You are on page 1of 16

Prima Luna dan Sri Widowati

POTENSI DAN STATUS PENGEMBANGAN SORGUM DI


PROPINSI JAWA TIMUR DALAM UPAYA GERAKAN
DIVERSIFIKASI PANGAN NASIONAL

Potency and Status of Sorghum Development in East Java in an


Effort of National Food Diversification Movement

Prima Luna dan Sri Widowati

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian


Jalan Tentara Pelajar 12 Cimanggu Bogor
E-mail: primaluna@litbang.deptan.go.id

ABSTRACT

Sorghum flour is potential material to substitute wheat flour wherein the need is very
abundant. Total consumption of wheat flour in Indonesia reaches approximately 4,5 million
tons per year or around thirty billion rupiahs. Sorghum flour is able to substitute the
utilization of wheat flour to becoming various products which is consist of bread, pastry, and
cake products. The capability of sorghum flour for national substitution is around 1,18 million
tons (similar with 380,557 Ha of sorghum plantation). Sorghum flour’s price is cheaper about
sixty percent less than wheat flour’s price. Indonesia goverment has developed sorghum
plantation, however sorghum production and utilization still unsatisfied yet. Recently, some
regions (East Java, Yogyakarta, and East Nusa Tenggara) cooperate with some goverment
enterprises, such as PTPN XII developes 3000 Ha for sorghum plantation. Although
production of sorghum increases, developing of agroindustry and marketing are uneffective
yet. This paper was a report from dissemination activity in East Java at 2013 and added by
reports from other regions. Based on field study in East Java, we founded that the
development of sorghum was not optimal yet wherein sorghum was only used for feeding
and not supporting food diversification yet. Some postharvest technologies of sorghum has
been established such as low tannin sorghum flour, sorghum rice, instant sorghum rice, and
instant sorghum porridge. Furthermore, sorghum stems dan leaves, usually only as wastes,
can be processed as raw material for bioetanol and feed (xilase). Further development
should be improved by building an agroindustry system which is implemented some efficient
technologies and supported by good management of some stakeholders which are
parcipative and supporting food diversification movement. That movement is called
Agroindustry Model (AIM) and this model has been developed by Indonesian Center for
Agricultural Postharvest Research and Development (ICAPRD).

Keywords: sorghum, postharvest technology, stakeholders, agroindustry model

ABSTRAK

Potensi subsitusi tepung sorgum terhadap kebutuhan terigu nasional sangat


besar. Total konsumsi tepung terigu nasional lebih kurang 4,5 juta ton per tahun dan jika
dikonversi dalam nilai rupiah jumlahnya lebih dari Rp 30 trilyun. Dengan daya kemampuan
mensubsitusi tepung terigu bervariasi sesuai dengan jenis produk olahan baik dalam bentuk
rerotian, kue kering, dan kue basah, maka tepung sorgum berpotensi mensubsitusi
sebesar 1,18 juta ton dari total kebutuhan terigu tersebut (setara dengan 380.557 Ha
pertanaman sorgum). Selain itu, harga tepung sorgum jauh lebih murah, hanya 60 persen
dibandingkan harga tepung terigu. Selama ini, pemerintah telah menjalankan berbagai

604
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

program untuk mengembangkan sorgum, namun relatif kurang berhasil. Terakhir, beberapa
wilayah (Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan NTT) beserta beberapa BUMN (misalnya PTPN
XII dengan luas 3.000 ha) sedang giat-giatnya mengembangkan sorgum di lahan mereka.
Namun, peningkatan produksi belum ditindaklanjuti dengan kegiatan agroindustri dan
pemasaran yang efektif. Tulisan ini merupakan hasil kegiatan lapangan di wilayah Provinsi
Jawa Timur tahun 2013, ditambah referensi dari wilayah lain. Hasil temuan lapang di Jawa
Timur mendapatkan bahwa pengembangan sorgum belum berjalan optimal, dimana sorgum
masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak, dan belum mendukung
diversifikasi pangan masyarakat. Berbagai teknologi pascapanen sorgum telah dihasilkan
antara lain tepung sorgum rendah tanin, nasi sorgum, nasi sorgum instan, dan bubur
sorgum instan. Selain itu, batang sorgum juga dapat dimanfaatkan menjadi sirup dan bahan
baku etanol, sedangkan daunnya dapat dimanfaatkan untuk makan ternak (xilase). Untuk
pengembangan sorgum lebih efektif ke depan, maka dibutuhkan sistem agroindustri dengan
menerapkan teknologi yang efisien dan didukung dengan kelembagaan pelaksana yang
partisipatif terutama dalam mendukung gerakan massif diversifikasi pangan dan melibatkan
berbagai stakeholder, yaitu berupa Model Agro Industri (MAI) sebagaimana yang sedang
dikembangkan oleh BB-Pascapanen Badan Litbang Pertanian di Jawa Timur.

Kata kunci: sorgum, teknologi pascapanen, kelembagaan, model agroindustri.

PENDAHULUAN

Secara teknis, sorgum (Sorghum bicolor L.) mempunyai potensi besar untuk
dikembangkan di Indonesia, karena daya adaptasinya yang luas. Tanaman ini
toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan
marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Karakter
biologis ini merupakan keunggulan sorgum dibanding tanaman palawija lain.
Namun pemanfaatan sorgum belum banyak digunakan untuk kebutuhan pangan
kebanyakan dimanfaatkan untuk keperluan pakan maupun industri. Keragaman
pemanfaatan komoditas sebagai unggulan biji sorgum untuk meningkatkan nilai
gizi belum menunjukkan hasil signifikan.
Dari nilai gizi sorgum tidak kalah dengan beras sebagai makanan pokok.
Bahkan sorgum mengandung protein (8-12%) setara dengan terigu atau lebih
tinggi dibandingkan dengan beras (6-10%), dan kandungan lemaknya (2-6%) lebih
tinggi dibandingkan dengan beras (0,5-1,5%). Produktivitas sorgum cukup tinggi
(2,5-6,0 ton/ha) dan dapat dibudidayakan di segala jenis tanah, termasuk di lahan
marginal (Puslitbang Tanaman Pangan, 1993). Kandungan gizi yang terdapat pada
sorgum tersebut belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh tubuh karena masih
ada kandungan tanin sebagai penghambat dalam proses biologi tubuh (Susila,
2009).
Biji sorgum dapat digunakan sebagai bahan pangan serta bahan baku
industri pakan dan pangan seperti industri gula, monosodium glutamat (MSG),
asam amino, dan industri minuman. Artinya, sorgum merupakan komoditas yang
berpeluang untuk kegiatan diversifikasi industri secara vertikal. Sebenarnya
prospek penggunaan biji sorgum yang terbesar adalah untuk pakan, bahkan
berpeluang untuk diekspor.

