You are on page 1of 12

CRITICAL REVIEW MANAJEMEN KONFLIK

Konflik Sosial Warga Pereng Akibat Pembebasan Lahan Tol


Sumo di Sidoarjo

Oleh
Matahari Dyah Arianne
08211540000005

Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota


Fakultas Arsitektur Desain dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
2018
CRITICAL REVIEW JURNAL MANAJEMEN KONFLIK
Judul Jurnal : Konflik Sosial Warga Pereng Akibat Pembebasan Lahan Tol Sumo di
Sidoarjo
Penulis :

- Intan Diany Rachmawati, Prodi S1 Sosiologi, Universitas Negeri Surabaya


- Pambudi Handoyo, Prodi S1 Sosiologi, Universitas Negeri Surabaya
Identitas Jurnal : Jurnal Paradigma, Volume 02 Nomer 03 Tahun 2014

I. IDENTIFIKASI ISU POKOK


A. LATAR BELAKANG
Penyediaan infrastruktur yang memadahi akan mempercepat distribusi barang dan jasa
dari suatu kawasan ke wilayah lainnya. Sehingga akan memacu laju pertumbuhan ekonomi
regional suatu kawasan. Pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional. Salah satu bentuk penyediaan infrastruktur yang dapat berpengaruh positif
pada pertumbuhan ekonomi adalah jalan tol.

Menurut UU nomer 88 Tahun 2013, jalan tol merupakan jalan umum yang pemakainya
harus membayar biaya tol. Selain itu jalan tol mempunyai peran yang signifikan dalam
pengembangan wilayah sehingga terdapat spesifikasi tertentu agar jalan tol mempunyai
kualitas pelayanan lebih dari jalan biasa. Menurut UU nomer 38 tahun 2014 tentang Jalan,
disebutkan bahwa pengusahaan jalan tol dapat dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha
yang memenuhi persyaratan namun wewenang dari penyelenggaraan jalan tol sendiri masih
pada pemerintah melalui BPJT. Hal tersebut diatur lebih detail dalam Perpres No. 13/2010
tentang pengganti Perpres No. 67/ 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha
Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur dapat mempercepat pembangunan jalan tol yang
selama ini tersendat. Dengan adanya Perpres No 13 tahun 2010 ini, investor bisa menjadi
pemrakarsa bila usulan mereka diajukan kepada kementerian/lembaga maupun pemerintah
daerah dan disetujui oleh menteri terkait, sebelum kemudian diajukan kepada menteri
keuangan. Dalam pelaksanaan proyek Jalan Tol, seringkali pihak pelasana perlu melakukan
pembebasan tanah. Menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan demi
kepentingan umum mengatur bahwa pemerintah mempunyai hak untuk mencabut hak atas
tanah jika tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dengan tetap
menghormatihak-hak sah atas tanah.

Pembangunan jalan tol di Jawa Timur bukan hanya sebagai pengurai kemacetan tetapi
juga menjadi salah satu program pemerataan ekonomi. Jawa Timur sebagai salah satu Provinsi
yang menunjang perekonomian nasional berupaya memperbaiki infrastruktur-infrastruktur
yang menunjang peningkatan ekonomi termasuk pembangunan jalan tol. Pada RTRW Provinsi
Jawa Timur tahun 2009-2029 disebutkan bahwa akan ada pembangunan 15 tol baru di Jawa
Timur, salah satunya adalah Tol Surabaya-Mojokerto (Jalan Tol Sumo). Tol ini sudah

2
direncanakan sejak tahun 2007, yang akan dikerjakan oleh PT. Marga Nujyasumo Agung
(MNA). Pada tanggal 19 Agustus 1994 perjanjian kuasa penyelenggaraan Jalan Tol Surabaya-
Mojokerto telah dilakukan oleh PT Marga Nujyasmo Agung (PT MNA). Namun pada
September 1997, proyek Jalan Tol Sumo akhirnya dihentikan akibat krisis moneter (Keppres
No.39/1997) hingga dilanjutkan lagi pada tahun 2007 dalam tahap perencanaan. Proyek ini
dinilai cukup strategis untuk memperlancar arus industri di Surabaya dan Mojokerto.

