You are on page 1of 11

Jurnal Bakaba

Volume 8, Nomor 1, Bulan Juni, 2019

PENGELOLAAN HARTA PUSAKA TINGGI DALAM


MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU
(studi di Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar)

Penulis : Indra Rahmat


Sumber : Jurnal Bakaba, Volume 9, Nomor 1, Juni 2019
Diterbitkan Oleh : Laboratorium Program Studi Pendidikan Sejarah Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Padang

Untuk Mengutip Artikel ini :


Indra Rahmat, 2019. Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi Dalam masyarakat Adat
Minangkabau (Studi di Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar. Jurnal. Padang.
Jurnal Bakaba, Volume 8, Nomor 1, bulan Juni, 2019: 15-24.

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba


ISSN : 2597-9450 (Online)

Laboratorium Prodi Pendidikan Sejarah


STKIP PGRI Sumatera Barat
Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi
Jurnal Bakaba:
Jurnal Sejarah Kebudayaan dan Kependidikan
Volume 8 Nomor 1, Juni 2019, p. 15-24
ISSN : 2597-9450 (Online)
http://ejournal.stkip-pgri-sumbar.ac.id/index.php/bakaba

Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi Dalam


Masyarakat Adat Minangkabau
(Studi di Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar)

Indra Rahmat
STKIP PGRI SUMATERA BARAT
Email : indrarahmat1983@gmail.com

ABSTRACT

This study was to determine the management of high inheritance in Minangkabau


indigenous society. It was a socio-legal research or non doctrinal research. It observed the
empirical data descriptively. It analyzed law effectiveness by comparing between das sollen and das
sein. Data were collected by implementing library research method using documentary study
technique in written materials. Meanwhile, a field research used direct communication technique
using interview guideline. Sampling method was a purposive sampling. Drawing conclusions was
conducted by implementing inductive method, and data analyzing was conducted qualitatively. The
research finds out that the management of high inheritance in Minangkabau indigenous society
can occur in the form of land inheritance and others. The management of land inheritance, which is
based on ganggam bauntuak, can be managed by ganggam bauntuak holder society and other
people based on the agreement. The management of non-land inheritance is an effort to preserve
the inheritance due to the transition from land inheritance to other inheritance such as gold.

Keywords: Management, High Inheritance, Indigenous society, Minangkabau

PENDAHULUAN Salah satu adanya dinamika dalam


Harta pusaka sangat berperan masyarakat Adat Minangkabau dapat kita
penting dalam kelangsungan dan lihat dalam pemanfaatan harta pusaka
kewibawaan kaum di Minangkabau. Hal masyarakatnya. Menurut ajaran Adat
ini karenakan harta pusaka merupakan Minangkabau masalah harta pusaka di
harta turun temurun. Pada masyarakat dalam gurindam adat dikatakaan “dijua
Minangkabau ada faktor-faktor yang indak dimakan bali, digadai indak
mempengaruhi perkembangan pola dimakan sando” (dijual tidak bisa dibeli,
kehidupan masyarakatnya. Hal semacam digadai tidak bisa disandra). Namun
itu dapat kita temui dalam falasafah adat karena adanya berbagai perkembangan
Minangkabau yang menyebutkan, Sakali dalam pola kehidupan masyarakat
aie gadang (sekali air besar), Sakali sehingga mengakibatkan terjadinya
tapian baralieh (sekali tepian berubah). tingkat kebutuhan masyarakat yang
(Nasroen, 1972:13). beragam pula. Hal ini lah yang dapat
mengakibatkan terjadinya pergeseran

