You are on page 1of 11

Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016

Hal. 82-92

PENGARUH SUHU PENGERINGAN YANG BERBEDA TERHADAP


KUALITAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.)

Evi Ari Parfiyanti, Rini Budihastuti1, Endah Dwi Hastuti1


Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Tembalang,
Semarang 50275 Telepon (024) 7474754; Fax. (024) 76480690
email: eviariparfiyanti@gmail.com

ABSTRACT

Chili pepper has a high economic value but it belongs to the type of fruit that can easily damage because of the
climacteric phase, therefore, it is needed a proper postharvest handling, either by drying with different
temperatures for 14 hours. The research objective is to find out the effect of drying temperature for the quality
of chili pepper and find out the best drying temperature that influences the quality of chili pepper. The research
design that used is completely randomized design (CRD) with three replications. The drying temperatures that
use are T1 (50°C), T2 (60°C) and T3 (70°C). The research parameter consists of weight loss, water content,
vitamin C and discoloration. Methods of analyzing the data that used is analysis of variance (ANOVA)
continued by significant different test of Duncan Multiple Range Test (DMRT) at the 95% signification level.
The chili pepper that drainaged in temperature of 50°C can shows the best result for defend of chili pepper color
and texture. The highest contens of vitamin C can be found in temperature of 50°C that show the number of
63.287 mg%. The drying temperature of 70°C give the highest weight loss that show the number of 3.833% and
give the lowest water content for about 72.4%. The research of study show that the drying temperature influence
the alteration of chili pepper quality which show the result that it can decrease the fruit weight loss, the water
content of chili pepper, vitamin C contens and also the color and the texture of chili pepper.

Keywords: Chili pepper, drying temperature, weight loss, water content, vitamin C

ABSTRAK

Cabai rawit memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi namun cabai rawit termasuk ke dalam jenis buah yang
mudah rusak karena mengalami fase klimakterik, oleh karena itu diperlukan penanganan pasca panen yang
tepat, salah satunya dengan pengeringan pada suhu yang berbeda selama 14 jam. Tujuan penelitian adalah
mengetahui pengaruh suhu pengeringan terhadap kualitas cabai rawit dan mengetahui suhu pengeringan yang
paling optimal mempengaruhi kualitas cabai rawit. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 3 pengulangan. Suhu pengeringan yang digunakan adalah T 1 (50oC), T2 (60oC)
dan T3 (70oC). Parameter penelitian terdiri dari susut bobot, kadar air, vitamin C serta perubahan tekstur dan
warna. Analisis data yang digunakan adalah analysis of Variance (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji
berbeda nyata Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf signifikasi 95%. Cabai rawit yang dikeringkan
dengan suhu 50oC mampu menghasilkan kandungan vitamin C paling tinggi, yaitu sebesar 63,287 mg% serta
tekstur dan warna sedikit mengalami perubahan. Suhu pengeringan 70 oC menghasilkan susut bobot paling
tinggi, yaitu sebesar 12,133% dan menghasilkan kadar air paling rendah, yaitu sebesar 72,4%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap perubahan kualitas cabai rawit yaitu dapat
menurunkan susut bobot buah, kadar air cabai rawit, kandungan vitamin C, serta mempengaruhi warna dan
tekstur.

Kata kunci: Cabai rawit, suhu pengeringan, susut bobot, kadar air, vitamin C
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

