi pestisida ada beberapa macam di antaranya Emulsifiable


Concentrate (EC) merupakan larutan pekat pestisida yang diberi emulsifier (bahan
pengemulsi) untuk memudahkan pencampurannya yaitu agar terjadi emulsi dari
butiran-butiran kecil minyak dalam air. Jenis formulasi yang larut dalam air atau
Water Soluble Concentrate merupakan formulasi cair yang terdiri dari bahan aktif
yang dilarutkan dalam pelarut tertentu yang dapat bercampur baik dengan air.
Bentuk formulasi ini berupa larutan bening seperti air dan apabila diencerkan

4
dengan air hampir tidak mengalami perubahan warna. Wettable Powder adalah
formulasi pestisida berbentuk padat yang terdiri dari bahan aktif dan tepung
kering yang halus sebagai bahan pembawa yang apabila dicampur dengan air akan
membentuk suspensi (Direktorat Pupuk dan Pestisida Tanaman 2011).

2.2 Cara Ekstraksi Bahan Aktif Biopestisida Berbasis Ekstrak Tumbuhan


Ekstraksi bahan aktif pestisida nabati dapat dilakukan melalui pengepresan
seperti menggunakan alat pengepres semiotomatis. Penggunaan alat pengepres
dapat diterapkan untuk bahan tanaman yang banyak mengandung minyak seperti
biji jarak pagar, kemiri sunan, bunga matahari, biji bengkuang, dan kulit biji
jambu mete. Bahan tanaman yang akan dipres bisa berupa biji, bunga, batang,
atau akar. Hasil pengepresan berupa cairan/ minyak yang selanjutnya ditampung
di dalam wadah dan siap diformulasi menjadi pestisida nabati.
Ekstraksi bahan tanaman yang banyak mengandung minyak atsiri seperti
daun serai wangi, nilam, sirih, dan cengkih, biji dan fulli buah pala, serta bunga
cengkih sebaiknya dilakukan melalui proses penyulingan. Penyulingan dilakukan
dengan memasukkan bahan baku, baik yang sudah dilayukan, kering maupun
bahan basah ke dalam ketel penyuling yang telah berisi air. Ketel selanjutnya
dipanaskan dan uap yang keluar dari ketel yang mengandung minyak atsiri
dialirkan dalam pipa yang dihubungkan dengan kondensor. Uap selanjutnya
terkondensasi dan menghasilkan minyak dan air yang secara otomatis akan
terpisah karena memiliki berat jenis yang berbeda. Minyak ditampung dan
disimpan dalam wadah serta siap diformulasi menjadi pestisida nabati.
Cara ekstraksi yang paling sederhana murah, efisien, dan mudah
dilaksanakan adalah dengan menggunakan pelarut air. Cara ini paling tepat
dilaksanakan di tingkat petani karena tidak memerlukan alat dan pengetahuan
yang spesifik dan mendalam. Proses ekstraksi diawali dengan merajang atau
menghancurkan bahan tanaman kemudian merendamnya di dalam air bersuhu
60◦C selama 24 jam. Hasil rendaman selanjutnya diperas, airnya disaring lalu
disimpan dalam ember plastik dan siap diformulasi menjadi pestisida nabati.
Penyaringan sebaiknya menggunakan kain atau bahan lain yang halus sehingga
ampas tidak terbawa ke dalam formula karena akan menyumbat nozel saat
penyemprotan.