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 15


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

dari sistem pengelolaan harta pusaka METODE PENELITIAN


yang ada dalam masyarakat di Kecamatan
Batipuh Kabupaten Tanah Datar. Penelitian ini menggunakan
Dalam masyarakat adat penelitian hukum sosiologis atau hukum
Minangkabau sistem kekerabatannya empiris yang biasa dikenal dengan sosio-
diatur secara materilineal atau legal research atau penelitian hukum non
doctrinal. Pada intinya penelitian ini
berdasarkan garis keturunan ibu.
merupakan sebuah kegiatan pencarian
Menurut adat Minangkabau harta pusaka
data empiris (Saptomo, 2007:33). Jenis
harus jatuh ketangan anggota kerabat
Penelitian yang penulis gunakan dalam
dari garis keibuan, dalam hal ini adalah
penelitian hukum sosiologis (sosio-legal
anak dari saudara perempuan yang telah
research), memandang hukum sebagai
meninggal, yaitu kemenakannya. Harta
fenomena social (Amiruddin dan Asikin,
yang telah menjadi pusaka ini diwarisi
2004:167). Dalam jenis penelitian ini,
secara komunal oleh para ahli warisnya.
berlakunya hukum difokuskan pada
Pengelolaan harta pusaka
perspektif sosiologis. yaitu hukum
masyarakat Minangkabau di Kecamatan
dipandang berlaku apabila hukum itu
Batipuh Kabupaten Tanah Datar, tidak
bekerja efektif.
terlepas dari dua objek pusaka yang
Lokasi penelitian dalam
berbeda yaitu, Pusako Randah (Pusaka
Pengelolaan Harta Pusaka masyarakat
Rendah) dan Pusako Tinggi (Pusaka
minangkabau adalah di Kecamatan
Tinggi). Kedua objek pusaka tersebut
Batipuh, Kabupaten Tanah Datar,
mempunyai cara pengelolaan yang
Provinsi Sumatera Barat. Adapun
berbeda dalam aturan Adat Minangkabau.
populasi dalam penelitian ini adalah
Hal inilah yang mengakibatkan seringnya
seluruh masyarakat Minangkabau di
terjadi benturan kepentingan dari
Kecamatan Batipuh, yang melakukan
individu-individu dalam upaya untuk
segala bentuk pengelolaan harta
mendapatkan manfaat dari kedua pusaka
pusaka.Subyek penelitian adalah tempat
tersebut.
atau sumber melekatnya data (Amiruddin
Salah satu hal yang penting dalam
dan Asikin, 2004:23). Adapun yang
pengelolaan harta pusaka di
menjadi subyek penelitian ini adalah
Minangkabau terkait dengan sistem
Informan pangkal, yaitu orang yang
kewarisan masyarakat. Berkaitan ini
memberikan informasi karena jabatan
masalah kedudukan dari ahli waris
yang diemban, yaitu : Pihak LKAAM
menentukan hak dan kewajiban terhadap
Kabupaten Tanah Datar, Camat, Wali
harta peninggalannya dalam hal
Nagari dan Ketua Kerapatan Adat Nagari
penguasaan dan pengelolaan. Masalah
(KAN).
terhadap harta pusaka tinggi dan pusaka
Adapun alat pengumpul data yang
rendah sering muncul di lingkungan
penulis gunakan dalam penelitian
masyarakat Minangkabau.
kepustakaan adalah bahan-bahan tertulis
Oleh karena masalah kewarisan
dengan menggunakan teknik studi
yang diteruskan secara komunal tersebut
dokumenter (Sumarjono, 2007:23).
memungkinkan terjadinya permasalahan
Meliputi, studi bahan-bahan hukum yang
di dalam pengelolaan dan
terdiri dari bahan hukum primer dan
pemanfaatannya. Oleh sebab itu dalam
bahan hukum sekunder.
penulisan ini difokuskan pada hal yang
Untuk penelitian lapangan, alat
berkaitan dengan pengeoloaan harta
pengumpulan data yang penulis gunakan
pustaka dalam masyarakat adat
adalah pedoman wawancara (Sumarjono,
Minangkabau (studi di Kecamatan
2007:35), dengan menggunakan teknik
Batipuh, Kabupaten Tanah Datar,
komunikasi langsung atau melalui
Sumatera Barat).

