Professional Documents
Culture Documents
net/publication/304425284
CITATIONS READS
4 1,992
3 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
The Influence of Climate Risk on Citrus Farming Practices Among Small-scale Farmers in Indonesia View project
All content following this page was uploaded by Abdul Muis Hasibuan on 31 August 2016.
ABSTRAK ABSTRACT
Pengembangan industri hilir seharusnya dapat menjadi The development of downstream industries should
motor penggerak sistem agribisnis kakao yang lebih be a driving force cacao agribusiness system more
berdaya saing baik nasional maupun internasional, namun competitive national as well as international, however,
produksi kakao olahan Indonesia masih sangat rendah dan production of processed cocoa is still very low and the
industri pengolahan kakao tidak berkembang. Penelitian cocoa processing industry did not develop. This study
ini bertujuan untuk merumuskan alternatif kebijakan yang aims to formulate government alternatives policies to
dapat diterapkan oleh pemerintah untuk pengembangan developing cocoa downstream industry and increasing
industri hilir kakao dan peningkatan penerimaan petani. cocoa farmers revenue. The data used in this study are
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data secondary data and analyzed by the system dynamics
sekunder dan dianalisis dengan pendekatan sistem approach. The results were validated in actual conditions
dinamis. Hasil validasi terhadap model sistem dinamis by measuring RMSPE, AME and AVE. The RMSPE,
pada kondisi aktual diperoleh nilai RMSPE, AME dan AME and EVE obtained for cocoa production were 3.69
AVE untuk produksi biji kakao sebesar 3,69 persen, 2,17 percent, 2.17 percent and 4.44 percent, respectivelly.
persen dan 4,44 persen dan untuk variabel produksi kakao The RMSPE, AME and EVE obtained for processing
olahan adalah sebesar 0,51 persen, 0,30 persen dan 0,59 cocoa were 0.51 percent, 0.30 percent and 0.59 percent,
persen sehingga model dinyatakan valid. Sedangkan hasil respectively. so the model is declared valid. The results
analisis menunjukkan skenario 6 mampu mendorong of analysis showed that sixth scenarios seem to be the
perkembangan sistem agroindustri kakao secara best policy for development cocoa downstream industry.
keseluruhan lebih baik dibandingkan dengan skenario The best policy alternatives should be implemented by
lainnya. Untuk itu, alternatif kebijakan yang sebaiknya the government are: (i) continue to implement Gernas
diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan programs, (ii) improving the productivity and quality of
industri hilir kakao adalah: (i) tetap melaksanakan cocoa smallholders who are not involved in the Gernas
program Gernas kakao; (ii) peningkatan produktivitas program, (iii) elimination of cocoa export taxes, but the
dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat government give fiscal and monetary incentives such
dalam program Gernas kakao; (iii) penghapusan bea as tax reductions, subsidies lending rates, improving
ekspor kakao, namun pemerintah memberikan insentif the business environment such as infrastructure
fiskal dan moneter seperti pengurangan pajak dan subsidi improvements, ease of licensing to encourage the growth
suku bunga pinjaman serta perbaikan iklim usaha seperti of the cocoa processing industry.
perbaikan infrastruktur, kemudahan perizinan dan lain-
lain sehingga mampu mendorong pertumbuhan industri Keywords: cocoa, policy, downstream industry, farmer revenue,
systems dynamic
pengolahan kakao.