PENDAHULUAN diperiksa, semua buah C. frutescens


Indonesia merupakan negara agraris mengandung capsaicinoid yang tinggi,
yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dibandingkan dengan jenis lain seperti C.
yang melimpah, terutama pada bidang annum. Senyawa capsaicinoid merupakan
pertanian. Tanaman cabai merupakan suatu senyawa yang bertanggung jawab terhadap
komoditas pertanian yang sangat berpotensi di rasa pedas dari cabai. Capsaicinoid merupakan
Indonesia dan telah dikenal lama oleh kelompok senyawa amida dari vanililamin
masyarakat untuk berbagai macam kebutuhan, dengan asam lemak rantai bercabang dengan
salah satunya sebagai penyedap makanan. panjang rantai karbon 9 sampai 11. Menurut
Indonesia sendiri memiliki iklim tropis yang Rajput dan Parulekar (1998), capsaicin
sangat cocok untuk ditanami tanaman cabai merupakan senyawa yang mempunyai
dengan berbagai varietas. Menurut konsentrasi terbesar diantara senyawa-
Kusandriani (1996) dan Ameriana dkk (1998), senyawa penyusun rasa pedas lainnya, yaitu
daerah penanaman cabai sangat luas karena sekitar 69% dari total capsaicinoid.
dapat ditanam di dataran rendah maupun Cabai selalu mengalami fluktuasi
dataran tinggi, sehingga banyak petani di harga yang ditentukan oleh masa panen
Indonesia yang menanam cabai. (Arifin, 2010). Kekhawatiran lain yang sering
Menurut Badan Pusat Statistik (2013), terjadi pada cabai selain harganya yang tidak
produksi cabai besar segar dengan tangkai di menentu adalah karakteristik cabai yang
Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 954.36 mudah rusak, sehingga tingkat kesegarannya
ribu ton, sedangkan produksi cabai rawit segar sulit dipertahankan. Jenis kerusakan pada
dengan tangkai sebanyak 702.25 ribu ton. cabai umumnya adalah kerusakan biologis dan
Cabai merupakan komoditas hortikultura kerusakan patologis. Santika (1999),
penting di Indonesia yang tidak dapat menyatakan bahwa cabai mempunyai prospek
dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari, cerah sebagai komoditas yang bernilai
terutama penggunaannya dalam skala rumah ekonomi tinggi karena salah satu
tangga. Jenis cabai yang umum ditemui pada pemanfaatannya sebagai bahan baku industri.
pasar Indonesia antara lain adalah cabai besar Komoditas ini dari sisi lain juga mempunyai
(Capsicum annum) dan cabai rawit (Capsicum peluang sebagai komoditas ekspor dan dapat
frutescens). menaikkan ekonomi negara dan pendapatan
Cabai rawit (Capsicum frutescens) petani itu sendiri.
merupakan salah satu jenis cabai yang banyak Penanganan pasca panen cabai masih
diminati oleh masyarakat Indonesia. Tingkat sangat kurang diperhatikan, sehingga perlu
kepedasan cabai rawit lebih tinggi daripada adanya penanganan yang dapat
jenis cabai besar. Menurut Sukrasno dkk mempertahankan nilai ekonomi dan komoditi
(1997), dari 25 macam buah cabai yang telah tersebut, salah satunya melalui pengeringan.
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

Pengeringan dimaksudkan untuk Menurut Yuliana dkk (1991), cabai


menghilangkan sejumlah air dari bahan yang perlu dikeringkan sampai kadar airnya
dikeringkan dengan cara penguapan. Produksi mencapai 10%. Pengeringan yang terlalu lama
yang melimpah pada saat panen raya dapat dapat menyebabkan susut minyak atsirinya
ditangani melalui pengeringan. Pengeringan dan juga berpengaruh terhadap kepedasan dan
secara garis besar dapat dilakukan dengan dua warna cabai kering. Lease and Lease dalam
cara, yaitu pengeringan alami dan buatan Hartuti (1993), menyatakan bahwa pada
(Hartuti dan Sinaga, 1997). temperatur 65oC waktu yang digunakan untuk
Vitamin C disebut juga asam askorbat proses pengeringan berkisar 12 jam dan untuk
dan merupakan salah satu jenis vitamin yang cabai yang di potong-potong membutuhkan
terkandung dalam cabai. Vitamin C waktu 6 jam.
merupakan vitamin yang mudah rusak dan Pasca panen komoditas cabai secara
larut dalam air. Salah satu fungsi utama dari tepat ditunjukkan untuk meningkatkan nilai
vitamin C adalah berperan dalam tambah dari komoditas tersebut, memperkecil
pembentukan kolagen dalam jaringan ikat, tingkat kehilangan hasil atau kerusakan,
pembentukan gigi dan metabolisme tirosin meningkatkan daya simpan dan daya guna,
(Naidu, 2003). Berdasarkan manfaat dari menunjang usaha penyediaan pangan dan
senyawa inilah peneliti ingin mengetahui perbaikan gizi masyarakat, penyediaan bahan
kandungan vitamin C yang ada pada buah baku industri dan meningkatkan pendapatan
cabai rawit dengan menggunakan suhu petani (Santika, 1999). Cabai secara
pengeringan yang berbeda. internasional banyak dimanfaatkan dan
Pengeringan merupakan salah satu diperdagangkan dalam bentuk kering.
cara untuk pengawetan pasca panen yang Berdasarkan permasalahan yang ada, yaitu
dapat menjaga kualitas dari produk yang penurunan kualitas produksi cabai rawit pasca
dihasilkan. Pengeringan menggunakan metode panen, maka penulis akan melakukan
oven memiliki kelebihan dan kekurangan. penelitian terhadap penanganan pasca panen
Kelebihannya antara lain suhu yang digunakan dengan cara pengeringan cabai rawit pada
dapat ditentukan dan pengeringan dapat suhu yang berbeda dan diharapkan mampu
berjalan lebih cepat karena tidak tergantung mempertahankan kualitas yang ada.
cuaca, sedangkan kekurangannya adalah dapat
mengubah sifat bahan yang dikeringkan akibat METODOLOGI
suhu yang terlalu tinggi seperti perubahan Tempat dan Waktu Penelitian
tekstur dan warna buah. Menurut Mahanom et Penelitian dilakukan pada November
al (1999), perubahan tekstur dan warna setelah 2014-Januari 2015 di Laboratorium Biologi
proses pengeringan menjadi salah satu daya Struktur dan Fungsi Tumbuhan, Jurusan
pikat tersendiri bagi konsumen. Biologi, Fakultas Sains dan Matematika,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