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 16


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

wawancara tak berstruktur (unstructured Struktur Masyarakat Adat


interview) dengan jenis wawancara Minangkabau
berfokus (focused interview), yaitu
wawancara yang terdiri dari pertanyaan Masyarakat Minangkabau bersifat
yang tidak mempunyai struktur tertentu, homogenitas. Akan tetapi dalam Struktur
tetapi selalu terpusat pada satu pokok kemasyakatannya, mereka berkelompok
permasalahan tertentu (Sumarjono, dalam beberapa lapisan, yang berawal
2007:85). Setelah data terkumpul dengan dari keluarga inti dirumah gadang
teknik di atas, kemudian data dianalisis kemudian menjadi lapisan terluar,
secara kualitatif (Amiruddin dan Asikin, sehingga dapat dikelompokan menjadi:
2004:63) yaitu diinterpretasi dengan kaum/paruik, payuang/jurai, suku, dan
merujuk pada teori-teori dan pandangan- nagari. Kaum/paruik merupakan unit
pandangan sarjana yang relevan. yang paling penting yakni merupakan
orang-orang yang berasal satu
HASIL DAN PEMBAHASAN kandungan atau bertalian darah
matrelinial yang tinggal di satu rumah
Masyarakat Adat gadang atau beberapa rumah kalau
Masyarakat merupakan sejumlah memang telah berkembang, sehingga
manusia dari sejumlah manusia dalam susunan masyarakat Minangkabau
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu terkecil.
kebudayaan yang mereka anggap sama. Sementara payuang/jurai
Kalau hukum (Hukum Adat) merupakan merupakan tingkatan dibawah suku yang
salah satu produk kebudayaan manusia, merupakan beberapa kelompok
maka masyarakat Hukum Adat dapat matrelinial yang mempunyai beberapa
diartikan sebagai kelompok manusia kaum/paruik. Selanjutnya adalah suku
yang mendiami wilayah tertentu, yang merupakan tingkatan yang tertinggi
mempunyai pemimpin dan mempunyai yang merupakan gabungan beberapa
Norma Hukum tersendiri yang mereka kelompok matrelinial yang mempunyai
taati Bersama (Warman, 2006:42). beberapa payung dan kaum/paruik, dia
Kusumadi Pudjosewojo, mempunyai nama seperti malayu, piliang,
sebagaimana sebagai mana dikutip oleh caniago, sikumbang, dan sebagainya.
Maria S.W. Sumardjono (1993), Terakhir nagari adalah suatu masyarakat
mengartikan masyarakat hukum sebagai hukum.
suatu masyarakat yang menetap, terikat Nagari adalah gabungan dari
dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. beberapa buah suku, minimal
Masyarakat Hukum Adat adalah mempunyai 4 buah suku, jadi federasi
masyarakat yang timbul secara spontan genealogis. Menurut Hukum Adat
di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak (Undang undang Nagari), ada empat
ditetapkan atau diperintah oleh penguasa syarat untuk mendirikan sebuah nagari,
yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, yang pertama harus mempunyai
dengan rasa solidaritas yang sangat besar sedikitnya 4 suku, kedua harus punya
diantara para anggota, memandang yang balairung untuk bersidang, ketiga sebuah
bukan anggota sebagai orang luar dan mesjid untuk beribadah, ke empat sebuah
bukan menggunakan wilayahnya sebagai tepian tempat mandi (Basri, 2008:3).
sumber kekayaan yang hanya dapat
dimanfaatkan oleh anggotanya. Sistem Kekerabatan Masyarakat
Minangkabau
Sistem Keturunan di Minangkabau
adalah matrilinial yaitu sistem yang