59
Informatika Pertanian, Vol. 21 No.2, Desember 2012 : 59 - 70
60
Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Kakao (Suatu Pendekatan Sistem Dinamis)
(Abdul Muis Hasibuan, Rita Nurmalina dan Agus Wahyudi)
61
Informatika Pertanian, Vol. 21 No.2, Desember 2012 : 59 - 70
62
Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Kakao (Suatu Pendekatan Sistem Dinamis)
(Abdul Muis Hasibuan, Rita Nurmalina dan Agus Wahyudi)
63
Informatika Pertanian, Vol. 21 No.2, Desember 2012 : 59 - 70
64
Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Kakao (Suatu Pendekatan Sistem Dinamis)
(Abdul Muis Hasibuan, Rita Nurmalina dan Agus Wahyudi)
50
40
(a)
30
20
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
Rp/HA
9.000.000
8.000.000
(b) (c)
Penerimaan petani
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
08
09
10
1
2
13
14
15
16
7
8
19
20
21
22
3
4
25
01
01
01
01
02
02
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
2
2
2
2
2
2
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
1/
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
/0
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
01
Gambar 3. (a) Daya serap industri pengolahan; (b) pangsa nilai dan volume
ekspor kakao olahan; dan (c) penerimaan petani pada kondisi aktual, 2008-2025
pengolahan kakao. Pada periode 2008-2011, terjadi peningkatan harga, namun tidak mampu mengangkat
penurunan pangsa nilai ekspor kakao olahan yang lebih penerimaan petani akibat adanya penurunan produktivitas.
tinggi dibandingkan pangsa volume ekspor. Hasil ini Sementara itu, pada periode 2011-2025, terjadi penurunan
terjadi karena terjadinya peningkatan harga biji kakao penerimaan petani secara konsisten akibat adanya
yang sangat tinggi pada periode tersebut. Adanya penurunan harga dan produktivitas yang terjadi secara
penurunan harga biji kakao pada periode 2011-2025 simultan, di mana pada tahun 2025, penerimaan petani
membuat selisih pangsa nilai kakao olahan relatif konstan hanya sebesar Rp. 4.184.991,-/ha/tahun. Jika kondisi ini
terhadap pangsa volume ekspor. terus terjadi, maka dikhawatirkan petani akan beralih
Model sistem agroindustri kakao juga dilakukan untuk ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, sehingga
melihat dinamika perkembangan penerimaan petani diperlukan upaya dari pihak-pihak terkait untuk dapat
kakao. Hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat, agar
analisis terjadi penurunan penerimaan petani (Tabel 2 dan posisi Indonesia sebagai salah satu produsen utama kakao
Gambar 3c). Peningkatan penerimaan hanya terjadi pada dunia dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
periode 2008-2009, di mana pada tahun 2009, petani Secara umum, perilaku model sistem agroindustri
memperoleh penerimaan tertinggi yaitu sebesar Rp. kakao selama periode analisis menunjukkan bahwa
10.129.805,-/ha/tahun. Peningkatan penerimaan tersebut perkembangan industri pengolahan kakao cenderung
terjadi karena adanya peningkatan harga kakao yang lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan
cukup tinggi. Walaupun pada tahun 2010 masih terjadi usahatani kakao. Hal ini menunjukkan bahwa industri
65
Informatika Pertanian, Vol. 21 No.2, Desember 2012 : 59 - 70
hilir kakao belum berkembang dengan baik. Supriyati biji kakao karena selisih harga yang ditetapkan
dan Suryani (2008) menyebutkan ada beberapa kendala oleh pedagang untuk biji kakao fermentasi dan non
yang menyebabkan terhambatnya perkembangan fermentasi tidak menarik minat petani untuk melakukan
industri hilir kakao, antara lain: (i) industri pengolahan proses fermentasi. Padahal, biji kakao fermentasi
kakao kekurangan bahan baku karena biji kakao lebih seharusnya memiliki tingkat harga yang jauh lebih
banyak diekspor; (ii) rendahnya mutu biji kakao karena tinggi dibandingkan dengan biji kakao non fermentasi
tidak difermentasi; (iii) harga biji kakao fermentasi seperti tingkat harga yang diperoleh Pantai Gading
dan non fermentasi tidak berbeda jauh; (iv) tidak dapat di pasar internasional. Rendahnya ketersediaan biji
dihilangkannya biaya ekonomi tinggi sebagai akibat kakao fermentasi di pasar domestik memaksa industri
tingginya tingkat suku bunga, pengurusan dokumen yang pengolahan mengimpor biji kakao fermentasi dengan
memerlukan waktu lama dan prosedur yang panjang, harga yang tinggi sehingga menjadi salah satu penyebab
banyaknya pungutan-pungutan resmi dan tidak resmi, rendahnya efisiensi industri pengolahan kakao Indonesia.
