You are on page 1of 12

PENYELESAIAN SENGKETA dan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PEMILIK TANAH yang TIDAK MENDAPAT AKSES JALAN

KARYA ILMIAH

Oleh
Nama : Nyoman Dian Agus Pramana Sangging
NIM : 041836221
Email : diansangging@gmail.com

UP-BJJ UNIVERSITAS TERBUKA JAKARTA


FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2022
ABSTRAK

Pertumbuhan penduduk selalu diiringi peningkatan pembangunan, yang tentunya


berdampak pada ketersediaan tanah. Pengaruh melambungnya pembangunan pada zona
permukiman membawa akibat makin banyaknya tanah yang diperlukan untuk pembuatan
jaringan jalan menuju jalan umum. Kerap kita menjumpai sengketa antar pemilik tanah yang
berbatasan langsung akibat tidak terdapatnya ketersediaan akses jalan ini. Pasal 671 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata merupakan pelindung hukum yang memperkuat penegakan
hukum di bidang hak dan kewajiban bertetangga. Di dalam ketentuan tersebut memuat tentang
tidak dibenarkannya kesewenang-wenangan terhadap hak milik. Pemerintah menjamin setiap
hak warganya agar tidak dilanggar terutama perlindungan hukum terhadap pemberian akses
jalan keluar, sehingga apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran pada hak tersebut, dapat
diberikan sanksi sesuai peraturan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
penyelesaian sengketa kepemilikan tanah yang tidak mendapat akses jalan dan bagaimana
pertanggungjawaban BPN terhadap hak milik yang tidak mendapat akses jalan dan
perlindungan hukumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
yuridis normatif. Dengan penelitian ini diharapkan pemahaman lebih mendalam pada konsepsi
asas fungsi sosial hak atas tanah bisa dipahami. Tidak hanya melalui implementasi kebijakan
hak servituut, akan tetapi dengan menelaah penerapannya sebagai usaha pencegahan sengketa
serta konflik pertanahan yang berhubungan dengan pemberian akses jalan.

Kata Kunci: Hak servituut; Ketersediaan tanah; Perlindungan hukum; Sengketa akses jalan.

ABSTRACT

Population growth is always accompanied by increased development, which obviously


affects the availability of land. The growth of development in residential areas has meant that
more and more land is needed to create a road network leading to public roads. We often
encounter disputes between landowners who are directly adjacent due to the lack of availability
of access to this road. Article 671 of the Indonesian Civil Code is a legal protector that
strengthens law enforcement in the area of neighbouring rights and obligations. According to
this clause, the arbitrary nature of property rights is not justified. The government guarantees
that every right of its citizens is not violated, especially legal protection against granting access
to a way out, so that if in the future there is a violation of these rights, sanctions can be given
according to regulations. This study aims to find out how to resolve land ownership disputes
that do not have road access and how BPN is responsible for property rights that do not have
road access and legal protection. The approach used in this research is the normative legal
research approach. The aim of this research is to improve our understanding of the concept of
the social function of land rights. Not only through the implementation of the servituut rights
policy, but by examining its implementation as an effort to prevent land disputes and conflicts
related to the granting of road access.