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 17


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

mengatur kehidupan dan ketertiban yang sangat kuat dengan institusi ninik
dalam suatu masyarakat yang terikat mamaknya di dalam sebuah kaum, suku
dalam suatu jalinan kekerabatan atau clan.
seseorang dengan segala aspeknya ditarik Sistem Kewarisan Masyarakat Adat
dalam garis keturunan ibu (Warman, Minangkabau
2001:67). Seseorang anak laki-laki atau
perempuan merupakan clan dari Masyarakat Minangkabau yang
perkauman ibu, ayah tidak dapat matrilineal sistem kewarisannya bersifat
memasukkaan anaknya ke dalam clan– kolektif. Terhadap harta warisan diwarisi
nya sebagaimana yang berlaku dalam oleh sekolompok ahli waris dalam
sistem patrilinial. keadaan tidak terbagi-bagi penguasaan
Oleh karena itu waris dan pusaka dan pemilikannya, melainkan setiap ahli
diturunkan menurut garis keturunan ibu. waris berhak untuk mengusahakan,
Hardland, Sidney (Hasan, 1988:14), menggunakan atau mendapatkan hasil
menyebutkan bahwa ada delapan ciri dari harta warisan tesebut (Hadikusuma,
sistem materinilial : 1999:26).
Sistem kewarisan yang kolektif ini,
a). Keturunan menurut garis ibu. harta warisan tidak dimiliki secara
b). Suku terbentuk menurut garis ibu. pribadi oleh anggota
c). Kawin harus keluar suku. keluarga/kerabat/kaum yang
d). Balas dendam adalah kewajiban bersangkutan. Para anggota kaum hanya
seluruh anggota kaum. boleh memanfaatkan harta pusaka yang
e). Kekuasaan teoritis ada ditangan berbentuk tanah untuk digarap bagi
ibu, walaupun jarang dilaksanakan. keperluan hidupnya atau mendiami harta
f). Yang berkuasa adalah mamak. pusaka yang berbentuk Rumah Adat.
g). Dalam perkawinan suami tinggal Tetapi anggota kaum tersebut tidak dapat
dirumah kaum isterinya. memilikinya sebagai hak milik
h). Warisan diturunkan dari mamak
kepada anak dari saudara perorangan (Hadikusuma, 1999:17).
perempuan (kemenakan)nya. Waris menurut Adat Minangkabau
tidak ada istilah punah karena dalam
Sistem kekerabatan ini tetap warisan ini adat menggariskan adanya
dipertahankan masyarakat Minangkabau waris yang bertali adat, bertali buek,
sampai sekarang, karena masyarakat bertali budi dan hal ini bila ada
Minangkabau tidak terputus hubungan
kekerabatan walaupun di luar Indonesia kesepakatan kaum. Terhadap kaum itu
dan telah menjadi Warga Negara Asing, punah warisan jatuh kepada waris yang
sepanjang garis keturunan ibu masih bertalian dengan suku dan bila yang
melekat kepada dirinya. Sistem ini selalu sesuku tidak ada pula harta pusaka kaum
disempurnakan sejalan dengan usaha yang punah itu jatuh pada nagari. Ninik
menyempurnakan sistem adatnya.
Terutama dalam mekanisme mamaknagarilah yang menentukan.
penerapannya di dalam kehidupan Menurut Kemal, Iskandar, bila tidak ada
sehari-hari. perut yang terdekat, anggota waris yang
Oleh karena itu peranan seorang terakhir dapat menentukan sendiri waris
penghulu ataupun ninik mamak dalam yang terdekat dari orang-orang yang
kaitan bermamak berkemanakan bertali adat untuk melanjutkan hak-hak
sangatlah penting. Bahkan peranan
penghulu dan ninik mamak itu boleh dariperut itu, sesudah punah sama sekali,
dikatakan sebagai faktor penentu dan baru ditentukan oleh Kerapatan Adat
juga sebagai indikator. Keberadaan Nagari.
sistem ini tidak hanya terletak pada
kedudukan dan peranan kaum
perempuan saja, tetapi punya hubungan

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 18


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

Harta Pusaka Dalam Masyarakat turun temurun menurut sistem


Minangkabau materilineal yang tidak berbentuk
material, seperti gelar penghulu,
Menurut M. Rasyid Manggis DT. kebesaran kaum, tuah dan
Radjo Pangulu, harta pusaka adalah : penghormatan yang diberikan
“harta Pusaka adalah harta asal yang masyarakat kepadanya.
diwarisi menjadi harta kaum bagi yang 2. Pusako adalah warisan pusaka yang
berhak milik, maka tidak boleh dijual, diterima secara turun-temurun oleh
malah tidak boleh disandokan”. Dalam kaum yang bertali darah menurut
adat menyebutkan tajua indak dimakan garis ibu. pusako menunjuk pada
bali, tasando indak dimakan gadai. segala kekayaan materi atau harta
(Manggis, 1982:164) (dijual tidak benda seperti hutan, tanah, sawah,
dimakan beli, disandra tidak dimakan ladang, tambak, rumah, perkuburan,
gadai). emas, perhiasan, uang, balai, mesjid
Apabila dilihat dalam pengertian dan sebagainya. Pusako itu sendiri
umum harta pusaka ialah sesuatu yang oleh masyarakat Minangkabau
bersifat material yang ada pada dibagi atas dua jenis :
seseorang yang mati dan dapat beralih a) Pusako tinggi adalah harta yang
kepada orang lain semata akibat telah ada sebelum generasi
kematian itu. Terhadap pengertian itu sekarang ini ada, dan generasi
dikemukakan kata “meterial” untuk sekarang ini menikmati
memisahkannya dari pada sako, yaitu keberadaannya secara
perpindahan yang berlaku dari orang bersama-sama dan diwariskan
yang mati kepada yang masih hidup secara turun temurun menurut
dalam bentuk gelar kebesaran menurut garis keturunan ibu dan diatur
adat. berdasarkan hukum adat
Harta pusaka yang dalam Minangkabau. Pusako tinggi ini
terminologi Minangkabau disebut harato dapat dibedakan atas : Tanah
jo pusako. Harato adalah sesuatu milik Ulayat dan Materi lain, seperti,
kaum yang tampak dan ujud secara emas.
material seperti sawah, ladang, rumah b) Pusako randah adalah
gadang, ternak dan sebagainya. Pusako merupakan harta benda baik
adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi yang bergerak maupun tidak
turun temurun baik yang tampak maupun bergerak yang diperoleh oleh
yang tidak tampak. Oleh karena itu di seseorang atau satu paruik
Minangkabau dikenal pula dua kata berdasarkan pemberian atau
kembar yang artinya sangat jauh hibah maupun yang dipunyai
berbeda; sako dan pusako (Amir, oleh suatu keluarga berdasarkan
2002:21): pencahariannya, pembelian,
1. Sako adalah gelar pusaka yang taruko dan atau telah diwariskan
sedang dipakai dan dijalankan satu atau dua kali keturunan
kewajibannya oleh kaum yang yang bergaris lurus. Pusako
bersangkutan. Gelar pusako kaum rendah ini diatur berdasarkan
dipakai apabila di peroleh kata Hukum Faraidh atau Hukum
sepakat siapa yang akan Islam dengan ketentuan Al-
menyandangnya. Gelar pusaka di Qur`an dan Hadits, atau dapat
sandang oleh salah seorang juga berdasarkan kesepakatan
kemenakan laki-laki dari kaum itu, dengan cara musyawarah untuk
bertali darah menurut garis ibu. mufakat.
Sako merupakan milik kaum secara

