You are on page 1of 10

MAKALAH

BAHASA LAMPUNG
SESIKUN / SEKIMAN BERUNSUR BINATANG

Disusun Oleh :

 ERISKA
 SELVINA
 ADELIA

MTS DARUL HUDA BANDAR LAMPUNG


TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberi Penulis kekuatan dan kemudahan dalam menyelsaikan makalah ini sehingga

dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa

Lampung, namun demikian semoga makalah ini tidak hanya bermanfaat bagi penulis

namun juga bisa bermanfaat dan menambah wawasan bagi semua pihak.

Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak mengalami kekurangan, karena itu

penulis berharap masukan dari pembaca agar makalah ini menjadi lebih sempurna. Dalam

kesempatan ini penulis ingin menguncapkan terima kasih kepada Kepala MTS Darul Huda

Bandar Lampung yang telah memberi Penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di

lingkungan MTS Darul Huda Bandar Lampung. Penulis juga ingin mengucapkan terima

kasih kepada teman - teman di MTS Darul Huda Bandar Lampung Tangkas yang cukup

memberi kehangatan persaudaraan.

Bandar Lampung, November 2022

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa dan budaya merupakan dua aspek kehidupan yang tidak dapat dipisahkan
karena saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya suatu daerah acapkali
tercermin dalam bahasa yang dituturkan oleh masyarakatnya, misalnya yang
tercermin dalam sastra lisan. Bahasa Lampung memiliki beberapa ragam sastra
lisan yang masih digunakan hingga saat ini. Ciri utama sastra lisan Lampung yaitu
terletak pada kelisanan, anonym, dan lekat dengan kebiasaan, tradisi serta adat
istiadat dalam kebudayaan masyarakat Lampung (Abdulah, 2008) . Lebih lanjut,
sastra lisan Lampung dikelompokkan kedalam lima bagian, yaitu: (1) Sesikun/
Sesikun / sekiman (peribahasa); (2) Seganing/teteduhan (teka-teki); (3) Memmang
(mantra); (4) Warahan (cerita rakyat); dan (5) Puisi yang terdiri dari paradinei,
pepaccur, pattun, bebandung, dan ringget (Sanusi dalam Abdulah, 2008).

Bagian dari sastra lisan Lampung yang akan menjadi pembahasan dalam makalah
ini adalah Sesikun / sekiman atau peribahasa. Pada umumnya peribahasa memiliki
arti kiasan. Wujud dari peribahasa ini terkadang dipengaruhi oleh filosopi atau
pola pikir masyarakat tutur yang menggunakan bahasa tersebut sehingga
terkadang terdapat perbedaan peribahasa antara satu bahasa dengan bahasa yang
lain meskipun peribahasa tersebut memiliki makna yang sama. Misalnya dalam
bahasa Indonesia terdapat peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya yang
bermakna kelakuan anak pada umumnya tidak jauh berbeda dengan kelakuan
orang tuanya. Sementara itu, dalam bahasa Inggris dikenal peribahasa like father
like son yang memiliki makna yang sama. Di lain pihak, Bahasa Lampung
memiliki peribahasa yang berbeda untuk pemaknaan yang semacam itu. Penutur
bahasa Lampung menggunakan peribahasa ibung mak jiweh jak rumpun ‘rebung
tak jauh dari rumpun’ yang memiliki makna yang sama dengan peribahasa-
peribahasa tersebut. Anak yang diibaratkan sebagai rebung, pada umumnya tidak
akan tumbuh terlalu jauh dari orang tuanya yang diibaratkan sebagai rumpun.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian kecil
mengenai peribahasa bahasa Lampung yang berunsur binatang guna
mempermudah para pembelajar bahasa Lampung dalam memahami makna
peribahasa-peribahasa yang terdapat dalam bahasa lampung.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah


1. bagaimana klasifikasi Sesikun / sekiman ‘peribahasa bahasa Lampung’
yang berunsur binatang?
2. bagaimana makna peribahasa yang terdapat dalam Sesikun / sekiman yang
berunsur binatang?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk


