You are on page 1of 6

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KODEFIKASI KLINIS

DENGAN PERILAKU CLINICAL CODER DI DKI JAKARTA

Nursyafika¹, Ambarwati², Hosizah3, Mieke Nurmalasari4


¹Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan,
Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia Jalan Arjuna Utara No. 9 Kebon Jeruk,
Jakarta Barat
nursyafikahakim6@gmail.com

Abstract

The medical record officer as a provider of code (clinical coder), according to his competence is responsible for the
accuracy of the code of a diagnosis that has been determined by medical personnel / doctors. A professional clinical
coder must meet coding standards and ethics, one of which is always to consult with a doctor for clarification and
completeness of filling in diagnosis and action data. In addition, discipline in complying with the rules of the use of
ICD-10 in determining the diagnosis code. The accuracy of the diagnosis code will affect the accuracy of the report.
Incorrect diagnosis code will affect the implementation of the management of further medical records, namely the
implementation of the disease index and hospital reporting as well as influencing the claim process for patients
covered by insurance. From previous studies, it is still found that inaccurate coding of medical records every year in
several hospitals in DKI Jakarta, knowledge and behavior are part of the factors that influence clinical coder on
code accuracy. The purpose of this study was to analyze the relationship of knowledge about clinical codefication
with clinical coder behavior in DKI Jakarta. This type of research is a quantitative study with a cross sectional
study design. The sample in this study amounted to 82 respondents from DKI Jakarta PORMIKI DPD members.
Based on the results of the analysis with the Pearson correlation test, it can be concluded that there is a significant
relationship between knowledge and clinical coder behavior (p-value = 0,000) and shows a strong relationship (r =
0.510) and positive pattern means that the more the level of clinical coder knowledge the better the behavior clinical
coder.

Keywords: Clinical coder, clinical codefication, ICD 10, ICD-9-CM, knowledge, behavior,

Abstrak

Petugas rekam medis sebagai seorang pemberi kode (clinical coder), sesuai dengan kompetensinya bertanggung
jawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang sudah ditetapkan oleh tenaga medis/dokter. Seorang clinical
coder profesional harus memenuhi standar dan etik pengkodean salah satunya selalu berkonsultasi dengan dokter
untuk klarifikasi dan kelengkapan pengisian data diagnosis dan tindakan. Selain itu juga kedisiplinan dalam
mematuhi aturan-aturan penggunaan ICD-10 dalam penetapan kode diagnosis. Keakuratan kode diagnosis tersebut
akan mempengaruhi keakuratan laporan. Kode diagnosis yang tidak tepat akan mempengaruhi pelaksanaan
pengelolaan rekam medis selanjutnya, yaitu pelaksanaan indeks penyakit dan pelaporan rumah sakit serta
berpengaruh terhadap proses klaim untuk pasien yang ditanggung asuransi. Dari beberapa penelitian sebelumnya
masih ditemukan ketidaktepatan pengkodean rekam medis setiap tahunnya di beberapa rumah sakit di DKI Jakarta,
pengetahuan dan perilaku merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi clinical coder terhadap keakuratan
kode. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan tentang kodefikasi klinis dengan
perilaku clinical coder di DKI Jakarta. Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian
cross sectional. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 82 responden dari anggota DPD PORMIKI DKI Jakarta.
Berdasarkan hasil analisis dengan uji korelasi pearson, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dengan perilaku clinical coder (p-value = 0,000) dan menunjukkan hubungan yang kuat
(r=0,510) dan berpola positif artinya semakin bertambah tingkat pengetahuan clinical coder semakin baik perilaku
clinical coder.