serta rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga
menyebabkan rendahnya daya saing produk kakao olahan Simulasi Alternatif Kebijakan Pengembangan
Indonesia untuk masuk ke pasar global. Selain itu, industri Industri Hilir Kakao
pengolahan kakao dalam negeri juga kurang efisien yang
ditunjukkan oleh permasalahan idle capacity. Dalam Hasil simulasi dari berbagai skenario dibandingkan
periode 2005 - 2010, utilisasi kapasitas industri pengolahan satu sama lain untuk merumuskan alternatif kebijakan
kakao Indonesia hanya berkisar antara 55 - 60 persen yang paling baik dalam upaya pengembangan industri
dari kapasitas terpasang (Ditjen Agrokim, 2011). Dengan hilir kakao sekaligus peningkatan penerimaan petani.
demikian, salah satu upaya yang harus dilakukan dalam Dalam analisis ini, dilakukan membandingkan kinerja
rangka pengembangan industri hilir kakao Indonesia model pada kondisi aktual dengan hasil penerapan
adalah peningkatan efisiensi industri pengolahan kakao. kebijakan pengembangan industri hilir kakao yang
Sebagai salah satu produsen biji kakao terbesar disimulasikan dengan alternatif kebijakan skenario
dunia, permasalahan kekurangan bahan baku biji 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 sehingga dapat diperoleh alternatif
kakao untuk industri pengolahan merupakan masalah kebijakan yang memiliki kinerja yang paling baik.
yang sangat ironis. Bahan baku yang melimpah justru Perbandingan perilaku daya serap industri antar
tidak dapat dimanfaatkan oleh industri pengolahan skenario dapat diketahui bahwa dinamika pertumbuhan
dalam negeri sebagai salah satu keunggulan komparatif daya serap industri pengolahan kakao tertinggi diperoleh
dalam meningkatkan daya saingnya di pasar global. melalui skenario 6, sedangkan pertumbuhan terendah
Kondisi tersebut terjadi karena ekspor biji kakao diperoleh pada skenario 3 (Gambar 4a). Pada periode
lebih menguntungkan bagi pedagang dibandingkan awal analisis, skenario 6 menempati peringkat 4 di
menjual ke industri pengolahan dalam negeri yang bawah kondisi aktual, skenario1 dan skenario 3. Namun
menyebabkan pedagang lebih memilih untuk melakukan tingginya pertumbuhan daya serap industri pada skenario
ekspor biji kakao sehingga industri pengolahan 6 membuat skenario ini mampu melewati daya serap
mengalami kekurangan bahan baku. Selain itu, adanya skenario 1 dan 3 pada tahun 2009, kondisi aktual pada
keengganan dari pedagangan untuk menjual biji kakao tahun 2010 dan skenario 4 pada tahun 2022. Jika dianalisis
kepada pihak industri akibat proses pembayaran yang untuk periode tahun 2008 - 2022, skenario 4 memiliki
sering mengalami keterlambatan. Kondisi tersebut daya serap industri yang lebih tinggi dibandingkan
menunjukkan adanya permasalahan supply chain biji dengan skenario lainnya. Namun, dinamika skenario 4
kakao dari petani ke industri pengolahan. Padahal, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan skenario
seharusnya pedagang memperoleh insentif harga yang 6 yang ditandai dengan pertumbuhan daya serap yang
lebih tinggi jika menjual kepada industri pengolahan lebih lambat. Dalam jangka waktu yang lebih panjang,
dibandingkan mengekspor karena biaya transportasi skenario 6 diperkirakan memiliki daya serap industri
yang lebih rendah. Selain itu, permasalahan di atas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skenario
juga mengindikasikan masih rendahnya efisiensi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa skenario 6
industri pengolahan kakao dalam negeri sehingga hanya memiliki pertumbuhan industri hilir kakao yang lebih
mampu membeli bahan baku biji kakao dengan harga tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan produksi
yang lebih rendah dibandingkan dengan harga ekspor. biji kakao dibandingkan dengan skenario lainnya.