1. mengklasifikasikan Sesikun / sekiman berunsur binatang
2. mendeskripsikan makna peribahasa yang terkandung dalam Sesikun / sekiman
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sesikun/ Sekiman

Peribahasa merupakan semua bentuk bahasa yang memiliki arti kiasan berupa
kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna atau
fungsinya dalam masyarakat tutur yang digunakan secara turun-temurun dan
maknanya dapat dilihat dari segi ekspresi kebahasaannya (Badudu, 1983;
Kridalaksana,1982; dan Chaer, 2013). Peribahasa dalam bahasa Lampung dikenal
dengan istilah Sesikun / sekiman yang berfungsi untuk alat pemberi nasehat,
motivasi, sindiran, celaan, sanjungan dan lain sebagainya (Abdulah, 2008).

Berdasarkan isinya, peribahasa dapat diklasifikasikan kedalam 8 bagian, yaitu


berdasarkan pada (1) hukum alam, (2) pedoman hidup, (3) nasehat, (4) berisi fakta
kehidupan, (5) berupa nasib, (6) pujian dan sindiran, (7) pernyataan yang
berlebih-lebihan, dan (8) kemustahilan (Santoso, 1988).

Makna Sesikun / sekiman berkaitan dengan usaha penutur untuk menyampaikan


pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk satuan bahasa tertentu yang
dianggap paling tepat dan paling kena. Makna dari suatu peribahasa masih dapat
diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan makna
gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang
menjadi tautannya (Chaer, 2013). Filosopi hidup, pola pikir dan sudut pandang
masyarakat dipengaruhi oleh budaya yang diikutinya dan tercermin melalui
bahasa yang digunakannya. Oleh karena itu, terkadang setiap etnis memiliki
susunan leksikon tersendiri sebagai pengkonstruksi peribahasa yang dipengaruhi
oleh budayanya, sehingga untuk satu makna peribahasa yang sama, terkadang
ditemukan peribahasa yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Hal
inilah yang menjadi landasan peneliti dalam menganalisis makna Sesikun /
sekiman dari data yang berhasil dikumpulkan.
Terdapat 10 data yang dianalisis dalam makalah ini. Kesepuluh data tersebut
dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang telah dijabarkan di atas. Untuk
lebih jelasnya, jawaban dari rumusan masalah yang telah dikemukakan peneliti
akan dijabarkan pada tabel 1.

B. Contoh Sesikun/ Sekiman

Tabel 1: Klasifikasi dan Deskripsi Makna Sesikun / sekiman Berunsur Binatang.