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 19


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

Gambaran Lokasi Penelitian Makhudum Sati, Sekretaris LKAAM Kab.


Tanah Datar, pada tanggal 24 Juli 2009),
Kecamatan Batipuh terletak di yang merupakan metode pembagian
dalam wilyah Kabupaten Tanah Datar, tanah kaum kepada anggota atau
dimana Kabupaten Tanah Datar kelompok anggotannya (paruik/jurai).
mempunyai empat belas kecamatan, yang Kewenangan pembagian tanah dengan
salah satunya adalah Kecamatan Batipuh metode ini merupakan hak kekuasaan
yang terletak pada 0° 23 ′ 38 ″ - 0° 34 ′ dari penghulu Kaum. (Wawancara
25 ″ LS, dan 100° 22′ 32″ - 100° 30′ 00 dengan Amir Syarifuddin DT.
BT. Kecamatan Batipuh mempunyai luas Makhudum Sati, Sekretaris LKAAM Kab.
wilayah 144,29 Km². Kecamatan Batipuh Tanah Datar. Pada tanggal 24 Juli 2009).
terdiri delapan (8) buah nagari yaitu ; Berdasarkan hasil penelitian yang
Nagari Tanjuang Barulak, Nagari Bungo penulis lakukan terhadap informan inti
Tanjuang, Nagari Pitalah, Nagari cara pengelolaan tanah harto Pusako
Batipuah Baruah, Nagari Batipuah Ateh, (harta pusaka) tinggi masyarakat di
Nagari Sabu, Nagari Andaleh. Terhadap Kecamatan Batipuh dapat dilakukan
keseluruhan nagari di Kecamatan dengan dua cara :
Batipuh mempunyai 49 buah Jorong. a. Pengelolaan yang
Kecamatan Batipuh mempunyai dilakukan oleh masyarakat
jumlah penduduk 31.475 orang. pemegang harto pusako (anggota
Komposisi penggunaan tanah pada kaum harta pusaka).
Kecamatan Batipuh yaitu ; sawah Wawancara dengan ibu Rosni,
sebanyak 16 % seluas 2.308 Ha, anggota anggota masyarakat di
perkampungan sebanyak 18,67 % seluas Nagari Pitalah, pada tanggal 25 Juli
2.693 Ha, perkebunan sebanyak 27,02 % 2009 menyatakan bahwa
seluas 3.898 Ha, pertanian tanah kering “pengelolaan tanah pusako tinggi
sebanyak 10,73 % seluas 1.548 Ha, tanah yang dilakukan oleh anggota kaum
tandus sebanyak 0,79 % seluas 152 Ha, dilakukan oleh kaum perempuan,
kolam ikan sebanyak 0,18 % seluas 26 pelaksanaannya dapat dilakukan
Ha, hutan sebanyak 26,62 % seluas 3.840 secara perorangan atau terpisah
Ha. dan pengelolaan secara bersama-
sama”.
Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi Pada b. Pengelolaan yang dilakukan oleh
Masyarakat Kecamatan Batipuh orang di luar kaum
Kabupaten Tanah Datar Pengelolaan terhadap tanah
pusako tinggi (pusaka tinggi) yang
Berdasarkan hasil penelitian
dilakukan oleh orang diluar kaum
terhadap pengelolaan terhadap harto yaitu dalam bentuk :
pusako tinggi (harta pusaka tinggi) 1) Perjanjian bagi hasil
yang dilakukan masyarakat di Dilakukan kaum
Kecamatan Batipuh dapat dikelompokkan pemegang tanah pusaka
berdasarkan materinya : dengan orang di luar kaum.
Berdasarkan hasil
1. Tanah
wawancara dengan Bapak, A.
Tanah merupakan pusako tinggi
DT. Rangkayo Hitam, pada
yang paling penting dalam kaum pada
tanggal 26 Juli 2009,
masyarakat di Kecamatan Batipuh.
menyatakan bahwa “dapat
Bentuk pengelolaannya dilakukan atas
dilakukan dengan sistim bagi
Ganggam Bauntuak (Wawancara
hasil atau sewa yang dalam
dengan Amir Syarifuddin. Dt.
istilah adat Minangkabau