Kata kunci : Clinical coder, kodefikasi klinis, ICD 10, ICD-9-CM, pengetahuan, perilaku
Pendahuluan
Kompetensi perekam medis yaitu perekam medis diharuskan mampu melakukan tugas dalam
memberikan pelayanan rekam medis dan informasi kesehatan yang bermutu tinggi dengan memperhatikan
beberapa kompetensi, salah satunya klasifikasi dan kode klasifikasi penyakit yang didalamnya dijelaskan
bahwasanya seorang petugas rekam medis harus mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan dengan
tepat sesuai petunjuk dan peraturan pada pedoman buku International Statistical Classification of Disease and Related
Health Problems (ICD) yang berlaku, tentang penyakit dan tindakan medis dalam pelayanan dan manajemen
kesehatan (1) (2).
Petugas rekam medis sebagai seorang pemberi kode (clinical coder), sesuai dengan kompetensinya
bertanggung jawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang sudah ditetapkan oleh tenaga
medis/dokter. Seorang clinical coder profesional harus memenuhi standar dan etik pengkodean salah satunya
selalu berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi dan kelengkapan pengisian data diagnosis dan tindakan.
Selain itu juga kedisiplinan dalam mematuhi aturan-aturan penggunaan ICD-10 dalam penetapan kode
diagnosis. Karena keakuratan kode diagnosis tersebut akan mempengaruhi keakuratan laporan. Kode
diagnosis yang tidak tepat akan mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan rekam medis selanjutnya, yaitu
pelaksanaan indeks penyakit dan pelaporan rumah sakit serta berpengaruh terhadap proses klaim untuk pasien
yang ditanggung asuransi (2) (3) (4).
Penelitian Ernawati (2016) di Rumah Sakit Pertamina Jaya menyatakan bahwa perilaku petugas rekam
medis bagian koding yang menetapkan kode hanya melihat dari buku ICD-10 volume 3 saja dan petugas
tersebut paling sering memverifikasi kode NIDDM dengan kode E11.8 sedangkan kode E11.8 adalah kode
NIDDM untuk unspecified complication, padahal komplikasi pada pasien diketahui. Pada penelitian Winanda
(2015) di RSJ DR Soeharto Heerdjan menyatakan bahwa kurang tepatnya pengkodean dikarenakan petugas
yang kurang teliti dalam mengkode diagnosis dan salah membaca diagnosis. Misalnya pada diagnosis gangguan
tingkah laku (conduct disorder) seharusnya menggunakan kode F91.9, bukan F84.9. Penelitian Maulida (2018) di
RSUD Cengkareng menyatakan bahwa penyebab ketidaktepatan kode diagnosis katarak adalah petugas
koding tidak melakukan konfirmasi kembali jika menemukan diagnosis yang tidak jelas terbaca kepada dokter
terkait. (5) (6) (7).
Satu diantara faktor yang mempengaruhi perilaku petugas yang kurang baik adalah kurangnya disiplin
kerja dan tanggung jawab terhadap pekerjaan sehingga petugas sudah terbiasa bekerja dengan budaya kerja
yang ada. Berdasarkan dari beberapa penelitian bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi clinical coder terhadap
keakuratan kode yaitu pendidikan, usia, masa kerja, pengetahuan, sikap, perilaku, pelatihan, dan beban kerja
(8).
Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan clinical coder salah dalam pemberian kode
diagnosis. Kurangnya pengetahuan clinical coder tentang tata cara penggunaan ICD-10 dan ketentuan-ketentuan
yang ada didalamnya serta pengetahuan penunjang lainnya yang berkaitan dengan koding dan yang
mendukung ketepatan dalam pemberian kode diagnosis.
Dari hasil penelitian Widjaya, dkk (2014) menyatakan bahwa dari total 24 koder dari beberapa rumah
sakit di Jakarta yang dijadikan responden, jumlah koder yang akurat mengkode hanya berjumlah 37,5% (9
koder). Hasil penelitian Ernawati (2016) di Rumah Sakit Pertamina Jaya menyatakan bahwa, dari 59 rekam
medis kasus NIDDM tahun 2016 yang diteliti, hanya terdapat 1 kode NIDDM tepat (1,69%). Hasil penelitian
Octhareja (2017) di Rumah Sakit Medika Permata Hijau menyimpulkan bahwa dari 96 sampel rekam medis,
hanya terdapat 32 (32,29%) kode diagnosis yang tepat sesuai ICD-10. Hasil penelitian Mussy (2018) di
RSPAD Gatot Subroto menyatakan bahwa, dari 75 rekam medis sampel kasus bedah hanya terdapat 45 rekam
medis (64,7%) yang tepat. Hasil penelitian Muryanti (2019) di Departemen Radioterapi RSCM Jakarta
menyatakan bahwa dari 175 sampel, terdapat kode tofografi tepat sebanyak 110 rekam medis (62,8%) dan
ketidaktepatan kode tofografi sebanyak 65 rekam medis (37,2%) dan kode morfologi tidak tepat sebanyak 175
rekam medis (100%) (5) (9) (10) (11) (12).
Hasil penelitian Rohani (2019) di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” menyatakan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara pengetahuan clinical coder dengan kualitas koding klinis dengan nilai p-value = 0,043 <
0,05 (8). Pada penelitian Utami (2015), Sudra, Pujihastuti (2016) dan Widjaya, Rumana (2014) juga
membuktikan bahwa pengetahuan petugas tentang kodefikasi diagnosis penyakit yang baik dapat
meningkatkan keakuratan kode diagnosis penyakit (13) (14) (9).
Berdasarkan beberapa penelitian di Jakarta yang setiap tahunnya masih ditemukan ketidakakuratan kode pada
rekam medis, untuk itu penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Pengetahuan tentang
Kodefikasi Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di DKI Jakarta”
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian cross sectional. Dilakukan
pengukuran secara bersama-sama antara dua variabel yaitu variabel independen (Pengetahuan tentang
kodefikasi klinis) dan variabel dependen (Perilaku Clinical Coder) di DKI Jakarta.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota DPD PORMIKI DKI Jakarta yang sudah
terdaftar berjumlah 455 orang. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel yaitu anggota populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik Quota Sampling dan
didapatkan jumlah sampel sebanyak 82 sampel.