Keywords : Availability of land; Hak servituut; Legal protection; Road access disputes.
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Bagi rakyat Indonesia tanah memiliki arti yang multi dimensial. Pertama, dari faktor
ekonomi, tanah ialah media produksi yang bisa mendatangkan kemakmuran. Kedua dengan
cara politis tanah bisa memastikan posisi seorang dalam pengumpulan ketetapan di masyarakat.
Ketiga, tanah sebagai budaya, tanah mampu memastikan tinggi rendahnya tingkatan sosial dari
pemiliknya. Terakhir, tanah berarti sakral sebab berhubungan dengan waris serta masalah-
masalah transendental.
Dewasa ini tanah tidak hanya dipakai sebagai tempat bermukim akan tetapi tanah pula
mempunyai nilai serta peranan yang amat penting untuk manusia. Karena tanpa tanah individu
tidak bisa hidup serta mendirikan bangunan dan melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Tanah
adalah modal yang amat bernilai untuk kehidupan manusia. Pada dasarnya tanah mempunyai
dua (2) peranan. Yang pertama tanah sebagai fungsi penciptaan yang maksudnya tanah sebagai
objek yang berharga ekonomis serta yang kedua sebagai fungsi nonproduksi yang maksudnya
tanah mempunyai artireligio-magis serta pula tanah bisa disebut sebagai modal alami penting
dalam aktivitas pertanian serta peternakan.
Tingginya laju kemajuan masyarakat disuatu kawasan senantiasa diikuti pula dengan laju
kemajuan permukiman. Saat kemajuan permukiman yang terus menerus melambung pastinya
akan membuat tingginya tekanan terhadap ketersediaan tanah serta akan diikuti dengan
manajemen yang tidak teratur. Dengan adanya kemajuan jumlah masyarakat yang kian
melambung, menjadikan tanah memberikan arti amat penting untuk keberlangsungan hidup
individu.
Manusia tidak hanya makhluk perseorangan yang maknanya tidak terurai ataupun tidak
terpisah antara jiwa serta jasmani tapi manusia pula adalah insan sosial yang memerlukan orang
lain serta diperlukan oleh orang lain dalam kehidupan. Sebab hidup bersama merupakan kodrat
manusia, jauh sebelum peradaban manusia itu dimulai. Kondisi itu dijalani untuk menjaga
eksistensi atau bahkan untuk menaikkan kualitas hidup. Sehingga ia akan berbaur dengan orang
lain untuk membuat kelompok-kelompok dalam rangka melengkapi keinginan serta tujuan
hidup. Dan dalam hidup berkelompok itu sering-kali manusia membuat tempat bermukim
saling berdampingan. Tidak bisa dibantah walaupun orang disebut sebagai insan sosial, adakala
pula terjadi gesekan dan bentrokan antara individu yang satu dangan individu yang lainnya
terutama dalam hal tanah. Karena manusia tidak akan pernah terbebas dari yang namanya
kepentingan pribadi (private interest), terutama perihal tanah. Yang mana sering-kali pemilik
tanah yang satu tidak memberikan akses jalan terhadap pemilk tanah yang lainnya.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari Isu hukum yang diteliti adalah :
1. Bagaimana penyelesaian sengketa kepemilikan tanah yang tidak mendapat jalan?
2. Bagaimana pertanggungjawaban BPN terhadap hak milik yang tidak mendapat akses jalan
dan perlindungan hukumnya?

Kajian Pustaka
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, yang tidak diiringi oleh ketersediaan
tanah yang relative tetap. Pertumbuhan penduduk juga dihadapkan pada ketersediaan akses
yang memadai demi keberlangsungan hidup, terutama dalam hal ini adalah ketersediaan akses
jalan. Di masa depan, ketersediaan akses jalan sangat vital bagi perkembangan di masyarakat.
Apabila hal ini tidak di atur secara tertib dan cermat, tentunya kedepan akan menimbulkan
sengketa. Sengketa tanah merupakan sengketa yang muncul karena adanya konflik kepentingan
atas tanah. Sengketa tanah sudah ada sejak lama, dari era orde lama, orde baru, era reformasi
dan hingga saat ini. Sengketa dan juga konflik pertanahan menjadi masalah pelik dan bersifat
klasik. Hal ini sudah berlangsung dalam puluhan tahun serta kerap tampak dimana-mana.
Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam hal ini sebagai perpanjangan tangan dari
pemerintah, memiliki kewajiban untuk meluruskan apa yang menjadi tujuan dari pembangunan
masyarakat Indonesia ke depannya sehingga sengketa atas tanah dapat berangsur-angsur
berkurang.

Tujuan penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah agar setiap orang ataupun masyarakat dapat
mengetahui apa saja yang dapat dilakukan atau perlindungan hukum apa yang dapat diterima
apabila mendapatkan permasalahan mengenai akses jalan.