Bahan dan Alat serta lama pengeringan suhu oven selama 14


Alat-alat yang digunakan dalam jam.
penelitian yaitu oven, pisau, blender,
timbangan digital, erlenmeyer, gelas ukur, Penentuan Kandungan Vitamin C
corong, kertas saring, batang pengaduk, botol Kandungan vitamin C diuji dengan
sampel, dan kamera. Bahan-bahan yang menggunakan metode titrasi. Cabai rawit yang
digunakan untuk penelitian adalah cabai rawit telah dikeringkan kemudian diblender. Cabai
yang diambil dari Klaten Jawa Tengah, kemudian dimasukan kedalam tabung
aquades dan larutan iodium. erlenmeyer dan ditimbang sebanyak 5 g
menggunakan timbangan analitik. Aquades
Cara kerja
ditambahkan kedalam sampel sebanyak 25 ml.
Pengambilan sampel
Larutan iodium 0,01 N kemudian dimasukan
Cabai rawit dipilih yang kenampakan fisiknya
kedalam buret 25 ml, setelah itu dititrasi
baik. Cabai yang diambil dapat dilihat dari
hingga warnanya menjadi biru kehitaman.
warnanya yang merah merata dan besarnya
relatif sama. Tanaman cabai yang dipanen Rancangan Penelitian
cabainya diperkirakan umurnya antara 60-75 Penelitian ini dilaksanakan dengan
hari setelah tanam. menggunakan Rancangan Acak Lengkap
Sortasi dan Pencucian (RAL) dengan satu faktor yaitu suhu
Cabai rawit disortasi pengeringan, terdapat 4 perlakuan: T0 (27oC),
berdasarkan warna dan ukuran yang relatif T1 (50oC), T2 (60oC), dan T3 (70oC), masing-
sama. Cabai tersebutdibuang tangkainya masing dengan 3 kali ulangan. Setiap
dan dicuci menggunakan aquades perlakuan pada masing-masing ulangan
untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menggunakan 50 g cabai rawit.
menempel, kemudian dikering anginkan
dengan bantuan kipas angin sampai benar- Parameter Penelitian

benar kering. Sebelum dilakukan pengeringan, Pengukuran Susut Bobot

cabai ditimbang terlebih dahulu. Perlakuan Pengukuran susut bobot dilakukan

Cabai yang telah bersih kemudian dengan menimbang berat awal dan berat

ditimbang masing-masing 50 g. Lease and kering cabai rawit setelah proses pengeringan

Lease dalam Hartuti (1993), menyatakan dengan suhu berbeda menggunakan neraca

bahwa pada temperatur 65oC waktu yang digital.


