You are on page 1of 8

LAPORAN SENI BUDAYA

SEJARAH TARI TRADISI SAKRAL (WALI)


SESOLAHAN IDA SESUHUNAN
IDA BHATARA SAKTI, ISTRI, DAN RARUNG
(STUDI DI DESA ADAT PIKAT, KECAMATAN DAWAN)

OLEH:
KELOMPOK 5 XI MIPA 1
1. Gede Aditya Saputra (03)
2. I Kadek Arya Saputra (08)
3. I Putu Agastia Sudya Pinatih (17)
4. I Putu Agus Adi Putra (18)
5. Luh Nyoman Ratih Swandewi Putri (25)
6. Made Dwi Pradnyani (27)
7. Putu Giva Septari Putri (33)

SMAN 1 SEMARAPURA
JANUARI 2022
Gambar 1. Napak Pertiwi Ida Sesuhunan Bhatara Sakti di Pura Dalem Desa Pikat
Sumber: https://youtu.be/KujqYW8UrPw

A. Waktu dan Lokasi Wawancara


Pada Selasa, 18 januari 2022 di Desa Adat Pikat, Kecamatan Dawan, kami
melakukan wawancara dengan narasumber yang bernama Pak Komang Pasek selaku
Kelian Banjar Adat Cempaka, Desa Adat Pikat sekaligus salah satu keluaga Mangku
Pura Puseh yang sering ngayah mundut (menarikan/memerankan) Ida Bhatara Istri
(rangda).
B. Hasil Wawancara
• Definisi dan Filosofi
Pertunjukan (Sesolahan) tari sakral Ida Bhatara Sakti (berwujud barong), Ida
Bhatara Istri (berwujud rangda), dan Ida Bhatara Rarung memiliki fungsi sebagai tari
bebali, yakni dapat dipersembahkan sebagai pelengkap upacara piodalan di Pura (wali)
yang ditujukan kepada krama adat (balih-balihan). Barong dan rangda menjadi karya
seni rupa yang disakralkan masyarakat sehingga sarat dengan pesan-pesan budaya dan
mengandung simbol/mitos dalam pertunjukannya.
Tari ini sangat kental bernuansa ritual magis yang sampai sekarang masih tetap
ada dan didukung oleh masyarakat di Bali. Pertunjukan tersebut merupakan warisan
budaya yang menunjukkan adanya bentuk dan struktur kesenian dari paham animisme.
Bentuk barong dan rangda menunjukkan adanya perpaduan antara kesenian Jawa
dengan Bali dan mendapat pengaruh atau inspirasi Barongsai dari Cina.
• Sejarah Tarian
“Untuk asal-usul sesolahan pertama kali di Desa Adat Pikat belum diketahui,
karena tarian diwariskan turun-temurun dari leluhur di Desa ini.” Jelas Pak Komang.
Belum ada pernyataan sejarah yang mutlak mengenai asal-usul tari ini
sehingga ada beberapa versi yang menjelaskan. Dalam kebudayaan hindu, terutama
upacara keagamaan di Bali, hampir di setiap unsur ritual mengandung simbol yang
menyiratkan makna tertentu, termasuk pada tarian ini.
Menurut lontar “Barong Swari” milik pustaka lontar I Dewa Ketut Artha (jero
Grya Dhaton Batununggul, Nusa Penida), tersebutlah ada ancaman berbagai penyakit
yang diciptakan oleh Bhatari Durga di dunia ini sehingga makhluk hidup terancam
punah. Maka segeralah Sang Hyang Tri Murti turun ke marcapada (dunia) untuk
menyelamatkan alam semesta ini dari kehancuran. Bhatara Brahma turun menjadi
“Topeng Bang Jauk”, Bhatara Wisnu menjelma sebagai “Topeng Telek”, dan Bhatara
Siwa menjelma menjadi “Barong Ket”. Pada setiap kesempatan Barong menari ialah
bertujuan mengusir dan menghalau Bhutakala dan wabah penyakit tersebut sehingga
manusia terhindar dari mara bahaya.
Dalam salah satu mitologinya, Barong digambarkan mendampingi Raja
Airlangga, pewaris tahta Raja Dharmodayana, untuk mengalahkan Rangda. Jadi, tari
ini menghantarkan khalayak untuk memahami rwa bhineda (konsep tentang dua sifat
berlawanan yang dimiliki oleh ciptaanNya).
• Sakralisasi tarian
Kami melakukan wawancara sekunder dengan referensi penelitian terkait
proses pembuatan pratima dan sakralisasinya karena keterbatasan informasi.
Karthadinata dalam tulisannya “Barong dan Rangda: Sakralisasi Pembuatan dan
Pesan-Pesan Budaya di Balik Penampilannya sebagai Kesenian Tradisional Bali”
(2006) menjelaskan, Proses pembentukan diawali dengan upacara memohon kayu atau
nuwedin dan upacara pralina, setelah itu sangging mulai mengerjakan kayu hingga
berbentuk topeng dengan tahapan makalin, ngerupa, ngalusin, dan, memulas. Proses
sakralisasi melalui upacara prayascita atau pemelaspas, kemudian mengisi topeng
barong dan rangda dengan pedagingan, selanjutnya dilakukan upacara pasupati dan
ngerehin. Proses pasupati mempunyai rangkaian panjang dan membutuhkan banyak
waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan oleh pengemong pura. Tujuannya tidak lain