Metode Penelitian
Pada karya ilmiah ini, teknik penelitian yang dipakai ialah Yuridis Normatif. Yuridis normatif
lebih mengutamakan materi hukum yang berupa perundang-undangan sebagai dasar dalam
pembuatan karya ilmiah ini. Yuridis normatif merupakan pendekatan yang digunakan
berdasarkan doktrin-doktrin ataupun asas-asas dalam teori-teori ilmu hukum, serta perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN

PERMASALAHAN DALAM PENANGANAN SENGKETA AKSES JALAN PADA


BIDANG TANAH PEKARANGAN
Tanah termasuk salah satu sumber daya yang amat penting bagi keberlangsungan hidup
orang banyak.. Kebutuhan tanah yang melambung mengakibatkan diperlukannya pengaturan
yang baik, tepat, tegas, serta teliti dalam hal kepemilikan serta pemakaian tanah untuk
kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu agar permasalahan tidak muncul di kemudian hari,
pemerintah terus mencoba menata kondisi tersebut dengan baik.
Kondisi di Negara kita saat ini menuntut kita melakukan banyak pemulihan dan
pembangunan. Dalam pembangunan di Indonesia pastinya memerlukan prasarana yang baik
salah satunya yang teramat vital ialah akses jalan, tidak terkecuali akses jalan tanah pekarangan.
Tidak jelasnya perihal status akses jalan bisa mengakibatkan potensi konflik di kemudian hari.
Akses jalan untuk suatu bidang tanah pekarangan ialah salah satu aspek penting yang
memberikan peluang untuk pemilik bidang tanah itu melangsungkan aktivitasnya.. Sebagian
masalah yang ditemui, berasal dari adanya rutinitas melintasi bidang tanah orang lain untuk
menuju jalan utama. Rutinitas yang berjalan lama ini, selanjutnya melahirkan anggapan kalau
bagian dari bidang tanah milik orang lain yang lazim digunakan untuk melintas itu ialah jalur
umum, sedangkan sesungguhnya tidak sedikit jalur tersebut masih tercatat sebagai bagian dari
hak kepemilikan orang lain. Makin lama keadaan itu bisa bertumbuh jadi perselisihan ketika
kedua belah pihak pemilk tanah sama-sama merasa wajib menjaga haknya pada jalan tersebut.
Dapat dikatakan pemberian akses jalan merupakan perihal yang sangat pokok sebab bila tidak
dilakukan penanganan sengketa dengan cermat maka yang muncul ialah permasalahannya
tersendiri, seperti belum terincinya ketetapan pengabdian pekarangan, serta minimnya
penerapan kebijaksanaan tentang pemberian akses jalan bidang tanah pekarangan untuk
pendaftaran tanah pertama kali.
Ketentuan perihal pengabdian pekarangan memang telah diatur sesudah berlakunya
UUPA, hanya saja belum sesuai yang diharapkan. Pasal 6 UUPA menjelaskan “Segala Hak atas
Tanah mempunyai Fungsi Sosial”. Pasal tersebut mempunyai maksud bahwa, walaupun
dengan cara hukum bukti hak berbentuk sertipikat sudah dipegang maka apabila tanah itu
berhadapan dengan kepentingan umum yang memerlukan maka pemilik sertipikat dan atau
pemilik hak itu wajib membebaskan haknya sesuai dengan kondisi yang terdapat dalam fungsi
sosial. Implementasi fungsi sosial sangat dibutuhkan sebab bila asas fungsi sosial itu diabaikan,
maka akan mengakibatkan sengketa baru yaitu permasalahan tentang akses jalan.
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa :
Pemilik sebidang tanah atau pekarangan yang terletak di antara tanah-tanah orang
lain sedemikian rupa sehingga ia tidak mempunyai jalan keluar sampai ke jalan umum atau
perairan umum, berhak menuntut kepada pemilik-pemilik pekarangan tetangganya, supaya
diberi jalan keluar untuknya guna kepentingan tanah atau pekarangannya dengan kewajiban
untuk membayar ganti rugi, seimbang dengan kerugian yang diakibatkannya.