5
2.3 Contoh Formulasi dan Aplikasi Biopestisida Berbasis Ekstrak Tumbuhan

A. Formulasi Biopestisida Dari Minyak Mimba Menggunakan Surfaktan


Dietanolamida Untuk Pengendalian Hama Ulat Grayak Pada
Tanaman Kedelai
Tanaman Mimba (Azadirachta indica A. Juss) termasuk famili Miliaceae.
Tingginya 10–25 m, batang tegak berkayu. Daunnya majemuk, letak berhadapan
dengan panjang 5–7 cm dan lebar 3–4 cm. Bijinya bulat, berdiameter sekitar 1 cm
berwarna putih (Subiyakto, 2009). Biji dan daun mimba mengandung empat
senyawa kimia alami yang aktif sebagai pestisida, yaitu azadirakhtin, salanin,
meliatriol, dan nimbin. Dalam satu gram biji mimba mengandung 2-4 mg
azadirakhtin, namun ada juga yang mencapai 9 mg. Senyawa kimia tersebut dapat
berperan sebagai penghambat pertumbuhan serangga, penolak makan, dan repelen
bagi serangga (Sunarto dan Nurindah 2008). Dalam pembuatan biopestisida dari
minyak mimba maka digunakan formulasi jenis surfaktan yang berpotensi
digunakan untuk aplikasi pestisida tanaman kedelai adalah surfaktan
dietanolamida (DEA). DEA akan berperan dalam mendispersikan,
menghomogenkan, meratakan dan merekatkan bahan aktif dengan bahan aditif
lainnya dan media pembawanya.
DEA dilarutkan dengan minyak mimba, kemudian di analisa tegangan
permukaannya, sudut kontak serta ukuran droplet untuk menentukan konsentrasi
surfaktan yang akan digunakan. Metode yang digunakan dalam penentuan
konsentrasi surfaktan adalah metode Critical Micelle Concentration (CMC).
Critical Micelle Concentration atau CMC merupakan salah satu sifat penting
surfaktan yang menunjukkan batas konsentrasi kritis surfaktan dalam suatu
larutan. Diatas konsentrasi tersebut akan terjadi pembentukan micelle atau
agregat. Penggunaan dosis surfaktan yang berlebihan dapat mengakibatkan
terjadinya emulsi balik (reemulsification), selain itu secara ekonomis tidak
menguntungkan. Cara yang umum untuk menetapkan CMC adalah dengan
mengukur tegangan permukaaan larutan surfaktan sebagai fungsi dari konsentrasi.
Makin tinggi konsentrasi surfaktan menyebabkan tegangan permukaan makin
rendah sampai mencapai suatu konsentrasi dimana tegangan antar mukanya

6
konstan. Tegangan permukaan terbentuk karena adanya gaya tarik menarik antara
molekul-molekul pada suatu cairan dengan udara.
Molekul cairan menciptakan gaya tarik menarik ke dalam atau tekanan
internal yang membatasi kecenderungan cairan mengalir dan membentuk antar
muka yang besar dengan zat lain (Kamalakar et al. 2013). Surfaktan mengubah
tegangan permukaan cairan dengan cara memecah gaya yang menahan molekul
cairan dibagian antar muka.
Pengujian formula minyak mimba + surfakan terhadap larva Spodoptera
litura
Komposisi formula mimba yang diuji konsentrasi terbaik DEA 5%
ditambahkan surfaktan kationik SK 55 2% dalam minyak mimba. Perlakuan
dengan larutan mimba + surfaktan pada pengenceran berbagai konsentrasi
tersebut mengakibatkan kematian serangga uji 22% sampai 100% pada hari ke-9
sedangkan pada kontrol kematian larva hanya mencapai 4%. Dari aplikasi yang
telah dilakukan terlihat jelas bahwa perbedaan konsentrasi larutan dapat
mengakibatkan perbedaan nilai mortalitas. Daun kedelai kontrol dimakan habis
sedangkan daun perlakuan hanya sedikit yang dimakan. Selain itu, larva S. litura
kontrol tampak sehat dan sudah mencapai instar V akhir sedangkan larva
perlakuan belum ada yang mencapai instar V. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bahan aktif mimba menghambat makan dan perkembangan larva S. litura.
Berdasarkan hasil analisa tegangan permukaan, analisa sudut kontak, dan
analisa ukuran droplet, konsentrasi surfaktan dietanolamida (DEA) yang terbaik
untuk digunakan dalam formulasi insektisida dari minyak biji mimba adalah 5%.
Sementara untuk surfaktan kationik SK 55 konsentrasi terbaik yang dapat
digunakan pada proses formulasi yaitu 2%. Hasil pengujian terhadap mortalitas
larva ulat grayak dari jenis formulasi yaitu DEA 5% dengan penambahan
surfaktan kationik 2% menunjukkan bahwa pada konsentrasi tertinggi yang
diujikan yaitu 12,5 mL larutan formula dalam 1 liter air memiliki tingkat kematian
(mortalitas) larva ulat grayak sebesar 100%.

7
B. BIOPESTISIDA DARI EKSTRAK RIMPANG LENGKUAS
DALAM MENGHAMBAT AKTIFITAS CENDAWAN Oncobasidium
Theobremae SECARA In-Vitro

Lengkuas (Alpinia galanga L.) merupakan anggota familia Zingiberaceae.