agar pratima memenuhi syarat sesuai kepercayaan agama Hindu di Bali.
Upacara pasupati merupakan proses menyatukan kekuatan Siwa (Sanghyang
Pasupati) pada pratima ditandai dengan melaspas yang bermakna membersihkan
segala noda pratima. Ngatep, simbol menyatukan antara jiwa dan badan pratima
dengan mengikatkan benang Tridatu sebagai kekuatan Tri Murti. Ketika penyatuan ini
terjadi maka pratima berstatus menjadi sesuhunan Dewa-Dewi dan/atau Ida
Bhatara/Bhatari. Keseluruhan proses pasupati secara filosofi merupakan aktivitas
perubahan status suatu benda dari profan ke sakral yang dilandasi oleh Satyam Siwam
Sundaram (kebenaran, kesucian dan keindahan) agar tercapainya tujuan hidup yakni
jagadhita (sejahtera).
• Syarat Penari
Syarat sebagai penari (pamundut) ialah pria dewasa yang sudah mawinten dan
terlatih. Apabila akan ada sesolahan di suatu Pura, maka yang mundut (menarikan)
dipilih secara sukarela yang disebut ngayah. Umumnya, asal penari dari daerah lokal
(Pikat). Namun, tidak menutup kemungkinan bagi orang dari daerah lain
diperbolehkan ngayah mundut, asalkan semua penari sudah mawinten karena agar
memiliki taksu1.
• Waktu dan Tempat Sesolahan
Sesolahan tari ini dipentaskan empat kali setiap enam bulan sekali berdasarkan
perhitungan wewaran (wuku) dan dua tahun sekali berdasarkan perhitungan sasih.
Tempat dan waktunya yakni:
1) Pura Puseh Desa Adat Pikat. Ketika Piodalan Pura Puseh (Wraspati Umanis Wuku
Dungulan), Piodalan Pura Puncak Sari (Redite Umanis Wuku Warigadean), dan
Piodalan Ngusaba Desa Adat (Pangelong pertama purnama sasih kapat).
1
Menggambarkan suatu kewibawaan dari kualitas seni atau keahlian seseorang.
2) Piodalan Pura Dalem Desa Adat Pikat (Buda Umanis Wuku Tambir)
3) Piodalan Pura Puncak Agung (Pura Penyimpangan) Desa Glogor (Buda Umanis Wuku
Medangsia)
• Konsep Cerita Sesolahan dalam Tarian
Dalam seesolahan, sesuhunan yang diperankan meliputi:
1) Ida Bhatara Sakti yang maraga (berwujud) Barong (berbentuk seperti campuran
antara singa, macan, dan babi)
2) Ida Bhatara Istri yang maraga Rangda2
3) Ida Bhatara Rarung
4) Lenda-lendi berjumlah 2 (sisya/panjak Ida)
Konsep tarian ini memiliki karakter tersendiri, bahwa diceritakan sang barong
(Ida Bhatara Sakti) tidak mutlak baik ataupun jahat, melainkan memiliki dua sifat yang
disebut rwa bhineda, yakni di sisi cerita berperan sebagai tokoh antagonis. Namun, di
sisi lain sebagai pelindung krama desa dan penyembuh wabah penyakit secara niskala
(nonmedis/tidak terlihat).
i. Ida Bhatara Rarung yang diceritakan merupakan anak dari Ida Bhatara
Istri sedang bermain (melali) ke setra pamajangan. (Lihat gambar 4)
ii. Ia diganggu (kagulgul/kecandain) oleh Ida Bhatara Sakti. (Lihat
gambar 5)
iii. Karena Ida Bhatara Rarung tidak suka karena terganggu, maka beliau
mengadu dengan ibunya. (Lihat gambar 6)
iv. Ida Bhatara Istri datang dan memarahi Ida Bhatara Sakti. Terjadilah
peperangan antara keduanya dengan diiringi lenda-lendi, instrumen
gamelan yang dramatis. (Lihat gambar 7)
v. Akhirnya, Ida Bhatara Sakti kalah dalam cerita.
vi. Ketika Ida Bhatara Istri menyatakan menang, mulailah krama yang
kesenening narat (kerangsukan). Penetral orang yang narat bermacam-
macam, antara lain: tirta wangsuh Ida Bhatara Sakti, pitik selem
(hitam), dupa, dan telur ayam kampung. (Lihat gambar 8)
• Alur Mesolah
Berdasarkan hasil wawancara, sesolahan tari sakral ini bertujuan untuk
menetralkan buthakala atau aura negatif yang ada dan sebagai momen untuk pemedek
yang ingin naur sesangi (membayar kaul/sumpah) dan untuk memohon keselamatan
bhuana alit dan bhuana agung.
Untuk mempersembahkan sesolahan ini, sebelumnya harus dihaturkan
sejumlah banten dan sesajen berupa banten pakideh, pejati, peras gong, dan peras tapel
untuk ngatur piuning (memohon izin) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa demi
kelancaran sesolahan. Ditambah dengan ngiasin (menghias) pengangge barong dengan
bunga. Para pemundut memakai gelang kaki dan sarung tangan khusus tari tersebut.
Sesolahan diawali dengan iringan tabuh dan Barong ngelawang yang bertujuan
untuk nyomia (menenteramkan) para krama (pemedek) yang menonton di Pura.