Meskipun telah direncanakan sejak tahun 2007, proyek Jalan Tol Sumo ini terhambat
hingga tahun 2013. Pembangunan Jalan Tol ini mengalami hambatan dalam melakukan
pembebasan tanah karena belum adanya kesepakatan antara warga Kelurahan Bebekan Pereng
dengan pihak pelaksana proyek yaitu PT. Margo Nujyasumo Agung. Awalnya, masyarakat
yang areanya akan dilalui oleh proyek pembangunan ini tidak seluruhnya menyetujui dengan
pembebasan lahan untuk pembangunan Jalan Tol Sumo. Sampai pada tahun 2014 tercatat
75% lahan telah terselesaikan, dari pihak masyarakat sendiri sebagian telah menyetujui
dengan penawaran yang dilakukan oleh pihak proyek pembangunan jalan tol. Diketahui
pada tahun 2017 Jalan Tol Sumo sudah selesai dikerjakan dan telah resmi dibuka oleh Presiden
Jokowi.

Konflik ini berawal dari Warga Bebekan yang merasa pembangunan tol ini menjadi
pengganggu ketenangan hidup karena harus merelokasi tempat tinggalnya. Harga ganti rugi
yang ditawarkan pihak proyek juga dirasa terlalu rendah sehingga tidak dapat memberikan
kompensasi agar warga dapat membeli rumah di tempat lain. Di sisi lain, konflik ini juga
menghambat perencanaan pembangunan karena banyak waktu yang terbuang untuk
menyelesaikan masalah pembebasan lahan.

Dalam masa penawaran harga ganti rugi, warga telah menyampaikan berbagai alasan untuk
menolak adanya pembebasan tanah ini, namun proyek ini telah berjalan dan telah disetujui
pemerintah. Pembuatan jalan tol sebagai kepentingan umum juga menjadi pertimbangan
dilanjutkannya proyek ini. Berbagai pihak telah dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik
yang ada di Kelurahan Bebekan Pereng ini, namun warga tetap bersikeras untuk tinggal dan
meminta harga ganti rugi yang tinggi dan jauh dari penawaran awal pihak pelaksana proyek.
Untuk menyelesaikan konflik ini perlu pemahaman mendalam akan kelompok yang terlibat,
pemahaman akan pandangan semua kelompok, dan penyebab konflik.

B. KELOMPOK YANG TERLIBAT


Dari jurnal yang menjadi sumber tinjauan kritis ini ditemukan bahwa ada beberapa
kelompok sosial yang terlibat dalam konflik. Kelompok-kelompok ini memiliki agenda dan
pandangan masing2 terhadap konflik tersebut, berikut ini adalah uraian tentang identitas dan
peran masing-masing kelompok
1. Warga Kelurahan Bebekan Pereng
Warga Kelurahan Bebekan Pereng merupakan kelompok yang mengalami konflik secara
langsung. Kelompok tersebut terkena dampak pembangunan Jalan Tol Sumo yang
mengharuskan mereka untuk menjual tanahnya ke pihak pelaksana proyek agar proyek tersebut

3
dapat berjalan. Terdapat sekitar 300 warga yang masuk dalam kelompok tersebut, dikarenakan
mereka semua mengalami konflik yang sama.

Pada awalnya terdapat dua golongan warga di Kelurahan Bebekan Pereng, golongan yang
menerima tawaran dan yang kedua menolak tawaran. Golongan warga yang menolak tawaran
tersebut melakukan pergerakan untuk mengumpulkan warga lain yang menolak sehingga
terbentuklah sebuah kelompok sosial. Gerakan berikutnya dari warga yang menolak adalah
mengajak diskusi warga yang menerima agar ikut menolak tawaran tersebut. Kelompok
tersebut juga mengajak warga yang rumah dan tanahnya tidak termasuk dalam pembebasan
lahan untuk melakukan aksi protes. Mereka menuntut kompensasi untuk kerugian seperti suara
yang bising, debu, getaran, dan kerusakan saluran air yang ditimbulkan oleh proyek. Gerakan
tersebut berhasil sehingga terbentuklah kelompok yang lebih besar lagi.

Terdapat gerakan kolektif yang akhirnya menimbulkan konflik karena pihak pelaksana
proyek tidak bisa membeli tanah dan melibatkan pihak lain untuk menyelesaikan konflik
hingga terjadi konsinyasi. Meskipun kelompok ini mempunyai hegemoni yang besar terdapat
warga yang tetap menerima tawaran tersebut meskipun hanya sedikit.