Bobot Awal – Bobot Akhir
digunakan untuk proses pengeringan cabai x 100%
yang tidak di potong-potong berkisar 12 jam. Bobot Awal
Berdasarkan hal tersebut diambil 4 perlakuan
Pengukuran Kadar Air
suhu pengeringan untuk penelitian, yaitu suhu
Pengukuran kadar air cabai rawit
ruang 27oC (kontrol), 50oC, 60oC dan 70oC
dapat ditentukan dengan pemanasan oven
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

terhadap cabai rawit setelah perlakuan


pengeringan. Sampel ditimbang sebanyak 3 g,
kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan Tabel 1. Rerata Hasil Susut Bobot (%) Cabai
o
suhu pemanasan 105-110 C sampai mencapai Rawit pada Suhu yang Berbeda
berat yang konstan. Suhu Susut Bobot
Berat Sampel – Berat Konstan T0 (Suhu 27oC) 0,267c

Berat Sampel x 100%


T1 (Suhu 50oC) 3,833c

Pengukuran Kandungan Vitamin C T2 (Suhu 60oC) 7,727b


Kandungan vitamin C setelah
T3 (Suhu 70oC) 12,133a
pengeringan ditentukan dengan cara cabai
rawit diblender dan dilakukan pengujian Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf
yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
dengan menggunakan metode titrasi.
nyata berdasarkan uji Duncan’s pada taraf
Pengukuran vitamin C dapat dihitung dengan kepercayaan 95%.
rumus:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Kadar = ml titran x N I2 x x
( ) proses pengeringan mampu mengurangi susut
Perubahan Tekstur dan Warna bobot pada cabai rawit. Berdasarkan Tabel 4
Perubahan tekstur dan warna cabai dan Gambar 2 yang disajikan, cabai rawit
rawit diamati dengan cara melihat tekstur dan dalam suhu kamar 27oC atau kontrol (T0)
warna buah cabai rawit yang terjadi setelah memiliki susut bobot yang paling rendah
proses pengeringan dan dibandingkan dengan dibandingkan dengan suhu 50oC (T1), suhu
tekstur dan warna buah cabai rawit sebelum 60oC (T2) dan suhu 70oC (T3), yaitu sebesar
proses pengeringan secara deskriptif. 0,267%. Perlakuan suhu 50oC (T1) memiliki
Analisis Data rata-rata susut bobot sebesar 3,833% dan
Data susut bobot, kadar air dan perlakuan suhu 60oC (T2) sebesar 7,727%.
vitamin C yang diperoleh selanjutnya Perlakuan dengan suhu 70oC pada penelitian
dianalisis menggunakan Analysis of Varience ini mengalami susut bobot yang paling tinggi,
(ANOVA) dan apabila menghasilkan beda yaitu sebesar 12,133%. Perlakuan pengeringan
nyata maka dilakukan uji Duncan pada taraf dengan suhu 70oC menghasilkan panas yang
signifikasi 95%, sedangkan data warna dan tinggi dan mampu menghilangkan susut bobot
tekstur disajikan secara deskriptif. cabai rawit lebih besar dibandingkan
perlakuan lainnya dengan suhu 50oC dan 60oC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hal ini terjadi disebabkan karena semakin
Susut Bobot
tinggi suhu pengeringan maka kecepatan aliran
Hasil uji Anova menunjukkan bahwa
udara pada proses pengeringan juga akan
suhu pengeringan berpengaruh terhadap susut
semakin cepat penguapan dalam sel-sel
bobot cabai rawit (P<0,05).
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

sehingga mempengaruhi susut bobot pada


cabai rawit.
Tabel 2. Rerata Hasil Kadar Air (%) Cabai
Pengeringan dimaksudkan untuk Rawit pada Suhu yang Berbeda
menghilangkan sejumlah air dari bahan yang
dikeringkan dengan cara penguapan. Metode
Suhu Kadar Air

pengeringan pada dasarnya bertujuan untuk T0 (Suhu 27oC) 81,2a


memperpanjang masa simpan bahan pangan T1 (Suhu 50oC) 77,73b
dan mempertahankan komponen-komponen T2 (Suhu 60oC) 75,96c
yang ada dalam bahan pangan (Hartuti dan T3 (Suhu 70oC) 72,4d
Sinaga, 1993). Menurut Siagian (2009) susut
Keterangan: Angka-angka yang diikuti
bobot buah adalah kehilangan air dari dalam huruf yang berbeda menunjukkan
buah diakibatkan oleh proses respirasi dan perbedaan yang nyata berdasarkan uji
Duncan’s pada taraf kepercayaan 95%.
transpirasi pada buah tersebut. Meningkatnya
laju respirasi akan menyebabkan perombakan Hasil penelitian menunjukkan bahwa
senyawa seperti karbohidrat dalam buah dan proses pengeringan mampu mempengaruhi
menghasilkan CO2, energi dan air yang dan menghilangkan kadar air pada cabai rawit.