Rimpang lengkuas memiliki berbagai khasiat di antaranya sebagai anti jamur dan
antibakteri. Penelitian Yuharmen dkk. (2002) menunjukkan adanya aktifitas
penghambatan pertumbuhan mikrobia oleh minyak atsiri dan fraksi metanol
rimpang lengkuas pada beberapa spesies bakteri dan jamur. Pada tahap
pembuatan ekstrak rimpang lengkuas, terlebih dahulu lengkuas dipotong-potong
tipis kemudian di oven dengan suhu 400C sehingga menjadi kering. Lengkuas
yang telah kering di haluskan dengan blender kemudian diayak untuk
memisahkan ampas agar lengkuas tersebut lebih halus. Lengkuas yang telah halus
di larutkan dengan pelarut yang sudah di tentukan. Dalam tiap pelarut, masing
masing digunakan 500 ml pelarut untuk 100 gram lengkuas yang akan digunakan
lalu shaker selama 48 jam kemudian di vakum dan di evaporator untuk
menghasilkan ekstrak lengkuas dalam bentuk cair.Uji daya hambat ini di lakukan
dengan metode pembuatan media pelarut yaitu hasil estrak rimpang lenguas
dilarutan kedalam media Potato dextrose agar (PDA).

Penyakit vascular streak dieback (VSD) pada kakao (Theobroma cacao L.) di
Asia Tenggara dan Melanesia disebabkan cendawan O. theobromae. Cendawan
ini memproduksi basidiospora pada basidium yang berkembang pada cabang
kakao yang terserang dan terjadi setelah tengah malam pada kondisi sangat
lembab. Basidiospora disebarkan oleh angin dan apabila spora ini datang pada
permukaan yang kering, maka akan segera kehilangan viabilitasnya. Pada daun
muda yang mengandung tetesan air, basidiospora mudah berkecambah sehingga
tabung kecambah berpenetrasi pada epidermis dan masuk ke dalam xilem
(Rosmana, 2005). Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi cendawan O.
Theobremae biakan cendawan berwarna putih, serta berbentuk lingkaran yang
berwarna coklat kekuning kuningan dan berwarna hitam pada bagian tengah serta
jika dilihat dari bentuk mikroskopis dengan pembesaran 100x betuk hifa berskat

8
dan terlihat bulatan dibagian tengah hifa. Persentase daya hambat ekstrak rimpang
lengkuas tertinggi yaitu pada konsentrasi 0,75% sebesar 38,77%.
Mati pucuk (VSD) merupakan salah satu penyakit penting pada perkebunan
kakao. Mengingat hal ini, maka perlu digalakkan penggunaan obat tradisional
secara alamiah melalui pemanfaatan umbi-umbian, yang mudah ditemukan
disekitar kita dan tidak menimbulkan efek samping, yaitu menggunakan ekstrak
rimpang lengkuas (Alpinia galanga). lengkuas selain mengandung minyak atsiri,
juga mengandung senyawa flavonoid, fenol dan terpenoid. Sedangkan minyak
atsiri didalam lengkuas mengandung eugeno, sineol dan metil sinamat. Secara
kimia, minyak asiri tersusun dari berbagai macam komponen yang secara garis
besar tersusun dari terpenoid dan fenil propanal. Fenil propanal memiliki
percabangan rantai berupa gugus-gugus fenol dan eter fenol. Senyawa fenol
meiliki efek krosif dapat mendenaturasi protein merusak dinding dan membra sel
mikroba dan menonaktifkan enzim-enzim. Senyawa ini termasuk mikrobakteri,
fungisid dan menonaktifkan virus virus lipovilik. Rimpang lengkuas mengandung
zat-zat yang dapat menghambat enzim xanthin oksidase sehingga bersifat sebagai
antitumor. Kandungan saponin dan asetoxichavikol yang dimiliki oleh lengkuas
sangat berperan dalam mekanisme ketahanan tanaman ini terhadap serangan
patogen khususnya jamur (Suprapta, 1998). Ekstrak rimpang lengkuas (A.
galanga) berpotensi sebagai pengawet nabati untuk mengendalikan beberapa
mikroba patogen.
Pertumbuhan diameter koloni cendawan O. Theobremae pada tiap perlakuan
konsentrasi yang mengandung ekstrak lengkuas mampu menghambat
pertumbuhan koloni cendawan. Dimana ekstrak rimpang lengkuas mengandung
saponin dan asetoxichavikol yang bisa berfungsi sebagai penghambat mikroba
patogen. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka akan semakin efektif
dalam menghambat aktifitas pertumbuhan penyakit Vascular streak diabact
(VSD) menunjukkan bahwa konsentrasi 0,75% memiliki daya hambat paling
tertinggi dalam menekan pertumbuhan cendawan O. theobremae.