2
Rangda berarti janda, nama lain Calonarang, seorang janda dari desa Girah Dirah yang mempraktikkan ilmu
hitam pengeleakan. Ia juga disebut Randaning Dirah dan wujud mukanya berupa sebuah topeng yang sangat
menakutkan. Taringnya mencuat ke luar, mata melotot, lidah menjulur ke bawah, dan rambutnya lebat
memanjang. Topeng Rangda ini dapat dipakai untuk menokohkan watak yang angker, sakti, dan jahat. Sumber:
de Zoete and Walter Spies.1973:178
Selanjutnya, dipentaskan tarian-tarian topeng seperti jauk dan tari telek. Setelahnya,
barulah dimulai sesolahan Ida Bhatara Sakti. Namun, di pertengahan cerita, ketika
sebelum Ida Bhatara Istri mesolah, dihaturkan kembali beberapa banten, meliputi
pejati, labaan pitik selem, dll.
“Niki pinaka pangeling sang sane mundut sampun karagain antuk Ida Bhatara.”
Jelas Pak Komang Pasek, selaku narasumber yang kami wawancarai pada Kamis, 18
Januari 2022.
Setelah sesolahan selesai, dilakukan penetralan terhadap orang-orang
kerangsukan dan ritual naur sesangi oleh pemedek yang ngaturang
(mempersembahkan) sesangi.
C. Lampiran

Gambar 2 Suasana ketika Ida Sesuhunan Mesolah di Pura Dalem Desa Pikat
Sumber: Dok. Pribadi (05/01/2022)

Gambar 3 Suasana ketika sesolahan akan dimulai di Pura Dalem Desa Pikat
Sumber: Dok. Pribadi (05/01/2022)
Gambar 4 Alur cerita (i)
Sumber: https://youtu.be/KujqYW8UrPw

Gambar 5 Alur cerita (ii)


Sumber: https://youtu.be/KujqYW8UrPw

Gambar 6 Alur cerita (iii)


Sumber: https://youtu.be/KujqYW8UrPw
Gambar 7 Alur cerita (iv)
Sumber: https://youtu.be/KujqYW8UrPw

Gambar 8 Alur cerita (v)


Sumber: https://youtu.be/KujqYW8UrPw

Gambar 9 Alur cerita (vi)


Sumber: https://youtu.be/S1QAiBkw1mQ

You might also like