Setelah 6 tahun berkonflik dengan pihak pelaksana proyek sebagian besar warga telah
menjual tanahnya kepada pihak pelaksana proyek dengan harga yang telah disetujui dan telah
pindah, sisanya harus menerima penjualan tersebut lewat konsinyasi, masi terdapat beberapa
warga yang telah menerima ganti rugi namun masih tinggal di rumah mereka karena masih
mencari untung dengan menjual makanan untuk pekerja proyek. Terdapat beberapa warga yang
harus menerima keputusan Pengadilan Negeri Sidoarjo dengan menerima konsinyasi namun
masih terkendala surat dari BPN untuk mencairkan dana konsinyasi tersebut.
2. PT. Marga Najyosumo Agung

Pihak pelaksana proyek dan yang mengalami konflik langsung dengan warga Kelurahan
Bebekan Pereng adalah PT. Marga Najyosumo Agung. Perusahaan ini mulai melakukan proses
pembebasan tanah pada tahun 2007 yang langsung ditolak oleh warga dengan alasan bahwa
harga yang ditawarkan terlalu rendah. Harga yang ditawarkan PT. MNA pada saat itu diklaim
berdasarkan pada harga NJOP pada daerah tersbut.

Setelah usaha untuk penawaran pertama gagal dan mendapat reaksi negatif dari warga, PT.
MNA membawa pihak ketiga untuk melakukan penilaian terhadap harga tanah yang
ditawarkan. Selama 6 tahun terjadi banyak protes dari warga, hearing, dan proses pembebasan
tanah di Pengadilan Negeri Sidoarjo antara PT. MNA dan warga Bebekan Pereng

Hingga pada tahun 2013 ketika 75% tanah sudah dibebaskan, PT MNA kemudian mulai
membangun jalan tol ini di daerah permukiman warga. Untuk mengejar keterlambatan proyek
PT MNA mengerjakan proyek ini siang dan malam yang menimbulkan banyak reaksi negatif
dari warga yang belum berpindah atau belum mau dibeli tanahnya. Warga beralasan bahwa
proyek ini menimbulkan kebisingan yang membuat warga tidak bisa beristirahat.
3. Panitia Pengadaan Tanah (P2T) /TPT (Tim Pengadaan Tanah

4
Panitia pengadaan tanah adalah panitia yang dibentuk untuk membantu pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Panitian Pengadaan Tanah diangkat
atau ditunjuk oleh pemerintah setempat berdasarkan lokasi, dimana diinginkan adanya
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pada konflik ini, P2T diangkat oleh Bupati
Sidoarjo.
Tugas dari Panitia Pengadaan Tanah sendiri menurut Perpres Nomor 65 tahun 2006 adalah:

- Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-
benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan.
- Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan
atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
- Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan.
- Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan/ atau Pemegang Hak Atas Tanah mengenai rencana dan tujuan
pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik melalui tatap muka,
media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh
masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/ atau Pemegang Hak Atas
Tanah.
- Mengadakan musyawarah dengan para Pemegang Hak Atas Tanah dan instansi
pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk dan/ atau besarmya ganti rugi
- Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para Pemegang Hak Atas
Tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah.
- Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
- Mengadministrasikan dan mendokumnetasikan semua berkas pengadaan tanah dan
menyerahkan kepada pihak yang berkompeten

4. Pengadilan Negeri Sidoarjo

PN Sidoarjo menjadi lembaga hukum yang bertindak ketika pihak pemegang hak atas
tanah, dalam kasus ini adalah warga Bebekan Pereng, dan P2T yang tidak bisa menemukan
persetujuan dalam musyawarah untuk negosiasi penentuan harga tanah. Sesuai dengan
Peraturan MA Nomor 6 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan
Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, warga Bebekan Pereng berhak untuk mengajukan keberatan kepada
PN Sidoarjo sebagai lembaga hukum untuk menentukan bentuk atau besaran ganti rugi dan
jika dalam jangka waktu yang ditentukan pihak yang berhak, dalam kasus ini warga
Bebekan Pereng, tidak mengajukan keberatan atas besaran ganti rugi yang ditetapkan PN,
maka lembaga pertanahan dapat menitipkan ganti rugi ke PN, tindakan ini biasa disebut
dengan konsinyasi.