9
C. Biopestisida Dari Ekstrak Daun Kedondong (Lannea Grandisengl)
Terhadap Pertumbuhan Bakteri Erwinia Carotovora

Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera baradensis, Miller), termasuk salah satu
dari sepuluh jenis tanaman terlaris di dunia karena memiliki potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan terutama dibidang pengobatan dan industri
(Suryowidodo, 1989). Pengembangan Lidah Buaya tidak bisa terlepas dari
berbagai faktor pembatas terutama dari serangan organisme pengganggu tanaman
(OPT). Salah satu diantaranya adalah penyakit busuk lunak (Soft root) yang
disebabkan oleh Erwinia carotovora (Semangun, 1988). Kerugian akibat adanya
penyakit busuk lunak mendorong dilakukannya berbagai usaha pengendalian.
Salah satu usaha pengendalian yang dilakukan yaitu dengan pengendalian
menggunakan biopestisida nabati. Daun kedondong yang telah bersih dirajang
sampai agak halus kemudian dikering anginkan ± 3 hari. Formulasi bahan yang
telah kering digunakan ditimbang sebanyak 100 gram, kemudian ditambah dengan
solven methanol sebanyak 1000 ml. Setelah direndam selama 3 hari pada suhu
kamar, rendaman ekstrak disaring dengan kertas saring watman no 2. Filtrat yang
diperoleh diuapkan dengan vacum rotary evaporator untuk memisahkan antara
pelarut (methanol) dan ekstrak. Ekstrak yang diperoleh ditimbang, dicatat
beratnya dan dilarutkan dalam aceton hingga konsentrasinya menjadi 50%
kemudian disimpan dalamErlenmeyer dan siap digunakan untuk pengujian
berikutnya.
Sesuai dengan laporan Agrios (1988) dan Dube (1978) dimana dalam
laporannya bahwa bakteri yang tumbuh pada media PPGA tersebut adalah bakteri
E carotovora dengan ciri berwarna putih kekuningan dengan aroma menyerupai
aroma gas belerang, ini menunjukkan bahwa penelitian ini telah mampu
mengisisolasi bakteri E carotovora dari tanaman Lidah Buaya. Pada pengujian
aktivitas ekstrak daun kedondong pada potongan daun Lidah Buaya, dimana
busuknya potongan daun Lidah Buaya disebabkan oleh enzim enzim yang
dikeluarkan oleh bakteri E carotovora seperti enzim peptidase yang berfungsi
menguraikan bagian pektin sebagai perekat antar dinding sel dan enzim selulase
yang berfungsi memecah selulose dari dinding sel sehingga jaringan menjadi

10
lunak dan mengeluarkan cairan berwarna kekuningan, hal ini juga mendukung
pendapatnya Agrios (1988). Potongan daun Lidah Buaya perlakuan ekstrak 4, 5
dan 6% dan kontrol sehat pada hari ketiga kelihatan masih segar. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak dengan konsentrasi 4, 5 dan 6% mampu melindungi
potongan daun Lidah Buaya dari serangan bakteri E carotovora. Aktivitas
antibakteri ekstrak daun kedondong terhadap pertumbuhan bakteri E carotovora
disebabkan oleh salah satu komponen senyawa aktif yang bersifat antibakteri.
Senyawa tersebut diduga adalah senyawa tannin, dimana senyawa ini
merupakan senyawa organik yang merupakan metabolit sekunder yang diketahui
aktif menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri. Senyawa tanin juga
terdapat pada tanaman jambu biji, daun salam, lempuyang gajah yang diketahui
efektif menghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus
aureus yang sering menyebabkan penyakit diare pada hewan (Suanda,2002;
Sabu,2006)

D. BIOPESTISIDA DARI BERBAGAI JENIS EKSTRAK NABATI


TERHADAP INFEKSI Cucumber Mosaic Virus (CMV) PADA
TANAMAN MENTIMUN (Cucumis Sativus L.)