Kemudian pada Pasal 668 KUHPerdata menerangkan :


“Jalan keluar itu harus diadakan pada sisi pekarangan atau tanah yang terdekat
dengan jalan atau parit umum, namun dalam suatu jurusan yang demikian sehingga
menimbulkan kerugian yang sekecil-kecilnya, bagi pemilik tanah yang dilalui”.

Hak pengabdian karang adalah hak yang ada pada tiap penghuni / pemilik tanah agar
mendapat akses jalan untuk pergi masuk ke dalam pekarangan, mendapat air bersih,
memperoleh penerangan dan pemandangan. Empat hal penting itu menjadi bersifat konstitutif,
maksudnya adalah hak pengabdian karang merupakan hak konstitusional (dijamin dalam
undang-undang) tiap warga negara yang tidak bisa dirampas oleh pemilik tanah yang
mengurung tanah enclave. Hal seperti ini sudah diatur secara jelas oleh berbagai praktek
peradilan di Indonesia yang “menghidupkan” kembali lembaga hukum yang bernama
“Pengabdian Karang” yang dalam sebutan ketetapannya dikenal dengan hak servituut. Keadaan
ini pula diatur dengan jelas dalam Pasal 667 serta 668 KUHPerdata. Berlandaskan paparan pada
ketentuan Pasal 667 serta 668 KUHPerdata itu diatas, pemilik tanah yang tertutup atau
terkurung dalam memperoleh akses jalan mempunyai hak menuntut pada pemilik tanah yang
menutupnya agar diberikan akses jalan keluar. Dalam hal ini mengenai jalan keluar itu
dibuatkan/diadakan pada bagian pekarangan ataupun pada bagian bidang tanah yang terdekat
dengan jalan ataupun selokan umum. Dengan begitu pemberian jalan keluar atau dalam hal ini
akses menuju jalan umum itu tidak mengakibatkan kerugian besar, tetapi hanya akan
mengakibatkan kerugian yang sekecil-kecilnya bagi pemilik tanah.
Ketentuan yang terkait larangan menutup ataupun mengurung pekarangan sehingga
mengakibatkan tidak terdapatnya akses dari jalan umum, hanya ada pada Pasal 13, Pasal 31,
serta Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa pemberian
HGU, HGB, ataupun HP tidak boleh mengakibatkan tertutupnya akses jalan bagi tanah yang
diberikan haknya itu sebaliknya peraturan tersebut belum mengatur secara jelas untuk tanah
yang statusnya Hak Milik.