605
Prima Luna dan Sri Widowati

Sorgum telah lama disadari sebagai bahan pangan lokal yang sangat
prospektif. Namun, sampai saat ini perkembangannya masih sangat lambat. Setiap
tahun pemerintah selalu mengalokasikan anggaran dan kegiatan untuk
pengembangannya, namun kemajuannya tidak signifikan. Dalam beberapa tahun
terakhir ini, ada banyak upaya yang telah dilakukan. Dalam konteks untuk
diversifikasi pangan, upaya yang lebih penting adalah di sektor hilir, yakni
pengolahan dan penyerapan tepung sorgum sebagai bahan tepung pengganti
terigu. Perhatian kita kepada sorgum masih sangat rendah, yang ditunjukkan salah
satunya dari data statistik. Hingga kini, perkembangan produksi sorgum nasional
belum masuk dalam statistik pertanian, yang menunjukkan bahwa komoditas
tersebut belum mendapat prioritas untuk dikembangkan.
Tujuan dari makalah ini adalah memberikan informasi mengenai kondisi
pengembangan sorgum sebagai komoditas lokal untuk diversifikasi pangan dan
bahan industri. Tulisan ini juga memaparkan sebuah model pengembangan
agrobisnis sorgum yang memadukan seluruh pendekatan teknologi pengolahan
serta analisis bisnisnya dan sosialnya di Kabupaten Lamongan Jawa Timur.

Potensi Sorgum di Indonesia


Areal yang berpotensi untuk pengembangan sorgum di Indonesia sangat
luas, meliputi daerah beriklim kering atau musim hujannya pendek serta tanah
yang kurang subur. Produktivitas sorgum cukup tinggi (4,241-6,172 ton/ha) dan
dapat dibudidayakan di segala jenis tanah, termasuk di lahan marginal (Dirjen
Tanaman Pangan, 2010). Satu hal menarik, ada beberapa daerah yang secara
terus menerus mengusahakan sorgum meskipun sangat terbatas. Sirrapa (2003)
menyebutkan bahwa daerah penghasil sorgum utama di Indonesia dengan pola
pengusahaan tradisional adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri)
dengan produksi 17.350 ton (tahun 1973-1983), Daerah Istimewa Yogyakarta
(Gunung Kidul, Kulon Progo) dengan produksi 1.813 ton (tahun 1974-1980), Jawa
Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo) dengan produksi 5.963 ton
(tahun 1984-1988), dan sebagian Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat
dengan produksi 56 ton (tahun 1993-1994).
Di lahan tegal dan sawah tadah hujan, sorgum ditanam sebagai tanaman
sisipan atau tumpang sari dengan padi gogo, kedelai, kacang tanah atau
tembakau. Demikian juga di lahan sawah, sorgum sering ditanam secara
monokultur pada musim kemarau. Pertanaman sorgum kompetitif dengan tanaman
palawija lain yaitu jagung, kedelai, tebu, semangka, dan mentimun. Rata-rata
produktivitas sorgum tertinggi dicapai di Amerika Serikat, yaitu 3,60 t/ha, bahkan
secara individu dapat mencapai 7 t/ha (Sumarno dan Karsono, 1996). Produktivitas
sorgum bahkan dapat mencapai 11 ton/ha jika kelembaban tanah tidak menjadi
penghalang (Human, Suranto. 2008). Di Indonesia, produktivitas masih rendah
karena menggunakan varietas lokal, pemupukan belum optimal, dan pengairan
yang minimal. Namun di tingkat petani produktivitas sorgum masih jauh dibawah
potensi hasil penelitian, yaitu antara 0,37 – 1,80 ton/ha (Sirappa, 2003). Negara
penghasil sorgum utama adalah India, Cina, Nigeria, dan Amerika Serikat.
Meskipun masih terbatas, produksi sorgum Indonesia pernah diekspor ke

606
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

Singapura, Hongkong, Taiwan, Malaysia, dan Jepang untuk digunakan sebagai


bahan baku pakan serta industri makanan dan minuman.

Potensi Sorgum sebagai Diversifikasi Pangan Mensubsitusi Terigu


Total konsumsi tepung terigu nasional lebih kurang 4,5 juta ton per tahun.
Karena seluruhnya didatangkan dari impor, maka nilai devisa yang ditarik ke luar
lebih dari Rp 4 trilyun. Sebagai contoh, bahkan pada tahun 2010 impor gandum
Indonesia mencapai 5,85 juta ton (senilai 25 triliun rupiah) atau setara dengan
konsumsi terigu 4,3 juta ton, dan diperkirakan konsumsi gandum nasional terus
naik sebesar 6 persen per tahun. Dari jumlah tersebut konsumsi terigu untuk
pembuatan mie dapat mencapai 60 persen, cookies/snack 10 persen, bakery cake
20 persen, dan 10 persen untuk penggunaan rumah tangga.
Dengan kemampuan mensubsitusi tepung terigu bervariasi, maka
kebutuhan tepung sorgum Indonesia adalah 1,18 juta ton (setara dengan 380.557
ha pertanaman). Di Indonesia penelitian pemanfaatan sorgum menjadi aneka
produk makanan, antara lain mie roti, aneka cake dan cookies serta makanan
tradisional telah banyak dilakukan (Mudjisihono dan Damardjati, 1987; Ginting dan
Kusbiantoro, 1995; Suarni 2004; Mudjisihono, 2008). Kemampuan subsitusi tepung
sorgum terhadap tepung terigu untuk produk mie sebesar 15-20 persen, cookies
50-75 persen, cake 30-50 persen, dan untuk kebutuhan rumah tangga lain secara
rata-rata 20-25 persen. Nilai ini diperoleh dengan mengansumsikan produktivitas
sorgum adalah 6,4 ton biji/ha, dan konversi biji menjadi tepung sorgum adalah 48,5
persen, dimana konversi dari biji sorgum menjadi sorgum sosoh adalah 51 persen,
dan sorgum sosoh menjadi tepung sorgum adalah 95 persen (Susila et al., 2010).
Sorgum sangat potensial, karena harga tepung sorgum lebih kurang hanya Rp
6.370 per kg, bandingkan dengan tepung terigu sebesar Rp 8000 sampai 12.000
per kg, tergantung jenisnya.
Kendala dalam pemanfaatan biji sorgum sebagai bahan pangan adalah
kesulitan dalam penyosohan atau pembuatan ‘beras’ sorgum dan kandungan tanin
yang tinggi. Tanin selain mempengaruhi rasa (pahit/’sepet’), juga bersifat antigizi
yang dapat mengganggu dalam proses biologi tubuh. Namun, pada tahun 2009
telah dihasilkan teknologi proses reduksi tanin dalam pembuatan tepung sorgum.
Proses reduksi tanin melalui cara perendaman biji sorgum sosoh (derajat sosoh
100%) tersebut dapat menurunkan kandungan tanin hingga 78 persen (dari 0,184
menjadi 0,040% Tannic acid equivalent) (Widowati et al., 2009).
Upaya mensubtitusi tepung terigu menjadi salah satu tujuan Badan
Ketahanan Pangan melalui program diversifikasi pangan. Program ini telah
digulirkan sejak lama, namun sampai saat ini efektivitasnya masih rendah.
Mengubah pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia menjadi lebih beragam,
dan tidak terlalu bergantung kepada beras, masih menjadi program pokok sampai
saat ini. Sebagai contoh, sebuah kajian dengan penggunaan data SUSENAS yang
dilakukan oleh Erwidodo et al. (1999) mengungkapkan bahwa tingkat diversifikasi
konsumsi rata-rata rumah tangga kota lebih tinggi daripada di desa. Selain itu,
semakin tinggi pendapatan akan semakin beragam pola konsumsinya. Pencapaian