5
Pada konflik ini setelah musyawarah antara P2T dan warga Bebekan Pereng yang tidak
menemui mufakat, warga mengajukan keberatan ke PN Sidoarjo, keberatan tersebut
diterima dan kemudian dilanjutkan dengan penentuan harga dan konsinyasi. Warga yang
menerima besaran ganti rugi tersebut langsung mengurus keperluan untuk pembebasan
lahan dan melakukan transaksi untuk pembayaran ganti rugi.
5. BPN

Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia No. 4 Tahun 2006 JO
peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 pada
bagian ke-13, tertera bahwa fungsi BPN dalam rangka menangani sengketa, konflik dan
perkara (SKP) pertanahan adalah untuk mewujudkan kebijakan pertanahan bagi keadilan
dan kesejahteraan masyarakat. BPN berperan untuk menangani dan menyelesaikan
perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis.

BPN dalam konfllik ini berfungsi sebagai badan yang mengawasi terjadinya
musyawarah dan transaksi hak atas tanah dan ganti rugi antara lembaga pertanahan dan
warga Bebekan Pereng. BPN juga menjadi badan yang mencatat surat-surat hak milik tanah
yang berada pada wilayah konflik. Namun BPN tidak berperan langsung dalam berjalannya
konflik dan tidak memiliki pandangan khusus dalam konflik ini.

C. PANDANGAN TIAP KELOMPOK


Dari jurnal yang menjadi sumber tinjauan kritis ini, ditemukan terdapat pandangan
masing-masing pihak dalam konflik ini.
1. Warga Bebekan Pereng

Awal mula penolakan dimulai pada saat proyek yang mulai dikerjakan di sekitar rumah
warga, warga merasa bahwa proyek tersebut mengganggu dari sisi suara, udara, dan warga
Bebekan Pereng pertama menolak penawaran harga ganti rugi dari P2T dengan alasan
karena harga tersebut tidak sesuai dengan harga pasar saat ini. Warga juga merasa harga
tersebut terlalu rendah untuk dapat membeli tanah ditempat lain.

Terdapat usaha untuk menyelesaikan konflik dari berbagai pihak yang berkonflik
namun tidak bisa terselesaikan karena tidak mencapai kesepakatan. Dengan berbagai
gangguan yang disebabkan dari proyek tersebut warga menganggap bahwa proyek Jalan
Tol Sumo ini hanya sebagai pengganggu ketenangan hidup karena warga harus merelokasi
tempat tinggal mereka.
2. PT. Marga Najyosumo Agung

Proyek yang mulai berjalan sejak tahun 2007 ini pada akhirnya menjadi tidak bisa
terselesaikan sesuai rencana, banyak waktu yang terulur hanya karena konflik
pembebasan lahan milik warga. Namun upaya-upaya penyelesaian terus dilakukan
meskipun sangat sulit untuk bisa meyakinkan warga. Di lapangan warga meminta harga
tanah yang sesuai dengan keinginan pribadi, sedangkan pihak proyek menawarnya
dengan harga yang berlaku pada masanya. Hal ini dimanfaatkan oleh warga untuk

6
mendapatkan keuntungan dengan cara terus menolak harga-harga yang ditawarkan yang
mereka yakini itu terlalu murah.
Proyek pembangunan harus tetap berjalan, maka pihak proyek telah mendatangkan
alat-alat berat yang berfungsi sebagai permulaan pembangunan, diluar dugaan hal
tersebut justru ditentang oleh warga. Sehingga dari sisi pelaksana proyek memandang
konflik ini sebagai penghambat pembangunan karena banyak waktu yang terbuang untuk
menyelesaikan masalah pembebasan lahan.

3. Panitia Pengadaan Tanah (P2T) /TPT (Tim Pengadaan Tanah)

Dengan tugas yang dibebankan pada P2T maka dapat dilihat bahwa P2T mendapatkan
akses langsung untuk berinteraksi dengan masyarakat dan berperan sebagai perpanjangan
tangan dari pihak proyek. Pengukuran harga tanah yang dilakuka P2T telah sesuai dengan
harga tanah masa kini, namun dinilai oleh para warga masih kurang. Hal ini membuat P2T
harus mengulangi musyawarah lagi dan akhirnya melakukan konsinyasi. Hal ini mebuat
P2T berpandangan bahwa konflik ini hanya akan memperpanjang waktu proyek dan pada
akhirnya masyarakat harus menerima fakta bahwa tanah mereka harus dijual.
4. Pengadilan Negeri Sidoarjo