menguap melalui permukaan kulit buah yang Kadar air merupakan salah satu sifat kimia

menyebabkan kehilangan bobot pada buah. dari bahan pangan yang menunjukkan

Respirasi dan transpirasi yang cepat banyaknya air yang terkandung di dalam

akibat proses pengeringan akan menyebabkan bahan pangan. Berdasarkan Tabel 5 dan

kenaikan susut bobot. Menurut Pratiwi (2008), Gambar 3, cabai rawit pada suhu kamar 27oC

transpirasi merupakan faktor dominan atau kontrol (T0) memiliki rata-rata kadar air

penyebab susut bobot, yaitu terjadi perubahan yang paling tinggi dibandingkan dengan

fisikokimia berupa pelepasan air ke perlakuan suhu 50oC (T1), suhu 60oC (T2) dan

lingkungan. Menurut Winarno (1981), selain suhu 70oC (T3), yaitu sebesar 81,2%.
transpirasi penyebab lainnya adalah respirasi. Perlakuan suhu 50oC (T1) memiliki rata-rata
Respirasi merupakan proses katabolisme atau kadar air sebesar 77,73% dan perlakuan suhu
penguraian senyawa organik menjadi senyawa 60oC (T2) sebesar 75,96%. Perlakuan dengan
anorganik. Proses keseluruhan merupakan suhu 70oC memiliki rata-rata kadar air yang
reaksi oksidasi-reduksi, yaitu senyawa paling rendah, yaitu sebesar 72,4%. Hal ini
dioksidasi menjadi CO2 dan O2 yang diserap menunjukkan bahwa perlakuan suhu
direduksi menjadi H2O. pengeringan mampu mempengaruhi kadar air,
air akan menguap dan berdifusi melalui
Kadar air permukaan buah ke udara. Menurut Astuti
Hasil uji Anova menunjukkan suhu (2010), pengeringan adalah suatu metode
pengeringan berpengaruh (P< 0,05) terhadap untuk mengeluarkan atau menghilangkan
kadar air cabai rawit. sebagian air dari suatu bahan dengan cara
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

menguapkan air tersebut dengan menggunakan


energi panas.
Kadar air merupakan banyaknya air
Vitamin C
yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan
Hasil uji Anova menunjukkan suhu
dalam persen. Kadar air juga salah satu
pengeringan berpengaruh (P< 0,05) terhadap
karakteristik yang sangat penting pada bahan
kandungan vitamin C cabai rawit.
pangan, karena air dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan Tabel 3. Rerata Hasil Kandungan Vitamin C
pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut Cabai Rawit pada Suhu yang Berbeda
menentukan kesegaran dan daya awet bahan
Suhu Vitamin C
pangan tersebut, kadar air yang tinggi 149,943a
o
T0 (Suhu 27 C)
mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan 63,287b
T1 (Suhu 50oC)
khamir untuk berkembang biak, sehingga akan 55,353b
terjadi perubahan pada bahan pangan T2 (Suhu 60oC)
26,850c
(Winarno, 1997).
T3 (Suhu 70oC)
Perlakuan suhu 27oC, suhu 50oC, suhu
60oC dan suhu 70oC pada penelitian ini masih Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf
belum optimal. Kadar air pada setiap yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
perlakuan masih cukup tinggi untuk dijadikan nyata berdasarkan uji Duncan’s pada taraf
olahan cabai kering maupun pembuatan kepercayaan 95%.
simplisia. Cabai rawit dengan kadar air yang Vitamin C tergolong dalam
tinggi tidak bisa disimpan terlalu lama karena antioksidan alami. Vitamin C mengandung
resiko mengalami kebusukan dan ditumbuhi asam askorbat yang mudah dioksidasi menjadi
jamur masih sangat tinggi. Menurut Endrasari, asam dehidroaskorbat yang berperan dalam
dkk (2008), tujuan pengeringan adalah menghambat reaksi oksidasi yang berlebihan
menurunkan kadar air, sehingga tidak mudah (Kumalaningsih, 2006). Proses pengeringan
ditumbuhi kapang dan bakteri, menghilangkan selama 14 jam dengan suhu yang berbeda pada
aktivitas enzim yang bisa menguraikan cabai rawit mampu mempengaruhi kandungan
kandungan zat aktif, memudahkan proses vitamin C yang terkandung didalamnya.
pengolahan selanjutnya, sehingga dapat lebih Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 4,
ringkas, tahan lama dan mudah disimpan. kandungan vitamin C pada suhu kamar 27 oC
Sudarso dan Ratriningsih (1999) atau kontrol (T0) memiliki rata-rata yang
menambahkan, bahwa kadar air untuk cabai paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
rawit kering yang telah ditentukan oleh suhu 50oC (T1), suhu 60oC (T2) dan suhu
Standar Perdagangan Indonesia maksimal 70oC (T3), yaitu sebesar 149,943 mg%.
adalah 11%. Perlakuan suhu 50oC (T1) memiliki rata-rata
kandungan vitamin C sebesar 63,287 mg%,
sedangkan
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