607
Prima Luna dan Sri Widowati

skor PPH di perkotaan mencapai 79,5 persen (dari skor ideal 93), sementara di
pedesaan mencapai 74,6 persen. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap
diversifikasi konsumsi pangan adalah tingkat pendapatan rumah tangga, jumlah
anggota rumah tangga dan karakteristik wilayah (desa-kota). Pendapatan RT
berpengaruh positif terhadap diversifikasi konsumsi, jumlah anggota RT
berpengaruh negatif, sementara tingkat diversifikasi konsumsi RT perkotaan lebih
tinggi daripada di pedesaan.

Kandungan Nilai Gizi Sorgum


Varietas dan proses penyosohan sangat mempengaruhi komposisi kimia
sorgum. Suarni (2004), melaporkan bahwa biji sorgum tanpa disosoh mengandung
11-12 persen air, 1,79-2,28 persen abu, 8,42-9,99 persen protein, 1,99-3,02
persen lemak, 68,72-79,12 persen karbohidrat, 19,11-25,04 persen amilosa dan
1,71-3,98 persen tanin, sedangkan biji sorgum yang disosoh mengandung 11-12
persen air, 0,62-0,99 persen abu, 7,69-8,60 persen protein, 1,40-1,99 persen
lemak, 77,48-88,12 persen karbohidrat, 23,17-30,06 persen amilosa dan 0,30-1,72
persen tanin. Sebagian masyarakat mengolah sorgum sebagai makanan selingan
atau makanan jajanan tradisional.

Tabel 1. Komposisi Kimia Biji Sorgum


Komposisi Kimia Bagian Biji
Biji (%) Caryopsis Endosperm Pericarp Germ
Pati 73,8 82,5 34,6 13,4
Range 55,6 – 75,2 81,3 – 83,0 - -
distribusi 100 94,4 3,8 1,8
Protein 12,3 12,3 6,7 18,4
Range 7,3 – 15,6 8,7 – 13,0 5,2 – 7,6 17,8 – 19,2
distribusi 100 80,9 4,0 14,9
Lemak 3,6 0,6 4,9 28,1
Range 0,5 – 5,2 0,4 – 0,8 3,7 – 6,0 26,9 – 30,6
distribusi 100 13,2 10,6 76,2
Abu 1,7 0,4 2,0 10,4
Range 1,1 – 2,5 0,3 – 0,4 - -
distribusi 100 20,6 10,8 68,6
Serat 2,7 1,3 8,6 2,6
Range 1,2 – 6,6 - - -
distribusi 100 - - -
Sumber : Data dari Hubbard et al. (1950); L. W. Rooney dan Clark (1968); Hahn (1969); Hankerwal
dan Mathieton (1971); Hulse et al (1980); Jambunathan et al. (1984); Taylor dan Schussler
(1986)

Secara umum nilai nutrisi biji sorgum tidak jauh berbeda dengan jagung.
Pati biji sorgum terdapat dalam endosperm sebesar 83 persen, lembaga 13,4
persen dan kulit biji 8,3 persen. Kandungan pati bervariasi dari 68 persen sampai
73 persen Granula pati biji sorgum diameternya lebih besar daripada biji jagung.
0 0
Gelatinisasi antara 67 C sampai 77 C, pati biji sorgum beras (non-waxy sorgum)

608
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

mengandung 25 persen amilosa dan 75 persen amilopektin, sedangkan biji


sorgum ketan (waxy sorghum) sebagian besar terdiri dari amilopektin dan hanya 1
sampai 2 persen amilosa. Kandungan lemak biji sorgum berkisar antara 2,10
sampai 4,30 persen dan rata-rata 3,60 persen (Mudjisihino dan Suprapto, 1987).
Distribusi asam lemak meliputi seperti asam lemak palmitat 11 sampai 13 persen,
asam oksalat 30 sampai 45 persen dan asam linoleat 33 sampai 49 persen.
Komposisi kimia sorgum disajikan pada Tabel 1.
Sorgum kaya serat dan mengandung gluten rendah yang bisa
menyembuhkan dan meredam kadar gula dalam tubuh. Dengan artian bisa
menyembuhkan penyakit diabetes. Nira dari hasil perasan biji, bagase dan
batangnya bisa memproduksi Bioetanol. Bagase (ampas hasil perasan batang)
sorgum dalam bentuk sellulosa yaitu polisakarida yang dididrolisasi menjadi
monosakrida seperti glukosa, sukrosa dan bentuk gula lainnya yang di konversi
menjadi etanol.

Teknologi Pemanfaatan dan Pengolahan Sorgum


Tekstur biji sorgum yang keras berakibat pada lamanya waktu pengolahan.
Oleh karena itu pengolahan dhal sorgum menjadi tepung merupakan alternatif
yang menguntungkan. Tepung lebih tahan disimpan, mudah diformulasi dan
difortifikasi, menghemat ruang penyimpanan dan distribusi, serta bersifat praktis
atau lebih cepat bisa dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang ingin serba
praktis (Damardjati et al., 2000).
Sorgum sebagai sumber bahan pangan telah banyak dimanfaatkan pada
berbagai makanan seperti snack, cookies, dan makanan tradisional. Di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, sorgum sudah dimanfaatkan sebagai pengganti
sementara beras di musim paceklik. Ada dua bentuk olahan biji sorgum yaitu
dalam bentuk beras sorgum dan tepung sorgum (Mudjisihono dan Suprapto,
1987).
Beras sorgum diperoleh dari hasil penggilingan atau penyosohan
menggunakan alat abrasive mill. Endosperm yang diperoleh berwarna putih bebas
dari sekam dan bekatul. Apabila proses penyosohan dilakukan dengan sempurna,
maka beras sorgum tidak akan membawa rasa samping yang tidak enak ataupun
bau yang kurang disukai. Proses penggilingan sorgum menjadi beras sorgum
serupa dengan penggilingan beras dari padi atau gabah. Penggilingan merupakan
salah satu tahapan pasca panen yang terdiri dari rangkaian beberapa proses untuk
mengolah gabah menjadi beras siap konsumsi. Gabah yang digunakan dalam
proses penggilingan adalah gabah kering giling, yaitu gabah yang memiliki kadar
air 13–15 persen, dan keluar berupa beras sosoh berwarna putih yang siap tanak.
Pengolahan sorgum dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan proses penggilingan. Ada dua metode yang dapat digunakan dalam
proses penggilingan sorgum, yaitu cara basah “wet process” dan cara kering “dry
process”. Pada penggilingan kering, bahan yang digiling melibatkan perlakuan fisik
dan mekanik untuk membebaskan komponen-komponennya dari sifat aslinya.
Sedangkan pada penggilingan basah bahan yang digiling melibatkan perlakuan