Permasalahan supply chain biji kakao dari petani ke Dinamika pangsa nilai dan volume ekspor kakao
industri juga diindikasikan oleh minimnya ketersediaan olahan memiliki pola yang hampir sama dengan daya
bahan baku biji kakao yang difermentasi. Akibat adanya serap industri kakao. Hal ini tidak terlepas dari adanya
distorsi perdagangan, petani tidak memperoleh insentif ketergantungan ekspor kakao olahan dengan produksi
yang memadai untuk melakukan proses fermentasi kakao olahan dan produksi biji kakao. Rendahnya
66
Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Kakao (Suatu Pendekatan Sistem Dinamis)
(Abdul Muis Hasibuan, Rita Nurmalina dan Agus Wahyudi)
konsumsi kakao domestik tidak memberikan pengaruh pertumbuhan yang lebih baik untuk pangsa nilai ekspor
yang signifikan terhadap pangsa ekspor kakao, baik kakao olahan (Gambar 4c). Pada akhir periode analisis,
ditinjau dari sisi volume maupun nilai. Dinamika pangsa pangsa nilai ekspor kakao olahan dengan skenario 6
volume ekspor kakao olahan yang ditunjukkan oleh mencapai 75,73 persen. Sedangkan pangsa terendah
perilakunya menunjukkan bahwa skenario 6 cenderung juga diperoleh dari skenario 3 dengan nilai 26,27 persen.
lebih dinamis dengan tren pertumbuhan yang positif lebih Jika dilihat dari sisi penerimaan petani, skenario 6, 5, 4
baik dibandingkan dengan skenario lainnya (Gambar 4b). dan 3 memiliki tingkat penerimaan petani tertinggi untuk
Dinamika pertumbuhan positif dari skenario 6 yang lebih petani yang mengikuti program Gernas kakao pada akhir
baik dari skenario lainnya diindikasikan oleh tingginya periode analisis (Gambar 4d). Sedangkan untuk petani
pangsa volume ekspor kakao olahan dibandingkan yang tidak terlibat dalam program Gernas, penerimaan
dengan skenario lainnya pada akhir periode analisis tertinggi diperoleh dari skenario 6 dan 5. Adanya
dimana alternatif kebijakan dengan skenario 6 memiliki kesamaan penerimaan petani pada skenario-skenario
pangsa volume ekspor tertinggi, diikuti skenario 4, tersebut disebabkan oleh adanya kesamaan kebijakan yang
skenario 1, skenario 5, skenario 2, aktual dan skenario terkait dengan penerimaan petani. Pada skenario 3, 4, 5,
3 dengan pangsa masing-masing sebesar 68,03 persen, dan 6, kesamaan penerimaan petani yang terlibat dalam
67,70 persen, 56,32 persen, 32,13 persen, 24,39 persen, program Gernas kakao disebabkan oleh asumsi tingkat
22,54 persen dan 19,55 persen. Padahal, pada periode keberhasilan Gernas kakao yang sama yaitu sebesar 60
awal analisis, pangsa volume ekspor skenario 6 masih persen ditambah dengan peningkatan harga di tingkat
lebih rendah dibandingkan dengan skenario 4. Hal ini petani akibat penghapusan bea ekspor kakao. Sedangkan
menunjukkan bahwa alternatif kebijakan dengan skenario skenario 5 dan 6 mampu mendorong penerimaan petani
6 mampu meningkatkan produksi kakao olahan dengan yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao lebih
sangat signifikan sehingga mendorong volume ekspor tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya akibat
kakao olahan jauh melebihi volume ekspor biji kakao yang adanya kebijakan peningkatan produktivitas perkebunan
hanya memiliki pangsa sebesar 24,27 persen. Sejalan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao.