Virus inhibitor merupakan zat yang dapat mencegah infeksi virus yang
terdapat pada sap dari tanaman tertentu. Tanaman juga memiliki kandungan
senyawa aktif yang bersifat antiviral yang berperan dalam penghambatan
pergerakan virus. Ada tidaknya antiviral dalam suatu tanaman dapat berpengaruh
pada ketahanan tanaman terhadap penghambatan infeksi virus. (Smith, 1972)
perlakuan ekstrak Euchornia crassipes, Euchema alvarezii, Mirabilis jalapa, dan
Amaranthus spinosus dapat menurunkan preferensi serangga vektor terhadap
tanaman inang, memperpanjang masa inkubasi gejala, menekan perkembangan
penyakit gemini virus (Duriat, 2008).
Pengaplikasian Ekstrak dan Virus
Pengujian keberhasilan inokulasi virus CMV dilakukan dengan melihat
antiviral yang terdapat pada ekstrak tanaman yang diinokulasikan pada tanaman
mentimun. Inokulasi dilakukan secara mekanis. Pembuatan ekstrak dengan

11
konsentrasi 50 gram daun /100 ml penyangga fosfat. Mencampurkan ekstrak
dengan sap virus CMV dengan perbandingan 1:1. Proses inokulasi dilakukan
dengan menyemprotkan campuran sap virus dan ekstrak pada kotiledon yang telah
diolesi karborundum. Pembilasan dilakukan setelah ± 30 menit untuk
membersihkan sisa karborundum agar tidak mengganggu proses fisiologi. Ekstrak
E. crassipes, E. alvarezii A. spinosus dan M. jalapa diduga mengandung inhibitor
sehingga mampu menekan intensitas penyakit. Namun kandungan ekstrak yang
bersifat antiviral pada E. alvarezii belum diketahui.
Menurut Cardoso et al. (2014) ekstrak E. crassipes terdapat senyawa asam
shakimat yang berfungsi sebagai antiviral. Pada perlakuan A. spinosus diduga
terdapat kandungan senyawa tanin yang berfungsi sebagai antiviral. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian Hersanti (2004) dimana A. spinosus mampu
menekan infeksi CMV . Menurut Vivanco et al. (1999) ekstrak M. jalapa terdapat
senyawa aktif yang dapat mengendalikan virus disebut sebagai protein antivirus
dan dikenal sebagai Ribosome Inactivating Protein (RIPs). RIPs juga terdapat
pada ekstrak akar dan daun M. jalapa dan disebut sebagai Mirabilis Antiviral
Protein (MAP). Mekanisme penghambatan virus yang dilakukan oleh MAP ada
dua cara. Yang pertama, pada saat aplikasi ekstrak, MAP masuk ke bagian atas
epidermis dan bertahan di ruang antarselnya. Kedua, MAP dan virus melakukan
penetrasi bersamasama pada saat inokulasi. Keduanya saling berkompetisi untuk
mencari daerah aktif ribosom sehingga dapat mencegah infeksi virus pada tahap
awal sebelum virus mengalami deenkapsidasi.

2.4 Strategi Pemanfaatan Biopestisida Berbasis Ekstrak Tumbuhan


Cara pengendalian OPT yang ramah lingkungan sudah mendesak
diperlukan, sehingga strategi percepatan pemanfaatan pestisida nabati dalam
jangka pendek maupun jangka panjang perlu mendapat perhatian serius dari
semua pihak.
Upaya jangka pendek dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada petani
mengenai:

12
1) keunggulan dan kekurangan pestisida nabati sehingga petani menyadari
sepenuhnya bahwa penggunaan pestisida nabati tidak memberikan efek
langsung, namun mengendalikan OPT secara perlahan
2) jenis-jenis tanaman di sekitar kebun yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku pestisida nabati
3) cara menyiapkan dan mengolah bahan tanaman sehingga siap diekstrak
menjadi bahan aktif pestisida nabati
4) cara memformulasi pestisida nabati yang murah dan mudah sehingga
secara ekonomis terjangkau oleh petani
5) cara memanfaatkan pestisida nabati yang benar sesuai dengan arahan para
ahli demi tercapainya tingkat keberhasilan pengendalian OPT yang
optimal.
Upaya jangka panjang memerlukan dukungan serius dari pemangku kebijakan
untuk menekan pestisida kimia sintetis yang beredar di pasaran. Secara bertahap
perizinan pendaftaran pestisida baru perlu dibatasi dan semua pestisida yang
beredar di pasaran dievaluasi ulang terkait dengan resistensinya terhadap hama
sasaran. Insektisida yang menunjukkan tingkat resistensi tinggi sebaiknya izin
edarnya dipertimbangkan kembali untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat
efek domino dari penggunaan pestisida sintetis yang diaplikasikan pada
konsentrasi yang lebih tinggi.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membantu penyuluh pertanian
dalam mendampingi petani memproduksi dan memanfaatkan pestisida nabati.
Peran penyuluh dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan pemanfaatan
pestisida nabati kepada petani menjadi sangat penting mengingat penyuluh adalah
ujung tombak percepatan adopsi teknologi oleh petani. Melalui pendampingan
terhadap penyuluh, diharapkan budi daya pertanian ramah lingkungan dapat
segera menyebar luas ke petani.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Biopestisida berbasis ekstrak tumbuhan merupakan pestisida yang