Uji statistik pada penelitian ini menggunakan uji korelasi yang digunakan untuk menentukan ada atau
tidaknya hubungan antara variabel independen dan variable dependen.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini ada pada table 1, yang menunjukkan bahwa 82
responden, diketahui jumlah responden laki-laki sebanyak 8 (9,8%) sedangkan responden perempuan
sebanyak 74 (90,2%). Variabel usia jumlah responden usia 20-30 tahun sejumlah 79 orang (96,3%), sedangkan
responden yang usia antara 31-40 tahun sejumlah 3 orang (3,7%). Jumlah responden pendidikan terakhir DIII
rekam medis sebanyak 80 (97,6%) sedangkan DIV rekam medis sebanyak 2 (2,4%). Dan variabel masa kerja,
jumlah responden yang masa kerjanya yang paling banyak terdapat pada antara 1 – 5 tahun sebanyak 74
(90,2%) sedangkan masa kerja paling sedikit yaitu 6 – 10 tahun berjumlah 8 (9,8%).

Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis

Pengetahuan petugas dapat dikategorikan menjadi pengetahuan baik sebanyak 6 petugas (7,3%),
pengetahuan sedang sebanyak 73 petugas (89%) dan pengetahuan rendah sebanyak 6 petugas(3,7%). Petugas
clinical coder sebagai seorang pemberi kode bertanggung jawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang
sudah ditetapkan oleh tenaga medis/dokter. Oleh karena itu, seorang clinical coder harus mempunyai
pengetahuan yang baik bukan hanya tentang terminologi medis, anatomi dan fisiologi, pengetahuan dasar
tentang prosedur klinis dan penyakit serta cedera lain, tetapi juga mempunyai pengetahuan tentang tata cara
penggunaan dan aturan-aturan yang terdapat dalam ICD (16) (17) (18). Gambaran pengetahuan petugas
dijelaskan pada Tabel 2 seperti berikut ini:
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden di DKI Jakarta Tahun 2019