609
Prima Luna dan Sri Widowati

fisiko-kimia dan mekanik untuk memisahkan fraksi-fraksi yang diinginkan (Hubeis,


1984).
Dalam proses penggilingan dikenal istilah mutu hasil giling seperti derajat
kehalusan, yang didasarkan pada perbedaan partikel (kasar, sedang, halus) yang
dipisahkan dengan saringan, indeks keseragaman yang didasarkan pada
penyebaran fraksi kasar, sedang, dan halus dalam partikel hasil gilingan. Arti
praktis dari kehalusan dinyatakan dalam satuan mesh, yaitu yang merupakan
ukuran dari jumlah lubang yang terdapat dalam inci linier (Hubeis, 1984).
Pengembangan pangan instan berbasis sorgum, baik bubur sorgum instan
maupun nasi sorgum instan, memerlukan proses penyiapan sorgum sebagai
bahan baku utama yang harus dilakukan dengan tepat, karena dengan kandungan
tanin yang tinggi dapat menyebabkan rasa sepat. Namun demikian, tanin sebagai
antigizi, dalam kondisi tertentu menjadi salah satu inducer sifat unggul, seperti
berfungsi sebagai antioksidan dan menurunkan laju pencernaan. Sifat ini dapat
menjadi dasar pengembangan produk pangan fungsional.
Ada banyak bentuk pengolahan sorgum yang telah dikembangkan. Salah
satu yang sangat berpeluang adalah produk pangan instan berupa bubur instan
dan nasi instan. Produk pangan instan merupakan jenis produk pangan yang
mudah untuk disajikan dalam waktu relatif singkat. Pangan instan terdapat dalam
bentuk kering atau konsentrat, mudah larut sehingga mudah untuk disajikan.
Penyajiannya dapat dilakukan dengan menambahkan air panas atau air dingin ke
dalam produk instan tersebut. Produk pangan instan berkembang untuk mengatasi
masalah penggunaan dan penanganan produk pangan yang sering dihadapi
seperti masalah penyimpanan, transportasi, dan waktu konsumsi (Hartono dan
Widiatmoko, 1992).
Bubur instan merupakan bubur yang memiliki komponen penyusun bubur
bersifat instan sehingga di dalam penyajiannya tidak diperlukan proses
pemasakan. Penyajian bubur instan dapat dilakukan dengan menambahkan air
panas ataupun susu, sesuai dengan selera (Fellows dan Ellis, 1992). Nasi sorgum
instan hasil penelitian tahun 2009 yang diproduksi dari sorgum genjah mempunyai
kandungan protein 10 persen, pati 79 persen, amilosa 32 persen, serat pangan 9
persen, daya cerna pati 64 persen dan daya cerna protein 76 persen. Sedangkan
bubur sorgum instan mengandung protein 8 persen, serat pangan 9 persen dan
daya cerna pati 78 persen (Widowati et al., 2009).

KEBIJAKAN DAN STATUS PENGEMBANGAN SORGUM DI INDONESIA

Potensi sorgum di Indonesia mendapat perhatian besar Menteri Negara


BUMN. Karena permintaan tepung terigu dalam negeri yang terus meningkat,
maka akhir tahun 2013 ditargetkan BUMN harus menanam hingga 15.000 ha
tananam sorgum (Wirawan, 2012). Wilayah pengembangan dipusatkan di empat
lokasi yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sumba, dan Banyuwangi
(salah satu kebun PTPN XII).

610
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

Pengembangan sorgum ini juga sejalan dengan Masterplan Percepatan


Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam program MP3EI
terdapat 22 kegiatan ekonomi utama yang tersebar di seluruh Indonesia, dan
merupakan potensi perekonomian nasional. Dalam MP3EI ini, kunci utamanya
terletak pada pembangunan ilmu pengertahuan dan teknologi untuk mendukung
22 kegiatan ekonomi utama. Salah satunya produk pangan alternatif sorgum.
Menteri juga memerintahkan agar BUMN menerapkan produk-produk teknologi
yang dihasilkan lembaga litbang dan perguruan tinggi. Berikut disampaikan
perkembangan sorgum di beberapa wilayah di Indonesia.
Satu, Kabupaten Belu, NTT. Tanaman sorgum pernah menjadi primadona di
era abad ke 19 dari Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu sumber pokok
pangan bagi masyarakatnya itu kini mulai terlupakan sejak mega proyek
padinisasi. Sorgum sesuai dikembangkan di NTT karena daya adaptasinya yang
baik bahkan pada wilayah sangat kering dengan curah hujan sekitar 150-200 mm/
musim. Artinya, sorgum membutuhkan hanya setengah dari kebutuhan jagung,
sepertiga dari kebutuhan air tebu. Selain itu, sorgum tahan pada lahan yang
marjinal (lahan masam, asin, dan basa), dapat tumbuh pada kemiringan lereng
gunung, lebih tahan pada hama.
Dalam tulisan menteri BUMN (Iskan, 2013), pada bulan awal tahun 2013,
Menteri BUMN melakukan pencanangan gerakan sorgum dengan langkah awal uji
coba penanaman pertama. Lalu, pada bulan Agustus 2013 tanaman ini sudah
dipanen. Bersamaan dengan ini telah tersedia berbagai alat pengolahan yaitu
pemerah batang sorgum untuk jadi gula, perontok biji sorgum, penyosoh, alat
destilasi bioetanol, pencacah ampas, serta mixer pupuk.
Dua, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di Kabupaten Wonogiri, Pemkab
menggandeng calon investor asal Brunei Darussalam untuk membudidayakan
sorgum (ketan cantel). Total pertanaman sorgum sampai 2013 tidak lebih 139
hektare, namun dengan kerjasama dengan pihak swasta akan dikembangkan
hingga ribuan hektare. Kerjasama ini telah dirintis selama 2 tahun. Salah satunya
adalah di Desa Sumberejo Kecamatan Wuryantoro, beserta lahan di seputaran
Waduk Gajah Mungkur.
Tiga, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Pemerintah Kabupaten Bantul
melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan membantu memasarkan hasil panen
sorgum petani daerah itu. Pihak pembeli hasil panen sorgum yaitu PT Silva yang
bekerja sama dengen PT Bogasari untuk memanfaatkan sorgum dijadikan
campuran gandum. Untuk tahun 2013, Pemkab Bantul melalui dana dari
Kementerian Pertanian mengembangkan tanaman sorgum seluas 400 hektar,
sekaligus meneruskan program pada 2012 seluas 50 hektar. Untuk setiap hektar,
kelompok petani memperoleh bantuan modal Rp 2,5 juta guna membuka lahan
serta pengadaan sarana produksi berupa benih dan pupuk. Sorgum yang dijual ke
PT Bogasari nanti sudah bisa berupa tepung, bukan butiran sorgum.
Empat, Provinsi Jawa Timur. Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Jawa Timur, pada tahun 2011 luas panen sorgum di Jawa Timur adalah
952 ha. Sorgum terbatas hanya ditanam di beberapa wilayah, dimana yang terluas
ada di Kabupaten Lamongan.