dengan pangsa volume ekspor kakao olahan, alternatif Hasil perbandingan antar skenario alternatif
kebijakan dengan skenario 6 juga memiliki dinamika kebijakan di atas, secara keseluruhan menunjukkan bahwa
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4. Perbandingan (a) daya serap industri pengolahan; (b) pangsa nilai ekspor kakao olahan; (c) pangsa volume ekspor
kakao olahan; dan (d) penerimaan petani pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
67
Informatika Pertanian, Vol. 21 No.2, Desember 2012 : 59 - 70
skenario 6 mampu mendorong kinerja sistem agroindustri sistem agroindustri kakao secara keseluruhan lebih
kakao lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya baik dibandingkan dengan skenario lainnya. Untuk
sekaligus mampu mendorong peningkatan penerimaan itu, alternatif kebijakan yang sebaiknya diterapkan
petani. Dengan demikian, dalam upaya pengembangan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan sistem
industri hilir kakao, diperlukan kebijakan yang mampu agroindustri kakao adalah: (i) tetap melaksanakan
meningkatkan kinerja industri pengolahan kakao melalui program Gernas kakao; (ii) peningkatan produktivitas
insentif fiskal dan moneter yang tidak memberikan dampak dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat
negatif terhadap usahatani kakao seperti penerapan bea dalam program Gernas kakao; (iii) penghapusan bea
ekspor kakao. Insentif tersebut antara lain dapat berupa ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan
kebijakan pajak (Sinaga dan Susilowati, 2007), insentif insentif fiskal dan moneter seperti pengurangan pajak
investasi; kebijakan harmonisasi tarif bagi produk hilir dan subsidi suku bunga pinjaman serta perbaikan
dan bahan bakunya (Suprihatini, 2004); pengendalian iklim usaha seperti perbaikan infrastruktur,
nilai tukar, penetapan tingkat suku bunga (Munandar, kemudahan perizinan dan lain-lain sehingga mampu
et al., 2008; Sukmananto, 2007). Selain itu, kebijakan mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao.
pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang
kondusif juga mampu mendorong industri hilir seperti Implikasi Kebijakan
jaminan keamanan investasi, supply chain management
dan infrastruktur (Suprihatini, 2004), layanan dan 1. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali
kemudahan dalam melakukan bisnis (Christy, et al., pelaksanaan kebijakan bea ekspor kakao dengan
2009). Pemberian insentif dan penciptaan iklim usaha tujuan untuk mengembangkan industri pengolahan
tersebut diasumsikan mampu mendorong perkembangan karena berdampak negatif kepada penerimaan
industri pengolahan kakao juga didasarkan pada hasil petani akibat terjadinya penurunan harga di tingkat
penelitian Syam (2006) yang menyebutkan bahwa petani yang merupakan komponen terbesar yang
beberapa kendala utama dalam program pengembangan terlibat dalam sistem agribisnis kakao. Kebijakan
agroindustri kakao adalah keterbatasan modal usaha, alternatif untuk pengembangan industri hilir
buruknya mekanisme birokrasi seperti perizinan kakao yang disarankan adalah pemberian insentif
dan pajak, serta infrastruktur yang belum memadai. fiskal dan moneter kepada pelaku industri seperti
Sementara itu, program Gernas kakao memberikan pengurangan pajak dan subsidi suku bunga
dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan pinjaman serta perbaikan iklim usaha seperti
penerimaan petani akibat adanya peningkatan perbaikan infrastruktur, kemudahan perizinan dan
produktivitas dan mutu kakao. Perkebunan rakyat yang lain-lain. Sedangkan untuk menjamin ketersediaan
tidak terlibat dalam program Gernas kakao seharusnya bahan baku untuk industri, penulis menyarankan
juga tidak luput dari perhatian pemerintah dengan kebijakan pembatasan ekspor biji kakao, namun
melakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas tetap memberikan harga yang kompetitif bagi petani.