Variabel N %
Rendah 3 3,7
Sedang 73 89
Baik 6 7,3

Perilaku Clinical Coder

Perilaku petugas dapat dikategorikan menjadi perilaku baik sebanyak 11 petugas (13,4%), perilaku
sedang sebanyak 61 petugas (74,4%) dan perilaku rendah sebanyak 10 petugas (12,2%). Salah satu
kompetensi perekam medis adalah klasifikasi dan kodefikasi penyakit, yang didalamnya dijelaskan bahwasanya
seorang petugas rekam medis harus mampu menentukan kode diagnosis pasien sesuai petunjuk dan peraturan
pada pedoman buku ICD yang berlaku. Selain itu, sebelum kode diagnosis ditetapkan clinical coder juga harus
berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi mengenai hal-hal yang kurang jelas atau tidak lengkap pada
pengisian data diagnosis dan tindakan pada rekam medis pasien yang telah selesai mendapatkan pelayanan
baik rawat jalan maupun rawat inap. Sehingga pengkodean ditandai dengan laporan kode yang jelas, akurat
dan konsisten untuk menghasilkan data yang berkualitas bagi kepentingan informasi morbiditas (1) (4).
Gambaran perilaku petugas dijelaskan pada Tabel 3 seperti berikut ini:

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden di DKI Jakarta Tahun 2019

Variabel N %
Rendah 10 12,2
Sedang 61 74,4
Baik 11 13,4

Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di DKI
Jakarta

Berdasarkan hasil uji normalitas data yang dilakukan, dapat diketahui sebaran data berdistribusi
normal, maka uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi pearson. Pada tabel 4 dapat diketahui bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang kodefikasi klinis dengan perilaku clinical coder
dengan p-value = 0,000 < 0,05. Berdasarkan teori yang dikemukakan Colton mengenai tingkat kekuatan
hubungan maka dapat diketahui hubungan pengetahuan dengan perilaku clinical coder menunjukkan hubungan
kuat dengan nilai korelasi = 0,510 dan berpola positif artinya semakin bertambah tingkat pengetahuan clinical
coder semakin baik perilaku clinical coder (28).

Tabel 4 Hubungan Pengetahuan tentang Kodefikasi Klinis dengan Perilaku Clinical Coder di
DKI Jakarta
Variabel r P-Value
Pengetahuan 0,510 0,000
Hasil penelitian ini sejalan dengan Pramono (2012) di Puskesmas Gondokusuman II Kota
Yogyakarta yang menyatakan bahwa ada hubungan antara coder dengan keakuratan kode diagnosis
berdasarkan ICD-10 (p-value = 0,001). Berdasarkan hasil penelitian, Wijaya (2014) pada beberapa Rumah
Sakit di Jakarta yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan (p-value=0,04) antara pengetahuan dengan
akurasi koding, koder yang berpengetahuan baik dapat mengkode secara akurat. Hal ini sejalan pula dengan
penelitian Rohani (2019) di Rumah Sakit Kanker “Dharmais” menyatakan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara pengetahuan clinical coder dengan kualitas koding klinis (p-value = 0,043).

Kesimpulan

Hasil penelitian dari 82 responden tentang pengetahuan diperoleh rata-rata sebesar 11,90 dengan
interval estimasi pada tingkat kepercayaan 95% berkisar antara 11,59 sampai 12,21 dengan standar deviasi
sebesar 1,411. Nilai median 12 dan nilai minimum 7 serta nilai maximum 15. Hasil penelitian dari 82
responden tentang perilaku diperoleh rata-rata sebesar 53,46 dengan interval estimasi pada tingkat
kepercayaan 95% berkisar antara 52,81 sampai 54,12 dengan standar deviasi sebesar 2,982. Nilai median 54
dan nilai minimum 47 serta nilai maximum 59. Adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang
kodefikasi klinis dengan perilaku clinical coder di DKI Jakarta dengan p-value = 0,000 dan menunjukkan
hubungan kuat (r=0,510). Sebaiknya pihak DPD PORMIKI mengembangkan dan mensosialisasikan standar
untuk kodefikasi klinis yang berlaku di Indonesia. Sebaiknya dilakukan sertifikasi kompetensi untuk petugas
yang melakukan kegiatan klasifikasi dan kodefikasi penyakit. Sebaiknya pihak DPD PORMIKI memberikan
seminar dan pelatihan yang dapat menambah pengetahuan khususnya pada kompetensi klasifikasi dan
kodefikasi penyakit. Sebaiknya untuk penelitian kedepannya dilakukan penelitian tentang pengetahuan
kodefikasi klinis dengan kasus yang lebih spesifik.