perlakuan suhu 60oC (T2) sebesar 55,353 mg hydrogen peroksida. Dehidro asam askorbat
%. Kandungan vitamin C paling rendah (asam L-dehidroaskorbat) merupakan bentuk
terdapat pada perlakuan suhu 70oC (T3), yaitu oksidasi dari asam L-askorbat yang masih
sebesar 26,850 mg%. Hal ini menunjukkan mempunyai keaktifan sebagai vitamin C.
bahwa proses pengeringan dengan suhu tinggi Namun asam L-dehidroaskorbat bersifat
mampu menurunkan kandungan vitamin C sangat labil dan dapat mengalami perubahan
yang terdapat pada cabai rawit. Penurunan menjadi 2.3-L-diketogulonat (DKG). DKG
vitamin C ini dapat terjadi karena sifat vitamin yang terbentuk sudah tidak mempunyai
C yang tidak stabil dan mudah terdegradasi keaktifan vitamin C lagi, sehingga jika DKG
terutama oleh temperatur. tersebut sudah terbentuk maka akan
Vitamin C merupakan senyawa yang mengurangi bahkan menghilangkan vitamin C
mudah hilang akibat panas yang dihasilkan yang ada dalam produk.
dari proses pengeringan. Penurunan vitamin C
disebabkan karena vitamin C mudah sekali Warna dan Tekstur
terdegradasi, baik oleh temperatur, cahaya Hasil penelitian menunjukkan bahwa
maupun udara sekitar. Proses penurunan atau adanya perubahan tekstur dan warna pada
kerusakan vitamin C oleh temperatur disebut cabai rawit setelah terjadi proses pengeringan
oksidasi. Menurut Harper et al (1981) vitamin dengan suhu yang berbeda selama 14 jam.
C bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi jika Perubahan warna dan tekstur pada cabai rawit
terkena udara (oksigen) dan proses ini dapat dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.
dipercepat oleh panas. Vitamin C mudah
teroksidasi karena senyawanya mengandung
gugus fungsi hidroksi (OH) yang sangat
reaktif.
Penurunan kandungan vitamin C pada
(a) (b)
penelitian terjadi karena adanya proses
oksidasi spontan, dimana reaksi ini terjadi
tidak menggunakan enzim tetapi dipengaruhi
oleh temperatur maupun udara sekitar.
Menurut Andarwulan dan Sutrisno (1992),
mekanisme oksidasi spontan terjadi dengan (c) (d)

urutan: monoanion asam askorbat merupakan Gambar 1. Warna dan tekstur buah cabai rawit
setelah pengeringan dengan suhu
sasaran penyerangan oksidasi oleh molekul yang berbeda: a. Kontrol (Suhu
oksigen yang menghasilkan radikal anion 27oC); b. Suhu 50oC; c. Suhu 60oC
askorbat dan H2O lalu diikuti dengan dan d. Suhu 70oC