611
Prima Luna dan Sri Widowati

Selama ini, setiap tahun sorgum ditanam di Kabupaten Lamongan,


Bojonegoro, Banyuwangi, Malang, Tuban, Probolinggo, Pacitan, Sampang,
Bangkalan, dan Sumenep. Penanaman yang agak luas adalah di Kabupaten
Lamongan. Dari segi lahan dan iklim, potensi pertanaman sorgum di Jawa Timur
bisa mencapai puluhan ribu ha, karena dapat tumbuh pada lahan dengan sumber
air terbatas. Namun, tanaman ini kalah bersaing dengan palawija lain, terutama
jagung, kedelai dan kacang-kcangan.

Tabel 2. Sebaran Budidaya Sorgum di Provinsi Jawa Timur


Kabupaten Luas panen (ha)
1. Pacitan 13
2. Probolinggo 25
3. Pasuruan 112
4. Lamongan 465
5. Bangkalan 14
6. Sampang 92
7. Sumenep 231
Total 952
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur, tahun 2011

Khusus di Lamongan, luas sorgum tahun 2012 di Kecamatan Babat


Lamongan mencapai 634 hektar, terutama di Desa Keyongan. Saat ini,
penanaman agak mundur, karena mundurnya musim hujan. Penanaman di Desa
Keyongan dilakukan di lahan sawah, setelah dua kali panen padi. Sorgum telah
ditanam secara turun temurun. Faktor pendukung utama adalah karena sumber air
sangat terbatas pada MK II, sehingga hanya sorgum yang sesuai dikembangkan.
Alasan kedua adalah karena kekurangan tenaga kerja, dan sorgum memang tidak
menuntut pemeliharaan yang sulit.
Di Jawa Timur, sorgum secara ditanam di lahan tegalan dan sawah tadah
hujan, serta sawah irigasi pada MK II. Sorgum di tegalan sebagai tanaman sisipan
atau tumpang sari di antara tanaman utama; sedangkan pertanaman monokultur
terdapat di areal sawah, namun ada pula yang ditumpang sarikan dengan padi
gogo, kedelai, kacang tanah atau tembakau. Meskipun sorgum telah dikenal lama,
namun perkembangannya sangat lambat. Tanaman pesaing bagi sorgum
merupakan kelompok second crop setelah padi yaitu jagung, kedelai, kacang-
kacangan, semangka, dan mentimun. Karena waktu yang terbatas, sorgum hanya
dipanen sekali, meskipun secara teknis sorgum bisa dipanen dalam tiga kali,
apabila ditebang dengan disisakan batang akarnya, dan akan tumbuh lagi (sistem
ratoon).
Alasan petani menyukai tanaman sorgum adalah karena: (1) Sorgum tidak
membutuhkan pengairan yang banyak, cukup dua kali penyiraman sepanjang
pertanamannya, (2) Perawatan lebih ringan, tidak sebagaimana jagung dan
kedelai. Hal ini sesuai dengan kondisi Desa Keyongan, yang tenaga kerjanya
terbatas dan berumur tua, (3) Produksi cukup tinggi (6 - 7 ton per ha) karena

612
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

ditanam secara monokultur di lahan sawah, (4) Keuntungan usahatani cukup


lumayan. Dengan harga jual biji basah Rp 1600/ kg, pendapatan kotor adalah Rp 9
juta lebih, dan biaya usahatani kurang dari setengahnya. Keuntungan usaha tani
sorgum per musim lebih kurang Rp 5 juta per ha, dan (5) Kegiatan perontokan biji
mudah dan ringan, bisa menggunakan mesin perontok kedelai dan padi.

Tabel 3. Keragaan Pertanaman Sorgum di Kecamatan Babat Tahun 2012


Desa Luas Tanam (ha) Produktivitas (kw/ha) Produksi (ton)
1. Sambangan 240 67 1.608
2. Bulumargi 5 68 34
3. Patihan 125 66 825
4. Keyongan 224 67 1.500,8
5. Kebonagung 10 66 66
6. Tritunggal 20 65 130
7. Moropelang 3 67 20,1
8. Kebalandono 7 67 46,9
Total 634 67 4.230,8
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur, tahun 2011

Produktivitas sorgum di Jatim bervariasi bergantung pola tanamnya.


Pertanaman di lahan tegalan apalagi dicampur dengan tanaman lain hanya
memberi hasil 2 sampai 3 ton per ha. Namun pertanaman monokultur apalagi di
lahan sawah, meskipun di MK, mampu memberi hasil lebih dari 6 ton. Biaya
usahatani sorgum cukup rendah. Petani menekan biaya karena menggunakan
benih sendiri dan juga menggunakan tenaga kerja sendiri. Pengeluaran hanya
untuk pupuk, dan hampir tidak ada biaya herbisida maupun pestisida. Menurut
satu informasi, total biaya usahatani sorgum lebih kurang Rp 1,5 - 2 juta per ha.
Secara umum, sorgum bukan menjadi komoditas unggulan di Jatim,
sehingga banyak pihak tidak mengenalnya. Dukungan yang saat ini sudah
diberikan justru pada kegiatan budidaya, berupa bantuan pupuk. Sebenarnya
kebijakan ini agak keliru (misleading), karena saat ini hampir seluruh sorgum
hanya diserap oleh pengusaha pakan ayam ras. Jadi, pengembangan sorgum saat
ini kehilangan arah di Jatim, dan sama sekali belum mendukung diversifikasi
pangan masyarakat.
Tahun 2013 ini, Dinas Pertanian Provinsi Jatim memberikan bantuan benih
dan pupuk kepada petani sorgum di lima kabupaten, dengan tujuan peningkatan
produksi. Namun, setelah produksi diperoleh, petani dibebaskan menjual ke
tengkulak dan berakhir di pabrik pakan ayam. Pada bulan November 2012
misalnya, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur mengaku siap mengembangkan
tanaman sorgum karena dinilai memiliki potensi besar sebagai salah satu jenis
budi daya pertanian. Selama ini, Pemda telah mengumpulkan semua stakeholders
setiap tahunnya dalam rangka pengembangan sorgum. Dalam sosialisasi diberikan
percontohan budi daya sorgum yang baik, serta pemberian benih.