PN Sidoarjo menjadi lembaga hukum yang bertindak ketika pihak pemegang hak atas
tanah, dalam kasus ini adalah warga Bebekan Pereng, dan P2T yang tidak bisa menemukan
persetujuan dalam musyawarah untuk negosiasi penentuan harga tanah. PN Sidoarjo telah
melanjutkan gugatan dari warga yang dilanjutkan dengan penentuan besaran ganti rugi oleh
PN sendiri. Dalam jurnal tidak disebutkan apakah PN tetap dengan besaran yang ditentukan
oleh P2T atau mengganti besaran tersebut. Namun dapat dilihat bahwa dalam memandang
konflik ini PN harus memproses gugatan dan beranggapan bahwa gugatan warga tersebut
penting. PN disini mendahulukan kepentingan warga yang menggugat.

II. PENJELASAN ISU POKOK


A. URUTAN KEJADIAN KONFLIK
Konflik ini mempunyai kronologis yang cukup panjang dimulai dari tahun 1994
hingga 2015, hal ini didapatkan dari penelusuran penulis pada sumber lain selain
jurnal. Berikut ini adalah urutan kejadian konflik:

1. Agustus 1994 - Saat itu perjanjian kuasa penyelenggaraan Jalan Tol Surabaya-
Mojokerto telah dilakukan oleh PT Marga Nujyasmo Agung (PT MNA).
2. September 1997 - proyek Jalan Tol Sumo dihentikan akibat krisis moneter (Keppres
No.39/1997)
3. April 2002 - PT MNA dapat melanjutkan kembali konstruksi Jalan Tol Surabaya-
Mojokerto lewat Keppres No. 15 Tahun 2002 tentang Pencabutan Keppres No. 39
Tahun 1997. Dan 4 tahun setelahnya, baru dilakukan penandatangan perjanjian
pengusahaan jalan tol (PPJT).

7
4. 2007 – PT-MNA sudah mulai membangun Tol Sumo pada bagian lain (seksi IA)
dan mulai masuk ke Pereng untuk melakukan tahap perencanaan, alat-alat berat
sudah ditempatkan di kelurahan lain yang terkena pembebasan lahan
5. 2008 – Tim P2T sudah memberikan harga ganti rugi untuk warga yang terkena
pembebasan lahan namun terdapat beberapa penolakan dari warga
6. 2008-2013 – Terjadi berbagai aksi protes dan beberapa permintaan dari warga.
Permintaan tersebut seperti menaikkan lagi harga lahan yang mau dibeli karena
warga merasa harga tersebut terlalu kecil dan meminta untuk memberikan ganti rugi
kepada warga yang tidak terkena pembebasan lahan namun juga mendapatkan efek
yang buruk dari pembangunan jalan tol tersebut. Perlu diingat bahwa harga lahan
yang ditawarkan berbeda tergantung lokasi dari lahan tersebut terhadap akses jalan
utama. Hal ini juga menyebabkan penolakan dari warga yang menuntut harga yang
sama. Namun setelah berbagai cara dilakukan warga, PN Sidoarjo telah menetapkan
harga ganti rugi, kurang jelas berapa biaya ganti rugi yang dikeluarkan PN Sidoarjo.
Setelah penetapan harga tersebut, warga tetap menolak sehingga harus dilakukan
konsinyasi. Konsinyasi menjadi jalan terakhir dari konflik ini, beberapa warga
mulai melakukan pencairan dana konsinyasi namun beberapa masih menolak dan
belum mencairkan dana tersebut.
7. 2015 – Beberapa warga masih berusaha untuk menolak harga gantu rugi, P2T
menemui warga lagi untuk memusyawarahkan keinginan warga namun P2T
menilai keinginan warga tidak bisa dikabulkan karena pada tahun 2010 PN Sidoarjo
telah memutuskan besaran ganti rugi dan besaran tersebut telah dikonsinyasi oleh
pihak proyek sehingga tidak bisa diganggu gugat. Terdapat beberapa warga yang
mengalami kesulitan dalam pencairan dana konsinyasi karena BPN tidak segera
mengeluarkan dokumen yang dibutuhkan untuk mencairkan dana konsinyasi
tersebut
8. 2017 – meskipun mengalami penundaan selama kurang lebih 23 tahun (sejak tahun
1994), Tol Sumo sepanjang 36, 27 km akhirnya sudah diresmikan oleh presiden
Jokowi. Meskipun pembangunan belum selesai 100% namun Tol Sumo tetap
diresmikan dan sudah bisa digunakan untuk menghubungkan Surabaya dan
Mojokerto.