Daftar Pustaka

1. Erlinda, Indriani A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidaktepatan Kode pada Persalinan Sectio
Caesarea di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan Tahun 2018. J Ilm PEREKAM DAN
Inf Kesehat IMELDA. 2018;3(2):453–65.

2. Depkes RI. Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2009.

3. Putri NM. Hubungan Beban Kerja Coder dengan Keakuratan Kode Diagnosis Pasien Rawat Inap
Berdasarkan ICD-10 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2011. 2011;

4. Hatta G. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI-Press;
2017.

5. Ernawati. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosis Kasus NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus) Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Pertamina Jaya Tahun 2016. Jakarta: Universitas Esa Unggul;
2016.

6. Winanda V. Tinjauan Ketepatan Pengkodean Diagnosa Rawat Jalan Pasien BPJS di Rumah Sakit Jiwa DR
Soeharto Heerdjan. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2015.

7. Maulida KH. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosa Katarak Pada Pasien Rawat Jalan di RSUD Cengkareng
Tahun 2018. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2018.

8. Rohani S. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Coding Klinis Kasus Neoplasma Untuk Klaim
BPJS di Rumah Sakit Kanker “Dharmais.” 2019;
9. Widjaya L, Rumana NA. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koding Ibu Melahirkan dan Bayi di
Beberapa Rumah Sakit Tahun 2014. J Inohim. 2014;2(2):114–22.

10. Octhareja R. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosis Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Medika Permata
Hijau. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2017.

11. Mussy NR. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosis Utama Kasus Bedah Pada Pasien Rawat Inap di RSPAD
Gatot Subroto Bulan Januari 2018. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2018.

12. Muryanti. Ketepatan Pengkodean Diagnosis Kanker Pada Pasien Wanita di Departemen Radoterapi
RSCM Jakarta. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2019.

13. Utami YT. Hubungan Pengetahuan Coder dengan Keakuratan Kode Diagnosis Pasien Rawat Inap
Jaminan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan ICD-10 di RSUD Simo Boyolali. J Ilm Rekam Medis dan
Inform Kesehat. 2015;5(1):13–25.

14. Sudra RI, Pujihastuti A. Pengaruh Penulisan Dianosis dan Pengetahuan Petugas Rekam Medis Tentang
Terminologi Medis Terhadap Keakuratan Kode Diagnosis. J Manaj Inf Kesehat Indones. 2016;4(1):67–
72.

15. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Revisi 2010. Jakarta: Rineka Cipta; 2013.

16. Rita. Tinjauan Ketepatan Kode Diagnosa Pasien Rawat Inap Kasus Urologi Berdasarkan ICD-10 di
Rumah Sakit Siloam Asri Tahun 2016. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2016.

17. Wikipedia. Coder Klinis [Internet]. Wikipedia. 2019 [cited 2019 Jan 12]. Available from:
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Clinical_coder

18. Pramono AE. Hubungan Antara Coder (Dokter dan Perawat) Dengan Keakuratan Kode Diagnosis
Berdasarkan ICD-10 di Puskesmas Gondokusuman II Kota Yogyakarta Tahun 2012. 2012.

19. Pratiwi KA, Ernawati D. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Kode External Cause di
RSUD Kabupaten Brebes. J Manaj Inf Kesehat Indones. 2017;5(2):53–9.

20. A W. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Wahyu Media; 2010.

21. WHO. International Statistical Classification of Disease and Related Health Problem Thenth Revision
Volume 1,2,3. 10th ed. Geneva; 2010.

22. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2016 tentang
Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG) Dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
2016;

23. Garmelia. Pengenalan Kodefikasi dan Modifikasi Prosedur Melalui ICD-9CM. Jakarta: Kumpulan
Makalah Penelitian Optimalisasi Pengelolaan dan Implementasi Standar Pelayanan Rekam Medis di
Rumah Sakit; 2010.

24. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 55 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pekerjaan Perekam Medis. 2013;

25. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. 2003.

26. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan.pdf. 2014.

27. Tim Dosen Prodi MIK. Pedoman Pembimbingan dan Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan, Universitas Esa Unggul; 2017.

28. Sabri L, Hastono SP. Statistik Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Rajawali Pers; 2014.

You might also like