613
Prima Luna dan Sri Widowati

Permasalahan utama adalah sorgum ternyata belum menjadi sumber


pangan alternatif. Sorgum hanya dijadikan bahan baku pakan ternak ayam dan
media jamur. Biji sorgum basah yang dibeli pedagang pengumpul, dijemur selama
tiga hari, langsung dikarungkan dan dijual ke pabrik pakan yang umumnya berada
di jawa Tengah, yaitu Demak dan Solo. Biji sorgum kering (rendemen 80 persen)
dihargai Rp 2.500-Rp 2.800 per kg.
Harga biji sorgum basah (kering panen) yang diterima petani dinilai sangat
rendah, yakni hanya Rp 1.400 per kilogram tahun 2011, dan Rp 1.600 per kilogram
(September 2012). Hasil panen petani dibeli pengepul dalam bentuk biji, lalu
dibawa ke Surabaya, dengan harga sekitar Rp 1.500 per kg. Daerah tujuan lain
adalah Demak dan Solo di Jawa Tengah. Di semua tempat ini, sorgum baru
menjadi bahan baku pakan ternak. Mereka cenderung menggunakan sorgum
karena harganya jauh lebih rendah, misalnya dibandingkan biji jagung.
Lima, Pengembangan sorgum di PTPN XII. Sampai April 2013, PTPN XII
telah menanam sorgum seluas 1200 ha dari target 3000 ha yang tersebar di
beberapa kebun dengan varietas Kawali, Citayam, Numbu M, Numbu B dan Pahat.
Secara rata-rata, produktivitas sorgum saat ini yang diperoleh adalah 1,73 sampai
2 ton per ha, meskipun potensi produktivitas sesungguhnya bisa sampai 4 ton per
ha. Rendahnya produktivitas tersebut dikarenakan pertanaman sorgum sebagian
merupakan monokultur dan selebihnya adalah tanaman sela di antara tanaman
lain (karet, kopi, dan lain-lain).
Pada prinsipnya, PTPN XII menginginkan untuk menerapkan teknologi zero
waste, sehingga ke depan bukan hanya teknologi pemanfaatan biji sorgum yang
dibutuhkan, tetapi juga untuk pengolahan batang dan daun. Alternatif pemanfaatan
batang adalah untuk gula cair dan bioetanol, dan daun untuk pakan ternak. Saat
ini, PTPN XII memiliki kendala untuk pemasaran sorgum yang sudah ada.
Pemasaran sorgum yang telah berjalan baru sebatas sebagai media tanam jamur.
Peluang penyerapan sorgum PTPN XII yang paling besar ada dua, yaitu sebagai
bahan untuk Program Pangan Miskin (berupa beras sorgum) dan ke industri
pengolangan tepung (terutama Bogasari) dalam bentuk tepung sorgum.
Sebagian besar sorgum yang dihasilkan oleh PTPN XII masih dijual sebagai
bahan baku pakan ke perusahaan swasta. Jadi, meskipun PTPN XII telah belajar
melakukan pengolahan sorgum menjadi berbagai olahan pangan, namun belum
dikembangkan sebagai industri. Selain itu, seluruh bio massa berupa batang dan
daun yang jumlahnya mencapi ratusan ribu ton terbuang sia-sia. Pada Juli 2013,
Bogasari dan PTPN XII telah menyekapati pembeli sorgum dengan harga Rp
2.000/kg. Sebelumnya, PTPN XII berupaya menaikan harga jual sorgum menjadi
Rp 3.000/kg kepada Bogasari, namun dalam nota kesepakatan antara kedua belah
pihak harga sorgum hanya disepakati sebesar Rp 1.650/kg. Namun demikian,
sampai sekarang kerjasama ini tidak mulus, karena harga beli terlalu rendah,
dimana biji sorgum kering harus diantar ke pabrik pengolahan tepung Bogasari di
Kulon Progo Yogyakarta.

614
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

PENDEKATAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN MAI


DI KABUPATEN LAMONGAN (JAWA TIMUR)

Semenjak tahun 2011, Balai Besar Pasca Panen telah melakukan


pendampingan petani di Kelompok Tani Handayani di Desa Keyongan, Kecamatan
Babat, Lamongan; berupa bimbingan teknis penyosohan dan penepungan, serta
pengolahan beberapa makanan olahan. Kegiatan ini lalu dilanjutkan tahun 2013
yang berupaya mewujudkan diversifikasi konsumsi pangan penduduk Indonesia
melalui pemanfaatan bahan pangan lokal sorgum. Secara lebih detail, tujuan
kegiatan ini adalah: (1) Mempelajari permasalahan dan potensi pengembangan
diversifikasi konsumsi pangan berbahan baku lokal sorgum di Jawa Timur, (2)
Mengembangkan usaha pengolahan diversifikasi pangan berbahan baku lokal
sorgum, (3) Membangun kemitraan antara masyarakat dengan swasta dalam
usaha bisnis pengolahan pangan berbahan baku lokal, dan (4) Menyusun model
pengembangan agroindustri pengolahan pangan berbahan baku lokal.
Secara garis besar, kegiatan berlangsung dalam beberapa tahapan, yaitu
tahap persiapan, operasional kegiatan, launching dan pendampingan. Sementara,
berdasarkan ragam kegiatan dibedakan atas tiga bentuk, yakni kegiatan yang
mencakup aspek teknologi, analisis ekonomi, dan pengembangan kelembagaan.
Ketiga kegiatan ini dijalankan secara beriringan, dimana seluruh bidang keilmuan
bekerja dalam satu tim.
Khusus untuk kegiatan dalam bidang teknologi, tujuan pokok kegiatan ini
adalah menyampaikan teknologi pengolahan berbahan baku sorgum yang lebih
baik kepada masyarakat, sehingga dihasilkan produk yang lebih bermutu, serta
juga mampu dijangkau dengan biaya yang ekonomis. Untuk mencapainya,
dibutuhkan serangkaian langkah, yang dimulai dengan mempelajari existing
teknologi pengolahan yang telah dijalankan masyarakat, untuk mengetahui
kelebihan dan kekurangannya. Gambaran teknologi ini lalu dikomparasikan
dengan ketersediaan teknologi dari berbagai lembaga penelitian terutama dari BB
Pascapanen, Swasta, dan Perguruan Tinggi.
Setelah ditemukan teknologi pengolahan yang paling sesuai, maka
dilakukan bimbingan teknis dan sosialisasi kepada petani sorgum. Dalam kegiatan
ini, dilakukan pendampingan proses pengolahan oleh peneliti dan tenaga
pemberdaya lain. Teknologi yang diintroduksikan adalah dalam konteks
pengolahan dalam skala bisnis, sehingga dicapai keuntungan usaha yang paling
optimal. Teknologi yang diintroduksikan antara lain: tepung sorgum rendah tanin,
nasi sorgum instan, dan bubur sorgum instan.
Untuk kegiatan dalam bidang analisis ekonomi, dilakukan analisis finansial
yang sejalan dengan upaya menemukan teknologi yang paling sesuai. Kegiatan
dalam bidang ini diawali dengan melakukan analisis finansial pengolahan pangan
teknologi eksisting masyarakat, dengan menghitung keuntungan dari setiap bentuk
pengolahan. Sejalan dengan kegiatan di atas, maka analisis ini dikomparasikan
langsung dengan analisis finansial pada pengolahan pangan teknologi hasil
penelitian, serta juga analisis finansial pengolahan pangan teknologi swasta. Dari