B. PENAHAPAN KONFLIK
Untuk mempermudah pembaca dan penulis dalam memahami konflik, dapat dilakukan
penahapan konflik yang dapat memberikan gambaran bagaimana konflik tersebut dimulai
dan diselesaikan. Berikut ini adalah penahapan konflik yang ada di konflik Tol Sumo
1. Prakonflik

Tahap pra-konflik dalam konflik ini adalah ketika pihak proyek atau PT. MNA mulai
masuk ke Kelurahan Pereng Bebekan dan melakukanperencanaan terkait Tol Sumo.
Dilanjutkan ketika pihak proyek sudah mulai memasukkan alat-alat berat ke dalam area
proyek yang mulai mengganggu ketenangan dari warga. Disini kurang diketahui apakah

8
posisi warga sudah mengetahui akan dibangunnya jalan Tol Tersebut atau belum.
Namun dapat dilihat pada saat ini bahwa belum ada reaksi negatif dari warga.
2. Konfrontasi

Tahap konfrontasi terjadi setelah P2T menetapkan harga sesuai appraisal, warga
melakukan penolakan dengan aksi protes. Tidak hanya itu, kelompok warga juga
mencari aliansi dari warga yang tidak terdampak oleh pembebasan tanah ini, namun
warga beralasan bahwa kelompok lain juga ikut terpengaruh terhadap pembangunan ini
karena polusi lain berbentuk debu, suara bising dan berbagai gangguan lingkungan
lainnya, hal ini membentuk massa yang cukup besar dalam melakukan aksi protes. Pada
tahap ini, konflik sudah terbuka. P2T melakukan usaha untuk musyawarah namun tidak
membawa hasil apapun karena penolakan dari warga juga cukup vokal mengenai
rendahnya biaya ganti rugi yang ditawarkan
3. Krisis

Krisis terjadi ketika warga membawa gugatan ke PN Sidoarjo karena tidak setuju
dengan harga yang ditawarkan P2T. Hal ini terjadi karena warga menuduh P2T
menawarkan harga yang tidak sesuai dengan harga pasar dan membuat warga tidak bisa
membeli rumah di lokasi lain karena harga tersebut terlalu rendah. Pernyataan ini tidak
disetujui oleh P2T karena pihak P2T mendapatkan harga tersebut berdasarkan appraisal
yang dilakukan secara langsung. Pada saat krisis tidak terjadi kekerasan fisik namun
terdapat penolakan dari masing-masing pihak.
4. Akibat

Setelah gugatan tersbeut dilayangkan, PN Sidoarjo menetapkan besaran ganti rugi yang
perlu dibayar oleh pihak proyek dan harus diterima oleh pihak warga. Dengan putusan
terssebut, pihak proyek dapat melanjutkan dengan konsinyasi, namun perlu diingat
bahwa dalam tahap ini, beberapa warga masih menolak putusan dari PN Sidoarjo dan
beberapa menerima. Akibat dari krisis adalah ditetapkannya biaya ganti rugi dan
dilanjutkan dengan kosinyasi.
5. Pascakonflik

Konflik tidak benar-benar selesai karena beberapa warga masih melakukan penolakan
namun lambat laun warga tersebut harus menerima karena mayoritas dari warga telah
melakukan usaha untuk mencairkan dana konsinyasi dan pindah dari rumah mereka
masing-masing. Beberapa warga yang masih berada di are pembangunan tol pada tahun
2013. adalah mereka yang masih menolak atau masih berjualan makanna untuk para
pekerja Tol

C. IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KONFLIK


Identifikasi faktor penyebab konflik dapat mempermudah penyelesaian konflik juga.
Karena faktor pendorong terjadinya konflik tersebut dapat diketahui dan dapat dihindari untuk
terulang lagi dan dapat diselesaikan dari sumbernya.