No. Klasifikasi Data Sekiman Makna Deskripsi Makna
1. Sindiran Nawai buho Mengajari orang Buaya merupakan binatang yang
nangui ‘ yang lebih pandai. hidup didua alam. Maka dari itu,
Mengajari buaya memiliki kepandaian yang tak
buaya perlu diragukan lagi dalam berenang.
berenang’. Begitu pula dengan manusia,
mengajari manusia yang lebih pandai
diibaratkan seperti mengajari buaya
berenang, karena tanpa diajari pun
mereka sudah pandai melakukan
keahliannya tersebut.
Panggang Orang tidak Data ini mendeskripsikan kehidupan
mighak nagui mampu bergaya masyarakat Lampung yang biasanya
‘Panggang ingin mampu. menyebut ikan panggang hanya
berenang’. dengan menggunakan leksem
panggang saja. Panggang atau ikan
bakar, tidak mungkin akan hidup
kembali lalu berenang ke dalam air.
Begitu juga dengan orang yang tidak
mampu tapi bergaya mampu. Mereka
memaksakan diri untuk melakukan
sesuatu yang sebenarnya berada di
luar kapasitasnya..
Kemicak di bah Berpengetahuan Suru ‘tempurung’ adalah kulit daging
suru ‘Katak di yang sangat picik/ kelapa yang sangat keras dengan
bawah sempit. ukuran rata-rata sebesar telapak
tempurung’. tangan. Ketika seekor katak
diletakkan di dalam tempurung, maka
pandangannya terbatas hanya pada
apayangterdapatdidalam
tempurung tersebut. Dia tidak akan
mampu memandang dunia yang lebih
luas. Oleh karena itu, seseorang
yang memiliki pemikiran yang sempit
dan cenderung picik dalam
memandang suatu hal, diibaratkan
seperti katak dalam tempurung.
Ngelucukko sai Yang sudah pasti Pada data tersebut, burung yang
rinok, ngebedak dilepas, yang tidak terbang menggambarkan harapan
putih hambor pasti diharapkan. yang belum tercapai dan masih
‘Melepaskan diangan-angan. Maksud dari
yang jinak, melepaskan yang jinak adalah
mengejar melepaskan burung peliharaan yang
burung sudah lama dimiliki dan sudah jinak.
terbang’. Bila diartikan secara non-literal,
melepaskan yang jinak disini
bermakna melepaskan suatu hal
yang sudah pasti dimiliki atau sudah
ada digenggaman tangan. Jadi,
maksud dari peribahasa ini
merupakan sindiran terhadap
seseorang yang melepaskan suatu
hal yang sudah pasti demi mengejar
suatu hal yang masih diangan-angan
atau belum pasti.
2. Kesia- Geggeh nyipok Menyembunyikan Kepiting merupakan binatang yang
siaan kepiting ‘Seperti benda yang tidak hiperaktif atau tidak bisa diam. Ketika
membungkus bisa diam. badannya diikatpun dia akan tetap
kepiting’. menggerak-gerakkan tangan atau
capitnya kesana-kemari. Begitupula
ketika dibungkus, dia akan lebih
leluasabergerakkesana-kemari
sehingga bagi orang yang tidak tahu
apa isi bungkusan itu akan mudah
sekali menebak dari gerakan kepiting
tersebut bahwa dalam bungkusan
tersebut terdapat satu benda hidup.
Oleh karena itu, menyembunyikan
sesuatuyangtidakbisadiam
diibaratkan seperti membungkus
kepiting, sekalipun disembunyikan
lama-lama akan ketahuan juga.
Nyow ubah Sulit mengubah Sesam kepiting merupakan kepiting
sesam kepiting kelakuan meski yang sudah dimasak dan diasamkan
‘Apa ubahnya kita sangat sabar agar tahan lama. Kaitan makna
sesam kepiting’. menunggu dalam sekiman ini adalah bahwa
kesadarannya. kepiting yang sudah diasamkan, tidak
akan kembali memiliki cita rasa yang
sama seperti kepiting yang segar.
Akan sulit menetralisir keasaman dari
sesam kepiting. Seperti halnya
kelakuan manusia, ada beberapa
manusia yang sulit sekali merubah
kelakuan buruknya meskipun
berulangkali diingatkan tentang
kebaikan dengan sangat sabar.
3. Nasib Iwani dacok, Mendapat Menangkap ikan dengan cara yang
waini mak kemudahan dalam tenang tanpa menimbulkan
bulok. ‘Ikannya mengupayakan gelombang yang dapat membuat air
dapat, airnya sesuatu tanpa bercampur dengan endapan lumpur
tidak keruh’. menimbulkan atau kotoran di dasar sungai tidaklah
masalah. mudah. Dalam peribahasa ini, ikan
melambangkan sesuatu atau hal
yang diperoleh, sementara air yang
keruh melambangkan penghalang
atau masalah. Jadi menangkap ikan
tanpa menimbulkan kekeruhan
melambangkan keberuntungan.
4. Nasehat Kipas emas Yang terpenting Masyarakat Lampung pada
batuni jala, bukanlah alatnya, umumnya menggunakan jala untuk
iwani sai perlu melainkan menangkap ikan disungai-sungai.
‘Meskipun hasilnya. Dalam mencari ikan, hal yang paling
emas batunya utama adalah seberapa banyak ikan
jala, ikannya yang berhasil ditangkap, bukan
yang perlu’. tentang material yang digunakan
untuk membuat alat penangkap ikan.
Sekalipun batu pemberat jala itu
terbuat dari emas, tapi jika tidak
dapat digunakan untuk menangkap
ikan maka tidak akan berguna. Begitu
pula ketika kita berkarya, yang
terpenting bukanlah mengenai alat
yang kita gunakan, melainkan hasil
yang kita produksi.