615
Prima Luna dan Sri Widowati

kegiatan ini diperoleh analisis ekonomi peluang pengolahan pangan untuk


masyarakat yang dinilai paling menguntungkan.
Tim BB Pascapanen bersama dinas terkait di Kabupaten Lamongan.
Kegiatan percepatan difusi dilakukan dengan pengenalan teknologi pengolahan
tepung sorgum melalui sosialisasi teknologi pembuatan dan pengolahan tepung
sorgum dengan kadar tanin rendah. Hal ini ditujukan untuk memberikan informasi
kepada masyarakat bahwa sorgum sebagai bahan pangan sumber karbohidrat
lokal mempunyai kesetaraan gizi, kegunaan dan citarasa yang tidak kalah dengan
terigu ataupun beras.
Bentuk kegiatan adalah sosialisasi dan pelatihan tentang teknologi
produksi tepung sorgum dan produk olahannya, serta implementasi teknologi dan
uji produksi di tingkat kelompok tani bekerjasama dengan UKM dan dinas terkait di
Kabupaten Lamongan. BB Pascapanen telah melakukan pendampingan dan
pengawalan selama proses difusi teknologi penyosohan dan penepungan sorgum
berlangsung terutama pada tahap implementasi dan uji produksi penyosohan dan
penepungan sorgum rendah tanin. Kelompok tani Handayani sebagai penggerak
utama bekerjasama dengan UKM dan dinas terkait di Kabupaten Lamongan.
Bentuk pendampingan lain adalah bantuan mesin penyosoh oleh
Universitas Wijaya Kesuma berupa mesin penyosoh kecil ke Desa Keyongan.
Mesin ini telah diterima tahun 2012, dan akan digunakan untuk menyosoh hasil
panen pada bulan September dan Oktober 2013 mendatang ini. Pemberian mesin
diharapkan akan mendorong petani mengolah sendiri hasil panennya, sehingga
dapat memperoleh nilai tambah.
Ada beberapa peluang kemitraan yang dapat dijalankan ke depan, dalam
konteks pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan. Ada dua pola utama yang
saat ini adalah, yaitu: Satu, Pemasaran ke pabrik tepung besar, misalnya ke PT
Bogasari, dan berbagai perusahaan skala menengah lain yang tersebar di
Surabaya. Saat ini, pabrik tepung Bogasari di Kulon Progo Yogyakarta siap
menampung biji sorgum, namun dengan harga di bawah Rp 2000 per kg. Dua,
kerjasama dengan para UKM pengolah makanan. Kemitraan ini lebih riel karena
menyebar dekat dengan petani, dan langsung dikonsumsi penduduk setempat,
meskipun kapasitasnya belum dapat dihitung dengan tepat. Beberapa pengolah
bahan makanan yang menggunakan bahan tepung yang berpotensi menjadi mitra
ke depan di Kabupaten Lamongan adalah pengusaha toko roti yang sampai saat
ini masih menggunakan tepung terigu 100 persen. Selain itu, peluang lain adalah
ibu-ibu rumah tangga pengolahan makanan tradisional yang sudah berjalan, yaitu
pembuatan peyek, kripik, pangsit, berondong, dan lain-lain. Ibu-ibu rumah tangga
pengolah makanan yang sudah menggunakan sorgum, yaitu usaha berondong
jagung ada di Desa Keyongan (Kecamatan Babat) dan Desa Kesambi (Kecamatan
Pucuk). Usaha brondong sorgum sudah berjalan, dan dipasarkan ke Surabaya
terutama direct selling ke lingkungan sekolah. Tiga, selain mitra usaha di
Kabupaten Lamongan, peluang lain adalah memanfaatkan Gerai Cimanggu yang
akan dioperasikan tahun 2013 ini, dan dapat menjadi penyalur kepada pengguna
akhir. Gerai dapat menyediakan biji sosoh (beras sorgum) dan tepung. Para
pengusaha toko roti di Bogor juga dapat diajak bekerjasama dalam menyerap

616
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

tepung sorgum, dengan membawa contoh tepung dan contoh makanan hasil
olahan dengan bahan tepung sorgum. Kegiatan ini bisa dijalankan mulai bulan
September ini.

Tabel 4. Matrik Rancangan Keterlibatan Stakeholders dan Peran yang Dijalankan


Pihak Peranan
1. Dirjen P2HP Menyediakan alat penyosoh ( 4 unit) dan
penepung (2 unit)
2. Dinas Pertanian Provinsi Jatim Dukungan sarana produksi usahatani sorgum
3. Dinas BKP Provinsi Jatim Dukungan sarana produksi usahatani sorgum
4. BB Pascapanen Bogor Dukungan teknologi penyosohan, penepungan,
pembuatan kue, roti, nasi instan, dll
5. BPTP Jatim, Malang Pendampingan petani di lapangan 2013-2014
6. Manajer lapangan (staf BPTP) - Menjadi titik sentral komunikasi
- Menghubungkan dan mengkoordinasikan
dengan seluruh pelaku
- Mendampingi dan membimbing petani
- Memastikan kegiatan berlangsung sesuai
dengan jadwal dan pedoman
- Mengumpulkan dan mencatat informasi dari
lapangan,
- Malaporkan kegiatan
7. Dinas Pertanian dan Kehutanan Dukungan sarana produksi dan pendampingan
Lamongan
8. PTPN XII - mewadahi pemasaran biji dan tepung sorgum
9. Penyuluh pertanian lapangan - mendampingi manajer lapang secara intensif
10. Kelompok tani (4 kelompok tani Pengembangan usahatani sorgum di desa
Desa Keyongan: KT Handayani, Keyongan seluas 600 ha, dengan produksi
Rekodoyo, Tani Unggul dan 3.600 ton dengan varietas KD 4.
Mekarsari))
11. PKK Desa Keyongan Pengolahan berbagai bahan makanan dengan
bahan baku sorgum (peyek, tortila, roti, nasi
instan, bubur, nasi goreng, dll)
12. Swasta pengusaha makanan Roti berbahan baku sorgum (sebagian atau
seluruhnya)