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 20


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

disebut membayar “bungo” kecamatan. Atas dasar


atau bea”. persetujuan dari semua
a) Gadai pihak tersebut, maka para
Gadai yang dalam pihak dapat melangsungkan
masyarakat adat jual beli tanah pusako tinggi
Minangkabau disebut pagang tersebut di hadapan Pejabat
gadai. Wawancara dengan H. Pembuat Akta Tanah.
M. A. DT. Rangkai Basa, ketua c) Hibah
KAN Batipuah Baruah yang Pelaksanaan hibah
dinamakan dengan Pagang dalam masyarakat
gadai tanah pertanian Kecamatan Batipuh dapat
menurut adat disini adalah dilakukan apabila telah
Pinjam meminjam. Proses mendapat persetujuan dari
menggadaikan tanah pusako anggota kaum saparuik atau
tinggi dapat dilaksanakan anggota kaum yang terdekat.
dengan cara Persetujuan Hasil wawancara dengan DT.
dalam kaum, persetujuan Tanbasa pada tanggal 27 Juli
mamak kepala waris, 2009, Hibah dalam
persetujuan mamak masyarakat Kecamatan
Penghulu Andiko, Batipuh ada 2 macam yaitu,
persetujuan mamak Hibah lapeh (hibah
penghulu Pucuak, lepas/lenyap) adalah hibah
mengetahui dari unsur yang diberikan tanpa adanya
Pemerintahan Nagari : batasan waktu terhadap
Kerapatan Adat Nagari pelaksanaannya, hibah ba
(KAN), Wali Nagari. aleh (hibah beralas) adalah
b) Jual beli hibah yang diberikan dengan
Jual beli terhadap tanah batas waktu untuk
pusako tinggi dimungkinkan melakukan pemanfaatannya
untuk dilakukan apabila atau berjangka.
dalam keadaan mendesak,
yaitu dalam hal “Rumah 2. Materi selain tanah
gadang katirisan, Gadih
gadang tak balaki, Mayik Hasil wawancara dengan Bapak
tabujua tangah rumah, Amir Syarifuddin. Dt. Makhudum Sati
Mambangkik batang pada tanggal 24 Juli 2009, harta
tarandam” dapat diartikan pusaka tinggi selain dari pada tanah
sebagai biaya perawatan dan yang dimaksudkan di Kecamatan
pembangunan rumah Batipuh dapat berupa benda seperti :
gadang, gadis besar belum 1.Emas
bersuami, untuk biaya Emas harta pusaka tinggi berasal
penyelenggaraan jenazah. dari hasil pagang gadai tanah ataupun
Mengangkat seorang dapat dari hasil penjualan tanah
penghulu ataumemperbaiki pusako tinggi. Emas harta pusaka
ekonomi kemenakan (kaum). tinggi menurut Ibu Lendri Elfida,
Untuk itu diperlukan anggota kaum Suku Melayu di
persetujuan seluruh anggota Kecamatan Batipuh dapat dikelola
kaum, mamak kepala waris, dalam bentuk penyertaan modal
pangulu dan diketahui oleh dalam usaha perdagangan.
KAN, Wali Nagari,