PERANAN ATR/BPN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN


TANAH YANG TIDAK MENDAPAT AKSES JALAN.
Kementrian ATR/BPN adalah perpanjangan tangan pemerintah yang tugasnya ialah
melakukan serta mengembangkan administrasi di bidang pertanahan. Dalam tugasnya itu
penanganan sengketa pertanahan ialah salah satu fungsi yang menjadi wewenang BPN.
Penanganan sengketa memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih lagi bila
tidak dibekali dengan wawasan ataupun pemahaman yang cakap serta mendasar mengenai
seperti apa cara mengelola sengketa, pastinya sengketa tidak pernah akan mendekati jalan
keluar. Dalam Peraturan Menteri ATR/ Ka BPN Republik Indonesia No.21 / 2020 mengenai
Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, yang dalam hal ini termasuk penanganan
sengketa pertanahan, pada pasal 6 menyebutkan :
(1) Penanganan Sengketa dan Konflik dilakukan melalui tahapan:
a. pengkajian Kasus;
b. Gelar awal;
c. Penelitian;
d. ekspos hasil Penelitian;
e. Rapat Koordinasi;
f. Gelar akhir; dan
g. Penyelesaian Kasus.
Mengenai metode penyelesaian sengketa pertanahan dimulai dari masuknya aduan ke
Kantor Pertanahan melewati loket penerimaan surat pengaduan. Surat pengaduan yang telah
sesuai persyaratan selanjutnya diteruskan pada Sub Bagian Tata Usaha untuk selanjutnya
dibuatkan surat rekomendasi yang tertuju pada subbagian sengketa, konflik dan perkara untuk
ditanganinya permasalahannya. Kemudian dilaksanakan analisis masalah oleh staf ahli
subbagian sengketa, konflik dan perkara yang nantinya hasil analisis ini sebagai dasar dalam
melakukan Gelar Kasus awal. Sebagaimana disebutkan dalam Permen ATR/BPN No.21 Tahun
2020 dalam pasal 8, Gelar kasus dilakukan dengan tujuan untuk :
a. menentukan instansi atau lembaga atau pihak-pihak yang mempunyai kewenangan
dan/atau kepentingan terkait Kasus yang ditangani;
b. merumuskan rencana Penanganan;
c. menentukan ketentuan peraturan perundangundangan yang dapat diterapkan;
d. menentukan data yuridis, data fisik, data lapangan dan bahan yang diperlukan;
e. menyusun rencana kerja penelitian; dan f. menentukan target dan waktu Penyelesaian.
Hasil dari gelar awal ini nantinya menjadi dasar untuk mempersiapkan surat dan juga
jawaban ataupun balasan kepada pelapor dan sebagai dasar nantinya dalam melakukan
Penelitian. Sesudah memperoleh hasil dari Gelar awal, dibantu pengumpul data fisik yang
dalam kondisi ini seksi Pengukuran serta pemetaan, mencari fakta lapangan menyangkut posisi
luas serta batas tanah, dan informasi pokok lain yang menyangkut objek masalah. Tahap
berikutnya ialah mengungkapkan hasil investigasi sebagaimana dimaksudkan disini adalah
menyampaikan terkait data/bahan keterangan yang isinya menjelaskan status hukum, produk
Hukum ataupun posisi hukum masing-masing pihak yang berkepentingan yang selanjutnya
dituangkan dalam berita acara yang mengandung kesimpulan serta rekomendasi. Pada proses
ekspos hasil investigasi apabila masih dibutuhkan data, bahan keterangan ataupun diharuskan
tahap mediasi dalam penyelesaiannya maka bisa dilakukan :
a. Pemeriksaan kembali;
b. Penelitian kembali dengan pengembangan rencana serta sasaran Penelitian;
c. Pengujian/Penelitian/pemeriksaan oleh Tim Eksaminasi untuk mendapatkan rekomendasi
Penyelesaian Kasus;
d. Rapat koordinasi dengan mengundang instansi atau lembaga berhubungan; atau
e. Mediasi.
Sebagai langkah akhir dari proses penanganan sengketa maka dilaksanakan gelar akhir.
Gelar akhir ini dilakukan dalam rangka pengambilan ketetapan yang akan dilakukan oleh
Menteri, Kepala Kantor Wilayah ataupun Kepala Kantor Pertanahan. Hasil gelar akhir nantinya
akan dituangkan dalam berita acara Gelar Akhir. Penanangan sengketa yang telah dilaporkan
selesai kemudian dilaporkan pada Kementerian ataupun Kantor Wilayah sesuai kewenangannya
pada Kantor Pertanahan serta wajib diambil langkah selanjutnya, akan tetapi bila tidak
menemukan titik terang serta tidak bisa ditindaklanjuti maka Kepala Kantor Pertanahan harus
menyampaikan kepada Menteri ataupun Kepala Kantor Wilayah sesuai kewenangannya disertai
alasan serta pertimbangan.
Kementrian ATR/BPN sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai wewenang dan
atau otoritas dalam mengoordinasikan pertanahan sektoral mempunyai tugas penanganan
dengan perantaraan setelah menerima aduan dari masyarakat mengenai adanya perkara
sengketa tanah. Penanganan sengketa pertanahan melewati jalur mediasi oleh BPN wajib
dilandasi dengan kewenangan yang legal serta berpedoman peraturan perundang-undangan.
Kondisi ini sangat penting digunakan sebagai landasan BPN sebagai mediator dalam
penanganan sengketa pertanahan, karena sengketa tanah lebih banyak memuat aspek hukum
publik serta hukum pribadi, alhasil tidak semua sengketa pertanahan dapat diselesaikan oleh
lembaga mediasi, sebab sengketa pertanahan dengan wewenang seutuhnya dari pemegang hak
saja yang dapat diselesaikan dengan lembaga mediasi.
KESIMPULAN DAN SARAN