Dalam rancangan model ini, beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk


tahapan berikutnya secara berurutan adalah sebagai berikut: (1) Menyepakati
peran dan tanggung jawab antar pihak, dengan menyampaikan rancangan yang
disusun Tim BB Pascapanen, dan lalu mendiskusikan dan meminta persetujuan
secara non formal, (2) Menyampaikan rancangan peran dan tanggung jawab
petugas di level lapang, yakni PPL dan “manajer lapang” (staf BPTP), dan
menyepakati komitmen awal dengan mereka, (3) Melakukan pendekatan lanjutan
kepada petani dan pengurus kelompok tani untuk mengoperasikan mesin
penyosoh secara optimal, dan mendata berapa banyak produksi yang akan
disosoh dan dijadikan tepung, (4) Melakukan pendekatan kepada para pengolah
makanan berbahan baku sorgum (toko roti, pembuat peyek, pangsit, dll) dan
menunjukkan contoh tepung sorgum berserta contoh produk hasil olahannya, (5)

617
Prima Luna dan Sri Widowati

Menggali dan menambah calon pengolah lain, (6) Mempersiapkan temu bisnis
dipimpin oleh BPTP Jatim, (7) Melakukan temu bisnis serta mendemontrasikan
dan melatih pembuatan berbagai produk olahan berbahan baku sorgum (aneka
roti, pangsit, peyek, nasi goreng, dll), serta (8) Launching program yang dihadiri
seluruh pihak yang terlibat dalam model MAI yaitu BPTP Jatim, Dinas terkait
provinsi dan kabupaten, pengusaha tepung, PTPN XII, pengusaha toko roti, PKK
desa Keyongan, serta wakil petani desa lain. Kegiatan pendampingan masih tetap
dibutuhkan sampai model ini berjalan dengan baik.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, sorgum memiliki potensi yang


sangat besar untuk mensubsitusi tepung terigu, dan mendorong program
diversifikasi pangan berbahan baku lokal. Pengembangan sorgum sangat
beralasan karena daya adaptasinya yang luas, bahkan di lahan marjinal, sehingga
tidak perlu kompetetif dengan palawija lain. Berbagai penelitian baik pada sisi
teknologi budidaya dan pengolahan sudah banyak dikuasai, namun aplikasinya di
lapangan sangat terbatas.
Pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk mengembangkan
sorgum, namun perkembangannya lambat. Semangat baru diperoleh tahun 2013
ini dengan adanya target penanaman sorgum seluas 15 ribu ha oleh Kementerian
BUMN. Namun, perluasan pertanaman dan peningkatan produksi belum
ditindaklanjuti dengan kegiatan agroindustri dan pemasaran yang efektif. Banyak
hasil panen sampai saat ini hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Sebagai upaya menyusun model diversivikasi pangan berbahan lokal,
Badan Litbang Pertanian menjalan sebuah kegiatan Model Agro Industri (MAI)
berbahan sorgum di Jawa Timur, terutama di Kabupaten Lamongan. Kegiatan ini
berupaya merumuskan sebuah model yang dapat direplikasi di berbagai wilayah
lain dengan kondisi yang relatif serupa nantinya. Dari kegiatan di lapangan
diperoleh lesson learn bahwa untuk pengembangan sorgum lebih efektif ke depan,
dibutuhkan sistem agroindustri dengan menerapkan teknologi yang efisien dan
didukung dengan kelembagaan pelaksana yang partisipatif.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Iskan. 2013. Sorgum, Sapi, dan Burung di Belu. JAWA POS, 26 Agustus 2013.
Damardjati, D.S., S.Widowati, J. Wargiono dan S. Purba. 2000. Potensi dan
Pendayagunaan Sumber Daya Bahan Pangan Lokal Serealia, Umbi-umbian dan
Kacang-kacangan untuk Penganekaragaman Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan.
24 hal.
Dinas Pertanian Jawa Timur. 2011. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Jawa Timur

618
Potensi dan Status Pengembangan Sorgum di Provinsi Jawa Timur
dalam Upaya Gerakan Diversifikasi Pangan Nasional

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Evaluasi Pengembangan Gandum dan


Sorgum Tahun 2010 Serta Rencana Pengembangan Tahun 2011.
Erwidodo et al. 1999. Pengkajian Diversifikasi Konsumsi Pangan Utama di Indonesia.
Laporan Hasil Penelitian PSEKP, Bogor.
Fellows, P.J. and Ellis. 1992. Food Processing Technology : Principles and Practice. Ellis
Horwood. England.
Ginting, E. dan B. Kusbiantoro. 1995. Penggunaan Tepung Sorgum Komposit sebagai
Bahan Dasar dalam Pengolahan Kue Basah (cake). Dalam Risalah Simposium
Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Tanaman Industri. Edisi Khusus
Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (4):256-263.
Hartono, A.J. dan M.C. Widiatmoko. 1992. Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Andi Offset.
Yogyakarta.
Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi Fateta IPB. Bogor.
Mudjisihono, R. dan D.S. Damardjati. 1987. Prospek Kegunaan Sorgum sebagai Sumber
Pangan dan Pakan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian VI(I):1-5.
Puslitbangtan. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija. Puslitbang Tanaman
Pangan. Bogor
Sirappa, M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia Sebagai Komoditas
Alternatif untuk Pangan, Pakan dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian, No 22(4),
2003. Jakarta.
Suarni. 2004. Evaluasi Sifat Fisik dan Kandungan Kimia Biji Sorgum setelah Penyosohan.
Jurnal Stigma XII (1): 88-91.
Susila, BAS. 2009. Keunggulan Mutu Gizi dan Sifat Fungsional Sorgum (Sorghum vulgare).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi lnovatif Pascaponen untuk Pengembangan
lndusrri Berbasis Pertanian.
Widowati, S., B.A.S. Santosa, H. Herawati, S. Lubis dan Rahmawati. 2009. Peningkatan
Mutu Penyosohan (80%) dengan Kandungan Tanin Turun Hingga 1 persen. Dalam
Tepung Sorgum Dan Pengembangan Produk Sorgum Instan.
Wirawan, O. A. 2012. Dahlan Iskan Panen Sorgum di Hari Pahlawan.
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2012-11-10/152167/
Dahlan_Iskan_Panen_Sorgum_di_Hari_Pahlawan

619

You might also like