dan mutu. Hal ini penting karena adanya kecenderungan 2. Pemerintah perlu meningkatkan produktivitas dan
penurunan produktivitas perkebunan rakyat, sehingga mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat
menurunkan penerimaan petani. Di samping itu, dalam program Gernas kakao agar usahatani kakao
petani yang tidak terlibat dalam program gernas kakao tetap menarik untuk diusahakan dan memberikan
memiliki jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan keuntungan yang layak bagi petani. Jika kebijakan ini
dengan yang terlibat dalam program tersebut. tidak dilakukan, dikhawatirkan petani akan beralih ke
komoditas lain yang lebih menguntungkan sehingga
pada akhirnya dapat menyebabkan ketersediaan
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan
menjadi berkurang dan harapan Indonesia untuk
Kesimpulan menjadi produsen kakao terbesar dunia tidak tercapai.
68
Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Kakao (Suatu Pendekatan Sistem Dinamis)
(Abdul Muis Hasibuan, Rita Nurmalina dan Agus Wahyudi)
Arsyad, M., and S. Yusuf. 2008. Assessing Impact of Munandar, J.M., J. Purwono dan N, Nadirman. 2008.
Oil Prices and Interest Rate Policies: The Case of Pemodelan Ekonometrik Guna Pengembangan Daya
Indonesian Cocoa. Ryukoku Journal of Economic Saing Ekspor Agroindustri Lemak dan Bubuk Kakao di
Studies, 48 (1): 65 – 92. Indonesia. Jurnal Manajemen Agribisnis, 3(1): 31 – 36.
Axella, O. dan E. Suryani. 2012. Aplikasi Model Permani, R., D. Vanzetti and N. R. Setyoko.2011.
Sistem Dinamik untuk Menganalisis Permintaan dan Optimum Level and Welfare Effects of Export Taxes
Ketersediaan Listrik Sektor Industri (Studi Kasus : for Cocoa Beans in Indonesia: A Partial Equilibrium
Jawa Timur). Jurnal Teknik ITS, Vol. 1 (September Approach. Paper presented at the 2011 AARES Annual
2012): A-339 - A-344. Conference 8-11 February 2011 in Melbourne.
Chen, Y.T., and B. Jeng. 2002. Yet another Representation Pusat Data dan Informasi Pertanian [Pusdatin]. 2010.
for System Dynamics Models, and Its Advantages. Outlook Komoditas Pertanian: Perkebunan. Pusat Data
Paper presented at 20th System Dynamics Conference, dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian,
July 28 - August 1, 2002, Palermo, Italy. Jakarta.
Christy, R., E. Mabaya, N. Wilson, E. Mutambatsere Rubiyo dan Siswanto. 2012. Peningkatan produksi
and N. Mhlanga. 2009. Enabling Environments for dan Pengembangan Kakao (Theobroma cacao L.) di
Competitive Agro-industries. In: Agro-Industries for Indonesia. Buletin RISTRI, Vol 3(1): 33 - 48.
Development. Editor: C.A. da Silva, D. Baker, A.W. Sa’id, E.G. 2010. Review Kajian, Penelitian dan
Shepherd, C. Jenane and A.M. da-Cruz. Published Pengembangan Agroindustri Strategis Nasional:
by CAB International and Food and Agriculture Kelapa Sawit, Kakao dan Gambir. J. Tek. Ind. Pert.
Organization, Rome. 19(1): 45 - 55.
Direktorat Jenderal Industri Agrokimia [Ditjen Agrokim]. Saragih, B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru
2011. Statistik 2011 Agrokim. Direktorat Jenderal Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Editor: R.
Industri Agrokimia, Kementerian Perindustrian, Pambudy dan F.B.M. Dabukke. IPB Press, Bogor.
Jakarta. Sinaga, B.M. dan S.H. Susilowati. 2007. Dampak
Direktorat Jenderal Perkebunan [Ditjenbun]. 2010. Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap
Statistik Perkebunan 2009 – 2011: Kakao. Direktorat Distribusi Pendapatan Sektoral, Tenaga Kerja dan
Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Jakarta. Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Sistem Neraca
Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Sosial Ekonomi. Media SOCA, 7(2). http://ejournal.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. unud.ac.id/abstrak/(4)%20soca-bona%20m%20
Gandhi, V.P., and D. Jain. Institutional Innovations and sinaga%20dan%20susilowat-sam%20tk(1).pdf.