Secara tegas para penggagas bangsa sudah secara bijaksana merumuskan hak-hak atas
tanah seperti mana diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Pada Pasal 6 UUPA
ditegaskan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Keadaan ini berarti bahwa
segala hak atas tanah termasuk didalamnya ialah Hak milik, tidak dibenarkan jika dipergunakan
hanya untuk kebutuhan pribadinya saja, apalagi bila hal itu mengakibatkan kerugian bagi
masyarakat di sekelilingnya. Ketentuan Pasal 6 UUPA dan uraiannya memang tidak menata
secara rinci serta jelas mengenai pengabdian pekarangan, akibatnya ketika masalah pengabdian
pekarangan timbul Majelis Hakim seringkali harus melakukan penafsiran hukum lebih lanjut.
Prosedur penanganan sengketa terhadap akses jalan, sudah diakomodir oleh ATR/BPN yang
nantinya diharapkan sebagai jalan keluar terbaik bagi pihak-pihak yang bersengketa.
Hukum positif menyangkut ketentuan pengabdian pekarangan hingga saat ini masih jauh
dari apa yang diinginkan meskipun UUPA sudah laih hampir satu abad lamanya. Situasi tersebut
harusnya menjadi evaluasi bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk merancang
suatu aturan yang lebih terperinci mengenai pengabdian pekarangan. Selama ini pengaturan
terkait pengabdian pekarangan masih amat kurang, alhasil pengaturan tentang kepentingan
seseorang terkait pengabdian pekarangan terutama pemberian akses jalan terhadap bidang tanah
ter”isolasi”, hanya berupa pertimbangan serta kebijakan saja. Pada masing-masing Kantor
Pertanahan implementasi pengaturan inipun bisa berlainan lantaran sifatnya berupa
pertimbangan serta kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA
Andy, Hartanto. (2015). Panduan lengkap Hukum Praktis: Kepemilikan Tanah. Surabaya:
Laksbang Justitia.
Safira, M.E (2017). Hukum Perdata, Ponorogo : CV.Nata Karya.
Zumrokhatun, S & Syahrizal, D (2014). Undang-undang agraria & aplikasinya, Jakarta :
Dunia Cerdas.
Fatimah, S. (2019, April). Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Rumah Atas Akses Jalan
Yang Tertutup Oleh Rumah Tetangga. Universitas Jember.
Wirandhana, E (2017, Agustus). Tinjauan Hukum Hak Servituut Jika Melintasi Tanah Milik
Orang Lain. Universitas Sam Ratulangi
Limbong, Benhard. (2015). Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta Selatan:
Margaretha Pustaka.
Dakhriawan, Sawal (2014), ‘Tinjauan Yuridis Pengabdian Pekarangan sebagai Fungsi Sosial
dalam rangka Pendaftaran Tanah (Studi di Kantor Pertanahan Kota Makassar)’, Skripsi
pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Supriyanto, (2013). Implementasi Kebijakan Pertanahan Nasional, Purwokerto : Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Halim, Ridwan, (1983), Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Pekarangan dalam Hukum
Tetangga menurut KUHPerdata dan Peraturan Bangunan Jakarta, Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Hakim, Amrie, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5038bd0a38584/definisi-hak-
servituut-%28pengabdian-pekarangan%29-danpenerapannya, diakses pada 10
November 2022, 20.40 WITA.

Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia No.20 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan

You might also like