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 21


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

1. Rumah Gadang (Rumah Besar) dan kesepakatan dalam kaum tanah harta
benda-benda perlengkapan adat pusaka tinggi dapat diperjual belikan. Hal
Wawancara dengan Ibu Rosni ini berlaku apabila dalam keadaan
pada tanggal 25 Juli 2009 dan A. DT. mendesak, di dalam adat disebutkan
Panjang pada tanggal 29 Juli 2009, ‘Tidak kayu jenjang dikeping, tidak emas
pengelolaan dari rumah gadang bungkal diasah”, artinya adat
dilakukan oleh perempuan dalam membenarkan mengurangi harta pusaka
kaum sebagai tempat hunian, secara gadai atau jual dengan cara-cara
begitupun terhadap benda yang dibenarkan oleh adat (Syarifuddin,
perlengkapan adat. 1984:226).
Selain itu hibah yang
Pembahasan mengakibatkan terjadinya peralihan
Pengelolaan terhadap materi tanah kepemilikan atas tanah adalah hibah
harto pusako tinggi, penggunaanya lepas. Penghibahan harta pusaka dapat
bertujuan untuk mensejahterakan berlaku apabila ahli waris yang dekat
kehidupan bersama anak dan kemenakan telah menyetujuinya, dengan adanya
dan adatnya. Hal ini menggambarkan persetujuan itu, maka ahli waris lainnya
bahwa tanah sebagai fungsi sosial dalam yang jauh tidak dapat membatalkannya
masyarakat Kecamatan Batipuh sejalan (Syarifuddin,1984:256).
dengan bunyi pasal 6 UU RI No. 5 tahun Pengelolaan tanah pusaka tinggi
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- yang tidak mengakibatkan terjadinya
pokok Agraria. Yang berbunyi “semua hak peralihan hak kepemilikan terhadap
atas tanah mempunyai fungsi sosial”. tanah tersebut terjadi dalam bentuk
Ganggam bauntuak merupakan hak perjanjian bagi hasil berdasarkan, pagang
pengelolaan tanah pusako tinggi. Hak gadai serta hibah beralas. Hal ini telah
pengelolaan ini di dalam adat diakui sesuai dengan asas pemanfaatan tanah
sebagai hak pakai. menurut adat yang dilambangkan dengan
Pengelolaan terhadap tanah pusaka “kabau tagak kubangan tingga / bangau
tinggi yang dilakukan oleh orang lain, tabang kubangan tingga” (kerbau berdiri
dapat dikelompokkan berdasarkan akibat kubangan tinggal, bangau terbang
cara perolehan hak-hak pengelolaannya kubangan tinggal).
yaitu, terjadinya peralihan hak-hak atas Pengelolaan atas dasar kerjasama
tanah pusaka dan tidak terjadinya ini mempertimbangkan unsur
peralihan hak-hak atas tanah pusaka. kepentingan kedua belah pihak. Terhadap
Terjadinya peralihan hak-hak atas pemanfaatan dari hasil pengelolaan tanah
tanah pusaka dalam pengelolaannya yang pusaka tinggi ini dengan sistem bagi hasil
diperoleh atas dasar jual beli dan hibah, juga diatur dalam Perda No. 6 Tahun
dimana dalam kedua perbuatan terhadap 2008 tentang Tanah Ulayat dan
tanah pusaka tinggi. Salah satu syarat Pemanfaatannya Pasal 3 Ayat 2 Perda
menurut adat untuk dapat tersebut berbunyi :
berlangsungnya suatu transaksi adalah “Pemanfaatan tanah ulayat oleh
sakato kaum (sepakat kaum) (Amir, pihak lain yang bukan warga Hukum Adat
2001:117). Maksudnya harus disetujui yang bersangkutan dilakukan dengan
oleh seluruh kaum, “karena hak ulayat” prinsip saling menguntungkan dan
(beschikkingsrecht) menurut Hukum Adat berbagi risiko, dengan kaedah “ adat diisi
ada di tangan suku/masyarakat limbago dituang ” melalui musyawarah
hukum/desa (Seotiknjo,1983:45). mufakat”.
Jual beli tanah pusaka tinggi di Pagang gadai tanah pusaka tinggi di
dalam adat adalah suatu perbuatan yang Minangkabau berbeda dengan gadai
dilarang. Namun karena atas dasar menurut UUPA. Objek gadai menurut