pembentukan dehidro asam askorbat dan


Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

Proses pengeringan selama 14 jam Menurut Yuliana dkk (1991), cabai


dengan suhu yang berbeda memberikan yang dikeringan terlalu lama dapat
perubahan tekstur dan warna pada cabai rawit. menyebabkan susut minyak atsirinya dan juga
Perlakuan T0 dengan suhu ruang 27oC berpengaruh terhadap kepedasan dan warna
(kontrol) dijadikan sebagai pembanding untuk cabai kering. Muchtadi, dkk (2010)
perlakuan lainnya dimana pada perlakuan ini menambahkan bahwa pemanasan dapat
cabai rawit memiliki warna merah cerah merusak ikatan antara senyawa nitrogen dan
dengan tekstur buah yang masih keras, segar magnesium yang terdapat pada pigmen seperti
dan mengandung banyak air. Menurut klorofil maupun karotenoid. Saat magnesium
Mahanom et al (1999), perubahan warna dan (Mg) dilepaskan maka akan digantikan oleh
tekstur akibat proses pengeringan akan dua molekul hidrogen, sehingga akan
memberikan pengaruh dan penilaian dari terbentuk formasi baru berupa feofitin yang
konsumen.
berwarna kecoklatan.
Proses pengeringan dapat
Tabel 3. Perubahan Warna Cabai Rawit
mempengaruhi perubahan warna buah cabai
Setelah Pengeringan
rawit. Warna buah pada cabai disebabkan oleh
Suhu Warna
pigmen yang dikandungnya seperti klorofil,
T0 (Suhu 27oC) Merah
karoten, dan likopen. Warna yang berubah
T1 (Suhu 50oC) Merah
disebabkan oleh adanya proses degradasi
Pucat T2 (Suhu 60oC) Orange maupun proses sintesis dari pigmen-pigmen
T3 (Suhu 70oC) Orange tersebut misalnya degradasi klorofil yang
diikuti dengan munculnya pigmen likopen.
Perlakuan T1 (suhu 50oC)
Menurut Dutta, dkk (2005), warna merah pada
menghasilkan cabai rawit dengan warna merah
cabai berasal dari kandungan pigmen
agak pucat. Perlakuan T2 (suhu 60oC)
karotenoid. Karotenoid merupakan suatu
menghasilkan cabai rawit dengan warna yang pigmen berwarna oranye, merah, atau kuning
berubah dari sebelumnya merah menjadi
bergantung pada jenis dan konsentrasinya.
orange, sedangkan perlakuan T3 (suhu 70oC)
Senyawa ini sangat sensitif terhadap alkali dan
menghasilkan cabai rawit dengan warna juga udara atau temperatur terutama pada suhu
orange sedikit kecoklatan. Perubahan- tinggi.
perubahan yang terjadi pada cabai rawit
tersebut disebabkan oleh pengaruh Tabel 4. Perubahan Tekstur Cabai Rawit
pengeringan dengan oven. Pengeringan
Suhu Tekstur
dengan suhu yang berbeda selama 14 jam yang
T0 (Suhu 27oC) Keras - Halus
diberikan menyebabkan perbedaan hasil dari
T1 (Suhu 50oC) Lunak - Berkerut (+)
setiap perlakuan.
T2 (Suhu 60oC) Lunak - Berkerut (++)

T3 (Suhu 70oC) Kering - Berkerut (+++)


Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

Setelah Pengeringan kadar air, kandungan vitamin C, serta tekstur


dan warna. Perlakuan pada suhu
Perlakuan T1 (suhu 50oC)
menghasilkan cabai rawit dengan tekstur yang pengeringan 50oC mampu menghasilkan

lunak dan masih basah. Perlakuan T2 (suhu kandungan vitamin C paling tinggi, yaitu
60oC) menghasilkan cabai rawit dengan tekstur sebesar 63,287 mg%, serta tekstur dan
yang berubah dari sebelumnya keras dan segar warna sedikit mengalami perubahan.
menjadi lunak dengan permukaan buahnya Perlakuan pada suhu pengeringan 70oC
yang berkerut, sedangkan perlakuan T3 (suhu menghasilkan susut bobot paling tinggi
o
70 C) menghasilkan cabai rawit dengan tekstur (12,133%) dan kadar air paling rendah
buah yang kering dengan permukaan yang
(72,4%), namun kadar air ini masih terlalu
berkerut banyak. Perubahan-perubahan yang
tinggi untuk standar mutu pengeringan.
terjadi pada cabai rawit tersebut disebabkan
oleh pengaruh pengeringan dengan oven. DAFTAR PUSTAKA
Pengeringan dengan suhu yang berbeda Andarwulan, N. dan K. Sutrisno. 1992. Kimia
selama 14 jam yang diberikan menyebabkan Vitamin. Jakarta: Rajawali Press