memiliki bahan aktif yang dihasilkan dari tanaman dan memiliki fungsi sebagai
pengendalian hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Ekstraksi bahan aktif
pestisida nabati dapat dilakukan melalui pengepresan seperti menggunakan alat
pengepres semiotomatis. Cara ekstraksi yang paling sederhana murah, efisien, dan
mudah dilaksanakan adalah dengan menggunakan pelarut air. Contoh formulasi
dan aplikasi biopestisida berbasis ekstrak tumbuhan yaitu formulasi biopestisida
dari minyak mimba menggunakan surfaktan dietanolamida untuk pengendalian
hama ulat grayak pada tanaman kedelai, biopestisida dari ekstrak rimpang
lengkuas dalam menghambat aktifitas cendawan Oncobasidium theobremae
secara in-vitro, biopestisida dari ekstrak daun kedondong (Lannea grandisengl)
terhadap pertumbuhan bakteri Erwinia carotovora, dan biopestisida dari berbagai
jenis ekstrak nabati terhadap infeksi Cucumber mosaic virus (cmv) pada tanaman
mentimun (Cucumis Sativus L.). Strategi Pemanfaatan Biopestisida Berbasis
Ekstrak Tumbuhan. Upaya jangka pendek dilakukan dengan memberikan
pemahaman kepada petani, Upaya jangka panjang memerlukan dukungan serius
dari pemangku kebijakan untuk menekan pestisida kimia sintetis yang beredar di
pasaran. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah membantu penyuluh pertanian
dalam mendampingi petani memproduksi dan memanfaatkan pestisida nabati.

3.2 Saran

Aplikasi biopestisida berbasis estrak tumbuhan sangat dianjurkan untuk


mendukung pertanian berkelanjutan yang tetap melestraikan lingkungan dan
melestarikan berbagai macam tanaman yang berpotensi sebagai biopestisida.
Untuk dapat mewujudkan itu diperlukan pengetahuan yag dimiliki oleh petani
melalui pembimbingan serta peran nyata pemerintah yang mendukung.

14
DAFTAR PUSTAKA

Roswita, N. R, M. Martosudiro, dan T. Hadiastono. (2015). Pengaruh Berbagai


Jenis Ekstrak Nabati Terhadap Infeksi Cucumber Mosaic Virus (Cmv)
Pada Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L.). Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 3(1) : 32-
33
Ismail, S. , I. Lakani, dan J. Panggeso. (2016). Efektifitas Ekstrak Rimpang
Lengkuas Dalam Menghambat Aktifitas Cendawan Oncobasidium
Theobremae Secara In-Vitro. Agrotekbis. 4 (5) : 506-511
I Wayan, S., I.M. Merdana, dan P. A. H. Wibawa. (2011). Uji Daya Hambat
Ekstrak Daun Kedondong (Lannea Grandis Engl) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Erwinia Carotovora. Buletin Veteriner Udayana.
3(1) :45-50
Budhi Indrawijaya. (2016). Formulasi Pestisida Nabati Minyak Mimba
Menggunakan Surfaktan Dietanolamida Untuk Pengendalian Hama Ulat
Grayak Pada Tanaman Kedelai. Institut Pertanian Bogor. 23-38
Suanda I.W. (2002), Aktifitas Insektisia Ekstrak Daun Brotowali (Tinospora
trispa,L) Terhadap Larva Pluttela xylostella, Pada tanaman Kubis (tesis)
Denpasar Universitas Udayana, 49 hal.

15

You might also like