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 22


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

UUPA adalah tanah, sedangkan objek KESIMPULAN


pagang gadai menurut Hukum Adat
bukan tanah, tetapi hak mengelola atau Bentuk atau dasar pengelolaan
hak menikmati hasil. Alasannya ialah terhadap tanah pusaka tinggi yang
berdasarkan kepada asas terpisah dalam dibenarkan dalam adat dan tidak
pemanfaatan tanah harta pusaka tinggi bertentangan dengan peraturan
yakni terpisah antara tanah dengan perundang-undangan adalah pengelolaan
tumbuhan-tumbuhan dan bangunan di dengan jalan perjanjian bagi hasil, gadai
atasnya (LKAAM, 2009:75). yang diperbolehkan alasannya dalam
Dalam gadai tanah pusaka tinggi aturan adat, hibah beralas. Adapun dasar
yang berpindah adalah hak pengelolaan pengelolaan yang dilarang dalam adat
atas tanah saja sedangkan hak pemilikan tetapi tidak dilarang oleh undang-undang
atas tanah tersebut tetap berada pada adalah jual beli tanah pusaka tinggi, hibah
pemberi gadai. Hal ini juga dipertegas lepas terhadap tanah pusaka tinggi, yang
dalam ketentuan umum perda tanah dapat mengakibatkan putusnya mata
ulayat, No. 16 tahun 2008 dalam pasal 1 rantai dari pemanfaatan tanah harta
yang berbunyi “Gadai Atas Tanah adalah pusaka tinggi.
gadai menurut Hukum Adat Minangkabau Terhadap pengelolaan harta pusaka
sebagai salah satu bentuk pengalihan hak tinggi emas merupakan bentuk
pengelolaan tanah ulayat”. penyelamatan dari pusaka sebagai akibat
Pengelolaan tanah pusaka tinggi peralihan bentuk pusaka sendiri. Hal ini
atas dasar hibah beralas, dilaksanakan merupakan dasar pengelolaan yang tidak
dengan adanya kesepakatan dari seluruh mengakibatkan putusnya mata rantai dari
anggota kaum. Terhadap hibah beralas pemanfaatan tanah harta pusaka tinggi.
telah sesuai falsafah penggunaan tanah
pusaka tinggi yang berbunyi “kabau tagak DAFTAR PUSTAKA
kubangan tingga” (kerbau berdiri,
kubangan tinggal). Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004,
Pengelolaan emas harta pusaka Pengantar Metode Penelitian
tinggi merupakan penyelamatan dari Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.
harta pusaka yang berasal dari tanah, Hasan, Firman, 1988, Dinamika
yang karena alasan tertentu terjadinya Masyarakat Dan Adat Minangkabau,
peralihan bentuk benda dari tanah Pusat Penelitian Universitas
kepada emas. Peralihan tanah kepada Andalas, Padang
emas disebabkan karena emas dipandang LKAAM Sumatera Barat, 2009, Adat
sebagai benda yang dapat melambangkan Basandi Syara’, Syara’ Basandi
kedudukan sosial yang dalam pepatah Kitabullah Pedoman Hidup
adatnya berbunyi (Amir, 2001:97). “dek Bernagari, Megasari, Padang.
ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi” Maria Sumarjono, Maria, SW, 2007, Bahan
(dengan emas segala beres, dengan padi Kuliah Metodologi Penelitian Ilmu
semua jadi), “hilang rono dek panyakik, Hukum, Universitas Gadjah Mada,
hilang bangso tak barameh” (hilang
Yogyakarta.
warna karena penyakit, hilang bangsa tak
beremas). M, S, Amir, Dt, Manggung Nan Sati,
2001, Adat Minangkabau, Pola dan
Tujuan Hidup Orang Minang, Badan
Perpustakaan Provinsi Sumatera
Barat, Padang.

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 23


Indra Rahmat– Pengelolaan Harta Pusaka Tinggi

Nasroen, M, 1972, Dasar Falsafah Adat


Minangkabau, Bulan Bintang,
Jakarta.
Nazir, M, 1988, Hukum Acara Adat Dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah di
Minangkabau dalam firman hasan,
Dinamika Masyarakat dan Adat
Minangkabau, Pusat Penelitian
Universitas Andalas, Padang.
Saptomo, Ade, 2007, Pokok – Pokok
Metodologi Penelitian Hukum,
Unesa University Press, Surabaya.
Soejono dan Abdurahman, 2003, Metode
Penelitian Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta.
Soemitro, Ronny, Hanitijo, 1988, Metode
Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soepomo, R, 2000, Bab-Bab Tentang
Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Soetiknjo, Imam, 1983, Politik Agraria
Nasiolnal, Cetakan ke-1 Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Warman, Kurnia ,2006,Ganggam
Bauntuak Menjadi Hak Milik,
Andalas University Press, Padang.

Copyright © 2019, Jurnal Bakaba| 24

You might also like