5. Deskripsi Wai kak mena Gosip sudah Pada data tersebut, gossip yang
Fakta bulok, iwani menyebar, tetapi menyebar diibaratkan dengan air
Kehidupan bagi indah ‘Air kebenarannya keruh yang menyebar kemana-mana.
sudah lebih belum jelas. Kebenaran diibaratkan seperti ikan.
dulu keruh, Ketika ikan berenang di dasar sungai
ikannya belum atau kolam, terkadang pergerakan
jelas’. tubuh ikan tersebut menyebabkan air
menjadi keruh. Peristiwa ini dijadikan
perumpaman dalam sekiman
tersebut. Kejanggalan akan
dirasakan apabila airnya tiba-tiba
mengeruh, tetapi tidak terlihat bahwa
ada ikan yang sedang berenang
disana. Begitupula dengan sekiman
ini, gosipnya sudah menyebar
kemana-mana,tapifaktaatau
kebenaran dari berita tersebut tidak
muncul juga.
6. Hukum Sejawoh-jawoh Sejauh-jauhnya Lubuk diibaratkan sebagai kampung
Alam iwa langui, seseorang halaman, dan ikan disini
pagun mulang merantau, dia akan melambangkan manusia. Pada
haguk ulok tetap kembali ke umumnya,ikan-ikanakan tetap
Sejauh-jauh kampung kembali kelubuknya setelah dia pergi
ikan berenang halamannya. berkelana ke tempat yang jauh untuk
akan kembali mencari makan. Begitu juga dengan
ke lubuk. manusia, meskipun dia pergi ke
tempat yang jauh dari kampong
halamannya, untuk mencari makan
atau mencari ilmu, suatu hari dia
akan kembali ke kampungnya untuk
sekedar menengok handai taulan
atau mengobati kerinduan terhadap
tanah kelahiran.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penyusunan makalah ini, peneliti menggunakan 10 data Sesikun / sekiman


yang berunsur binatang. Sesikun / sekiman-Sesikun / sekiman tersebut peneliti
klasifikasikan ke dalam 6 bagian berdasarkan isinya, yaitu: (1) berupa sindiran,
(2) berupa kesia-siaan, (3) berupa nasib, (4) berupa nasehat, (5) berupa deskripsi
fakta dan (6) berupa hukum alam. Dari deskripsi makna pada tabel 1 dapat
disimpulkan bahwa Sesikun / sekiman tersebut menggambarkan pola kehidupan
masyarakat Lampung, misalnya seperti aktifitas mencari ikan atau makanan khas
Lampung seperti panggang atau sesam kepiting. Menurut sejarah, masyarakat
Lampung zaman dahulu memang hidup di daerah-daerah yang dekat dengan air,
selain memudahkan para ibu melakukan pekerjaan rumah tangga, daerah-daerah
yang dekat dengan sungai atau laut akan memudahkan kepala keluarga untuk
mencari makanan. Oleh karena itu, beberapa Sesikun / sekiman dikonstruksi dari
binatang-binatang yang hidup di sungai atau laut karena lazimnya peribahasa
mencerminkan filosopi dan kehidupan penuturnya.
Daftar Pustaka

Abdulah. (2008). Kamus Bahasa Lampung. Lampung: Dita Kurnia.

Badudu, J.S. (1983). Peribahasa Salah Satu Segi Bahasa Yang Masih Perlu
Diperhatikan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Chaer, Abdul. (2013). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. (1982). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Mahsun. (2012). Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.

Santoso, F. X. (1988). “Peribahasa Indonesia dalam Sastra Indonesia Sebelum


Perang:

Sebuah Tinjauan Resepsi Sastra”. UGM: Tesis.

Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Pers.

Udin, Nazarudin, Warnidah Akhyar, Ni Nyoman Wetty, Nurlaksana Eko


Rusminto, dan A. Effendi Sanusi. (1998). Sastra Lisan Lampung Dialek
Pubiyan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

You might also like