perbedaan hasil dari setiap perlakuan. Arifin, I. 2010. Pengaruh Cara dan Lama
Penyimpanan Terhadap Mutu Cabai
Menurut Mahanom et al (1999)
Rawit (Capsicum frutescens L. var.
tekstur dipengaruhi oleh tekanan turgor dari Cengek). Skripsi. Malang: Fakultas
Sains dan Teknologi, UIN
sel-sel buah yang hidup, jika air di dalam sel
berkurang akibat pengeringan, maka sel akan Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Cabai
Besar, Cabai Rawit, dan Bawang
menjadi lunak, lemas dan kering sehingga Merah Tahun 2012. Berita Resmi
buah akan mengkerut. Muchtadi, dkk (2010) Statistik No.54/08/ Th. XVI
menambahkan bahwa tekstur atau kekerasan Dutta, D., U. R. Chaudhuri and R.
sayur-sayuran sama halnya dengan tekstur Chakraborty. 2004. Retention of β-
carotene in frozen carrots under
buah-buahan dan tanaman lainnya, yaitu frying condition of temperature and
dipengaruhi oleh turgor dari sel-sel yang masih time of storage. India: Jadavpur
University
hidup. Turgor adalah tekanan dari isi sel
Endrasari, Retno, Qanytah dan Prayudi, B.
terhadap dinding sel. Jika air di dalam sel 2008. Pengaruh Pengeringan
berkurang maka sel akan menjadi lunak dan Terhadap Mutu Simplisia
Temulawak di Kecamatan
lemas. Tembalang Kota Semarang.
Semarang, Jawa Tengah: Balai
KESIMPULAN Pengkajian Teknologi Pertanian
Perlakuan pada suhu pengeringan Harper, H. A., P. A. Mayes, D. W. Martin and
yang berbeda memberikan perngaruh terhadap V. W. Rodwell. 1981. Harper’s
Review of Biochemistry. 19th Edition.
kualitas yang terdapat pada cabai rawit Los Altos. Lange Medical
(Capsicum frutescens L.) seperti susut bobot, Publications
Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016
Hal. 82-92

Hartuti, N. dan R. M. Sinaga. 1993. Pengaruh Sudarso, Y. dan D. A. Ratrinigsih. 1999.


Bahan Pencelup dan Tingkat Pengeringan Cabai. Jakarta: Penebar
Kematangan terhadap Mutu Cabai Swadaya
Rawit (Capsicum frutescens L.)
Kering. Buletin Penelitian Sukrasno, K. Siti, T. Sasanti dan N. C.
Hortikultura Vol. XXV No.2: 1-13 Sugiarso. 1997. Kandungan
Kapsaisin dan Dihidprokapsaisin
Hartuti, N. dan R. M. Sinaga. 1997. pada Berbagai Buah Capsicum. JMS
Pengeringan Cabai. Monograf No.8. Vol.2 No.1: 28-34
Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Winarno, F. G. dan M. Aman. 1981. Fisiologi
Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami. Lepas Panen. Jakarta: Sastra Hudaya
Surabaya: Trubus Agrisarana
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi.
Lease and Lease dalam Hartuti dan Sinaga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
1993. Pengaruh Bahan Pencelup dan
Tingkat Kematangan terhadap Mutu Yuliana, N., T. Hanum dan Karyono. 1991.
Cabai Rawit (Capsicum frutescens Pengaruh Pembelahan Buah Cabai
L.) Kering. Buletin Penelitian terhadap Rendemen dan Mutu
Hortikultura Vol. XXV No. 2: 1-13 Oleoresin. Jurnal Hortikultura 1(4):
35-39
Mahanom, H., A. H. Azizah and M. H.
Dzulkifli. 1999. Effect of Different
Drying Methods on Concentrations
of Several Phytochemicals in Herbal
Preparation of 8 Medicinal Plants
Leaves. Mal. J Nutr. Vol 5: 47-54

Muchtadi, T. R., Sugiyono dan F.


Ayustaningwarno. 2010. Ilmu
Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor:
Alfabeta

Naidu, K. A. 2003. Vitamin C in Human


Health and Disease is still a Mystery.
An Overview, Nutrition Journal 2: 7

Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi.


Yogyakarta: Erlangga

Rajput, J. C. and Y. R. Parulekar. 1998.


Handbook of Vegetable Science and
Technology: Production,
Composition, Storage and
Processing. Edited by D. K.
Salunkhe and S. S. Kadam. New
York: Marcel Dekker

Santika, A. 1999. Agribisnis Cabai. Jakarta:


Penebar Swadaya

Siagian, S. P. 2009. Manajemen Sumber Daya


Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sopiah

You might also like