9
Dalam konflik yang terjadi antara warga Bebekan Pereng, P2T, PT. MNA, dan PN Sidoarjo
dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan pendapat antara kelompok yang berkonflik tersebut.
Warga Pereng dengan jelas menyebutkan bahwa harga yang mereka terima terlalu rendah yang
akan merugikan mereka karena tidak bisa membeli rumah di tempat lain. Berikutnya dari P2T
mengeluarkan harga yang dinilai sudah sesuai dengan NJOP saat ini. PT. MNA tidak terlalu
terlibat dalam penentuan harga namun sangat berperan dalam konflik karena sebagai pelaksana
proyek, sedangkan PN Sidoarjo menilai bahwa harga yang ditetapkan oleh PN sudah sesuai
dan tidak dapat diganggu gugat karena dari warga tidak ada yang mengaku keberatan dan
sehingga terdapat konsinyasi.

Dapat dilihat dari konflik diatas bahwa setiap individu atau kelompok seringkali memiliki
kepentingan yang berbeda dengan individu atau kelompok lainnya. semua itu bergantung dari
kebutuhan atau kepentingan pada individu atau kelompok tersebut. Perbedaan kepentingan ini
menyangkut kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dalam konflik diatas faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya konflik adalah
perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak yang berkonflik.

D. PEMETAAN KONFLIK
Untuk mempermudah melihat konflik dari berbagai sudut pandang berikut ini adalah
pemetaan konflik yang dilakukan oleh penulis.

WARGA BEBEKAN P2T


PERENG

PT. MNA PN Sidoarjo

Penjelasan

Konflik Langsung

Konflik Tidak Langsung

Netral, Mediator

Kerjasama

10
III. KESIMPULAN DAN LESSON LEARNED
Pembangunan jalan tol yang melintasi wilayah kelurahan Bebekan mulai
dilaksanakan pada tahun 2013 ini mempunyai konflik terbuka yang berakar dari
perbedaan kepentingan antara warga Pereng dan P2T. Terdapat beberapa pihak lain
sperti PT. MNA, pihak pelaksana proyek, yang memiliki konflik tidak langsung dengan
warga Pereng. Terdapat juga PN Sidoarjo yang berperan sebagai pihak netral.
Perencanaan pembangunan jalan tol kelurahan Bebekan dimulai sejak tahun
2007. Namun banyak perubahan dan pertimbangan untuk pembangunan jalan tol hal
ini disebabkan adanya perbedaan argumentasi antara warga dengan pihak proyek.
Pembangunan jalan tol menjadi terhambat karena pembebasan lahan yang
memerlukan waktu yang tidak sedikit, disamping itu wilayah Bebekan adalah
daerah paling padat penduduk yang terkena pembangunan jalan tol Surabaya-
Mojokerto dibandingkan dengan wilayah kelurahan yang lain.
Konflik ini dimulai ketika warga melakukan penolakan terhadap harga yang
ditawarkan oleh P2T selaku pihak yang melakukan pengukuran biaya ganti rugi. Pihak
P2T mendasarkan biaya tersebut sesuai NJOP pada tahun tersebut. Penolakan tersebut
dibarengi dengan aksi protes dengan warga yang tidak terkena pembebasan lahan. Aksi
ini didasari oleh permintaan warga untuk mendapatkan kompensasi dari kerugian yang
mereka alami karena tinggal di sekitar proyek yang bising dan mengeluarkan banyak
debu tersebut.
Pelajaran yang dapat diambil dari konflik sosial Tol Sumo adalah bahwa terjadi
perbedaaan kepentingan antara pihak yang berkonflik dapat menyebabkan konflik yang
berkepanjangan. Selain itu terdapat pihak-pihak yang bisa dijadikan penengah seperti
badan hukum yang mengawasi jalannya konflik, dalam konflik ini adalah PN Sidoarjo.

11
DAFTAR PUSTAKA

Konflik dan Faktor Penyebab Konflik di Indonesia


http://gudangilmusosiologi.blogspot.co.id/2012/10/konflik-dan-faktor-penyebab-konflik-
di.html diakses pada 07/03/2018 pukul 18.00

Mangkrak Selama 21 Tahun, Pengembang Tol Sumo Janjikan Juni 2017 Kelar
http://surabaya.tribunnews.com/2016/12/05/mangkrak-selama-21-tahun-pengembang-tol-
sumo-janjikan-juni-2017-kelar diakses pada 07/03/2018 pukul 18.30

12

You might also like