Nodels in the Development of Agro-industries in Diakses tanggal 18 April 2012.
India: Strengths, Weakness and Lessons. In: Innovative Sterman, J.D. 2000. Business Dynamics: Systems
Policies and Institutions to Support Agro-Industries Thinking and Modeling for a Complex World.
Development. Food and Agriculture Organization of McGraw Hill, 982pp.
The United Nations, Rome. Sukmananto, B. 2007. Dampak Kebijakan Perdagangan
Hasibuan, A.M., R. Nurmalina dan A. Wahyudi. 2012. terhadap Kinerja Ekspor Produk Industri Pengolahan
Analisis Kinerja dan Daya Saing Perdagangan Biji Kayu Primer Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah
Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia di pasar Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Internasional. Buletin RISTRI, Vol. 3 (1): 57 - 70. Suprihatini, R. 2004. Perkembangan dan Pemilihan
Indrawanto, C. 2008. Penentuan Pola Pengembangan Prioritas Jenis Industri Hilir Teh di Indonesia. Media
Agroindustri Jambu Mete. Jurnal Littri,14 (2): 78 – 86. SOCA 4(3): 299 – 304.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha [KPPU]. 2009. Supriyati dan E. Suryani. 2006. Peranan, Peluang dan
Background Paper: Kajian Industri dan Perdagangan Kendala Pengembangan Agroindustri di Indonesia.
Kakao. Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta. Forum Penelitian Agroekonomi 24 (2): 92 – 106.
Lubis, A.D. dan S. Nuryati. 2011. Analisis Dampak Susilowati, S.H. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di
ACFTA dan Kebijakan Perdagangan Kakao di Pasar Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Pendapatan
Domestik dan China. Analisis Kebijakan Pertanian, dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi Doktor.
9(2): 143-156. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muhammadi, M., E. Aminullah. dan B. Soesilo. 2001. Syam, H. 2006. Rancang Bangun Model Sistem
Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Pengembangan Agroindustri Berbasis Kakao melalui
Ekonomi, Manajemen. UMJ Press, Jakarta. Pola Jejaring Usaha. Disertasi Doktor. Sekolah
69
Informatika Pertanian, Vol. 21 No.2, Desember 2012 : 59 - 70
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wahyudi, T. dan P. Rahardjo. 2008. Sejarah dan Prospek.
Syam, H., M. S. Maarif, Eriyatno dan I. Sailah. 2006. Dalam: Kakao: Manajemen Agribisnis dari Hulu
Strategi Pengembangan Agroindustri Berbasis Kakao hingga Hilir. Editor: T. Wahyudi, T.R. Panggabean dan
di Indonesia. Forum Pascasarjana, 29 (3): 179 – 190. Pujiyanto. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta: Hal.
System Dynamic Society. 2011. The Field of System 11 – 28
Dynamics. http:// www. systemdynamics.org / what_ Wang, Q., X. Ning and J. You. 2005. Advantages of
is_system_dynamics. html# overview. Last edited by n System Dynamics Approach in Managing Project
2/17/11. Accessed date May 16th 2011. Risk Dynamics. Journal of Fudan University (Natural
Tambunan, M. 2010. Membangun Industrialisasi yang Science), Vol . 44 No. 2: 201 - 206.
Tangguh Berbasis Agroindustri dalam Menghadapi Wilkinson, J. and R. Rocha. 2009. Agro-industry Trends,
Perdagangan Bebas. Dalam: Refleksi Agribisnis: Patterns and Development Impacts. In: Agro-Industries
65 Tahun Profesor Bungaran Saragih. Editor: B. for Development. Editor: C.A. da Silva, D. Baker, A.W.
Krisnamurthi, R. Pambudy dan F.B.M. Dabukke. IPB Shepherd, C. Jenane and A.M. da-Cruz. Published
Press, Bogor. by CAB International and Food and Agriculture
Organization, Rome:
70